r.moeljono, sutoyo dan imam kuswahyono, s
TRANSCRIPT
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 111
ALTERNATIF PENYELESAIAN TANAH PENGUASAAN
PEMERINTAH KOTA YANG DIPAKAI PIHAK KETIGA
DALAM PERSPEKTIF KONSTITUSI1
R. Moeljono, Sutoyo, dan Imam Koeswahyono
______________________________________________________
Keduanya adalah Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Merdeka
Malang dan Universitas Brawijaya Malang
________________________________________________________
Abstract
This article was written based on legal research concerning
state owned land in East Java municipality. There are still a lot of
lands which are held by government agencies that have not
attached any rights, so it does not have the certainty of rights and
the rule of law to do any legal act of a right transfer. Viewed from
the scope of the administrative law authorized the local
government to lease "land tenure" them to third parties. Based on
property terminology in this context, is not owned by a legal term
defined as a body of land law or rights which contains the
authority, obligations, prohibitions and restrictions on subjects and
it’s object. Dispute "land tenure" the local government that became
the case in the Court on the basis of the claim, that such land is
land directly controlled by the state, so the city government is not
entitled to lease land because of conflict with the provisions of
Article 44 of the Basic Agrarian Law (BAL). In this context, the
term of property is a legal term thus the state isn’t owned the land
1 Makalah disajikan pada Seminar Regional Hukum Pertanahan Dalam
Rangka Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang ke 53,
tanggal 26 Juli 2010 di Lantai 6 Gedung Baru, Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya.
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 112
however is defined as a body of land rights which contains the
authority, obligations, prohibitions and restrictions on the subject
and it’s objects.
Claiming & blaming "land tenure" in the town that became
the case in the Court on the basis of the claim, that such land is
land directly controlled by the state, so the local government is not
entitled to lease land because of conflict with the provisions of
Article 44 BAL The Land Court is likely to be implemented, given
the very limited land availability (supply) while the needs of the
land will increase (demand) in line with the rate of population
increase and improvement of development activities. Refers to the
legislation in the field of land resources and look at the situation
and condition of each type of dispute, seems to settle land disputes
the mastery of the local government controlled by third parties can
be resolved through negotiation or mediation.
Keywords: solution, alternative, land control, constitution
A. PENDAHULUAN
Masalah pertanahan tampaknya tidak pernah surut bahkan
cenderung terus meningkat, seiring semakin sulitnya akses untuk
memiliki tanah, baik untuk kepentingan pemerintah, swasta dan
masyarakat. Masalah pertanahan lazim timbul di daerah perkotaan.
Hal ini dapat dimaklumi karena antara jumlah tanah yang tersedia
dengan jumlah penduduk kota yang semakin meningkat baik secara
alami maupun karena urbanisasi.
Dewasa ini pandangan masyarakat terhadap arti dan fungsi
tanah tidak lagi hanya merupakan benda yang bersifat turun-
temurun atau aset yang dapat berpengaruh terhadap status sosial
bagi pemiliknya, tetapi faktanya fungsi tanah telah bergeser
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 113
menjadi komoditi ekonomi. Konsep tanah tidak boleh menjadi
komoditi yang diperjual belikan untuk mencari keuntungan
finansial semata. Hal tersebut untuk menghindari terkonsentrasinya
penguasaan tanah pada sekelompok masyarakat yang kuat yang
akhirnya akan terjadi penindasan terhadap kelompok masyarakat
yang lemah atau kurang diuntungkan2.
Pada jaman penjajahan Belanda beberapa daerah di
Indonesia terdapat pemerintah kota (Stadgemeente), yang
memiliki/menguasai “Vrijlandsdomein”, sebagian dari tanah
tersebut diusahakan sebagai perusahaan tanah (grondbedrijf) dan
disewakan kepada penduduk kota yang membutuhkannya. Tidak
setiap daerah di Indonesia terdapat pemerintahan kota yang
mengusahakan grondbedrijf, maka jika di daerah kota tersebut
terdapat “Vrijlands-domein”, maka tanah-tanah tersebut dimiliki
dan dikuasai oleh Departemen (Kementerian) yang membiayai
menurut anggaran belanja dari Departemen (Kementerian) yang
bersangkutan.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia dikeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, tanah-tanah itu
3. Boedi Harsono, 1993, Aspek Yuridis Penguasaan dan Pemilikan Tanah
Perkotaan, Makalah Seminar Nasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah
Mada, hlm. 2, menjelaskan; “Maka biarpun dalam hukum tanah kita, tanah
merupakan benda ekonomi yang mempunyai nilai dan tanah yang dihaki
dimungkinkan untuk dijual, tetapi dalam konsepsi tersebut, tanah bukan
komoditi perdagangan. Tanah juga tidak dibenarkan untuk dijadikan obyek
investasi semata-mata, dengan tujuan untuk memanfaatkan dan mengamankan
modal.
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 114
dinyatakan sebagai tanah yang dikuasai penuh oleh negara.
Berdasarkan Peraturan tersebut Menteri Dalam Negeri berwenang
menyerahkan kepada Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra,
yang sekarang menjadi “tanah penguasaan” pemerintah kota.
Ada pihak beranggapan bahwa “tanah penguasaan”
Pemerintah Kota tersebut adalah tanah yang dikuasai lansung oleh
negara, maka mereka merasa berhak mengajukan permohonan hak
langsung kepada instansi yang berwenang.
Banyak hubungan hukum sewa-menyewa, memperoleh Surat
Ijin Penggunaan Tempat-tempat Tertentu dari Pemerintah Kota,
kemudian pemerintah daerah memutuskan hubungan hukum,
karena tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Bahkan di Kota
Surabaya bekas “tanah penguasaan” Pemerintah Kota yang telah
diterbitkan Hak Pengelolaan digugat oleh pihak ketiga yang
memanfaatkan tanah, berdasarkan hubungan sewa-menyewa.
Gugatan terjadi di Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya antara
warga Kelurahan Baratajaya Sebagai Penggugat Melawan Walikota
Surabaya.
B. PERMASALAHAN
Memperhatikan problematika sebagaimana dipaparkan di
muka, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1)
Bagaimana kedudukan hukum “tanah penguasaan” Pemerintah
Kota menurut konstitusi dan peraturan perudang-undangan yang
berlaku? 2) Apakah Pemerintah Kota berwenang menyewakan
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 115
“tanah penguasaan dan/atau memberikan ijin penggunaan tempat-
tempat tertentu kepada pihak ketiga ? 3) Bagaimana upaya
penyelesaian sengketa “tanah penguasaan” Pemerintah Kota yang
dimanfaatkan pihak ketiga dan adakah alternatif penyelesaian
sengketa ?
C. PEMBAHASAN
1. Periode Penjajahan Belanda
Hukum agraria yang diterapkan di Indonesia pada masa
penjajahan Belanda diatur dalam Agrarische Wet, yaitu suatu
undang-undang yang dibuat di negeri Belanda pada tahun 1870
No.118. Tujuan Agrarische Wet adalah untuk memberikan
kemungkinan dan jaminan kepada pemilik modal besar asing, agar
dapat berkembang di Indonesia. Peraturan pelaksanaan dari
Agrarische Wet tersebut diatur dalam berbagai keputusan salah
satu diantaranya adalah Agrarische Besluit; Pasal 1 Agrarische
Besluit tersebut terkenal dengan nama Domein Verklaring yang
menyatakan: Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan di
dalam ayat 2 dan 3 Agrarische Wet maka dipertahankanlah azas
bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan,
bahwa tanah itu adalah hak eigendom-nya adalah domein negara
(tanah milik Negara).3
4. Boedi Harsono, Sejarah Penysusunan, Isi dan Pelakasanaannya
Hukum Agraria Indonesia, Cetakan Ketiga, (Djambatan, Jakarta, 1970), hlm :
38-39.
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 116
Dengan berlakunya Agrarische Besluit tersebut, semua tanah
yang bebas sama sekali dari pada hak-hak seseorang (baik yang
berdasar atas hukum Adat asli Indonesia, maupun yang berdasar
atas hukum Barat) dianggap menjadi “Vrijlandsdomein“ yaitu
tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai penuh oleh Negara. Dalam
perundang-undangan lama tidak ada aturan pokok yang khusus
mengatur soal penguasaan tanah negara. S. 1911 No.110 jo. S
1940 No.430 memuat ketentuan-ketentuan umum tentang
penguasaan terhadap “milik negara yang berupa benda-benda yang
tidak bergerak “ dalam mana dicantumkan pokok pendirian, bahwa
benda-benda yang tidak bergerak termasuk tanah milik negara, ada
dalam penguasaan Departemen yang membeayai pemeliharaannya
menurut anggaran belanja. Jika dicermati lebih mendalam,
hakekatnya ketentuan itu adalah amat sempit, karena denngan
demikian masih belum jelas, bagaimanakah halnya dengan
penguasaan tanah-tanah negara, yang tidak nyata-nyata dikuasai
oleh suatu Departemen.
Dalam pada itu tentang penguasaan tanah-tanah
“Vrijlandsdomein“ itu ternyata, bahwa pemerintah Belanda dahulu
berpegang pada pendirian bahwa: a) tanah-tanah yang menjadi
“Vrijlandsdomein“ karena dibebaskan dari hak-hak milik Indonesia
oleh suatu Departemen, dianggap ada di bawah penguasaan
Departemen itu; b) tanah-tanah “Vrijlandsdomein“ yang
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 117
penguasaannya tidak nyata-nyata diserahkan kepada suatu
Departemen, dianggap ada di bawah penguasaan Departemen.4
Untuk menghilangkan keragu-raguan mengenai berbagai
penguasaan tanah negara tersebut, maka agar pemanfaatan tanah itu
berfaedah bagi negara dan masyarakat, pemerintah memandang
perlu menetapkan mengenai pengawasan atas tanah-tanah negara
itu disatu tangan sehingga tanah-tanah negara yang tidak jelas
penguasaannya mudah mengaturnya.
Di dalam praktik ternyata berbeda penerapannya, oleh karena
perhatian pemerintah penjajahan pada waktu itu hanya
mementingkan bagi golongan orang-orang yang tunduk pada
hukum barat atau mereka yang menundukkan diri pada hukum
barat. Sebagai contoh bahwa hukum agraria yang diperlakukan
bagi bangsa Eropa atau mereka yang dipersamakan dengan itu
lebih mendapatkan perhatian, seperti diselenggarakannya Rechts
Kadaster / atau Kadaster Hak, yaitu adanya pendaftaran atau
pembukuan bidang-bidang tanah yang terletak di suatu daerah
kekuasaan pemerintah Belanda di dalam suatu daftar, pengukuran
dan pemetaan hak, demi memberikan jaminan kepastian hak dan
kepastian hukumnya.
5. R. Roestandi Ardiwilaga., Hukum Agraria Dalam Teori dan Praktik,
(Alumni, Bandung, 1982), hlm. 281.
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 118
Sedangkan bagi orang-orang Indonesia asli dibiarkan
menurut hukum adat, sehingga pada waktu itu terjadilah dualisme
hukum agraria, di samping berlakunya hukum agraria Barat,
berlaku pula hukum agraria Adat bagi pribumi.
2. Periode Penjajahan Jepang
Setelah Belanda kalah perang melawan Jepang, maka
Indonesia dijajah oleh pemerintah Jepang; pada masa penjajahan
Jepang hampir tidak ada perubahan yang berarti dalam mengatur
soal agraria; jika terdapat aturan-aturan soal agraria hanyalah
mengenai istilah-istilah menurut bahasa Jepang. Sebagai contoh
seperti peraturan yang dikeluarkan pada waktu itu yaitu Peraturan
pangkal bagi larangan pemindahan atas benda-benda tetap (Osamu
Seirei No. 2 Tahun 1942).
Pemerintah pendudukan Jepang hanya ditujukan untuk
kemenangan bangsa Asia Timur Raya. Masa pendudukan Jepang,
keadaan dan suasana telah berubah sama sekali, maka untuk
melancarkan usaha-usaha peperangan berbagai Jawatan dari
Pemerintah pendudukan Jepang diberi keleluasaan penuh untuk
mengatur kepentingannya. Akibatnya bahwa dalam urusan tanah
jawatan-jawatan itu berbuat sekehendak sendiri dengan
mengabaikan peraturan-perundang-undangan.
Akhirnya banyak tanah negara yang dengan begitu saja
dipergunakan untuk keperluan yang menyimpang dari pada tujuan
yang telah ditentukan semula, atau yang dipindah dari tangan
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 119
Jawatan satu ketangan Jawatan lain, dengan tidak melalui acara
penyerahan dan penerimaan yang resmi melalui Berita acara.
Banyak pula tanah negara yang dibiarkan terlantar oleh Jawatan
yang tidak membutuhkannya lagi, selain itu sering juga pembelian
tanah penduduk yang tidak dilakukan menurut peraturan yang ada,
kemudian tidak diketahui pula Jawatan mana yang menguasainya.
Tindakan ini berlansung terus sampai sesudah berakhirnya
pendudukan Jepang, sehingga menimbulkan simpang siur dalam
urusan penguasaan tanah negara umumnya, yang tidak dapat diatasi
dengan berpedoman pada peraturan dalam Staatsblad 1911 No.110
saja.
3. Periode Kemerdekaan RI.
Secara teoritikal suatu negara yang baru merdeka, sudah
barang tentu belum dapat menyusun peraturan perundang-
undangan yang lengkap untuk mengatur berbagai urusan termasuk
urusan agraria; namun dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD-1945
dinyatakan: Semua badan-badan dan peraturan-peraturan yang ada
sebelum diadakan yang baru tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan UUD ini. Pasal 33 (3) UUD-1945
menyatakan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
Silang pandangan para pakar mengenai hak menguasai
negara (HMN) apa yang dinyatakan oleh Marjanne Termorshuizen
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 120
masih merupakan kelanjutan dari “Doktrin Domein yang pada
akhir abad ke-19 menjadi perdebatan sengit antara mazhab Leiden
dan Utrecht seperti ditulis oleh Peter Burns (2004) menimbulkan
kebingungan karena multi tafsir, mengesankan maksud
tersembunyi, tidak rasional5. Lebih tidak masuk akal jika
pemerintah daerah dengan dalih memiliki hak menguasai, belum
pernah mendaftarkan hak pengelolaannya ke kantor pertanahan
namun telah melakukan perjanjian dengan pihak ketiga untuk
memanfaatkan tanah yang diklaim dalam penguasaannya.
Walaupun kemudian upaya untuk mengatur lebih lanjut mengenai
urusan tanah yang simpang siur itu pemerintah mengeluarkan
peraturan terutama tanah-tanah bekas hak barat yang dinyatakan
sebagai tanah negara yaitu dengan Peraturan Pemerintah No. 8
Tahun 1953 Tentang Tanah Negara.
Sehubungan dengan tidak adanya kejelasan mengenai benda
tetap termasuk tanah yang dikuasai oleh suatu Kementerian,
Jawatan dan Daerah Swatantra pada waktu itu, maka dikeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Tanah Negara.
Dalam peraturan tersebut yang dimaksud dengan tanah Negara
ialah tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Penjelasan PP. No. 8
5 Marjanne Termorshuizen-Arts, Rakyat Indonesia dan Tanahnya:
Perkembangan Doktrin Domein Di Masa Kolonial dan Pengaruhnya Dalam
Hukum Agraria Indonesia dalam Myrna A Safitri dan Tristam Moeliono
(Penyunting), Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, Cetakan Pertama,
(Hu-Ma, Van Vollenhoven Institute, KITLV-Jakarta, 2010), hlm. 68 – 74.
Bandingkan dengan Achmad Sodiki Achmad Sodiki dan Yanis Maladi, Politik
Hukum Agraria, Cetakan Pertama, (Mahkota Kata, Yogyakarta, 2009), hlm. 4.
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 121
Tahun 1953 dinyatakan sebagai berikut: Menurut
“domeinverklaring” antara lain dinyatakan dalam Pasal
1;“Agrarische Besluit”, semua tanah yang bebas sama sekali
daripada hak-hak seseorang (baik yang berdasar atas hukum Adat
asli Indonesia, maupun yang berdasar atas hukum barat) dianggap
sebagai “Vrij landsdomein” yaitu tanah-tanah yang dimiliki dan
dikuasai penuh oleh negara. Tanah-tanah demikian itulah yang di
dalam Peraturan Pemerintah ini disebut “ tanah negara”.
Pasal 3 PP. No. 8 Tahun 1953 menjelaskan bahwa; Menteri
Dalam Negeri berhak: a) menyerahkan penguasaan itu kepada
suatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra untuk
keperluan-keperluan bagi melaksanakan kepentingannya sebagai
dimaksud dalam pasal 4; b) mengawasi agar tanah negara tersebut
dalam sub a dipergunakan sesuai dengan peruntukannya dan
bertindak menurut ketentuan dimaksud dalam pasal 8; yang
menyatakan bahwa penguasaan tanah negara itu dapat dicabut
apabila: 1) penyerahan penguasaan itu ternyata keliru atau tidak
tepat lagi; 2) luas tanah yang diserahkan ternyata sangat melebihi
keperluannya; 3) tanah itu tidak dipelihara atau tidak dipergunakan
sebagai mana mestinya.
Berbasis pada rumusan pasal yang tertuang dalam peraturan
di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan tanah negara
adalah tanah yang dikuasai penuh oleh negara atau Menteri Dalam
Negeri untuk diserahkan kepada Kementerian, Jawatan dan Daerah
Swatantra.
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 122
a. Kedudukan Hukum Tanah Penguasaan Pemerintah Kota
Sebelum berlakunya UUPA
Bahwa kedudukan “tanah penguasan” pemerintah kota yang
semula berasal dari penyerahan Menteri Dalam Negeri kepada
Daerah Swatantra berdasarkan Pasal 3 PP. No. 8 Tahun 1953
adalah sah menurut hukum. Bahkan di dalam Pasal 9 PP. No. 8
Tahun 1953 menyebutkan: 1) Kementerian, Jawatan dan Daerah
Swatantra, sebelum dapat menggunakan tanah-tanah Negara yang
penguasaannya diserahkan kepadanya itu menurut peruntukannya,
dapat memberi izin kepada pihak lain untuk memakai tanah-tanah
itu dalam waktu yang pendek; 2) Perizinan untuk memakai tanah
tersebut dalam ayat 1 dari pasal ini bersifat sementara dan setiap
waktu harus dapat dicabut kembali; 3) Tentang perizinan tersebut
dalam ayat 2 di muka Menteri Dalam Negeri perlu diberitahu.
Pasal 12 PP. No. 8 Tahun 1953, menyatakan bahwa; Kepala
Daerah Swatantra dapat diberikan penguasaan atas tanah Negara,
dengan tujuan untuk diberikan kepada pihak lain dengan sesuatu
hak menurut ketentuan-ketentuan Menteri Dalam Negeri.
b. Kedudukan Hukum Tanah Penguasaan Pemerintah Kota
Setelah berlakunya UUPA.
Setelah terbentuknya Kementerian Agraria maka terjadi
peralihan kewenangan pengurusan semula ada pada Menteri Dalam
Negeri, kemudian beralih pada Kementerian Agraria. Selanjutnya
Menteri Agraria mengeluarkan beberapa peraturan sebagai berikut :
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 123
1. Keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/Ka/1961
Intinya adalah berwenang untuk memberikan Keputusan
tentang permintaan Hak Penguasaan (Beheer) tanah yang
dikuasai oleh Kementerian, Jawatan dan Daerah Swatantra.
Peraturan tersebut tidak berlaku efektif, karena tidak ada
Kementerian, Jawatan dan Daerah Swatantra yang mengajukan
permohonan untuk memperoleh Hak Penguasaan (Beheer)
dimaksud.
2 Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965
Peraturan tersebut intinya akan mengkonversi tanah Hak
Penguasaan (Beheer) yang dikuasai oleh Kementerian, Jawatan
dan Daerah Swatantra menjadi: a) Hak Pakai jika tanah tersebut
dipergunakan langsung untuk menunjang pelaksanaan tugasnya,
atau; b) Hak Pengelolaan jika bagian-bagian tanah tersebut akan
diberikan kepada pihak ketiga. Ketentuan pelaksanaan konversi
sebagi dimaksud menurut peraturan tersebut tidak mungkin
dilakukan sebagaimana dijelaskan dalam angka 1 tersebut di
muka.
3. Permendagri No. 5 Tahun 1973 jo Permendagri No. 6 Tahun
1972
Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut di atas, untuk
memperoleh Hak Pakai dan/atau Hak Pengelolaan bukan
dilakukan melalui cara konversi tetapi melalui permohonan hak
atas tanah.
4. Hak Tanah dan Penggunaan Tanah
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 124
Tanah dalam arti tempat mempunyai dua segi yaitu: a)
Segi hak (hukum); b) Segi penggunaan (fisik). Untuk bisa
menggunakan tanah, seseorang harus mempunyai hak atas tanah
tersebut. Apapun jenis hak yang dia miliki. Menurut peraturan
perundang-undangan barang siapa yang sudah mempunyai hak
atas sebidang tanah, dia harus menggunakannya.6
2. Wewenang Pemerintah Kota Menyewakan Tanah
Penguasaan dan/atau Memberikan Ijin Penggunaan
Tempat Tertentu7
Ditinjau dari sudut hukum administrasi negara pemerintah
berwenang untuk menyewakan “tanah penguasaan” tersebut kepada
pihak ketiga dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Undang–Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan
Negara
Pasal 1 angka 1 menjelaskan; Perbendaharaan Negara
adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara,
termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang
ditetapkan dalam APBN dan APBD. Pasal 1 Angka 11
menjelaskan: Barang Milik Daerah adalah semua barang yang
dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari
perolehan lainnya yang sah.
6 Direktoran Jenderal Agraria-Depdagri, (Jakarta, 1983), Penerapan
Pasal 14-15 UUPA, hlm: 10, “kebijakan di bidang pertanahan sebenarnya
adalah kebijakan yang menyangkut segi hak, dan segi penggunaan tanah”.
7 Surya; Kamis, 3 Maret 2011, Pelepasan Aset Dikaji Ulang: Aset DPRD
Kota Malang akan mengkaji ulang pelepasan 4.230 bidang tanah aset Pem Kot
Malang yang luasnya di bawah 200 M2.
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 125
Pasal 45 menjelaskan bahwa; (1) Barang milik
negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas
pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan; (2)
Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan
dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan
sebagai modal Pemerintah setelah mendapat persetujuan
DPR/DPRD.
b. PP. No. 6 Tahun 2006 jo PP. No. 38 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Barang Negara/Daerah
Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa; Barang Milik
Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Kemudian Pasal 2 menyatakan ;
(1) Barang milik negara/daerah meliputi: a) barang yang dibeli
atau diperoleh atas beban APBN/D; atau b) barang yang
berasal dari perolehan lainnya yang sah.
(2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi: a) barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan
atau yang sejenis; b) barang yang diperoleh sebagai
pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; c) barang yang
diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; atau d) barang yang diperoleh berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 126
c. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 2007 Tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
Substansi dari ketentuan peraturan tersebut intinya sama
dengan ketentuan yang mengatur pengelolaan barang
negara/daerah sebagaimana yang diatur dalam PP. No. 6 Tahun
2006 jo. PP. No. 38 Tahun 2008.antara lain:
Pasal 1 ketentuan Umum angka:
7. Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengguna
barang dalam mengelola dan menatausahakan barang milik
negara/daerah yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
instansi yang bersangkutan.
8. Pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik
negara/daerah yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi kementerian/lembaga/satuan kerja
perangkat daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai,
kerjasama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun
gunaserah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
9. Sewa adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah oleh
pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima
imbalan uang tunai.
Memperhatikan dan mencermati rumusan pasal-pasal tersebut
di atas dapat dipahami bahwa perolehan tanah/bangunan yang
menjadi barang milik Daerah atau “tanah penguasan” Pemerintah
Kota adalah diperoleh dengan itikat baik, kecuali jika dapat
dibuktikan sebaliknya. Sesuatu yang perlu diperhatikan berkaitan
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 127
terminologi barang milik pada masalah ini, bukan diartikan dimiliki
menurut istilah hukum tanah sebagai lembaga hukum atau hak
yang di dalamnya berisi wewenang, kewajiban, larangan dan
pembatasan subyek dan obyeknya.8.
Beranjak dari rumusan tersebut di atas dapat dipahami bahwa
“tanah penguasaan” Pemerintah Kota adalah tanah yang dapat
digunakan, dimanfaatkan dan dapat dipindahtangankan. Namun
demikian, terminologi seperti dijual, disewakan, dihibahkan, hal
tersebut sering mempunyai perbedaan dengan terminologi yang ada
di dalam hukum tanah. Sering pula dalam sengketa “tanah
penguasaan” Pemerintah Kota yang menjadi perkara di Pengadilan
dengan dasar gugatannya, bahwa tanah tersebut adalah tanah yang
dikuasai langsung oleh negara, demikian pula Pemerintah Kota
tidak berhak menyewakan tanah tersebut karena bertentangan
dengan ketentuan pasal 44 UUPA.
3. Upaya Penyelesaian Konflik “Tanah Penguasaan”
Pemerintah Kota oleh Pihak Ketiga
Upaya penyelesaian sengketa “tanah penguasaan” selama ini
yang sering terjadi adalah melalui jalur peradilan atau melalui
8 Locke John, dalam CB Mac Pherson, Pemikiran Dasar Tentang Hak
Milik, Alih Bahasa C. Woekirsari dan Haryono,(Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, Jakarta, 1989), hlm.: 22, bandingkan dengan Teori Kerja dari
John Locke yang menyatakan; Meskipun bumi dan semua makhluk yang lebih
rendah dipunyai bersama oleh menusia, namun setiap manusia mempunyai suatu
milik pribadinya senndiri atas milik itu tak seorangpun mempunyai hak kecuali
dia sendiri; kerja dari badannya dan karya tangannya dapat dikatakan benar-
benar miliknya.
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 128
proses litigasi. Chris Masengi mengatakan: Ternyata penanganan
sengketa tanah di pengadilan memerlukan jangka waktu relatif
lama, karena perkara di pengadilan yang ditangani cukup banyak
sehingga harus antri. Selain itu meskipun sengketa itu telah diputus
pada tingkat pertama, seringkali para pihak tidak begitu saja
menerima. Mereka mengajukan upaya hukum banding, kemudian
kasasi sampai peninjauan kembali, maka tidak heran jika ada kasus
sengketa tanah memakan waktu lama, biaya, tenaga serta pikiran
yang harus dicurahkan.9 Ditambah kekecewaan para yustisiabel
kerena gagal memperjuangkan yang diakibatkan penanganan
perkara oleh lembaga peradilan yang kurang memperhatikan nilai
keadilan masyarakat.
4. Alternatif Penyelesaian Sengketa
a. Model Peradilan Khusus
Dewasa ini telah terbentuk semacam peradilan khusus seperti
Pengadilan Niaga, Pengadilan Tipikor berkaitan dengan tenaga
kerja ada P4P dan P4D serta Pengadilan Pajak. Sekarang ini
sengketa pertanahan telah berubah, banyak menyangkut perkara
perdata, perkara Tata Usaha Negara/Administrasi Negara, dan
perkara pidana. Edison Muchlis peneliti LIPI menyatakan:
Sebenarnya jika suatu perkara, termasuk perkara tanah dibawa ke
pengadilan, seseorang lebih banyak ruginya, karena lamanya waktu
9 Badan Pertanahan Nasional, Majalah Bhumi Bhakti No. 47
Tahun1996, hlm. 17.
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 129
dan besarnya beaya yang ditanggung selama berperkara, Ia
menambahkan pengadilan sering lambat dalam menyelesaikan
sengketa tanah.10.
Dari beberapa pendapat tersebut, sesungguhnya
wacana untuk membentuk Pengadilan Pertanahan merupakan
kemungkinan untuk dilaksanakan.
b. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Jalur Non-
Litigasi
Merujuk pandangan Maria SW Sumardjono dkk mengenai
terbukanya ruang bagi penyelesaian konflik yang manifest dengan
obyek sumber daya tanah dalam lima tipologi kasus: a)
penggarapan rakyat atas tanah perkebunan, kehutanan,; b)
pelanggaran ketentuan landreform; c) ekses penyediaan tanah
untuk pembangunan bagi kepentingan umum; d) sengketa perdata
berkaitan dengan tanah serta.e.sengketa tanah Ulayat.11
Melalui model non-litigasi yang menurut pendapat Johny
Emirzon sudah merupakan kebiasaan di pelosok pedesaan
berdasarkan Hukum Adat yakni “musyawarah untuk mufakat”12
.
Cara demikian menurut pandangan penulis dengan didukung oleh
10
Ibid. 11
Maria SW.Sumardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto, Mediasi
Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) di
Bidang Pertanahan,Cetakan Pertama, Buku Kompas, Jakarta, hlm. 2 Periksa
dan bandingkan dengan Sarjita., 2005, Teknik & Strategi Penyelesaian Sengketa
Pertanahan, Cetakan Kedua Edisi Revisi, (Tugu Jogja Pustaka, Yogyakarta,
2008), hlm 28.
12
Joni Emirzon., Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
(Negosiasi, Mediasi Konsiliasi & Arbitrase), (PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2001), hlm. 14.
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 130
pandangan beberapa pakar hukum pertanahan, nampaknya
merupakan alternatif pilihan yang rasional.13
Aletrnatif penyelesaian sengketa atau Alternative Dispute
Resolution (ADR) menurut Altschul; “ a trial of a case before a
private tribunal agreed to by the parties so as to save legal costs,
avoid publicity and avoid lengthy trial delays.”14
Simpulan yang ditarik dari pengertian dua pakar di muka
adalah tujuan dari alternatif penyelesaian sengketa lebih bersifat
pragmatis-rasional, melibatkan secara aktif para pihak atau
melibatkan pihak ketiga serta memperkecil kemungkinan
timbulnya resiko dibandingkan dengan cara litigasi. Demikian pula
secara normatif lembaga alternatif penyelesaian sengketa telah
memiliki landasan hukum yakni Undang-undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Untuk
Sengketa Keperdataan.
Beberapa alternatif penyelesaian sengketa meliputi: 1)
Negosiasi, 2) mediasi, 3) konsiliasi serta 4) arbitrase. Sudah barang
tentu sebelum dilakukan pilihan, maka para pihak untuk
mempertimbangkan secara seksama kesuaian pilihan dengan
13
Larry L Teply, Legal Negotiation in A Nutshell, (West Publishing St
Paul Minn, 1992), hlm. 69-76 dan hlm. 77–81, Teply membedakan antara; legal
aspects that should be considered prior to entering into negotiations dan legal
disputes that should not be negotiated.. 14
Ibid. hlm. 37–38, menurut Fillif D Bostwick bertujuan; to permit legal
dispute to be resolved outside the courts for the benefit of all disputant, to reduce
the cost of conventional litigation and the delay to which it is ordinarily subject
and to prevent legal disputes that would otherwise likely be brought to courts.”
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 131
substansi sengketa, akibat hukum dan akibat sosial lainnya dari
pilihan cara penyelesaian tersebut.
Menurut pandangan penulis merujuk pada peraturan
perundang-undangan dan melihat pada kondisi masing-masing
jenis sengketa, nampaknya untuk penyelesaian sengketa tanah
penguasaan pemerintah kota yang dikuasai oleh pihak ketiga dapat
diselesaikan melalui cara negosiasi atau mediasi.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan temuan penelitian penulis, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Masih banyak tanah-tanah yang dikuasai Instansi pemerintah
yang belum dilekati suatu hak, sehingga tidak mempunyai
kepastian hak dan kepastian hukum untuk dilakukan perbuatan
hukum peralihan hak.
2. Ditinjau dari sudut hukum administrasi negara pemerintah
berwenang untuk menyewakan “tanah penguasaan” tersebut
kepada pihak ketiga.Berkaitan terminologi barang milik menurut
telaah ini, bukan diartikan dimiliki menurut istilah hukum tanah
sebagai lembaga hukum atau hak yang didalamnya berisi
wewenang, kewajiban, larangan dan pembatasan terhadap
subyek dan obyeknya. sengketa “tanah penguasaan” Pemerintah
Kota yang menjadi perkara di pengadilan dengan dasar
gugatannya, bahwa tanah tersebut adalah tanah yang dikuasai
langsung oleh negara, demikian pula Pemerintah Kota tidak
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 132
berhak menyewakan tanah tersebut karena bertentangan dengan
ketentuan Pasal 44 UUPA.
3. Upaya penyelesaian sengketa “tanah penguasaan” selama ini
yang sering terjadi adalah melalui jalur peradilan atau melalui
proses litigasi.
4. Pengadilan Pertanahan merupakan kemungkinan untuk
dilaksanakan, mengingat tersedianya tanah sangat terbatas
(supply) sedangkan kebutuhan orang akan tanah semakin
meningkat (demand) seiring dengan laju pertambahan penduduk
dan peningkatan kegiatan pembangunan. Merujuk pada
peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya tanah dan
melihat pada situasi & kondisi masing-masing jenis sengketa,
nampaknya untuk penyelesaian sengketa tanah penguasaan
pemerintah kota yang dikuasai oleh pihak ketiga dapat
diselesaikan melalui cara negosiasi atau mediasi.
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 133
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sodiki dan Yanis Maladi., 2009, Politik Hukum Agraria,
Cetakan Pertama, Yogyakarta, Mahkota Kata.
Badan Pertanahan Nasional , Majalah Bhumi Bhakti, No. 47
Tahun1996.
Boedi Harsono, Makalah Seminar Nasional, 1993, Aspek Yuridis
Penguasaan dan Pemilikan Tanah Perkotaan, Fakultas
Hukum, Universitas Gajah Mada.
Harsono, Boedi,1970, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah
Penysusunan, Isi dan Pelaksanaannya), Jakarta, Penerbit
Djambatan.
CB Mac Pherson, 1989, Pemikiran Dasar Tentang Hak Milik, Alih
Bahasa C. Woekirsari dan Haryono, Jakarta, Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Emirzon, Joni, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase),
Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Larry L Teply, 1992, Legal Negotiation in A Nutshell, West
Publishing St Paul Minn.
Sumardjono, Maria SW.dkk, 2008, Mediasi Sengketa Tanah
Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR)
di Bidang Pertanahan,Cetakan Pertama, Jakarta, Kompas.
A Safitri, Myrna dan Tristam Moeliono (Penyunting), 2010,
Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, Cetakan
Pertama, KITLV-Jakarta, HuMa, Van Vollenhoven Institute.
Moeljono, dkk., “Penyelesaian Tanah Penguasaan Pemerintah
Kota Malang Yang Dikuasai Oleh Pihak Ketiga, makalah
Seminar Pertanahan, Tidak Dipublikasikan, Diselenggarakan
Dinas Perumahan Kota Malang, Hotel Grand Santika,
Malang, 13 Mei 2010.
R. Roestandi Ardiwilaga, 1982, Hukum Agraria Dalam Teori dan
Praktik, Bandung, Alumni.
Sarjita., 2005, Teknik & Strategi Penyelesaian Sengketa
Pertanahan, Cetakan Kedua Edisi Revisi, Yogyakarta, Tugu
Jogja Pustaka.
Filename: R. MOELYONO,DKK; ALTERNATIF PENYELESAIAN TANAH
PENGUASAAN PEM...
Directory:
Template:
C:\Users\user\AppData\Roaming\Microsoft\Templates\Normal.dot
m
Title:
Subject:
Author: Imam K
Keywords:
Comments:
Creation Date: 11/07/2012 7:13:00
Change Number: 9
Last Saved On: 07/09/2012 5:41:00
Last Saved By: user
Total Editing Time: 14 Minutes
Last Printed On: 07/09/2012 5:51:00
As of Last Complete Printing
Number of Pages: 23
Number of Words: 4.225 (approx.)
Number of Characters: 24.088 (approx.)