romantisisme gajah mada kajian semiotika...
TRANSCRIPT
1
ROMANTISISME GAJAH MADA:
KAJIAN SEMIOTIKA BUDAYA
YURI LOTMAN
1. LATAR BELAKANG
Gajah Mada, seorang tokoh sejarah zaman Majapahit ditampilkan dengan
ciri romantisisme yang kuat dalam novel karya Langit Kresna Hariadi ini. Novel yang
terbit tahun 2006 ini, yang bisa kita sebut baru, ternyata (tetap juga) mengedepankan
apa yang menjadi semangat pandangan para pujangga Indonesia berpuluh tahun
silam.
Sejak zaman Pujangga Baru muncul para sastrawan yang sadar-diri akan
pandangan dunia mereka, yaitu romantisisme. Paling tidak ada dua tokoh yang
mengamininya; Soewandi (1934) menyebutkan bahwa bagi para Pujangga Baru
―romantik itulah yang menjadi dasar yang dipuja mereka‖; Lalu Pane (1941) juga
mengatakan bahwa yang menjadi semangat para sastrawan Indonesia pada zamannya,
2
baik Pujangga Baru maupun Balai Pustaka, ―tidak ada bedanya dengan semangat
romantik.‖ Kutipan dari Soewandi dan Pane ini ditulis oleh Faruk dalam
disertasinya1.
Konsep romantisisme berasal dari Barat dan karena di lingkungan sastrawan
Indonesia sendiri tidak ditemukan perumusan yang menyeluruh dan filosofis
mengenainya; maka seringlah kita mendengar dan membaca pandangan ini
dikembalikan pada sumber asalnya, yaitu romantisisme Barat.
Menurut Furst, romantik, romantisisme, berasal dari kata romance yang pada
abad pertengahan di Eropa merupakan nama bahasa-bahasa rakyat yang baru yang
dipertentangkan dengan bahasa Latin sebagai bahasa kaum terpelajar (Faruk,
1994:53). Nama bahasa tersebut kemudian menurunkan kata-kata seperti
enromancier dan romancer yang berarti ‗menerjemahkan‘ atau menyusun buku-buku
dalam bahasa rakyat di atas. Di dalam bahasa Prancis kuno, misalnya, roman berarti
sebuah genre sastra istana yang sebagian besar mengandung cerita tentang cinta,
petualangan, tingkah yang aneh dari imajinasi. Di Inggris, yang menjadi tempat
meluapnya penyebaran kata tersebut, roman menunjuk pada genre sastra tertentu
yang berisi cerita mengenai para ksatria yang mengandung luapan perasaan yang
kuat, yang serba tidak mungkin, berlebihan, tidak realistis, yang dipertentangkan
dengan pandangan hidup yang rasional dan yang bersifat seadanya. Karena itu, kata
romantik seringkali digunakan dalam bentuk ungkapan seperti ―dongeng romantik
yang liar‖ yang berarti palsu, fiktif, imajiner. Pada zaman Pencerahan di abad XVII
1 Disertasi Faruk berjudul Novel-Novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka 1920-1942.
3
kata tersebut dinilai rendah, mengimplikasikan sifat bombastis, dangkal dan kekanak-
kanakan, tidak masuk akal, dan sebagainya. Pada abad XVIII kata itu mulai
mengandung konotasi nilai yang baik, yang halus dan indah, disangkutkan dengan
usaha menghidupkan imajinasi yang dipandang perlu, diasosiasikan dengan
pemandangan alam seperti gunung, hutan, tempat-tempat yang liar tetapi menarik
perhatian.
Aveling yang pernah berganti nama menjadi Haridas, sampai pada
kesimpulan berikut : ada banyak gerakan romantik, baik dari negeri ke negeri maupun
dalam masing-masing negeri (Faruk 1994:54-55). Ada norma-norma yang
menguasai, tidak semuanya terdapat pada satu masa. Norma-norma itu lahir dari
penolakan terhadap dunia sebagai mekanisme yang statis dan dari penerimaan akan
organisisme dinamis. Penerimaan ini meliputi konsep tentang kreatifnya imajinasi,
tentang alam sebagai keseluruhan yang hidup (tanpa melupakan bahwa pertumbuhan
berarti perubahan maupun kematian) dan tentang puisi terutama sebagai mite dan
lambang. Disebutkannya juga bahwa sifat dari The Romantic Syndrome adalah
terdapat di dalamnya kecenderungan yang kuat kepada kecairan, campur baur dan
kacau balau; kecenderungan kepada kelangsungan, dan suatu ketidaktentuan seperti
kepada hal kebetulan dan hal baru dengan kecenderungan kepada kedudukan yang
utama dari hukum. Juga terdapat di dalamnya sifat yang kerap muncul seperti
ditemukan oleh Furst : individualism, idealism, kepertamaan imajinasi kreatif,
penglihatan akan alam secara subjektif, pentingnya rasa dan penggunaan gambaran
simbolis.
4
Pada tahun 1924, Lovejoy meragukan kemungkinan adanya kesatuan konsep
atau gagasan dalam romantisisme. Menurutnya, romantisisme mempunyai begitu
banyak arti sehingga menjadi tidak mempunyai apa-apa. Bagi Lovejoy, di dalam
romantisisme terkandung pluralitas ruang pemikiran. Sebagai bukti ia menunjukkan
tiga pasangan konsep yang saling bertentangan dari romantisisme itu, yakni
pertentangan antara superioritas seni terhadap alam dengan superioritas alam terhadap
seni, antara primitivitas sebagai esensi dengan transendensi-diri yang terus menerus,
dan antara kegemaran pada kesederhanaan dengan kesenangan pada diversitas dan
kompleksitas (Faruk 1994:58).
Barzun mencoba mendapatkannya dengan pendekatan kontekstual.
Menurutnya, setiap kata, termasuk tentunya romantisisme, tidak pernah mengandung
hanya satu makna. Dengan menempatkannya dalam konteks klasisisme dan
pertumbuhan individualisme, olehnya, romantisisme dipahami sebagai gerakan yang
cenderung kepada diversitarianisme, bersikap toleran terhadap keanekaragaman,
seperti yang terlihat pada kegemaran penganutnya menjelajahi hal-hal yang asing.
Dan Wellek mengatakan bahwa persatuan merupakan ciri utama dari romantisisme.
Menurutnya, romantisisme mempunyai perjuangan yang besar, yakni berusaha
mengatasi keterpisahan antara subjek dan objek, diri dengan dunia, kesadaran dengan
ketidaksadaran. Di dalam proyek besar itulah gagasan romantisisme mengenai
imajinasi, simbol, dan mite, serta alam organik dimasukan. Dari kedua pendapat di
atas, konsep Lovejoy mengenai pluralitas romantisisme menjadi semakin kuat.
Wellek menemukan apa yang disebut Lovejoy sebut sebagai kegemaran pada
5
kesederhanaan, harmoni, primitivisme, sedangkan Barzun menemukan kegemaran
akan diversitas/kompleksitas, transendensi diri yang terus menerus (Faruk, 1994: 59).
Salah satu kekhasan periode Romantisisme adalah penekanannya pada alam.
Para penyair periode ini sangat mengagungkan alam dalam setiap sajak-sajaknya.
Alam beserta keindahan dan keunikannya menjadi tema yang umum dijumpai pada
sajak-sajak periode ini. Para teorikus sastra abad-abad setelahnya bahkan menyebut
bahwa puisi-puisi periode ini adalah puisi-puisi alam (nature poetry). Hal ini tentu
saja berbeda dengan karakter periode sebelumnya. Pengagungannya terhadap alam
menjadi salah satu ciri khas periode Romantik. Selain itu, konsep tentang nature juga
dipahami secara luas dan terbuka oleh para penyair romantik pada masa itu,
khususnya mereka yang tinggal di kawasan perkotaan. Jika nature bagi para penyair
romantik dari pedesaan adalah alam dalam arti lingkungan alam yang masih alami,
maka nature bagi para penyair romantik di perkotaan adalah sifat alamiah manusia
(human nature) yang menghendaki kebebasan. Oleh karenanya, besar kemungkinan
semangat awal Revolusi Prancis sangat berpengaruh bagi para penyair romantik masa
lalu.
Bicara tentang masa lalu maka kita akan bicara tentang sejarah. Sastra dan
sejarah memiliki hubungan timbal balik. Suatu karya sastra dapat menjadikan
peristiwa sejarah sebagai objeknya dan sebaliknya, bahkan karya sastra dapat menjadi
sumber penulisan sejarah (Margana, 2003:143). Novel Gajah Mada karya Langit
Kresna Hariadi dapat penulis sebut sebagai salah satu dari genre yang disebut novel
6
sejarah, karena mendudukan peristiwa sejarah sebagai sumber penulisan karyanya,
dalam hal ini tokoh sejarah.
Gajah Mada (untuk selanjutnya akan disingkat GM, tetapi untuk penyebutan
nama akan tetap ditulis lengkap) merupakan novel yang ditulis oleh seorang bapak
separuh baya bernama Langit Kresna Hariadi yang sekarang tinggal di Jaten
Karanganyar bersama keluarganya. Secara singkat novel ini menceritakan kondisi
Majapahit pada saat pemberontakan para rakrian yang dipimpin oleh Ra Kuti. Sedikit
informasi tentang penulis novel GM, Langit Kresna Hariadi, dulunya beliau
merupakan seorang penyampai gagasan, mulai dari MC, penyiar radio, dan drama
radio. Pengakuannya bermula dari sekedar iseng, tulisan dramanya (melalui sebuah
radio swasta di Solo ada sekitar 40-an judul karyanya yang tak terdokumentasi)
beberapa kali menyabet gelar se-Jawa Tengah. Mantan wartawan harian umum ABRI
ini juga berkreasi di jalur cerita silat. Kekagumannya pada penulis cerita silat
legendaris dari Yogya SH Mintardja, mengilhaminya menulis Beliung dari Timur
yang dimuat bersambung di harium umum ABRI. Tak tertampung, karena Koran
milik TNI itu gulung tikar diterjang reformasi, maka Beliung dari Timur mencuri
minat harian SOLOPOS Surakarta dan mengunjungi pembaca tiap pagi melalui
harian itu dan berlanjut ke sekuel Sang Ardhanareswari. Karyanya yang lainnya:
Balada Gimpul, Kiamat Para Dukun, Libby, Libby 2, De Castaz, Melibas Sekat
Pembatas, Serong, Eksplorasi Imajinasi, Antologi Manusia Laminating, dan Alivia.
Secara singkat akan diceritakan tentang tokoh utama dalam obyek material
penelitian ini dalam pendahuluan ini. Siapa yang tak kenal Gajah Mada? Namanya
7
melegenda karena berita yang sampai kepada kita bahwa prestasi besarnya yang
membentuk ‗negara nasional‘ yang lebih besar dari Republik Indonesia sekarang,
pemimpin yang dimaksud adalah Patih Mangkubumi Majapahit Gajah Mada.
Manifesto politiknya yang terkenal dengan Sumpah Palapa menggema berabad-abad,
serta memberi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya hingga sekarang.
Diperkirakan Gajah Mada lahir pada permulaan abad ke-14, dekat Sungai Brantas,
antara Gunung Kawi dan Gunung Arjuna. Orang Bali mengultuskannya,
mempercayainya sebagai putra Bali yang tidak berayah tidak beribu (Tandes,
2007:4).
Pengabdian Gajah Mada pada Negara dimulai pada masa pemerintahan
Jayanegara (1309-1328). Sejak berpangkal bekel ia sudah mengagumkan. Prestasi
gemilangnya adalah keberhasilannya dalam menyelamatkan pemerintahan dari kudeta
Ra Kuti dan teman-temannya. Atas prestasinya ini, ia kemudian dipromosikan
menjadi patih di Kahuripan. Kariernya terus menanjak seiring dengan meningkatnya
prestasi dan kompetensinya. Lalu pada suatu ketika Gajah Mada menggantikan Arya
Tadah sebagai Mapatih Majapahit.
Gajah Mada merupakan tokoh yang demikian terkenal. Banyak karya sastra
legendaris yang mengambil Gajah Mada sebagai tokoh utamanya. Urutan yang
diperkirakan secara kronologis (hanya Nâgarakrtâgama saja yang diketahui dengan
pasti siapa pengarangnya, Prapanca, dan kapan dikarangnya – abad ke-14, lainnya
hanya berupa perkiraan saja; seperti Pararaton, Kidung Sunda, Hikayat Banjar, dan
Hikayat Hang Tuah). Gambaran citra Gajah Mada dalam kelima sastra daerah itu
8
menunjukkan banyak persamaan, yaitu Gajah Mada sebagai mahapatih yang sangat
peka tanggap terhadap kewibawaan raja. Namun penggambaran citra ada juga yang
bertolak belakang. Hal ini tergantung dari pandangan, kepentingan serta motivasi
pengarang dalam menuliskan karya sastranya (Sardjono, 1984: 11).
Muhammad Yamin pada tahun 1974 menulis buku yang semata
membicarakan tokoh ini. Yamin mengemukakan bahwa Gajah Mada, menurut
kepercayaan orang Bali, seperti tertulis dalam kitab Usana Jawa, ia dilahirkan di
pulau Bali Agung, dan pada suatu ketika berpindah ke Majapahit. Menurut cerita Bali
itu, ia tidak mempunyai ibu dan bapa, melainkan terpencar dari dalam buah kelapa,
sebagai penjelmaan Sang Hiang Narayana ke atas dunia (1974: 13). Jika perkiraan
kelahiran Gajah Mada itu benar, maka Gajah Mada berasal dari tanah dewata itu,
Bali, sama seperti Prabu Airlangga.
9
(Terakota Gajah Mada yang diyakini sebagai versi M. Yamin)
(Gajah Mada versi Majapahit Mock-upers untuk Rekonstuksi ―Kota Majapahit))
10
(Gajah Mada di Makaripura)
Dalam tulisan Yamin ada narasi yang menyebutkan bahwa di sekeliling kota
Malang-Singasari sejak dahulu banyak didapati tanda-tanda memperingati nama
Gajah Mada. Ada sangkaan bahwa Gajah Mada kelahiran sungai Berantas, dilahirkan
kira-kira tahun 1300 (1974: 14). Diceritakan bahwa Gajah Mada dibesarkan sebagai
anak desa yang bersatu dengan kemelaratan sehari-hari dengan alam yang kaya-raya.
Saat Gajah Mada menjelang menjadi pemuda, serentak dengan naiknya suatu
11
kerajaan baru. Dari orang-orang yang lebih tua darinya, ia mendengar bahwa kerajaan
Singasari sudah runtuh. Kekuasaan Jayakatwang di tanah Kediri sudah runtuh, lalu
muncullah deru isu akan berdiri sebuah kerajaan yang berasal dari keringat rakyat.
Pada saat itulah Gajah Mada merasa ada panggilan untuk mengabdi pada kerajaan
baru tersebut. Jiwa dan raganya, waktu dan seluruh tenaganya diserahkan untuk
negara yang baru tersebut.
Bahasan tentang Gajah Mada menurut versi Yamin memang menarik. Di
dalamnya juga ditulis bahwa Gajah Mada memiliki nama lain, yaitu Empu Mada,
Jaya Mada atau Dwirada Mada, menurut agama namanya: Lembu Muksa, sebagai
penjelmaan Mahadewa Wisnu. Gajah Mada artinya gajah yang galak tangkas, penuh
dengan kegiatan pada ketika sedang mundam berahi, sedang nama kecilnya tidak
dikenal (1974: 14).
Ada seorang lagi yang serius menggarap tokoh ini, yakni Agus Aris
Munandar. Menurut Munandar, uraian kehidupan Gajah Mada kental dibalut mitos
(Munandar, 2010: 2) dan legitimasi (2010: 5). Layaknya kehidupan Ken Angrok.
Dikemukakan sebuah catatan yang berbeda dengan karya sebelum-sebelumnya oleh
Munandar, yaitu Babad Gajah Mada. Karya tersebut agaknya digubah dalam upaya
menjelaskan asal-usul Gajah Mada yang memang tidak diuraikan dalam sumber yang
sezaman seperti Nāgarakştâgama dan Pararaton.
Munandar meringkas Babad Gajah Mada (mengutip Slamet Muljana)
sebagai berikut:
12
Adalah seorang pendeta muda yang bernama Mpu Sura Dharma
Yogi, murid dari Mpu Raga Gunting yang berjuluk juga Mpu Sura Dharma
Wiyasa. Mereka tinggal di pertapaan Lembah Tulis, sebelah selatan
Majapahit. Mpu Sura Dharma Yogi mempunyai isteri bernama Patni Nari
Ratih, istri yang diberikan oleh gurunya. Sura Dharma Yogi membuat
huma di lembah gunung sebelah selatan Lembah Tulis, sementara istrinya
tetap berada di dalam pertamanan. Hanya sesekali Patni Ratih datang
menengok suaminya di pedukuhan huma yang baru dibukanya. Dewa
Brahma jatuh cinta kepada Patni Nari Ratih, karena perempuan itu sangat
cantik. Pada suatu ketika Nari Ratih diperkosa oleh Dewa Brahma di
gubuk di ladang yang sepi. Waktu itu, suaminya sedang mengambil
mengambil air di mata air yang cukup jauh dari humanya.
Peristiwa itu diadukan kepada suaminya, lalu mereka pergi
meninggalkan wilayah tersebut mengembara hingga berbulan-bulan
lamanya. Ketika bayi dalam kandungan Patni Nari Ratih sudah waktunya
lahir, mereka sudah sampai di Desa Mada yang terletak di kaki gunung
Semeru. Lahirlah sang bayi laki-laki, dengan diiringi oleh peristiwa-
peristiwa alam sebagai tanda kebesaran lahirnya seorang calon tokoh
penting. Bayi itu diasuh oleh kepala Desa Mada, sedangkan kedua
orangtuanya bertapa di puncak Gunung Plambang memohon keselamatan
dan kejayaan bagi si bayi. Dewata mengabulkan permohonan permohonan
tersebut, dengan mengatakan kelak si bayi akan menjadi orang besar yang
dikenal di seluruh nusantara.
Waktu pun berlalu. Datanglah Mahapatih Majapahit ke Desa Mada
dan mengajak anak angkat kepala desa yang sekarang telah menjadi
pemuda dan bernama Mada ke Majapahit kemudian menikahkan Mada
dengan putrinya bernama Ken Bebed. Sang mahapatih kemudian
menyokong Mada untuk menggantikan kedudukannya sebagai Mahapatih
Amangkubumi Majapahit. Mahapatih Amangkubumi Mada lalu berhasil
mengembangkan kekuasaan Majapahit. Banyak raja di luar Pulau Jawa
mengaku tunduk kepada Raja Majapahit. (Munandar, 2010: 3)
Dalam babad di atas jelas terlihat ada mitos dan legitimasi tentang sosok
Gajah Mada, seperti cerita-cerita lain yang serupa. Ada peran kekuatan supranatural,
yaitu ada tokoh Dewa Brahma. Kisah di atas mirip dengan kelahiran Ken Angrok
yang disebut-sebut sebagai anak Dewa Brahma juga. Cerita lainnya bisa kita
bandingkan dengan Babad Dalěm dari Bali. Kitab yang memaparkan bahwa ada
bidadari yang berasal dari Śwarloka bercengkerama dengan Úrî Krěsna Wangbang
13
Kapakisan, keduanya bertemu di tamansari Majapahit, jatuh cinta, menikah, lalu
setelah melahirkan keempat putra, bidadari itu pulang ke asalnya. Sepertinya uraian
tentang adanya hubungan dunia dengan supernatural hendak mengungkapkan bahwa
seorang tokoh tersebut begitu luar biasa.
(Dewa Brahma)
GM menurut pembacaan peneliti memenuhi syarat-syarat yang disebut
sebagai sebuah karya romantik; dan sebagai sebuah karya seni yang berangkat dari
peristiwa sejarah, GM ini, menurut cara berpikir Lotman merupakan sebuah karya
yang mereproduksi informasi sebelumnya; dan kemudian menjadikannya model
kehidupan, menampilkan ekspresi pengarang yang sesuai pada zaman latar ceritanya,
yang inderawi dan perseptual. Demikian mekanisme sederhana yang mengantar saya
14
untuk mengerjakan penelitian sederhana ini untuk bisa menggarap novel Gajah
Mada secara khusus dengan menggunakan sudut pandang romantisisme dan
semiotika.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, sesuai dengan teori yang dipakai, maka
dengan sederhana peneliti susun ada tiga rumusan masalah yang akan dijawab dalam
tesis ini.
Pertama, novel Gajah Mada sebagai a message, a model;
Kedua, Gajah Mada sebagai produk estetika.
Ketiga, Gajah Mada dan pembacaan semiotiknya.
Ketiga rumusan ini mengambil judul yang relevan dengan kerangka berpikir
Lotman. Teori yang membingkai secara khusus penelitian ini.
3. TUJUAN PENELITIAN
Secara teoretis, penelitian ini bertujuan untuk menerapkan teori semiotika
Lotman terhadap novel Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi. Menurut Lotman,
tujuan utama penelitian secara semiotik adalah menemukan jagat pikiran yang
dimodelkan oleh karya seni. Di samping itu, penelitian ini bertujuan memberikan satu
15
pilihan dari berbagai opsi pemikiran bagi penerapan teori semiotika budaya dalam
novel Gajah Mada.
Secara praktis penelitian ini bertujuan memberikan alternatif pemahaman
novel Gajah Mada secara semiotic, memberi satu pilihan pengertian dan wawasan
pembaca mengenai karya ini agar lebih beragam. Hal ini berhubungan juga dengan
semakin maraknya novel-novel sejarah bermunculan setelah keberadaan novel yang
menjadi best seller ini. Pemahaman ini nantinya diharapkan akan merangsang dan
meningkatkan apresiasi terhadap novel-novel sejarah lainnya.
4. TINJAUAN PUSTAKA
Sejauh ini penelitian terhadap novel Gajah Mada, untuk selanjutnya
disingkat GM, karya Langit Kresna Hariadi ini paling tidak dapat kita temui di
Universitas Gadjah Mada dan Universitas Sebelas Maret. Di Universitas Gajah Mada,
Saeful Anwar menggarap Pentalogi Gajah Mada ini dengan judul Politik Kekuasaan
Gajah Mada dalam Novel-Novel Indonesia (2010) dan Enung Nurhayati yang
memakai Perang Bubat yang merupakan satu dari rangkaian pentalogi ini dalam
tesisnya yang berjudul Konflik Sosial Dalm Perang Bubat Versi Langit Kresna
Hariadi dan Aan Merdeka Permana: Kajian Sosiologi Sastra. Lalu yang di
Universitas Sebelas Maret, Atik Fauziah menggarap novel Gajah Mada serialnya
yang pertama dan kedua yakni Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan
16
Angkara dengan judul skripsi Kajian Intertekstualitas Novel Gajah Mada karya
Langit Kresna Hariadi terhadap Kakawin Gajah Mada Gubahan Ida Cokorda
Ngurah (2007).
(Novel Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi)
17
(Novel yang digarap dalam penelitian; Gajah Mada;
Novel pertama dalam pentalogi Gajah Mada)
Enung Nurhayati dalam tesisnya menggarisbawahi masalah utama
penelitiannya adalah konflik sosial dalam perang Bubat dari dua versi penulis, yaitu
Langit Kresna Hariadi dan Aan Merdeka Permana. Rumusan masalahnya, yaitu (1)
konteks sosio-kultural penciptaan novel Gajah Mada Perang Bubat dan Perang
Bubat, (2) novel Gajah Mada Perang Bubat dan Perang Bubat sebagai produk sosial
budaya, dan sebagai produk imajinasi, (3) konflik sosial dalam Perang Bubat.
Penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu metode pengumpulan data melalui
metode penelitian kepustakaan dan metode analisis data yang merupakan penerapan
dan teori sosiologi sastra dengan dibantu sastra banding sebagai metode banding, dan
dengan memanfaatkan konsep pemaknaan untuk memaknai (Nurhayati, 2011: xvii).
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, pertama, penciptaan kedua novel ini
berdasarkan perbedaan latar sosio-kultur pengarang dan sosio-kultur masyarakat
tempat penciptaan novel telah menghasilkan novel dengan teks konflik sosial yang
berbeda dalam Perang Bubat. Kedua, hasil analisis perbandingan konflik sosial dalam
Perang Bubat antara novel Gajah Mada Perang Bubat dengan novel Perang Bubat,
ditemukan empat peristiwa konflik social yang sama sebagai pemicu terjadinya
Perang Bubat, yaitu konflik percintaan; konflik Amukti Palapadi kalangan kerajaan
majapahit; konflik pernikahan Sekar Kedaton; dan puncak konflik antara Kerajaan
Majapahit dengan Kerajaan Sunda. Adapun peristiwa konflik sosial yang berbeda
hanya ditemukan pada konflik pertanggungjawaban terjadinya Perang Bubat yang
18
terjadi dalam novel Perang Bubat. Selanjutnya, dalam dinamika konflik sosial Perang
Bubat pada masing-masing versi novel, sampai pada tahap krisis mempunyai
persamaan. Perbedaan dinamika konflik terjadi pada tahap akibat konflik dan
pascakonflik. Demikian pula sumber-sumber penyebab dan strategi penyelesaian
konflik social dalam Perang Bubat yang digunakan oleh masing-masing versi terdapat
persamaan dan perbedaan. Ketiga, berdasarkan perbandingan tersebut maka
ditemukan makna konflik sosial yang berbeda dari masing-masing versi novelnya,
novel Gajah Mada Perang Bubat dan novel Perang Bubat.
Jika tinjauan pustaka dari teori, semiotika Lotman pernah sedikit dibicarakan
Faruk, H.T. dalam tesisnya yang dibukukan dengan judul Hilangnya Pesona Dunia:
Siti Nurbaya, Budaya Minang, Struktur Sosial Kolonial (1999). Faruk menyinggung
tentang penerapan medan semantik, oposisi biner, hubungan penanda dan makna
pada novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli ini. Kemudian pada disertasinya, Faruk
juga membicarakan sedikit perihal teori Lotman juga romantisisme lebih mendalam
yang dibukukan dengan judul Novel-Novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka 1920-
1942 (2002). Faruk menyimpulkan bahwa novel-novel Indonesia tradisi Balai
Pustaka dalam periode 1920-1942 merupakan kelanjutan tradisi yang lebih besar,
yaitu tradisi romantik Barat yang masuk ke Indonesia, baik melalui lembaga-lembaga
pendidikan maupun media massa. Oleh karena itu, di dalamnya ditemukan satuan-
satuan sintaktik atau kontinum material nonsistemik yang serupa dengan yang
terdapat dalam tradisi yang lebih besar tersebut, seperti oposisi biner antara
19
akhirat/surga dengan dunia, desa dengan kota, alam dengan kebudayaan/manusia,
malam dengan siang, dan sebagainya.
Contoh yang sangat jelas terhadap aplikasi semiotika Lotman adalah analisis
yang dilakukan oleh H.M.J. Maier terhadap cerpen Sunat karya Pramudya Ananta
Toer dengan judul Failure of a Hero, An Analysis of Pramudya Ananta Tur’s Story
(1982). Dalam analisis ini, Maier menekankan adanya pertentangan (oposisi biner)
yang membingkai struktur konseptual cerpen Sunat, yang direalisasikan lewat tokoh
‗aku‘. Oposisi itu berupa pertentangan antara inner yakni budaya Jawa, rumah, ibu,
dan outer yaitu Islam, dunia luar, ayah. Sunat merupakan inisiasi bagi ‗Aku‘ tidak
saja dari dunia anak-anak ke dunia dewasa, tetapi dari dunia ―Jawa‖, dari rumah yang
aman kepada dunia Islam, dunia laki-laki, dunia baru yang chaos. Keinginan ―Aku‖
untuk menjadi Jawa sejati sekaligus Islam Sejati setelah Sunat ternyata
membangkitkan pertanyaan-pertanyaan tentang esensi hidup.
Contoh tesis yang menggunakan teori ini juga ditemukan di Universitas
Gadjah Mada yaitu karya Trisna Gumilar, dengan judul Krisis Manusia Modern
Dalam Drama Visnioviy Sad Karya AP Chekhov Kajian Semiotika Yuri Lotman.
Tesis ini dikemukakan bertujuan untuk mendeskripsikan relasi tanda-tanda
modernitas di Rusia pada abad XIX, yang dimodelkan oleh drama VS. Teori ini
menegaskan bahwa karya sastra adalah sistem pemodelan sekunder (secondary
modeling system) yang bertumpu pada model bahasa. Karya sastra, yang berada
dalam sistem semiotik suatu budaya, merupakan rangkaian ikonisitas pada domain
isi, sekaligus teks individual yang mempunyai keunikan sendiri. Relasi antara
20
keduanya menghasilkan nilai-nilai dari mulai pengenalan hingga pesan asosiasi-
asosiasi ekstra-tekstual, yang meliputi hal yang paling umum hingga paling personal.
Dengan menggunakan teori semiotika kebudayaan Yuri Lotman, hasil penelitian yang
diperoleh adalah (1) modernitas adalah teks semiosphere dalam kebudayaan realism
klasik Rusia, (2) VS merupakan teks peripheral, karena tidak ikut mempertentangkan
modernitas melainkan menerimanya sebagai sebuah keharusan, (3) VS lebih berfokus
pada persoalan atau krisis manusia modern yang ditandai dengan (a) parasitisme dan
philistinisme, (b) banalitas dan individualitas, (c) materialisme dan pragmatism.
5. LANDASAN TEORI
Dalam bukunya Universe of The Mind (1990), Lotman berusaha membangun
sebuah teori yang komprehensif tentang semiotika budaya. Yang dimaksud landasan
teori dalam tulisan ini adalah kerangka sistematis teori-teori sastra yang mendukung
penelitian ini.
5.1 Secondary modelling system
Yuri Lotman (1977:9; Noth, 1990:309) memandang seni (sastra) sebagai
secondary modeling system dan dibangun di atas model bahasa (secondary modelling
system, like all semiotic system, are constructed on model of language). Bagi Lotman,
sastra merupakan bahasa tersendiri sebagaimana bahasa kimia, fisika, atau
21
matematika, akan tetapi karena sastra tersebut menggunakan bahasa yang dipakai
sehari-hari pada suatu lokasi, maka ia akan menjadi model kehidupan dalam tataran
aktivitas semiotiknya. Seni pada dasarnya adalah usaha menghadirkan apa dunia
pengalaman, apa yang partikular, konkrit. Ia terikat pada yang inderawi, yang
perseptual. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila produk-produk seni tari,
seni drama, seni lukis, maupun seni patung amatlah dekat dengan objek-objek
konkret yang ada dalam dunia pengalaman. Semuanya cenderung mimetik dan
ikonik, dalam arti mempunyai kedekatan dan hubungan persamaan dengan objek-
objek dari dunia pengalaman itu (Faruk, 2000:179). Berdasarkan hal tersebut, GM
dapat dikatakan berusaha menghadirkan zaman Majapahit, melalui objek-objek yang
masih ada hingga kini; yang terikat pada apa yang ditangkap oleh inderawi penulis
novelnya dan bersifat konseptual. Hal ini didukung pula oleh pernyataan bahwa karya
sastra adalah refleksi masyarakat dan dapat menjadi cermin realitas tempat karya
tersebut dilahirkan (Hardjana, 1991:11), karena karya sastra tidak lahir dari
kekosongan budaya, ia lahir sebagai respon kondisi sosial budayanya (Teeuw,
1980:11; Pradopo, 1995:155) oleh penulis karyanya.
Menurut Lotman (1990:16), in the history of art this is especially common,
since every innovatory work of art is sui genaris a work in a language that is
unknowon to the audience and which has to be reconstructed and mastered by its
addressees, di dalam sejarah seni telah diketahui secara umum, bahwa setiap karya
seni terobosan merupakan hal yang unik dan berharga dalam bahasa yang dikenal
oleh audiensinya dan harus direkonstruksi dan direka ulang oleh (apa yang
22
diistilahkan oleh Lotman sebagai) addressee-nya, penulisnya. Karena semiotik
bekerja atas tanda-tanda, upaya familiarisasi dianggap dapat membantu memahami
GM sebagai sebuah mekanisme semiotik. Tugas utama penelitian semiotik adalah to
find a series of thinking object, compare them, and to deduce the invariant feature of
intelligence (1990:2); untuk menemukan rangkaian-rangkaian pemikiran tentang
obyej, membandingkan di antaranya, dan kemudian menarik kesimpulan variasi-
variasi yang ada. Lotman tidak menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan
intelegensia, tetapi kemudian mereduksinya ke dalam fungsi-fungsi berikut:
1. the transmission of available information (that is, of text): transmisi dari
informasi yang dikehendaki);
2. the creation of new information, that is, of texts which are not simply
deducible according to set algorithms from already existing
information, but which are to some degree unpredictable : kreasi
informasi baru, yakni kreasi makna teks;
3. memory, that is, the capacity to preserve and reproduce information
(texts); memori, yaitu kapasitas untuk menyimpan dan mereproduksi
informasi.
Semiotik adalah sebuah disiplin yang menginvestigasi seluruh bentuk
komunikasi sejauh terjadi akibat tanda, dan didasarkan pada sistem tanda (kode)
(Sebeok, 1984: 14). Tanda merupakan kombinasi konsep (petanda) dan bentuk (yang
tertulis atau diucapkan) atau penanda (Saussure, 1988: 147). Karya sastra memiliki
sistem ketandaan yang menjadi seperangkat prosedur penafsiran bagi pembacanya,
23
bahasa adalah medium karya sastra yang sistem (dan struktur) tandanya menjadi kode
dasar penafsiran teks sastra. Karya sastra sebagai teks yang sudah dibakukan dalam
bentuk tulisan, menyediakan ciri-ciri pembeda dengan teks-teks lainnya, yang bagi
pembaca, merupakan prosedur penafsiran sastrawi. Prosedur penafsiran tersebut
adalah seperangkat kode, konvensi, dan pengetahuan sastra yang membentuk struktur
imanen teks sastra (Teeuw, 2003: 51-52).
Bagi Lotman, sastra adalah secondary modelling system. Penggunaan frase
tersebut berarti menggunakan lebih dari sekedar bahasa natural, yang menrupakan
primary modelling system, sebagai material atau medium, melainkan menjadikan
bahasa natural (dalam penelitian ini contohnya bahasa Indonesia) sebagai modal
untuk membahasakan atau memodelkan sebuah jagat (universe). Sastra menjadikan
bahasa natural sebagai bahasa yang baru. Bahasa yang baru ini menempati posisi
secondary. Menurut Lotman (1977:14) bahasa tidak hanya merupakan sistem
komunikasi, tetapi juga sebuah sistem pemodelan (modelling system), atau lebih dari
itu, kedua fungsinya dihubungkan tanpa terpisah. Dengan menjadikan sastra sebagai
model kehidupan (Eco dalam Lotman, 1990: x), maka Lotman meletakkan semiotika
ini sebagai semiotika kebudayaan. Model adalah sebuah objek yang diterima yang
menggantikan objek yang sesungguhnya dalam proses persepsi.
Pada level secondary, otomatisasi menjadi runtuh: sistem yang seharusnya
membentuk teks menjadi kesatuan yang koheren dan signifikan tidak diketahui lagi
ketika pembaca mulai membaca. Hal tersebut, sesungguhnya sudah disinggung oleh
kaum formalis. Penyimpangan, penyalahan dan penciptaan tanda serta relasi
24
antartanda dalam karya sastra menciptakan makna yang tidak otomatis lagi seperti
bahasa sehari-hari. Victor Shklovsky, dalam Art id Technic menyebutnya dengan
defamiliarisasi (Selden, 1996:5). Ada tanda-tanda yang tidak umum diketahui oleh
awam, yang membutuhkan beberapa wawasan tertentu untuk memecahkan beberapa
masalah.
5.2 A Message, A Model
Lotman dengan perspektifnya yang disebut semiotika kebudayaan
menawarkan kepada kita sebuah pemahaman sebuah karya novel sebagai sebuah
model budaya yang mendekati keutuhan. Semiotika kebudayaan memiliki tugas
menemukan sebuah rangkaian objek-objek pemikiran, membandingkan, dan
mendeduksi kandungan-kandungan invarian intelegensi di dalam karya sastra
(Gumilar, 2009: 171). Oleh karena itu, tanda-tanda yang merangkai struktur dicurigai
bukanlah hanya sebagai referensi bahasa saja, tetapi mesti juga dipandang dalam
nuansa makna yang lebih luas dan lebih kompleks.
Sebagai sebuah bahasa, sastra juga memiliki fungsi utama, yaitu alat untuk
berkomunikasi. Lotman (1977:15) menunjukkan bahwa di dalam karya sastra (art)
tersirat : (1) sebuah pesan (message), yang dipancarkan kepada pembaca; (2) sebuah
bahasa, yakni sistem abstrak, yang umum bagi pengirim dan penerima, yang
memungkinkan tindak komunikasi terjadi. Selanjutnya, Lotman (1990:63)
berpendapat a text and its readership are in a relationship of mutual activation: a text
strives to make its readers conform to itself, to force on them its own system of codes,
25
and the readers respond in the same way. The text as it were contains an images of its
‘own’ text bahwa sebuah teks, dalam hal ini sastra dan pembacaannya berada dalam
aktivasi mutual, masing-masing saling menghidupkan ―switching the other on‖,
masing-masing berusaha menerjemahkan yang lain ke dalam bahasanya sendiri: teks
berusaha memasukkan sistem kode-kode yang terhubung dengan obyeknya,
obyeknya dipaksa untuk terbuka memamerkan apa saja yang bisa tergarap oleh teks
dan para pembaca merespon dengan cara yang sesuai. Gumilar menegaskan bahwa
sistem kode para interpreter ini selalu asimetris terhadap rigiditas (kekakuan) sistem
kode teks; selalu ada kelonggaran yang menghasilkan sebuah surplus of meaning
‗makna tambah‘ (dalam istilah Ricoeur). Interaksi teks pembaca sesungguhnya
mensyaratkan sebuah situasi pengertian dalam sebuah situasi ketidakpedulian;
anything could be changed (Lotman, 1990:79), segalanya bisa berubah, sehingga
kemungkinan pergeseran teks dan makna akan menyebabkn proses (saling) pengaruh
mempengaruhi antara kedua situasi lalu menumbuhkan informasi yang nyaris baru.
Dengan menyebut adanya aktivasi mutual, maka Lotman mengisyaratkan
adanya proses resepsi sebagaimana dimaksud Iser. Kajian respon estetik yang
dikemukakan Iser berpusat pada pertanyaan mendasar menyangkut proses pemaknaan
teks yang dihasilkan melalui hubungan teks dengan pembacanya. Iser (1987: x)
mempertanyakan: bagaimana dan dalam kondisi apa sehingga sebuah teks bermakna
bagi pembacanya. Pertanyaan mendasar tersebut setidaknya mengimplikasikan dua
hal penting menyangkut (1) cara atau tindakan pembacaan dan (2) interaksi antara
teks dan pembaca yang diwujudkan melalui potensi pembacaan.
26
Akan tetapi berbeda dengan Iser yang lebih mengedepankan proses
pembacaan dan resepsi estetik, Lotman lebih menekankan pada resepsi pesan pada
domain isi (content). Dalam menjelaskan keadaan asimetris fungsi yang mencirikan
seluruh aspek teks dan fungsinya dalam komunikasi, Lotman mengusulkan bahwa
komunikasi secara umum berlangsung pada dua saluran. Yang pertama menyangkut
sebuah transmisi informasi linier yang memiliki ciri-ciri khusus (discrete); saluran
yang kedua (otokomunikasi) menyangkut sebuah peninjauan ulang sebuah informasi
yang global dan ikonik, yang menjadi informasi baru pada organisasi formal yang
lebih ditandai (disebut karya sastra) (Lotman 1990: 21-22; 36). Teks-teks sastra
menurut Lotman, adalah sejenis pendulum (1990:33) yang berayun di antara dua
sistem komunikasi ini.
Dari tesis tentang dua saluran informasi inilah, Lotman membuat pijakan
tentang budaya dan kultur. Budaya, sebagaimana ditulis Lotman (1990:33), dapat
diperlakukan sebagai satu pesan yang ditransmisikan oleh ‗aku‘, bisa personal, bisa
kolektif. Dari sudut pandang ini, kultur manusia merupakan contoh yang luas dari
otokomunikasi. Yang merupakan tinjauan berulang-ulang dari generasi ke generasi
yang terus berlanjut, bertahan sama atau terjadi pergeseran, merupakan hasil
komunikasi manusia-manusia pada satu masa tertentu tersebut.
5.3 Semiosphere
Budaya adalah teks yang sangat luas, dan teks dapat dimengerti sebagai
rangkaian tanda-tanda. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme semiotik paling
27
sederhana, tetapi dapat mencakup keseluruhan teks tersebut (budaya), seluruh bahasa,
seluruh sistem semiotik, yang selalu berada dalam proses perubahan yang konstan
dan pada sebuah level yang mengandung kualitas-kualitas yang menyatu. Mekanisme
tersebut dinamakan semiosphere, yaitu unit semiosis yang merupakan mekanisme
fungsional yang paling kecil, bukanlah sesuatu yang terisolasi, melainkan seluruh
ruang semiosis budaya yang (selalu) dipertanyakan. Berharap untuk selalu
dipertanyakan, supaya komunikasi terus terakomodasi sesuai dengan zamannya untuk
kelanjutan kehidupan. Inilah sistem semiotik Lotman, sebuah ruang yang dinamakan
semiosphere; the unit of semiosis, the smallest functioning mechanism, is not the
separated language but the whole semiotic space of the culture in question. This is
the space we term the semiosphere. The semiosphere is the result and the condition
for the development of culture; we justify our term by analogy with the biosphere, as
Vernadsky2 defined it, namely the totality and the organic whole of living matter and
also the condition for the continuation of life (Lotman 1990: 125). Semiosphere inilah
yang merupakan hasil dan kondisi dari perkembangan-pembangunan-pertumbuhan
budaya, lalu semiosphere inilah yang kemudian menjadi arsitektur semiotika budaya
Lotman.
Sistem semiotik adalah model yang menjelaskan dunia di mana kita hidup
(jelas, dalam menjelaskan dunia, mereka juga membangun warna-warni sistem dan
model). Di antara semua sistem dan model ini, bahasa adalah pemodelan sistem
2 All life-cluster are intimately bound to each other. One cannot exist without the other. This
connection between different living films and clusters, and their invariancy, is an age-old feature of the
mechanism of the earth‘s crust, which has existed all through geological time (Lotman, 1990: 125).
28
primer dan kita memahami dunia melalui model yang menawarkan bahasa. Sebut saja
mitos, aturan budaya, agama, bahasa seni dan ilmu pengetahuan, deretan ini ada
dalam sistem pemodelan sekunder. Karena itu kita harus juga mempelajari sistem
semiotik yang, karena mereka membawa kita untuk memahami dunia dengan cara
tertentu, memungkinkan kita untuk berbicara tentang hal itu.
Jika teks merupakan model dunia, serangkaian teks yang merupakan budaya
dari periode adalah sistem pemodelan sekunder. Dengan demikian perlu untuk
mencoba untuk menentukan tipologi budaya, dalam rangka baik untuk menemukan
aspek universal umum untuk semua budaya atau untuk mengidentifikasi sistem
tertentu yang mewakili 'bahasa' budaya dalam rentang waktu tertentu, misalnya
zaman kerajaan tertentu, atau jangka waktu yang ditentukan lainnya.
Ketika budaya dianalisis sebagai kode atau sistem (seperti yang juga terjadi
dengan bahasa natural), proses penggunaannya akan lebih kaya dan kurang dapat
diprediksi, sehingga perlu model semiotik yang akan menjelaskan mereka.
Merekonstruksi kode budaya tidak berarti menjelaskan semua fenomena budaya itu,
melainkan memungkinkan kita untuk memilih lalu kemudian menjelaskan mengapa
ada budaya yang telah menghasilkan fenomena-fenomena tersebut (Lotman, 1990: x).
Yang paling kecil, dalam konteks ini, berarti sebuah satuan yang
mengimplikasikan keseluruhan organisasi yang tentu saja merangkum unit-unit yang
lebih kecil yang saling berhubungan atau teks-teks lain. Dalam hal ini, prinsip-prinsip
struktural, yakni relasi, menjadi sangat penting. Oleh karena itu, Lotman berprinsip
bahwa teks (ide) dan simbol merupakan hal pokok dalam penelitian sastra modern.
29
Yang dimaksud dengan kata modern di sini, adalah hal yang merujuk kepada nuansa
waktu kekinian atau mutakhir, bukan pada aliran tertentu. Dengan kata lain, teks
merupakan hal pokok dalam penelitian-penelitian karya sastra baik sastra lama, sastra
klasik, sastra kontemporer, bahkan sastra postmodern (1990: 47).
Teks dimengerti sebagai sebuah mekanisme yang mengangkat sebuah sistem
ruang-ruang semiotik yang heterogen yang di dalamnya pesan-pesan awal, lalu
kemudian disirkulasikan. Dengan kata lain, sesuai dengan medium yang diciptakan
Lotman, teks semiosphere adalah sebuah fenomena kebudayaan yang menonjol
dalam sebuah rentang waktu tertentu atau dalam sebuah kebudayaan. Eco (dalam
Lotman 1990: x) mengatakan semiotic system are models which explain the world in
which we live (point 4), all at once, reconstructioning the code of a culture does not
mean explaining all the phenomena of that culture, but rather allows us to explain
why that culture has produced those phenomena; bahwa rekonstruksi kode suatu
kebudayaan bukan berarti menerangkan semua fenomena kebudayaan tersebut, tetapi
lebih pada hal-hal yang membimbing pembaca untuk menjelaskan mengapa
kebudayaan tersebut memproduksi fenomena-fenomena tersebut. Ada hal-hal yang
beberapa kali diproduksi, yang kemudian fenomena tersebut menjadi demikian
melekat dalam sebuah kebudayaan.
Kepentingan meneliti teks yang dalam hal ini karya sastra adalah dalam
rangka mencari asumsi-asumsi pengarang yang sering disangsikan (Lotman, 1990:72-
73). Asumsi-asumsi tersebut adalah sebagai berikut.
30
1. That a literary text is obtained from a non-literary one by means of
‘ornamentation’; Teks sastra adalah hasil ornamentasi dari teks
nonsastra.
2. That a literary text, translated into the language of ‘expression
devices’ ‘acquires heightened expressivity without changing its
content’, and that, consequently, art is a way of speaking at length
about what could be spoken of briefly; Teks sastra diterjemahkan ke
dalam bahasa ‗sarana-sarana ekspresi‘ ‗tanpa mengubah kandungan
teks‘, dan itu, dengan konsekuensi, seni adalah sebuah jalan untuk
menceritakan dengan panjang tentang apa yang sebenarnya bisa
diceritakan dengan singkat.
3. On these grounds they make no attempt to verify their procedures with
records of actual cases of a writer’s process from intention to final
text; Pengarang seringkali tidak berusaha memverifikasi prosedur-
prosedur perekaman kasus-kasus aktual, dari proses intens menjadi
teks akhir. Kasus aktual bisa saja menjadi teks yang baru oleh
pengarang yang lain.
Secara cepat, GM merupakan teks sastra yang ada hasil ornamentasi dari
teks lain, bisa saja yang nonsastra. GM merupakan teks sastra yang diterjemahkan ke
dalam bahasa sarana-sarana ekspresi yang tanpa mengubah kandungan teks, dan itu,
dengan konsekuensi bahwa seni adalah sebuah jalan untuk menceritakan dengan
31
panjang tentang apa yang sebenarnya bisa diceritakan dengan singkat. GM bisa saja
tidak memverifikasi prosedur-prosedur perekaman kasus-kasus aktual, dan memiliki
kesempatan yang besar untuk bisa berakibat menghasilkan teks yang sama sekali
baru.
Oleh karena itu, pengenalan terhadap struktur GM akan membawa pembaca
kepada logika-logika sarana ekspresi GM yang dianggap unik pada zamannya, pada
saat pembacaan di waktu tertentu, sampai pada hal yang membentuk jagat pikiran
tertentu. Sejauh pengamatan peneliti, Hariadi menggunakan informasi-informasi
sebelumnya untuk kemudian mengolahnya menjadi teks yang baru.
5.4 Produksi Estetika
Lotman berpendapat bahwa terdapat hal penting untuk diperhatikan dalam
produksi estetika, yakni the point has often been made in aesthetics that art has to do
with the replication of reality; karya seni harus berhadapan dengan replika kenyataan.
In the elementary fact of making a replica, however, the semiotic situation is hidden a
pure possibility; Meskipun demikian, replika tersebut disembunyikan dalam situasi
semiotik sebagai sebuah kemungkinan (1990:54).
Sistem semiotik suatu budaya merupakan rangkaian ikonisitas yang
merupakan suatu keberlanjutan dan merupakan proses dialog dalam masyarakat
budaya tersebut, sehingga terjadi repetisi-repetisi. Oleh karena sifatnya tersembunyi,
diperlukan sebuah struktur retorika. Struktur retorika tersebut terletak bukan pada
domain ekspresi, melainkan pada isi (Lotman, 1990:57) (Gumilar, 2009:80). Teks
32
memuat tiga lapis semantik (1990:29), yaitu: (1) the primary general linguistic
semantic value (nilai semantik linguistik umum tingkat pertama); (2) the secondary
semantic value, which arises from the syntagmatic reorganization of the text and
from juxtaposition with the primary values (nilai semantik sekunder yang lahir dari
reorganisasi sintagmatik teks dan ketersebarannya dengan nilai-nilai primer); dan (3)
values that arise from the introduction into the message of extra-textual associations,
ranging from the most general to the extremely personal (nilai-nilai yang muncul dari
pengenalan hingga pesan asosiasi-asosiasi ekstra-tekstual, yang meliputi hal yang
paling umum hingga paling personal).
Lotman menyatakan bahwa seluruh kejadian mewujud hanya dalam batasan-
batasan. Sebuah narasi, dalam hal ini serentetan peristiwa-peristiwa, dibangun
sebagai sebuah rangkaian pertemuan antara batasan-batasan semiotik: antara pusat
dengan peripheral, hidup dan mati, kaya dan miskin, familiar dan asing, ortodok dan
bid‘ah, tercerahkan dan terbengkalai, dan seterusnya. Konsep oposisi biner menurut
Lotman (1977:218), bukanlah sebuah kebetulan, karena oposisi biner merupakan
bahasa komprehensif dari relasi spasial yang fundamental bagi sebuah realitas. Oleh
sebab itu, pengelompokan relasi/hubungan spasial dari pasangan-pasangan yang
saling beroposisi sangat membantu dalam proses signifikasi selanjutnya (Gumilar,
2009:138). Senada dan tumpang tindih dengan konsep oposisi biner dari Goldmann,
dan juga Levi-Strauss.
Batasan-batasan semiotik, yang disebut semiosphere bersifat asimetris; yang
ditandai dengan perbedaan yang kuat antara pusat (center) dan pinggiran (peripheral)
33
(Lotman, 1990:127) dan meliputi gagasan Lotman tentang pembatasan (notion of
boundary) yang dia jelaskan sebagai ―batas-batas luar dari sebuah bentuk persona
pertama‖. Ruang ‗kita‘ (self) yang aman dan harmoni bertentangan dengan ruang
―mereka‖ (alien) yang penuh pertentangan dan kekacauan (1990:131). Pembatasan-
pembatasan ini bukan saja terjadi pada struktur teks, tetapi juga pada struktur budaya.
Jadi, menurut Lotman (1990:133), bukan sebuah kebetulan apabila ada kesamaan
antara teks dan budaya dalam melahirkan pembatasan-pembatasan yang merupakan
oposisi biner tersebut.
5.5 Struktur teks naratif
Yang penting juga adalah Lotman membagi struktur teks naratif menjadi tiga
bagian, yaitu ruang artistik, plot, dan persona. Ruang artistik terbangun dari beberapa
medan semantis yang berupa elemen-elemen yang saling berhubungan satu sama lain
dalam bentuk oposisi berpasangan, baik secara vertikal maupun horizontal . Plot
adalah serangkaian peristiwa yang saling berhubungan satu sama lain dalam kerangka
usaha penerobosan terhadap medan-medan semantik yang membangun struktur ruang
artistik di atas. Persona adalah representasi fungsi-fungsi abstrak, baik fungsi agen
yang menjadi penerobos medan-medan semantik, maupun perintang yang mencoba
mempertahankannya (Lotman, 1979:240-243; Faruk, 2002:27).
Konsep ruang artistik sungguh menarik. Pertimbangan Lotman tentang
ide/konsep ruang artistik ini membangun hasil yang inovatif. Menurutnya, ruang
artistik adalah ansambel dari objek-objek homogen (fenomena, kondisi-kondisi,
34
fungsi-fungsi, bentuk-bentuk, variabel-variabel makna, dsb), yang menyebabkan
relasi-relasi menemukan maknanya. Relasi-relasi ini yang kemudian melahirkan
istilah relasi spasial (kontinuitas, jarak, tegangan, dsb). Dalam kerangka ini, Lotman
juga membangun sebuah gagasan semiotik personalitas yang melekat pada jagat
kultural. Dengan demikian, personalitas tidak diidentifikasi sebagai seorang manusia
secara fisik belaka, tetapi tetap saja menyangkut sebuah kelompok, atau bahkan
kekayaannya, posisi sosial, keagamaan atau moralnya, dsb. (Lotman, 1990:139).
Lotman juga menyusun tipologi dan semantisasi oposisi tinggi-rendah, yang
dapat merepresentasikan dan meliputi oposisi ‗baik‘ dan ‗buruk‘, ‗kegelapan‘
beroposisi dengan ‗terang‘, dan seterusnya. Dalam hal ini, sebuah objek
mengasumsikan atribut-atribut khusus di dalam ketersebarannya dengan objek lain
yang – yang karena kualitas pertentangan tersebut – memberi paling tidak sebuah
bukti atau karakteristik yang signifikan. Hal ini menunjukan bahwa dalam kaca mata
semiotika Lotman, struktur oposisi biner konsep ruang menjadi penting.
Dikelompokkanlah konsep ruang tersebut menjadi ‗dom‘ (rumah-milik kita) dan
‗antidomu‘ (antirumah-milik mereka). Dom adalah tempat yang aman, familiar,
terlindungi dan antidomu adalah tempat yang khaos, asing. Lalu plot terjadi jika ada
usaha persona atau hero yang berusaha menerobos medan semantik baik dari tesis ke
antitesis, atau sebaliknya.
Bahasa relasi spasial berefek pada makna-makna realitas yang komprehensif.
Konsep-konsep tinggi-rendah, kanan-kiri, dekat-jauh, terbuka-tertutup, terbatas-tidak
terbatas, diskontinuitas-kontinuitas adalah material-material kebudayaan, yang
35
bercampur baur dengan konten nonspasial dalam pengembangan model kultural. Hal
ini menghasilkan juga makna-makna ‗bernilai (mulia)-tidak bernilai (hina)‘,
‗kebaikan-kejahatan‘, ‗diri-yang lain‘, ‗mortal-imortal‘, dst. Di sini oposisi muncul
kembali. Model-model sosial, religi, politik, dan etika yang paling umum dari dunia
materi dan spiritual mau tidak mau dapat dipandang dalam karakteristik spasial.
Berdasarkan hal tersebut, maka Lotman meredefinisikan kembali istilah-
istilah struktur seperti plot, latar, dan karakter, sebagaimana dirangkum oleh Maier
(1980:320) dan Faruk (2002:27). Istilah-istilah konvensional seperti plot, latar, dan
karakter direkonseptualisasikannya secara koheren dalam satu konsep dasar, yaitu
oposisi berpasangan. Rekonseptualisasi ini menurut Lotman (1990:2) karena karya
sastra merupakan sistem pemodelan budaya, sedangkan budaya itu sendiri merupakan
penuh dengan struktur-struktur biner.
Bagi Lotman, objek-objek semiotik harus dimengerti sebagai struktur
‗biner‘, yang berpresuposisi bukan sebuah bahasa atau teks yang terisolasi secara
artifisial, melainkan sebuah pasangan paralel dari bahasa-bahasa yang untranstable
saling mengisi dan bagaimanapun juga terhubung melalui sebuah translasi. Hal ini
merupakan dialektika antara sebuah intelegensia (atau sebuah bahasa atau teks) dan
sebuah lian yang ditandai secara semiotik dan juga kreatifitas particular, yakni
pemicu informasi baru. Lotman mengistilahkan situasi dialektis ini adalah asimetri
bipolar, yaitu dua aspek yang menyusun fenomena semiotik tertentu, bukan sesuatu
yang dapat diterjemahkan secara penuh pada bahasa lain, namun sebuah tuntutan
untuk diterjemahkan jika struktur semiotik ingin berfungsi. Oposisi dan rekonseptual
36
ini yang ditemukan dalam penelitian sebelumnya seperti yang tercantum dalam
tinjauan pustaka (Lotman, 1990: 2-3).
5.6 Yang penting dari Lotman menurut Eco
Dalam introduction-nya untuk buku Lotman yang berjudul Universe of The
Mind: A Semiotic Theory of Culture, Umberto Eco memberikan enam opsi penting
sebagai kerangka utama semiotika budaya ini, apa yang ia sebut some of the main
principles of his research methods, Lotman’s research methods, namun yang sesuai
dengan penelitian ini hanya tiga, yaitu:
1. Semiotic system are models which explain the world in which we
live (obviously, in explaining the world, they are also construct it,
and in this sence, even at this early stage, Lotman saw semiotics as
a cognitive science). Among all these systems, language is the
primary modeling system and we apprehend the world by means of
the model which language offers. Myth, cultural rules, religion, the
language of art and of science are secondary modeling systems. We
must therefore also study these semiotic systems which, since they
lead us to understand the world in a certain way, allow us to speak
about it.
(Sistem semiotik adalah model yang menjelaskan dunia di mana
kita hidup (jelas, dalam menjelaskan dunia, mereka juga
membangun itu, dan dalam pengertian ini, bahkan pada tahap awal,
37
Lotman melihat semiotika sebagai ilmu kognitif). Di antara semua
sistem ini, bahasa adalah pemodelan sistem primer dan kita
memahami dunia melalui model yang menawarkan bahasa. Mitos,
aturan budaya, agama, bahasa seni dan ilmu pengetahuan adalah
sistem pemodelan sekunder. Karena itu kita harus juga mempelajari
sistem semiotik karena mereka membawa kita untuk memahami
dunia dengan cara tertentu, memungkinkan kita untuk berbicara
tentang hal itu).
2. If texts represent models of the world, the set of texts which is the
culture of a period is a secondary modeling system. It is thus
necessary to attempt to define a typology of cultures, in order both
to discover universal aspects common to all cultures and to identify
the specific systems which represent the ‘language’ of Medieval
culture or the ‘language’ of Renaissance culture.
(Jika teks merupakan model dunia, serangkaian teks yang
merupakan budaya dari sebuah periode adalah sistem pemodelan
sekunder. Dengan demikian perlu untuk mencoba untuk
menentukan tipologi budaya, dalam rangka baik untuk menemukan
aspek universal untuk semua budaya dan untuk mengidentifikasi
sistem tertentu yang mewakili 'bahasa' budaya Abad Pertengahan
atau 'bahasa' kebudayaan Renaissance).
38
3. When a culture ia analyzed as a code or system (as also happens
with natural languages), the processes of use are richer and less
predictable that the semiotic model which explaining all the
phenomena of that culture, but rather allows us to explain why that
culture has produced those phenomena.
(Ketika budaya dianalisis sebagai kode atau sistem (seperti yang
juga terjadi dengan bahasa tertentu), penggunaan proses-prosesnya
akan lebih kaya dan lebih sulit diprediksi dan model semiotik yang
menjelaskannya. Merekonstruksi kode budaya tidak berarti
menjelaskan semua fenomena budaya itu, melainkan
memungkinkan kita untuk menjelaskan mengapa budaya yang telah
menghasilkan fenomena). (1990: x).
Beberapa catatan penting yang mendasar dari teori semiotik Lotman di atas
ini akan menjadi kerangka berpikir atau semacam alat yang bekerja seperti pendulum
dalam membedah romantisisme dalam novel GM.
6. METODE PENELITIAN
Tahap ini menjelaskan bagaimana proses data-data penelitian dikumpulkan,
yang sesuai dengan teori yang digunakan untuk membedahnya. Secara khusus,
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis struktural-semiotika
39
dengan penekanan pada persepsi semiotika kebudayaan yang dikembangkan Lotman.
Tahapannya sebagai berikut :
1. pembacaan terhadap objek penelitian, yakni novel Gajah Mada
karangan Langit Kresna Hariadi; merupakan novel pertama dari
Pentalogi Gajah Mada.
2. menampilkan Gajah sebagai A Message, A Model.
3. menampilkan Gajah Mada sebagai produk estetika.
4. melakukan pengidentifikasian dan pendeskripsian Gajah Mada sebagai
secondary modeling system, sebagai semiosphere;
Penyajian hasil analisis direncanakan akan tampil seperti yang ada dalam
sistematika di bawah ini.
7. SISTEMATIKA PENYAJIAN
Tesis ini direncanakan terdiri dari lima bab.
Bab I adalah pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika
penyajian.
Bab II berjudul ―Gajah Mada sebagai A Message; A Model‖.
Bab III berjudul ―Gajah Mada sebagai Produk Estetika‖.
Bab IV berjudul ―Gajah Mada: Secondary Modelling System & Semiosphere.
Bab IV berisi kesimpulan dan saran.