rovina darmasanti f1105024 - digilib.uns.ac.id/analisis... · pembangunan pertanian bertujuan untuk...
TRANSCRIPT
Analisis komoditi unggulan
sektor pertanian Kabupaten Pacitan
sebelum dan selama otonomi daerah
Skripsi
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-
Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan
Ekonomi Pembangunan
Rovina Darmasanti
F1105024
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan merupakan proses multidimensional yang mencakup
berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan
institusi-institusi nasional, mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi,
penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.
Pembangunan mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau
penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman
kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial,
untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang baik, secara
material dan spiritual. (Todaro, 2000:20).
Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat Indonesia merupakan hakekat pembangunan. Pembangunan
mencakup: pertama, kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan,
dan lain-lain; kedua, kemajuan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, rasa
keadilan, rasa sehat; ketiga, kemajuan yang meliputi seluruh rakyat
sebagaimana tercermin dalam perbaikan hidup berkeadilan sosial. (Emil
Salim, 1986: 3).
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana
pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya
yang ada dan membentuk pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan
sektor swasta untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah
tersebut (Lincolyn Arsyad,1999: 108).
Pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan hasil dan mutu
produksi, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, peternak dan
nelayan, memperluas lapangan pekerjaan dan kesempatan berusaha,
menunjang pembangunan industri serta memperluas pasar baik pasar dalam
negeri maupun luar negeri. Tujuan pembangunan pertanian layak ditempatkan
sebagai prioritas utama agar tercapainya swasembada pangan. Pembangunan
pertanian mengupayakan untuk mengembangkan potensi yang ada, yaitu
memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia secara optimal.
Pertanian tidak lagi dianggap sebagai usaha tradisional yang berskala kecil,
dan apabila dikelola dengan baik produk yang dihasilkan akan mempunyai
kualitas yang mampu bersaing, sehingga sangat menguntungkan bagi
perekonomian Indonesia.
Sektor pertanian diharapkan mampu memberikan sumbangan yang
berarti dalam peningkatan pendapatan nasional. Sektor ini berperan sebagai
sumber penghasil bahan pangan, sumber bahan baku bagi industri, mata
pencaharian sebagian besar penduduk, penghasil devisa negara dari ekspor
komoditinya bahkan berpengaruh besar terhadap stabilitas dan keamanan
nasional. Penduduk Indonesia yang sebagian besar penghasilannya bergantung
pada bidang pertanian, namun tingkat produksinya tidak dapat memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Penyebabnya adalah pemanfaatan sumberdaya alam
dan manusia serta penggalian potensi alam pertanian yang kurang optimal.
Peranan sektor pertanian di Indonesia sangat penting karena dilihat
dari keharusannya memenuhi kebutuhan pangan penduduk pada tahun 2005
yang berjumah 219,3 juta dan diprediksikan akan bertambah sebesar 1,25
persen (Nainggolan, 2006: 78) (dalam Yunastiti Purwaningsih).
Program peningkatan bahan pangan dapat diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan pangan di dalam negeri dari produksi pangan nasional. Unsur-
unsur dari ketahanan pangan antara lain tersedianya pangan dan aksesabilitas
masyarakat terhadap bahan pangan. Jumlah penduduk yang cukup tinggi
selalu menggantungkan penyediaan bahan pangan dari pasar nasional
sehingga tidak ada pilihan lain untuk berusaha membangun sistem ketahanan
pangan yang kokoh pada keragaman sumber bahan pangan lokal. Ketersediaan
dan kecukupan pangan mencakup kuantitas dan kualitas bahan pangan
sedangkan aksesabilitas adalah kemampuan bagi setiap individu untuk
memenuhi kebutuhan pangan karena didukung pemasaran yang efektif dan
efisien.
Pemerintah harus melaksanakan kebijakan pangan yaitu menjamin
ketahanan pangan yang meliputi pasokan, diversifikasi, keamanan,
kelembagaan, dan organisasi pangan. Kebijakan ini diperlukan untuk
meningkatkan kemandirian pangan. Pembangunan yang dalam memenuhi
kebutuhan dasar penduduknya selalu mengabaikan keswadayaan, akan
bergantung pada negara lain dan menjadi negara yang tidak berdaulat (Arifin,
2004) (dalam Yunastiti Purwaningsih).
Pertambahan penduduk mendorong perlunya pengadaan pangan yang
lebih besar sehingga produksi pertanian harus ditingkatkan. Peningkatan
produksi pertanian dicapai dengan peningkatan produktivitas disebabkan
karena terbatasnya tanah dan waktu. (Emil salim, 1986:32). Sempitnya lahan
pertanian dan dibangunnya industri-industri maupun bangunan fisik yang
ditandai dengan tidak suburnya lahan akan mengganggu proses kegiatan
pertanian dalam menghasilkan produksi. Pengalihan fungsi lahan dari fungsi
pertanian ke fungsi bangunan menjadi penyebab utama berkurangnya lahan
pertanian yang selanjutnya berdampak pada berkurangnya produksi produk
pertanian, terutama pangan. Tenaga kerja di sektor ini juga cenderung
berkurang, sementara kebutuhan pangan semakin meningkat. Faktor penyebab
lain yaitu adanya perubahan iklim global yang mengakibatkan bencana alam,
sehingga banyak areal panen menjadi puso, dan produksi menghadapi resiko
berupa ketidakpastian iklim. (Yunastiti Purwaningsih, 2008: 6).
Sektor pertanian mempunyai peranan penting baik di tingkat nasional
maupun regional, namun peranan tersebut menurun sejalan dengan
peningkatan pendapatan perkapita yang mencerminkan proses transformasi
struktural. Penurunan ini disebabkan oleh interaksi dari berbagai proses yang
bekerja antara lain disisi permintaan, penawaran, dan pergeseran kegiatan.
Penurunan sektor pertanian tidak berarti menyebabkan sektor ini kurang
berarti. (Ikhsan dan Arman, 1993) (dalam Ropingi dan Agustono, 2006: 117).
Peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara
masih sangat besar. Sebagian besar penduduk Indonesia masih
menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Turunnya sektor pertanian
dalam menyumbangkan output nasional dan penyediaan lapangan pekerjaan
bukan berarti sektor pertanian mengalami stagnasi, bahkan mengalami
perkembangan yang dinamis. Sektor pertanian merupakan penopang bagi
sektor-sektor perekonomian lainnya sehingga pembangunan ekonomi tidak
dapat berpaling dari sektor ini. (Nuning Setyowati dan Mei Tri Sundari, 2005:
57)
Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam perspektif
ekonomi makro. Pertama, sektor pertanian merupakan sumber pertumbuhan
output nasional. Studi Herliana (2004) menunjukkan sektor pertanian
memberikan kontribusi 19,1% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari
keseluruhan sektor perekonomian Indonesia, walaupun secara kuantitas lebih
kecil jika dibanding dengan kontribusi sektor jasa (43,5%) dan manufaktur
(23%) namun sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar
yakni 47%. Kedua, sektor pertanian memiliki karakteristik yang spesifik
khususnya dalam hal ketahanan terhadap guncangan struktural dari
perekonomian makro (Simatupang dan Dermoredjo, 2003) (dalam Andi
Irawan, 2005: 250).
Sektor perekonomian yang mempengaruhi pembangunan daerah di
Kabupaten Pacitan adalah sektor pertanian yang meliputi sub sektor tanaman
bahan makanan, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, sub sektor
kehutanan, dan sub sektor perikanan. Penentuan komoditi unggulan daerah
merupakan salah satu faktor dari pengembangan ekonomi. Pada kenyataannya
hampir di semua daerah mempunyai komoditas unggulan. Pengembangan
komoditas unggulan di semua daerah tidak seluruhnya berjalan sukses karena
masih rendahnya pembiayaan.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bermaksud untuk
menganalisis mengenai komoditi unggulan sektor pertanian di Kabupaten
Pacitan sehingga dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan ekonomi
daerah. Maka dari itu, penelitian ini mengambil judul : ”ANALISIS
KOMODITI UNGGULAN SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN
PACITAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH ”.
B. Perumusan Masalah
1. Komoditi pertanian apa saja yang menjadi unggulan ekonomi di
Kabupaten Pacitan sebelum dan selama Otonomi Daerah ?
2. Komoditi pertanian apa saja yang potensial untuk dikembangkan di
Kabupaten Pacitan sebelum dan selama Otonomi Daerah ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui komoditi pertanian yang menjadi unggulan ekonomi di
Kabupaten Pacitan sebelum dan selama Otonomi Daerah ?
2. Untuk mengetahui komoditi pertanian yang potensial untuk dikembangkan
di Kabupaten Pacitan sebelum dan selama Otonomi Daerah ?
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi pengambil kebijakan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan didalam merumuskan strategi dan kebijaksanaan
pembangunan di Kabupaten Pacitan.
2. Bagi penulis, hasil penelitian ini digunakan untuk menambah pengetahuan
tentang komoditi unggulan yang dimiliki di Kabupaten Pacitan sebelum
dan selama Otonomi Daerah dan untuk melengkapi salah satu persyaratan
guna memperoleh gelar sarjana ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
3. Bagi dunia pendidikan, sebagai bahan referensi atau masukan bagi peneliti
lain yang mempunyai permasalahan yang sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Produksi
1. Pengertian Produksi
Produksi adalah suatu proses dimana barang dan jasa yang disebut
input diubah menjadi barang-barang dan jasa-jasa yang disebut output.
Proses perubahan bentuk faktor produksi disebut dengan proses produksi.
Produksi pertanian dapat diartikan sebagai usaha untuk memelihara dan
mengembangkan suatu komoditi untuk kebutuhan manusia. Pada proses
produksi untuk menambah guna dan manfaat dilakukan proses penanaman
dari bibit dan dipelihara untuk memperoleh manfaat atau hasil dari suatu
komoditi pertanian.
Proses produksi pertanian menumbuhkan macam-macam faktor
produksi seperti modal, tenaga kerja, tanah, dan manajemen pertanian
yang berfungsi mengkoordinasikan faktor-faktor yang ada sehingga benar-
benar mengeluarkan hasil produksi (output). Sumbangan tanah adalah
berupa unsur-unsur tanah yang asli dan sifat-sifat tanah yang tak dapat
dirusakan dengan mana hasil pertanian yang dapat diperoleh. Tetapi untuk
memungkinkan diperolehnya produksi diperlukan tangan manusia yaitu
tenaga kerja petani (labor). Faktor produksi modal adalah sumber-sumber
ekonomi diluar tenaga kerja yang dibuat oleh manusia. Modal dilihat
dalam arti uang atau dalam arti keseluruhan nilai sumber-sumber ekonomi
non manusiawi. (Mubyarto, 1994:70).
Perusahaan sebagai pelaku ekonomi yang bertanggung jawab
menghasilkan barang atau jasa harus menentukan kombinasi berbagai
input yang akan dipakai untuk outputnya.
2. Faktor Produksi
Faktor produksi merupakan input yang digunakan dalam proses
produksi, dibidang pertanian output yang dihasilkan dalam bentuk hasil
produksi fisik membutuhkan sumberdaya yang digunakan sebagai faktor
produksi berupa tanah, tenaga kerja, bibit, pupuk serta teknologi sebagai
penunjang dalam usaha tani dengan tujuan menghasilkan output yang
maksimal.
a. Tanah merupakan faktor produksi yang paling penting. Hal ini terbukti
dari besarnya balas jasa yang terima oleh tanah dibandingkan faktor -
faktor produksi lain. Tingkat produktifitas tanah dipengaruhi oleh
tingkat kesuburan tanah, sarana dan prasarana yang ada sebagai
penunjang dalam meningkatkan produksi pertanian. Ada kemungkinan
pemilik faktor produksi tanah menyakapkan tanahnya pada petani
penggarap dengan sistem bagi hasil. David Ricardo dalam Mubyarto
mengungkapkan teorinya tentang sewa tanah deferensial, dimana
ditunjukan bahwa tinggi rendahnya sewa tanah disebabkan perbedaan
kesuburan tanah, makin subur tanah makin tinggi harganya.
(Mubyarto, 1994: 90).
b. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi utama dalam usaha
tani. Tenaga kerja adalah manusia yang dengan aktifitasnya
mencurahkan tenaga kerja untuk memenuhi apa yang menjadi tuntutan
hidup, dalam hal ini adalah syarat hidup yang baik bagi usaha tani.
Tenaga kerja dalam usaha tani tidak hanya mengembangkan tenaga
(labor) saja tetapi juga mengatur organisasi produksi secara
keseluruhan.(Mubyarto,1994:124).
c. Bibit merupakan salah satu faktor produksi sangat menentukan
keberhasilan usaha tani. Pemilihan bibit yang baik dan lahan terhadap
hama sangat menunjang untuk menghasilkan output yang maksimal.
d. Pupuk merupakan faktor produksi yang mendukung keberhasilan
usaha tani. Pupuk dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Pupuk organik adalah pupuk yang dihasilkan dari kotoran ternak
atau sisa-sisa mahluk hidup yang karena alam dengan bantuan
mikro organisme mengalami pembusukan.
2) Pupuk anorganik adalah pupuk buatan yang dihasilkan oleh
manusia melalui proses pabrikasi, dengan meramu bahan-bahan-
bahan kimia yang mengandung kadar hava tinggi.
3. Fungsi Produksi
Fungsi produksi merupakan hubungan antara jumlah output
maksimum yang diproduksi dan input yang diperlukan guna menghasilkan
output tersebut dengan tingkat pengetahuan teknik tertentu. (Paul A
Samuelson dan William D Nourdhaus, 1996: 128). Fungsi Produksi
menunjukkan jumlah maksimum output yang dapat dihasilkan dari
pemakaian sejumlah input dengan menggunakan teknologi tertentu.
(Sugiarto, dkk, 2002: 202). Fungsi produksi adalah suatu fungsi atau
persamaan yang menunjukkan hubungan antara tingkat output dan tingkat
( dan kombinasi ) penggunaan input-input. (Boediono, 2000: 64).
Q = f (X1, X2, X3,..........Xn)
Dimana
Q = tingkat produksi (output)
X1, X2, X3,.........Xn = input
Berdasarkan faktor produksi yang digunakan dalam jangka pendek
faktor tenaga kerja dianggap sebagai faktor tetap dan berlaku tambahan
yang semakin berkurang (Law Diminishing Return), produk marginal
setiap unit input akan menurun sebanyak penambahan jumlah input yang
bersangkutan , dengan asumsi semua input lainnya konstan (Paul A
Samuelson dan Willian D Noudous,1996:130). Dalam jangka pendek
perusahaan tidak dapat menambah jumlah faktor produksi yang dianggap
tetap. Faktor produksi yang dianggap tetap biasanya modal seperti mesin
dan peralatan, bangunan perusahaan, sedangkan faktor produksi yang
dapat mengalami perubahan adalah tenaga kerja.
Hukum hasil lebih yang semakin berkurang (The Law of
Diminishing Marginal Return) menyatakan bahwa apabila faktor produksi
yang dapat diubah jumlahnya (tenaga kerja) terus menerus ditambah
sebanyak satu unit, pada mulanya produksi total akan semakin banyak
pertambahannya, tetapi sesudah mencapai suatu tingkat tertentu produksi
tambahan akan semakin berkurang dan akhirnya mencapai negatif. Sifat
pertambahan produksi seperti ini menyebabkan pertambahan produksi
total semakin lambat dan akhirnya mencapai tingkat yang maksimum dan
kemudian menurun. (Sadono Sukirno, 2005: 196). Berlakunya hukum ini
disebabkan oleh kelangkaan faktor produksi (makin memburuknya
kualitas input), dan kejenuhan (laju keausan yang meningkat) dari faktor
produksi.
Produksi jangka panjang menggunakan seluruh faktor produksi
yang bersifat variabel. Output diartikan dengan mengubah faktor produksi
atau input dalam tingkat kombinasi yang seoptimal mungkin. Perubahan
input ini memiliki proporsi yang sama atau berbeda. Dalam jangka
panjang semua faktor produksi dapat mengalami perubahan sehingga
perusahaan dapat melakukan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi di pasar.
Suatu isoquant menunjukkan kombinasi yang berbeda dari input
tenaga kerja (L) dan barang modal (K), yang memungkinkan perusahaan
menghasilkan jumlah output tertentu. Isoquant yang lebih tinggi
menunjukkan jumlah output yang lebih besar sedangkan isoquant yang
lebih rendah menunjukkan jumlah output yang lebih kecil. (Dominick
Salvatore, 1995: 150). Isoquant mempunyai karakteristik yaitu di daerah
asal relevan, isoquant mempunyai kemiringan negatif, isoquant cembung
terhadap titik asal dan isoquant tidak pernah saling berpotongan. Kurva
biaya sama menunjukkan semua kombinasi berbeda dari tenaga kerja dan
barang-barang modal yang dapat dibeli perusahan dengan pengeluaran
total dan harga-harga faktor produksi tertentu. Kemiringan kurva biaya
sama ditentukan oleh harga tenaga kerja dan harga barang-barang modal.
4. Teori Biaya Produksi
Biaya produksi adalah semua pengeluaran yang dilakukan oleh
perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan
mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang
diproduksi oleh perusahaan tersebut. (Sadono Sukirno, 2005: 205).
Kegiatan produksi dalam mengubah input menjadi output, suatu
perusahaan tidak hanya menentukan input saja yang diperlukan, tetapi
harus mempertimbangkan harga dari input-input tersebut yang merupakan
biaya produksi dari output. Biaya produksi sangat penting peranannya bagi
perusahaan dalam menentukan jumlah output. (Sugiarto, 2002: 248).
Biaya produksi yang dikeluarkan setiap perusahaan dapat
dibedakan menjadi dua jenis yaitu biaya eksplisit dan biaya tersembunyi.
Biaya eksplisit adalah pengeluaran-pengeluaran perusahaan yang berupa
pembayaran dengan uang untuk mendapatkan faktor-faktor produksi dan
bahan mentah yang dibutuhkan. Biaya tersembunyi adalah taksiran
pengeluaran terhadap faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh perusahaan
itu sendiri. Pengeluaran biaya tersembunyi antara lain adalah pembayaran
untuk keahlian keusahawanan produsen tersebut, modalnya sendiri yang
digunakan dalam perusahaan dan bangunan perusahaan yang dimiliki.
(Sadono Sukirno, 2005: 208).
Biaya produksi dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan
jangka waktunya yaitu biaya produksi jangka pendek dan biaya produksi
jangka panjang. Biaya produksi jangka pendek yaitu jangka waktu dimana
sebagian faktor produksi tidak dapat ditambah jumlahnya, pemakaian
input tetap selain dari input variabel. Beberapa konsep yang berhubungan
dengan biaya produksi jangka pendek adalah sebagai berikut:
1. Biaya Tetap Total (Total Fixed Cost = TFC)
Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor
produksi (input) yang tidak dapat diubah jumlahnya walaupun jumlah
outputnya yang dihasilkan berubah.
2. Biaya Variabel Total (Total Variabel Cost = TVC)
Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor
produksi yang dapat diubah jumlahnya.
3. Biaya Total (Total Cost = TC)
Keseluruhan jumlah biaya produksi yang dikeluarkan dalam
menghasilkan output. Biaya total merupakan penjumlahan biaya tetap
total dan biaya variabel total.
4. Biaya Marginal (Marginal Cost = MC)
Kenaikan biaya produksi yang dikeluarkan untuk menambah produksi
sebanyak satu unit.
MC = ∆TC / ∆q
5. Biaya Tetap Rata-rata (Average Fixed Cost =AFC)
Rata-rata biaya tetap yang dikeluarkan untuk membuat satu-satuan
output. AFC diperoleh dari membagi biaya tetap total dengan jumlah
output. Karena TFC konstan maka nilai AFC akan semakin kecil jika
output yang dihasilkan semakin bertambah.
AFC = TFC / Q
6. Biaya Variabel Rata-rata (Average Variabel Cost = AVC)
Rata- rata biaya variabel yang dikeluarkan untuk membuat satu-satuan
output. AVC diperoleh dari membagi biaya variabel total dengan
jumlah output.
AVC = TVC / Q
7. Biaya Total Rata-rata (Average Cost = AC)
Besarnya biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk membuat satu-satuan
output. AC diperoleh dengan membagi biaya total dengan jumlah
output.
AC = TQ / C atau AC = AFC + AVC
Biaya produksi jangka panjang adalah jangka waktu dimana semua
faktor produksi dapat mengalami perubahan. Perusahaan dapat
menambah semua faktor produksi atau input yang akan digunakan. Di
dalam jangka panjang tidak ada biaya tetap, semua jenis biaya yang
dikeluarkan merupakan biaya variabel.
5. Penerimaan Produsen
a. Penerimaan Total (TR)
Penerimaan total produsen dari hasil penjualan output dikalikan
dengan harganya. Secara matematika dinotasikan:
TR = Q . Pq
Dimana:
TR = Total Penerimaan
Q = Jumlah output
Pq = Harga output
b. Penerimaan Rata-rata (AR)
Penerimaan dari unit output yang dijual. Secara matematika
dinotasikan (Boediono, 1996: 95):
AR = TR/ Q
c. Penerimaan Marginal (MR)
Kenaikan dari penerimaan total (TR) yang disebabkan oleh tambahan
penjualan per unit. Secara matematika dinotasikan (Boediono, 1996:
95):
MR = ∆TR / ∆Q
6. Keuntungan Maksimum
Permintaan individu akan suatu komoditi merupakan jumlah suatu
komoditi yang bersedia dibeli individu selama periode waktu tertentu.
Permintaan tersebut tergantung pada harga komoditi itu, pendapatan
nominal individu, harga komoditi lain, dan citarasa individu. Semuanya itu
harus dianggap konstan (asumsi citeris paribus). Penawaran komoditi oleh
produsen tunggal yaitu jumlah komoditi yang bersedia ditawarkan oleh
produsen tunggal selama periode waktu tertentu. Penawaran tersebut
tergantung pada harga komoditi itu dan biaya produksi untuk produsen
tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya produksi harus
dipertahankan konstan (asumsi citeris paribus) antara lain teknologi, harga
input yang diperlukan untuk memproduksi komoditi itu, dan untuk
komoditi pertanian adalah kondisi iklim dan cuaca. Dalam teori ekonomi,
ekuilibrium terjadi bila jumlah komoditi yang diminta dalam pasar per unit
waktu yang sama dengan jumlah komoditi yang ditawarkan selama
periode yang sama.
Produsen dianggap akan selalu memilih tingkat output dimana
keuntungan yang diperoleh adalah maksimum. Keuntungan adalah
perbedaan antara hasil penjualan total yang diperoleh dengan biaya total
yang dikeluarkan. Posisi tersebut dinyatakan sebagai posisi ekuilibrium,
karena ada kecenderungan bagi produsen untuk mengubah output dan
harga output. Bila produsen mengurangi atau menambah volume
outputnya (penjualannya), maka keuntungan justru menurun. (Walter
Nicholson, 1991: 251).
Upaya peningkatan produksi tidak akan menguntungkan bila
penggunaan input produksi tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh
dan modal yang dikeluarkan oleh petani. Petani yang rasional tidak hanya
berorientasi pada produksi yang tinggi, akan tetapi lebih menitikberatkan
pada semakin tingginya pendapatan atau keuntungan yang diperoleh.
Nicholson (1991) menyatakan bahwa petani sebagai produsen yang
rasional akan memaksimumkan keuntungan atau akan menjalankan usaha
tani secara efisien. Keuntungan maksimum diperoleh apabila produksi per
satuan luas pengusahaan dapat optimal, artinya mencapai produksi yang
maksimal dengan menggunakan input produksi secara tepat dan
berimbang. Pemakaian input produksi juga berpengaruh terhadap
pendapatan petani sehingga petani perlu mengetahui dan mengambil sikap
untuk mengurangi atau menambah input produksi tersebut.
B. Pengertian Pembangunan Ekonomi
Tiga nilai pokok dalam keberhasilan pembangunan ekonomi yaitu :
1. Ketahanan (Sustenance) merupakan kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan pokok seperti pangan, papan, kesehatan, proteksi untuk
mempertahankan hidup.
2. Harga diri (Self Esteam) merupakan pembangunan yang seharusnya
memanusiakan orang. Pengertian dalam arti luas pembangunan suatu
daerah seharusnya meningkatkan kebanggaan sebagai manusia yang
berada di daerah atau wilayah tersebut.
3. Freedom from servitude merupakan kebebasan bagi setiap individu suatu
negara untuk berpikir, berkembang, berperilaku, dan berusaha untuk
berpartisipasi dalam pembangunan.
Pembangunan ekonomi merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh suatu negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan kualitas hidup
masyarakat. Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang
menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara
dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan.
Pembangunan ekonomi mempunyai pengertian :
1. Suatu proses perubahan yang terjadi secara terus menerus.
2. Usaha untuk menaikkan pendapatan perkapita.
3. Kenaikan pendapatan perkapita berlangsung dalam jangka panjang.
4. Perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang misalnya ekonomi, politik,
hukum, sosial dan budaya. Sistem kelembagaan ini bisa ditinjau dari 2
aspek yaitu: aspek perbaikan di bidang organisasi (institusi) dan perbaikan
di bidang regulasi (baik formal maupun informal). (Lincolyn Arsyad,
1999:6).
Pembangunan sebagai pergerakan keatas dari seluruh sistem sosial
yang menekankan pada pentingnya pertumbuhan dengan perubahan
khususnya perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. (Mudrajad Kuncoro, 2004:
63)
C. Pembangunan Ekonomi Daerah
1. Definisi Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi daerah merupakan proses di mana
pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakatnya mengelola
sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan
antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu
lapangan pekerjaan dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi
(pertumbuhan ekonomi ) dalam wilayah tersebut. (Lincolin Arsyad, 1999:
108).
Tiga pengertian daerah berdasarkan aspek ekonomi yaitu (Lincolin
Arsyad, 1999: 107-108):
a. Daerah Homogen adalah daerah yang dianggap sebagai ruang dimana
kegiatan ekonomi terjadi dan di dalam pelosok ruang terdapat sifat-
sifat yang sama. Kesamaan sifat-sifat tersebut antara lain dari segi
pendapatan per kapita, sosial-budayanya, geografis, dan sebagainya.
b. Daerah Nodal adalah suatu daerah yang dianggap sebagai suatu ruang
ekonomi yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan
ekonomi.
c. Daerah Perencanaan atau Daerah Administrasi adalah suatu daerah
yang ruang ekonomi berada di bawah satu administrasi tertentu seperti
satu propinsi, kabupaten, kecamatan, dan sebagainya. Jadi daerah ini
berdasarkan pada pembagian administrasi suatu negara.
Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada
penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan
pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan menggunakan potensi
sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal
(daerah).
Ada empat peran yang diambil oleh pemerintah daerah dalam
proses pembangunan ekonomi daerah yaitu (Lincolin Arsyad, 1999: 120)
a. Entrepreneur
Pemerintah daerah bertanggungjawab untuk menjalankan
suatu usaha bisnis. Pemerintah daerah bisa mengembangkan suatu
usaha sendiri (BUMD). Pemerintah daerah harus dapat mengelola aset-
aset dengan lebih baik sehingga secara ekonomis dapat
menguntungkan.
b. Koordinator
Pemerintah daerah dapat bertindak sebagai koordinator untuk
menetapkan kebijakan atau mengusulkan strategi-strategi bagi
pembangunan di daerahnya. Pemerintah daerah bisa mengikutsertakan
lembaga-lembaga pemerintah lainnya, dunia usaha, dan masyarakat
dalam proses penyusunan sasaran-sasaran ekonomi, rencana-rencana,
dan strategi.
c. Fasilitator
Pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan melalui
perbaikan lingkungan attitudinal (perilaku atau budaya masyarakat) di
daerahnya. Hal ini dapat mempercepat proses pembangunan dan
prosedur perencanaan serta pengaturan penetapan daerah (zoning) yang
lebih baik.
d. Stimulator
Pemerintah daerah dapat menstimulasi penciptaan dan
pengembangan usaha melalui tindakan-tindakan khusus. Hal ini dapat
mempengaruhi perusahaan-perusahaan untuk masuk ke daerah tersebut
dan menjaga agar perusahaan-perusahaan yang ada sebelumnya tetap
berada di daerah tersebut.
2. Teori Pembangunan Ekonomi Daerah
Para ahli mengemukakan berbagai teori tentang pembangunan daerah
antara lain (Lincolin Arsyad, 1999: 115).
a. Teori Ekonomi Neo Klasik
Konsep pokok dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu
keseimbangan (equilibrium) dan mobilitas faktor produksi. Sistem
perekonomian akan mencapai keseimbangan alamiah apabila modal
bisa mengalir tanpa restriksi (pembatasan). Modal akan mengalir dari
daerah yang berupah tinggi menuju ke daerah yang berupah rendah.
b. Teori Basis Ekonomi ( Economics Base Theory)
Teori basis ekonomi menyatakan bahwa faktor penentu utama
dari pertumbuhan ekonomi daerah adalah adanya hubungan langsung
dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah.
Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumberdaya lokal,
termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan
menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja.
Teori basis ekonomi membagi kegiatan ekonomi ke dalam dua
sektor yaitu sektor basis dan sektor non basis. Kegiatan sektor basis
merupakan kegiatan suatu masyarakat yang hasilnya berupa barang
dan jasa yang ditujukan untuk ekspor keluar, regional, nasional, dan
internasional. Kegiatan sektor non basis merupakan kegiatan
masyarakat yang hasilnya berupa barang dan jasa yang diperuntukkan
bagi masyarakat itu sendiri dalam kawasan kehidupan ekonomi
masyarakat tersebut. (Rachmat Hendayana, 2003: 3).
Penekanan terhadap arti penting bantuan (aid) kepada dunia
usaha yang mempunyai pasar secara nasional maupun internasional
merupakan strategi dari pembangunan daerah. Implementasi
kebijakannya mencakup pengurangan hambatan atau batasan terhadap
perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor yang ada dan akan
didirikan di daerah tersebut.
Ketergantungan yang tinggi terhadap kekuatan-kekuatan pasar
secara nasional maupun global merupakan kelemahan dari model ini.
Model ini juga berguna untuk menentukan keseimbangan antara jenis-
jenis industri dan sektor yang dibutuhkan masyarakat untuk
mengembangkan stabilitas ekonomi.
c. Teori Lokasi
Teori ini mengatakan bahwa lokasi mempengaruhi
pertumbuhan daerah khususnya bila dikaitkan dengan pengembangan
kawasan industri. Pemilihan lokasi yang tepat seperti
memaksimumkan peluangnya untuk mendekati pasar lebih dipilih oleh
perusahaan karena dapat meminimumkan biaya. Model pengembangan
industri kuno menyatakan bahwa lokasi yang terbaik adalah biaya
termurah antara bahan baku dengan pasar. Keterbatasan dari teori
lokasi ini adalah teknologi dan komunikasi modern yang telah
mengubah signifikansi suatu lokasi tertentu untuk kegiatan produksi
dan distribusi barang.
d. Teori Tempat Sentral
Teori tempat sentral menganggap bahwa ada hirarki tempat
dan disetiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih
kecil yang menyediakan sumberdaya (industri dan bahan baku).
Tempat sentral merupakan suatu pemukiman yang menyediakan jasa-
jasa bagi penduduk daerah yang mendukungnya.
Pembangunan ekonomi daerah di perkotaan maupun di
pedesaan dapat menerapkan teori ini, misal perlu pembedaan fungsi
antara daerah-daerah yang bertetangga (berbatasan). Beberapa daerah
bisa menjadi wilayah penyedia jasa sedangkan lainnya hanya sebagai
daerah pemukiman.
e. Teori Kausasi Kumulatif
Teori kausasi kumulatif menunjukkan kondisi daerah sekitar
kota semakin buruk. Kekuatan-kekuatan pasar cenderung memperoleh
kesenjangan antara daerah-daerah tersebut (maju versus terbelakang).
Daerah yang maju mengalami akumulasi keunggulan kompetitif
dibandingkan dengan daerah lainnya.
f. Model Daya Tarik
Teori daya tarik industri merupakan model pembangunan
ekonomi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Teori
ekonomi yang mendasari adalah bahwa suatu masyarakat dapat
memperbaiki posisi pasarnya terhadap industrialis melalui pemberian
subsidi dan insentif.
D. Perencanaan Pembangunan Daerah
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah merupakan perencanaan
untuk memperbaiki penggunaan sumberdaya publik yang tersedia dan
memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan nilai sumberdaya-
sumberdaya swasta secara bertanggung jawab. (Lincolin Arsyad, 1999: 127).
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah dapat melihat secara
keseluruhan suatu daerah sebagai suatu unit ekonomi yang didalamnya
terdapat berbagai unsur yang berinteraksi satu sama lain.
Tiga unsur dasar dari perencanaan pembangunan ekonomi daerah
yaitu (Lincolin Arsyad, 1999: 133).
1. Perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang realistik memerlukan
pemahaman tentang hubungan antara daerah dengan lingkungan nasional
(horizontal dan vertikal) di mana daerah tersebut merupakan bagian
darinya, keterkaitan secara mendasar antara keduanya, dan konsekuensi
akhir dari interaksi tersebut.
2. Perencanaan yang tampaknya baik secara nasional belum tentu baik untuk
daerah, dan sebaliknya yang baik bagi daerah belum tentu baik secara
nasional.
3. Perangkat kelembagaan yang tersedia untuk pembangunan daerah, misal
administrasi, proses pengambilan keputusan, otoritas biasanya berbeda
pada tingkat daerah dengan yang tersedia pada tingkat pusat. Derajat
pengendalian kebijakan sangat berbeda pada dua tingkat tersebut.
Perencanaan daerah yang efektif harus dapat membedakan penggunaan
sumberdaya - sumberdaya pembangunan dengan sebaik mungkin, dan
mengambil manfaat dari informasi yang lengkap dan tersedia pada tingkat
daerah karena kedekatan para perencananya dengan objek perencanaan.
Proses perencanaan pembangunan daerah dapat dipengaruhi oleh dua
kondisi yaitu (Mudrajad Kuncoro, 2004: 47):
1. Tekanan yang berasal dari lingkungan dalam negeri maupun luar negeri
yang mempengaruhi kebutuhan daerah dalam proses pembangunan
perekonomian
2. Perekonomian daerah dalam suatu negara dapat dipengaruhi oleh setiap
sektor yang berbeda-beda. Adanya perbedaan pertumbuhan di beberapa
daerah, misal beberapa daerah mengalami pertumbuhan sedangkan di
daerah lainnya mengalami penurunan.
Perencanaan pembangunan daerah merupakan perencanaan yang
integratif dan komprehensif, artinya bahwa penentuan dan pemilihan prioritas
didasarkan atas kebutuhan masyarakat. Perencanaan pembangunan daerah
harus melibatkan seluruh bidang sosial dan ekonomi serta mengacu pada
kebijakan nasional.
Perencanaan pembangunan daerah harus berdasarkan pada kondisi
dan potensi sumber daya yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan.
Karakteristik pembangunan daerah terletak pada penekanan pembangunan
yang berdasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous
development) dengan menggunakan potensi sumber daya daerah yang ada.
(Gunawan Sumodiningrat, 1997) (dalam Lilis Siti Badriah, 2003:143).
E. Konsep Otonomi Daerah
Otonomi Daerah secara etimologi berasal dari bahasa Yunani “autos”
yang berarti sendiri dan “nomos” yang berarti aturan. Daerah otonom sebagai
kesatuan masyarakat hukum dengan batas daerah tertentu berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pengertian otonomi daerah dalam Undang-Undang No 32 Tahun
2004 adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurusi sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Penjelasan dalam
Undang-Undang tersebut adalah pemberian kewenangan otonomi pada daerah
kabupaten dan kota didasarkan atas asas desentralisasi dalam wujud otonomi
yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Tujuan Otonomi Daerah menurut Undang-undang no 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah adalah Otonomi Daerah diarahkan untuk memacu
pemerataan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat,
menggalakkan prakarsa dan peran aktif masyarakat serta peningkatan
pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu secara nyata,
dinamis dan bertanggungjawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah
yang akan memberi peluang untuk koordinasi tingkat lokal.
Di era otonomi daerah dan globalisasi yang sedang terjadi, setiap
daerah dituntut untuk dapat menggali potensi yang dimiliki oleh daerah
bersangkutan. Tujuannya untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan yang
dimiliki suatu daerah, sehingga akan lebih cepat dan tanggap dalam menyusun
strategi dan kebijakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sasaran
pembangunan akan terwujud apabila pemerintah daerah mengetahui potensi
daerah dan kawasan andalan serta merumuskan strategi kebijakan
pengembangan produk atau komoditi basis ekonominya. (Ropingi dan
Agustono, 2007: 61).
Pemerintah daerah dituntut untuk mempersiapkan sumber daya
manusia yang handal, mampu bersaing dengan tenaga dari luar daerah dan
mampu untuk mengolah potensi daerah. Sumber daya manusia yang tidak atau
belum berkualitas dapat menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah tidak
berjalan sebagaimana mestinya seperti adanya konflik dan penyelewengan
yang diwarnai oleh menonjolnya kepentingan pribadi dan kelompok. Sumber
daya manusia sebagai pelaksana dari otonomi daerah harus manusia yang
berkualitas karena nantinya akan menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan
otonomi daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah membawa pemerintah daerah
dituntut untuk lebih pro aktif dalam menggali potensi yang ada didaerahnya.
Namun ada kecenderungan bagi pemerintah daerah untuk mengeksploitasi
sumber daya alam yang ada. Rusaknya sumber daya alam disebabkan karena
keinginan dari pemerintah daerah untuk menghimpun pendapatan daerah,
dimana sumber daya alam yang potensial dieksploitasi secara besar-besaran
tanpa mempertimbangkan dampak negatif atau kerusakan lingkungan dan
prinsip pembangunan berkelanjutan.
Penyelengaraan pemerintah daerah di berbagai daerah yang
mementingkan kepentingannya sendiri akan menciptakan ego daerah yang
tinggi. Hal ini akan membawa dampak negatif dari otonomi daerah yaitu
setiap daerah mempunyai kebebasan untuk mengelola pemerintah daerah
sesuai dengan kehendak dan aspirasi daerah sendiri yang cenderung keluar
dari konsep NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Pelaksanaan otonomi daerah semakin memperluas kewenangan
daerah untuk melaksanakan program-program pembangunan di daerahnya.
Konsekuensi dari semakin meluasnya kewenangan, tugas dan tanggung jawab,
suatu daerah harus merespon untuk segera menetapkan suatu pandangan baru
perencanaan pembangunan sebagai suatu konsep dasar untuk menjawab
berbagai tantangan dan permasalahan sesuai kondisi daerah.
Kebijakan otonomi daerah yang lebih luas membuat kewenangan
daerah untuk melaksanakan program-program pembangunan di daerah
semakin meluas. Perhatian pemerintah daerah harus diperlukan untuk
menghasilkan perencanaan daerah yang dapat berperan sebagai dasar
kebijakan pembangunan ekonomi. Para perencana daerah diharapkan mampu
menyusun rencana-rencana pembangunan yang sesuai dengan potensi dan
kebutuhan lokal. (Abdul Aziz Ahmad, 2008: 61).
Kebijakan otonomi daerah berakar dari konsep tentang desentralisasi
yaitu pelimpahan sebagian wewenang yang dimiliki pemerintah pusat
terhadap pemerintah daerah. Konsep desentralisasi merupakan kebalikan dari
sistem sentralisasi di mana seluruh kewenangan dikuasai oleh pemerintah
pusat. Ciri –ciri dari teori desentralisasi adalah pemerintah lokal harus diberi
otonomi dan kebebasan, dan harus dianggap sebagai wilayah terpisah yang
tidak mendapatkan kontrol langsung dari pemerintah pusat. Karakteristik
lainnya adalah pemerintah lokal seharusnya memiliki batas-batas kewilayahan
yang ditetapkan secara hukum, agar tataran administrasi sebuah pemerintah
lokal mampu melaksanakan fungsi-fungsinya yang secara otomatis sinergis
dengan pemerintah lokal lainnya dan memperoleh status kelembagaan yang
jelas sekaligus wewenang kekuasannya. (Safi’i, 2007: 18).
F. Penelitian yang Relevan
1. Ropingi dan Agustono, Jurnal SEPA, Vol. 4 No. 1, September 2007.
“PEMBANGUNAN WILAYAH KECAMATAN BERBASIS
KOMODITI PERTANIAN DI KABUPATEN BOYOLALI
(PENDEKATAN SHIFF-SHARE ANALISIS)”.
Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui komoditi
pertanian yang menjadi basis pada masing-masing kecamatan di
Kabupaten Boyolali, mengetahui komponen pertumbuhan komoditi
pertanian di masing-masing kecamatan dan mengetahui jenis komoditi
pertanian dan wilayah pengembangannya di tiap-tiap kecamatan wilayah
Kabupaten Boyolali. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang bersifat time series tahun 2004-2005. Data yang dimaksud
adalah data nilai produksi komoditi pertanian dan harga komoditi
pertanian. Penentuan komoditi pertanian basis di tiap-tiap kecamatan
menggunakan analisis Location Quotien (LQ). Dari hasil analisis diketahui
bahwa komoditi pertanian basis yang paling banyak adalah komoditi padi,
kelapa, ayam buras, dan ikan lele. Berdasarkan hasil analisis shiff – share
dari berbagai komoditi pertanian basis diketahui bahwa pertumbuhan
selama tahun 2004-2005 sebesar 8,09%. Pertumbuhan komoditi pertanian
di setiap kecamatan berbeda-beda, ada yang pertumbuhan dibawah
pertumbuhan tingkat kabupaten ada yang dibawah tingkat kabupaten.
Kondisi ini terjadi karena adanya perbedaan beberapa faktor diantaranya
daya dukung sumberdaya, kondisi topografi, kondisi kesuburan lahan,
sarana dan prasarana irigasi.
2. Catur Sugiyanto, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 22 No.4,
Oktober 2007.
”STRATEGI PENYUSUNAN KOMODITAS UNGGULAN DAERAH”
Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui perbedaan
metode penentuan komoditas unggulan yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah dengan perbankan. Data yang digunakan oleh pemerintah daerah
adalah komoditi unggulan masing-masing sektor sedangkan dari
perbankan adalah melakukan survei potensi dasar terhadap Usaha Kecil
Menengah (UKM) di daerah. Alat analisis yang digunakan adalah
Revealed Comparative Advantage (RCA). Dari hasil analisis tersebut
diketahui bahwa tidak semua produk unggulan termasuk dalam kelompok
industri primadona yang menggabungkan keunggulan relatif dalam hal:
jumlah usaha, nilai tambah, dan jumlah tenaga kerja dapat mendeteksi
kriteria jenis usaha atau sektor yang primadona maupun sektor yang dapat
menopang menyelesaikan masalah ekonomi daerah (kesempatan kerja dan
pendapatan).
3. Mei Tri Sundari dan Nuning Setyowati, Jurnal SEPA, Vol. 2 No. 2,
Februari 2005.
” ANALISIS BASIS EKONOMI SEKTOR PERTANIAN DI
KABUPATEN KARANGANYAR DENGAN PENDEKATAN
ANALISIS LOCATION QUOTIENT”.
Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui sektor
perekonomian yang menjadi basis di Kabupaten Karanganyar. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi data
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan
tahun 1993 Kabupaten Karanganyar dan Propinsi Jawa Tengah tahun
1999-2003. Alat analisis yang digunakan adalah LQ. Dari hasil analisis
diketahui bahwa selama tahun 1999-2003 sektor pertanian yang menjadi
basis di Kabupaten Karanganyar adalah sektor industri pengolahan, sektor
listrik, gas dan air minum, dan sektor jasa-jasa. Secara umum sektor
pertanian belum mampu menjadi sektor basis, namun ada subsektor yang
menjadi basis yaitu sektor perkebunan dan peternakan.
4. Rachmat Hendayana, Jurnal Informatika Pertanian, Vol 12, Desember
2003.
”APLIKASI METODE LOCATION QUOTIENT (LQ) DALAM
PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN NASIONAL”.
Tujuan penelitian tersebut adalah membahas penerapan metode LQ
dalam mengidentifikasi komoditas pertanian. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat time series tahun 1997-
2001. Data yang dimaksud meliputi data areal panen tanaman pangan,
holtikultura (sayuran dan buah-buahan), perkebunan dan populasi ternak.
Dari hasil analisis tersebut dapat digunakan sebagai salah satu teknik
untuk mengidentifikasi penyebaran komoditas pertanian. Dalam hal ini
komoditas yang memiliki nilai LQ > 1 dianggap memiliki keunggulan
komparatif karena basis. Komoditas pertanian yang tergolong basis dan
memiliki sebaran wilayah paling luas menjadi salah satu indikator
komoditas unggulan.
5. Lilis Siti Badriah, Jurnal JEBA, Vol. 5 No. 2, September 2003.
“IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR EKONOMI UNGGULAN DI
PROPINSI JAWA TENGAH”.
Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui sektor-sektor
ekonomi yang menjadi sektor unggulan dalam perekonomian Jawa
Tengah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang meliputi data Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atas
dasar harga konstan tahun 1993 Propinsi Jawa Tengah. Alat analisis yang
digunakan adalah Location Qoutient (LQ), Model Ratio Pertumbuhan
(MRP), dan Overlay. Dari hasil analisis diketahui bahwa sektor – sektor
ekonomi yang menjadi sektor unggulan di Jawa Tengah secara
keseluruhan terdiri dari sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan
sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor yang potensial terdiri dari
sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, gas dan air minum,
sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan dan
jasa perusahaan. Sedangkan sektor yang unggul tetapi cenderung menurun
adalah sektor jasa-jasa.
6. Ropingi dan Dyah Listiarini, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 3 No.2,
Desember 2003.
” PENENTUAN SEKTOR UNGGULAN DI KABUPATEN PATI
BERDASAR ANALISIS LQ DAN SHIFF SHARE”.
Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui sektor-sektor
yang menjadi sektor unggulan dalam perekonomian Kabupaten Pati, posisi
sektor pertanian, dan posisi sektor tanaman bahan makanan, perkebunan,
peternakan, kehutanan, dan perikanan di Kabupaten Pati. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat time
series tahun 1998-2001 yang meliputi data Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 1993. Alat analis yang
digunakan adalah Location Qoutient (LQ), Shiff share, dan Gabungan LQ
dan Shiff Share. Dari hasil analisis LQ diketahui bahwa yang menjadi
sektor basis adalah sektor Pertanian, sektor Listrik, Gas dan Air Bersih dan
sektor Keuangan. Berdasarkan dari gabungan analisis LQ dan Shiff Share
diketahui bahwa sektor-sektor unggulan dibagi menjadi enam klasifikasi
yaitu prioritas pertama adalah sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih. Prioritas
ketiga adalah sektor Industri dan Jasa, Prioritas keempat adalah sektor
Pertambangan dan Penggalian, Bangunan, Perdagangan, dan sektor
Pengangkutan dan Komunikasi dan prioritas alternatif meliputi sektor
Pertanian dan Keuangan. Sedangkan prioritas kedua dan kelima tidak ada.
G. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian ini dimulai dengan melihat komoditi
unggulan sektor pertanian di Kabupaten Pacitan sebelum dan selama Otonomi
Daerah yaitu pada periode 1997-2007. Sektor pertanian yang terdiri dari sub
sektor tanaman bahan makanan, sub sektor perkebunan, sub sektor perikanan,
sub sektor peternakan, dan sub sektor kehutanan
Komoditi Jawa Timur
Sektor Pertanian (subsektor Tanaman Bahan Makanan,
Perkebunan, Perikanan, Peternakan, dan Kehutanan
Komoditi Unggulan Sektor Pertanian
Kebijakan pembangunan Kabupaten Pacitan
Tujuan Pembangunan Ekonomi di Kabupaten
Pacitan
Komoditi Kabupaten Pacitan
Keunggulan suatu daerah yang difokuskan pada komoditi unggulan
sektor pertanian dapat diketahui dengan membandingkan satu daerah dengan
daerah yang lebih tinggi kedudukannya, misal propinsi. Penentuan komoditi
unggulan daerah merupakan salah satu faktor kunci pengembangan ekonomi
daerah. Penetapan komoditi unggulan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
biasanya berdasarkan potensi daerah. Potensi suatu daerah dapat berupa
sumber daya alam, sumber daya manusia yang dapat dimanfaatkan dalam
proses pembangunan ekonomi daerah. Sehingga dapat memudahkan
pemerintah daerah untuk merumuskan strategi kebijakan agar mampu
melaksanakan pembangunan guna mewujudkan tujuan pembangunan ekonomi
daerah.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu bentuk penelitian deskriptif analisis
yang menganalisa komoditi unggulan sektor pertanian. Adapun wilayah yang
diambil sebagai daerah penelitian adalah Kabupaten Pacitan. Kurun waktu
yang digunakan adalah tahun 1997 dan 2007. Kurun waktu tersebut dibagi
menjadi kurun 1997-2000 dimana tahun tersebut merupakan periode sebelum
diterapkan Otonomi Daerah sedangkan kurun 2001-2007 merupakan periode
selama diterapkan Otonomi Daerah.
B. Jenis Data dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dikategorikan sebagai
data sekunder yang diperoleh dari beberapa sumber dengan cara mengambil
data-data statistik yang telah ada serta dokumen-dokumen lain yang terkait
dan yang diperlukan. Dalam hal ini buku-buku statistik yang diterbitkan oleh
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pacitan yang merupakan sumber yang
relevan dengan penelitian ini.
C. Definisi Operasional
Variabel – variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Sektor adalah kegiatan atau lapangan usaha yang berhubungan dengan
bidang tertentu atau mencakup beberapa unit produksi yang terdapat dalam
suatu perekonomian.
2. Sub sektor adalah unit produksi yang terdapat dalam suatu sektor
perekonomian sehingga mempunyai lingkup usaha yang lebih sempit
daripada sektor. Sub sektor yang dikaji dalam penelitian ini adalah sub
sektor dari sektor pertanian.
3. Sektor pertanian adalah sektor ekonomi yang mempunyai proses produksi
khas yaitu proses produksi yang berdasarkan pada proses pertumbuhan
dan perkembangan tanaman dan hewan. Sektor pertanian terdiri dari 5 sub
sektor yaitu tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, perikanan,
dan kehutanan.
4. Komoditi unggulan adalah komoditas yang diunggulkan suatu daerah yang
tumbuh dan berkembang dengan baik karena sesuai dengan agroklimat
setempat ( kondisi tanah dan iklim ).
D. Teknik Analisis Data
1. Analisis LQ (Location Quontient)
Analisis Location Quontient digunakan untuk menentukan
subsektor unggulan atau ekonomi basis suatu perekonomian wilayah.
Subsektor unggulan yang berkembang dengan baik tentunya mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah yang
pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan daerah secara optimal.
(Mudrajad Kuncoro, 2004: 183)
Model analisis ini digunakan untuk melihat keunggulan sektora
dari suatu wilayah dengan wilayah lainnya atau dengan wilayah studi
dengan wilayah referensi. Analisis Location Quontient dilakukan dengan
membandingkan distribusi persentase masing-masing sektor di masing-
masing wilayah kabupaten atau kota dengan propinsi. (Lincolyn Arsyad,
1999).
Penggunaaan pendekatan LQ dimanfaatkan untuk menentukan
sebaran komoditas atau melakukan identifikasi wilayah berdasarkan
potensinya. Kelebihan metode LQ dalam mengidentifikasi komoditas
unggulan antara lain adalah penerapannya sederhana, mudah dan tidak
memerlukan program pengolahan data yang rumit. Kelemahannya adalah
data yang digunakan harus akurat. Hasil olahan LQ tidak akan banyak
manfaat jika data yang digunakan tidak valid. Oleh karena itu data yang
digunakan perlu diklarifikasi dahulu dengan beberapa sumber data lainnya,
sehingga mendapatkan konsistensi data yang akurat. (Rachmat Hendayana,
2003: 4)
Rumus (LQ) Location Quontient :
LQ = VtVivtvi
//
Dimana : vi = Komoditi i di tingkat kota / kabupaten Pacitan
vt = Komoditi total di kota / kabupaten Pacitan
Vi = Komoditi i di wilayah Propinsi Jawa Timur
Vt = Komoditi total pada wilayah Propinsi Jawa Timur
Dari hasil perhitungan analisis Location Quontient dapat
dikategorikan menjadi 3 (tiga) yaitu:
a. Jika LQ > 1, maka komoditi yang bersangkutan di tingkat
kota/kabupaten lebih berspesialisasi atau lebih dominan dibandingkan
di tingkat propinsi. Komoditi ini dalam perekonomian di tingkat
kota/kabupaten memiliki keunggulan komparatif dan dikategorikan
sebagai komoditi basis.
b. Jika LQ = 1, maka komoditi yang bersangkutan baik di tingkat
kota/kabupaten maupun di tingkat propinsi memiliki tingkat
spesialisasi atau dominasi yang sama.
c. Jika LQ < 1, maka komoditi yang bersangkutan di tingkat
kota/kabupaten kurang berspesialisasi atau kurang dominan
dibandingkan di tingkat propinsi. Komoditi ini dalam perekonomian di
tingkat kota/kabupaten tidak memiliki keunggulan komparatif dan
dikategorikan sebagai komoditi non basis.
2. Analisis Shiff Share
Analisis Shiff Share merupakan teknik yang berguna dalam
menganalisis perubahan struktur ekonomi daerah dibandingkan dengan
perekonomian nasional. Tujuan analisis ini adalah untuk menentukan
kinerja atau produktifitas kerja perekonomian daerah dengan
membandingkan dengan daerah yang lebih besar. Analisis ini memberikan
data tentang kinerja perekonomian dalam 3 (tiga) bidang yang saling
berhubungan yaitu (Lincolin Arsyad, 1999: 139).
a. Pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan cara menganalisis
perubahan pengerjaan agregat secara sektoral dibandingkan dengan
perubahan pada sektor yang sama di perekonomian yang dijadikan
acuan
b. Pergeseran proporsional mengukur perubahan relatif, pertumbuhan
atau penurunan, pada daerah dibandingkan dengan perekonomian yang
lebih besar yang dijadikan acuan. Pengukuran ini memungkinkan
untuk mengetahui apakah perekonomian daerah terkonsentrasi pada
industri – industri yang tumbuh lebih cepat daripada perekonomian
yang dijadikan acuan.
c. Pergeseran diferensial membantu dalam menentukan seberapa jauh
daya saing industri daerah (lokal) dengan perekonomian yang
dijadikan acuan. Oleh karena itu jika pergeseran diferensial dari suatu
industri adalah positif, maka industri tersebut lebih tinggi daya
saingnya daripada industri yang sama pada perekonomian yang
dijadikan acuan.
Teknik analisis shift share ini membagi pertumbuhan sebagai
perubahan (D) suatu variabel wilayah seperti kesempatan kerja, nilai
tambah, pendapatan atau output selama waktu tertentu dalam hal ini akan
mempengaruhi pertumbuhan propinsi (N), bauran industri atau industri
mix (M) dan keunggulan kompetitif (C). Pengaruh pertumbuhan propinsi
disebut pengaruh pangsa pasar (share), pengaruh bauran industri disebut
proporsional shift atau bauran komposisi, sedangkan pengaruh keunggulan
kompetitif disebut regional share atau deferensial shift. Itulah sebabnya
disebut teknik shift share (Prasetyo Soepono dalam Faizal Reza
Salahuddin, 2005:39-44).
Persamaan shift-share untuk sektor i di daerah j adalah :
Dij =Nij + Mij + Cij
Persamaan tersebut mengandung pengertian bahwa pertumbuhan PDRB
(Dij) merupakan hasil penjumlahan dari pengaruh propinsi (Nij), pengaruh
bauran industri (Mij), dan pengaruh keunggulan kompetitif (Cij).
Bila analisis tersebut diterapkan pada nilai (E), maka persamaannya :
Dij = E*ij - Eij
Nij = Eij . rn
Mij = Eij . (rin – rn)
Cij = Eij . (rij - rin)
Dimana :
rij = laju pertumbuhan sektor i di daerah j.
rin = laju pertumbuhan sektor i di propinsi.
rn = laju pertumbuhan PDRB propinsi.
Laju pertumbuhan PDRB propinsi maupun laju pertumbuhan sektor i
di daerah j diperoleh dari :
rij = (E*ij – Eij) / Eij
rin = (E*ij – Ein) /Ein
rn = (E*n – En) / En
Dimana :
Eij = Nilai tambah sektor i di daerah j pada awal tahun analisis.
E*ij = Nilai tambah sektor i di daerah j pada akhir tahun analisis.
Ein = Nilai tambah sektor i di propinsi pada awal tahun analisis.
E*in =Nilai tambah sektor i di propinsi pada akhir tahun analisis.
En = Nilai tambah PDRB propinsi pada awal tahun analisis.
E*n = Nilai tambah PDRB propinsi pada akhir tahun analisis.
Untuk suatu daerah, pertumbuhan propinsi, bauran industri dan
keunggulan kompetitif dapat dijumlahkan untuk semua sektor sebagai
keseluruhan daerah, sehingga persamaan Shift-Share untuk sektor i di
daerah j:
Dij = Eij . rn + Eij (rin – rn) + Eij (rij – rin)
3. Model Rasio Pertumbuhan (MRP)
Dalam model ini ada dua macam rasio yang digunakan untuk
membandingkan pertumbuhan sektor dalam suatu wilayah studi maupun
wilayah referensi, yaitu :
a. Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPR)
Membandingkan laju pertumbuhan sektor i di wilayah referensi
dengan laju pertumbuhan total sektor wilayah referensi, dengan rumus
(Maulana Yusuf dalam Lilis Siti Badriah, 2003:148-149):
RPR = )(
)(
tRR
tiRiR
EE
EE
D
D
Dimana:
ΔEiR = Perubahan pendapatan sektor i wilayah referensi pada awal dan
akhir tahun penelitian.
EiR(t) = Pendapatan sektor i wilayah referensi pada awal tahun
penelitian.
ΔER = Perubahan pendapatan wilayah referensi pada awal dan akhir
tahun penelitian.
ER(t) = Pendapatan wilayah referensi pada awal tahun penelitian.
Jika RPr > 1, maka RPr dikatakan (+), berarti laju pertumbuhan sektor
i di wilayah referensi lebih tinggi dari laju pertumbuhan seluruh sektor
di wilayah referensi. Demikian juga sebaliknya.
b. Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs)
Membandingkan laju pertumbuhan sektor i di wilayah studi dengan
laju pertumbuhan sektor sejenis di wilayah referensi, dengan rumus
(Maulana Yusuf dalam Lilis Siti Badriah, 2003:148-149):
RPs = )(
)(
tiRiR
tijij
EE
EE
D
D
Dimana:
ΔEij = Perubahan pendapatan sektor i di wilayah studi pada awal dan
akhir tahun penelitian.
Eij(t)= Pendapatan sektor i di wilayah studi pada awal tahun
penelitian.
ΔEiR = Perubahan pendapatan sektor i wilayah referensi pada awal dan
akhir tahun penelitian.
EiR(t) = Pendapatan sektor i wilayah referensi pada awal tahun
penelitian.
Jika RPs > 1, maka RPs dikatakan (+), berarti bahwa laju pertumbuhan
sektor i di wilayah studi lebih besar dari laju pertumbuhan sektor
tersebut di wilayah referensi. Demikian juga sebaliknya.
Dari hasil analisis MRP dengan melihat nilai RPR dan RPs akan
diklasifikasikan sektor-sektor ekonomi dalam empat klasfikasi, yaitu :
1) Nilai RPR (+) dan RPS (+) berarti kegiatan sektor tersebut pada tingkat
wilayah referensi (Propinsi Jawa Timur) dan tingkat wilayah studi
(Kabupaten Pacitan) memiliki pertumbuhan yang menonjol.
2) Nilai RPR (+) dan nilai RPS (-) berarti sektor tersebut pada tingkat
wilayah referensi (Propinsi Jawa Timur) memiliki pertumbuhan yang
menonjol, tetapi tingkat wilayah studi (Kabupaten Pacitan) kurang
menonjol
3) Nilai RPR (-) dan nilai RPS (+) berarti sektor tersebut pada tingkat
wilayah referensi (Propinsi Jawa Timur) memiliki pertumbuhan yang
kurang menonjol tetapi di tingkat wilayah studi (Kabupaten Pacitan)
memiliki pertumbuhan yang menonjol.
4) Nilai RPR (-) dan nilai RPS (-) berarti sektor tersebut pada tingkat
wilayah referensi (Propinsi Jawa Timur) maupun di tingkat wilayah
studi (Kabupaten Pacitan) memiliki pertumbuhan yang rendah.
4. Analisis Overlay
Menurut Maulana Yusuf dalam Lilis Siti Badriah (2003: 149)
mengatakan bahwa model analisis Overlay ini digunakan untuk melihat
deskripsi kegiatan ekonomi berdasarkan kriteria pertumbuhan (RPs = rasio
Pertumbuhan wilayah studi) dan kriteria kontribusi sebagai berikut:
a. Pertumbuhan (+) dan kontribusi (+), berarti bahwa sektor tersebut
merupakan sektor unggulan karena mempunyai tingkat pertumbuhan
dan tingkat kontribusi yang tinggi. Sektor ini layak mendapat proiritas
dalam pembangunan.
b. Pertumbuhan (+) dan kontribusi (-), berarti bahwa sektor tersebut
merupakan sektor yang potensial karena walaupun kontribusinya
rendah tetapi pertumbuhannya tinggi. Sektor ini sedang mengalami
perkembangan yang perlu mendapat perhatian untuk kontribusinya
dalam pembentukan PDRB.
c. Pertumbuhan (-) dan kontribusi (+), berarti bahwa sektor tersebut
merupakan sektor yang unggul namun ada kecenderungan menurun
karena walaupun kontribusinya tinggi tetapi pertumbuhannya rendah.
Sektor ini menunjukkan sedang mengalami penurunan, sehingga perlu
dipacu pertumbuhannya.
d. Pertumbuhan (-) dan kontribusi (-), berarti bahwa sektor tersebut
merupakan sektor yang rendah baik dari segi pertumbuhan dan
kontribusi. Sektor ini tidak layak mendapat prioritas dalam
pembangunan.
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A Gambaran Umum Daerah Penelitian
1. Keadaan Geografis
Kabupaten Pacitan merupakan salah satu dari 38 kabupaten yang ada
di wilayah Propinsi Jawa Timur, terletak di antara 7,550 – 8,170 Lintang
Selatan dan 110,550 – 111,250 Bujur Timur. Kabupaten Pacitan terletak di
Pantai Selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah
dan daerah Istimewa Yogyakarta merupakan pintu gerbang bagian barat
dari Jawa Timur. Keadaan alamnya sebagian besar berupa bukit dan
gunung, jurang terjal dan termasuk deretan Pegunungan Seribu yang
membujur sepanjang Pulau Jawa.
Secara administratif batas-batas wilayah Kabupaten Pacitan adalah
sebagai berikut :
a. Sebelah Utara : Kabupaten Ponorogo (Jawa Timur) dan Kabupaten
Wonogiri (Jawa Tengah).
b. Sebelah Selatan : Samudera Indonesia.
c. Sebelah Barat : Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah).
d. Sebelah Timur : Kabupaten Trenggalek (Jawa Timur).
Secara administratif wilayah Kabupaten Pacitan terbagi dalam 12
kecamatan yaitu Kecamatan Donorojo, Kecamatan Punung, Kecamatan
Pringkulu, Kecamatan Pacitan, Kecamatan Kebonagung, Kecamatan
Arjosari, Kecamatan Nawangan, Kecamatan Bandar, Kecamatan
Tegalombo, Kecamatan Tulakan, Kecamatan Ngadirojo, dan Kecamatan
Sudimoro. Dilengkapi dengan 166 wilayah desa dan 5 kelurahan.
Kecamatan Sudimoro yang memiliki luas wilayah 71,856 Km2, merupakan
kecamatan yang tersempit di Kabupaten Pacitan, sedangkan kecamatan
yang paling luas adalah Kecamatan Tulakan dengan luas wilayah 161,615
Km2.
Bentuk wilayah adalah bentuk pemukiman wilayah dalam kaitannya
dengan lereng dan perbedaan ketinggian. Jadi aspek yang penting dalam
topografi adalah bentuk relief wilayah yang dicerminkan oleh ketinggian
tempat dan kemiringan lereng.
Secara topografi areal tanah yang ada di Kabupaten Pacitan
digolongkan menjadi 5 (lima) daerah ketinggian di atas permukaan air
laut, yaitu:
a. Ketinggian 0 - 25 m, meliputi wilayah seluas 2,62 %.
b. Ketinggian 25 - 100 m, meliputi wilayah seluas 2,67 %.
c. Ketinggian 100 - 500 m, meliputi wilayah seluas 52,68%.
d. Ketinggian 500 - 1000 m, meliputi wilayah seluas 36,43 %.
e. Ketinggian 1000 m, meliputi wilayah seluas 5,59 %.
Lingkungan fisik topografi wilayah Kabupaten Pacitan dibedakan
menjadi 2 (dua) bagian, yaitu wilayah selatan pada umumnya berupa batu
kapur, sedangkan dibagian utara berupa tanah. Adapun kandungan
tanahnya terdiri dari Assosiasilitosal, Mediteran Merah Litosal, Campuran
Tuf dan bahan Vulkan serta komplek Litosol Kemerahan dan alifial
kelabu, endapan tanah liat yang mengandung potensi bahan galian mineral
yang ternyata didalamnya banyak mengandung potensi bahan tambang.
Iklim Kabupaten Pacitan berada disekitar garis khatulistiwa, maka
seperti daerah lain di Indonesia, wilayah ini mempunyai dua musim setiap
tahunnya, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Keadaan
maksimum suhu maksimum rata-rata 330 C, sedangkan suhu minimum
rata-rata mencapai 220 C.
Keadaan hari hujan pada tahun 2007 di Kabupaten Pacitan
meningkat apabila dibandingkan dengan tahun 2006. Hari-hari hujan yang
paling banyak yaitu jatuh pada bulan Februari dan Desember sebanyak
252 hari dan 349 hari, sedangkan rata-rata curah hujan bulan Desember
581mm3. Pada musim kemarau bulan yang paling kering jatuh pada bulan
Agustus karena pada bulan tersebut hanya terdapat lima hari hujan.
2. Distribusi Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan adalah pemanfaatan lahan oleh manusia dengan
berbagai tujuan guna memenuhi kebutuhannya. Kabupaten Pacitan
memiliki luas 138.987,2 Ha, berdasarkan atas distribusi penggunaan tanah
terdiri dari lahan sawah seluas 13.014,26 Ha (9,36 persen) dan lahan
kering seluas 125.971,90 Ha (90,64 persen). Menurut jenis pengairannya
sebagian besar lahan sawah digunakan sebagai lahan sawah berpengairan
tadah hujan sebesar 6707 Ha (4,83 persen), lainnya berpengairan irigasi
teknis, irigasi setengah teknis dan irigasi sederhana. Menurut jenis
penggunaannya sebagian besar lahan kering digunakan untuk tanaman
kayu-kayuan sebesar 45.213,78 Ha (32,53 persen). Persentase itu
merupakan yang terbesar dibandingkan persentase penggunaan lahan
kering lain. Gambaran distribusi penggunaan lahan di Kabupaten Pacitan
selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 4.1
Tabel 4.1. Distribusi Penggunaan Lahan di Kabupaten Pacitan Tahun 2007.
Jenis Tanah Luas (Ha) Presentase (%)
A. Tanah sawah - Irigasi Teknis - Irigasi 1/2 teknis - Irigasi Sederhana - Tadah Hujan B. Tanah Kering - Bangunan/Pekarangan - Tegal/Huma - Tanaman Kayu-kayuan - Hutan Rakyat - Hutan Negara - Lainnya
13.014,26 864
2.130 3.313 6.707
125.971,90 3.153,33
29.890,58 45.213,78 34.968,97 1.214,25
11.530,99
9,36 0,62 1,53 2,38 4,83
90,64 2,27
21,51 32,53 25,16 0,87 8,30
Jumlah 138.987,2 100,00 Sumber : Pacitan Dalam Angka 2008.
3. Keadaan Penduduk dan Tenaga Kerja
a. Keadaan Penduduk
Berdasarkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil jumlah
penduduk menurut regristrasi di Kabupaten Pacitan tahun 2007 adalah
sebanyak 555.262 jiwa yang terdiri dari 273.259 jiwa laki-laki dan
282.003 jiwa perempuan dengan laju pertumbuhan 0,75 persen.
Jumlah penduduk tahun 2007 ini lebih besar dibandingkan dengan
tahun 2006 yang sebesar 551.155 jiwa.
Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Kepadatan Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Pacitan Tahun 1997-2007
Tahun Laki- Laki
Perempuan Jumlah Kepadatan (jiwa/km2)
Pertumbuhan (%)
1997 257.558 274.433 531.991 396 - 1998 259.948 274.744 534.692 398 0,51 1999 260.988 275.506 536.494 400 0,34 2000 264.174 277.152 541.326 403 0,90 2001 265.268 277.984 543.252 391 0,36 2002 266.542 278.867 545.409 392 0,40 2003 267.701 279.607 547.308 394 0,35 2004 268.660 280.409 549.069 395 0,32 2005 270.882 280.887 551.759 397 0,49 2006 258.709 292.446 551.155 397 -0,11 2007 273.259 282.003 555.262 400 0,75
Sumber: Pacitan Dalam Angka 1998 - 2008.
Tabel 4.3. Luas Daerah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Pacitan Tahun 2007
No Kecamatan Luas Daerah
(Km2)
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Donorojo Punung Pringkuku Pacitan Kebonagung Arjosari Nawangan Bandar Tegalombo Tulakan Ngadirojo Sudimoro
109,09 108,81 132,93 77,11
124,85 117,06 124,06 117,34 149,26 161,61 95,91 71,86
40.367 35.696 32.321 65.344 45.059 39.621 50.226 43.498 50.760 77.926 43.831 30.613
370 328 243 847 361 338 405 371 340 482 457 426
Jumlah 1.389,87 555.262 400
Sumber : Pacitan Dalam Angka Tahun 2008.
Kepadatan penduduk Kabupaten Pacitan tahun 2007 rata-
rata sebesar 400 jiwa/km2 sedangkan kepadatan penduduk pada
masing-masing kecamatan beragam mulai dari 243 jiwa sampai 847
jiwa per km2 .Kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk paling
tinggi adalah kecamatan Pacitan yaitu 847 jiwa/km2 sedangkan paling
rendah adalah kecamatan Pringkuku sebesar 243 jiwa/km2.
b. Tenaga kerja
Penduduk Usia Kerja didefinisikan sebagai penduduk yang
berumur 10 tahun ke atas. Penduduk Usia Kerja terdiri dari Angkatan
Kerja dan Bukan Angkatan Kerja. Mereka yang termasuk dalam
Angkatan Kerja adalah penduduk yang bekerja atau yang sedang
mencari pekerjaan, sedangkan Bukan Angkatan Kerja adalah mereka
yang bersekolah, mengurus rumah tangga atau melakukan kegiatan
lainnya.
Tabel 4.4. Banyaknya Penduduk Umur 10 Tahun keatas Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Pacitan Tahun 2007
Sumber : Pacitan Dalam Angka 2008.
Berdasarkan data tabel diatas dapat dijelaskan bahwa penyerapan
tenaga kerja tertinggi didominasi sektor pertanian dengan jumlah
sebesar 256.875 jiwa atau sebesar 69,82 persen dengan kontribusi
tenaga kerja laki-laki sebanyak 135.680 jiwa sedangkan tenaga kerja
Penduduk No Lapangan Usaha Laki-laki Perempuan
an
Jumlah Persentase (%)
1. Pertanian 135.680 121.195 256.875 69,82 2. Pertambangan&penggalian 1.984 - 1.984 0,54 3. Industri 9.832 11.107 20.939 5,69 4. Lisktrik,gas&air 686 221 907 0,25 5. Kontruksi 11..959 221 12.180 3,31 6. Perdagangan 8.774 28.026 36.800 10,00 7. Komunikasi&Transportasi 5.416 221 5.637 1,53 8. Keuangan 982 711 1.693 0,46 9 Jasa 16.362 14.513 30.875 8,39 Jumlah 191.675 176.215 367.890 100
perempuan sebanyak 121.195 jiwa. Penyerapan tenaga kerja terendah
adalah di sektor listrik, gas, dan air sebanyak 907 atau sebesar 0,25
persen dengan kontribusi tenaga kerja laki-laki sebanyak 686 jiwa
sedangkan tenaga kerja perempuan sebanyak 221 jiwa.
Sektor yang berpotensi berkembang yaitu sektor perdagangan
36.800 jiwa atau sebesar 10 persen dengan kontribusi tenaga kerja laki-
laki sebanyak 8.774 jiwa sedangkan tenaga kerja perempuan sebanyak
28.026 jiwa.
4. Pertanian
a. Tanaman Bahan Makanan
Subsektor Tanaman Bahan Makanan di Kabupaten Pacitan
berperan terhadap peningkatan perekonomian dalam menyerap tenaga
kerja, meningkatkan kesempatan berusaha di pedesaan, serta
meningkatkan ekspor komoditas pertanian.
Tabel 4.5. Perkembangan Luas Panen Pertanian Tanaman Pangan
di Kabupaten Pacitan Tahun 2006-2007
Tahun No Komoditi Satuan
2006 2007
1. Padi Ha 32861 32541
2. Jagung Ha 25369 25370
3. Ubi Kayu Ha 35259 34909
4. Ubi Jalar Ha 156 91
5. Kacang Tanah Ha 10642 9665
6. Kedelai Ha 5225 4436
7. Kacang Hijau Ha 97 63
8. Sorgum Ha 26 27
Sumber: Pacitan dalam Angka 2008.
Perkembangan luas panen pertanian tanaman bahan
makanan di Kabupaten Pacitan dalam dua periode yaitu pada tahun
2006 sampai tahun 2007 mengalami penurunan. Tanaman pangan
Padi, Ubi kayu, Ubi jalar, Kacang tanah, Kedelai, Kacang hijau, dan
Sorgum semua mengalami penurunan sedangkan untuk tanaman
pangan jagung mengalami peningkatan.
Luas panen pertanian tanaman pangan yang paling besar
adalah Ubi kayu seluas 34909 Ha sedangkan luas pertanian tanaman
pangan yang paling rendah adalah Sorgum seluas 27 Ha.
Tabel. 4.6. Perkembangan Produksi Pertanian Tanaman Pangan
di Kabupaten Pacitan Tahun 2006-2007
Tahun No Komoditi Satuan
2006 2007
1. Padi Ton 146.351 145.631
2. Jagung Ton 97.954 102.793
3. Ubi Kayu Ton 585.927 623.434
4. Ubi Jalar Ton 1.180 725
5. Kacang Tanah Ton 13.178 10.992
6. Kedelai Ton 5.058 4.691
7. Kacang Hijau Ton 106 64
8. Sorgum Ton 22 22
Sumber: Pacitan Dalam Angka 2008
Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa Perkembangan
produksi pertanian tanaman bahan makanan di Kabupaten Pacitan
dalam dua periode pada tahun 2006 sampai tahun 2007 yaitu
komoditi jagung, ubi kayu mengalami peningkatan sedangkan untuk
komoditi padi, kacang tanah, ubi jalar, kedelai, kacang hijau, dan
sorgum mengalami penurunan.
Produksi pertanian tanaman bahan makanan yang paling
besar adalah Ubi kayu sebesar 623.434 ton sedangkan produksi
pertanian tanaman bahan makanan yang paling rendah adalah
Sorgum sebesar 22 ton.
b. Perkebunan
Subsektor perkebunan dibedakan atas perkebunan rakyat dan
perkebunan besar. Perkebunan rakyat adalah perkebunan yang
diusahakan sendiri oleh rakyat atau masyarakat, biasanya dalam
skala kecil-kecilan dan dengan teknologi budidaya yang sederhana.
Perkebunan rakyat umumnya mengalami kenaikan karena rata-rata
ada penambahan luas panen. Perkebunan besar adalah semua
kegiatan perkebunan yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan
perkebunan berbadan hukum. Tanaman perkebunan merupakan
pendukung utama sektor pertanian dalam menghasilkan devisa.
Komoditi yang dihasilkan antara lain kelapa, cengkeh, kopi, jambu
mente, kapuk randu, kakao dan termasuk produk ikutannya.
Tabel 4.7. Perkembangan Produksi Perkebunan di Kabupaten
Pacitan Tahun 2006-2007
Tahun No Komoditi Satuan
2006 2007
1. Kelapa Kg 18.708.370 18.760.060
2. Cengkeh Kg 478.040 741.950
3. Kopi Kg 379.512 378.756
4. Jambu mente Kg 40.280 29.120
5. Kapuk randu Kg 15.617 15.617
6. Mlinjo Kg 2.413.440 2.417.436
7. Kakao Kg 34.943 51.128
8. Jahe Kg 3.236.625 3.211.230
9. Kunyit Kg 1.196.800 1.192.515
10. Temulawak Kg 1.292.976 1.308.300
11. Laos Kg 568.050 564.025
12. Kencur Kg 350.035 341.030
13. Lada Kg 2.448 2.448
14. Panili Kg 27.979 43.396
15. Janggelan Kg 230.445 216.144
16. Aren Kg 268.520 267.435
17. Kapas Kg 21.268 42.023
Sumber: Pacitan Dalam Angka 2008
Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa perkembangan
produksi perkebunan di Kabupaten Pacitan dalam dua periode pada
tahun 2006 sampai tahun 2007 yaitu komoditi kelapa, cengkeh,
mlinjo kakao, temulawak, panili dan kapas mengalami peningkatan
sedangkan untuk komoditi kopi, jambu mente, kapuk randu, jahe,
kunyit, laos kencur, lada, janggelan dan aren mengalami penurunan.
Komoditi kapuk randu dan lada tidak mengalami kenaikan atau tetap.
Produksi perkebunan yang paling besar adalah kelapa sebesar
18.760.060 kg sedangkan produksi perkebunan yang paling rendah
adalah lada sebesar 2448 kg.
c. Peternakan
Subsektor peternakan mencakup kegiatan beternak itu sendiri
dan pengusahaan hasil-hasilnya. Subsektor ini meliputi produksi
ternak-ternak besar, kecil dan unggas. Untuk menghitung produksi
subsektor ini berdasarkan pada data pemotongan, selisih stok atau
perubahan populasi dan ekspor neto.
Tabel 4.8. Perkembangan Produksi Daging Peternakan di
Kabupaten Pacitan Tahun 2006-2007
Tahun No Komoditi Satuan
2006 2007
1. Sapi Kg 446.358 425.961
2. Kambing Kg 735.244 728.576
3. Domba Kg 390.302 428.337
4. Ayam buras Kg 808.857 730.347
5. Ayam pedaging Kg 123.689 142.880
Sumber: Pacitan Dalam Angka 2008
Produksi daging yang paling besar adalah ayam buras
730.347 Kg sebesar sedangkan produksi daging yang paling rendah
adalah ayam pedaging yaitu sebesar 142.880 Kg.
d. Kehutanan
Subsektor kehutanan terdiri atas tiga macam kegiatan yaitu
penebangan kayu, pengambilan hasil hutan lain ,dan perburuan.
Tabel 4.9. Perkembangan Produksi Hasil Hutan Menurut Jenis
kayu di Kabupaten Pacitan Tahun 2006-2007
Tahun No Komoditi Satuan
2006 2007
1. Kayu jati M3 71.700 41.143
2. Kayu sengon laut M3 11.698 118.110
3. Kayu akasia M3 4.320 14.684
4. Kayu mahoni M3 2.721 5.658
5. Kayu pinus M3 10.430 10.941
6. Bambu M3 24.609 19.475
Sumber: Pacitan Dalam Angka 2008
Produksi hasil hutan yang paling besar adalah Kayu sengon
laut sebesar 118.110 M3 sedangkan produksi yang paling rendah
adalah kayu mahoni yaitu sebesar 5.658 M3.
e. Perikanan
Subsektor perikanan meliputi semua hasil kegiatan
perikanan laut, perairan umum, tambak, sawah, dan keramba, serta
pengolahan sederhana atas produk-produk perikanan (pengeringan
dan pengasinan). Dari segi teknis kegiatannya, subsektor ini
dibedakan menjadi tiga macam sektor yaitu perikanan laut, perikanan
darat, dan penggaraman.
Tabel 4.10. Perkembangan Produksi Perikanan di Kabupaten
Pacitan Tahun 2006-2007
Tahun No Perikanan Satuan
2006 2007
1. Darat Ton 387 390
2. Laut Ton 1872 3115
Sumber: Pacitan Dalam Angka 2008
Produksi perikanan yang paling besar adalah perikanan laut
sebesar 3115 ton sedangkan produksi perikanan yang paling rendah
adalah perikanan darat sebesar 390 ton.
B. Hasil Analisis dan Pembahasan
1. Analisis Location Quotient (LQ)
Analisis Location Quotient merupakan alat analisis untuk
mengetahui subsektor unggulan atau ekonomi basis suatu perekonomian
wilayah. Berdasarkan hasil perhitungan LQ dari komoditi sektor pertanian
pada masa sebelum diterapkan otonomi daerah (tahun 1997-2000) maupun
selama diterapkan otonomi daerah (tahun 2001-2007) di Kabupaten
Pacitan, didapatkan hasil sebagai berikut :
a. Masa Sebelum diterapkan Otonomi Daerah
Tabel 4.11. Hasil Perhitungan Location Quotient Kabupaten Pacitan Tahun 1997-2000
Komoditi 1997 1998 1999 2000 Rata-rata Keterangan TABAMA 1.26 1.22 1.33 1.29 1.28 Basis Padi 1.10 0.99 0.95 0.87 0.98 Non Basis Jagung 0.89 0.70 0.98 0.92 0.87 Non Basis Ubi kayu 4.35 6.55 6.56 6.65 6.03 Basis Ubi jalar 0.52 0.27 0.34 0.25 0.35 Non Basis Kacang tanah 1.72 1.91 1.72 1.97 1.83 Basis Kedelai 0.97 0.88 0.91 0.86 0.91 Non Basis Kacang hijau 0 0.00 0.00 0.00 0.00 Non Basis Sorgum 2.17 1.86 1.92 1.84 1.95 Basis PERKEBUNAN 2.93 2.74 2.67 2.71 2.76 Basis Kelapa 3.95 3.67 3.62 3.72 3.74 Basis Cengkeh 9.77 9.12 8.87 8.67 9.11 Basis Kopi 1.00 0.95 0.91 0.94 0.95 Non Basis Jambu mente 1.47 1.40 1.14 1.05 1.27 Basis Kapuk randu 0.34 0.31 0.28 0.27 0.30 Non Basis Kakao 1.05 1.10 1.19 1.48 1.21 Basis PETERNAKAN 0.67 0.67 0.62 0.64 0.65 Non Basis Sapi 0.67 0.67 0.62 0.64 0.65 Non Basis Kerbau 0.17 0.17 0.16 0.09 0.15 Non Basis Kambing 1.15 1.05 1.02 1.01 1.06 Basis Domba 1.01 1.06 1.03 1.03 1.03 Basis Ayam ras 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 Non Basis Itik 0.20 0.25 0.24 0.22 0.23 Non Basis KEHUTANAN 0.01 0.03 0.00 0.00 0.01 Non Basis Jati 0.01 0 0 0 0.00 Non Basis rimba 0.07 0.18 0.03 0.02 0.07 Non Basis bakar 0.05 0.20 0.01 0.02 0.07 Non Basis PERIKANAN 0.39 0.47 0.34 0.34 0.39 Non Basis perikanan darat 0.30 0.37 0.28 0.28 0.31 Non Basis perikanan laut 0.45 0.51 0.37 0.37 0.42 Non Basis
Sumber: Hasil Olahan Data Sekunder
Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata LQ dalam kurun waktu
sebelum diterapkan otonomi daerah (tahun 1997-2000), dapat dijelaskan
bahwa di Kabupaten Pacitan terdapat komoditi yang teridentifikasi
sebagai basis, yaitu :
1). Subsektor Tanaman Bahan Makanan, meliputi :
Ubi Kayu, Kacang Tanah dan Sorgum
2). Subsektor Perkebunan, meliputi :
Kelapa, Cengkeh, Jambu Mente, dan Kakao
3). Subsektor Peternakan, meliputi :
Kambing dan Domba
b. Masa Selama diterapkan Otonomi Daerah
Tabel 4.12. Hasil Perhitungan Location Quotient Kabupaten Pacitan Tahun 2001-2007
Komoditi 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Rata-rata
Keterangan
TABAMA 1.20 1.26 1.21 1.19 1.18 1.20 1.46 1.24 Basis Padi 0.80 0.81 0.74 0.77 0.75 0.74 0.80 0.77 Non Basis Jagung 0.80 0.89 0.86 0.91 0.81 0.91 1.25 0.92 Non Basis Ubi kayu 6.17 6.22 6.41 5.63 6.26 6.00 10.58 6.75 Basis Ubi jalar 0.23 0.48 0.38 0.57 0.58 0.45 0.38 0.44 Non Basis Kacang tanah 1.98 2.33 2.05 2.01 1.89 2.26 2.39 2.13 Basis Kedelai 0.75 0.72 0.82 0.79 0.72 0.84 1.28 0.85 Non Basis Kacang hijau 0.01 0.01 0.03 0.04 0.02 0.06 0.04 0.03 Non Basis Sorgum 1.80 2.75 7.08 2.74 2.15 1.68 2.64 2.98 Basis PERKEBUNAN 2.44 2.50 2.53 2.42 2.46 2.54 2.26 2.45 Basis Kelapa 3.37 3.42 3.51 3.35 3.41 3.28 3.06 3.34 Basis Cengkeh 7.80 7.71 7.84 7.50 7.25 7.16 6.44 7.38 Basis Kopi 0.90 0.91 0.94 0.90 0.87 0.89 0.83 0.89 Non Basis Jambu mente 0.93 0.95 0.93 0.89 0.93 1.00 0.93 0.94 Non Basis Kapuk randu 0.23 0.24 0.22 0.21 0.23 0.25 0.20 0.22 Non Basis Kakao 1.20 1.28 1.35 1.44 1.34 2.40 1.50 1.50 Basis PETERNAKAN 0.71 0.69 0.71 0.68 0.68 0.67 0.62 0.68 Non Basis Sapi 0.76 0.73 0.75 0.72 0.70 0.69 0.63 0.71 Non Basis Kerbau 0.08 0.07 0.09 0.08 0.19 0.21 0.23 0.14 Non Basis Kambing 0.91 0.92 0.94 0.90 0.94 0.94 0.87 0.92 Non Basis Domba 0.93 0.95 0.94 0.94 0.91 0.92 0.86 0.92 Non Basis Ayam ras 0.01 0.01 0.00 0.03 0.04 0.04 0.05 0.03 Non Basis Itik 0.20 0.19 0.20 0.20 0.17 0.17 0.18 0.19 Non Basis KEHUTANAN 0.00 0.02 0.05 0.45 0.76 0.71 0.04 0.29 Non Basis Jati 0.00 0.00 0 0.50 0.78 0.76 0.05 0.30 Non Basis Rimba 0.00 0.10 0.28 0 0.66 0.29 0.03 0.20 Non Basis Bakar 0 0.04 0.07 0 0 0 0 0.02 Non Basis PERIKANAN 0.27 0.18 0.19 0.20 0.16 0.16 0.23 0.20 Non Basis perikanan darat 0.15 0.09 0.10 0.10 0.09 0.09 0.08 0.10 Non Basis perikanan laut 0.33 0.22 0.22 0.25 0.19 0.19 0.30 0.24 Non Basis
Sumber: Hasil Olahan Data Sekunder
Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata LQ dalam kurun waktu
selama diterapkan otonomi daerah (tahun 2001-2007), dapat dijelaskan
bahwa di Kabupaten Pacitan terdapat komoditi yang teridentifikasi
sebagai basis, yaitu :
1). Subsektor Tanaman Bahan Makanan, meliputi :
Ubi Kayu, Kacang Tanah dan Sorgum.
2). Subsektor Perkebunan, meliputi :
Kelapa, Cengkeh, dan Kakao
c. Pembahasan
1). Sebelum Otonomi Daerah
Komoditi yang teridentifikasi sebagai komoditi basis di
Kabupaten Pacitan pada masa sebelum diterapkan otonomi daerah
tahun 1997-2000, yaitu subsektor tanaman bahan makanan yang terdiri
dari komoditi Ubi kayu, Kacang tanah dan Sorgum, subsektor
perkebunan terdiri dari komoditi Kelapa, Cengkeh dan Kakao
sedangkan dari subsektor peternakan terdiri dari Kambing dan Domba.
Walaupun komoditi Padi, Jagung, Kedelai di subsektor tanaman bahan
makanan dan Kopi di subsektor perkebunan bukan merupakan
komoditi basis namun komoditi tersebut berpotensi dan berpeluang
menjadi basis mengingat nilai LQ mendekati nilai 1. Hal ini dapat
terjadi karena adanya faktor iklim misal adanya musim kemarau yang
panjang, kecilnya luas lahan garapan yang dimiliki petani, rendahnya
kualitas teknologi yang dimiliki dan rendahnya kualitas sumber daya
manusia (petani). Komoditi yang berpotensi seperti komoditi padi
dapat dikembangkan karena sistem irigasi yang baik seperti adanya
waduk yang ada di Kabupaten Pacitan. Oleh karena itu pengelolaannya
harus diusahakan secara optimal dan efisien untuk peningkatan
produktifitas maupun perluasan areal tanam.
Komoditi yang menjadi basis di Kabupaten Pacitan tersebut
dapat menjadi sumber pertumbuhan. Komoditas tersebut tidak hanya
dapat memenuhi kebutuhan di wilayah Kabupaten Pacitan tetapi juga
dapat diekspor keluar wilayah. Penjualan keluar wilayah akan
menghasilkan pendapatan bagi daerah. Peningkatan pendapatan dari
komoditi basis juga dapat digunakan untuk mendorong perkembangan
komoditi non basis agar menjadi komoditi basis. Oleh karena itu,
komoditi yang menjadi basis inilah yang layak dikembangkan di
Kabupaten Pacitan.
2). Selama Otonomi Daerah
Komoditi yang teridentifikasi sebagai komoditi basis di
Kabupaten Pacitan selama diterapkan otonomi daerah tahun 2001-
2007, yaitu subsektor tanaman bahan makanan yang terdiri dari
komoditi Ubi kayu, Kacang tanah dan Sorgum sedangkan dari
subsektor perkebunan terdiri dari komoditi Kelapa, Cengkeh dan
Kakao. Walaupun komoditi Padi, Jagung, Kedelai di subsektor
tanaman bahan makanan, komoditi Kopi dan Jambu mente di
subsektor perkebunan dan komoditi Kambing dan Domba di subsektor
peternakan bukan merupakan komoditi basis namun komoditi tersebut
berpotensi dan berpeluang menjadi basis mengingat nilai LQ
mendekati nilai 1.
Komoditi yang menjadi basis di Kabupaten Pacitan tersebut
dapat menjadi sumber pertumbuhan. Komoditas tersebut tidak hanya
dapat memenuhi kebutuhan di wilayah Kabupaten Pacitan tetapi juga
dapat diekspor keluar wilayah. Penjualan keluar wilayah akan
menghasilkan pendapatan bagi daerah. Peningkatan pendapatan dari
komoditi basis juga dapat digunakan untuk mendorong perkembangan
komoditi non basis agar menjadi komoditi basis. Oleh karena itu,
komoditi yang menjadi basis inilah yang layak dikembangkan di
Kabupaten Pacitan.
Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa antara masa
sebelum maupun selama diterapkan otonomi daerah, komoditi
subsektor yang tergolong dalam klasifikasi komoditi basis tidak jauh
berbeda. Komoditi yang pada masa sebelum diterapkan otonomi
daerah telah menjadi basis di Kabupaten Pacitan tetap bertahan
menjadi komoditi basis pada masa selama diterapkan otonomi daerah
tahun 2001-2007. Namun terdapat beberapa komoditi yang sebelum
otonomi daerah merupakan komoditi basis kemudian menjadi
komoditi non basis pada selama otonomi daerah yaitu subsektor
peternakan yaitu komoditi Kambing dan Domba. Pengembangan
komoditas pertanian harus disesuaikan dengan keadaan alam sekitar
dan harus memperhatikan dampak negatif yaitu kerusakan lingkungan.
Komoditas ubi kayu walaupun dalam pengembangannya lebih unggul
namun dalam pengelolaanya harus disesuaikan dengan kelestarian
lingkungan. Ubi kayu dapat dikembangkan pada lahan marginal,
kurang subur, dan kekurangan air. Pengelolaan lahan yang tidak
memperhatikan kaidah-kaidah dari konservasi tanah dapat merusak
lingkungan. Oleh karena itu dalam penanamannya harus dibutuhkan
teknik konservasi tanah dan air guna memperbaiki sifat fisik, kimiawi,
dan hayati dari tanah tersebut.
2. Analisis Shiff Share
Analisis Shiff Share berguna dalam menganalisis perubahan struktur
ekonomi daerah dibandingkan dengan perekonomian nasional. Analisis
tersebut digunakan untuk mengetahui pengaruh dari pertumbuhan Propinsi
Jawa Timur sebagai daerah referensi terhadap perekonomian di Kabupaten
Pacitan sebagai daerah studi. Tujuan analisis ini adalah untuk menentukan
kinerja atau produktifitas kerja perekonomian daerah dengan
membandingkan dengan daerah yang lebih besar. Alat analisis ini
mengasumsikan bahwa perubahan perekonomian suatu daerah dipengaruhi
oleh pertumbuhan ekonomi wilayah propinsi, bauran industri, dan
keunggulan kompetitif.
a. Masa Sebelum Diterapkan Otonomi Daerah
Tabel 4.13. Hasil Perhitungan Shift-Share Klasik Kabupaten Pacitan Tahun 1997-2000
Nij Mij Cij Dij Komoditi Eij . rn Eij . (rin - rn) Eij . (rij - rin) Nij + Mij + Cij TABAMA 135.29 -86628.59 102288.29 15795 Padi 69.13 -33927.78 32118.65 -1740 Jagung 38.05 -18665.93 22727.88 4100 Ubi kayu 44.77 -19391.88 32830.11 13483 Ubi jalar 0.40 -199.42 96.02 -103 Kacang tanah 9.84 -4687.27 6919.44 2242 Kedelai 15.70 -7755.68 5593.99 -2146 Kacang hijau 0 0 0 0 Sorgum 0.24 -116.16 69.92 -46 PERKEBUNAN 66.22 -31212.83 32452.61 1306 Kelapa 42.85 -19713.21 21017.36 1347 Cengkeh 14.36 -5856.79 5686.43 -156 Kopi 3.39 -1661.29 1814.90 157 Jambu mente 3.15 -1540.35 1244.20 -293 Kapuk randu 1.19 -594.83 507.64 -86 Kakao 1.29 -625.28 960.99 337 PETERNAKAN 109.93 -54331.88 56084.95 1863 Sapi 87.99 -43483.57 45338.58 1943 Kerbau 0.77 -386.17 183.40 -202 Kambing 15.00 -7340.46 7504.46 179 Domba 5.67 -2783.81 2840.14 62 Ayam ras 0.13 -63.11 48.99 -14 Itik 0.12 -61.89 59.77 -2 KEHUTANAN 0.25 -127.25 23.99 -103 Jati 0.08 -42.08 0 -42 Rimba 0.14 -70.11 21.97 -48 Bakar 0.03 -15.03 2.00 -13 PERIKANAN 5.83 -2897.32 3164.49 273 Perikanan darat 1.47 -733.73 819.26 87 Perikanan laut 4.36 -2162.85 2344.50 186 TOTAL 677.64 -347076.56 384764.92 38366 317.53 -175197.87 194014.34 19134
Sumber: Hasil Olahan Data Sekunder.
Berdasarkan hasil Analisis Shift-Share menggunakan metode
klasik pada tabel menunjukkan bahwa perkembangan komoditi (Dij)
Kabupaten Pacitan pada masa sebelum diterapkan otonomi daerah
(tahun 1997-2000) mengalami kenaikan sebesar 19.134. Kenaikan
komoditi di Kabupaten Pacitan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor
berikut ini :
1) Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Propinsi (Nij)
Perkembangan ekonomi Propinsi Jawa Timur selama tahun
pengamatan yaitu tahun 1997-2000 telah mempengaruhi kenaikan
komoditi Kabupaten Pacitan sebesar 317.53. Keadaan ini
menunjukkan bahwa perubahan komoditi Kabupaten Pacitan
sangat ditentukan oleh perkembangan ekonomi Propinsi Jawa
Timur. Perubahan ini terjadi pada semua komoditi, dimana semua
komoditi mengalami kenaikan. Komoditi yang mengalami
kenaikan terbesar adalah Sapi di subsektor Peternakan yaitu
sebesar 87.99, komoditi Padi di subsektor Tanaman bahan
makanan sebesar 69.13 dan komoditi Kelapa di subsektor
Perkebunan sebesar 42.85.
2) Pengaruh Bauran Industri (Mij)
Pengaruh bauran industri secara keseluruhan terhadap
perkembangan komoditi Kabupaten Pacitan pada tahun 1997-2000
menurun sebesar -175197.87. Hal ini berarti kegiatan ekonomi di
Kabupaten Pacitan pada kurun waktu tahun 1997-2000 dianggap
tidak berkembang atau lebih rendah dari perkembangan ekonomi di
tingkat propinsi. Karena nilai Mij diseluruh komoditi adalah negatif
maka pengaruh bauran industri dari semua komoditi di Kabupaten
Pacitan pada kurun waktu tersebut perkembangannya lebih rendah
dari perkembangan komoditi yang sama di Propinsi Jawa Timur.
3) Pengaruh Keunggulan kompetitif (Cij)
Pengaruh komponen keunggulan kompetitif di Kabupaten
Pacitan pada masa sebelum diterapkannya otonomi daerah dalam
kurun waktu tahun 1997-2000 berakibat positif bagi perkembangan
komoditi Kabupaten Pacitan, yaitu sebesar 194014.34. Subsektor
yang menyumbang nilai kontribusi terbesar adalah subsektor
Tanaman bahan makanan sebesar 102288.29 dengan komoditi
terbesar adalah Ubi kayu sebesar 32830.11, subsektor Peternakan
sebesar 56084.95 dengan komoditi terbesar Sapi sebesar 45338.58
dan subsektor Perkebunan sebesar 32452.61 dengan komoditi
terbesar Kelapa sebesar 21017.36
b. Masa Selama Diterapkan Otonomi Daerah
Tabel 4.14. Hasil Perhitungan Shift-Share Klasik Kabupaten Pacitan Tahun 2001-2007
Nij Mij Cij Dij Komoditi Eij . rn Eij . (rin - rn) Eij . (rij - rin) Nij + Mij + CijTABAMA -9522.63 -93582.13 104011.76 907Padi -2965.95 -29363.17 31915.12 -414Jagung -2013.03 -19863.98 24880.01 3003Ubi kayu -3407.31 -29275.87 29733.18 -2950Ubi jalar -8.73 -87.76 90.49 -Kacang tanah -703.89 -6657.54 9205.43 1844Kedelai -449.37 -4463.96 4356.33 -557Kacang hijau -1.17 -11.82 62.99 50Sorgum -8.10 -80.73 25.83 -63PERKEBUNAN -3140.55 -29578.02 34969.57 2251Kelapa -2073.15 -18998.78 22265.93 1194Cengkeh -641.52 -5141.99 5832.51 49Kopi -177.84 -1754.07 2005.91 74Jambu mente -114.84 -1133.96 1191.80 -57Kapuk randu -44.73 -449.86 434.59 -60Kakao -88.47 -835.79 1975.26 1051PETERNAKAN -5118.03 -50741.91 57719.94 1860Sapi -4137.48 -40994.81 45086.29 -46Kerbau -15.84 -159.66 255.50 80Kambing -692.82 -6810.42 8746.24 1243Domba -261.18 -2568.94 3162.12 332Ayam ras -5.22 -52.70 304.92 247Itik -5.49 -55.19 64.68 KEHUTANAN -1.53 -15.46 273.99 257Jati -1.44 -14.55 235.99 220rimba -0.09 -0.91 38.00 37bakar 0 0 0 PERIKANAN -260.82 -2614.45 3482.27 607Perikanan darat -47.43 -478.20 388.63 -137Perikanan laut -213.39 -2132.69 3090.08 744TOTAL -36122.04 -347919.32 395805.36 11764
-18043.56 -176531.97 200457.53 5882 Sumber: Hasil Olahan Data Sekunder.
Berdasarkan hasil Analisis Shift-Share menggunakan metode
klasik pada tabel menunjukkan bahwa perkembangan komoditi (Dij)
Kabupaten Pacitan pada masa selama diterapkan otonomi daerah (tahun
2001-2007) mengalami kenaikan sebesar 5882. Kenaikan komoditi di
Kabupaten Pacitan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini :
1). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Propinsi (Nij)
Perkembangan ekonomi Propinsi Jawa Timur selama tahun
pengamatan yaitu tahun 2001-2007 telah mempengaruhi penurunan
komoditi Kabupaten Pacitan sebesar -18043.56. Keadaan ini
menunjukkan bahwa perubahan komoditi Kabupaten Pacitan sangat
ditentukan oleh perkembangan ekonomi Propinsi Jawa Timur.
Perubahan ini terjadi pada semua komoditi. Komoditi yang
mengalami penurunan terbesar adalah Sapi di subsektor Peternakan
yaitu sebesar -4137.48, komoditi Ubi kayu di subsektor Tanaman
bahan makanan sebesar -3407.31 dan komoditi Kelapa di subsektor
Perkebunan sebesar -2073.15.
2). Pengaruh Bauran Industri (Mij)
Pengaruh bauran industri secara keseluruhan terhadap
perkembangan komoditi Kabupaten Pacitan pada tahun 2001-2007
menurun sebesar -176531.97 . Hal ini berarti kegiatan ekonomi di
Kabupaten Pacitan pada kurun waktu tahun 2001-2007 dianggap
tidak berkembang atau lebih rendah dari perkembangan ekonomi di
tingkat propinsi. Karena nilai Mij diseluruh komoditi adalah negatif
maka pengaruh bauran industri dari semua komoditi di Kabupaten
Pacitan pada kurun waktu tersebut perkembangannya lebih rendah
dari perkembangan komoditi yang sama di Propinsi Jawa Timur.
3). Pengaruh Keunggulan kompetitif (Cij)
Pengaruh komponen keunggulan kompetitif di Kabupaten
Pacitan pada masa selama diterapkannya otonomi daerah dalam
kurun waktu tahun 2001-2007 berakibat positif bagi perkembangan
komoditi Kabupaten Pacitan, yaitu sebesar 200457.53. Subsektor
yang menyumbang nilai kontribusi terbesar adalah subsektor
Tanaman bahan makanan sebesar 102288.29 dengan komoditi
terbesar adalah Padi sebesar 31915.12, subsektor Peternakan sebesar
57719.94 dengan komoditi terbesar Sapi sebesar 45086.29 dan
subsektor Perkebunan sebesar 34969.57 dengan komoditi terbesar
Kelapa sebesar 22265.93.
3. Analisis Model Ratio Pertumbuhan
Untuk mendukung dari hasil analisis LQ dalam menentukan
deskripsi kegiatan ekonomi yang dominan atau potensial bagi Kabupaten
Pacitan dalam penelitian ini, maka digunakan pula alat analisis MRP. Pada
dasarnya alat analisis MRP sama dengan LQ, namun letak perbedaannya
pada kriteria penghitungannya. Pada analisis LQ penghitungannya
menggunakan kriteria kontribusi, sedangkan analisis MRP menggunakan
kriteria pertumbuhan.
Menurut model MRP ini ada dua macam rasio yang digunakan yaitu
Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPR) dan Rasio Pertumbuhan
Wilayah Studi (RPs). Apabila RPR maupun RPs lebih besar dari satu maka
disebut memiliki nilai nominal (+) dan bila RPR dan RPs kurang dari satu
maka disebut memiliki nilai nominal (-). Berdasarkan hasil perhitungan
MRP pada masa sebelum pelaksanaan otonomi daerah (tahun 1997-2000)
di Kabupaten Pacitan, didapat hasil sebagai berikut :
a. Masa Sebelum diterapkannya Otonomi Daerah
Tabel 4.15. Hasil Perhitungan Model Ratio Pertumbuhan
Kabupaten Tahun 1997-2000
MRP RPr RPs
Komoditi
Rill Nominal Rill Nominal TABAMA 23.80 + 4.91 + Padi 62.55 + -0.54 - Jagung 40.63 + 3.54 + Ubi kayu -34.94 - -11.49 - Ubi jalar -52.56 - 6.53 + Kacang tanah 103.40 + 2.94 + Kedelai -173.02 - 1.05 + Kacang hijau 124.02 + 0 - Sorgum -230.81 - 1.12 + PERKEBUNAN 11.75 + 2.24 + Kelapa 14.59 + 2.87 + Cengkeh -1.86 - 7.81 + Kopi 34.49 + 1.79 + Jambu mente 24.55 + -5.05 - Kapuk randu -10.63 - 9.04 + Kakao -17.46 - -19.98 - PETERNAKAN -14.98 - -1.60 - Sapi -13.92 - -2.11 - Kerbau -136.32 - 2.56 + Kambing 35.58 + 0.45 - Domba -66.25 - -0.22 - Ayam ras 1.40 + -105.46 - Itik -150.59 - 0.14 - KEHUTANAN -135.63 - 3.99 + Jati -127.63 - 5.22 + Rimba -111.31 - 4.11 + Bakar -426.11 - 1.36 + PERIKANAN 99.32 + 0.63 - Perikanan darat 50.98 + 1.54 + Perikanan laut 123.96 + 0.46 -
Sumber : Hasil Olahan Data Sekunder. Keterangan : RPr = Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi. RPs = Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi.
Berdasarkan hasil perhitungan MRP pada tabel diatas, maka
dengan melihat dan membandingkan nilai RPR dan nilai RPs dapat
diketahui komoditi apa saja yang potensial untuk dikembangkan di
Kabupaten Pacitan dan Propinsi Jawa Timur pada masa sebelum
pelaksanaan otonomi daerah (tahun 1997-2000). Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, setiap komoditi diklasifikasikan ssuai dengan
analisis MRP yang memberikan empat klasifikasi sebagai berikut :
1). Komoditi pada tingkat Propinsi Jawa Timur dan pada tingkat
Kabupaten Pacitan memiliki pertumbuhan yang menonjol, yaitu :
· Subsektor Tanaman Bahan Makanan meliputi : Jagung dan
Kacang Tanah.
· Subsektor Perkebunan meliputi : Kelapa dan Kopi.
· Subsektor Perikanan : Perikanan darat.
2). Komoditi yang pada tingkat Propinsi Jawa Timur memiliki
pertumbuhan yang menonjol, tetapi di tingkat Kabupaten Pacitan
kurang menonjol (kategori kedua), yaitu :
· Subsektor Tanaman Bahan Makanan meliputi : Padi dan
Kacang tanah.
· Subsektor Perkebunan : Jambu mente.
· Subsektor Peternakan meliputi : Kambing dan Ayam ras.
· Subsektor Perikanan: Perikanan Laut.
3). Komoditi pada tingkat Jawa Timur memiliki pertumbuhan yang
kurang menonjol tetapi di Kabupaten Pacitan memiliki
pertumbuhan yang menonjol, yaitu :
· Subsektor Tanaman Bahan Makanan meliputi : Ubi jalar,
Kedelai, dan Sorgum.
· Subsektor Perkebunan meliputi : Cengkeh dan Kapuk randu
· Subsektor Peternakan meliputi : Kerbau.
· Subsektor Kehutanan : Kayu Jati, Rimba dan Kayu bakar.
4). Komoditi yang pertumbuhannya kurang menonjol, baik pada
tingkat Propinsi Jawa Timur maupun tingkat Kabupaten Pacitan,
yaitu:
· Subsektor Tanaman Bahan Makanan meliputi : Ubi kayu
· Subsektor Perkebunan meliputi : Kakao
· Subsektor Peternakan meliputi : Sapi, Domba dan Itik.
b. Masa Selama diterapkannya Otonomi Daerah.
Tabel 4.16. Hasil Perhitungan Model Ratio Pertumbuhan Kabupaten Pacitan Tahun 2001-2007
MRP RPr RPs
Komoditi
Rill Nominal Rill Nominal TABAMA 2.94 + -0.03 - Padi 1.44 + 0.10 - Jagung 3.96 + -0.38 - Ubi kayu 5.84 + 0.15 - Ubi jalar 5.42 + 0.13 - Kacang tanah 1.07 + -2.45 - Kedelai 6.04 + 0.21 - Kacang hijau 3.33 + -12.88 - Sorgum 9.13 + 0.85 - PERKEBUNAN -0.18 - 4.08 + Kelapa -0.30 - 1.93 + Cengkeh -0.89 - 0.09 - Kopi 0.05 - -8.91 - Jambu mente 1.69 + 0.29 - Kapuk randu -0.99 - 1.36 + Kakao -5.19 - 2.30 + PETERNAKAN -0.66 - 0.56 - Sapi -0.85 - -0.01 - Kerbau 6.03 + -0.84 - Kambing -0.75 - 2.41 + Domba -0.73 - 1.75 + Ayam ras -1.01 - 47.14 + Itik -0.71 - 1.02 + KEHUTANAN 3.12 + -54.10 - Jati 3.55 + -43.21 - Rimba 0.21 - -2003.77 - Bakar 3.11 + 0 - PERIKANAN -2.67 - 0.88 - Perikanan darat -1.52 - -1.91 - Perikanan laut -3.25 - 1.08 +
Sumber : Hasil Olahan Data Sekunder. Keterangan : RPr = Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi. RPs = Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi.
Berdasarkan hasil perhitungan MRP pada tabel diatas, maka
dengan melihat dan membandingkan nilai RPR dan nilai RPs dapat
diketahui komoditi apa saja yang potensial untuk dikembangkan di
Kabupaten Pacitan dan Propinsi Jawa Timur pada masa selama
pelaksanaan otonomi daerah (tahun 2000-2007). Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, setiap komoditi diklasifikasikan sesuai dengan
analisis MRP yang memberikan empat klasifikasi sebagai berikut :
1). Komoditi yang pada tingkat Propinsi Jawa Timur dan pada tingkat
Kabupaten Pacitan memiliki pertumbuhan yang menonjol
berdasarkan hasil perhitungan analisis MRP adalah tidak ada
komoditi yang memenuhi pada kategori ini.
2). Komoditi yang pada tingkat Propinsi Jawa Timur memiliki
pertumbuhan yang menonjol, tetapi di tingkat Kabupaten Pacitan
kurang menonjol (kategori kedua), yaitu :
· Subsektor Tanaman Bahan Makanan: Padi, Jagung, Ubi Kayu,
Ubi jalar, Kacang tanah, Kedelai, Kacang hijau, dan Sorgum.
· Subsektor Perkebunan : Jambu mente.
· Subsektor Peternakan meliputi : Kerbau
· Subsektor Kehutanan : Kayu jati dan bakar.
3). Komoditi yang pada tingkat Jawa Timur memiliki pertumbuhan
yang kurang menonjol tetapi di Kabupaten Pacitan memiliki
pertumbuhan yang menonjol, yaitu :
· Subsektor Perkebunan meliputi : Kelapa, Kapuk randu dan
Kakao
· Subsektor Peternakan : Kambing, Domba, Ayam ras, dan Itik.
· Subsektor Perikanan : Perikanan laut.
4). Komoditi yang pertumbuhannya kurang menonjol, baik pada
tingkat Propinsi Jawa Timur maupun tingkat Kabupaten Pacitan,
yaitu:
· Subsektor Perkebunan : Cengkeh dan Kopi
· Subsektor Peternakan meliputi : Sapi.
· Subsektor Kehutanan : Kayu rimba.
· Subsektor Perikanan : Perikanan Darat.
4. Analisis Overlay
Analisis ini digunakan untuk menentukan sektor-sektor ekonomi
unggulan maupun potensial berdasarkan kriteria pertumbuhan (MRP/RPs)
dan kriteria kontribusi (LQ). Dengan mempertimbangkan kedua kriteria
tersebut, penentuan kegiatan ekonomi yang unggul dan potensial dapat
lebih akurat (Maulana Yusuf dalam Lilis Siti Badriah, 2003:152).
a. Masa Sebelum diterapkannya Otonomi Daerah
Tabel 4.17. Hasil Perhitungan Overlay Kabupaten Pacitan
1997-2000
RPs LQ Komoditi Riil Nominal Riil Nominal
Total
TABAMA 4.91 + 1.28 + + + Padi -0.54 - 0.98 - - - Jagung 3.54 + 0.87 - + - Ubi kayu -11.49 - 6.03 + - + Ubi jalar 6.53 + 0.35 - + - Kacang tanah 2.94 + 1.83 + + + Kedelai 1.05 + 0.91 - + - Kacang hijau 0 - 0.00 - - - Sorgum 1.12 + 1.95 + + + PERKEBUNAN 2.24 + 2.76 + + + Kelapa 2.87 + 3.74 + + + Cengkeh 7.81 + 9.11 + + + Kopi 1.79 + 0.95 - + - Jambu mente -5.05 - 1.27 + - + Kapuk randu 9.04 + 0.30 - + - Kakao -19.98 - 1.21 + - + PETERNAKAN -1.60 - 0.65 - - - Sapi -2.11 - 0.65 - - - Kerbau 2.56 + 0.15 - + - Kambing 0.45 - 1.06 + - + Domba -0.22 - 1.03 + - + Ayam ras -105.46 - 0.01 - - - Itik 0.14 - 0.23 - - - KEHUTANAN 3.99 + 0.01 - + - Jati 5.22 + 0.00 - + - Rimba 4.11 + 0.07 - + - Bakar 1.36 + 0.07 - + - PERIKANAN 0.63 - 0.39 - - - perikanan darat 1.54 + 0.31 - + - perikanan laut 0.46 - 0.42 - - -
Sumber : Hasil Olahan Data Sekunder. Keterangan : RPs = Rasio Pertumbuhan wilayah studi. LQ = Location Quotient.
Berdasarkan hasil perhitungan analisis Overlay pada tabel
diatas, maka dapat dilihat komoditi unggulan maupun potensial di
Kabupaten Pacitan berdasarkan kriteria pertumbuhan (MRP/RPs) dan
kriteria kontribusi (LQ) pada masa sebelum pelaksanaan otonomi
daerah (tahun 1997-2000). Hasil penelitian tersebut kemudian setiap
subsektornya diklasifikasikan sesuai dengan analisis Overlay yang
memberikan klasifikasi sebagai berikut :
1) Pertumbuhan (+) dan kontribusi (+), merupakan suatu
sektor/subsektor yang dominan baik dari segi pertumbuhan
maupun dari segi kontribusi, berarti sektor/subsektor tersebut
sebagai sektor/subsektor unggulan di Kabupaten Pacitan.
Sektor/subsektor yang termasuk dalam klasifikasi ini, yaitu :
· Subsektor Tanaman Bahan Makanan meliputi : Kacang Tanah
dan Sorgum.
· Subsektor Perkebunan meliputi : Kelapa dan Cengkeh.
2). Pertumbuhan (+) dan kontribusi (-), berarti bahwa sektor tersebut
merupakan sektor yang potensial karena walaupun kontribusinya
rendah tetapi pertumbuhannya tinggi. Sektor ini sedang mengalami
perkembangan. Subsektor yang termasuk kategori ini yaitu :
· Subsektor Tanaman Bahan Makanan : Jagung, Ubi Jalar dan
Kedelai.
· Subsektor Perkebunan meliputi : Kopi dan Kapuk randu.
· Subsektor Peternakan : Kerbau
· Subsektor Kehutanan : Kayu jati, Rimba, dan Bakar.
· Subsektor Perikanan: Perikanan darat.
3). Pertumbuhan (-) dan kontribusi (+), merupakan sektor/subsektor
yang memiliki pertumbuhan yang kecil tetapi kontribusinya besar.
Sektor/subsektor ini dimungkinkan sebagai sektor/subsektor yang
sedang mengalami penurunan. Subsektor yang termasuk kategori
ini, yaitu :
· Subsektor Tanaman Bahan Makanan meliputi : Ubi Kayu.
· Subsektor Perkebunan meliputi : Jambu Mente dan Kakao.
· Subsektor Peternakan meliputi : Kambing dan Domba.
4). Pertumbuhan (-) dan kontribusi (-), merupakan suatu
sektor/subsektor yang tidak dominan baik dari segi pertumbuhan
maupun segi kontribusi. Sektor/subsektor yang termasuk kategori
ini, yaitu :
· Subsektor Tanaman Bahan Makanan : Padi dan Kacang hijau.
· Subsektor Peternakan : Sapi, Ayam ras, dan Itik.
· Subsektor Perikanan : Perikanan darat.
b. Masa Selama diterapkannya Otonomi Daerah
Tabel 4.18. Hasil Perhitungan Overlay Kabupaten Pacitan
Tahun 2001-2007
RPs LQ Komoditi Riil Nominal Riil Nominal
Total
TABAMA -0.03 - 1.24 + - + Padi 0.10 - 0.77 - - - Jagung -0.38 - 0.92 - - - Ubi kayu 0.15 - 6.75 + - + Ubi jalar 0.13 - 0.44 - - - Kacang tanah -2.45 - 2.13 + - + Kedelai 0.21 - 0.83 - - - Kacang hijau -12.88 - 0.03 - - - Sorgum 0.85 - 2.98 + - + PERKEBUNAN 4.08 + 2.45 + + + Kelapa 1.93 + 3.34 + + + Cengkeh 0.09 - 7.38 + - + Kopi -8.91 - 0.89 - - - Jambu mente 0.29 - 0.94 - - - Kapuk randu 1.36 + 0.22 - + - Kakao 2.30 + 1.50 + + + PETERNAKAN 0.56 - 0.68 - - - Sapi -0.01 - 0.71 - - - Kerbau -0.84 - 0.14 - - - Kambing 2.41 + 0.92 - + - Domba 1.75 + 0.92 - + - Ayam ras 47.14 + 0.03 - + - Itik 1.02 + 0.19 - + - KEHUTANAN -54.10 - 0.29 - - - Jati -43.21 - 0.30 - - - Rimba -2003.77 - 0.20 - - - Bakar 0 - 0.02 - - - PERIKANAN 0.88 - 0.20 - - - perikanan darat -1.91 - 0.10 - - - perikanan laut 1.08 + 0.24 - + -
Sumber : Hasil Olahan Data Sekunder. Keterangan : RPs = Rasio Pertumbuhan wilayah studi. LQ = Location Quotient.
Berdasarkan hasil perhitungan analisis Overlay pada tabel
diatas, maka dapat dilihat komoditi unggulan maupun potensial di
Kabupaten Pacitan berdasarkan kriteria pertumbuhan (MRP/RPs) dan
kriteria kontribusi (LQ) pada masa selama pelaksanaan otonomi
daerah (tahun 2001-2007). Hasil penelitian tersebut kemudian setiap
subsektornya diklasifikasikan sesuai dengan analisis Overlay yang
memberikan empat klasifikasi sebagai berikut :
1) Pertumbuhan (+) dan kontribusi (+), merupakan suatu
sektor/subsektor yang dominan baik dari segi pertumbuhan
maupun dari segi kontribusi, berarti sektor/subsektor tersebut
sebagai sektor/subsektor unggulan di Kabupaten Pacitan.
Subsektor yang termasuk dalam klasifikasi ini, yaitu :
· Subsektor Perkebunan meliputi : Kelapa dan Kakao.
2) Pertumbuhan (+) dan kontribusi (-), merupakan sektor yang
potensial karena walaupun kontribusinya rendah tetapi
pertumbuhannya tinggi. Sektor ini sedang mengalami
perkembangan.. Subsektor yang termasuk kategori ini, yaitu :
· Subsektor Perkebunan meliputi : Kapuk randu.
· Subsektor Peternakan : Kambing, Domba, Ayam ras, dan Itik.
· Subsektor Perikanan : Perikanan laut.
3) Pertumbuhan (-) dan kontribusi (+), merupakan sektor/subsektor
yang memiliki pertumbuhan yang kecil tetapi kontribusinya besar.
Sektor/subsektor ini dimungkinkan sebagai sektor/subsektor yang
sedang mengalami penurunan. Subsektor yang termasuk kategori
ini, yaitu :
· Subsektor Tanaman Bahan Makanan meliputi : Ubi Kayu,
Kacang tanah, dan Sorgum.
· Subsektor Perkebunan meliputi : Cengkeh.
4) Pertumbuhan (-) dan kontribusi (-), merupakan suatu
sektor/subsektor yang tidak dominan baik dari segi pertumbuhan
maupun segi kontribusi. Sektor/subsektor yang termasuk kategori
ini, yaitu :
· Subsektor Tanaman Bahan Makanan : Padi, Jagung, Ubi jalar,
Kedelai, dan Kacang hijau.
· Subsektor Perkebunan : Kopi dan Jambu Mente.
· Subsektor Peternakan : Sapi dan Kerbau.
· Subsektor Perikanan : Perikanan darat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Bab ini akan menyampaikan secara keseluruhan dari hasil analisis
data yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya. Berdasarkan serangkaian
studi yang telah dipaparkan khususnya di bagian hasil analisis dan
pembahasan dapat diberikan suatu kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil perhitungan analisis Location Quotients pada masa sebelum
diterapkan otonomi daerah yaitu tahun 1997-2000, dapat diketahui
komoditi yang teridentifikasi sebagai komoditi basis di Kabupaten Pacitan,
yaitu subsektor Tanaman Bahan Makanan terdiri dari Ubi Kayu, Kacang
Tanah dan Sorgum, subsektor Perkebunan terdiri dari Kelapa, Cengkeh,
Jambu Mente, dan Kakao sedangkan subsektor Peternakan terdiri dari
Kambing dan Domba. Sementara selama diterapkan otonomi daerah yaitu
tahun 2001-2007, komoditi yang teridentifikasi sebagai komoditi basis di
Kabupaten Pacitan, yaitu subsektor Tanaman Bahan Makanan terdiri dari
Ubi Kayu, Kacang Tanah dan Sorgum sedangkan subsektor Perkebunan
terdiri dari Kelapa, Cengkeh, dan Kakao.
2. Berdasarkan perhitungan analisis Shift-Share metode klasik, diketahui
bahwa pada masa sebelum diterapkan otonomi daerah tahun 1997-2000
dapat diketahui bahwa besarnya pertumbuhan keunggulan kompetitif dan
pertumbuhan ekonomi mempengaruhi perubahan komoditi Kabupaten
Pacitan sedangkan besarnya pengaruh pertumbuhan bauran industri
menyebabkan menurunnya komoditi Kabupaten Pacitan. Sementara pada
masa selama diterapkan otonomi daerah tahun 2001-2007 dapat diketahui
bahwa besarnya pertumbuhan keunggulan kompetitif mempengaruhi
perubahan komoditi Kabupaten Pacitan sedangkan besarnya pengaruh
bauran industri dan pertumbuhan ekonomi menyebabkan menurunnya
komoditi Kabupaten Pacitan.
3. Berdasarkan hasil analisis MRP diketahui bahwa komoditi yang memiliki
pertumbuhan yang menonjol baik di Kabupaten Pacitan maupun di
Propinsi Jawa Timur pada masa sebelum diterapkan otonomi daerah pada
tahun 1997-2000 adalah Subsektor Tanaman Bahan Makanan meliputi
Jagung dan Kacang tanah; Subsektor Perkebunan meliputi Kelapa dan
Kopi; Subsektor Perikanan meliputi Perikanan Darat. Sementara selama
diterapkan otonomi daerah tahun 2001-2007 adalah tidak ada komoditi
yang memiliki pertumbuhan yang menonjol baik di kabupaten Pacitan
maupun Propinsi Jawa Timur.
4. Berdasarkan analisis Overlay menunjukkan bahwa pada masa sebelum
diterapkan otonomi daerah pada tahun 1997-2000 komoditi dominan yang
dapat dikembangkan di Kabupaten Pacitan karena memenuhi kriteria
pertumbuhan dan kontribusi yang bernilai positif yaitu Subsektor Tanaman
Bahan Makanan meliputi komoditi Kacang Tanah dan Sorgum; Subsektor
Perkebunan meliputi komoditi Kelapa dan Cengkeh. Sementara kegiatan
ekonomi yang dominan dari segi pertumbuhan dan kontribusi untuk
dikembangkan di Kabupaten Pacitan pada masa selama diterapkan
otonomi daerah kurun waktu tahun 2001-2007 adalah Subsektor
Perkebunan meliputi komoditi Kelapa dan Kakao.
B. Saran
Berdasarkan dari kesimpulan-kesimpulan penelitian di atas, maka
dapat di kemukakan saran-saran sebagai berikut :
1. Pemerintah daerah Kabupaten Pacitan diharapkan dapat mempertahankan
dan mengembangkan komoditi yang menjadi unggulan untuk peningkatan
pendapatan daerah, ekspor komoditas unggulan pertanian dan diharapkan
juga dapat merangsang komoditi lain yang kurang untuk dapat
memberikan kontribusinya terhadap pembangunan daerah Kabupaten
Pacitan.
2. Pemerintah daerah Kabupaten Pacitan diharapkan dapat mengembangkan
sarana dan prasarana untuk pengembangan usaha pertanian yaitu dengan
cara pengembangan teknologi, membangun sarana irigasi, ketersediaan
lahan, penyediaan modal bagi pelaku produsen, dan sarana pendukung
seperti transportasi dan komunikasi.
3. Pemerintah daerah Kabupaten Pacitan hendaknya menggerakkan
pembangunan pertanian yaitu dengan meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan bagi pelaku produsen pertanian seperti petani, pekebun,
nelayan, dan peternak yaitu dengan cara memasarkan hasil-hasil komoditi
pertanian seperti menjalin kerjasama atau kemitraan dengan para pedagang
atau pengusaha sehingga dapat meningkat nilai tambah dari hasil
pertanian.
4. Pemerintah daerah sebaiknya membuatkan sebuah buku pedoman untuk
para investor yang nantinya dapat memberikan masukan sebagai data
acuan untuk berbisnis di bidang pertanian khususnya di Kabupaten
Pacitan.
5. Pemerintah daerah hendaknya perlu melakukan pengembangkan penelitian
untuk mencari komoditi unggulan di luar sektor pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Abdul Aziz. 2008. Sektor-Sektor Ekonomi Potensial di Wilayah Papua. Jurnal Dinamika, Vol. 3, No.2: 61-72.
Arsyad, Lincolyn. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE : Yogyakarta.
Boediono, 2000. Ekonomi Mikro. BPFE. Yogyakarta.
BPS Propinsi Jawa Timur. 1998. Jawa Timur Dalam Angka 1998 - 2008. Surabaya: BPS.
BPS Kabupaten Pacitan. 1998. Pacitan Dalam Angka 1998 – 2007/2008.
Pacitan: BPS.
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Hendayana, Rachmat. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Jurnal Informatika Pertanian. Vol. 12.
Irawan, Andi. 2005. Analisis Perilaku Sektor Pertanian Indonesia : Aplikasi Vektor Error Corection Model. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol.20, No.3: 250-269.
Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah, Penerbit Erlangga : Jakarta.
Listiarini, Dyah dan Ropingi. 2003. Penentuan Sektor Unggulan di Kabupaten Pati Berdasar Analisis LQ dan Shift Share. Jurnal Perekonomian Pembangunan, Vol.3, No.2 :57-70.
Paul A Samuelson dan William D Nourdhous. 1996. Mikro Ekonomi. Penerbit
Erlangga: Jakarta.
Purwaningsih, Yunastiti. 2008. Ketahanan Pangan: Situasi, Permasalahan, Kebijakan, dan Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 1: 1-27.
Ropingi dan Agustono. 2007. Pembangunan Wilayah Kecamatan Berbasis Komoditi Pertanian di Kabupaten Boyolali (Pendekatan Shiff-Share Analisis). SEPA, Vol. 4 No. 1: 61-70.
Ropingi dan Agustono. 2006. Efek Alokasi dan Kontribusi Sektor Pertanian
Dalam Menghadapi Otonomi Daerah di Kabupaten Boyolali. SEPA, Vol. 2 No. 2: 117-127.
Safi’i, 2007. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah
Perspektif Teoritik. Penerbit Averroes Press: Malang. Salim, Emil, 1986, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, LP3ES. Jakarta.
Salvatore, Dominick. 1995. Teori Mikro edisi ketiga. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Setyowati, Nuning dan Mei Tri Sundari. 2005. Analisis Kemampuan Ekspor
Komoditas Pertanian di Kecamatan Delanggu Kabupaten Klaten dengan Pendekatan Analisis Location Quotient. SEPA, Vol. 2 No. 1: 57-63.
Setyowati, Nuning dan Mei Tri Sundari. 2006. Analisis Basis Ekonomi Sektor Pertanian di Kabupaten Karanganyar dengan Pendekatan Analisis Location Quotient. SEPA, Vol 2, No 2: 95-100.
Siti Badriah, Lilis. 2003. Identifikasi Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan di Propinsi Jawa Tengah. JEBA, Vol.5, No.2 : 139-155.
Sugiarto, dkk. 2002. Ekonomi Mikro: Sebuah Kajian Komprehensif. PT Gramedia Pustaka Tama: Jakarta.
Sugiyanto, Catur. 2007. Strategi Penyusunan Komoditas Unggulan Daerah.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Vol.22, No.4: 369-385.
Sadono, Sukirno. 1996. Pengantar Teori Mikro Edisi 2. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Salahuddin, Faizal Reza. 2006. Identifikasi Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan, Tekanan Penduduk Dan daya Dukung Lahan Propinsi Jawa Tengah Tahun 1994-2003. Laporan Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.