rubu
TRANSCRIPT
1
RUBU<BIYAH DAN ULU<HIYYAH SEBAGAI KONSEP TAUHID
(Tinjauan Tafsi>r, H{adith dan Bahasa)
Oleh: Lalu Heri Afrizal, Lc.*
I. Mukaddimah
Konsepsi tentang Tuhan dalam Islam merupakan persoalan yang paling mendasar
dan krusial karena dengan konsep inilah seorang muslim mengenal identitas dirinya dan
agamanya. Dengannya pula ia memandang dunia, kehidupan, ilmu pengetahuan, nilai,
serta menjadi standar utama baginya dalam menilai benar-salahnya keyakinan-keyakinan
umat manusia yang menyangkut keselamatan hidup mereka di dunia dan Akhirat. Oleh
karenanya bahasan tentang Tuhan menjadi bahasan pertama dan utama dalam akidah
Islam. Rukun iman yang pertama pun adalah iman kepada Allah, yang mendasari rukun-
rukun iman lainnya. Lalu rukun iman yang enam menjadi pondasi bagi sebuah bangunan
besar yang bernama Islam.
Konsepsi Tuhan dalam Islam tak lain adalah Tauhid yang merupakan misi utama
para nabi dan rasul yang mereka dakwahkan kepada umat manusia. Umat Islam sepakat
bahwa kalimat Tauhid itu adalah kalimat ( هللا ل ئى ئل ). Mereka juga sepakat bahwa makna
Tauhid ialah mengesakan Allah Swt dalam zat dan sifat-sifat-Nya1, sebagaimana tertera
dalam surat Al-Ikhlas, bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa, kepada-Nya bergantung
segala sesuatu, tidak diperanak dan tidak diperanakkan, dan tiada sesuatupun yang setara
dengan-Nya. Namun yang menjadi pertanyaan ialah, apakah Tauhid itu hanya sekedar
mengakui bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa? Ataukah ada kandungan lain dari Tauhid
selain makna keesaan Allah di atas? Apakah hakikat Tauhid yang dibawa oleh Al-Quran
dan Sunnah?
Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis melihat bahwa setidaknya
terdapat dua mainstream utama para ulama dalam memahami Tauhid. Mainstream
pertama adalah yang memahami Tauhid sebagai konsep mengenal keesaan Tuhan semata,
sehingga fokus kajiannya adalah menggali hakekat keesaan wujud, zat, sifat dan
perbuatan Tuhan. Yang mewakili mainstream pertama ini adalah Mutakallimu>n (Ulama
* Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam. Makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Worldview Islam yang diampu oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, MA. M.Phil. 1 Keesaan zat Allah berarti bahwa zat-Nya tunggal, esa, tidak berbilang, dan kesaan sifat-sifat-Nya
berarti bahwa hanya Allah semata yang memiliki ketinggian, kemuliaan dan kesempurnaan sifat-sifat, tiada
sesuatupun yang menyerupai atau menyamai Allah dalam hal ini.
2
Kala>m) dan Fala>sifah. Mainstream kedua adalah yang memahami Tauhid sebagai konsep
mengenal keesaan zat dan sifat Tuhan serta keesaan-Nya dalam hak penyembahan. Dari
sini mereka tidak hanya mengkaji bagaimana mengenal keesaan wujud Tuhan, tetapi juga
menekankan kajian tentang hak-hak Tuhan dari hamba-Nya, seperti kajian tentang
keesaan Allah dalam keberhakan ibadah, bentuk-bentuk kesyirikan, hal-hal yang
membatalkan ketauhidan, dsb.. Yang mewakili mainstream kedua ini adalah para ulama
h{adith, tafsi>r, fiqih dan tasawuf terutama generasi awal.
Menurut hemat penulis, mainstream kedua inilah yang lebih komprehensif dalam
memahami makna Tauhid, karena tidak hanya mengkaji Tuhan sebagai Zat yang Mahaesa
dan Mahasempurna dengan segala nama suci dan sifat-sifat-Nya (Tuhan sebagai Rabb),
tetapi juga mengkaji Tuhan sebagai satu-satunya Zat yang berhak disembah (Tuhan
sebagai Ila>h) dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun dalam penyembahan. Kajian
semacam ini tidak banyak ditemukan dalam kajian Kalam dan Filsafat, karena yang
banyak di dalamnya ketika membicarakan masalah ila>hiyya>t (ketuhanan) ialah
pembicaraan bahkan perdebatan tentang hakikat wujud Tuhan, zat dan sifat-sifat-Nya.
Padahal, masalah Tuhan sebagai satu-satunya ila>h (sesembahan yang haq) inilah yang
merupakan hakikat utama dakwah para nabi.
Dalam makalah ini penulis mencoba menggali konsep Tauhid melalui pendekatan
tafsir analitis-tematis dan pendekatan linguistik (tata bahasa dan semantik) terhadap
makna tauh}i>d, rabb dan ila>h di dalam Al-Quran dan Sunnah, serta berusaha menunjukkan
bahwa Konsep Tauhid dalam Islam ialah pengesaan Allah sebagai Rabb (zat, sifat dan
perbuatan-Nya) dan pengesaan Allah sebagai Ila>h (Tuhan yang patut disembah), dan tidak
cukup mengesakan satu aspek saja.
II. Rabb dan Ilâh Dalam Tinjauan Semantik
Telah disinggung bahwa mentauhidkan Allah secara umum berarti mengesakan
Allah dalam zat, sifat-sifat dan perbuatan-Nya serta mentauhidkan-Nya sebagai satu-
satunya zat yang berhak dan layak disembah, tiada sesembahan yang benar selain Dia
sehingga tidak boleh menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dalam ibadah, dengan
kata lain, mentauhidkan Allah dalam sifat rubu>biyyah dan ulu>hiyyah-Nya. Maka sebelum
lebih jauh mengenal kedua aspek tauhid ini perlu terlebih dahulu kita menggali makna
semantik dari kata rabb dan ila>h dalam Al-Quran dan Sunnah.
1. Makna Rabb
3
Kata rabb dalam bahasa Arab adalah mashdar (kata benda) dari kata rabba-
yarubbu yang secara umum berarti mengurus dan mengatur. Kata Al-Rabb, dengan
tambahan ‚alif-la>m‛ hanya digunakan untuk Allah dan tidak digunakan untuk makhluk,
kecuali jika ‚alif-la>m‛-nya dibuang, lalu di-idha>fahkan kepada sesuatu, seperti rabbu al-
da>r (pemilik rumah) dan rabb al-ma>l (pemilik harta), dll.. Ibnu Qutaibah (w. 276 H)
menjelaskan: ‚Tidak dikatakan untuk makhluk: ‘Orang ini adalah Al-Rabb (si pemilik),
dengan menggunakan alif-la>m ta‘ri>f seperti halnya itu dikatakan kepada Allah…karena
Allah adalah ma>lik (pemilik/raja/penguasa) bagi segala sesuatu...‛2 Al-Ra>g}ib Al-As}faha>ni>
(w. 502 H) menambahkan bahwa kata rabb saja, tanpa id}a>fah dan tanpa alif-la>m ta‘ri>f
tidak digunakan kecuali untuk Allah. Ia mengatakan: ‚Kata rabb secara harfiah berarti
mengurus, mendidik, menumbuhkan sesuatu sedikit demi sedikit hingga mencapai
kesempurnaan... dan tidak digunakan secara mutlak (tanpa ikatan seperti: id}a>fah atau alif-
la>m) kecuali untuk Allah yang mengatur kemaslahatan segala yang mawjud, seperti dalam
firman-Nya: ‚baldatun t}ayyibatun wa rabbun ghafu>r.‛3
Majduddi>n Ibnu Al-Athi>r (w. 606 H) menjelaskan bahwa: ‚Kata al-rabb secara
bahasa berarti: ma>lik [pemilik/penguasa], sayyid [tuan/pemimpin], mudabbir [pengatur],
murabbi> [pendidik], qayyim [penjaga] dan mun‘im [pemberi nikmat], dan kata ini tidak
dikatakan secara mutlak kecuali untuk Allah.4 Ibnu Fa>ris (w. 395 H) juga menjelaskan:
‚Huruf ra>’ dan ba>’ menunjukkan beberapa makna dasar. Yang pertama: memperbaiki dan
merawat sesuatu, sehingga kata rabb berarti ma>lik [raja/penguasa], kha>liq [pencipta] dan
s}a>h}ib [pemilik]. Rabb juga berarti yang memperbaiki sesuatu...‛5 Imam Al-T{abari> (w. 310
H) menafsirkan: ‚(Kata) Rabb—Tuhan kita—berarti: Tuan yang tiada sesuatu serupa
dengan-Nya, tiada sesatupun yang memiliki kemuliaan dan keagungan seperti diri-Nya,
Dialah yang mengatur urusan makhluk-Nya dengan karunia nikmat-Nya kepada mereka,
dan Dialah raja/penguasa yang mencipta dan memerintah.‛6
2 Abu> Muh}ammad Abdulla>h bin Muslim bin Qutaibah Al-Dainu>ri>, Tafsi>r Gari>b al-Qur’a>n, (Beirut:
Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1978), h. 9 3 Abu> Al-Qa>sim Al-H{usain bin Muh{ammad bin Al-Mufad}d}al Al-Ra>gib Al-As}fha>ni>, Al-Mufrada>t fi>
Gari>b al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Qalam, 1412 H), h. 336 4 Abu> Al-Sa‘a>da>t Al-Muba>rak bin Muhammad Ibnu Al-Athi>r, Al-Niha>yah fi> Gari>b al-H{adi>th wa al-
A<tha>r (Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ilmiyyah, 1979), 2/92 5 Abu> Al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris Al-Ra>zi>, Mu‘jam Maqa>yi>s Al-Lug}ah, (Beirut: Da>r Al-Fikr, 1979),
2/381 6 Imam Abu> Ja‘far Muh}ammad bin Jari>r Al-T{abari>, Ja>mi‘u al-Baya>n ‘an Ta’wi>li A<y Al-Qur’a>n,
(Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 2000), 1/144
4
Berdasarkan penjelasan para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa makna kata
Rabb [Tuhan] setidaknya dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori makna yaitu: (a)
Rabb berarti: Yang Maha mencipta, (b) Rabb berarti: Yang Maha merawat, mengatur,
mendidik dan memperbaiki, (c) Rabb berarti: Yang Mahakuasa, Yang Maha merajai dan
memiliki, dan Yang memerintah, dan (d) Rabb berarti: Yang Mahaagung dan Mahamulia.
Dari sini kita dapat melihat bahwa al-asma>’ al-h}usna> (nama-nama suci) dan al-
s}ifa>t al-‘ula> (sifat-sifat kemuliaan) bagi Allah, semuanya kembali kepada keempat
klasifikasi makna rubu>biyyah tersebut. Misalnya, nama-nama suci Allah seperti: al-kha>liq,
al-fa>t}ir, al-ba>ri>’, al-mus}awwir, al-mubdi’, al-mu‘i>d, al-muh}yi, al-mumi>t, dll., kembali
kepada makna rubu>biyyah yaitu: Yang mencipta. Kemudian nama-nama suci seperti: al-
malik, al-‘azi>z, al-jabba>r, al-qahha>r, al-muqtadir, al-qadi>r, al-mutakabbir, al-qawiyy, al-
mati>n, dll., kembali kepada makna rubu>biyyah yaitu: Yang Mahakuasa dan Maha merajai.
Nama-nama suci seperti: al-qayyu>m, al-h}a>fiz}, al-raqi>b, al-mu’min, al-muhaimin, al-
razza>q, al-wahha>b, al-‘adl, dll., semuanya kembali kepada makna rubu>biyyah yaitu: yang
merawat, mengatur, mendidik dan memperbaiki. Kemudian nama-nama suci seperti: al-
rah}ma>n, al-rah}i>m, al-‘afw, al-ra’u>f, al-g}afu>r, al-syaku>r, al-sala>m, al-sami>, al-‘ali>m, al-
khabi>r, al-h}aki>m, al-bas}ir, al-quddu>s, al-jali>l, al-kari>m, al-g}ani>, dan nama-nama suci
lainnya yang menunjukkan keluhuran, kemuliaan dan kesempurnaan Allah, semuanya
kembali kepada makna rubu>biyyah yaitu: Yang Mahaagung dan mahamulia.
Dengan demikian jelas bahwa kata rabb ini mengandung makna-makna yang
merupakan karakteristik khas bagi Tuhan, karena mencakup seluruh aspek makna al-
asma>’ al-h}usna> dan al-s}if>a>t al-‘ula> bagi Allah Swt. Sehingga tidak heran jika kata Rabb ini
sering mengganti posisi kata ‚Allah‛ di dalam Al-Quran dan Sunnah, sebagaimana akan
dijelaskan nantinya.
2. Makna Ila>h
Ila>h adalah mas}dar kata alaha - ya’lahu. Al-Fairu>z A<ba>di> (w. 817 H) berkata:
‚Alaha - ila>hah – ulu>hah – ulu>hiyyah, dari kata inilah terambil lafaz Jala>lah (Allah)... akar
katanya ialah ila>h dengan wazn (timbangan) fi‘a>l yang berarti ma’lu>h (yang disembah).
Dan setiap sesuatu yang dijadikan sesembahan merupakan ila>h bagi orang yang
menjadikannya sebagai sesembahan...‛7 Imam Al-T{abari> menjelaskan bahwa makna alaha
7 Abu T{a>hir Muh}ammad bin Ya‘qu>b Al-Fairu>z A<ba>di. Al-Qa>mu>s Al-Muh}i>t} (Beirut: Mu’assasah Al-
Risa>lah, 2005), h. 1242
5
ialah ‘abada (menyembah).8 Ibnu Fa>ris bahkan menyatakan bahwa huruf alif, la>m dan ha>’
adalah satu akar kata tersendiri yang maknanya adalah ta‘abbud (menyembah), bukan dari
kata waliha atau la>ha9, sebagaimana diklaim oleh sebagian ahli bahasa. Ila>h dengan makna
ma’lu>h ini juga ditegaskan oleh para ulama senior tafsir dan bahasa seperti: Al-
Zamakhshari> (w. 538 H) , Al-Baghwi (w. 516 H), Ibn Al-Jauzi> (w. 597 H), Al-Qurt}ubi> (w.
671 H), Al-Jauhari> (w. 393 H), Ibnu Sayyidih (w. 458 H), Muhammad bin Abu> Bakr Al-
Ra>zi> (w. 666 H), Ibnu Fa>ris, Al-Ra>g}ib Al-As}faha>ni>, Murtad}a> Al-Zabi>di> (w. 1205 H), dll.10
Abu> Bakr Al-Ra>zi> misalnya menjelaskan: ‚Makna alaha - ya’lahu - ila>hah ialah
‘abada (menyembah). Berdasarkan makna inilah Ibnu ‘Abba>s ra membaca ayat 127 surat
Al-A‘ra>f dengan salah satu qira>’a>t: ‘Wa yadharaka wa ila>hatak’, dengan meng-kasrah
hamzah, yakni: meninggalkan dirimu (wahai Fir’aun) dan meninggalkan penyembahan
padamu. Dari kata ini pula kata Alla>h berasal. Asal katanya adalah ila>h dengan wazn: fi‘a>l
yang berarti maf‘u>l, yakni ma’lu>h atau ma‘bu>d (yang disembah), seperti mas}dar kata:
ima>m yang berarti (maf‘u>l yaitu): mu’tamm bihi (yang diikuti atau dijadikan panutan).‛11
Imam Al-T{abari> juga menjelaskan bahwa asal kata ‚Allah‛ adalah al-ila>h12, yang
maknanya—sebagaimana yang beliau nukil dari perkataan Ibnu ‘Abba>s—yaitu: yang
disembah dan diibadahi oleh semua makhluk13
, atau dhul ulu>hiyyah wa al-ma‘bu>diyyah
(yang berhak untuk disembah dan diibadahi).14
Selain itu, kata ila>h juga mengandung beberapa makna lain yang masih berdekatan
dengan makna di atas, diantaranya: ‚aliha‛ yang berarti: tah}yyara (bingung). Hal ini
karena Tuhan adalah zat yang menjadikan bingung segala akal akan hakikat zat dan
sifatnya.15
Namun Ibnu Fa>ris tidak sepakat jika kata ila>h di sini berarti: tah}ayyara, karena
8 Ibnu Jari>r Al-T{abari>. Ibid. 1/123, 124
9 Ibnu Fa>ris, Ibid. 1/127.
10 Lihat: Mah}mu>d bin ‘Amr Al-Zamakhshari>, Al-Kashsha>f ‘an H}aqa>’iq G}awa>mis} Al-Tanzi>l (Beirut:
Da>r Al-Kita>b Al-‘Arabi>, 1407 H), 1/6. Abu> Al-Faraj Aburrah}ma>n bin ‘Ali> bin Muh}ammad Al-Jauzi>, Za>d Al-
Masi>r fi> ‘Ilmi Al-Tafsi>r (Beirut: Da>r Al-Kita>b Al-‘Arabi>, 1422 H), 1/16. Abu> Muh}ammad Al-H{usain bin
Mas‘u>d Al-Baghwi, Ma‘a>lim At-Tanzi>l fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n, (Riya>d}: Da>r T}aibah, 1997), 1/50. Abu> Nas}r
Isma>‘i>l bin H{amma>d Al-Jauhari>, Al-S{ih}a>h} Ta>j Al-Lug}ah (Beirut: Da>r Al-‘Ilm li Al-Mala>yi>n, 1987), 6/2223.
Abu> Al-H{asan ‘Ali> bin Isma>‘i>l bin Sayyidih, Al-Mukhas}s}is}, (Beirut: Da>r Ih}ya> Al-Tura>th Al-‘Arabi>, 1996),
4/63. Abu> ‘Abdulla>h Muhammad bin Abu> Bakr Al-Ra>zi>, Mukhta>r Al-S{ih}a>h}, (Beirut: Al-Maktabah Al-
‘As}riyyah, 1999), h. 20. Al-Ra>gib Al-As}fha>ni>, Ibid. 1/82. Abu> Al-Faid} Muh}ammad bin Muh}ammad Murtad}a>
Al-Zabi>di. Ta>j Al-‘Aru>s (Da>r Al-Hida>yah, tanpa tahun), 36/320. 11
Muhammad bin Abu> Bakr Al-Ra>zi>. Ibid. h. 20. Lihat juga: Abu> Nas}r Al-Jauhari>. Ibid. 6/2223 12
Ibnu Jari>r Al-T{abari. Ibid. 1/125 13
Ibid. 1/122. 14
Ibid. 1/123. Muhammad bin Abu> Bakr Al-Ra>zi>. Ibid. 15
Al-Ra>g}ib Al-As}faha>ni. Ibid. h. 83
6
menurutnya, akar kata ila>h yang berarti tah}ayyara itu adalah waliha bukan aliha16, seperti
halnya kata washah}a yang mas}darnya adalah wisha>h} atau isha>h.17
Makna lainnya ialah:
tempat berlindung, karena Tuhanlah yang memberikan keamanan dan ketentraman kepada
makhluk. Al-Fairu>z A<ba>di> berkata: ‚Atau ila>h dari kata aliha yang berarti: tah}ayyara
(bingung), atau faza‘a ilaihi (berlindung kepadanya), atau alaha-hu: memberi rasa
aman.‛18 Ibnu Kathi>r berkata: ‚Ila>h diambil dari kata aliha al-rajulu – ya’lahu, yakni
merasa sangat takut karena masalah yang dihadapinya, lalu seseorang alaha-hu
(melindunginya), dan pelindung bagi segala makhluk adalah Allah Swt.‛19
Berdasarkan penjelasan para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa kata alaha
berporos pada makna: ‚menyembah‛, sementara ila>h adalah mas}dar yang berarti
ma’lu>h/ma‘bu>d yakni yang disembah, seperti halnya kita>b yang berarti maktu>b (yang
ditulis), ima>m yang berarti mu’tamm bihi (yang diikuti). Sementara makna-makna lain
alaha/aliha - ila>hah seperti: mencari/memberi perlindungan, merasa tenteram dan damai,
adalah konsekuensi logis dari makna ila>h yang berarti ma’lu>h/ma‘bu>d, karena Tuhan yang
disembah itu adalah yang memberikan ketenangan dan perlindungan kepada makhluk-
Nya, sementara makhluk mencari ketenangan, ketentraman dan perlindungan kepada
Tuhan. Allah Swt berfirman (yang artinya): ‚Sungguh dengan mengingat Allah lah hati
akan menjadi damai‛20 dan juga berfirman (yang artinya): ‚Dialah yang melindungi,
tetapi tidak ada yang dapat berlindung dari (azab)-Nya.‛21
Dari sini kita dapat menarik benang merah korelasi antara sifat rubu>biyyah Allah
dan sifat ulu>hiyyah-Nya. Bahwa hanya Allah Swt Tuhan yang benar, yang memiliki
nama-nama suci dan sifat-sifat kesempurnaan, sehingga hanya Dia yang berhak dan layak
diibadahi dan disembah. Sebab, selain Allah bukanlah Tuhan, selain Dia hanyalah
makhluk lemah yang tiada memiliki sifat-sifat kesempurnaan, sehingga tidak boleh dan
tidak layak diagungkan atau disembah. Sebaliknya makhluk wajib menyembah hanya
kepada Tuhan yang memiliki sifat rubu>biyyah dan ulu>hiyyah. Dengan demikian, jika ada
makhluk atau apapun yang disembah selain Allah maka penyembahan itu tidak benar,
tidak layak dan tidak patut, karena diberikan kepada yang tidak berhak.
16
Ibnu Fa>ris, Ibid. 1/127. Lihat juga: Abu> Nas}r Al-Jauhari>, Ibid. 6/2224 17
Murtad}a> Al-Zabi>di. Ibid. h. 36/324. 18
Al-Fairu>z A<ba>di>. Ibid. h. 1242. Lihat: Tafsir Al-Baghwi, Ibid. 1/50. Tafsir Ibn Al-Jauzi>, Ibid. 1/16. 19
Abu> Al-Fida> Isma>‘il bin ‘Umar bin Kathi>r, Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-‘Az}i>m, (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-
‘Ilmiyyah, 1419 H), 1/38 20
QS. Al-Ra‘d: 28 21
QS. Al-Mu’minu>n: 88
7
III. Makna ‚Tauhid‛ Persfektif Para Ulama
Setelah menjelaskan makna kata rabb dan ila>h, berikut akan dikaji makna tauhid
sebagaimana didefinisikan oleh para ulama bahasa, ulama kalam dan filsafat, serta ulama
tafsir dan hadith, kemudian mencoba memiloih manakah konsep tauhid yang paling
relevan dan komprehensif.
Secara lafaz, kata ‚tauh}i>d‛ tidak ditemukan di dalam Al-Quran, tetapi terdapat di
dalam hadith Nabi Saw dalam bentuk kata kerja dan mas}dar. Beliau bersabda
sebagaimana diriwayatkan oleh Ima>m Al-Bukha>ri>: ( ب ه أ و اىنزبة، فين أ ػي ق ئل رقذ
ذا هللا رؼبى ح ئى أ .(رذػ22
Dalam riwayat Ima>m Muslim, beliau bersabda: ( مفش حذ هللا
حضبث ػي هللا د بى هللا حش د ب ؼجذ .(ث23
Dalam riwayat Sunan Al-Da>raqut}ni>
diriwayatkan: ( حذ هللا ر ئى ب رذػ ه أ و اىنزبة فين أ ػي ق .(ئل رقذ24
Kata ‚tah}ui>d‛
adalah mas}dar kata wah}h}ada yang secara umum berarti menunggalkan (menghukumi
tunggal). Al-Khali>l bin Ah}mad (w. 170 H) berkata: ‚Al-Wah}ad berarti al-munfarid (yang
sendiri/ tunggal), al-wa>h}id adalah angka pertama dalam hitungan, dan al-wuh}da>n yakni
kelompok seorang-seorang.‛25
Al-Fairu>z A<ba>di mengatakan: ‚Wah}h}adahu tauh}i>dan yakni
menjadikan (menghukumi) sesuatu itu tunggal.‛26
Al-Zabi>di> juga mengatakan hal serupa:
‚Wah}h}adahu tauh}i>dan yakni menjadikannya tunggal, sama seperti thanna>hu
(menjadikannya dua) dan thallathahu (menjadikannya tiga).‛27
Al-Jurja>ni> (w. 816 H) juga
mengatakan: ‚Tauh}i>d secara bahasa berarti menghukumi dan mengetahui bahwa sesuatu
itu satu.‛28
Tentu saja makna kebahasaan di atas masih umum, karena belum dikaitkan
dengan obyek apa yang diesakan atau ditunggalkan.
22
Ima>m Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad bin Isma>‘i>l Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} Al-Bukha>ri>, Kita>b Al-Tauh}i>d,
Ba>b: Ma> ja>’a fi> du ‘a’ al-Nabi> ummatahu ila> al-tauh}i>d, (Da>r T{auq Al-Naja>t, 1422), 9/114. Arti hadith:
Sesungguhnya engkau (wahai Mu‘a>dh) akan mendatangi kaum Ahlul Kita>b, maka hendaklah dakwahmu
yang pertama kali kepada mereka adalah mentauhidkan Allah.‛
23 Ima>m Abu> Al-H}asan Muslim bin Al-H}ajja>j Al-Naisa>bu>ri>, S}ah}i>h Muslim, Kita>b Al-I>ma>n, Bab: Al-
Amru bi qita>l al-na>s h}atta> yashhadu> an la> ila>ha illalla>h. (Beirut: Da>r Ih}ya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabi>), 1/53. Arti
hadith: ‚Barang siapa mengesakan Allah dan kafir terhadap apapun yang disembah selian Allah maka
haramlah harta dan darahnya. Dan perhitungannya kelak kembali kepada Allah.‛ 24
Ima>m Abu> Al-H{asan ‘Ali bin ‘Umar Al-Da>raqut}ni>, Sunan Al-Da>raqut}ni>, Kita>b Al-Zaka>h, Ba>b: Al-H{aththu ‘ala> ikhra>j al-s}adaqah wa baya>nu qismatiha>, (Beirut: Mu’ssasah Al-Risa>lah, 2004), 3/56
25 Abu> ‘Abdurrah}ma>n Al-Khali>l bin Ah}mad Al-Fara>hi>di>, Mu ‘jam Al-‘Ain (Da>r wa Maktabah Al-
Hila>l) 3/280 26
Al-Fairu>z A<ba>di. Ibid. h. 324 27
Murtad}a> Al-Zabi>di. Ibid. 9/266 28
Al-Shari>f ‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali> Al-Jurja>ni>, Al-Ta‘ri>fa>t, (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-
‘Ilmiyyah, 1983) h. 69
8
Ketika tauhid dinisbatkan kepada lafaz Allah (seperti dalam hadith di atas), maka
disinilah tampak makna tauhid secara terminologi dimana terlihat dua mainstream ulama
dalam mendefinisikan maknanya, sebagaimana dijelaskan dalam mukaddimah. Ulama
Generasi Salaf mendefinisikan tauhid sebagai tauhid ulu>hiyyah atau tauhid ‘iba>dah
(tauhid penyembahan), sebagaimana akan dijelaskan pada sub judul berikutnya.
Sementara ulama Kala>m dan Filsafat cenderung memaknai tauhid sebagai keesaan Tuhan
dengan pengertian khas mereka, yaitu penafian terhadap apa yang mereka istilahkan
sebagai ‚nafy al-kammiyyah al-muttas}il wa al-kammiyyah al-munfas}il‛, yakni makna
tauhid terbatas pada penafian tathniyah / ta‘ddud (dualitas/kebergandaan) Tuhan serta
penafian tab‘i>d} / tarki>b / tajzi’ah (keterbagian, ketersusunan, keteruraian) zat Tuhan. Atas
dasar ini mereka menafikan sifat-sifat khabariyah Tuhan (seperti: ridha, ghad}ab, rah}mah,
wajh, yad, dll.) yang menurut mereka menunjukkan makna tarki>b dan tab‘i>d} ini.29
Bagi para Filosof dan Mutakallimu>n, kata tauhid diderivasi dari salah satu nama
Allah yaitu Al-Wa>hid atau Al-Ah}ad (Yang Esa), lalu menafsirkannya sebagai zat tunggal
yang tidak terbagi atau terurai. Ibnu Si>na> (w. 428 H) menjelaskan makna Al-Wa>hid (Yang
Esa) sebagai berikut:
‚Telah jelas bagi kita bahwa segala yang ada ini memiliki mabda’ wa>jbul wuju>d
(sumber yang niscaya ada) yang tidak terkategorikan ke dalam jins (genus), h}add
(tidak terdefinisi), burha>n (tidak teranalogikan), bebas dari kamm (kuantitas:
keteruraian dan kebergandaan), kaif (kualitas), ma>hiyah (esensi), bebas dari al-aina
(bertempat), al-mata (berwaktu), al-harakah (gerak), tiada tandingan, tiada sekutu,
tiada lawan, tunggal dari segala segi, karena Dia tiada terurai dalam bagian-bagian
baik secara dugaan maupun asumsi, seperti sesuatu yang sambung-menyambung,
maupun secara akal berupa zat-Nya tersusun dari makna-makna logis yang saling
berbeda kemudian keseluruhannya bergabung menjadi satu. Selain itu, Dia juga
tunggal dari segi wujud yang Dia miliki. Dia dengan semua makna ini adalah Yang
tunggal dan esa karena kewujudan-Nya yang sempurna, tiada sesuatu tersisa yang
ditunggu sehingga (dengan kedatangannya) Dia menjadi sempurna. Inilah salah satu
makna Al-Wa>h}id, dan tiada ketunggalan padanya melainkan dari cara penegasian.‛30
29
S}a>bir Abdurrah}ma>n T}a‘i>mah, Al-Mutakallimu>n fi> Dha>tilla>h wa S}ifa>tihi wa Al-Raddu ‘Alaihim,
(Kairo: Maktabah Madbu>li>, 2005), h. 431 30
Abu> ‘Ali> Al-H}usain bin Abdulla>h bin Si>na>, Al-Shifa>’, Al-Ila>hiyya>t, (Kairo: Al-Hai’ah Al-
Mis}riyyah li shu’u>n al-Mat{a>bi‘, 1960), 1/373. Teks aslinya berbunyi:
"قذ ظش ىب أ ىينو جذأ اجت اىجد، غش داخو ف جش، أ اقغ رحذ حذ، أ ثشب، ثشئب ػ اىن، اىنف، اىبخ،
أ احذ جغ اىج، أل غش قض، ل ف األجزاء ثبىفشض اى، األ، اىز، اىحشمخ، ل ذ ى، ل ششل، ل ضذ ى،
ىز مبىزصو، ل ف اىؼقو ثأ رن رار شمجخ ؼب ػقيخ زغبشح زحذ ثب جيز أ احذ حث غش شبسك أىجز ف جد ا
9
Ulama Kala>m menafsirkan nama Allah ‚Al-Wa>h}id‛ tidak jauh berbeda dengan
Fala>sifah. Imam Al-Ghaza>li> berkata: ‚Al-Wa>h}id terkadang dimaksudkan bahwa ia tiada
terbagi, yakni tidak berbilang, tiada memiliki bagian-bagian dan tiada ukurannya. Jadi Al-
Ba>ri> (Allah) Ta‘a>la> itu wa>h}id dalam arti penafian kuantitas yang menyebabkannya dapat
terbagi, karena Dia mustahil terbagi... Dan terkadang (al-wa>h}id) berarti yang tiada
bandingannya dalam kedudukan, seperti ungkapan: matahari itu satu-satunya, dan Al-Ba>ri>
Ta‘a>la> juga wa>h}id (esa) dengan makna ini, karena tidak ada yang sebanding dengan-
Nya.‛31
Al-Sharushta>ni> (w. 548 H) juga mendefinisikan tauhid: ‚Sesungguhnya Allah Swt
esa dalam zat-Nya, tidak terbagi, esa dalam sifat-sifat-Nya yang azali tiada yang serupa
dengan-Nya, esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya, tiada yang menyekutui-Nya.‛32
Dalam
Niha>yat Al-Iqda>m, ia juga mendefinisikan makna Al-Wa>h}id sebagai berikut: ‚Al-Wa>h}id
adalah sesuatu yang tidak sah terbagi karena zat-Nya mustahil diurai dan mustahil
mempunyai sekutu. Maka Al-Ba>ri> (Allah Swt) tunggal dalam zat-Nya tiada terbagi,
tunggal dalam sifatnya tiada yang menyerupai-Nya, tunggal dalam perbuatan-Nya tiada
yang menyekutui-Nya.‛33
Al-Fakhr Al-Ra>zi> (w. 606 H) menjelaskan konsep makna nama Allah, Al-Wa>h}id
sebagai berikut: ‚Ketahuilah bahwa ketika kami mengatakan Allah itu wa>h}id, ungkapan
ini memiliki dua tafsiran: Pertama, bahwa zat-Nya tidak tersusun dari bagian-bagian, dan
hal ini tidak bisa dipahami tanpa menjelaskan bahwa Allah tidak menempati ruang (laisa
mutah}ayyizan) dan tidak berada pada arah tertentu (laisa fi> jihah). Kedua, penjelasan
bahwa Allah Swt Mahasuci dari memiliki tandingan dan sekutu. Oleh karena itu, tema ini
tersusun dari dua bagian: Pertama, penjelasan bahwa Allah mahasuci dari tah}ayyuz dan
jihah. Kedua, penjelasan bahwa Allah Mahasuci dari tandingan dan sekutu.‛34
Lalu dalam
tafsir ‚Mafa>tih} Al-Ghaib‛nya, ketika menafsirkan makna ‚keesaan‛ dalam surat Al-
Ikhlas}: ‚Maksud al-ah}adiyyah ialah keadaan Realitas (Tuhan) itu sebagai Yang tunggal,
ى شء زظش حز ز قذ مب زا أحذ ج اىاحذ، ىش اىاحذ ف ئل ػي ى، ف ثز اىج فشد، احذ أل رب اىجد، ب ثق
اىج اىضيج."31
Abu> H}amid Muh}ammad bin Muh}ammad Al-Ghaza>li>, Al-Iqtis}ad fi> Al-I‘tiqa>d, (Beirut: Da>r Al-
Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2004), h. 47-48 32
Abul Fath} Muh}ammad bin Abdul Kari>m bin Abi> Bakr Al-Shahrushta>ni>, Al-Milal wa Al-Nih}al,
(Kairo: Mu’assasah Al-H}alabi), 1/42 33
Al-Shahrushta>ni>, Niha>yat Al-Iqda>m fi> ‘Ilm Al-Kala>m (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1425),
1/56 34
Fakhruddi>n, Muh}ammad bin ‘Umar bin Al-H}usain Al-Ra>zi>, Al-Mat}a>lib Al-‘A>liyah min Al-‘Ilm Al-
Ila>hi>, (Beirut: Da>r Al-Kita>b Al-‘Arabi>, 1987), 2/5
10
jauh dari segala bentuk ketersusunan...‛35
Al-Jurja>ni> mendefinisikan: ‚Tauhid itu tiga hal:
pengetahuan tentang rubu>biyyah Allah, pengakuan tentang wah}da<niyyah (keesaan)-Nya
dan menafikan anda>d (sekutu-sekutu yang setara) dengan-Nya.‛36
Mutakallimu>n dari kalangan Mu‘tazilah juga mengkalim diri mereka sebagai ahli
tauhid sejati dan menuding siapa saja yang mengafirmasi sifat-sifat Tuhan sebagai
kelompok mushabbihah (yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk). Namun yang
mereka maksud dengan tauhid ialah penafian sifat-sifat Tuhan dan hanya mengafirmasi
(ithba>t) zat-Nya saja tanpa sifat. Alasannya, karena menurut mereka afirmasi terhadap
sifat-sifat Tuhan berarti membenarkan keberadaan hal-hal lain (yakni sifat-sifat) yang
kekal selain zat Allah (ta‘adud al-qudama>’) dan hal ini menurut mereka menafikan tauhid
(pengesaan Zat-Nya). Dan jika sifat-sifat tersebut tidak kekal lalu berada pada Tuhan
maka implikasinya Tuhan merupakan tempat (mah}all) bagi hal-hal yang tidak kekal
(h}awa>dith), dan sesuatu yang menjadi tempat bagi hal-hal yang tidak kekal juga bersifat
tidak kekal. Al-Khayyat} Al-Mu‘tazili> misalnya berkata:
‚Kalaulah Allah mengetahui dengan sifat ilmu niscaya ada dua pilihan: ilmu itu
bersifat qadi>m (azali) ataupun muh}dath (bahru). Tetapi mustahil sifat ilmu itu qadi>m
karena hal ini akan meniscayakan adanya dua hal yang kekal (zat Tuhan dan sifat
ilmu Tuhan), dan hal ini berarti keberbilangan dan tentu saja mustahil. Dan tak
mungkin juga sifat ilmu itu muh}dath, karena jika demikian ada dua pilihan: Allah
mencipta sifat ilmu itu pada diri-Nya ataupun menciptanya secara mandiri tanpa
berada pada zat. Jika Tuhan menciptanya pada diri-Nya maka Tuhan akan menjadi
tempat bagi hal-hal yang muh}dath dan setiap yang menjadi tempat bagi hal-hal yang
muh}dath juga muh}dath sepertinya dan ini mustahil (bagi Allah). Lalu jika Tuhan
menciptanya pada yang lain, maka sifat ilmu itu akan menjadi sifat bagi yang lain itu
dan bukan bagi Allah, seperti halnya sesuatu yang melekat padanya sifat warna,
dialah yang disebut berwarna bukan yang lain. Juga mustahil jika dikatakan Tuhan
menciptanya secara mandiri bukan berada pada zat, karena ilmu itu adalah aksiden
dan aksiden mustahil berdiri sendiri tanpa berada pada pada jism. Maka tidak ada
pilihan lain selain bahwa Allah itu ‘a>lim bi dha>tihi (tidak ada dualitas zat dan sifat,
tetapi zat itu sifat dan sifat itu adalah zat [al-s}fa>t ‘ainu al-dha>t]).‛37
35
Al-Fakhr Al-Ra>zi>, Tafsi>r Mafa>tih} Al-Ghaib, (Beirut: Da>r Ih}ya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabi>, 1420 H),
32/361 36
Al-Shari>f Al-Jurja>ni>, Ibid. h. 69 37
‘Abdurrah}i>m bin Mu}ammad bin ‘Uthma>n Al-Khayyat}, Kita>b Al-Intis}a>r wa Al-Radd ‘ala> Ibn Al-
Rawandi> Al-Mulh}id, (Beirut: Maktabah Al-Da>r Al-‘Arabiyyah li Al-Kita>b, 1993), h. 111-112
11
Dari beberapa kutipan definisi ketunggalan Tuhan perspektif filsafat dan Kala>m di
atas disimpulkan bahwa setidaknya terdapat dua pantangan utama yang menurut mereka
menafikan tauhid, yaitu: pantangan ‚ketersusunan (tarki>b)‛ dan pantangan ‚kemenjadi-
tempatan bagi hal-hal yang tidak kekal (mah}all li al-h}awa>dith)‛. Lalu, karena tak ingin
mengatakan Tuhan itu tersusun (murakkab), Fala>sifah menafikan semua sifat-sifat Allah,
karena jika Tuhan memiliki sifat-sifat maka Tuhan menurut mereka tersusun, dan hal ini
menafikan Tauhid.38
Dengan alasan yang sama Mutakallimu>n menafikan sifat-sifat
khabariyah Allah yang tercantum di dalam Al-Quran dan Sunnah seperti: yad, ‘ain,
istiwa>’, nuzu>l, rid}a>, ghad}ab dll., dengan cara men-ta’wi>l makna hakiki sifat-sifat tersebut.
Demikian pula dengan Muktazilah, menurut mereka sifat-sifat Tuhan itu tidak mungkin
kekal karena asumsi kekalannya akan menggiring kepada ta‘addud al-qudam>a’, dan tidak
mungkin juga muh}dath, karena jika sifat-sifat itu muh}dath maka Tuhan menjadi tempat
bagi hawa>dith, sehingga akhirnya mereka menetapkan bahwa tauhid itu ialah keesaan zat
Tuhan tanpa sifat.
Pemaknaan tauhid atau Al-Wa>h}id seperti di atas tidak dikenal di dalam Al-Quran
dan Sunnah, bahkan tidak pernah pula dikatakan oleh para ulama bahasa generasi awal
seperti Al-Khali>l bin Ah}mad, Al-Azhari>, Ibnu Duraid, dll.. Ibnu Taimiyah mengatakan:
‚Tafsiran mereka terhadap nama (Allah) Al-Wa>h}id tidak ada sumbernya dari Al-
Quran, Sunnah, perkataan Salaf dan para A’immah, dan juga batil secara Syara‘, akal
dan bahasa. Secara bahasa, para ulama bahasa sepakat bahwa makna al-wa>h}id secara
bahasa bukanlah sesuatu yang satu sisinya tak dapat dibedakan dari sisinya yang lain,
atau tak mungkin diindra sedikitpun darinya, karena Al-Quran, bahasa Arab dan
bahkan semua bahasa sepakat menyifati makhluk-makhluk dengan kata al-wa>h}id,
sementara makhluk-makhluk tersebut adalah jism (yang murakkab )... sebagai
contoh, Allah berfirman: ( احذح فش حذا ) (خيقن خيقذ احذح فيب ) (رس ئ مبذ
) :Nabi juga bersabda ...(اىصف ف اىثة اىاحذ ىش ػي ػبرق شء ل صو أحذم )... Adapun
secara akal, sesuatu Yang Esa yang mereka deskripsikan seperti demikian adalah
perkara tak logis dan mustahil memiliki wujud real, selain sekedar abstraksi pikiran.
Sebab tidak ada dalam wujud real sesuatu yang tidak memiliki sifat apapun, tidak
38
Dalam diskursus filsafat, tarki>b memiliki banyak arti yang semuanya harus dinafikan dari Tuhan.
Diantaranya ialah: ketersusunan dari eksistensi (wuju>d) dan esensi (ma>hiyah), ketersusunan dari genus (jins)
dan defrensia (fas}l), ketersusunan dari zat dan sifat yang mereka istilahkan dengan tarki>b fi al-kamm (ketersusunan dalam kualitas), dan ketersusunan dari jawa>hiar mufradah (kumpulan atom) dan ketersusunan
dari ma>dah (materi) dan s}u>rah (faktor pembentuk), dua terakhir ini mereka istilahkan sebagai tarki>b fi al-kaif (ketersusunan dalam kuantitas). Ditambah lagi dengan ketersusunan dari jauhar (atom) dan ‘arad} (aksiden) dalam istilah Mutakallimu>n. Lihat: Abu> Al-‘Abba>s Ah}mad bin Abdul H}alil>m bin Taimiyyah, Al-
Risa>lah Al-S}afadiyyah, (Riya>d}: Maktabah Ad}wa’ Al-Salaf, 2002), h. 134
12
memiliki ukuran, tidak dapat dibedakan dengan yang lain, mustahil terlihat, terindra
dan diketahui... Selain itu, mengafirmasi bahwa sesuatu itu ‚satu‛ mestilah berarti ia
memiliki entitas mandiri yang khusus dan berbeda dengan yang lain....‛39
Kritik Ibnu Taimiyah terhadap makna tauhid perspektif Fala>sifah dan
Mutakallimu>n di atas tidak berarti lantas ia mengafirmasi sebaliknya bahwa Tuhan itu
bersusun dan berjisim layaknya manusia (murakkab-mujassam). Ia hanya tak ingin
hakikat tauhid yang sejati terpinggirkan oleh pembahasan-pembahasan yang di luar
konteks Syariat, yang terkadang kata-kata tersebut bersifat mujmal (ambigu) dan
mengandung makna haq dan bathil sekaligus. Dalam kondisi seperti ini tentu saja akan
sangat bermasalah ketika kata-kata mujmal tersebut diafirmasi atau dinegasikan dari
Allah. Kata murakkab ini sebagai contohnya. Kata ini, selain tidak diterangkan oleh
Syariat untuk diafirmasi atau dinegasikan, ia sangat ambigu, mengandung haq dan bathil
sekaligus, sehingga tidak perlu dibenarkan atau dinafikan.
Telah maklum bahwa di antara argumen utama yang mendorong kalangan
Fala>sifah memunculkan pantangan ‚tarki>b‛ ini adalah asumsi bahwa ‚setiap murakkab
(yang tersusun)‛ butuh kepada ‚bagian-bagian penyusun dirinya‛, sementara Wa>jib al-
Wuju>d tidak butuh kepada apapun.40
Menjawab argumen ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan
bahwa penafian tarki>b ini sangat ambigu, karena istilah tarki>b atau murakkab memiliki
beberapa makna, diantaranya: (1) murakkab karena disusun oleh pihak lain (rakkabahu
ghairuhu), (2) murakkab dari materi-materi terpisah, seperti tarki>b al-adwiyah wa al-
at}‘imah (menyusun/meracik obat, membuat makanan), dll., (3) murakkab dari sesuatu
yang mungkin dipisah bagian-bagiannya seperti susunan anggota badan manusia, (4)
murakkab dalam arti terdiri dari zat dan sifat, dan masing-masing dapat dipikirkan secara
terpisah, seperti memikirankan sifat saja tanpa memikirkan zat, atau sebaliknya, atau
memikirkan tentang sifat ilmu saja, terpisah dari sifat qudrah, ira>dah dsb.41
Jika yang mereka maksud dengan tarki>b/murakkab adalah makna yang pertama,
kedua dan ketiga, makna jelas makna-makna tersebut mustahil bagi Allah. Karena
mustahil Allah disusun oleh penyusun sehingga Dia butuh kepada yang menyusun-Nya.
Tidak mungkin juga berarti tersusun dari anggota badan layaknya fisik manusia, atau
yang tersusun dari jawa>hir mufradah (benda-benda terkecil yang tak terbagi lagi). Makna-
39
Ibnu Taimiyyah, Baya>n Talbi>s Jahmiyyah fi> Ta’si>s Bida‘ihim Al-Kala>miyyah, (Riya>d}: Majma‘
Malik Fahd: 1426), 3/146-148 40
Ibnu Taimiyyah, Al-Risa>lah Al-S}afadiyyah, h. 135 41
Ibid.
13
makna ini otomatis ternafikan dari Allah, sebab tiada sesuatupun yang setara atau serupa
dengan-Nya. Adapun jika dengan istilah tarki>b ini mereka menafikan bahwa Allah Swt
adalah zat yang memiliki sifat-sifat seperti melihat, mendengar, berfirman, murka,
mencintai, dll., maka sifat-sifat tersebut adalah makna-makna yang benar ada pada zat
Allah, dan tidak boleh dinafikan hanya karena mereka menyebut zat yang memiliki sifat-
sifat seperti itu sebagai jism murakkab yang dapat terurai atau terbagi-bagi. Tidak ada
dalil bagi mereka untuk menafikannya, karena faktanya Syariat telah menetapkannya.
Argumen mereka bukan h}ujjah atas dalil-dalil Syariat. Memang masing-masing dari zat
dan sifat dapat dipikirkan secara mandiri, tetapi suatu zat yang dapat dipikirkan secara
mandiri tidak berarti bahwa zat tersebut pada realitasnya benar terpisah dari sifat.
Kalaupun dikatakan terpisah, keterpisahan itu sejatianya berada pada abstraksi pikiran
manusia yang memikirkannya, bukan pada realitas zat dan sifat yang dipikirkan.
Statemen, ‚Jika Tuhan tersusun maka Dia butuh kepada bagian-bagian penyusun-
Nya‛ juga sangat ambigu karena mengindikasikan bahwa zat butuh kepada sesuatu yang
terpisah dari dirinya secara secara wujud, waktu atau tempat, padahal kenyataannya tidak
demikian. Suatu zat yang memiliki sifat-sifat niscaya baginya mustahil terpisah dari sifat
tersebut. Hakikat zat tiada lain adalah sesuatu yang memiliki sifat. Keadaan Zat yang
memiliki sifat tidak berarti bahwa zat dan sifat itu mandiri secara wujud dan masing-
masing terpisah, karena mustahil ada zat tanpa sifat dan mustahil suatu sifat berdiri
sendiri tanpa zat. Bahkan zat (dha>t) dalam bahasa Arab adalah bentuk ta’nith (feminin)
dari kata dhu> yang berarti s}a>h}ib (pemilik), dan kata dhu>/dha>t ini mesti ber-id{a>fah (ber-
nisbat) kepada sesuatu yang lain, seperti dha>t al-ma>l (pemilik harta), dhatu ‘ilmin
(pemilik ilmu atau orang berilmu). Kemudian karena kata ini terlalu sering dipergunakan
untuk menunjuk kepada entitas sesuatu maka mud}a>f iliaihi-nya dibuang dan diganti oleh
alif-lam ta‘ri>f di depannya sehingga menjadi al-dha>t, asalnya justru dha>tu sifa>t (pemilik
sifat).42
Bagi penulis, sikap yang paling benar dan selamat ialah meng-ithba>t
(mengafirmasi dan meyakini) sifat-sifat Allah tersebut seperti manhaj Ulama Salaf,
dimana mereka meng-ithba>t wujud sifat-sifat tersebut sebagai sifat Allah Swt. Sifat-sifat
tersebut memiliki hakikat yang diketahui maknanya secara umum nemun tidak diketahui
42
Kritik Ibnu Taimiyah seputar ini sangat banyak di dalam buku-bukunya. Lihat sebagai contoh: Al-
Risa>lah Al-S}afadiyyah, h. 133-136. Dar’u Ta‘a>rud} al-‘Aql wa al-Naql, (Riyad}: Da>r Al-Fad}ilah, 2008),
1/272-273. Lihat juga: Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Mukhtas}r Al-S}awa>‘iq Al-Mursalah (Kairo: Da>r Al-
H}adi>th, 2004) h. 144-145
14
hakikat dan kualitas realitasnya (kaif).43 Kita menemukan di dalam Al-Quran ‚penamaan-
penamaan yang sama‛ antara apa yang ada di dunia dan yang ada di akhirat, seperti kata:
‚jannah‛, ‚na>r‛, ‚anha>r‛, ‚fa>kihah‛ dll. Kata-kata ini kita ketahui maknanya secara
umum, namun tidak ada orang yang mengklaim tahu ‚kaif-nya‛. Makna umum tersebut
adalah ‚wujud‛nya, yakni wujud jannah dan na>r tersebut. Oleh karenanya, kaum
Muslimin mengimani wujud ‚jannah‛ dan ‚na>r‛ meskipun tidak mengetahui kaif-nya, dan
tentu tidak ada orang yang mengatakan bahwa jannah dunia sama dengan jannah akhirat,
meskipun penamaanya sama.
Imam Al-Dhahabi menukil perkataan Imam Abu> Bakr Al-Khat}ib sebagai berikut:
‚Prinsip dasar dalam hal ini, bahwa pembicaraan tentang sifat-sifat Allah adalah
cabang dan turunan dari pembicaraan tentang zat-Nya. Jika telah diketahui bahwa
ithba>t Rabb semesta alam berarti mengafirmasi wujud Zat-Nya bukan (menentukan
kualitas) realitas Zat-Nya, maka demikian pula dengan ithba>t sifat-sifat-Nya, yang
berarti mengafirmasi wujud sifat-sifat itu bukan menentukan kualitas dan hakikat
sifat-Nya. Jika kita mengatakan bahwa Allah memiliki yad (tangan), sam‘
(pendengaran) dan bas}ar (penglihatan), ini berarti sifat-sifat yang Allah ithba>tkan ada
pada diri-Nya. Kita tidak perlu mengatakan bahwa makna yad adalah qudrah
(kemampuan/kekuatan), tidak pula memaknai pendengaran dan penglihatan sebagai
ilmu, serta tidak pula kita mengatakan bahwa sifat-sifat tersebut adalah jawa>rih}
(organ tubuh). Kita tidak men-tashbi> sifat itu dengan tangan, pendengaran dan
penglihatan manusia yang merupakan anggota badan dan indra. Tetapi kita
mengatakan bahwa sifat-sifat tersebut wajib di- ithba>t karena dalil-dalil Syariat
meng-ithba>tkannya, tetapi kita juga wajib menafikan tashbi>h sifat-sifat tersebut
43
Imam Ma>lik rh berkata: ‘Istiwâ’ itu maklum—dimaklumi maknanya secara bahasa—tetapi kaif
(hakikat/realitasnya) tidak diketahui. Menanyakan hal-hal semacam ini adalah perkara bid‘ah.‛ Ibnu
Taimiyah, Bayân Talbîs al-Jahmiyyah fî Ta’sîs Bidaihim al-Kalâmiyah, (Mu’assasah Qurthubah), 2/37.
Tentang riwayat ini Imam Al-Dhahabi berkata:
‚Riwayat ini shahih dari Ma>lik, dan pernah diucapkan sebelumnya oleh Rabi>‘ah, gurunya
Ma>lik. Ini adalah pendapat Ahlussunnah seluruhnya bahwa kaifiyah (kualitas-realitas) istiwa>’
tidak dapat kita ketahui, dan bahwa istiwa>’ diketahui maknanya sebagaimana dikabarkan dalam
Kitab-Nya, dan bahwa sifat ini sesuai dengan keagungan-Nya, tidak kita perlu mendalaminya,
tidak sok tahu, tidak menyelami konsekuensi-konsekuensi maknanya, baik menafikan atau
meng-ithba>tkannya. Tetapi kita diam sebagaimana Ulama Salaf diam. Kita ketahui bahwa
kalaulah ia mempunyai ta’wi>l niscaya para Sahabat dan Ta>bi‘i>n akan segera menjelaskannya
dan mereka tidak akan membiarkan atau diam tentangnya. Kita juga mengetahui dengan yakin
bahwa tiada sesuatupun yang serupa dengan Allah Swt dalam sifat-Nya, baik sifat istiwa>’
maupun nuzu>l-Nya. Mahasuci dan Mahatinggi Allah dari apa-apa yang dikatakan oleh orang-
orang zalim.‛ Lihat: Shamsuddi>n Abu> Abdulla>h Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Uthma>n Al-
Dhahabi>, Al-‘Uluw li Al-‘Aliy Al-Ghaffa>r, (Riyad}: Maktabah Ad}wa>’ Al-Salaf, 1995), h. 139.
15
karena Allah berfirman (yang artinya): ‚Tiada sesuatupun yang serupa dengan-Nya.‛
‚Tiada sesuatupun yang setara dengan-Nya.‛44
Maka, kesamaan nama sifat Kha>liq dan makhluk tidak berarti kesamaan hakikat
dan realitasnya, sehingga mengafirmasinya tidak menunjukkan makna tajsi>m atau tarki>b,
karena sifat-sifat Allah sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya. Dengan demikian
sifat-sifat khabariyyah Allah yang diinformasikan oleh Al-Quran dan Sunnah, seperti
sifat: h}ayat, ‚ilm, sam‘, bas}ar, kala>m, rid}a>, rah}mah, ghad}ab, yad, ‘ain, wajh, istiwa’, dll.,
harus diafirmasi dan diyakini wujudnya sebagai sifat Allah karena Al-Quran dan Sunnah
menginformasikan hal itu. Sifat-sifat tersebut benar adanya dan tidak boleh dinafikan
hanya karena Falasifah atau Mutakallimu>n menyebut zat yang memiliki sifat-sifat seperti
itu berkonsekuensi tajsi>m/tarki>b.
Tentu saja segala bentuk kaif yang kita pikirkan harus dibuang jauh-jauh, karena
Allah ‚laisa kamithlihi> syai’un‛...dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya. Yang dituntut
hanyalah mengimani makna umum sifat-sifat tersebut dan tidak perlu men-ta’wi >lkannya
kemana-mana. Dan tidak perlu pula menafikan wujudnya hanya karena penamaannya
sama dengan sifat makhluk, apalagi menanggap orang yang meng-ithba>tkannya sebagai
Mushabbihah. Karena mereka yang meng-ithba>tkannya sama sekali tidak pernah berfikir
menyerupakan Kha>liq dengan makhluk. Jangankah menyerupakan Kha>liq dengan
makhluk, sama makhlukpun, meskipun terdapat kesamaan nama sifat, tetap saja hakikat
sifat masing-masing berbeda. Karena setiap kata mempunyai realitas yang berbeda ketika
dinisbatkan kepada si empunya kata. Maksudnya, kata ‚kaki‛ misalnya kita pahami
maknanya secara umum, namun ketika dinisbatkan kepada empunya maka akan berbeda
relitas/kaif-nya masing-masing seperti: kaki manusia, kaki meja, kaki ayam, dll.. Ini pada
tataran sesama makhluk, apalagi antara makhluk dan Sang Khaliq!
Kajian seputar sifat-sifat Allah ini sebenarnya bukan di sini tempatnya, namun
disinggung sekilas untuk menunjukkan bahwa afirmasi terhadap sifat-sifat Allah sama
sekali tidak menafikan Tauhid, sebagaimana diklaim oleh Fala>sifah dan sebagai Ulama
Kala>m. Sebab jika afirmasi terhadap sifat-sifat Allah sebagaimana adanya di dalam Al-
Quran dan Sunnah berarti penafian terhadap Tauhid, berarti yang pertama kali menafikan
Tauhid justru Al-Quran dan Sunnah itu sendiri, dan jelas hal ini mustahil. Penulis yakin
umat Islam sepakat bahwa yang paling mengetahui hakikat Tuhan adalah Allah dan
Rasul-Nya, sehingga tentu saja bahasa Al-Qur’a>n dan Sunnah adalah bahasa yang paling
44
Shamsuddi>n Al-Dhahabi>, Ibid. h. 253
16
otentik, paling otoritatif, berderajat paling tinggi dan paling mampu mendeskripsikan
Tuhan serta sifat-sifat-Nya secara benar. Bukan bahasa tradisi dan bahasa budaya etnis
tertentu, tidak juga bahasa spekulasi filosofis semata.
Bahasan singkat tentang sifat-sifat Allah di atas menunjukkan bahwa corak umum
makna tauhid menurut Mutakallimu>n dan Fala>sifah hanya berkutat seputar mengenal
hakikat keesaan Tuhan yang hanya merupakan salah satu makna rubu>biyyah-Nya, yang
itupun tak luput dari berbagai kritik. Tidak terlihat dalam definisi-definisi tersebut
penekanan tentang penghambaan kepada Allah semata (Tauhid Ulu>hiyyah) dan
pengingkaran terhadap kesyirikan. Padahal tauhid kedua inilah yang merupakan inti
ajaran dan dakwah para nabi.
Dengan melihat kepada Al-Quran kita akan mendapatkan bahwa dakwah utama
para nabi dan rasul adalah seruan untuk men-tauhidkan penghambaan hanya kepada Allah
semata dan tidak menyekutukan-Nya dalam penyembahan dengan sesuatu apapun. Al-
Quran dengan jelas menginformasikan hal ini, bahwa Nabi Nu>h}, Hu>d, S}a>lih}, Shu‘aib, dan
nabi-nabi yang lain, semuanya menyeru kaumnya dengan seruan yang persisa sama: ( اػجذا
ش غ ئى ب ىن (هللا 45
Dalam redaksi lain mereka berseru: ( أل رؼجذا ئل هللا).46
Bahkan, tak
hanya mereka yang berseru demikian, bahkan Allah Swt sendiri menyerukan langsung hal
ini (mengkirik kaum Majusi penyembah dua Tuhan): ( احذ ئى ب ئ اث قبه هللا ل رزخزا ئى
فبسج (فاب47
, dengan memaknai ila>h pada ayat tersebut sebagai sesembahan yang haq
sebagaimana dalam pembahasan makna ila>h di atas. Allah juga berfirman (mengkritik
kaum Nasrani penyembah tiga Tuhan): ( ئى ب هللا ثبىث ثالثخ قبىا ئ احذ ىقذ مفش اىز ئل ئى )48
,
dan menyeru siapa saja yang menyembah selain Allah dengan berfirman: ( غ هللا .(أئى 49
Ayat-ayat semacam ini sangat banyak di dalam Al-Quran, yang semuanya menunjukkan
betapa urgennya masalah tauhid Ulu>hiyyah ini.
45
QS. Al-A‘ra>f: 59, 73, 85. QS. Hu>d: 50, 61, 84. Al-Mu’minu>n: 23, 32. Seruan serupa: QS. Al-
Ma>’idah: 117. QS. Al-Nah}l: 36. QS. Al-Naml: 45. QS. Nu>h}: 3. Dll. Terjemahan ayat: ‚Sembahlah Allah,
tiada bagi kalian ila>h (sesembahan yang benar) selain Dia.‛ 46
QS. Hu>d: 2. QS. Fus}s}ilat: 14. QS. Al-Ah}qa>f: 41. Terjemahan ayat: ‚Janganlah kalian menyembah
selain Allah.‛ 47
QS. Al-Nah}l: 51. Terjemahan ayat: ‚Allah berfirman: ‘Janganlah kalian menyembah dua Ila>h;
sesungguhnya Dia Ila>h yang Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kalian takut.‛ 48
QS. Al-Ma>’idah: 73. Terjemahan ayat: ‚Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang
mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah salah satu dari oknum yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada Ila>h
selain dari Ila<h yang Esa.‛ 49
QS. Al-Naml: 60, 61, 62, 63, 64. Terjemahan ayat: ‚Adakah ada Ila>h (sesembahan yang benar)
selain Allah?‛ Pertanyaan dalam ayat ini adalah istifha>m inka>ri> (berbentuk pertanyaan tetapi bermaksud
pengingkaran). Telah maklum dalam kajian bahwa bahasa istifha>m inka>ri> berarti nafy (penegasian),
sehingga makna ayat menjadi: Tiada ila>h selain Allah.
17
Jadi, definisi Mutakallimu>n dalam dalam masalah tauhid hanya berkisar pada
ithba>t keesaan Allah yang merupakan salah satu makna rubu>biyyah-Nya, dan tidak
sampai menetapkan Tauhid Ulu>hiyyah. Padahal sekedar menetapkan adanya ‚Pencipta
dan Pengatur (Rabb)‛, seseorang belum bisa dianggap sebagai muslim. Untuk menjadi
muslim, seseorang juga harus betul-betul ‚berserah diri‛ dengan menetapkan Allah
sebagai satu-satunya Rabb dengan segala sifat kesempurnaan-Nya dan satu-satunya
‚Tuhan-Sesembahan (Al-Ila>h)‛ yang haq yang merupakan tujuan ibadahnya. Pengakuan
dan peribadatan terhadap Sesembahan ini pun tidak akan diterima kecuali dengan
menetapkan bahwa Sesembahan itu hanyalah ‚Satu‛ semata dan tidak melakukan
‚Syirik‛ (Penyekutuan dalam menyembah).
Hal ini karena kaum Musyrik Arab di masa Rasulullah Saw juga sudah
menetapkan adanya Rabb Pencipta langit dan bumi yang Esa, akan tetapi dengan sekedar
ithba>t rubu>biyyah mereka belum bisa dianggap sebagai seorang muslim. Al-Quran
menginformasikan bahwa mereka mengakui Allah adalah Rabb yang mencipta dan
mengatur alam semesta. Namun mereka tidak komitmen dengan pengakuannya, lalu
menyembah berhala-berhala yang jelas-jelas bukan Rabb dan bukan Ila>h yang benar.
Allah Swt berfirman: ‚Sesungguhnya jika kalian menanyai mereka: ‘Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi dan menundukkan (mengatur dan mengurus peredaran)
matahari dan bulan?’ tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’.‛50 Fakta ini juga
diinformasikan oleh Allah dalam surat Al-‘Ankabu>t: 63, Luqma>n: 25, Al-Zumar: 38, Al-
Zukhruf: 87 dll..
IV. Konsep Tauhid (Rubu>biyyah dan Ulu>hiyyah)
Penjelasan semantik dan tafsir terhadap makna rabb dan ila>h setidaknya telah
menggambarkan mengapa dua terma ini menjadi pilihan bagi makna konseptual Tauhid.
Bahwa kata rabb dan ila>h mengandung seluruh makna dari nama-nama suci dan sifat-sifat
mulia Allah Swt, dan hal ini tidak terdapat pada nama-nama suci Allah yang lain. Selain
itu, makna rubu>biyyah dan ulu>hiyyah inilah yang menjadi karakteristik khas dan utama
sifat Tuhan, sebagaimana telah dijelaskan. Selain dua poin di atas, penulis akan mencoba
menggali alasan lain mengapa dua terma ini yang menjadi makna konseptual Tauhid,
melalui beberapa pendekatan berikut:
50
QS. Al-‘Ankabu>t: 61
18
1. Struktur Kebahasaan
Jika kita menilik Al-Quran kita akan menemukan bahwa dua kata ini (rabb dan
ila>h) adalah kata yang paling banyak digunakan di dalam ayat-ayat Al-Quran sebagai
yang mengganti posisi kata Allah, dilihat dari struktur penggunaannya dalam ayat-ayat
tersebut. Kata rabb di dalam Al-Quran disebut sebanyak 981 kali51
, sementara kata ila>h
disebut sebanyak 147 kali.52
Berikut ini adalah beberapa poin yang membuktikan
statemen di atas:
Pertama: Ketika Allah memperkenalkan nama-Nya di dalam Al-Quran, dua kata
inilah yang Dia gunakan untuk menginformasikan siapa hakikat Tuhan yang bernama
Allah itu. Dia berfirman: ( (ئ أب هللا سة اىؼبى53
, ‚Wahai Musa, sungguh Akulah Allah,
Rabb semesta alam‛, dan firman-Nya: (ئ أب هللا ل ئى ئل أب فبػجذ)54
, ‚Sesungguhnya Aku
ini adalah Allah, tiada Ila>h selain Aku.‛ Di dalam dua ayat ini Allah memperkenalkan
nama-Nya, dan bahwa Dia yang bernama ‚Allah‛ itu adalah Rabb dan Ila>h bagi semesta
alam. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kata ini memiliki keistimewaan khusus yang
mencirikan Allah sebagai yang patut dipertuhankan, karena Dialah satu-satunya Rabb
yang mencipta dan mengatur alam semesta dan hanya Dialah satu-satunya Ila>h atau
sesembahan yang layak dan benar disembah.
Kedua: Al-Quran sering menggunakan kata rabb dan ila>h ini sebagai kata
pengganti yang menduduki posisi kata Allah, baik ketika berkedudukan sebagai fa>‘il
(subyek), mubtada’, maf‘u>l (obyek), atau badal (pengganti). Contoh kata rabb sebagai
fa>‘il misalnya: ( الئنخ ئر قبه سثل ىي )55
ب فؼي ) شبء سثل ى )56
( ث آد ئر أخز سثل )57
جبء سثل )
يل صف ب صف ب اى )58
, ( ح أ سثل )59
, dll. Contoh rabb sebagai mubtada’ atau yang asalnya
adalah mubtada’: ( خ ر اىشح سثل اىغ )60
, ( فضذ ثبى سثل أػي )61
( ػي سثل حن (ئ62
, ( سثل ئ
51
Muhammad Zaki Muhammad Khad}ir, Mu‘jam Kalima>t Al-Qur’a>n Al-Kari>m, (), 52
Ja‘far As-Subh}a>ni>, Al-Asmâ’ Al-Thala>thah: Al-Ila>h, Al-Rabb, AL-‘Iba>dah, (Maktabah Al-‘Aqa>’id,
Us}u>lu Al-Di>n, 1417 H), h. 8 53
QS. Al-Qas}as}: 30 54
QS. T{a>ha>: 14 55
QS. Al-Baqarah: 30 56
QS. Al-An‘a>m: 112 57
QS. Al-A‘ra>f: 172, 58
QS. Al-Fajr: 22 59
QS. An-Nah}l: 68 60
QS. Al-An‘a>m: 133. 61
QS. Yu>nus: 40 62
QS. Al-An‘a>m: 83, 128
19
صجي ضو ػ (أػي63
( يل اىقش ثظي سثل ى ب مب )64
, dll. Kata rabb sebagai badal: ( سة ذ لل اىح
(اىؼبى65
( هللا سثن (رىن66
, dll. Ataupun sebagai maf‘u>l yang menduduki posisi kata Allah,
seperti: ( فبدع ىب سثل)67
ا) , ارمش سثل مثش )68
( اػجذ سثل حز أرل اىق )69
dll.
Demikian halnya dengan kata ila>h, digunakan sebagai mubtada’ atau yang asalnya
adalah mubtada’, yang mengganti posisi kata Allah: ( احذ ئى (ئىن70
, ( ب هللا ئ ئىن )71
, ( ئىن ئ
احذ (ى72
, atau sebagai maf‘u>l ( ئى آثبئل ئثشا (قبىا ؼجذ ئىل 73
, dll. Posisi kata ila>h dalam ayat-
ayat di atas—secara makna—mengambil posisi/mewakili kata Allah. Bahkan banyak
ulama dan ahlul lughah yang berpendapat bahwa kata Allah musytaqq (bersumber) dari
kata ila>h ini.74
Contoh-contoh seperti di atas terlalu banyak di dalam Al-Quran, dan tentu
tidak cukup untuk ditulis dalam makalah singkat ini. Namun sebagai kesimpulan yang
dapat diambil dari contoh-contoh tersebut bahwa dua kata ini (rabb dan ila>h) adalah
sebutan utama dan paling banyak digunakan sebagai kata pengganti mandiri bagi kata
Allah. Siapapun yang membaca Al-Quran akan mendapatkan hal ini terang benderang di
hadapannya.
Ketiga: Tidak ditemukan di dalam Al-Quran Allah memfirmankan sebuah ayat
dimana Dia menggunakan nama-nama-Nya yang lain sebagai maf‘ul (obyek) yang
disembah. Tidak ditemukan misalnya: (اػجذا حنن / ػين / سحن), dst. Yang ada adalah:
( هللا اػجذا ) atau ( ئى آثبئل ) atau (اػجذا سثن Hal ini menunjukkan bahwa kara rabb .(ؼجذ ئىل
dan ila>h ini benar-benar merupakan wakil yang dapat menduduki posisi kata Allah, karena
masalah penyembahan atau ibadah ini tentu saja merupakan hak Allah semata. Adapun
nama-nama suci Allah yang lain seperti al-‘azi>z, al-h}aki>m, al-‘ali>m, al-kha>liq, dsb.,
63
QS. Al-An ‘a>m: 117 64
QS. Hu>d: 117 65
QS. Al-Fa>tih}ah}: 2. QS. Al-An‘a>m: 45, QS. Yu>nus: 10, QS. Al-Zumar: 75, QS. G{a>fir: 65, QS. Al-
S{a>ffa>t: 182 66
QS. Al-An‘a>m: 102, QS. Fa>t}ir: 13, Al-Zumar: 6, QS. G}a>fir: 62 dan 64 67
QS. Al-Baqarah: 61, 68, 69, 70, 68
QS. A>li ‘Imra>n: 41, 69
QS. Al-H{ijr: 99 70
QS. Al-Baqarah: 163. Kalimat dengan redaksi ini terlulang sebanyak 5 kali dalam Al-Quran, dan
yang serupa masih banyak, seperti: ( احذ ب هللا ئى احذ ) ,An-Nisa>’: 171 (ئ ئل ئى ئى ب ) QS. Al-Ma>’idah: 73,
احذ ) ى ئىن .QS. As}-S{a>ffa>t: 4, dll (ئ71
QS. T{a>ha>: 98 72
QS. As}-S{a>ffa>t: 4 73
QS. Al-Baqarah: 133 74
Sebagai contoh, Ibnu ‘Abba>s ra menjelaskan bahwa makna lafz al-jala>lah ‚Alla>h‛ adalah dhu> al-ulu>hiyyah (Yang memiliki hak disembah), karena melihat bahwa Allah bersumber dari kata ila>h yang berarti
sesembahan. Lihat: Ibnu Jari>r Al-T{abari. Ibid. 1/125. Al-Fairu>z A<ba>di> berkata: ‚Alaha – ila>hah – ulu>hah – ulu>hiyyah, dari kata inilah terambil lafaz Jala>lah (Allah)...‛ Lihat: Al-Fairu>z A<ba>di, Ibid. h. 1242
20
biasanya hanya sebagai sifah yang mengikuti maws}u>f-nya, seperti: ( هللا اىخبىق اىجبسب
س ص هللا غفس ) :atau sebagai khabar yang menginformasikan kondisi mubtada’ seperti (اى
.dsb., bukan sebagai kata pengganti kedudukan kata Allah ,( سح / هللا صغ ػي
Keempat: Kata rabb dan ila>h mengandung aspek utama yang menjadi karakteristik
khas Tuhan. Kata rabb mengandung aspek rubu>biyyah, bahwa Allah adalah Tuhan yang
mencipta, mengatur dan menguasai semesta alam, sementara kata ila>h mengandung aspek
ulu>hiyyah, bahwa karena Allah adalah Rabb yang mencipta, mengatur dan menguasai
semesta alam maka hanya Dialah yang patut dan layak disembah, dan selain Dia adalah
makhluk yang dicipta sehingga tidak layak disembah. Aspek kedua ini adalah konsekuensi
logis dari aspek pertama.
Berdasarkan poin-poin di atas dapat diketahui bahwa kata rabb dan ila>h adalah dua
kata yang sering menduduki posisi kata Allah. Allah Swt tidak menggunakan nama-nama-
Nya yang lain seperti Al-Jabba>r, Al-‘Azi>z, yang menduduki posisi kata Allah dalam
banyak firman-Nya, atau mengganti posisi kata Allah dalam kalimat yang diawali dengan
kata u‘budu>. Kedudukan ini menunjukkan kepada kita keutamaan posisi kedua kata ini
sehingga dapat mengganti posisi kata Allah Swt. Hal ini menguatkan kesimpulan
sebelumnya bahwa kedua kata ini bisa mengganti posisi kata Allah karena keduanya
merupakan karakteristik khas yang niscaya dimiliki oleh Tuhan, dan tidak dimiliki oleh
siapapun selain-Nya, dan karena kedua merupakan sifat khusus mencakup aspek dan
makna sifat-sifat Tuhan yang lainnya.
2. Makna ( هللا لا إلاها إل ) Dalam Al-Quran dan Sunnah
Umat Islam sepakat bahwa kalimat tauhid yang dibawa oleh seluruh nabi adalah
kalimat ( هللا ل ئى ئل ). Al-Quran telah menegaskan hal ini sebagaimana dalam firman Allah
Swt: ( أ ل ئى ئل أب فبػجذ سصه ئل ح ئى قجيل ب أسصيب ).75
Kata (أب) pada penggalan
ayat (ل ئى ئل أب) menduduki posisi lafz} al-jala>lah (Allah), dan makna ( :adalah (فبػجذ
‚maka sembahlah Aku, jangan sembah selain-Ku.‛ Hal ini menunjukkan bahwa makna ( ل
) adalah tiada ‚sesembahan‛ selain Aku maka (ئى ئل أب ,sembahlan hanya Aku‚ (فبػجذ
jangan sekutukan Aku, jangan sembah selain Aku‛. Ayat di atas juga ditafsirkan oleh ayat
lain yang sama-sama berbicara dalam konteks pengutusan rasul yaitu firman Allah: ( ىقذ
اجزجا اىطبغد اػجذا هللا خ سصل أ (ثؼثب ف مو أ
76, yang artinya: ‚Dan telah Kami utus pada
75
QS. Al-Anbiya>’: 25 76
QS. Al-Nah}l: 36
21
setiap umat seorang rasul untuk menyampaikan: ‘Sembahlah Allah dan jauhilah t}a>ghu>t
(semua sesembahan selain Allah).‛ Pada ayat sebelumnya Allah berfirman: ‚Dan tidaklah
Kami utus seorang rasul pun sebelummu (wahai Muhammad) melainkan Kami wahyukan
kepada mereka: ‘Tiada ila>h (sesembahan) selain Aku maka sembahlah Aku‛, dan di ayat
ini Allah menafsirkannya dengan firman-Nya: ‚(Sembahlah Allah) dan jauhilah t}a>gu>t
(semua sesembahan selain Allah).‛ Kata ( ل ئى) sebanding dengan ( اجزجا اىطبغد ) dan kata
.(اػجذا هللا ) sebanding dengan (ئل أب)
Dalam ayat lain Allah Swt berfirman: ( أل رؼجذا ئل هللا)77
, ayat ini sebanding dengan
firman Allah: ( هللا ل ئى ئل ).78
Para rasul juga mendatangi kaum mereka dan mendakwahkan:
ش ) غ ئى ب ىن .(اػجذا هللا 79
Lalu kaum-kaum mereka yang keras kepala dan memahami
tujuan dakwah para rasul tersebut membantah: (ؼجذ آثبؤب ب مب زس حذ .(أجئزب ىؼجذ هللا 80
Dari
sini terlihat jelas bahwa kalimat tauhid ( هللا ل ئى ئل ) bermakna tiada sesembahan yang benar
selain Allah. Dan jika ila>h dalam Kalimat Tauhid bermakna demikian maka hakikat
kandungan kalimat tersebut adalah tauhid ulu>hiyyah, yang merupakan inti dakwah para
nabi dan merupakan konsekuensi dari pengakuan dan keimanan sebelumnya akan tauhid
rubu>biyyah.
Jika Al-Quran menegaskan bahwa kalimat ( هللا ل ئى ئل ) tauhid ulu>hiyyah maka
Sunnah Nabi Saw yang merupakan tafsir dari Al-Quran juga menyatakan hal yang sama.
Imam Al-Bukha>ri> meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda: ( ،و اىنزبة أ ػي ق ئل رقذ
ذا هللا رؼبى ح ئى أ ب رذػ ه أ Dalam redaksi lain yang juga diriwayatkan oleh .(فين
Imam Al-Bukha>ri>, Nabi Saw bersabda: ( ئى ب رذػ ه أ و اىنزبة، فين أ ػي ق ئل رقذ
ل ئ ى ئل هللا .(ش بد ح أ 81
Kedua riwayat ini menunjukkan bahwa kalimat (ذا هللا رؼبى ح (أ
sebanding dengan kalimat (شبدح أ ل ئى ئل هللا), yang berarti bahwa kalimat tauhid ialah
kalimat ( هللا ل ئى ئل ). Imam Al-Bukha>ri> juga meriwayatkan hadith ini dengan redaksi sebagi
berikut: 82
( رؼبى هللا ح بد ج ػ ى ئ ػ ذ ب ر ه أ ن ي ف ). Ketiga riwayat ini satu salam lain saling
menafsirkan, bahwa tauh}idulla>h ( ذا هللا ح ) dan ( هللا ل ئى ئل ) berarti ( ػجبدح هللا) atau tauhid
ibadah atau tauhid ulu>hiyyah.
77
QS. Hu>d: 2 78
QS. Al-S}a>ffa>t: 35, QS. Muh}ammad: 19 79
QS. Al-A‘ra>f: 59, 73, 85. QS. Hu>d: 50, 61, 84. Al-Mu’minu>n: 23, 32. 80
QS. Al-A‘ra>f: 70. Terjemahan ayat: ‚Apakah kalian datang untuk mengajak kami menyembah
Allah semata dan meninggalkan sesembahan-sesembahan nenek moyang kami.‛ 81
S}ah}i>h} Al-Bukha>ri>, Ibid. 9/114 82
Ibid. ‚Kita>b Al-Zaka>h, Ba>b: La> tu’khadh kara>’imu amwa>li al-na>s fi> al-s}adaqah‛, 2/119
22
Satu hal yang penting diperhatikan di sini, bahwa riwayat-riwayat di atas bercerita
tentang satu kisah, yaitu kisah tentang pesan Nabi Saw kepada Mu‘a>dh bin Jabal ra ketika
beliau mengutusnya berdakwah ke Yaman. Jika riwayat tersebut ‚satu kisah‛—yang
diistilahkan oleh para ulama hadith sebagai ittih}a>d al-makhraj—tentu tidak mungkin Nabi
Saw mengucap ketiga perbedaan ungkapan tersebut dalam satu waktu. Kalaupun memang
beliau sendiri yang mengucapkan ketiga perbedaan ungkapan tersebut maka tidak ada
keraguan lagi bahwa kalimat tauhid itu adalah syahadat: ( هللا ل ئى ئل ) dan syahadat ( ل ئى ئل
atau tauhid ulu>hiyyah. Namun jika Nabi Saw hanya mengucapkan (ػجبدح هللا) berarti (هللا
salah satu dari ketiga ungkapan di atas maka ini menunjukkan bahwa para sahabat yang
mendengar atau menyaksikan kisah/hadith ini meriwayatkannya secara makna. Dan jika
ini yang terjadi maka itulah pemahaman mereka tentang hakikat tauhid. Jika mereka
mengatakan ‚tauh}idulla>h‛ maka yang mereka maksud adalah ( هللا ل ئى ئل ) dan jika mereka
mengucapkan kata: ‚tauh}idulla>h‛ atau ( هللا ل ئى ئل ) maka yang mereka maksud adalah ( ػجبدح
Jadi dari sisi manapun kita memandang riwayat di atas—baik ketiga ungkapan .(هللا
tersebut diucapkan langsung oleh Nabi Saw atau diriwayatkan secara makna oleh para
sahabat—tetap saja menunjukkan bahwa tauhid itu adalah ( هللا ل ئى ئل ) dan ( هللا ل ئى ئل )
adalah (ػجبدح هللا) atau tauhid ulu>hiyyah.
Dalam hadith lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Saw bersabda: (
حضبث ػي هللا د بى هللا حش د ب ؼج ذ مفش ث حذ هللا ).83
Redaksi lainnya yang juga
diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Saw bersabda: ( ث ش ف م هللا ئل ل ئى به ق هللا ب ؼجذ د
د بى ش ، ح هللا ي ػ بث ض ح ).84
Kedua riwayat ini secara eksplisit menjelaskan bahwa tauhid
itu adalah ( هللا ل ئى ئل ), dan ( هللا ئى ئل ل ) telah ditegaskan langsung maknanya oleh Nabi
dengan sabdanya: ( هللا ث ش ف م د ب ؼجذ ): ‚..dan kafir (ingkar) terhadap penyembahan
selain kepada Allah..‛. Teks ini menunjukkan bahwa ( هللا ل ئى ئل ) atau tauhid itu berarti
penyembahan kepada Allah semata dan pengingkaran terhadap penyembahan kepada
semua sesembahan selain Allah. Maka selain Al-Quran, hadith-hadith Nabi Saw juga
menjelaskan bahwa kalimat ( هللا ل ئى ئل ) menunjukkan kepada Tauhid Ulu>hiyyah yang
merupakan pasangan dari Tauhid Rubu>biyyah.
Dari sini kita dapat melihat bahwa hakikat makna ila>h dalam kalimat Tauhid ( ل ئى
هللا ئل ) yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul ialah memurnikan ibadah dan penyembahan
hanya kepada Allah, dengan kata lain Tauhid Ulu>hiyyah. Dan Tauhid Ulu>hiyyah ini jelas
83
S}ah}i>h Muslim, Ibid. 1/53 84
Ibid.
23
merupakan konsekuensi logis dari keimanan dan pengakuan terhadap rububu>iyyah Allah
Swt., yang telah terpatri dalam fitrah setiap manusia, sebagaimana firman-Nya (yang
artinya): ‚Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa mereka (seraya
berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabb kalian?’, mereka menjawab: ‘Benar (Engkau Rabb
kami), kami menjadi saksi’...‛85 Allah telah meng-‛install‛ dalam softwere manusia
pengakuan akan kebertuhanan kepada Diri-Nya, Rabb Yang Mahaagung.
3. Ulu>hiyyah dan Rubu>biyyah Dalam Pandangan Ulama Salaf
Telah dijelaskan di atas bahwa para sahabat Nabi memahami ( هللا ل ئى ئل ) sebagai
tiada sesembahan selain Allah, berdasarkan beberapa perbedaan redaksi riwayat terhadap
satu kisah yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mentauhidkan Allah dengan
tauhid ulu>hiyyah. Ibnu ‘Abba>s ra juga menjelaskan bahwa makna lafz al-jala>lah ‚Alla>h‛
adalah dhu> al-ulu>hiyyah wa al-ma‘bu>diyyah yang artinya: ‚Yang memiliki hak disembah
dan diibadahi‛. Dengan kata ‚ulu>hiyyah‛ ini, Ibnu ‘Abba>s hakikatnya telah mengkonsep
tauhid ulu>hiyyah, bahwa hanya Allah semata yang layak dan patut disembah. Tentu hal
ini tidak mengherankan, apalagi telah maklum bahwa Nabi Saw diutus di tengah-tengah
bangsa pagan yang menyembah ratusan berhala.
Adapun masalah rubu>biyyah Allah tidak ada umat Islam yang mengingkari bahwa
Allah adalah Rabb semesta alam (rabb al-‘a>lami>n). Selain Al-Quran menegaskan fakta
rubu>biyyah Allah ini, fitrah manusia juga selalu menyerukan hal ini. Dan tentu saja sangat
logis mengatakan bahwa jika Allah satu-satunya Rabb maka Dialah satu-satunya yang
berhak atas penyembahan dan peribadatan. Bahkan kaum Musrik Mekah yang
menyembah banyak berhala juga meyakini rubu>biyyah Allah ini, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya. Mereka percaya bahwa Allah semata yang mencipta alam semesta
dan mengaturnya, memberi rezeki, dsb. meski mereka menyembah banyak sesembahan
selain Allah. Oleh karena itu mereka dikritik oleh Al-Quran: ( ثبلل ئل أمثش ب إ
ششم )86
.
Di dalam kitab Shah}i>h}nya Imam Al-Bukha>ri> (w. 256 H) memberikan sebuah
tarjamah (sub judul untuk beberapa kumpulan hadith) sebagai berikut: ‚Bab hadith-hadith
tentang seruan Nabi Saw terhadap umat beliau kepada Tauh}i>dulla>h—taba>raka wa ta‘a>la>‛.
85
QS. Al-A‘ra>f: 172 86
QS. Yu>suf: 106. Terjemahan ayat: ‚Dan sebagian besar dari mereka beriman kepada Allah, namun
mereka mempersekutukan-Nya (dengan menyembah sembahan-sembahan lain).‛
24
Lalu beliau menyebut sabda Nabi Saw berikut: ‚Wahai Mu‘a>dh, tahukah engkau apa hak
Allah atas hamba-hamba-Nya?‛ Ia menjawab: ‚Allah dan Rasul-Nya lah yang lebih
mengetahui.‛ Nabi bersabda: ‚Yaitu mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-
Nya dengan sesuatu apapun.‛87
Hadith ini menunjukkan tauhid ulu>hiyyah, karena
penyembahan hamba wajib diberikan hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun dalam penyembahan.
Imam Muh}ammad bin Nas}r Al-Marwazi (w. 294 H) berkata: ‚Segala puji bagi
Allah yang telah menganugerahi hamba-hamba-Nya yang beriman karunia makrifat
tentang-Nya, melapangkan dada mereka untuk beriman kepada-Nya, dan ikhlas dengan
mentauhidkan rubu>biyyah-Nya dan membuang segala sesembahan selain-Nya.‛88
Kemudian ketika menjelaskan makna iman beliau berkata: ‚Ketahuilah bahwa ia memiliki
pokok dan cabang, pokoknya adalah pengakuan hati, yaitu ketundukan beribadah kepada
Allah (al-khud}u‘ lilla>h bi al-‘ubu>diyyah) dan ketundukan (pengakuan) terhadap
rubu>biyyah-Nya (al-khud}u‘ lahu> bi al-rubu>biyyah)...kemudian cabang dari kedua
ketundukan ini adalah dengan melaksanakan seluruh kewajiban-kewajiban (yang Allah
wajibkan).‛89
Imam Ibnu Jari>r Al-T{abari> (w. 310 H) dalam tafsirnya seringkali menyebut dua
terma ini. Sebagai contoh, ketika menafsirkan firman Allah: ( األسض اد ف اىض ى أصي
مشب ػب (ط90
, berliau berkata: ‚Kepada-Nya lah tunduk segala yang di langit dan di bumi,
patuh kepada-Nya dengan sepenuh ‘ubu>diyyah, mengikrarkan bagi-Nya pengesaan
rubu>biyyah. Tunduk kepada-Nya dengan mengikhlaskan tauhid dan ulu>hiyyah baik secara
rela maupun terpaksa.‛91
Ketika menafsirkan firman Allah: ( ا ث م ش ش ر ل ا هللا ذ ج اػ ) beliau
berkata: ‚Rendahkan diri dan tunduklah pada-Nya dengan penuh ketaatan, dan esakanlah
Dia dengan rubu>biyyah...dan janganlah engkau menjadikan sekutu bagi-Nya dalam
‘iba>dah dan rubu>biyyah.‛92
Ketika menafsirkan firman Allah: ( ل ششك ب ال صبىح و ػ فيؼ
ا أحذ ,beliau berkata: ‚Ikhlaskanlah ibadah hanya pada-Nya (tauhid ulu>hiyyah) ,(ثؼجبدح سث
dan esakanlah rubu>biyyah hanya bagi-Nya (tauhid rubu>biyyah).‛93
Ketika menafsirkan
firman Allah: ( فبػجذ هللا سثن beliau berkata: ‚Sembahlah Tuhan kalian yang sifat-Nya (رىن
87
S}ah}i>h} Al-Bukha>ri>, Ibid. 9/114 88
Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad bin Nas}r bin Al-H{ajja>j Al-Marwazi, Ta‘z}i>m Qadr Al-S}ala>h, (Madi>nah
Al-Munawwarah, Maktabah Al-Da>r, 1406), 1/85 89
Muh}ammad bin Nas}r bin Al-H{ajja>j Al-Marwazi, Ibid. 2/700. 90
QS. A<li ‘Imra>n: 83 91
QS. Al-Nisa>’: 36 92
Ibnu Jari>r Al-T{abari>, Ibid. 8/333 93
Ibid. 18/135
25
seperti itu, ikhlaskanlah ibadah hanya untuk-Nya, esakanlah baginya ulu>hiyyah dan
rubu>biyyah.‛94
Barangkali pembaca telah melihat bahwa ungkapan-ungkapan Imam Al-T{abari di
atas tentang keesaan Allah dalam hal rubu>biyyah dan ulu>hiyyah ini sudah sangat jelas.
Beliau secara tegas membedakan antara makna tauhid ‘ubu>diyyah/ulu>hiyyah dan
rubu>biyyah, bahwa ‘ubu>diyyah atau ulu>hiyyah itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah
dan penyembahan, sementara rubu>biyyah adalah pengakuan akan keesaan Allah dalam
sifat rubu>biyyah-Nya.
Dengan pembedaan makna rabb dan ila>h ini kita mudah memahami maksud Imam
Abu> Ja‘far Al-T{ah}a>wi> (w. 321 H) ketika menjelaskan akidah Ahlussunnah menurut
mazhab Imam Abu> H{ani>fah, Abu> Yu>suf dan Muh}ammad bin H{asan Al-Shaiba>ni: ‚Kami
akan menjelaskan masalah tauhid Allah ini—yakin dengan taufik-Nya—bahwa:
Sesungguhnya Allah itu esa tiada sekutu bagi-Nya, tiada sesuatu yang serupa dengan-
Nya, tiada sesuatu yang melemahkan-Nya (Mahaperkasa), dan tiada ila>h selain-Nya.‛
Karena Imam Ibnu Abi Al-‘Izz Al-H{anafi—pensyarah kitab Al-‘Aqi>dah Al-
T{ah}a>wiyyah—menjelaskan bahwa makna ila>h di sini adalah tauhid ulu>hiyyah yang
merupakan inti dakwah para rasul.95
Beliau sendiri juga menjelaskan bahwa tauhid itu ada
tiga macam: (1) Pembicaraan tentang sifat-sifat Allah (tauh}i>d al-s}ifa>t), (2) tauh}i>d
rubu>biyyah dan (3) tauh}i>d ila>hiyyah.96
Abu> Mans}ur Muhammad bin Ah}mad Al-Azhari97
juga berkata: ‚Al-Wa>h}id yang
merupakan sifat Allah memiliki dua makna: Yang pertama, Dia adalah esa yang tiada
sesuatu yang serupa atau semisal dengan-Nya. Orang-orang Arab mengatakan: ‘Si fula>n
adalah wa>h}idu qaumihi (satu-satunya di kaumnya), artinya tidak ada yang semisal
dengannya. Makna yang kedua, Dia adalah ila>h yang esa dan rabb yang esa, tiada sekutu
bagi-Nya dalam ulu>hiyyah dan rubu>biyyah-Nya.‛98
Bahkan jauh sebelum Ibnu Taimiyah, Imam Abu> Bakr Al-Ba>qilla>ni> (w. 403 H)—
salah satu tokoh Mutakallimu>n—juga mengatakan: ‚Mentauhidkan Allah berarti:
mengakui bahwa Dia Mahaada, ila>h yang esa, satu-satunya yang disembah, dan tiada
94
Ibid. 15/19 95
S}adruddi>n Mu}ammad bin ‘Ali> bin Muh}ammad bin Abi Al-‘Izz Al-H}anafi>, Sharh} Al-‘Aqi>dah Al-
T{aha>wiyyah, (Kairo: Da>r Al-Sala>m, 2005) h. 89 - 109 96
Ibid. h. 78 97
Salah satu imam dalam Lug}hah, pengarang kamus Tahdhi>b Al-Lug}hah, wafat tahun 370 H 98
Akmaluddi>n Muh}ammad Ibn Mu}ammad Al-Ba>birti, Syarh} ‘Aqi>dah Ahl Al-Sunnah wa al-Jama>‘ah,
(Kuwait: Wiza>rat al-Shu’u>n Al-Isla>miyyah, 1989), h. 29
26
sesuatupun yang sama dengan-Nya... Demikian pula perkataan kami: ah}ad dan keesaan
wujud-Nya, yang kami maksud ialah tiada sesuatu yang serupa dan semisal dengan-Nya
(la> shabi>ha lahu> wa la> naz}ir), dan yang kami maksudkan juga dengannya ialah tiada
sesuatupun yang berhak atas penyembahan selian diri-Nya (an laisa ma‘ahu> man
yastah}iqq al-ulu>hiyyah siwa>hu).‛99
4. Argumen Pembagian Konsep Tauhid
Berdasarkan penjelasan tentang makna ( هللا ل ئى ئل ) di dalam Al-Quran, Sunnah dan
pemahaman para sahabat Nabi dan ulama Salaf di atas, jelas bahwa pembagian
(pengonsepan) tauhid menjadi Tauhid Ulu>hiyyah dan Tauhid Rubu>biyyah hakikatnya
‚bukan barang baru‛, sehingga tidak benar menisbatkan pembagian ini kepada Imam Ibnu
Taimiyah rh misalnya, atau muridnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rh, apalagi Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahha>b. Kalau yang mempopulerkannya, barangkali bisa
dikatakan demikian, tetapi sejatinya makna konseptual ini sudah diajarkan oleh Al-Quran,
Sunnah dan dipahami demikian oleh para Sahabat, serta dikuatkan oleh makna semantik
dan struktur kebahasaan Al-Quran.
Sebagai contoh, di dalam ayat paling agung di dalam Al-Quran (ayat Al-Kursi)
Allah menjelaskan kedua makna konseptual tauhid (rubu>biyyah dan ulu>hiyyah). Firman-
Nya: ( ) :adalah tauhid ulu>hiyyah. Lalu firman-Nya (هللا ل ئى ئل ل رأخز ا اىق ى ىح ل صخ
ب ف األسض اد ب ب ف اىض ... ) hingga akhir ayat adalah beberapa rincian nama-nama suci dan
sifat-sifat agung yang masih merupakan makna rubu>biyyah-Nya. Jadi meskipun tidak
disebutkan secara eksplisit, tetapi makna dan konsep tersebut dikandung oleh ayat yang
mulia di atas.
Di dalam Ummul Kita>b (surat Al-Fa>tih}ah}), kedua makna tauhid ini juga tampak
jelas. Firman-Nya: ( سة اىؼبى ذ لل ) :adalah Tauhid Rubu>biyyah, firman-Nya (اىح اىشح
اىش ح اىذ بىل . ) adalah nama-nama suci (al-asma>’ al-h}usna>) yang masih termasuk ke
dalam makna rubu>biyyah-Nya, dan firman-Nya: ( ئبك ضزؼ adalah Tauhid (ئبك ؼجذ
Ulu>hiyyah. Lebih tegas lagi dalam surat Al-Na>s, Allah berfirman: ( قو أػر ثشة اىبس) ini
tentang rubu>biyyah Allah, firman-Nya: ( يل اىبس ) salah satu nama suci Allah, dan firman-
Nya: ( ئى اىبس) adalah Tauhid Ulu>hiyyah. Ayat lainnya yang juga mengumpulkan kedua
makna ini ialah firman-Nya: ( ى و رؼي اصطجش ىؼجبدر ب فبػجذ ب ث األسض اد ب سة اىض
99
Abu> Bakr Al-Ba>qilla>ni>, Al-Ins}a>f fi> ma> Yajibu I‘tiqa>duhu wa la> Yaju>zu al-Jahlu bihi, (Kairo:
Maktabah Al-Azhariyyah, 2000), h. 32-33
27
ب (ص100
. Firman-Nya: (ب ب ث األسض اد ب فبػجذ ) ,adalah Tauhid Rubu>biyyah (سة اىض
اصطجش ىؼجبدر ) Tauhid Ulu>hiyyah, dan (ب ى ص adalah salah satu makna rubu>biyyah (و رؼي
bahwa tiada sesuatupun yang setara dengan-Nya. Dan banyak lagi di dalam Al-Quran ayat
serupa.
Kemudian, surat Al-Ikhlas, seluruhnya berisikan Tauhid Rubu>biyyah, jika lafaz al-
s}amad dimaknai: ‚tidak berongga yang butuh makan dan minum (laisa bi ajwaf)‛, karena
makna lain dari al-s}amad menunjukkan dengan jelas makna Tauhid Ulu>hiyyah, yaitu:
‚Allah lah sesembahan yang tak layak menghaturkan penyembahan kepada siapapun
selain kepada-Nya.‛101
Sementara surat Al-Ka>firu>n seluruhnya bermakna Tauhi>d
Ulu>hiyyah, yang menafikan penyembahan kepada selain Allah Swt.
5. Konsep Tauhid Dibagi Dua, Tiga ataukah Empat?
Kedua aspek makna konseptual Tauhid ini (rubu>biyyah dan ulu>hiyyah) meski
sebagian orang menyebutnya ijtihadi, namun ia bersifat ilmiah dan digali melalui induksi
terhadap dalil-dalil dari Al-Quran, Sunnah dan pemahaman para Sahabat. Jika Al-Quran,
Sunnah dan Ijma>‘ Sahabat telah menunjuk kepada suatu pemahaman yang qath‘i> maka
tidak ada jalan bagi seorang mukmin selain menerimanya. Meskpiun memang tidak
pernah disebutkan secara eksplisit bahwa Tauhid itu dibagi menjadi dua aspek: Ulu>hiyyah
dan Rubu>biyyah, atau tiga aspek, ditambah dengan Tauhid Asma>’ wa S{ifa>t, tetapi makna-
maknanya tidak dapat diingkari. Tidak ada akal beriman yang akan mengingkari sifat
rubu>biyyah dan ulu>hiyyah Allah Swt., dan bahwa Allah memiliki nama-nama suci dan
sifat-sifat agung.
Memang sebagian ulama ada yang membagi Tauhid menjadi tiga aspek: Tauhid
Ulu>hiyyah, Rubu>biyyah, Al-Asma>’ wa Al-S}ifa>t, ataupun menambahnya dengan aspek
keempat, yaitu: Tauhid Al-H}a>kimiyyah, semua itu menurut penulis sah-sah saja, karena
tujuannya ingin lebih mempertegas lagi makna-makna tersebut sebagai bagian dari makna
konseptual Tauhid, meskipun—menurut penulis—Asma>’ wa S}ifa>t ataupun H}a>kimiyyah
telah terkandung di dalam makna Rubu>biyyah. Makna-makna Tauhid tersebut tidak bisa
diingkari meski terdapat perbedaan dalam pembagian aspek.
Pembagian makna konseptual Tauhid ini tidak berbeda misalnya dengan
pembagian ah}ka>m takli>fiyyah dalam Us}u>l Al-Fiqh menjadi: wuju>b, sunnah, h}urmah,
100
QS. Maryam: 65 101
Ibnu Jari>r Al-T{abari>. Ibid. 24/689
28
kara>hah dan iba>h}ah, atau pembagian status hadith dalam ilmu Mus}t}aluh} Al-H}adi>th
menjadi: s}ahi>h}, h}asan, d}a ‘i>f, mawd}u‘, dan pembagian-pembagian konsep lainnya dalam
seluruh cabang ilmu. Pembagian semacam ini dibenarkan dalam kajian ilmu pengetahuan
jika memang didukung oleh argumen-argumen yang kuat dan induksi komprehensif
terhadap nas-nas Syariat. Wujud hukum-hukum tersebut tidak bisa diingkari hanya karena
sebagian ulama membaginya menjadi lima dan sebagian yang lain menjadi tujuh (fard},
wuju>b, istih}ba>b, h}urmah, kara>hat tanzi>h, kara>hat tah}ri>m dan iba>h}ah). Demikian halnya
dengan pembagian Tauhid, dimana sebagian membaginya menjadi dua, tiga, empat atau
lebih. Bahkan pembagian Tauhid ini lebih kuat daripada pembagian hukum-hukum takli>fi>
di atas dikarenakan banyaknya dalil-dalil qath‘i yang menunjukkannya. Sehingga, jika
seorang mukmin tidak bisa mengingkari bahwa dalam ajaran Agama ini terdapat perintah-
perintah wajib, sunnah, larangan yang haram, makruh dan seterusnya, maka dimikian pula
halnya dengan pembagian Tauhid ini.
V. Kesimpulan
Melalui pembahasan di atas kiranya telah jelas bahwa konsep Tauhid yang lebih
relevan dan komprehensif adalah yang menggabungkan dua makna konseptual, yaitu
rubu>biyyah dan ulu>hiyyah, bukan sekedar salah satu dari keduanya. Sebab kedua makna
inilah yang ditunjukkan oleh kata ‚Tauhid‛ berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran, Sunnah
dan perkataan para ulama Generasi Salaf yang mengambil langsung ajaran Agama ini dari
sumbernya yang jernih, demikian juga makna secara semantik dan kebahasaan.
Tauhid bukan hanya aspek rubu>biyyah semata, karena pengakuan akan rubu>biyyah
Allah semata tidak cukup untuk menjadikan seorang menjadi Muslim. Sebab kaum
Musyrik Mekah pada zaman Nabi Saw juga mengimani bahwa Allah adalah Rabb Yang
Mahakuasa, Maha Mencipta dan Maha memberi rezeki, tetapi mereka dicap sebagai kafir
dan musyrik lantaran menyembah kepada selain Allah. Bahkan Iblis dalam beberapa ayat
di dalam Al-Quran, mengakui bahwa Allah adalah Rabb-nya, seperti firman Allah (yang
artinya): ‚Iblis berkata: ‘Wahai Rabb-ku, beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia)
dibangkitkan... Ia berkata: ‘Wahai Rabb-ku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa
aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di
muka bumi...‛102 Tetapi, meski demikian tetaplah ia sebagai makhluk yang paling kafir,
karena menolak ketaatan dan kepatuhan melaksanakan perintah Allah untuk bersujud
102
QS. Al-H}ijr: 36 dan 39
29
menghormati Adam. Penolakan kepatuhan ini tentu saja merupakan pengingkarannya
terhadap Tauhid Ulu>hiyyah.
Kritik terhadap konsep Tauhid versi Mutakallimu>n dan Fala>sifah dalam tulisan ini
tidak berarti mengatakan bahwa mereka tidak meyakini ke-ulu>hiyyah-an Tuhan,
melainkan kritik bahwa kecendrungan mereka membahas Tauhid dengan konsep khas
mereka—dalam pandangan penulis—telah melalaikan aspek tauhid ibadah yang
merupakan msisi para rasul itu, sehingga jarang ditemukan di dalam kitab-kitab aqidah
mereka penjelasan memadai tentang aspek kedua dari konsep Tauhid ini. Pembahasan
mereka tetang keesaan Allah bahkan menggiring kepada perdebatan tentang hakikat
Tuhan yang dilarang oleh Nabi Saw. Beliau bersabda: ‚Berpikirlah tentang nikmat-
nikmat Allah dan janganlah berpikir tentang Allah.‛103 Dalam riwayat lain: ‚Berpikirlah
tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir tentang Allah sehingga kalian
menjadi celaka.‛104 Kalaulah pembahasan tauhid seperti konsep Mutakallimu>n dan
Fala>sifah sangat penting sehingga tauhid seseorang tidak akan sempurna tanpanya,
niscaya para nabi dan rasul lah yang paling berhak dan paling layak mengajarkan dan
menyampaikannya. Walla>hu A‘lam.
103
Abu> Al-Qa>sim Sulaima>n bin Ah}mad Al-Lakhmi Al-T}abra>ni>, Mu‘jam Al-T{abra>ni>, (Kairo: Da>r Al-
H{aramain), no. 6/250 104
Abu> Al-Shaikh Al-As}baha>ni>, Al-‘Az}amah, Bab> Al-Amr fi> Al-Tafakkur fi> A>ya>tilla>h, (Riyad}: Da>r
Al-‘A>s}imah, 1408), 1/204
30
Daftar Pustaka:
Al-As}baha>ni>, Abu> Al-Shaikh, Al-‘Az}amah, Bab> Al-Amr fi> Al-Tafakkur fi> A>ya>tilla>h,
(Riyad}: Da>r Al-‘A>s}imah, 1408)
Al-Ba>birti, Akmaluddi>n Muh}ammad Ibn Muh}ammad, Syarh} ‘Aqi>dah Ahl Al-Sunnah wa
al-Jama>‘ah, (Kuwait: Wiza>rat al-Shu’u>n Al-Isla>miyyah, 1989)
Al-Ba>qilla>ni>, Abu> Bakr, Al-Ins}a>f fi> ma> Yajibu I‘tiqa>duhu wa la> Yaju>zu al-Jahlu bihi,
(Kairo: Maktabah Al-Azhariyyah, 2000)
Al-Baghwi, Abu> Muh}ammad Al-H{usain bin Mas‘u>d, Ma‘a>lim At-Tanzi>l fi> Tafsi>r Al-
Qur’a>n, (Riya>d}: Da>r T}aibah, 1997)
Al-Bukha>ri>, Ima>m Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad bin Isma>‘i>l, S}ah}i>h} Al-Bukha>ri>, Kita>b Al-
Tauh}i>d, Ba>b: Ma> ja>’a fi> du ‘a’ al-Nabi> ummatahu ila> al-tauh}i>d, (Da>r T{auq Al-
Naja>t, 1422).
Al-Da>raqut}ni>, Ima>m Abu> Al-H{asan ‘Ali bin ‘Umar, Sunan Al-Da>raqut}ni>, Kita>b Al-Zaka>h, Ba>b: Al-H{aththu ‘ala> ikhra>j al-s}adaqah wa baya>nu qismatiha>, (Beirut: Mu’ssasah
Al-Risa>lah, 2004).
Al-Dainu>ri>, Abu> Muh}ammad Abdulla>h bin Muslim bin Qutaibah, Tafsi>r Gari>b al-Qur’a>n,
(Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1978)
Al-Fairu>z A<ba>di, Abu T{a>hir Muh}ammad bin Ya‘qu>b, Al-Qa>mu>s Al-Muh}i>t} (Beirut:
Mu’assasah Al-Risa>lah, 2005)
Al-Fara>hi>di>, Abu> ‘Abdurrah}ma>n Al-Khali>l bin Ah}mad, Mu ‘jam Al-‘Ain (Da>r wa
Maktabah Al-Hila>l)
Al-Ghaza>li>, Abu> H}amid Muh}ammad bin Muh}ammad, Al-Iqtis}ad fi> Al-I‘tiqa>d, (Beirut:
Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2004)
Al-H}anafi>, S}adruddi>n Mu}ammad bin ‘Ali> bin Muh}ammad bin Abi Al-‘Izz, Sharh} Al-
‘Aqi>dah Al-T{aha>wiyyah, (Kairo: Da>r Al-Sala>m, 2005)
Al-Jauhari>, Abu> Nas}r Isma>‘i>l bin H{amma>d, Al-S{ih}a>h} Ta>j Al-Lug}ah (Beirut: Da>r Al-‘Ilm li
Al-Mala>yi>n, 1987).
Al-Jauzi>, Abu> Al-Faraj Aburrah}ma>n bin ‘Ali> bin Muh}ammad, Za>d Al-Masi>r fi> ‘Ilmi Al-
Tafsi>r (Beirut: Da>r Al-Kita>b Al-‘Arabi>, 1422 H).
Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim, Mukhtas}r Al-S}awa>‘iq Al-Mursalah (Kairo: Da>r Al-H}adi>th,
2004)
Al-Jurja>ni>, Al-Shari>f ‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali>, Al-Ta‘ri>fa>t, (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-
‘Ilmiyyah, 1983)
Al-Khayyat}, ‘Abdurrah}i>m bin Mu}ammad bin ‘Uthma>n, Kita>b Al-Intis}a>r wa Al-Radd ‘ala>
Ibn Al-Rawandi> Al-Mulh}id, (Beirut: Maktabah Al-Da>r Al-‘Arabiyyah li Al-Kita>b,
1993)
Al-Marwazi, Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad bin Nas}r bin Al-H{ajja>j, Ta‘z}i>m Qadr Al-S}ala>h,
(Madi>nah Al-Munawwarah, Maktabah Al-Da>r, 1406)
Al-Naisa>bu>ri, Ima>m Abu> Al-H}asan Muslim bin Al-H}ajja>j, S}ah}i>h Muslim, Kita>b Al-I>ma>n,
Bab: Al-Amru bi qita>l al-na>s h}atta> yashhadu> an la> ila>ha illalla>h. (Beirut: Da>r Ih}ya>’
Al-Tura>th Al-‘Arabi>)
Al-As}fha>ni>, Al-Ra>gib Abu> Al-Qa>sim Al-H{usain bin Muh{ammad bin Al-Mufad}d}al, Al-
Mufrada>t fi> Gari>b al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Qalam, 1412 H).
31
Al-Ra>zi>, Abu> ‘Abdulla>h Muhammad bin Abu> Bakr, Mukhta>r Al-S{ih}a>h}, (Beirut: Al-
Maktabah Al-‘As}riyyah, 1999)
Al-Ra>zi>, Abu> Al-H{usain Ah}mad bin Fa>ris, Mu‘jam Maqa>yi>s Al-Lug}ah, (Beirut: Da>r Al-
Fikr, 1979)
Al-Ra>zi>, Fakhruddi>n, Muh}ammad bin ‘Umar bin Al-H}usain, Al-Mat}a>lib Al-‘A>liyah,
(Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Arabi, 1987).
Al-Ra>zi>, Tafsi>r Mafa>tih} Al-Ghaib, (Beirut: Da>r Ih}ya>’ Al-Tura>th Al-‘Arabi>, 1420 H),
32/361
Al-Shahrushta>ni>, Abul Fath} Muh}ammad bin Abdul Kari>m bin Abi> Bakr, Al-Milal wa Al-
Nih}al, (Kairo: Mu’assasah Al-H}alabi)
____________>, Niha>yat Al-Iqda>m fi> ‘Ilm Al-Kala>m (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah,
1425)
Al-T{abari>, Imam Abu> Ja‘far Muh}ammad bin Jari>r, Ja>mi‘u al-Baya>n ‘an Ta’wi>li A<y Al-
Qur’a>n, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 2000).
Al-T}abra>ni>, Abu> Al-Qa>sim Sulaima>n bin Ah}mad Al-Lakhmi, Mu‘jam Al-T{abra>ni>, (Kairo:
Da>r Al-H{aramain)
Al-Zabi>di, Abu> Al-Faid} Muh}ammad bin Muh}ammad Murtad}a>, Ta>j Al-‘Aru>s (Da>r Al-
Hida>yah, tanpa tahun).
Al-Zamakhshari>, Mah}mu>d bin ‘Umar, Al-Kashsha>f ‘an H}aqa>’iq G}awa>mis} Al-Tanzi>l
(Beirut: Da>r Al-Kita>b Al-‘Arabi>, 1407 H)
Ibn Kathi>r, Abu> Al-Fida> Isma>‘il bin ‘Umar, Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-‘Az}i>m, (Beirut: Da>r Al-
Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1419 H).
Ibn Sayyidih, Abu> Al-H{asan ‘Ali> bin Isma>‘i>l, Al-Mukhas}s}is}, (Beirut: Da>r Ih}ya> Al-Tura>th
Al-‘Arabi>, 1996).
Ibn Si>na, Abu> ‘Ali> Al-H}usain bin Abdulla>h, Al-Shifa>’, Al-Ila>hiyya>t, (Kairo: Al-Hai’ah Al-
Mis}riyyah li shu’u>n al-Mat{a>bi‘, 1960)
Ibn Taimiyyah, Abu> Al-‘Abba>s Ah}mad bin Abdul H}alil>m, Al-Risa>lah Al-S}afadiyyah,
(Riya>d}: Maktabah Ad}wa’ Al-Salaf, 2002).
___________, Baya>n Talbi>s Jahmiyyah fi> Ta’si>s Bida‘ihim Al-Kala>miyyah, (Riya>d}:
Majma‘ Malik Fahd: 1426)
___________, Dar’u Ta‘a>rud} al-‘Aql wa al-Naql, (Riyad}: Da>r Al-Fad}ilah, 2008)
Ibnu Al-Athi>r, Abu> Al-Sa‘a>da>t Al-Muba>rak bin Muhammad, Al-Niha>yah fi> Gari>b al-
H{adi>th wa al-A<tha>r (Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ilmiyyah, 1979)
Muhammad Khad}ir, Muhammad Zaki, Mu‘jam Kalima>t Al-Qur’a>n Al-Kari>m, (),
Shamsuddi>n Abu> Abdulla>h Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Uthma>n Al-Dhahabi>, Al-‘Uluw li
Al-‘Aliy Al-Ghaffa>r, (Riyad}: Maktabah Ad}wa>’ Al-Salaf, 1995), h. 139.
T}a‘i>mah, S}a>bir Abdurrah}ma>n, Dr., Al-Mutakallimu>n fi> Dha>tilla>h wa S}ifa>tihi wa Al-Raddu
‘Alaihim, (Kairo: Maktabah Madbu>li>, 2005).