ruu tentang perubahan atas uu nomor 24 tahun 2003 tentang mahkamah konstitusi
DESCRIPTION
RUU Tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah KonstitusiTRANSCRIPT
1
RANCANGANUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR...TAHUN...TENTANG
PERUBAHAN ATASUNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelakukekuasaan kehakiman yang merdeka mempunyai peranan pentingdalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukumsebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MahkamahKonstitusi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhanhukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud padahuruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentangMahkamah Konstitusi;
Mengingat: 1. Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang KekuasaanKehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor5076);
Dengan Persetujuan BersamaDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
danPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
2
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAHKONSTITUSI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentangMahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) diubah sebagaiberikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:1. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945.
2. Hakim Konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi.3. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepadaMahkamah Konstitusi mengenai:a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;b. sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;c. pembubaran partai politik;d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; ataue. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atauWakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah perangkat yang dibentukoleh Mahkamah Konstitusi untuk memantau, memeriksa danmerekomendasikan tindakan terhadap Hakim Konstitusi, yang didugamelanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
2. Pasal 4 ayat (3) diubah, di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat,yakni ayat (3a), di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 9 (sembilan) ayat, yakniayat (4a), ayat (4b), ayat (4c), ayat (4d), ayat (4e), ayat (4f), ayat (4g), ayat (4h),dan ayat (4i), sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
3
Pasal 4
(1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusiyang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkapanggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) oranganggota hakim konstitusi.
(3) Ketua dan Wakil Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakimkonstitusi untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitungsejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua.
(3a)Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang terpilih sebagaimanadimaksud pada ayat (3) dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama.
(4) Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih sebagaimanadimaksud pada ayat (3), rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MahkamahKonstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua usianya.
(4a)Rapat Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.
(4b)Dalam hal jumlah kuorum anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4a)tidak terpenuhi, rapat ditunda paling lama 2 (dua) jam.
(4c) Apabila penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) telahdilakukan dan kuorum rapat belum terpenuhi, rapat dapat mengambilkeputusan tanpa kuorum.
(4d)Pengambilan keputusan dalam rapat pemilihan Ketua dan Wakil KetuaMahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dilakukan secaramusyawarah mufakat untuk mencapai aklamasi.
(4e)Apabila keputusan tidak dapat dicapai secara aklamasi sebagaimanadimaksud pada ayat (4d), keputusan diambil berdasarkan suara terbanyakmelalui pemungutan suara yang dilakukan secara bebas dan rahasia.
(4f) Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dilakukan dalam 1(satu) kali Rapat Pemilihan
(4g)Calon yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan sebagaimanadimaksud pada ayat (4f) ditetapkan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.
(4h)Calon yang memperoleh suara terbanyak kedua dalam pemilihansebagaimana dimaksud pada ayat (4f) ditetapkan sebagai Wakil KetuaMahkamah Konstitusi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketuadiatur dalam peraturan Mahkamah Konstitusi.
3. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1(satu) ayat, yakni ayat (1a), dan ayat (2) ditambahkan 1 (satu) huruf, yakni huruf c,sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
4
Pasal 6(1) Kedudukan protokol dan hak keuangan Ketua, Wakil Ketua, dan anggota
hakim konstitusi berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan bagipejabat negara.
(1a)Negara memberikan jaminan keamanan hakim konstitusi dalam menjalankantugas dan tanggung jawab sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman.
(2) Hakim konstitusi hanya dapat dikenakan tindakan kepolisian atas perintahJaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis Presiden, kecuali dalamhal:a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau tindak pidanakejahatan terhadap keamanan negara; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
4. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7Pada Mahkamah Konstitusi dibentuk Sekretariat Jenderal dan sebuahKepaniteraan untuk membantu pelaksanaan tugas dan wewenang MahkamahKonstitusi.
5. Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 7A dan Pasal7B, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7A(1) Sekretariat Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 menjalankan
tugas teknis administratif Mahkamah Konstitusi.(2) Tugas teknis administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. koordinasi pelaksanaan administratif di lingkungan Sekretariat Jenderaldan Kepaniteraan;
b. penyusunan rencana dan program dukungan teknis administratif;c. pelaksanaan kerja sama dengan masyarakat dan hubungan antar
lembaga;d. pelaksanaan dukungan fasilitas kegiatan persidangan; dane. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi
sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 7B(1) Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan
fungsional yang menjalankan tugas teknis admistrasi peradilan MahkamahKonstitusi.
(2) Tugas teknis administrasi peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)meliputi:a. koordinasi pelaksanaan teknis peradilan pada Mahkamah Konstitusi;b. pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara;
5
c. pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan pada MahkamahKonstitusi; dan
d. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusisesuai dengan bidang tugasnya.
6. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8Ketentuan mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang SekretariatJenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut denganPeraturan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi.
7. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d diubah, sehingga pasal 10 berbunyi sebagaiberikut:
Pasal 10(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan/ataud. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum yang meliputi
pemilihan umum presiden dan wakil presiden, pemilihan umum anggotaDPR, DPD dan DPRD, dan pemilihan umum dan/atau pemilihan kepaladaerah.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwaPresiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaranhukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakpidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhisyarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksuddalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan
negara sebagaimana diatur dalam undang-undang;b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam undang-undang;c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat
Presiden dan/atau Wakil Presiden; dan/ataue. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6
8. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15(1) Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;b. adil; danc. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syaratsebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon harus memenuhisyarat:
a. warga negara Indonesia;b. berpendidikan di bidang hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3);c. bertakwa dan berakhlak mulia;d. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam
puluh dua) tahun pada saat pengangkatan;e. mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan
kewajiban;f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;g. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; danh. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima
belas) tahun dan/atau pernah menduduki jabatan kenegaraan.(3) Syarat berpendidikan di bidang hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b berupa:a. untuk calon hakim konstitusi yang diajukan oleh Pemerintah dan DPR,
berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjanayang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum; atau
b. untuk calon hakim konstitusi yang diajukan oleh Mahkamah Agung,berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana yang berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum.
(4) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat(3), calon hakim konstitusi juga harus memenuhi kelengkapan administrasidengan menyerahkan :a. surat pernyataan tentang kesediaannya untuk menjadi hakim konstitusi;b. daftar riwayat hidup;c. menyerahkan fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi dengan menunjukkan
ijazah asli;d. Laporan daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon yang
disertai dengan dokumen pendukung yang sah dan telah mendapatpengesahan dari lembaga yang berwenang; dan
e. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
9. Pasal 16 dihapus.
7
10.Penjelasan Pasal 18 diubah sehingga penjelasan Pasal 18 berbunyi sebagaiberikut:
Pasal 18Ayat (1)
Calon Hakim Konstitusi yang diajukan oleh Mahkamah Agungadalah hakim agung.Penerbitan Keputusan Presiden dalam ketentuan ini bersifatadministratif.
Ayat (2)Cukup jelas.
11.Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 22A yangberbunyi sebagai berikut:
Pasal 22A(1) Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada masing-masing lembaga yang
berwenang tentang akan berakhirnya masa jabatan hakim konstitusi palinglama 6 (enam) bulan sebelum berakhir masa jabatan hakim konstitusi.
(2) Masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat(1) mengajukan calon hakim konstitusi kepada Presiden paling lama 4 (empat)bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan diterima.
(3) Untuk menjamin kesinambungan kerja Mahkamah Konstitusi, masing-masinglembaga yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusimempertahankan 1 (satu) hakim konstitusi yang memenuhi syaratsebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 22 untukdiajukan kembali.
(4) Penetapan hakim konstitusi oleh Presiden dilakukan paling lama 1 (satu) bulanterhitung sejak tanggal pengajuan calon hakim sebagaimana dimaksud padaayat (2) diterima oleh Presiden.
12.Ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c dan huruf e diubah, ayat (2) huruf f diubahdan ditambahkan 1 (satu) huruf, yakni huruf h, ayat (5) dihapus, sehingga Pasal23 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23(1) Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan:
a. meninggal dunia;b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua
Mahkamah Konstitusi;c. telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun;d. telah berakhir masa jabatannya; ataue. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan yang
dibuktikan dengan surat keterangan dokter.(2) Hakim konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila:
8
a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telahmemperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yangdiancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. melakukan perbuatan tercela;c. tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya
selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;d. melanggar sumpah atau janji jabatan;e. dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan
dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f. melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal17;
g. tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi; dan/atauh. melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi;
(3) Permintaan pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud padaayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h dilakukansetelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapanMajelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
(4) Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden ataspermintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.
(5) Dihapus.
13.Di antara Pasal 23 dan Pasal 24 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 23A yangberbunyi sebagai berikut:
Pasal 23A(1) Apabila hakim konstitusi diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23, lembaga yang berwenang mengajukan penggantian antar waktu hakimkonstitusi sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksuddalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18, dan Pasal 20 yang ditetapkan denganKeputusan Presiden.
(2) Penggantian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukanpaling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pemberitahuandisampaikan oleh Mahkamah Konstitusi.
(3) Hakim Konstitusi yang menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yangpengucapannya dipandu oleh Ketua/Wakil ketua Mahkamah Konstitusi denganbunyi sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(4) Hakim konstitusi yang menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)melanjutkan sisa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya.
(5) Penggantian hakim konstitusi antar waktu tidak dilakukan apabila sisa masajabatan hakim yang akan diganti kurang dari 3 (tiga) bulan dari masa jabatansebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
9
14.Di antara BAB IV dan BAB V disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IVA tentang KodeEtik dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang berbunyi sebagai berikut:
BAB IVAKODE ETIK DAN
MAJELIS KEHORMATAN HAKIM KONSTITUSI
Pasal 27A(1) Mahkamah Konstitusi wajib menyusun kode etik yang berisi norma-norma
yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnyauntuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dannegarawan.
(2) Untuk menegakkan kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentukMajelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang keanggotannya terdiri dari:a. 2 (dua) orang Hakim Konstitusi;b. 2 (dua) orang dari unsur akademisi; danc. Ketua Komisi Yudisial.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusiberpedoman pada:a. Kode Etik Hakim Konstitusi;b. tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi; danc. norma dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusisebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b memuat mekanisme penegakankode etik dan jenis sanksi.
(5) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:a. teguran tertulis;b. pemberhentian sementara; atauc. pemberhentian.
(6) Kanggotaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang berasal dari hakimkonstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan olehMahkamah Konstitusi
(7) Unsur akademisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan olehMahkamah Konstitusi dari nama-nama yang diusulkan oleh perguruan tinggi.
(8) Ketua Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c karenajabatannya ditetapkan menjadi anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
(9)Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, organisasi, dan tata carapersidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur dalam peraturanMahkamah Konstitusi.
Pasal 27BUntuk menjaga dan menegakkan integritas dan kepribadian yang tidak tercela,keadilan, dan kenegarawanan:a. hakim konstitusi wajib:
10
1. menaati peraturan perundang-undangan;2. menghadiri persidangan;3. menjalankan hukum acara sebagaimana mestinya;4. menaati kode etik;5. memperlakukan para pihak yang berperkara dengan adil, tidak
diskriminatif dan tidak memihak; dan6. menjatuhkan putusan secara obyektif didasarkan kepada fakta dan hukum
yang dapat dipertanggungjawabkan.b. hakim konstitusi dilarang:
1. melanggar sumpah jabatan/janji;2. menerima sesuatu pemberian atau janji dari pihak yang berperkara, baik
langsung maupun tidak langsung; dan/atau3. mengeluarkan pendapat atau pernyataan di luar persidangan atas sesuatu
perkara yang sedang ditanganinya mendahului putusan.
15.Ketentuan Pasal 32 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah, di antara ayat (1) danayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), dan setelah ayat (3) ditambah 1(satu) ayat, yakni ayat (4), sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32(1) Terhadap setiap permohonan yang diajukan, Panitera Mahkamah Konstitusi
melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 29 dan Pasal 31.
(1a) Pemeriksaan kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) bersifat terbuka dan Pemohon dapat melakukan konsultasi.
(2) Dalam hal permohonan belum memenuhi kelengkapan sebagaimanadimaksud pada ayat (1), pemohon diberi kesempatan untuk melengkapipermohonan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejakpemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon.
(3) Permohonan yang telah memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksudpada ayat (2a) dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan kepadapemohon diberikan Akta Penerimaan Berkas Perkara.
(4) Dalam hal kelengkapan permohonan tidak dipenuhi dalam jangka waktusebagaimana dimaksud pada ayat (2), Panitera Mahkamah Konstitusimenerbitkan akta yang menyatakan bahwa permohonan tidak diregistrasidalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan diberitahukan kepadaPemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan.
16.Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 33A yangberbunyi sebagai berikut:
Pasal 33A(1) Mahkamah Konstitusi menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan
Presiden dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggalpermohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
(2) Penyampaian salinan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dibuktikan dengan tanda terima.
11
17. Ketentuan Pasal 34 ayat (3) diubah dan setelah ayat (3) ditambahkan 1 (satu)ayat, yakni ayat (4), sehingga Pasal 34 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34(1) Mahkamah Konstitusi menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalamBuku Registrasi Perkara Konstitusi
(2) Penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukankepada Pemohon, Termohon dan pihak terkait serta diumumkan kepadamasyarakat.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan denganmenempelkan pada papan pengumuman yang khusus dibuat untuk itu danmelalui media cetak atau media elektronik.
(4) Pemberitahuan penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud pada ayat(2), harus sudah diterima oleh para pihak yang berperkara dalam jangkawaktu paling lambat 5 (lima) hari sebelum hari persidangan.
18. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 35 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a),sehingga Pasal 35 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35(1) Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama
pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.(1a) Dalam hal Pemohon menarik kembali permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta PembatalanRegistrasi permohonan dan memberitahukan kepada Pemohon disertaidengan pengembalian berkas permohonan.
(2) Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkanpermohonan tidak dapat diajukan kembali.
19. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A, yangberbunyi sebagai berikut:
Pasal 35APermohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 tidak dibebani biayaperkara.
20. Ketentuan Pasal 41 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (4) sehingga Pasal 41berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41(1) Dalam pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,
hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta alat bukti yang diajukan.(2) Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untukmemberi keterangan yang dibutuhkan yang dibutuhkan dan/atau memintaketerangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait denganpermohonan.
12
(3) Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajibmenyampaikan penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh)hari kerja sejak permintaan hakim konstitusi diterima.
(4) Pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:a. pemeriksaan pokok permohonan;b. pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;c. mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara;d. mendengarkan keterangan saksi;e. mendengarkan keterangan ahli;f. mendengarkan keterangan pihak terkait;g. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau
peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapatdijadikan petunjuk; dan
h. pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optikatau yang serupa dengan itu.
21. Di antara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 42A yangberbunyi sebagai berikut:
Pasal 42A(1) Saksi dan ahli dapat diajukan oleh para pihak yang berperkara, pihak terkait,
atau dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi(2) Saksi dan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan
keterangan di bawah sumpah/janji.(3) Saksi dan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang.
22. Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 45A yangberbunyi sebagai berikut:
Pasal 45A(1) Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak
diminta oleh Pemohon atau melebihi permohonan Pemohon.(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk putusan
terhadap permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-UndangDasar apabila Majelis Hakim Konstitusi menganggap ada keterkaitan denganpasal-pasal lain yang tidak dimohonkan dengan pasal dalam undang-undangyang dimohonkan pengujian dan karenanya undang-undang yangbersangkutan menjadi tidak dapat dilaksanakan akibat adanya putusanMahkamah Konstitusi tersebut.
23. Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 48A danPasal 48B, yang berbunyi sebagai berikut:
13
Pasal 48APertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf d meliputi ringkasan:a. pendirian dan keterangan tambahan dari pemohon yang disampaikan di
persidangan;b. keterangan pihak yang berperkara;c. keterangan pihak terkait; dand. hasil pemeriksaan alat-alat bukti.
Pasal 48 B(1) Mahkamah Konstitusi mengeluarkan ketetapan dalam hal:
a. permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untukmengadili perkara yang dimohonkan; atau
b. Pemohon menarik kembali permohonan.(2) Amar ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berbunyi:
menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili permohonanPemohon.
(3) Amar ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berbunyi“menyatakan permohonan Pemohon ditarik kembali”.
24. Pasal 50 dihapus.
25. Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 pasal, yakni Pasal 50A yangberbunyi sebagai berikut:
Pasal 50AMahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak menggunakan Undang-Undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum.
26. Di antara Pasal 51 dan Pasal 52 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 51A yangberbunyi sebagai berikut:
Pasal 51A(1) Permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus memuat hal-hal sebagaimanadimaksud dalam Pasal 31.
(2) Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara permohonanpegujian undang-undang meliputi:a. kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian;b. kedudukan hukum Pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau
kewenangan konstitusi Pemohon yang dianggap dirugikan denganberlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukanpengujian; dan
c. alasan permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31ayat (1) huruf diuraikan jelas dan rinci.
14
(3) Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil,maka hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujiansebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c, yaitu meliputi:a. mengabulkan permohonan Pemohon;b. menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak
memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkanUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
c. menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukummengikat.
(4) Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian materiil,maka hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujiansebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c, yaitu meliputi:a. mengabulkan permohonan Pemohon;b. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari
undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
c. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dariundang-undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
27. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 57 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a)sehingga Pasal 57 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 57(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangandengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidakmempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwapembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuanpembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyaikekuatan hukum mengikat.
(2a) Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:a. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam
perkara pengujian undang-undang;b. perintah kepada pembuat undang-undang; danc. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang
dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.(3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat
dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) harikerja sejak putusan diucapkan.
15
28. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 59(1) Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, danMahkamah Agung.
(2) DPR dan /atau Presiden segera menyusun Rancangan Undang-Undangyang baru sebagai pengganti norma-norma yang dinyatakan bertentangandengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia paling lambat 30(tiga puluh hari) sejak diterimanya putusan.
(3) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud ayat (2) harus telahdisahkan oleh Presiden paling lama 1 (satu) kali masa sidang.
(4) Jika kekosongan hukum akibat Putusan sebagaimana dimaksud ayat(1)bersifat kegentingan memaksa maka Presiden dapat menetapkan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang untuk menggantikan norma-normayang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945.
29. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 60(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-
undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.(2) Ketentuan ayat (1) dapat dikecualikan sepanjang terdapat alasan
konstitutional yang berbeda.
30. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga Pasal 61 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 61(1) Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yangmempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yangdipersengketakan.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentangkepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yangdipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yangmenjadi termohon.
31. Pasal 65 dihapus.
32. Di antara Pasal 78 dan Pasal 79 disisipkan 1 (satu) Pasal, yaitu Pasal 78A yangberbunyi sebagai berikut:
Pasal 78A(1) Putusan yang telah diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim
diucapkan dalam sidang Pleno Hakim Konstitusi yang terbuka untuk umum.(2) Amar putusan Mahkamah Konsitusi dapat menyatakan:
16
a. permohonan tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/ataupermohonannya tidak memenuhi syarat;
b. permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan danselanjutnya membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkanoleh Komisi Pemilihan Umum serta menetapkan hasil penghitungansuara yang benar; dan
c. permohonan ditolak apabila permohonan tidak terbukti beralasan/tidaklengkap pembuktian.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi tentang perselisihan hasil Pemilu Presidendan Wakil Presiden disampaikan kepada:a. Majelis Permusyawaratan Rakyat;b. Dewan Perwakilan Rakyat;c. Dewan Perwakilan Daerah;d. Presiden/Pemerintah;e. Komisi Pemilihan Umum;f. Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang mengajukan calon; dang. Pasangan calon peserta Pemilu.
(4) Putusan Mahkamah Konstitusi tentang perselisihan hasil Pemilu AnggotaDPR, DPD, dan DPRD disampaikan kepada Presiden, pemohon, dan KomisiPemilihan Umum.
(5) Putusan Mahkamah Konstitusi tentang perselisihan hasil Pemilu bersifat finaldan mengikat.
33. Dalam BAB VI ditambahkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Ketigabelas yangberbunyi sebagai berikut:
Bagian KetigabelasPerselisihan Hasil Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala DaerahProvinsi dan Kabupaten/Kota
Pasal 85A(1) Pemohon adalah pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
peserta pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah.(2) Permohonan hanya dapat dilakukan terhadap penetapan hasil penghitungan
suara pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yangmempengaruhi terpilihnya pasangan calon kepala daerah dan calon kepaladaerah.
(3) Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24(tiga kali dua puluh empat) jam sejak komisi pemilihan umum provinsi ataukabupaten/kota mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum kepaladaerah dan wakil kepala daerah.
17
Pasal 85BDalam permohonan yang diajukan, pemohon harus menguraikan dengan jelastentang:a. Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh komisi pemilihan
umum provinsi atau kabupaten/kota dan hasil penghitungan yang benarmenurut pemohon; dan
b. Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkanoleh komisi pemilihan umum provinsi atau kabupaten/kota dan menetapkanhasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Pasal 85CMahkamah Konstitusi menyampaikan Permohonan yang sudah dicatat dalamBuku Registasi Perkara Konstitusi kepada komisi pemilihan umum provinsi ataukabupaten/kota dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dicatat.
Pasal 85DPutusan Mahkamah Konstitusi mengenai Permohonan atau perselisihan hasilpemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah wajib diputus dalamjangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak Permohonan dicatatdalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
34.Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 87Hakim Konstitusi yang menjabat sebagai ketua atau wakil ketua pada saatUndang-Undang ini berlaku, tetap menjabat sebagai ketua atau wakil ketuasampai dengan masa jabatannya berakhir.
35.Di antara Pasal 87 dan Pasal 88 disisipkan satu pasal yakni Pasal 87A, yangberbunyi sebagai berikut:
Pasal 87 AHakim Konstitusi yang menjabat pada saat undang-undang ini berlaku yangbelum memenuhi syarat pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat(3) tetap menjabat sebagai hakim konstitusi sampai berakhir masa jabatannya.
18
Pasal IIUndang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undangini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakartapada tanggal ………………..
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakartapada tanggal ……………….
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASIMANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
19
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR... TAHUN...
TENTANGPERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalamPasal 24 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakankekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan gunamenegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi merupakan salahsatu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara adalah salahsatu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi berfungsi menangani perkaratertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agardilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyatdan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi dimaksudkanuntuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil,sekaligus merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupanketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh perbedaan penafsiranterhadap konstitusi.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi berwenanguntuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaganegara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus pembubaran partaipolitik; memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan memberikanputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presidendiduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
20
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atauperbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presidendan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang ini adalah Perubahan atas Undang-Undang RepublikIndonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.Perubahan dilakukan dengan menambahkan ketentuan mengenai hukumacara, sesuai dengan karakteristik masing-masing perkara yang menjadikewenangan Mahkamah Konstitusi, yang semula pengaturannya tidakmemadai. Hal-hal yang prinsip mengenai hukum acara perlu diatur dalamUndang-Undang. Namun demikian, untuk kelancaran pelaksanaan tugasdan wewenangnya, mengenai hal-hal yang bersifat teknis MahkamahKonstitusi tetap diberi kewenangan untuk melengkapi hukum acaramenurut Undang-Undang ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1Cukup jelas
Angka 2
Pasal 4
Cukup jelas
Angka 3Pasal 6
Ayat (1)Cukup jelas.
21
Ayat (1a)Yang dimaksud dengan “jaminan keamanan dalammelaksanakan tugasnya” adalah hakim konstitusidiberikan penjagaan keamanan dalam menghadiri danmemimpin persidangan. Hakim konstitusi harus diberikanperlindungan keamanan oleh aparat terkait yakni aparatkepolisian agar hakim konstitusi mampu memeriksa,mengadili dan memutus perkara secara baik dan benartanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihakmanapun.
Ayat (2)Yang dimaksud dengan “tindakan kepolisian” adalah:a. pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana;b. meminta keterangan tentang tindak pidana;c. penangkapan;d. penahanan;e. penggeledahan; dan/atauf. penyitaan.
Angka 4Pasal 7
Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis administratifMahkamah Konstitusi, sedangkan Kepaniteraan menjalankantugas teknis administrasi yustisial.
Angka 5Pasal 7A
Cukup jelas.
Pasal 7BCukup jelas.
Angka 6
Pasal 8Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 10Cukup jelas.
22
Angka 8Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 18Ayat (1)
Calon Hakim Konstitusi yang diajukan oleh MahkamahAgung adalah hakim agung.Penerbitan Keputusan Presiden dalam ketentuan inibersifat administratif.
Ayat (2)Cukup jelas.
Angka 10Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 22ALimitasi pemberitahuan oleh Mahkamah Konstitusi tentangberakhirnya masa jabatan hakim konstitusi bertujuan agar tidakterjadi kekosongan hukum terkait dengan berakhirnya masajabatan dan untuk menjaga kesinambungan tugas hakimkonstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara.
Angka 12Pasal 23
Cukup jelas.
Angka 13Pasal 23A
Cukup jelas.
Angka 14Pasal 27A
Cukup jelas.
Pasal 27BCukup jelas.
Angka 15Pasal 32
Cukup jelas.
23
Angka 16Pasal 33A
Cukup jelas.
Angka 17Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 18Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 35ACukup jelas.
Angka 20Pasal 41
Cukup jelas.
Angka 21Pasal 42A
Cukup jelas.
Angka 22Pasal 45A
Cukup jelas.
Angka 23Pasal 48A
Cukup jelas.
Pasal 48BAyat (1)
Huruf aKetetapan Mahkamah Konstitusi mengenai“permohonan tidak merupakan kewenaganMahkamah Konstitusi” dilakukan secara ex-officio(berdasarkan tugas dan kewenangannya) dansebelum masuk pemeriksaan di persidangan.
24
Huruf bYang dimaksud “Pemohon menarik kembalipermohonan” adalah pada saat sudah masukpemeriksaan di persidangan atau setelah sidangpanel.
Ayat (2)Cukup jelas.
Ayat (3)Cukup jelas.
Angka 24Cukup jelas.
Angka 25Pasal 50A
Cukup jelas.
Angka 26Pasal 51A
Cukup jelas.
Angka 27Pasal 57
Cukup jelas.
Angka 28Pasal 59
Cukup jelas.
Angka 29Pasal 60
Cukup jelas.
Angka 30Pasal 61
Ayat (1)Yang dimaksud dengan “Lembaga Negara” adalahLembaga Negara yang secara eksplisit ditentukan dalamUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Ayat (2)Cukup jelas.
Angka 31Cukup jelas.
25
Angka 32Pasal 78A
Cukup jelas.
Angka 33Pasal 85A
Cukup jelas.
Pasal 85BCukup jelas.
Pasal 85CCukup jelas.
Pasal 85DCukup jelas.
Angka 34Pasal 87
Cukup jelas.
Angka 35Pasal 87A
Cukup jelas.
Pasal IICukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ....
---------------------------
26
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Konflik” antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung menyangkut pengawasan
hakim melatarbelakangi diajukannya permohonan Pengujian Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya
disebut UU KY) dan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi.
Sehubungan dengan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memutus permohonan
tersebut dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-
IV/2006, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka
untuk umum pada tanggal 23 Agustus 2006.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada satu sisi memang menimbulkan
kontroversi. Akan tetapi, pada sisi lain, menyadarkan banyak pihak akan adanya
kelemahan dalam Undang-Undang menyangkut pengawasan hakim, dan memicu
dilakukannya perbaikan oleh pembentuk Undang-Undang dengan melakukan
perubahan atas Undang-Undang di bidang kekuasaan kekhakiman, khususnya yang
mengatur pengawasan hakim.
27
Sebagai konsekuensi logis-yuridis dari Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, maka
terdapat beberapa Undang-Undang yang terkait dengan Kekuasaan Kehakiman yang
perlu yang diprioritaskan untuk dilakukan revisi/perubahan, yaitu:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316); dan
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359).
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dan dalam rangka menindaklanjuti
putusan Mahkamah Konstitusi, Badan Legislasi pada periode 2004-2009, telah
menyiapkan 3 (tiga) Rancangan Undang-Undang yaitu:
a. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial;
b. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi; dan
c. RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
Sebagai catatan, terkait dengan RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung telah diundangkan
berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2009 (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958).
28
Pembahasan ketiga rancangan undang-undang tersebut di atas dilakukan secara
paket, namun dalam perkembangan pembahasannya hanya RUU tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang dapat
diselesaikan atau disetujui sebagai undang-undang, yaitu melalu Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009, sedangkan kedua RUU lainnya, yaitu RUU tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan RUU
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial tertunda pembahasannya pada periode keanggotaan DPR yang lalu (2004-
2009).
Pada periode keanggotaan DPR 2009-2014, Rancangan Undang-UndaNg tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial disepakati masuk dalam daftar
Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2010.
B. Identifikasi Masalah
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24A ayat (2) Jo. Pasal 24C Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia, keberadaannya sangat diperlukan dalam
menegakkan konstitusi.
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi yang berlaku saat ini, yaitu Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam
implementasinya secara faktual-empirikal masih terdapat beberapa kelemahan atau
loophole yang harus diperbaiki, dimana perbaikan atau revisinya tidak cukup melalui
peraturan teknis setingkat peraturan Mahkamah Konstitusi, melainkan melalui revisi
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut.
29
Hal krusial yang harus mendapat perhatian dalam melakukan revisi Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah terkait dengan
pengawasan Hakim Konstitusi. Dalam berbagai undang-undang yang berkaitan
dengan pengawasan hakim, baik dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
yang lama (sebelum Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial maupun
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, secara pokok
mengatur bahwa Komisi Yudisial mempunyai kewenangan pengawasan terhadap
hakim dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim. Hakim yang dimaksud dalam beberapa Undang-Undang tersebut
adalah tentunya juga adalah hakim konstitusi, selain hakim agung dan hakim pada
badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan tata usaha negara dan peradilan militer.
Namun, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor V/PUU-IV/2006, hakim
konstitusi tidak lagi menjadi ruang lingkup pengawasan Komisi Yudisial. Berkaitan
dengan itu, perlu dicari format baru terkait pengawasan hakim konstitusi. Selama ini,
pengawasan perilaku dan/atau etik hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi. Untuk itu, perlu dicarikan jalan keluar atau solusi yang
tepat agar integritas dan independensi hakim konstitusi tetap terjaga.
C. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi adalah sebagai berikut:
30
a. untuk memberikan pertimbangan dan masukan-masukan sebagai bahan dasar
dalam penyusunan perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi;
b. selanjutnya penyusunan rancangan undang-undang ini untuk memenuhi
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 24C;
c. secara yurdis untuk memberikan kepastian hukum dan untuk mengatasi
adanya kekosongan hukum akibat adanya Putusan MK Nomor V/PUU-
IV/2006; dan
d. secara sosiologis, penyusunan rancangan undang-undang ini untuk menjawab
tuntutan dan perkembangan masyarakat di bidang hukum dan ketata
negaraan.
D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan Naskah Akademik ini adalah metode
penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yang dilakukan untuk
menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur atau di dalamnya
terdapat ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi. Peraturan perundangan
yang telah ada yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi adalah bagian yang
menjadi fokus dalam penelitian ini. Sebagai penelitian hukum normatif, maka alat
dan teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan mengandalkan data
sekunder berupa (a) bahan hukum primer yang terdiri dari Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya
yang terkait dengan Mahkamah Konstitusi, (b) bahan hukum sekunder berupa
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dan buku-buku literatur
serta jurnal-jurnal yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi; dan (c) bahan
hukum tersier berupa ensiklopedia dan kamus hukum.
31
BAB II
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
PENYUSUNAN RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSI
A. LANDASAN FILOSOFIS
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Selanjutnya, dalam Pasal 24 ayat (2) disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Pada ayat (3) Pasal 24 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur mengenai badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Dengan demikian, pelaku kekuasaan kehakiman secara konstitusional adalah:
a. Mahkamah Agung;
b. badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung; dan
c. Mahkamah Konstitusi.
Selain lembaga sebagaimana tersebut di atas, terdapat lembaga yang berada dalam
ranah Kekuasaan Kehakiman, namun bukan pelaku kekuasaan kehakiman, yang
32
mempunyai tugas dan wewenang terkait erat dengan penyelenggaraaan kekuasaan
kehakiman, yaitu Komisi Yudisial.
Mengenai tugas dan wewenang lembaga-lembaga tersebut secara garis besar telah
diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
pengaturannya adalah sebagai berikut:
Pasal 24A
(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24A Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia.
(2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim
agung oleh presiden.
(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta
badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.
Pasal 24B
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di
bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
33
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-
undang.
Pasal 24C
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi
yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang
oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi.
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Pasal 25
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan
dengan undang-undang.
Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tersebut tidak sepenuhnya bebas dari kemungkinan adanya penafsiran,
sehingga memunculkan perbedaan pendapat.
34
Perbedaan pendapat tersebut tampak jelas, misalnya, dalam keterangan pihak-
pihak dan ahli sebagaimana dapat dibaca dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006 tersebut. Dari pelbagai pendapat yang
berbeda tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat selaku pemegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang dapat menentukan pilihannya. Untuk mencerminkan
keragaman pendapat tersebut, beberapa rumusan yang ditawarkan berupa
alternatif.
B. LANDASAN SOSIOLOGIS
Sebagaimana telah disinggung pada bagian pendahuluan, landasan sosiologis yang
melatarbelakangi penyusunan RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah adanya “konflik”
kewenangan pengawasan hakim, baik hakim agung dan hakim pada badan
peradilan di bawahnya maupun hakim konstitusi, oleh Komisi Yudisial dengan
pengawasan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung, dimana kedua lembaga ini sama-
sama memiliki kewenangan pengawasan, yang pada akhirnya membawa akibat
adanya overlapping pengawasan hakim.
Berangkat dari adanya konflik tersebut, Mahkamah Agung telah mengajukan
permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Atas permohonan judicial
review tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan melalui Putusan Nomor
005/PUU-IV/2006 yang membatalkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terkait dengan pengawasan hakim. Dalam
Putusan tersebut, hakim konstitusi dikeluarkan dari cakupan pengawasan hakim
oleh Komisi Yudisial.
C. LANDASAN YURIDIS
35
Secara yuridis, dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi terkait erat dengan adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006 tersebut, Mahkamah
Konstitusi yang memutuskan:
• Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;
• Menyatakan:
- Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah Konstitusi”;
- Pasal 20, yang berbunyi, ”Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan
pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan
dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”;
- Pasal 21, yang berbunyi, ”Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas
mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”;
- Pasal 22 ayat (1) huruf e, yang berbunyi, ”Dalam melaksanakan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial: e. membuat laporan
hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya
disampaikan kepada Presiden dan DPR”;
- Pasal 22 ayat (5), yang berbunyi, ”Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan
kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data
yang diminta”;
- Pasal 23 ayat (2), yang berbunyi, ”Usul penjatuhan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat
mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah
Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”;
36
- Pasal 23 ayat (3), yang berbunyi, ”Usul penjatuhan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diserahkan oleh Komisi Yudisial
kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi”, dan;
- Pasal 23 ayat (5), yang berbunyi, ”Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul
pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah
Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim”;
- Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah
Konstitusi”;
- Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah
Konstitusi”;
- 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415), bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Pasal 34 ayat (3), yang berbunyi, ”Dalam rangka menjaga kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan
dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang”, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
• Menyatakan:
- Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah Konstitusi”,
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23
ayat (2), Pasal 23 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (5), Pasal 24 ayat (1),
sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; Pasal 25
ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”;
Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah
37
Konstitusi”; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4358), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
• Memerintahkan kepada panitera Mahkamah Konstitusi untuk memuat amar
putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
• Menolak permohonan untuk selebihnya.
Amar putusan tersebut di atas didasarkan pada pertimbangan, antara lain, sebagai
berikut. Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya menyatakan bahwa Hakim
Konstitusi tidak diawasi oleh Komisi Yudisial, dengan pertimbangan:
Menimbang, sebagaimana telah diuraikan pada bagian kewenangan Mahkamah
Konstitusi, bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon dalam bentuk
formalnya adalah permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang
dasar. Akan tetapi, pada hakikatnya, substansi permohonan dimaksud mengandung
nuansa sengketa kewenangan konstitusional antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial sebagai sesama lembaga negara yang kewenangannya sama-sama
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan hal-hal substantif
yang dimohonkan oleh para Pemohon dengan menilai materi norma yang terdapat
dalam Undang-Undang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
yang dimohonkan pengujiannya terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan sekaligus dengan pendekatan konstitusionalitas
kewenangan.
38
Bahwa apabila ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan “original
intent” perumusan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, ketentuan mengenai Komisi Yudisial dalam Pasal 24B Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang tidak berkaitan dengan
ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari sistimatika penempatan
ketentuan mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang mengatur tentang
Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang
Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan
mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek
perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini dapat dipastikan dengan bukti
risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari
keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa
perumusan ketentuan mengenai Komisi Yudisial dalam Pasal 24B Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang tidak pernah dimaksudkan
untuk mencakup pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal tidak tercakupnya pengertian perilaku hakim konstitusi dalam apa yang dimaksud
dengan perilaku hakim menurut Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut juga terdapat dalam ketentuan Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang
dibentuk sebelum pembentukan Undang-Undang Komisi Yudisial. Dalam Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku Hakim
Konstitusi ditentukan adanya lembaga Majelis Kehormatan yang diatur secara
tersendiri dalam Pasal 23 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Demikian pula
Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sama sekali tidak
menentukan bahwa Hakim Konstitusi menjadi objek pengawasan oleh Komisi
39
Yudisial. Selain itu, berbeda halnya dengan hakim biasa, Hakim Konstitusi pada
dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya.
Hakim Konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan setelah tidak
lagi menduduki jabatan Hakim Konstitusi, yang bersangkutan masing-masing kembali
lagi kepada status profesinya yang semula. Dalam keseluruhan mekanisme
pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga tidak terdapat
keterlibatan peran Komisi Yudisial sama sekali;
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan pula alasan
substantif yang lebih serius dan mendasar untuk menolak segala upaya yang
menempatkan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh lembaga
negara lain. Dengan menjadikan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek penga-
wasan oleh Komisi Yudisial, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menjadi
terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap
imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul persengketaan kewenangan
antara Komisi Yudisial dengan lembaga lain, seperti halnya dalam kasus
persengketaan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang terkait dengan
perkara ini. Dengan demikian, ketentuan yang memperluas pengertian perilaku hakim
dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mencakup perilaku Hakim Konstitusi dapat mengebiri kewenangan dan
menghalang-halangi pemenuhan tanggungjawab Mahkamah Konstitusi dalam
menjaga konstitusionalitas mekanisme hubungan antarlembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Padahal, dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan undang-
undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 adalah dalam rangka menjamin
agar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam konteks hubungan-hubungan konstitusional
antarlembaga negara. Oleh karena itu, salah satu kewenangan yang diberikan
40
kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah untuk
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi dimaksud, undang-undang tidak boleh
melakukan pemandulan. Upaya pemandulan kewenangan Mahkamah Konstitusi
tersebut, pertama, tercermin dengan ketentuan Pasal 65 Undang-Undang Mahkamah
Konstisui yang berbunyi, “Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 pada Mahkamah
Konstitusi”; kedua, pemandulan itu juga tercermin dalam ketentuan pasal-pasal
Undang-Undang Komisi Yudisial yang memperluas pengertian perilaku hakim
sehingga mencakup Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh Komisi
Yudisial. Dengan kedua ketentuan di atas, kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga pemutus sengketa kewenangan lembaga negara menjadi mandul,
khususnya dalam hal salah satu lembaga negara dimaksud adalah Komisi Yudisial.
Ketentuan undang-undang yang demikian, menurut Mahkamah Konstitusi, jelas
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Oleh karena itu, dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
08/PMK/2006, ketentuan Pasal 65 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut
telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah Agung tidak dapat
menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon, hanya dalam sengketa
kewenangan teknis peradilan (justisial) Mahkamah Agung. Dengan kata lain, menurut
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dapat saja terlibat sebagai pihak dalam
perkara sengketa kewenangan, sepanjang sengketa demikian tidak berkait dengan
pelaksanaan wewenang teknis justisial Mahkamah Agung. Dengan demikian,
sengketa yang timbul antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang tidak
berkaitan dengan pelaksanaan wewenang teknis justisial Mahkamah Agung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi
41
Nomor 08/PMK/2006 tersebut di atas, dapat menjadi objek perkara di Mahkamah
Konstitusi. Sementara itu, untuk mengoreksi kekeliruan dalam penormaan undang-
undang dengan menjadikan hakim konstitusi sebagai objek pengawasan oleh Komisi
Yudisial sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Komisi Yudisial, maka
ketentuan mengenai hakim konstitusi yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-
Undang Komisi Yudisial harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan oleh karenanya harus dinyatakan
tidak berlaku mengikat. Dengan demikian, sekiranya pun sengketa kewenangan
lembaga negara antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terjadi di masa-masa
yang akan datang, atau timbul sengketa kewenangan konstitusional antara Komisi
Yudisial dan lembaga negara yang lain, maka kedudukan Mahkamah Konstitusi
sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang dapat menjatuhkan putusan yang
bersifat final dan mengikat dalam rangka penyelesaian sengketa semacam itu tidak
akan terganggu lagi, sehingga konstitusionalitas pola hubungan antarlembaga
negara di masa depan dapat benar-benar ditata dengan sebaik-baiknya sesuai
dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang demikian itulah, maka sejauh mengenai
ketentuan Pasal 1 angka 5 dan pasal-pasal lainnya dalam Undang-Undang Komisi
Yudisial sepanjang mengenai Hakim Konstitusi, cukup beralasan untuk dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hakim agung termasuk obyek
pengawasan Komisi Yudisial. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum
Putusannya menyatakan:
Menimbang bahwa mempersoalkan apakah hakim agung masuk dalam pengertian
hakim, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Komisi
Yudisial, sesungguhnya bukanlah sekadar persoalan semantik. Siapa yang menjadi
hakim, kalau dilihat secara berdiri sendiri sebagaimana maksud Undang-Undang
Komisi Yudisial adalah persoalan legal policy, yang tidak selalu dipersoalkan dari
42
segi konstitusionalitas. Akan tetapi jika dilihat dari Pasal 24B ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak melihatnya dalam
arti yang umum, menjadi penting untuk melihat perbedaan tersebut. Adanya dua
kewenangan yang diberikan kepada Komisi Yudisial dalam pasal 24B ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dipisahkan
oleh kata “dan”, yaitu kewenangan untuk merekrut hakim agung dan wewenang lain.
Dilihat dari peletakan urutan maupun keterangan saksi mantan anggota PAH I BP
MPR, maka kewenangan lain “dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim” tidak dapat dikatakan setara, sebab
pemberian wewenang lain tersebut dilakukan karena dipandang tidak cukup alasan
membentuk organ konstitusi hanya dengan tugas terbatas merekrut hakim agung.
Oleh karenanya, meskipun keberadaan kewenangan lain dihubungkan oleh kata
“dan” yang dapat diartikan setara, akan tetapi tidaklah logis untuk memandang tugas
lain itu diartikan setara, melainkan hanya tugas tambahan. Dalam perspektif yang
demikian maka hakim agung tidak termasuk dalam pengertian Hakim seperti
ditentukan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Komisi Yudisial. Sebagaimana
diutarakan ahli dari Pemohon Prof Dr. Philippus M. Hadjon SH, makna sebuah kata
ditentukan oleh konteksnya. Dilihat secara demikian, makna hakim dalam Pasal 24B
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 digunakan
dalam konteks “…. dan mempunyai wewenang lain dalam menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim”, sehingga istilah hakim
digunakan untuk wewenang Komisi Yudisial yang lain, selain untuk mengusulkan
hakim agung. Sedang dilihat dari kelas yang sama (of the same class) dari asas
ejusdem generis, maka pertanyaan yang terkait dengan itu adalah apakah konteks
Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
hakim agung termasuk dalam kelompok hakim yang terkait dengan wewenang
Komisi Yudisial yang kedua, maka jawabannya andaikata dalam wewenang lain itu
termasuk hakim agung dalam konteks Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hal itu harus secara tegas dinyatakan. Atas
dasar alasan demikian, Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Komisi Yudisial dan Pasal
43
34 ayat (3) UUKK, menurut Ahli, bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UU D
1945;
Di pihak lain, keterangan Ahli Prof. Dr. Mahfud M.D., S.H. dan Ahli Denny Indrayana,
S.H., LL.M., Ph.D., telah menyatakan bahwa Hakim Agung, baik dari segi legal policy
pembuat UU maupun dari segi constitutional morality, termasuk pengertian hakim
yang menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial. Sementara itu, beberapa orang
mantan Anggota PAH I BP MPR yang telah didengar keterangannya dalam
persidangan, ternyata memberikan keterangan yang berbeda-beda, sehingga tidak
dapat disimpulkan sebagai cermin yang utuh dari original intent Pasal 24B ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menimbang bahwa, jika dimaksudkan karena Mahkamah Agung sebagai pengawas
tertinggi peradilan maupun tingkah laku dan perbuatan hakim, serta ketentuan yang
mengaturnya berbeda, demikian pula hakim agung tidak selalu berasal dari hakim,
maka penafsiran apakah hal itu bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukanlah hanya dari teks
maupun konteksnya secara gramatikal melainkan juga dari konteks sosial yang lebih
luas, pengertian umum, dan terutama prinsip konstitusi itu sendiri. Jika kewenangan
Komisi Yudisial untuk mengusulkan hakim agung yang berkualitas dengan integritas
yang tinggi dan perilaku tidak tercela, akan menghasilkan hakim agung yang juga
mempunyai martabat dan perilaku yang tidak tercela sehingga secara moral memiliki
legitimasi untuk tidak diawasi lagi dan bahkan menjadi pengawas hakim di
bawahnya, tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak menjadikan hakim agung
termasuk ke dalam objek pengawasan. Prinsip persamaan di depan hukum (equality
before the law) dan non-diskriminasi tidak mendukung pendirian tersebut. Tambahan
pula, seseorang yang pada saat diangkat sebagai hakim agung memiliki intergritas
yang tinggi, dalam perjalanan karier selanjutnya bisa saja berubah. Akan menjadi
ganjil untuk menafsirkan bahwa hakim agung tidak masuk dalam kategori Hakim dan
karena posisinya yang berada di puncak hierarki peradilan lalu menjadi tidak tunduk
44
pada pengawasan. Bagaimanapun tafsiran secara tekstual, kontekstual, teleologis,
dan kategoris dilakukan, hakim agung adalah Hakim. Di samping itu, faktanya hakim
agung sendiri merupakan anggota Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dan bahwa hakim
agung adalah hakim, tidak pernah dipersoalkan. Dari segi kewenangan pengawasan
apakah hakim agung itu diawasi, sesuai dengan prinsip akuntabilitas, tidak cukup
beralasan untuk mengecualikan hakim agung. Secara universal hal demikian telah
menjadi norma. Independensi harus berjalan seiring dengan akuntabilitas. Oleh
karena itu, adalah sesuatu yang ideal jika hakim agung memiliki integritas dan
kualitas yang sedemikian rupa sesuai dengan Pasal 24A ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi bukan berarti hakim agung
terbebas dari pengawasan dalam rangka mendukung terciptanya peradilan yang
bersih dan berwibawa bagi terwujudnya rule of law. Oleh karena itu, sepanjang
menyangkut hakim agung, menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan Pasal 1 angka 5
Undang-Undang Komisi Yudisial dilihat dari perspektif spirit of the constitution, tidak
cukup beralasan untuk menyatakannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mengenai ketentuan lain dalam Undang-Undang Komisi Yudisial, yaitu mengenai
pengawasan, yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga dinyatakan tidak berkekuatan hukum,
Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya menyatakan:
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dengan digunakan frasa “dalam rangka
menjaga dan menegakkan“ dan bukan ”untuk menjaga dan menegakkan”, maka sifat
kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial adalah komplementer. Artinya, tugas
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
bukan merupakan kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh Komisi Yudisial
saja. Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dari empat lingkungan
peradilan di bawahnya juga mempunyai fungsi pengawasan yang meliputi
pengawasan terhadap teknis justisial, pengawasan administratif, maupun
45
pengawasan terhadap perilaku hakim, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang lebih lanjut
diatur dalam Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Kekuasaaan Kehakiman dan Pasal
32 Undang-Undang Mahkamah Agung, yang masing-masing berbunyi:
• Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;
• Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman:
”Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan
dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan
undang-undang”;
• Pasal 32 Undang-Undang Mahkamah Agung:
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman.
(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di
semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.
(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal
yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua Lingkungan
Peradilan.
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan
yang dipandang perlu kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan.
(5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1)
sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara”;
46
Menimbang bahwa berdasarkan frasa “badan peradilan yang berada di bawahnya”
dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang kemudian dijabarkan dalam Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 32 Undang-Undang Mahkamah Agung, telah
ternyata bahwa Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
yang membawahkan badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, ling-kungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha
negara. Oleh karena itu, frasa dimaksud mengandung pengertian bahwa secara
melekat (inherent) Mahkamah Agung mempunyai fungsi sebagai pengawas tertinggi
dari seluruh badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di
bawahnya. Ruang lingkup fungsi pengawasan dimaksud mencakup ruang lingkup
bidang teknis justisial, administrasi, maupun perilaku hakim yang berkaitan dengan
kode etik dan perilaku;
Menimbang, berdasarkan uraian di atas, telah ternyata pula bahwa seandainya pun
yang dimaksud ”kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” dalam Pasal 24B ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diartikan
sepenuhnya sebagai pengawasan, maka hal itu pun hanyalah sebagian saja dari
ruang lingkup pengawasan, yakni yang menyangkut perilaku hakim. Hakim dimaksud
adalah dalam pengertian sebagai individu di luar maupun di dalam kedinasan, agar
hakim memiliki kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku yang baik.
Pelaksanaan pengawasan yang demikian itu selain tidak dalam pengertian
mengawasi badan peradilan, juga tidak meniadakan fungsi pengawasan yang sama
yang dimiliki oleh Mahkamah Agung. Fungsi demikian adalah berkait dengan
wewenang utama Komisi Yudisial, yaitu untuk merekrut dan mengusulkan
pengangkatan hakim agung, yang menurut Pasal 24A ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dipersyaratkan harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di
bidang hukum. Pengertian dalam rangka sebagai bagian wewenang pengawasan
47
menunjukkan adanya kewajiban lain yang sama pentingnya yaitu tugas melakukan
pembinaan yang menurut Mahkamah Konstitusi mempunyai arti sebagai usaha,
tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan
profesionalisme hakim sepanjang menyangkut pelaksanaan kode etik. Pasal 24B
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan
rumusan yang terkandung di dalamnya, seharusnya tidak semata-mata diartikan
sebagai pengawasan, melainkan juga pembinaan etika profesional hakim untuk
memenuhi amanat Pasal 24A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan mempertim-bangkan
pengertian “mandiri” dalam Pasal 24B ayat (1) undang-undang dasar negara republik
indonesia tahun 1945 yang berbunyi, “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim”. Pertanyaan yang harus dijawab dalam hubungan ini, adalah
bagaimana tafsiran yang harus diberikan terhadap syarat bahwa Komisi Yudisial
bersifat mandiri yang kemudian oleh Undang-Undang Komisi Yudisial diartikan
sebagai keadaan bahwa Komisi Yudisial dalam pelaksanaan wewenangnya bebas
dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain (vide Pasal 2 Undang-Undang
Komisi Yudisial). Mahkamah Konstitusi berpendapat, pengertian bahwa “Komisi
Yudisial dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh
kekuasaan lain” harus dimaknai sebagai kemandirian kelembagaan dalam
mengambil keputusan, bukan kemandirian yang bersifat perorangan anggota Komisi
Yudisial. Artinya, kemandirian Komisi Yudisial harus dimaknai sebagai kebebasan
dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan lain dalam pengambilan keputusan
dalam pelaksanaan wewenang pengusulan calon hakim agung maupun dalam
rangka pelaksanaan wewenang lain menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, Komisi Yudisial tidak dapat
dikatakan tidak mandiri, atau dengan kata lain terdapat campur tangan dari pihak luar
48
atau kekuasaan lain, hanya karena alasan bahwa pengambilan keputusan
didasarkan pada fakta-fakta yang diperoleh melalui kerjasama atau koordinasi
dengan pelaku kekuasaan kehakiman sendiri, in casu MA. Sesuai dengan kenyataan
secara universal, susunan dari komisi yudisial bukan hanya terdiri atas mantan
hakim, praktisi hukum, akademisi, dan anggota masyarakat, sebagaimana telah
dikemukakan di atas, melainkan juga hakim agung duduk bersama menjadi anggota
komisi yudisial. Bahkan pada umumnya Komisi Yudisial atau yang disebut dengan
nama lain di dunia, secara ex-officio dipimpin oleh ketua Mahkamah Agung.
Menimbang bahwa selanjutnya tentang Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, ”Dalam rangka menjaga kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan
oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang”, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa pasal tersebut tidak sesuai dengan rumusan Pasal 24B ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi, ”Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Dengan perumusan Pasal 34
ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman di atas, kewenangan lain Komisi
Yudisial dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim menjadi tidak ada. Padahal, sesuai dengan pertimbangan Mahkamah
Konstitusi pada butir 2.b. di atas, Komisi Yudisial juga memiliki kewenangan
demikian. Sehingga, peniadaan atau pengurangan kewenangan Komisi Yudisial
dalam rumusan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman harus
dinyatakan inkonstitusional. Inkonstitusionalitas ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman bukan karena terkait dengan pengertian hakim
agung, sebagaimana didalilkan para Pemohon, melainkan karena perumusan pasal
tersebut telah mereduksi sebagian ”kewenangan lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” yang
49
seharusnya dimiliki oleh Komisi Yudisial menurut Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut dalam pertimbangan
di atas, jelas bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan perilaku hakim
sebagaimana diuraikan di atas merupakan pasal-pasal ”inti” (core provisions) yang
mempengaruhi ketentuan-ketentuan lain yang berkait dengan kedua hal itu.
Sehingga, ketidakpastian mengenai kedua hal itu mengakibatkan ketidakpastian
terhadap pasal-pasal lainnya yang berkaitan dengan ketentuan tentang pengawasan
dan perilaku hakim tersebut. Oleh karena itu, Pasal 20, 21, 22, 23, sepanjang
mengenai pengawasan, Pasal 24 ayat (1) sepanjang yang menyangkut hakim
konstitusi, dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Komisi Yudisial serta
Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan
Pasal 24, Pasal 24A, dan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya juga menyatakan bahwa ketentuan tentang
pengawasan dalam Undang-Undang di bidang kekuasaan kehakiman perlu
disempurnakan. Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya menyatakan:
Menimbang bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan yang lahir dari ketidakpastian
hukum (rechtsonzekerheid) sebagai akibat tidak adanya norma yang jelas tentang
ruang lingkup pengertian perilaku hakim dan pengawasan teknis yustisial terkait
dengan batas-batas akuntabilitas dari perspektif perilaku hakim dengan kemandirian
hakim dalam melaksanakan tugas yustisialnya, secara kasat mata merupakan
intervensi terhadap kekuasaan kehakiman berupa pressure atau tekanan yang
bersifat langsung atau tidak langsung, karena Komisi Yudisial memposisikan tafsiran
Komisi Yudisial sendiri sebagai tafsiran hukum yang benar dan tepat sebagaimana
ditunjukkan dalam bukti yang diajukan Pemohon (P-23, P-24, dan seterusnya).
Seandainyapun benar telah terjadi kekeliruan atau kesalahan pada hakim dalam
pelaksanaan tugas yustisialnya, bukanlah menjadi fungsi Komisi Yudisial melakukan
50
pengawasan terhadap hal itu, sehingga hal yang demikian membuat terang dan jelas
bahwa pelaksanaan fungsi menjaga martabat dan kehormatan serta penegakan
perilaku hakim, sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, telah bergeser (functie verschuiving) menjadi
pengawasan teknis yustisial yang justru bukan merupakan maksud Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan kata lain, tidak tepat, tidak
jelas, dan tidak rincinya ketentuan undang-undang mengenai teknis pengawasan
atas perilaku hakim, telah ternyata memberi peluang kepada lembaga pelaksana
undang-undang, dalam hal ini Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, untuk secara
sendiri-sendiri mengatur dan mengembangkan penafsiran yang bersifat egosentris
yang pada gilirannya menimbulkan saling pertentangan yang menyebabkan
ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu pembentuk undang-
undang haruslah mengatur pengawasan itu secara jelas dan rinci dengan cara
mengadakan perubahan dalam rangka elaborasi, harmonisasi, dan sinkronisasi atas
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Komisi Yudisial, dan
Undang-Undang Mahkamah Agung dengan selalu merujuk pada Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan:
Oleh karena itu, segala ketentuan Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyangkut
pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Untuk
mengatasi akibat kekosongan hukum yang terlalu lama berkaitan dengan tugas
Komisi Yudisial, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai pengawasan
perilaku hakim, Undang-Undang Komisi Yudisial segera harus disempurnakan
melalui proses perubahan undang-undang sebagaimana mestinya. Keinginan untuk
mengadakan perubahan undang-undang ini telah pula dikemukakan berkali-kali
secara terbuka baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Komisi Yudisial sendiri.
Karena itu, Mahkamah Konstitusi juga merekomendasikan kepada DPR dan
51
Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah penyempurnaan Undang-
Undang Komisi Yudisial. Bahkan, DPR dan Presiden dianjurkan pula untuk
melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan
perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Mahkamah Agung, Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan
terpadu. Tugas legislasi ini adalah tugas DPR bersama dengan pemerintah.
Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan juga Mahkamah Konstitusi merupakan
lembaga pelaksana undang-undang, sehingga oleh karenanya harus menyerahkan
segala urusan legislasi itu kepada pembentuk undang-undang. Bahwa Mahkamah
Agung, Komisi Yudisial, dan juga Mahkamah Konstitusi dapat diikutsertakan dalam
proses pembuatan sesuatu undang-undang yang akan mengatur dirinya, tentu saja
merupakan sesuatu yang logis dan tepat. Akan tetapi, bukanlah tugas konstitusional
Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan juga Mahkamah Konstitusi untuk mengambil
prakarsa yang bersifat terbuka untuk mengadakan perubahan undang-undang
seperti dimaksud. Setiap lembaga negara sudah seharusnya membatasi dirinya
masing-masing untuk tidak mengerjakan pekerjaan yang bukan menjadi tugas
pokoknya, kecuali apabila hal itu dimaksudkan hanya sebagai pendukung;
Sementara itu, Mahkamah Agung juga diharapkan meningkatkan pengawasan
terutama dengan cara lebih membuka diri dalam merespons kritik, harapan, dan
saran dari berbagai pihak. Prinsip kebebasan hakim oleh hakim sendiri harus
dimaknai sebagai adanya kewajiban untuk mewujudkan peradilan yang bebas (fair
trial) yang merupakan prasyarat bagi tegaknya rule of law. Oleh karena itu, dalam
prinsip kebebasan hakim tersebut terkandung kewajiban bagi hakim untuk
membebaskan dirinya dari bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau rasa takut
akan adanya tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari
pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu,
dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi,
52
atau bentuk lainnya, serta tidak menyalahgunakan prinsip kebebasan hakim sebagai
perisai untuk berlindung dari pengawasan;
Terkait dengan pedoman yang dijadikan ukuran dalam menilai perilaku hakim yang
menjadi obyek pengawasan oleh Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi berpendapat:
Menimbang bahwa, sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan di atas, ruang
lingkup kewenangan lain Komisi Yudisial, yaitu dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sesungguhnya
merujuk kepada code of ethics dan/atau code of conduct. Dengan demikian, dalam
hubungan dengan permohonan ini, berarti merujuk pada Kode Etik Hakim Indonesia.
Tetapi perlu terlebih dahulu dijawab pertanyaan, apakah ada perbedaan antara kode
etik dan kode perilaku. Secara umum, dikatakan bahwa suatu code of conduct
menetapkan tingkah laku atau perilaku hakim yang bagaimana yang tidak dapat
diterima dan mana yang dapat diterima. Code of conduct akan mengingatkan Hakim
mengenai perilaku apa yang dilarang dan bahwa tiap pelanggaran code of conduct
mungkin akan menimbulkan sanksi. Code of conduct merupakan satu standar. Setiap
hakim harus mengetahui bahwa ia tidak dapat berperilaku di bawah standar yang
ditetapkan. Etik berbeda dari perilaku yang dilarang. Etik berkenaan dengan harapan
atau cita-cita. Etik adalah tujuan ideal yang dicoba untuk dicapai yaitu untuk sedapat
mungkin menjadi hakim yang terbaik. Tetapi ada pertimbangan-pertimbangan etik
yang mendorong tercapainya cita-cita atau harapan tersebut. Dengan suatu code of
conduct, akan dimungkinkan bagi hakim maupun masyarakat untuk dapat
mengatakan bahwa mereka mengetahui apa yang boleh dan yang tidak boleh
dilakukan hakim. Langkah berikutnya adalah mengembangkan suatu kode etik yang
akan memberi motivasi bagi hakim meningkat ke jenjang yang lebih tinggi, lebih baik,
lebih efektif dalam melayani masyarakat, maupun menegakkan rule of law. Jadi
setelah dibentuk suatu code of conduct, maka untuk mencapai tingkat yang lebih
tinggi, mungkin diinginkan untuk membentuk satu kode etik. Meskipun benar bahwa
code of conduct berbeda dari code of ethics, akan tetapi menurut Mahkamah
53
Konstitusi, code of ethics merupakan sumber nilai dan moralitas yang akan
membimbing hakim menjadi hakim yang baik, sebagaimana kemudian dijabarkan ke
dalam code of conduct. Dari kode etik kemudian dirumuskan apa yang boleh dan apa
yang tidak boleh atau tidak layak dilakukan oleh hakim di dalam maupun di luar
dinas;
Menimbang bahwa Hakim Indonesia telah mempunyai pengalaman memiliki kode
etik, yang pertama dengan nama Panca Dharma Hakim Indonesia Tahun 1966, yang
kedua Kode Etik Hakim Indonesia (IKAHI) tahun 2002, dan yang terakhir Pedoman
Perilaku Hakim yang disahkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 30 Mei
2006. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi mempunyai Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi tersendiri yang terutama didasarkan pada The Bangalore Principles
of Judicial Conduct 2002 dan ditambah dengan nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia.
Kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi tersebut telah dideklarasikan dengan nama
Sapta Karsa Hutama pada tanggal 17 Oktober 2005 yang kemudian dituangkan ke
dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 07/PMK/2005, yang merupakan
penyempurnaan dari Kode Etik Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PMK/2003. Pedoman perilaku hakim
tersebut dimaksudkan untuk mengatur perilaku hakim yang diperkenankan, yang
dilarang, yang diharuskan, maupun yang dianjurkan atau yang tidak dianjurkan, baik
di dalam maupun di luar kedinasan, untuk membentuk hakim sebagai pejabat
kekuasaan kehakiman (ambtsdrager van rechtelijkemacht) yang memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela dan adil untuk dapat menjadi benteng terakhir
dalam upaya penegakan hukum dan keadilan. Pedoman perilaku tersebut
merupakan penjabaran aturan-aturan kode etik yang secara universal berlaku umum
dan diterima sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang dianut orang atau
kelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya, dengan tujuan untuk mengenali
apa yang baik dan yang buruk dalam tingkah laku di antara sesama dalam
kelompoknya. Kode etik profesi, sebagaimana dilihat dalam Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi maupun Pedoman Perilaku Hakim Indonesia yang berlaku di
54
lingkungan Mahkamah Agung, memuat serangkaian prinsip-prinsip dasar sebagai
nilai-nilai moralitas yang wajib dijunjung tinggi oleh hakim, baik di dalam maupun di
luar kedinasannya. Prinsip dan nilai tersebut kemudian dirinci dalam bentuk
bagaimana perilaku hakim yang dipandang sesuai dengan prinsip atau nilai tersebut.
Misalnya, nilai berperilaku adil yang diterjemahkan sebagai prinsip berupa uraian apa
yang dimaksud adil tersebut, dan kemudian dirinci bagaimana hal itu digambarkan
dalam perilaku hakim ketika melakukan tugas yustisial. Demikian juga ketika nilai
atau prinsip integritas diadopsi sebagai bagian dari kode etik profesi, maka prinsip
integritas tersebut telah diberi batasan, yang “merupakan sikap batin yang
mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai
pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan
kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas
profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk
rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya.
Keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan rohaniyah dan jasmaniyah,
atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan
emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya”. Prinsip
tersebut dalam penerapannya dapat diketahui misalnya bahwa hakim menjamin agar
perilakunya tidak tercela dari sudut pandang pengamatan yang layak, atau tindak
tanduk dan perilaku hakim harus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap
citra dan wibawa peradilan. Keadilan tidak hanya dilaksanakan tetapi juga harus
tampak dilaksanakan;
Menimbang bahwa Kode Etik Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dalam pasal 2 memuat
maksud dan tujuan Kode etik tersebut yaitu:
(i) sebagai alat:
a) pembinaan dan pembentukan karakter hakim,
b) pengawasan tingkah laku hakim, dan juga
(ii) sebagai sarana:
a) kontrol sosial,
55
b) pencegah campur tangan ekstra judicial dan
c) pencegahan timbulnya kesalahpahaman antar sesama anggota dengan
masyarakat,
(iii) memberikan jaminan peningkatan moralitas hakim dan kemandirian
fungsional hakim; dan
(iv) menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan.
Menimbang bahwa, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Pasal 24B ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan adanya
“wewenang lain” dari Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sehingga oleh karenanya
Komisi Yudisial harus berpedoman pada kode etik dan pedoman perilaku yang
konkret demikian, sebagaimana yang telah ditetapkan, untuk dijadikan sebagai tolok
ukur dalam melaksanakan tugasnya. Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut telah dijabarkan dalam Undang-
Undang Komisi Yudisial sebagai pengawasan (control), yang oleh para mantan
Anggota PAH I BP MPR Tahun 1999-2004 ditafsirkan sebagai pengawasan eksternal
untuk melengkapi pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
sendiri. Tetapi pengawasan eksternal yang disebut dalam Pasal 24B ayat (1) tersebut
adalah dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim. Kalau kalimat ini ditafsirkan sebagai pengawasan dan
dijabarkan dalam Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23
Undang-Undang Komisi Yudisial, sebagai pengawasan dalam rangka menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial
seharusnya konsisten mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku
hakim, dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim. Dari Pasal 20 Undang-Undang Komisi Yudisial, tegas dapat
diketahui bahwa objek pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial adalah
perilaku hakim. Pengawasan dan penegakan perilaku hakim tersebut sudah tentu
dilihat dari ukuran Code of Conduct dan Code of Ethics yang sudah ada yang
56
dijadikan sebagai ukuran, dengan contoh prinsip dan penerapan yang telah diuraikan
di atas, sehingga akan terhindar dari tumpang tindih dengan pengawasan lain yang
berada di luar wilayah etik atau perilaku.
Benar bahwa acapkali suatu perbuatan diatur bukan hanya oleh satu macam norma,
tetapi oleh beberapa macam norma secara bersamaan, di mana suatu perbuatan
tercela dilarang baik oleh norma hukum, norma etik, dan norma agama. Berlakunya
norma secara bersamaan demikian, menambah urgensi tentang perlunya pengaturan
mengenai etik dan tingkah laku (ethics and conduct) hakim dan tata cara penjagaan
dan penegakannya dalam suatu Kode Etik dan Tingkah Laku Hakim sebagai tolok
ukur pengawasan. Kode etik itu dalam lingkungan profesi dibuat dan disahkan oleh
organisasi profesi itu sendiri, bukan oleh lembaga lain, in casu oleh organisasi profesi
hakim baik oleh Mahkamah Agung ataupun oleh IKAHI, bukan oleh Komisi Yudisial;
Penindakan atau pemberian sanksi atas pelanggaran Kode Etik dan Perilaku juga
dilakukan oleh organisasi profesi. Sementara itu, pengawasan atas pelaksanaan
Kode Etik dan Perilaku selain dapat dilakukan oleh organisasi profesi, juga dapat
dilakukan oleh pihak di luar profesi. Hal ini dimaksudkan dalam rangka memenuhi
tanggung jawab sosial (social responsibility), yang merupakan salah satu unsur dari
profesionalisme, melalui transparansi dan akuntabilitas. Pengawasan dapat dirinci
dalam beberapa kegiatan, misalnya pemanggilan, pemeriksaan, penilaian, yang
berakhir dengan saran (rekomendasi) kepada organisasi profesi, dalam hal ini
Mahkamah Agung.
BAB IIILEMBAGA LEGISLATIF DAN PUTUSAN MK
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, ada dua persoalan
bagi pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) dalam melakukan
57
membentuk Undang-Undang dan dalam melakukan perubahan atas Undang-Undang
yang oleh Mahkamah Konstitusi sebagian ketentuannya telah dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Persoalan pertama, pembentuk Undang-Undang tinggal menindaklanjuti
rekomendasi Mahkamah Konstitusi sebagaimana dikutip di atas, yaitu: pembentuk
undang-undang haruslah mengatur pengawasan secara jelas dan rinci dengan cara
mengadakan perubahan dalam rangka elaborasi, harmonisasi, dan sinkronisasi atas
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Komisi Yudisial, dan
Undang-Undang Mahkamah Agung dengan selalu merujuk pada Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Agung, Komisi Yudisial,
dan juga Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga pelaksana undang-undang,
sehingga oleh karenanya harus menyerahkan segala urusan legislasi itu kepada
pembentuk undang-undang. Bahwa Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan juga
Mahkamah Konstitusi dapat diikutsertakan dalam proses pembuatan sesuatu
undang-undang yang akan mengatur dirinya, tentu saja merupakan sesuatu yang
logis dan tepat. Akan tetapi, bukanlah tugas konstitusional Mahkamah Agung, Komisi
Yudisial, dan juga Mahkamah Konstitusi untuk mengambil prakarsa yang bersifat
terbuka untuk mengadakan perubahan undang-undang seperti dimaksud.
Persoalan kedua, mungkinkah pembentuk Undang-Undang merumuskan ketentuan-
ketentuan yang substansinya bertentangan dengan apa yang telah diputuskan oleh
Mahkamah Konstitusi? Persoalan ini berkaitan dengan kewenangan Mahkamah
Konstitusi melakukan pengujian atas undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di satu sisi, Mahkamah Konstitusi
harus diposisikan sebagai pengawal konstitusi, sehingga berwenang melakukan
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Akan tetapi, di sisi lain, Mahkamah Konstitusi tidak steril dari
kepentingan dan kesalahan. Mahkamah Konstitusi adalah pelaksana kekuasaan
kehakiman. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa perilaku hakim
konstitusi tidak boleh diawasi oleh Komisi Yudisial, demi netralitas Mahkamah
58
Konstitusi dalam memutus sengketa antar lembaga Negara (dalam hal ini antara
Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung). Jika pembentuk Undang-Undang
sepakat dengan pendirian Mahkamah Konstitusi ini, pertanyaan yang muncul adalah
siapa yang melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi. Jika tanpa
pengawasan (hanya pengawasan internal), bukankah berpotensi menjadikan
Mahkamah Konstitusi merasa super? Sebaliknya, jika pembentuk Undang-Undang
merumuskan ketentuan yang substansinya bertentangan dengan apa yang telah
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, bukankah rumusan dalam Undang-Undang
tersebut kemungkinan akan kembali dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sehingga tidak berkekuatan hukum?
SOLUSI ALTERNATIF
Dalam perspektif politik hukum, peraturan perundang-undangan adalah bahasa
hukum dari suatu keputusan politik. Oleh karena itu, sebelum merumuskan
ketentuan, diperlukan keputusan politik terlebih dahulu. Keputusan politik tersebut
menyangkut pilihan dari beberapa alternatif berikut, masing-masing dengan
rasionalitasnya sendiri.
Pertama, cakupan pengertian hakim. Menyangkut cakupan pengertian hakim (yang
diawasi oleh Komisi Yudisial) ini, ada beberapa alternatif, yaitu:
a. Hakim meliputi hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum termasuk hakim ad
hoc, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan hakim pada Mahkamah Konstitusi.
b. Hakim meliputi hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum termasuk hakim ad
hoc, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara.
59
c. Hakim adalah Hakim Agung.
d. Hakim adalah hakim pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung dalam lingkungan peradilan umum termasuk hakim ad hoc, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara.
Sehubungan dengan cakupan pengertian hakim di atas, oleh karena hakim konstitusi
dikeluarkan dari cakupan pengertian hakim pada umumnya, maka pengawasan
terhadap hakim konstitusi perlu dicarikan solusi alternatif lain di luar kewenangan
pengawasan Komisi Yudisial untuk menjaga integritas dan independensi hakim
konstitusi, misalnya dengan membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
yang independen dan salah satu unsurnya terdiri dari unsur di luar Mahkamah
Konstitusi.
Terkait keterlibatan Komisi Yudisial dalam melakukan pengwasan hakim konstitusi
pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi memang masih terdapat berbagai
pendapat yang sifatnya debatable, dimana ada pendapat yang mengatakan bahwa
walaupun ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa hakim
konstitusi tidak masuk dalam cakupan pengawasan Komisi Yudisial, akan tetapi
hakim konstitusi itu adalah hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24B ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Terlebih, Mahkamah Konstitusi
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,
sebagaimana pula halnya Mahkamah Agung. Sehingga, sudah seharusnya hakim
konstitusi juga diawasi oleh Komisi Yudisial sebagaimana halnya hakim agung.
Apabila hakim konstitusi tidak diawasi oleh Komisi Yudisial maka tentunya akan
terjadi diskriminasi pengawasan dan melanggar prinsip persamaan di hadapan
hukum (equality before the law). Pendapat ini secara konstitusional mungkin dapat
dibenarkan, namun tentunya menabrak putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri,
yaitu Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 dan kita tidak boleh lupa bahwa Putusan
60
Mahkamah Konstitusi itu bersifat final and binding, dan karenanya wajib
ditaati/dipatuhi.
Pendapat Kedua, pengawasan hakim konstitusi dilakukan oleh suatu Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi yang komposisinya harus diisi salah satunya berasal
dari unsur di luar Mahkamah Konstitusi. Bahkan, dapat saja unsur dari Komisi
Yudisial diikutsertakan dalam Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi ini. Hal ini tidak
melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006, karena yang
melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi bukan lembaga Komisi Yudisial,
melainkan adanya salah satu unsur dari Komisi Yudisial.
Kedua, apa yang dijadikan pedoman dalam menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim harus jelas. Mengenai pedoman ini ada
alternatif:
1. Pedoman dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim adalah peraturan perundang-undangan;
2. Pedoman dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim adalah kode etik dan perilaku;
3. Pedoman dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim adalah peraturan perundang-undangan dan kode etik dan
perilaku;
Persoalan selanjutnya, jika pedoman dalam menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim adalah kode etik dan perilaku, siapa yang
menetapkan kode etik dan perilaku tersebut? Alternatifnya:
1. Kode etik dan perilaku hakim ditetapkan oleh organisasi profesi hakim. Biasanya
kode etik profesi ditetapkan oleh organisasi profesi. Masalahnya, penegakan kode
etik tersebut biasanya dilakukan oleh majelis kehormatan di organisasi profesi
tersebut, sehingga timbul persoalan: bagaimana keterlibatan Komisi Yudisial?
2. Kode etik dan perilaku hakim ditetapkan oleh Komisi Yudisial. Jika Komisi Yudisial
menetapkan kode etik hakim, wajar jika Komisi Yudisial yang menegakkannya.
61
Masalahnya, ini menyimpang dari pakem bahwa kode etik ditetapkan oleh
masing-masing organisasi profesi.
3. Kode etik dan perilaku hakim ditetapkan oleh Komisi Yudisial bersama organisasi
profesi masing-masing.
Ketiga, bagaimana cara dan mekanisme Komisi Yudisial dalam melakukan
pengawasan?
Keempat, bagaimana menciptakan hubungan antara Komisi Yudisial dengan badan
peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.)
Kelima, bagaimana menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. Apa saja sanksi yang dapat dijatuhkan dalam hal ada pelanggaran, dan
bagaimana proses penjatuhan sanksi tersebut? Apakah Komisi Yudisial melibatkan
organisasi profesi yang bersangkutan, atau lembaganya, ataukah tidak?
62
BAB IVMATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
Materi atau pokok-pokok perubahan dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
a. Penambahan definisi hakim konstitusi dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
pada Ketentuan Umum Pasal 1 RUU;
b. Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi
yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Susunan Mahkamah Konstitusi
terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap
anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi. Ketua dan Wakil
Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa
jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal
pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua;
c. Negara memberikan jaminan keamanan hakim konstitusi dalam menjalankan
tugas dan tanggung jawab sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman;
d. Pada Mahkamah Konstitusi dibentuk Sekretariat Jenderal dan sebuah
Kepaniteraan untuk membantu pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah
Konstitusi;
e. Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut: memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela; adil; dan negarawan yang menguasai konstitusi
dan ketatanegaraan. Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus
memenuhi syarat tersebut, seorang calon harus memenuhi syarat: warga negara
Indonesia; berpendidikan di bidang hukum (untuk calon hakim konstitusi yang
diajukan oleh Pemerintah dan DPR, berijazah doktor dan magister di bidang
hukum dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
atau untuk calon hakim konstitusi yang diajukan oleh Mahkamah Agung,
berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana yang berlatar
63
belakang pendidikan tinggi hukum); bertakwa dan berakhlak mulia; berusia paling
rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh dua) tahun pada
saat pengangkatan; mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan
tugas dan kewajiban; tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; tidak sedang
dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan mempunyai pengalaman
kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/atau pernah
menduduki jabatan kenegaraan;
f. Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan: meninggal dunia;
mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua
Mahkamah Konstitusi; telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; telah berakhir masa
jabatannya; atau sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga)
bulan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
g. Mahkamah Konstitusi wajib menyusun kode etik yang berisi norma-norma yang
harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk
menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan;
h. Untuk menegakkan kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang keanggotannya terdiri dari: 2
(dua) orang Hakim Konstitusi; 2 (dua) orang dari unsur akademisi; dan Ketua
Komisi Yudisial;
i. Jenis sanksi yang direkomendasikan oleh Majelis Kehormatan hakim Konstitusi
berupa: teguran tertulis; pemberhentian sementara; atau pemberhentian;
j. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak
diminta oleh Pemohon atau melebihi permohonan Pemohon. Namun, apabila
Majelis Hakim Konstitusi menganggap ada keterkaitan dengan pasal-pasal lain
yang tidak dimohonkan dengan pasal dalam undang-undang yang dimohonkan
pengujian dan karenanya undang-undang yang bersangkutan menjadi tidak
dapat dilaksanakan akibat adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut; dan
k. Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pemeriksaan terhadap perselisihan
hasil pilkada Provinsi dan Kabupaten/Kota.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Beberapa pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dalam implementasinya memiliki permasalahan, seperti
pengawasan hakim konstitusi, masa jabatan ketua dan wakil ketua Mahkamah
Konstitusi, kewenangan Mahkamah Konstitusi dan lain-lain;
2. Permasalahan sebagaimana dimaksud pada angka 1 tidak cukup hanya
diselesaikan melalui peraturan teknisnya, yaitu Peraturan Mahkamah
Konstitusi, melainkan harus melalui revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai landasan yuridis-operasionalnya;
dan
3. Terkait revisi pengaturan mengenai pengawasan hakim konsitusi harus
mengacu atau tidak boleh bertentangan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006.
B. Rekomendasi
Sehubungan dengan kesimpulan tersebut, maka Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi perlu segera disusun, selanjutnya segera dibahas untuk
disahkan menjadi Undang-Undang.
------------------------------------