sains geoinformasi peranan informasi teknologi geospasial dalam pengendalian demam berdarah dengue...

8
http://ajiputrap.blogspot.com PERANAN INFORMASI DAN TEKNOLOGI GEOSPASIAL DALAM PROYEK PENGENDALIAN DEMAM BERDARAH DENGUE KOTA YOGYAKARTA FASE II Aji Putra Perdana 1 1 Alumnus Kartografi dan Penginderaan Jauh Angkatan 2001, Mahasiswa S2 Magister Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS) Angkatan 2009 Fakultas Geografi UGM; (Eks) Asisten Data Management Unit Proyek Pengendalian Demam Berdarah Dengue Kota Yogyakarta, Yayasan TAHIJA. Email: [email protected] ABSTRAK Proyek pengendalian demam berdarah dengue (DBD) Kota Yogyakarta fase II telah dilaksanakan dari 1 Agustus 2007 hingga 31 Juli 2009 dengan penekanan pada pemberantasan sarang nyamuk selektif menggunakan Insect Growth Regulator (IGR). Proses distribusi dan monitoring IGR melibatkan 262 pemantau DBD yang direkrut dan diseleksi dari Jumantik RT yang ada di Kota Yogyakarta, sedangkan kontrol kualitas dilaksanakan oleh 32 surveyor. Tujuan dari tulisan ini ialah memberikan gambaran peranan informasi dan teknologi geospasial di bidang kesehatan, khususnya pengendalian demam berdarah dengue berdasarkan pada pengalaman selama bergabung di Proyek Pengendalian Demam Berdarah Dengue Kota Yogyakarta. Semua data, distribusi dan keberadaan IGR, Knowledge, Attitude, and Practices (KAP) survey terkait IGR dan proyek DBD, data demografis, data jumlah kasus/angka kematian akibat DBD akan diikatkan ke dalam Sistem Informasi Geografis untuk dapat dikorelasikan dan dianalisa secara spasial. Oleh karena itu, proyek pengendalian DBD ini memanfaatkan informasi dan teknologi geospasial yang meliputi penggunaan citra satelit Quickbird sebagai panduan lapangan dan pemetaan partisipatif untuk mendapatkan batas administrasi hingga level RW/RT, Global Positioning System (GPS) untuk menyimpan lokasi rumah yang dikunjungi oleh surveyor, serta pengelolaan informasi dan data yang dikumpulkan cukup banyak sehingga memerlukan wadah basisdata yakni dalam sebuah Geodatabase. Perkembangan informasi dan teknologi geospasial sangatlah membantu dalam kegiatan pengendalian DBD di Kota Yogyakarta. Kata kunci: Informasi Geospasial, Demam Berdarah Dengue,Kota Yogyakarta 1. PENDAHULUAN Demam berdarah dengue (DBD) telah menjadi perhatian utama dalam masalah kesehatan masyarakat dan secara umum ditemukan di daerah tropis dan menyebar seperti malaria (Teng, 1997). Banyak negara-negara di Asia telah mengalami tingkat kasus demam berdarah dengue yang luar biasa pada tahun 1998. Tahun 2004 Indonesia melaporkan angka kasus demam berdarah dengue tertinggi di kawasan Asia Tenggara dan pada tahun 2006 di kawasan Asia Tenggara 57% angka kasus disumbangkan oleh Indonesia (WHO Regional Office for South-East Asia, 2007). Hingga saat ini, banyak usaha dan strategi yang telah dilakukan untuk mengendalikan demam berdarah dengue baik oleh Pemerintah di bawah koordinasi Departemen Kesehatan maupun juga oleh lembaga-lembaga non-pemerintah yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat. Strategi pengendalian demam berdarah dengue secara umum melalui pemberantasan sarang nyamuk, pendidikan/penyuluhan kesehatan, dan koordinasi antar sektor dengan berbagai metode yang digunakan. Sebuah proyek pengendalian demam berdarah dengue untuk melindungi sekitar 108.000 keluarga (520.000 jiwa) telah digagas untuk dilakukan di Kota Yogyakarta (jumlah penduduk Propinsi DIY kira-kira 3.300.000 jiwa pada tahun 2006), paling tidak selama satu tahun pertama. Sasaran proyek ini adalah pengendalian tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti (L.)

Upload: aji-putra-perdana

Post on 28-Jul-2015

242 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Proyek pengendalian demam berdarah dengue (DBD) Kota Yogyakarta fase II telah dilaksanakan dari 1 Agustus 2007 hingga 31 Juli 2009 dengan penekanan pada pemberantasan sarang nyamuk selektif menggunakan Insect Growth Regulator (IGR). Proses distribusi dan monitoring IGR melibatkan 262 pemantau DBD yang direkrut dan diseleksi dari Jumantik RT yang ada di Kota Yogyakarta, sedangkan kontrol kualitas dilaksanakan oleh 32 surveyor. Tujuan dari tulisan ini ialah memberikan gambaran peranan informasi dan teknologi geospasial di bidang kesehatan, khususnya pengendalian demam berdarah dengue berdasarkan pada pengalaman selama bergabung di Proyek Pengendalian Demam Berdarah Dengue Kota Yogyakarta. Semua data, distribusi dan keberadaan IGR, Knowledge, Attitude, and Practices (KAP) survey terkait IGR dan proyek DBD, data demografis, data jumlah kasus/angka kematian akibat DBD akan diikatkan ke dalam Sistem Informasi Geografis untuk dapat dikorelasikan dan dianalisa secara spasial. Oleh karena itu, proyek pengendalian DBD ini memanfaatkan informasi dan teknologi geospasial yang meliputi penggunaan citra satelit Quickbird sebagai panduan lapangan dan pemetaan partisipatif untuk mendapatkan batas administrasi hingga level RW/RT, Global Positioning System (GPS) untuk menyimpan lokasi rumah yang dikunjungi oleh surveyor, serta pengelolaan informasi dan data yang dikumpulkan cukup banyak sehingga memerlukan wadah basisdata yakni dalam sebuah Geodatabase. Perkembangan informasi dan teknologi geospasial sangatlah membantu dalam kegiatan pengendalian DBD di Kota Yogyakarta.

TRANSCRIPT

Page 1: Sains Geoinformasi Peranan Informasi Teknologi Geospasial dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue Kota Yogyakarta

http://ajiputrap.blogspot.com

PERANAN INFORMASI DAN TEKNOLOGI GEOSPASIAL DALAM PROYEK PENGENDALIAN DEMAM BERDARAH DENGUE

KOTA YOGYAKARTA FASE II

Aji Putra Perdana1 1 Alumnus Kartografi dan Penginderaan Jauh Angkatan 2001, Mahasiswa S2 Magister Pengelolaan

Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS) Angkatan 2009 Fakultas Geografi UGM; (Eks) Asisten Data Management Unit Proyek Pengendalian Demam Berdarah Dengue Kota Yogyakarta,

Yayasan TAHIJA. Email: [email protected]

ABSTRAK Proyek pengendalian demam berdarah dengue (DBD) Kota Yogyakarta fase II telah dilaksanakan dari 1 Agustus 2007 hingga 31 Juli 2009 dengan penekanan pada pemberantasan sarang nyamuk selektif menggunakan Insect Growth Regulator (IGR). Proses distribusi dan monitoring IGR melibatkan 262 pemantau DBD yang direkrut dan diseleksi dari Jumantik RT yang ada di Kota Yogyakarta, sedangkan kontrol kualitas dilaksanakan oleh 32 surveyor. Tujuan dari tulisan ini ialah memberikan gambaran peranan informasi dan teknologi geospasial di bidang kesehatan, khususnya pengendalian demam berdarah dengue berdasarkan pada pengalaman selama bergabung di Proyek Pengendalian Demam Berdarah Dengue Kota Yogyakarta. Semua data, distribusi dan keberadaan IGR, Knowledge, Attitude, and Practices (KAP) survey terkait IGR dan proyek DBD, data demografis, data jumlah kasus/angka kematian akibat DBD akan diikatkan ke dalam Sistem Informasi Geografis untuk dapat dikorelasikan dan dianalisa secara spasial. Oleh karena itu, proyek pengendalian DBD ini memanfaatkan informasi dan teknologi geospasial yang meliputi penggunaan citra satelit Quickbird sebagai panduan lapangan dan pemetaan partisipatif untuk mendapatkan batas administrasi hingga level RW/RT, Global Positioning System (GPS) untuk menyimpan lokasi rumah yang dikunjungi oleh surveyor, serta pengelolaan informasi dan data yang dikumpulkan cukup banyak sehingga memerlukan wadah basisdata yakni dalam sebuah Geodatabase. Perkembangan informasi dan teknologi geospasial sangatlah membantu dalam kegiatan pengendalian DBD di Kota Yogyakarta.

Kata kunci: Informasi Geospasial, Demam Berdarah Dengue,Kota Yogyakarta 1. PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (DBD) telah menjadi perhatian utama dalam masalah kesehatan masyarakat dan secara umum ditemukan di daerah tropis dan menyebar seperti malaria (Teng, 1997). Banyak negara-negara di Asia telah mengalami tingkat kasus demam berdarah dengue yang luar biasa pada tahun 1998. Tahun 2004 Indonesia melaporkan angka kasus demam berdarah dengue tertinggi di kawasan Asia Tenggara dan pada tahun 2006 di kawasan Asia Tenggara 57% angka kasus disumbangkan oleh Indonesia (WHO Regional Office for South-East Asia, 2007). Hingga saat ini, banyak usaha dan strategi yang telah dilakukan untuk mengendalikan demam berdarah dengue baik oleh Pemerintah di bawah koordinasi Departemen Kesehatan maupun juga oleh lembaga-lembaga non-pemerintah yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat. Strategi pengendalian demam berdarah dengue secara umum melalui pemberantasan sarang nyamuk, pendidikan/penyuluhan kesehatan, dan koordinasi antar sektor dengan berbagai metode yang digunakan.

Sebuah proyek pengendalian demam berdarah dengue untuk melindungi sekitar 108.000 keluarga (520.000 jiwa) telah digagas untuk dilakukan di Kota Yogyakarta (jumlah penduduk Propinsi DIY kira-kira 3.300.000 jiwa pada tahun 2006), paling tidak selama satu tahun pertama. Sasaran proyek ini adalah pengendalian tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti (L.)

Page 2: Sains Geoinformasi Peranan Informasi Teknologi Geospasial dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue Kota Yogyakarta

http://ajiputrap.blogspot.com

dengan menggunakan pengendali pertumbuhan serangga (Insect Growth Regulator). Jenis-jenis tempat penampungan air yang menjadi sasaran, yaitu bak mandi, bak air, dan sumur (sumur pemukiman penduduk). Kegiatan proyek pengendalian DBD ini meliputi pembagian Insect Growth Regulator setiap tiga bulan, pemeriksaan serologi pada anak-anak, adult aspiration (pengambilan nyamuk dewasa dengan menggunakan alat adult aspirator), survei kepompong/demografi. Semua data, pembagian dan prevalensi Sumilarv, serta survei pengetahuan, sikap dan praktik (knowledge, attitudes, and practices/KAP) terkait penentuan sasaran, manfaat dan keamanan Insect Growth Regulator, data demografi dan kasus/kematian akan dimasukkan ke dalam sistem informasi geografis (SIG) untuk dikorelasi dan dianlisis secara spasial. 1.1. Kota Yogyakarta dan Demam Berdarah Dengue

Yogyakarta, sebuah kota berpenduduk 506.000-522.000 orang, adalah ibukota propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang terletak di selatan tengah pulau Jawa. Yogyakarta merupakan satu-satunya propinsi di Indonesia yang secara formal masih diperintah oleh Kesultanan dari jaman sebelum penjajahan, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Propinsi DIY terbagi menjadi 5 kabupaten (Tabel 1), dengan tiap kabupaten terbagi menjadi unit-unit yang disebut kecamatan (Gambar 1) yang selanjutnya terbagi ke dalam desa-desa yang disebut kelurahan, yang terbagi menjadi Rukun Warga (RW) yang terdiri atas kira-kira 250 rumah (kepala keluarga), yang selanjutnya terbagi ke dalam Rukun Tetangga (RT), yaitu unit administratif terkecil yang terdiri atas 50-80 rumah (kepala keluarga).

Gambar 1. Peta Administrasi Kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta merupakan kabupaten terbesar keempat di DIY dengan luas 32,5 km2 namun paling padat penduduknya (kira-kira 16.000 jiwa per kilometer persegi); perbedaan kepadatan penduduk ini menjelaskan banyaknya perbedaan kejadian demam berdarah dengue yang

Page 3: Sains Geoinformasi Peranan Informasi Teknologi Geospasial dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue Kota Yogyakarta

http://ajiputrap.blogspot.com

parah di Propinsi ini. Dengan tingkat kejadian (incidence rate/IR) 17,7 kasus per 10.000 penduduk, Kota ini memiliki tingkat kejadian dua tiga kali lebih tinggi daripada kabupaten Sleman (7,6) atau Bantul (6,3) (Tabel 1). Berdasarkan hal tersebut maka penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta dengan harapan dapat menganalisa terhadap hasil intervensi yang dilakukan.

Tabel 1. Ukuran jumlah penduduk, jumlah penghuni dan tingkat kejadian (IR per 10.000 jiwa) kasus demam berdarah dengue per kabupaten untuk Propinsi Yogyakarta pada 2006. Jumlah penghuni didasarkan pada perkiraan jumlah orang per rumah di Bantul yang dilakukan selama rekonstruksi pascagempa bumi

Kabupaten Penduduk Penghuni Jumlah kasus Incident Rate (IR)

Yogyakarta 506.000 105.417 888 17,7

Sleman 826.558 172.200 626 7,6

Bantul 780.177 162.537 493 6,3

Kulonprogo 443.819 92.462 71 1,6

Gunung Kidul 746.457 155.512 106 1,4

Totals 3.303.011 688.127 2.184 6,6

1.2. Pelaksana Lapangan

Proyek bekerjasama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta yang dibantu juga oleh pihak Puskesmas dan Kelurahan di Kota Yogyakarta telah menyeleksi dari tenaga sukarela yang dikenal dengan juru pemantau jentik hingga diperoleh 262 tenaga jumantik. Proyek telah memperkerjakan 262 tenaga jumantik purna waktu di tingkat RT yang bekerja untuk Operational Unit dan 32 tenaga sukarela untuk komponen Universitas Gadjah Mada (Unit Pengawasan Kualitas, Riset, dan Serologi atau Quality Control, Research, and Serology Unit/QCRS). Karena para pekerja ini diminta untuk bekerja lebih dari sekedar sebagai jumantik, mereka juga dikenal dalam Proyek ini sebagai Pemantau DBD. Para Pemantau DBD dan 32 tenaga Surveyor berperan utama bersama dengan GIS and Data Management Unit dalam pengumpulan data dan pemanfaatan informasi dan teknologi geospasial dalam rangka membantu pelaksanaan proyek pengendalian demam berdarah dengue, sehingga diharapkan dapat tepat terdistribusi secara merata dan sasaran kegiatan yakni menekan angka kasus demam berdarah dengue dapat tercapai.

1.3. Informasi dan Teknologi Geospasial

Demam berdarah dengue tidak dapat menyebar secara langsung dari satu orang ke orang yang lain, akan tetapi penyebaran penyakit ini tidak dapat dihindarkan dari sudut spasial (Holmes, 1997). Epidemiologis, profesional kesehatan masyarakat, geograf secara tradisional telah lama melakukan analisa hubungan antara lokasi, lingkungan dan penyakit. Dr. John Snow adalah salah satu pionir di lapangan. John Snow membuat peta kasus kolera terkait dengan pompa air di Broad Street sebagai contoh yang bagus. Sekarang ini informasi dan teknologi geospasial sudah digunakan dalam survey dan monitoring penyakit, seperti malaria dan juga demam berdarah dengue, diantaranya penggunaan sistem informasi geografis dalam pengelolaan informasi hingga analisa data dan citra satelit penginderaan jauh.

Informasi dan teknologi geospasial ini juga dipergunakan dalam proyek pengendalian demam berdarah dengue di Kota Yogyakarta untuk dapat secara efektif dalam penggunaan informasi dan manajemen data yang dikumpulkan oleh aktivitas proyek. Informasi berupa data

Page 4: Sains Geoinformasi Peranan Informasi Teknologi Geospasial dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue Kota Yogyakarta

http://ajiputrap.blogspot.com

spasial, baik data vektor dan data raster sebagai data dasar dan data atribut yang diperoleh dari kegiatan lapangan dan informasi angka kasus dari Dinas Kesehatan. Informasi dan data yang cukup banyak dikelola dalam sebuah wadah memanfaatkan teknologi geospasial dalam sebuah geodatabase yang mampu menampung data geospasial tersebut. Geodatabase merupakan sebuah koleksi/kumpulan data geografis dari berbagai tipe/jenis data. Geodatabase ArcGIS adalah sekumpulan dataset geografis dari berbagai tipe yang dibangun dalam sebuah sistem file folder, database Microsoft Acces, atau sebuah relasi database multiuser (misalnya, Oracle, Microsoft SQL Server, atau IBM DB2). Apabila dikelompokkan berikut ialah data yang disimpan dalam wadah geodatabase tersebut:

§ Feature classes: Layer Peta Dasar (Titik Ibukota Kabupaten, Kecamatan, Desa, Batas Administrasi, sungai, jalan, Lokasi Survey (hasil lapangan dengan GPS).

§ Raster datasets: Citra Quickbird dan Ikonos § Tables: Angka Kasus Demam Berdarah Dengue, Data Jumlah Penduduk, Data Distribusi

dan Monitoring Insect Growth Regulator, Jumlah Pupa dan emergence, adult aspirations, pupal/demographic surveys, serology surveys.

Semua data dikelola oleh sebuah unit yang disebut dengan GIS and Data Management Unit yang terdiri dari sejumlah personil untuk memasukkan data/kendali mutu. Unit ini mempunyai tanggung jawab untuk (1) membuat, menyimpan dan memelihara semua data proyek spasial dan non-spasial. Selain itu, Unit (2) melayani Quality Control Research & Serology (QCRS) Unit dan Operational Unit dengan menyediakan peta-peta yang diperlukan untuk kerja lapangan setiap harinya. Unit juga (3) bertanggung jawab untuk mengubah data berbasis kertas dari Unit-Unit lain menjadi data digital (entry data) dan (4) melakukan penyimpanan cadangan data (backup data) secara menyeluruh. Terakhir, (5) Unit ini bertanggung jawab untuk meringkas data dan membuat peta-peta untuk Peneliti Utama dan Project Manager untuk memantau kemajuan, analisis, publikasi dan presentasi.

2. METODE PENELITIAN

Proyek ini melakukan pemberian Insect Growth Regulator (IGR) dengan cakupan yang menyeluruh untuk seluruh Kota Yogyakarta. Ada beberapa alasan terhadap pemilihan ini: (1) Biaya pemberian Insect Growth Regulator (IGR) per kapita dipengaruhi oleh kepadatan penduduk bila dipandang dari segi logistik, (2) Tingkat kejadian demam berdarah paling tinggi di Kota dan pemilihan Kota ini membuat studi lebih sensitif dan oleh karenanya lebih efektif dari segi biaya, (3) Sebuah kawasan yang sangat bercirikan perkotaan seperti Kota Yogyakarta cukup besar untuk memenuhi tujuan riset, yaitu sekitar setengah juta penduduk. Apakah penularan terjadi hanya di rumah atau di tempat lain, ukuran lokasi studi mengurangi masalah adanya penduduk yang dalam aktivitas sehari-harinya bergerak ke daerah sekitarnya yang tidak diberi Insect Growth Regulator (IGR). Mengingat ukuran lokasi studi ini, kebanyakan penduduk Yogyakarta akan menghabiskan waktunya di dalam Kota.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, terutama angka kesakitan, kegiatan serosurvey dan entomology survey dilaksanakan pada 12 kelurahan yakni 6 kelurahan di Kota Yogyakarta dan 6 di luar daerah penelitian sebagai area pembanding yakni 3 kelurahan di Kabupaten Sleman dan 3 kelurahan di Kabupaten Bantul dimana pemilihan didasarkan pada tingkat angka kesakitan. Untuk distribusi dan monitoring keberadaan dari Insect Growth Regulator (IGR) tetap dilakukan pada 45 Kelurahan di seluruh Kota Yogyakarta. Aktivitas utama dalam kegiatan pengendalian demam berdarah dengue adalah kegiatan operasional (distribusi dan monitoring) dan Pengawasan Kualitas, Riset, dan Serologi atau Quality Control, Research, and Serology/QCRS. Unit QCRS ini melakukan beberapa aktivitas di dalamnya yaitu (1) pengkajian tersendiri tentang prevalensi Insect Growth Regulator di tempat-tempat penampungan air yang menjadi sasaran (Verifikasi Insect Growth Regulator (IGR)) dan (2) pengumpulan kepompong-kepompong nyamuk di lapangan dari

Page 5: Sains Geoinformasi Peranan Informasi Teknologi Geospasial dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue Kota Yogyakarta

http://ajiputrap.blogspot.com

jenis-jenis penampungan air tersebut (Penghitungan kepompong dan munculnya nyamuk dewasa). Unit juga akan (3) mengumpulkan nyamuk dewasa dari rumah-rumah yang diobati dan yang tidak diobati (Adult aspirations) dan (4) melakukan survei kepompong/demografi di daerah-daerah di Kota Yogya yang belum disurvey sebelumnya (Survei kepompong/demografi). Unit juga (5) melakukan survei serologi (IgM assay, anak-anak usia 5-14 tahun) di kelompok-kelompok pasangan kelurahan. Knowledge, Attitude, and Practices (KAP) survey terkait Insect Growth Regulator dan proyek pengendalian DBD dilaksanakan di lokasi sampel.

Guna mendukung terlaksananya kegiatan utama tersebut di atas, maka diperlukan kegiatan pendukung yang dilakukan oleh unit GIS and Data Management. Semua data dikonversi ke dalam format digital, dikumpulkan oleh unit operasional dan unit Quality Control, Research, and Serology dikompilasi ke unit GIS and Data Management.

3. DATA YANG DIGUNAKAN

Data yang digunakan dalam proyek ini dapat dikelompokan ke dalam data spasial dan data non-spasial. Untuk mengawali kegiatan proyek dibutuhkan data yang diperoleh dari beberapa instansi terkait yakni data jumlah penduduk, angka kasus demam berdarah dengue, data spasial berupa data citra satelit Quickbird dan Ikonos Kota Yogyakarta beserta 6 kelurahan di luar Kota Yogyakarta yang menjadi daerah pembanding beserta data vektor (batas administrasi, jaringan jalan, sungai). Dalam pelaksanaan proyek mulailah dikumpulkan data yang dilakukan oleh tim proyek diantaranya data jumlah rumah/bangunan, data jumlah dan volume tempat penampungan air yang menjadi target (bak air, bak mandi dan sumur), data kepompong nyamuk, nyamuk dewasa, data hasil surve serologi, informasi Knowledge, Attitude, and Practices (KAP). 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Mengawali sebuah proyek membutuhkan informasi awal untuk menentukan langkah dan strategi yang akan dilakukan dan berdasarkan pada pengalaman sebelumnya, maka proyek fase II ini membutuhkan informasi geospasial yakni gambaran geografis daerah kajian. Bekerja sama dengan Fakultas Geografi UGM sebagai penyedia data spasial diperoleh informasi geospasial yang berupa citra satelit Quickbird, Ikonos dan peta dasar dari Kota Yogyakarta sebagai daerah kajian, 3 Kelurahan di Kabupaten Bantul dan 3 Kelurahan di Kabupaten Sleman sebagai daerah pembanding. Selain sebagai data awal, informasi geospasial tersebut juga disajikan ke dalam bentuk peta dan dicetak, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai panduan dalam kegiatan lapangan.

Permasalahan mulai muncul terkait dari ketersediaan data awal, diantaranya ialah data spasial batas administrasi yang hanya sampai pada level kelurahan, tingkat pendidikan yang berbeda-beda dari timlapangan sehingga tidak memungkinkan untuk perolehan informasi data lapangan langsung dalam format digital, dan semua hal tersebut berdampak pada pelaksanaan distribusi dan monitoringnya. Untuk mengatasi hal tersebut maka informasi dan teknologi geospasial yang tersedia di dalam proyek mulai diberdayakan secara optimal melalui tiga kegiatan utama yakni pemetaan partisipatif, penggunaan GPS dan peta citra, pengelolaan basisdata spasial ke dalam geodatabase dan aktivitas pembuatan peta-peta tematik yang diperlukan untuk tujuan analisis.

Pemetaan partisipatif dilakukan oleh pemantau DBD dengan memanfaatkan peta citra quickbird yang telah dicetak per kelurahan dan dilakukan aktivitas survey lapangan guna mengenali batas administrasi hingga level RW/RT. Kegiatan ini dipandu oleh GIS and Data Management Unit, pemantau melakukan penggambaran batas pada citra hardcopy kemudian memberi batas adminsitrasi hingga RT, bahkan ada beberapa kelurahan yang mampu mendeliniasi

Page 6: Sains Geoinformasi Peranan Informasi Teknologi Geospasial dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue Kota Yogyakarta

http://ajiputrap.blogspot.com

hingga penggunaan lahan. Dari data tersebut kemudian oleh tim data manajemen dilakukan proses input ke dalam SIG.

Gambar 2. Aktivitas lapangan (survey GPS dan pemetaan partisipatif)

Data non-spasial dikumpulkan oleh timlapangan, Pemantau DBD dan tim surveyor berupa data tabular dan dalam bentuk hardcopy, sehingga data perlu dikonversi ke dalam format digital melalui data entry. Proses inilah yang banyak menyita waktu dan membutuhkan tenaga sekitar 25-30 orang. Informasi tabular dikumpulkan oleh tim surveyor dikorelasikan dengan data spasial, seperti koordinat lokasi rumah-rumah yang dikunjungi menyimpannya menggunakan teknologi geospasial yakni Global Positioning System (GPS) dan Citra Quickbird sebagai panduan dalam kegiatan lapangan. Data yang sudah terkumpulkan dikelola dalam sebuah wadah geodatabase baik berupa data tabular, data vektor dan data raster (Gambar 3). Mencakup Feature classes: Layer Peta Dasar (Titik Ibukota Kabupaten, Kecamatan, Desa, Batas Administrasi, sungai, jalan, Lokasi Survey, Raster datasets: Citra Quickbird dan Ikonos, Tables: Angka Kasus Demam Berdarah Dengue, Data Jumlah Penduduk, Data Distribusi dan Monitoring Insect Growth Regulator, Jumlah Pupa dan emergence, adult aspirations, pupal/demographic surveys, serology surveys serta table relationship.

Gambar 3. Skema Geodatabase Proyek Demam Berdarah Dengue

Kegiatan pemetaan dalam proyek pengendalian demam berdarah dengue ialah pembuatan peta tematik seperti peta angka tingkat kesakitan (Gambar 4). Hasil yang ada didiskusikan dan dijadikan sebagai acuan dalam penentuan langkah terkait analisa yang dihasilkan. Misalnya, daerah mana yang mempunyai angka tingkat kesakitan tinggi dianalisa berbagai kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut terjadi, apakah distribusi sudah dilakukan secara merata atau ada faktor lain. Dari hasil analisa, acapakali didapatkan bahwa angka kesakitan tinggi terdapat di daerah yang berbatasan dengan wilayah kabupaten lain.

Page 7: Sains Geoinformasi Peranan Informasi Teknologi Geospasial dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue Kota Yogyakarta

http://ajiputrap.blogspot.com

Gambar 4. Contoh peta yang dihasilkan Secara keseluruhan informasi dan teknologi geospasial sangat berperan dalam proyek

pengendalian demam berdarah dengue dari tahap persiapan, pelaksanaan, analisa dan pengambilan kesimpulan sebagai data bantu dalam survey, data dasar dalam pemetaan, manajemen data. Pembelajaran geospasial juga diperkenalkan kepada pemantau demam berdarah dengue selaku sebagain dari warga masyarakat Kota Yogyakarta dan penggunaan GPS dan Citra Quickbird oleh tim surveyor. Berdasarkan semua kegiatan geospasial yang telah dilakukan menunjukkan bahwa informasi dan teknologi geospasial yang mencakup pengenalan peta, penggunaan GPS dan citra satelit penginderaan jauh sangat efektif untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh proyek untuk mencapai tujuan akhir dari proyek pengendalian demam berdarah dengue.

5. KESIMPULAN

Informasi dan teknologi geospasial yakni peta, sistem informasi geografus (SIG), citra satelit, GPS adalah bagian dari proyek pengendalian demam berdarah dengue fase II Kota Yogyakarta. Untuk keberlanjutan proyek ini, sekiranya perlu ada peningkatan di dalam pelaksanaan pemetaan partisipatif sebagai salah satu tool yang dapat digunakan untuk menangkap perspektif masyarakat terkait kesehatan masyarakat dalam hal ini pengendalian demam berdarah dengue. Adanya kemungkinan untuk lebih optimal dalam integrasi pemetaan masyarakat dengan pemberdayaan komunitas dalam proses pengendalian demam berdarah dengue secara lebih mandiri tanpa adanya ketergantungan dengan pihak pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Alharthy, Abdulatif. (2007). Role of GIS in Dengue Control Management Strategy at Jeddah Municipality.

Jeddah Municipality [cited 1 February 2009]. Available from http://saudigis.org/FCKFiles/File/33_E_AbdullatifAlharthy_KSA.pdf

Focks, Dana A. (2007). Combating Dengue Fever in Indonesia Phase II Project Description, TAHIJA

Foundation, Indonesia. Law, DCG et al. (2008). Mapping for Surveillance and Outbreak Investigation. The North Carolina Center

for Public Health Preparedness, the University of North Carolina, Chapel Hill [cited 20 July 2009]. Available from http://nccphp.sph.unc.edu/focus/vol5/issue2/5-2Mapping_issue.pdf

Lilienfeld AM, Lilienfeld DE. John Snow. (1984), The Broad Street Pump and Modern Epidemiology,

International Journal of Epidemiology, 13(3), 376-377.

Page 8: Sains Geoinformasi Peranan Informasi Teknologi Geospasial dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue Kota Yogyakarta

http://ajiputrap.blogspot.com

Perdana, Aji P.., and Zarodi, H. (2009), The Use of GIS (Geodatabase) in Combating Dengue Fever in Indonesia Phase II Project (Study Site: The City of Yogyakarta), paper presented at Map World Forum 2009 -- 'Converge Ideas and Expand Horizons for Sustainable Planet Earth', HICC, Hyderabad International Convention Center, Hyderabad, India, 10-13 February 2009.

Perdana, Aji P.., Ardiansyah, H., and Zarodi, H. (2009), Geospatial Learning in Combating Dengue Fever

Project Study Site: The City of Yogyakarta, paper presented at South East Asian Survey Congress 2009 -- 'Integrating Geo-information Islands', BICC, Bali International Convention Center, Nusa Dua, Bali, Indonesia, 4-7 August 2009.

Teng, Ten Boon. (1997). Control of Dengue Fever/Dengue Haemorrhagic Fever in Singapore. Dengue

Bulletin, vol. 21 [cited 1 February 2009]. Available from http://www.searo.who.int/EN/Section10/Section332/Section519_2383.htm