sarip tambak oso
DESCRIPTION
Cerita Rakyat Sarip Tambak OsoTRANSCRIPT
SARIP TAMBAK OSO
Sebagai sebuah legenda populer di Jawa Timur, cerita Sarip Tambak Oso sering dipentaskan oleh banyak ludruk.
Sebagaimana juga Lakon “Sakerah” isi ceritanya juga sudah dihapal luar kepala oleh masyarakat penggemar ludruk.
Yang kemudian membedakan pementasan lakon yang sama dari setiap ludruk adalah bagaimana teknis pementasan
dan menginterpretasikan isi ceritanya. Itulah yang ditunggu-tunggu dari pementasan ludruk “Lerok Anyar” dari
Malang di Taman Krida Budaya (TKB) Malang Sabtu lalu (29/6).
Diceritakan bahwa Sarip adalah seorang pemuda desa yang dikenal bertemperamen keras namun dia baik hati
kepada orang-orang miskin dan tertindas. Di desa Tambak Oso dia hanya hidup berdua dengan ibunya yang sudah
menjanda. Pada masa penjajahan Belanda, ketika kisah ini terjadi, rakyat ditindas dibebani pajak berlebihan oleh
pemerintah kolonial. Sementara keluarga Sarip tercatat sudah menunggak pajak atas tambak milik almarhum
ayahnya. Tentu saja pihak Gubermen terus-terusan menagih pajak tersebut. Sarip merasakan ketidak-adilan karena
kenyataannya tambak tersebut digarap dan disewakan kepada Ridwan, pamannya. Logikanya, pamannya itulah
yang wajib membayar pajak. Namun Ridwan menolak dengan alasan almarhum ayah Sarip masih punya hutang
pada Ridwan.
Ketika Lurah Gedangan datang ke rumah Sarip menagih pajak, ibu Sarip mengiba mengharap belas kasihan. Lurah
yang sebetulnya tidak membawahi langsung desa Tambak Oso itu naik pitam dan menyiksa ibu Sarip hingga babak
belur. Tiba-tiba Sarip datang dan mengetahui hal itu, terjadilah perkelahian berujung tewasnya Lurah Gedangan di
tangan Sarip. Gubermen marah besar karena aparatnya terbunuh, sehingga semakin memperkuat alasan memburu
Sarip.
Sementara itu Ridwan yang sakit hati akibat bertengkar dengan Sarip menyuruh Paidi, jagoan desa, membunuh
Sarip. Kebetulan Paidi adalah kusir Ridwan dan memang sudah lama memendam kesumat terhadap Sarip. Sampai
akhirnya dalam sebuah perkelahian, Sarip tewas di tangan Paidi. Namun di sinilah letak keistimewaan lakon ini. Sarip
tidak bisa dibunuh begitu saja. Meski dia sudah tewas, dia bisa hidup lagi hanya dengan tangisan ibunya: “Durung
wayahe Nak…” Dalam sebuah versi diceritakan mayat Sarip dilangkahi ibunya sehingga hidup lagi.
Gubermen semakin geram terhadap hal ini sehingga mencari siasat bagaimana betul-betul dapat menghabisi nyawa
Sarip. Dan akhirnya, sebagaimana kisah-kisah kepahlawanan pada umumnya, ternyata Sarip dapat dikalahkan
lantaran pengkhianatan Mualim, kakak kandung Sarip sendiri. Pengapesan Sarip adalah, dia harus ditembak dengan
peluru yang dilumuri minyak babi. Rahasia itulah yang “dijual” Mualim kepada Gubermen. Ibu Sarip tidak dapat
menolong lagi karena dia sudah diamankan lebih dulu. Dalam sebuah versi menyebutkan ibu Sarip dibunuh.
Mengapa Sarip dapat hidup lagi meski sudah mati? Kemudian ibunya bercerita, ketika Sarip masih dalam
kandungan, ayahnya bertapa di Goa Tapa selama beberapa waktu dan baru kembali pada saat anak keduanya telah
lahir dengan membawa sebongkah kecil tanah merah “Lemah Abang”. Selanjutnya tanah tersebut dibelah dan
diberikan pada Sarip dan Ibunya untuk dimakan. Dikatakan oleh ayah Sarip, bahwa Sarip akan dapat bangkit dari
kematian apabila ibunya masih hidup, meskipun ia terbunuh 1.000 kali dalam sehari.
* * *
Jalan cerita seperti itu sudah diketahui banyak orang. Mereka yang suka nonton ludruk tahu persis bagaimana urutan
ceritanya. Yang membedakan satu ludruk dengan ludruk lainnya adalah versi ceritanya yang berbeda namun tidak
prinsip. Substansinya tetap sama, bahwa Sarip adalah pemuda desa pembela wong cilik, menentang kekuasaan
Gubermen yang korup, suka memberi kepada orang miskin, dan sangat setia serta hormat pada ibunya.
Dalam kaitan dengan kecintaan terhadap ibunya inilah dapat menjadi satu sorotan tersendiri yang menjadi salah satu
substansi lakon ini. Bagaimana seorang ibu sedemikian menyayangi anaknya dan bagaimana seorang anak harus
berbakti dan hormat terhadap ibunya. Ada satu adegan penting ketika Sarip duduk bersimpuh di depan ibunya. Pada
saat itulah Sang Ibu menyampaikan nasehat-nasehat kepada Sarip bagaimana menjalani hidup dengan baik.
Diantaranya, “Ojok ngerusak pager ayu sebab isok ciloko, nek gak mati awake yo mati sandang pangane. Ojok suka
pek pinek barange liyan. Hormatilah ibumu.” Dan sebagainya.
Nasehat tersebut disampaikan secara monolog dengan suara mengharukan yang menyayat. Justru pada adegan
inilah yang harus diperhitungkan dengan seksama oleh sutradara ludruk agar seluruh isi monolog itu dapat tersampai
dengan baik kepada penonton. Diupayakan monolog ini disampaikan oleh pemain yang piawai olah vokal sehingga
artikulasinya dapat diandalkan. Disamping juga aspek intonasi, diksi, dan ritme. Tentu saja, jangan sampai ada
gangguan teknis (klip on misalnya) yang menyebabkan ada bagian-bagian monolog yang tidak jelas terdengar. Jujur
saja, adegan monolog yang sangat penting ini belum sepenuhnya berhasil dibawakan oleh Ludruk Lerok Anyar.
Substansi lainnya dalam lakon ini adalah spirit perlawanan terhadap korupsi dan tindakan sewenang-wenang
penguasa. Seorang Sarip bukan hanya harus berhadapan frontal dengan kekuasaan Gubermen, melainkan juga
terhadap egoisme Ridwan, pamannya sendiri, serta arogansi Paidi yang sok jagoan.
Spirit perlawanan ini tidak hanya muncul utuh dari sosok Sarip melainkan juga celetukan isteri Ridwan terhadap
suaminya, monolog Mualim, materi lawakan, bahkan menjadi bahan kidungan. Salah satu kidungan tentang
semangat anti korupsi itu misalnya, menyebut bahwa korupsi adalah “penggawean sing enteng, gak ngetokno
kringet, cukup karo pucuke pulpen”. Juga kidungan pasemon seperti, “Iwak asin dibumbu rujak, regane bensin sak iki
mundhak.”
Betapa arogannya Ridwan yang menyuruh Paidi agar membunuh Sarip tanpa takut risiko hukum. Ridwan yakin betul,
bahwa hukum itu bisa dibeli. Tinggal, “wani piro?” Isteri Ridwan juga memprotes arogansi suaminya yang mengklaim
sebagai pemimpin rumah tangga namun menolak dikritik. “Wong wedok iku surgo nunut neroko katut,” kata Ridwan.
Maka sang isteripun membalas, “Opo dadine pemimpin nek gak gelem dikritik karo diprotes. Nek pancene surga
nunut neraka katut, makane bojo dikritik supaya aku gak katut nang neroko”.
Berbagai kritik muncul dalam berbagai kesempatan lain. Misalnya protes terhadap penyelewengan pajak muncul
dalam dialog: “Pajak bukan untuk membangun jalan tapi nggedekno wetenge dewe”. Penertiban dilakukan secara
tebang pilih, tergantung siapa yang mampu membayar. “Katakan tidak pada korupsi, nyatane preet….” Bahkan koran
pun tidak luput dari sasaran kritik karena tidak memberi ruang yang memadai untuk berita ludruk. “Mosok ludruk ae
jange impor pisan…..”
Jika penonton tertawa ngakak ketika pemain melontarkan banyolan, maka pada saat kritik-kritik sosial itu meluncur
penonton bertepuk tangan yang menunjukkan bahwa ada aspirasi mereka yang terwakili dalam kritik tersebut.
Memang di sinilah kekuatan lakon Sarip Tambak Oso ini. Kalau sutradara menyadari betul kekuatan ini, maka
lontaran dan materi kritik dapat digarap lebih serius sehingga tidak terkesan asal-asalan. Lakon Sarip ini
sesungguhnya dapat dijadikan pijakan untuk merepresentasikan situasi negeri ini sekarang. Bayangkan kalau
misalnya lakon ini dibawakan oleh Ludruk Mahasiswa dan dipentaskan di lingkungan menengah, pasti banjir kritik
sosial akan berbuahkan tepuk tangan berkepanjangan.
* * *
Pementasan Ludruk Lerok Anyar di TKB Malang ini memang merupakan program rutin Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jatim melalui UPT Taman Budaya Jatim. Lantaran bukan program mandiri, maka
acara ini dibatasi dan diatur oleh sejumlah formalitas yang memang sudah seharusnya dilakukan. Karena itu justru
pihak ludruk sendirilah yang harus pandai-pandai menyiasati agar apa yang diinginkan dapat sesuai dengan format
yang tersedia. Sayangnya, sepanjang pengalaman saya mengamati program pentas rutin ludruk ini, hampir semua
ludruk gagal mempertemukan kepentingan yang berbeda itu. Tidak terkecuali Ludruk Lerok Anyar.
Sutradara Marsam sudah berupaya menampilkan adanya kreativitas sebagai sebuah tontonan. Adegan tari Remo
tidak dibawakan secara tunggal olehnya sendiri meski kebetulan dia juga penari Remo. Marsam mengkreasi dengan
tarian kelompok, lima orang yang tidak sekadar bergerak seragam, dia pemimpinnya. Adegan Bedayan juga diatur
sedemikian rupa dengan dua orang tampil dulu, diikuti tujuh penampil pawestri lainnya, dan bukan berdiri sederet
sebagaimana biasanya. Kreativitas seperti ini layak diapresiasi.
Hanya saja, faktor sangat penting yang harus diperhatikan adalah masalah manajemen waktu. Sutradara yang baik,
harus mampu mengatur manajemen waktu sehingga tidak ada bagian yang berkepanjangan atau malah terpangkas.
Dalam hal ini adegan lawak kentara sekali sangat bertele-tele dan menyita banyak waktu, apalagi dengan materi
lawakan yang sudah basi. Sudah puluhan tahun banyolan seperti itu disampaikan dalam ludruk, membosankan.
Sementara bagian sangat penting yang justru hilang adalah “mengapa Sarip akhirnya dapat tewas terbunuh?”
Lantaran jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.30 maka lakon harus diakhiri, sehingga terpaksa jalannya cerita
dipercepat dan menghilangkan adegan yang menjadi substansi lakon ini. Tidak ada adegan pengkhianatan Mualim
terhadap adiknya sendiri, Sarip, sehingga jagoan sakti itu dapat terbunuh. Tidak ada monolog Sarip menjelang
ajalnya, yang menyebut-nyebut soal heroisme dan nasionalisme. Padahal monolog menjelang ajal inilah yang
menjadi pesan sesungguhnya lakon Sarip ini sehingga pemaknaan terhadap sosok Sarip bukan sekadar dipahami
permukaannya saja, yaitu sebatas lelaki brandalan.
Lakon yang sebetulnya dinamis ini agaknya juga belum berhasil dibangun kedinamisannya di atas panggung agar
penonton terhanyut menahan nafas. Masih terkesan lakon mengarus pada jalannya cerita belaka. Mungkin perlu
sentuhan tangan-tangan seniman teater untuk membangun spirit dinamika ini. atau, jangan-jangan pemain ludruk
yang sudah kawakan itu sebetulnya mampu melakukannya, hanya tidak ada yang melecutnya.
Lepas dari beberapa kelemahan, pentas rutin ini layak diapresiasi, sebab untuk bisa mendapat giliran pentas tidak
gampang, ada proses kurasi tersendiri. Hanya kelompok ludruk yang betul-betul eksis, bukan sebatas punya nomor
induk kesenian yang bisa tampil. Lagi pula pementasan ini juga dapat menjadi variasi dari order tanggapan dari
orang punya hajat. Bagi kelompok ludruk yang laris, bisa jadi pendapatannya lebih kecil dibanding tanggapan, tetapi
bagi kebanyakan kelompok ludruk lainnya, sudah merupakan berkah tersendiri. (*)
Cerita Sarip Tambak Oso _ Cerita Rakyat Jawa TimurPosted by Tegar heryantoJul 25, 20130 komentar
Legenda Sarip Tambak Oso terjadi ketika Belanda dengan kompeninya masih menjajah ibu
pertiwi..tidak ada catatan tahun sejarah peristiwa perlawanan Sarip Tambak Oso terhadap kompeni
Belanda karena mungkin tokoh Sarip hanyalah “kerikil-kerikil kecil” sejarah bangsa Indonesia dalam
melawan Belanda.
Dulu cerita ini sering dimainkan dalam kesenian LUDRUK JAWA TIMURAN, dan setiap orang Sidoarjo
pasti tau dan kenal siapa SARIP TAMBAK OSO!!
SARIP TAMBAK OSO adalah nama pemuda
kampung yang tinggal di wetan (timur) sungai Sedati Sidoarjo. Dia dikenal sebagai seorang pendekar
yang bertemperamen kasar tetapi sangat perhatian pada penderitaan orang-orang miskin yang
menjadi korban pemungutan pajak oleh Belanda.
Sarip Tambak Oso memiliki ikatan batin dengan ibunya, seorang janda tua yang miskin. Ketika masih
kecil Sarip Tambak Oso memakan “lemah abang” (Tanah Merah) bersama ibunya. Lemah Abang
tersebut adalah pemberian ayahnya, ” selama ibunya masih hidup, Sarip tidak akan pernah bisa mati
meski dia terbunuh 1000x dalam sehari “.
Sarip memiliki paman dari jalur ayahnya, dimana dia telah mengambil harta warisan berupa tambak
peninggalan ayah Sarip untuk dimanfaatkan sendiri.
Suatu hari datang lurah Gedangan dan kompeni Belanda kerumah Sarip dengan maksud ingin menarik
pajak tambak pada ibunya Sarip. Karena tambak yang dikelolah paman Sarip adalah atas nama
Ayahnya Sarip.
Sarip ketika itu tidak ada dirumah sehingga tidak mengetahui peristiwa tersebut. Lurah Gedangan
dibantu kompeni Belanda meminta paksa pajak tanah pada ibunya Sarip yang tidak mampu
membayarnya. Ibunya Sarip dihajar, dipukul dan ditendang oleh lurah Gedangan dibantu oleh kompeni
Belanda.
Ibunya Sarip yang sudah tua rentah menangis dan merintih memanggil-manggil Sarip yang tidak ada
di rumah waktu itu ” Sariip reneoh leh..mbokmu dihajar londo le..Sarriiipp “ (terjm. ” Sariip…kesinilah
nak..ibumu sedang dipukuli Belanda”). Sarip yang ketika itu tidak berada dirumah seolah mendengar
rintihan ibunya dan dengan ilmu kesaktiannya segera kembali kerumahnya dan menemukan Ibunya
sedang dianiaya oleh lurah Gedangan dan kompeni Belanda. Segera dicabutnya pisau yang selalu
terselip dipinggang dan dibunuhnya lurah Gedangan dan sebagian kompeni Belanda,sisanya melarikan
diri. Sejak saat itu Sarip Tambak Oso menjadi buronan kompeni Belanda.
Suatu hari Sarip mendatangi pamannya yang telah mengambil tanah tambak peninggalan orang
tuanya, tetapi tidak diberikan oleh pamannya sehingga terjadi perkelahian antara Sarip dengan
Pamannya. Karena merasa terdesak dan kalah, pamannya melarikan diri menuju kulon kali Sedati
menemui salah satu pendekar yang bernama Paidi.
Paidi adalah pendekar kulon (Barat) kali Sedati yang mempunyai senjata andalan berupa Jagang
karena ia berprofesi sebagai kusir delman. Paidi senang pada putri pamannya Sarip yang bernama
Saropah sehingga ia mau membantu pamannya Sarip.
Paidi akhirnya pergi mendatangi Sarip dengan maksud untuk menuntut balas perlakuan Sarip pada
pamannnya. Sarip dan Paidi akhirnya bertemu ditepi sungai Sedati, mereka akhirnya berkelahi dengan
ilmu kesaktiannya. Sarip kalah dan terbunuh, jasadnya dibuang oleh Paidi ke sungai Sedati. Ketika itu
ibunya Sarip sedang mencuci pakaian di sungai Sedati, melihat air sungai berwarna merah darah
maka ibunya Sarip mencari sumbernya dan betapa terkejutnya karena ternyata sumber warna merah
sungai Sedati adalah warna darah dari darah anaknya dan seketika itu juga ibunya menjerit ”
Sariiip..tangio
leh..durung wayahe awakmu mati..” (Sariip bangun nak! belum waktunya kamu meninggal) dan
seketika itu juga Sarip bangkit dari kematiannya seperti orang bangun dari tidur. Oleh ibunya, Sarip
diperintahkan untuk sementara waktu menyingkir dari kampungnya dan tinggal diujung kampung.
Sarip pun mencari Paidi kembali dan bertarung dimana kali ini Paidi kalah dan terbunuh oleh Sarip.
Sebagai buronan Belanda, Sarip sering merampok rumah-rumah tuan tanah Belanda dan orang kaya
yang menjadi antek-antek Belanda, dimana hasil rampokannya ia bagikan pada rakyat miskin yang
ada didaerahnya. Belanda merasa kewalahan dengan sepak terjang Sarip yang semakin berani
melawan Belanda.
Belanda pun menyewa pendekar-pendekar untuk melawan Sarip, tapi tidak ada yang bisa
mengalahkannya karena setiap Sarip mati pasti dia akan hidup kembali dan berulang-ulang terjadi.
Belanda pun mencar tahu apa gerangan yang menjadi rahasia kehebatan Sarip sehingga bisa hidup
berulang-ulang setiap dia mati.
Akhirnya Belanda dapat mengetahui rahasia kelemahan Sarip dari pamannya yang merupakan
saudara seperguruan ayahnya Sarip bahwa letak kesaktiannya Sarip ada di ibunya. Belanda akhirnya
menangkap ibunya Sarip dan menembaknya. Sarip pun terdesak dan akhirnya tertangkap oleh
Belanda.
Oleh Belanda Sarip dijatuhi hukuman mati dengan dikubur hidup-hidup dalam sumur dan ditutupi batu
dan tanah oleh Belanda. Begitulah kisah Sarip Tambak Oso seorang pemuda pendekar Sidoarjo yang
gugur melawan Belanda.
Di Hari Ibu, ketika kita membaca cerita-cerita dari negeri seberang tentang kasih-sayang Ibu yang menggugah hati, kita mungkin tak sadar bahwa di negeri inipun banyak cerita tentang cinta tulus sekaligus keperkasaan sang Ibu kita sendiri. Salah satunya seperti cerita rakyat(folklore) yang biasa dipentaskan dalam seni Ludruk ini. Jeritan kasih sayang sang Ibu yang mampu membangkitkan sang anak dari kematiannya. Sesungguhnya hikmah cerita ini ingin menggambarkan betapa kasih sayang sang Ibu mampu menembus batas-batas yang tak terbayangkan. Suara kasih sang Ibu mampu menerangi ruang-ruang kalbu dan "menghidupkan" anaknya. Jeritan kasih Ibu mampu didengar oleh jiwa-jiwa anaknya yang melayang tanpa batas. Dan doa Ibu diijabah. (Pulung Chahyono, www.pulung-online.blogspot.com)
Begitu banyak versi tertulis tentang seorang Jagoan Sidoarjo Sarip Tambak Oso, namun tak ada salahnya bila kita
kembali mengenang jasa perjuangan dan memaknai perjuangan Sarip dengan kebesaran cintanya kepada Ibunya.
Sarip Tambak Oso adalah nama seorang pemuda kampung yang tinggal di wilayah Timur yaitu sekitaran sungai di
dusun Tambak Oso sekarang berada di sekitaran Gedangan,Waru & Sedati Sidoarjo. Dahulu Kala Dusun Tambak
Oso sendiri dibagi menjadi Dua wilayah yaitu Wetan Kali (Sungai Bagian Timur) dan Kulon Kali (Sungai Bagian
Barat). Wilayah Kulon Kali dikuasai oleh seorang Jago Silat yang berprofesi sebagai Kusir Dokar bernama Paidi yang
memiliki senjata andalan yaitu Jagang Baceman. Dan wilayah Wetan kali dikuasai oleh Sarip sendiri.
Sejak Kecil Sarip tak pernah mengenal dekat siapakah sosok Ayahnya sebenarnya. Ayahnya meninggal sejak Sarip
masih kecil dan Sarip Tumbuh hanya dengan kasih sayang Ibunya. Doa dan cinta kasih sang Ibu selalu berada
dalam jiwa Sarip. Dialah satu-satunya orang tua Sarip setelah Bapaknya meninggal ketika dia masih kecil. Konon,
ayah Sarip adalah keturunan dari salah seorang pejuang dalam kancah perang Diponegoro. Ayah Sarip seorang
jago silat yang melakukan semedi sehingga memiliki ilmu kanuragan. Ayah Sarip melakukan semedi di suatu tempat
basah tetapi tanahnya tetap kering. Dan letaknya berada di gua-gua di Sungai yang membelah Dusun Tambak Oso.
Sebelum meninggal Ayah Sarip sempat memberi Lemah Abang atau (Tanah Merah) kepada Sarip dan Ibunya untuk
dimakan. Setelah memakan “Lemah Abang” bersama Ibunya, Sarip Tambak Oso memiliki ikatan batin dengan
Ibunya. Selama Ibunya masih hidup, Sarip tidak akan pernah bisa mati meski dia terbunuh 1000 kali dalam sehari.
Selalu Tertanam dalam ingatan Sarip ketika Ibunya menggendongnya ke pasar untuk menjual hasil kebun, menjolok
jambu untuknya, dan mengusap ingusnya dengan ujung jariknya yang lusuh. Sang Ibu yang selalu menunggu Sarip
tertidur pulas dan merapikan selimut sarungnya sebelum dia sendiri memejamkan matanya. Pagi hari sang Ibu selalu
memetik sayuran segar di kebun belakang rumahnya sebelum Sarip bangun, dan berusaha menyajikan sarapan
terbaik yang dia bisa dapatkan untuk anaknya. Semua itu dia lakukan demi cintanya kepada Sarip kecil.
Keadaan keluarga yang miskin dan selalu tertindas, menjadikan Sarip kecil tumbuh menjadi seorang pemuda yang
berparas keras. Namun Sarip dikenal sangat perhatian pada penderitaan orang-orang miskin di lingkungannya yang
menjadi korban pemungutan pajak oleh Belanda dan Antek-antek maupun Lintah Darat. Ketidaksukaannya terhadap
Belanda dan Antek-anteknya tersebut dilakukan menurut caranya sendiri yaitu mencuri harta benda orang yang
bekerjasama dengan Belanda dan kemudian hasilnya dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Perbuatan
Sarip ini sangat meresahkan para pejabat Belanda serta pendukungnya yang merupakan beberapa petinggi desa.
Teracatat Hanya Lurah Tambak Oso yang tidak pernah mempermasalahkan Sarip, karena Sarip menjadi solusi
rakyat mengatasi kemiskinan.
Suatu Saat Sarip memutuskan untuk berjuang demi Ibunya dengan merantau meninggalkan desa Tambak Oso di
pojok timur Gedangan Sidoarjo sambil mencari jati dirinya. Baru Setahun pergi merantau, Ibu Sarip menyerahkan
tambak warisan ayahnya kepada Ridwan, paman Sarip untuk dikelola, dengan perjanjian Pamannya yang membayar
pajak dan Ibu Sarip mendapat bagian sekadarnya dari hasil tambak. Namun Ridwan tak menepati janji, tak mau
membayar pajak dan tak sudi memberi bagian hasil tambak kepada Ibu Sarip. Hampir tiga tahun hasil Tambak
diambil Paman Sarip tetapi pajak dibebankan ke Ibu Sarip, bahkan meminjam uang untuk membayar pajakpun tidak
diberi oleh Pamannya.
dan Ketika Asisten Wedana memerintahkan Lurah Gedangan menagih pajak tambak milik Ayah Sarip. Awalnya
Lurah Gedangan menolak tugas dengan alasan Tambak Oso bukan daerah kekuasannya, namun perintah tetaplah
perintah. Hasilnya, karena Lurah Gedangan termasuk gila hormat, maka tugas dilaksanakan meskipun akhirnya
harus tewas ditangan Sarip. Pembunuhan terhadap Lurah Gedangan menjadikan Sarip sebagai buronan. Mualim
kakak Sarip akhirnya tidak mengijinkan Sarip tinggal dirumahnya, karena takut di dakwa melindungi buronan. Saat
jadi Buronan Sarip kembali sering merampok rumah-rumah Tuan Tanah Belanda dan orang kaya yang menjadi
antek-antek Belanda, seperti dulu sebelum merantau. Saat itu Belanda merasa kewalahan dengan sepak terjang
Sarip yang semakin berani melawan Belanda. Belanda pun menyewa pendekar-pendekar untuk melawan Sarip, tapi
tidak ada yang bisa mengalahkan Sarip dan teman-temannya.
Karena keserakahan dan kelicikan, Paman Sarip membuat perjanjian rahasia dengan Pejabat Belanda yaitu Kapten
Hansen. Perjanjian antara Kapten Hansen dan Paman Sarip menjadi sebuah kerugian besar bagi Ibu Sarip. Dengan
alasan bahwa Tambak itu merupakan Milik Ibu Sarip seharusnya semua pajak ditanggung ibu Sarip, padahal Ibu
Sarip dalam beberapa bulan terakhir tidak mendapatkan setoran hasil dari Ridwan sebagai Pengelola. Paman Sarip
berani melakukan hal ini karena tahu bahwa Sarip sedang tidak berada di Desa tersebut. Dengan perilaku Ridwan,
Sarip menjadi berang dan berusaha menagih uang yang seharusnya menjadi Hak Ibunya. Dan masalah timbul ketika
Sarip pulang untuk menagih janji Pamannya. Sang Paman minta dukungan kompeni Belanda yang berkuasa di
Tambak Oso dan sekitarnya. Persoalan menjadi semakin pelik manakala Paidi, Kusir Dokar Jagoan Kulon Kali yang
merangkap pengawal pribadi Ridwan dilibatkan dalam persoalan keluarga tersebut. Paidi sendiri bersedia menjadi
anak buah Ridwan karena berharap bisa menjadi Suami Saropah anak Ridwan Paman Sarip.
Paidi dan Sarip sebenarnya tidak ingin saling mengusik dan bersedia menjadi Jagoan di tiap wilayahnya tetapi
karena urusan ini menjadi pertarungan yang menantang bagi mereka. Pertarungan Dua jagoan ini terjadi di Sungai
tambak Oso pada malam hari dimana tidak ada penduduk yang mengetahui, tetapi ternyata Senjata Jagang
Baceman lebih tangguh dari Senjata Sarip yang berupa belati. Sarip tewas ditangan Paidi dan dibuang di Sungai
Tambak Oso.
Pikiran Paidi sekarang lebih tenang karena merasa bahwa persaingan yang selama ini terjadi tuntas sudah. Jagoan
Wetan dan Kulon Kali sekarang sudah berganti menjadi Jagoan Tambak Oso. Orang yang mengetahui kematian
Sarip selain Paidi adalah Ibunya Sarip sendiri. Ketika itu Ibu Sarip sedang mencuci pakaian di sungai Sedati, melihat
air sungai berwarna merah darah maka Ibu Sarip mencari sumbernya dan betapa terkejutnya karena ternyata
sumber warna merah sungai Sedati adalah warna darah dari darah anaknya dan seketika itu juga Ibunya menjerit
“Sariiip..tangio leh..durung wayahe awakmu mati..” (Sarip bangun nak! belum waktunya kamu meninggal) dan
seketika itu juga Sarip bangkit dari kematiannya seperti orang bangun dari tidur. Oleh ibunya, Sarip diperintahkan
untuk sementara waktu menyingkir dari kampungnya dan tinggal diujung kampung.
Sarip pun kembali mencari Paidi untuk balas dendam dan bertarung. Dan Akhirnya kali ini Paidi kalah dan terbunuh
oleh Sarip, Tak ayal lagi Paidi akhirnya mati juga ditangan Sarip dan keinginannya meraih predikat sebagai pendekar
Wetan Kali dan Kulon Kali atau Jagoan Tambak Oso pupus sudah!
Merasa wilayahnya tercemar oleh ulah dan perbuatan Sarip yang melakukan pembunuhan dua kali yaitu Lurah
Gedangan dan Paidi, Akhirnya Para Perangkat Desa, Polisi & Kompeni Belanda pun mencari tahu apa gerangan
yang menjadi rahasia kehebatan Sarip sehingga bisa hidup berulang-ulang setiap dia mati. Akhirnya Belanda dapat
mengetahui rahasia kelemahan Sarip dari Ridwan Paman Sarip & Mualim yang membeberkan rahasia adiknya,
akhirnya Sarip dijebak dengan cara menahan Ibunya di rumah Ridwan. Diketahui bahwa kesaktian Sarip itu terletak
pada jeritan kasih sayang Ibunya. Dia akan tetap hidup dengan kasih-sayang Ibunya. Lalu, Ibunya ditangkap dan
dibunuh terlebih dulu oleh kompeni Belanda. Sehingga ketika Tubuh Sarip tertembus peluru kompeni, tiada lagi
jeritan kasih sayang Ibunya yang memanggil namanya untuk bangkit dari matinya. Kemudian Sarip pun mati
menyusul Ibu tercintanya, kemudian dikubur di daerah Gedangan dalam sumur dan ditutupi batu dan tanah oleh
Belanda.
Itulah Sekilas Kisah Sarip Tambak Oso, Jagoan dari Gedangan Sidoarjo Yang Berjuang Melawan Belanda.