sarip tambak oso

9
SARIP TAMBAK OSO Sebagai sebuah legenda populer di Jawa Timur, cerita Sarip Tambak Oso sering dipentaskan oleh banyak ludruk. Sebagaimana juga Lakon “Sakerah” isi ceritanya juga sudah dihapal luar kepala oleh masyarakat penggemar ludruk. Yang kemudian membedakan pementasan lakon yang sama dari setiap ludruk adalah bagaimana teknis pementasan dan menginterpretasikan isi ceritanya. Itulah yang ditunggu-tunggu dari pementasan ludruk “Lerok Anyar” dari Malang di Taman Krida Budaya (TKB) Malang Sabtu lalu (29/6). Diceritakan bahwa Sarip adalah seorang pemuda desa yang dikenal bertemperamen keras namun dia baik hati kepada orang-orang miskin dan tertindas. Di desa Tambak Oso dia hanya hidup berdua dengan ibunya yang sudah menjanda. Pada masa penjajahan Belanda, ketika kisah ini terjadi, rakyat ditindas dibebani pajak berlebihan oleh pemerintah kolonial. Sementara keluarga Sarip tercatat sudah menunggak pajak atas tambak milik almarhum ayahnya. Tentu saja pihak Gubermen terus-terusan menagih pajak tersebut. Sarip merasakan ketidak-adilan karena kenyataannya tambak tersebut digarap dan disewakan kepada Ridwan, pamannya. Logikanya, pamannya itulah yang wajib membayar pajak. Namun Ridwan menolak dengan alasan almarhum ayah Sarip masih punya hutang pada Ridwan. Ketika Lurah Gedangan datang ke rumah Sarip menagih pajak, ibu Sarip mengiba mengharap belas kasihan. Lurah yang sebetulnya tidak membawahi langsung desa Tambak Oso itu naik pitam dan menyiksa ibu Sarip hingga babak belur. Tiba-tiba Sarip datang dan mengetahui hal itu, terjadilah perkelahian berujung tewasnya Lurah Gedangan di tangan Sarip. Gubermen marah besar karena aparatnya terbunuh, sehingga semakin memperkuat alasan memburu Sarip. Sementara itu Ridwan yang sakit hati akibat bertengkar dengan Sarip menyuruh Paidi, jagoan desa, membunuh Sarip. Kebetulan Paidi adalah kusir Ridwan dan memang sudah lama memendam kesumat terhadap Sarip. Sampai akhirnya dalam sebuah perkelahian, Sarip tewas di tangan Paidi. Namun di sinilah letak keistimewaan lakon ini. Sarip tidak bisa dibunuh begitu saja. Meski dia sudah tewas, dia bisa hidup lagi hanya dengan tangisan ibunya: “Durung wayahe Nak…” Dalam sebuah versi diceritakan mayat Sarip dilangkahi ibunya sehingga hidup lagi. Gubermen semakin geram terhadap hal ini sehingga mencari siasat bagaimana betul-betul dapat menghabisi nyawa Sarip. Dan akhirnya, sebagaimana kisah-kisah kepahlawanan pada umumnya, ternyata Sarip dapat dikalahkan lantaran pengkhianatan Mualim, kakak kandung Sarip sendiri. Pengapesan Sarip adalah, dia harus ditembak dengan peluru yang dilumuri minyak babi. Rahasia itulah yang “dijual” Mualim kepada Gubermen. Ibu Sarip tidak dapat menolong lagi karena dia sudah diamankan lebih dulu. Dalam sebuah versi menyebutkan ibu Sarip dibunuh. Mengapa Sarip dapat hidup lagi meski sudah mati? Kemudian ibunya bercerita, ketika Sarip masih dalam kandungan, ayahnya bertapa di Goa Tapa selama beberapa waktu dan baru kembali pada saat anak keduanya telah lahir dengan membawa sebongkah kecil tanah merah “Lemah Abang”. Selanjutnya tanah tersebut dibelah dan diberikan pada Sarip dan Ibunya untuk dimakan. Dikatakan oleh ayah Sarip, bahwa Sarip akan dapat bangkit dari kematian apabila ibunya masih hidup, meskipun ia terbunuh 1.000 kali dalam sehari. * * *

Upload: felicia-wagiri

Post on 27-Oct-2015

320 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Cerita Rakyat Sarip Tambak Oso

TRANSCRIPT

Page 1: Sarip Tambak Oso

SARIP TAMBAK OSO

Sebagai sebuah legenda populer di Jawa Timur, cerita Sarip Tambak Oso sering dipentaskan oleh banyak ludruk.

Sebagaimana juga Lakon “Sakerah” isi ceritanya juga sudah dihapal luar kepala oleh masyarakat penggemar ludruk.

Yang kemudian membedakan pementasan lakon yang sama dari setiap ludruk adalah bagaimana teknis pementasan

dan menginterpretasikan isi ceritanya. Itulah yang ditunggu-tunggu dari pementasan ludruk “Lerok Anyar” dari

Malang di Taman Krida Budaya (TKB) Malang Sabtu lalu (29/6).

Diceritakan bahwa Sarip adalah seorang pemuda desa yang dikenal bertemperamen keras namun dia baik hati

kepada orang-orang miskin dan tertindas. Di desa Tambak Oso dia hanya hidup berdua dengan ibunya yang sudah

menjanda. Pada masa penjajahan Belanda, ketika kisah ini terjadi, rakyat ditindas dibebani pajak berlebihan oleh

pemerintah kolonial. Sementara keluarga Sarip tercatat sudah menunggak pajak atas tambak milik almarhum

ayahnya. Tentu saja pihak Gubermen terus-terusan menagih pajak tersebut. Sarip merasakan ketidak-adilan karena

kenyataannya tambak tersebut digarap dan disewakan kepada Ridwan, pamannya. Logikanya, pamannya itulah

yang wajib membayar pajak. Namun Ridwan menolak dengan alasan almarhum ayah Sarip masih punya hutang

pada Ridwan.

Ketika Lurah Gedangan datang ke rumah Sarip menagih pajak, ibu Sarip mengiba mengharap belas kasihan. Lurah

yang sebetulnya tidak membawahi langsung desa Tambak Oso itu naik pitam dan menyiksa ibu Sarip hingga babak

belur. Tiba-tiba Sarip datang dan mengetahui hal itu, terjadilah perkelahian berujung tewasnya Lurah Gedangan di

tangan Sarip. Gubermen marah besar karena aparatnya terbunuh, sehingga semakin memperkuat alasan memburu

Sarip.

Sementara itu Ridwan yang sakit hati akibat bertengkar dengan Sarip menyuruh Paidi, jagoan desa, membunuh

Sarip. Kebetulan Paidi adalah kusir Ridwan dan memang sudah lama memendam kesumat terhadap Sarip. Sampai

akhirnya dalam sebuah perkelahian, Sarip tewas di tangan Paidi. Namun di sinilah letak keistimewaan lakon ini. Sarip

tidak bisa dibunuh begitu saja. Meski dia sudah tewas, dia bisa hidup lagi hanya dengan tangisan ibunya: “Durung

wayahe Nak…” Dalam sebuah versi diceritakan mayat Sarip dilangkahi ibunya sehingga hidup lagi.

Gubermen semakin geram terhadap hal ini sehingga mencari siasat bagaimana betul-betul dapat menghabisi nyawa

Sarip. Dan akhirnya, sebagaimana kisah-kisah kepahlawanan pada umumnya, ternyata Sarip dapat dikalahkan

lantaran pengkhianatan Mualim, kakak kandung Sarip sendiri. Pengapesan Sarip adalah, dia harus ditembak dengan

peluru yang dilumuri minyak babi. Rahasia itulah yang “dijual” Mualim kepada Gubermen. Ibu Sarip tidak dapat

menolong lagi karena dia sudah diamankan lebih dulu. Dalam sebuah versi menyebutkan ibu Sarip dibunuh.

Mengapa Sarip dapat hidup lagi meski sudah mati? Kemudian ibunya bercerita, ketika Sarip masih dalam

kandungan, ayahnya bertapa di Goa Tapa selama beberapa waktu dan baru kembali pada saat anak keduanya telah

lahir dengan membawa sebongkah kecil tanah merah “Lemah Abang”. Selanjutnya tanah tersebut dibelah dan

diberikan pada Sarip dan Ibunya untuk dimakan. Dikatakan oleh ayah Sarip, bahwa Sarip akan dapat bangkit dari

kematian apabila ibunya masih hidup, meskipun ia terbunuh 1.000 kali dalam sehari.

* * *

Jalan cerita seperti itu sudah diketahui banyak orang. Mereka yang suka nonton ludruk tahu persis bagaimana urutan

ceritanya. Yang membedakan satu ludruk dengan ludruk lainnya adalah versi ceritanya yang berbeda namun tidak

prinsip. Substansinya tetap sama, bahwa Sarip adalah pemuda desa pembela wong cilik, menentang kekuasaan

Gubermen yang korup, suka memberi kepada orang miskin, dan sangat setia serta hormat pada ibunya.

Dalam kaitan dengan kecintaan terhadap ibunya inilah dapat menjadi satu sorotan tersendiri yang menjadi salah satu

substansi lakon ini. Bagaimana seorang ibu sedemikian menyayangi anaknya dan bagaimana seorang anak harus

berbakti dan hormat terhadap ibunya. Ada satu adegan penting ketika Sarip duduk bersimpuh di depan ibunya. Pada

saat itulah Sang Ibu menyampaikan nasehat-nasehat kepada Sarip bagaimana menjalani hidup dengan baik.

Diantaranya, “Ojok ngerusak pager ayu sebab isok ciloko, nek gak mati awake yo mati sandang pangane. Ojok suka

pek pinek barange liyan. Hormatilah ibumu.” Dan sebagainya.

Page 2: Sarip Tambak Oso

Nasehat tersebut disampaikan secara monolog dengan suara mengharukan yang menyayat. Justru pada adegan

inilah yang harus diperhitungkan dengan seksama oleh sutradara ludruk agar seluruh isi monolog itu dapat tersampai

dengan baik kepada penonton. Diupayakan monolog ini disampaikan oleh pemain yang piawai olah vokal sehingga

artikulasinya dapat diandalkan. Disamping juga aspek intonasi, diksi, dan ritme. Tentu saja, jangan sampai ada

gangguan teknis (klip on misalnya) yang menyebabkan ada bagian-bagian monolog yang tidak jelas terdengar. Jujur

saja, adegan monolog yang sangat penting ini belum sepenuhnya berhasil dibawakan oleh Ludruk Lerok Anyar.

Substansi lainnya dalam lakon ini adalah spirit perlawanan terhadap korupsi dan tindakan sewenang-wenang

penguasa. Seorang Sarip bukan hanya harus berhadapan frontal dengan kekuasaan Gubermen, melainkan juga

terhadap egoisme Ridwan, pamannya sendiri, serta arogansi Paidi yang sok jagoan.

Spirit perlawanan ini tidak hanya muncul utuh dari sosok Sarip melainkan juga celetukan isteri Ridwan terhadap

suaminya, monolog Mualim, materi lawakan, bahkan menjadi bahan kidungan. Salah satu kidungan tentang

semangat anti korupsi itu misalnya, menyebut bahwa korupsi adalah “penggawean sing enteng, gak ngetokno

kringet, cukup karo pucuke pulpen”. Juga kidungan pasemon seperti, “Iwak asin dibumbu rujak, regane bensin sak iki

mundhak.”

Betapa arogannya Ridwan yang menyuruh Paidi agar membunuh Sarip tanpa takut risiko hukum. Ridwan yakin betul,

bahwa hukum itu bisa dibeli. Tinggal, “wani piro?” Isteri Ridwan juga memprotes arogansi suaminya yang mengklaim

sebagai pemimpin rumah tangga namun menolak dikritik. “Wong wedok iku surgo nunut neroko katut,” kata Ridwan.

Maka sang isteripun membalas, “Opo dadine pemimpin nek gak gelem dikritik karo diprotes. Nek pancene surga

nunut neraka katut, makane bojo dikritik supaya aku gak katut nang neroko”.

Berbagai kritik muncul dalam berbagai kesempatan lain. Misalnya protes terhadap penyelewengan pajak muncul

dalam dialog: “Pajak bukan untuk membangun jalan tapi nggedekno wetenge dewe”. Penertiban dilakukan secara

tebang pilih, tergantung siapa yang mampu membayar. “Katakan tidak pada korupsi, nyatane preet….” Bahkan koran

pun tidak luput dari sasaran kritik karena tidak memberi ruang yang memadai untuk berita ludruk. “Mosok ludruk ae

jange impor pisan…..”

Jika penonton tertawa ngakak ketika pemain melontarkan banyolan, maka pada saat kritik-kritik sosial itu meluncur

penonton bertepuk tangan yang menunjukkan bahwa ada aspirasi mereka yang terwakili dalam kritik tersebut.

Memang di sinilah kekuatan lakon Sarip Tambak Oso ini. Kalau sutradara menyadari betul kekuatan ini, maka

lontaran dan materi kritik dapat digarap lebih serius sehingga tidak terkesan asal-asalan. Lakon Sarip ini

sesungguhnya dapat dijadikan pijakan untuk merepresentasikan situasi negeri ini sekarang. Bayangkan kalau

misalnya lakon ini dibawakan oleh Ludruk Mahasiswa dan dipentaskan di lingkungan menengah, pasti banjir kritik

sosial akan berbuahkan tepuk tangan berkepanjangan.

* * *

Pementasan Ludruk Lerok Anyar di TKB Malang ini memang merupakan program rutin Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jatim melalui UPT Taman Budaya Jatim. Lantaran bukan program mandiri, maka

acara ini dibatasi dan diatur oleh sejumlah formalitas yang memang sudah seharusnya dilakukan. Karena itu justru

pihak ludruk sendirilah yang harus pandai-pandai menyiasati agar apa yang diinginkan dapat sesuai dengan format

yang tersedia. Sayangnya, sepanjang pengalaman saya mengamati program pentas rutin ludruk ini, hampir semua

ludruk gagal mempertemukan kepentingan yang berbeda itu. Tidak terkecuali Ludruk Lerok Anyar.

Sutradara Marsam sudah berupaya menampilkan adanya kreativitas sebagai sebuah tontonan. Adegan tari Remo

tidak dibawakan secara tunggal olehnya sendiri meski kebetulan dia juga penari Remo. Marsam mengkreasi dengan

tarian kelompok, lima orang yang tidak sekadar bergerak seragam, dia pemimpinnya. Adegan Bedayan juga diatur

sedemikian rupa dengan dua orang tampil dulu, diikuti tujuh penampil pawestri lainnya, dan bukan berdiri sederet

sebagaimana biasanya. Kreativitas seperti ini layak diapresiasi.

Hanya saja, faktor sangat penting yang harus diperhatikan adalah masalah manajemen waktu. Sutradara yang baik,

harus mampu mengatur manajemen waktu sehingga tidak ada bagian yang berkepanjangan atau malah terpangkas.

Dalam hal ini adegan lawak kentara sekali sangat bertele-tele dan menyita banyak waktu, apalagi dengan materi

lawakan yang sudah basi. Sudah puluhan tahun banyolan seperti itu disampaikan dalam ludruk, membosankan.

Page 3: Sarip Tambak Oso

Sementara bagian sangat penting yang justru hilang adalah “mengapa Sarip akhirnya dapat tewas terbunuh?”

Lantaran jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.30 maka lakon harus diakhiri, sehingga terpaksa jalannya cerita

dipercepat dan menghilangkan adegan yang menjadi substansi lakon ini. Tidak ada adegan pengkhianatan Mualim

terhadap adiknya sendiri, Sarip, sehingga jagoan sakti itu dapat terbunuh. Tidak ada monolog Sarip menjelang

ajalnya, yang menyebut-nyebut soal heroisme dan nasionalisme. Padahal monolog menjelang ajal inilah yang

menjadi pesan sesungguhnya lakon Sarip ini sehingga pemaknaan terhadap sosok Sarip bukan sekadar dipahami

permukaannya saja, yaitu sebatas lelaki brandalan.

Lakon yang sebetulnya dinamis ini agaknya juga belum berhasil dibangun kedinamisannya di atas panggung agar

penonton terhanyut menahan nafas. Masih terkesan lakon mengarus pada jalannya cerita belaka. Mungkin perlu

sentuhan tangan-tangan seniman teater untuk membangun spirit dinamika ini. atau, jangan-jangan pemain ludruk

yang sudah kawakan itu sebetulnya mampu melakukannya, hanya tidak ada yang melecutnya.

Lepas dari beberapa kelemahan, pentas rutin ini layak diapresiasi, sebab untuk bisa mendapat giliran pentas tidak

gampang, ada proses kurasi tersendiri. Hanya kelompok ludruk yang betul-betul eksis, bukan sebatas punya nomor

induk kesenian yang bisa tampil. Lagi pula pementasan ini juga dapat menjadi variasi dari order tanggapan dari

orang punya hajat. Bagi kelompok ludruk yang laris, bisa jadi pendapatannya lebih kecil dibanding tanggapan, tetapi

bagi kebanyakan kelompok ludruk lainnya, sudah merupakan berkah tersendiri. (*)

Cerita Sarip Tambak Oso _ Cerita Rakyat Jawa TimurPosted by Tegar heryantoJul 25, 20130 komentar

Legenda Sarip Tambak Oso terjadi ketika Belanda dengan kompeninya masih menjajah ibu

pertiwi..tidak ada catatan tahun sejarah peristiwa perlawanan Sarip Tambak Oso terhadap kompeni

Belanda karena mungkin tokoh Sarip hanyalah “kerikil-kerikil kecil” sejarah bangsa Indonesia dalam

melawan Belanda. 

Dulu cerita ini sering dimainkan dalam kesenian LUDRUK JAWA TIMURAN, dan setiap orang Sidoarjo

Page 4: Sarip Tambak Oso

pasti tau dan kenal siapa SARIP TAMBAK OSO!!

SARIP TAMBAK OSO adalah nama pemuda 

kampung yang tinggal di wetan (timur) sungai Sedati Sidoarjo. Dia dikenal sebagai seorang pendekar

yang bertemperamen kasar tetapi sangat perhatian pada penderitaan orang-orang miskin yang

menjadi korban pemungutan pajak oleh Belanda. 

Sarip Tambak Oso memiliki ikatan batin dengan ibunya, seorang janda tua yang miskin. Ketika masih

kecil Sarip Tambak Oso memakan “lemah abang” (Tanah Merah) bersama ibunya. Lemah Abang

tersebut adalah pemberian ayahnya, ” selama ibunya masih hidup, Sarip tidak akan pernah bisa mati

meski dia terbunuh 1000x dalam sehari “. 

Sarip  memiliki paman dari jalur ayahnya, dimana dia telah mengambil harta warisan berupa tambak

peninggalan ayah Sarip untuk dimanfaatkan sendiri. 

Suatu hari datang lurah Gedangan dan kompeni Belanda kerumah Sarip dengan maksud ingin menarik

pajak tambak pada ibunya Sarip. Karena tambak yang dikelolah paman Sarip adalah atas nama

Ayahnya Sarip. 

Sarip ketika itu tidak ada dirumah sehingga tidak mengetahui peristiwa tersebut. Lurah Gedangan

dibantu kompeni Belanda meminta paksa pajak tanah pada ibunya Sarip yang tidak mampu

membayarnya. Ibunya Sarip dihajar, dipukul dan ditendang oleh lurah Gedangan dibantu oleh kompeni

Belanda.

 Ibunya Sarip yang sudah tua rentah menangis dan merintih memanggil-manggil Sarip yang tidak ada

di rumah waktu itu ” Sariip reneoh leh..mbokmu dihajar londo le..Sarriiipp “  (terjm. ” Sariip…kesinilah

nak..ibumu sedang dipukuli Belanda”). Sarip yang ketika itu tidak berada dirumah seolah mendengar

rintihan ibunya dan dengan ilmu kesaktiannya segera kembali kerumahnya dan menemukan Ibunya

sedang dianiaya oleh lurah Gedangan dan kompeni Belanda. Segera dicabutnya pisau yang selalu

terselip dipinggang dan dibunuhnya lurah Gedangan dan sebagian kompeni Belanda,sisanya melarikan

diri. Sejak saat itu Sarip Tambak Oso menjadi buronan kompeni Belanda.

Suatu hari Sarip mendatangi pamannya yang telah mengambil tanah tambak peninggalan orang

tuanya, tetapi tidak diberikan oleh pamannya sehingga terjadi perkelahian antara Sarip dengan

Pamannya. Karena merasa terdesak dan kalah, pamannya melarikan diri menuju kulon kali Sedati

menemui salah satu pendekar yang bernama Paidi.

Paidi adalah pendekar kulon (Barat) kali Sedati yang mempunyai senjata andalan berupa Jagang

karena ia berprofesi sebagai kusir delman. Paidi senang pada putri pamannya Sarip yang bernama

Saropah sehingga ia mau membantu pamannya Sarip.

 Paidi akhirnya pergi mendatangi Sarip dengan maksud untuk menuntut balas perlakuan Sarip pada

pamannnya. Sarip dan Paidi akhirnya bertemu ditepi sungai Sedati, mereka akhirnya berkelahi dengan

ilmu kesaktiannya. Sarip kalah dan terbunuh, jasadnya dibuang oleh Paidi ke sungai Sedati. Ketika itu

ibunya Sarip sedang mencuci pakaian di sungai Sedati, melihat air sungai berwarna merah darah

Page 5: Sarip Tambak Oso

maka ibunya Sarip mencari sumbernya dan betapa terkejutnya karena ternyata sumber warna merah

sungai Sedati adalah warna darah dari darah anaknya dan seketika itu juga ibunya menjerit ”

Sariiip..tangio 

leh..durung wayahe awakmu mati..” (Sariip bangun nak! belum waktunya kamu meninggal) dan

seketika itu juga Sarip bangkit dari kematiannya seperti orang bangun dari tidur. Oleh ibunya, Sarip

diperintahkan untuk sementara waktu menyingkir dari kampungnya dan tinggal diujung kampung.

Sarip pun mencari Paidi kembali dan bertarung dimana kali ini Paidi kalah dan terbunuh oleh Sarip. 

Sebagai buronan Belanda, Sarip sering merampok rumah-rumah tuan tanah Belanda dan orang kaya

yang menjadi antek-antek Belanda, dimana hasil rampokannya ia bagikan pada rakyat miskin yang

ada didaerahnya. Belanda merasa kewalahan dengan sepak terjang Sarip yang semakin berani

melawan Belanda. 

Belanda pun menyewa pendekar-pendekar untuk melawan Sarip, tapi tidak ada yang bisa

mengalahkannya karena setiap Sarip mati pasti dia akan hidup kembali dan berulang-ulang terjadi.

Belanda pun mencar tahu apa gerangan yang menjadi rahasia kehebatan Sarip sehingga bisa hidup

berulang-ulang setiap dia mati. 

Akhirnya Belanda dapat mengetahui rahasia kelemahan Sarip dari pamannya yang merupakan

saudara seperguruan ayahnya Sarip bahwa letak kesaktiannya Sarip ada di ibunya. Belanda akhirnya

menangkap ibunya Sarip dan menembaknya. Sarip pun terdesak dan akhirnya tertangkap oleh

Belanda. 

Oleh Belanda Sarip dijatuhi hukuman mati dengan dikubur hidup-hidup dalam sumur dan ditutupi batu

dan tanah oleh Belanda. Begitulah kisah Sarip Tambak Oso seorang pemuda pendekar Sidoarjo yang

gugur melawan Belanda.

Di Hari Ibu, ketika kita membaca cerita-cerita dari negeri seberang tentang kasih-sayang Ibu yang menggugah hati, kita mungkin tak sadar bahwa di negeri inipun banyak cerita tentang cinta tulus sekaligus keperkasaan sang Ibu kita sendiri. Salah satunya seperti cerita rakyat(folklore) yang biasa dipentaskan dalam seni Ludruk ini. Jeritan kasih sayang sang Ibu yang mampu membangkitkan sang anak dari kematiannya. Sesungguhnya hikmah cerita ini ingin menggambarkan betapa kasih sayang sang Ibu mampu menembus batas-batas yang tak terbayangkan. Suara kasih sang Ibu mampu menerangi ruang-ruang kalbu dan "menghidupkan" anaknya. Jeritan kasih Ibu mampu didengar oleh jiwa-jiwa anaknya yang melayang tanpa batas. Dan doa Ibu diijabah. (Pulung Chahyono, www.pulung-online.blogspot.com)

Page 6: Sarip Tambak Oso

Begitu banyak versi tertulis tentang seorang Jagoan Sidoarjo Sarip Tambak Oso, namun tak ada salahnya bila kita

kembali mengenang jasa perjuangan dan memaknai perjuangan Sarip dengan kebesaran cintanya kepada Ibunya.

Sarip Tambak Oso adalah nama seorang pemuda kampung yang tinggal di wilayah Timur yaitu sekitaran sungai di

dusun Tambak Oso sekarang berada di sekitaran Gedangan,Waru & Sedati Sidoarjo. Dahulu Kala Dusun Tambak

Oso sendiri dibagi menjadi Dua wilayah yaitu Wetan Kali (Sungai Bagian Timur) dan Kulon Kali (Sungai Bagian

Barat). Wilayah Kulon Kali dikuasai oleh seorang Jago Silat yang berprofesi sebagai Kusir Dokar bernama Paidi yang

memiliki senjata andalan yaitu Jagang Baceman. Dan wilayah Wetan kali dikuasai oleh Sarip sendiri.

Sejak Kecil Sarip tak pernah mengenal dekat siapakah sosok Ayahnya sebenarnya. Ayahnya meninggal sejak Sarip

masih kecil dan Sarip Tumbuh hanya dengan kasih sayang Ibunya. Doa dan cinta kasih sang Ibu selalu berada

dalam jiwa Sarip. Dialah satu-satunya orang tua Sarip setelah Bapaknya meninggal ketika dia masih kecil. Konon,

ayah Sarip adalah keturunan dari salah seorang pejuang dalam kancah perang Diponegoro. Ayah Sarip seorang

jago silat yang melakukan semedi sehingga memiliki ilmu kanuragan. Ayah Sarip melakukan semedi di suatu tempat

basah tetapi tanahnya tetap kering. Dan letaknya berada di gua-gua di Sungai yang membelah Dusun Tambak Oso.

Sebelum meninggal Ayah Sarip sempat memberi Lemah Abang atau (Tanah Merah) kepada Sarip dan Ibunya untuk

dimakan. Setelah memakan “Lemah Abang” bersama Ibunya, Sarip Tambak Oso memiliki ikatan batin dengan

Ibunya. Selama Ibunya masih hidup, Sarip tidak akan pernah bisa mati meski dia terbunuh 1000 kali dalam sehari.

Selalu Tertanam dalam ingatan Sarip ketika Ibunya menggendongnya ke pasar untuk menjual hasil kebun, menjolok

jambu untuknya, dan mengusap ingusnya dengan ujung jariknya yang lusuh. Sang Ibu yang selalu menunggu Sarip

tertidur pulas dan merapikan selimut sarungnya sebelum dia sendiri memejamkan matanya. Pagi hari sang Ibu selalu

memetik sayuran segar di kebun belakang rumahnya sebelum Sarip bangun, dan berusaha menyajikan sarapan

terbaik yang dia bisa dapatkan untuk anaknya. Semua itu dia lakukan demi cintanya kepada Sarip kecil.

Keadaan keluarga yang miskin dan selalu tertindas, menjadikan Sarip kecil tumbuh menjadi seorang pemuda yang

berparas keras. Namun Sarip dikenal sangat perhatian pada penderitaan orang-orang miskin di lingkungannya yang

menjadi korban pemungutan pajak oleh Belanda dan Antek-antek maupun Lintah Darat. Ketidaksukaannya terhadap

Belanda dan Antek-anteknya tersebut dilakukan menurut caranya sendiri yaitu mencuri harta benda orang yang

bekerjasama dengan Belanda dan kemudian hasilnya dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Perbuatan

Sarip ini sangat meresahkan para pejabat Belanda serta pendukungnya yang merupakan beberapa petinggi desa.

Teracatat Hanya Lurah Tambak Oso yang tidak pernah mempermasalahkan Sarip, karena Sarip menjadi solusi

rakyat mengatasi kemiskinan.

Suatu Saat Sarip memutuskan untuk berjuang demi Ibunya dengan merantau meninggalkan desa Tambak Oso di

pojok timur Gedangan Sidoarjo sambil mencari jati dirinya. Baru Setahun pergi merantau, Ibu Sarip menyerahkan

tambak warisan ayahnya kepada Ridwan, paman Sarip untuk dikelola, dengan perjanjian Pamannya yang membayar

Page 7: Sarip Tambak Oso

pajak dan Ibu Sarip mendapat bagian sekadarnya dari hasil tambak. Namun Ridwan tak menepati janji, tak mau

membayar pajak dan tak sudi memberi bagian hasil tambak kepada Ibu Sarip. Hampir tiga tahun hasil Tambak

diambil Paman Sarip tetapi pajak dibebankan ke Ibu Sarip, bahkan meminjam uang untuk membayar pajakpun tidak

diberi oleh Pamannya.

dan Ketika Asisten Wedana memerintahkan Lurah Gedangan menagih pajak tambak milik Ayah Sarip. Awalnya

Lurah Gedangan menolak tugas dengan alasan Tambak Oso bukan daerah kekuasannya, namun perintah tetaplah

perintah. Hasilnya, karena Lurah Gedangan termasuk gila hormat, maka tugas dilaksanakan meskipun akhirnya

harus tewas ditangan Sarip. Pembunuhan terhadap Lurah Gedangan menjadikan Sarip sebagai buronan. Mualim

kakak Sarip akhirnya tidak mengijinkan Sarip tinggal dirumahnya, karena takut di dakwa melindungi buronan. Saat

jadi Buronan Sarip kembali sering merampok rumah-rumah Tuan Tanah Belanda dan orang kaya yang menjadi

antek-antek Belanda, seperti dulu sebelum merantau. Saat itu Belanda merasa kewalahan dengan sepak terjang

Sarip yang semakin berani melawan Belanda. Belanda pun menyewa pendekar-pendekar untuk melawan Sarip, tapi

tidak ada yang bisa mengalahkan Sarip dan teman-temannya.

Karena keserakahan dan kelicikan, Paman Sarip membuat perjanjian rahasia dengan Pejabat Belanda yaitu Kapten

Hansen. Perjanjian antara Kapten Hansen dan Paman Sarip menjadi sebuah kerugian besar bagi Ibu Sarip. Dengan

alasan bahwa Tambak itu merupakan Milik Ibu Sarip seharusnya semua pajak ditanggung ibu Sarip, padahal Ibu

Sarip dalam beberapa bulan terakhir tidak mendapatkan setoran hasil dari Ridwan sebagai Pengelola. Paman Sarip

berani melakukan hal ini karena tahu bahwa Sarip sedang tidak berada di Desa tersebut. Dengan perilaku Ridwan,

Sarip menjadi berang dan berusaha menagih uang yang seharusnya menjadi Hak Ibunya. Dan masalah timbul ketika

Sarip pulang untuk menagih janji Pamannya. Sang Paman minta dukungan kompeni Belanda yang berkuasa di

Tambak Oso dan sekitarnya. Persoalan menjadi semakin pelik manakala Paidi, Kusir Dokar Jagoan Kulon Kali yang

merangkap pengawal pribadi Ridwan dilibatkan dalam persoalan keluarga tersebut. Paidi sendiri bersedia menjadi

anak buah Ridwan karena berharap bisa menjadi Suami Saropah anak Ridwan Paman Sarip.

Paidi dan Sarip sebenarnya tidak ingin saling mengusik dan bersedia menjadi Jagoan di tiap wilayahnya tetapi

karena urusan ini menjadi pertarungan yang menantang bagi mereka. Pertarungan Dua jagoan ini terjadi di Sungai

tambak Oso pada malam hari dimana tidak ada penduduk yang mengetahui, tetapi ternyata Senjata Jagang

Baceman lebih tangguh dari Senjata Sarip yang berupa belati. Sarip tewas ditangan Paidi dan dibuang di Sungai

Tambak Oso.

Pikiran Paidi sekarang lebih tenang karena merasa bahwa persaingan yang selama ini terjadi tuntas sudah. Jagoan

Wetan dan Kulon Kali sekarang sudah berganti menjadi Jagoan Tambak Oso. Orang yang mengetahui kematian

Sarip selain Paidi adalah Ibunya Sarip sendiri. Ketika itu Ibu Sarip sedang mencuci pakaian di sungai Sedati, melihat

air sungai berwarna merah darah maka Ibu Sarip mencari sumbernya dan betapa terkejutnya karena ternyata

sumber warna merah sungai Sedati adalah warna darah dari darah anaknya dan seketika itu juga Ibunya menjerit

“Sariiip..tangio leh..durung wayahe awakmu mati..” (Sarip bangun nak! belum waktunya kamu meninggal) dan

seketika itu juga Sarip bangkit dari kematiannya seperti orang bangun dari tidur. Oleh ibunya, Sarip diperintahkan

untuk sementara waktu menyingkir dari kampungnya dan tinggal diujung kampung.

Sarip pun kembali mencari Paidi untuk balas dendam dan bertarung. Dan Akhirnya kali ini Paidi kalah dan terbunuh

oleh Sarip, Tak ayal lagi Paidi akhirnya mati juga ditangan Sarip dan keinginannya meraih predikat sebagai pendekar

Wetan Kali dan Kulon Kali atau Jagoan Tambak Oso pupus sudah!

Merasa wilayahnya tercemar oleh ulah dan perbuatan Sarip yang melakukan pembunuhan dua kali yaitu Lurah

Gedangan dan Paidi, Akhirnya Para Perangkat Desa, Polisi & Kompeni Belanda pun mencari tahu apa gerangan

yang menjadi rahasia kehebatan Sarip sehingga bisa hidup berulang-ulang setiap dia mati. Akhirnya Belanda dapat

Page 8: Sarip Tambak Oso

mengetahui rahasia kelemahan Sarip dari Ridwan Paman Sarip & Mualim yang membeberkan rahasia adiknya,

akhirnya Sarip dijebak dengan cara menahan Ibunya di rumah Ridwan. Diketahui bahwa kesaktian Sarip itu terletak

pada jeritan kasih sayang Ibunya. Dia akan tetap hidup dengan kasih-sayang Ibunya. Lalu, Ibunya ditangkap dan

dibunuh terlebih dulu oleh kompeni Belanda. Sehingga ketika Tubuh Sarip tertembus peluru kompeni, tiada lagi

jeritan kasih sayang Ibunya yang memanggil namanya untuk bangkit dari matinya. Kemudian Sarip pun mati

menyusul Ibu tercintanya, kemudian dikubur di daerah Gedangan dalam sumur dan ditutupi batu dan tanah oleh

Belanda.

Itulah Sekilas Kisah Sarip Tambak Oso, Jagoan dari Gedangan Sidoarjo Yang Berjuang Melawan Belanda.