satu suku dua agama

24
SATU SUKU DUA AGAMA (Studi Dinamika Komunikasi Masyarakat Islam dan Kristen di Desa Palak Bengkerung Kabupaten Bengkulu Selatan Propinsi Bengkulu) Robeet Thadi, S.Sos., M.Si Absatrak Komunikasi antaragama yang melibatkan manusia sebagai pelakunya melibatkan dua nilai yang saling terikat, yakni nilai agama dan nilai budaya. Kedua nilai ini akan menentukan bagaimana pola komunikasi masyarakat berbeda agama. Kajian ini ingin merunut sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam dan Kristen di desa Palak Bengkerung kecamatan Air Nipis Bengkulu Selatan. Dari konteks komunikasi mengungkap pola komunikasi antara masyarakat Islam dan Kristen di desa Palak Bengkerung kecamatan Air Nipis pada berbagai aspek kehidupan. Sementara secara kognisi melalui persepsi, sikap dan tindakan memunculkan klasifikasi sikap penganut agama. Kesemua itu bermuara kepada model komunikasi antar agama di desa Palak Bengkerung. Kata Kunci: Agama, Komunikasi, Interaksi. Pendahuluan Indonesia merupakan bangsa yang paling majemuk alih-alih pluarlitas di dunia ini, fenomena ini merupakan suatu kenyataan yang tak terbantahkan karena hal tersebut telah menjadi bagian dari sejarah panjang perjalanan hidup bangsa Indonesia. Dinamika hidup berdampingan diantara perbedaan menjadi warna kehidupan tersendiri bagi perjalanan bangsa ini. Bhineka Tunggal Ika 1

Upload: yulli-ermi

Post on 26-Jun-2015

194 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: Satu Suku Dua Agama

SATU SUKU DUA AGAMA(Studi Dinamika Komunikasi Masyarakat Islam dan Kristen di Desa Palak Bengkerung Kabupaten Bengkulu Selatan Propinsi Bengkulu)

 

Robeet Thadi, S.Sos., M.Si

Absatrak

Komunikasi antaragama yang melibatkan manusia sebagai pelakunya melibatkan dua nilai yang saling terikat, yakni nilai agama dan nilai budaya. Kedua nilai ini akan menentukan bagaimana pola komunikasi masyarakat berbeda agama. Kajian ini ingin merunut sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam dan Kristen di desa Palak Bengkerung kecamatan Air Nipis Bengkulu Selatan. Dari konteks komunikasi mengungkap pola komunikasi antara masyarakat Islam dan Kristen di desa Palak Bengkerung kecamatan Air Nipis pada berbagai aspek kehidupan. Sementara secara kognisi melalui persepsi, sikap dan tindakan memunculkan klasifikasi sikap penganut agama. Kesemua itu bermuara kepada model komunikasi antar agama di desa Palak Bengkerung.

 

Kata Kunci: Agama, Komunikasi, Interaksi.

 

Pendahuluan

Indonesia merupakan bangsa yang paling majemuk alih-alih pluarlitas di dunia ini,

fenomena ini merupakan suatu kenyataan yang tak terbantahkan karena hal tersebut telah

menjadi bagian dari sejarah panjang perjalanan hidup bangsa Indonesia. Dinamika hidup

berdampingan diantara perbedaan menjadi warna kehidupan tersendiri bagi perjalanan bangsa

ini. Bhineka Tunggal Ika barangkali inilah konsep ideal dalam mempersatukan bengsa Indonesia

dari berbagai sisi kehidupan dalam mengikat/penyatuan beragam bahasa, suku bangsa (etnis) dan

agama.

Sejarah panjang pluralitas kehidupan bernegara terutama suku/etnis dan agama di

Indonesia, sarat dengan dinamika. Pada masa pemerintahan Orde Baru misalnya, kehidupan

masyarakat berjalan apa adanya. Orang dengan suku, bahasa, budaya, kepercayaan dan agama

yang berbeda, pada umumnya bisa hidup berdampingan dengan penuh kerukunan. Meskipun

gesekan dan konflik kerap kali terjadi, namun tragedi itu dapat diantisipasi dengan cepat oleh

1

Page 2: Satu Suku Dua Agama

pemerintahan yang represif saat itu. Bentuk hubungan antar kelompok di masyarakat berubah

seiring dengan pergantian rezim, dari pemerintahan Orde Baru ke pemerintahan Orde Reformasi.

Dibukanya ‘kran’ kebebasan saat masa reformasi telah membuat konflik di tanah air

makin marak. Di antara konflik yang pernah terjadi adalah koflik Ketapang (Desember 1998),

Kupang (Desember, 1998), Ambon (1998-2004), Sampit (1999), Mataram (Januari, 2000), Poso

(2003-2004), dan Sulawesi Barat (2004). Pada umumnya, semua konflik di atas dilatar belakangi

oleh beberapa aspek, antara lain, faktor politik, ketegangan antar etnik, sentimen keagamaan,

kesenjangan budaya dan kesenjangan ekonomi. Meskipun tidak semua konflik yang muncul

berlatar belakang sentimen keagamaan, namun kebanyakan konflik yang terjadi selalu

melibatkan simbol dan atribut keagamaan. Tempat-tempat ibadah seperti gereja dan masjid

selalu menjadi sasaran pelampiasan kemarahan para perusuh. Bahkan simbol dan semboyan

keagamaan seperti perang jihad, misi suci, selalu digunakan untuk mengobarkan semangat dan

integritas perlawanan.

Konflik budaya (termasuk di dalamnya agama) adalah bentuk konflik baru yang akan

mewarnai perjalanan hidup masyarakat modern setelah berakhirnya masa perang dingin.

Setidaknya inilah yang termuat dari tesis kontroversial yang diberikan oleh Samuel Hantington

dalam bukunya The Clash of Civilizations and the Remaking of Word Order. Menurut

Hantington (2003, 8-10), bahwa faktor ideologi, politik dan ekonomi tidak lagi menjadi faktor

fundamental penyebab terjadinya konflik, namun benturan peradaban akan mewarnai fenomena

kehidupan global. Lebih lanjut Hantintong mengatakan bahwa agama merupakan faktor utama

dalam perbedaan antara peradaban, yang juga berkaitan dengan sejarah, bahasa, budaya, dan

tradisi.

Idealnya agama memberikan kontribusi yang positif dalam kehidupan manusia keseluruhan di

dunia, di tengah semakin banyaknya persoalan dan tantangan yang muncul dalam kehidupan

kontemporer. Menurut Sugiharto (dalam Andito (ed), 1998: 29), minimal ada tiga tantangan

yang dihadapi oleh agama. Pertama, dalam menghadapi persoalan kontemporer yang ditandai

disorientasi nilai dan degradasi moralitas, maka agama ditantang untuk lebih tampil sebagai

suara moral yang otentik. Kedua, siap atau tidak, agama harus menghadapi kecenderungan

pluralisme, mengolahnya dalam kerangka teologi baru, dan mewujudkanya dalam aksi-aksi kerja

sama plural. Ketiga, bila agama ingin berperan penting dalam situasi kemelut posmodern ia

mesti tampil dengan cara apapun, sebagai pelopor perlawanan terhadap segala bentuk penindasan

2

Page 3: Satu Suku Dua Agama

dan ketidak adilan, termasuk “ketidakadilan kognitif,” yang biasanya diciptakan antara lain

justru oleh agama-agama itu sendiri.

Peran ideal agama di tengah beragamnya masalah kehidupan masyarakat tersebut masih susah

diwujudkan, karena disebabkan oleh beberapa faktor (Sugiharto dalam Andito, 1998: 31-32):

Pertama, kemelut dalam tubuh masing-masing agama sendiri sering kali memproyeksi keluar.

Sikap agresif berlebihan terhadap pemeluk agama lain sering kali merupakan ungkapan yang tak

disadari dari chaos dan ketegangan dalam tubuh agama itu sendiri. Kedua, paham tentang

kemutlakan Tuhan –yang umumnya dianut oleh hampir semua agama besar- juga memudahkan

orang untuk mengidentikkan kemutlakan itu dengan kemutlakan agamanya. Keyakinan macam

ini, betapapun masuk akalnya, secara psikologis memudahkan orang untuk melegitimasi segala

tindakan kekerasannya sebagai “dikehendaki oleh Tuhan.” Ketiga, keyakinan bahwa segala

tindakan kekerasan terhadap agama lain akan diganjar pahala oleh Tuhan, tentu saja

menyebabkan kekerasan terhadap umat yang beragama lain akan menjadi bagian dari keutamaan

moral. Keempat, dengan naik daunnya posisi agama dalam konstelasi peradaban kini, agama pun

menjadi rawan untuk ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik, ekonomi dan kultural

kelompok-kelompok tertentu atau pribadi.

Realitas kehidupan beragama (termasuk hubungan di antara umat beragama) adalah suatu

fenomena yang selalu menarik untuk dikaji. Apalagi fenomena tersebut sarat dengan nuansa

yang ‘unik’ bila dibandingkan dengan fenomena (wilayah) lainnya. Hal inilah yang penulis lihat

di desa Palak Bengkerung Kecamatan Air Nipis (daerah yang digunakan sebagai lokasi kajian).

Desa Palak Bengkerung adalah satu-satunya desa di kecamatan Air Nipis (bahkan Kabupaten

Bengkulu selatan) yang didiami oleh dua komunitas agama yang berbeda (Islam dan Kristen),

namun mereka berasal dari suku yang sama, yaitu suku Serawai, bahkan ada dalam satu keluarga

memiliki agama yang berbeda (Islam dan Kristen). Dalam sejarah kehidupan mereka, hingga

akhir ini menunjukkan nuansa yang relatif damai ketimbang wilayah-wilayah yang memiliki

pluralitas agama di wilayah Indonesia lainnya.

Fenomena komunikasi dan interaksi yang terjadi antara komunitas Kristen dan Islam di suatu

desa di kecamatan Air Nipis kabupaten Bengkulu Selatan adalah suatu realitas hidup yang

menarik untuk dikaji. Setidaknya, dari kajian ini akan ditemukan bagaimana bentuk dan pola

komunikasi yang berlangsung di antara pemeluk agama (Islam dan Kristen), termasuk

bagaimana persepsi mereka tentang anggota masyarakat yang berlainan agama. Yang tidak kalah

3

Page 4: Satu Suku Dua Agama

pentingnya adalah bagaimana perasaan dan pengalaman yang mereka rasakan selama hidup

berdampingan. Lebih jauh lagi, kajian ini ingin mengetahui bagaimana kontribusi aspek budaya

sosial (budaya suku/etnis) yang sama-sama dianut oleh mereka (budaya Serawai) terhadap corak

interaksi yang berlangsung.

Fokus masalah dalam kajian ini adalah bagaimana dinamika komunikasi antara

masyarakat Islam dan masyarakat Kristen di kecamatan Air Nipis. Untuk mengetahui tentang hal

tersebut, sekaligus agar lebih sistimatisnya kajian ini, berikut akan diurutkan beberapa

permasalahan kajian. Pertama, bagaimana sejarah hubungan antaragama (Islam dan Kristen) di

Desa Palak Bengkerung kecamatan Air Nipis kabupaten Bengkulu Selatan? Kedua, bagaimana

pola interaksi/komunikasi sosial antara masyarakat Islam dan Kristen di desa Palak Bengkerung

kecamatan Air Nipis kabupaten Bengkulu Selatan? Ketiga, bagaimana kognisi (pemahaman)

masyarakat Islam dan Kristen Palak Bengkerung mengenai ajaran agamanya dan pandangannya

terhadap agama dan pemeluk agama lain?

Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan kajian ini berupaya untuk melakukan tiga hal.

Pertama, Sesi sejarah, diharapkan dapat merunut sejarah masuk dan berkembangnya agama

Islam dan Kristen di kecamatan Air Nipis khususnya desa Palak Bengkerung. Kedua, konteks

interaksi sosial/komunikasi sosial, kajian ini diharapkan dapat mengungkap fenomena

hubungan/komunikasi antara masyarakat Islam dan Kristen di desa Palak Bengkerung kecamatan

Air Nipis pada berbagai aspek kehidupan. Ketiga, dapat menggali kognisi (pemahaman) masing-

masing pemeluk agama (Islam dan Kristen) mengenai ajaran agamanya (terutama yang berkaitan

dengan konsep hubungan antaragama). Yang lebih penting dari kajian ini adalah ingin

mengetahui bagaimana pandangan masing-masing pemeluk agama terhadap agama dan umat

agama lainnya.

Meskipun kajian ini menggunakan umat beragama sebagai subyek kajian, namun studi ini

tidak masuk pada wilayah teologis dari masing-masing agama (Islam dan Kristen). Kajian ini

hanya pada wilayah sosial, dimana kedua komunitas agama tersebut berinteraksi. Sedangkan

kajian/wawancara yang mendalam terhadap masing-masing pemeluk agama, hanya untuk

mendapatkan informasi tentang pemahaman dan perasaan serta sikap mereka terhadap komunitas

dan agama yang lainnya (khususnya dalam konteks sosial).

Pendekatan Sejarah Dalam Kajian Agama

4

Page 5: Satu Suku Dua Agama

Para ahli sejarah memberikan definisi tentang sejarah menurut berbagai sudut pandang

dan cenderung berdasarkan keahlian mereka dalam bidang sejarah tertentu. Di antara para ahli

itu, yang relatif memberikan definisi lebih menyeluruh akan makna sejarah, ialah W. Bauer 1928

(dalam Abdurahman, 2007). Menurutnya, bahwa sejarah adalah salah satu ilmu pengetahuan

yang berikhtiar melukiskan dan menjelaskan fenomena kehidupan sepanjang terjadinya

perubahan karena adanya hubungan antara manusia terhadap masyarakatnya. Melihat

dampaknya pada masa-masa berikutnya atau yang berhubungana dengan kualitas mereka yang

khas dan berkonsentrasi pada perubahan-perubahan yang temporer dan di dalam hubungan

terhadap yang tidak dapat diproduksikan kembali.

Oleh karena itu penekanan pada arti sejarah sebagai ilmu pengetahuan, sesungguhnya ia

merupakan “pengetahuan tentang peristiwa masa lalu umat manusia, di dalam perubahan-

perubahannya yang unik, dan peristiwa itu berdampak pada masa-masa sesudahnya.” Jadi

kekhasan masa lalu itu dapat diinterpretasikan karena dipandang memberikan pengaruh unik

pada masa kini dan masa mendatang.

Dalam pendekatan histori tentang keberadaan agama di suatu wilayah, penting diberikan

batasa-batasan terlebih dahulu tentang makna agama. Seperti disebutkan Keith A Roberts, bahwa

agama dapat dilihat dalam definisinya secara substantif, fungsional, dan simbolik. Secara

substantif berarti agama dilihat dari substansi atau esensinya yang seringkali dipahami sebagai

suatu kepercayaan, sehingga mengukur religiositas masyarakat dengan berpegang pada tingkat

orthodoksi penduduk dan ritual keagamaan, bahkan lebih berpusat pada bentuk-bentuk agama

tradisional.

Lain halnya dengan definisi fungsional, dalam hal ini agama dilihat dari segi-segi

perannya. Fungsi yang diperankan merupakan kriteria untuk mengidentifikasikan dan

mengklasifikasikan suatu fenomena, atau fenomena sosio-kultural yang diobservasi, diklasifikasi

dan diidentifikasikan berdasarkan fungsi yang diperankannya. Pada umumnya fungsi tersebut

biasa dikategorikan menjadi fungsi manifest, yaitu fungsi yang disadari dan dikehendaki oleh

sesuatu pola sosial atau lembaga; dan fungsi laten, yaitu yang tidak disadari dan tidak

dikehendaki.

Adapun definisi simbolik tentang agama, bahwa agama dilihat dalam realitas simbol,

yaitu benda yang menggambarkan atau mengingatkan seseorang terhadap sesuatu yang dianggap

sentral dalam agama. Simbol bisa berupa objek, perilaku, mitos, legenda dan lain-lain.

5

Page 6: Satu Suku Dua Agama

Pembatasan akan arti agama memang dapat ditentukan berdasarkan berbagai sudut

pandang pula. Secara sosiologis misalnya, agama dipahami sebagai sesuatu jenis sistem sosial

yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang

dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat

luar umumnya. Unsur-unsur yang terangkum dalam definisi ini, antara lain : 1) agama disebut

jenis sistem sosial, yang meliputi suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, dan

suatu kompleks kaidah yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tertentu, 2)

agama sebagai kekuatan-kekuatan nonempiris, yakni agama itu khas berurusan dengan kekuatan-

kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan mnusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-

roh dan Roh Tertinggi; 3) agama didayagunakan untuk kepentingan sendiri dan masyarakat

sekitarnya, yakni kepentingan dalam arti keselamatan di dunia dan sesudah kematian.

Komunikasi Antaragama dalam Pendekatan Komunikasi

Salah satu fokus dalam kajian ini adalah komunikasi antaragama. Komunikasi

antaragama ini dimaksudkan pada komunikasi antara kelompok agama yang berbeda.

Penggunaan istilah “komunikasi antaragama” diambil dari Andrik Purwasito (2003: 153) dan

juga Alo Liliweri (2001: 257). Dalam kajian ini, penulis mengkaji kajian komunikasi antaragama

dalam perspektif komunikasi antarbudaya. Hal ini untuk mempermudah bahwa agama

merupakan salah satu faktor pembeda dan ciri dalam kebudayaan. Sementara, penulis sendiri

beranggapan bahwa agama merupakan pememberi nyawa kepada kebudayaan, yang keberadaan

keduanya sulit dipisahkan.

Interaksi simbolik dalam persepektif Komunikasi

Untuk membuat kajian ini lebih komprehensif, kajian ini menggunakan suatu persepektif

atau kerangka konseptual yang dikenal dengan nama Interaksionisme Simbolik. Perspektif ini

berusaha untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Manusia bertindak

hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka.

Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka

sendirilah yang menentukan perilaku mereka.

George Ritzer sebagaimana dikutip oleh Mulyana (2004: 73) menformulasikan beberapa

prinsip yang menjadi inti dari teori interaksi simbolik, sebagai berikut: Pertama, manusia tidak

seperti hewan, karena manusia diberkahi dengan kemampuan berpikir. Kedua, kemampuan

berpikir manusia dibentuk oleh interaksi sosial. Ketiga, dalam interaksi sosial orang belajar

6

Page 7: Satu Suku Dua Agama

makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan berpikirnya yang

merupakan kemampuan khas manusia. Keempat, makna dan simbol memungkinkan orang

melanjutkan tindakan dan interaksinya yang khas. Kelima, manusia mampu memodifikasi atau

mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan

interaksi mereka atas situasi. Keenam, kemampuan melakukan modifikasi dan perubahan itu

disebabkan oleh kemampuan individu berinteraksi dengan dirinya sendiri lewat berbagai

selektivitas hingga proses pemilihan sikap. Ketujuh, pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin-

menjalin ini membentuk kelompok dan masyarakat.

Berkaitan dengan sumbangsih interaksi individu dalam membentuk masyarakat, Holstein

dan Gubrium mengungkapkan (dalam Miller, 2001: 51) bahwa Interaksi simbolik berorientasi

pada suatu prinsip dimana setiap individu saling merespon atas suatu makna yang mereka

bangun dalam setiap interaksi yang mereka lakukan. Setiap individu secara aktif berhubungan

dalam dunia sosialnya sehingga terjadi proses interaksi atau pertukaran sosial budaya di antara

mereka. Di samping itu Individu juga dapat dilihat sebagai instrumen terciptanya masyarakat dan

budayanya.

Teori interaksi simbolik yang dipelopori oleh Goerge Herbert Mead (1863-1931) ini

memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok, dimana individu-

individu tersebut berinteraksi secara tatap muka (face to face) dengan menggunakan sign, yang

di dalamnya berisi icons, index, dan symbols (Sobur, 2004: 158). Pemikiran simbolik ini pada

dasarnya akan membebaskan kita dari pembatasan pengalaman manusia hanya atas apa yang

betul-betul kita lihat, dengar atau rasakan. Teori membuat kita terus menerus memikirkan objek

secara simbolik (Soeprapto, 2002: 68-70).

Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif interaksionisme simbolik dengan jenis

(tradisi) kajian studi kasus (case study). Creswell (1998: 61) dan Yin (1981: 23) menjelaskan

bahwa studi kasus merupakan kajian empiris yang menyelidiki dan menguraikan fenomena

kontemporer dalam konteks kehidupan nyata, ketika batasan antara fenomena dan konteks tidak

terbukti secara jelas, dengan menggunakan berbagai sumber termasuk observasi, wawancara,

materi audio-visual, dan dokumen atau laporan. Dalam hal ini, kajian studi kasus berupaya

menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti melalui sumber-sumber tersebut.

Ada tiga teknik yang digunakan untuk mengungkap masalah dalam kajian ini yakni:

Pertama, observasi atau pengamatan berperan serta (participant observation) sebagai

7

Page 8: Satu Suku Dua Agama

teknik/metode kajian utama. Kedua, wawancara mendalam (in-depth interview). Ketiga, studi

dokumentasi. Metode ini diperlukan untuk melacak sejarah masuk, perkembangan, dan dinamika

kehidupan beragama di Kecamatan Air Nipis. Namun hal yang paling utama dari teknik

pengumpulan data ini adalah penulis sebagai instrumen. Peran penulis sangat menentukan dalam

setiap proses penjaringan data.

Analisis data dilakukan dengan mengkomparatifkan beberapa data yang ada dan

dikaitkan dengan teori dan pendapat dari beberapa pakar yang terkait dan yang telah dipublikasi

dalam beberapa karya ilmiah. Untuk mempertinggi tingkat keabsahan data, maka langkah

selanjutnya adalah dengan mengadakan analisis terhadap wawancara. Menurut Huberman dan

Miles (1992: 16) bahwa analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata, yang biasanya disusun

ke dalam teks yang diperluas.

Gambaran Umum Desa Palak Bengkerung dan Informan

Secara Geografis desa Palak Bengkerung terletak di kecamatan Air Nipis kabupaten

Bengkulu Selatan. Sebelum terjadi pemekaran kecamatan di kabupaten Bengkulu Selatan, desa

Palak Bengkerung masuk dalam wilayah kecamatan Seginim dan menyatu dengan desa Suka

Negeri, sejak tahun 2004 Palak Bengkerung menjadi sebuah desa definisif.

Secara administratif desa Palak Bengkerung memiliki batas wilayah sebelah timur:

Sungai Bengkenang Besar, sebelah Selatan: Desa Tanjung Beringin, sebelah Barat: Hutan

Lindung Bukit Ghiri dan sebelah Utara: Jembatan Air Nipis. Luas wilayah yang dijadikan tempat

pemukiman penduduk kurang lebih seluas 3 km2, dengan profesi dominan penduduk adalah

petani.

Sementara secara demografis penduduk yang mendiami desa Palak Bengkerung sebanyak

527 kepala keluarga (KK) dengan 2497 jiwa. Sebaran tempat tinggal antara masyarakat Islam

dan Kristen tidak petak-petak tetapi membaur satu dengan yang lainnya. Secara lebih rinci

sebaran penduduk desa Palak Bengkerung menurut agama yang dianut meliputi: Islam (laki-laki:

983, perempuan: 11670 dan Kristen (laki-laki; 162 dan perempuan: 185).

Masyarakat Islam dan Kristen yang menjadi subyek kajian dalam studi ini sebanyak 10 orang.

Mereka masing-masing memiliki latar belakang dan sejarah hidup yang berbeda. Keragaman

latar belakang itulah dan diyakini mampu memberikan informasi tentang kajian yang dilakukan.

Kesepuluh informan tersebut secara purposif telah mampu mengungkap data-data yang

dibutuhkan dalam kajian.

8

Page 9: Satu Suku Dua Agama

Tidak semua masyarakat Islam dan Kristen di desa Palak Bengkerung dijadikan sebagai

informan kajian, melainkan mereka yang menurut penulis dipandang mampu untuk

mengungkapkan dan menguraikan kebutuhan data kajian. Informan yang terpilih dalam kajian

ini adalah informan yang memiliki ciri-ciri, untuk menggali sejarah maka dipilih tokoh agama,

tokoh masyarakat dan aparat pemerintah desa, sementara untuk menggali kognisi pemeluk

agama, penulis memilih penduduk yang dalam satu rumah dihuni oleh dua agama yang berbeda.

Sejarah Islam dan Kristen di Palak Bengkerung

Secara historis penduduk desa Palak Bengkerung merupakan perpindahan penduduk dari

Masat dan Pino, perpindahan penduduk itu sebelum Indonesia merdeka, tujuan perpindahan

tersebut pada awalnya untuk mengembangkan wilayah pertanian masyarakat. Ini tidak terlepas

dari sifat masyarakat pada waktu itu yang selalu berpindah-pindah, dan yang tidak kalah

pentingnya Seginim termasuk di dalamnya Palak Bengkerung dari dahulu bahkan sampai

sekarang dikenal sebagai daerah penghasil beras untuk wilayah Bengkulu Selatan, masyarakat

Pino dan Masat yang hijrah ke Palak Bengkerung adalah penganut Islam.

Masuknya agama Kristen di Palak Bengkerung pasca Gerakan 30 S PKI. Pasca G 30 S

PKI ini penduduk mengalami semakin menipisnya pemahaman tentang agama, ditambah lagi

dengan datangnya musim kemarau panjang oleh masyarakat setempat dikenal dengan musim

‘pecaklik,’ menjadikan agama seperti jualan yang mampu digantikan oleh paket mei instant dan

alat pertanian.

Dinamika hubungan antar agama di desa Palak Bengkerung mengalami pasang surut.

Walau sekarang hubungan antar agama dirasakan semakin rukun dan toleransi antar agama

berjalan begitu baik. Hubungan antar agama Islam dan Kristen pernah mengalami tragedi, ini

sebagai bentuk akumulasi kemarahan masyarakat Islam karena pola ‘penginjilan’ yang dilakukan

dengan terang-terangan kepeda masyarakat yang beragama. Puncak dari kemarahan masyarakat

Islam Palak Bengkerung terjadi pada akhir tahun 1966 dimana perkembangan Kristen alih-alih

masyarakat Islam berpindah ke agama Kristen sangat pesat. Terjadilah keributan antar agama

yang ditandai dengan dibakarnya Gereja Kristen oleh Masyarakat Islam.

Fenomena sejarah hubungan antaragama di atas menggambarkan grafik hubungan

antaragama yang memiliki trand positif dari tahun ketahun. Meskipun pernah terjadi keributan

antar agama diakhir tahun 1966, tapi itu menjadi estapet tumbuhnya toleransi hubungan

antaragama Islam dan Kristen di desa Palak Bengkerung. trend positif ini berkembang, tidak bisa

9

Page 10: Satu Suku Dua Agama

dilepaskan oleh keterlibatan masyarakat Islam dan Kristen dalam membina hubungan toleransi

antaragama, juga keterlibatan pemerintah dalam hal ini pemerintah desa dalam memformulasi

pola hubungan antaragama Islam dan Kristen di Palak Bengkerung.

 

Pola Komunikasi Masyarakat Islam dan Kristen di Palak Bengkerung

Proses komunikasi sosial antara masyarakat Kristen dan Islam melibatkan proses-proses

sosial yang beraneka ragam, yang menyusun unsur-unsur dinamis dari masyarakat, yaitu pikiran,

diri, masyarakat, terkait di dalamnya persepsi, sikap, tindakan, proses tingkah laku dan struktur

sosial yang ada. Proses komunikasi antaragama dapat terjadi di mana saja, di jalan, warung,

dalam rapat, atau di rumah masing-masing pemeluk agama dari masyarakat tersebut.

Dalam kajian ini, ada beberapa pola komunikasi antaragama yang sering muncul yakni:

komunikasi melalui hubungan kerjasama, komunikasi melalui dominasi agama tertentu,

komunikasi peran tokoh agama dan komunikasi melalui peran pemerintah. Kemudian dari pola

komunikasi yang sering muncul terutama melalui pendekatan kognisi sikap penganut agama dari

hasil wawancara yang dilakukan ditemukan klasifikasi sikap penganut agama di desa Palak

Bengkerung sebagai berikut: Penganut Agama Toleran, Penganut Agama Fanatik dan Penganut

Agama Pragmatis.

Pertema, Penganut Agama Toleran. Konsepsi yang masuk dalam konstuk penganut

agama toleran, dalam pertemuan atau komunikasi yang dilakukan antar pemeluk agama, agama

tidak menjadi topik perbincangan antar mereka. Umumnya yang menjadi topik pembicaraan

adalah tentang sosial kemasyarakatan.

Kognisi penganut antara gama yang toleran ini umumnya diangkat dari sikap masyarakat

baik dari masyarakat Islam maupun yang Kristen yang membedakan antara wilayah keagamaan

dan masalah kemasyarakatan. Memang agama merupakan bagian dari kehidupan yang tidak

terlepas dari masyarakat, akan tetapi mereka cenderung memisahkan diri mereka dengan orang

yang beragama lain atas dasar agama pada batas-batas tertentu. Selain itu, pola ini umumnya

berdasarkan pada sikap atau perilaku masyarakat baik Islam maupun Kristen yang menganggap

agama terkadang bukan berarti menjadi penghalang bagi persahabatan dan kerjasama antara

mereka. Masing-masing umat beragama biasanya menganggap bahwa urusan agama merupakan

urusan pribadi dan Tuhan. Orang lain tidak berhak untuk ikut campur. Selain itu, mereka

10

Page 11: Satu Suku Dua Agama

memang mampu berkerjasama, selalu berusaha memahami perbedaan yang ada, dan juga

memahami simbol-simbol agama orang lain.

Dalam kategori ini, baik masyarakat Islam maupun Kristen dalam berinteraksi lebih

mengembangkan konsep dirinya pada keterbukaan dan saling menghargai serta menerima

keberadaan agama lain. Makna toleran di sini adalah adanya saling menghargai dan saling

membuka diri dalam menerima keberadaan agama lain. Klasifikasi kognisi pemahaman agama

dalam masyarakat Islam dan Kristen di Palak Bengkerung yang telah diuraikan pada bagian ini,

dalam kajian ini dimasukkan pada kategori ‘penganut agama toleran.’

Kedua: Penganut Agama Fanatik. Dalam kategori ini, dari hasil wawancara dengan

informan, penulis menemukan bahwa dalam komunikasi/interaksi antara masyarakat Islam dan

Kristen, ada saja dominasi agama yang menjadi batas dalam sebuah interaksi. Kekuatan suatu

agama ikut bermain dalam diri seseorang yang bersifat subjektif dalam menjalin hubungan

interaksi antar masyarakat, terutama menyakut tradisi suatu agama.

Pola penganut agama fanatik cenderung menghindar dan bahkan menutup diri terhadap

pergaulan dengan orang yang berbeda agama (Kristen), sepertinya sikap ini juga bisa ditemukan

pada masyarakat Kristen, ini terkait dengan “orang Islam membatasi kebebasan orang Kristen

untuk hal-hal tertentu.” Sikap dari masing-masing penganut agama umumnya dicirikan dengan

sikap keras terhadap orang yang berbeda agama, sebagian dari masyarakat Islam umpamanya,

yang digolongkan kepada pola ini umumnya mengatakan agama membatasi pergaulan terhadap

orang Kristen. Sebagian besar juga mengatakan bahwa ajaran agama mereka, Kristen, sudah

disimpangkan dari yang sebenarnya dan Islam bukan agama yang benar. Dan sikap masyarakat

ini secara umum diikuti dengan rasa ketakutan, sikap paling benar, dan perilaku yang didasarkan

pada penafsiran tindakan orang-orang Kristen/Islam yang seolah-olah berusaha untuk

mempengaruhi mereka.

Dari ungkapan di atas, ada makna yang terkandung bahwa fanatisme agama juga menjadi

penentu keeratan hubungan komunikasi antar masyarakat Islam dan Kristen. Jadi fanatik di sini

dipahami bahwa kekuatan agama memberi ruang tersendiri dalam sebuah interaksi antar agama,

yang memegang teguh ajaran sebuah agama. Kesadaran diri yang terbangun dalam sebuah

hubungan merupakan kesadaran diri yang terkonstruk oleh ajaran-ajaran ketuhan yang

dipisahkan pada wilayah sosial.

11

Page 12: Satu Suku Dua Agama

Ketiga: Penganut Agama Pragmatis. Konsepsi pragmatis di sini dipahami sebagai sebuah

konstruk dari sebuah realitas, bahwa dinamika komunikasi masyarakat yang berbeda agama lebih

menekankan pada interaksi yang bersifat hedonis. Dengan ungkapan selama tidak mengganggu

sah-sah saja, selama itu menguntungkan ikuti saja.

Pada sisi yang lain hubungan pragmatis, juga berlangsung dengan mengikuti kebiasaan

dan kelaziman sebuah agama dominan dengan tujuan untuk dapat diterima dalam sebuah

pertemanan dalam kesadaran diri informan. Salah satu informan yaitu Indri Jaya, dia sering

mengucapkan salam Islam ketika berkunjung ke masyarkat muslim dan juga sering

mengucapkan Insya Allah, dan itu biasa agar dapat bisa diterima secara total oleh teman-teman

muslim. Walaupun ada bagi masyarakat Islam tertentu, menurut dia yang terkesan sangat fanatik

terhadap ajaran-ajaran Islami, dan menurut dia mereka kurang bisa menerapkan sesuai dengan

konteks realitas.

Pendapat yang lain yang masuk dalam kategori Penganut Agama Pragmatis, disamping

konsep diri masyarakat Islam dan Kristen, untuk membangun harmonisasi hubungan antar agama

tidak jarang melibatkan instansi pemerintah, misalnya dalam acara natal pemerintah mulai dari

desa hingga kabupaten biasanya menghadiri acara misa natal. Dan pada perayaan hari besar

keagamaan, baik Islam maupun Kristen melakukan kunjungan kerumah-rumah untuk

memberikan ucapan selamat, selamat natal bagi agama Kristen dan selamat idul fitri/hari raya

kurban bagi agama Islam.

Dalam konstruk yang ketiga ini bahwa interaksi antar agama dalam konsep pemahaman,

lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat pragmatis semata selama itu menguntungkan dan

tidak saling mengganggu. Tidakan yang merupakan inti dasar dalam interaksi simbolik juga

menjadi wacana dalam menarik sebuah konstruk. Maka dengan alasan ini pulalah peneliti

mengemukakan bahwa sebuah konstruk interaksi hubungan antar antar agaman Islam/Kristen

merupakan pengembangan konsep hubungan yang bersifat pragmatis.

Berdasarkan argumentasi menyangk pola komunikasi masyarakat Islam dan Kristen di

Palak Bengkerung dan klasifikasi sikap penganut agama di desa Palak Bengkerung di atas. Maka

model komunikasi antar agama yang terjadi di desa Palak Bengkerung dikategorisasikan

berdasarkan keterbukaan hati (sikap) mereka dalam melakukan komunikasi dengan masyarakat

agama yang berbeda, menjadi tiga model yakni: model komunikasi toleran, model komunikasi

fanatik dan model komunikasi pragmatis.

12

Page 13: Satu Suku Dua Agama

 

Penutup

Berdasarkan beberapa informasi, dan beberapa temuan-temuan yang nyata di lapangan

dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Secara historial sejarah masuknya Islam

dan Kristen melalui studi dokumentasi dan wawancara tokoh, memiliki fase sendiri-sendiri.

Islam masuk ke desa Palak Bengkerung sebelum Indonesia merdeka, berbarengan dengan

perpindahan penduduk dari Pino dan Masat yang menetap di desa Palak Bengkerung untuk

mengembangkan wilayah pertanian terutama persawahan yang secara keyakinan menganut

Agama Islam. Sementara Kristen masuk ke desa Palak Bengkerung setelah G 30 S PKI atau

masyarakat di sana lebih sering menyebutnya setelah GESTAPU melalui pendeta Tobing.

Hubungan Islam dan Kristen sempat memburuk pada tahun 1966 akhir, sebagai akumulasi

kemarahan masyarakat Islam atas pola kristenisasi yang dijalankan oleh misionaris melalui pola

penginjilannya. Pasca keributan tahun 1966 akhir sampai saat ini, hubungan antar agama di desa

Palak Bengkerung berjalan rukun. Kerukunan antar umat beragama ini didasari adanya sikap

toleransi antar agama yang dikembangkan.

Kedua, melalui konstruksi bentuk hubungan komunikasi/interaksi masyarakat Islam dan

Kristen di desa Palak Bengkerung memunculkan dan menciptakan adanya pola komunikasi

masyarakat tersebut sesuai ciri-ciri yang ada. Pola-pola komunikasi tersebut dapat ditemukan

dalam bentuk komunikasi melalui kerjasama, dominasi agama tertentu, peran tokoh agama, dan

peran aparat pemerintahan. Ketiga, bentuk kognisi/paham keagamaan masyarakat melalui proses

mempersepsi, sikap, tindakan-tindakan kedua kelompok masyarakat di desa Palak Bengkerung,

ditemukan tiga klasifikasi sikap penganut agama di desa Palak Bengkerung yakni penganut

agama toleran, penganut agama fanatik dan penganut agama pragmatis.

Terkait dengan sejarah, pola dan kognisi dalam mempersepsi, sikap dan tindakan

masyarakat kedua kelompok agama, kajian ini juga menemukan tiga model komunikasi

antaragama yang ada pada masyarakat Islam dan Kristen di desa Palak Bengkerung. Ketiga

model konstruksi komunikasi antar agama yang ditemukan yakni model komunikasi toleran,

model komunikasi fanatik, dan model komunikasi pragmatis.

 

Rekomendasi

13

Page 14: Satu Suku Dua Agama

Walaupun saat ini dinamika hubungan antaragama di desa Palak Bengkerung berjalan

rukun melalui sikap toleransi yang dijunjung tinggi, namun masyarakat harus tetap menyadari

peran mereka masing-masing untuk menjaga suatu kehidupan bermasyarakat yang saling

berkomunikasi tanpa adanya rasa curiga, cemooh, kesalahpahaman dan lain sebagainya. Bagi

tokoh-tokoh agama, baik dari kalangan masyarakat Islam dan Kristen sudah selayaknya dapat

memerankan kepemimpinan mereka untuk membangun akan kesadaran mental dan spiritual

masing-masing jemaahnya. Ketokohan yang dimiliki bukan untuk memotivasi masyarakat awam

untuk membenci agama orang lain. Kegiatan komunikasi, dialog dan pembicaraan tentang

pemecahan masalah kemasyarakatan sudah selayaknya dilakukan lebih intensif oleh masing-

masing pemimpin agama yang ada.

Pemerintah, sudah semestinya menggunakan wewenang yang dimiliki bukan untuk

membangun masyarakat yang mayoritas saja, melainkan bagi seluruh kelompok agama, etnis dan

suku yang lain. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh legislatif dan yang dilaksanakan oleh

eksekutif sudah selayaknya dapat mengayomi dan tidak mendiskriminasikan kelompok agama

manapun, yang bisa membuat kecemburuan bagi kelomok agama yang lain.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdurhaman, Dudung. 2007. Pendekatan Sejarah dalam Kajian Agama. From: http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?option

Andito (ed). 1998. Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog Bebas Konflik. Jakarta: Pustaka Hidayah.

Cresswell, John, W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design; Choosing Among Five Tradition. California: Sage Publication.

Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Penj. Francisco Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius.

Huberman, A. Michael & Miles B. Matthew. 1992. Analisis Data Kualitatif. Penj. Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.

Huntington, Samuel P. 2003. Konflik Peradaban; Paradigma Dunia Pasca perang Dingin. Yogyakarta: IRCiSoD.

14

Page 15: Satu Suku Dua Agama

Liliweri, Alo. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Miles, Mathew B., & Huberman, A Micheal, 1992, Analisis Data Kualitatif; Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Penerj. Tjetjep Rohendi Rohidi, UI Press, Jakarta.

Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Kajian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. 

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2001. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Rosda.

Rakhmat, Jalaluddin. 2003. Psikologi Agama; Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik; Perspektif Sosiologi Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suprayogo, Imam dan Tabroni. 2001. Metodelogi Kajian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya.

15