sejarah perkembangan kapitalisme indonesia
DESCRIPTION
Sejarah Indonesia adalah satu sejarah yang terhubungkan secara dekat dengan perkembangan kapitalisme semenjak kelahirannya di abad ke-16. Oleh karena itu, untuk memahami kapitalisme di Indonesia sekarang ini, kita harus kembali sejauh jaman kolonial BelandaTRANSCRIPT
Sejarah Perkembangan Kapitalisme Indonesia
Ted Sprague
“Konsepsi materialis tentang sejarah dimulai dari proposisi bahwa produksi
kebutuhan-kebutuhan untuk mendukung kehidupan manusia dan, di samping
produksi, pertukaran barang-barang yang diproduksi, merupakan dasar dari semua
struktur masyarakat; bahwa dalam setiap masyarakat yang telah muncul dalam
sejarah, cara kekayaan didistribusi dan cara masyarakat dibagi ke dalam kelas-kelas
atau tatanan-tatanan bergantung pada apa yang diproduksi, bagaimana itu diproduksi,
dan bagaimana produk-produk itu dipertukarkan. Dari sudut pandang ini, sebab-sebab
akhir dari semua perubahan sosial dan revolusi-revolusi politis mesti dicari, tidak
dalam benak-benak manusia, tidak dalam wawasan manusia yang lebih baik akan
kebenaran dan keadilan abadi, tetapi di dalam perubahan-perubahan dalam cara-cara
produksi dan pertukaran. Itu semua mesti dicari, tidak dalam filsafat tetapi di dalam
perekonomian satu epos tertentu.” (Engels, Anti-Duhring)
Sejarah Indonesia dan perubahan-perubahan sosial di dalamnya tidak dapat dipahami
sepenuhnya tanpa melihat ke dalam perubahan-perubahan ekonomi yang telah
dilaluinya di setiap tahapan. Sejarah Indonesia adalah satu sejarah yang terhubungkan
secara dekat dengan perkembangan kapitalisme semenjak kelahirannya di abad ke-16.
Oleh karena itu, untuk memahami kapitalisme di Indonesia sekarang ini, kita harus
kembali sejauh jaman kolonial Belanda. Secara umum, kita dapat membagi tahapan
sejarah Indonesia seperti berikut: koloni Belanda (1600-1945), perjuangan
kemerdekaan (1945-1949), Orde Lama (1949-1965), Orde Baru (1965-1998), dan
Reformasi 1998 dan sesudahnya (1998-sekarang)
Indonesia dan Kolonialisme Belanda
Sampai awal abad ke-20, tidak ada yang namanya Indonesia seperti dalam pengertian
sekarang. Yang ada adalah sekelompok pulau antara sub-benua India dan Australia
yang tersatukan secara longgar oleh ikatan kolonialisme Belanda. Kata “Indonesia”
pertama kali digunakan sekitar tahun 1850 oleh para peneliti Inggris yang
menganjurkan penggunaannya sebagai penamaan geografi, dan bukan sebagai rujukan
bangsa-negara. Hanya pada awal tahun 1920an nama Indonesia mendapatkan arti
politik. Sebelumnya, seluruh daerah yang mencakup Indonesia masa kini disebut
sebagai Hindia Timur Belanda.
Semenjak penjajahan Belanda terhadap Indonesia, nasib Indonesia telah terhubungkan
dengan perkembangan kapitalisme dunia. Oleh karena itu kita perlu menggunakan
periode ini sebagai titik tolak analisa kita. 350 tahun kekuasaan Belanda atas
Indonesia dapat dibagi menjadi tahapan-tahapan ekonomi sebagai berikut:
a. Periode V.O.C (1600-1800)
b. Periode “Kekacauan” dan “Ketidakpastian” (1800-1830)
c. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) (1830-1870)
d. Periode Liberal (1870-1900)
e. Tahun-tahun Etis (1900-1930)
f. Depresi Hebat (1930-1940)
Tahapan-tahapan ini bersesuaian dengan perubahan-perubahan administratif, sosial,
dan politik di Indonesia, Belanda, dan seluruh dunia. Oleh karena itu mustahil untuk
mempelajari perkembangan ekonomi dan politik Indonesia terpisah dari Belanda dan
Eropa. Pecahnya revolusi di Eropa (Pemberontakan Belanda, Revolusi Inggris,
Revolusi Prancis, dan lalu Revolusi Rusia) mengubah jalannya sejarah di Indonesia.
Indonesia dan Revolusi Belanda
Sejarah kolonialisme di Indonesia adalah sejarah eksploitasi kapitalis imperialis.
Bahkan yang lebih penting untuk dimengerti adalah bahwa penjajahan di Indonesia
adalah yang pertama kali dilakukan oleh kaum borjuasi. Tidak dikenal dan dilupakan
oleh kebanyakan kaum Marxis, revolusi borjuis yang pertama terjadi di Belanda dan
bukan Inggris. Pemberontakan Belanda pada abad ke 16 (1568-1609) mungkin adalah
revolusi borjuis “klasik” yang paling terabaikan. Walaupun Marx dan Engels hanya
menulis beberapa kalimat yang terpencar-pencar mengenai Pemberontakan Belanda,
jelas bahwa mereka mengakuinya sebagai salah satu momen penting dalam
kebangkitan borjuis yang historis. Pada tahun 1848, Marx menulis “Model dari
revolusi 1789 [Prancis] adalah revolusi 1648 [Inggris]; dan model untuk revolusi
1648 hanyalah pemberontakan Belanda melawan Spanyol [Pemberontakan
Belanda].”[1]
Lagi di volume pertama Kapital, Marx menulis:
“Sejarah administrasi koloni Belanda – dan Belanda adalah model negara kapitalis di
abad ke-17 – adalah „salah satu sistem pengkhianatan, penyuapan, pembantaian, dan
kekejaman yang paling hebat.‟ Tidak ada yang lebih karakteristik daripada sistem
penculikan mereka, guna mendapatkan budak-budak dari Jawa. Para penculik dilatih
untuk ini. Sang pencuri, penerjemah, dan penjual, adalah agen-agen utama dalam
perdagangan ini, sang pangeran-pangeran pribumi sebagai penjual utama. Orang-
orang muda diculik, dijebloskan ke penjara-penjara rahasia di Sulawesi, sampai
mereka siap untuk dikirim ke kapal-kapal budak ... Dimanapun mereka memijakkan
kaki, kehancuran dan penyusutan penduduk menyusul. Banyuwangi, sebuah propinsi
di Jawa, pada tahun 1750 berpenduduk lebih dari 80.000 orang, pada tahun 1811
hanya 18.000. Perdagangan yang manis!”[2] [Penekanan dari penulis]
Marx menjelaskan bahwa “awal penaklukan dan penjarahan Hindia Timur ...
menandai fajar indah dari era produksi kapitalis. Aktivitas ini adalah momentum
utama dari akumulasi primitif.”[3]
Merebut perdagangan Asia dari tangan Spanyol dan Portugal yang telah menguasai
samudera selama lebih dari satu abad membutuhkan sebuah investasi yang besar.
Bagaimana Belanda yang saat itu penduduknya kurang dari satu juta mampu
mengumpulkan kapital yang diperlukan? Solusi dari masalah ini melibatkan sebuah
konsep organisasi bisnis yang baru: perusahaan saham-gabungan (joint-stock
company), dan di sinilah kapitalisme moderen pertama kali menemukan aplikasinya.
Seorang ahli sejarah Belanda, George Masselman, menulis: “Ekonomi zaman
pertengahan tidak membutuhkan kapital, seperti yang dicontohkan oleh gilda-gilda
pedagang yang menghambat inisiatif pribadi dan kompetisi. Belanda yang sedang
bangkit mengambil pandangan yang berbeda: mereka menginginkan perdagangan
sebanyak mungkin ... Satu-satunya hal yang dapat menghambat seorang pedagang
adalah kekurangan kapital. Tentu saya dia dapat bekerja sama dengan pedagang
lainnya dan melakukan perdagangan bersama; atau dia dapat membujuk orang luar
untuk menaruh uang kepadanya, menawarkan kepada mereka sebagian dari laba.”[4]
Inilah awal dari perusahaan saham-gabungan kapitalis moderen. Contoh utamanya
adalah VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Perserikatan Perusahaan
Hindia Timur) yang dibentuk pada tahun 1602 dengan kapital sekitar 6,5 juta
guilders.[5]
VOC dibentuk ketika pemerintah Belanda memberikannya sebuah monopoli untuk
melakukan aktivitas kolonial di Asia. Ini adalah perusahaan saham-gabungan
multinasional pertama yang mengeluarkan saham publik. Pada pembentukannya,
VOC membuka bursa saham pertama dunia, Bursa Saham Amsterdam, untuk
memperdagangkan saham dan surat obligasinya. VOC memiliki otoritas quasi-
pemerintah dimana ia mampu melakukan peperangan, merundingkan perjanjian
perdamaian, mencetak uang, dan membentuk koloni.
Secara efektif, Hindia Timur selama dua abad tidaklah dijajah oleh Republik Belanda
melainkan oleh sebuah perusahaan saham-gabungan, VOC. Cukup indikatif bahwa
selama periode tersebut rakyat Hindia Timur menyebut penjajah mereka “kompeni”
(dari nama VOC, Compagnie). Selama 2 abad selanjutnya, VOC menjadi perusahaan
dagang yang paling penting di Eropa. Ia menciptakan monopoli di perdagangan
rempah-rempah, terutama lada, kayu manis, dan cengkeh. Selama 90 tahun
pertamanya, VOC meraup dividen sebesar 18,7% setiap tahunnya.[6
Pemberontakan Belanda menandai kebangkitan historis kaum borjuasi dan
kolonialisasi Hindia Timur oleh VOC adalah basis dari akumulasi kapital primitif dari
apa yang bisa kita sebut sebagai masyarakat borjuis pertama. Hasilnya jelas. Pada
abad ke-17 Belanda adalah negara paling maju di Eropa. Marx menulis di Kapital:
“Belanda, yang pertama kali mengembangkan sistem kolonial, pada tahun 1748 telah
berdiri di puncak keagungan komersialnya ... Total kapital dari Republik [Belanda]
barangkali lebih besar daripada total keseluruhan kapital di benua Eropa.”[7]
VOC memasuki periode kemunduran pada tahun 1692 dan akhirnya dibubarkan pada
tahun 1798. Republik Belanda menanggung utang VOC, sebesar 134 juta guilders,
dengan syarat bahwa VOC harus menyerahkan semua asetnya di Hindia. Dengan ini,
Republik Belanda memperoleh sebuah koloni di Asia pada tahun 1798.[8]
Kemunduran VOC adalah manifestasi dari kemunduran Republik Belanda pada abad
ke-18. Ini seperti yang ditulis oleh Marx: “Sejarah kemunduran Belanda sebagai
negara komersial yang berkuasa adalah sejarah ketaklukan kapital perdagangan
terhadap kapital industri.”[9] Pada abad ke-18, Belanda menyerahkan posisi
hegemoninya ke Inggris. “Pada awal abad ke-18, manufaktur Belanda telah kalah.
Belanda berhenti menjadi negara utama dalam perdagangan dan industri.”[10]
Namun, perannya sebagai pedagang uang tetap penting sampai abad ke-19, dimana
Belanda meminjamkan kapital yang sangat besar untuk Inggris. Kapital yang telah
diakumulasi oleh Belanda melalui perdagangan berfungsi sebagai basis kebangkitan
industri manufaktur di Inggris, seperti yang ditulis oleh Marx: “Salah satu usaha
bisnis utamanya, oleh karena itu, dari tahun 1701-1775, adalah meminjamkan kapital
yang sangat besar, terutama kepada musuh besarnya Inggris. Hal yang sama sekarang
terjadi antara Inggris dan Amerika Serikat. Kapital yang besar, yang timbul hari ini di
Amerika Serikat tanpa akta kelahiran sama sekali, kemarin ada di Inggris yang
dikucurkan dari darah anak-anak.”[11] Jadi, kebangkitan yang cepat dan pendek dari
Belanda sebagai sebuah negara pedagang kapitalis pada abad ke-17 adalah dasar
untuk kebangkitan negara industri kapitalis, terutama Inggris.
Tahun-tahun “Kekacauan” dan “Ketidakpastian” (1800-1830)
Revolusi Hebat Prancis pada tahun 1789 melempar seluruh Eropa ke dalam satu
kekacauan. Seluruh penduduk Republik Belanda terjangkiti semangat Revolusi
Prancis, dan pada tahun 1795 sebuah revolusi popular pecah dan menyerukan
pembentukan Republik Batavia yang pendek umurnya (1795-1806). Selama periode
yang pendek ini, semangat Revolusi Prancis juga menjangkiti kebijakan kolonial
dengan banyak gagasan, yang berdasarkan kebebasan berusaha dan liberalisme,
bermaksud membawa semangat liberté, égalité, fraternité (kebebasan, kesamarataan,
persaudaraan) ke rakyat pribumi Hindia Timur Belanda. Akan tetapi, semua ocehan
dan rencana untuk memajukan rakyat pribumi, untuk membawa logika (reason) ke
Hindia Timur yang primitf, tidak lain adalah sebuah “kerajaan borjuis yang ideal”.
Republik Batavia berakhir ketika Napoleon Bonaparte memasang sepupunya, Louis
Bonaparte, sebagai Raja Belanda pada tahun 1806. Tahun 1815, Napoleon jatuh dan
Belanda memperoleh kembali kemerdekaannya. Inggris, yang memegang kendali
Hindia Timur di bawah Raffles tahun 1811, mengembalikannya ke Belanda pada
tahun 1815.
Di dalam periode kekacauan dan ketidakpastian ini, administrasi kolonial secara
perlahan-lahan mengkooptasi elit-elit penguasa lokal ke dalam administrasi. Dimana
sebelumnya selama periode kekuasaan VOC para elit lokal dibiarkan mengontrol
subyek mereka sesuka hati mereka, di bawah pretensi untuk melindungi rakyat Hindia
dari perlakukan semena-mena (untuk membangun masyarakat berhukum dan tertib)
sebuah mesin negara yang lebih ketat diimplementasikan di Hindia Timur Belanda
dimana penguasa-penguasa lokal secara efektif adalah karyawan bayaran dan dipilih
oleh pemerintah kolonial. Pemerintahan desa, vergadering, prinsip “yang sama
menguasai yang sama” (memasukkan kelas penguasa lokal ke dalam pemerintah
kolonial), semua ini didesain sesuai dengan kebutuhan ekonomi karena sistem tanam
paksa membutuhkan sebuah pemerintah yang kuat.
Sistem Tanam Paksa
Setelah Perang Jawa 1825-1830 yang berakhir dengan menyerahnya kerajaan
Mataram, yang menandai penaklukan penuh pulau Jawa, Belanda memperkenalkan
sebuah sistem tanam paksa. Berbeda dari sistem transaksi rempah-rempah
sebelumnya, sistem Tanam Paksa , dimana pemerintah kolonial mengorganisasi
sebuah sistem produksi hasil bumi (cash-crop) untuk ekspor, membawa evolusi
industri perkebunan yang membentuk sejarah Indonesia sebagai sebuah negara
eksportis bahan mentah untuk abad selanjutnya. Dari menjadi sumber bahan mentah
untuk kapitalisme perdagangan, Hindia Timur perlahan-lahan menjadi sumber bahan
mentah untuk kapitalisme industrial.
Sistem Tanam
Paksa – sebuah
sistem dimana
Belanda memaksa
petani Indonesia
untuk menanam
hasil bumi untuk
eskpor – adalah
sebuah sistem
yang memberikan
basis untuk
kemajuan
ekonomi di
Belanda. Sistem
ini adalah sebuah
eksploitasi
kolonial yang klasik. Tujuan utamanya untuk meningkatkan kapasitas produksi
pertanian (terutama di pulau Jawa) guna kepentingan penbendaharaan Belanda.
Sistem ini adalah satu kesuksesan yang besar dari sudut pandang kapitalisme Belanda,
menghasilkan produk ekspor tropikal yang sangat besar jumlahnya, dimana
penjualannya di Eropa memajukan Belanda. Dengan kopi dan gula sebagai hasil bumi
utama, seluruh periode Sistem Tanam Paksa menghasilkan keuntungan sebesar kira-
kira 300 juta guilder dari tahun 1840-59.
Tabel I. Hasil dari Sistem Tanam Paksa, 1840-1859 („000 guilder)[12]
1840-1849 1850-1854 1855-1859
Kopi 64827 77540 105599
Gula -4082 3385 33705
Lain-lain (nila,
cochineal, kayu
manis, merica, teh,
tembakau)
13653 5610 3299
Total 74398 86535 142603
Kapitalis Belanda sama sekali tidak tertarik untuk mengembangkan kapasitas
produksi pertanian. Otoritas kolonial menyediakan sedikit sekali kapital investasi,
dengan hampir tidak ada perkembangan dalam teknik produksi dan manufaktur.
Kaum tani dipaksa berjalan berkilo-kilometer dari desa mereka ke tempat perkebunan
kopi, dan kadang-kadang harus meninggalkan desa selama berbulan-bulan, hidup di
tempat penampungan sementara dekat dengan area perkebunan kopi. Untuk
perkebunan tebu, para petani dipaksa mengubah ladang padi mereka (dan irigasi
mereka) menjadi ladang tebu. Para petani tidak hanya diharuskan mempersiapkan
ladang, menanam, dan menjaga perkebunan tersebut, mereka juga harus menuainya
dan mengangkutnya ke pabrik dengan cara dipanggul di atas pundak mereka karena
kurangnya alat transportasi dan binatang, dan kondisi jalanan yang tidak baik. Mereka
juga sekaligus bekerja di pabrik.
Sistem Tanam Paksa juga menyita sejumlah besar tenaga kerja dari para petani untuk
membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk operasi sistem tanam paksa,
termasuk membangun jalan dan jembatan untuk transportasi hasil bumi,
pengembangan fasilitas pelabuhan, konstruksi perumahan untuk para pejabat,
membangun pabrik dan gudang-gudang untuk hasil bumi, membangun dam dan
irigasi, dan bahkan benteng pertahanan.[13]
Eksploitasi dari sistem ini tidak ada presedennya dalam sejarah penjajahan Belanda.
Satu pejabat senior mengatakan bahwa di bawah Sistem Tanam Paksa para petani
dipaksa untuk melakukan 4 atau 5 kali lebih banyak kerja daripada yang biasanya
dituntut sebelum 1830.[14] Kebanyakan petani harus bekejra selama lebih dari 150
hari dalam setahun untuk cultuurstelsel. Pembayaran yang diterima oleh petani
sangatlah kecil dan mereka dipajak sangat tinggi. Gubernur Jendral pada saat itu
(1845-1851), Jan Jacob Rochussen, memperkirakan pada tahun 1857 bahwa sekitar
2/3 pembayaran yang diterima oleh petani diterima kembali oleh Pemerintah melalui
berbagai macam pajak.[15] Kapitalisme di Belanda dan Eropa sungguh bangkit dari
keringat dan darah jutaan petani di Hindia Timur.
Industri gula dikembangkan oleh pemerintah koloni Belanda dengan bantuan
“kontraktor” swasta Belanda dan para priyayi, kepala desa (lurah), dan elit-elit lokal.
Kecepatan pertumbuhan laba gula (lihat Tabel I) cukup untuk menunjukkan cepatnya
pertumbuhan industri ini dan bagaimana ia mempengaruhi periode selanjutnya.
Fabriek (pabrik) gula menjadi pemandangan umum dari daerah pedesaan. Sekitar 100
pabrik milik Eropa memproduksi lebih dari 130 ribu ton gula pertahun. Tebu-tebu ini
ditanam oleh lebih dari 100 ribu petani yang mengerjakan sekitar 12 ribu hektar
tanah.[16]
Periode Liberal (1870-1900)
Sistem Tanam Paksa menyediakan basis untuk periode ekonomi selanjutnya, yang
disebut periode Liberal. Selama periode sebelumnya, pemerintah menyuntik kapital
yang besar untuk membangun perkebunan hasil-bumi dan fasilitas-fasilitasnya,
terutama gula dan kopi, dan juga memastikan penyediaan tenaga kerja murah melalui
kerja paksa. Sistem Tanam Paksa sangatlah menguntungkan. Namun, sistem
Cultuurstelsel yang dijalankan pemerintah ini dipenuhi dengan nepotisme, dimana
kontraktor pemerintah, pengusaha penanam swasta, perusahaan ekspor-impor, dan
pegawai negeri Belanda semua mempunyai hubungan keluarga. Ini membawa
kegusaran kapitalis Belanda (dan kapitalis asing lainnya) yang berada di luar klik
Jawa ini, yang melihat keuntungan besar dari bisnis ini dan ingin sepotong darinya.
Inilah alasan sebenarnya mengapa Sistem Tanam Paksa dihentikan pada tahun 1870,
bukan karena kekhawatiran moral kaum imperialis Belanda terhadap kesengsaraan
yang dihadapi oleh kaum tani Indonesia akibat sistem eksploitatif ini. Kita dapat
melihat ini dengan jelas di dalam nilai ekspor setelah Sistem Tanam Paksa, yang
tumbuh bahkan dengan kecepatan yang lebih pesat dan tidak lain menandakan sebuah
eksploitasi yang lebih ganas terhadap rakyat Hindia Timur Belanda.
Banyak dari loncatan nilai ekspor dan produktivitas ini adalah karena peningkatan
teknologi yang mengijinkan transportasi yang lebih baik dan pemrosesan yang lebih
efisien. Beberapa orang akan berargumen bahwa periode Liberal adalah tidak lebih
eksploitatif daripada Sistem Tanam Paksa karena para petani diperlakukan lebih
manusiawi dan pada saat yang sama produktivitas mereka dibuat lebih tinggi. Namun
kita kaum Marxis bukanlah kaum moralis kacangan. Kita melihat eksploitasi dari
sudut pandang nilai surplus yang disedot oleh kaum kapitalis dari kaum buruh dan
tani, bukan hanya besarnya kesengsaraan yang mereka alami. Walaupun tentu saja
kesengsaraan yang dialami oleh buruh dan tani Hindia Timur sangatlah keji dan
memuakkan. Oleh karena itu, dari sudut pandang ini, selama periode Liberal
penindasan rakyat Hindia Timur adalah lebih parah seperti yang ditunjukkan oleh
statistik.
Tabel 2. Ekspor Hindia Timur Menurut Komoditas, 1823-1938 („000 guilder)[17]
Periode
(rata-rata
per tahun)
Gula Kopi Tembakau Karet Minyak Total**
1823-25* 507 10358 120 13256
1826-30* 824 6221 59 9835
1831-35* 3371 10093 45 18513
1836-40* 10295 21907 136 42785
1841-45* 13476 24323 793 51187
1845-50* 18446 16021 712 48804
1851-55* 19986 26729 707 59502
1856-60* 32214 32740 1005 85945
1861-65* 32214 36616 1692 87425
1866-70* 33282 37052 3320 88479
1871-73* 46203 40717 8149 113479
1874-75 51234 69014 9895 128 59 173127
1876-80 56013 69922 20319 97 236 193723
1881-85 70842 50438 17111 274 47 190898
1886-90 58369 42481 25398 397 4 186338
1891-95 66862 51708 31603 184 1262 211344
1896-1900 65878 37204 37898 564 7717 227551
1901-1905 75764 24005 38703 1917 16200 279971
1906-1908 117511 16592 58574 7666 29392 388734
1909 167800 10100 46100 3300 30000 438000
1910 139600 11000 32500 6900 37700 422100
1911 132100 24100 72500 6800 46300 462900
1912 131700 28800 94700 21300 52400 543200
1913 152800 20400 90700 23900 113400 620500
1914 182600 21000 63700 26800 136800 640700
1915 213200 34700 73000 56500 141900 758200
1916 258800 21600 75800 96200 153000 856700
1917 212400 9100 13200 124100 158700 785100
1918 183600 3200 27700 73100 189500 675900
1919 763200 120000 121100 213300 349900 2162100
1920 1049800 51000 169400 164000 310200 2231300
1921 414900 26800 91000 68300 266000 1193000
1922 270900 41500 76600 88800 332400 1142400
1923 499200 29600 85400 169900 179200 1377900
1924 491100 65600 123600 199000 158300 1530600
1925 369500 68200 110500 582200 158000 1784800
1926 269600 70300 72900 480000 177100 1566100
1927 365300 74400 113900 417100 149900 1622300
1928 375800 81400 95600 278000 144100 1576600
1929 311600 69500 83300 237300 185200 1443200
1930 254300 35700 58600 172800 190100 1157200
1931 129300 24200 51100 82600 147100 747200
1932 99300 35200 46800 34000 98500 541400
1933 62100 25600 32000 37800 105000 467900
1934 45500 22500 37000 88800 99800 487300
1935 36000 18700 29300 70000 87400 445700
1936 34100 15900 37900 87800 97500 527700
1937 51100 26000 41100 298100 166600 951200
1938 45200 13700 38800 135400 164000 657800
* Data ekspor dari pulau Jawa dan Madura. Catatan pemerintah kolonial untuk
seluruh Hindia Timur hanya dimulai pada tahun 1874. Sebelumnya, informasi hanya
tersedia untuk Jawa dan Madura.
** Total nilai ekspor termasuk produk-produk lain seperti rempah-rempah, beras, teh,
nila, tembaga, timah, dsb.
Dengan dihapuskannya Sistem Tanam Paksa – yang ditandai dengan disetujuinya
Peraturan Gula 1870 – aktor utama dalam perkembangan industri perkebunan
bergeser lebih ke perusahaan swasta dan kapital luar. Kapitalis swasta dan kapitalis
petualang masuk ke dalam industri perkebunan Hindia Timur Belanda. Tahun 1925,
sudah ada 121 perusahaan gula (suikerondernemingen) yang beroperasi di Hindia
Timur Belanda, dan jumlah total pabrik gula (suikerfabrieken) yang dimiliki atau
dikelola oleh perusahaan ini adalah 195.[18]
Pada tahun 1896, aliansi industri gula diperkuat dengan dibentuknya Sindikat Pemilik
Pabrik Gula di Hindia Belanda (Algemeene Syndicaat van Suikerfabricanten in
Nederlandsch Indie) yang mengikutsertakan hampir semua perusahaan gula di koloni.
Jadi, di dalam industri perkebunan gula di Hindia Timur Belanda kita dapat
menyaksikan evolusi kapitalisme dari kompetisi bebas ke kapitalisme kartel. Mari kita
lihat apa yang ditulis oleh Lenin mengenai proses ini dalam bukunya yang terpenting
Imperialisme: Tahapan Tertinggi Kapitalisme:
“Tahapan utama dalam sejarah monopoli adalah sebagai berikut: (1) 1860-1870,
tahapan tertinggi, puncak dari perkembangan kompetisi bebas; monopoli masihlah
dalam tahapan embrionik yang hampir tak terlihat. (2) Setelah krisis tahun 1873,
sebuah periode perkembangan kartel yang panjang; tetapi mereka masihlah
pengecualian. Kartel-kartel ini belumlah bertahan lama. Mereka masih merupakan
fenomena transisi. (3) Boom ekonomi pada akhir abad ke-19 dan krisis 1900-1903.
Kartel-kartel menjadi salah satu fondasi dari seluruh kehidupan ekonomi. Kapitalisme
telah bertransformasi menjadi imperialisme.”[19]
Dan benarlah, awal Periode Liberal pada tahun 1870 menyaksikan puncak kompetisi
bebas dalam industri perkebunan dimana kapital swasta masuk membanjiri setelah
dihapuskannya Sistem Tanam Paksa. Pada akhir abad ke-19, kebanyakan perusahaan
gula telah bersatu ke dalam satu sindikat dimana sindikat ini “mencapai persetujuan
dalam hal penjualan, tanggal pembayaran, dll. Mereka membagi pasar di antara
mereka sendiri. Mereka menetapkan jumlah barang yang akan diproduksi. Mereka
membagi laba di antara berbagai perusahaan, dsb.”[20]
Kebanyakan perusahaan yang beroperasi di Hindia Timur diorganisasi sebagai
perusahaan saham-gabungan, dimana mayoritas dari mereka berafiliasi dengan sebuah
institusi finansial yang unik yang bernama cultuurbanken, sebuah kapital finans yang
dibentuk untuk menyediakan investasi kapital bagi industri perkebunan di Hindia
Timur Belanda. Dominasi kapital finansial adalah karakter umum dari kapitalisme di
tahapan ini, dimana “kepemilikan kapital terpisahkan dari aplikasi kapital dalam
produksi, dimana uang kapital terpisahkan dari kapital industrial atau produktif, dan
dimana peminjam uang yang hidup sepenuhnya dari pendapatan yang diperolehnya
dari uang kapital terpisahkan dari para pengusaha dan dari semua yang terlibat
langsung dengan manajemen kapital. Imperialisme, atau dominasi finans kapital,
adalah tahapan tertinggi kapitalisme dimana pemisahan ini mencapai proporsi yang
luas.”[21]
Pada saat yang sama, kita juga menyaksikan industri minyak dan karet masuk ke
pulau-pulau di luar Jawa pada awal tahun 1870. Ekspansi kontrol Belanda atas pulau-
pulau luar-Jawa terjadi bersamaan dengan kepentingan perkebunan tembakau, karet,
teh, kopi, dan kelapa di Borneo, Sulawesi, dan Sumatra Utara; tetapi daerah utama
untuk aktivitas perkebunan di luar Jawa adalah Pantai Timur Sumatra, yang berubah
dari hutan belantara yang tidak ada akhirnya pada tahun 1860an menjadi salah satu
daerah perkebunan utama di dunia pada tahun 1920an.
Sampai pada tahun 1870an, 80 hingga 90 persen dari total nilai ekspor Hindia Timur
Belanda ditujukan ke Belanda.[22] Ini adalah hasil dari Sistem Tanam Paksa dimana
pemerintahan Belanda bermaksud memperluas produksi ekspor di Jawa dan
mengorientasikan ini secara eksklusif ke Belanda. Produksi dan ekspor di koloni ada
di bawah kontrol ketat pemerintah. Dengan berakhirnya Sistem Tanam Paksa dimana
aktor utama dalam perkembangan industri perkebunan semakin bergeser ke
perusahaan swasta, dan juga dengan pembebasan tarif, bagian ekspor ke Belanda
jatuh secara signifikan sedangkan ekspor intra-Asia meningkat. Pada permulaan abad
ke-20, porsi ekspor ke Belanda telah jatuh ke 30% sedangkan pada periode yang sama
porsi ekspor ke Asia (terutama Singapura, diikuti oleh Cina/Hong Kong, India, dan
Jepang) meningkat dari 13% pada awal 1870 ke 47% pada tahun 1908.[23] Sebagai
pelabuhan entri untuk perdagangan bebas, Singapura mengirim kebanyakan ekspor
Hindia Timur Belanda yang mendarat di pelabuhannya ke tujuan final di tempat lain,
terutama ke Amerika Serikat.
Perkembangan pesat dari industri perkebunan bergerak bersamaan dengan
perkembangan dominasi kolonial atas daerah Asia Tenggara oleh Inggris (di Malaya
dan Burma), Prancis (Indochina: Vietnam, Laos, Kamboja), AS (Filipina), dan
Belanda (Indonesia). Kemajuan dalam transportasi dan komunikasi antara Asia
Tenggara dan Eropa juga berkontribusi pada perkembangan ini, terutama dibukanya
Kanal Suez pada tahun 1869 dan diletakkannya kabel bawah laut untuk
telekomunikasi telegraf antara Eropa dan Asia pada tahun 1860an dan 1870an.
Ekonomi koloni Asia Tenggara moderen mencapai pertumbuhan yang tidak ada
preseden antara tahun 1870an hingga 1920an, bersamaan dengan periode boom
kapitalis. Setelah kekuasaan penuh kolonial telah diamankan di daerah tersebut,
kekuatan-kekuatan Eropa (Inggris, Prancis, AS, Belanda) mengkonsolidasikan dua
pilar ekonomi, yakni industri perkebunan di Asia Tenggara Insular (Indonesia,
Malaysia, dan Filipina), dan daerah penghasil beras di Daratan Utama Asia Tenggara
(Mekong di Indochina, Chao Phraya di Thailand, dan Ayeyardwady di Burma) yang
menyediakan bahan makanan nasi untuk Asia Tenggara Insular dimana nasi tidak
cukup karena perkebunan yang meluas dan populasi yang meningkat. Secara singkat,
perkembangan ini dicapai di bawah sebuah sistem perdagangan dan finansial
internasional yang berpusat di Inggris pada saat itu.
Periode Etis (1900-1930) dan Kebangkitan Nasionalisme Indonesia
Di senja abad ke-20, kaum moralis dari borjuasi Belanda hati nuraninya sangat terusik
dengan kemiskinan rakyat pribumi Hindia Timur akibat eksploitasi kolonial Belanda,
sehingga mereka meminta peningkatan kesejahteraan moral dan material untuk rakyat
Hindia Timur. Akan tetapi, kebijakan etis sebenarnya hanyalah satu ekspresi dari
kebutuhan ekonomi, dan bukan karena kebaikan hati dari kaum borjuasi Belanda.
Keperluan untuk semakin menyedot sumber daya alam Indonesia untuk memenuhi
selera besar dari kapitalisme yang sedang meledak di Eropa dan AS memaksa para
penindas untuk menciptakan basis dasar untuk ini. Mereka tidak bisa lagi hanya
mengandalkan ekspatriat untuk menjalankan koloni dengan industri perkebunan,
ekonomi, dan pemerintah yang semakin membesar. Makin banyak sekolah dibangun
untuk rakyat pribumi guna melatih mereka untuk menjadi buruh kereta api, dokter,
kasir, guru, dan administrator lokal, dsb. Kita sedang menyaksikan pembentukan
embrio kaum intelektual dan proletariat Indonesia.
Di tingkatan dunia, periode ini ditandai dengan Perang Dunia Pertama dan Depresi
Hebat. Karakter unik dari periode ini adalah kontraksi impor dan ekspor ke Belanda
dan Inggris, dan ekspansi ekspor dan impor dengan AS dan Jepang. Ini menandai
menurunnya kapitalisme Inggris dan Belanda, dan bangkitnya kekuatan adidaya AS
dan Jepang.
Seperti yang kita lihat di Tabel 2 di atas, ekspor karet dan minyak menanjak selama
periode ini dan mencapai puncaknya pada pertengahan 1920an, bersamaan dengan
permintaan besar dari industri mobil yang sedang meledak di AS. Produksi gula juga
mencapai zaman keemasannya pada tahun 1920an dimana Jawa adalah produsen
ketiga terbesar dari tebu gula setelah Kuba dan India.[24] Namun, di balik boom
produksi karet dan gula tersirat masalah over-produksi yang pada akhirnya
menyebabkan anjloknya harga karet dan gula di dunia. Semenjak Depresi Hebat, gula
sudah bukan lagi komoditas ekspor utama di Indonesia, dan diambil alih oleh karet
dan minyak bumi. Karet tetap menjadi komoditas ekspor utama Indonesia hingga
paruh pertama 1960an. Ekspor minyak adalah komoditas ekspor kedua setelah karet,
tetapi porsi total ekspornya tetap kurang dari 20%, dan minyak tidak akan menjadi
komoditas ekspor utama hingga pada akhir 1960an. Pergeseran dari gula ke karet
sebagai komoditas ekspor utama negeri ini juga menandai sebuah pergeseran dalam
pusat pendapatan valuta asing dari Jawa ke pulau-pulau luar-Jawa, terutama Sumatra
dan diikuti oleh Kalimantan.
Satu karakter unik lainnya dari periode ini adalah ekspansi ekspor ke AS setelah
Perang Dunia Pertama, bukan hanya dari Hindia Timur Belanda, tetapi juga dari
daerah-daerah perkebunan seluruh Asia Tenggara Insular (Filipina, Indonesia, dan
Malaya). Dari akhir Perang Dunia Pertama sampai 1920an, porsi total ekspor ke AS
meningkat sangat besar: di Filipina ini meningkat dari 37% pada tahun 1913 ke 75%
tahun 1927, di Hindia Timur Belanda dari 2% pada tahun 1913 ke 13% tahun 1920, di
Malaya dari 14% pada tahun 1913 ke 44% tahun 1927.[25] Selama periode yang
sama, daerah ini juga meningkatkan impor dari AS. Ini menandakan satu periode
restrukturisasi imperialisme, dimana AS bangkit sebagai sebuah negara super power
yang baru dan Kerajaan Inggris Raya yang tua sedang menurun.
Pada awal abad ke-20, kita melihat bangkitnya nasionalisme di kebanyakan koloni-
koloni. Di satu pihak, kekuatan imperialis telah menciptakan pasar bersama (common
market) dan mengukir perbatasan-perbatasan artifisial di koloni-koloni yang tidak
punya perbatasan sebelumnya, dan oleh karenanya dengan paksaan mereka
menciptakan kerangka untuk sebuah bangsa-negara; di pihak lain, identitas nasional
diciptakan di antara rakyat yang terjajah melalui perjuangan bersama melawan sang
penjajah. Hindia Timur, dengan 16 ribu pulaunya, 300 suku yang berbeda-beda, dan
740 bahasa dan dialek – sebuah surga untuk antropologis – disatukan oleh sebuah
sejarah penjajahan oleh Belanda. Lapisan pertama yang mengartikulasikan
nasionalisme Indonesia adalah kaum intelektual muda yang belajar di luar negeri yang
membawa pulang dengan mereka semangat Revolusi Prancis, semangat liberté,
égalité, fraternité, semangat revolusi borjuis-demokratik. Kekalahan pasukan Tsar
Rusia oleh Jepang juga membantu melunturkan mitos keperkasaan Eropa. Rusia saat
itu dianggap sebagai satu kekuatan Eropa yang dikalahkan oleh sebuah negara Asia
yang sedang bangkit. Gagasan lain yang menggoncang dunia pada periode tersebut
adalah Revolusi Rusia. Di tengah sturm und drang (topan dan badai) dari Perang
Dunia Pertama, sebuah negeri yang mencakup 1/6 dunia melaksanakan Revolusi
Proletariat yang pertama dan menjangkiti seluruh dunia, termasuk dunia koloni,
dengan semangatnya. Partai Komunis Indonesia pada tahun 1920an adalah kekuatan
utama dari perjuangan nasionalis, dimana ia berdiri jauh lebih tinggi, secara politik
dan organisasional, dari elemen-elemen nasionalis lainnya. PKI menyatukan
perjuangan untuk pembebasan nasional dan sosialisme, sampai pada kejatuhannya di
pemberontakan 1926-27. Ketika PKI bangkit kembali, ia telah menjadi alat birokrasi
Stalinis dan telah memisahkan perjuangan pembebasan nasional dan sosialisme
dengan teori dua-tahapnya.
Kemerdekaan Nasional
Sejak penghancuran PKI secara fisik pada tahun 1927, secara praktikal panggung
gerakan nasionalis didominasi oleh elemen-elemen borjuis-nasionalis seperti
Soekarno dan Mohammad Hatta. Kekalahan PKI pada tahun 1927 dan Depresi Hebat
yang menyusul – yang memukul Indonesia cukup keras karena ekonominya sangat
tergantung pada ekonomi internasional (dimana populasi meningkat dari 61 juta pada
tahun 1930 menjadi 70 juta pada tahun 1940, pendapatan nasional jatuh dari 3,5
milyar guilder ke 2 milyar guilder[26]) – membuka satu periode semi-reaksi di
Indonesia, dimana gerakan nasionalis terpukul mundur secara politik dan
organisasional. Sekitar 13 ribu penangkapan terjadi dimana ribuan orang dikirim ke
kamp konsentrasi Boven Digul yang terkenal itu, yakni Siberianya Indonesia.
Gerakan nasionalis Indonesia hanya mendapatkan momentumnya kembali setelah
kekalahan Belanda di tangan Jepang pada tahun 1942, menandai berakhirnya tiga-
setengah-abad penjajahan Belanda dan awal dari tiga-setengah-tahun penjajahan
Jepang. Namun jenis nasionalisme yang bangkit adalah nasionalisme borjuis yang
secara ketat dikendalikan oleh Jepang dalam kerangka Kawasan Kemakmuran
Bersama Asia Timur Raya dengan slogan “Asia untuk Orang Asia”. Jepang mengasuh
di bawah sayap mereka pemimpin-pemimpin penting Indonesia, di antara mereka
adalah Soekarno dan Hatta, guna mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia untuk
mesin perang mereka dalam mempertahankan wilayah-wilayah yang sudah mereka
taklukkan dari pasukan Sekutu. Pada saat yang sama, pemimpin-pemimpin lain yang
menunjukkan kecenderungan sosialis ditindas dengan kejam. Hanya organisasi-
organisasi yang disetujui oleh Jepang diperbolehkan eksis, seperti Putera dan Djawa
Hokokai. Organisasi-organisasi ini tidak lain adalah instrumen pemaksa dan
pengontrol Jepang.
Di belakang janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia adalah
satu usaha untuk mengendalikan gerakan nasionalis, supaya bila Indonesia merdeka ia
tetap akan berada di bawah kekuasaan langsung mereka. Macam pemimpin nasionalis
yang diasuh oleh Jepang menunjukkan warna mereka yang sesungguhnya ketika
momen-momen yang menentukan datang. Bahkan setelah menyerahnya Jepang pada
tanggal 15 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta takut memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Jepang. Mereka harus dipaksa
oleh kaum muda militan, yang tidak setuju kalau Indonesia mendapatkan
kemerdekaannya sebagai sebuah hadiah dari Jepang. Terutama dengan penyerahan
tanpa syarat dari Jepang, dimana ini berarti bahwa pasukan bersenjata Jepang di
Indonesia akan bertindak sebagai perwakilan dari kekuatan Sekutu yang ingin
mengembalikan koloni ini ke Belanda.
Setelah banyak negosiasi dan keraguan, pada pagi hari 17 Agustus 1945, Soekarno
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dan mulailah babak baru dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang diperjuangkan di lapangan militer melawan
kekuatan Sekutu dan di lapangan politik antara kaum reformis dan kaum revolusioner.
Kaum reformis, yang dipersonifikasi oleh Hatta dan Sjahrir, merasa cukup dengan
kemerdekaan Indonesia di bawah jempol imperialisme, sedangkan kaum revolusioner,
yang dipersonifikasi oleh Tan Malaka dan front persatuannya Persatuan Perjuangan,
menuntut 100% Merdeka. Kaum revolusioner berjuang dengan berani melawan
pasukan Sekutu dan juga melawan pemimpin nasionalis seperti Hatta yang ingin
berkapitulasi pada kekuatan imperialis dan mengembalikan semua perusahaan dan
perkebunan Belanda, yang nota-bene berarti penundukan ekonomi Indonesia terhadap
Belanda. Kaum nasionalis borjuis ini mengirim pasukan mereka untuk melawan milisi
rakyat yang sedang berjuang mempertahankan negara mereka. Ribuan pejuang muda
yang berani, yang dianggap terlalu revolusioner, diburu dan dibunuh oleh pasukan
pemerintah, termasuk Tan Malaka pada tahun 1949.
Pada tanggal 27 Desember 1949, setelah banyak pertempuran yang gagah berani,
yang menewaskan lebih dari 200 ribu orang Indonesia, Belanda terpaksa mengakui
kemerdekaan Indonesia. Namun, para pemimpin nasionalis telah menjual seluruh
Indonesia dengan menyetujui pengembalian seluruh perusahaan, tanah perkebunan,
dan tambang-tambang Belanda dan membayar 4,3 milyar guilder (atau senilai 10,1
milyar dollar pada tahun 2009) yang merupakan agresi militer Belanda di Indonesia
selama 4 tahun. Ini menaruh ekonomi Indonesia di bawah jempol kaum imperialis dan
program 100% Merdeka dikhianati.
Orde Lama
Ekonomi Indonesia digambarkan sebagai “kemerosotan kronik” oleh Benjamin
Higgins, penulis buku terkemuka mengenai Ekonomi Perkembangan pada periode
tersebut. Dia menyimpulkan bahwa “Indonesia tentu harus dicatat sebagai kegagalan
nomor satu di antara negara-negara kurang berkembang.”[27]
Sultan Hamengkubowono IX pada tahun 1966 menjelaskan situasi pada saat itu
sebagai berikut: “Setiap orang yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sedang
mengalami sebuah situasi ekonomi yang menguntungkan sungguh kurang melakukan
studi yang intensif ... Bila kita membayar semua utang luarnegeri kita, kita tidak ada
valuta asing tersisa untuk memenuhi kebutuhan rutin kita ... Pada tahun 1965 harga-
harga secara umum naik lebih dari 500 persen ... pada tahun 1950an anggaran negara
mengalami defisit sebesar 10 hingga 30 persen, dan pada tahun 1960an defisit ini
meningkat hingga lebih dari 100 persen. Pada tahun 1965, ini bahkan mencapai 300
persen.”[28]
Kondisi sosial tidak lebih baik, dengan kontras antara yang kaya dan yang miskin
semakin menajam pada saat itu, kendati pengumuman berulang-ulang dari pemerintah
Soekarno mengenai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Ini digarisbawahi oleh
kutipan berikut ini dari seorang pengamat Indonesia selama pertengahan 1960an: “ ...
jumlah konsumsi barang mewah di Jakarta tampak meningkat ... tajamnya
peningkatan jumlah mobil, pada saat dimana transportasi publik semakin memburuk
dengan serius, memberikan indikasi mengenai kesenjangan ini ... setiap kali selalu ada
peraturan ekspor-impor baru untuk menghentikan impor barang-baran mewah, tetapi
entah bagaimana mereka tetap masuk.”[29]
Tabel 3. Indikator-Indikator Perkembangan Ekonomi Indonesia, 1960-1965[30]
1960 1961 1962 1963 1964 1965
Produk Domestik
Nasional (Rp Milyar),
Harga 1960
391 407 403 396 407 430
Pendapatan per kapita, %
perubahan
-1,6 1,7 -3,0 -4,0 0,3 3,2
Defisit anggaran dalam %
pengeluaran
17 30 39 51 58 63
Suplai Uang (M1), %
perubahan
37 41 101 94 156 302
Inflasi (CPI, % perubahan) 20 95 156 129 135 594
Indikator ekonomi di atas selama periode 1960-65 jelas menunjukkan bahwa ekonomi
Indonesia sedang menukik secara katastropik. Dalam 5 tahun, inflasi naik dari 20%
hinggal 600%, defisit anggaran naik dari 17% hinggal 63%. Penyebab segera dan
langsung dari meningkatnya inflasi, yang bagi buruh dan tani berarti menurunnya
pendapatan riil mereka, tidak sulit untuk ditemukan. Suplai uang mulai meningkat
dengan cepat dari 40% di awal 1960an sampai 300% pada tahun 1965. Peningkatan
suplai uang ini disebabkan oleh defisit anggaran, yang diatasi oleh pemerintah dengan
mencetak lebih banyak uang.
Narasi utama yang telah dikeluarkan oleh kapitalis Barat adalah bahwa Soekarno,
seperti kebanyakan pemimpin-pemimpin Dunia Ketiga di zamannya, memberikan
perhatian yang berlebihan ke isu-isu politik dan mengabaikan isu-isu ekonomi; bahwa
dia mempolitisasi bangsa secara ekstrim dan sebagai akibatnya mengurangi
pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, narasi ini tidak mempertimbangkan bahwa
konsolidasi politik adalah sebuah langkah penting yang harus diambil oleh Republik
muda ini. Kekuatan Sekutu telah menebar kekacauan di Republik, secara ekonomi
dan politik. Kebijakan imperialis pada saat itu adalah untuk memecahkan Indonesia
menjadi negeri-negeri yang lebih kecil dan lemah dengan mempromosi gerakan
separatis di seluruh nusantara. Banyak pemberontakan, yang kebanyakan disponsor
dan didukung oleh imperialis, meledak yang mengancam kesatuan nasional, yang
bukan hanya harus dihadapi secara militer tetapi juga secara politik. Usaha militer
untuk melawan kaum separatis adalah salah satu faktor utama yang membuat
bangkrut pemerintah.
Pemerintahan Soekarno mencoba menyeimbangkan dua kekuatan utama: kekuatan
komunis dan kekuatan tentara di bawah jendral-jendral reaksioner. Di belakang kaum
Komunis adalah kelas pekerja, petani miskin, kaum miskin kota, dan banyak kaum
intelektual, artis, dan nasionalis kiri. Di belakang jendral-jendral reaksioner adalah
pemilik tanah kaya, nasionalis sayap kanan, dan terutama kekuatan imperialis.
Kebijakan setengah-hati dari pemerintahan Soekarno, yakni menyerukan frase-frase
revolusioner tanpa menyelesaikan revolusi sosialis, menghapus kapitalisme secara
penuh dan mengimplementasikan ekonomi terencana di bawah kontrol demokratik
buruh, dan di pihak lain penolakan dari PKI untuk merebut kekuasaan karena mereka
terikat kaki dan tangannya pada kaum borjuis nasional (di bawah teori dua-tahap
mereka), mengakibatkan kekalahan kelas pekerja. Di dalam sebuah perjuangan kelas,
hanya ada satu aturan: satu kelas harus menang dan kelas yang lain harus kalah.
Sebuah situasi perjuangan kelas yang tajam, seperti di Indonesia pada akhir 1950
hingga pertengahan 1960, tidak bisa berlangsung selamanya. Satu kelas harus kalah.
Sikap keras kepala PKI untuk mengabaikan perjuangan kelas dengan
mengsubordinasikannya di bawah perjuangan nasional menyebabkan kehancuran
mereka. PKI tidak ingin mengenali perjuangan kelas, tetapi perjuangan kelas mengenali PKI.
1965 dan Imperialisme AS
G30S adalah sebuah konter revolusi yang menyebabkan pembalikan penuh di dalam
politik Indonesia dan dunia. Disini, negara terbesar keempat dengan partai komunis
ketiga terbesar setelah Tiongkok dan Uni Soviet, berubah dari sebuah negeri yang
sangat anti-imperialis ke sebuah partner AS yang penurut. Sebelum kudeta ini, duta
besar AS telah terpaksa mengirim pulang hampir semua personilnya dan menutup
konsulat-konsulat di luar Jakarta karena demonstrasi PKI yang militan. Buruh
menyita perkebunan-perkebunan dan sumur-sumur minyak yang dimiliki perusahaan
AS, dan Sukarno mengancam akan menasionalisasi mereka. Ancaman Indonesia
menjadi komunis adalah nyata dan peristiwa ini bisa mengubah wilayah Asia
Tenggara menjadi merah juga.
Sebuah laporan intelijen level tinggi yang dipersiapkan pada awal September 1965
menulis bahwa “Indonesianya Soekarno sudah bertindak seperti sebuah negeri
komunis dan lebih bermusuhan secara terbuka dengan AS dibandingkan kebanyakan
negeri-negeri komunis lainnya.” Laporan tersebut juga memprediksikan bahwa
pemerintah Indonesia akan didominasi secara penuh oleh PKI dalam dua atau tiga
tahun, dan “kebangkitan Indonesia ke komunisme akan menghantar pukulan yang
berat terhadap politik dunia. Ini akan dilihat sebagai sebuah perubahan besar dalam
perimbangan kekuatan-kekuatan politik internasional dan akan menyuntikkan sebuah
nyawa yang baru ke dalam tesis bahwa komunisme adalah gelombang masa
depan.”[31]
Indonesia dianggap sebagai kartu domino terbesar di Asia Tenggara. Dalam pidatonya
tahun 1965, Richard Nixon membenarkan pemboman Vietnam Utara sebagai satu
cara untuk mengamankan “potensi mineral yang besar” di Indonesia. Sejarahwan Dr.
John Roosa menekankan bahwa pasukan infantri yang mulai turun ke Vietnam pada
bulan Maret 1965 akan menjadi sia-sia bila kaum Komunis meraih kemenangan di
sebuah negara yang jauh lebih besar dan strategis, Indonesia. Kemenangan PKI di
Indonesia akan membuat intervensi AS di Vietnam sia-sia.[32] Robert McNamara,
sekretaris pertahanan di bawah Presiden John F. Kennedy dan Lyndon B. Johnson,
berpendapat bahwa AS seharusnya mengurangi keterlibatannya di Vietnam setelah
pembantaian PKI di Indonesia.[33] Setelah Indonesia, kartu domino utama di Asia
Tenggara, telah diamankan secara baik, politisi AS seharusnya menyadari bahwa
Vietnam tidaklah sekrusial seperti yang pertama kali dikira, begitu pendapat
McNamara. Akan tetapi, pada saat itu, peperangan di Vietnam telah mendapat
logikanya sendiri, terpisahkan dari teori domino. Kemenangan AS di Vietnam, setelah
jatuhnya PKI, lebih dibutuhkan untuk menjaga gengsi pemerintah AS dan
menghindari rasa malu dari kekalahan dalam perang, daripada untuk menghentikan
komunisme di Asia Tenggara.
Seperti yang ditunjukkan di atas, Indonesia adalah sangat penting bagi kaum kapitalis
dunia karena kekayaan alamnya. Setelah Perang Dunia II, AS telah menetapkan
Indonesia ke dalam lingkup pengaruh ekonomi Jepang; minyak, mineral, dan hasil
bumi Indonesia akan memasoki industrialisasi Jepang. Kekawatiran utama AS adalah
keamanan Jepang, yang akses murahnya ke sumber daya alam Indonesia dipercaya
dapat menjaga Jepang untuk tetap di kampnya. Ini dapat dilihat dari statistik ekspor
setelah 1965, dimana Jepang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia, dari sekitar 3-
7% pada tahun 1958-1962 hingga 50% pada tahun 70an dan 80an.[34]
Orde Baru
Orde Baru membawa sebuah eksploitasi yang semakin parah. Dalam waktu 10 tahun,
dari tahun 1971 hingga 1981, total nilai ekspor meloncat dari US$ 1,2 milyar hingga
US$ 25,2 milyar, sebuah
loncatan tinggi sebesar 2100%
dalam 10 tahun.[35]
Minyak dan gas bumi secara
konsisten mencakup lebih
dari 50 persen total nilai ekspor
hingga tahun 1987, dengan
Jepang sebagai tujuan
ekspor utama.[36]
Sekitar 80% dari ekspor
minyak dan gas bumi menuju
Jepang dan Amerika
Serikat.[37] Periode dari tahun 1971 sampai 1987 sering disebut sebagai periode
migas.
Jepang adalah tujuan ekspor utama dari produk-produk Indonesia, terutama dari awal
1970an hingga akhir 1980an, dimana ekspor ke Jepang adalah sebesar 40 hingga 50%.
Level ekspor ke AS menyusul Jepang, dengan total gabungan ekspor ke Jepang dan
AS sebesar 60 hingga 70% dari tahn 1971 sampai 1987.[38] Konsentrasi ekspor ke
AS dan Jepang ini mulai pada akhir tahun 1960an, yang bersamaan dengan
penghancuran rejim Soekarno dan kekuatan PKI pada tahun 1965-66. Ini sejalan
dengan kebijakan luar negeri AS untuk menempatkan Indonesia di dalam lingkup
ekonomi Jepang.
Dominasi ekspor minyak mulai menurun setelah memuncak pada tahun 1981. Dari
paruh kedua tahun 1980am, ekspor minyak jatuh ke satu level yang hanya 1/3 dari
level 1981. Penurunan ini disebabkan terutama oleh anjloknya harga minyak dunia
pada tahun 80an, atau yang disebut dengan krisis minyak 1980, di mana harga minyak
jatuh dari puncaknya $35 per barrel pada tahun 1980 ke di bahwa $10 tahun 1986.
Menyusul penurunan tajam pada tahun 1980an, ekspor minyak stagnan pada tahun
90an. Porsi eskpor migas jatuh menjadi 20% pada akhir 1990an. Minyak perlahan-
lahan kehilangan posisinya sebagai komoditas ekspor utama. Menggantikan
tempatnya, kita melihat peningkatan hebat dalam ekspor kayu lapis pada awal
1990an, dalam ekspor tekstil dan garmen pada pertengahan 1990an, dan dalam ekspor
produk-produk elektronik pada paruh kedua 1990an.[39] Indonesia jelas
menggantikan ekspor bahan mentahnya dengan ekspor produk-produk industrial.
Tujuan ekspor juga berubah pada akhir 1990an, dimana perdagangan produk-produk
industrial dengan negara-negara Asia Timur (Korea, Taiwan, dan Tiongkok) selain
Jepang dan negara-negara ASEAN menjadi fundamental di dalam perdagangan luar
negeri Indonesia. Tren ekonomi ekspor Indonesia dari paruh kedua abad ke-19 sampai
abad ke-20 dapat diringkas dengan skema berikut ini:
Periode Komoditas Ekspor
Kunci
Daerah Produksi
Utama
Tujuan Ekspor
Utama
Sampai 1870 Kopi Jawa Belanda
Sampai 1920an Gula Jawa Asia Selatan dan
Timur
Sampai pertengahan
1960an
Karet Pulau-pulau luar Jawa
(terutama Sumatra)
AS
Sampai pertengahan
1980an
Minyak Pulau-pulau luar Jawa
(terutama Sumatra)
Jepang
Sampai akhir abad ke-
20
Produk manufakur Jawa Asia Timur dan
ASEAN
Selama era karet pada tahun 1930an dan era minyak 1960an, produksi ekspor
terkonsentrasi di pulau luar Jawa. Namun, pada akhir 1980an, ada peningkatan ekspor
dari Jawa, yang memiliki tenaga kerja besar dan kapasitas untuk memproduksi
barang-barang industrial untuk ekspor.
Pertumbuhan Kelas Pekerja di Indonesia
Indonesia mengalami pergeseran komoditas ekspor kunci dari pertanian dan
pertambangan ke berbagai macam barang manufaktur. Pada akhir tahun 1980an,
manufaktur sendirian telah berkontribusi hampir 30% dari total pertumubuhan PDB,
dibandingkan 10% kontribusi pada pertumbuhan pada akhir 1960an.[40] Selama
periode 1986-1993, pertumbuhan lapangan pekerjaan di manufaktur skala besar dan
menengah meningkat 9% per tahun.[41] Selama periode yang sama, pekerjaan di
sektor pertanian mengalami penurunan. Jutaan orang pindah dari pedesaan ke
perkotaan. Lapisan proletariat baru ini, yang terlempar dalam jumlah ribuan ke
pabrik-pabrik, adalah salah satu kekuatan yang menggoncang rejim Soeharto. Jumlah
pemogokan yang tercatat pada tahun 1990an meningkat pesat, dari 61 pada tahun
1990 ke 300 pada tahun 1994. Proporsi besar dari pemogokan ini terjadi di
manufaktur, terutaman di industri tekstil, garmen, dan sepatu yang bergaji rendah.[42]
Tabel 6. PDB Non-migas dan Lapangan Kerja menurut Sektor, 1976-2007
(persen dari total)[43]
PDB non-migas (%) Lapangan Kerja (%)
1976 1986 1997 2007 1976 1986 1997 2007
Pertanian 36,8 26,7 16,4 14,9 61,6 55,1 41,2 41,2
Sektor-sektor 63,2 73,3 83,4 85,1 38,4 44,9 58,8 58,8
Lain
Manufaktur 10,6 17,8 28,4 26,9 8,4 8,2 12,9 12,4
Pertambangan 1,3 1,8 3,3 4,2 0,2 0,6 1,0 1,0
Listrik, Gas, dan
Air Bersih
0,3 0,3 0,5 0,7 0,1 0,2 0,2 0,2
Konstruksi 5,9 6,3 8,5 6,7 1,7 2,7 4,8 5,3
Perdagangan,
Hotel
21,5 19,7 19,2 18,6 14,4 14,3 19,8 20,6
Transportasi,
Komunikasi
3,6 5,0 8,7 10,1 2,7 3,0 4,8 6,0
Keuangan 3,3 7,0 8,7 10,1 0,2 0,5 0,8 1,4
Pemerintah 6,7 8,6 5,6 4,4 3,4 4,6 4,7 3,7
Jasa lain 10,0 6,9 4,0 5,6 7,3 10,0 9,8 8,3
Dalam periode 21 tahun antara tahun 1976 hingga 1997, PDB non-migas tumbuh rata-
rata 7,5% per tahun. PDB pertanian perlahan-lahan menurun dari 36,8% tahun 1976
hingga 16,4% pada tahun 1997, sedangkan PDB manufaktur meningkat dari 10,6%
hingga 28,4%. Porsi lapangan kerja dari sektor pertanian juga mengalami penurunan
perlahan-lahan dari 61,6% pada tahun 1976 ke 41,2% pada tahun 1997, sedangkan di
sektor manufaktur ini meningkat dari 8,4% ke 12,9% dalam jangka waktu yang sama.
Disini kita lihat bagaimana pekerja manufaktur menjadi semakin penting di Indonesia,
dalam hal jumlah dan juga kontribusinya ke PBD per kepala. Pada tahun 2007,
walaupun hanya mencakup 12,4% lapangan kerja, buruh manufaktur berkontribusi ke
PBD sebesar 26,9%, sedangkan sektor pertanian dengan 41,2% lapangan kerja hanya
berkontribusi 14,9% PBD.
Status pekerjaan di Indonesia yang paling dominan adalah pekerja berusaha-sendiri
yang mencakup 41% dari total pada tahun 2007. Pekerja berusaha-sendiri bekerja
sendirian atau dengan bantuan dari anggota keluarga yang tidak dibayar. Oleh karena
itu, pada kenyataannya kedua kategori ini saling bertautan, menciptakan satu sektor
informal yang berjumlah total sekitar 60-70%, atau sekitar 60-70 juta rakyat yang
terpaksa menciptakan lapangan kerja mereka sendiri karena tidak ada pekerjaan yang
tersedia.
Tabel 5. Tren dalam status pekerjaan, 1986-2007 (% dari total lapangan
pekerjaan)[44]
Status 1986 1996 2003 2007
Berusaha
sendiri
45,9 46,9 42,6 41,3
Pekerja
keluarga/tidak
dibayar
27,1 17,5 19,5 17,3
Total pekerja 73,0 64,4 62,1 58,6
non-upahan
Pekerja upahan
reguler
19,7 27,5 26,2 28,1
Pekerja upahan
kasual
6,7 6,7 8,6 10,4
Total pekerja
upahan
26,4 34,2 34,8 38,5
Bos/Majikan 0,7 1,4 3,0 2,9
Secara umum kita melihat peningkatan jumlah pekerja upahan, reguler atau kasual,
dari total 26,4% pada tahun 1986 ke 38,5% pada tahun 2007, dan menurunnya jumlah
pekerja sektor informal (pekerja berusaha sendiri dan pekerja keluarga/tidak dibayar)
dari 73% ke 58,6%. Setelah krisis 1997, ada penurunan sedikit dalam pekerja upahan
reguler ke 26% pada tahun 2003, tetapi lalu ini kembali ke level pra-krisis pada tahun
2005 dan meningkat ke 28% pada tahun 2007. Kita dapat melihat bahwa penurunan
ini diserap oleh pekerja keluarga/tidak dibayar, dimana buruh yang dipecat
bergantung pada keluarga mereka untuk pekerjaan dan sebagai gantinya diberikan
ongkos hidup. Pekerja upahan reguler lebih umum dalam manufaktur dan pelayanan
jasa. Lebih dari 40% buruh di sektor non-pertanian adalah pekerja reguler,
dibandingkan dengan hanya 6% di pertanian. Kita juga menyaksikan sebuah
pergeseran ke lebih banyak pekerja upahan reguler di sektor pertanian, dimana pada
tahun 1986 hanya 0,3% dari pekerja pertanian adalah pekerja upahan, pada tahun
2007 ini menjadi 5,8%.[45] Kaum proletariat di Indonesia jelas sedang meningkat
jumlahnya dan juga posisi ekonominya dalam sistem kapitalis.
Industrialisasi dan pertumbuhan kelas pekerja yang pesat juga telah menarik sejumlah
besar kaum perempuan ke dalam barisannya. Walaupun perempuan-perempuan muda
ini dieksploitasi secara brutal dan dipaksa pindah dari desa ke pabrik-pabrik,
pekerjaan dan perjuangan mereka telah mengubah kehidupan, status sosial, dan
kepercayaan diri dari kaum perempuan Indonesia yang dulunya dikenal penurut.
Mereka bukan korban eksploitasi dan ketidakadilan yang pasif. Namun mereka telah
menjadi agen perubahan sosial yang aktif, dan sering kali mereka lebih vokal dari
rekan laki-laki mereka. Tidak sedikit dari mereka yang telah menjadi pemimpin buruh
dan perjuangan.
Lapisan pekerja lainnya yang cukup penting adalah buruh migran Indonesia. Pada
tahun 2008, jumlah buruh migran Indonesia adalah sekitar 5,8 juta, jumlah ini setara
dengan setengah jumlah buruh di sektor manufaktur medium dan besar.[46]
Mayoritas dari mereka adalah perempuan dan bekerja di sektor informal sebagai
pembantu rumah tangga. Sisanya bekerja di sektor pertanian dan industri sebagai
buruh harian. Buruh-buruh ini adalah sumber valuta asing yang penting,
menghasilkan sebesar US$ 5 milyar pada tahun 2006[47], yakni dua kali nilai ekspor
pertanian. Walaupun banyak dari mereka teratomisasi karena watak dari pekerjaan
mereka, mereka telah mampu membentuk serikat-serikat buruh untuk berjuang demi
hak-hak mereka.
Krisis 1997/1998 dan Reformasi
Tujuh tahun sebelum krisis ekonomi 1997, ada influks kapital yang besar ke dalam
sektor swasta, dari US$ 314 juta pada tahun 1989 ke US$ 11,5 milyar pada tahun
1996, sebuah peningkatan 3500%.[48] Kapital swasta yang besar ini, kebanyakan
darinya adalah kapital jangka pendek yang diinvestasikan ke sektor real-estate,
menciptakan ekonomi gelembung yang meledak pada saat krisis finansial Asia 1997.
Krisis sangat parah. Dari pertumbuhan pertahun rata-rata 7%, PDB riil berkontraksi
hampir 14% pada tahun 1998. Rupiah anjlok dari Rp. 2.450 ke Rp. 14.900 terhadap
dolar AS antara bulan Juni 1997 dan Juni 1998. Pemerintahan kapitalis, dengan
bantuan dari reformis-reformis tulen, cepat membail-out bank-bank dan perusahaan-
perusahaan finansial yang berjatuhan. Sebagai akibatnya, hutang publik pemeringah
naik dari nol sebelum krisis menjadi US$ 72 milyar, sebuah jumlah besar yang harus
dibayar oleh rakyat pekerja.
Investasi Asing Langsung (FDI) juga jatuh dengan tajam. MFDI sebesar US$ 5,6
milyar pada tahun 1996 berubah menjadi keluarnya FI sebesar US$ 4,6 milyar pada
tahun 2000. Kapital swasta asing terus meninggalkan negeri sampai tahun 2004
dimana ini berdiri pada negatif US$ 1,5 milyar. FDI mulai masuk kembali pada tahun
2005, dan pada tahun 2006 ini berjumlah US$ 4,1 milyar.[49]
Setelah krisis, pertumbuhan tetap rendah dengan PDB riil tumbuh tidak lebih dari 5%
pertahun selama 1997-2004, dan sekitar 5,5% pada tahun 2005-2006, dan 6,3% pada
tahun 2007.
Figur 1. Pertumbuhan PDB di Indonesia[50]
Krisis ekonomi ini adalah jerami yang mematahkan punggung unta. 32 tahun
pembangunan terurai secara eksplosif. Harga kebutuhan sehari-hari meroket. Supresi
demokrasi menjadi semakin tidak tertahankan, dengan insiden 27 Juli 1997 –
penyerangan markas Partai Demokrasi Indonesia – menjadi titik balik. PDI dan
Megawati menjadi titik persatuan untuk perjuangan demokrasi.
Rejim Soeharto ditumbangkan oleh massa. 32 tahun kediktaturan diremukkan dalam
satu malam ketika jutaan rakyat turun ke jalan dan memaksa Soeharto untuk mundur.
Namun, Reformasi membawa apa yang ditakdirkannya: reforma kosmetik dan bukan
perubahan fundamental. Reforma di periode krisis ekonomi hanya dapat berarti
konter-reforma, dan ini yang terjadi. Perusahaan-perusahaan milik negara diprivatisasi
dan subsidi dihapus; agenda neo-liberal diimplementasikan dengan ganas. Reformasi
memang memberikan ruang demokrasi, dan ini kendati para reformis. Namun,
Reformasi juga membawa lebih banyak kebebasan kepada kaum kapitalis untuk
mengeksploitasi massa.
Setelah 12 tahun, menjadi jelas bagi siapapun bahwa Reformasi gagal membawa
perubahan fundamental ke dalam masyarakat. Walaupun Reformasi menghantarkan
satu pukulan besar ke rejim kapitalis, memaksa Soeharto untuk mundur dan membuka
ruang demokrasi – kendati ini adalah ruang demokrasi borjuis -, ia gagal
menyelesaikan problem fundamental yang dihadapi oleh jutaan buruh, tani, nelayan,
kaum muda, dan kaum miskin kota. Kemiskinan masih tinggi. Persentasi populasi
yang hidup dengan 1 dolar per hari (kemiskinan ekstrim) pada tahun 1996 – puncak
boom ekonomi Indonesia – adalah 7,8%, pada tahun 2006 angka ini menjadi 8,5%.
Namun bila kita ambil garis kemiskinan 2-dolar-perhari, maka kemiskinan pada tahun
2006 melonjak ke 53%.[51] Ini berarti bahwa lebih dari setengah rakyat Indonesia
hidup jauh di bawah PBD per kapita $3900 (angka tahun 2008). 10% penduduk
termiskin hanya mengkonsumsi 3% kekayaan, sedangkan 10% penduduk terkaya
mengkonsumsi 32,3%.[52]
Kegagalan Reformasi sangatlah mencolok sehingga bahkan massa rakyat mulai
mengidamkan “masa lalu yang baik” di bawah Soeharto ketika kemiskinan lebih
tertanggungkan dan ada semacam kestabilan. Di bawah kedok demokrasi, tingkat
eksploitasi sebenarnya justru meningkat. Ini adalah logis, karena bagi kelas penguasa
demokrasi berarti kebebasan untuk menindas. Sebagai konsekuensinya, agenda neo-
liberal telah diimplementasikan lebih ganas dalam tahun-tahun belakangan. Banyak
perusahaan dan properti negara yang sedang diprivatisasi. Subsidi negara dihapus.
Tidak heran kalau rakyat letih akan situasi sekarang ini dan skeptis akan apa yang
telah dibawa oleh Reformasi 1998.
Resesi Dunia 2008/2009
Indonesia tidak dapat lari dari pengaruh resesi dunia yang dipicu oleh krisis kredit
perumahan di AS (Untuk analisa yang lebih dalam mengenai resesi dunia, baca
Dokumen Perspektif Dunia 2010). Di Indonesia, ekonomi pada tiga kuartal pertama
tahun 2008 dipenuhi dengan optimisme dan tumbuh di atas 6%, dan ketika resesi
menghantam, berkontraksi ke 5,2% pada kuartal keempat. Hampir seperti krisis 1997,
Rupiah mengalami 30% depresiasi terhadap dolar AS dalam dua bulan Oktober dan
November 2008. Pasar saham kehilangan hampir setengah nilainya antara Januari
2008 (2627,3) dan Desember 2008 (1355,4)
Namun, Indonesia pulih dengan cepat dari resesi ini. Di paruh pertama tahun 2009,
PBD Indonesia tumbuh 4,2%, terbesar di Asia Tenggara sementara negara-negara lain
di wilayah yang sama mengalami penurunan PBD, Singapura -3,5%, Thailand -4,9%,
dan Malaysia -5,1%. Pada tahun 2009, Indonesia mempos pertumbuhan PDB sebesar
4,5%, dengan pertumbuhan kuartal keempat yang impresif sebesar 5,4%. Selain itu,
pada paruh pertama 2009, Bursa Efek Jakarta rebound dengan cepat, ketiga tercepat
setelah Shanghai dan Mumbai. Pada akhir 2009, BEJ telah kembali ke nilai sebelum
krisis.
Ekonomi Indonesia tidak terpukul oleh resesi separah negara-negara Asia Tenggara
lainnya karena di dekade terakhir pertumbuhannya telah berdasarkan pada konsumsi
domestik, dan bukannya perdagangan ekspor.
Figur 2. Konsumsi Domestik di Indonesia[53]
Faktor lainnya adalah bahwa nilai ekspor Indonesia hanyalah sekitar 25% dari PDB,
sedangkan banyak negeri di Asia memiliki rasio ekspor terhadap PDB yang jauh lebih
tingga. Dengan menurunnya pertumbuhan volume perdagangan global dari 8,1% pada
5 tahun terakhir sebelum krisis menjadi 4,1% pada tahun 2008 dan -12,2% pada tahun
2009, negeri-negeri yang bergantung pada ekspor terhantam segera dan lebih parah.
Figur 3. Bagian Ekspor dan Pertumbuhan PDB – Asia Timur Berkembang[54]
Eksposure yang terbatas terhadap krisis kredit perumahan AS juga melindungi sistem
perbankan Asia dari shok awal krisis finansial ini. Dari total US$ 1,5 trilyun default
kredit dan kerugian kredit yang tercatat di seluruh dunia semenjak Juli 2007, hanya
US$ 39 milyar, atau sekitar 2,7%, datang dari institusi finansial Asia – kebanyakan
datang dari Jepang dan Tiongkok.[55]
Selain itu, paket stimulus pemerintah yang berjumlah US$ 7,1 milyar (Rp. 73,3
trilyun) pada tahun 2009 juga telah mendorong konsumsi domestik. Pemerintah
Indonesia akan melanjutkan paket stimulus sebesar Rp. 38,3 trilyun untuk tahun 2010.
Kesuksesan ini telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memproyeksikan
pertumbuhan yang sangat optimis untuk lima tahun ke depan. Pada akhir Summit
Nasional bulan Oktober 2009 yang dihadiri lebih dari 1300 pejabat dari pemerintah,
kamar dagang asing, asosiasi pemilik modal, dsb., Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan bahwa pemerintah menargetkan
pertumbuhan rata-rata ekonomi: 5,5-5,6 persen tahun 2010, 6,0-6,3 persen 2011, 6,4-
6,9 persen 2012, 6,7-7,4 persen 2013, dan 7 persen 2014.
Namun ini bukan berarti bahwa buruh Indonesia selamat dari krisis. Pada bulan
Februari 2009, Rizal Ramli dari think tank swasta Econit mengatakan bahwa dia
mengestimasikan perusahaan-perusahaan telah memotong 800 ribu pekerjaan
semenjak tahun lalu.[56] Kebanyakan pemecatan ini tercatat di industri manufaktur:
tekstil, garmen, otomotif, sepatu, dan kertas. Hingga akhir tahun 2008, sekitar 250
ribu buruh migran telah dikirim pulang oleh majikan mereka.[57]
Kenyataan bahwa Indonesia pulih dengan cepat dari krisis ini bukanlah alasan untuk
perayaan bagi kaum buruh dan tani. Brazil, Indonesia, India, Cina, dan Afrika Selatan
(yang dinamai BIICS) dijunjung sebagai negara-negara yang mendorong
pertumbuhan ekonomi dunia sementara seluruh dunia lainnya anjlok. Laporan terbaru
dari OECD berjudul Going for Growth 2010 memberikan sebuah “nasihat” kepada
pemerintah Indonesia untuk menghapus subsidi bahan bakar minyak. Pier Carlo
Padoan, Deputi Sekjen dan Ekonom utama OECD, mengatakan bahwa penghentian
subsidi BBM adalah salah satu kebijakan yang harus diambil oleh Indonesia: “India
dan Indonesia masing-masing menghabiskan 10% dan 20% dari belanja pemerintah
untuk subsidi, sebagian besar untuk subsidi energi. Bila harga BBM tetap rendah,
tidak hanya pemborosan konsumsi yang terjadi tapi juga dapat berdampak buruk ke
lingkungan.”[58] Ini adalah persiapan untuk pemotongan besar dalam pengeluaran
publik yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan defisit yang diciptakan untuk
membail-out bank-bank dan perusahaan-perusahaan yang berjatuhan pada saat resesi
ekonomi.
Selain itu, pada tahun 2009, pemerintah mengeluarkan UU 39/2009 yang
mempromosikan pembentukan Zona Ekonomi Khusus untuk mendorong industri
dengan melonggarkan aturan-aturan perburuhan dan lingkungan hidup, dan
menyediakan subsidi untuk perusahaan-perusahaan, semua atas nama meningkatkan
kompetisi di Indonesia. Semenjak diberlakukannya UU tersebut, 48 daerah telah
mendaftar untuk ZEK ini. Pemerintah berencana untuk membangun lima ZEK di
seluruh Indonesia hingga tahun 2012.[59]
Pada tanggal 1 Januari 2010, Indonesia, dengan sembilan negara ASEAN lainnya,
meratifikasi ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dimana ini akan mengurangi
tarif lebih dari 7500 kategori produk, atau sekitar 90% dari barang impor, hingga nol.
ACFTA adalah area perdagangan bebas terbesar dalam hal populasi, dengan sekitar
1,9 milyar penduduk, dan ketiga terbesar dalam hal PDB nominal. Menyusul ACFTA
adalah ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) yang diharapkan akan jalan di
Indonesia pada tanggal 1 Juni 2010, dan Indonesia akan berkomitmen mengurangi
tarif impor sebesar 42,5%.
Kedua perjanjian perdagangan bebas ini akan membanjiri pasar Indonesia dengan
barang-barang murah dari Tiongkok dan India, menghancurkan industri manufaktur
dan pertanian Indonesia, dan menciptakan perlombaan ke bawah yang lebih parah
tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh wilayah ASEAN-Cina-India.
Perjanjian perdagangan bebas ini akan menyakiti kaum buruh dan tani dari seluruh
wilayah ini. Namun solusinya bukanlah lebih banyak proteksionisme, karena
perdagangan bebas dan proteksionisme di bawah kapitalisme adalah dua sisi dari koin
yang sama. Kenyataannya, proteksionisme membawa kebijakan konter yang serupa
dari negara-negara lain, menyebabkan kontraksi tajam bagi perdagangan dunia dan
sebagai akibatnya sebuah kemerosotan global. Untuk negara-negara kurang
berkembang seperti Indonesia, kebijakan proteksionis dari negara-negara kapitalis
besar akan membuatnya kehilangan pasar ekspor dan menghancurkan industri di
dalam negeri, dan mendorong jutaan buruh dan tani ke pengangguran.
Menilik dari situasi ekonomi global, yakni pemulihan ekonomi tanpa penciptaan
lapangan kerja, proyeksi optimis dari pemerintahan SBY berdiri di atas pondasi yang
rapuh. Walaupun secara formal resesi telah berakhir, efek dari resesi ini akan
berkepanjangan dan pemulihan ekonomi tidak akan mulus. Pertama, resesi besar ini
diatasi oleh negeri-negeri maju dengan menyuntik sebanyak US$ 11 trilyun, atau 1/5
output global, guna menyelamatkan ekonomi. Menurut IMF, hutang publik bruto dari
sepuluh negeri terkaya akan menjadi 106% dari PDB. Angka ini adalah 78% pada
tahun 2007. Defisit besar ini harus dibayar dengan memotong pengeluaran publik,
yang akan berarti sebuah penurunan dalam konsumsi domestik di kebanyakan negeri-
negeri kapitalis maju dalam tahun-tahun ke depan. Terlebih lagi, krisis overproduksi
di negeri-negeri kapitalis maju adalah parah, dengan kapasitas produksi 30% lebih
besar daripada kemampuan membeli konsumen. Ini berarti bahwa pemulihan ekonomi
di negeri-negeri maju akan berlangsung tanpa penciptaan lapangan kerja. Selain
mengurangi permintaan impor dari negeri-negeri Asia, ini juga akan mengurangi
investasi asing. Hampir 50% investasi untuk perusahaan-perusahaan non-finansial di
Indonesia datang dari kapital asing. Sebagai akibatnya, kita telah mulai menyaksikan
banyak rencana-rencana investasi di Indonesia yang telah ditunda dan dibatalkan.
Dengan penurunan investasi dan permintaan asing, kita akan melihat penurunan di
dalam level produksi di Indonesia dan peningkatan tingkat pengangguran.
Era Baru
Krisis finansial 2008/2009 adalah krisis yang terbesar semenjak Depresi Hebat 1929.
Secara ekonomi, sosial, dan politik, krisis ini akan meninggalkan sebuah bekas di
dalam sejarah kapitalisme. Dunia tidak akan pernah sama lagi. Indonesia, yang terikat
erat dengan kapitalisme global, tidak dapat lari dari krisis ini. Kapitalis seluruh dunia
berjuang untuk mengatasi kontradiksi dari sistem mereka. Mereka akan memindahkan
beban krisis ini ke pundak milyaran buruh dan tani.
Lebih dari 150 tahun yang lalu, Marx dan Engels menulis di Manifesto Komunis:
“Dan bagaimanakah borjuasi mengatasi krisis-krisis ini? Pada satu pihak, dengan
memaksakan penghancuran sejumlah besar tenaga-tenaga produktif, pada pihak lain,
dengan merebut pasar-pasar baru dan menghisap pasar-pasar yang lama dengan cara
yang lebih sempurna. Itu artinya, dengan membukakan jalan untuk krisis-krisis yang
lebih luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi cara-cara yang dapat mencegah
krisis-krisis itu.”
Inilah yang sedang dilakukan oleh kaum kapitalis seluruh dunia. Pabrik-pabrik sedang
ditutup dengan jutaan buruh dipecat (“memaksakan penghancurah sejumlah besar
tenaga-tenaga produktif”) dan mereka yang masih beruntung memiliki pekerjaan
mereka sedang dipaksa bekerja lebih keras dan lebih lama dengan bayaran yang lebih
rendah. Ada kemerosotan dalam permintaan dunia dan kapitalis seluruh dunia
dipaksa untuk membuka lebih banyak pasar baru dan membesarkan yang lama
(“merebut pasar-pasar baru dan menghisap pasar-pasar yang lama dengan cara yang
lebih sempurna”) melalui perjanjian-perjanjian perdagangan bebas dan segala macam
skema ekonomi. Namun, kapital telah merasuk ke semua sudut dunia dan tidak ada
lagi pasar yang baru yang bisa direbut. Dalam 50 tahun terakhir, kapitalisme telah
berhasil menghindari krisis besar dengan membuka pasar-pasar baru (terutama di
Cina, India, dan Rusia). Sebagai konsekuennya, ini telah “membukakan jalan untuk
krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi cara-cara yang
dapat mencegah krisis-krisis itu.” Dan memang benar, sebuah krisis yang lebih besar
sedang menanti kelas penguasa.
Montreal, 6 Juli 2010
[1] Karl Marx, “The Bourgeoisie and the Counter Revolution” Neue Rheinische Zeitung No. 169,
December 1848.
[2] Karl Marx, Capital I (Moscow: Progress Publishers) 704.
[3] Marx, Capital I 703.
[4] George Masselman, The Craddle of Colonialism (New Haven: Yale University Press, 1963) 57.
[5] Masselman 59.
[6] Masselman 466.
[7] Marx, Capital I 705.
[8] Masselman 467-468.
[9] Karl Marx, Capital III (Moscow: Progress Publishers: 1974) 333.
[10] Marx, Capital I 707.
[11] Marx, Capital I, 707
[12] R.E. Elson, “Peasant Poverty and Prosperity Under the Cultivation System in Java,” Indonesian
Economic History in the Dutch Colonial Era, ed. Anne Booth, et al. (New Haven: Yale University
Southeast Asia Studies, 1990) 26.
[13] W.R. van Hoevel, Reis over Java, Madura, en Bali, in het midden van 1847 [Journey through Java,
Madura, and Bali in the Middle of 1847] (Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849-1851).
[14] Anon. “Launy on the Situation in Java,” Tijdschrift voor Nederlandsch Indie 1851, 13(2), 35-42.
[15] Fasseur C., Cultivation System and Colonial Profits: Dutch Exploitation of Java, 1840-1860
(Leiden: Universitaire Pers, 1975).
[16] G.R. Knight “The Peasantry and the Cultivation of Sugar Cane in Nineteenth-century Java: A
Study from Pekalongan Residency, 1830-1870,” Indonesian Economic History in the Dutch Colonial
Era (New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1990) 49.
[17] Hiroyoshi Kano, Indonesian Exports, Peasant Agriculture, and the World Economy 1850-2000
(Athens: Ohio University Press, 2008) 34, 44, 52.
[18] Kano 165.
[19] Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism (Moscow: Progress Publisher, 1975) 22.
[20] Lenin 22.
[21] Lenin 56.
[22] Kano 29.
[23] Kano 39.
[24] Kano 162.
[25] Kano 130.
[26] Malcolm Caldwell and Ernst Utrecht, Indonesia, An Alternative History (Sydney: Alternative
Publishing Co-operative Limited, 1979) 35.
[27] Benjamin Higgins, Economic Development (New York: W.W Norton, 1969)
[28] Sultan Hamengkubuwono IX, quoted in J. Panglaykim and H.W. Arndt, Survey of Recent
Developments, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 1966
[29] Castles, L. Socialism an Private Business: The Latest Phase, Bulletin of Indonesian Economic
Studies, 1965, No. 1, pp. 13-45
[30] Hal Hill, The Indonesian Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 2000) 3.
[31] “The Prospects for and Strategic Implications of a Communist Takeover in Indonesia”, September
1, 1965. Prepared by the CIA, National Security Agency, Defense Intelligence Agency, and the State
Department‟s intelligence section
[32] John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Soeharto Coup D‟Etat
in Indonesia (Madison: The University of Wisconsin Press, 2006)
[33] Robert McNamara, In Retrospect: The Tragedy and Lessons of Vietnam, 1995.
[34] Kano 79, 92.
[35] Kano 98.
[36] Kano 100.
[37] Kano 104.
[38] Kano 92.
[39] Kano 100.
[40] Chris Manning, Indonesian Labour in Transition (Cambridge: Cambridge University Press, 1998)
62.
[41] Manning 108.
[42] Manning 215.
[43] Shafig Dhanani et al., The Indonesian Labour Market (New York: Routledge, 2009) 25.
[44] Dhanani 27.
[45] Dhanani 29.
[46] Dhanani 36.
[47] Dhanani 36.
[48] Kano 20.
[49] Dhanani 39.
[50] Indonesia, Biro Riset Ekonomi, Outlook Ekonomi Indonesia: Krisis Finansial Global dan
Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia (Bank Indonesia, Januari 2009) 23.
[51] Dhanani 126.
[52] CIA World Fact Book.
[53] Indonesia, Biro Riset Ekonomi 23.
[54] The Asia Economic Monitor - July 2009, (Asian Development Bank) 5.
[55] The Asia Economic Monitor - July 2009 61.
[56] Adriana Nina Kusuma and Tyagita Silka, “Indonesia growth slips in Q4, risks job losses,” Reuters
India, 16 February 2009.
[57] Dhanani 36.
[58] “RI diminta stop subsidi BBM bertahap,” Bisnis Indonesia 30 Maret 2010.
[59] “Pemerintah akan bangun 5 Kawasan Ekonomi Khusus,” tvOne [Yogyakarta] 11 Maret 2010