sejarah uang pengganti dalam undang-undang korupsi
TRANSCRIPT
Sejarah Uang Pengganti dalam Undang-Undang Korupsi
Oleh: Imam Bukhori
Sampai saat ini, literatur tentang uang pengganti sangat minim ditemukan
bahkan uraian tentang sejarah uang pengganti tidak ditemukan sama sekali baik
dalam buku-buku maupun jurnal-jurnal ilmiah. Bahkan dalam Undang-Undang
No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri tidak
diuraikan secara mendetail tentang definisi uang pengganti, undang-undang hanya
menguraikan tentang uang pengganti dalam Pasal 34 huruf c yang menyatakan
selain ketentuan-ketentuan pidana yang dimaksud dalam KUHP, maka sebagai
hukuman tambahan adalah pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.
Namun demikian, penulis mencoba menelaah tentang sejarah uang
pengganti berdasarkan latar belakang atau mukadimah Undang-Undang No. 3
Tahu 1971, karena dalam undang-undang tersebut tersirat bahwa dimasukannya
pasal uang pengganti dikarenakan faktor korupsi pada waktu itu telah menjadi
gejala sosial baik di lingkungan pemerintah maupun masyarakat pada umumnya
yang akan berakibat pada tatanan perekonomian negara.
Dalam mukadimah pembentukan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971
tentang korupsi dijelaskan bahwa korupsi sebagai suatu gejala sosial yang sangat
merugikan keuangan dan perekonomian negara serta pelaksanaan pembangunan
nasional dihadapi dan di atasi dengan usaha-usaha secara menyeluruh, integral
dan simultan baik dibidang prevensi maupun dibidang represif agar supaya dapat
diberantas dengan efektif dan efisien.1)
Dalam hubungan ini perundang-undangan pemberantasan korupsi
merupakan suatu sarana represif yang tidak dapat dipisahkan dari tindakan-
tindakan lain yang meliputi antara lain mengusahakan perbaikan ekonomi,
perbaikan aparatur negara baik organisasinya, prosedur maupun tata kerjanya dan
personil sebagai langkah-langkah preventif untuk mencegah dan mengurangi
kemungkinan timbulnja korupsi.
Sebelum Undang-undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pedana Korupsi berlaku, peraturan yang menjadi dasar bagi langkah-langkah
pemberantasan korupsi adalah Undang-undang No. 24 Prp. tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai salah
suatu langkah dalam bidang represif berdasarkan Undang-undang yang lama itu
perlu kiranya disebut disini pembentukan Team Pemberantasan Korupsi dengan
Keputusan Presiden No. 228 tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 yang bertugas
membantu Pemerintah dalam memberantas korupsi.
Berhubung dengan perkembangan masyarakat, khususnya dalam rangka
penyelamatan keuangan dan perekonomian negara untuk terlaksananya
pembangunan Nasional, ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang No. 24 Prp
tahun 1960 tersebut ternyata kurang mencukupi untuk mencapai hasil yang
diharapkan. Dalam kenyataan banyak perbuatan-perbuatan yang merugikan
keuangan serta pelaksanaan pembangunan Nasional yang menurut perasaan
1) Mukadimah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, hal. 3.
keadilan masyarakat seharusnya dituntut dan dipidana, tetapi tidak dapat dipidana
berdasarkan Undang-undang No. 24 Prp tahun 1964 karena tidak tercakup oleh
rumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang tersebut.
Selain dari itu konstelasi masyarakat pada saat sekarang menghendaki
suatu pemberantasan korupsi secara cepat dan efisien, sedangkan untuk keperluan
itu Undang-Undang No. 24 Prp tahun 1960 dipandang kurang mencukupi, hingga
diperlukan suatu penggantian dan pembaharuan hukum mengenai hal tersebut.
Dalam pada itu sebagai salah satu usaha untuk mencari jalan yang lebih sempurna
dalam pelaksanaan pemberantasan korupsi Presiden pada akhir tahun 1970 telah
membentuk Komisi 4, yang antara lain menyarankan supaya Pemerintah
menyelesaikan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Rancangan Undang-undang tersebut yang pada tanggal 29 Maret 1971
telah disahkan menjadi Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana juga Undang-undang yang lama, sebagai
suatu perundang-undangan yang khusus sifatnya, mengandung ketentuan-
ketentuan pidana khusus dan ketentuan-ketentuan khusus tentang pengusutan,
penuntutan dan pemeriksaan perkara-perkara korupsi.
Tujuan pembentukan Undang-undang No.3 Tahun 1971 ini adalah untuk
menyempurnakan rumusan tindak pidana korupsi yang lama, hingga dapat
mencakup perbuatan koruptif yang tidak dapat dipidana berdasarkan Undang-
undang yang lama dan pula untuk mempermudah pembuktian serta mempercepat
prosedur penyelesaian perkara-perkara korupsi, maka dalam Undang-undang yang
baru ini diperlukan ketentuan-ketentuan yang eksepsionil sifatnya baik dalam segi
hukum pidana materil maupun dalam segi hukum pidana formil. Walaupun
ketentuan-ketentuan itu bersifat eksepsionil, akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa
hak-hak seseorang dalam suatu proses pidana tidak diindahkan dan dihapuskan
sama sekali, melainkan hanya dikurangi sekedar diperlukan untuk mempermudah
pembuktian dan mempercepat prosedur penjelesaian perkara korupsi.
Sebelumnya, ketentuan tentang pidana tambahan uang pengganti diatur
dalam Bab V tentang Ketentuan-ketentuan Pidana, Pasal 28 huruf c yang
menyatakan bahwa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-
banyaknya sama dengan harta benda yang dikorupsi. Kemudian Undang-Undang
No. 3 Tahun 1971 mengalami perubahan karena adanya penambahan beberapa
pasal, sehingga yang semula Pasal 28 menjadi Pasal 34 (baru). Dengan demikian
ketentuan pidana tambahan uang pengganti menjadi Pasal 34 huruf c tanpa
adanya perubahan kalimat dalam pasal tersebut.
Dalam pandangan Ny. S. Saljo SH, dari Fraksi Karya Pembangunan
tentang pidana tambahan uang pengganti, bahwa Bab V Undang-Undang No. 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur ketentuan-
ketentuan pidana yang ancaman hukumannya jauh lebih berat jika dibandingkan
dengan Undang-Undang No. 24 Prp. 1960 yang dahulu diancam dengan hukuman
12 tahun, sekarang ini dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara
selama-lamanya 20 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 10 juta rupiah,
bahkan dikenal pula hukuman tambahan yang berupa perampasan barang-barang
dan pembayaran uang pengganti. 2)
2) Ny. S. Saljo, SH, Pandangan Fraksi Karya Pembangunan atas Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, hal. 133.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diambil pemahaman tentang
sejarah pembentukan konsep uang pengganti dilatarbelakangi oleh maraknya
tindakan-tindakan penyelewengan yang menimbulkan kerugian negara, sehingga
koruptor harus diancam dengan sanksi pidana seberat-beratnya dan untuk
mengembalikan kerugian negara yang dikorupsi diterapkanlah pidana tambahan
uang pengganti. Peningkatan ancaman hukum pelaku tindak pidana korupsi
dengan pidana tambahan uang pengganti yang merupakan inisiatif pembuat
undang-undang yang melihat kondisi negara pada waktu itu tingkat korupsi yang
sudah semakin merajalela, maka sebagai salah satu sarana untuk mencegah
sekaligus memberantas dilakukannya tindak pidana korupsi secara represif atau
justisiil ancaman hukuman itu diperberat.
Selain memperberat koruptor dengan pidana uang pengganti, dalam
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 terdapat pasal yang mengatur tentang pihak-
pihak yang menghalang-halangi pemberantasan korupsi. Hal tersebut
sebagaimana tertuang dalam Pasal 31 yang menyatakan bahwa barang siapa
dengan sengaja menghalangi, mempersulit, secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka Pengadilan terhadap terdakwa
maupun para saksi dalam perkara korupsi diancam dengan hukuman penjara
selama-lamanya 12 tahun dan atau denda setinggi-tingginya 5 (lima) juta rupiah.
Adanya Pasal 31 dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 secara tegas
bertujuan memberantas adanya backing-backing yang pada waktu itu selalu
menghalang-halangi proses penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi,
backing-backing tersebut biasanya juga datang dari pejabat-pejabat yang
berkuasa, baik militer maupun sipil. Dengan Pasal 31 ini setiap orang yang
menghalang-halangi pengusutan, mempersulit, secara langsung atau tidak
langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka pengadilan terhadap
terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi diancam dengan hukuman
penjara setinggi-tingginya 12 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 5 juta.3)
Tujuan adanya aturan pidana uang pengganti adalah untuk mendapatkan
hasil yang maksimum dari usaha pengembalian kerugian keuangan negara yang
hilang sebagai akibat dilakukannya perbuatan korupsi, baik itu dilakukan oleh
perorangan maupun korporasi. Tujuan lainnya adalah untuk memidana seberat
mungkin para koruptor agar memberi efek bagi agar tidak melakukan korupsi.
Tujuan lainnya adalah untuk mengembalikan hasil yang maksimal kerugian
keuangan negara uang negara yang melayang akibat suatu perbuatan korupsi.
Konsep pembayaran uang pengganti adalah untuk membalas agar pelaku korupsi
tidak menikmati hasil kejahatannya dan Negara dapat memperoleh pengembalian
uang yang diderita.
Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, salah satu unsur tipikor adalah
adanya tindakan yang merugikan negara.
Dengan adanya unsur ini, maka setiap terjadi suatu korupsi pasti akan
menimbulkan kerugian pada keuangan negara. Merupakan suatu hal yang wajar
3) S. Tasrif, SH, Pandangan atas Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, hal. 88.
apabila pemerintah kemudian menerapkan suatu kebijakan yang tertuang dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dalam mengupayakan kembalinya uang negara yang
hilang akibat tindak pidana korupsi.
Banyak faktor yang menghambat tidak selesainya atau kurang optimalnya
pembayaran uang pengganti, hal itu disebabkan karena keadaan ekonomi
terpidana yang tidak mampu untuk membayar uang pengganti atau sudah tidak
ada harta benda lagi untuk disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti.
Demikian uraian singkat tentang sejarah uang pengganti dalam undang-
undang korupsi, semoga bermanfaat.
Bagi yang membutuhkan, silahkan mengutip dengan mencantumkan sumbernya.