sekretariat jenderal dewan perwakilan rakyat … · beban kependudukan serta ketidaksetaraan dan...
TRANSCRIPT
1
NOMOR : 01/ 09/ 2006
JUDUL : KEMISKINAN, UKURAN DAN KEBIJAKAN PENGENTASANNYA
REFERENSI :
KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN, IVANOVICH AGLISTA
DATA DAN INFORMASI KEMISKINAN TAHUN 2004, BADAN PUSAT
STATISTIK
PENGENTASAN KEMISKINAN DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
DAN PERUBAHAN POLA PRODUKSI YANG RAMAH LINGKUNGAN,
ISMID HADAD
NASIB RAKYAT MISKIN DI TANGAN PARA PRESIDEN, HARIAN
KOMPAS 26 AGUSTUS 2006
KEBIJAKAN PUBLIK YANG MEMIHAK ORANG MISKIN, SULTON
MAWARDI DAN SUDARNO SUMARTO, SMERU, 2003
MEMAHAMI KEMISKINAN, RAKNAR NURSKE, 1993
KEMISKINAN SEBAGAI KEGAGALAN KEBIJAKAN, TIB, 2006
KEMISKINAN, WIKIPEDIA INDONESIA
BAGIAN ANALISA PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
SEKRETARIAT JENDERAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
HASIL ANALISIS
2
Summary
Kemiskinan adalah permasalahan yang bersifat multidimensi.
Kemiskinan tidak bisa lagi hanya dipahami sebagai sekedar
kondisi ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan
material dasar, melainkan di dalamnya mencakup dimensi
rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, tidak adanya
jaminan masa depan, kerentanan (vulnerability),
ketidakberdayaan, ketidakmampuan menyalurkan aspirasi, dan
ketersisihan dalam peranan sosial. Maka adalah suatu
kesalahan jika saat ini orang-orang yang disebut sebagai orang
miskin derajat kemanusiaannya hanya dipersamakan dengan
beberapa kilo kalori.
Di Indonesia, pernah digunakan dua ukuran, yaitu ukuran
menurut BPS yang menggunakan pendekatan basic needs dengan
indikator Head Count Index (HDI) dan bersifat makro serta
ukuran menurut BKKBN yang lebih bersifat mikro. Pengukuran
kemiskinan juga dapat dipandang dari sudut non moneter. Dari
sudut ini, kemiskinan dilukur dari akses penduduk akan
kesehatan, pendidikan, kemampuan mengemukakan aspirasi dan
lain-lain adalah ukuran kemiskinan dari sudut pandang non
moneter.
Kondisi kemiskinan di Indonesia dilihat dari sisi pendidikan;
ketenagakerjaan; fertilitas, mortalitas dan harapan hidup;
kesehatan dan fasilitas perumahan. Permasalahan kemiskinan
dilihat dari tiga aspek yaitu kegagalan pemenuhan hak dasar,
beban kependudukan serta ketidaksetaraan dan ketidakadilan
gender.
Kebijakan pengentasan kemiskinan yang diambil pada tiap era
pemerintahan berbeda-beda, demikian pula implikasi yang
diperoleh. Pemerintahan era orde baru mampu menekan laju
pertambahan jumlah orang miskin hingga yang terendah sebesar
25,9 juta penduduk atau 13,7 persen dari total penduduk
Indonesia pada tahun 1993. Dan sempat mengalami kenaikan
3
hingga akhir pemerintahannya, mencapai angka tertinggi 49, 5
juta orang (1998) dan menjadi yang tertinggi sampai saat ini.,
Selanjutnya pada era pemerintahan pasca orde baru, jumlah
orang miskin terus mengalami penurunan.
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kemiskinan adalah permasalahan yang bersifat
multidimensi. Kemiskinan tidak bisa lagi hanya dipahami
sebagai sekedar kondisi ketidakmampuan seseorang untuk
mencukupi kebutuhan material dasar, melainkan di dalamnya
mencakup dimensi rendahnya tingkat pendidikan dan
kesehatan, tidak adanya jaminan masa depan, kerentanan
(vulnerability), ketidakberdayaan, ketidakmampuan
menyalurkan aspirasi, dan ketersisihan dalam peranan
sosial. Maka adalah suatu kesalahan jika saat ini orang-
orang yang disebut sebagai orang miskin derajat
kemanusiaannya hanya dipersamakan dengan beberapa kilo
kalori.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak
hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang,
tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan
Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di
penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi
industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin
di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang
sebelumnya bekerja sebagai petani dengan upah rendah,
sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka
umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap
penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi,
kriminalitas, pengangguran.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik
untuk disimak dari berbagai aspek, sosial, ekonomi,
psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat
terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi.
Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat
produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil,
lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi
5
terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan
rasa terisolir. Sedangkan, dari aspek politik berkaitan
dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan
kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses
pengambil keputusan.
Bagaimana menangani kemiskinan memang menarik untuk
disimak. Teori ekonomi mengatakan bahwa untak memutus
mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan dengan
meningkatkan keterampilan sumber daya manusianya,
penambahan modal investasi, dan mengembangkan teknologi.
Melalui berbagai suntikan maka diharapkan produktifitas
akan meningkat. Namun, dalam praktek persoalannya tidak
semudah itu. Lantas apa yang dapat dilakukan?
Program-program kemiskinan sudah banyak dilaksanakan di
berbagai negara. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat
program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk
meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara bagian,
memperbaiki kondisi permukiman perkotaan dan perdesaan,
perluasan kesempatan pendidikan dan kerja untuk para
pemuda, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi
orang dewasa, dan pemberian bantuan kepada kaum miskin
usia lanjut. Selain program pemerintah, juga kalangan
masyarakat ikut terlibat membantu kaum miskin melalui
organisasi kemasyarakatan, gereja, dan lain sebagainya.
Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan
sudah banyak pula dilaksanakan, seperti : pengembangan
desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu
pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani
program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis
moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada
pertengahan tahun 1997, melalui program-program Jaring
Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran
ikut terlibat dalam berbagai kegiatan.
6
Sedangkan, P2KP sendiri sebagai program penanggulangan
kemiskinan di perkotaan lebih mengutamakan pada
peningkatan pendapatan masyarakat dengan mendudukkan
masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi
aktif. Melalui partisipasi aktif ini dari masyarakat
miskin sebagai kelompok sasaran tidak hanya berkedudukan
menjadi obyek program, tetapi ikut serta menentukan
program yang paling cocok bagi mereka. Mereka memutuskan,
menjalankan, dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan
program. Nasib dari program, apakah akan terus berlanjut
atau berhenti, akan tergantung pada tekad dan komitmen
Selain melalui program – program tersebut di atas,
pemerintah dapat menanggulangi kemiskinan melalui upaya
kebijakan anggaran yang memihak orang miskin atau pro
poor budget.
Tulisan ini memaparkan mengenai konsep dan teori
kemiskinan, kebijakan pro poor budget serta mengulas
gambaran kondisi kemiskinan di Indonesai serta upaya dan
kendala pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan. Dengan
demikian , tulisan ini diharapkan mampu menyuguhkan fakta
sebenarnya atas kemiskinan serta memberikan evaluasi atas
kebijakan penanggulangan kemiskinan.
1.2. Landasan Teori
1.2.1. Definisi Kemiskinan
Kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering
dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan
kekurangan di berbagai keadaan hidup. Sebagian
orang memahami istilah ini secara subyektif dan
komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari
segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi
memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan
untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin".
7
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga
pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif
dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk
golongan miskin absolut apabila hasil
pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan,
tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup
minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan,
pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin
relatif sebenarnya telah hidup di atas garis
kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan
masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural
berkaitan erat dengan sikap seseorang atau
sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha
memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada
usaha dari pihak lain yang membantunya.
Deklarasi Copenhagen menjelaskan kemiskinan
absolut sebagai "sebuah kondisi yang dicirikan
dengan kekurangan parah kebutuhan dasar manusia,
termasuk makanan, air minum yang aman, fasilitas
sanitasi kesehatan, rumah, pendidikan, dan
informasi."
Bank Dunia menggambarkan "sangat miskin" sebagai
orang yang hidup dengan pendapatan kurang dari us$
1 per hari, dan "miskin" dengan pendapatan kurang
dari US$ 2 per hari. Berdasarkan standar tersebut,
21% dari penduduk dunia berada dalam keadaan
"sangat miskin", dan lebih dari setengah penduduk
dunia masih disebut "miskin", pada tahun 2001.
Menurut Badan Pusat Statsitik, kemiskinan adalah
ketika seseorang memiliki asupan gizi yang kurang
dari 2100 kalori per hari. Sedangkan Komite
Pengentasan Kemiskinan memiliki definisi yang
lebih luas, yaitu kondisi yang menunjukkan tidak
terpenuhinya hak-hak dasar bagi seseorang atau
sekelompok orang untuk dapat mengembangkan
kehidupan yang bermartabat.
8
Beoitvinik (1999) memaknai kemiskinan sebagai
hilangnya kebebasan, yaitu adanya situasi
keterkekangan seseorang untuk bisa mengembangkan
kehidupan yang lebih baik.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman
utamanya mencakup:
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya
mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang,
perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan
dalam arti ini dipahami sebagai situasi
kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk
keterkucilan sosial ketergantungan, dan
ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam
masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan
informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan
dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-
masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi
pada bidang ekonomi.
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan
kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini
sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian
politik dan ekonomi di seluruh dunia.
1.2.2. Penyebab Kemiskinan
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa
terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan karena
buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain
akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan
teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan
"buatan" terjadi karena lembaga-lembaga yang ada
di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat
tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai
fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap
miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi
sering mengkritik kebijakan pembangunan yang
9
melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang
pemerataan.
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
penyebab individual, atau patologis, yang melihat
kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan,
atau kemampuan dari si miskin;
penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan
dengan pendidikan keluarga;
penyebab sub-budaya ("subcultural"), yang
menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-
hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan
sekitar;
penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai
akibat dari aksi orang lain, termasuk perang,
pemerintah, dan ekonomi;
penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa
kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
I.3. Metode Analisa
Metode analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif
atau pemaparan atas fakta – fakta mengenai kondisi
kemisikinan di Indonesia baik yang bersifat kuantitatif
maupun kualitatif.
Data kuantitatif diolah menggunakan analisa statistik
berupa pengelompokkan data dalam bentuk tabel, persentase
dan pembandingan.
I.4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder. Pengumpulan
data dilakukan dengan studi literatur melalui berbagai
buku dan jurnal ekonomi serta kajian dan artikel yang
terdapat di berbagai media.
10
BAB II GAMBARAN KONDISI KEMISKINAN
2.1. Pengukuran Kemiskinan
Banyak ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
kemiskinan. Di Indonesia, setidaknya pernah digunakann
11
dua ukuran, yaitu ukuran menurut BPS yang menggunakan
pendekatan basic needs dengan indikator Head Count Index
(HDI) dan bersifat makro serta ukuran menurut BKKBN yang
lebih bersifat mikro.
Indikator Head Count Index yaitu jumlah dan persentase
penduduk miskin yang berada dibawah garis kemiskinan
dimana garis kemiskinan tersebut dihitung berdasarkan
rata-rata pengeluaran makanan dan non makanan per kapita
pada kelompok referensi yang ditetapkan. Batas kecukupan
makanan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan
untuk makanan yang memenuhi kebutuhn minimum energi 2100
kalori per kapita per hari, sedangkan batas kecukupan non
makanan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan
untuk non makanan yang memenuhi kebutuhan minimum seperti
perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi
dan lain-lain.
Pengukuran kemiskinan juga dapat dipandang dari sudut non
moneter. Walaupun ukuran moneter lebih sering digunakan,
namun dimensi non moneter juga penting. Dari sudut ini,
kemiskinan tidak lagi hanya terbatas pada berapa besar
pendapatan yang diperoleh dan berapa asupan kalori per
hari. Akses penduduk akan kesehatan, pendidikan,
kemampuan mengemukakan aspirasi dan lain-lain adalah
ukuran kemiskinan dari sudut pandang non moneter.
2.1.1 Pendidikan
Pengukuran kemiskinan dengan menggunakan akses akan
pendidikan, dapat dilihat dari beberapa indikator,
yaitu :
Angka melek huruf , adalah proporsi penduduk
berusia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan
menulis dalam huruf latin atau lainnya.
Angka partisipasi sekolah, adalah proporsi dari
keseluruhan penduduk dari berbagai kelompok umur
12
tertentu (7-12, 13-15, 16-18, dan 19-24) yang
masih duduk di bangku sekolah.
Angka putus sekolah, adalah proporsi dari penduduk
berusia antara 7 hingga 15 tahun yang tidak
terdaftar pada berbagai tingkatan pendidikan dan
tidak menyelesaikan sekolah dasar atau sekolah
menengah tingkat pertama.
2.1.2. Ketenagakerjaan
Dari sisi ketenagakerjaan, kemiskinan diukur
berdasarkan penduduk bekerja menurut jam kerja dan
pekerja informal.
2.1.3. Fertilitas, mortalitas dan harapan hidup
Faktor ini sangat mempengaruhi jumlah penduduk
secara positif dengan menambah jumlah penduduk dan
secara negatif dengan mengurangi jumlah penduduk.
2.1.4. Kesehatan
Kesejahteraan penduduk salah satunya dipengaruhi
oleh keesehatan. Kondisi kesehatan dapat ditinjau
dari sisi individu, keluarga dan lingkungan.
Indikator kesehatan di tingkat individu adalah
pemberian imunisasi pada balita, penolong persalinan
oleh tenaga kesehatan dan keikutsertaan KB.
2.1.5. Fasilitas perumahan
Indikator kemiskinan dari fasilitas perumahan ini
adalah tersedia atau tidaknya air bersih,
ketersediaan listrik dan keadaan lantai (tanah atau
semen).
2.2. Gambaran Kondisi kemiskinan di Indonesia
Dalam pidato kenegaraan pada tanggal 16 Agustus yang lalu,
Kepala Negara menyebutkan bahwa telah jadi penurunan
13
tingkat kemiskinan dari 23,4 persen pada 1999 menjadi 16
persen dari jumlah seluruh penduduk pada 2005, namun masih
banyak pihak yang meragukan kevalidan data tersebut.
Dalam pengumuman BPS pada tanggal 1 September 2006,
disebutkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah
penduduk miskin menjadi 39,05 juta orang atau sekitar
17,75% dari total penduduk bulan Maret 2006.
Terlepas dari berapa jumlah orang miskin saat ini, masalah
kemiskinan di Indonesia semakin rumit. Peningkatan jumlah
orang miskin dinilai beberapa pihak sebagai produk
kegagalan kebijakan pemerintah.
Kondisi kemiskinan di Indonesia dilihat dari beberapa
faktor pengukurannya sebagai berikut :
2.2.1. Pendidikan
Angka melek huruf
Data menunjukkan pada tahun 2004, 84,68 persen
penduduk miskin usia 15 tahun ke atas telah dapat
membaca dan menulis huruf latin dan lainnya.
Angka melek huruf tertinggi terdapat di Propinsi
Sulawesi Utara (97,82 persen) dan yang terendah
terdapat di propinsi Papua (55,97 persen). Namun
bila dikelompokkan kedalam usia 15-24 tahun,
maka DKI Jakarta dan Kalimantan Tengah memiliki
angka melek huruf tertinggi, masing-masing 100
persen dan 99,73 persen, dan yang terendah
adalah Propinsi Papua (71,02 persen). Sedangkan
untuk kelompok usia 15-55 tahun, Maluku adalah
Propinsi dengan angka melek huruf tertinggi
(98,77 persen) dan Propinsi Papua yang terendah
(56,89 persen).
Angka partisipasi sekolah
Data menunjukkan angka partisipasi sekolah untuk
penduduk miskin kelompok usia 7-12 tahun sudah
cukup merata di seluruh propinsi, rata-rata sudah
mencapai 90 persen, hanya Propinsi papua yang
14
masih 76,75 persen. Sedangkan untuk kelompok
usia 13-15 tahun Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam memiliki tingkat partisipasi sekolah
tertinggi (93,11 persen) dan Gorontalo yang
terendah yaitu 54,53 persen.
Angka putus sekolah
Data menunjukkan, pada tahun 2004, penduduk
miskin yang putus sekolah kelompok usia 7-12
tahun sebesar 1,72 persen dengan Propinsi
Sulawesi tenggara adalah yang tertinggi (3,84
persen). Sedangkan untuk kelompok usia 13-15
tahun penduduk miskin putus sekolah sebesar 9,45
persen dengan Gorontalo yang tertinggi (23,95
persen).
2.2.2. Ketenagakerjaan
Menurut jam kerja
Dalam indikator ini, jam kerja dikelompokkan
menjadi kurang dari 42 jam kerja, kurang dari 36
jam kerja dan kurang dari 15 jam kerja dalam satu
minggu.
Penduduk di Indonesia yang bekerja selama <42 jam
kerja dalam seminggu sebanyak 58,69 persen dengan
Propinsi Papua adalah yang tertinggi (80,69
persen). Untuk kelompok jam kerja < 36 jam kerja
sebesar 37,13 persen dengan Propinsi Nusa
Tenggara Timur yang tertinggi yaitu 54,33 persen
sedangkan untuk kelompok < 15 jam sebanyak 5,73
persen dan Propinsi Sulawesi Selatan aalah yang
tertinggi (11,75 persen). Untuk ketiga kelompok
jam kerja ini, DKI Jakarta selalu menjadi yang
terendah.
Pekerja sektor informal
Penduduk yang bekerja di sektor informal pada
tahun 2004 sebanyak 65,8 persen, dan Propinsi
15
Nusa Tenggara Timur tercatat sebagai yang
tertinggi (86,0 persen) sedangkan DKI Jakarta
adalah yang terendah ( 27,3 persen).
Dari kedua indikator ketenagakerjaan tersebut,
terlihat bahwa Propinsi yang mayoritas
penduduknya bekerja di sektor formal akan
memiliki jumlah jam kerja yang lebih sedikit
dalam satu minggunya.
2.2.3. Fertilitas, Mortalitas dan harapan hidup
Dari data ditunjukkan bahwa pada periode tahun 2002-
2003 angka fertilitas total (TFR) adalah 2,6.
Angka tersebut menunjukkan bahwa pada periode
tersebut seorang wanita Indonesia (usia 15-49 tahun)
akan melahirkan anak rata-rata 2-3 orang. Dan
diantara 1000 kelahiran hidup terdapat 35 bayi yang
akan meninggal dan 46 balita. Sedangkan harapan
hidup di Indonesia sampai dengan usia 66,2 tahun.
2.2.4. Kesehatan
Di bidang kesehatan, kondisi kemiskinan di Indonesia
dilihat dari jumlah balita yang telah mendapat
imunisasi dasar, penolong persalinan oleh tenaga
kesehatan dan penggunaan alat kontrasepsi.
Data menunjukkan jumlah balita yang telah mendapat
imunisasi dasar (BCG, DPT, polio, campak dan
hepatitis B) rata-rata sebesar 75 persen, penolong
persalinan untuk penduduk miskin oleh tenaga
kesehatan baru sekitar 55,64 persen, namun penduduk
miskin yang telah menggunakan alat kontrasepsi sudah
mencapai 74,72 persen
2.2.5. Fasilitas perumahan
Kesejahteraan penduduk dari sisi fasilitas perumahan
dilihat dari penggunaan air bersih, penggunaan
listrik dan keadaan rumah (dinding, lantai, atap
dsb). Dari data diperoleh bahwa pada tahun 2004,
16
rumah tangga miskin pengguna air bersih baru 42,55
persen, rumah tangga miskin pengguna litrik sebesar
78,87 persen dan rumah yang masih berlantai tanah
sebesar 28,75 persen.
2.3. Permasalahan kemiskinan
Permasalahan kemiskinan akan dilihat dari tiga aspek,
yaitu pemenuhan hak dasar, beban kependudukan, serta
ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender.
1. Kegagalan Pemenuhan Hak Dasar
Terbatasnya Kecukupan dan Mutu Pangan.
Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi
persyaratan gizi masih menjadi persoalan bagi
masyarakat miskin. Rendahnya kemampuan daya beli
merupakan persoalan utama bagi masyarakat miskin.
Ketidakmampuan masyarakat dalam mencukupi kebutuhan
makanan minimum terutama dihadapi oleh sekitar 8,9
juta jiwa atau 4,39 persen masyarakat miskin yang
berada dibawah garis kemiskinan makanan (BPS, tahun
2002). Sedangkan dalam cakupan yang lebih tinggi,
permasalahan ini juga dihadapi oleh masyarakat
miskin yang berada dibawah garis kemiskinan makanan
maupun non makanan yang berjumlah 37,3 juta jiwa
atau 17,4 persen pada tahun 2003. Bahkan berdasarkan
data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan,
hampir dua-pertiga dari penduduk di Indonesia masih
berada dibawah asupan kalori sebanyak 2100 kalori
perkapita/hari. Hal ini menunjukkan bahwa
permasalahan kecukupan kalori, disamping menjadi
permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga
dialami oleh kelompok masyarakat lainnya yang
berpendapatan tidak jauh di atas garis kemiskinan.
Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan
Masalah utama yang menyebabkan rendahnya derajat
kesehatan masyarakat miskin adalah rendahnya akses
17
terhadap layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu
layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman
terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan
kesehatan reproduksi.
Meskipun secara nasional kualitas kesehatan
masyarakat telah meningkat, namun disparitas status
kesehatan antarmasyarakat, antarkawasan, dan antara
perkotaan dan perdesaan masih cukup tinggi. Angka
kematian bayi dan angka kematian balita pada
golongan termiskin adalah hampir empat kali lebih
tinggi dari golongan terkaya. Pada umumnya tingkat
kesehatan masyarakat miskin masih rendah. Angka
Kematian Bayi (AKB) pada kelompok berpendapatan
rendah masih selalu di atas AKB masyarakat
berpendapatan tinggi, meskipun telah turun dari 61
(per 1.000 kelahiran) pada tahun 1999 menjadi 53
pada tahun 2001. Status kesehatan masyarakat miskin
diperburuk dengan masih tingginya penyakit menular
seperti malaria, tuberkulosis paru, dan HIV/AIDS.
Kerugian ekonomi yang dialami masyarakat miskin
akibat penyakit tuberkulosis paru sangat besar
karena penderitanya tidak dapat bekerja secara
produktif. Kematian laki-laki dan perempuan pencari
nafkah yang disebabkan oleh penyakit tersebut
berakibat pada hilangnya pendapatan masyarakat
miskin.
Masalah lainnya adalah rendahnya mutu layanan
kesehatan dasar yang disebabkan oleh terbatasnya
tenaga kesehatan, kurangnya peralatan, dan kurangnya
sarana kesehatan. Selain itu berdasarkan Survei
Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003
menunjukkan bahwa 48,7 persen masalah dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan adalah karena
kendala biaya, jarak dan transportasi. Pemanfaatan
rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu,
sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan
18
pelayanan di puskesmas. Demikian juga persalinan
oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya
sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada
penduduk.
Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan
Pembangunan pendidikan ternyata belum sepenuhnya
mampu memberi pelayanan secara merata kepada seluruh
lapisan masyarakat. Sampai dengan tahun 2003 masih
terdapat kesenjangan yang cukup tinggi antarkelompok
masyarakat terutama antara penduduk kaya dan
penduduk miskin dan antara perdesaan dan perkotaan.
Sebagai gambaran, dengan rata-rata Angka Partisipasi
Sekolah (APS) – rasio penduduk yang bersekolah –
untuk kelompok usia 13-15 tahun pada tahun 2003
mencapai 81,01 persen, APS kelompok 20 persen
terkaya sudah mencapai 93,98 persen sementara APS
kelompok 20 persen termiskin baru mencapai 67,23
persen. Kesenjangan yang lebih besar terjadi pada
kelompok usia 16-18 tahun dengan APS kelompok
terkaya sebesar 75,62 persen dan APS kelompok
termiskin hanya sebesar 28,52 persen. Dengan
menggunakan indikator APK tampak bahwa partisipasi
pendidikan kelompok penduduk miskin juga masih jauh
lebih rendah dibandingkan penduduk kaya khususnya
untuk jenjang SMP/ MTs ke atas. APK SMP/ MTs untuk
kelompok termiskin baru mencapai 61,13 persen,
sementara kelompok terkaya sudah hampir mencapai 100
persen. Untuk jenjang pendidikan menengah
kesenjangan tampak sangat nyata dengan APK kelompok
termiskin terbesar 23,17 persen dan APK kelompok
terkaya sebesar 81,66 persen. Angka buta aksara
penduduk usia 15 tahun keatas juga menunjukkan
perbedaan yang signifikan yaitu sebesar 4,01 persen
untuk kelompok terkaya dan 16,9 persen untuk
kelompok termiskin.
19
Keterbatasan masyarakat miskin untuk mengakses
layanan pendidikan dasar terutama disebabkan
tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung
maupun tidak langsung. Meskipun SPP untuk jenjang
SD/MI telah secara resmi dihapuskan oleh Pemerintah
tetapi pada kenyataannya masyarakat tetap harus
membayar iuran sekolah. Pengeluaran lain diluar
iuran sekolah
Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha
Masyarakat miskin dengan keterbatasan modal dan
kurangnya keterampilan maupun pengetahuan, hanya
memiliki sedikit pilihan pekerjaan yang layak dan
terbatasnya peluang untuk mengembangkan usaha.
Penduduk miskin yang umumnya berpendidikan rendah
harus bekerja apa saja untuk mempertahankan
hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan lemahnya
posisi tawar masyarakat miskin dan tingginya
kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan.
Masyarakat miskin juga harus menerima pekerjaan
dengan imbalan yang terlalu rendah, tanpa sistem
kontrak atau dengan sistem kontrak yang sangat
rentan terhadap kepastian hubungan kerja yang
berkelanjutan. Di sisi lain kesulitan ekonomi yang
dihadapi keluarga miskin seringkali memaksa anak dan
perempuan untuk bekerja.
Kondisi ketenagakerjaan pada tahun 2003 menunjukkan
belum adanya perbaikan, bahkan berdasarkan
perkembangan angka pengangguran terbuka selama 5
tahun terakhir menunjukkan jumlah yang terus
meningkat. Pengangguran terbuka yang berjumlah
sekitar 5,0 juta orang atau 4,7 persen dari jumlah
angkatan kerja pada tahun 1997 meningkat menjadi
sekitar 6 juta orang atau 6,4 persen di tahun 1999,
dan sekitar 9,5 juta orang atau 9,5 persen pada
tahun 2003. Tingkat pengangguran terbuka pada tahun
2003 berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 13 persen
20
perempuan dan laki-laki 7,6 persen. Berdasarkan
tingkat pendidikan dan kelompok usia, pengangguran
terbuka sebagian besar untuk kelompok Sekolah
Menengah Umum yaitu 16,9 persen, dan perguruan
tinggi 9,1 persen, sedangkan untuk kelompok usia
didominasi oleh usia muda (15-19 tahun) yaitu
sebesar 36,7 persen.
Terbatasnya Akses Layanan Perumahan dan Sanitasi.
Masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah
terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat dan
layak, rendahnya mutu lingkungan permukiman dan
lemahnya perlindungan untuk mendapatkan dan menghuni
perumahan yang layak dan sehat. Di perkotaan,
keluarga miskin sebagian besar tinggal di
perkampungan yang berada di balik gedung-gedung
pertokoan dan perkantoran, dalam petak-petak kecil,
saling berhimpit, tidak sehat dan seringkali dalam
satu rumah ditinggali lebih dari satu keluarga.
Terbatasnya Akses terhadap Air Bersih.
Keterbatasan akses terhadap air bersih akan
berakibat pada penurunan mutu kesehatan dan
penyebaran berbagai penyakit lain seperti diare.
Akses terhadap air bersih masih menjadi persoalan di
banyak tempat dengan kecenderungan akses rumahtangga
di Jawa-Bali lebih baik dibanding daerah lain.
Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan Penguasaan Tanah.
Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan
struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta
ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan
pertanian. Masalah pertanahan nampak dari semakin
banyak dan meluasnya sengketa agraria, termasuk
sengketa masyarakat dengan pemerintah, seperti
mengenai penetapan kawasan konservasi yang di
dalamnya terdapat lahan pertanian, masyarakat
21
sekitar yang sudah mengusahakan secara turun-
temurun.
Memburuknya Kondisi Lingkungan Hidup dan Sumberdaya
Alam, serta Terbatasnya Akses Masyarakat Terhadap
Sumber Daya Alam.
Masyarakat miskin sangat rentan terhadap perubahan
pola pemanfaatan sumberdaya alam dan perubahan
lingkungan.
Masyarakat miskin seringkali terpinggirkan dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini
terjadi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam oleh perusahaan besar dan peralihan hutan
menjadi kawasan lindung.
Proses pemiskinan juga terjadi dengan menyempitnya
dan hilangnya sumber matapencaharian masyarakat
miskin akibat penurunan mutu lingkungan hidup
terutama hutan, laut, dan daerah pertambangan.
Lemahnya Jaminan Rasa Aman.
Data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam
waktu 3 tahun (1997 – 2000) telah terjadi 3.600
konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1
juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah
pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001
diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi
di berbagai daerah konflik. Lemahnya jaminan rasa
aman dalam lima tahun terakhir juga terjadi dalam
bentuk ancaman non kekerasan antara lain, kerusakan
lingkungan, perdagangan perempuan dan anak
(trafficking), krisis ekonomi, penyebaran penyakit
menular, dan peredaran obat-obat terlarang yang
menyebabkan hilangnya akses masyarakat terhadap hak-
hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Konflik
sosial yang terjadi di berbagai tempat menyebabkan
hilangnya rasa aman.
22
Lemahnya Partisipasi.
Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam
perumusan kebijakan disebabkan oleh kurangnya
informasi baik mengenai kebijakan yang akan
dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang
memungkinkan keterlibatan mereka.
2. Beban Kependudukan
Beban masyarakat miskin makin berat akibat besarnya
tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang
mendorong terjadinya migrasi. Dengan beratnya beban
rumahtangga, peluang anak dari keluarga miskin untuk
melanjutkan pendidikan menjadi terhambat dan
seringkali mereka harus bekerja untuk membantu
membiayai kebutuhan keluarga.
3. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender
Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman kemiskinan
yang berbeda. Dampak yang diakibatkan oleh kemiskinan
terhadap kehidupan laki-laki juga berbeda dari
perempuan. Budaya patriarki mengakibatkan perempuan
berada pada posisi tawar yang lemah,
23
BAB III KEBIJAKAN PENGENTASAN KEMISKINAN
3.1. Kebijakan pengentasan kemiskinan
Langkah-langkah pengentasan kemiskinan tidak dapat
ditangani oleh satu sektor tertentu saja, tetapi harus
multi sektor dan lintas sektor dengan melibatkan
stakeholder terkait untuk meningkatkan efektifitas
pencapaian program yang dijalankan. Kebijakan
pengentasan kemiskinan dapat dilakukan secara langsung
(jangka pendek), misalnya subsidi dan Bantuan Langsung
Tunai (BLT) dan kebijakan secara tidak langsung (jangka
panjang) melalui pertumbuhan ekonomi. Berikut kebijakan
yang dilakukan selama era orde baru dan pasca orde baru.
Masa Pemerintahan Presiden Soeharto
1. Menyelenggarakan sidang-sidang kabinet khusus dengan
tema memantapkan program menghapus kemiskinan.
24
2. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dimulai sejak
tahun 1994.
3. Program Makanan Tambahan untuk anak sekolah yang
diprioritaskan di desa-desa tertinggal.
4. Program pembangunan prasarana pedesaan di daerah
tertinggal.
5. Mengembangkan jaringan klinik bisnis bagi pengusaha
kecil dan koperasi.
6. menaikkan batas minimum Kredit Usaha Kecil (KUK)
dari 20 persen menjadi 22,5 persen.
7. Menaikkan UMR sehingga mencapai 92,5 persen
Kebutuhan Hidup Minimum.
8. menanggulangi masalah gizi akibat kekurangan iodium
dengan menyalurkan tablet gizi bagi 2,6 juta ibu
hamil.
9. Imunisasi polio bagi 23,4 juta anak.
Masa Pemerintahan Presiden BJ Habibie
1. Menyiapkan program Jaringan Penyelamatan Sosial
(JPS).
2. Memperbesar pos subsidi untuk kebutuhan pokok dalam
APBN dan secara khusus menyediakan beras subsidi
untuk masyarakat miskin.
3. Menyediakan dana untuk pendidikan anak-anak dari
keluarga prasejahtera dan sejahtera I.
4. menyediakan beasiswa untuk 500.000 mahasiswa dan
keluarga tak mampu.
5. Memperluas program padat karya.
6. Kenaikan gaji PNS, ABRI dan pensiunan rata-rata 35
persen.
Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
1. Penyediaan kebutuhan pokok bagi keluarga miskin
melalui penyediaan pelayanan kesehatan dan
pendidikan serta perbaikan lingkungan rumah tinggal.
2. Pengembangan budaya usaha masyarakat miskin.
3. Kenaikan gaji PNS/ TNI Polri rata-rata 30 persen.
25
4. Subsidi pengadaan air bersih sebagai kompensasi
kenaikan harga BBM yang dibagikan kepada masyarakat
miskin perkotaan.
5. Kompensasi di bidang pendidikan, kesehatan, OPK
beras dan pelayanan angkutan umum atas kenaikan
harga BBM.
Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri
1. Pada tahun 2003 menganggarkan Rp23,3 triliun untuk
subsidi kepada masyarakat kurang mampu.
2. Tarif listrik rendah bagi rumah tangga miskin.
3. Subsidi bunga untuk program kredit usaha mikro.
4. Memberikan bantuan usaha kecil berupa penyediaan
rumah murah.
5. Subsidi pupuk agar terjangkau petani.
6. Peningkatan pelayanan kesehatan dan gizi bagi
keluarga miskin, kelompok rentan, pengungsi dan
korban bencana.
Masa Pemerintahan Presiden S.B Yudhoyono
1. Bertekad dalam 5 tahun tingkat pengangguran terbuka
dan kemiskinan berkurang separuhnya. Tingkat
pengangguran terbuka diupayakan turun dari 9,9
persen menjadi 5,1 persen dan tingkat kemiskinan
turun dari 16,6 persen menjadi 8,2 persen.
2. Bantuan Langsung Tunai (BLT) akan dimodifikasi
sebagai BLT bersyarat.
3. Memberi dan menyalurkan beras murah bagi sekitar
15,8 juta keluarga miskin.
4. Subsidi harga pupuk.
5. Subsidi pelayanan publik untuk BUMN yang menjalankan
tugas pemerintah di bidang pelayanan umum.
6. Menanggulangi kasus gizi buruk dengan menjamin
perawatan gizi buruk di Puskesmas, rumah sakit dan
bantuan makanan pendamping ASI.
7. Menanggulangi polio dengan meningkatkan cakupan
imunisasi sampai ke tingkat desa secara gratis.
26
3.2. Implikasi Penerapan Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
terhadap Jumlah Orang Miskin
Berbagai kebijakan pengentasan kemiskinan yang diambil
dalam tiap periode pemerintahan mempunya implikasi yang
berbeda-beda terhadap jumlah orang miskin.
Pemerintahan orde baru (1966 - 1998)
Pemerintahan orde baru mampu menekan laju pertambahan
jumlah orang miskin hingga yang terendah sebesar 25,9
juta penduduk atau 13,7 persen dari total penduduk
Indonesia pada tahun 1993. Jumlah penduduk miskin pada
angka ini belum dapat tercapai lagi pada masa
pemerintahan berikutnya.
Untuk tahun-tahun selanjutnya jumlah penduduk miskin
mengalami kenaikan hingga akhir pemerintahannya,
mencapai angka tertinggi 49,5 juta orang (1998) dan
menjadi yang tertinggi sampai saat ini.
Pemerintahan BJ. Habibie (1998 – 1999)
Masa pemerintahan BJ. Habibie terhitung sangat singkat.
Masa ini adalah masa peralihan sistem pemerintahan dari
demokrasi yang dinilai otoriter ke demokrasi yang
dikehendaki mendekati sebenarnya. Pada masa pemerintahan
ini jumlah orang miskin cukup tinggi, walaupun secara
perlahan mengalami penurunan dari 49,5 juta orang
menjadi sekitar 38 juta orang pada akhir masa
pemerintahannya.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Jumlah penduduk miskin pada masa pemerintahan ini
mengalami sedikit penurunan dari 38,7 juta menjadi
sekitar 37,8 juta pada akhir masa pemerintahannya.
Pemerintahan Megawati Soekarnoputri (2001 – 2004)
Pada awal masa pemerintahan ini jumlah orang miskin
sempat mengalami kenaikan menjadi 38,4 juta orang, untuk
selanjutnya secara perlahan mengalami penurunan. Angka
27
terakhir pada masa pemerintahannya, tercatat penduduk
miskin berjumlah 36,1 juta orang.
Pemerintahan S.B Yudhoyono
Pada masa pemerintahan S.B Yudhoyono, angka terakhir
yang diumumkan BPS jumlah orang miskin naik menjadi
39,05 juta orang atau sekitar 17,75 persen dari total
penduduk pada bulan Maret 2006.
28
3.3. Kendala – kendala Pengentasan Kemiskinan
Dalam mengatasi masalah kemiskinan harus melalui
kebijakan multi sektor. Hal ini menimbulkan kendala-
kendala yang tidak dapat diabaikan, antara lain :
1. Terbatasnya anggaran negara
Terbatasnya jumlah penerimaan negara menyebabkan
pemerintah tidak leluasa dalam penggunaannya,
terutama yang berhubungan langsung untuk
kesejahteraan rakyat. Meskipun pengentasan
kemiskinan masih menjadi agenda pembangunan nasional,
namun porsi anggaran untuk hal tersebut belum dapat
dikatakan memadai, belum lagi kebijakan penganggaran
pemerintah yang menggunakan sebagian besar
anggarannya untuk membayar hutang-hutang plus
bunganya. Dan yang tidak dapat diabaikan pula adalah
adanya ekonomi biaya tinggi yang secara tidak
langsung menyerap anggaran negara.
2. Kurang tepatnya pengambilan kebijakan
Faktor ini merupakan faktor penting, karena kebijakan
adalah suatu titik awal. Kebijakan pemerintah
menaikkan harga BBM dan mengkompensasikannya dengaa
transfer langsung pemerintah kepada masyarakat miskin
dinilai banyak pihak sebagai suatu kebijakan yang
kurang efisien. Hanya dengan peningkatan harga BBM
sebesar 29 persen saja telah mengakibatkan peningkatn
inflasi sebesar 6.7 persen. Sementara itu upah riil
tidak mengalami perubahan dengan adanya transfer dana
langsung kepada rakyat miskin. Peningkatan konsumsi
masyarakat hanya 0.7 persen walaupun terdapat
transfer langsung dari pemerintah ke rumahtangga.
Apalagi dengan peningkatan harga BBM yang lebih dari
100%, tentu saja tingkat inflasi menjadi lebih tinggi
lagi dan daya beli masyarakat menjadi semakin
menurun.
29
3. Kegagalan pemerintah dalam melakukan stabilisasi
harga barang kebutuhan pokok.
Hal ini terekam dalam garis kemiskinan makanan yang
meningkat sebesar 21,7 persen di perkotaan dan 22,8
persen di perdesaan. Padahal pangsa pengeluaran
penduduk miskin untuk konsumsi makanan mencapai lebih
dari 70 persen. Karena itu, tingkat kemiskinan sangat
sensitif terhadap inflasi bahan makanan. Pemerintah
pernah menjanjikan untuk melakukan stabilisasi harga
kebutuhan pokok malalui operasi pasar dan pagelaran
pasar murah. Tapi stabilisasi harga pada khususnya
dan stabilisasi makro pada umumnya tidak pernah
dilakukan secara sungguh-sungguh sehingga yang jadi
korban adalah rakyat jelata.
4. Tidak jalannya trickle down effect dari pertumbuhan
ekonomi.
Pada tahun 2005 terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar
5,6 persen. Kenaikan angka kemiskinan menunjukkan
bahwa pertumbuhan yang terjadi tidak bisa dinikmati
secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal
ini juga menunjukkan bahwa pertumbuhan tidak selalu
diikuti dengan pemerataan. Dalam kurun waktu setahun
terakhir ini, tampaknya pertumbuhan ekonomi lebih
banyak bermanfaat bagi kalangan non-miskin.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
30
4.1. Kesimpulan
1. Di Indonesia, pernah digunakann dua ukuran, yaitu ukuran
menurut BPS yang menggunakan pendekatan basic needs
dengan indikator Head Count Index (HDI) dan bersifat
makro serta ukuran menurut BKKBN yang lebih bersifat
mikro.
2. Pengukuran kemiskinan juga dapat dipandang dari sudut
non moneter, yaitu
A. Pengukuran kemiskinan dengan menggunakan akses akan
pendidikan, dapat dilihat dari beberapa indikator,
yaitu :
Angka melek huruf.
Angka partisipasi sekolah
Angka putus sekolah
B. Ketenagakerjaan
C. Fertilitas, mortalitas dan harapan hidup
D. Kesehatan
E. Fasilitas perumahan
3. Permasalahan kemiskinan di Indonesia dilihat dari tiga
aspek :
A. Kegagalan pemenuhan hak dasar. Terdiri dari :
Terbatasnya Kecukupan dan Mutu Pangan
Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan
kesehatan
Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan
pendidikan
Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha
Terbatasnya Akses Layanan Perumahan dan Sanitasi.
Terbatasnya Akses terhadap Air Bersih.
Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan Penguasaan Tanah.
31
Memburuknya Kondisi Lingkungan Hidup dan Sumberdaya
Alam, serta Terbatasnya Akses Masyarakat Terhadap
Sumber Daya Alam.
Lemahnya Jaminan Rasa Aman.
Lemahnya Partisipasi.
B. Beban Kependudukan
C. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender
4. Kendala-kendala pengentasan kemiskinan, yaitu :
Terbatasnya anggaran negara.
Kurang tepatnya pengambilan kebijakan.
Kegagalan pemerintah dalam melakukan stabilisasi
harga barang kebutuhan pokok.
Tidak jalannya trickle down effect dari pertumbuhan
ekonomi
5. Kebijakan pengentasan kemiskinan yang diambil pada tiap
era pemerintahan berbeda-beda, demikian pula implikasi
yang diperoleh. Pemerintahan era orde baru mampu
menekan laju pertambahan jumlah orang miskin hingga yang
terendah sebesar 25,9 juta penduduk atau 13,7 persen
dari total penduduk Indonesia pada tahun 1993. Dan
sempat mengalami kenaikan hingga akhir pemerintahannya,
mencapai angka tertinggi 49, 5 juta orang (1998) dan
menjadi yang tertinggi sampai saat ini., Selanjutnya
pada era pemerintahan pasca orde baru, jumlah orang
miskin terus mengalami penurunan.
4.2. Saran
1. Perlu dilakukan pengembangan indikator kemiskinan yang
didasarkan pada kerangka pikir dan strategi
penanggulangan kemiskinan.
2. Perlu pengembangan sistem pemantauan yang efisien untuk
memantau secara cepat penyebab perubahan kemiskinan
masyarakat, serta indikator harga, indikator harga
produsen, indikator harga konsumen dan indikator upah.
32
3. Perlu juga melakukan penelitian-penelitian kualitatif
dengan melibatkan para sosiolog dan antropolog,
khususnya yang berkaitan dengan masalah kemiskinan.
4. Memperkuat kapasitas berbagai pemangku kepentingan
(stakeholder) dalam menggunakan indikator kemiskinan
lokal untuk berbagai kepentingan, terutama yang
menyangkut program pembangunan.
5. Strategi penanggulangan kemiskinan sepatutnya tidak
disusun secara terpisah-pisah dari berbagai program
yang ditujukan untuk mengatasi berbagai elemen
kemiskinan , tetapi sebagai strategi penanggulangan
kemiskinan yang disusun secara terpadu, saling terkait
dan sistimatis. Dengan demikian, ia mampu memutuskan
faktor-faktor yang menghambat atau mendorong akses
masyarakat miskin terhadap penghidupan yang lebih baik.
6. Upaya pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan dari atas
kebawah. Upaya dari atas menyangkut kesediaan pemerintah
dan lembaga non pemerintah pada semua tingkatan untuk
membuka diri dan mengajak masyarakat berperan serta
dalam pengambilan keputusan tentang biaya-biaya yang
harus mereka tanggung serta kebijakan lain yang nantinya
akan mempengaruhi kehidupan mereka. Pada saat bersamaan,
upaya ini perlu disertai dengan pendampingan dan
peningkatan kemampuan masyarakat untuk berperan aktif
dalam pengambilan keputusan disetiap tingkatan.
DAFTAR PUSTAKA
33
Aglista , Ivanovich kemiskinan dan Kebijakan
Badan Pusat Statistik, Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004, PT. Rasokitama Lestari, Jakarta, 2004
Hadad Ismid, Pengentasan Kemiskinan dalam Pembangunan Berkelanjutan dan Perubahan Pola Produksi yang Ramah Lingkungan
Harian Kompas, Nasib Rakyat Miskin di Tangan Para Presiden, 26
Agustus 2006
Mawardi Sulton dan Sudarno Sumarto, Kebijakan Publik yang memihak Orang Miskin, SMERU, 2003
Nurske, Raknar , 1953, Memahami Kemiskinan,
http://www.pu.go.id
Tim Indonesia Bangkit, Kemiskinan Sebagai Kegagalan Kebijakan,
2006
Wikipedia Indonesia, Kemiskinan, http:// www.kompas.com
This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com.The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.This page will not be added after purchasing Win2PDF.