self efficacy dari aktor-aktor organisasi dalam kesiapan ...€¦ · pendapatan, beban, aset dan...
TRANSCRIPT
35
BAB IV
SELF EFFICACY DARI AKTOR-AKTOR ORGANISASI DALAM
KESIAPAN IMPLEMENTASI SAP BERBASIS AKRUAL
PP NO. 71 TAHUN 2010
Deskripsi dan Analisis Kondisi
4.1 Sumber Daya Manusia
4.1.1 Persepsi Narasumber Terkait Akuntansi Berbasis Akrual
Persepsi narasumber dalam penelitian ini lebih menekankan pada
pemahaman narasumber mengenai akuntansi berbasis akrual. Adapun
narasumber yang diwawancarai terkait pemahaman mereka terkait akuntansi
berbasis akrual berjumlah 13 orang (6 orang dari BPKAD dan 7 orang PPK
SKPD).
Kepala Badan BPKAD, Bapak Orideko I. Burdam (wawancara pada
tanggal 05 April 2014) mengungkapkan bahwa sistem akuntansi akrual
merupakan program pemerintah, namun tidak menjelaskan secara detail
program seperti apa sistem akuntansi berbasis akrual tersebut :
“Menurut saya sistem akutansi yang berbasis (akrual), saya kira itu ya
program pemerintah yang harus kita terapkan, apapun resiko kita
harus banyak belajar dan mengikuti pelatihan untuk bisa dapat
menerapkan itu.”
Kepala Sub. Bidang Verifikasi BPKAD, Bapak Abu Bakar Saka
(wawancara pada tanggal 07 April 2014) berpendapat bahwa akuntansi
akrual berkaitan dengan pengakuan pada belanja:
“Ya kalo pemahaman saya kan apa namanya, yang lama kan (SAP PP
24/2005) hanya seputar hanya mengatur tentang contohnya. apanya
macam belanja gitukan, jadikan yang lama kan dia mengakui kita,
kalo kita sudah belanja berarti dia mengakui sebagai belanja tapi kalo
yang baru (SAP PP 71/2010) itu kan ketika belum
dipertanggungjawabkan, berarti dia belum mengakui sebagai belanja
36
gitukan, tapi kalo sudah di ini dipertanggungjawabkan baru diakui
sebagai belanja gitu.”
Sistem akuntansi berbasis akrual dalam pemerintahan tidak hanya terkait
pembelanjaan APBN/APBD namun berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010
dalam pelaksanaan laporan finansial yaitu terkait dengan pengakuan
pendapatan, beban, aset dan ekuitas sedangkan dalam pelaksanaan anggaran
yaitu terkait dengan pengakuan pengakuan pengakuan pendapatan, belanja
dan pembiayaan . Perbedaan yang mendasar terkait antara SAP lama (PP 24
Tahun 2005) dengan SAP yang baru (PP 71 Tahun 2010) pada awal transaksi
sebelum dicatat yaitu pengakuan dan belanja, selain itu perbedaan format
laporan antara jenis dan komponen laporan keuangan dan hal yang perlu
diperhatikan adalah penerapan konsep pengakuan, pengukuran, pelaporan
dan pengungkapan.
Bapak Abu juga menambahkan SAP berbasis akrual lebih mengarah
pemerintah ke sistem akuntansi perusahaan atau swasta
“Trus yang kedua kupikir mungkin baru..yang lama itu kan masih
bersifat pemerintahan, kalo yang baru harus masuk ke yang seperti di
sistem perusahaan gitu kan dia sudah mulai mengarah kesana gitu
seperti itu, mungkinkan yang baru lebih jelas lagi begitu”.
Berdasarkan pendapat diatas, hal ini sesuai dengan makna yang
ditekankan dalam NPM (New Public Management) dalam Ouda (2010) yang
memperkenalkan akuntansi akrual sebagai bentuk teknik manajemen sektor
privat atau sawsta serta sebagai aplikasi prilaku pasar bebas.
Kepala Sub Bagian Verifikasi dan Akuntansi Sekertariat Daerah, Bapak
Syamsudin Samuel Imanohos (wawancara pada tanggal 07 April 2014)
berpendapat bahwa akuntansi akrual hanya terkait pada pengakuan
pendapatan namun tidak berpengaruh terhadap belanja APBD:
“…kalo berbasis akrual khususnya kalo untuk masalah belanja saya
pikir tidak ada pengaruhnya, cuman untuk pendapatan itu akrual
37
sangat-sangat berpengaruh karena kita mengakui pendapatan masih
berupa ketika belum menerima uang, tapi itu sudah kita akui karena
ada perjanjian, itu khusus pendapatan yang akrual itu sangat
berpengaruh tapi kalo masalah belanja saya pikir itu tidak terlalu
berpengaruh.”
Pengakuan (recognation) pendapatan dan belanja dalam akuntansi
berbasis akrual tidak melihat waktu kas itu diterima atau dibayarkan (KSAP,
2006), artinya tidak hanya pendapatan saja berpengaruh dalam hal
pengakuan didalam keterikatan kontrak, namun belanja juga sangat
bepengaruh dan sudah diakui sebagai beban atau biaya meskipun belum
dibayarkan dan dianggap sebagai hutang.
Kepala Sub Bagian keuangan dan Perlengkapan Bappeda, Bapak
Rachmat M. Nurjayamika (wawancara pada tanggal 08 April 2014)
mengatakan bahwa akuntansi berbasis akrual merupakan SAP yang mengacu
pada pelaporan yang dibuat oleh unit akuntansi SKPD:
“Pemahaman saya bahwa sekarang, karena keluar SAP yang berbasis
akrual itu berarti kalo di SKPD, itu berartikan kita seharusnya SKPD
sebagai unit akuntansi. Sehingga pelaporan keuangan ya harusnya
mengacu kepada kita yang buat, bukan selama ini yang terjadi itu kan
selalu dari badan keuangan yang buat (BPKAD), jadi seolah-olah data
yang di SKPD itu tidak terlalu dipercayai dibandingkan data yang
mereka harus buat, seharusnya itu kan menurut pemahaman saya
mengenai ini bahwa SKPDnya yang sekarang dijadikan basis
akuntansi, jadi seharusnya akuntansinya sistem pencatatannya harus
ada di SKPD dibandingkan (SAP) yang lama toh.”
Berdasarkan PP 71 Tahun 2010, setiap entitas pelaporan (didalam
penelitian ini adalah pemkab) wajib melaporkan upaya-upaya dan hasil
pencapaian. SKPKD yaitu BPKAD dan SKPD harus bersinergi untuk
menghasilkan pelaporan sebagai bentuk tugas dan tanggung jawab masing-
masing entitas.
38
Pertanggungjawaban di SKPD khususnya PPK SKPD melaksanakan
akuntansi SKPD dan menyusun laporan keuangan SKPD. Sedangkan di
SKPKD melakukan pengendalian pelaksanaan APBD yang dilaksanakan
oleh SKPD dan menyusun laporan keuangan konsolidasi dari laporan
keuangan SKPD menjadi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD).
Namun pemahaman dari narasumber tidak berkaitan dengan konsep tentang
akuntansi berbasis akrual namun lebih mengarah ke teknis pelaksanaan yang
dilakukan oleh entitas.
Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata (wawancara pada tanggal 14 April 2014), Bapak Abdul Latif
Soltif mengatakan akuntansi akrual berkaitan dengan perbedaan antara yang
lama (PP 24 Tahun 2005) dengan yang baru (PP 71 Tahun 2010):
“Ya dia perbedaannya mungkin hanya dari apa namanya, dari bagan-
bagan (akuntansi) ini aja, dari format apa namanya ini (SAP), apa dia
rumus-rumus perhitungannya ini ya beda, dia ada beda sedikit dengan
yang lama.”
Perbedaan mendasar SAP baru dan lama sudah dijelaskan sebelumnya,
pokok-pokok perbedaan akuntansi pemerintah kas menuju akrual dan akrual
sangat banyak, mulai dari pokok-pokok perbedaan kerangka konseptual,
hingga pokok-pokok perbedaan PSAP lama dan baru dari PSAP 01 sampai
dengan PSAP 11. Narasumber tidak menunjukan konsep secara jelas terkait
akuntansi berbasis akrual dan tidak menjelaskan apa saja yang menjadi
pembeda antara PP 24 Tahun 2005 dan PP 71 tahun 2010.
Perbedaan antara akuntansi berbasis akrual dan akuntansi berbasis kas
menurut Ibu Rahayu selaku Kepala Sub. Bidang Pelaporan Keuangan
BPKAD (wawancara pada tanggal 07 April 2014) perbedaan antara
akuntansi berbasis kas dan akuntansi berbasis akrual ada pada pengakuan
seperti yang ia contohkan pada penerimaan secara kas dan piutang:
39
“Jadi saya hanya gambarannya hanya sedikit-sedikit saja yang saya
tau kas basic dan akrual itu, saya sampel kan misalnya seperti
penerimaan, pada saat penerimaan itu diakui sepuluh persen, pada
saat tidak tertagih misalnya sepu..eh..lima persen yang tertagih maka
lima persen yang tidak tertagih secara otomatis diakui secara
keseluruhan. Kalo misalnya kas basic, yang diterima secara kas saja
yang diakui itu saja gambaran yang saya tau antara akrual dan kas
basic bedanya.”
Seperti penjelasan sebelumnya bahwa pada dasarnya akuntansi berbasis
akrual transaksi ekonomi dicatat, disajikan tanpa melihat waktu kas atau
setara kas itu diterima atau dibayarkan. Berdasarkan contoh transaksi yang
menjadi pembeda antara basis kas dan akrual yang diungkapkan narasumber
sudah sesuai dengan konsep dasar sistem akuntansi berbasis akrual.
Hal ini juga diungkapkan secara teknis oleh Bapak Amril Laude selaku
Plt. Kepala Sub Bagian Keuangan Inspektorat (wawancara pada tanggal 10
April 2014) akuntansi berbasis akrual terkait pengakuan dan pencatatan:
“Sejauh ini sebenarnya saya kan masih baru, tapi sejauh pemahaman
saya menyangkut itu berupa akuntansi berbasis akrual diterapkan kalo
tidak salah, wajib oleh seluruh Pemda, dua ribu lima belas ya
diterapkan toh? ya jadi sejauh pemahaman saya kalo misalnya sistem
akuntansi berbasis akrual pencatatannya diakui setelah terjadi apa
namanya seratus persen. Misalnya pekerjaan fisik proyek
bangunannya seratus persen walaupun pencairan SP2Dnya belum
keluar tapi sudah diakui sebagai pengeluaran atau belanja modal.”
Berdasarkan pemahaman kedua narasumber akuntansi akrual berkaitan
dengan pengakuan pendapatan dan belanja tanpa melihat kas atau setara kas
diterima atau dibayarkan. Menurut Ouda ada 3 bentuk pilihan transisi ke
akuntansi akrual yaitu:
1. Hanya pelaporan yang bersifat akrual
2. Merubah pencatatan sampai dengan pelaporan akuntansi ke akuntansi
berbasis akrual
40
3. Merubah pengelolaan keuangan secara keseluruhan (termasuk
anggaran) ke akrual basis
Berdasarkan pendapat kedua narasumber bentuk transisi akuntansi
akrual ada pada bentuk pilihan yang kedua.
Dari hasil wawancara, sebagian besar narasumber kurang memahami
dasar sistem akuntansi berbasis akrual. Ada 5 (lima) narasumber belum
mempunyai pemahaman yang benar terkait akuntansi berbasis akrual. Ada 6
(enam) narasumber belum mempunyai pemahaman terkait akuntansi berbasis
akrual, sedangkan sisanya 2 narasumber sudah punya pemahaman mengenai
akuntansi berbasis akrual.
Kriteria pemahaman akuntansi berbasis akrual yaitu: Pertama,
narasumber dapat memahami akuntansi berbasis akrual adalah suatu basis
akuntansi dimana transaksi ekonomi dan peristiwa lainnya diakui, dicatat,
disajikan dalam laporan keuangan pada saat terjadinnya transaksi tersebut
tanpa memperhatikan waktu kas atau setara kas diterima atau dibayarkan
(KSAP , 2006). Kedua, narasumber memahami perbedaan antara akuntansi
berbasis akrual dengan akuntansi berbasis kas Perbedaan keduanya yang
terjadi adalah pada saat pengakuan (recognation) baik diterima atau
dibayarkan (Connolly dan Hyndman, 2006). Ketiga, narasumber memahami
SAP berbasis akrual berdasarkan PP No.71 Tahun 2010 adalah SAP yang
mengakui pendapatan, beban, aset dan utang, dan ekuitas dalam laporan
finansial berbasis akrual, serta mengakui pendapatan, belanja, dan
pembiayaan dalam pelaporan pelaksanaan anggaran berdasarkan basis yang
ditetapkan APBN/APBD. Narasumber dapat dianggap punya pemahaman
yang benar apabila salah satu kriteria ini dapat dijelaskan dengan baik.
Sistem akuntansi berbasis akrual belum banyak dikenal di pemerintahan
Indonesia. Kebanyakan narasumber belum menyadari betapa pentingnya
pergantian standar akuntansi pemerintah. Mereka beranggapan bahwa sistem
41
akuntansi berbasis akrual merupakan sesuatu hal yang baru di pemerintahan.
Akuntansi berbasis akrual yang diimplementasikan ke sektor publik
merupakan program pemerintah dalam rangka mereformasi keuangan
negara.
Banyaknya narasumber belum mempunyai pemahaman tentang
akuntansi berbasis akrual disebabkan mereka tidak mempunyai pendidikan
formal akuntansi, sehingga orang akan cenderung menghindari sesuatu hal
diluar batas kemampuan mereka, artinya karena keterbatasan pengetahuan
tentang akuntansi berbasis akrual narasumber kesulitan untuk memberikan
jawaban yang diharapkan oleh peneliti. Sehingga penilaian magnitude dari
narasumber itu sangat rendah. Tidak memiliki pengalaman bekerja didalam
perusahaan sehingga tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang
akuntansi berbasis akrual menyebabkan kurangnya keyakinan diri
narasumber terhadap apa yang diungkapkan dan narasumber tidak mampu
memberikan jawaban yang diharapkan oleh peneliti, sehingga penilaian
generality bernilai sangat rendah. Narasumber kurang pendalaman tentang
akuntansi berbasis akrual akan menyebabkan berkurang tingkat harapan
untuk melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual dengan baik,
sehingga penilaian strenght sangat rendah.
4.1.2 Ketersediaan SDM Aparatur Berlatar Belakang Pendidikan
Akuntansi
Keterkaitan dengan pegawai tingkat pendidikan pegawai menurut
Hepworth (2003), agar dapat mengimplementasikan dan mengoperasikan
akuntansi berbasis akrual, pemerintah harus mempunyai tenaga staf
akuntansi dari profesi akuntansi (accountancy profession). Berbagai literatur
(Ouda, 2004; OECD, 2003; Vanieris et al., 2003) dalam Eriotis et al (2011)
menyarankan perlunya memberikan perhatian pada tingkat pendidikan
42
pegawai, karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi para pegawai
mempunyai ekpektasi yang besar untuk menggunakan dan mendapatkan
manfaat dari teknik akuntansi yang baru serta mendorong pemerintah untuk
mengimplementasikannya.
Ketersediaan SDM aparatur dalam penelitian ini lebih ditekankan pada
jumlah dan tingkat pendidikan pegawai bagian keuangan berlatar belakang
akuntansi maupun keuangan di BPKAD maupun SKPD, baik itu staf
akuntansi maupun kasubbag keuangan. Jumlah narasumber yang
diwawancarai terkait ketersediaan SDM berlatar belakang akuntansi dan
keuangan ada 10 orang (3 orang dari BPKAD dan 7 orang dari PPK SKPD)
Kepala Badan BPKAD, Bapak Orideko I. Burdam (wawancara pada
tanggal 05 April 2014) mengungkapkan bahwa jumlah SDM aparatur di
BPKAD kebanyakan bukan berlatar belakang akuntansi:
Ibu Zahara selaku Kepala Bagian Akuntansi BPKAD (wawancara pada
tanggal 03 April 2014) mengatakan bahwa di Bagian akuntansi BPKAD
untuk kepala seksi sebagian besar level pendidikannya sarjana akuntansi,
hanya kebutuhan staf yang berlatar belakang akuntansi masih yang masih
kurang:
“Kalau beberapa sudah akuntansi, seperti kepala seksinya itu
semuanya S1 akuntansi cuman satunya kemaren dari D3 akuntansi..
Untuk kepala seksinya pas, Cuma staf-stafnya dibawah seksi-seksi ini
yang masih kurang.”
Berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, SKPKD (dalam
penelitian ini mengacu pada BPKAD Pemkab Raja Ampat) merupakan
pusat pengelolaan keuangan daerah untuk melaksanakan kegiatan seperti
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban
dan pengawasan keuangan daerah. Artinya orang yang melaksanakan
kegiatan yang disebutkan adalah orang yang kompeten dalam keuangan.
43
Orang-orang yang kompeten dibidang keuangan adalah latar belakang
pendidikannya berasal dari sarjana akuntansi dan keuangan. sehingga
BPKAD seharusnya perlu diisi oleh pegawai yang berlatar belakang
akuntansi.
Bapak Fiktor Mayor selaku Sekretaris BPKAD (wawancara pada
tanggal 09 April 2014) mengatakan bahwa BPKAD masih memerlukan
tenaga yang berlatar belakang akuntansi karena selama ini penambahan
pegawai diperbantukan diambil dari distrik-distrik.
BPKAD masih membutuhkan tenaga berkualifikasi akuntansi untuk
ditempatkan di level staf. Di SKPD juga dibutuhkan tenaga akuntansi
untukditempatkan di bagian fungsi tata usaha keuangan SKPD. Berdasarkan
pendapat dari narasumber PPK SKPD, di beberapa SKPD-SKPD tenaga
akuntansi yang belum terpenihui seperti yang diungkapkan Bapak
Syamsudin Samuel Imanohos selaku Kepala Sub Bagian Verifikasi dan
Akuntansi Sekertariat Daerah (wawancara pada tanggal 07 April 2014)
pegawai yang di bagian keuangan Sekda berlatar belakang akuntansi sudah
mencukupi, senada dengan apa yang diungkapkan Bapak Syamsudin, Kepala
Sub Bagian keuangan dan Perlengkapan Dinas Pendapatan Daerah, Ibu
Jumyati Kapitan Laut (wawancara pada tanggal 08 April 2014) kebutuhan
staf yang berlatar belakang akuntansi di bagian keuangan Dinas Pendapatan
sudah terpenuhi:
“Sudah memenuhi, sebenarnya sih kalo mau ditambah justru lebih
bagus untuk peningkatan SDM.”
Tidak semua SKPD terpenuhi kebutuhan tenaga akuntansi, masih
banyak SKPD yang membutuhkan tenaga akuntansi untuk ditempatkan di
bagian keuangan. Berdasarkan kondisi dilapangan di Pemkab Raja Ampat
untuk penempatan jabatan tidak diharus berdasarkan kualifikasi pendidikan
yang dimiliki, karena keterbatasan SDM ada yang terjun ke bidang keuangan
44
meskipun bukan berlatarbelakang akuntansi seperti yang diungkapkan
Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan KB, Ibu Fransiska Berselina Msen (wawancara pada tanggal
16 April 2014):
“Perlu juga, ya kalo kita masih perlu untuk itu bendahara penerima,
bendahara aset itu, kita yang ada juga bendahara pengeluaran dengan
ini maksudnya jabatannya sudah diisi orangnya ada cuma untuk
meningkatkan pemahaman itu yang masih kurang. perlu belajar lagi
ya itu sangat perlu (berpendidikan akuntansi) kita saja bidang
perikanan bisa terjun ke akuntansi keuangan.”
Tenaga akuntansi tidak hanya dibutuhkan di BPKAD saja, akan tetapi
setiap fungsi keuangan di SKPD juga harus memiliki tenaga akuntansi yang
kompeten dibidangnya. Berdasarkan pendapat dari narasumber dapat
disimpulkan bahwa ketersediaan tenaga akuntansi masih tidak merata di Raja
Ampat dan masih dibutuhkan tenaga akuntansi yang sesuai dengan
kualifikasinya (qualified accountants). 8 (Delapan) narasumber yang baik
dari BPKAD maupun SKPD menyatakan bahwa kebutuhan akan tenaga
akuntansi masih sangat diperlukan karena minimnya SDM akuntansi di Raja
Ampat sehingga pegawai-pegawai non keuangan menempati posisi di
keuangan atau tidak sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki. Sisanya 2(dua)
narasumber berpendapat bahwa SKPD mereka untuk tenaga akuntansi sudah
terpenuhi. Dalam penelitian ini tidak semua SKPD diambil sebagai
narasumber, oleh karena itu tidak menutup kemungkinan bahwa SKPD
lainnya bisa saja kebutuhan tenaga akuntansinya terpenuhi.
Di BPKAD sendiri pada tiap-tiap bidang untuk level jabatan staf masih
membutuhkan pegawai yang berlatar belakang akuntansi, karena baik honor
maupun tenaga pegawai yang diperbantukan dari distrik bukan berlatar
belakang akuntansi. Sedangkan di beberapa SKPD pada bagian keuangan
masih sangat dibutuhkan pegawai yang berlatar belakang akuntansi karena
45
posisi jabatan baik kepala seksi maupun stafnya hampir keseluruhan bukan
berlatar belakang akuntansi seperti kasusnya di Inspektorat seperti yang di
ungkapkan Bapak Amril Laude selaku Plt. Kepala Sub Bagian Keuangan
Inspektorat (wawancara pada tanggal 10 April 2014):
“Jadi kalo menurut saya penambahan aparat pengawas khususnya
inspektorat ya, jadi kita dalam rangka pengawasan masih kurang
aparatur, jumlah pegawainya kita saja baru duapuluh empat. Jadi
dibidang-bidang atau disini disebut dengan inspektorat pembantu
wilayah itu semuanya kepala, kepala seksi dan kepala bidang staf-
stafnya itu belum ada, karena kita memang kekurangan aparat.”
Menurut Simanjuntak (2010), untuk menerapkan akuntansi berbasis
akrual, Pemerintah sangat membutuhkan SDM yang mampu menguasai
akuntansi sektor publik. Orang ahli (expert) dalam standar akuntansi adalah
profesi akuntansi dan juga sudah terlatih dalam manajemen keuangan sektor
privat, apabila pemerintah jarang berhubungan dengan profesi akuntansi dan
jumlah tenaga akuntan yang sedikit akan sangat sulit memberikan keputusan
yang tepat dalam mengaplikasikan akuntansi berbasis akrual (Hepworth,
2003) .
Akuntansi berbasis akrual diadopsi dari standar akuntansi sektor privat
dan di aplikasikan ke sektor publik, sehingga akuntansi berbasis akrual
berbeda dengan akuntansi di pemerintahan. Pegawai pemerintah yang bukan
berlatar belakang akuntansi pada umumnya tidak mempunyai kemampuan di
bidang akuntansi dan tidak mempunyai pengalaman di bidang manajemen
keuangan sektor swasta. Akuntansi berbasis akrual untuk sektor publik hanya
bisa didapatkan melalui pendidikan dan pelatihan dari profesi akuntansi
maupun institusi lainnya seperti lembaga pendidikan dan perguruan tinggi.
Terbatasnya SDM aparatur berlatar belakang akuntansi di Pemkab Raja
Ampat bisa disebabkan karena: Pertama, permintaan kebutuhan jumlah
pegawai yang berpendidikan akuntansi untuk mengisi formasi bagian
46
keuangan belum tersalurkan ke pemerintah pusat karena budaya politik yang
menekankan pada permintaan “putra daerah” atau “penduduk lokal”. Kedua,
minimnya jumlah SDM Papua yang berpendidikan akuntansi untuk bekerja
di pemerintahan. Minimnya tenaga akuntansi memicu inkompetensi pada
bidang keuangan, pemerintah daerah kesulitan untuk mencari tenaga
akuntansi dari penduduk lokal sehingga memicu penempatan jabatan tidak
sesuai kompetensi berbasis pendidikan di bidangnya, sehingga penilaian
secara magnitude terhadap ketersediaan SDM rendah. Akibat inkompetensi
inilah akan mengurangi keyakinan diri bahwa pemkab dapat melaksanakan
implementasi SAP berbasis akrual dengan baik dan belum ada pemecahan
masalah terkait minimnya tenaga akuntansi, sehingga penilaian generality
rendah. Keterbatasan tenaga akuntansi dan inkompetensi di bidang keuangan
akan menyebabkan turunnya tingkat ekspektasi agar pelaksanaan
implementasi SAP berbasis akrual berjalan dengan baik, sehingga penilaian
strenght rendah.
4.1.3 Pendidikan dan Pelatihan Teknis Terkait Implementasi SAP
berbasis akrual
Pemberian pelatihan dilaksanakan untuk membimbing manajemen
organisasi menengah kebawah agar dapat menggunakan inovasi dengan
baik(Vrakking, 1995). Pelatihan juga akan lebih berguna untuk membangun
pemahaman yang lebih baik tentang pekerjaan karyawan, dimana posisi
personil ditempatkan (Pabedinskaite, 2010).
Pendidikan maupun pelatihan teknis implementasi SAP berbasis akrual
ditekankan pada Kasubbag Keuangan selaku Pejabat Penatausahaan
Keuangan maupun staf bagian keuangan di setiap SKPD lingkungan Pemkab
Raja Ampat. Narasumber yang diwawancarai berjumlah 10 Orang (3 orang
dari BPKAD dan 7 orang dari PPK SKPD).
47
Berdasarkan informasi yang diberikan narasumber, pelatihan teknis
akuntansi berbasis akrual belum dilaksanakan di Pemkab Raja Ampat.
Kepala Bidang Akuntansi BPKAD, Ibu Zahara (wawancara pada tanggal 03
April 2014) mengatakan pelatihan teknis terkait SAP berbasis akrual (PP
71/2010) belum dilaksanakan:
“Belum, rencana bulan Juni ini (2014), kita (BPKAD) kan disini
sebenarnya hanya menghimpun sebenarnya lebih teknis kan itu di
SKPD-SKPDnya”
Pelatihan teknis akuntansi berbasis akrual harus dilakukan secara
menyeluruh ke setiap SKPD di Pemkab Raja Ampat. Namun ada juga
pegawai yang sudah mendapatkan pelatihan teknis akuntansi berbasis akrual
seperti yang di ungkapkan Kepala Sub. Bidang Pelaporan Keuangan
BPKAD, Ibu Rahayu (wawancara pada tanggal 07 April 2014) bahwa ia
pernah mengikuti kursus keuangan daerah untuk akuntansi berbasis akrual
secara perorangan:
“Kalo untuk pemkab sendiri belum, untuk secara keseluruhan per SKPD
belum, kalo saya sendiri saya sudah pernah, dan itu tahun kemaren.
Kursus keuangan daerah waktu itu di Unhas tahun dua ribu tiga belas
sekitar bulan enam, itu menyangkut akrual”
Pemkab Raja Ampat tidak mewajibkan untuk menunggu adanya
pelatihan teknis secara resmi, namun pembelajaran tentang akuntansi
berbasis akrual bisa dilakukan melalui izin belajar atau tugas belajar, bisa
juga dilakukan belajar sendiri melalui buku maupun media lainnya seperti
yang diungkapkan Bapak Rachmat M. Nurjayamika selaku Kepala Sub
Bidang Keuangan dan Perlengkapan Bappeda (wawancara pada tanggal 08
April 2014):
“Kalo untuk SAP belum ya, khusus untuk ini ya, untuk pelatihan
mengenai ini (PP 71/2010) ya kalo dikita, rata-rata kita belajarnya
otodidak aja, begitu kita dengar kita harus mencari informasi diluar
48
sesuai dengan kita punya tugas, kita lalu cari mungkin ada aturannya,
lalu kita coba-coba belajar untuk itu.”
Lain halnya dengan apa yang diungkapkan oleh Kepala Sub Bagian
Keuangan dan Perlengkapan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Bapak
Abdul Latif Soltif (wawancara pada tanggal 14 April 2014) Pemkab Raja
Ampat pernah mengadakan kegiatan pelatihan keuangan berbasis akrual
pelaksanaan kegiatan berada diluar Pemkab di tahun 2013 :
“Pemkab belum, oo Pemkab sudah pernah adakan, tapi adakan tapi
berasal dari luar seperti dasar-dasar akuntansi penyusunan laporan
tahunan SKPD, ya berbasis akrual, desember eh oktober tahun dua
ribu tiga belas kemaren, berdua dengan Kasubag Umum.”
Pemkab Raja Ampat belum pernah mengadakan pelatihan teknis
akuntansi berbasis akrual secara menyeluruh SKPD dan belum ada informasi
secara resmi terkait pelaksanaan pelatihan teknis akuntansi berbasis akrual di
Raja Ampat. Semua narasumber mengungkapkan bahwa pelaksanaan diklat
teknis SAP berbasis akrual belum dilakukan di Raja Ampat. Ada 8 (tujuh)
narasumber yang menyatakan bahwa mereka belum mendapatkan pelatihan
teknis, sisanya 2 (dua) orang narasumber beranggapan bahwa mereka sudah
pernah mengikuti pelatihan teknis akuntansi berbasis akrual dari luar.
Implementasi SAP berbasis akrual memerlukan diklat teknis, karena
pegawai keuangan harus mempunyai kemampuan dan ketrampilan dalam
pengelolaan keuangan berbasis akrual. Penyelenggaraan pelatihan maupun
pendidikan teknis SAP berbasis akrual yang diakui secara resmi adalah
KSAP, Kemendagri, Kemenkeu, BPKP maupun badan swasta yang
diberikan kewenangan untuk mengadakan pendidikan, pelatihan maupun
bimbingan teknis. Pelatihan teknis akuntansi berbasis menurut Hepworth
(2003) harus ada kemauan dari pengelola keuangan untuk mengikuti
program berupa pendidikan dan pelatihan secara komprehensif yang
dilaksanakan oleh badan profesi akuntansi maupun institusi lainnya.
49
Dengan bertambahnya format laporan akan membawa dampak bagi para
pengelola keuangan pemda dalam menyusun laporan keuangan berbasis
akrual, sehingga selain diperlukan pegawai yang mempunyai kapasitas
tenaga akuntansi juga diperlukan pendidikan maupun pelatihan (diklat)
teknis untuk pengelolaan keuangan. Sedangkan setengah tahun waktu yang
berjalan belum ada pelaksanaan pelatihan teknis. Dengan kondisi seperti ini,
dampaknya bagi pemerintah kabupaten Raja Ampat adalah keterbatasan
waktu untuk bisa memperkenalkan dan melaksanakan implementasi SAP
berbasis akrual di tahun 2015 mendatang.
Belum adanya pelatihan teknis akuntansi berbasis akrual secara
menyeluruh di Pemkab Raja Ampat akibat terlambatnya informasi
menyebabkan pemkab kesulitan mengatur jadwal karena keterbatasan waktu
dalam memperkenalkan akuntansi berbasis akrual dan akan mengakibatkan
pelaksanaan implementasi tidak akan berjalan efektif, sehingga penilaian
magnitude adalah sangat rendah. Belum adanya pelatihan pelatihan teknis
akibat keterlambatan informasi akan mengurangi tingkat keyakinan pemkab
dalam melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian
generality adalah sangat rendah. Belum adanya kegiatan pelatihan teknis
akibat keterlambatan informasi sehingga harapan untuk melaksanakan
implementasi dengan baik berkurang, sehingga penilaian strenght adalah
sangat rendah.
4.1.4 Ketrampilan Pengelola Keuangan Daerah BPKAD dan SKPD
Dalam Menyusun Laporan Keuangan
Ketrampilan pengelolaan keuangan sangat dibutuhkan dalam
implementasi akuntansi berbasis akrual. Pengelola keuangan harus
mempunyai kompetensi profesional seperti pengetahuan, pengalaman,
metode, dana, teknologi (Pabedinskaite, 2010) sehingga dapat mengelola
50
keuangan dengan baik. Hepworth (2003) berpendapat bahwa setiap
pengelola keuangan harus mempunyai kapasitas dan kompetensi untuk
menguasai standar akuntansi. Sehingga bisa dikatakan untuk melaksanakan
implementasi berbasis akrual dibutuhkan ketrampilan dari pengelola
keuangan berupa pengetahuan, pengalaman dan kompetensi profesional
lainnya.
Laporan keuangan sangat penting untuk melihat informasi yang
menggambarkan kinerja pemerintah selama satu periode, nantinya digunakan
untuk pembuatan APBD selanjutnya. Penyusunan laporan keuangan daerah
format standar akuntansi terdiri dari: LRA, Neraca, Laporan Arus Kas dan
CALK. Oleh karena itu, pengelola keuangan baik pejabat BPKAD maupun
PPK SKPD harus mempunyai kompetensi profesional dan mampu
menguasai standar. Adapun narasumber yang diwawancarai berjumlah 10
orang (3 orang dari BPKAD dan 7 orang dari PPK SKPD).
Kepala Bagian Akuntansi BPKAD, Ibu Zahara (wawancara pada tanggal
03 April 2014) secara spesifik mengatakan ada tiga seksi di bagian akuntansi
yaitu sie. verifikasi, sie. penyusunan laporan keuangan dan sie. akuntansi dan
keuangan, sehingga tidak semua memahami penyusunan laporan keuangan:
“Ada yang sebagian sudah paham ada yang belum, disinikan (bagian
Akuntansi BPKAD) kita tiga bidang eh, tiga seksi: seksi verifikasi,
seksi penyusunan laporan (keuangan), sama seksi akuntansi jadi tidak
semua itu memahami penyusunan laporan itu, cuma tahap-tahap itu
kan masing-masing sesuai dengan seksi-seksinya seperti verifikasi,
akuntansi, penyusunan laporan (keuangan).”
Penyusunan laporan keuangan berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun
2006 di pegang oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yaitu kepala
SKPKD atau kepala badan BPKAD yang bertanggung jawab menyusun
laporan keuangan pemerintah daerah dibantu oleh bidang akuntansi. Di
setiap daerah struktur organisasi pemerintahan berbeda-beda, didalam
51
Pemkab Raja Ampat, bidang atau seksi penyusun laporan berada dibawah
bidang akuntansi. Untuk melaksanakan pelaporan keuangan daerah menjadi
tanggung jawab seksi pelaporan keuangan.
Kepala Sub. Bidang Pelaporan Keuangan BPKAD, Ibu Rahayu
(wawancara pada tanggal 07 April 2014) berpendapat bahwa para staf
mempunyai semangat untuk menyusun laporan keuangan, karena sudah
diperlengkapi dengan studi banding ke daerah lain, sehingga membantu
mereka menyusun LKPD:
“Kalo semangatnya di kita ada pak, kita kalo dikasih pelatihan dikasih
sosialisasi jadi kita punya semangat untuk membuat LKPD itu ada dan
kita sudah tergambar kita pernah studi banding ke daerah lain dan
kita akui punya semangat untuk itu (menyusun LKPD) betul-betul..
Ibu Rahayu juga menambahkan untuk menyusun laporan keuangan perlu
dibentuk suatu tim yang memahami kebijakan akuntansi yang berlaku:
“Kan penyusunan LKPD nda mungkin menyusun sendiri-sendiri,
otomatis harus menggunakan Tim. Jadi pada saat penyusunan LKPD
itu biasanya kita menunjuk orang-orang yang sudah mengerti betul
tentang kebijakan akuntansi yang berlaku, penggunaannya
bagaimana, jadi kalo misalnya masalah kemauan dengan ini semua
ada, kita kemauan itu besar sekali, kita tau posisi kita disini.”
Berdasarkan apa yang diungkapkan narasumber bahwa penyusunan
laporan keuangan harus dibentuk suatu tim akan memunculkan suatu
pertanyaan apa peran atau tupoksi dari seksi penyusun laporan sehingga
dibentuk suatu tim untuk menyusun laporan keuangan.
Menurut Ibu Zahara (wawancara kedua pada tanggal 23 April 2014)
proses penyusunan laporan keuangan di BPKAD Raja Ampat digambarkan
sebagai berikut:
1. Laporan pertanggungjawaban keuangan tiap SKPD dikumpulkan ke
bidang akuntansi, lalu dilakukan pemeriksaan dan rekonsiliasi bank.
Setelah itu, dilakukan pencocokan dengan data keuangan di SKPD,
52
apabila ada kesalahan pencatatan biasanya berkaitan dengan UP (Uang
Persediaan)/GU (Ganti Uang)/TU (Tambah Uang). Masalah yang sering
terjadi ketika sudah dilakukan penginputan di SKPD ternyata belum
disetor oleh bendahara SKPD, sehingga dilakukan pencocokan ulang.
Apabila sudah cocok, lalu laporan tersebut dihimpun (konsolidasi)
ditambah dengan laporan dari aset menjadi laporan keuangan berbentuk
draft yang disusun oleh tim bidang akuntansi.
2. Draft laporan keuangan di reviu oleh Badan Inspektorat. Proses reviu ini
berlangsung kurang lebih sepuluh hari. Apabila ada kesalahan maka
dilaporkan kembali ke BPKAD, apabila tidak kesalahan draft dan reviu
disusun menjadi laporan keuangan yang belum diaudit, kemudian
diserahkan ke BPK pada akhir maret dan selambat-lambatnya 3 bulan
berikutnya yaitu di bulan Juni.
3. Laporan keuangan yang sudah diaudit itu kemudian dimasukan dalam
peraturan daerah Raja Ampat sedangkan rincian dari laporan keuangan
dijadikan peraturan bupati Raja Ampat.
Berdasarkan gambaran tentang proses penyusunan LKPD dari Ibu
Zahara sesuai dengan apa yang di katakan Hepworth (2003) bahwa, laporan
keuangan tahunan pemerintah yang telah di audit dari setiap instansi yang
harus diserahkan ke legislatif dan diperiksa kembali dengan cermat dan
dirinci kembali agar bisa dilakukan pengambilan keputusan secara tepat.
Plt. Kepala Sub Bagian Keuangan Inspektorat, Bapak Amril Laude
(wawancara pada tanggal 10 April 2014) berpendapat bahwa kebanyakan
staf bukan berlatar belakang akuntansi sehingga, di Inspektorat hanya
sebagian saja bidang keuangan yang mampu menyusun laporan keuangan:
“Kalo saya pribadi, mungkin SDMnya inspektorat ini kebanyakan
basicnya bukan akuntansi jadi banyak yang dari sosial, jadi
53
pemahaman menyusun laporan keuangan cuman mungkin yah kira-
kira sekitar lima puluh persen lah”
Peran dari Inspektorat selaku badan pengawas pemerintah daerah sangat
penting apalagi menyangkut penyusunan laporan keuangan, para aparatur
pengawas harus memahami peran dan fungsi akuntansi dalam penyusunan
laporan keuangan, apabila pengendalian internal terhadap pengelolaan
keuangan bisa dilakukan secara efektif.
Ibu Fransiska Berselina Msen selaku Kasubbag Keuangan dan
Perlengkapan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB (wawancara pada
tanggal 16 April 2014) mengatakan bahwa bagian keuangan SKPD sudah
bisa menyusun Laporan Keuangan. Beliau juga menjelaskan gambaran
proses penyusunan laporan keuangan di SKPD melalui beberapa tahapan
sebagai berikut:
1. SKPD menerima DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran), dan
permintaan DPA kemudian di proses di BPKAD lalu dibuatlah SPD
(Surat Penyediaan Dana), kemudian SKPD membuat SPP (Surat
Permintaan Pembayaran), setelah itu PPK SKPD menerbitkan SPM
(Surat Perintah Membayar) UP/TU/GU untuk di proses kembali ke
BPKAD, setelah nilai SPM disetujui, BPKAD kemudian membuat
SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana).
2. Kedua, SKPD membuat SPJ (Surat Pertanggungjawaban) penggunaan
anggaran perbulan, dimana untuk koordinasikan dengan BPKAD,
sampai dengan akhir tahun SPJ itu direkap dan kasubag keuangan
SKPD membuat laporan keuangan (CALK, Jurnal Penerimaan dengan
Pengeluaran, Rekapitulasi SPJ, Neraca, LRA, aset terakhir. Biasanya
LK dibuat per semester dari Januari s/d Juni semester dan berikutnya
Juli s/d Desember) diserahkan ke BPKAD.
54
Berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, PPK SKPD mempunyai
peran penting dalam fungsi tata usaha keuangan antara lain melaksanakan
akuntansi SKPD dan menyiapkan laporan keuangan SKPD. Sehingga
berdasarkan pemahaman narasumber diatas sesuai dengan peraturan
pengelolaan keuangan daerah yang berlaku.
Berdasarkan wawancara, hampir semua narasumber berpendapat bahwa
mereka dapat menyusun laporan keuangan. Penyusunan laporan keuangan
pada tahun 2014 dilakukan tanpa pendampingan dari BPKP dan proses
penyusunan laporan keuangan baik di BPKAD maupun SKPD sudah
mempunyai prosedur operasional standar pengelolaan keuangan daerah.
Di BPKAD tidak berjalannya peran dari seksi penyusun laporan
keuangan sehingga dibentuk sebuah tim penyusun laporan keuangan,
kurangnya peran dan tanggung jawab dari seksi penyusun laporan keuangan
dan adanya studi banding ke pemda lain menunjukan Pemkab Raja Ampat
masih harus membenahi dalam pengelolaan keuangan pemerintah daerah.
Sedangkan di SKPD masih terjadi masalah teknis seperti selisih nilai, adanya
pergantian posisi jabatan yang menyebabkan sulitnya mendapatkan
informasi dari pejabat yang terdahulu, selain itu adanya para pegawai bukan
berlatar akuntansi yang menyebabkan kurang atau terlambatnya pemahaman
staf dalam penyusunan laporan keuangan. Untuk itu diperlukan sosialisasi
maupun memperbanyak pelatihan menjadi tolak ukur staf agar dapat
menyusun keuangan dengan baik.
Menurut Klein dan Sora (1996) salah satu kemajuan dalam iklim
implementasi yang kuat adalah perlunya ketrampilan pegawai dalam
menggunakan inovasi. Pabedinskaite (2010) mengatakan bahwa faktor utama
kesuksesan suatu implementasi dilihat dari pengetahuan, workmanship,
kecakapan maupun keahlian seorang manajer. Pengelola keuangan bukan
hanya mampu mengelola keuangan dengan baik namun juga peka terhadap
55
permasalahan di sekitarnya sehingga masalah sekecil apapun bisa teratasi.
Para pegawai BPKAD dan penatausahaan keuangan SKPD Pemkab Raja
Ampat belum menguasai teknik penyusunan laporan keuangan berbasis
akrual oleh karena itu, salah satu upaya yang bisa diberikan adalah
memberikan pelatihan berupa bimbingan teknis pengelolaan keuangan
daerah untuk meningkatkan ketrampilan pengelola keuangan.
Kemampuan menyusun laporan keuangan tidak berdasarkan peran dan
tanggung jawab suatu bidang, namun dilaksanakan secara kolektif tim,
melaksanakan studi banding ke luar daerah, kendala-kendala teknis yang
terjadi di SKPD menunjukan bahwa pemkab masih perlu melakukan
pembenahan dalam pengelolaan keuangan daerah. Perlunya pembenahan
pengelolaan keuangan daerah pemkab akan semakin menjadi tidak mudah
dalam pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual. Ditambah dengan
pemkab masih belum menguasai teknik penyusunan laporan keuangan
berbasis akrual, sehingga penilaian magnitude rendah. Masih diperlukan
pembenahan pengelolaan keuangan dan belum adanya penguasaan teknik
penyusunan laporan keuangan berbasis akrual akan menyebabkan
berkurangnya tingkat keyakinan diri atas apa yang dilakukan maupun apa
yang ingin dicapai dalam pelaksanaan impelementasi SAP berbasis akrual,
sehingga penilaian generality rendah. Kurangnya pengetahuan tentang teknik
akuntansi berbasis akrual akan menyebabkan kurangnya tingkat ekspektasi
dalam pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian
strenght rendah.
Faktor pertama yakni SDM pada Pemkab Raja Ampat menunjukan bahwa:
a. Pemahaman terkait akuntansi berbasis akrual belum ada.
b. Ketersediaan tenaga kerja berkualifikasi akuntansi dan keuangan sangat
minim.
c. Penyelenggaraan pelatihan SAP berbasis akrual masih belum ada.
56
d. Pegawai keuangan hanya terampil mengelola keuangan berbasis kas
namun belum mempunyai ketrampilan mengelola keuangan berbasis
akrual.
Sehingga penilaian efficacy aktor-aktor organisasi terhadap faktor SDM
sangat rendah.
4.2 Komitmen Organisasi
4.2.1 Sosialisasi SAP Berbasis Akrual (PP No. 71 Tahun 2010)
Salah satu faktor kunci untuk melakukan perubahan, perlu mendapat
dukungan dari manajemen pusat, manajemen lini, pemimpin dan anggota
organisasi lainnya (Vrakking, 1995; Weiner, 2009; Pabedinskaite, 2010;
Shirouyehzad, et.al, 2011). Salah satu wujud dukungan yang harus dilakukan
oleh pemerintah dalam rangka memperkenalkan akuntansi berbasis akrual
adalah melakukan sosialisasi. Sosialisasi serta implementasi SAP ini harus
mendapat dukungan dari pimpinan daerah. Dengan adanya PP No. 71 Tahun
2010 dan terbitnya Permendagri No. 64 Tahun 2013 tentang Penerapan SAP
Berbasis Akrual di Pemerintah Daerah, maka pelaksanaan implementasi SAP
berbasis akrual sudah dapat disosialisasikan ke setiap daerah.
Paparan sosialisasi akuntansi berbasis akrual yang dilakukan
Kemendagri pada bulan Maret 2014 terkait Permendagri No. 64 Tahun 2013
antara lain: (1) akuntansi aset tetap, (2) akuntansi persediaan, (3) aset
lainnya, (4) beban dan belanja, (5) dana cadangan, (6) gambaran umum
modul SAP berbasis akrual, (7) investasi jangka pendek, (8) kas dan setara
kas, (9) kewajiban, konsolidasi laporan keuangan, (10) koreksi kesalahan,
(11) pembiayaan, (12) pendapatan, (13) penyusutan aset tetap, (14) piutang,
(15) transfer, (16) konsep dan siklus akuntansi. (sumber:
http://keuda.kemendagri.go.id/pages/view/20-modul-penerapan-akuntansi-
berbasis-akrual, 17 Juni 2014)
57
Narasumber yang diwawancarai terkait sosialisasi berbasis akrual
berjumlah 10 orang (3 orang dari BPKAD dan 7 orang dari PPK SKPD).
Bapak Orideko I. Burdam selaku Kepala Badan BPKAD (wawancara pada
tanggal 05 April 2014) mengatakan bahwa sosialisasi telah dilakukan 1 kali
oleh BPKP, Pemkab Raja Ampat masih membutuhkan kerjasama pihak-
pihak terkait seperti BPKP, Depdagri atau Depkeu untuk menyelenggarakan
sosialisasi:
“Baru satu kali, baru mulai kemaren sosialisasi yang dilakukan oleh
BPKP, pada waktu ikut sosialisasi yang kemaren dua orang. Belum
ada (sosialisasi PP terbaru di Pemkab Raja Ampat), mungkin kita
mulai selenggarakan yang baru ini (PP 71/2010) sosialisasinya di
tahun dua ribu empatbelas ini, karena tahun ini baru kita antisipasi
kedepan, belum tau (kapan) karena kita masih bekerjasama dengan
pihak-pihak yang terkait, seperti BPKP atau Depdagri atau
Departemen Keuangan atau pihak lain yang sah.”
Dalam memperkenalkan akuntansi berbasis akrual, sosialisasi
diselenggarakan oleh badan pemerintah seperti KSAP, BPK, Depkeu,
Depdagri, BPKP dan badan lain yang dipercaya untuk
menyelenggarakannya. Sejak tahun 2010 KSAP sudah melakukan sosialisasi
SAP berbasis akrual ke sejumlah pemerintah daerah sebagai pilot project
dengan time frame medium antara 4 – 6 tahun. Kabupaten Raja Ampat
merupakan salah satu wilayah timur Papua yang belum mendapat informasi
tersebut sejak saat itu. Beberapa tahun kemudian tepatnya di tahun 2014
sosialisasi mulai gencar dilakukan ke sejumlah daerah termasuk bagian
wilayah timur Indonesia yaitu Papua. Pemerintah terkesan terlambat dalam
menyampaikan informasi Akuntansi Akrual ke wilayah Indonesia timur
sehingga follow up dari pemerintah daerah belum dilaksanakan.
Sama seperti yang diungkapkan Kepala Badan BPKAD, Bapak Fiktor
Mayor selaku Sekretaris BPKAD (wawancara pada tanggal 09 April 2014)
58
sosialisasi SAP berbasis akrual di Raja Ampat belum dilaksanakan, hanya
ada undangan sosialisasi dari Depdagri ke seluruh pemda:
“ Untuk seluruh SKPD belum, di Raja Ampat belum ada hanya
dilaksanakan Depdagri di Jakarta itu saja, memang ada undangan
untuk pergi tapi untuk di Raja Ampat sendiri belum ada.”
Sosialisasi SAP berbasis akrual dari BPKP mau pun dari Depdagri telah
diselenggarakan dengan mengundang sejumlah daerah termasuk salah
satunya adalah Pemkab Raja Ampat. Namun, pemkab masih belum
melaksanakan sosialisasi ke SKPD-SKPD sehingga implementasi SAP
berbasis akrual belum bisa dilaksanakan artinya belum ada perencanaan
strategis yang mendukung implementasi.
Narasumber dari PPK SKPD juga mengungkapkan bahwa sosialisasi
SAP berbasis akrual belum dilaksanakan. Bapak Syamsudin Samuel
Imanohos selaku Kepala Sub Bagian Verifikasi dan Akuntansi Sekertariat
Daerah (wawancara pada tanggal 07 April 2014) mengatakan baru Pemda
Manokwari yang mendapat sosialisasi SAP berbasis akrual:
“Sosialisasi pak, iya sosialisasi, itu belum, itu kemaren dari
manokwari baru dapat sosialisasi, jadi kami masih memakai yang
lama (PP 24/2005). Yang kemaren itu mereka baru pada,
sosialisasinya baru sampai pada tahap penyusunan anggaran
akuntansinya belum sampai tahap penyusunan laporan, penyusunan
anggaran berbasis akrual belum sampai penyusunan
laporannya…Rata-rata di Papua terlambat sebenarnya terlambat
informasi.”
Sosialisasi SAP berbasis akrual dari Kemendagri tentang komponen-
komponen laporan keuangan berbasis akrual, sedangkan sosialisasi di
Manokwari yang dilakukan oleh BPKP tentang penyusunan anggaran
berbasis akrual. Dari sosialisasi SAP berbasis akrual yang dilaksanakan oleh
kedua lembaga pemerintah tersebut maka pemkab sudah seharusnya
melakukan sosialisasi ke dalam atau ke setiap SKPD-SKPD namun belum
59
ada upaya yang nyata dilakukan pemerintah agar mempercepat mekanisme
kegiatan-kegiatan yang mendukung pelaksanaan implementasi.
Dari pendapat semua narasumber, sosialisasi SAP berbasis akrual belum
dilaksanakan di lingkungan Pemkab Raja Ampat. Dalam masa transisi
memperkenalkan akuntansi berbasis akrual menurut Ouda (2010), tidak
hanya membutuhkan kondisi yang tepat namun juga lebih banyak dorongan
serta upaya yang dilakukan dalam merubah budaya utama, administratif dan
teknik akuntansi.
Sosialisasi sebagai salah satu bentuk upaya pemerintah dalam
memperkenalkan akuntansi berbasis akrual sehingga tindakan praktis lainnya
seperti biaya-biaya seperti pengadaan barang (hardware), software, pelatihan
dan kegiatan lainnya bisa terukur dan dikendalikan dengan baik. Namun
belum ada upaya dari pelaksanaan sosialisasi SAP berbasis akrual di
lingkungan Pemkab Raja Ampat, menyebabkan pemkab belum mempunyai
gambaran seperti apa pelaksanaan implementasi. Belum ada upaya kongkrit
(action plan) untuk melakukan perencanaan strategis implementasi SAP
berbasis akrual dan kegiatan sosialisasi yang seharus sebagai langkah awal
memperkenalkan sistem akuntansi pemerintah yang terbaru belum dianggap
sebagai isu utama kegiatan pemkab.
Belum ada upaya sosialisasi SAP berbasis akrual akan menyebabkan
pemkab sulit untuk memberikan gambaran seperti apa pelaksanaan
implementasinya dan menetukan perencanaan strategis terkait pelaksanaan
implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian magnitude adalah
sangat rendah. Belum adanya upaya kongkrit sosialisasi SAP berbasis akrual
di pemkab akan menyebabkan berkurangnya tingkat keyakinan pemkab
dalam pelaksanaan SAP berbasis akrual, sehingga generality sangat rendah.
Pengetahuan tentang akuntansi berbasis akrual tidak akan didapat tanpa
adanya upaya kongkrit sosialisasi SAP berbasis akrual dan akan mengurangi
60
tingkat ekspektasi dalam pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual,
sehingga penilaian strenght sangat rendah.
4.2.2 Kebijakan dan Peraturan yang Berlaku
Kebijakan dan prosedur akuntansi merupakan isu-isu akuntansi yang
masuk dalam agenda politik (Ouda, 2010). Menurut Ouda, keberadaan
inovasi akuntansi pemerintah adalah suatu isu yang harus dikomunikasikan
ke kelompok yang berbeda seperti lembaga legislatif. Kelompok ini dapat
mempengaruhi keputusan melakukan reformasi dan masuk dalam agenda
politik dan mendapat perhatian besar dari para politisi. Pemimpin daerah
beserta DPRD merupakan aktor sangat berperan penting untuk membawa
inovasi akuntansi untuk dijadikan peraturan daerah (legal provision).
Peraturan daerah yang berlaku dalam penelitian ini terkait dengan ada
atau tidaknya kebijakan pemerintah dalam pengelolaan keuangan berbasis
akrualyang sudah ditetapkan berdasarkan persetujuan DPR. Dokumen legal
berupa peraturan daerah maupun peraturan bupati yang mengatur
pengelolaan keuangan daerah berdasarkan SAP berbasis akrual.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara pasal 32 menyatakan bahwa bentuk dan isi laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai
dengan standar akuntansi pemerintah yaitu SAP. Permendagri No.13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (telah di rubah dengan
Permendagri No. 59 Tahun 2007 dan perubahan kedua dalam Permendagri
No. 21 Tahun 2011) masih digunakan kebanyakan pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan. Namun, format penyusunan laporan keuangan LRA
Permendagri No. 13 Tahun 2006 berbeda dangan format LRA Standar
Akuntansi Pemerintah kas menuju akrual PP No. 24 Tahun 2005, karena ada
beberapa pos-pos dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 perlu dikonversi
ke PP No. 24 Tahun 2005. Acuan dari Permendagri No. 13 Tahun 2006
61
diturunkan menjadi Peraturan Daerah tentang dasar-dasar pengelolaan
keuangan daerah dan diturunkan ke dalam bentuk petunjuk pelaksanaan
sistem dan prosedur pengelolaan keuangan ada pada Peraturan Bupati.
Narasumber yang diwawancarai berjumlah 12 orang (5 orang dari
BPKAD dan 7 orang dari PPK SKPD). Menurut Kepala Badan Pengelola
Keuangan dan Aset Daerah Raja Ampat, Bapak Orideko I. Burdam
(wawancara pada tanggal 05 April 2014) mereka punya acuan penyusunan
laporan keuangan di Pemkab Raja Ampat antara lain UU No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, PP No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah, Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Perda No. 3 Thn 2010 dan
Peraturan Bupati:
“Untuk penyusunan laporan (keuangan) kita punya dasar acuan
seperti permendagri tiga belas dengan perubahannya, terus peraturan
pemerintah nomor lima puluh empat itu, terus undang-undang nomor
satu tahun dua ribu empat ya? empat atau lima, terus ada beberapa
hal yang menyangkut.. itu kami pakai. Perda juga, perda nomor tiga
pengelola keuangan tahun dua ribu sepuluh, diikuti dengan peraturan
bupati juga, kita juga punya sisdur pengelola keuangan, sisdur
mengenai masing-masing bidang, itu juga.”
Bapak Fiktor Mayor selaku Sekretaris BPKAD (wawancara pada
tanggal 09 April 2014) meskipun tidak secara spesifik menjelaskan peraturan
apa saja dan nomor berapa yang berlaku, ia mengatakan bahwa Pemkab Raja
Ampat berpatokan pada Peraturan Pemerintah yang mengatur laporan
keuangan pemerintah daerah dan ada Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah:
“Ada dasar kan peraturan pemerintah tentang laporan keuangan
pemerintahan, kemudian ada peraturan mengenai sistim akuntansi
pemerintah daerah, ya kita berpatokan pada acuan seperti
itu..peraturan itu.”
62
Menurut Kepala Bidang Akuntansi BPKAD, Ibu Zahara (wawancara
pada tanggal 03 April 2014), penyusunan laporan Pemkab Raja Ampat
mengacu pada sistem prosedur akuntansi dan perda tentang sistem
pengelolaan keuangan daerah:
“Ada, acuannya ya sisdur (sistem dan prosedur) itu, mengacunya
Perda, sistem pengelolaan keuangan daerah terus sisdur akuntansinya
semua ada”
Menurut Kepala Sub Bidang Pelaporan Keuangan BPKAD, Ibu Rahayu
(wawancara pada tanggal 07 April 2014) penyusunan laporan keuangan
mengacu pada Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan PP No. 24 Tahun 2005:
“Permendagri tiga belas, SAP PP dua empat dua ribu lima”
Senada dengan ibu Rahayu, Kepala Sub Bidang Verifikasi BPKAD,
Bapak Abu Bakar Saka (wawancara pada tanggal 07 April 2014)
mengatakan acuan Pemkab Raja Ampat adalah Permendagri No. 13 Tahun
2006, Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati:
“Ya dasar acuannya kita menyusun LKPD itu kembali kepada
peraturan permen (Permendagri) tiga belas itu tentang keuangan, trus
tentang sisdur dengan tata pelaporan keuangan yang ada di kabupaten
gitu kan ada sistus dengan peraturan bupati terus dengan perda ada
dasar-daar yang kita ambil semua masukan disitu gitu.”
Dari narasumber PPK SKPD mempunyai versi yang berbeda, seperti
Kepala Sub Bagian Verifikasi dan Akuntansi Sekretariat Daerah, Bapak
Syamsudin Samuel Imanohos (wawancara pada tanggal 07 April 2014)
mengatakan bahwa acuan Sekda pada Permendagri No. 59 Tahun 2007:
“Ya sebenarnya, Permendagri lima sembilan “
Menurut Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Bappeda,
Bapak Rachmat M. Nurjayamika (wawancara pada tanggal 08 April 2014)
acuan penyusunan laporan keuangan dengan PP No. 58 Tahun 2005 (bukan
63
Permendagri 58) tentang pengelolaan keuangan daerah, Permendagri No. 13
Tahun 2006, Permendagri No. 64 Tahun 2013, PP No. 71 Tahun 2010:
“Pertama kita mengacu kalau dalam apa, kitakan sistimatikanya kan
mulai dari apa namanya laporan keuangan sesuai dengan tata cara
yang diajarkan oleh permendagri pertama kan? dari situ kita
aplikasikan pindahkan ke laporan keuangan, pertama dari
bendaharawan itukan dari permendagri, permen 58 kalo saya ga salah
dia punya sistematika pelaporan dari keuangan lalu kita aplikasikan
itu yaitu kita mengacu juga ke permendagri 13 sama yang terakhir
permendagri 64 (2013) selain itu pak menyangkut SAP PP 71/2010 itu
otodidak kita asal baca dan kita juga tidak ini, kita baca tapi
pelaksanaan teknisnya kita tidak begitu menguasai.”
Bapak Amril Laude selaku Plt. Kepala Sub Bagian Keuangan
Inspektorat (wawancara pada tanggal 10 April 2014) berpendapat
penyusunan laporan berdasarkan PP No. 24 Tahun 2005:
“Ya, untuk sementara ini acuannya masih pake PP dua empat tahun
dua ribu lima itu tentang SAP.”
Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas Pendapatan
Daerah, Ibu Jumyati Kapitan Laut (wawancara pada tanggal 08 April 2014)
penyusunan laporan keuangan Pemkab Raja Ampat yaitu PP No. 24 Tahun
2005:
“Itu ada, dasar acuannya itu ada, dari SAP yang lama (PP 24/2005),
kemudian dari panduan-panduan, kemudian acuannya dari
permintaan BPK tentang laporan keuangan itu yang kita pakai.
Karena setiap tahun itu saya kira tidak berubah untuk penyusunan
laporan keuangannya sendiri.”
Menurut Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Abdul, Bapak Abdul Latif Soltif (wawancara
pada tanggal 14 April 2014) acuan penyusunan laporan keuangan adalah
Permendagri No. 13 Tahun 2006:
“Dasar acuan dari permen tiga belas itu dari keuangan itu
keseluruhan, sama semua”
64
Menurut Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Badan
Pemberdayaan Perempuan dan KB, Ibu Fransiska Berselina Msen
(wawancara pada tanggal 16 April 2014) penyusunan laporan keuangan
berdasarkan RKA dan DIPA:
“Ada dari RKA trus dari DIPA, realisasi toh?neraca juga ada dan kita
minta petunjuk BPKAD iya cara menyusunnya bagaimana sampai
realisasinya jadi datanya harus dicocokan sama dengan BPKAD,
dengan sistem (SIMDA)..”
Menurut Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas
Pekerjaan Umum, Ibu Sriyanti (wawancara pada tanggal 16 April 2014)
acuan penyusunan laporan keuangan yaitu SP2D dan DPA SKPD:
“Biasanyanya kan, berdasarkan SP2D trus dilihat dengan DPA SKPD
ya itu.”
Berdasarkan pendapat para narasumber, bisa disimpulkan bahwa dasar
penyusunan laporan keuangan pemda sebelum menerapkan standar akuntansi
pemerintah berbasis akrual mengacu ke berbagai peraturan tentang
pengelolaan keuangan daerah. Banyaknya acuan akan menimbulkan
pemahaman yang berbeda terkait peraturan mana yang menjadi pedoman
utama penyusunan laporan keuangan.
Menurut ketetapan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
dijelaskan bahwa penyusunan laporan keuangan sebagai bentuk
pertanggungjawaban kepala negara maupun kepala daerah disusun
berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) menurut ketentuan aturan
yang berlaku. Sehingga bisa dikatakan bahwa ketetapan yang memuat SAP
ada didalam Peraturan Pemerintah yaitu PP No. 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintah. Masih ada perbedaan pemahaman terkait
dasar penyusunan laporan keuangan, karena sebagian besar pemerintah
65
daerah masih berpatokan pada Permendagri No. 13 Tahun 2006 dari
pengelolaan keuangan hingga penyusunan laporan keuangan.
Permendagri No. 13 Tahun 2006 merupakan aturan untuk pengelolaan
keuangan daerah secara keseluruhan yang mempunyai petunjuk teknis
(juknis) secara terperinci terkait pengelolaan keuangan, sedangkan SAP lebih
banyak mengatur rincian penyajian laporan keuangan. Bisa dipahami bahwa
pemda masih berkiblat ke Kemendagri sebagai atasan mereka sehingga
aturan secara administratif lebih cenderung ke permendagri, namun apabila
dilihat secara hierarki Peraturan Pemerintah (PP) posisinya berada diatas
Permendagri. Permendagri No. 13 Tahun 2006 pasal 296 ayat 4 menyatakan
bahwa laporan keuangan daerah disusun dan disajikan sesuai dengan PP
yang mengatur tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Sehingga bisa
dikatakan Permendagri No.13 Tahun 2006 mengatur penjelasan teknis
pelaksanaan SAP yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah, harus ada
pemisahan yang jelas antara pedoman pengelolaan keuangan daerah dengan
penyusunan dan penyajian laporan keuangan daerah.
Dengan adanya PP No. 71 Tahun 2010 tentang SAP berbasis akrual dan
penerapan standar akuntansi berbasis akrual dalam Permendagri No. 64
Tahun 2013 sudah ditetapkan maka perlu adanya kebijakan akuntansi
pemerintah daerah sebagai pedoman dalam menyusun dan menyajikan
laporan keuangan berbasis akrual. Oleh karena penerapan akuntansi berbasis
akrual ini tidak hanya semata pada penyusunan dan penyajian laporan
keuangan namun proses secara keseluruhan (whole process) pengelolaan
keuangan sampai perubahan budaya, pemda harus mempunyai kajian tentang
pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah berbasis akrual dan sistem dan
prosedur pengelolaan keuangan daerah berbasis akrual.
Terkait dengan tujuan perda tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan
daerah adalah dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang efektif,
66
efisien, transparan dan bertanggungjawab. Berdasarkan wawancara dengan
Kepala Sub Bidang Pelaporan Keuangan BPKAD Ibu Rahayu (wawancara
pada tanggal 07 April 2014), di Pemkab Raja Ampat belum ada ketentuan
pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Peraturan daerah
terkait SAP berbasis akrual PP No. 71 Tahun 2010. Menurut Ibu Rahayu,
Perda yang digunakan untuk mengatur pengelolaan keuangan daerah adalah
Perda Kabupaten Raja Ampat No. 06 Tahun 2010:
“Peraturan daerah menyangkut pokok-pokok pengelolaan keuangan
daerah tercantum dalam Peraturan daerah Kabupaten Raja Ampat
nomor enam tahun dua ribu sepuluh tentang pokok-pokok pengelolaan
keuangan.”
Terkait dengan sistem dan prosedur (sisdur) pengelolaan keuangan
daerah biasanya terdiri dari penyusunan rancangan APBD, perubahan
APBD, DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) SKPD serta sisdur
akuntansi pemda yang diatur dalam Peraturan Bupati. Berdasarkan pendapat
dari Kepala Sub Bidang Pelaporan Keuangan BPKAD, Ibu Rahayu
(wawancara pada tanggal 07 April 2014) sistem dan prosedur pengelolaan
keuangan daerah berbasis akrual belum ada. Peraturan Bupati yang
digunakan adalah Perbup Raja Ampat No. 10 Tahun 2010:
“Trus peraturan Bupati Raja Ampat nomor sepuluh tahun dua ribu
sepuluh tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat.”
Berdasarkan hasil wawancara menunjukan bahwa adanya pemahaman
yang berbeda terkait penyusunan laporan keuangan. Belum ada pemisahan
yang jelas antara pengelolaan keuangan keuangan daerah dengan dasar
penyusunan dan penyajian laporan keuangan daerah. Pemkab Raja Ampat
belum menyesuaikan regulasi yang ada di daerah dengan peraturan terkait
akuntansi berbasis akrual yaitu PP No. 71 Tahun 2010 dan Permendagri No.
64 Tahun 2013.
67
Pemahaman yang bias tentang acuan dasar penyusunan laporan
keuangan dan belum ada peraturan daerah yang mendukung penerapan SAP
berbasis akrual akan mengurangi dampak positif dan mempersulit Pemkab
Raja Ampat dalam pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga
penilaian magnitude adalah sangat rendah. Pemahaman yang bias tentang
acuan dasar penyusunan laporan keuangan dan belum adanya peraturan
daerah maupun peraturan bupati yang mendukung untuk penerapan SAP
berbasis akrual akan mengurangi tingkat keyakinan yang dimiliki pemkab
dalam pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian
generality adalah sangat rendah. Pemahaman yang bias tentang acuan dasar
penyusunan laporan keuangan dan belum adanya peraturan daerah dan
peraturan bupati yang mendukung penerapan SAP berbasis akrual akan
mengurangi tingkat harapan dalam pelaksanaan implementasi SAP berbasis
akrual, sehingga penilaian strenght adalah sangat rendah.
Faktor kedua, yakni Komitmen menunjukan bahwa Pemkab Raja Ampat
belum melaksanakan sosialisasi SAP berbasis akrual di Pemkab Raja Ampat.
Pemkab Raja Ampat belum mempunyai regulasi yang mendukung
penerapan SAP berbasis akrual. Sehingga, penilaian efficacy aktor-aktor
organisasi terhadap faktor komitmen adalah sangat rendah.
4.3 IT dan Perangkat Pendukung
Dalam tahap transisi, IT harus harus dipelajari sebelum melakukan
implementasi (Shirouyehzad, et.al 2011), untuk memperkenalkan
implementasi perlu ada kapasitas IT (Hepworth, 2003). Kualitas IT sangat
dibutuhkan untuk mendukung dan memfasilitasi implementasi akuntansi
berbasis akrual (Eriotis, et al, 2011). Peran teknologi informasi sangat
diperlukan dalam pengelolaan keuangan pemerintah daerah, apalagi dengan
era informasi sekarang yang serba cepat dan instant. Teknologi sistem
68
informasi yang dibutuhkan pemerintah daerah adalah sistem informasi yang
mengatur tentang keuangan daerah.
Aplikasi SIMDA (Sistem Informasi Manajemen Daerah) merupakan
salah satu sistem informasi keuangan daerah yang dibuat oleh jasa
pengembang BPKP selaku mitra pemda. Tujuan pengembangan Program
Aplikasi SIMDA (Sistem Informasi Manajemen Daerah) adalah:
a. Menyediakan database mengenai kondisi di daerah terpadu baik dari
aspek keuangan, aset daerah, kepegawaian/ aparatur daerah maupun
pelayanan publik yang dapat digunakan untuk penilaian kinerja instansi
pemerintah daerah.
b. Menghasilkan informasi yang komprehensif tepat dan akurat kepada
manajemen pemerintah daerah. Informasi ini digunakan sebagai bahan
mengambil keputusan.
c. Mempersiapkan aparat daerah untuk mencapai tingkat penguasaan dan
pendayagunaan teknologi informasi yang lebih baik.
d. Memperkuat basis pemerintah dalam pelaksanaan ototnomi daerah.
(Sumber: http://www.bpkp.go.id/sakd/konten/333/Versi-2.1.bpkp, 19
Juni 2014)
Aplikasi SIMDA (software) yang mengatur pengelolaan keuangan mulai
dari BPKAD hingga ke setiap SKPD. Aplikasi keuangan SIMDA di BPKAD
di gunakan di tiap bidang baik di bidang akuntansi, bidang anggaran,
perbendaharaan maupun aset daerah.
Di SKPD, untuk mengakses aplikasi keuangan SIMDA hanya Kepala
Sub Bidang Keuangan yang mempunyai jabatan fungsional sebagai PPK
(Pejabat Penatausahaan Keuangan) beserta Bendahara SKPD. SIMDA
dikoneksikan melalui sistim jaringan nirkabel (wireless) langsungdari SKPD
ke BPKAD. Selain itu pemda juga diperlengkapi dengan fasilitas pendukung
69
(Hardware) seperti komputer, laptop, printer untuk membantu pekerjaan
mereka.
Narasumber yang diwawancarai berjumlah 10 orang (3 orang dari
BPKAD dan 7 orang dari PPK SKPD). Aplikasi IT yaitu SIMDA
memerlukan operator yang menjalankan dan memastikan kelancaran
penggunaan sistem hingga melakukan perbaikan sistem dan jaringan.
Pemkab Raja Ampat kekurangan tenaga SDM sebaga operator IT, Kepala
Badan BPKAD, Bapak Orideko I. Burdam (wawancara pada tanggal 05
April 2014) mengungkapkan bahwa:
“Nah sistem (SiKPD) itu sangat sangat membantu pak, cuman
(tenaga) untuk IT kita belum ada, tapi kita sangat mengharapkan juga
karena hal itu sangat-sangat membantu, sangat mendukung itu, cuman
untuk tenaga kita sementara ini kita belum ada, kita lagi mencari-cari
ini, sapa tau ada ya kita mau mungkin diikat kontrak seperti itu kita
berikan honor”
Senada dengan apa yang diungkapkan Bapak Orideko, Kepala Sub
Bagian Verifikasi dan Akuntansi, Bapak Syamsudin Samuel Imanohos
(wawancara pada tanggal 07 April 2014) mengungkapkan bahwa Pemkab
Raja Ampat membutuhkan membutuhan SDM yang mempunyai kemampuan
IT untuk memperbaiki gangguan jaringan:
“Ada, sudah ada, cuman sumber daya manusia kita yang kurang,
bukan sumber daya manusia mengenai akuntanisnya pak, tapi
mengenai aplikasinya (SDM di IT) itu saja, jadi kadang-kadang
sistemn error ya kita duduk diam aja, karena mau bikin apa, waktu itu
saya sarankan supaya setiap SKPD ini harus ada orang IT artinya
bahasa aplikasinya admin itu, harus setiap SKPD satu, tapi tidak
ditanggapi. Akhirnya kita semua bergantung ke badan (BPKAD) ada
cuman ada satu ya (tenaga admin), kalo tidak ya habis kita, ini sistem
kalo lagi pada hujan sering error karena kita wireless ini. Sangat
sudah (memadai), bendahara pembantu saja semua saya kasihkan
komputer semua lengkap ini sudah teraplikasi semua, cuman beberapa
belum ada yang memahami tapi sudah belajar gitu.”
70
Peran operator IT sangat dibutuhkan untuk memastikan pengoperasian
SiSKPD berjalan dengan baik serta memperbaiki jaringan, apabila ada
masalah yang tidak bisa diselesaikan staf operator maka perlu melakukan
kontak dengan tim jasa pengembang. Oleh karena itu sangat dibutuhkan
tenaga-tenaga IT untuk membantu pemkab mempermudah informasi dalam
pengelolaan keuangan.
Terkait dengan penggunaan SIMDA, Kepala Sub Bagian Keuangan dan
Perlengkapan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Abdul, Bapak Abdul Latif
Soltif (wawancara pada tanggal 14 April 2014) mengungkapkan bahwa
adanya kendala yang sering terjadi kesalahan dalam penginputan:
” Sebenarnya mendukung pak, cuman kalo kendala di SIMDA ini
cuman kadang ya itu mungkin karena entah ada yang tidak input atau
sudah di input tapi kok bisa ga muncul jadi kadang saya bikin manual
itu ga konek, jadi saya dengan bendahara konek sama SIMDA ga
konek, makanya kita print lagi dengan SIMDA kok bisa beda dengan
bendahara sedang kami bahas untuk semua tapi memang sebenarnya
SIMDA sudah bagus. (Hanya) kesalahan penginputan.”
Kesalahan penginputan yang sering terjadi sebenarnya dikarenakan
ketidakmampuan SDM dalam mengaplikasikan suatu sistem dengan benar,
meskipun didalam aplikasi suatu sistem itu ada jurnal koreksi untuk
mengkoreksi data yang salah, namun akibat kurang diberdayakan para
pegawai keuangan akan menyebabkan kesalahan yang berulang-ulang atau
menjadi „lingkaran setan‟, oleh karena itu sangat dibutuhkan pelatihan yang
komprehensif untuk mengaplikasikan dan mendukung suatu sistem.
Selain adanya kesalahan-kesalahan dalam penginputan masih ada SKPD
kurang memanfaatkan teknologi informasi dalam membantu pekerjaan
mereka, masih ada yang melakukan prosedur akuntansi secara manual seperti
yang diungkapkan Ibu Fransiska Berselina Msen selaku Kepala Sub Bagian
Keuangan dan Perlengkapan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB,
(wawancara pada tanggal 16 April 2014):
71
“Tidak, manual (Laporan keuangan), sementara kita belajarnya
bertahap, mungkin di BPKAD sudah dengan SIMDA tapi kita di SKPD
masih manual”
Ibu Fransiska menambahkan bahwa mereka dilatih untuk menginput secara
manual:
“ Ya, kita dilatih untuk bisa menginput data secara manual ya setelah
itu nanti kita BPKAD bidang akuntansi disana disesuaikan cocok tidak
dengan yang diinput melalui SIMDA jadi ada sedikit selisih nilai kita
tau ini dimana kekurangannya.”
Hal ini juga diungkapakan oleh Kepala Sub Bagian Keuangan dan
Perlengkapan Dinas Pekerjaan Umum, Ibu Sriyanti (wawancara pada
tanggal 16 April 2014):
“Cukup sih bantu, membantu sekali, (cuma) jaringan sering rusak,
lelet, lama. Mempengaruhi kadang-kadang kan kita keatas lagi kan,
tapi tidak terlalu signifikanlah mempengaruhinya bisalah kita
sesuaikan toh. Cuma..paling data-data yang itu toh SP2D SPP
SPMnya. LK untuk sampai sekarang ini masih manual, nanti kita buat
disini rekapnya dari keuangan kan, (tidak memakai SIMDA) laporan
keuangannya. Tapi kalo untuk LRA itu SIMDA bisa terbaca, register
SP2D ya itu terbaca di SIMDA, kadang-kadang kan kalo kita ikut
SIMDA mereka kan belum terinput semua, kita pakai manual biasa
berdasarkan SP2D yang masuk biasanya (Laporan Keuangan untuk
PU) Laporan Realisasi Anggaran”
Ketentuan bahwa penginputan secara manual bukan berarti hal ini
disalahkan, berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 pasal 232 (3)
menyatakan bahwa serangkaian prosedur dari mulai proses pengumpulan
data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan dapat
dilakukan dengan cara manual atau menggunakan aplikasi komputer.
Peraturan tidak melarang pemerintah untuk melaksanakan prosedur
akuntansi secara manual, akan tetapi kurangnya pemanfaatan terhadap
perkembangan teknologi akan menyebabkan fungsi dari IT untuk membantu
pengelolaan keuangan daerah menjadi tidak berguna dan tidak bermanfaat.
72
Jika dikaitkan dengan operator SIMDA, di Pemkab Raja Ampat hanya
satu orang pegawai staf admin operator SIMDA yaitu Bapak Polce Muradji.
Pekerjaan utamanya adalah selaku staf bidang penyusunan APBD di
BPKAD. Menurut Bapak Polce Muradji (wawancara pada tanggal 23 April
2014) terkait masalah hambatan dalam koneksi jaringan nirkabel di
lingkungan BPKAD karena gangguan cuaca dan perbedaan tegangan listrik
di beberapa SKPD:
“Oh iya gini, untuk masalah kendala jaringan yang tidak konek saya
pikir itu lumrah, lumrah terjadi pada jaringan nirkabel, yang artinya
menggunakan wifi itu lumrah semuanya di Indonesia pun akan terjadi,
diluar (luar negeri) pun terjadi gitu lo, karena gini kelemahannya
wireless itu kan satu gangguan cuaca ya kan?gangguan tegangan,
listrik, tegangan sama cuaca. Yang dimaksud dengan cuaca gini nih,
bukan bahwa hujan baru dia (sinyalnya) lemah gitu kan, kalo wireless-
wireless sekarang tidak berpengaruh terhadap cuaca seperti hujan
terus dia signalnya lemah enggak. Angin, ini cuaca, angin itu kalo
disini terlalu kencang itu dia bisa membelokan apa namanya antena
yang kita sudah pasang walaupun kita sudah patenkan dia gitu lo itu,
gitu. Yang lainkan contoh liat aja di kepegawaian, dia antena driftnya
menghadap kehutan bukan kesini, nah itu karena angin kan. Trusnya
listrik listrik disinikan tidak (beres).ada dinas yang tegangannya itu
dia keluar cuma dua ratus sepuluh (watt),ada yang sampai dua ratus
tiga puluh (watt) nah itu. Itu mengganggu, mengganggu tegangan kan
sewaktu dia mengganggu tegangan, dia otomatis akan mengganggu
POE (Power Over Ethernet), yang ada, POE akan mengganggu signal
gitu, itu yang biasa terjadi.“
Bapak Polce juga menambahkan bahwa hambatan biasanya karena
aplikasi SIMDA tidak dapat diakses SKPD sehingga mereka harus
menghubungi pusat:
“Ya, ada sih banyak gini kalo hambatan saya itu agak susahnya itu
bukan masalah untuk dia punya aplikasi atau dia punya
jaringannya,..kita pengen mengaplikasikan tetapi tidak bisa terbuka
terkadang itu kita harus kontek lagi pusat begitu.”
73
Hambatan lainnya menurut Bapak Polce disebabkan kesalahan
pempostingan atau salah penginputan yang dilakukan oleh bendahara SKPD:
“nah terus keduanya lagi masalah hambatannya itu bila si Bendahara,
bendahara melakukan kesalahan didalam pembelanjaan pengambilan
pos salah, mereka itu tidak memberitahu. Tetapi uangnya memang
keluar sama hanya kurang pengawasan (dari PPK SKPD)”
Terkait perlunya tenaga IT yang ditempatkan di setiap SKPD menurut
Bapak Polce hal itu tidak perlu dan tidak efektif, tetapi tidak menutup adanya
kebutuhan tenaga IT namun harus ditempatkan di BPKAD menjadi satu tim
admin:
“Tidak, kalo disinikan kebetulan masih saya sendiri, kalo saya sih ga
perlu untuk sampai kita buat satu admin disetiap dinas..yang lebih
efektif itu itu jadi gini di keuangan sendiri itu punya kelompok IT
disebut admin-admin kecil ini diketuai oleh satu admin nah..kita
bentuk empat sampai lima orang kan ga selalu di dinas itu ada
masalah ya kan nah nanti kita bagi tugas saja bila ada masalah di
dinas-dinas.”
Berdasarkan pendapat semua narasumber, sistem aplikasi SIMDA
(software) sebagai sistem informasi keuangan daerah berbasis IT cukup
membantu dalam pengelolaan keuangan di lingkungan Pemkab Raja Ampat
dan fasilitas seperti sarana pendukung (hardware) seperti komputer, laptop,
printer dan sangat memadai. Selain berdasarkan hal tersebut, sebanyak 2
(dua) orang narasumber mengungkapkan Pemkab Raja Ampat masih
membutuhkan tenaga-tenaga IT. Selain itu 3 (tiga) narasumber lainnya
mengungkapkan bahwa meski didukung IT namun dalam penyusunan
laporan keuangan, penginputan dan penyusunan masih dilakukan dengan
cara manual serta adanya kesalahan penginputan. 5 (Lima) narasumber
mengatakan SIMDA sangat membantu dalam pengelolaan keuangan.
Permasalahan yang terjadi sistem berbasis IT ini adalah kurangnya
pemanfaatan penggunaan teknologi informasi untuk penyusunan laporan
74
keuangan, pemkab tidak didukung oleh kemampuan SDM aparatur untuk
menguasai dan menggunakan aplikasi sistem berbasis IT dengan baik
seringnya terjadi kesalahan penginputan. Selain itu, pemerintah juga masih
kekurangan SDM memiliki kapasitas dibidang IT untuk menambah
kekurangan personil tenaga admin di Pemkab Raja Ampat.
Aplikasi keuangan SIMDA di Raja Ampat masih berdasarkan sistem
akuntansi kas menuju akrual (PP 24/2005) atau versi 2.1 (adapun versi
SIMDA yang berbasis akrual versi 3.0 yang akan disosialisasikan BPKP),
namun kendala yang berkaitan dengan IT Pemkab Raja Ampat harus segera
dibenahi jika tidak akan menghambat implementasi sistem akuntansi
berbasis akrual, karena perubahan modifikasi SIMDA berbasis akrual masih
dalam tahap ujicoba di BPKP sebelum diperkenalkan ke pemda-pemda.
BPKP telah melakukan workshop pada bulan april 2014 terkait Sistem
Akuntansi Keuangan Daerah dan Program Aplikasi SIMDA keuangan
berbasis akrual.
(sumber: http://www.bpkp.go.id/sakd/konten/333/Versi-2.1.bpkp, 19 Juni
2014)
IT dan fasilitas pendukung sudah memadai di Pemkab Raja Ampat,
meskipun kendala yang dihadapi adalah di SDM aparatur sebagai pengguna
dan pemberi informasi adalah penginputan dan penyusunan laporan
keuangan masih secara manual karena kurangnya pemanfaatan teknologi
informasi, minimnya pemahaman sistem informasi akuntansi dan
penguasaan dalam mengaplikasi sistem yang mengakibatkan kesalahan
penginputan, kurangnya tenaga IT bagi Pemkab Raja Ampat. Dengan adanya
IT dan fasilitas pendukung IT maka akan mempermudah Pemkab Raja
Ampat dalam melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual karena
SIMDA telah terintegrasi dengan sistem akuntansi berbasis akrual, sehingga
penilaian magnitude tinggi. Dengan adanya IT dan fasilitas pendukung IT,
75
maka Pemkab Raja Ampat memiliki keyakinan dapat melaksanakan
implementasi SAP berbasis akrual dengan baik namun penginputan dan
penyusunan laporan keuangan masih secara manual, sehingga penilaian
generality rendah. Dengan adanya IT dan fasilitas pendukung IT maka akan
meningkatkan ekspektasi Pemkab Raja Ampat dalam melaksanakan
implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian strenght tinggi.
Faktor ketiga yakni IT dan Perangkat Pendukung menunjukan bahwa
pada Pemkab Raja Ampat, sistem informasi akuntansi sudah di dukung oleh
sistem berbasis IT, fasilitas pendukung hardware dan software sudah
tersedia meskipun penginputan dan penyusunan laporan keuangan masih
secara manual. Sehingga, penilaian efficacy aktor-aktor organisasi terhadap
IT dan perangkat pendukung tinggi.
4.4 Komunikasi
Komunikasi merupakan nilai organisasi dimana anggota saling
berhubungan dan bekerja sama (Klein dan Sorra, 1996). Menurut
Pabedinskaite (2010) dengan lebih banyak bekerjasama dan berkomunikasi
secara terbuka akan mempengaruhi kesuksesan implementasi.
Faktor komunikasi dalam penelitian ini lebih ditekankan pada
komunikasi internal koordinasi Badan Pengelola Keuangan BPKAD Raja
Ampat dengan PPK dan Bendahara SKPD dalam penyampaian laporan
pertanggungjawaban keuangan SKPD. Berdasarkan Permendagri No. 13
Tahun 2006, bendahara pengeluaran secara administratif wajib
mempertanggungjawabkan penggunaan uang persediaan, ganti uang
persediaan dan tambahan uang persediaan paling lambat tanggal 10 bulan
bulan berikutnya.. Sedangkan tugas dari PPK SKPD adalah meneliti
kelengkapan dan memverifikasi yang diajukan bendahara sesuai dengan
peraturan yang berlaku
76
Karena pertanggungjawaban laporan keuangan harus diserahkan tepat
waktu dan benar merupakan wujud komitmen yang harus dilaksanakan oleh
setiap pemda. Faktor keterlambatan penyampaian laporan akan menjadi
penyebab permasalahan yang sering terjadi, untuk itu bagaimana
menciptakan hubungan yang baik dan menghasilkan sinergi antara
manajemen pusat pengelolaan keuangan (BPKAD) dengan manjemen lini
(penatausahaan keuangan SKPD).
Narasumber yang diwawancarai terkait faktor komunikasi berjumlah 7
orang (3 orang dari BPKAD dan 4 dari orang dari PPK SKPD). BPKAD
selaku pusat informasi baik dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
pengelolaan keuangan bagi SKPD untuk melaksanakan anggaran, seperti
yang diungkapkan Kepala Sub Bidang Verifikasi BPKAD, Bapak Abu Bakar
Saka (wawancara pada tanggal 07 April 2014):
“kita di BPKAD sebagai contoh untuk ke dinas (SKPD) yang lain
jangan sampai karena kita sebagai akuntansi trus BPKAD, aturan
tentang ini kan kita yang tau dulu setelah itu kita implementasikan
kepada dinas gitu k,n dan kita disinikan sebagai tempat bertanya gitu
kan dari teman-teman dinas (SKPD).”
SKPD sebagai pelaksana anggaran, terkait pertanggungjawaban
keuangan ada pada fungsi tata usaha keuangan yang di jabat Pejabat
Penatausahaan Keuangan SKPD yang fungsinya seperti yang diungkapkan
oleh Bapak Amril Laude selaku Plt. Kepala Sub Bagian Keuangan
Inspektorat, (wawancara pada tanggal 10 April 2014):
“Pejabat penatausahaan mempunyai fungsi yang sangat vital dia yang
penyaring pertama atau memverifikasi setiap pengeluaran yang terjadi
di SKPD sebelum disampaikan ke PPKD selaku BUD ya. Menurut
saya PPK sangat penting dalam memverifikasi pertanggungjawabanya
bendahara pengeluaran di setiap SKPD.”
77
Menurut Bapak Fiktor Mayor selaku Sekretaris BPKAD (wawancara
pada tanggal 09 April 2014) mengatakan bahwa, adanya penyampaian
laporan keuangan daerah sebagai bentuk pertanggungjawaban ke DPRD
tergantung dari penyampaian laporan keuangan dari SKPD dan BPKAD
akan berperan aktif dalam membantu SKPD untuk memberikan laporannya:
“Kalo keterlambatan sih tidak, kita sudah sesuai dengan prosedur,
jadwal dan ketentuan yang berlaku. Misalnya untuk ke Dewan
(DPRD), tapi masalahnya bukan dari BPKAD itu hambatan yang kita
hadapi itu dari SKPD, karena laporannya ini kan kita tergantung dari
laporan yang ada di SKPD. Jadi apabila terlambat sedikit nah itu
memang terlambat, tapi sampai saat ini kita tidak pernah terlambat
karena kita pro aktif terus supaya SKPD tetap memberikan laporan-
laporan itu.”
Laporan keuangan pemerintah daerah atau LKPD merupakan laporan
konsolidasi dari laporan keuangan yang disampaikan tiap SKPD, apabila
keterlambatan laporan keuangan SKPD, maka LKPD belum bisa disusun
oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) di BPKAD, oleh karena
itu perlu ada koordinasi yang baik antara BPKAD dan SKPD.
Seiring dengan proses penyampaian laporan keuangan munculnya
permasalahan yang sering terjadi yaitu hubungan SKPKD dengan SKPD
seperti kesalahan dalam penginputan seperti yang diungkapkan Kepala Sub
Bidang Pelaporan Keuangan BPKAD, Ibu Rahayu (wawancara pada tanggal
07 April 2014):
“Miscommunication bisa jadi, antara satu dengan yang lain mungkin,
trus kurangnya informasi ke kita karena kondisi daerah mungkin seperti
itu. Itu saja kayaknya yang kendala, kayak miscommunication. Trus
human error mungkin manusia kan tidak mungkin bekerja yang
menginput kan namanya manusia artinya punya salah punya apa,
kadang kalo ini, kalo misalnya terjadi apa-apa juga kita kan disini
sering o ini salah maka dikasih masuk kesini oo iya.”
Kesalahan penginputan merupakan kesalahan teknis yang sering terjadi,
sehingga dapat menyebabkan perbedaan pendapat antara SKPKD dan SKPD
78
seperti yang di sampaikan Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan
Bappeda, Bapak Rachmat M. Nurjayamika (wawancara pada tanggal 08
April 2014):
“Kalo di SKPD itu begini pak, kalo kita mau asal print karena kita
sudah dilengkapi dengan SIMDA senjata kita, asal print barang jadi
itu ga lama kan pak, asal print barang jadi kok SIMDA sudah ngatur
sendiri, tetapi keterlambatan itu karena begini ada beberapa hal yang
saya bilang begitu, bapak berkoordinasi dengan si A ini menurut
bapak begini, tetapi menurut sana (BPKAD) tidak, harusnya
melakukan ini tetapi disana tidak begini, kalo cuman bikin asal-asalan
asal jadi ya saya rasa semua bisa karena itu barang tinggal kopi paste
saja, apalagi ada SIMDA, ada miskomunikasi menurut saya, biasanya
terjadi miskomunikasi antara SKPD dengan badan pengelolaan
keuangan karena terus terang aja kiblatnya semua di daerah mungkin
dimana-mana berkiblat di badan pengelolaan keuangan bahkan
aturan pun kadang kita ikuti aja mereka bilang, jika tidak ikuti uang
tidak keluar kan?gitu.”
Terkait koordinasi dengan BPKAD Bapak Rachmat menambahkan:
“Sekarang ini terus terang aja pak kita hanya dipanggil untuk rapat-
rapat saja, kita dipanggil pun kita diminta kita kasih laporan kesana,
tapi toh juga laporan kita tidak bisa dijadikan dasar jadi hanya asal
panggil aja, maunya saya mari kita bicara, tapi kita ya bikin laporan
itu kalaupun salah kalian benarkan (perbaiki), seharunya kalau salah
mari kita bicarakan bersama-sama kesalahanya ada dimana kan
begitu, jadi perannya PPK SKPD disini nyaris tidak ada.”
Selain itu, kendala dalam menyusun laporan keuangan adalah
keterlambatan dalam pertanggungjawaban penggunan dana, Kepala Sub
Bagian Verifikasi dan Akuntansi Sekretariat Daerah Bapak Syamsudin
Samuel Imanohos (wawancara pada tanggal 07 April 2014) mengungkapkan
bahwa:
“Sebenarnya masalah pokok LK ini pak di SPJ, hampir semua
masalah pemerintahan di Papua ini masalah SPJ, jadi kalo SPJ beres
berarti LK juga cepat. Jadi SPJ aja, kalo LK itu kan kita tinggal
rangkum SPJ kita sudah susun LK, kadang-kadang kan aturan bilang
tanggal 10 Januari SPJ itu sampai 31 Januari SPJ belum masuk itu
79
yang menghambat kita membuat LK disitu. Trus Badan Pengelola
Keuangan itu selaku koordinator harus bekerja keras.”
Bapak Syamsudin juga mengatakan bahwa peran PPK SKPD belum
maksimal disebabkan karena kurangnya koordinasi BPKAD dalam
pemberian kewenangan PPK SKPD, dan belum kompetennya penatausahaan
keuangan SKPD dalam pengelolaan keuangan serta penempatan pegawai
SKPD di Raja Ampat tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan:
“Masalah sampai sekarang koordinasi yang kurang. Saya pikir
dengan Permendagri 13 dengan penyempurnaan no 59 sebenarnya
desentralisasi pengelolaan keuangan sudah dikasih ke SKPD cuman
kadang-kadang PPK SKPD tidak diberdayakan dalam arti
kewenangannya dikasih anggarannya juga harus dikasih biar mereka
bisa sinkronkan bisa kerja, sebenarnya disana (BPKAD) kan tinggal
rekap itu kalo mau jujur tergantung di SKPD ini, kalo SKPD ini bagus
otomatis mereka cepat, nah rata-rata kelemahan kita tu disitu, rata-
rata di SKPD di Raja Ampat ini ada yang tidak sesuai dengan latar
belakang pendidikan makanya bingung gitu apalagi mau menyusun LK
pak, liat SPJ saja belum mengerti”
Kendala lainnya adalah perbedaan jadwal kegiatan keuangan BPKAD
dan kegiatan penggunaan dana SKPD serta masalah administrasi yang
tertunda disebabkan petugas di BPKAD dinas luar. Kepala Sub Bagian
Keuangan dan Perlengkapan Dinas Pendapatan Daerah, Ibu Jumyati Kapitan
Laut (wawancara pada tanggal 08 April 2014) mengakui bahwa
keterlambatan penyampaian pertanggungjawaban laporan keuangan SKPD
dikarenakan:
“Biasanya kendalanya itu di kegiatan. Kayak soal kelola ya, biasa itu
kita kan daerah kepulauan toh kan tidak mungkin mau sesuaikan
kegiatan itu dengan jadwal keuangan, jadi kita harus tunggu sampai
semua kegiatan direkap jadi satu, itu kadang terbengkalai dengan
waktu. Memang kalo pemasukan laporan seperti batas waktu yang
harus ditentukan kita harus masukan laporan keuangan kadang-
kadang memang terlambat tidak tepat waktu seperti itu.. Kadang-
kadang setelah laporan penyusunan keuangan jadi ketika sampai di
80
BPKAD inikan langsung ke bagian verifikasi dulu seperti ibu
Kasubbag bilang, kalo disana orangnya ada, kan disana sudah dibagi-
bagi misalnya kalo pegawainya itu tidak ada maka kita harus tunggu
lagi, apalagi kalo keluar daerah, keluar daerah kan minimal lima hari
perjalanan harus tunggu lagi. Belum lagi kalo kita punya berkas
lengkap mereka periksa mungkin ada yang tercecer mereka (BPKAD)
salahkan kita lagi, kita lagi yang cari akhirnya banyak waktu yang
terbuang.”
Ketika penyampaian laporan pertanggungjawaban SKPD disampaikan
ke BPKAD yang terjadi adalah komunikasi satu arah, artinya BPKAD
merupakan pusat informasi bagi SKPD memberikan komando namun tidak
memberikan feedback sehingga BPKAD menjadi kurang peka dalam
memahami apa yang dibutuhkan oleh SKPD. Kesalahan teknis seperti
kesalahan penginputan diperbaiki sendiri oleh pihak pengelola keuangan
tanpa didiskusikan kepada SKPD, kesalahan-kesalahan teknis ini
menunjukan kurang kompetennya tenaga keuangan di SKPD dibidang
akuntansi dan penempatan tenaga berlatar belakang non keuangan yang
kurang tepat dalam melaksanakan tata usaha keuangan SKPD. Sehingga
yang terjadi adalah BPKAD tidak memberikan kewenangan sepenuhnya
kepada SKPD untuk melaksanakan penggunaan dana.
Selain itu, kurangnya management control terhadap kegiatan
pengelolaan keuangan di BPKAD tidak sejalan kegiatan pelaksanaan
penggunaan dana SKPD menyebabkan terbenturnya masalah waktu serta
administrasi yang berimbas pada keterlambatan laporan pertanggungjawaban
SKPD.
Hambatan ini menunjukan kepada pusat pengelola keuangan, bahwa
pada manajemen lini tidak mempunyai kemampuan pengelolaan keuangan
yang memadai. Meskipun demikian dibutuhkan kepercayaan dari BPKAD
selaku pusat pengelola keuangan pemerintah harus memberikan kesempatan
81
pada penatausahaan keuangan SKPD untuk sebebasnya mengembangkan diri
dan mendapat manfaat yang lebih dari informasi yang diberikan BPKAD.
Manajer lini atau manajer keuangan sektor publik di setiap instansi harus
ikut bertanggungjawab membangun kerangka pengendalian keuangan
internal, karena tidak serta merta pusat pengelola keuangan di pemerintah
mengambil tanggung jawab secara penuh fungsi pengendalian internal
(Hepworth, 2003). Menurut Hepworth, biasanya pusat pengelola keuangan
pemerintah khususnya pada negara transisi atau negara berkembang,
mempunyai kecenderungan tidak mempercayai manajer lini, hal ini
dikarenakan:
1. Pusat pengelolaan keuangan pemerintah takut manajemen lini tidak bisa
mengatur pengendalian finansial atau masalah integritas dalam proses
administrasi (sebagai bentuk respon atas tingginya tingkat
penyalahgunaan keuangan maupun korupsi).
2. Lack of management information bagi manajemen lini, karena semua
informasi ada pada pusat pengelola keuangan pemerintah.
Komunikasi yang bersifat satu arah menyebabkan BPKAD menjadi
kurang peka terhadap apa yang dibutuhkan SKPD, serta tidak diberikan
kewenangan sepenuhnya dalam pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran
karena belum memadai kemampuan tenaga keuangan SKPD yang bisa saja
disebabkan oleh latar belakang non keuangan dan belum adanya
management control agar kegiatan BPKAD sejalan dengan kegiatan SKPD,
tidak akan membawa dampak positif bagi pemkab dalam melaksanakan
implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian magnitude rendah.
Kurangnya kepercayaan BPKAD dalam wewenang pengendalian manajemen
keuangan terhadap SKPD menunjukan koordinasi antara BPKAD dan
SKPD kurang berjalan dengan baik akan akan mengurangi tingkat keyakinan
untuk melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian
82
generality rendah. Komunikasi satu arah dan kurangnya pengendalian
manajemen menunjukan koordinasi antara BPKAD dan SKPD kurang
berjalan baik karena tidak semua SKPD dapat menyampaikan
pertanggungjawaban keuangan dengan baik, sehingga akan mengurangi
tingkat ekspektasi pemkab dalam melaksanakan implementasi SAP berbasis
akrual, sehingga penilaian strenght rendah.
Faktor keempat yakni Komunikasi pada Pemkab Raja Ampat
menunjukan bahwa koordinasi antara BPKAD dan Pejabat Penatausahaan
Keuangan SKPD dalam bentuk pertanggungjawaban laporan keuangan
masih kurang. Sehingga, penilaian efficacy terhadap faktor komunikasi
rendah.
4.5 Jasa Konsultan
Organisasi memerlukan jasa konsultan yang dapat merekomendasikan
sistem apa yang cocok dengan organisasi (Pabedinskaite, 2010). Konsultan
manajemen dibutuhkan, karena pihak ini mempunyai spesialisasi
pengetahuan dan sangat berpengalaman dibidangnya untuk tenaga pembantu
teknis implementasi (Eriotis, et al 2011).
Narasumber yang diwawancarai dari BPKAD berjumlah 6 orang.
Menurut Bapak Esau Paradjal selaku Kasubbid Penyusun Anggaran BPKAD
(wawancara pada tanggal 24 April 2014) mengatakan kehadiran Sistem
informasi akuntansi berbasis IT melalui jasa konsultan BPKP sangat
membantu dalam pengelolaan keuangan daerah:
“Ya artinya kita di papua ini kan hidup dibawah aturan otonomi
sepanjang itu kami mampu untuk terapkan tetapi kehadiran teman-
teman kehadiran SIMDA lewat BPKP ini sangat membantu katakan
aturannya kami harus terapkan itu prinsipnya tetap kami terapkan
karena dia berlaku untuk seluruh indonesia termasuk kami di Raja
Ampat.”
83
Bapak Orideko I. Burdam selaku Kepala Badan BPKAD (wawancara
pada tanggal 05 April 2014) seperti yang dikatakan sebelumnya terkait
sosialisasi, beliau mengatakan bahwa bahwa pengelolaan keuangan Pemkab
Raja Ampat dilakukan secara mandiri tanpa pendampingan BPKP:
“…tadinya kan kita pakai pendamping (BPKP) selama ditahun ini
(2014) kita fokuskan mereka (para staf) bekerja dan mulai belajar
menyusun sendiri.”
Hal yang sama dikatakan oleh Bapak Fiktor Mayor Sekretaris BPKAD
(wawancara pada tanggal 09 April 2014) seperti yang dikatakan sebelumnya
tentang penyusunan laporan keuangan, Pemkab dapat secara mandiri
menyusun LKPD tanpa pendampingan BPKP:
“Sudah bisa sekarang usahakan untuk menyusun itu sendiri laporan
keuangan tidak pernah didampingi lagi, biasanya didampingi oleh
BPKP tapi sekarang penyusunan LKPD itu kita sendiri”
Menurut Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Bappeda,
Bapak Rachmat M. Nurjayamika (wawancara pada tanggal 08 April 2014)
Pemkab Raja Ampat tetap memerlukan jasa konsultan karena yang
dibutuhkan adalah keahlian mereka, namun perlu konsultan berperan aktif
saling berkoordinasi dengan SKPD dan BPKAD:
“Tergantung pak, kalo kita (Pemkab Raja Ampat) begini ya, dulu
seingat saya bukan dari Bappedanya tapi badan pengelolaan
keuangannya (BPKAD) itu mendatangkan konsultan dan itu akhirnya
kita jadikan dasar perhitungan aset awal, artinya aset-aset yang
sebelumnya pernah dicatat kadang-kadang meleset dengan
perhitungan mereka nah sekarang bagaimana lah barangnya ada
ternyata tidak ada, terus yang barang yang tidak ada menjadi ada,
nah sekarang, sedangkan (aset-aset) itu dibuat dengan uang yang
banyak dari ini..nah itulah kalo saya bilang artinya kalaupun kita
seharusnya memerlukan tenaga dari luar bantuan memang kita
perlukan karena keahlian mereka harusnya kita perlukan, tetapi
harusnya tidak berjalan sendirian tapi harus berkoordinasi dengan
satuan kerja sendiri jangan kita kerjasama tapi taunya cuman
nongkrong di BPKAD saja.”
84
Berdasarkan pendapat dari narasumber, pengelolaan keuangan
sepenuhnya berada ditangan Pemkab Raja Ampat dan proses yang berjalan
pemkab harus menyusun laporan keuangan secara mandiri. Berdasarkan
informasi yang didapat dari BPKP perwakilan Manokwari bahwa, BPKP
telah bermitra dengan Pemkab Raja Ampat sejak tahun 2007 s/d 2013. BPKP
dilibatkan secara langsung membantu pengelolaan keuangan pemerintah
daerah dengan menempatkan beberapa personilnya pada bagian keuangan di
lingkungan Pemkab Raja Ampat. Pada tahun 2014, kebijakan dalam
penyusunan LKPD TA 2013 tidak lagi melibatkan BPKP secara langsung
dalam pengelolaan keuangan melainkan hanya membantu sebatas layanan
jasa dan konsultasi sistem informasi keuangan daerah yaitu aplikasi Simda.
Berdasarkan informasi tambahan yang peneliti dapat dari BPKP
perwakilan Papua Barat, sosialisasi terkait PP No.71/2010 belum pernah
dilakukan oleh BPKP. Sosialisasi yang dilakukan adalah terbitnya
Permendagri No. 64/2013 tentang penerapan akuntansi berbasis akrual di
pemda. Pelaksanaannya sosialisasi jatuh pada bulan Desember 2013 dan
pada saat itu BPKP mengundang 2 orang perwakilan dari BPKAD Raja
Ampat, yang hadir mewakili saat itu adalah Sekretaris BPKAD dan Kepala
Sub Bidang Akuntansi dan Keuangan.
BPKAD sendiri belum melaksanakan sosialisasi SAP berbasis akrual
dan tidak dapat mengimplementasikannya di tahun 2014, dikarenakan
menurut Bapak Fiktor Mayor akibat padatnya kegiatan di lingkungan
Pemkab Raja Ampat seperti MTQ se-Papua Barat, HUT Pemkab, persiapan
kegiatan Sail Raja Ampat 2014:
Belom ada, tapi kita dari BPKAD satu waktu karena waktu kesibukan
dan banyak tamu dan kegiatan-kegiatan besar (MTQ se-Papua
Barat, HUT Pemkab, persiapan kegiatan Sail Raja Ampat 2014),
padahal kita merencanakan bahwa Depdagri akan datang sosialisasi
itu PP 71 tentang akuntansi berbasis akrual.
85
Ibu Zahara selaku Kabid Akuntansi BPKAD (wawancara pada tanggal
03 April 2014) juga menambahkan selain padatnya kegiatan di lingkungan
Pemkab Raja Ampat, BPKAD disibukkan oleh proses penyusunan LK TA
2013 belum di audit yang sempat tertunda:
“Tahun ini harus sudah dipakai (implementasi PP 71/2010)
sebenarnya, cuman kami di akuntansi kebetulan masih sibuk dengan
yang penyusunan laporan keuangan tahun dua ribu tiga belas,
harusnya tahun ini sudah di pakai, sudah diwajibkan pakai.”
Kebijakan pemkab untuk melaksanakan kemandirian dalam pengelolaan
keuangan daerah sangat berkebalikan dengan implementasi perubahan SAP
yang membutuhkan tuntunan maupun keterlibatan konsultan seperti BPKP
atau jasa konsultan lainnya. Pemkab Raja Ampat perlu berkoordinasi dengan
konsultan. Jasa konsultan seperti BPKP sangat diperlukan agar implementasi
SAP berbasis akrual terarah dan dapat berjalan dengan baik.
Dampak kemandirian dalam pengelolaan keuangan ini adalah timbulnya
resistensi, karena pemkab sudah terbiasa dengan aturan yang lama. Selain
itu, keterlambatan penyusunan laporan keuangan TA 2013 apabila tidak
dapat diselesaikan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, akan
berimplikasi di tahun 2015 Pemkab kemungkinan tidak dapat
mengimplementasi akuntansi berbasis akrual atau mengalami penundaan
pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual.
Jasa dari BPKP hanya sebatas jasa pengembang aplikasi SIMDA,
artinya pihak BPKP tidak dilibatkan lagi untuk membimbing Pemkab Raja
Ampat mengelola keuangan daerah. Namun permasalahan yang terjadi, saat
pemkab mulai belajar menjalankan kemandirian, pemerintah menghadapi
permasalahan terhambatnya penyusunan laporan keuangan daerah.
Akibatnya sosialisasi maupun pelatihan teknis terkait SAP berbasis akrual
belum dapat dilaksanakan. Apabila pelaksanaan implementasi SAP
86
dilakukan akan beresiko reform of fatigue yaitu hilangnya sense of urgent
dan rasa antusiasme Pemkab Raja Ampat akan merasa lelah dengan
perubahan-perubahan yang terjadi tanpa merasakan manfaatnya, sehingga
penilaian magnitude adalah sangat rendah. BPKP tidak terlibat dalam
pengelolaan keuangan sebagai tenaga pendamping dan timbulnya reform of
fatigue akan mengurangi tingkat keyakinan dari Pemkab Raja Ampat dalam
melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual sehingga penilaian
generality adalah sangat rendah. Tanpa adanya keterlibatan BPKP dalam
pengelolaan keuangan karena tidak memadainya kemampuan penatausahaan
keuangan SKPD dalam mengelola keuangan akan mengurangi ekspektasi
dari Pemkab Raja Ampat dalam melaksanakan implementasi SAP berbasis
akrual, sehingga penilaian strenght adalah sangat rendah.
Faktor kelima yakni Jasa Konsultan menunjukan bahwa Pemkab Raja
Ampat tidak melibatkan BPKP dalam pengelolaan keuangan dan untuk
menghindari timbulnya reform of fatigue, pemkab membutuhkan jasa BPKP
dalam penerapan implementasi SAP berbasis akrual. Sehingga, penilaian
efficacy aktor-aktor organisasi terhadap faktor jasa konsultan sangat rendah.
4.6 Penghargaan dan Sanksi
Pelaksanaan implementasi perlu pemberian insentif apabila
melaksanakan inovasi dan disinsentif apabila menghindari inovasi (Klein dan
Sorra, 1996). Dalam penyusunan laporan pertanggungjawaban keuangan di
setiap SKPD perlu diberi penghargaan dan sanksi untuk memanfaat kan
sumber daya baik manusia maupun finansial tergantung dari kebijakan
masing-masing pemda. Perbaikan maupun penurunan opini dari BPK bisa
memberikan tolak ukur bagi pemda harus dapat memberikan penghargaan
maupun sanksi kepada SKPD-SKPD atas kinerja keuangan mereka.
Pemerintah harus mempunyai kapasitas memberi penghargaan dan sanksi
87
secara finansial agar penggunaan sumber daya dilakukan secara efisien
dalam menjalankan praktik pengelolaan keuangan sehari-hari (Hepworth,
2003). Narasumber yang diwawancarai berjumlah 10 orang (3 dari BPKAD
dan 7 dari PPK SKPD).
4.6.1 Penghargaan (Pemberian Insentif)
Pemkab Raja Ampat perlu memberi penghargaan berupa insentif bagi
setiap SKPD (khususnya bidang keuangan) yang melaporkan laporan
keuangan yang terbaik. Kriteria beban kerja laporan secara tepat waktu dan
kualitas laporan merupakan ukuran yang digunakan dalam memberikan
insentif berupa uang atau benda seperti yang diungkapkan Kepala Badan
BPKAD Bapak Orideko I. Burdam (wawancara pada tanggal 05 April 2014)
terkait pemberian insentif dilakukan BPKAD dalam pelaksanaan SAP
berbasis akrual, tujuannya untuk memacu kinerja SKPD dalam menyusun
laporan keuangan lebih baik lagi:
“Waktu itu perlu, saya kasih contoh saja untuk tahun 2013 laporan
keuangan itu siapa yang nyusun (laporan keuangan) sesuai dengan
mekanisme, tepat waktu, kita sediakan kita kasih reward, bahkan
siapa tadi yang saya sampaikan administrasi yang baik, dia ikut
mekanisme tahapan-tahapan itu sampai ini kita kasih reward yaitu
untuk (TA) 2013 ini saya kasih perangsang kepada SKPD satu unit
mobil, biar merangsang mereka untuk mereka bisa menyusun
laporan (keuangan) mereka bisa menata pengelola keuangannya
dengan baik, jadi administrasinya kita liat semua terbaik disitu, ya
itu sebagai pancingan kedepannya semua SKPD berlomba-lomba
dan bisa menertibkan pengelolaan keuangannya.”
Kebijakan pemberian insentif telah dilakukan BPKAD berguna
memberikan rangsangan agar penatausahaan SKPD semakin baik,
Sedangkan dampaknya di SKPD adalah penyemangat kerja seperti yang
diungkapkan Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas
88
Pendapatan Daerah, Ibu Jumyati Kapitan Laut (wawancara pada tanggal 08
April 2014):
“Kalo kami di SKPD dibatasi hanya untuk kerja saja, itu urusan
BPKAD cuman kita mungkin, ada insentif untuk penyemangat kerja
begitu.”
Pemberian insentif seperti apa yang diungkapkan Kepala Sub Bagian
Keuangan dan Perlengkapan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bapak Abdul
Latif Soltif (wawancara pada tanggal 14 April 2014) apabila berdasarkan
mekanisme dan kriteria yang ditetapkan oleh BPKAD akan diberikan
insentif yang masuk dalam DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran),
sedangkan pemberian juara yang terbaik itu berdasarkan penilaian
Inspektorat:
“Kemaren-kemarenkan bonus, yang juara satu ya mungkin dikasih
bonus honor begitu apa tunjangankah yang juara saja per SKPD
yang bagian keuangan aja sih kan semua pada terlibat ada
bendahara gaji, bendahara penerimaan, pengeluaran sama barang.
nah itu sudah masuk di DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran), di
semua SKPD ada tapi kalo untuk juara-juara ini pas pemeriksaan
dari inspektorat, nah itu yang juara dikasih bonus dari sana,
penilaian dari inspektorat”
Hal ini juga diungkapkan Ibu Sri Yanti selaku Kepala Sub Bagian
Keuangan dan Perlengkapan Dinas Pekerjaan Umum(wawancara pada
tanggal 16 April 2014) pemberian penilaian juara terbaik langsung diberikan
oleh kepala daerah berdasarkan penilaian BPK maupun Inspektorat:
“Sampai sekarang sih belum Cuma kalo pada saat ulang tahun
marinda (Ulang tahun Raja ampat) kita dua kali berturut-turut dapat
juara, pertama waktu 2011 juara tiga kemarin eh 2012 juara tiga,
laporan 2013 untuk 2012 kemaren juara satu. Insentif tapi bukan
dari keuangan, bukan dari keuangan tapi dari Bupati langsung. Jadi
inspektorat yang periksa, mereka yang menentukan dikasih
tembusannya ke bupati, kalo untuk dari keuangan ditahun ini
kayaknya itu tapi belum, itu berdasarkan penilaian langsung dari
BPK.”
89
Penilaian juara terbaik dinilai oleh inspektorat seperti yang dikatakan
oleh Plt. Kepala Sub Bagian Keuangan Inspektorat Bapak Amril Laude
(wawancara pada tanggal 10 April 2014) pemberian insentif sudah berjalan
sejak tahun 2012 diberikan kepada tiga SKPD dengan laporan keuangan
terbaik:
“Untuk Pemda Raja Ampat sendiri itu sudah pemberian reward
sudah berjalan sejak tahun dua ribu dua belas kemaren, jadi setiap
SKPD dinilai tiga SKPD terbaik dalam laporan keuangan yang nanti
diberikan berupa insentif begitu kepada mereka, supaya ada motivasi
dari SKPD lain.”
Berdasarkan pendapat narasumber, pemberian penghargaan di Pemkab
Raja ada 2 bentuk yaitu: Pertama, pemberian insentif dilakukan oleh
BPKAD kepada setiap SKPD yang menyampaikan laporan
pertanggungjawaban keuangan tepat waktu dan sesuai dengan mekanisme
maupun kriteria yang ditetapkan oleh BPKAD. Kedua, pemberian bonus
juara penilaian terbaik berdasarkan pemeriksaan dari Inspektorat dan BPK
yang diambil adalah 3 (tiga) laporan keuangan SKPD terbaik.
4.6.2 Sanksi (Disinsentif)
Pemberian sanksi juga diberikan apabila mengalami keterlambatan
dengan ditekan melalui teguran dan menahan insentif SKPD. Apabila
Pemkab Raja Ampat sudah menerapkan pemberian insentif maupun
disinsentif pada pengelolaan keuangan sebelumnya, maka pada pelaksanaan
implementasi SAP berbasis akrual perlu diajukan kembali usulan kegiatan
tersebut.
Kepala Badan BPKAD Bapak Orideko I. Burdam (wawancara pada
tanggal 05 April 2014) mengungkapkan adanya kemungkinan sanksi yang
90
diberikan berupa pemotongan dana operasional SKPD sebesar lima belas
persen jika tidak sesuai dengan kriteria yang ditentukan:
“Ada sanksi juga, jadi sanksinya itu mungkin pengurangan dia punya
operasional atau penatausahaan lima belas persen, yang tidak masuk
kriteria-kriteria, tidak memenuhi syarat ya tetap akan dikenakan
sanksi.”
Apa yang diungkapkan oleh Bapak Ori senada dengan apa yang
diungkapkan Kepala Sub Bagian Verifikasi dan Akuntansi Sekretariat
Daerah Bapak Syamsudin Samuel Imanohos (wawancara pada tanggal 07
April 2014), sanksi yang diberikan berupa pengurangan dana SKPD:
“Ada sanksi biasanya berupa pengurangan dana di SKPD itu ada”
Berbeda dari pendapat Bapak Ori dan Bapak Syamsudin, Ibu Zahara
(wawancara pada tanggal 03 April 2014) mengatakan tidak sanksi yang
memberatkan apabila keterlambatan mengumpulkan laporan keuangan,
sanksi yang diberikan hanya berupa teguran:
“Sanksinya itu pak, kalau laporannya tidak masuk, terlambat maka
reward itu tidak akan didapat dan sanksi berupa teguran, cuman kalo
sanksi-sanksi yang berat itu belum ada seperti pemotongan apa segala
macam itu tidak ada.”
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Ibu Zahara, Kepala Sub
Bagian Keuangan dan Perlengkapan Badan Pemberdayaan Perempuan dan
KB Ibu Fransiska Berselina Msen (wawancara pada tanggal 16 April 2014)
bahwa insentif dibayar tetapi Ibu Fransiska menambahkan bahwa uang
persediaan (UP) akan ditahan :
“UP (Uang Persediaan) nya ditahan, terus insentifnya tidak
dibayar, sampai menyelesaikan (laporan).”
91
Terkait dengan sanksi, menurut Kepala Sub Bidang Verifikasi BPKAD,
Bapak Abu Bakar Saka (wawancara pada tanggal 07 April 2014, hal ini
tergantung dari pimpinan daerah:
“Ya saya pikir itu kan kembali kepada pimpinan daerah gitu kan, kalo
memang melihat bagaimana situasi dan kondisi yang ada ya itulah
kembali ke pimpinan daerah gitu.”
Plt. Kepala Sub Bagian Keuangan Inspektorat Bapak Amril Laude
(wawancara pada tanggal 10 April 2014) menambahkan ada sanksi diberikan
dalam pelanggaran pengelolaan keuangan daerah adalah jika ada temuan
BPK, maka SKPD harus menindaklanjuti temuan BPK:
“Sanksi mengenai pelanggaran pengelolaan laporan keuangan
sementara masih untuk sejauh pelimpahannya ke kejaksaan biasanya
belum, tapi hanya sebatas menindaklanjuti temuan BPK RI, jadi kalo
misalnya ada temuan dari BPK RI kemudian keluar ketinggalannya
dari BPKAD dan SKPD wajib menindaklanjuti itu setiap tahunnya.
Jadi kalo misalnya ada temuan sepuluh juta dalam tahun itu belum
bisa diselesaikan semuanya, ya bisa dicicil lima juta. Sampai intinya,
tindaklanjut dari BPK itu harus selesai.”
Sedangkan keterlambatan menurut Bapak Amril pemberian insentifnya
akan ditahan oleh BPKAD:
“Itu (keterlambatan) sejauh yang saya tau di BPKAD itu kalo
misalnya terlambat penyampaian laporan keuangan dari SKPD itu
terlambat ditahan insentifnya, setiap pejabat pengelola keuangan itu
kan ada insentif jadi misalnya penyampaian laporannya belum beres
berarti insentifnya ditahan dia (BPKAD).”
Berdasarkan pendapat dari para narasumber pemberian sanksi di
Pemkab Raja Ampat memunculkan beberapa versi atau bentuk: Pertama,
sanksi akibat keterlambatan penyampaian laporan keuangan SKPD berupa
teguran dan insentif tidak dibayar. Kedua, sanksi akibat keterlambatan
penyampaian laporan keuangan SKPD berupa insentif tidak dibayar dan
uang persediaan ditahan. Ketiga, keterlambatan penyampaian laporan
92
keuangan akan dikenakan sanksi berupa insentif ditahan sampai proses
urusan keuangannya selesai. Kempat, sanksi akibat keterlambatan
penyampaian laporan keuangan SKPD berupa pemotongan dana dari
anggaran SKPD. Kelima, sanksi yang memberatkan apabila terjadi
pelanggaran pengelolaan keuangan, SKPD harus mengganti kerugian.
Berdasarkan kelima versi sanksi tersebut, ada dua sanksi yakni sanksi
keterlambatan dalam penyampaian laporan keuangan dan sanksi pelanggaran
dalam pengelolaan keuangan. Belum jelasnya versi mana yang dianggap
tepat terkait sanksi keterlambatan penyampaian laporan keuangan. Namun
penelitian ini lebih memfokuskan perlu apa tidaknya pemberian sanksi dalam
rangka implementasi SAP berbasis akrual bukan dilihat dari pemahaman
narasumber yang berbeda-beda.
4.6.3 Pemberian Insentif dan Disinsentif dalam Pelaksanaan SAP
Berbasis Akrual
Pemberian penghargaan dan sanksi pada periode-periode sebelumnya
diserahkan kepada Pemkab Raja Ampat, ada pendapat yang berbeda dari dua
narasumber apabila dalam pelaksanaan implementasi berbasis akrual
nantinya tidak dilakukan oleh pemkab melainkan institusi diluar Pemkab
Raja Ampat seperti yang diungkapkan Bapak Esau Paradjal selaku Kasubbid
Penyusun Anggaran BPKAD (wawancara pada tanggal 24 April 2014)
berpendapat bahwa pemberian reward itu tidak ada hanya dalam bentuk
kegiatan saja, namun usulan pemberian insentif dan disinsentif terkait
akuntansi berbasis akrual diserahkan ke BPKP untuk memacu motivasi
Pemkab Raja Ampat:
“Yang lama tidak ada, cuman kan dalam bentuk kegiatan-kegiatan
aja itupun saya belum bisa pastikan mungkin nanti (untuk
implementasi SAP berbasis akrual) didalam itu ada teman-teman
93
BPKP yang mampu untuk beri sesuatu yang jadi untuk motivasi
reward itu”
Berbeda dengan pendapat dari narasumber sebelumnya, menurut
pendapat dari Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Bappeda,
Bapak Rachmat M. Nurjayamika (wawancara pada tanggal 08 April 2014)
bahwa pemberian insentif maupun disinsentif ke SKPD seharusnya hanya
diberikan oleh BPK atau pemerintah pusat bukan dilakukan oleh BPKAD
karena tingkat kesulitan penyusunan laporan keuangan SKPD itu berbeda:
“Bagi saya cukuplah kepada pemerintah pusat atau kepada BPK
yang merekomendasikan penilaian apa namanya suatu bonus itu dari
BPK kepada pemerintah daerah tidak perlu (BPKAD)..yang
harusnya terbaik itu Badan Pengelola Keuangan itu harusnya yang
terbaik bukan di SKPDnya kalo bicara tentang siapa yang terbaik
karena Badan Pengelola Keuangan selalu yang terbaik seharusnya
berbicara itu (pemberian insentif dari BPKAD),itu tidak terlalu
efektif karena tingkat kesulitannya berbeda dalam menyusun laporan
keuangan.”
Berdasarkan pendapat dari narasumber, sebagian besar mengatakan
bahwa pemberian penghargaan maupun sangsi sudah dilaksanakan di
lingkungan Pemkab Raja Ampat. Namun, pendapat yang berbeda-beda dari
narasumber tentang siapa yang berhak memberikan reward dan punishment
terkait adanya pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual, apakah
Kepala Daerah atau BPKAD atau Inspektorat atau pihak luar seperti BPK
maupun BPKP. Kebijakan terkait pemberian insentif bisa berubah dalam
penyampaian laporan keuangan tiap tahunnya. Karena tidak serta merta
kebijakan tersebut dilaksanakan tahun berikutnya.
Untuk penyampaian laporan keuangan daerah berdasarkan opini terbaik
dari BPK, pemerintah pusat memberikan apresiasi dalam bentuk
penambahan dalam dana perimbangan APBD dan disinsentif berupa
pengurangan atau penahanan dana perimbangan APBD. Pada tingkat SKPD,
94
kepala daerah atau BPKAD memberikan apresiasi berupa insentif materiil
maupun non materiil, sedangkan pemberian laporan keuangan terbaik
berdasarkan pertimbangan BPK dan Inspektorat. Pemberian penghargaan
dan sanksi setiap daerah berbeda-beda tergantung kebijakan masing-masing
daerah.
Menurut Simanjuntak (2010), pemerintah dalam merencanakan SDM
dalam bidang akuntansi pemerintahan perlu memberikan sistem insentif dan
renumerasi yang memadai mencegah timbulnya praktik KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme). Guna menghindari korupsi secara sistemik menurut
Hepworth (2003), birokrasi yang ada dalam pemerintahan harus menjamin
bahwa aturan terbaru akuntansi dan anggaran berbasis akrual harus dipatuhi
dan dilaksanakan. Sanksi yang memberatkan kepada SKPD apabila kegiatan
program SKPD tidak sesuai dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan BPKAD
berupa pemotongan dana operasional SKPD sebesar 15% (lima belas
persen). Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2004 tentang pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara, sanksi yang diberikan untuk mengganti
kerugian negara berupa hukuman kurungan penjara atau bisa ditambah denda
paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tergantung dari
pelanggaran yang dilakukan.
Pemberian penghargaan dan sanksi akan memberikan dampak positif
bagi Pemkab Raja Ampat dalam melaksanakan implementasi SAP berbasis
akrual, perlunya penghargaan dan sanksi dalam implementasi SAP berbasis
akrual akan mempermudah pelaksanaan implementasi, sehingga penilaian
magnitude tinggi. Pemberian bonus dan insentif telah dilakukan di Pemkab
Raja Ampat setiap tahunnya, oleh karena itu perlunya adanya penghargaan
dan sanksi dalam implementasi SAP berbasis akrual yang akan
meningkatkan keyakinan Pemkab Raja Ampat dalam melaksanakan
implementasi, sehingga penilaian generality tinggi. Aktor-aktor organisasi
95
menyetujui perlu adanya penghargaan dan sanksi dalam pelaksanaan
implementasi SAP berbasis akrual yang akan meningkatkan ekspektasi
Pemkab Raja Ampat sehingga penilaian strenght tinggi. Maka disimpulkan
pada faktor keenam menunjukan bahwa adanya dukungan dari Pemkab Raja
dalam pemberian penghargaan dan sanksi dalam pelaksanaan implementasi
SAP berbasis akrual. Sehingga, penilaian efficacy aktor-aktor organisasi
terhadap penghargaan dan sanksi tinggi.
96