seminar nasional bahasa dan denpasar, 7.8 2o1 …

14
SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN BUDAYA DENPASAR, 7.8 OKTOBER 2O1 6 PROSIDING BAHASA, POLITIK, DAN KEKUASAAN DAIAM DINAMIKA KEBUDAYAAN ,i'} Penyunting : I Ketut Sudewa I Wayan Teguh EAKULTAS ILMU BUBAYA UNIVERSITAS UI}AY*NA 201,6

Upload: others

Post on 21-Oct-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN DENPASAR, 7.8 2O1 …

SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN BUDAYADENPASAR, 7.8 OKTOBER 2O1 6

PROSIDINGBAHASA, POLITIK, DAN KEKUASAAN DAIAM

DINAMIKA KEBUDAYAAN,i'}

Penyunting :

I Ketut SudewaI Wayan Teguh

EAKULTAS ILMU BUBAYAUNIVERSITAS UI}AY*NA

201,6

Page 2: SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN DENPASAR, 7.8 2O1 …

i

DAFTAR ISI

Jamu Minum Orang Pintar: Bahasa dan Kekuasaan.

Prof. Dr. Faruk, SU. 1

Sejarah Lokal: Keteladanan Dalam Tindakan

Sebagai Fondasi Pendidikan Karakter

Prof. Dr. Nengah Bawa Atmaja, M.A 16

Nilai Pendidikan Karakter dalam “Geguritan Bagus Diarsa”.

I Ketut Nama 40

Memeluk Mimpi: Ketidaknetralan Wacana Pelestarian

Bali Masa Kolonial dan Masa Kini.

I Nyoman Wijaya 49

Penggunaan Akronim Sebagai Jargon Politik:

Studi Sejarahnya di Indonesia.

I Ketut Darma Laksana 61

Bahasa dan Kekuasaan di Ranah Akademik.

I Gusti Ayu Gde Sosiowati 71

Base Lame dan Base Karang di Dalam Bahasa Melayu Bali.

I Nyoman Suparwa 80

Bahasa Sang Penguasa pada Cerita Rakyat Bali Kuna.

P.A.A. Senja Pratiwi 93

Trauma Kekuasaan dalam Cerpen-Cerpen Terakhir

Made Sangra.

I Made Suarsa 104

Metafora Kekuasaan dalam Bahasa Indonesia:

Kajian Linguistik Korpus.

I Made Rajeg dan Kadek Sanjaya 114

Revitalisasi Rumah Pengasingan Bung Karno

Di Kota Ende.

Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo 126

Page 3: SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN DENPASAR, 7.8 2O1 …

ii

Kanji dan Keseharian Orang Jepang.

Renny Anggraeny 137

Makna dan Struktur Kalimat dalam Ujaran

Bahasa Indonesia

Ni Putu N. Widarsini dan I Made Suida 148

Kesantunan dalam Pelayanan:

Studi Kasus pada Pusat Perbelanjaan Isetan.

I Gede Oeinada 158

Kekuasaan dalam Bahasa: Kajian Etnolinguistik

Ritual Tumpek dalam Kehidupan Masyarakat Bali.

Ni Wayan Sumitri dan I Wayan Arka 165

Kesantunan Berbahasa pada Bagian Kehumasan

Universitas Warmadewa.

Agus Darma Yoga Pratama 183

Antara Narasi dan Eksposisi: Kemampuan Bahasa Bali

Sebagai Bahasa Pengetahuan dalam Cerita Rakyat dan

Buku Pelajaran Sekolah Jaman Kolonial.

Ida Ayu Laksmita Sari 193

Hikikomori: Penyakit Sosial ataukah Gaya Hidup?

Ngurah Indra Pradhana 204

Daya Situasi Tuturan

I Nengah Sukartha 212

Glokalisasi Kerajinan Patung di Bali.

Ni Luh Sutjiati Beratha, Ni Wayan Sukarini

dan I Made Rajeg 225

Relasi Politik dan Perkembangan Bahasa Belanda Di Hindia Belanda Abad XIX.

Sulandjari 243

Kotodama sebagai Kearifan Lokal Masyarakat

Jepang dalam Berucap.

Ni Putu Luhur Wedayanti 255

Page 4: SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN DENPASAR, 7.8 2O1 …

iii

Desa Sanur dalam Perspektif Sejarah Budaya.

I Wayan Srijaya 263

Sikap Budaya dan Sikap Bahasa: Implikasinya

Dalam Pemertahanan Bahasa Bali.

Putu Sutama 275

Kata Keterangan dalam Bahasa Indonesia:

Sebuah Kajian Subkategorisasi.

I Wayan Teguh 282

Sejarah Terjadinya Republik Demokratik Timor

Leste dan Bahasanya: Sekilas Lintas.

Ketut Riana 293

Diskriminasi Cerita Calonarang terhadap Citra

Ibu dalam Masyarakat Bali.

I Nyoman Duana Sutika 308

Peranan Karya Tulis Ilmiah dalam Bahasa Indonesia

dan Analisis Permasalahan Penulisan Karya Ilmiah.

Ni Wayan Arnati 322

Dewa Nini: Ikon Dewa Dewi Kesuburan dari Bali yang Semakin Langka.

I Wayan Redig 334

Geguritan Sucita Mwah Subudhi: Aspek Tema dan Nilai agama Hindu.

Luh Putu Puspawati 343

Menilik Pengaruh Kekuasaan Majapahit Berdasarkan

Motif Hias pada Tinggalan Arkeologi.

Rochtri Agung Bawono 359

Perilaku Sintaksis Kata Sifat Bahasa Bali Pada Tataran Frase.

Ni Made Suryati 367

Politik dan Gender: Kajian Wacana.

I Gusti Ngurah Parthama dan Ni Luh Kade Yuliani Giri 379

Kekuasaan Tokoh-tokoh dalam Novel Doben Karya

Page 5: SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN DENPASAR, 7.8 2O1 …

iv

Maria Matildis Banda: Kajian Reseptif.

Sri Jumadiah 387

Bsrêng Barong Using Kemiren:

Kearifan Tradisi, Penegasan Nilai Sakral dan Identitas Diri

Orang Using dalam Era Global.

Ketut Darmana 400

Sasmita: Cara Mengenali Pergantian Pupuh Dalam Tembang Macapat.

I Ketut Ngurah Sulibra 415

Sewa Bodha Keadaban Gelgel dalam Teks Lontar Paniti Gama Tirtha Pawitra.

Ida Bagus Rai Putra 430

Perkembangan Teater di Bali melalui Sosok Dramawan Abu Bakar

I Nyoman Darma Putra 456

Relasi Kuasa Dalam Novel Indonesia

Bertema Bali Karya Pengarang Non-Bali 478

I Made Sujaya

Arus Balik 'Tersingkap':Memikirkan Politik Dunia Nusantara

bersama Pramoedya dan Heidegger 486

Jeffrey Willever Jacobson

Page 6: SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN DENPASAR, 7.8 2O1 …

MENILIK PENGARUH KEKUASAAN MAJAPAHIT BERDASARKAN MOTIF HIAS PADA TINGGALAN ARKEOLOGI

Rochtri Agung Bawono Prodi Arkeologi FIB Universitas Udayana

[email protected]

Abstrak

Kekuasaan Majapahit berdasarkan Kitab Negarakrtagama meliputi seluruh Nusantara, daratan Malaya, dan Brunei, tetapi wilayah inti Kerajaan Majapahit hanya meliputi sebagian Jawa Tengah dan seluruh Jawa Timur yang selalu dipimpin oleh keluarga raja, sedangkan wilayah di luar wilayah inti tidak disebutkan secara jelas penguasanya. Luasan pengaruh kekuasaan ini dapat diketahui berdasarkan motif hias yang terdapat pada tinggalan arkeologi yang diproduksi pada Masa Majapahit tersebut. Motif hias yang menjadi penciri pada Masa Majapahit yaitu surya (prabha) dan meander pita Majapahit.

Pengambilan sampel tinggalan arkeologi dilakukan secara acak mewakili daerah yang kemungkinan berkaitan dengan Kerajaan Majapahit atau sesudahnya. Berdasarkan sebaran motif hias meander pita dan surya Majapahit yang terdapat pada tinggalan arkeologi diketahui bahwa konsentrasi terbanyak terdapat di Jawa Timur secara keseluruhan yang memperkuat dugaan bahwa wilayah ini mendapat pengaruh terkuat sehingga layak disebut sebagai wilayah inti Kerajaan Majapahit. Wilayah lain yang mendapat pengaruh kuat berdasarkan kedua motif hias tersebut yaitu Bali, sedangkan wilayah yang juga terdapat motif hias tersebut yaitu Cirebon, Palembang, dan Papua.

Kata Kunci: motif hias, meander pita, surya Majapahit, dan kekuasaan. 1. Pendahuluan

Majapahit merupakan kerajaan terbesar di Nusantara yang dianggap

memiliki wilayah sangat luas bahkan melebihi wilayah Indonesia saat ini.

Berdasarkan Kitab Negarakrtagama (Desawarnnana) wilayah kekuasaan

Majapahit pada masa Raja Hayam Wuruk dicatat hingga Lemuri (Aceh) hingga

Wanin (Papua), termasuk Buruneng (Brunei), Hujung Medini, Pahang, Kelantan,

Trengganu, Johor, Kedah (Malaya), Tumasik (Singapura), dan Uda (Mindanau-

Philipina) (Muljana, 2006; Riana, 2009). Data pendukung luasan wilayah

Majapahit yaitu kitab Pararaton, Sejarah Melayu, Kidung Sunda, dan Babad

Tanah Jawi.

Bila ditelisik lebih jauh, luas wilayah Kerajaan Majapahit menunjukkan

hanya sebatas Provinsi Jawa Timur sekarang, dan sebagai Jawa Tengah yang

Page 7: SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN DENPASAR, 7.8 2O1 …

disebut sebagai kerajaan bawahan meliputi Daha, Wengker, Matahun, Lasem,

Pajang, Paguhan, Kahuripan, Singasari, Mataram, Wirabhumi, dan Pawanuhan

(Muljana, 2006). Seluruh kerajaan bawahan tersebut kekuasaannya dipegang oleh

keluarga Raja Majapahit, sedangkan wilayah lain tersebut disebut sebagai

Dwipantara atau Nusantara yang merupakan kerajaan vassal.

Luasnya kekuasaan tersebut selain diketahui dari data catatan seharusnya

juga didukung oleh data artefaktual yang mampu menunjukkan kehadiran

pengaruhnya di wilayah tersebut. Salah satu data arkeologi yang ingin ditelusuri

lebih mendalam untuk melihat pengaruh kekuasaan yaitu data ragam hias khas

Majapahit yang masih dapat ditemukan di lokasi-lokasi kekuasaan sebagai bukti

nyata kehadiran pengaruh Kerajaan Majapahit.

Ragam hias merupakan seni dekorasi yang terdapat pada setiap hasil karya

manusia. Perkembangan seni hias pada awalnya hanyalah sekedar memberikan

rasa keindahan (dekoratif) saja karena adanya bidang-bidang kosong pada setiap

bagian karya, tetapi pada perkembangan selanjutnya seni hias dianggap sebagai

identitas sang pembuat karya bahkan sebagai simbol dan memiliki makna yang

jauh lebih khusus.

Setiap periode memiliki ragam hias yang berkembang dibandingkan

dengan motif yang lain sehingga motif hias tersebut dapat disebut sebagai

langgam atau gaya motif hias dalam satu kurun waktu. Langgam atau gaya motif

hias yang berkembang dianggap sebagai penciri suatu periode atau kerajaan

tertentu. Seni hias yang merupakan bagian dari langgam tersebut dapat menjadi

pembeda setiap periode.

Berdasarkan uraian di atas maka tulisan ini bertujuan untuk mengungkap

pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit melalui motif hias yang berkembang

atau periode sesudahnya.

2. Hasil

Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian yang telah dilakukan

diperoleh data bahwa motif hias yang sangat berkembang pada Masa Kerajaan

majapahit yaitu surya (prabha) dan meander pita Majapahit (Bawono dan

Zuraidah, 2015; 2016).

Page 8: SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN DENPASAR, 7.8 2O1 …

Surya Majapahit merupakan simbol kebesaran kerajaan Majapahit yang

berupa lingkaran yang dikelilingi garis-garis atau susunan tumpak di luarnya.

Bentuk tersebut dianggap sebagai simbol matahari (raja-kerajaan) yang mampu

menerangi-mengayomi bumi (wilayah) dan sekaligus sebagai sumber penggerak

kehidupan. Bentuk surya beserta pancarannya juga digambarkan tidak bulat tetapi

memanjang ke bawah mengikuti bentuk tubuh arca dan penempatannya sebagai

latar belakang arca sehingga seolah-olah sebagai sinar yang muncul dari tubuh

arca dan dipahatkan di stella (sandaran arca). Pancaran surya dengan tipe ini

disebut juga sebagai prabha atau sinar kewibawaan (kemuliaan). Prabha berupa

surya Majapahit juga digambarkan bulat-lingkaran di belakang kepala menyerupai

Sirascakra (lambang kedewataan).

Motif hias kedua yaitu meander pita Majapahit yaitu lengkungan khas

menyerupai patra mesir (berkembang pesat di Cina) yang digambarkan pada

pinggir bidang dengan bentuk geometris yang tegas. Hiasan meander Majapahit

kemungkinan besar diambil dari ide lengkung atau gelombang daun teratai, karena

merupakan salah satu motif hias flora yang sering digunakan pada Masa

Majapahit. Istilah lain meander pita yaitu sulur pita Majapahit karena bentuknya

menyerupai sulur-suluran dengan gelombang yang teratur tetapi memiliki bentuk

yang sangat khas.

Kedua motif hias tersebut dianggap mewakili untuk melakukan

pengamatan terhadap tinggalan yang tersebar di seluruh Nusantara berupa

bangunan arsitektural atau artefak lepas. Semakin banyak motif hias surya

(prabha) dan meander pita Majapahit tersebut ditemukan dan kaya ragamnya

maka daerah tersebut memiliki pengaruh kekuasaan Majapahit yang sangat kuat

dan dianggap sebagai wilayah kekuasaan inti.

3. Pembahasan

Pusat atau ibukota Kerajaan Majapahit berdasarkan penelitian para ahli

terletak di Trowulan Kabupaten Mojokerto Provinsi Jawa Timur. Bahkan Henry

Maclaine Pont telah melakukan pengamatan langsung terhadap tinggalan

purbakala dan menetap di Trowulan antara tahun 1921-1924 untuk

merekonstruksi istana Majapahit. (Sidomulyo, 2007; Munandar, 2008; Tim PATI,

Page 9: SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN DENPASAR, 7.8 2O1 …

2011; Rangkuti, 2012). Hingga saat ini wilayah Trowulan memiliki dan

ditemukan banyak tinggalan purbakala berupa candi, nisan, kolam, struktur

bangunan, keramik, terakota, logam, prasasti, yoni, dan arca.

Temuan batu berpahatkan surya Majapahit ditemukan di Trowulan dengan

berbagai variasi, diantaranya merupakan koleksi Pusat Informasi Majapahit (PIM)

dan Museum Nasional Jakarta. Surya Majapahit koleksi PIM memiliki sudut

delapan mengelilingi lingkaran yang dipahatkan dewa penguasa 9 arah mata

angin, sedangkan surya Majapahit koleksi Museum Nasional berbentuk lingkaran

bersudut delapan menyerupai bentuk teratai dengan 8 dewa di antara helai sudut

pancarannya. Bentuk serupa juga ditemukan di Candi Cetho-Lereng Gunung

Lawu Jawa Tengah dengan bentuk bulat bersudut 9 dan terdapat untaian mutiara

yang melingkar pada bagian tengahnya.

Bentuk lain surya Majapahit yang dipahatkan pada bangunan juga

ditemukan di Candi Angka Tahun dan Candi Rekonstruksi Panataran-Blitar,

Candi Sawentar-Blitar, Candi Jawi-Malang, Candi Kebo Ireng-Pasuruan, Candi

Bangkal-Mojokerto, dan Candi Rimbi-Jombang. Surya Majapahit ternyata juga

mempengaruhi ragam hias Islam khususnya pada nisan terdapat pada nisan-nisan

Troloyo dan kompleks makam Sunan Bonang.

Menarik untuk dilihat bahwa di luar wilayah tersebut, Bali memiliki

banyak hiasan surya Majapahit terutama pada bangunan-bangunan pura dan

artefak-artefak pendukung lainnya. Bahkan sebagian besar hiasan pada puri-puri

(istana) di Bali ditemukan unsur surya Majapahit. Hal ini disebabkan adanya

kepercayaan bahwa seluruh puri-puri di Bali merupakan keturunan dari

Majapahit.

Surya Majapahit dalam bentuk prabha pada arca hampir ditemukan di

seluruh wilayah Jawa Timur antara lain arca Parwati (Perwujudan Tribhuwana)-

Jombang, arca berpasangan-Tulungagung, arca pengendara-Tigowangi Kediri,

dan hampir seluruh arca koleksi PIM dan Museum Nasional yang berasal dari

Periode Majapahit sebagian besar memiliki prabha dimaksud.

Motif hias meander Majapahit merupakan bentuk khas kemungkinan besar

yang merupakan adopsi patra mesir yang berkembang di Cina, sering

digambarkan pada keramik dan artefak lepas lainnya. Meander dengan patra mesir

Page 10: SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN DENPASAR, 7.8 2O1 …

bentuknya patah-patah atau kaku, sedangkan meander pita Majapahit bentuknya

lebih dinamis menyerupai bentuk lengkungan. Bentuk yang dinamis tersebut

seolah-olah mengikuti bentuk lengkung pinggiran daun teratai. Ragam seni hias

berbentuk teratai sangat terkenal dan popular digunakan pada benda-benda seni

Kerajaan majapahit, bukan hanya benda-benda untuk kebutuhan istana, tetapi

masyarakat juga menggunakan motif teratai untuk menghiasinya.

Meander pita Majapahit dalam perkembangannya berbeda dengan seni

hias lainnya. Motif ini dianggap sebagai motif sacral dan hanya dijumpai pada

bangunan-bangunan suci (candi), arca dewa atau perwujudan, dan benda-benda

khusus untuk kalangan istana. Motif ini tidak dijumpai disemua temuan arkeologi

sehingga motif meander pita kemungkinan adalah simbol kebangsawanan atau

khusus untuk kalangan keluarga raja.

Motif meander pita Majapahit dapat dijumpai pada sebagian besar candi-

candi Periode Majapahit antara lain kompleks Candi Panataran-Blitar, Candi

Bajangratu-Trowulan, Candi Surowono-Kediri, Candi Jabung-Probolinggo, Candi

Rimbi-Jombang, Candi Jago-Malang, Candi Tigawangi-Kediri, Candi Surowono-

Kediri, Candi Penampihan (Asmorobangun)-Kediri, Candi Mirigambar-Kediri,

Jandi Jawi-Pasuruan, Candi Kedaton-Probolinggo, dan Candi-candi di

Penanggungan. Motif hias tersebut menghiasi pelipit candi, pinggiran panil,

pembatas antarrelief dalam satu panil, atau hiasan relief yang menyerupai awan,

air, atau batuan. Berbeda dengan kasus di Bali, meander pita yang dipahatkan

pada beberapa bangunan suci lebih menggunakan meander dengan tipe patra

Mesir yang berkembang di Cina. Walaupun demikian pengaruh meander tersebut

kemungkinan besar selain dari unsur seni Cina yang kuat juga pengaruh seni

Majapahit juga berpengaruh.

Bentuk meander pita Majapahit tidak hanya dipahatkan pada bangunan

tetapi juga pada benda seni lainnya. Temuan 4 yoni naga di Klinterejo, Lebak

Jabung, Japanan Sedah, dan Badas-Tugu (tersimpan Museum Nasional?) yang

dianggap sebagai batas Kota Majapahit terdapat hiasan meander pita Majapahit

dengan pemahatan yang mewah. Jika benar yoni tersebut dianggap batas resmi

negara maka motif hias meander pita Majapahit tersebut sangat layak dipahatkan

pada sisi-sisinya. Yoni lain yang terdapat hias meander pita ditemukan pula di

Page 11: SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN DENPASAR, 7.8 2O1 …

Krasaan-Probolinggo. Demikian temuan 4 umpak besar yang ditemukan di

Komplek Candi Penataran juga dipahatkan meander pita Majapahit tersebut.

Meander pita Majapahit pada unsur-unsur di Kompleks Candi Penataran menjadi

penting karena candi tersebut merupakan candi kerajaan yang selalu dikunjungi

oleh raja-raja Majapahit.

Arca-arca yang dibuat pada masa Majapahit terdapat meander (sulur) pita

Majapahit pada bagian-bagian tertentu menggantikan atau menyerupai hiasan

pita-kain. Demikian juga meander pita ini menjadi kekhasan terutama pada bagian

lipatan ujung kain di pinggang yang dipahatkan dalam arca. Arca-arca tersebut

antara lain arca yang terdapat di Candi Penataran, arca Wisnu-Kediri, arca

perwujudan Raden Wijaya, arca perwujudan Tribhuwana, Arca Suhita, dan masih

banyak arca lainnya di wilayah Jawa Timur. Demikian juga pada logam-logam

berupa arca, senjata, maupun perhiasan yang dibuat pada Masa Majapahit

sebagian menggunakan motif meander pita. Misalnya hiasan cakra temuan

Kebonsari-Pasuruan (koleksi Museum Nasional) juga menggunakan hiasan

meander pita Majapahit mengelilingi lingkar dalam cakra. Sebuah perak di

Palembang juga ditemukan dengan motif hias meander pita, kemungkinan

merupakan pengaruh seni hias Majapahit.

Meander pita Majapahit juga ditemukan melimpah pada terakota baik pada

selongsong pilar ataupun wadah terakota. Meander ini memiliki tipe yang

beragam baik berupa patra Mesir ataupun meander awan yang sering dipahatkan

pada bangunan-bangunan suci. Kemelimpahan tinggalan terakota dengan ragam

hias meander pita Majapahit sangat mendukung data bahwa Trowulan dianggap

sebagai pusat kerajaan atau Ibokota Majapahit.

Sebuah kotak kayu kuno dari Cirebon juga memiliki hiasan awan-awan

yang dikenal pula sebagai meander pita tetapi dalam bentuk yang sedikit berbeda,

hiasan seperti itu terdapat pula pada candi-candi di Jawa Timur dari Periode

Majapahit. Seluruh pinggir papan kayu tersebut terdapat meander pita Majapahit

dengan menyerupai seni gaya Bali. Bentuk sejenis juga terdapat pada warangka

keris kuno dari Cirebon yang digambarkan seperti batu-batuan sehingga berbeda

dengan meander awan yang biasanya diletakkan di pinggir. Meander ini terletak

di tengah-tengah warangka dan menyatu dengan sulur-suluran tanaman.

Page 12: SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN DENPASAR, 7.8 2O1 …

Sangat menarik untuk didalami lebih lanjut yaitu temuan benda-benda ukir

berbahan kayu di Papua yang memahatkan motif hias meander pita Majapahit

pada seruit besar, haluan perahu dari Papua Utara, dan Pelenting dari Teluk Tanah

Merah (van der Hoop, 1949). Pemahatan meander pada ukiran-ukiran kayu

mengingatkan kembali pada kekuasaan Majapahit hingga Wanin (Papua) seperti

yang tertera dalam Negarakrtagama. Adanya motif hias meander pita Majapahit

mendukung pernyataan bahwa pengaruh kekuasaan Majapahit terbentang hingga

Papua yang merupakan bagian ujung timur dari Nusantara.

4. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa wilayah

yang memiliki motif hias surya (prabha) dan meander pita Majapahit paling

banyak yaitu wilayah Jawa Timur dan sebagian timur Jawa Tengah baik yang

terpahatkan pada bangunan candi, struktur bangunan, dan artefak lepas.

Kemelimpahan dan keragaman kedua motif hias tersebut terdapat di Trowulan-

Mojokerto sehingga menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan pusat

kebudayan Majapahit sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjuk

sebagai Ibukota Majapahit. Wilayah lain seperti Pasuruan, Probolinggo, Malang,

Kediri, Blitar, Tulungagung, Jombang, dan Karanganyar merupakan wilayah inti

kerajaan Majapahit karena terdapat pahatan kedua motif pada bangunan suci dan

arca dewa-perwujudan, sehingga wilayah ini selalu menjadi tempat keluarga inti

memimpin di kerajaan bawahan tersebut.

Wilayah Bali merupakan wilayah yang mendapat pengaruh kedua motif

hias tersebut sangat besar selain Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pengaruh ini tidak

menjadikan Bali di pimpin oleh keluarga inti raja Kerajaan Majapahit tetapi masih

menganggap sebagai keturunan langsung dari orang Majapahit. Tinggalan kedua

motif hias juga dijumpai di Palembang, Cirebon, dan Papua menunjukkan bahwa

pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit menjangkau daerah tersebut.

Daftar Pustaka

Bawono, RA dan Zuraidah. 2015. “Identifikasi dan Modifikasi Motif Hias pada Benda Cagar Budaya Periode Majapahit sebagai Desain Pengembangan

Page 13: SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN DENPASAR, 7.8 2O1 …

Usaha Batik”. Laporan Penelitian-Tahun Kedua. Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana

Bawono, RA dan Zuraidah. 2016. “Ragam Seni Hias Majapahit: Penciri Hasil Budaya Majapahit” disampaikan dalam Seminar Nasional Seri Bahasa, Sastra, dan Budaya di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana pada tanggal Senin, 29 Februari 2016

Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Jakarta: LKiS Yogyakarta.

Munandar, Agus Aris. 2008. Ibukota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu

Rangkuti, Nurhadi. 2012. “Batas Kota Majapahit”. Majapahit Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Hal: 4-21. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama, Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Kompas.

Sidomulyo, Hadi. 2007. Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Tim PATI I. 2011. Laporan Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia I. Jakarta: FIB UI.

Van der Hoop, A.N.J.Th. 1949. Ragam-ragam Perhiasan Indonesia. Koninklijk Bataviaasch Genootschap.

Page 14: SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN DENPASAR, 7.8 2O1 …

rsBr{ 9?8-602-294-143-9

llll il lt lilll]ilillllllt ililgttt B6OZ?ttg h1 43gtt

tldayana lJniversityPress