sengketa atas hak merek pierre cardin perancis...
TRANSCRIPT
SENGKETA ATAS HAK MEREK PIERRE CARDIN PERANCIS
DENGAN PIERRE CARDIN MILIK ALEXANDER SATRYO
(Analisis Putusan Pengadilan Niaga
Nomor 15/PDT.SUS-Merek/2015/PN Niaga JKT.PST)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
MUCHTAR RAMADHAN
NIM : 1112048000014
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/ 2018 M
v
ABSTRAK
Muchtar Ramadhan, “Sengketa Atas Hak Merek PIERRE CARDIN
Perancis dengan PIERRE CARDIN milik Alexander Satryo (Analisis
Putusan Nomor 15/PDT.SUS-Merek/2015/PN Niaga JKT.PST)”, Konsentrasi
Hukum Bisnis Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/2017 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap
suatu merek terkenal dan untuk mengetahui interpretasi hakim dalam
pertimbangan hukum dalam kasus PIERRE CARDIN PARIS dan PIERRE
CARDIN INDONESIA ini telah sesuai dengan ketentuan pada undang-undang
Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan
menggunakan metode pendekatan Perundang-undangan (statutory approach),
pendekatan kasus (case approach dan pendekatan konseptual (conseptual
approach). Pendekatan Perundang-undangan mengacu pada Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Sedangkan Pendekatan kasus adalah
pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah suatu kasus yang telah emnjadi
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum teteap.dalam hal ini Putusan MA
NO. 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Dan pendekatan konseptual beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu
hukum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Majelis Hakim dalam memutus
sengketa merek ini telah keliru dan kurang tepat, sebab terjadinya ketidaksesuaian
dengan fakta hukum dan alasan-alasan hukum yang dikemukakan dalam putusan
dengan kenyataannya. Pada hakikatnya Indonesia sebagai salah satu negara
anggota Konvensi Paris harus tunduk dengan peraturan yang berlaku, sehingga
merek terkenal yang belum terdaftar di Indonesia tetap mendapat perlindungan
hukum.
Kata Kunci : Persamaan pada pokoknya, Perlindungan merek Terkenal.
Daftar Pustaka : Dari Tahun 1977sampai 2013
Pembimbing : M.Yasir , S.H., M.H.
Ahamd Bachtiar , M.Hum.
vi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta memberikan segala petunjuk dan
kemudahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi Agung
Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan para umat-Nya.
Skripsi yang berjudul “SENGKETA ATAS HAK MEREK PIERRE
CARDIN PERANCIS DENGAN PIERRE CARDIN MILIK ALEXANDER
SATRYO WIBOWO (Analisis Putusan Pengadilan Niaga Nomor 15/Pdt.sus-
Merek/PN.NIAGA.JKT.PST/2015)” penulis susun untuk memenuhi
persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum pada Konsentrasi Hukum Bisnis
Program studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis sadari bahwa tanpa dukungan, bimbingan, nasihat dan motivasi
dari berbagai pihak, maka bukanlah hal yang mudah bagi penulis untuk menyusun
dan menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih
kepada Bapak :
1. Dr. Asep Saefudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Unversitas Islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, SH.,MH, dan Drs. Abu Thamrin, SH.,M. Hum
selaku Ketua Program Studi dan Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum
vii
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. M.Yasir S.H., M.H. , dan Achmad Bachtiar M.Hum dosen pembimbing yang
telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk mengarahkan dan memotivasi
selama membimbing penulis.
4. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang memberikan ilmunya kepada penulis.
5. Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Pimpinan Perpustakaan Utama
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
fasilitas buku-buku, jurnal dan sumber kepustakaan lainnya kepada penulis.
Serta Kepala dan Staf bagian Umum, Bagian Akademik dan seluruh civitas
akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Pihak-pihak yang telah berkontribusi khusunya Ibunda Dra. Mustareha dan
ayahanda Alm. Marianto yang telah memberikan nasihat, doa dan kasih
sayang yang luar biasa besar kepada penulis.Serta teman-teman seperjuangan
Feby Adelia Paramita Sari, Abdulatief Zainal, Nur Janah, Khairul Atma,
M.yusuf. Keluarga Besar Moot Court Community, HMPS Ilmu Hukum,
Bisnis Law Community (BLC) yang telah berbagi ilmu dan pengalaman
dengan penulis. Rekan-rekan Ilmu Hukum, Rekan kelas Konsentrasi Hukum
Bisnis 2012, Rekan Kelas Konsentrasi Hukum Kelembaga Negara angkatan
2012, kalian adalah rekan yang luar biasa. yang telah menemani pemulis
selama mencari ilmu di kampus ini, dan memberikan banyak bantuan selama
viii
penyusunan skripsi penulis serta memberikan semangat pantang mneyerah
hingga selesainya skripsi ini.
Penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan, motivasi dan doa yang
telah diberikan semua pihak. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikannya.
Alhirnya penulis dengan senang hati menerima segala teguran, kritik maupun
saran demi kesempurnaan karya ini.
Jakarta, Desember 2017
Penulis
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ ..ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ ..iii
LEMBAR PERNYATAAN................................................................................... ..iv
ABSTRAK .............................................................................................................. ..v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ..vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ..ix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... ..1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. ..1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... ..6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... ..8
D. Metode Penelitian ........................................................................... 15
E. Sistematika Penulisan ..................................................................... 19
BAB II TINJAUAN UMUM MEREK ........................................................... .21
A. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .............................................. ..9
B. Kerangka Teoretis .......................................................................... 11
C. Kerangka Konseptual ..................................................................... 13
D. Pengertian Merek ............................................................................ .21
E. Perkembangan Pengaturan Merek di Indonesia ............................. .23
F. Sistem Pendaftaran Merek .............................................................. .25
G. Penghapusan dan Pembatalan Merek ............................................. .26
BAB III MEREK TERKENAL DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA........................................................................................ .30
A. Pengertian Merel Terkenal ............................................................. .30
B. Ketentuan Merek Terkenal ............................................................. .35
C. Kasus-kasus Merek Terkenal ......................................................... .36
x
D. Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal .......................... .38
BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN NIAGA NOMOR 15/PDT.SUS-
MEREK/2015/PN.Niaga.JKT.PST ................................................... .43
A. Duduk Perkara ................................................................................ .43
B. Analisis Penulis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
Nomor 15/PDT.SUS-Merek/2015/PN.Niaga.JKT.PST ................. .50
BAB V PENUTUP ........................................................................................... .60
A. Kesimpulan ..................................................................................... .60
B. Rekomendasi .................................................................................. .60
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ .63
LAMPIRAN ........................................................................................................... 64
1. Putusan Pengadilan Niaga Nomor 15/Pdt.sus-
Merek/PN.NIAGA.JKT.PST/2015 ............................................................. 65
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan sesuatu hak yang
timbul dari kemampuan intelektual manusia dari berbagai bidang sehingga
menghasilkan barang dan/atau jasa yang bermanfaat bagi hallayak banyak.
HKI berhubungan erat dengan benda tidak berwujud serta melindungi karya
intelektual yang lahir dari cipta, rasa dan karsa manusia.1 HKI memiliki
beberapa cabang yang terdiri dari Hak Cipta, Hak Merek, Indikasi
Geografis, Desain Industri, Hak Paten, Tata letak (Topografi) Sirkuit
Terpadu dan Rahasia Dagang.2
Dalam era globalisasi saat ini, perkembangan perekonomian sangat
pesat. Kemajuan teknologi, komunikasi dan informasi sangat berpengaruh
bagi perkembangan perekonomian. Produk-produk yang ditawarkan dan
diproduksi menjadi lebih bervariasi, sehingga menimbulkan daya saing dan
kreativitas masyarakat. Kreativitas masyarakat mendorong keinginan untuk
memperdagangkan hasil produksinya melalui pengiklanan yang merujuk
pada mereknya. Merek dalam hal ini sangat penting dalam penentuan
kualitas barang atau produk yang ditawarkan oleh produsen kepada
1 Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Globa Sebuah Kajian
Kontemporerl, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010), h.1.
2 Tim Lindsey, dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung, PT.Alumni,
2013), h.3.
2
konsumen di pasaran. Merek sangat berperan penting dalam dunia
periklanan dan pemasaran karena publik sering mengaitkan suatu image,
kualitas atau reputasi barang dan/atau jasa dengan merek tertentu.3
Sesuai dengan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 Tentang Merek yang berbunyi: “Merek adalah tanda yang berupa
gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.4 Merek secara
umum berfungsi sebagai alat yang digunakan untuk mempromosikan barang
dan/atau jasa guna mencari dan memperluas pasarnya. Dalam insdustri
merek memiliki peran penting yaitu meningkatkan dan mensinergiskan
pertumbuhan industri yang sehat menguntungkan semua pihak.
Merek juga mempunyai peran penting bagi pemegang hak atas
mereknya, sama halnya dengan hak cipta dan hak paten maka merek juga
merupakan bagian dari HKI. Hak merek secara eksplisit disebut sebagai
benda imaterial dalam konsideran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek, bagian menimbang butir a, yang berbunyi:
“bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-
konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia,
3 Tim Lindsey, dkk, Hak Kekayan Intelektual, h.131.
4 C. S. T. Kansil, Hak Milik Intelektual, (Jakarta, Sinar Grafika, 1997), h. 150.
3
peranan mereka menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga
persaingan usaha yang sehat”.5
Perkembangan HKI saat ini tidak dapat dipisahkan dari organisasi
perdagangan dunia (WTO).6 Di Indonesia hukum hak kekayaan intelektual
memegang peranan yang vital bagi perlindungan terhadap penerapan suatu
ide yang memiliki nilai komersial sejak diratifikasinya standart
perlindungan yang ditetapkan Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights (TRIP’s) Agreement, di mana Indonesia adalah anggota atau
bagian di dalamnya.
Merek merupakan suatu tanda yang sangat penting dalam suatu penjualan
produk, karena masyarakat melihat suatu produk berdasarkan mereknya. Merek
yang sudah terkenal di pasar luas dianggap memiliki kualitas yang sangat tinggi
atau aman dikonsumsi untuk konsumen. Tahap perusahan menjadikan suatu merek
menjadi terkenal dan sangat diminati oleh konsumen menimbulkan banyak pesaing
yang beritikad tidak baik dengan cara melakukan persaingan usaha tidak sehat
seperti pemalsuan, peniruan, pembajakan produk bermerek dengan mendapatkan
keuntungan dagang yang sangat besar dengan waktu yang singkat.7
Merek bisa mengidentifikasi asal-usul barang dan/atau jasa sehingga
sangat penting sosialisasi dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual agar
masyarakat lebih sadar hukum khususnya dalam bidang kekayaan intelektualnya
5 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights),
(Jakarta, Pt.Raja Grafindo Persada, 2004), h.329. 6 Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI), h.26.
7 Tim Lindsey, dkk, Hak Kekayan Intelektual, h.132.
4
agar mampu melindungi kekayaan intelektual dari orang-orang yang beritikad
tidak baik, oleh karena itu merek sangat penting untuk didaftarkan.
Fungsi pendaftaran merek merupakan salah satu bukti bahwa seseorang
atau suatu badan hukum adalah pemilik sah dari merek tersebut, juga sebagai dasar
hukum untuk menolak permohonan pendaftaran merek dengan menggunakan
merek yang sama. Di Indonesia sistem pendaftaran hak kekayaan intektual adalah
“First to file” atau bisa disebut juga “First to registered” di mana siapa saja yang
lebih dahulu mendaftarkan mereknya ialah pemilik yang berhak menggunakan
merek yang disebut juga “hak ekslusif” yakni hak yang diberikan oleh negara
kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka
waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin
kepada pihak lain untuk menggunakannya.8
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek memuat segala hal
yang berkaitan dangan proses pendaftaran merek, mulai dari syarat dan tata cara
permohonan, pengalihan hak atas merek terdaftar, lisensi, penghapusan dan
pembatalan pendaftaran merek, penyelesaian sengketa merek hingga ketentuan
pidana.
Merek dapat didaftarkan harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang
telah diatur dalam Pasal 4, “merek tidak dapat didaftar atas permohonan yang
diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik”. Pasal 5, “Merek tidak dapat
didaftarkan apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur dibawah ini:
1) Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas
agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
8 Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia, (Jakarta,
Bhineka Cipta, 2008), h.12.
5
2) Tidak memiliki daya pembeda;
3) Telah menjadi milik umum;
4) Merupakan keterangan atau berkaitan denagan barang atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya”.9
Salah satu contoh yaitu sengketa antara merek ”PIERRE CARDIN”
milik PIERRE CARDIN ., dengan merek “PIERRE CARDIN” milik
Alexander Satryo Wibowo., dan Pemerintah Republik Indonesia., Cq.
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Cq.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. PIERRE CARDIN Perancis,
keberatan dengan adanya pendaftaran merek “PIERRE CARDIN” pada
kelas yang sama dengan sertifikat miliknya yang tentunya sangat
bertentangan dengan pasal 6 ayat (1) huruf a jo. Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang berbunyi “ mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan Merek pihak lain yang
sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang atau jasa yang sejenis.” Merek
milik penggugat merupakan merek terkenal yang sudah terdaftar di berbagai
negara. Untuk melindungi jenis barang yang tergolong dalam kelas 3.
Penggugat telah memiliki ketenaran yang beredar dan tersebar luas di
pasaran hampir seluruh wilayah Indonesia sejak Tahun 1960. Merek dagang
“PIERRE CARDIN” milik ALEXANDER SATRYO WIBOWO juga
terdaftar berdasarkan nomor IDM000234122 yang didaftarkan pada tanggal
9 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h.335.
6
22 Januari 2010 untuk melindungi jenis barang dengan kelas 3. Perbuatan
Tergugat yang telah mendaftarkan mereknya “PIERRE CARDIN” yang
terdapat persamaan pada pokoknya dengan merek “PIERRE CARDIN”
milik PIERRE CARDIN PERANCIS., merupakan sebuah perbuatan yang
mengandung itikad tidak baik yang juga membonceng, meniru serta
menjiplak ketenaran merek milik penggugat demi kepentingan usaha
Tergugat yang mengakibatkan kerugian bagi Penggugat atau menimbulkan
kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan
pelanggan/konsumen.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk
membahas dalam bentuk skripsi dengan judul “ SENGKETA MEREK
PIERRE CARDIN MILIK PIERRE CARDIN PERANCIS DENGAN
PIERRE CARDIN MILIK ALEXANDER SATRYO WIBOWO
(ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA Nomor 15/Pdt.Sus-
Merek/PN.NIAGA.JKT.PST/2015. dalam kasus PIERRE CARDIN
Melawan ALEXANDER SATRYO WIBOWO)”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka identifikasi
masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk konsep perlindungan merek di Indonesia?
2. Apa akibat dari dibatalkannya suatu kepemilikan merek?
7
3. Bagaimana proses pembatalan sebuah kepemilikan merek yang telah
terdaftar?
4. Bagaimana implementasi ketentuan Undang-Undang Nomor. 15 Tahun
2001 Tentang Merek terhadap pendaftar pertama merek ?
2. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya masalah dalam penelitian ini, peneliti
membatasi penelititian yang akan dilakukan hanya membahas hanya
penerapan perlindungan hukum terhadap pendaftar pertama (first to file)
hak merek dalam kaitannya dengan kasus sengketa merek antara
merek“PIERRE CARDIN” dengan “PIERRE CARDIN” milik
Alexander Satryo Wibowo yang telah diputus oleh Pengadilan NIaga
dalam putusan Nomor 15/Pdt.Sus-Merek/PN.NIAGA.JKT.PST/2015.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah
penulis kemukakan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut :
a. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap merek terkenal pada
sengketa merek antara merek “PIERRE CARDIN” dengan merek
“PIERRE CARDIN” ?
b. Bagaimana Pertimbangan Hakim Terhadap Persamaan Merek
PIERRE CARDIN dengan PIERRE CARDIN Pada Putusan
Pengadilan Niaga Nomor 15/Pdt.Sus-
8
Merek/PN.NIAGA.JKT.PST/2015. yang dimenangkan oleh PIERRE
CARDIN Milik Alexander Satryo Wibowo?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian adalah untuk medalami tentang
permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan
masalah. Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut :
a. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap pendaftar
pertama hak merek pada sengketa merek PIERRE CARDIN
Perancis dengan merek PIERRE CARDIN milik Alexander Satryo
Wibowo.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim terhadap persamaan
merek PIERRE CARDIN Perancis dengan PIERRE CARDIN pada
putusan Nomor 15/Pdt.Sus-Merek/PN.NIAGA.JKT.PST/2015.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dengan dilakukannya
penelitian ini secara umum penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dibidang hukum khususnya Hukum Bisnis dalam bidang
Hak Kekayaan Intelektual, utamanya mengenai segala aspek yang
menyangkut tentang merek.
9
a. Secara Teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan
penerapan perlindungan hukum bagi first to file atas suatu hak
merek di Indonesia menurut Undang-undang No. 15 Tahun 2001
Tentang Merek. Berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya masyarakat atau para pemegang hak atas suatu merek,
dan penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pemegang hak atas
suatu merek sebagai pendaftar pertama dalam mempertahankan
haknya
b. Secara Praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
manfaat untuk mengetahui penerapan perlindungan hukum bagi
pendaftar pertama atas suatu hak merek di Indonesia dan dapat
memberikan kejelasan dasar pertimbangan hakim Mahkamah
Agung dalam memutus perkaranya, sehingga dapat diketahui apakah
keputusan yang diambil sudah tepat.
D. Tinjauan (Review) dan Kajian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan judul dalam penelitian ini, penulis
telah melakukan penelusuran studi terdahulu yang berkaitan dengan
penelitian ini. Penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2015, disusun oleh Febyo Hartanto yang
berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Merek Dagang
Asing di Indonesia (Analisis Putusan Pengadilan Niaga Nomor :
69/PDT.SUS/Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst)”. Penulis di atas
10
membahas mengenai perlindungan merek dagang asing milik Advance
Beauty Systems Inc.(produk kecantikan) di Indonesia. Selain membahas
mengenai perlindungan merek dagang asing, dalam skripsi di atas juga
membahas mengenai perkembangan investasi asing di Indonesia. Di
mana jika perlindungan merek asing yang ada di Indonesia tidak
dilindungi secara tepat berdaarkan Undang-undang, maka hal tersebut
akan berpengaruh pula terhadap investasi asing terhadap Indonesia.
Sedangkan skripsi ini hanya membahas mengenai perlindungan hukum
terhadap pemegang merek dagang asing PIERRE CARDIN dimana
terdapat merek lain yang memiliki persamaan pada pokoknya atau
keseluruhan.
2. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2015, disusun oleh Clara Fenty Zahara yang
berjudul “ Persamaan Merek Cardinal dengan Cadinar (Analisis
Putusan MA Nomor 892 K/Pdt.Sus/2012 dalam kasus PT. Multi
Garmenjaya dengan PT. Gaisha Cahaya Mandiri)”. Penulis di atas
membahas mengenai persamaan merek dagang Cardinal dengan
Cadinar dimana menurut penulis kedua merek tersebut tidak
mempunyai persamaan keseluruhan. Sedangkan skripsi ini membahs
mengenai persamaan merek PIERRE CARDIN Internasional dengan
PIERRE CARDIN Indonesia di mana menurut penulis, kedua merek
tersebut memiliki persamaan secara keseluruhan. Perbedaan dari skripsi
diatas jelas terdapat pada objek penelitian dan pertimbangan hakim.
11
3. Buku karya Prof. Tim Lindsey, B.A., LL.B., Blitt, Ph.D, dkk yang
berjudul Hak Kekayaan Intelektual diterbitkan oleh PT. Alumni tahun
2013. Buku ini memberikan pengantar mengenai definisi merek, jangka
waktu perlindungan merek, dan merek terkenal..
4. Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 Nomor 3, Desember 2011
yang diulis oleh Nur Hidayati (staf pengajar teknik mesin Politeknik
Negeri Semarang) mengenai “Perlindungan Hukum pada Merek yang
Terdaftar”. Jurnal ini membahas lebih menyeluruh terhadap tindakan
passing off (penjiplakan) dalam suatu merek dan kajiannya lebih banyak
fokus pada dasar hukum passing off (penjiplakan) secara internasional.
Sedangkan skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum
terhadap merek terkenal yang terdaftar dan fokus pada dasar hukum
nasional.
E. Kerangka Teoretis
Teori hukum alam berpandangan bahwa, pencipta memiliki hak
moral untuk menikmati hasil ciptaannya termasuk didalamnya keuntungan
yang dihasilkan oleh keintelektualannya. Thomas Aquinas sebagai salah
satu pelopor hukum alam menyatakan bahwa hukum alam merupakan
hukum akal budi, hanya diperuntukkan bagi makhluk yang rasional.10
10 W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum-Telaah Atas Teori-Teori Hukum, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1993), h.140.
12
Robert S Smith mengemukakan teori yang berkaitan dengan jaminan
perlindungan hukum merek dan barang produksinya.11 Suatu merek
menyajikan fungsi perlindungan sebagai investasi dari pemilik merek
dengan itikad baik, dan melayani konsumen dengan suatu tanda yang mudah
dari sumber dan kualitas barang produksi dari label merek itu. Jaminan
keaslian barang produksi dari pemilik merek yang beritikad baik merupakan
suatu promosi untuk menghilangkan keraguan dari konsumen. Dengan
demikian, perlindungan merek menjadi fungsi utama dan sekaligus
melindungi konsumen dari membeli barang palsu.
F. Kerangka Konseptual
Agar tidak menimbulkan makna bias dari pengertian masing-masing
yang berkaitan dengan materi skripsi ini, maka konsepsi sangat diperlukan,
konsepsi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Merek
Definisi merek menurut Undang-Undang Merek Indonesia (Pasal 1
ayat (1)) merek didefinisikan sebagai sebuah tanda yang terdiri dari
gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa
2. Merek Dagang
11 Effendy Hasibuan, Perlindungan Merek Study Putusan Pengadilan Indonesia dan Amerika
Serikat,Jakarta,(Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal.18.
13
Merek dagang menurut Undang-Undang Merek Indonesia (Pasal 1
ayat (2)) didefinsiskan merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-
sama atau badan hukum untuk membedakan dengan berang-barang
sejenis lainnya.
3. Persamaan Pada Pokoknya
Persamaan Pada Pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh
adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek
yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik
mengenai bentuk, cara penempatan, cara penelitian atau kombinasi
antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam
merek-merek tersebut.12
4. Pelaku Usaha
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.
5. Persaingan Usaha Tidak Sehat
12 Ahmad Miru, Hukum Merek, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.16.
14
Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah persaingan antara pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang
dan atau jasa yang dilakukan tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha.
G. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan kosntruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis,
dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara
tertentu. Sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan
konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu
kerangka tertentu.13
Penelitian hukum merupakan kegiatn ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya,untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul dengan gejala yang
bersangkutan.14
13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. Ke-3, (Jakarta, Universitas
Indonesia Press, 1986), h.42.
14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian, .h.42.
15
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah
metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan
mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-
undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di
masyarakat atau juga menyangkut kebiasaan yang berlaku di
masyarakat.15
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu yuridis
normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case
approach dan pendekatan konseptual (conseptual approach).
Pendekataan perundang-undangan (statute approach) yaitu dilakukan
dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut-
paut dengan isu hukum yang akan dihadapi dan dipecahkan. Dalam
Pendekatan perundang-undangan ditujukan untuk mempelajari
kesesuaian dan konsistensi antara satu undang- undang dengan undang-
undang lainnya, atau antara undang- undang dengan Undang-Undang
dasar, atau antara regulasi dengan peraturan perundang-undangan.
Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normatif
bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah
15 Soerjono Seokanto dan Sri Mahmudji, Peranan dam Penggunaan Kepustakaan di Dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1997), h.18.
16
hukum yang dilakukan dalam parktik hukum. Terutama mengai kasus-
kasus yang telah diputus sebagaimana dapat dilihat dalam yurisprudensi
terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Jelas kasus
kasus yang telah terjadi bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian
normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran
terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam
praktik hukum, serta menggunakan hasil analisanya untuk bahan
masukan (input) dalam eksplanasi hukum.16
Pendekatan konseptual (conseptual approach) beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam
ilmu hukum.17
3. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritati yang
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi
perundang-undangan, catatan-catatan, dan putusan-putusan hakim. 18
Dalam penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah
Undang-Undang Nomor15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Putusan
Pengadilan Niaga Nomor 15/Pdt.Sus-
Merek/PN.NIAGA.JKT.PST/2015..
16 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif Edisi Revisi, (Malang:
Bayu Media Publising, 2007), h.321
17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008),h. 95.
18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 141.
17
b. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-
komentar atas putusan pengadilan.19
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang dipandang perlu20 seperti buku-buku merek.
4. Teknik Pengumpulan Data
Alat-alat pengumpulan data, pada umumnya dikenal tiga jenis alat
pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan
atau observasi, dan wawancar atau interview. Berdasarkan pendekatan
yang dipergunakan dalam memperoleh data, maka alat pengumpulan
data yang dipergunakan peneliti adalah studi kepustakaan.
Penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data
melalui studi kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan
penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang
berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual dan Merek.
5. Pengolahan dan Analisa Data
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan peneliti dalam penelitian yang
19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 141
20 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 143
18
lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang ada, sehingga pertanyaan atas
masalah dapat teruraikan dan terjawab.
6. Teknik Penyusunan
Skripsi ini disusun dengan teknis penelitian yang berpedoman pada
buku “Petunjuk Penelitian Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012”.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika skripsi ini terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab
terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti.
Adapun perinciannya sebagai berikut :
BAB I Pada bagian pertama, peneliti akan membahas mengenai
Pendahuluan, yang memuat: Latar Belakang Masalah,
dilanjutkan dengan Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review)
Kajian Terdahulu, Kerangka Teori dan Konseptual, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penelitian.
BAB II Bagian kedua, peneliti akan membahas mengenai Tinjauan
Hak Atas Merek, yang akan mengulas tentang Pengertian dan
Ruang Lingkup Merek, Pengaturan Merek di Indonesia, dan
Perolehan dan Pendaftaran Merek di Indonesia.
19
BAB III Bagian ketiga, pada bab ini peneliti akan membahas
mengenai Merk Terkenal
BAB IV Analisi Putusan, pada bab ini peneliti akan membahas
mengenai duduk perkara kasus PIERRE CARDIN milik
Perancis dengan PIERRE CARDIN milik Alexander Satryo
Wibowo.
BAB V Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran. Bab ini
merupakan bab terakhir dari penelitian skripsi ini, untuk itu
peneliti menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian,
disamping itu peneliti menengahkan beberapa saran yang
dianggap perlu.
20
DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA
Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing. 2007
Kansil, C.S.T. HAK MILIK INTELEKTUAL. Jakarta : SInar Grafika. 1997.
Lindsey, Tim. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung : PT. Alumni.
2013.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media.
2008.
Miru, Ahmad. HUKUM MEREK. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2006.
Saidin. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights).
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2004.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmudji. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di
Dalam Penelitian Hukum. Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas
Indonesia. 1997.
Soekanto, SoerjoNomor Pengantar Penelitian Hukum. Cet Ke-3. Jakarta :
Universitas Indonesia Press. 1986.
Supramono, Gatot. Menyelesaikan Sengketa merek Menurut Hukum Indonesia.
Jakarta : RinekaCipta. 2008.
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Jurnal
Hidayati, Nur, Perlindungan Hukum pada Meret yang Terdaftar, Ragam Jurnal
Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 3, Desember 2011.
20
BAB II
TINJAUAN UMUM MEREK
A. Pengertian Merek
Definisi tentang merek terdapat dalam ketentuan Pasal 1 butir 1
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yaitu; tanda yang
berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Selain beberapa batasan juridis yang sudah dipaparkan di atas,
beberapa sarjana juga memberikan pendapatnya mengenai merek, yaitu :
1. H.M.N. Purwo Sutjipto, S.H., memberikan pendapat bahwa,
“Merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu
dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang
sejenis”.1
2. Prof. R. Soekardono, S.H., memberikan pendapat bahwa, “
Merek adalah sebuah tanda (Jawa: ciri atau tenger) dengan mana
dipribadikan sebuah barang tertentu, di mana perlu juga
dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitetnya barang
1 H.M.N. Purwo Sutjipto, Pengertian Pokok-pokok Hukum Dagang Indonesia, (Djambatan
: 1984), h. 82.
21
dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat
atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan
perusahaan lain”.2
3. Mr. Tirtaamidjaya, memberikan pendapat, “Suatu merek pabrik
atau merek perniagaan adalah suatu tanda yang dibubuhkan di
atas barang atau di atas bungkusnya, gunanya membedakan
barang itu dengan barang-barang sejenis lainnya”. 3
4. Drs. Iur Soeryatin, memberikan pendapat, “ Suatu merek
dipergunakan untuk membedakan barang yang bersangkutan
dari barang sejenis lainnya oleh karena itu, barang yang
bersangkutan dengan diberi merek tadi mempunyai : tanda asal,
nama, jaminan terhadap mutunya”.4
5. Essel R. Dillavou (Sarjana Amerika Serikat), memberikan
pendapat, “ tidak ada definisi yang lengkap yang dapat diberikan
untuk suatu merek dagang, secara umum adalah suatu lambang,
simbol, tanda, perkataan atau susunan kata-kata di dalam bentuk
suatu etiket yang dikutip dan dipakai oleh seseorang pengusaha
atau distributor untuk menandakan barang-barang khususnya,
2 R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Cetakan ke-8, (Jakarta : Dian Rakyat,
1983), h. 149.
3 Mr. Tirtaamidjaya, Pokok-pokok Hukum Perniagaan, (Djambatan : 1962), h.80.
4 Suryatin, Hukum dagang I dan II, ( Jakarta : Pradnya Paramita, 1980), h. 84.
22
dan tidak ada orang lain mempunyai hak sah untuk memakai
desain atau trade mark menunjukkan keaslian.)
B. Perkembangan Pengaturan Merek di Indonesia
Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan jika terdapat
iklim persaingan usaha yang sehat, dalam hal ini merek memegang peranan
penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai.
Berdasarkan pertimbangan tersebut dan sejalan dengan perjanjian-
perjanjian Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia serta
pengalaman melakukan adminsitrasi merek, diperlukan penyempurnaan
Undang-undang Merek.
Pengaturan mengenai merek di Indonesia telah mengalami empat
kali perubahan dengan penggantian Undang-undang :
1. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek
Perusahaan dan Merek Perniagaan;
2. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Merek;
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Merek;
4. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.5
5. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan
Indikasi Geografis.
Terdapat beberapa hal pokok perubahan dan penambahan yang
dilakukan. Beberapa perbedaan yang menonjol dalam Undang-undang
5 Asian Law Group PtyLtd, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar Cet. 5, (Bandung
: Alumni, 2005) h.132.
23
Merek baru dibandingkan dengan Undang-undang Merek lama, antara lain
menyangkut proses penyelesaian permohonan. Dalam Undang-undang
baru, pemeriksaan substantif dilakukan setelah permohonan dinyatakan
memenuhi syarat secara administratif. Perubahan ini dimaksudkan agar
lebih cepat diketahui apakah permohonan tersebut disetujui atau ditolak.
Selanjutnya berkenaan dengan hak prioritas, dalam Undang-undang Merek
baru diatur bahwa jika pemohon tidak melengkapi bukti penerimaan
permohonan yang pertama kali menimbulkan hak prioritas dalam jangka
waktu tiga bulam setelah berakhirnya hak prioritas, permohonan tersebut
diproses seperti permohonan biasa tanpa menggunakan hak prioritas.
Hal lain berkenaan dengan ditolaknya permohonan yang merupakan
kerugian bagi pemohon. Perlu pengaturan yang dapat membantu pemohon
untuk mengetahui lebih jelas alasan penolakan permohonannya dengan
terlebih dahulu memberitahukan kepada pemohon bahwa permohonannya
akan ditolak. Selain perlindungan terhadap merek dagang dan merek jasa,
dalam Undang-undang merek baru juga diatur mengenai perlindungan
terhadap indikasi-geografis, yaitu tanda yang menunjukan daerah asal
barang karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam, manusia
atau kombinasi dari kedua faktor tersebut.
Mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan
perekonomian/dunia usaha, penyelesaian sengketa merek memerlukan
badan peradilan khusus yaitu Pengadilan Niaga sehingga diharapkan
sengketa merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat.
24
Dengan Undang-undang Merek baru terciptalah pengaturan merek
dalam satu naskah (single text) sehingga lebih memudahkan masyarakat
menggunakannya. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan dalam Undang-
undang Merek lama, yang substansinya tidak diubah, dituangkan kembali
dalam Undang-undang Merek baru.6
C. Sistem Pendaftaran Merek
Hak atas merek merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan
oleh pemiliknya, tanpa didaftarkan hak itu tidak akan timbul, karena hak itu
pada dasarnya diberikan oleh Negara atas dasar pendaftaran. Pendaftaran
merek bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum dan perlindungan
hukum terhadap hak atas merek. Hal ini berarti bahwa hak atas merek baru
lahir jika telah didaftarkan oleh pemiliknya ke kantor merek dalam hal ini
Direktorat Jemderal Hak Kekayaan Intelektual. Dengan demikian sifat
pendaftaran
Terdapat dua sistem pendaftaran merek yang dianut di Indonesia
yaitu sistem deklaratif dan sistem konstitutif, untuk Undang-undang Nomor
15 Tahun 2001 Tentang Merek sistem pendaftarannya menganut sistem
konstitutif, sama dengan Undang-undang sebelumnya yakni Undang-
undang Nomor 19 Tahun 1992 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997
Tentang Merek. Hal ini merupakan perubahan mendasar dalam Undang-
6 Ahmadi Miru, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang-undang Merek, ( Jakarta
: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h.2.
25
undang Merek Indonesia yang selalu menganut sistem deklaratif (Undang-
undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek). 7
Dalam sistem konstitutif, hak atas merek diperoleh melalui
pendaftaran artinya hak ekslusif atas suatu merek diberikan karena adanya
pendaftaran. Pada sistem konstitutif pendaftaran merek mutlak dilakukan
sehingga merek yang tidak didaftar tidak akan mendapat perlindungan
hukum.8 Sedangkan sistem deklaratif (first to use principle) menitik beratan
pada pemakaian pertama. Siapa yang memakai pertama suatu merek maka
pemakai pertama merupakan yang berhak menurut hukum atas merek yang
bersangkutan. Jadi pemakaian oertama yang menciptakan haka ats merek,
bukan karena adanya pendaftaran.9
D. Penghapusan dan Pembatalan Merek
Penghapusan dan pembatalan merek diatur dalam pasal 61 sampai
dengan 72 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Merek
terdaftar dapat dihapuskan karena adanya 4 kemungkinan yaitu:10
1. Atas Prakarsa Direktorat Jenderal HKI;
2. Atas permohonan dari pemilik merek yang bersangkutan;
7 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 362.
8 Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia, (Bnadung:alumni 2003), h. 331.
9 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h.363.
10 Ahmad M. Ramli, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual. (Jakarta: Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, 2013), h.3
26
3. Atas putusan Pengadilan berdasarkan gugatan penghapusan;
4. Tidak diperpanjang jangka waktu pendaftaran mereknya.
Penghapusan pendaftaran merek atas prakarsa Direktorat Jenderal
HKI dapat dilakukan apabila:
1. Merek terdaftar tidak digunakan selama 3(tiga) tahun berturut-turut
dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran
atau pemakaian terakhir,kecuali apabila ada alasan yang dapat
diterima oleh Direktorat Jenderal HKI, seperti larangan impor,
larangan yang berkaitan dengan izin peredaran barang yang
menggunakan merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak
yang berwenang yang bersifat sementara atau larangan serupa
lainnya yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
2. Merek digunakan untuk jenis barang dan/atau jasa yang tidak sesuai
dengan jenis barang dan atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya,
termasuk pemakaian merek yang tidak sesuai dengan merek yang
didaftarkan.
Untuk penghapusan pendaftaran merek akan dicatat dalam Daftar
Umum Merek serta diumumkan dalam Berita Resmi Merek, dan
penghapusan dan pendaftaran merek dilakukan oleh Direktorat Jenderal
dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek
dengan memberi catatan tentang alasan dan tanggal penghapusan merek
tersebut. Berdasarkan hal tersebut Direktorat Jenderal HKI akan
memberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau Kuasanya
27
dengan menyebutkan alasan penghapusan merek tersebut. Dengan demikian
penghapusan pendaftaran merek mengakibatkan berakhirnya perlindungan
hukum atas merek yang bersangkutan.
Begitu juga pada merek terdaftar dapat dibatalkan berdasarkan
putusan Pengadilan Niaga yang berkekuatan hukum tetap atas gugatan
pihak yang berkepentingan dengan alasan berdasarkan Pasal 4, Pasal 5 dan
pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 Tentang Merek.
Gugatan pembatalan pendaftaran merek hanya dapat diajukan dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran merek atau gugatan
pembatalan merek dapat diajukan tanpa batas waktu apabila merek yang
bersangkutan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau
ketertiban umum, sebagaimana termuat didalam Pasal 69 Undang- Undang
Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
Pembatalan Pendaftaran Merek dilakukan oleh Direktorat Jenderal
dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek
dengan memberi catatan tentang alasan dan tanggal pembatalan merek
tersebut. Kemudian pembatalan pendaftaran merek tersebut diberitahukan
secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya dengan menyebutkan
alasan pembatalan dan penegasan bahwa sejak tanggal pencoretan dari
Daftar Umum Merek, dan sertifikat merek yang berangkutan dinyatakan
tidak berlaku lagi. Untuk Pencoretan pendaftaran suatu merek dari Daftar
Umum Merek akan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Dengan
28
demikian pembatalan dan pencoretan pendaftaran merek mengakibatkan
berakhirnya perlindungan hukum atas merek yang bersangkutan.11
11 Ahmad M. Ramli, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta : Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republiik
Indonesia, 2013).
29
BAB III
MEREK TERKENAL DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA
A. Pengertian Merek Terkenal
Berdasarkan reputasi dan kemajuan suatu merek, merek dapat dibedakan
menjadi tiga jenis, yakni merek biasa(normal marks), merek terkenal (well-known
marks), dan merek termahsyur (famous marks). Merek biasa adalah tergolong tidak
memiliki reputasi tinggi. Merek yang berderajat biasa ini dianggap kurang memberi
pancaran simbolis gaya hidup yang baik dari segi pemakaian dan teknologi,
masyarakat konsumen melihat merek tersebut kualitas rendah. Merek ini dianggap
juga tidak memiliki drawing power yang mampu memberi sentuhan dan kekuatan
mitos sugesti kepada masyarakat konsumen, dan tidak mampu membentuk lapisan
pasar dan pemakai1.
Di atas merek biasa terdapat merek terkenal yakni merek yang memiliki
reputasi tinggi. Merek yang demikian itu memiliki kekuatan pancaran yang
membuka dan menarik, sehingga jenis barang apa saja yang berada di bawah merek
itu langsung menimbulkan sentuhan keakraban dan ikatan mitos kepada segala
1 M. Yahya Harahap, Tinjauan merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia
Berdasarkan Merek Terkenal Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992, (Bandung:
Citra Aditya Bakti,1996), h. 80-81.
30
lapisan konsumen2. Tingkat derajat merek yang tertinggi adalah merek termahsyur.
Sedemikian rupa mahsyurnya di seluruh dunia, mengakibatkan reputasinya
digolongkan menjadi " merek aristokrat dunia"3. Dalam kenyataannya sangatlah
sulit antara merek terkenal dan merek termasyhur. Kesulitan dalam penafsiran,
mengakibatkan kesulitan menentukan batas dan ukuran di antara keduanya. Jika
merek termasyhur didasarkan pada ukuran sangat terkenal dan sangat tinggi
reputasinya, besarnya ukuran seperti itu juga dimiliki oleh merek terkenal. Oleh
karena itu, bagi yang mencoba membuat definisi merek termasyhur besar sekali
kemungkinannya akan terjebak dengan perumusan yang tumpang tindih dengan
definisi merek terkenal
1. Pengertian Merek Terkenal Munurut Konvensi Paris
Paris Convention for The Protection of Industrial Property, yang dikenal
dengan sebutan Paris Convention merupakan hasil Konferensi Paris yang
ditandatangani pada 20 Maret 1883 oleh mulanya 11 negara. Hingga saat ini,
Paris Convention telah mengalami tujuh kali perubahan. Dalam konvensi
tersebut, pengaturan tentang merek terkenal termuat dalam Pasal 6bis ayat (1)
Konvensi Paris yang menyatakan bahwa:
“Negara anggota dari Paris Union ini menerima secara ex officio, jika
perundang-undangan mereka membolehkan, atau atas permohonan
daripada pihak yang berkepentingan, untuk menolak atau membatalkan
pendaftaran dan juga melarang pemakaian daripada suatu merek yang
merupakan suatu reproduksi, imitasi atau penerjemahan yang dapat
2 M. Yahya Harahap, Tinjauan merek Secara Umum dan Hukum Merek, h.82-83.
3 M. Yahya Harahap, Tinjauan merek Secara Umum dan Hukum Merek, h.85.
31
menimbulkan kekeliruan (to create confusion) dari suatu merek yang
telah dianggap oleh “Competent Authority” (instansi yang berwenang)
daripada negara di mana merek ini didaftarkan atau dipakai, sebagai
merek terkenal (well-known), di dalam negara itu, yakni sebagai suatu
merek dari seorang yang berhak atas fasilitas menurut Konvensi Paris ini
dan dipakai untuk barang-barang yang sama atau identik. Ketentuan ini
juga berlaku apabila sebagian essential (utama) daripada merek
bersangkutan ini merupakan suatu reproduksi daripada sesuatu merek
terkenal atau suatu imitasi yang mungkin menimbulkan kekacauan.”
2. Pengertian Merek Terkenal Menurut Perjanjian TRIP’s
TRIPs Agreement mengatur merek terkenal dalam Pasal 16 ayat (2) yang
menyatakan bahwa Pasal 6bis Konvensi Paris 1967 akan berlaku, mutatis
mutandis juga untuk merek atas jasa. Untuk menentukan apakah suatu merek
adalah merek terkenal, harus dipertimbangkan pengetahuan masyarakat
terhadap merek tersebut dalam lingkungan yang relevan, termasuk
pengetahuan di dalam negara anggota itu yang diperoleh sebagai hasil dari
promosi atas merek bersangkutan4.
Merek terkenal, dalam Pasal 16 ayat (3) diatur agar dapat diberlakukan
juga terhadap barang atau jasa yang tidak sama dengan barang yang mereknya
didaftar dengan ketentuan bahwa penggunaan merek dagang dalam kaitan
dengan barang atau jasa tersebut menunjukkan adanya hubungan antara barang
atau jasa tersebut dengan barang yang merek dagangnya terdaftar dan dengan
ketentuan pula bahwa kepentingan pemilik merek terdaftar terganggu oleh
4 Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Pembaruan Hukum Merek Indonesia (Dalam
Rangka WTO, TRIPS), Cetakan ke-1, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), h.45-46.
32
penggunaan itu5. di sini terlihat bahwa pengaturan mengenai perlindungan atas
merek terkenal dalam TRIPs Agreement memperluas pengaturan dalam Paris
Convention yaitu dengan memasukkan barang-barang tidak sejenis dengan
syarat-syarat tertentu6.
3. Pengertian Merek Terkenal Menurut Undang-undang
Perlindungan terhadap Merek Terkenal dalam UU No. 15 Tahun 2001
Tentang Merek (selanjutnya disebut sebagai “UU Merek 15/2001”) dapat
dilihat dari adanya pengakuan atas hak prioritas yang dimiliki
pemegang/pemilik merek terkenal. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 37
ayat (2) yang bunyinya:
“Permohonan perpanjangan ditolak oleh Direktorat Jenderal, apabila Merek
tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan Merek terkenal milik orang lain, dengan memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan ayat (2).”
Pasal 6 ayat (1) huruf b jo. Pasal 6 ayat (2) mengatur bahwa
permohonan pendaftaran merek harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila
merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa
sejenis dan barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi
persyaratan tertentu yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
5 Achmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual Paca TRIP’s, Cetakan ke-1,(Bandung: PT.
Alumni,2005), h.73
6 Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Pembaruan Hukum Merek Indonesia, ,h.46
33
Selanjutnya di bagian Penjelasan UU Merek 15/2001 diuraikan
penjelasan lebih lanjut Pasal 6 ayat (1) huruf b sebagai berikut:
“Penolakan permohonan yang mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhan dengan Merek Terkenal untuk barang
dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan
pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang
usaha yang bersangkutan. Di samping itu, diperhatikan pula reputasi
Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan
besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan
oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di
beberapa negara. Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup,
Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat
mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan
mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar
penolakan.”
Dari penjelasan ini terlihat bahwa UU Merek 15/2001 telah mengadopsi
pengaturan bagi perlindungan terhadap merek terkenal baik dari Paris
Convention maupun TRIPs Agreement. Selain itu, dari Penjelasan Pasal 6
ayat (1) huruf b tersebut dapat dilihat bahwa suatu merek dapat dikatakan
sebagai merek terkenal adalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut;
b. Reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar
dan besar-besaran;
c. Investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh
pemiliknya; dan
d. Memperhatikan pula bukti pendaftaaran Merek tersebut di beberapa
negara.
34
Dari beberapa pengertian Merek terkenal diatas baik menurut
Konvensi Paris, Perjanjian TRIPs, dan menurut Undang-undang peneliti
menyimpulan Merek terkenal adalah merek yang sudah diketahui oleh
masyarakat banyak baik di negara itu sendiri maupun internasional karena
promosi yang gencar dan besar diberbagai negara.
B. Ketentuan Merek Terkenal
Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001 tidak secara gamblang
menyatakan pengertian dari merek terkenal. Tapi dalam Penjelasan Pasal 6
ayat (1) huruf b secara ekplisit dijabarkan bahwa sebuah merek merupakan
merek terkenal dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat
mengenai merek tersebut di bidang usaha bersangkutan, memperhatikan
reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan
besar-besaran, investasi di berbagai negara di dunia yang dilakukan oleh
pemiliknya yang disertai bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa
negara. Dan bila semua hal-hal tersebut belum dianggap cukup, Pengadilan
Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk
melakukan survey untuk memperoleh kesimpulan apakah suatu merek
terkenal atau tidak.
Sebagai tambahan pengaturan tentang merek terkenal, General
Assembly of World Intellectual Property Organization (WIPO) dan The
Assembly of Paris Union for the Protection on industrial Property pada
September 1999 mengadopsi Joint Recommendation Concerning
35
Provisions on the Protection of Well-known Marks (selanjutnya akan
disebut sebagai Joint Recommendation). Pasal 2 Joint Recommendation ini
memberikan pedoman bagi instansi berwenang negara peserta WIPO dan
Paris Union dalam menentukan suatu merek sebagai merek terkenal atau
bukan yaitu dengan melihat faktor-faktor sebagai berikut:
“(1) The degree of knowledge or recognition of the mark in a
relevant sector of the public; (2) The duration, extent and
geographical area of any use of the mark; (3) The duration, extent
and geographical area of any promotion of the mark, including
advertising or publicity and the presentation, at fairs or exhibitions,
of the goods and/or services to which the mark applies; (4) The
duration and the geographical area of any registrations, and/ or any
applications of the mark, to the extent that they reflect use or
recognition of the mark; (5) The record of successful enforcement of
rights in the mark, in particular, the extent to which the mark was
recognised as well known by competent authorities; (6) The value
associated with the mark.”
Namun faktor-faktor tersebut dapat diterapkan sebagian atau seluruhnya,
tergantung kasus per kasus. Dalam kasus tertentu bisa saja memerlukan
pemenuhan semua faktor, dan dalam kasus lainnya bisa saja dengan hanya
beberapa faktor sudah dapat membuktikan bahwa suatu merek merupakan
merek terkenal.
Disimpulkan dari pasal tersebut bahwa suatu merek dapat dikatakan
sebagai Merek Terkenal dengan memperhatikan:
a. Pandangan masyarakat;
b. Reputasi merek yang diperoleh melalui promosi;
c. Kriteria Merek Terkenal menurut Konvensi Paris.
C. Kasus-kasus Merek Terkenal
36
1. Kasus Sengketa Merek NIKE
Kasus Nike putusan MARI No.220 PK/PDT/1986, merk
Nike merupakan merk untuk sepatu, tas,, baju yang telah terkenal,
suatu waktu pemilik sah merk Nike dilanggar haknya walaupun
merek tersebut belum didaftarkan di dalam yurisdiksi Indonesia
sehingga ketika terjadi pendaftaran merek tersebut di Indonesia oleh
pihak yang tidak berhak, maka pemilik tersebut memperoleh
perlindungan hukum walaupun belum diatur secara spesifik dalam
peraturan perundang-undangan namun tidak lantas membuat
pengadilan berpangku tangan begitu saja, karena dengan terdapatnya
yurisprudensi terhadap beberapa kasus merek, hal tersebut dirasa
dapat menjadi rujukan yang jauh lebih maju dalam rangka
memberikan perlindungan hukum terhadap merek terkenal
dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan.
2. Kasus Sengketa Merek GIORDANO
Kasus merk Giordano, merek ini didaftarkan di Hongkong
oleh Giordano Ltd karena memiliki pangsa pasar yang luas di banyak
negara, merk Giordano kemudian memperoleh predikat sebagai
merek terkenal. Dalam perkembangannya ada Seorang warga negara
Indonesia Woe Budi Hernanto yang mendaftarkan merk Giordano
kepada Direktorat merek Indonesia. Pemilik merk Giordano
(giordano LTD) yang belum mendaftarkan merek ke ke Direktorat
37
merek Indonesia, kemudian mengajukan gugatan pembatalan
terhadap merk Giordano yang mendaftar yang didaftarkan oleh Woe
Budi Herna Hermanto tersebut. Dalam kasus ini Mahkamah Agung
mempertimbangkan maka atas ini Paris Pasal 6 bis dan pasal 8
permohonan peninjauan kembali berhak atas perlindungan
mereknya tanpa kewajiban untuk mendaftarkan di Indonesia cara
membuat (putusan MARI No. 426/PK/PDT/1994).
D. Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal
1. Perlindungan Hukum Preventif
a. Pendaftaran Merek
Dua sistem pendaftaran merek yang dianut di Indonesia yaitu sistem
deklaratif dan sistem konstitutif, untuk Undang-undang Nomor 15 Tahun
2001 Tentang Merek sistem pendaftarannya menganut sistem konstitutif,
sama dengan Undang-undang sebelumnya yakni Undang-undang Nomor 19
Tahun 1992 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Merek.
Hal ini merupakan perubahan mendasar dalam Undang-undang Merek
Indonesia yang selalu menganut sistem deklaratif (Undang-undang Nomor
21 Tahun 1961 Tentang Merek). 7
Dalam sistem konstitutif, hak atas merek diperoleh melalui
pendaftaran artinya hak ekslusif atas suatu merek diberikan karena adanya
7 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h. 362.
38
pendaftaran. Pada sistem konstitutif pendaftaran merek mutlak dilakukan
sehingga merek yang tidak didaftar tidak akan mendapat perlindungan
hukum.8 Sedangkan sistem deklaratif (first to use principle) menitik beratan
pada pemakaian pertama. Siapa yang memakai pertama suatu merek maka
pemakai pertama merupakan yang berhak menurut hukum atas merek yang
bersangkutan. Jadi pemakaian oertama yang menciptakan haka ats merek,
bukan karena adanya pendaftaran.9
b. Lisensi
Lisensi merupakan institusi yang disediakan hokum dalam
rangka kemudahan bagi seseorang untuk mengeksploitasi secara ekonomis
suatu hak milik atas benda-benda tidak berwujud (intangible property) tanpa
yang bersangkutan harus kehilangan control eksklusif atas kepemilikan
bendanya.10 Dalam hak atas merek terdapat dua jenis hak eksklusif yang
dapat digunakan atau dieksploitasi oleh si pemilik hak atas merek, yaitu
menggunakan sendiri mereknya untuk perdagangan atau memberikan izin
kepada pihak lain untuk menggunakannya dalam kegiatan perdagangan
(Pasal 3 jo. Pasl 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001). Cara
yang terakhir disebut dengan lisensi.
8 Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia, (Bnadung:alumni 2003), h. 331.
9 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, h.363.
10 Titon Slamet kurnia S.H., M.H., Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di
Indonesia Pasca Perjanjian TRIPs, (Bandung: PT. Alumni,2011), h.169.
39
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar
kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pemberian hak
(bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk
seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam
jangka waktu dans yarat tertentu (Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor
15 Tahun 2001).11
Dalam lisensi merek, hubungan hukum antara licensor dan
licensee pada hakikatnya merupakan suatu bentuk kontrak atau perjanjian.
Sehingga lisensi merek pada hakikatnya bersifat sukarela sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak, hal ini sesuai dengan Pasal 21 perjanjian TRIP’s.12
suatu merek yang sangat baik akan memberikan goodwill kepada
perusahaan. Oleh karena itu, goodwill yang terkandung dalam merek
tersebut akan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi jika mampu di
eksploitasi leih lanjut oleh pemiliknya tidak cukup hanya dengan
pengguanaan oleh dirinya sendiri tetapi juga dengan memberikan
kesempatan bagi pihak lain untuk menggunakan merek tersebut.
2. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum Represif adalah perlindungan yang
dilakukan untuk menyelesaikan atau menanggulangi suatu peristiwa
atau kejadian yang terjadi, yaitu berupa pelanggaran hak atas merek.
11 Titon Slamet kurnia, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca
Perjanjian TRIPs, (Bandung: PT. Alumni,2011), h.169.
12 Titon Slamet kurnia., Perlindungan Hukum Terhadap Merek, h.171.
40
Tentunya dengan demikian peranan lebih besar berada pada lembaga
peradilan dan aparat penegak hukum lainnya seperti kepolisian,
Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan kejaksaan untuk
melakukan penindakan terhadap pelanggaran merek.13
Perlindungan secara represif dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Perlindungan melalui Hukum Perdata
Pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap
orang atau badan hukum yang menggunakan mereknya; yang
mempunyai persamaan; baik pada pokoknya ataupun
keseluruhannya secara tanpa hak, berupa permohonan ganti rugi
dengan penghentian pemakaian merek tersebut (Pasal 76 ayat
(1) b Undang-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek)
diajukan melalui Pengadilan Niaga.14
2) Perlindungan melalui Hukum Pidana
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang berhubungan
dengan merek, diantaranya, diatur dalam Pasal 253-262
KUHP15.
13 Jisia Mamahit, Perlindungan Hukum Atas Merek Dalam Perdagangan Barang dan Jasa
“Lex Privatum,I,3 (Juli,2013), h.98
14 Muhammad Djumahadan R.Djubaedilah, Hak Milik Intelektual, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2014), h.270
15 Muhammad Djumahadan R.Djubaedilah, Hak Milik Intelektual, h.272.
41
Sanksi pidana diatur juga dalam Undang-undang No.15
Tahun 2001 Tentang Merek pada Pasal 90-95.Ketentuan Pasal
90 mengecam setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan
merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa
sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling
banyak Rp.1.000.000.000,00, adapun menurut pasal 91 memuat
ketentuan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa
hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan
merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa
sejenis yang diproduksi atau diperdagangkan, diancam dengan
pidana penjara paling lama 4 tahun penjara dan/atau denda
paling banyak Rp.800.000.000,00.
3) Perlindungan melalui Administrasi Negara
Apabila terjadi pelanggaran terhadap hak intelektual, negara
bisa juga menggunakan kekuasaannya untuk melindungi
pemilik hak yang sah. Penggunaan kekuasaan negara tersebut
melalui pabean, standar industry, kewenangan badan penyiaran,
dan kewenangana pengawas standar periklanan16.
16 Muhammad Djumahadan R.Djubaedilah, Hak Milik Intelektual, h.276
42
BAB IV
ANALISA PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN NIAGA NOMOR 15/PDT.SUS-
Merek/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst
A. Duduk Perkara
Kasus merek antara PIERRE CARDIN yang beralamat di 59, rue
du Faubourg Saint-Honore, F-75008, Paris, Perancis. Dalam hal ini
memberikan kuasa kepada Ludiyanto, S.H., M.H., M.M., dan kawan-
kawan, Para Advokat yang beralamat di Jalan Hayam Wuruk Nomor 3 (i &
j) Jakarta Pusat, disebut sebagai Penggugat. Melawan ALEXANDER
SATRYO WIBOWO yang beralamat di Jalan Kayu Putih Utara B/10,
Jakarta Timur. Dalam hal ini memberi kuasa kepada P. Heru Tumbelaka,
S.H dan kawan-kawan Advokat yang beralamat di The East Building, Lantai
12, Jalan Lingkar Mega Kuningan, Kavling E.3.2 Nomor 1, Jakarta Selatan,
disebut sebagai Termohon dahulu Tergugat.
Bermula disaat Penggugat menggugat Tergugat melalui Pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diakhiri dengan Amar
Putusan Nomor 15/PDT.SUS-Merek/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst yang
menyebutkan bahwa menolak Gugatan Penggugat untuk seluruhnya dan
menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.
731.000,- (Tujuh Ratus Tiga Puluh Satu Ribu Rupiah). Dengan adanya
Amar Putusan tersebut Penggugat merasa keberatan dan merasa kurang
43
puas menerima hasil Putusan tersebut. Akhirnya melalui Kuasa Hukumnya,
pihak Penggugat/Pemohon Kasasi melakukan pengajuan ke Mahkamah
Agung Republik Indonesia dengan menggugat Tergugat/Termohon Kasasi
dengan maksud untuk menjelaskan dan menyatakan keberatan serta
ketidakpuasan terhadap Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Sebelumnya.
PIERRE CARDIN adalah nama seorang perancang busana
(designer) asal Perancis. Nama PIERRE CARDIN sangat terkenal
diberbagai kalangan masyarakat konsumen di berbagai negara.
Keterkenalan PIERRE CARDIN sebagai perancag busana sudah dimulai
sejak tahun 1950-an. PIERRE CARDIN/Penggugat tercatat sebagai
perancang busana pertama yang mengadakan Tour ke Jepang serta menjual
produknya pada tahun 1960-an. Merek dagang PIERRE CARDIN dan
merek dagang LOGO PIERRE CARDIN mulai digunakan sejak awal Maret
tahun 1974 untuk melindungi beberapa jenis barang dalam kelas : 3, 6, 5, 8,
9, 10. 11, 14, 16, 17, 18, 20, 21, 24, 25, 33. Untuk jenis barang dalam kelas
3 diantaranya kosmetik dan parfum.
Merek dagang PIERRE CARDIN dan merek dagang LOGO
PIERRE CARDIN telah didaftarkan, diperdagangkan dan dipromosikan di
beberapa negara diseluruh dunia termasuk di Indonesia. Merek dagang
PIERRE CARDIN dan LOGO PIERRE CARDIN terdaftar pada Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual – Direktotrat Merek untuk berbagai jenis
barang, diantaranya jenis barang termasuk dalam kelas 3, 9, 10, 12, 16, 18,
44
20, 21, 24, 23, 25, 30, 32, 33, 34. Merek dagang PIERRE CARDIN dan
LOGO PIERRE CARDIN atas nama Penggugat telah terdaftar dan masih
dalam proses permohonan pendaftaran pada kantor Direktorat Merek –
Ditjen HKI:
a. Merek Dagang PIERRE CARDIN kelas 3 di bawah Daftar
Nomor IDM000192198 yang diperpanjang dengan Nomor
R002008005130 tanggal 6 Februari 2009;
b. Permohonan pendaftaran Merek dagang PIERRE CARDIN
Agenda Nomor D00.2014.051659 kelas 3 tanggal 11 November
2014;
c. Permohonan pendaftaran Merek Dagang LOGO PIERRE
CARDIN Agenda Nomor D00.2014.051658 kelas 3 tanggal 11
November 2014;
ALEXANDER SATRYO WIBOWO/Tergugat telah mendaftarkan
mereknya kepada Tergugat II yang memiliki persamaan pada pokoknya
maupun keseluruhan dengan merek dagang PIERRE CARDIN dan LOGO
PIERRE CARDIN milik Penggugat, antara lain:
a. Merek Dagang (Merek Dagang PIERRE CARDIN Daftar
Nomor IDM000223196) tanggal 28 April 2010 untuk
melindungi jenis barang kelas 03, antara lain: kosmetik yaitu
minyak rambut, bedak cream, shampoo, sabun, parfum,
deodoran, bodu parfum dan body lotion.
45
b. Merek Dagang (Merek Dagang PIERRE CARDIN + LOGO
Daftar Nomor IDM000234122) tanggal 22 Januari 2010 untuk
melindungi jenis barang yang tergolong dalam kelas 03, antara
lain: kosmetik, yaitu minyak rambut, bedak, cream, shampoo,
sabun, deodoran, kosmetik badan, lotion untuk keperluan
kosmetik dan parfum.
c. Merek Dagang (Merek Dagang PIERRE CARDIN + LOGO
PIERRE CARDIN Daftar Nomor IDM000028783) tanggal 31
Januari 2005 untuk melindungi jenis barang yang tergolong
dalam kelas 03, antara lain: kosmetik yaitu, minyak rambut,
bedak, cream, shampoo, sabun.
d. Merek Dagang (Merek Dagang PIERRE CARDIN + LOGO P
Daftar Nomor IDM000199948) tanggal 31 Maret 2009 untuk
melindungi jenis barang yang tergolong dalam kelas 03, antara
lain: "segala macam kosmetika, yaitu: Bedak untuk wanita dan
anak-anak, wangi-wangian/ minyak wangi, minyak rambut,
shampoo, minyak-minyak Sari kosmetika, kosmetika, kutek
kuku, cat rambut, lotion / rambut lotion kulit, kapas kecantikan,
deodoran stick dan hairspray rambut, parfum parfum, cairan eau
de cologne, pemerah pipi bahan cairan perapih rambut, celak
mata, penghitam alis, bahan-bahan pemelihara gigi, sediaan
sediaan untuk memutihkan dan mencuci, membersihkan
mengkilatkan, membuang lemak dan menggosok, sabun sabun,
46
sabun mandi, sabun cuci, sabun cuci cair, sabun batangan, sabun
krim, sabun bubuk, minyak rambut, pasta gigi, maskara, politer,
kertas Amplas, tisu wangi basah, hio, dupa kemenyan, belau
cuci, shampoo, lipstik pemerah kuku, pensil alis, krim-krim
kulit, cream cream muka, kapas kecantikan, eyeshadow,
pemerah pipi,parfum, kertas tisu wangi basah, minyak Sari, kain
Amplas, kertas Amplas, bahan kikis, odol, pasta gigi perekat
untuk menempelkan rambut rambut palsu, bahan perekat untuk
keperluan kosmetik, lotion untuk dipakai setelah bercukur, batu
tawas, abu gunung berapi untuk pembersih saribuah badan,
bahan pewarna rambut dan jenggot, minyak bergamot, bahan
pewarna untuk keperluan hias rias, sediaan penghilang warna,
parfum, parfum cairan eau de cologne, bubuk wangi anti bau
badan, bahan cairan terapi rambut, permata, penghitam alis, batu
tawas, amoniak, sabun anti keringat, sabun gosok, sabun untuk
mencuci, sabun colek, sabun deterjen, aromatic, soda pemutih,
kapur pembersih, semir sepatu boot, kapas untuk keperluan
kosmetik, krim kosmetik, krim pemutih kulit, krim untuk kulit
hewan, sabun deodoran, deodoran untuk pemakaian pribadi, air
lavender, air Javel, sediaan rias muka, pelembut kain, minyak
untuk keperluan pembersih, tisu diresapi lotion kosmetik, sabun
yang mengandung obat, kayu wangi untuk kosmetik, bubuk
poles, ban bunga kering dengan rempah, pomade untuk
47
keperluan kosmetik, lilin penggosok, air wangi, sediaan untuk
menghilangkan terak untuk keperluan rumah tangga, saprol, kain
penggosok, kulit kayu kwilaila untuk mencuci, pasta untuk
mengasah pisau cukur, batu apung, kantong-kantong pewangi
kain linen, serbuk halus berwarna merah jambu untuk
penggosok, cairan pembersih kaca depan mobil, bubuk kapur
halus, perekat untuk menempelkan rambut palsu, semprot
rambut kosmetika, kanji untuk keperluan mengkilapkan pakaian,
batu tripoli untuk menggosok, bedak talk untuk keperluan
kebersihan badan, kapas kosmetik, pembersih gigi, pemerah
gigi, deodoran stick".
Dengan adanya pendaftaran Merek PIERRE CARDIN milik
Tergugat yang melindungi jenis barang dalam kelas 03 yaitu kosmetik yaitu
minyak rambut, bedak, cream, shampoo, sabun, parfum, deodoran, bodu
parfum dan body lotion, Penggugat merasa sangat keberatan dikarenakan
adanya kesamaan antara merek milik Tergugat dengan merek milik
Penggugat. Terdapat persamaan pada pokoknya dan secara keseluruhan
antara kedua merek tersebut. Persamaan antara merek milik Penggugat
dengan merek Tergugat sebagai berikut :
a. Pengucapan :
Pengucapan pada Merek “PIERRE CARDIN” milik PIERRE
CARDIN Paris/Penggugat sama pada pokoknya dan keseluruhan
dengan Merek “PIERRE CARDIN” milik ALEXANDER
48
SATRYO WIBOWO/Tergugat. Kata yang terkandung dalam
kedua merek tersebut apabila diucapkan sama persis dan tidak
ada perbedan. Penempatan huruf yang digunakan sama diawali
dengan huruf “P” dan diakhiri dengan huruf “N”.
b. Visual :
PIERRE CARDIN Paris PIERRE CARDIN Indonesia
Logo PIERRE CARDIN Paris dan PIERRE CARDIN Indonesia
juga terlihat memiliki persamaan dari segi bentuk logo merek
dimana sama-sama menyerupi huruf “P” yang memiliki
lengkungan dibagian atas.
c. Jenis barang yang dilindungi :
PIERRE CARDIN Paris Kosmetik dan parfum
PIERRE CARDIN Indonesia kosmetik yaitu minyak
rambut, bedak, cream,
shampoo, sabun, parfum,
deodoran, body parfum dan
body lotion.
Dengan adanya kriteria persamaan merek sesuai pasal 4 Undang-
undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, adanya pendaftaran merek
yang dilakukan oleh Tergugat/ ALEXANDER SATRYO WIBOWO harus
49
dibatalkan karena adanya itikad tidak baik yang dilakukan oleh Tergugat
dalam mendaftarkan mereknya.
B. Analisa Penulis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
15/PDT.SUS-Merek/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst.
Dalam melakukan analisa, penulis menggunakan Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-undang Nomor 20 tahun
2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Adapun alasan penulis
menggunakan dua (2) undang-undang tersebut dikarenakan sengketa hak
merek PIERRE CARDIN ini diputus pada tahun 2015 sedangkan saat ini
telah disahkannya undang-undang merek dan indikasi geografis terbaru
yakni Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016.
1. Tentang Penggunaan Kata dalam Merek PIERRE CARDIN
Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam Memutuskan Perkara
Merek antara PIERRE CARDIN Paris dan PIERRE CARDIN Indonesia
menimbang, bahwa kata PIERRE CARDIN dan logo PIERRE CARDIN
yang bukan merupakan kata biasa maupun logo umum/ lazim digunakan
dalam pergaulan/ percakapan Bangsa Indonesia, akan tetapi haruslah di
pertimbangkan bahwa penggunaan kata dan logo tersebut dilandasai
iktikad tidak baik.
Menurut Penulis pertimbangan hakim mengenai kata dan logo
yang digunakan oleh PIERRE CARDIN Indonesia milik Tergugat sudah
tepat, dengan alasan memiliki iktikad tidak baik (bad faith), karena kata
50
PIERRE CARDIN merupakan istilah asing dan juga nama seorang
perancang (designer) di Paris, Perancis. Tergugat menggunakan unsur
huruf dan kata yang sama persis pada Merek milik Tergugat yakni P-I-
E-R-R-E C-A-R-D-I-N. hal ini sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang
No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek yakni ”Merek tidak dapat didaftar
atas dasar permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang beriktikad
tidak baik”. Adapun maksud dari pemohon yang berutikad tidak baik
adalah Pemohon yang mendaftarkan Mereknya secara layak dan jujur
tanpa ada niat apapun untuk membonceng,meniru atau menjiplak
ketenaran Merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat
kerugian pihak lain itu atau menimbulkan kondisi pesaingan curang,
mengecoh atau menyesatkan konsumen. Pernyataan Pasal 4 tersebut di
perkuat dengan penjelasan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis Yang dimaksud
dengan "Pemohon yang beriktikad tidak baik" adalah Pemohon yang
patut diduga dalam mendaftarkan Mereknya memiliki niat untuk meniru,
menjiplak, atau mengikuti Merek pihak lain demi kepentingan usahanya
menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau
menyesatkan konsumen. Jika kita merujuk kepada pasal 6 Ayat (3) huruf
(a) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang
menyebutkan “permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jendral
apabila merek tersebut merupakan atau menyerupai nama orang terkenal,
foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas
51
persetujuan tertulis dari yang berhak.” Dalam hal ini PIERRE CARDIN
milik Tergugat I tidak memiliki izin penggunaan merek dari PIERRE
CARDIN milik Penggugat yang dimana nama PIERRE CARDIN
merupakan nama designer terkenal dari PARIS.
2. Tentang Persamaan Merek PIERRE CARDIN
Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim memperbandingkan
antara merek PIERRE CARDIN dan Logo PIERRE CARDIN milik
Penggugat (bukti P.3.a dan P.3.b) dengan merek Pierre Cardin milik
Tergugat I (bukti T.1-1 a s/d T.1-4) selanjutnya majelis hakim
berpendapat sebagai berikut:
a. Adanya persamaan bunyi antara merek PIERRE CARDIN milik
Penggugat dengan merek PIERRE CARDIN milik Tergugat I yang
sama sama berbunyi PIERRE CARDIN yang disusun dari dua suku
kata yaitu PIERRE dan CARDIN yang apabila dibaca mempunyai
persamaan bunyi dan sama sekali tidak mempunyai beda dengan
merek PIERRE CARDIN milik Penggugat;
b. Bahwa merek PIERRE CARDIN tersebut mempunyai persamaan
pada pokoknya pada persamaan bunyi ucapan dengan Merek
PIERRE CARDIN;
c. Bahwa adanya persamaan jenis barang yang dilindungi di dalam
pendaftaran merek PIERRE CARDIN atas nama Tergugat dengan
jenis barang yang dilindungi dengan merek PIERRE CARDIN milik
52
Penggugat, yaitu sama-sama jenis barang kelas 3 (bukti P.3.a dan
P.3.b) dan termasuk dalam kategori kriteria barang sejenis;
d. Bahwa kemiripan logo PIERRE CARDIN milik Tergugat I dengan
logo PIERRE CARDIN milik Penggugat, dimana logo PIERRE
CARDIN milik Tergugat I adalah berupa huru P yang berada dalam
sebuah lingkaran sedangka logo PIERRE CARDIN milik
Penggugat adalah berupa huruf PC yang tidak berada di dalam
lingkaran;
Menimbang, bahwa dari uraian dan pertimbangan hukum tersebut
Majelis Hakim berpendapat bahwa merek dan logo PIERRE CARDIN
milik Penggugat mempunyai persamaan pada keseluruhannya atau
mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek dan logo milik
tergugat I daftar nomor : IDM 000223196 tertanggal 28 april 2010
Nomor IDM 00234122 tertanggal 22 Januari 2010, nomor IDM
000028783 tertanggal 31 Januari 2005 dan nomor IDM 0000199948
tertanggal 31 Maret 2009 untuk melindungi Kelas Barang 03.
Terhadap pertimbangan hakim tersebut, penulis sependapat dengan
pendapat hakim tentang persamaan merek dan logo serta persamaan jenis
barang yang dilindungi oleh kedua pihak. Dimana Merek PIERRE
CARDIN milik Penggugat dan Merek PIERRE CARDIN milik Tergugat
I memiliki persamaan kata. Merek PIERRE CARDIN milik Tergugat I
mempunyai persamaan keseluruhan suku kata dengan menggunakan
unsur huruf yang sama persis dengan merek milik Penggugat, yaitu “P-
53
I-E-R-R-E C-A-R-D-I-N”, adanya pengucapan atau pelafalan yang
sama. Kedua Merek milik Penggugat dan Tergugat juga melindungi
jenis barang yang sama dalam kelas barang 03. Kesamaan yang dimiliki
merek PIERRE CARDIN milik Penggugat dan Merek PIERRE
CARDIN milik Tergugat dapat mengecoh masyarakat atau konsumen.
Mengenai logo PIERRE CARDIN penulis merasa ada kemiripan
logo antara PIERRE CARDIN milik Penggugat dan PIERRE CARDIN
milik Tergugat I. Jika dilihat logo dari PIERRE CARDIN milik Tergugat
I terdapat kesamaan yakni sama-sama menyerupai huruf P yang
memiliki lengkungan di dalamnya. Menurut penulis hal ini jelas
merupakan persamaan logo dari Merek PIERRE CARRDIN. Secara
sekilas logo merek milik Tergugat menyerupai logo Merek PIERRE
CARDIN milik Penggugat, sehingga dapat mengecoh dan menyesatkan
konsumen.
PIERRE CARDIN Paris PIERRE CARDIN Indonesia
Namun, penulis tidak sependapat dengan Majelis Hakim mengenai
“merek dan logo PIERRE CARDIN milik Penggugat memiliki
persamaan pada pokoknya dengan merek dan Logo PIERRE CARDIN
milik Tergugat I”. Menurut penulis hakim kurang tepat dalam menyusun
54
suatu kalimat, sehingga menimbulkan arti yang berbeda. Pada faktanya
PIERRE CARDIN milik Tergugat yang memiliki persamaan pada
pokoknya karena Merek PIERRE CARDIN milik Penggugat merupakan
merek terkenal (wellknown marks) yang sudah lebih dulu didaftarkan dan
dikenal di berbagai negara berdasarkan bukti P-4h sampai dengan P-5d.
Berdasarkan Pasal 6 Ayat 1 poin b Undang-undang No. 15 Tahun 2001
Tentang merek yang berbunyi “mempunyai persamaan pada pokoknya
atau keseluruhan dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain
untuk barang dan/atau sejenisnya.” Sesuai dengan Undang undang No.
15 Tahun 2001 Tentang Merek, merek PIERRE CARDIN milik Tergugat
I harus dibatalkan.
3. Tentang Keterkenalan PIERRE CARDIN Paris
Pada pertimbangan ketiga mengenai “Keterkenalan Merek
PIERRE CARDIN Paris” hakim menyatakan;
a. bahwa menurut majelis, keterkenalan merek yang dimaksud
bukanlah keterkenalan pada saat ini atau pada saat gugatan perkara
ini didaftarkan, melainkan keterkenalan merek PIERRE CARDIN
milik Penggugat pada saat merek PIERRE CARDIN milik Tergugat
I didaftarkan di Indonesia pada kantor Tergugat II incasu Direktorat
Merek, karenanya kiranya perlu dipertimbangkan terlebih dahulu,
kapan sebenarnya merek PIERRE CARDIN milik Tergugat I
pertama kali didaftarkan pada Tergugat II (Direktorat Merek) dan
55
selanjutnya apakah pada saat itu merek PIERRE CARDIN milik
Penggugat sudah merupakan merek terkenal;
b. Bahwa namun demikian Penggugat tidak mengajukan bukti yang
dapat menjelaskan bahwa pada waktu itu/pada waktu sebelum tahun
1977, merek Penggugat aquo telah memiliki reputasi karena adanya
promosi yang dilakukan secara gencar dan besar-besaran
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf b
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001, baik di negara-negara
tersebut maupun di Indonesia;
Mengenai pernyataan Hakim tentang keterkenalan merek
yang dimaksud bukanlah keterkenalan pada saat ini atau pada saat
gugatan perkara ini didaftarkan, penulis setuju dengan pernyataan
hakim namun, hakim kurang cermat dalam melihat bukti di
persidangan. Merek PIERRE CARDIN Paris terdaftar di negara asalnya
sejak tanggal 16 Februari 1967 dengan Nomor Daftar 332384. Merek
PIERRE CARDIN milik Penggugat juga telah mendaftarkan mereknya
di berbagai negara di luar batas regional sejak tahun 1970 , diantaranya:
Jerman, Hongaria, Liechtenstein, Swiss, Cekoslwakia, Yugoslavia,
Austria, Belgia, Spanyol, Italia, Luksemburg, Monako, Belanda,
Portugal, San Marino, Tunisia, Maroko dan Vietnam.
Dari pendaftaran yang dilakukan oleh pihak PIERRE
CARDIN Paris milik Penggugat, dapat dikatakan bahwa PIERRE
CARDIN milik Penggugat telah memenuhi kriteria merek terkenal
56
sejak tahun 1970, sedangkan merek PIERRE CARDIN milik Tergugat
baru didaftarkan sejak 29 Juli 1977. Pendaftaran merek PIERRE
CARDIN di berbagai negara di dunia, secara yuridis sudah
membuktikan bahwa merek PIERRE CARDIN milik Penggugat
merupakan merek terkenal, karena merek yang telah didaftarkan di
berbagai negara otomatis telah dikenal oleh masyarakat internasional
tempat merek tersebut didaftarkkan dengan reputasinya yang tinggi.
4. Tentang Pendaftaran dengan Itikad Tidak Baik
Majelis hakim menimbang bahwa sebagaimana dinyatakan dalam
jawabannya dan didukung dengan bukti T.1-10a, T.1-10b, T1-10c, T.1-
10d, dan T.1-10e, ternayata didalam setiap produk merek PIERRE
CARDIN yang diproduksi Tergugat I selalu dicantumkan kata-kata
“Product by PT.Gudang Rejeki Utama – Jalan Kayu Putih Utara B/10
Jakata Indonesia” dan sebagian disertakan dengan tulisan Made in
Indonesia, hal mana dapat dimaknai sebagai suatu pendirian dan
komitmen yang serius dan Tergugat I untuk menginformasikan kepada
konsumennya bahwa produk yang di perdangangkan adalah produknya
sendiri incasu produk didalam negeri dan bukan PIERRE CARDIN dari
luar Indonesia atau milik orang lain, dan pada pihak lain sikap Tergugat
I tersebut sama sekali tidak memiliki potensi untuk menyesatkan maupun
membingungkan para konsumen seolah-olah barang-barang aquo adalah
barang-barang yang di produksi oleh Penggugat dan tidak pula ada niat-
niat tertentu untuk membonceng keterkenalan merek PIERRE CARDIN
57
milik pihak lain termasuk Penggugat yang dapat mengakibatkan
kerugian bagi Penggugat.
Menurut Penulis dengan merek PIERRE CARDIN milik Tegugat I
memakai kata-kata “Product by PT.Gudang Rejeki Utama – Jalan Kayu
Putih Utara B/10 Jakata Indonesia” memberikan kesan mengecoh
konsumen seakan-akan merek PIERRE CARDIN milik Penggugat yang
sudah terkenal di produksi oleh Tergugat I. Menurut penjelasan Pasal 4
Undang-undang No.15 Tahun 2001 Tentang Merek “Pemohon yang
beritikad baik adalah Pemohon yang mendaftarkan Mereknya secara
layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru, atau
menjiplak ketenaran Merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang
berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi
persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen. Contohnya
Merek dagang A yang sudah dikenal masyarakat secara umum sejak
bertahun-tahun ditiru demikian rupa sehingga memiliki persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek dagang A tersebut. Dalam
contoh itu sudah terjadi itikad tidak baik dari peniru karena setidak
tidaknya patut diketahui unsur kesengajaannya dalam meniru Merek
Dagang yang sudah dikenal tersebut.” Dan jika kita melihat juga
Penjelasan Pasal 21 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis “yang dimaksud dengan oemohon
yang beritikad tidak baik adalah pemohon yang patut diduga dalam
mendaftarkan mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau
58
mengikuti Merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan
kondisi persaingan usaha tidak sehat , mengecoh, atau menyesatkan
konsumen.” Maka dengan penjelasan dari Pasal 21 Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2016 dan penjelasan Pasal 4 Undang-undang Nomor
15 Tahun 2001 tersebut Merek PIERRE CARDIN milik Tergugat I
memiliki itikad tidak baik karena mempunyai niat untuk membonceng
nama dari PIERRE CARDIN milik Penggugat yang telah terkenal dan
menimbulkan kondisi mengecoh atau menyesatkan konsumen. Robert S
Smith pernah mengemukakan tentang teori jaminan perlindungan hukum
merek dan barang produksinya, suatu merek menyajikan fungsi
perlindungan sebagai investasi dari pemilik merek dengan itikad baik,
dan melayani konsumen dengan suatu tanda yang mudah dari sumber dan
kualitas barang produksi dari label merek itu. Jaminan keaslian barang
produksi dari pemilik merek yang beritikad baik merupakan suatu
promosi untuk menghilangkan keraguan dari konsumen. Dengan
demikian, perlindungan merek menjadi fungsi utama dan sekaligus
melindungi konsumen dari membeli barang palsu. Teori ini juga menjadi
dasar bahwa merek tidak boleh mempunyai niat untuk membonceng,
meniru serta menimbulkan kondisi mengecoh atau menyesatkan
konsumen. Teori ini juga mejadi dasar bahwa setiap orang yang inngin
mendaftarkan merek nya harus mempunyai itikad baik hal ini sesuai
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis pasal 21 ayat (3) “Permohonan ditolak jika diajukan
59
oleh pemohon yang beritikad tidak baik.” Dalam hal ini PIERRE
CARDIN milik Alexander Satryo yang menurut penulis mempunyai
itikad tidak baik.
Penulis menyimpulkan dari keempat poin pertimbangan Majelis
Hakim tersebut hakim kurang tepat mempertimbangkan kasus PIERRE
CARDIN milik Penggugat dan PIERRE CARDIN Tergugat I. Majelis
Hakim kurang teliti terhadap kasus putusan PIERRE CARDIN karena
PIERRE CARDIN milik Penggugat merupakan merek terkenal
(wellknown marks), terdapat persamaan keseluruhan antara PIERRE
CARDIN milik Tergugat I terhadap PIERRE CARDIN milik Penggugat
baik dari persamaan bunyi, persamaan huruf, dan persamaan logo. Merek
PIERRE CARDIN milik Penggugat merupakan merek terkenal karena
PIERRE CARDIN milik Penggugat telah melakukan promosi secara
besar-besaran, telah didaftarkan di berbagai negara.
Mengenai iktikad tidak baik PIERRE CARDIN milik Tergugat I
lah yang memiliki itikad tidak baik karena merek PIERRE CARDIN
milik Tergugat I memiliki kesamaan keseluruhan dan PIERRE CARDIN
milik Tergugat I mengecoh dan menyesatkan konsumen dengan
memakai kata-kata “Product by PT.Gudang Rejeki Utama – Jalan Kayu
Putih Utara B/10 Jakarta Indonesia.” Maka dari alasan-alasan hukum di
atas PIERRE CARDIN Paris lah yang berhak memiliki Merek PIERRE
CARDIN karena sesuai dengan teori hukum alam bahwa, pencipta
memiliki hak moral untuk menikmati hasil ciptaannya termasuk
60
didalamnya keuntungan yang di hasilkan oleh keintelektualannya. Yang
seharusnya menikmati hasil ciptaan dari Merek PIERRE CARDIN
adalah PIERRE CARDIN Paris bukan PIERRE CARDIN milik
Alexander Satryo.
60
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab I sampai
dengan bab IV diatas, pada akhirnya penulis menyimpulkan bahwa:
1. Perlindungan hukum terhadap merek PIERRE CARDIN
berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang
Merek dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek
dan Indikasi Geografis telah efektif dalam melakukan
perlindungan terhadap merek terkenal (wellknown marks). Selain
Undang-undang terdapat juga peraturan yang telah di ratifikasi
yang memuat tentang pengaturan merek terkenal yakni Pasal 6 bis
Ayat (1) Paris Convention, Pasal 6 Ayat (3) Perjanjian TRIP’s.
2. Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam
memutus perkara antara merek PIERRE CARDIN milik Penggugat
dengan PIERRE CARDIN milik Tergugat I tidak tepat. Majelis
Hakim tidak teliti dalam melihat dan mempertimbangkan bukti-
bukti yang ada di persidangan. Sehingga Hakim kurang tepat dalam
memutus perkara ini.
61
B. SARAN
Pada akhir penulisan ini, penulis memberikan beberapa saran
diantaranya sebagai berikut:
1. Dalam memberikan pertimbangannya hakim tidak boleh hanya
mengacu pada Undang-undang Nasional saja, tetapi seharusnya
hakim melihat Undang-undang atau perjanjian-perjanjian lain
seperti perjanjian Internasional yaitu Paris Convention dan
perjanjian TRIP’s dimana Indonesia telah meratifikasi perjanjian
Internasional tersebut dan dapat dijadikan pedoman. Hal ini
semata-mata untuk menghindari pandangan-pandangan negatif
atas perlindungan merek di Indonesia di mata dunia.
2. Penulis menyarankan adanya upaya untuk mengimplementasikan
ketentuan-ketentuan konvensi paris secara lebih baik dimasa
mendatang, Penulis juga menyarankan kepada Ditjen HKI agar
dilakukannya pengawasan terhadap merek terkenal agar tidak
terjadi lagi kasus-kasus plagiarisme merek.