sengketa penambang pasir mekanik sungai brantas: studi ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-06...
TRANSCRIPT
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 179
Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas:
Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri
Gabriel Vishnu Anindita Siregar (Alumni Antropologi FISIP Unair 2006; [email protected])
Abstract The river becomes the object vital to the public because it serves as a support of life. Sand contained in the river is a natural resource that has economic value. Brantas river basin to be the location for the miners sand. One area that once contained the mechanical sand mining activitiesis in Jongbiru, sub-district Gampengrejo, Kediri district. Research issues that are the presence of the mechanical sand mining activities result in ecological damage and public infrastructure arising from the dispute. The objective research is to find out background and form of dispute and its resolution. In the end to find out how the legal culture of the local community to resolve the dispute in the region. This study use the dispute cases method, which used to obtain information from parties who have an involvement and interest of the emergence. Then analyze the laws of the Jongbiru community. Data was collected through participant observation and interviews. The result showed that the disputing parties in it, which between the mechanical sand miners, Jongbiru citizens, Jabon citizens, the manual sand miners, local government, Jasa Tirta and Balai Besar Wilayah Sungai Brantas. Dispute issues for Jongbiru villagers as they hold the legal culture is an attempt settlement amicably through consultation with Kamituwo. Keywords: mechanical sand miners, form relationships and dispute resolution, legal culture.
Abstrak Sungai menjadi objek penting bagi masyarakat karena dapat berfungsi sebagai pendukung kehidupan. Pasir yang terkandung di sungai merupakan sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi. Lembah sungai Brantas telah menjadi lokasi bagi penambang pasir. Salah satu daerah pertambangan pasir mekanik terdapat di Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri. Issu penelitian berkaitan dengan sengketa akibat kegiatan pertambangan pasir mekanis yang dapat mengakibatkan kerusakan ekologi dan infrastruktur publik. Penelitian bertujuan mengetahui latar belakang dan bentuk sengketa serta resolusinya. Akhirnya bertujuan mengetahui budaya masyarakat setempat dalam menyelesaikan sengketa di wilayah hukum. Studi ini menggunakan metode kasus sengketa, yang digunakan untuk mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan. Kemudian menganalisis hukum masyarakat Jongbiru. Data yang dikumpul-kan melalui pengamatan peserta dan wawancara. Hasilnya menunjukkan bahwa pihak-pihak yang sedang bermasalah terdiri atas para penambang pasir mekanis, warga Jongbiru, warga Jabon, penambang pasir manual, pemerintah lokal, Jasa Tirta dan Balai Besar Wilayah Sungai Brantas. Masalah sengketa penduduk desa Jongbiru diselesaikan dengan budaya hukum mereka melalui upaya penyelesaian secara damai berkonsultasi dengan Kamituwo. Kata Kunci: penambang pasir mekanis, penyelesaian sengketa, budaya hukum, Sungai Brantas
wal munculnya spesialisasi an-
tropologi budaya di berbagai ne-
gara terjadi sebelum perang
dunia dua dan menjelang akhir perang
dunia dua terutama setelahnya. Salah
satu spesialisasi dari antropologi budaya A
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 180
adalah antropologi hukum. Hukum men-
jadi perhatian dalam kajian antropologi
karena merupakan bagian dari kebudaya-
an. Pendekatan Antropologi terhadap hu-
kum dilakukan secara holistik mengenai
segala sesuatu yang melatar belakangi
budaya hukum. Budaya hukum yang
dimaksud adalah segala bentuk perilaku
budaya manusia yang mempengaruhi
atau yang berkaitan dengan masalah
hukum.
Masalah hukum dalam antropo-
logi hukum bukan hanya hukum perun-
dangan (normatif) atau hukum adat me-
lainkan budaya manusia menyikapi suatu
masalah hukum. Faktor-faktor budaya
yang melatar belakangi masalah hukum
dapat dilihat dari cara penyelesaian ma-
salah perselisihan dalam budaya masya-
rakat di berbagai daerah yang terdapat
perbedaan antara satu dengan lainnya
(Hadikusuma, 1992: 2-5).
Masalah hukum di Indonesia ba-
nyak mendapat perhatian dengan adanya
tulis-an-tulisan mengenai kasus sengketa
yang terjadi di berbagai daerah. Mengi-
ngat lokasi penelitian bertempat di Jawa
maka contoh yang cukup dekat yaitu di
daerah Jawa Tengah. Mulyo Putro (dalam
Hadi-kusuma, 1992: 188-191) melalui
tesisnya yang berjudul “Penyelesaian per-
kara secara tradisional tentang masalah
perikanan di lingkungan petani tambak di
wilayah karesidenan Jepara-Rembang”
mengemukakan bahwa pendekatan kebu-
dayaan terhadap hukum berusaha meng-
kaji titik pandang masyarakat pribumi
terhadap hukum. Hadikusuma memapar-
kan lebih jauh mengenai perbedaan bu-
daya dalam karesidenan Jepara-Rembang.
Penduduk wilayah Muria banyak menda-
pat pengaruh kebudayaan Jawa bagian
dalam. Ungkapan ‘pati karyo, pati wismo,
pati margo’ digunakan sebagai pedoman
penyelesaian perkara di bidang perikanan
bagi para petani tambak.
Arti ungkapan tersebut menunjuk-
an bahwa pekerjaan merupakan esensi
dalam kehidupan. Hal-hal yang menye-
babkan hilangnya pekerjaan karena tin-
dakan kriminal harus mendapatkan
hukuman seberat-beratnya. Sebagian wi-
layah tersebut yaitu Rembang penduduk-
nya berasal dari Madura. Pedoman penye-
lesaian perkara di bidang perikanan pada
wilayah tersebut menggunakan ungkapan
‘utang pati nyaur pati, utang wirang nyaur
wirang, utang bondo nyaur bondo’.
Arti ungkapan tersebut menunjuk-
kan bahwa apa yang hilang harus kembali
dalam wujud yang sama. Jika terjadi tin-
dakan kriminal maka barang yang hilang
harus dikembalikan pada pemiliknya
sesuai dengan nilai guna barang tersebut.
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 181
Ungkapan yang digunakan oleh penduduk
Muria dan Rembang dalam menyelesai-
kan perkara merupakan hasil karya bu-
daya secara turun-temurun untuk me-
nanggulangi kejahatan yang sesuai deng-
an situasi dan kondisi masyarakat
setempat.
Adapun pedoman lain yaitu hukum
pemerintah yang menjadi pedoman pe-
nyelesaian perkara secara umum untuk
memberikan sanksi. Ungkapan penduduk
Muria, Rembang dan hukum pemerintah
menjadi alternatif bagi para penegak
hukum. Para penegak hukum sebagai
pelayan hukum kepada masyarakat harus
dapat memisahkan pedoman hukum yang
ada sesuai dengan permasa-lahan yang
dihadapi.
Awal mula aktivitas penambangan
pasir, para penambang melakukan akti-
vitasnya secara tradisional yaitu dengan
menyelam ke dasar sungai dan mengam-
bil pasir yang berada di dasar sungai
mengunakan cikrak sebagai alat yang di-
gunakan. Aktivitas penambangan pasir
tradisional di kabupaten Kediri telah
dilakukan oleh warga setempat sejak
turun temurun mulai jaman penjajahan
Belanda.
Aktivitas penambangan pasir
ketika itu dilakukan pada saat Belanda
memberlakukan sistem kerja rodi. Kerja
rodi yang diberlakukan oleh Belanda
melibatkan sebagian besar rakyat Indo-
nesia. Kerja rodi diberlakukan oleh Belan-
da terhadap rakyat Indonesia untuk
pembangunan infrastruktur penjajahan.
Dalam perkembangannya, aktivi-
tas penambangan pasir secara tradisional
tidak lagi diminati dan penambangan
pasir bergeser yang dilakukan secara me-
kanik yaitu aktivitas penambangan pasir
yang dilakukan dengan menggunakan
mesin penyedot pasir (sandpump) dan
mesin disel, aktivitas tersebut menimbul-
kan beberapa masalah baik terhadap
pemukiman warga, lingkungan, infra-
struktur bangunan.
Salah satu daerah yang pernah ter-
dapat aktivitas penambangan pasir meka-
nik yaitu di desa Jongbiru, kecamatan
Gampengrejo, kabupaten Kediri. Peneliti
memperoleh informasi melalui media
internet berupa unduhan (download) vi-
deo liputan 6 SCTV yang memberitakan
mengenai pembakaran perahu penam-
bang pasir mekanik yang dilakukan oleh
warga masyarakat desa Jongbiru yang
terjadi pada tanggal 14 Oktober 2009
(http://www.youtube.com/watch?v=XkDZ
dXa5dn8, situs diakses pada tanggal 20
September tahun 2010 pukul 22.15 WIB).
Berdasarkan berita di atas maka
peneliti mengindikasikan gambaran ada-
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 182
nya sengketa. Fokus yang menjadi per-
hatian peneliti adalah studi kasus seng-
keta mengenai keberadaan penambangan
pasir mekanik di desa Jongbiru, kabupa-
ten Kediri.
Tulisan ini bermaksud untuk me-
ngetahui latar belakang terjadinya seng-
keta yang terjadi terkait keberadaan pe-
nambangan pasir mekanik di desa Jong-
biru, kecamatan Gampengrejo, Kabupaten
Kediri. Kemudian mengetahui bentuk
sengketa dan penyelesaiannya sengketa
di wilayah tersebut. Selanjutnya untuk
mengetahui budaya hukum masyarakat
setempat dapat menyelesaikan masalah
sengketa di wilayahnya.
Dari latar belakang diatas sebagai
arah dalam merumuskan masalah dapat
dirumuskan masalah penelitian ini adalah
sengketa keberadaan aktivitas penam-
bangan pasir mekanik sungai Brantas di
desa Jongbiru kecamatan Gampengrejo
kabupaten Kediri. Untuk menjawab masa-
lah penelitian tersebut perlu dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
(1) bagaimana latar belakang terjadinya
sengketa yang terjadi terkait keberadaan
penambangan pasir mekanik di desa
Jongbiru, kecamatan Gampengrejo, Kabu-
paten Kediri? (2) bagaimana bentuk seng-
keta dan penyelesaiannya sengketa di
wilayah tersebut? (3) bagaimana budaya
hukum masyarakat setempat dapat me-
nyelesaikan sengketa di wilayahnya?
Sengketa
Orang yang bersengketa memiliki bebe-
rapa motivasi sebagaimana yang diiden-
tifikasi oleh Nader dan Todd (1978: 37
dalam Irianto, 2005: 289): “to gain power,
to obtain scarce resource, to gain justice, to
compensate for a wrong”.
Identifikasi beberapa motivasi
orang bersengketa yang dikemukakan
Nader dan Todd dapat dikategorikan
menjadi empat motivasi. Pertama, hasrat
untuk menguasai sumber daya kekuasa-
an. Kedua, untuk mendapatkan sumber
daya yang menjadi langka yang dibutuh-
kan oleh banyak orang. Ketiga, kebutuhan
memperoleh rasa keadilan. Keempat,
memperoleh keringanan atas kesalahan
sehingga mengurangi akibat terburuk.
Nader dan Todd memaparkan lebih jauh
mengenai motivasi sengketa yang utama
adalah keterkaitannya dengan perhitung-
an terhadap pihak lawan dan perebutan
sumber daya ekonomi.
Pengertian dan pemahaman ter-
hadap sengketa berperan penting untuk
mengetahui proses sengketa (disputing
process) yang ada dalam masyarakat.
Nader dan Todd (1978: 4 dalam Ihromi,
2001: 209) mengindentifikasi adanya tiga
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 183
tahap dalam proses sengketa yaitu tahap
pra-konflik (keluhan), tahap konflik dan
tahap sengketa.
Tahap pra-konflik merupakan kea-
daan di mana seseorang atau kelompok
merasakan bahwa haknya telah dilanggar
atau telah diperlakukan dengan salah
oleh pihak lain. Pelanggaran terhadap hak
ataupun diperlakukan dengan salah me-
nunjukkan bahwa telah terjadi adanya
ketidakadilan. Pelanggaran terhadap rasa
keadilan dapat bersifat nyata atau ima-
ginasi sesuai dengan persepsi atau ke-
lompok.
Dalam tahap pra-konflik terjadi
keadaan di mana pihak yang melanggar
belum menyadari bahwa tindakkannya
telah merugikan pihak lain. Perasaan
tidak adil yang berupa keluhan berpoten-
si untuk menjadi konflik atau justru
mengendor. Perasaan diperlakukan tidak
adil dapat lebih memuncak karena kon-
frontasi atau justru sebaliknya, eskalasi
menjadi terelakkan karena sengaja meng-
hindari kontak dengan pihak kedua atau
bisa jadi pihak kedua tidak memberi
reaksi terhadap tantangan yang diajukan.
Nader dan Todd (1978:14 dalam Ihromi,
2005: 209) memberikan istilah untuk
mencirikan tahap pra-konflik sebagai ciri
monadik.
Tahap konflik merupakan keadaan
di mana pihak yang merasa haknya telah
dilanggar, memilih jalan konfrontasi de-
ngan cara melemparkan tuduhan atau
memberitahukan keluhannya kepada
pihak lawan. Dalam tahap konflik terjadi
keadaan dimana pihak yang dilanggar
haknya dan pihak yang melanggar hak
telah menyadari adanya perselisihan. Ta-
hap konflik dicirikan sebagai ciri diadik.
Tahap sengketa (dispute) merupa-
kan keadaan di mana konflik mengalami
eskalasi karena telah dikemukakan secara
umum. Gulliver (dalam Nader dan Todd,
1978: 15 dalam Ihromi. 2001: 210) me-
nyatakan bahwa suatu sengketa terjadi
bila pihak yang mempunyai keluhan
(claim) yang awalnya hanya berselisih
pendapat berupa perdebatan diadik (dua
pihak) kemudian melanjutkan perselisih-
annya memasuki bidang publik.
Peningkatan memasuki bidang
publik dilakukan secara sengaja dan aktif
dengan maksud supaya ada suatu tindak-
kan sehubungan dengan tuntutan yang
diinginkan. Tahap sengketa yang meli-
batkan tiga pihak sehingga memunculkan
adanya pihak ketiga disebut sebagai ciri
triadik.
Nader dan Todd (dalam Ihromi,
2001: 210) memaparkan lebih lanjut tiga
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 184
kemungkinan mengenai tahapan proses
sengketa yang tidak harus terjadi secara
berurutan. Pertama, seseorang yang me-
rasa terhina langsung mengajukan per-
kara ke pengadilan tanpa terlebih dahulu
mengkomunikasikannya kepada pihak
yang dianggap merugikan. Kedua, terjadi
proses deskalasi di mana secara tiba-tiba
salah satu pihak mengundurkan diri.
Ketiga, tahapan proses sengketa bisa
berlangsung secara melompat-lompat.
Penyelesaian Sengketa
Perhatian terhadap kajian lintas budaya,
menunjukkan bahwa dalam setiap masya-
rakat telah berkembang berbagai tradisi
mengenai berbagai cara keluhan-keluhan
dapat tertampung dan penanganan ter-
jadinya sengketa. Berbagai sengketa tidak
hanya dapat diselesaikan dengan meng-
ajukan ke forum pengadilan tapi juga
terdapat beragam lembaga atau pranata
di mana sengketa dapat diatasi.
Nader dan Todd (dalam Ihromi,
2001: 210) memberikan tujuh rincian
mengenai ber-bagai cara yang berkem-
bang dalam kebudayaan-kebudayaan ma-
nusia untuk menampung, mengatasi,
menyelesaikan keluhan-keluhan, perasa-
an tidak diber-lakukan secara adil, dan
sengketa-sengketa yang dialami yaitu
lumping it, avoidance, coercion, negotia-
tion, media-tion, arbitration, adjudication.
Lumping it (membiarkan saja)
menurut pengertian Felstiner (dalam
Nader dan Todd, 1978: 9 dalam Ihromi,
2001: 210) adalah kegagalan yang dirasa-
kan oleh pihak yang merasa diperlakukan
tidak adil dalam upaya untuk menekan-
kan tuntutan. Pihak yang diberlakukan
tidak adil mengambil keputusan untuk
mengabaikan saja masalah atau isu yang
dialami dengan pihak lain.
Kedua belah pihak tetap menerus-
kan hubungan-hubungannya karena
berbagai kemungkinan, misalnya tidak
mengetahui cara pengajuan keluhan ke
peradilan, kurangnya akses ke lembaga
peradilan atau sengaja tidak diproses ke
peradilan karena perkiraan kerugian
yang lebih besar berupa materiil maupun
kejiwaan (Galanter dalam Nader dan
Todd, 1978: 9 dalam Ihromi, 2001: 211).
Avoidance (mengelak) adalah cara
penyelesaian di mana pihak yang merasa
dirugikan memilih untuk mengurangi
hubungan-hubungan dengan pihak yang
merugikan atau memilih untuk menghen-
tikan hubungan. Berbeda dengan lumping
it yang masih berhubungan tanpa adanya
pengurangan, sedangkan pada avoidance
hubungan dikurangi sebagian atau semua.
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 185
Coercion (paksaan) adalah cara
penyelesaian di mana satu pihak mem-
beri paksaan terhadap pihak lain. Tin-
dakan paksaan ini bersifat unilateral.
Tindakan yang bersifat memaksa dapat
berupa ancaman untuk menggunakan ke-
kerasan. Penyelesaian dengan tindakan
paksaan pada umumnya memiliki ke-
mungkinan kecil untuk menuju penyele-
saian secara damai.
Negotiation (perundingan) adalah
cara penyelesaian di mana kedua belah
pihak telah menyepakati pengambilan
keputusan tanpa adanya pihak ketiga.
Kedua belah pihak berusaha untuk saling
meyakinkan. Usaha saling meyakinkan
kemudian menghasilkan aturan diantara
kedua belah pihak. Usaha penyelesaian
dengan cara tidak bertitik tolak dengan
aturan-aturan yang ada yang telah di-
tentukan oleh kedua belah pihak (Gulliver
dalam Nader dan Todd, 1978: 10 dalam
Ihromi, 2001: 211). Menurut Irianto
(2005: 291) negotiation dapat diharapkan
menghasilkan win-win solution.
Mediation adalah cara penyelesai-
an dengan melibatkan pihak ketiga seba-
gai perantara untuk membantu kedua
belah pihak yang berselisih pendapat
guna menemukan kesepakatan. Penen-
tuan pihak ketiga ditentukan oleh kedua
belah pihak atau ditunjukkan oleh pihak
yang berwenang (berkuasa). Kedua belak
pihak harus menyetujui bahwa jasa-jasa
dari mediator akan digunakan dalam upa-
ya mencari penyelesaian. Seorang media-
tor dalam masyarakat-masyarakat kecil
(paguyuban) dapat berupa tokoh-tokoh
masyarakat. Menurut Irianto (2005: 291)
mediation dapat diharapkan menghasil-
kan win-win solution.
Arbitration (arbitrasi) adalah cara
penyelesaian di mana kedua belah pihak
sepakat untuk meminta perantara pihak
ketiga yaitu arbitrator. Sejak semula ke-
dua belah pihak telah menyetujui bahwa
mereka akan menerima keputusan dari
arbitrator. Seorang arbitrator dalam ma-
syarakat-masyarakat kecil (paguyuban)
dapat berupa tokoh-tokoh masyarakat.
Adjudication (peradilan) adalah ca-
ra penyelesaian di mana pihak ketiga
mempunyai wewenang untuk mencam-
puri pemecahan masalah yang terlepas
dari keinginan para pihak yang berseng-
keta. Pihak ketiga juga memiliki hak
untuk membuat keputusan dan menegak-
kan keputusan. Penegakkan keputusan
merupakan upaya agar keputusan dapat
dilaksanakan.
Pendefinisian terhadap kebudaya-
an berperan penting untuk dipergunakan
dan dioperasikan terhadap identifikasi
dan pemecahan dalam berbagai masalah.
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 186
Suparlan (1981: 76-91 dalam Setiawan,
1998: 5) mendefinisikan kebudayaan
adalah pengetahuan manusia yang me-
nyeluruh dalam kehidupannya sebagai
makhluk sosial guna menginterpretasi
dan memahami lingkungannya yang ter-
wujud nyata dalam bentuk perilaku.
Pengetahuan berada dalam pikiran manu-
sia yang bersifat abstrak berupa ide. Peri-
laku yang merupakan cerminan (refleksi)
dari ide-ide manusia juga termasuk dalam
budaya hukum.
Bertitik tolak dari pemahaman ter-
hadap budaya hukum yang nyata dan
hidup dalam masyarakat maka dapat
diketahui bagian dari kekuatan-kekuatan
sosial. Menurut Irianto (2005: 287) buda-
ya hukum adalah bagian dari kekuatan-
kekuatan sosial dalam masyarakat yang
secara terus-menerus dapat memberi
pengaruh terhadap sikap untuk mentaati
atau tidak mentaati sistem hukum yang
berlaku dalam negara.
Kajian holistik menempatkan bu-
daya hukum menjadi bagian dari kompo-
nen-komponen hukum. Kajian holistik
terhadap hukum dalam lapangan empiris
harus dilihat sebagai sistem yang terdiri
dari tiga komponen (Friedman, 1975: 15
dalam Irianto, 2005: 42-43). Komponen
pertama adalah substansi hukum (legal
substance) yang meliputi aturan-aturan
dan norma-norma yang digunakan oleh
institusi. Komponen kedua adalah struk-
tur hukum (legal structure) yaitu institusi
atau penegak hukum seperti polisi, jaksa,
hakim dan pengacara. Komponen ketiga
adalah budaya hukum (legal culture) yang
meliputi. ide-ide, sikap-sikap, kepercaya-
an, harapan dan pandangan tentang
hukum.
Prinsip budaya hukum (legal
culture) menurut Friedman meliputi ide-
ide, sikap-sikap, kepercayaan, harapan
dan pandangan tentang hukum (1975: 7
dalam Irianto, 2005: 42). Friedman me-
maparkan lebih lanjut mengenai adanya
sub budaya hukum (sub legal culture)
yang berarti kepentingan. Adanya kepen-
tingan berkaitan erat dengan kasus yang
terjadi.
Lokasi penelitian berada di desa
Jongbiru, kecamatan Gampengrejo, kabu-
paten Kediri. Penentuan lokasi penelitian
didasarkan atas pengalaman dan penge-
tahuan peneliti karena pernah berkun-
jung ke kabupaten Kediri. Peneliti kemu-
dian memperoleh informasi dari berita
Liputan 6 SCTV bahwa di desa Jongbiru
pernah terjadi pembakaran perahu pe-
nambang pasir mekanik oleh warga ma-
syarakat setempat. Aksi warga yang
membakar perahu penambang pasir me-
kanik mengindikasikan adanya kasus
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 187
sengketa. Alasan pendukung lainnya ada-
lah masih minimnya penelitian mengenai
permasalahan akibat aktivitas penam-
bangan pasir mekanik ditinjau dari sudut
pandang budaya. Umumnya penelitian
yang dilakukan hanya sebatas kerusakan
ekologis. Oleh karena itu peneliti ber-
maksud menggunakan studi kasus seng-
keta sebagai ciri khas dari disiplin Antro-
pologi yang memfokuskan perhatiannya
dalam lingkup sosial-budaya.
Tahap awal sebelum memfokus-
kan penelitian ini ialah melakukan peng-
amatan yang bersifat penjajakan obyek
lapangan secara umum (grand tour obser-
vation). Istilah grand tour mengacu pada
Spradley (1997: 110) yaitu pengalaman
yang diperoleh peneliti ketika pertama
kali mulai mempelajari suatu lingkup
budaya. Penjajakan dalam obyek peneli-
tian digunakan untuk memperhatikan
unsur-unsur utama dari konteks sosial
yaitu suasana budaya masyarakat. Pende-
katan ini berfungsi untuk mengetahui
bermacam-macam informasi berupa
gambaran awal mengenai keberadaan
penambangan pasir sungai Brantas kabu-
paten Kediri khususnya penambang pasir
mekanik. Gambaran yang diperoleh ter-
sebut kemudian digunakan sebagai
asumsi awal dalam penelitian. Hasil ter-
sebut selanjutnya digunakan untuk me-
nentukan metode yang tepat sesuai
dengan fokus penelitian.
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kasus seng-
keta (trouble case method) klasik yang
diajukan Hoebel (1983 dalam Irianto,
2005: 27-28). Metode kasus sengketa
digunakan untuk memperoleh keterangan
kemudian menganalisis mengenai hukum
yang senyatanya dianut oleh masyarakat.
Pemikiran yang melandasi metode kasus
sengketa bahwa kasus sengketa yang
secara normatif berlaku (substansi hu-
kum) dalam lapangan kenyataan dan
sungguh-sungguh dijalankan oleh masya-
rakat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah peraturan-peraturan
yang dibuat oleh pemerintah telah di-
laksanakan dan diterapkan dalam Kenya-
taan kehidupan sehari-hari, serta meng-
hasilkan temuan yang berupa hukum
yang hidup atau yang sesungguhnya ber-
laku di masyarakat. Temuan tersebut me-
rupakan hasil kajian berdasarkan peng-
amatan terhadap kasus-kasus sengketa.
Metode kasus digunakan untuk menemu-
kan bagaimana proses suatu sengketa
berlangsung dengan mencari sebab-sebab
perselisihan, siapa-siapa saja yang ter-
libat, penelusuran sejarah tentang kasus-
kasus sengketa, dan yang terakhir adalah
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 188
dampak penyelesaian sengketa bagi ma-
syarakat yang bersangkutan.
Teknik pengumpulan data yang di-
gunakan dalam penelitian ini adalah
pengamatan (observation) dan wawan-
cara (interview). Pengamatan yang cermat
dapat dikatakan sebagai salah satu cara
penelitian yang paling sesuai terkait
dengan kebutuhan akan biaya penelitian
yang sedikit (Bachtiar, 1997: 108). Data
yang dihasilkan dari pengamatan adalah
catatan lapangan. Wawancara bertujuan
untuk mendapatkan keterangan atau pen-
dirian secara lisan dari seorang informan
dengan bercakap-cakap berhadapan mu-
ka (Koentjaraningrat, 1997, 129). Data
yang diperoleh dari wawancara adalah
jawaban-jawaban dari informan atas per-
tanyaan yang diajukan oleh peneliti.
Proses analisis data dimulai deng-
an menelaah seluruh data yang tersedia
dari sumber yang telah dikumpulkan
(Moleong, 1990: 190). Teknik analisa da-
lam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan data yang berasal dari
pengamatan, wawancara mendalam, do-
kumentasi foto dan kepustakaan. Hasil
pengamatan menghasilkan data berupa
catatan lapangan yang diperoleh peneliti
selama mengunjungi wilayah yang ter-
dapat aktivitas penambangan pasir yaitu
kecamatan Mojo, kecamatan Ngadiluwih
dan kecamatan papar serta lokasi obyek
penelitian yaitu desa Jongbiru. Hasil wa-
wancara mendalam menghasilkan data
berupa jawaban-jawaban dari pertanyaan
yang diajukan peneliti kepada informan.
Hasil dokumentasi berupa data dalam
bentuk berkas ilegal mining (penambang-
an pasir ilegal) di sepanjang aliran sungai
Brantas yang diperoleh dari Satuan
Resort Kriminal Khusus (Satreskrimsus)
Polres kabupaten Kediri. Kemudian doku-
mentasi berupa foto kejadian aksi massa
pembakaran peralatan penambangan pa-
sir mekanik yang diperoleh dari Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kabu-
paten Kediri. Selanjutnya dokumentasi
berupa foto lokasi, obyek penelitian yaitu
penambang pasir sungai Brantas yang
diperoleh dari hasil dokumentasi peneliti.
Dokumentasi tersebut digunakan
untuk mengetahui aktivitas atau keadaan
di lapangan yang nantinya akan dimasuk-
kan pada lampiran. Hasil dari kepustaka-
an berupa informasi tambahan untuk
menjelaskan dan menguatkan pengetahu-
an peneliti terhadap data penelitian.
Data yang terkumpul kemudian di-
klasifikasikan dan diidentifikasikan ke-
mudian di kategorisasikan berdasarkan
kerangka teori yaitu mengenai proses
terjadinya sengketa, selanjutnya bentuk-
bentuk penyelesaian sengketa dan pada
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 189
akhirnya budaya hukum yang terdiri dari
kepentingan masing-masing pihak yang
bersengketa. Pihak-pihak yang berkepen-
tingan antara lain: penambang pasir
mekanik, warga desa Jongbiru, warga
desa Jabon, penambang pasir manual,
Pemerintah Daerah, Perum Jasa Tirta I,
Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS)
Brantas. Data yang terkumpul berdasar-
kan kerangka teori selanjutnya digunakan
sebagai pedoman untuk memasukkan
data lapangan dalam bentuk sub-sub bab.
Suasana Lokasi
Penambang pasir di sungai Brantas kabu-
paten Kediri telah ada sejak jaman penja-
jahan Belanda hingga Indonesia merdeka
dengan menggunakan alat yang masih
tradisional. Indikasi tersebut dapat di-
ketahui dari silsilah jembatan Mritjan dan
sistem kerja Rodi yang dilaksanakan oleh
pemerintah penjajahan Belanda. Penam-
bangan yang dilakukan menggunakan
peralatan berupa cikrak atau cungkro.
Istilah masyarakat lokal untuk menyebut
aktivitas penambangan menggunakan
peralatan cikrak atau cungkro adalah
nyikrak’i pasir. Kegiatan tersebut dilaku-
kan oleh warga masyarakat yang ber-
tempat tinggal di pinggiran sungai. Warga
yang ingin melakukan kegiatan tersebut
dapat langsung menuju ke pinggiran
sungai dengan membawa peralatan
cikrak untuk memperoleh pasir. Kegiatan
tersebut mereka lakukan setiap hari se-
bagai mata pencaharian. Hasil yang di-
peroleh dari aktivitas nyikrak berupa
pasir dimanfaatkan untuk kebutuhan
lingkungan masyarakat setempat dan
kebutuhan pribadi. Penambang pasir
tradisional tidak menentukan nominal
pasir yang dijual kepada lingkungan ma-
syarakat setempat.
Penambangan pasir yang dilaku-
kan oleh masyarakat secara bertahap
mengalami perkembangan. Wujud per-
kembangan penambangan pasir dapat di-
lihat dari peralatan dan proses memper-
oleh pasir. perkembangan penambangan
pasir diawali dengan penambangan yang
dilakukan secara tradisional, manual,
konveyor, kemudian secara mekanik. Per-
kembangan penambangan pasir yang per-
tama kali dilakukan yaitu secara manual.
Tidak diketahui secara pasti awal mula
perkembangan penambangan pasir ma-
nual. Informasi data menjelaskan bahwa
perkembangan penambangan pasir seca-
ra manual di wilayah sungai Brantas ka-
bupaten Kediri telah dilakukan lebih lama
dari tahun 1969. Penambangan pasir
manual merupakan aktivitas penambang-
an yang dilakukan menpergunakan pera-
hu sebagai alat bantu. Perahu digunakan
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 190
oleh penambang pasir menuju ke tengah
sungai sebagai tempat untuk mengambil
pasir. Pasir yang diperoleh didapatkan
dari pekerja penambang pasir yang me-
nyelam ke dasar sungai. Istilah masya-
rakat lokal untuk menyebut pekerja pe-
nambang pasir yang menyelam adalah
kuli bojong. Perahu yang telah terisi oleh
pasir kemudian dibawa kepinggir sungai
untuk dipindahkan ke tanah lapang oleh
pekerja penambang pasir. pekerja penam-
bang pasir memindahkan pasir meng-
gunakan alat berupa dunak yang ditaruh
di atas kepala menuju ke tanah lapang
Istilah masyarakat lokal untuk menyebut
pekerja penambang pasir yang memin-
dahkan pasir dari perahu menuju tanah
lapang adalah kuli ndunak. Penambang
pasir yang bekerja di penambangan pasir
manual membutuhkan tenaga kurang le-
bih sekitar 17-20 orang tiap perahu.
Perkembangan penambangan pa-
sir yang kedua adalah penambangan pasir
konveyor. penambangan pasir konveyor
dalam pelaksanaannya dilakukan secara
manual. Perbedaan dengan penambangan
pasir manual yaitu penambangan pasir
konveyor mempergunakan mesin konve-
yor. Alat tersebut berupa karet berjalan
yang terhubung pada dua atau lebih
katrol yang berputar. Alat tersebut bukan
digunakan sebagai alat untuk mencari pa-
sir, tapi digunakan sebagai alat bantu
dalam proses penambangan. Alat bantu
tersebut digunakan sebagai alat untuk
menyalurkan pasir dari perahu menuju
ke atas yang kemudian mengalir menuju
ke dalam bak truk. Informasi data men-
jelaskan perkembangan penambangan
pasir mempergunakan alat bantu berupa
konveyor telah dilakukan sejak tahun
2002. Penambangan pasir konveyor
mempekerjakan tenaga sebagai kuli
bojong dan kuli cutat. Kuli cutat meru-
pakan istilah masyarakat lokal untuk
menyebut pekerja penambang pasir yang
memindahkan pasir dari perahu ke alat
bantu konveyor. Penambang pasir yang
bekerja di penambangan pasir manual
membutuhkan tenaga kurang lebih se-
kitar 9-10 orang tiap perahu.
Perkembangan penambangan pa-
sir yang ketiga adalah penambangan pasir
mekanik. Istilah masyarakat lokal untuk
menyebut penambangan pasir mekanik
adalah sedotan. Penambangan pasir me-
kanik adalah penambangan yang dilaku-
kan mempergunakan mesin disel. Peralat-
an tersebut dipasang di atas perahu
ponton. Mesin disel dan perahu yang te-
lah dirakit memanjang hingga berada ke
tengah sungai dengan barang berupa
bambu dan tong. Penambangan pasir
mekanik yang berada di desa Jongbiru
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 191
kecamatan Gampengrejo kabupaten Ke-
diri telah dilakukan sejak tahun 1991.
Awal mula mereka mereka menambang
secara mekanik melihat dari proses pe-
nambangan pasir mekanik beroperasi di
wilayah Mojokerto. Berawal dari proses
melihat kemudian mereka mulai mencoba
untuk membuat. Penambang pasir yang
bekerja pada penambangan pasir meka-
nik terdiri dari operator stik sungkro dan
kuli cutat. Operator stik sungkro merupa-
kan istilah yang digunakan penambang
pasir mekanik untuk menyebut pengen-
dali stik. Sedangkan kuli cutat merupakan
pekerja dalam penambangan pasir meka-
nik yang memindahkan pasir dari tanah
lapang ke dalam bak truk muatan pasir.
Penambang pasir yang bekerja di penam-
bangan pasir mekanik membutuhkan te-
naga kurang lebih sekitar 5-8 orang.
Pekerjaan sebagai penambang pa-
sir telah membudaya dalam masyarakat
Jongbiru. Istilah masyarakat lokal untuk
menyebut para penambang pasir adalah
tiyang pasiran. Pekerjaan tiyang pasiran
diwariskan secara turun temurun. Peker-
jaan yang mereka lakukan sejak men-
jalani pendidikan formal. Mereka mela-
kukan pekerjaan tersebut sebagai bentuk
usaha untuk menambah uang saku. Mere-
ka bekerja sebagai kuli dengan menyelam
ke dasar sungai. Mereka yang telah me-
nyelesaikan pendidikan formal, ada yang
tetap melanjutkan pekerjaan sebagai pe-
nambang pasir. Mereka yang telah men-
dapatkan pekerjaan di luar penambangan
pasir, terdorong untuk kembali bekerja
sebagai penambang pasir. Identitas me-
reka sebagai tiyang pasiran telah menjadi
kebiasaan mereka untuk menjadi seorang
penambang pasir. Mereka yang kembali
bekerja sebagai penambang pasir ber-
usaha untuk memperoleh cara untuk me-
ngembangkan penambangan melalui per-
alatan yang digunakan. Penghasilan yang
telah mereka simpan selama bekerja di-
luar penambangan pasir digunakan untuk
membeli perahu maupun mesin disel.
Kontribusi yang diperoleh dari pe-
nambangan pasir disalurkan kepada kas
desa. Kas desa diperoleh berupa uang
yang didapatkan dari sumbangan portal.
Aktivitas yang dilakukan oleh warga atau
masyarakat dengan memanfaatkan ba-
ngunan portal biasa disebut leges. Bagi
warga desa Jongbiru leges selain diguna-
kan untuk menarik sumbangan portal
juga digunakan sebagai alat pembatas lalu
lintas kendaraan muatan yang masuk me-
lalui jalan desa menuju ke galangan pasir.
hasil yang diperoleh dari sumbangan
leges ditentukan berdasarkan jenis ken-
daraan muatan yang akan masuk di desa
Jongbiru. jenis kendaraan muatan truk
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 192
engkel dikenakan biaya sumbangan leges
sebesar Rp. 3000 tiap truk. Untuk jenis
kendaraan muatan truk ban dobel dikena-
kan biaya sumbangan leges sebesar
Rp.5000 tiap truk. Sedangkan untuk jenis
kendaraan muatan truk fuso dikenakan
biaya Rp. 10.000 tiap truk.
Jembatan Mritjan merupakan ba-
ngunan yang memiliki peranan penting
sebagai prasarana yang menghubungkan
antara kelurahan Mrican kecamatan Mo-
joroto kotamadya Kediri-desa Jabon
Kecamatan Banyakkan dengan desa Jong-
biru, kecamatan Gampengrejo, kabupaten
Kediri. Jembatan digunakan sebagai salah
satu fasilitas penunjang lalu lintas tujuan
aktivitas masyarakat dan warga yang
melintasinya. Mereka yang memanfaat-
kan jembatan sebagai jalur alternatif
terdekat daripada harus memutar dari-
pada harus memutar dari jembatan
Semampir yang berada di kecamatan kota
Kediri.
Permasalahan yang dialami warga
kabupaten/kota Kediri terkait keberada-
an aktivitas penambangan pasir mekanik
berujung pada aksi massa yang mela-
kukan pembakaran peralatan penam-
bangan pasir mekanik di desa Jongbiru
kecamatan Gampengrejo kabupaten Ke-
diri. Permasalahan tersebut dialami oleh
warga yang bertempat tinggal di sepan-
jang bantaran sungai Brantas khususnya
akibat keberadaan penambang pasir yang
mempergunakan mesin disel sebagai per-
alatan penambangan menimbulkan ke-
rusakan.
Kejadian setelah pembakaran ta-
hun 2009, pemilik galangan dan pekerja
penambangan pasir mekanik yang berasal
dari desa Jongbiru ada yang memilih
bekerja secara serabutan dan bekerja di
luar daerah. Warga yang menjadi tiyang
pasiran memilih untuk tetap bertempat
tinggal di desa Jongbiru dengan bekerja di
lahan pertanian dan melakukan pekerja-
an sampingan lainnya. Sedangkan mereka
yang bekerja diluar daerah memilih untuk
menjadi pekerja di bidang bangunan dan
di bidang media transportasi darat ang-
kutan umum.
Penyebab robohnya jembatan
Mritjan dikarenakan usianya yang sudah
tua, peristiwa alam dan penambangan pa-
sir mekanik. Warga desa Jongbiru melalui
kepala dusun menilai salah satu faktor
penyebab robohnya jembatan Mritjan di-
karenakan faktor usia. Jembatan Mritjan
merupakan salah satu prasarana yang
telah dibangun sejak jaman Belanda. Se-
hingga jembatan Mritjan sudah waktunya
untuk dilakukan renovasi.
Penyebab robohnya jembatan
Mritjan dikarenakan faktor alam berawal
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 193
dari keadaan cuaca di wilayah sekitar
jembatan Mritjan yang sedang hujan
lebat. Keadaan tersebut menyebabkan
permukaan air sungai sungai Brantas
meluap. Bersamaan dengan keadaan ter-
sebut, aktivitas penambangan pasir me-
kanik yang beroperasi di desa Jongbiru
sedang berlangsung. Keadaan sungai
Brantas yang demikian selain mengha-
nyutkan beberapa perahu milik penam-
bang pasir juga pepohohonan yang ber-
ada di tepian sungai. Kemudian perahu
bersama pepohonan yang hanyut mena-
brak secara bergantian bagian tiang pe-
nyangga dan patok yang mengakibatkan
robohnya jembatan.
Penyebab robohnya jembatan
Mritjan dikarenakan faktor keberadaan
penambangan pasir mekanik. Warga desa
Jabon beranggapan bahwa aktivitas pe-
nambangan yang dilakukan terlalu dekat
dengan bangunan jembatan Mritjan dapat
berpengaruh terhadap tiang penyangga
yang menjadi pondasi jembatan. Aktivitas
penambangan pasir yang dilakukan
menggunakan peralatan mesin disel
mempengaruhi kedalaman sungai men-
jadi semakin dalam. Keadaan tersebut
mengakibatkan tiang penyangga yang di-
gunakan sebagai pondasi jembatan meng-
gantung atau tidak menancap pada dasar
sungai.
Pemetaan sengketa penambangan
pasir di desa Jongbiru dapat diketahui
berdasarkan kepentingan pihak-pihak
yang terlibat sengketa. Selanjutnya
mengetahui tahapan sengketa yang
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 194
dialami melalui pihak yang terlibat dalam
sengketa, dan penentuan jenis penyele-
saian sengketa. Pihak yang memiliki
kepentingan dalam sengketa yang terjadi
antara lain: penambang pasir mekanik,
warga desa Jongbiru (tiyang pasiran),
warga desa Jongbiru Umum, warga desa
Jabon (upaya penyelamatan jembatan
Mritjan), penambang pasir manual, warga
desa Jongbiru (pemasukan warga dan kas
desa), warga desa Jabon (kontrol sosial),
Pemerintah Daerah, Perum Jasa Tirta I,
Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS)
Brantas.
Pertama, penambang pasir meka-
nik yang berkepentingan mencari ke-
untungan ekonomi yang sebesar-besar-
nya dengan warga desa Jongbiru yang
berkepentingan terhadap pemberdayaan
tenaga dan suasana tenang. Tahapan
sengketa yang dilakukan mencapai ting-
katan konflik. Penyelesaian yang diambil
oleh kedua belah pihak ialah tindakan
mengabaikan.
Kedua, warga desa Jongbiru umum
yang berkepentingan untuk melakukan
perlindungan terhadap wilayah sungai
dan perlindungan terhadap prasarana ja-
lan di daerahnya dengan warga Jongbiru
(tiyang pasiran) yang berkepentingan
menjual tanah bantaran sungai Jongbiru
kepada warga desa lain. Tahapan seng-
keta yang dilakukan mencapai tingkatan
sengketa. Penyelesaian yang diambil oleh
kedua belah pihak ialah tindakan mediasi.
Ketiga, penambang pasir mekanik
yang berkepentingan untuk mencari ke-
untungan ekonomi yang sebesar-besar-
nya dengan warga desa Jabon yang ber-
kepentingan melakukan upaya penyela-
matan jembatan Mritjan. Tahapan seng-
keta yang dilakukan mencapai tingkatan
sengketa. Penyelesaian yang diambil oleh
kedua belah pihak ialah tindakan per-
adilan hukum
Keempat, penambang pasir meka-
nik yang berkepentingan untuk mencari
keuntungan ekonomi yang sebesar-besar-
nya dengan penambang pasir manual
yang berkepentingan untuk penyerapa
tenaga kerja. Tahapan sengketa yang di-
lakukan mencapai tingkatan prakonflik.
Penyelesaian yang diambil oleh kedua
belah pihak ialah tindakan mengabaikan.
Kelima, warga desa Jongbiru me-
lalui aparatur pemerintahan desa yang
berkepentingan memanfaatkan keberada-
an penambang pasir mekanik dan pe-
nambang pasir manual sebagai alat pema-
sukan bagi kas desa dengan warga desa
Jabon. Tahapan sengketa yang dilakukan
mencapai tingkatan prakonflik. Penyele-
saian yang diambil oleh kedua belah
pihak ialah tindakan mengabaikan.
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 195
Keenam, penambang pasir meka-
nik yang berkepentingan untuk mencari
keuntungan ekonomi yang sebesar-besar-
nya dengan pemerintah daerah kabupa-
ten Kediri yang berkepentingan untuk
menertibkan dan menindak penambang-
an pasir mekanik melalui ketentuan
peraturan daerah. Tahapan sengketa yang
dilakukan mencapai tingkatan sengketa.
Penyelesaian yang diambil oleh kedua
belah pihak ialah tindakan peradilan
hukum.
Ketujuh, penambang pasir meka-
nik yang berkepentingan untuk mencari
keuntungan ekonomi yang sebesar-besar-
nya dengan Perum Jasa Tirta I yang me-
miliki kepentingan dalam pemanfaatan
air untuk kepentingan umum pada sungai
Brantas. Tahapan sengketa yang dila-
kukan mencapai tingkatan sengketa. Pe-
nyelesaian yang diambil oleh kedua belah
pihak ialah tindakan peradilan hukum.
Penambang pasir mekanik yang
berkepentingan untuk mencari keuntung-
an ekonomi yang sebesar-besarnya de-
ngan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS)
Brantas yang memiliki kepentingan ter-
hadap perlindungan dan perawatan pra-
sarana umum wilayah sungai Brantas.
Tahapan sengketa yang dilakukan men-
capai tingkatan sengketa. Penyelesaian
yang diambil oleh kedua belah pihak ialah
tindakan peradilan hukum.
Penutup
Pekerjaan penambang pasir merupakan
mata pencaharian yang telah membudaya
bagi masyarakat yang bertempat tinggal
di sekitar daerah aliran sungai Brantas
khususnya warga desa Jongbiru.
Perkembangan penambangan pa-
sir di wilayah sungai Brantas diawali
dengan teknik menambang secara tra-
disional, manual, konveyor, dan mekanik.
Penambangan pasir secara mekanik
menggunakan mesin disel yang meng-
akibatkan kerusakan ekologis dan fasi-
litas umum yang terdapat di sekitar wi-
layah sungai. Kerusakan tersebut memun-
culkan pihak-pihak yang bersengketa
sesuai dengan pandangan kepentingan-
nya masing-masing.
Pemetaan bentuk dan penyelesai-
an sengketa menunjukan bahwa terdapat
delapan bentuk hubungan, tahap, dan pe-
nyelesaian sengketa yaitu Penambang pa-
sir mekanik (keuntungan ekonomi yang
sebesar-besarnya) dengan Warga Jong-
biru (pemberdayaan tenaga kerja dan
suasana tenang) tahapan konflik-penye-
lesaian lumping it, Warga Jongbiru Umum
(berkepentingan untuk melakukan per-
lindungan terhadap wilayah sungai dan
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 196
prasarana jalan) dengan Warga Jongbiru
(tiyang pasiran menjual tanah bantaran
sungai) tahapan sengketa-penyelesaian
mediation, Penambang pasir mekanik
(keuntungan ekonomi yang sebesar-
besarnya) dengan Warga Jabon (upaya
penyelamatan jembatan Mritjan) tahapan
sengketa-penyelesaian adjudication,
Penambang pasir mekanik (keun-
tungan ekonomi yang sebesar-besarnya)
dengan penambang pasir manual (penye-
rapan tenaga kerja) tahapan prakonflik-
penye-lesaian lumping it, Warga Jongbiru
(aparatur pemerintahan desa) (pemasuk-
an kas desa dari penambang pasir meka-
nik dan manual) dengan Warga Jabon
(kontrol sosial) (Indikasi pemanfaatan
aparatur pemerintahan desa Jongbiru ke-
tidakperdulian aparatur desa Jongbiru
terhadap kondisi jembatan Mritjan) ta-
hapan prakonflik-penyelesaian lumping it.
Penambang pasir mekanik (umum)
(keuntungan ekonomi yang sebesar-
besarnya) dengan Pemerintah Daerah
(Pemkab-Perda) (pemanfaatan sumber
daya alam untuk kepentingan daerah) ta-
hap sengketa-penyelesaian adjudication.
Penambang pasir mekanik (keun-
tungan ekonomi yang sebesar-besarnya)
dengan Perum Jasa Tirta (prasarana)
(pemanfaatan air untuk kepentingan
umum) tahapan sengketa-penyelesaian
adjudication.
Penambang pasir mekanik (keun-
tungan ekonomi yang sebesar-besarnya)
dengan Balai Besar Wilayah Sungai
(BBWS) Brantas (prasarana) (perlindung-
an dan perawatan prasarana umum w-
ilayah sungai Brantas) tahapan sengketa-
penyelesaian adjudication.
Pemerintah diharapkan lebih peduli
terhadap keadaan penambang pasir tra-
disional dan manual di mana pekerjaan
tersebut telah menjadi budaya yang telah
diwariskan secara turun-temurun. Peme-
rintah yang memiliki otoritas, sebagai
langkah dalam proses penerapan per-
aturan perundangan yang diberlakukan
terhadap penambangan pasir di wilayah
sungai Brantas hendaknya melibatkan
warga masyarakat yang bermatapenca-
harian sebagai penambang pasir.
Apabila aparatur pemerintah desa
sebagai kepanjangan tangan dari pe-
merintah daerah tidak mampu menjem-
batani aspirasi warga masyarakat yang
bermata-pencaharian sebagai penambang
pasir, hendaknya menciptakan ruang
sebagai sarana diskusi yang melibatkan
pemerintah pusat, propinsi, daerah,
aparat penegak hukum, badan dan
instansi serta warga masyarakat bantaran
sungai Brantas khususnya di desa
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 197
Jongbiru terkait keberadaan penambang-
an pasir mekanik.
Apabila harus diadakan larangan
terhadap keberadaan penambangan pasir
tradisional dan manual, maka pemerintah
harus menyediakan alternatif pekerjaan
lain, pelatihan, dan pendampingan, agar
pekerjaan yang diberikan tersebut dapat
menjadi mata pencaharian pengganti.
Aparatur penegak hukum diharap-
kan lebih tegas dalam menindak penam-
bang pasir mekanik yang berakibat
kerusakan ekologis dan mendesak keber-
adaan penambang pasir tradisional dan
manual namun bukan melalui tindakan
represif melainkan melalui usaha-usaha
dialog yang melibatkan aparatur peme-
rintahan desa/kelurahan, warga masya-
rakat dan penambang pasir terkait.
Pemerintah kabupaten Kediri me-
lalui kordinasi terhadap instansi (Perum
Jasa Tirta I) dan badan (Balai Besar
Wilayah Sungai Brantas) terkait penge-
lolaan sumber daya air dan pemeliharaan
prasarana sungai, hendaknya segera
memperbaiki dan membangun kembali
pra-sarana yang rusak akibat penam-
bangan pasir mekanik. Dalam proses
perbaikan dan pembangunan tersebut di-
upayakan untuk melibatkan warga desa
setempat dalam proses perbaikan dan
pembangunannya, agar tercipta kesadar-
an warga masyarakat.
Daftar Pustaka
Bachtiar, Harsja W. (1997) “Pengamatan sebagai suatu Metode Penelitian,” Metode-metode Penelitian Masyara-kat Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 108-128.
Hadikusuma, H. Hilman (1992) Pengantar Antropologi Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Ihromi, T. O. (2001) “Beberapa Catatan mengenai Metode Kasus Sengketa yang Digunakan dalam Antropologi Hukum,” dalam Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Ya-yasan Obor Indonesia, 194-213.
Irianto, Sulistyowati (2005) Perempuan Di Antara Berbagai Pilihan Hukum: Studi mengenai Strategi Perempuan Batak Toba untuk Mendapatkan Akses kepada Harta Waris melalui Proses Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Ya-yasan Obor Indonesia
Koentjaraningrat (1997) “Metode Wa-wancara,” dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 129-172.
Koentjaraningrat (2002) Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta.
Liputan6 SCTV. http://www.youtube.com/ watch?v=XkDZdXa5dn8, diakses 20 September tahun 2010 pukul 22.15 WIB).
Moleong, L. J. (1990) Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda-karya.
Setiawan, Budi (1998) “Perubahan Ke-budayaan dalam Proses Pembang-unan Nasional,” Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik, XI(1): 5-1.
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri,” hal. 179-198.
BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 198
Spradley, James P. (1997) Metode Etno-grafi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.