senin, 7 maret 2011 | media indonesia - ftp.unpad.ac.id · belum adil. pasalnya, hukuman yang...

1
POLKAM 29 SENIN, 7 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA PENGANTAR SISTEM pemidanaan kepada anak-anak selama ini dianggap belum adil. Pasalnya, hukuman yang diberikan terkadang cukup memberatkan, padahal sang anak hanya tersangkut kasus kriminal kecil, misalnya mencuri. Selain itu, perlakuan terhadap narapidana yang masih berusia anak-anak pun seharusnya dibedakan dengan orang dewasa. Karena itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Peradilan Anak diharapkan bisa mengubah ketidakadilan yang dihadapi para narapidana anak. Berikut ini harapan dan pendapat para pakar mengenai urgensi RUU Sistem Peradilan Anak tersebut. TEMPAT anak-anak itu bukan penjara. Jika anak-anak melaku- kan perilaku menyimpang, tempat mereka bukan penjara atau LP karena dalam peri- laku menyimpang anak-anak tidak bisa ditempatkan sebagai pelaku kejahatan. Mereka harus dipahami sebagai korban. Perilaku menyimpang anak terjadi karena mereka tergelin- cir oleh lingkungan yang tidak memenuhi syarat pendidikan bagi anak, misalnya jalanan. Lebih pantas jika mereka berada dalam rumah kreativitas anak. Konsep dasar LP Anak harus diubah dengan rumah bagi pem- belajaran kreativitas bagi anak. Tempat itu memberikan pendidikan, bimbingan, dan eksplorasi kreativitas. Karena faktanya perilaku menyimpang sebenarnya adalah kreativitas anak yang disalahgunakan. Makanya anak harus mendapat perlakuan khusus. Konsep inilah yang menjadi masukan dalam revisi UU Peradilan bagi anak pascaputusan MK mengenai batas umur anak. (AO/P-4) SISTEM peradilan anak se- lama ini memiliki sejumlah kekurangan baik dari segi sub- stansi undang-undang maupun pelaksanaannya. Terkait sub- stansi UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, paradigma yang digunakan adalah para- digma penghukuman. Ini ber- dampak pada putusan yang dikeluarkan hakim. Jarang sekali dijatuhkan hukuman kurungan ataupun pidana ber- syarat kepada anak-anak yang terbukti bersalah. Selain substansi, pelaksanaan terhadap UU tersebut juga ma- sih bermasalah. UU mengamanatkan adanya polisi anak, jaksa, hakim, hingga ruang pengadilan untuk anak. Namun, jumlahnya kami nilai tidak memadai dan masih minim. Ke depannya, sistem peradilan anak mulai dari penangkapan hingga persidangan dan juga penitipan di LP harus benar- benar dibenahi. RUU yang akan dibahas dalam waktu dekat ini mengakomodasi semangat keadilan demi kebaikan anak-anak. Sehingga, anak-anak tidak mengalami trauma akibat dipenjara ataupun selama mengalami proses peradilan. (Nav/P-4) KITA sudah memutuskan me- naikkan umur anak yang bisa diadili dari 8 tahun menjadi 12 tahun yang bisa dibawa ke peradilan anak. Dengan per- timbangan sebelum 12 tahun itu masih sangat kecil, cukup diserahkan ke orang tua tidak perlu dibawa ke pengadilan. Kalau dibawa ke pengadi- lan mungkin ditahan masih terlalu kecil, tidak baik bagi pertumbuhan anak. Kalau 12 tahun, sudah sedikit memahami yang benar dan yang salah. Proses peradilan terhadap anak nakal harus memperhatikan kepentingan anak dan masa depan pertumbuhan anak. Itu prinsip yang harus diperhatikan. Karena itu dalam proses peradilannya jangan sampai membuat anak itu menjadi trauma, demikian juga dalam menjatuhkan putusannya. (Wta/P-4) ANAK adalah titipan Tuhan. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Peradilan Anak diharapkan mampu memberikan jaminan alternatif penyelesaian hukum yang menjauhkan anak dari penjara, dengan cara diversi dan restorative justice. Apakah yang dimaksud dengan restorative justice itu? Bagaimana prosesnya? Berikut ini wawancara wartawan Media Indonesia Scherazade Mulia Saraswati dengan Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM Harkristuti Harkris- nowo, di Jakarta, pekan lalu. Bagaimana sebenarnya ben- tuk konkret pendekatan res- torative justice dalam RUU Sistem Peradilan Anak? Pendekatan restorative justice itu pemulihan. Kita berharap le- bih banyak tindak pidana anak itu diselesaikan melalui diversi atau di luar sistem peradilan. Kita sedang merumuskan dan mengusulkan itu. Setiap pe- negak hukum harus bertugas mengupayakan perdamaian antarkedua belah pihak. Kemu- dian kalau sudah damai, ada kesepakatan. Nah, kesepakatan itu akan dikirim ke pengadilan untuk dikukuhkan. Sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Jadi, itu dari awal prosesnya. Bagaimana jika perdamaian itu gagal dilakukan? Kita memberikan alternatif, ada tindakan dan hukuman. Untuk mereka yang usianya 12 sampai 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan. Sedangkan hukuman baru bisa dikenakan untuk mereka yang berusia 14 dan belum sampai 18 tahun. Alternatifnya banyak se- kali. Hakim bisa menjatuhkan, misalnya teguran. Mulai dari pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan (LP) anak, pembinaan di luar lembaga (LP anak). Nah, hal-hal macam itu yang kami rumuskan. Sudah jauh lebih variatif daripada yang sekarang. Intinya, dalam RUU Sistem Peradilan Anak kami mereduk- si hukuman sampai tingkat yang lebih kecil. Bukan berarti bahwa kalau dia memerkosa terus tidak boleh dihukum. Bukan begitu... Ada gagasan agar anak ja- ngan dihukum kurungan pen- jara, tapi kerja sosial. Apakah ini juga dibahas dalam RUU tersebut? Kita enggak masukkan kerja sosial karena dia kan harus bekerja. Di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketena- gakerjaan, anak enggak boleh bekerja. Jadi, kita sebutnya pelayanan sosial. Kita tidak memakai kata kerja. Misalnya dia sudah SMP atau SMA di kelurahan dia suruh mencatat buku tamu. Semacam itulah. Jika dikenai tindakan beru- pa pelayanan sosial, apakah ini cukup atau bisa memberi- kan efek jera kepada si anak? Itu tergantung hakim. Itu kan salah satu bentuk ya. Dari puluhan bentuk tindak pidana dan tindakan, hakim kan juga harus melihat dari kasus per kasus. Kita sendiri mensyaratkan hakim anak harus punya ser- tikat. Hakim, polisi, jaksa itu harus punya sertikat sudah pernah ikut pelatihan tentang hak-hak anak, jadi mereka tahu apa yang harus dilakukan. Sudah sejauh mana RUU Sistem Peradilan Anak diba- has dengan DPR? Setahu saya belum mu- lai. Tapi kalau dari kami, dari tim sudah menye- rahkannya. Adakah hubungan- nya antara RUU Sistem Peradilan Anak dan surat keputusan bersama (SKB) serupa yang dikeluarkan 15 Desember 2009? SKB-nya itu tentang pena- nganan anak di dalam pen- jara ‘kali ya. SKB-nya kan de- ngan men- teri pendi- dikan, men- teri sosial, men- teri kesehatan. Seingat saya memang itu su- dah dilakukan. Tapi sejauh apa itu sudah ber- jalan, saya eng- gak bisa jawab. (P-4) ARTIS Olga Lydia memberikan penyuluhan akan pentingnya budaya membaca saat menghadiri acara pemberian buku bacaan kepada anak-anak di LP Anak Tangerang, Sabtu, (20/11/2010). SEORANG anak sedang tidur siang di LP Anak Pria Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Rabu (21/1/2009). ANTARA/TERESIA MAY MI/ROMMY PUJIANTO MI/SUSANTO DOK. PRIBADI MI/USMAN ISKANDAR MI/TERESIA AAN MELIANA Hukuman Anak Dikurangi ke Level Terkecil Harkristuti Harkrisnowo Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM Apong Herlina Komisioner KPAI Hamdan Zoelva Hakim Mahkamah Konstitusi Seto Mulyadi Ketua Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak GALERI PENDAPAT Berikan Keadilan untuk Kebaikan Anak

Upload: vankhanh

Post on 09-Jun-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

POLKAM 29SENIN, 7 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA

PENGANTAR

SISTEM pemidanaan kepada anak-anak selama ini dianggap belum adil. Pasalnya, hukuman yang diberikan terkadang cukup memberatkan, padahal sang anak hanya tersangkut kasus kriminal kecil, misalnya mencuri.

Selain itu, perlakuan terhadap narapidana yang masih berusia anak-anak pun seharusnya dibedakan dengan orang dewasa. Karena itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Peradilan Anak diharapkan bisa mengubah ketidakadilan yang dihadapi para narapidana anak. Berikut ini harapan dan pendapat para pakar mengenai urgensi RUU Sistem Peradilan Anak tersebut.

TEMPAT anak-anak itu bukan penjara. Jika anak-anak melaku-kan perilaku menyimpang, tempat mereka bukan penjara atau LP karena dalam peri-laku menyimpang anak-anak tidak bisa ditempatkan sebagai pelaku kejahatan. Mereka harus dipahami sebagai korban.

Perilaku menyimpang anak terjadi karena mereka tergelin-cir oleh lingkungan yang tidak memenuhi syarat pendidikan bagi anak, misalnya jalanan. Lebih pantas jika mereka berada dalam rumah kreativitas anak.

Konsep dasar LP Anak harus diubah dengan rumah bagi pem-belajaran kreativitas bagi anak.

Tempat itu memberikan pendidikan, bimbingan, dan eksplorasi kreativitas. Karena faktanya perilaku menyimpang sebenarnya adalah kreativitas anak yang disalahgunakan. Makanya anak harus mendapat perlakuan khusus. Konsep inilah yang menjadi masukan dalam revisi UU Peradilan bagi anak pascaputusan MK mengenai batas umur anak. (AO/P-4)

SISTEM peradilan anak se-lama ini memiliki sejumlah kekurang an baik dari segi sub-stansi undang-undang maupun pelaksanaannya. Terkait sub-stansi UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, paradigma yang digunakan adalah para-digma penghukuman. Ini ber-dampak pada putusan yang dikeluarkan hakim. Jarang sekali dijatuhkan hukuman kurungan ataupun pidana ber-syarat kepada anak-anak yang terbukti bersalah.

Selain substansi, pelaksanaan terhadap UU tersebut juga ma-sih bermasalah. UU mengamanatkan adanya polisi anak, jaksa, hakim, hingga ruang pengadilan untuk anak. Namun, jumlahnya kami nilai tidak memadai dan masih minim.

Ke depannya, sistem peradilan anak mulai dari penangkapan hingga persidangan dan juga penitipan di LP harus benar-benar dibenahi. RUU yang akan dibahas dalam waktu dekat ini meng akomodasi semangat keadilan demi kebaikan anak-anak. Sehingga, anak-anak tidak mengalami trauma akibat dipenjara ataupun selama mengalami proses peradilan. (Nav/P-4)

KITA sudah memutuskan me-naikkan umur anak yang bisa diadili dari 8 tahun menjadi 12 tahun yang bisa dibawa ke peradilan anak. Dengan per-timbangan sebelum 12 tahun itu masih sangat kecil, cukup diserahkan ke orang tua tidak perlu dibawa ke pengadilan. Kalau dibawa ke pengadi-lan mungkin ditahan masih terlalu kecil, tidak baik bagi pertumbuh an anak. Kalau 12 tahun, sudah sedikit memahami yang benar dan yang salah.

Proses peradilan terhadap anak nakal harus memperhatikan kepentingan anak dan masa depan pertumbuhan anak. Itu prinsip yang harus diperhatikan. Karena itu dalam proses peradilannya jangan sampai membuat anak itu menjadi trauma, demikian juga dalam menjatuhkan putusannya. (Wta/P-4)

ANAK adalah titipan Tuhan. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Peradilan Anak diharapkan mampu memberikan jaminan alternatif penyelesai an hukum yang menjauhkan anak dari penjara, dengan cara diversi dan restorative justice.

Apakah yang dimaksud dengan restorative justice itu? Bagaimana prosesnya? Berikut ini wawancara wartawan Media Indonesia Scherazade Mulia Saraswati dengan Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM Harkristuti Harkris-nowo, di Jakarta, pekan lalu.

Bagaimana sebenarnya ben-tuk konkret pendekatan res-torative justice dalam RUU Sistem Peradilan Anak?

Pendekatan restorative justice itu pemulihan. Kita berharap le-bih banyak tindak pidana anak itu diselesaikan melalui diversi atau di luar sistem peradilan. Kita sedang merumuskan dan mengusulkan itu. Setiap pe-negak hukum harus bertugas mengupayakan perdamaian antarkedua belah pihak. Kemu-dian kalau sudah damai, ada

kesepakatan. Nah, kesepakatan itu akan dikirim ke pengadilan untuk dikukuhkan. Sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Jadi, itu dari awal prosesnya.

Bagaimana jika perdamaian itu gagal dilakukan?

Kita memberikan alternatif, ada tindakan dan hukuman. Untuk mereka yang usianya 12 sampai 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan. Sedangkan hukuman baru bisa dikenakan untuk mereka yang berusia 14 dan belum sampai 18 tahun.

Alternatifnya banyak se-kali. Hakim bisa menjatuhkan, misalnya teguran. Mulai dari pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan (LP) anak, pembinaan di luar lembaga (LP anak).

Nah, hal-hal macam itu yang kami rumuskan. Sudah jauh lebih variatif daripada yang sekarang.

Intinya, dalam RUU Sistem Peradilan Anak kami mereduk-si hukuman sampai tingkat yang lebih kecil. Bukan berarti bahwa kalau dia memerkosa terus tidak boleh dihukum. Bukan begitu...

Ada gagasan agar anak ja-ngan dihukum kurungan pen-jara, tapi kerja sosial. Apakah ini juga dibahas dalam RUU tersebut?

Kita enggak masukkan kerja sosial karena dia kan harus bekerja. Di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketena-gakerjaan, anak enggak boleh bekerja. Jadi, kita sebutnya pelayanan sosial. Kita tidak memakai kata kerja.

Misalnya dia sudah SMP atau SMA di kelurahan dia suruh mencatat buku tamu. Semacam itulah.

Jika dikenai tindakan beru-pa pelayanan sosial, apakah ini cukup atau bisa memberi-kan efek jera kepada si anak?

Itu tergantung hakim. Itu kan salah satu bentuk ya. Dari puluhan bentuk tindak pidana dan tindakan, hakim kan juga harus melihat dari kasus per kasus.

Kita sendiri mensyaratkan hakim anak harus punya ser-tifi kat. Hakim, polisi, jaksa itu harus punya sertifi kat sudah pernah ikut pelatihan tentang hak-hak anak, jadi mereka tahu apa yang harus dilakukan.

Sudah sejauh mana RUU Sistem Peradilan Anak diba-has dengan DPR?

Setahu saya belum mu-lai. Tapi kalau dari kami, dari tim sudah menye-rahkannya.

Adakah hubungan-nya antara RUU Sistem Peradil an Anak dan surat keputusan bersama (SKB) serupa yang dikeluarkan 15 Desember 2009?

SKB-nya itu tentang pena-nganan anak di dalam pen-jara ‘kali ya. S K B - n y a k a n d e -ngan men-teri pendi-dikan, men -te ri sosial, men-teri kesehatan. S e i n g a t s a y a memang itu su-dah dilakukan. Tapi sejauh apa itu sudah ber-jalan, saya eng-gak bisa jawab. (P-4)

ARTIS Olga Lydia memberikan penyuluhan akan pentingnya budaya membaca saat menghadiri acara pemberian buku bacaan kepada anak-anak di LP Anak Tangerang, Sabtu, (20/11/2010).

SEORANG anak sedang tidur siang di LP Anak Pria Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Rabu (21/1/2009).

ANTARA/TERESIA MAY MI/ROMMY PUJIANTO

MI/SUSANTO

DOK. PRIBADI

MI/USMAN ISKANDAR

MI/TERESIA AAN MELIANA

Hukuman Anak Dikurangi ke Level Terkecil

Harkristuti HarkrisnowoDirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM

Apong HerlinaKomisioner KPAI

Hamdan ZoelvaHakim Mahkamah Konstitusi

Seto MulyadiKetua Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak

GALERI PENDAPAT

Berikan Keadilan untuk Kebaikan Anak