senioritas dan perilaku kekerasan dikalangan...
TRANSCRIPT
SENIORITAS DAN PERILAKU KEKERASAN DIKALANGAN
SISWA
(STUDI KASUS SMP PGRI 1 CIPUTAT TANGSEL)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh
Andini Pratiwi
NIM: 107032201586
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1433 H/2012 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil
jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 24 Februari 2012
Andini Pratiwi
ABSTRAK
Andini Pratiwi
Senioritas dan Perilaku Kekerasan Di Kalangan Siswa (Studi Kasus SMP PGRI 1
CIPUTAT Tangerang Selatan).
S
Kasus SMP PGRI 1 Ciputat Tangerang Selatan). Dilatarbelakangi dengan fenomena kekerasan
dikalangan siswa sangat memprihatinkan karena berdasarkan data milik Komnas Anak,
kekerasan anak terus meningkat. Kasus senioritas dan kekerasan di kalangan siswa terjadi mulai
dari tingkat SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi. Kasus senioritas dapat meresahkan karena
membuat korban kekerasan meninggal atau trauma.
Ada dua konsep utama yang di gunakan dalam skripsi ini yaitu senioritas dan perilaku
kekerasan. Perilaku kekerasan adalah sebagai sebuah ancaman, usaha atau penggunaan fisik
yang dilakukan oleh seseorang yang dapat menimbulkan luka baik secara fisik maupun non fisik
terhadap orang lain. Senioritas adalah pemberian yang dikhususkan untuk orang yang lebih
dituakan dalam berbagai hal, karena orang yang lebih tua biasanya dipandang lebih memiliki
banyak pengalaman. Selain itu skripsi ini juga menggambarkan fenomena senioritas dengan teori
belajar sosial karena kemampuan meniru respon orang lain adalah penyebab utama belajar
seseorang. Orang dapat memperoleh pola-pola perilaku baru melalui pengamatan terhadap orang
lain.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan deskriptif. Studi kasus SMP PGRI 1 Ciputat TANGSEL, sedangkan teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara siswa-siswi SMP PGRI 1
Ciputat, pihak sekolah, orang tua siswa. Dalam penelitian ini melibatkan informan sebanyak 20
orang. Yang terdiri dari 12 orang siswa yang terdiri dari kelas 8 dan 9, 2 orang dari pihak sekolah
dan 6 orang dari pihak orang tua siswa.
Berdasarkan hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan siswa
melakukan tindak kekerasan adalah faktor teman sebaya dan lingkungan sosial, keluarga, dan
media massa. Adapun bentuk kekerasan yang di lakukan siswa adalah kekerasan fisik, kekerasan
verbal, dan kekerasan psikologis. Sementara peran sekolah dalam menangani kasus kekerasan
siswa adalah dengan memberikan sanksi bagi siswa yang menjadi pelaku kekerasan, pihak
sekolah hanya memberikan arahan bagi siswa bahwa melakukan tindak kekerasan adalah
perbuatan yang salah. Sementara orang tua melakukan dengan cara menasehati saja dan tidak ada
tindak pencegahan dari orang tua.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya,
serta tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW dan
keluarganya serta para sahabatnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
yang berjudul
Ciputat Tangerang S
Skripsi ini tidak akan bisa rampung tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan
kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof.Dr. Bahtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
2.
saran-saran yang diberikan selama menyusun skripsi ini. Terima kasih atas waktu yang
sudah diluangkan, sehingga penulis dapat merampungkan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Zulkifli, MA selaku Ketua Program Studi Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Ibu Dra. Joharotul Jamilah,M.Si selaku Sekretaris Prodi Sosiologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Seluruh dosen dan staf pengajar program studi sosiologi atas segala motivasi, ilmu
pengetahuan, bimbingan, wawasan dan pengalaman yang mendorong penulis selama
menempuh studi.
6. Seluruh Staf Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas segala buku-buku yang
telah penulis pinjam.
7.
(Almarhumah dan Almarhum) terima kasih untuk segala nya dan maff penulis belum
sempat membuat bangga kalian. Semoga ini bisa menjadi kado terindah untuk kalian
disana.
8. Ayahanda Ruhiyadi. S terima kasih untuk segala motivasi, materi, pengorbanan atas
setiap tetes keringatmu, doa yang diberikan selama ini diberikan untuk penulis. Adikku
Reynaldi Dermawan terima kasih untuk bantuannya.
9. Sahabat-sahabatku Neneng hasanah, Uswatun Hasanah teman seperjuangan yang
menemani penulis selama masa kuliah. Dini syifa, Dara, Ati, janah Fadli, Carli, Adri,
Abe, Matin, Sandi dan keluarga kecil Sosiologi angkatan 2007 penulis akan selalu
merindukan kebersamaan dengan kalian.
10. Kepala sekolah SMP PGRI 01 Ciputat Bpk Cartam,M.Pd terima kasih telah mengijinkan
penulis untuk melakukan penelitian di sekolah ini. Terima kasih untuk Bapak
Sartiman,S.Pd dan Ibu Idjah, S.Pd telah meluangkan waktunya agar penulis
merampungkan skripsi ini. Siswa-Siswi SMP PGRI 01 Ciputat terima kasih untuk seluruh
informasinya kepada penulis.
11. Bapak Iwan, S.Pd (Ibob) terima kasih untuk seluruh bantuan dan waktunya agar penulis
dapat merampungkan skripsi ini.
12. Someone spesial Ahmad Sofyan Hidayat S.Pd (Bimbim) terima kasih untuk segala
support, bantuan, waktu dan doa yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.
13. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Penulis menyadari tidak ada yang sempurna kecuali Allah SWT, begitu pula dengan
skripsi ini, karena itu kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan di masa mendatang
sangat penulis harapkan.
Ciputat, 24 Februari 2012
Andini Pratiwi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ii
iv
DAFTAR TABEL vi
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B.
C.
D.
E.
1. ....10
2.
3.
4. ...12
5. ...12
6.
F.
BAB 2 KAJIAN TEORI
A. Kekerasan ..16
1. ..16
2.
B.
1.
2.
BAB 3 GAMBARAN UMUM SEKOLAH PGRI 01 CIPUTAT
A.
B.
BAB 4 HASIL PENELITIAN
A. Faktor Penyebab Kekerasan Yang Dilakukan Siswa Senior Terhadap
B. Bentuk-Bentuk Kekerasan Yang Dilakukan Siswa Senior Terhadap
C. Peranan Sekolah, Orang Tua Dalam Menangani Kasus Kekerasan Di Kalangan Siswa
BAB 5 PENUTUP
A.
B.
DAFTAR PUSTAKA 69
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Daftar Tenaga Pendidik SMP PGRI 1 Ciputat
2. Tabel 2 Data Guru Bimbingan dan Konseling SMP PGRI1 Ciputat
3.
4. Tabel 4ProfilSubjekPenelitian
5. Tabel 5 Profil Keluarga Subjek Penelitian
6. Tabel 6 Latar Belakang Ekonomi Keluarga
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kasus kekerasan dikalangan siswa di Indonesia merupakan fenomena yang sangat
memprihatinkan. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan oleh Komnas Perlindungan Anak
(KPA) angka kekerasan disekolah pada tahun 2009 meningkat hingga 20% dibandingkan dengan
tahun 2008. Menurut sekjen KPA, Arist Merdeka Sirait pada tahun 2009 terjadi aksi kekerasan
disekolah mencapai 472 kasus. Angka ini meningkat dibandingkan pada tahun 2008, jumlah
kasusnya sebanyak 362 kasus.1
Tekait maraknya aksi kekerasan di sekolah, Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional
Perlindungan Anak (KOMNAS PA) Seto Mulyadi menyatakan bahwa banyaknya aksi kekerasan
yang terjadi di beberapa sekolah menunjukkan bahwa pendidikan yang dicanangkan pemerintah
belum berhasil dan fenomena kekerasan atas nama senioritas ini banyak terjadi di berbagai
sekolah di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya merespon hal ini dengan serius.2
Kekerasan di kalangan siswa khususnya kekerasan yang dilakukan oleh senior terhadap
juniornya sering terjadi baik di SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi. Masa Orientasi Siswa
(MOS) atau OSPEK ditetapkan sebagai sekolah untuk memberi waktu pada siswa baru untuk
menyesuaikan diri dengan sekolah mereka. Kegiatan MOS biasanya yang menjadi panitia adalah
kelas 3 dan kelas 2, aksi senior banyak macamnya ada yang bersifat positif dan ada juga yang
1Kerrigan, 2009. Artikel ini diakses pada tanggal 1 Juni 2011
dari http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=549308 2 Hasyim Siregar, dkk. 2011, , Artikel ini di akses pada tanggal 14
November 2011 dari http://www.seputar-Indonesia.com/edisicetak/content/view/439514/38/
bersifat negatif dengan mengatasnamakan senioritas para senior berhak untuk memberi pelajaran
kepada adik-adik kelasnya atau para juniornya. Tindakan para senior biasanya dapat berupa
sindiran, ancaman dan lain-lain. Biasanya senior menerapkan tata tertib untuk juniornya dan
apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi atau hukuman.
Pada dasarnya, aksi kekerasan dikalangan siswa dapat diancam dengan pasal 54 UU No
23 tahun 2002. Sanksi tersebut tidak hanya berlaku bagi para siswa yang menjadi pelaku
kekerasan, para pengajar pun dapat dikenakan sanksi seperti disebutkan dalam pasal 82 UU No
23 tahun 2002 karena dianggap melakukan pembiaran atau pelalaian.3 Terkait potensi kekerasan
yang dilakukan oleh siswa senior terhadap junior, Dinas pendidikan DKI Jakarta sendiri telah
menegaskan bahwa siswa senior dilarang dilibatkan dalam kegiatan MOS. Hal ini dilakukan
untuk mencegah aksi bullying disekolah dan bukan hanya kegiatan MOS tetapi seluruh kegiatan
yang dapat bersifat negatif.4
Akan tetapi, hal ini tidak begitu saja menghilangkan tradisi kekerasan senior di sekolah,
Salah satu-contoh aksi senioritas di tingkat SMP, misalnya, terjadi di SMP 10 Tangerang
Selatan. Bentuknya bermacam-macam ada yang berupa pemalakan maupun tawuran. Bagi siswa
junior yang tidak mau memberi uang kepada senior akan diancam atau dipukuli. Untuk yang
tidak mau ikut tawuran akan dipukuli lalu kemudian akan ditatar oleh para senior dengan
memberi teknik-teknik tawuran. Tindakan yang dilakukan oleh pihak sekolah apabila terjadi
kekerasan atau masalah tawuran adalah langsung mengeluarkan siswa-siswa yang melakukan
3 Kerrigan, 2009, Artikel ini diakses pada tanggal 1 Juni
2011 dari http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=549308
4 Catur Nugroho Saputra, 2011. Artikel ini di
akses pada tanggal 14 November 2011 dari http://news.okezone.com/read/2011/10/31/338/522940/cegah-bullying-
siswa-senior-dilarang-terlibat-MOS.
perploncoan tersebut.5 Di SMP PGRI 1 TANGSEL pun teridentifikasi terjadi kasus kekerasan
yang dilakukan oleh senior terhadap juniornya. Kegiatan perkenalan siswa baru yang biasa
disebut Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) yang panitianya mayoritas siswa kelas 3, awalnya
hanya sebuah lelucon saja untuk memberi pelajaran bagi siswa baru namun karena ada yang
tidak menerima lelucon yang dilakukan oleh panitianya maka timbulah perkelahian.6 Tindak
kekerasan yang dilakukan oleh senior terhadap juniornya tidak hanya masalah kasus pemalakan
atau gap-gap tetapi masalah tawuran. Apabila juniornya tidak ikut tawuran akan digojlok atau
ditatar.
Ditingkat SMA, kasus kekerasan yang dilakukan oleh senior terhadap juniornya misalnya
terjadi di SMA 70 Jakarta. Di sekolah yang merupakan unggulan di Jakarta ini terdapat
kekerasan yang dilakukan senior terhadap juniornya. Dalam artikel majalah Tempo, tertulis
bahwa salah satu korbannya adalah Dita Kristiani (16 tahun) pernah ditegur oleh kakak kelasnya
karena mengenakan seragam yang ketat, karena tidak mau mencari gara-gara akhrinya Dita
menuruti perintah kakak kelasnya. Para siswa SMA 70 mengaku bahwa aksi senioritas masih
terjadi hingga sekarang, aksi kekerasan sendiri sulit dihilangkan selama masih ada sekat
senioritas di sekolah tersebut. Biasanya pada masa MOS, para senior menerapkan peraturan bagi
adik-adik kelasnya. Diantaranya, rambut tidak boleh digerai bagi perempuan, baju dan rok harus
longgar, tas harus ransel dan sepatu harus berjenis kets.7
Kasus senioritas juga terjadi di SMAN 82 Jakarta, hal tersebut juga dibenarkan oleh
wakil kepala sekolahnya sendiri bidang Kesiswaan SMAN 82 Jakarta bahwa terjadinya aksi
5 Wawancara pribadi dengan siswa SMP 10 TANGSEL ya 6 Wawancara pribadi dengan N yang merupakan salah satu guru di SMP PGRI 1, Ciputat , 4 Juni 2011 7 Aswidityo Nedwika,2010, Artikel
ini diakses pada tanggal 1 Juni 2011 dari http://www.tempointeraktif.com/hg/kriminal/2010/06/04/brk,20100604-
252718,id.html
senioritas telah menjadi tradisi di sekolah tersebut. Tradisi senioritas yang terjadi misalnya
tidak boleh dilewati para juniornya atau adik-adik kelasnya. Aksi kekerasan yang dilakukan para
senior tersebut sudah menjadi tradisi turun menurun. Hal ini terjadi karena kontrol yang sangat
ketat tidak hanya dari para senior akan tetapi mereka yang sudah alumni pun masih ikut berperan
dalam melakukan pengawasan sehingga tradisi seperti disebutkan diatas terjadi terus menerus.8
Selain beberapa kasus diatas, tidak hanya kasus kekerasan yang dilakukan oleh siswa
senior terhadap siswa junior, kasus kekerasan lain yang dilakukan siswa adalah kasus
pengeroyokan terhadap wartawan. Terjadi saat salah satu kru wartawan televisi swasta meliput
aksi tawuran siswa SMA 6 dengan SMA 70, siswa dari SMA 6 yang terlibat tawuran tidak
menerima adanya peliputan dari media lalu mereka mengambil kaset rekaman secara paksa dan
memukuli kru wartawan salah satu televisi swasta.9
Maraknya aksi kekerasan oleh senior juga tidak hanya terjadi pada tingkat sekolah
menengah, aksi kekerasan juga banyak terjadi di tingkat Perguruan Tinggi. Misalnya, kasus yang
terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Menguaknya kekerasan di IPDN terjadi
ketika Praja Madya Cliff Muntu (21 tahun), siswa IPDN asal Sulawesi Utara ditemukan tewas
akibat siksaan para seniornya. Tahun 2003, kejadian tersebut terulang lagi ketika Wahyu Hidayat
praja asal Bogor tewas dengan modus yang sama. Menurut hasil penelitian dari Dosen IPDN, Inu
8 Pipiet Tri Noorastuti, Sandy Adam mahaputra, mbol senioritas di SMAN 82,
2011,Artikel ini diakses pada tanggal 31 Mei 2011 dari http://metro,vivanews.com/news/read/103435.jalur-Gaza-
simbol-senioritas-diSMAN-82 9 urnalis dibalas
Tangsel Pos, 20 September 2011, h.1 dan 6.
Kencana syafiie, tak kurang dari 35 orang praja tewas akibat siksaan dan dera sebagai
konsekuensi pola pengasuhan senior-senior yang berbasis kekerasan.10
Untuk itu pertanyaannya adalah apa penyebab terjadinya kekerasan antara siswa senior
dan junior, mengapa kasus-kasus sepele yang dilakukan oleh adik-adik kelas atau junior dapat
menjadi bencana besar yang berakibat hilangnya nyawa seseorang atau korbannya mengalami
rasa trauma yang mendalam sehingga tidak mau masuk sekolah lagi. Tawuran juga merupakan
tindakan senioritas yang dilakukan untuk menggojlok adik-adik kelas untuk ikut tawuran dengan
sekolah lain. Oleh karena itu, berdasarkan varian diatas peneliti berasumsi bahwa tradisi
senioritas sangat rentan terjadi disekolah dengan adanya kelompok-kelompok didalam sekolah
menjadi penyebab utama kekerasan. Aksi kekerasan sangat bertentangan dengan etika
pendidikan disekolah oleh sebab itu peneliti tertarik untuk meneliti
Perilaku Kekerasan Di k
B. Tinjauan Pustaka
Penelitian terkait dengan kekerasan dikalangan siswa antara lain: Pertama, Tesis Ade
Erlangga di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poitik sitas Menonton Adegan Kekerasan Di
Televisi dan Tingkat Keterlibatan Pelajar Dal .11
Penelitian ini menganalisa
masalah kenakalan remaja, khususnya tawuran antar pelajar yang di pandang sebagai, masalah
yang penting karena hal tersebut dapat mengganggu ketertiban masyarakat. Keberadaan televisi
dipertanyakan sebagian masyarakat karena menayangkan adegan-adegan kekerasan tertentu yang
dianggap dapat mempengaruhi kognisi, sikap dan perilaku khalayak, seperti memperlihatkan
10 i
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=170910 11
ersitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1998)
adegan sadis seperti memukul, membunuh dengan senjata tajam tanpa ada perasaan manusiawi.
Penelitian ini ingin mengetahui hubungan adegan kekerasan di televisi dengan gejala tawuran
antar pelajar yang menggejala dewasa ini di perkotaan.
Penelitian ini juga ingin melihat apakah adegan kekerasan di televisi (media massa)
berhubungan dengan tingkat keterlibatan pelajar dalam tawuran. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa hubungan antara intensitas menonton adegan kekerasan di televisi dan
tingkat keterlibatan pelajar dalam tawuran sangat lemah. Lemahnya hubungan tersebut mungkin
karena fenomena kenakalan pelajar adalah kompleks (sangat banyak variabel yang
mempengaruhi, tidak semata-mata karena variabel terpaan televisi saja) sehingga tidak
mencukupi hubungan antara kedua variabel di atas menjadi hubungan yang kuat.
Penelitian kedua adalah Tesis Anggraini Soemadi, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik yag berjudul
12
Penelitian ini bermaksud melihat pengaruh pola asuh keluarga dan pergaulan teman sebaya pada
remaja yang melakukan tawuran. Metode penelitiannya adalah kualitatif dengan metode
deskriptif. Teknik pengambilan data melalui observasi dan wawancara.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pola asuh keluarga yang melakukan tawuran
adalah pola asuh permisif dimana orang tua membiarkan anak berbuat sesuatu tanpa bimbingan
dan pengarahan. Hal ini disebabkan karena orang tua yang sibuk sehingga tidak memperhatikan
anak, orang tua tidak mengajarkan sholat, puasa. Orang tua tidak memberikan sanksi apapun
walaupun tahu perilaku anak tidak disiplin. Pertemuan antar keluarga untuk komunikasi tidak
12
dimanfaatkan oleh sebagian besar anak untuk mengeluarkan pendapat karena situasi dalam
keluarga yang tidak mendukung misalnya keributan dalam keluarga dan kelelahan orang tua
dalam bekerja.
Faktor lain yang memicu tawuran adalah pertemuan remaja, dimana sebagian besar
waktunya berada dalam lingkungan teman, demikian halnya dengan para siswa. Sebagian besar
siswa kegiatannya sehari-hari sehabis pulang sekolah khususnya sering nongkrong, bergerombol
dan pulang pada malam hari. Pembicaraan mereka umumnya berkisar tentang penyerangan, dan
apabila ada kelompok lain yang menyerang, merekapun ikut menyerang. Teman-teman informan
siswa kadang-kadang juga ikut dalam tawuran tersebut. Kedekatan tempat tinggal dan seringnya
mereka bertemu membuat ikatan kuat antar mereka. Oleh karena itu, teman membawa pengaruh
prilaku remaja.13
Dari beberapa literatur yang ada, penulis belum menemukan penelitian yang membahas
masalah perilaku kekerasan dikalangan siswa khususnya masalah senioritas. Peneliti sebelumnya
hanya meneliti kekerasan dikalangan siswa terkait masalah tawuran saja. Oleh karena itu, penulis
Perilaku Kekerasan i
SMP PGRI 1 Ciputat TANGSEL)
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini penulis mencoba membatasi masalah hanya pada ruang lingkup
Senioritas dan Perilaku SMP PGRI 1 Ciputat TANGSEL)
Dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
13 Ibid.
a. Apa penyebab terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh siswa senior terhadap siswa
junior?
b. Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh siswa senior terhadap siswa
junior?
c. Bagaimana peran sekolah, dan orang tua mengatasi masalah kekerasan dikalangan siswa?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui penyebab terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh siswa senior
terhadap siswa junior
b. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan siswa senior terhadap siswa
junior
c. Untuk mengetahui peran sekolah, orang tua mengatasi masalah kekerasan dikalangan
siswa
2. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian-kajian mengenai kekerasan
dikalangan siswa khususnya masalah kekerasan yang dilakukan senior terhadap juniornya.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan dalam pola penyusunan
penanggulangan kekerasan dikalangan siswa, yang dimanfaatkan oleh berbagai pihak, yaitu:
Menjadi masukkan bagi sekolah dimana, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
pertimbangan bagi guru bidang bimbingan sekolah dalam mengadakan pembinaan bagi siswa.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang diharapkan, peneliti menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode deskriptif, pendekatan kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam
kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam
peristilahannya.14
Melalui metode deskriptif ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu
keadaan yang sementara berjalan pada suatu penelitian yang dilakukan, dan memeriksa suatu
sebab-sebab dari suatu gejala tertentu15
yang diperoleh dari situasi yang alamiah, dari data yang
diperoleh di lapangan lalu dideskripsikan dalam bentuk uraian agar data yang didapat mudah
dimengerti oleh pembaca. Proses penelitian ini dalam mengumpulkan data yang digunakan
adalah observasi dan wawancara siswa-siswi SMP PGRI 1 Ciputat TANGSEL. Studi kasus SMP
PGRI 1 Ciputat TANGSEL di jadikan studi kasus penelitian ini karena aksi senioritas sudah
sangat lama terjadi dan bukan hanya baru terjadi tahun ini. Sehingga penting untuk melihat
bagaimana fenomena kekerasan yang ada di sekolah tersebut.
Penelitian ini mengasumsikan bahwa kenyataan-kenyataan empiris terjadi dalam suatu
konteks sosial-kultural yang saling terkait satu sama lain dan lebih menekankan pada keaslian,
tidak bertolak dari teori secara deduktif melainkan berangkat dari fakta sebagaimana adanya.
14 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), h. 3. 15 Alimudin Tuwu, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta:UI Press,1993), h.71
2. Subjek Penelitian
Istilah subjek penelitian merujuk kepada orang atau individu atau kelompok yang
dijadikan unit atau satuan (kasus) yang akan diteliti. Adapun subjek penelitian yang penulis teliti
adalah seluruh siswa-siswi SMP PGRI 01 CIPUTAT TANGSEL kelas VIII, dan IX, orang tua
serta pihak sekolah. Dalam penelitian ini melibatkan informan sebanyak 20 orang. Terdiri dari
informan-informan kelas 9 sebanyak 7 orang informan yaitu informan MS, A, FF, MS, AF, E,
SR. Alasan pemilihan informan kelas 9 sebanyak 7 orang karena 3 orang siswa yang pernah ikut
tawuran, 2 orang yang pernah di ajak tawuran namun tidak terlibat dalam tawuran, 2 orang lagi
adalah siswa senior perempuan. Kelas 8 sebanyak 5 informan yaitu ML, D, JD, F, TA alasan
pemilihan informan dari kelasa 8 sebanyak 5 orang adalah 3 orang yang menjadi korban
pemalakan dan kasus tawuran, 2 orang lagi adalah siswi senior. Dari pihak sekolah 2 orang yaitu
Pak S selaku wakil kepala Sekolah dan Pembina Bimbingan Konseling, Ibu I selaku Koordinator
Bimbingan Konseling. Dari pihak Orang tua sebanyak 6 orang yang terdiri dari CS, N, AS, SR,
R, A. alasan pemilihan orang tua sebanyak 6 orang karena CS adalah orang tua siswa yang
suaminya sudah meninggal tetapi sudah menikah lagi, N adalah orang tua siswa yang menjadi
korban pemalakan, AS dan suami A adalah orang tua siswa yang keluarga masih lengkap namun
mereka sibuk bekerja sehingga tidak sempat meluangkan waktu bersama keluarga mereka, R
adalah orang tua siswa yang suaminya sudah meninggal, sementara SR orang tua siswa yang
sudah bercerai. Dalam meyakinkan informan penulis menempatkan pertanyaan yang baku, tetapi
tanya jawab berlangsung secara bebas dan terbuka dengan senantiasa terjalin keakraban.
3. Tempat Penelitian
Penelitian ini di lakukan di SMP PGRI 01 Ciputat Jl. Pendidikan No. 30 Ciputat 15411-
Tangerang Selatan. Dipilihnya sekolah SMP PGRI 01 Ciputat ini untuk mengetahui senioritas
dan perilaku kekerasan dikalangan siswa di sekolah tersebut. Alasan pemilihan Sekolah ini
sebagai studi kasus dalam penelitian karena aksi senioritas sudah sangat lama terjadi dan bukan
baru terjadi tahun-tahun ini di sekolah ini. Aksi senioritas telah menjadi sebuah tradisi yang sulit
untuk di hilangkan dari sekolah ini. Sehingga, penting untuk melihat bagaimana fenomena
kekerasan di sekolah ini terus terjadi.
4. Waktu Penelitian
Adapun waktu penelitian di laksanakan selama 4 bulan mulai dari bulan September
sampai dengan bulan Desember 2011.
5. Teknik Pengumpulan Data
a). Observasi yaitu pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang
diteliti. Yaitu gejala-gejala apa saja yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan yang
dilakukan oleh siswa senior terhadap juniornya, bentuk-bentuk kekerasan apa saja di
SMP PGRI 1 Ciputat TANGSEL, serta bagaimana peran Keluarga, Sekolah dalam
menangani kasus kekerasan di kalangan siswa.
b).Wawancara mendalam, berupa tanya jawab dengan berhadapan muka untuk
mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang informan.16
Dalam
wawancara mendalam ini sendiri mengacu kepada teknik pengumpulan data yang
16 Koenjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1985), h.129.
terstruktur dan terbuka, artinya penulis menempatkan pertanyaan yang baku, akan tetapi
tanya jawab berlangsung secara bebas dan terbuka, dengan senantiasa berusaha terjalin
keakraban. Dalam wawancara ini terdiri dari informan-informan kelas 9 sebanyak 7
orang informan yaitu informan MS, A, FF, MS, AF, E, SR. Kelas 8 sebanyak 5
informan yaitu ML, D, JD, F, TA dari pihak sekolah yaitu Pak Sartiman selaku wakil
kepala Sekolah dan Pembina Bimbingan Konseling dan Ibu Idjah selaku Koordinator
Bimbingan Konseling. Dari pihak orang tua sebanyak 6 orang yang terdiri dari CS, N,
AS, SR, R, A.
c).Telaah Pustaka yaitu dengan membaca, memahami, dan menginterpretsikan buku-buku,
artikel-atikel, makalah-makalah yang ada hubungannya dengan pembahasan ini.
6. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.
1. Data primer, yaitu data dari penelitian yang langsung dari sumber asli (tidak melalui
perantara). Data primer yang dimaksud adalah data yang dikumpulkan melalui metode
wawancara dan pengamatan langsung (observasi). Saat wawancara, peneliti
menggunakan digital dan tape recording untuk merekam langsung data dari para
informan. Data yang berbentuk rekaman tersebut kemudian, peneliti tuliskan kembali
dalam bentuk transkrip yang kemudian peneliti tabulasi dengan cara melihat poin-poin
penting yang mendukung untuk analisis hasil penelitian.
2. Data sekunder, merupakan data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung, tapi
melalui perantara pihak lain, data sekunder dalam penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang diperoleh dari buku-buku, laporan-
laporan / kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, lembaga swasta maupun ormas-
ormas yang ada dalam masyarakat.
F. Sistematika penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini meliputi beberapa bab antara lain:
BAB I : Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Tinjauan Pustaka, Pembatasan
dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, metodologi penelitian,
Subjek Penelitian, Tempat Penelitian, Waktu Penelitian, Jenis Data dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : Kajian teori mengenai pengertian kekerasan, faktor penyebab kekerasan: teori
insting, teori dorongan, teori belajar sosial terkait dengan teori belajar sosial
penulis mencoba mengidentifikasi beberapa kelompok dan media sosial yang
menjadi tempat sosialisasi dan pembelajaran sosial terjadi, yakni antara lain:
keluarga, sekolah, media massa, lingkungan pergaulan. Pengertian senioritas,
relasi senior- junior.
BAB III : Gambaran Umum sekolah SMP PGRI 1 Ciputat Tangerang Selatan, yang meliputi
letak geografis dan Demograsi, Latar Belakang berdirinya, profil guru dan
karyawan SMP PGRI 1 Ciputat TANGSEL serta profil subjek penelitian yang
meliputi profil siswa dan profil keluarga.
BAB IV : Analisa Data yang meliputi penyebab terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh
siswa senior terhadap juniornya, bentuk-bentuk kekerasan apa saja yang
dilakukan oleh senior ke juniornya, peran sekolah, orang tua dalam mengatasi
masalah kekerasan dikalangan siswa.
BAB V : Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Kekerasan
1. Pengertian Kekerasan
Kekerasan merupakan perilaku agresi yang bertujuan merusak dan menyakiti orang lain.
Ada beberapa definisi kekerasan yang dikemukakan oleh para ahli, antar lain: Soerdjono
Soekanto mendefinisikan kekerasan sebagai istilah yang dipergunakan bagi terjadinya cidera
mental atau fisik.17
Kekerasan diartikan sebagai sebuah ancaman, usaha atau penggunaan fisik
yang dilakukan oleh seseorang yang dapat menimbulkan luka baik secara fisik maupun non fisik
terhadap orang lain.18
Kekerasan menurut Johan Galtung merupakan deprivasi kepentingan
terhadap kebutuhan dasar hidup manusia dalam bentuk kekerasan kultural, struktural, dan
kekerasan langsung dengan tindakan-tindakan yang menyebabkan orang lain menderita.19
2. Faktor Penyebab Kekerasan
Dalam teori Bandura menjelaskan tentang faktor penyebab kekerasaan antara lain:20
a. Teori Insting (Insting Theory). Teori ini menjelaskan bahwa, kekerasan berasal dari
dorongan fitrah biologis manusia untuk merusak.
17 Soerdjono Soekanto dan Pudji Santoso.,Kamus Kriminologi (Jakarta: Ghalia Indonesia,1985),h.104. 18 Neil Alan Weiner, dkk, VIiolence:Patterns,Causes,Public Policy (USA: Harcourt Brace Jovanovich
Inc,1990),h.xiii. 19 Umar Said, , artikel diakses pada tanggal 29 Mei 2011 dari
http://pdng-today.com/?=article&id 20 Yayah Khisbiyah, Agresi dan Kekerasan perspektif teori psikologi (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Ikatan
Remaja Muhammadiyah, 2004), h.4.
b. Teori Dorongan (Drive Theory). Teori ini mengungkapkan bahwa, kekerasan disebabkan
oleh kondisi-kondisi eksternal manusia (misalnya; frustrasi, kehilangan muka atau malu)
yang membuat orang bermotif kuat bertujuan untuk menyakiti orang lain.
c. Teori Belajar Sosial. Teori ini menjelaskan bahwa kekerasan terjadi karena proses
belajar dari lingkungan sosialnya. Menurut Bandura belajar terjadi karena peniruan
(Imitation). Kemampuan meniru respon orang lain adalah penyebab utama belajar.
Orang dapat memperoleh pola-pola perilaku baru melalui pengamatan terhadap orang
lain. Untuk menjelaskan teori Bandura, Cooley dalam buku karya Kamanto menjelaskan
tentang konsep diri seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain.
Interaksi ini diberi nama looking glass self. Nama demikian diberikan olehnya karena
ia melihat analogi antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang
bercermin; kalau cermin memantulkan apa yang terdapat di depannya, maka menurut
Cooley diri seseorang pun memantulkan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan
terhadap dirinya.21
Terkait dengan teori belajar sosial, penulis mencoba mengidentifikasi beberapa kelompok
dan media sosial yang menjadi tempat sosialisasi dan pembelajaran sosial terjadi, yakni antara
lain:
1. Keluarga
Keluarga merupakan kerangka pertama, tempat dimana manusia berkembang sebagai
makhluk sosial terdapat pula peranan-peranan tertentu di dalam keluarga yang dapat
21
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004), h.25.
mempengaruhi perkembangan individu sebagai makhluk sosial.22
Keluarga itu terdiri dari
pribadi-pribadi, tetapi merupakan bagian jaringan sosial yang besar. Oleh sebab itu, kita tetap
selalu berada dalam pegawasan orang-orang sekitar.23
Fungsi keluarga adalah memelihara,
merawat, dan melindungi dalam rangka sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan diri
dan berjiwa sosial.24
Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan sosial anak-anak adalah keutuhan
keluarga. Yang dimaksudkan keutuhan keluarga adalah keutuhan struktur dalam keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Selain keutuhan struktur keluarga, keutuhan dalam
berinteraksi antar sesama anggota keluarga juga dibutuhkan.25
Keluarga merupakan lingkungan
terdekat yang di dalamnya anak dididik pertama kali. Adapun kedaan keluarga yang dapat
menjadi sebab timbulnya delinkuen dapat berupa keluarga yang tidak normal (broken home).26
Masa Remaja adalah masa penuh kegoncangan jiwa, masa berada dalam peralihan dari
anak-anak menuju pubertas. Masa anak-anak kita bergantung pada lingkungan, misalnya masih
bergantung pada orang tua. Masa remaja ingin berdiri sendiri dan tidak bergantung lagi kepada
orang tua maupun orang dewasa lain, akan tetapi dalam persoalan ekonomi dan sosial mereka
belum mampu berdiri sendiri.27
Remaja yang mengalami broken home, ada kemungkinan besar
bagi terjadinya kenakalan remaja, di mana terutama perceraian atau perpisahan orang tuanya
mempengaruhi perkembangan si anak.28
Kekacauan dalam keluarga dapat ditafsirkan sebagai
22 Dr.W.A. Gerungan, Dipl.Psych, Psikologi sosial (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), h.195. 23 William J. Goode, Sosiologi Keluarga. Penerjemah Dra. Lailahanoum Hasyim, 7th ed. (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2007), h.4. 24 Soleman, B.Taneko, Struktur dan Proses Sosial (Suatu Pngantar Sosiologi Pembangunan) (Jakarta:
CV.Rajawali, 1998), hal.76. 25 Dr.W.A.Gerungan, Dipl.Psych, Psikologi Sosiologi (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), h.199. 26 Drs. Sudarsono.S.H, Kenakalan Remaja, 3rd ed. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), h.125. 27 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, 16th ed. (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2003), h.83. 28 Lamya Ny. Moeljatno, SH., Kriminologi, h.115.
29 Menurut definisi ini maka terdapat macam-macam
kekacauan dalam keluarga adalah sebagai berikut:
a. Ketidaksahan. Merupakan unit keluarga yang tak lengkap atau dianggap sama dengan
bentuk kegagalan peran lainnya dalam keluarga, karena sang ayah-suami tidak
menjalankan tugasnya seperti apa yang di tentukan oleh masyarakat atau ibu.
b. Pembatalan, Perceraian, perpisahan, dan Meninggalkan. Terputusnya dalam keluarga
ini karena salah satu atau kedua pasangan untuk memutuskan saling meninggalkan.
c. Keluarga selaput kosong, yang dimaksudkan disini adalah angota-anggota keluarga
tetap tinggal bersama namun tidak saling menyapa atau bekerja satu sama lain dan
terutama gagal memberikan dukungan emosional kepada satu sama lain.
d. Ketiadaan seorang dari pasangan karena hal yang tidak diinginkan. Beberapa
keluarga terpecah karena suami atau istri yang meninggal, di penjara atau malapetaka
yang lain.
e.
mencakup penyakit mental, emosional, atau badaniah yang parah.
Sebagai lembaga sosialisasi pertama anak, keluarga menjadi sangat berpengaruh dalam
proses peniruan. Dimana keluarga terutama orang tua merupakan sosok panutan bagi anak-anak.
Baik tindakan baik maupun tindakan buruk yang dilakukan oleh orang tua merupakan contoh
yang bisa ditiru langsung oleh anaknya. Oleh karena itu ketika keluarga dalam hal ini orang tua
sering mempertontonkan kekerasan dihadapan anaknya misalnya ayah dan ibu sering sekali
bertengkar, mengeluarkan kata-kata kasar dihadapan anaknya, tanpa orang tua sadari anak
langsung menyerap itu dan kemudian menirukannya dalam tindakan dan perilaku sosialnya.
29 Family Disorganization , in Robert K. Merton and Robert A. Nisbet (eds),
Contempory Social Problems ( New York : Hartcourt, Brace & World,1961),p.370.
2. Sekolah
Sekolah merupakan media sosialisasi yang cukup luas dibandingkan dengan keluarga.
Anak mengalami perubahan dalam perilaku sosial ketika ia telah masuk sekolah. Dirumah anak
hanya bergaul dengan orang tuanya,dan anak-anak tetangganya. Di sekolah si anak mengalami
susasana yang berbeda. 30
Sistem pendidikan, yakni sekolah adalah lembaga sosial yang turut
menyumbang dalam proses sosialisasi individu agar menjadi anggota masyarkat yang
diharapkan.31
Sekolah merupakan ajang pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga bagi
anak.32
Sekolah mempunyai pengaruh yang cukup penting dalam pembentukan sikap dan
perilaku anak. Di sekolah anak belajar mengenai peranan-peranan baru untuk dikemudian hari
ketika anak tidak lagi menggantungkan diri pada orang tuanya.33
Instansi pendidikan formal yang penting dalam masyarakat kita adalah sekolah yang
menawarkan pendidikan dari mulai TK sampai Perguruan Tinggi. Namun selain pendidikan
formal ada pula pendidikan non formal, ada pula pendidikan informal, seperti: home scholling.
Pada jenjang Mesososiologi seorang mempelajari bahwa sekolah sebagai organisasi. Pada
tingkat Mikrososiologi seorang ahli sosiologi pendidikan mempelajari hubungan dan interaksi
antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru.34
Interaksi yang mereka lakukan di
sekolah serig menimbulkan akibat yang negatif bagi perkembangan mental sehigga remaja
menjadi delinkuen.35
Dalam proses sosialisasi inividu belajar tingkah laku, kebiasaan serta pola-
pola kebudayaan lainnya, seperti berbahasa, cara bergaul, berpakaian, dan lain sebagainya.
30 Prof. DR.S.Nasution.MA., Sosiologi Pendidikan, 2nd ed. (Jakarta: Bumi aksara, 1995), h.129-130. 31 Ibid,h.11. 32 Dr. Wagiati Sutedjo, SH., MS, Hukum Pidana Anak (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h.22. 33 J.Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana, 2007),
h .94-95. 34 Djumhur I dan Moh Sunarya, Bimbingan dan Penyuluhan (Bandung: C.V ILMU, 1975), hal.6. 35 Drs.Sudarsono.S.H, kenakalan Remaja, 3rd ed (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995), h.129.
Dalam berinteraksi anak dengan lingkungannya ia lambat laun menyadari kepribadiannya.
Dengan menyadari dirinya sebagai pribadi ia dapat mencari tempatnya dalam struktur sosial,
dapat mengharapkan konsekuensi positif bila berlakuan menurut norma-norma atau akibat
negatif atas kelakuan yang melanggar hukum.36
Dengan kontrol sosial dalam arti luas dimaksud setiap usaha atau tindakan dari seseorang
atau suatu pihak untuk mengatur kelakuan orang lain. Dalam arti sempit dengan kontrol sosial
sebagai pengendalian eksternal atas kelakuan individu oleh orang lain yang memegang otoritas
atau kekuasaan. Dengan kontrol ekstern individu kadang-kadang terpaksa melakukan hal yang
berbeda-beda dengan normanya sendiri. Kontrol serupa ini dapat dijalankan dengan kekerasan
fisik atau secara verbal dengan menetapkan peraturan-peraturan. Dengan ancaman atau
mengantisipasikan hukuman guru atau kepala sekolah dapat mengontrol kelakuan murid-murid.37
Seperti halnya keluarga, sekolah juga memiliki peran penting bagi pembentukan karakter anak,
karena dari sekolahlah anak belajar banyak hal yang baik maupun yang buruk. Dengan demikian,
proses pendidikan yang kurang menguntungkan bagi perkembangan jiwa anak kerap memberi
pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap anak didik di sekolah sehingga dapat
menimbulkan kenakalan anak.38
3. Lingkungan Pergaulan
Kelompok bermain anak merupakan agen sosialisasi yang pengaruhnya cukup besar
dalam pembentukan perilaku anak. Didalam kelompok bermain, anak mempelajari hal-hal yang
baru yang tidak dipelajari anak dari keluarganya. Di dalam kelompok bermain seorang anak
mempelajari norma, nilai, kultural, peran dan semua persyaratan yang di butuhkan seorang anak
36 S. Nasution, sosiologi pendidikan, 2nd ed. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1995), h.126-127. 37 Ibid., h.17. 38 Dr. Wagiati Sutedjo, SH, MS, Hukum Pidana Anak (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h.23.
dalam keikutsertaannya di dalam kelompok bermain tersebut.39
Dalam situasi sosial yang
semakin longgar, anak-anak kemudian menjauhkan diri dari keluarganya untuk kemudian
menegakkan eksistensinya dirinya. Lalu mereka memasuki suatu unit keluarga baru dengan
subkultur yang baru.40
Sutherland mengembangkan teori Association Differential yang
menyatakan bahwa anak menjadi delinkuen disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah
suatu lingkungan sosial yang ide dan teknik delikuen tertentu dijadikan sebagai sarana yang
efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya, karena semakin luas anak bergaul, semakin intensif
relasinya dengan anak nakal, akan menjadi semakin lama proses berlangsungnya asosiasi
differensial tersebut dan semakin besar pula kemungkinan anak benar-benar menjadi nakal.41
Pengaruh lingkungan sosial juga mendorong terjadinya perilaku kekerasan, yakni motif
mendapat status sebagai bagian dari anggota kelompok tersebut. Tekanan dari teman sebaya juga
merupakan salah satu pendorong terjadinya kekerasan pada remaja, peran kelompok teman
sebaya bagi hidup remaja mengalami perubahan. Remaja menjadi kian bergantung pada
kelompok teman sebaya dalam mengekspresikan diri, ketergantungan ini diikuti pula dengan
meningkatnya tekanan untuk meraih status sosial. Popularitas dan penerimaan teman pun
menjadi demikian penting bagi remaja, sehingga muncul terjadinya aksi kekerasan.42
Salah satu
contohnya adalah ketika siswa tidak masuk ke dalam genk yang popular maka siswa tersebut
akan dianggap kurang pergaulan.
39 J Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana, 2007),
h.94 40 Dr. Wagiati Sutedjo, SH,MS, 41 Ibid., h.24. 42 Desi Setiani. Hubungan Tipe Sekolah Dengan Perilaku Bullying Pada Pelajar SMA ( Skripsi S1, Fakultas
Psikologi, Universitas Indonesia, 2005),h.21.
4. Media Massa
Media massa membantu anak muda masuk ke lingkungan masyarakat dengan
menunjukkan perilaku dan norma yang dominan kepada mereka. Namun, proses prososial ini
disebut sebagai pembelajaran observasional, yang mana menjadi buram ketika anak-anak
mempelajari perilaku menyimpang dari media massa.43
Kepustakaan komunikasi mencatat
banyaknya studi yang menunjukkan bahwa kekerasan dalam media menimbulkan efek agresi
pada khalayak. Riset umumnya menunjukkan bahwa hubungan antara kekerasan yang
ditampilkan di layar dengan perilaku kekerasan.diantara berbagai media massa, televisi dianggap
paling berpengaruh, karena televisi adalah medium sehari-hari yang paling banyak digunakan.44
Kekerasan juga terdapat dalam film kartun, beberapa contoh film kartun yang berdampak
buruk bagi anak adalah film Beavis dan Butthead. Film kartun ini sangat popular di Amerika (di
Indonesia sendiri kita dapat mengaksesnya melalui parabola). Film kartun ini di sajikan sama
sekali dengan bentuk yang tidak manis. Dalam salah satu episode kedua tokoh kartun ini di
kemudian seorang anak kecil berusia 5 tahun meniru adegan tersebut sehingga menyebabkan
kebakaran besar dan melahap habis rumahnya dan menewaskan adiknya yang berusia 2 tahun.
Kartun Spongebob ternyata membawa dampak bahaya untuk anak, Dr. Dimitri Christakis, salah
satu ilmuwan asal Chichago yang meriset tentang bahaya dalam tayangan film kartun
Spongebob. Hasil risetnya menunjukkan bahwa dengan anak-anak menyaksikkan tayangan film
kartun Spongebob walau hanya dalam waktu Sembilan menit bisa merusak otak anak-anak.
43 John Vivian, Teori Komunikasi Massa, 8th ed (Jakarta: Kencana,2008),h.484-485 44 Nina M. Armando, Dari Media Yang Keras Ke Masyarakat Yang Ganas (Yogyakarta: Pimpinan Pusat
Ikatan Remaja Muhammadiyah, 2000), h.96-98.
Bahkan efek lain yang muncul adalah gangguan dalam belajar.45
Spongebob dan beavis buthead
hanya contoh beberapa film kartun yang digemari anak, beberapa film kartun lain ditemukan
persoalan yang sama yaitu membawa dampak buruk bagi anak-anak. Sajian kekerasan di tv juga
datang dari program berita.46
Kekerasan juga tampil dalam musik, terutama musik underground.
Sejumlah lirik lagu underground berisi pemberontakan dan kekerasan. Dalam hal ini kalangan
yang potensial terpengaruh adalah remaja. Kekerasan juga tampil pada video game, kemunculan
video-video game baru yang di produksi adalah jenis video game yang menampilkan kekerasan
dan darah. Media internet, media yang sering disebut sebagai pembawa zaman informasi dan
kemajuan ilmu pengetahuan kerap di tuding sebagai ilham perilaku anti sosial. Kekerasan yang
bersifat verbal, salah satu contohnya adalah mengeluarkan kata-kata kotor di facebook atau
twitter.47
Media massa merupakan media sosialisasi yang kuat, bahkan proses sosialisasi media
massa luas dibandingkan dengan media sosialisasi lainnya. Media massa juga dapat berdampak
negatif, karena menampilkan adegan kekerasan. Studi tentang adegan kekerasan di televisi atau
film disimpulkan dalam 3 proses, pertama tayangan kekerasan mengajarkan agresi, mengurangi
kendali moral penontonnya dan menumpukkan perasaan penonton.48
B. Senioritas
1. Pengertian Senioritas
Senioritas secara etimologis adalah orang yang lebih tua, pengertian lebih luasnya adalah
pemberian yang dikhususkan untuk orang yang lebih dituakan dalam berbagai hal, karena orang
45 Artikel ini di akses pada tanggal 22 September 2011 dari
http://forum.komps.com/nasional/40883-study-spongebob-rusak-otak-anak.html 46 Nina M. Armando, Dari Media Yang Keras Ke Masyarakat Yang Ganas (Yogyakarta: Pimpinan Pusat
Ikatan Remaja Muhammadiyah, 2000), h.99. 47 Ibid., h. 101-102. 48 Ibid., h. 103.
yang lebih tua biasanya dipandang lebih memiliki banyak pengalaman, kata senioritas adalah
kata yang sudah sangat terkenal dalam kehidupan sehari-hari kita, baik dalam kehidupan
masyarakat maupun lingkungan sekolah. Dalam sekolah, pelajar menganggap senioritas adalah
sebuah gap antara senior dan junior.49
Weber mendefinisikan kekuasaan adalah kemungkinan
seseorang melakukan keinginan di dalam suatu hubungan sosial yang ada termasuk dengan
kekuatan tanpa menghiraukan adanya norma dan nilai yang menjadi landasan.50
Hubungan
otoritas akan ad
misalnya bersedia melakukan tata tertib yang telah dibuat oleh senior yang mengatur untuk
mendisiplinkan adik-adik kelasnya atau para junior.51
2. Relasi Senior Terhadap Junior
Ketika kita baru masuk sebagai siswa baru maka ada kegiatan penerimaan siswa baru,
ada yang menyebutnya MOS untuk SMP, SMA sementara kalau dikampus disebut sebagai
Ospek atau Propesa. Kadang calon siswa baru ini diperintahkan oleh seniornya memakai atribut
yang aneh-aneh. Untuk disegani oleh para junior, senior biasa melakukan militerianisme dengan
menerapkan tata tertib bagi junior-junior dan apabila terdapat junior yang tidak melakukan atau
melanggar tata tertib akan dikenakan sanksi. Hubungan senior-junior semacam ini sangat tidak
sehat. Maksud dari para senior untuk mendisiplinkan para junior, akan tetapi tindakan para
senior kadang bisa berakibat fatal dengan hilangnya nyawa seseorang.52
49 Siswoyo,2010, , Artikel diakses pada tanggal 23 Juli 2011 dari
http://waspadmedan.com.indeks.php?options=com_contentandview=article&id=4815:lupakansenioritas&catid=74:k
reasianditemid=231 50 M.Weber, The Theory of Social and Economic Organization, diterjemahkan oleh A.M. Henderson dan
T.Parsons (Chicago: Free Press, 1947), h.152. 51 Roderick Martin, Sosiologi kekuasaan. Penerjemah Herry Joediono (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1993), h.107. 52 Juli
2011 dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/09/15/kl/mbm.200330915.kl90261.id.html
BAB III
GAMBARAN UMUM SEKOLAH PGRI 1 CIPUTAT TANGSEL
A. Gambaran Umum
1. Letak Geografis
SMP PGRI 1 Ciputat Tangerang Selatan merupakan salah satu lembaga pendidikan yang
dinaungi oleh Organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). SMP PGRI 1 Ciputat Kota
Tangerang Selatan bertujuan untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan
terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. SMP PGRI 1 Ciputat Kota Tangerang Selatan
terletak di Jalan Pendidikan No. 30 Ciputat Kota Tangerang Selatan 15411, Telp: 021-7409827.
Berdiri diatas tanah seluas 2.495 m2, yang dipergunakan untuk bangunan seluas 1350 m2,
halaman seluas 545 m2, dan lahan untuk lapangan olahraga seluas 600 m2.
2. Latar Belakang Berdirinya
Pendirian sekolah SMP PGRI dipelopori oleh 3 tokoh pendidikan yaitu Bapak Drs.
Sukandi Kuswara, Bapak A. Mursyidi, B.A. dan Bapak S. Danuwardoyo serta Bapak R.A. Sakri
Gandadipura (Kepala Sekolah Kelas Pembangunan). Beliau berempat lah yang menjadi pelopor
pendirian Sekolah Menengah Pertama Persiapan (SMPP) pada tahun 1975 yang selanjutnya
berubah menjadi Sekolah Menengah Pertama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dengan
Kepala Sekolah yang pertama yaitu Bapak R.A. Sakri Ganda dipura..
Pendirian sekolah Menengah pertama Persatuan Guru Republik Indonesia ( SMP PGRI
Ciputat ) mendapat restu dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Ciputat (
Bapak Djahera ) yang ikut membantu pendirian Sekolah Menengah Pertama tersebut,dan pada
tanggal 1 Januari 1975 ditetapkan sebagai hari jadi SMP PGRI 1 Ciputat.
Saat ini Sekolah SMP PGRI 1 Ciputat Kota Tangerang Selatan berstatus DISAMAKAN
sesuai dengan Nomor: 876/I.02/Kep/I/1982 walaupun sebelumnya berstatus DIAKUI. Kepala
sekolah yang menjabat saat ini Bapak Cartam M.Pd.
Kegiatan belajar mengajar di sekolah SMP PGRI 01 Ciputat terbagi menjadi dua bagian,
yaitu kelas pagi dan sore. Kelas pagi mulai dari Senin Kamis masuk jam 07.00 WIB - 12.30
WIB, hari Jumat masuk jam 07.00 WIB- 11.15 WIB. Kelas sore Senin Kamis masuk jam 12.30
WIB- 17.25 WIB, sementara hari Jumat masuk jam 13.15 17.25 WIB. Hari Sabtu dikhususkan
untuk ekstrakulikuler saja.
3. Profil Guru dan Karyawan SMP PGRI 1 Ciputat
. Jumlah tenaga pendidik di SMP PGRI 1 Ciputat adalah 40 orang. Dengan tingkat
pendidikan mulai dari D3, S1 dan S2. Dari semua guru yang ada, paling banyak adalah mereka
yang berpendidikan S1 dengan jumlah 34 dengan perbandingan antara laki-laki sebanyak 21
orang dan perempuan 13 orang. Untuk lebih jelas dapat dilihat tebel dibawah ini:
Tabel 1
Daftar Tenaga Pendidik SMP PGRI 1 Ciputat
Tahun Ajaran 2010-2011
Tingkat Pendidikan Jumlah Guru
Laki-Laki Perempuan
D3 3 1 2
S1 34 21 13
S2 3 2 1
Jumlah 40 25 16
Dari semua total guru yang ada, ada beberapa guru yang berperan sebagai guru
bimbingan dan konseling yang berperan untuk menangani siswa yang bermasalah atau bisa juga
dijadikan siswa sebagai tempat melaporkan keluh kesah selama menjadi siswa disekolah
tersebut. Berikut ini adalah tabulasi data guru BK di SMP PGRI 1 Ciputat:
Tabel 2
Data Guru Bimbingan dan Konseling SMP PGRI 1 Ciputat Kota Tangerang Selatan
Tahun Ajaran 2010-2011
NO Nama Pangkat
Pendidikan
Terakhir
Sebagai
Guru
Pembimbing
Tugas di
Sekolah ini
1 Hj. Idjah,
S.Pd
IV/a BK (2008) 25 tahun Koordinator
BK
2 Hj.
Nurwati,
S.Pd
IV/a BK (2003) 18 tahun Koordinator
BK
Sekolah ini juga memiliki karyawan yang bekerja di bidang non akademik, yang meliputi
karyawan dan keamanan:
a. Karyawan Sekolah : 4 orang ( 2 laki-laki, 2 perempuan)
b. Keamanan (security) : 3 orang
4. Profil Siswa SMP PGRI 1 Ciputat
Sekolah SMP PGRI 1 Ciputat memiliki jumlah siswa pada tahun ajaran 2010/2011
berjumlah 1130 siswa. Jumlah kelas yang ada di sekolah ini yaitu: kelas VII sebanyak 8 kelas
dengan jumlah 368 siswa, kelas VIII sebanyak 10 kelas dengan jumlah 434 siswa, kelas IX
sebanyak 8 kelas dengan jumlah 328 siswa. Di bawah ini adalah daftar tabel jumlah siswa SMP
PGRI 1 Ciputat tahun ajaran 2010/2011 sebagai berikut:
Tabel 3
Jumlah siswa SMP PGRI 1 Ciputat Kota Tangerang Selatan
Tahun ajaran 2010/2011
Kelas Jumlah Kelas
Siswa
Laki-laki Perempuan
VII 8 210 158
VIII 10 226 208
IX 8 162 166
Jumlah 36 598 532
.
B. Profil Subjek Penelitian
1. Profil Siswa
Subjek dalam penelitian ini berasal dari kelas VIII sampai kelas IX. Alasan pemilihan
siswa dari kelas tersebut karena ada beberapa siswa yang melakukan kekerasan atau menjadi
korban kekerasan seperti tawuran, pemalakan. Jumlah laki-laki yang dipilih adalah 8 orang dan
perempuan 4 orang. Laki-laki dipilih lebih banyak karena ingin melihat bentuk-bentuk kekerasan
yang dilakukan apa saja.Untuk lebih detail melihat data tentang informan dalam penelitian ini
bisa dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4
Profil Subjek Penelitian
NO Nama Usia Tingkat
Pendidikan
Jenis Kelamin
1 MS 16 Kelas 9-3 Laki-laki
2 AR 15 Kelas 9-9 Laki-laki
3 FF 14 Kelas 9-5 Laki-laki
4 S 14 Kelas 9-9 Laki-laki
5 AF 14 Kelas 9-6 Laki-laki
6 ML 13 Kelas 8-2 Laki-laki
7 D 13 Kelas 8-2 Laki-laki
8 JD 13 Kelas 8-5 Laki-laki
9 E 14 Kelas 9-9 Perempuan
10 SR 14 Kelas 9-4 Perempuan
11 F 13 Kelas 8-4 Perempuan
12 TA 13 Kelas 8-6 Perempuan
Sumber: Wawancara Pribadi dengan Informan
Latar belakang sosial dari para subjek penelitian ini cukup beragam, masing-masing
mempunyai latar belakang sosial yang berbeda-beda namun intinya sama. Diantara para subjek
penelitian (ML, D, JD), sebagian mengaku dalam wawancaranya dengan peneliti bahwa mereka
dalam kehidupan sosialnya di lingkungan sekitar mereka tidak mengalami kesulitan dalam
bersosialisasi, walaupun di sekolah mereka sering menerima perilaku kekerasan dari seniornya.
Dalam hal sosial dengan lingkungan sekitarnya, baik itu di sekolah maupun di rumah sebab
mereka tidak terlalu mengucilkan diri dari lingkungan sekitarnya. Mereka tetap bermain dengan
teman-teman sebayanya dan bersosialisasi dengan orang sekitar lingkungannya serta jika ada
kegiatan di lingkungan mereka tetap mengikuti dan berpartisipasi. Seperti yang diungkapkan
oleh informan D:
bersosialisasi sama temen-53
2. Profil Keluarga
Selain siswa, keluarga dari siswa yang menjadi subjek penelitian ini juga menjadi
informan dalam penelitian ini. Keluarga yang dipilih adalah para orang tua yang anaknya
menjadi pelaku kekerasan atau yang menjadi korban kekerasan berdasarkan hasil wawancara
dengan para informan, orang tua yang diwawancarai sebanyak 6 orang karena 2 orang tua siswa
yang masih lengkap orang tuanya namun salah satu dari orang tua mereka yang sibuk bekerja, 1
orang tua yang single parent karena salah satu orang tuanya sudah meninggal, 1 orang tua siswa
yang suaminya sudah meninggal namun sudah menikah lagi, 1 orang tua siswa yang single
parent karena bercerai, 1 orang tua siswa yang menjadi korban pemalakan. Dapat dilihat dari
tabel sebagai berikut:
53
Wawancara pribadi dengan informan D, Ciputat pada tanggal 4 November 2011
Tabel 5:
Profil Keluarga Subjek Penelitian
No Informan Orang Tua
Informan
Jumlah
Anak
Pendidikan
Terakhir
Jenis
Kelamin
1 F AS 3 S1 Laki-laki
2 E CS 3 D3 Perempuan
3 MS R 1 SMA Perempuan
4 TA SR 2 S1 Perempuan
5 ML N 3 D3 Perempuan
6 AR A 2 SMA Perempuan
Sumber : hasil wawancara dengan informan
Keluarga yang menjadi informan memiliki latar belakang ekonomi yang berbeda-beda,
berikut ini adalah kondisi ekonomi keluarga subjek penelitian.
Tabel 6
Latar Belakang Ekonomi Keluarga
No Nama Tingkat Ekonomi
1 AS Menengah Ke atas
2 CS Menengah ke atas
3 R Menengah Ke bawah
4 SR Menengah Ke atas
5 N Menengah
6 A Menengah
Sumber: Hasil wawancara dengan keluarga informan
Klasifikasi tingkat pendapatan di atas di peroleh dengan menggunakan skala pendapatan
melalui sebelumnya penulis melakukan wawancara terlebih dahulu terhadap orang tua siswa,
klasifikasi tingkat pendapatan sebagai berikut:
a. Kurang dari Rp 500.000 (Bawah)
b. Rp.500.000 sampai Rp.1000.000(Menengah Kebawah)
c. Rp 1000.000 sampai Rp 3000.000(Menengah)
d. Lebih dari Rp 3000.000(Menengah Keatas)
Informan AS termasuk kategori menengah ke atas karena penghasilannya sekitar 4 juta
sebagai hasil bekerja di suatu perusahaan swasta yang bergerak pada bidang kontraktor.
Sementara itu istrinya sebagai ibu rumah tangga.
Informan CS merupakan ibu rumah tangga, tetapi dia termasuk kategori menengah ke
atas karena profesi suaminya sebagai dokter yang membuka praktek mampu memberikan
penghasilan bagi keluarganya. Penghasilan suaminya Ibu CS sebulannya menerima gaji sekitar
diatas 3 juta.
Informan R merupakan ibu rumah tangga tetapi dia termasuk kategori kelas menengah ke
bawah. Walaupun sebagai Ibu rumah tangga yang single parent karena suaminya telah
meninggal penghasilan yang didapatkannya merupakan hasil dari santunan dari orang lain.
Perbulannya Ibu R mendapatkan uang sebesar 1Juta.
Informan SR merupakan seorang pedagang yang memiliki toko di Tanah Abang. Dari
penghasilan tokonya, Ibu Informan SR sebulannya mendapat 3-4 Juta tergantung sepi atau
ramainya pembeli. Dilihat dari penghasilannya, oleh karena itu, SR merupakan kategori keluarga
menengah ke atas.
Informan N berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta, tetapi dia termasuk
kategori kelas menengah. Dari pekerjaan ini, Ibu N mendapatkan penghasilan sebesar 2 juta
belum di tambah dari penghasilan suaminya sebagai wirausaha.
Informan A merupakan ibu rumah tangga, tetapi dia termasuk kategori kelas menengah.
Penghasilan yang didapatkan A adalah hasil dari suami yang bekerja sebagai kontraktor. Dari
penghasilan ini, ibu A mendapatkan penghasilan 3 Juta dengan 2 orang anak.
BAB IV
SENIORITAS DAN PERILAKU KEKERASAN DI KALANGAN SISWA
A. Penyebab Kekerasan Yang Dilakukan oleh Siswa Senior Terhadap Siswa Junior
Penelitian ini menemukan bahwa faktor yang menyebabkan siswa senior melakukan aksi
kekerasan adalah faktor teman sebaya dan lingkungan sekolah dimana mereka berada, keluarga
serta media massa.
a. Teman Sebaya
Teman sebaya dan lingkungan sekolah merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
siswa untuk melakukan tindak kekerasan karena melalui teman sebaya dan lingkungan sosialnya
siswa belajar dengan cara meniru lingkungan sekitar mereka. Hal ini sejalan dengan teori belajar
sosial yang menyatakan bahwa perilaku seseorang terutama mereka yang pada usia anak-anak
dan remaja sangat dipengaruhi oleh proses belajar dengan cara meniru lingkungan sosialnya.
Dari hasil pengamatan penulis lakukan ditemukan bahwa pada tahun-tahun sebelumnya
ketika acara MOS berlangsung terjadi aksi kekerasan yang dilakukan oleh panitia senior, karena
maraknya terjadi aksi kekerasan yang berlangsung pada saat MOS akhirnya sekolah
mengeluarkan kebijakan pada tahun 2008 tentang pelarangan aksi kekerasan apapun yang di
lakukan oleh panitia ketika MOS berlangsung. Kebijakan tersebut terkait dengan pasal 54 UU
No.23 tahun 2002 tersebut mengenai lingkungan sekolah wajib menjadi zona antikekerasan.
Hubungan antara siswa senior dengan siswa junior akan berjalan baik apabila dilakukan dengan
sikap positif. Misalnya adalah pada saat MOS berlangsung pihak panitia MOS yang umumnya
adalah siswa senior tidak melakukan kekerasan. Maka tidak ada gap antara siswa senior dengan
siswa junior. Salah satu contohnya adalah ketika Masa Orientasi Siswa (MOS) tidak ada aksi
kekerasan yang dilakukan oleh siswa senior sebagai panitia.
Menurut para informan ketika acara penerimaan siswa baru sekolah menerapkan sistem
pada MOS para panitia tidak memperbolehkan adanya aksi kekerasan. Seperti yang diungkapkan
oleh E:
acaranya perkenalan lingkungan sekolah, ngebimbing anak-anak. Kadang kalo anak-54
Dipertegas oleh TA:
mereka juga suka aku kerjain. Aku suruh nyanyi ke depan kelas, kalo ga aq omelin kalo 55
Diperkuat oleh MS:
56
Dari pihak sekolah juga mengeluarkan larangan bahwa pada saat MOS panitia tidak
boleh melakukan kekerasan fisik. Pada saat MOS berlangsung pihak sekolah selalu mengawasi
pelaksanaan MOS melalui bagian kesiswaan.
Diungkapkan oleh Ibu I:
tidak ada tindak kekerasan fisik dari panitia ke siswa
peserta MOS.57
Dipertegas oleh Bapak S:
54 Wawancara pribadi dengan F , Ciputat, 4 November 2011. 55 Wawancara pribadi dengan TA, Ciputat, 4 November 2011. 56 Wawancara pribadi dengan MS, Ciputat, 28 Oktober 2011. 57 Wawancara pribadi dengan Ibu I, Ciputat, 20 Oktober 2011.
Apabila panitia MOS memberikan sanksi bagi siswa peserta MOS, seperti disuruh push
up maka siswa peserta MOS akan langsung lapor kepada orang tuanya dan orang tuanya akan langsung datang ke sekolah. Panitia MOS juga diawasi oleh pembinanya
agar tidak melakukan kekerasan bersifat fisik. Pihak sekolah telah mengeluarkan
kebijakan pada tahun 2008 yaitu pelarangan adanya tindak kekerasan pada saat MOS
berlangsung.58
Sayangnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak sekolah mengenai pelarangan adanya
kekerasan pada saat MOS berlangsung tidak terealisasikan dengan baik. Menurut para siswa
kekerasan senior tidak terjadi pada saat MOS berlangsung, namun terjadi setelah MOS yaitu
ketika proses belajar mengajar berlangsung. Menurut pengakuan dari pelaku aksi kekerasan
terjadi kekerasan yang dilakukan oleh siswa senior entah pada saat istirahat, pulang sekolah
ketika siswa-siswa suka nongkrong sebelum mereka pulang kerumah. Kekerasan yang dilakukan
siswa senior ke siswa junior melalui aksi pemalakan, tawuran yang direalisasikan melalui
bentakan, cacian yang merupakan sebuah tradisi dan sangat sulit untuk dihilangkan yang
dilakukan oleh pelaku kekerasan.
Diungkapkan oleh FF:
saya liat sih bentakan, cacian mang dah tradisi di sekolah ini dan susah banget
buat menghilangkannya.59
Dipertegas oleh S:
60
Diperkuat oleh E:
61
58 Wawancara pribadi dengan Bapak S, Ciputat, 20 Oktober 2011. 59 Wawancara pribadi dengan FF , Ciputat, 28 Oktober 2011. 60 Wawancara pribadi dengan S, Ciputat, 28 Oktober 2011.
Tak sedikit pelaku aksi kekerasan yaitu siswa senior terhadap siswa junior saat ini
kemungkinan besar adalah korban dari pelaku aksi kekerasan sebelumnya. Ketika menjadi
korban, mereka membentuk pemahaman yang salah bahwa tradisi senioritas bi
meskipun mereka merasakan dampak negatifnya sebagai korban. Hal ini tercermin ketika mereka
naik kelas dan sudah menjadi senior, mereka akan balas dendam ke junior-junior mereka.
Dijelaskan oleh MS:
akak kelas, 62
Di perkuat oleh AR:
jadi pas sekarang saya kelas 9 ya gantianlah saya yang ngetatar anak kelas 7.63
Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa sebenarnya adanya adik kelas tidak selamanya
harus dijadikan ajang untuk balas dendam karena menurut mereka adanya junior baru seharusnya
di sayangi. Seperti diungkapkan oleh AF:
64
Dipertegas oleh S:
lamanya adanya ade kelas ajang buat balas dendam, kalo ade kelasnya ga 65
61 Wawancara pribadi dengan E, Ciputat, 4 November 2011 62 Wawancara pribadi dengan MS, Ciputat, 28 Oktober 2011.
63
Wawancara pribadi dengan AR, Ciputat, 28 Oktober 2011 64 Wawancara pribadi dengan AF, Ciputat, 28 Oktober 2011. 65 Wawancara pribadi dengan S, Ciputat, 28 Oktober 2011.
Pelaku aksi kekerasan dalam bersosialisasi dengan teman-temannya tidak sadar
melakukan tindakan yang merusak atau menyakiti teman lain. Seperti saling mengejek dengan
menyebutkan nama orang tua, jail dengan teman sendiri, merusak barang teman. Sebagaimana
diungkapkan oleh JD:
Saya kadang suka jail kata-katain nama orang tua temen saya. Kalau saya biasanya kata-katain nama orang tua aja, saya sindir-sindir gitu nama orang tuanya.
66
Selain yang disebutkan di atas, tindak kekerasan lainnya yang dilakukan oleh siswa SMP
PGRI 1 Ciputat Tangerang Selatan yang diperoleh dari proses belajar sosial adalah tawuran.
Tawuran adalah tindakan yang dapat merusak baik fisik maupun psikologis, rata-rata siswa SMP
PGRI 1 Ciputat pernah ikut tawuran. Pelaku aksi kekerasan mengaku pernah ikut dalam tawuran
antar sekolah. Seperti yang di ungkapkan oleh AR:
67
Diperkuat oleh S:
nah ikut tawuran pas kelas 8, saya di ajakin sama teman sekelas68
Dipertegas oleh MS:
69
Dalam aksi tawuran biasanya pelaku tawuran, sebelum tawuran pelaku tawuran
nongkrong terlebih dahulu setelah pulang sekolah di dekat daerah sekolah mereka atau di luar
wilayah Ciputat. Ketika tawuran senjata yang mereka bawa atau di gunakan apa saja yang ada di
jalan. Seperti yang di ungkapkan oleh MS:
66 Wawancara pribdi dengan JD, Ciputat, 4 November 2011. 67 Wawancara pribadi dengan AR, Ciputat, 28 Oktober 2011. 68 Wawancara pribadi dengan S, Ciputat, 28 Oktober 2011. 69 Wawancara pribadi dengan MS, Ciputat, 28 Oktober 2011.
70
Dipertegas oleh AR:
71
Alasan para pelaku yang ikut tawuran sangat beragam, seperti hanya ingin mencari
popularitas saja, hanya sekedar ikut-ikutan saja, atau hanya sebuah tradisi yang sudah lama
terjadi di sekolah ini dengan alasan dendam lama. Seperti yang di ungkapkan oleh MS:
tenarin nama sekolah SMP PGRI 1 72
Di perkuat oleh AR:
-73
Di pertegas oleh MS
74
Resiko dari keterlibatan pelaku yang ikut tawuran adalah mendapatkan sanksi dari pihak
sekolah karena telah membuat citra sekolah buruk.
Seperti yang di ungkapkan oleh S:
75
70 Wawancara Pribadi dengan MS. Ciputat, 28 Oktober 2011. 71 Wawancara pribadi dengan AR, Ciputat, 28 Oktober 2011. 72 Wawancara pribadi dengan MS, Ciputat, 28 Oktober 2011 73 Wawancara pribadi dengan AR, Ciputat, 28 Oktober 2011 74 Wawancara pribadi dengan MS, Ciputat, 28 Oktober 2011. 75 Wawancara pribadi dengan S, Ciputat, 28 Oktober 2011.
Rasa kesetiakawanan atau rasa solidaritas muncul ketika saat aksi tawuran, awal pelaku
ikut tawuran karena teman mereka yang mengajak untuk ikut tawuran. Karena rasa
kesetiakawanan itu yang membuat remaja kadang sulit untuk menolaknya.
Seperti yang dijelaskan oleh LA:
76
Selain teman sekelas yang mengajak pelaku untuk ikut tawuran peran dari alumni dan
kakak kelas seperti kelas 3 sangat mempengaruhi pelaku untuk ikut tawuran. Seperti yang
diungkapkan oleh AR:
77
Diperkuat oleh S:
78
Selain aksi tawuran yang dilakukan oleh pelaku aksi kekerasan, terdapat aksi pemalakan
yang dilakukan di sekolah ini. Setelah pelaku menjadi korban pemalakan, ketika mereka menjadi
senior maka mereka pun melakukan hal tersebut ke adik kelas mereka. Seperti yang di
ungkapkan oleh MS:
senior, ya pas saya udah naik
kelas dan menjadi senior maka gantianlah saya malak ke adik kelas. Saya belajar malak 79
Berdasarkan temuan di lapangan penulis menyimpulkan bahwa pelaku aksi kekerasan
yaitu adalah para senior di SMP PGRI 1 Ciputat. Ketika pelaku aksi kekerasan yaitu dalam hal
76 Wawancara pribadi dengan LA, Ciputat, 4 November 2011. 77 Wawancara pribadi dengan AR, Ciputat, 28 Oktober 2011. 78 Wawancara pribadi dengan S, Ciputat, 28 Oktober 2011. 79
Wawancara pribadi dengan MS, Ciputat, 28 Oktober 2011.
ini adalah siswa kelas 7 atau kelas 8 yang naik kelas dan menjadi senior maka mereka berhak
membalasnya ke adik-adik kelas. Pelaku aksi kekerasan mempunyai hak untuk mengusai dan
berkuasa dengan menggunakan aksi pemalakan dan tawuran untuk melakukan aksi kekerasan.
Pelaku aksi kekerasan yang tertindas, ia sebagai pelaku juga sebagai target, karena tertindas dan
disakiti sehingga ia membalas dendam sebagai pelampiasan atau ketidakberdayaan dan
kebencian akan dirinya sendiri.
Selain masalah tawuran, kasus pemalakan juga terjadi di sekolah SMP PGRI 1 Ciputat.
Pemalakan bisa terjadi baik di dalam maupun di luar sekolah. Uang hasil memalak adik kelas
biasanya di gunakan oleh kakak kelas untuk kepentingan diri sendiri seperti untuk jajan, atau
kepentingan bersama seperti tambahan untuk saat tawuran. Biasanya siswa yang menjadi korban
pemalakan mengetahui uang itu digunakan untuk apa, tapi mereka kadang tidak tahu sama
sekali. Bagi korban yang penting mereka sudah memberikan uang dan korban tidak mau tahu
alasan uang itu digunakan untuk apa saja. Pemalakannya berupa uang dan siswa yang menjadi
korban pemalakan tidak di targetkan memberi nominal uang berapa karena berapa pun nominal
uang yang diberikan akan diterima oleh siswa senior.
Seperti yang di ungkapkan oleh DR:
80
Di perkuat oleh JD:
penting saya sudah kasih, kalau ada
Rp 1000 ya saya kasih aja81
80 Wawancara pribadi dengan DR, Ciputat, 4 November 2011. 81 Wawancara pribadi dengan JD, Ciputat, 4 November 2011.
Selain pemalakan, terdapat aksi tawuran yang di perkenalkan untuk adik kelas atau para
junior. Dalam aksi tawuran bagi kelas 7 terdapat sistem penataran yaitu memperkenalkan cara-
cara tawuran itu bagaimana, karena kelas 7 dianggap belum mengenal apa-apa jadi siswa senior
atau alumni mengenalkan tawuran. Hal ini terjadi pada siswa LA yang mengaku menjadi korban
penataran oleh siswa senior. Seperti yang di ungkapkan oleh LA:
-cara tawuran
82
Dipertegas oleh JD:
dahulu. Dikasih pengarahan tentang cara-cara ta83
Para informan yaitu siswa SMP PGRI 01 Ciputat TANGSEL intensitas pertemua dengan
teman-teman sebayanya sangat tinggi. Mereka lebih senang bersama-sama teman-temannya. Arti
teman untuk mereka sangat berarti karena mereka merasa sangat nyaman dan siswa tidak
memilih-milih teman yang penting teman itu bisa mengerti mereka.
Seperti yang di ungkapkan oleh E:
pertemanan sih aku ga milih-milih. Aku sama siapa aja mainnya tapi yang bisa ngertiin 84
Di pertegas MS:
85
82
Wawancara pribadi dengan LA, Ciputat, 4 November 2011. 83
Wawancara pribadi dengan JD, Ciputat, 4 November 2011. 84
Wawancara pribadi dengan E, Ciputat, 4 November 2011. 85
Wawancara pribadi dengan MS, Ciputat, 4 November 2011.
Selain keberadaan teman sebaya, adanya genk-genk juga dapat mempengaruhi remaja.
Dikalangan siswi juga terdapat genk-genkan yang melakukan tindak kekerasan, seperti
mengeluarkan kata-kata kasar. Setiap yang ingin masuk menjadi anggota genk harus mengikuti
peraturan yang ada di genk tersebut, contohnya: memakai model sepatu yang jenisnya sama,
model rambut, gaya berbicara. Dengan siswi masuk genk, maka mengalami proses peniruan
tanpa disadari secara langsung.
Seperti diungkapkan oleh E:
-
gayanya itu loh ya ampun ga banget. Mereka cuma pengen popular aja sih kayanya,
mulai dari penampilan, gaya pacaran, terus sikap sama omongan m86
Di pertegas TA:
kaos kaki. Terus gaya pacaran mereka tuh kadang suka ga tahu malu tempatnya dimana. 87
b. Keluarga
Selain faktor teman sebaya yang mempengaruhi, faktor keluarga juga mempengaruhi
dalam perilaku siswa. Orang tua merupakan sosok panutan bagi anak-anak, dalam segala
perilakunya entah itu perilaku baik atau perilaku buruk hal tersebut bisa ditiru oleh anak-anak.
Contoh hal apabila ayah atau ibu bertengkar didepan anak-anak hal tersebut tanpa disadari orang
tua dapat ditiru dalam tindakan dan perilaku sosialnya atau menjadi sesuatu yang menakutkan
bagi anak-anak dan membuat trauma secara psikologis. Seperti yang diungkapkan oleh DR:
88
86 Wawancara pribadi dengan E, Ciputat, 4 November 2011.
87 Wawancara pribadi dengan TA, Ciputat, 4 November 2011.
Diperkuat oleh F:
89
Selain melahirkkan rasa sedih, pertengkaran orangtua juga bisa secara tidak langsung
menjadi proses pembelajaran bagi anak terkait tindak kekerasan. Rasa kecewa, dan sedih bisa
diekspressikan dengan melakukan tindakan yang sama (kekerasan) dalam lingkungan
pergaulannya. Seperti dinyatakan oleh AR:
a sedih, kesel kalo liat orang tua berantem didepan saya, ya udah saya lebih milih
sama temen-temen kaya ikut tawuran abiz dirumah orang tua berantem mulu. Itu yang buat saya suka tawuran.
90
Dengan kata lain, ketika orang tua memperlihatkan pertengkaran mereka di depan anak-
anak membuat anak-anak menjadi sedih, takut, seram, sekaligus kesal. Anak-anak tetaplah anak-
anak, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Anak-anak hanya bisa diam ketika ayah dan ibu mereka
bertengkar, bahkan untuk melerai pun mereka takut melakukannya kerena pasti dianggap hanya
sebagai anak kecil yang mau tahu persoalan orang dewasa. Walaupun mereka diam tetapi mereka
belajar dari hal itu, bahkan mungkin mereka bisa meniru yang dilakukan orang tuanya dengan
cara melakukan tindak kekerasan untuk melampiaskan kekesalan mereka. Ketika anak-anak
melakukan kesalahan barulah orang tua mengkhawatirkan atau menasehati, tetapi anak-anak
kadang suka merasa kesal kalau orang tua menegur mereka.
Seperti yang diungkapkan oleh AF:
kesel kalau diomelin orang tua, yah walaupun itu saya yang 91
88 Wawancara pribadi dengan DR, Ciputat, 4 November 2011. 89 Wawancara pribadi dengan F, Ciputat, 4 November 2011. 90 Wawancara pribadi dengan AR, Ciputat, 28 Oktober 2011.
91 Wawancara pribadi dengan AF, Ciputat, 28 Oktober 2011.
Diperkuat oleh E:
Makanya kadang aq males kalo lagi di rumah, aq lebih seneng bareng temen-temen
aku.92
Dipertegas oleh F:
93
Selain itu masa remaja merupakan masa kerentanan karena mereka bisa mengalami
kekosongan lantaran mereka membutuhkan bimbingan langsung dari orang tua. Pada keluarga
yang kurang mampu, orang tua mereka sibuk mencari nafkah agar keluarganya dapat makan
walaupun sekedarnya, itulah yang membuat mereka tidak ada waktu untuk mengasuh anak-
anaknya. Sementara, pada keluarga yang mampu orang tua mereka sibuk diluar rumah dengan
urusan-urusan lainnya sebagai penunjang keberhasilan mereka. Masa remaja dikatakan masa
yang berbahaya pada periode ini, karena seseorang mengalami perubahan dari masa kanak-kanak
menuju tahap kedewasaan. Pada masa ini dikatakan masa krisis, karena ada pegangan sementara
kepribadiannya mulai terbentuk. Oleh karena itu, masa ini remaja memerlukan bimbingan
langsung dari orang tuanya.94
Masalah internal yang dihadapi para remaja ini adalah kurangnya perhatian, pengawasan
dan kasih sayang yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Anak menganggap orang
tua terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga mereka mengabaikan segala perilaku
yang dilakukan oleh anak mereka. Beberapa informan menganggap dengan kesibukan orang tua,
mereka bisa bebas melakukan kegiatan apapun. Seperti yang diungkapkan oleh AR:
92 Wawancara pribadi dengan E, Ciputat, 4 November 2011. 93 Wawancara pribadi dengan F, Ciputat, 4 November 2011. 94 Soerjono Soekanto, Sosiologi Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1982), hal.35.
saya dapat panggilan dari pihak sekolah soal masalah tawuran, ibu cuma nasehatin 95
Juga diungkapkan oleh F:
kerjanya di luar kota makanya aq jarang ketemu. Paling kalau dirumah nanyain gimana
sekolah aku aja, kalau lagi di luar kot96
Ada beberapa siswa-siswi dari SMP PGRI 1 Ciputat Tangsel yang bapaknya meninggal
lalu orang tuanya menjadi single parent, dan ada pula salah satu orang tuanya yang meninggal
kemudian menikah lagi.
Seperti yang diungkapkan oleh MS:
97
Juga diungkapkan oleh S:
kecelakaan, dan ibu sampai sekarang masih single parent. Yang biayain sekolah saya itu 98
Demikian juga di ungkapkan oleh E:
99
95 Wawancara pribadi dengan AR, Ciputat, 4 N0vember 2011. 96 Wawancara pribadi dengan F, Ciputat, 4 November 2011.
97 Wawancara pribadi dengan MS , Ciputat, 28 Oktober 2011. 98 Wawancara pribadi dengan S , Ciputat, 28 Oktober 2011. 99 Wawancara pribadi dengan E , Ciputat, 4 November 2011.
Selain ada beberapa orang tua siswa-siswa yang salah satu orang tuanya meninggal, ada
juga yang orang tuanya bercerai. Seperti yang di ungkapkan TA:
100
Arti penting perhatian dari orang tua merupakan sesuatu yang di harapkan oleh anak
karena anak akan merasa lebih nyaman dan terbuka terhadap orang tua.
Seperti di ungkapan E:
nggal
lalu mamah menikah lagi. Kalau sekarang aku biasa aja ke mamah karena antara aku dan mamah sudah mempunyai kesepakatan bahwa aku ga mau cerita masalah pribadi
101
Di pertegas AR:
da waktu kumpul sama keluarga. Ya udah aku leih merasa nyaman sama temen-temen
kaya ikut tawuran, nongkrong-102
Dengan kata lain, harapan untuk mendapatkan kebahagian dari dalam lingkungan
keluarga tidak berhasil mereka dapatkan. Siswa-siswi tersebut mengalami kekosongan kasih
sayang dari salah satu orang tua mereka. Berbeda halnya dengan mereka yang mendapatkan
kasih sayang yang utuh dari orang tua mereka yang lengkap, walaupun ada orang tua mereka
yang sibuk karena dua-duanya sama-sama bekerja, tetapi mereka tetap mendapatkan perhatian
yang lengkap dari orang tua mereka.
Seperti yang diungkapkan oleh SR:
aq, seperti nyanyi, syuting.
Walaupun mereka sama-103
100 Wawancara pribadi dengan TA , Ciputat, 4 November 2011. 101
Wawancara pribadi dengan E, Ciputat, 4 November 2011. 102
Wawancara pribadi dengan AR, Ciputat, 28 Oktober 2011.
c. Media Massa
Selain faktor teman sebaya, keluarga, media massa juga dapat mempengaruhi perilaku
siswa untuk melakukan tindak kekerasan. Media massa terdiri dari media cetak (Surat Kabar,
majalah) maupun elektronik (televisi, radio, film, internet).104
Dalam penelitian ini peneliti hanya
melihat bahwa internet dalam bentuk game online sajalah yang dapat mempengaruhi siswa
melakukan aksi kekerasan. Berbagai bentuk kekerasan bisa terdapat dalam internet dalam game
online yang mempengaruhi perilaku remaja. Game online yang bertema kekerasan sangat disukai
remaja laki-laki ketika mereka main internet.
Seperti yang diungkapkan oleh AR:
maen game online saya maen pb yang ada adegan berantem-105
Dipertegas oleh S:
106
Kebiasaan mereka memainkan video game yang beradegan kekerasan, awalnya karena
remaja melihat teman sebayanya bermain. Kemudian akhirnya ikut terbawa untuk memainkan
game tersebut. Seperti dijelaskan oleh MS:
-lama jadi pengen ikutan
maen juga. Kadang kalo lagi tawuran suka saya praktekin adegan yang ada di ga107
103 Wawancara pribadi dengan SR, Ciputat, 4 November 2011. 104
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004), h. 28. 105 Wawancara pribadi dengan AR , Ciputat, 28 Oktober 2011. 106 Wawancara pribadi dengan S , Ciputat, 28 Oktober 2011.
107 Wawancara pribadi dengan MS, Ciputat, 28 Oktober 2011.
Namun diantara siswa ada yang tidak menyukai permainan video game yang beradegan
kekerasan.
Hal ini diungkapkan oleh FF:
108
Dipertegas oleh AF:
109
.
B. Bentuk-Bentuk Kekerasan Yang Dilakukan oleh Siswa Senior Terhadap Siswa Junior
Aksi kekerasan dapat terdiri 3 aksi, diantaranya110
:
1. Kekerasan bersifat fisik, seperti: memukul, menampar, menjambak, memalak, mencubit.
2. Kekerasan bersifat verbal, seperti: mengejek, menyindir, memaki, menggosip.
3. Kekerasan bersifat psikologis, seperti: mengancam, mengucilkan, mengabaikan.
Dari kategori diatas, penulis melihat bahwa bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh
siswa senior terhadap siswa junior di Sekolah SMP PGRI 1 Ciputat, antara lain:
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan bersifat fisik dapat berupa mendorong, menjambak, mencubit, menampar,
memukul, memalak. Aksi bullying dapat membawa dampak yang negatif bagi korban. Menurut
pengakuan dari informan aksi senioritas dapat berupa memukul, mendorong, dan lain-lain.
108 Wawancara pribadi dengan FF , Ciputat, 28 Oktober 2011.
109 Wawancara pribadi dengan AF, Ciputat, 28 Oktober 2011. 110 Nurvita indarini,2004. . Artikel ini diakses pada tanggal 24 November 2011
dari http://www.detiknews.com/ read/2007/04/29/024012/773879/10-awas-bullying-di-skl.
Menurut para pelaku, mendorong dan memukul adalah hal yang wajar di lakukan oleh
kakak kelas terhadap adik kelasnya agar adik kelas tidak bersikap songong, hal tersebut
dilakukan untuk mendisiplinkan adik kelas.
Seperti yang diungkapkan oleh MS:
111
Dipertegas oleh AR:
112
Tidak hanya aksi pemukulan dan pendorongan, tetapi aksi pemalakan juga dilakukan oleh
pelaku aksi kekerasan dalam hal ini adalah siswa senior terhadap siswa junior. Korban yang
menjadi aksi pemalakan mengatakan bahwa mereka di palak dalam bentuk uang saja, senior
yang memalak uang mereka menerima nominal berapa saja yang diberikan oleh korban.
Seperti diungkapkan oleh LA:
, kalau saya adanya Rp 1000 ya saya kasih aja
kak yang penting saya udah ngasih113
2. Kekerasan bersifat verbal
Kekerasan bersifat verbal berupa bentakan, cacian, sindiran, ejekan, menggosip.
Kekerasan bersifat verbal lebih pada kekerasan melalui ucapan. Kekerasan seperti ini cara awal
untuk mendisiplinkan siswa junior, dan tidak menggunakan kekerasan fisik terlebih dahulu.
111 Wawancara pribadi dengan MS, Ciputat, 28 Oktober 2011 112 Wawancara pribadi dengan AR, Ciputat, 28 Oktober 2011 113 Wawancara pribadi dengan LA, Ciputat, 4 November 2011.
Beberapa pelaku mengakui bahwa bentakan, cacian, sindiran adalah cara yang mereka
pakai untuk mendisiplinkan siswa junior agar mereka tidak . Seperti yang
diungkapkan oleh TA:
in kedua aq sindir kalau aq sindir ga 114
Dipertegas oleh SR:
di bentak habis kalo di 115
Diperkuat oleh AF:
116
Untuk pelaku senior perempuan hal yang mereka tidak sukai adalah kalau ada adik kelas
yang penampilannya berlebihan, seperti yang tidak sesuai dengan peraturan sekolah. Dijelaskan
oleh E:
ndiran wajar lah dilakuin supaya mereka ga songong apalagi soal 117
Aksi kekerasan yang dilakukan siswa atau siswi senior bisa berbeda. Siswa senior laki-
laki lebih mengandalkan memukul ketika menghadapi adik kelas yang mereka tidak sukai,
sementara siswa perempuan ketika menghadapi adik junior yang mereka tidak sukai maka
mereka mencaci, menyindir, misalnya masalah penampilan yang berlebihan.
114 Wawancara pribadi dengan TA, Ciputat, 4 November 2011. 115 Wawancara pribadi dengan SR , Ciputat, 4 November 2011. 116 Wawancara pribadi dengan AF, Ciputat, 28 Oktober 2011. 117 Wawancara pribadi dengan E , Ciputat, 4 November 2011.
Tetapi ada beberapa informan yang berpandangan bahwa dalam menghadapi adik kelas
tidak selamanya harus menggunakan kekerasan karena menurutnya hal itu hanya buang-buang
tenaga saja. Seperti diungkapkan oleh F:
118
Dipertegas oleh FF:
119
3. Kekerasan bersifat psikologis
Kekerasan bersifat psikologis berupa mengancam, mengabaikan, mengucilkan.
Kekerasan psikologis sebenarnya lebih menyakitkan dari kekerasan secara fisik, karena dapat
melukai harga diri seseorang, dan merusak keseimbangan jiwa.
Menurut pengakuan korban pemalakan ketika tidak memberi uang maka siswa senior
akan memaksa dengan cara mengancam. Seperti yang di ungkapkan oleh JD:
120
Dipertegas oleh DR:
121
118 Wawancara pribadi dengan F, Ciputat, 4 November 2011. 119 Wawancara pribadi dengan FF , Ciputat, 28 Oktober 2011. 120 Wawancara pribadi dengan JD, Ciputat, 4 November 2011. 121 Wawancara pribadi dengan DR , Ciputat, 4 November 2011.
Ancaman dari pelaku aksi kekerasan yaitu siswa senior seringkali membuat siswa junior
takut atau trauma. Ancaman yang di berikan siswa senior dapat dilakukan didalam lingkungan
sekolah maupun di luar sekolah. Seperti dijelaskan oleh LA:
di ancem, terus kalo dil122
Dari uraian di atas, terlihat bahwa aksi kekerasan yang dilakukan siswa senior terhadap
siswa junior terbagi menjadi 3, yaitu kekerasan bersifat fisik, kekerasan bersifat verbal,
kekerasan bersifat psikologis. Kekerasan fisik sendiri dapat melukai korban, sementara
kekerasan psikologis walau korban tidak nampak luka fisik tetapi si korban bisa menjadi trauma,
dan bisa melukai harga diri.
C. Peranan Sekolah, Orang Tua Dalam Menangani Kasus Kekerasan di Kalangan Siswa
1. Sekolah
Sekolah merupakan media sosialisasi yang cukup luas dibandingkan dengan keluarga.
Anak mengalami perubahan dalam perilaku sosial ketika ia telah masuk sekolah. Sekolah
merupakan media sosialisasi kedua setelah keluarga.
Dari pihak sekolah sendiri mengatakan bahwa selama ini hubungan antara siswa senior
dan siswa junior hubungan keduanya baik.
Di ungkapkan oleh Pak S:
menghargai orang lain, yang junior menghargai senior dan yang senior membimbing 123
122 Wawancara pribadi dengan LA , Ciputat, 4 November 2011. 123
Wawancara pribadi dengan Pak S, Ciputat, 20 0ktober 2011.
Tetapi kenyataan dilapangan adalah masih banyak kasus kekerasan yang dilakukan siswa
senior terhadap junior. Kekerasan terjadi di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Bahkan
alumni pun masih mempunyai peran terhadap kasus kekerasan yang terjadi. Seperti yang di
ungkapkan oleh S:
alumn124
Di pertegas oleh JD:
iance125
Di perkuat oleh TA:
, pertama aq nyolotin kedua aq sindir kalau aq sindir ga mempan aq samperin terus aq bentak atau ga aq omeli
126
Pihak sekolah baru akan bereaksi ketika kekerasan tersebut telah terjadi. Kontrol dari
pihak sekolah adalah mengawasi siswa yang masih nongkrong-nongkrong sehabis pulang
sekolah dan tidak langsung pulang. Karena menurut pihak sekolah siswa yang nongkrong-
nongkrong akan melakukan aksi tawuran.
124
Wawancara pribadi dengan S, Ciputat, 28 Oktober 2011 125 Wawancara pribadi dengan JD, Ciputat, 4 November 2011 126
Wawancara pribadi dengan TA , Ciputat, 4 November 2011.
Diungkapkan oleh Ibu I:
kan langsung merespon apabila terjadi tawuran dengan cara datang ke sekolah yang menjadi rival dari siswa kami dan kami juga bekerja sama dengan pihak
127
Menurut pihak sekolah terjadinya aksi tawuran dikarenakan rasa solidaritas yang tinggi
antar sesama siswa. Siswa yang melakukan aksi tawuran tidak hanya kelas 8, tetapi yang ikut
tawuran mulai dari kelas 7, 8, 9. Biasanya yang melatarbelakangi siswa tawuran hanyalah
masalah yang sepele.
Seperti yang dijelaskan oleh Pak S:
kukan tawuran dikarenakan rasa solidaritas antar sesama teman
di luar lingkungan sekolah. Siswa yang terlibat bisanya kelas 7, 8, 9 penyebab tawuran
sendiri adalah masalah sepele, seperti saling ejek dengan siswa sekolah lain, atau kalah
dalam pertandingan 128
Sanksi yang diberikan pihak sekolah bagi yang melakukan tindak kekerasan baik di
dalam maupun di luar lingkungan sekolah adalah pertama surat panggilan orang tua, atau kalau
kasus kekerasan yang di lakukan tindakan berat maka dari pihak sekolah akan mengembalikan
siswa tersebut kepada orang tua.
Hal ini juga di jelaskan oleh Ibu I:
tidak bisa dibina lagi pemanggilan orang tua melalui surat panggilan 1,2,3, ke 4 kali 129
Namun fakta di lapangan adalah sanksi yang di berikan oleh pihak sekolah tidak
membuat siswa jera melakukan aksi kekerasan, misalnya adalah tawuran.
127 Wawancara pribadi dengan Ibu I, Ciputat, 20 Oktober 2011. 128 Wawancara pribadi dengan Pak S, Ciputat, 20 0ktober 2011. 129 Wawancara pribadi dengan Ibu I, Ciputat, 20 Oktober 2011.
Di ungkapkan oleh AR:
sanksi yang di berikan pihak sekolah. Sebenernya saya sih takut kalau ada yang lapor ke
pihak sekolah, yah paling kalau ketauan tawuran saya dapat panggilan terus saya cuma 130
Menangani kasus kekerasan di kalangan siswa, sekolah menghadapi kendala yaitu
kurangnya peran orang tua dalam menangani permasalahan anak-anak. Sekolah tidak dapat
mengawasi sendiri perilaku dari siswa-siswa. Hal ini di ungkapkan oleh Pak S:
131
Dipertegas oleh Ibu I:
-kadang orang tua kurang tanggap dalam menanggapi permasalahan siswa karena pihak sekolah juga tidak bisa kerja sendiria
132
Peranan pihak sekolah ketika menangani kasus tawuran hanyalah memberikan arahan
kepada siswa bahwa tindakan kekerasan adalah perbuatan yang salah. Dalam menghadapi siswa
yang bermasalah pihak sekolah tidak menggunakan emosi dan kekerasan fisik. Berbeda pada
tahun-tahun sebelumnya ketika siswa melakukan kenakalan maka dari pihak sekolah
memberikan sanksi dengan cara memukul dan siswa tidak melaporkannya ke orang tua, namun
berbeda dengan tahun-tahun sekarang karena ketika sekolah melakukan tindak mencubit atau
memukul maka siswa tersebut akan melaporkannya pada orang tua dan orang tua akan langsung
datang ke sekolah dengan marah-marah karena tidak menerima anaknya diperlakukan seperti itu.
Maka evaluasi yang diambil oleh pihak sekolah adalah ketika siswanya melakukan kenakalan
maka sanksi yang diberikan adalah menegurnya atau membuat surat panggilan orang tua.
130
Wawancara pribadi dengan AR, Ciputat, 28 Oktober 2011. 131 Wawancara pribadi dengan Pak S, Ciputat, 20 0ktober 2011. 132 Wawancara pribadi dengan Ibu I, Ciputat, 20 Oktober 2011.
Seperti yang di ungkapkan oleh Pak S:
merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Pihak sekolah sendiri tidak menggunakan
emosi dalam menangani siswa yang bermasalah dan pihak sekolah juga mengharapkan
peran dari orang tua siswa dalam mengawasi anak-133
Dipertegas oleh Ibu I:
Upaya yang dilakukan sekolah adalah mengatasi siswa yang bermasalah tidak menggunakan emosi atau menggunakan kekerasan fisik, memberikan siraman rohani,
memberikan motivasi kepada siswa agar tidak mengulangi tindak kekerasan seperti
tawuran, pemalakan, dan lain-lain. Dan pihak sekolah sangat berharap adanya kerjasama pula dari orang tua siswa dalam membimbing dan mengawasi siswa.
134
2. Orang Tua
Keluarga merupakan lingkungan terdekat dalam mendidik anak-anak, dan orang tua
merupakan panutan bagi anak-anak. Menurut informan yaitu para orang tua siswa dalam
mengontrol pergaulan anak-anak mereka tidak terlalu ketat karena menurut mereka anak-anak
sudah besar dan dapat bertanggung jawab sendiri.
Seperti di ungkapkan oleh CS:
-anak, soalnya kan anak-anak sudah 135
Dipertegas oleh R:
136
Diperkuat oleh SR:
133 Wawancara pribadi dengan Pak S, Ciputat, 20 0ktober 2011. 134 Wawancara pribadi dengan Ibu I, Ciputat, 20 Oktober 2011. 135 Wawancara pribadi dengan CS , Ciputat, 11 November 2011. 136 Wawancara pribadi dengan R , Bintaro,10 November 2011.
sama 137
Namun ada beberapa orang tua yang ketat dalam mengontrol pergaulan anak-anak,
karena menurut orang tua pergaulan anak remaja zaman sekarang jauh lebih seram. Hal ini di
jelaskan oleh N:
138
Kedekatan antara orang tua dengan anak mempengaruhi anak mampu menjadi tameng yang dapat
mencegah si anak untuk berbuat kekerasan. Seperti yang di ungkapkan oleh FF:
percaya lagi sama orang tua kalo me139
Di perkuat oleh AF:
140
Dalam mendidik anak orang tua tidak menggunakan kekerasan bersifat fisik, hal yang
dilakukan biasanya hanya menasehatinya saja. Namun ada pula dalam mendidik anak orang tua
yang menggunakan kekerasan yang bersifat fisik. Di ungkapkan oleh AS
141
137 Wawancara pribadi dengan SR , Rempoa, 10 November 2011. 138 Wawancara pribadi dengan N , Ciputat, 20 November 2011. 139 Wawancara pribadi dengan FF , Ciputat, 28 Oktober 2011. 140 Wawancara pribadi dengan AF, Ciputat, 28 Oktober 2011. 141 Wawancara pribadi dengan AS, Pamulang, 13 November 2011.
Di pertegas oleh CS:
142
Diperkuat oleh N:
143
Intensitas pertemuan dengan keluarga sangat di perlukan agar orang tua dapat
berkomunikasi dengan anak-anak sehingga terjalin hubungan yang harmonis dan tidak ada sekat
antara orang tua dan anak. Menurut orang tua yang menjadi informan dalam penelitian ini,
mereka sering meluangkan waktu mereka untuk berkumpul dengan seluruh anggota keluarga
termasuk dengan anak, seperti diungkapkan oleh R:
144
Namun ada beberapa orang tua yang mengakui bahwa mereka jarang berkumpul dengan
keluarga. Hal tersebut di karenakan pekerjaan di luar Jakarta.
Di ungkapkan oleh AS:
-145
142 Wawancara pribadi dengan CS, Bintaro, 11 November 2011. 143 Wawancara pribadi dengan N, Ciputat, 20 November 2011. 144 Wawancara pribadi dengan R, Rempoa, 10 November 2011. 145 Wawancara pribadi dengan AS, Pamulang, 13 November 2011.
Di pertegas oleh A:
-anak jarang kumpul di rumah karena kerjanya di luar kota jadi 146
Dalam menangani kasus kekerasan di kalangan siswa seperti tawuran, pemalakan, ejekan,
memukul, dan lain-lain orang tua biasanya hanya menasehati saja. Terkadang orang tua tidak
mengetahui apakah anaknya melakukan atau menjadi korban kekerasan.
Di ungkapkan oleh N:
lapor-lapor ke sekolah repot tapi kalau sudah kebangetan baru saya lapor ke pihak 147
Di pertegas oleh A:
dari sekolah soalnya anak saya ikut tawuran mulu. Mungkin karena di rumah ga da
bapaknya jadinya ga ada yang di takutin. Kalo saya cuma bisa nasehatin aja, abis saya
dah cape bilanginnya148
Di perkuat oleh CS:
149
146 Wawancara pribadi dengan A, Ciputat, 30 November 2011. 147 Wawancara pribadi dengan N, Ciputat, 20 November 2011. 148 Wawancara pribadi dengan A, Ciputat, 30 November 2011. 149 Wawancara pribadi dengan CS . Bintaro, 11 November 2011.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Faktor penyebab kekerasan yang dilakukan siswa-siswi SMP PGRI 1 Ciputat, yaitu:
a. Teman Sebaya dan Lingkungan sekolah adalah faktor yang sangat mempengaruhi
karena intensitas pertemuan siswa dengan teman-temannya sangat mempengaruhi
siswa dalam berperilaku. Melalui proses tersebutlah siswa meniru apa yang dilakukan
oleh teman-temannya. Aksi kekerasan yang terjadi di SMP PGRI 1 Ciputat Tangsel
karena adanya juga peran dari alumni di sekolah tersebut dalam mengendalikan
kegiatan seperti tawuran, pemalakan. Alumni menggunakan salah satu siswa kelas 8
atau 9 yang dianggap paling berkuasa atau paling ditakuti oleh siswa, maka dengan
mudah alumni melakukan aksi-aksinya.
b. Selain teman sebaya dan lingkungan sekolah yang berpengaruh. Keluarga juga
menjadi salah satu yang mempengaruhi siswa untuk melakukan tindak kekerasan.
Dengan sering melihat pertengkaran orang tua menjadi penyebab siswa untuk
melakukan kekerasan. Selain itu penyebab kekosongan kasih sayang yang didapatkan
dari orang tua, seperti halnya orang tua yang bercerai, salah satu orang tuanya
meninggal, dan kesibukan dari salah satu orang tua.
c. Media Massa juga menjadi salah satu faktor lainnya siswa melakukan kekerasan.
Melalui game online sajalah faktor yang mempengaruhi siswa meniru apa yang di
mainkan oleh teman-temannya, sehingga mereka tertarik untuk memainkan
permainan tersebut dan merealisasikannya dalam kehidupan yang nyata ketika
mereka ikut tawuran.
2. Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan siswa sebagai berikut:
1. Kekerasan bersifat fisik, seperti: memukul, menampar, menjambak,
memalak, mencubit.
2. Kekerasn bersifat verbal, seperti: mengejek, menyindir, memaki,
menggosip.
3. Kekerasan bersifat psikolgis, seperti: mengancam
3. Peran orang tua, sekolah dalam menangani kasus kekerasan di kalangan siswa adalah:
a. Pihak sekolah memberikan sanksi bagi siswa yang menjadi pelaku kekerasan,
pihak sekolah juga memberikan arahan bagi siswa bahwa melakukan tindak
kekerasan adalah perbuatan yang salah.
b. Orang tua hanya menasehati saja dan tidak ada tindak pencegahan dari orang
tua.
B. Saran-Saran
1. Kebijakan yang di lakukan pihak sekolah dalam mencegah siswa melakukan
kekerasan adalah dengan memberantas permasalahan sampai ke akar-akarnya, yaitu
dengan cara memberikan sanksi yang tegas kepada sekolah,
bahkan bila perlu di tangkap supaya jera.
2. Keluarga seharusnya lebih berperan dengan memberikan pondasi yang kuat, seperti:
pondasi agama, memaksimalkan perhatian dan komunikasi dengan anak.
3. Pemerintah hendaknya membuat mekanisme khusus dalam menangani kasus
kekerasan di kalangan siswa secara serius.
4. Terkait penelitian akademis lebih lanjut, penelitian selanjutnya lebih memfokuskan
pada respon dan kebijakan pemerintah terhadap kasus kekerasan yang terjadi di kalangan
siswa, melihat bagaimana senioritas di kalangan mahasiswa sehingga dapat dilihat
perbandingan antara kekerasan yang terjadi pada mahasiswa dan siswa, sehingga bisa
dianalisa bagaimana mendesain kebijakan yang lebih komprehensif dalam menangani
kekerasan siswa baik di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Syaiful, ed. Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: Pimpinan Pusat Ikatan
Remaja Muhammadiyah, 2000.
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Jiwa Agama, 16th
ed. Jakarta: PT Bulan Bintang, 2003.
Erlangga, san di televisi dan tingkat keterlibatan pelajar
1998.
Gerungan. Psikologi Sosial, Bandung: PT Refika Aditama, 2003.
Goode, J William. Sosiologi Keluarga. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007.
I Djumhur dan Moh, Sunarya. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Bandung: CV. Ilmu,
1975.
Kasiram, Moh. Metodologi Penelitian (Refleksi Pengembangan Pemahaman dan Pengusaan
Metodologi Penelitian). Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Kerrigan.2009. Ruang Eksekusi Di Zona Anti Kekerasan. Artikel ini diakses pada tanggal 1 Juni
2011 dari http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=549308page
Koenjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1985.
Launa. Bahasa dan Kekerasan Ala IPDN, 2007, Diakses pada tanggal 12 April 2011 dari
http//www.suara karya-online.com/news.html?id=170910
Martha, Aroma Elmina. Perempuan, Kekerasan dan Hukum. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,
2003.
Martin, Roderick. Sosiologi Kekuasaan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: PT Remaja Rosdakaraya, 1997.
Narwoko, J.Dwi dan Suyanto, Bagong. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, 3rd
ed. Jakarta:
Kencana, 2007.
Nasution, S. Sosiologi Pendidikan, 2nd
ed. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Nedwika, Aswidityo.2010. Siswa SMA 70 Akui Tradisi Senioritas Sebagai Pemicu Kekerasan.
Artikel ini diakses pada tanggal 1 Juni 2011 dari
http://www.tempointeraktif.com/hg/kriminal/2010/06/04/brk/20100604-252718,id.html
Noorastuti, Pipiet Tri dan Sandy, Adam mahaputra.2011. Jalur Gaza simbol senioritas di SMAN
82. Artikel ini diakses pada tanggal 31 Mei 2011 dari
http://metro,vivanews.com/news/read/103435-jalur-Gaza-simbol-senioritas-SMAN-82
Nusantara, M Istijar. i Jurnalis
Tangsel Pos, 20 September 2011, h.1 dan 6.
Said, Umar. rtikel diakses pada tanggal 29 Mei 2011
dari http://pdng-today.com/?=article&id
Saputra, Catur Nugroho. 2011. Cegah Bullying Siswa Senior Dilarang Terlibat MOS.
akses pada tanggal 14 November 2011 dari
http://news.okezone.com/read/2011/10/31/338/522940/cegah-bullying-siswa-senior-dilarang-terlibat-
MOS
Sarwono, Sarlito Wirawan. el ini di akses pada
tanggal 23 Juli 2011 dari
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/09/15/kl/mbm.200330915.kl90261.id.html
Setiani, Desi. Hubungan Tipe Sekolah Dengan Perila Skripsi
S1, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, 2005.
Siswoyo,
http://waspadmedan.com.indeks.php?options=com_contentandview=article&id=4815:lupaka
nsenioritas&catid=74:kreasianditemid=231
Siregar, Hasyim. kses pada tanggal 14
November 2011 dari http://www.seputar-Indonesia.com/edisicetak/content/view/439514/38/
pada remaja yang
melakukan tawuran (
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2003.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1982.
Soleman, B. Taneko. Struktur dan Proses Sosial (Suatu Pngantar Sosiologi Pembangunan)
Jakarta: CV Rajawali, 1998.
Sudarsono. Kenakalan Remaja, 3rd
ed. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995.
Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: lembaga penerbit fakultas Ekonomi UI, 2004.
Study Spongebob Rusak Otak Anak. Artikel ini di akses pada tanggal 22 September 2011 dari
http://forum.komps.com/nasional/40883-study-spongebob-rusak-otak-anak.html.
Sutedjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. Bandung: PT Refika Aditama, 2006.
Tuwu, Alimudin. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press,1993.
Vivian, John. Teori Komunikasi Massa, 8th
ed. Jakarta: Kencana, 2008.
Wawancara pribadi dengan .
Wawancara pribadi dengan N yang merupakan salah satu guru di SMP PGRI 1, Ciputat, 4 Juni
2011.
Wawancara pribadi dengan A. Ciputat, 28 Oktober 2011.
Wawancara pribadi dengan MS. Ciputat, 28 Oktober 2011.
Wawancara pribadi dengan Ibu Idjah. Ciputat, 20 Oktober 2011.
Wawancara pribadi dengan Bapak Sartiman. Ciputat, 20 Oktober 2011
Wawancara pribadi dengan FF. Ciputat, 28 Oktober 2011.
Wawancara pribadi dengan S. Ciputat, 28 Oktober 2011.
Wawancara pribadi dengan AF. Ciputat, 28 Oktober 2011.
Wawancara pribadi dengan SR. Ciputat, 4 November 2011.
Wawancara pribadi dengan F. Ciputat, 4 November 2011.
Wawancara pribadi dengan TA. Ciputat, 4 November 2011.
Wawancara pribadi dengan E. Ciputat, 4 November 2011.
Wawancara pribadi dengan JD. Ciputat, 4 November 2011.
Wawancara pribadi dengan DR. Ciputat, 4 November 2011.
Wawancara pribadi dengan LA. Ciputat, 4 November 2011.
Wawancara pribadi dengan CS. Ciputat, 11 November 2011.
Wawancara pribadi dengan R. Bintaro, 10 November 2011.
Wawancara pribadi dengan SR. Rempoa, 10 November 2011.
Wawancara pribadi dengan N. Ciputat, 20 November 2011.
Wawancara pribadi dengan AS. Pamulang, 13 November 2011.
Wawancara pribadi dengan A. Ciputat, 30 November 2011.
.
Pedoman Wawancara (untuk Pihak Sekolah)
T : Kegiatan MOS apa saja yang dilakukan di sekolah ini pak?
T : Apakah di sekolah ini ada tindak kekerasan siswa pada saat MOS pak?
T : Bagaimana kontrol sekolah ini agar tidak terjadi tindak kekerasan pada saat MOS pak?
T : Bagaimana hubungan antara siswa senior dengan siswa junior di sekolah ini pak?
T : Bagaimana dengan masalah tawuran siswa pak?
T : Bagaimana kontrol sekolah terhadap masalah tawuran siswa pak?
T : Biasanya apa penyebab siswa tawuran dengan siswa sekolah lain pak?
T : Sanksi apa yang diberikan pihak sekolah terhadap siswa yang melakukan tawuran pak?
T : Biasanya siswa kelas berapa saja yang terlibat tawuran pak?
T : Kendala apa saja yang dihadapi pihak sekolah dalam menangani kasus kekerasan siswa
pak/ibu?
T : Peran sekolah bagaimana dalam menangani kasus kekerasan yang dilakukan siswa pak?
Pedoman wawancara (untuk Siswa laki-laki)
T : Biasanya kamu suka nonton film apa?
T : Suka nonton film yang ada adegan kekerasan, misalnya yang ada adegan berantem?
T : Suka nonton film kartun juga g?
T : Suka main Video Game g?
T : Suka main video Game apa aja?
T : Biasanya suka main Video Game yang ada adegan kekerasannya g?
T : Kenapa sih suka main Video Game yang ada adegan kekerasannya?
T : Biasanya buka internet apa aja?
T : Biasanya update status berapa kali?
T : Suka nulis update status yang ngata-ngatain temen atau guru ga?
T : Pernah ikut tawuran ga?
T : Berapa kali ikut tawuran?
T : Sama siapa diajakin tawuran?
T : Biasanya tawuran bawa apa?
T : Kalau ga ikut tawuran ada sanksinya ga?
T : Alasan kamu apa ikut tawuran?
T : apa sih penyebab tawurannya?
T : Mang ga takut kalau ada yang lapor ke pihak sekolah?
T : Tindakan orang tua kamu apa pas tahu kamu tawuran?
T : Pernah jadi panitia MOS ga?
T : Biasanya kegiatan MOS ngapain aja?
T : Hal apa yang kamu lakuin kalau ada adik kelas atau temen yang ngelanggar perintah
kamu?
T : Menurut kamu bentakan, cacian yang dilakukan kakak kelas ke adik kelas hal yang
wajar dilakukan g?
T : Menurut kamu bentakan, cacian, tawuran, pemalakan wajar dilakuin kakak kelas ke
adik kelas dan merupakan sebuah tradisi ?
T : Menurut kamu adanya adik kelas ajang buat balas dendam ga?
T : Biasanya kalau di rumah suka cerita ke orang tua ga?
T : Orang tua kamu masih lengkap g?
T : Bapak kamu meninggal kapan? Meninggalnya kenapa?
T : Di rumah ibu suka ngajakin ngobrol tentang kegiatan sehari-hari g?
T : Kalau kamu bandel diapain sama ibu?
T : Kalau orang tua kamu marahin kamu perasaan kamu gimana?
T : Terus kalau kamu kesel diomelin ibu tindakan kamu apa?
Pedoman wawancara (untuk Siswa perempuan)
T : kamu biasanya suka nonton film apa?
T : suka film yang ada adegan kekerasan ga?
T : suka film kartun ga?
T : biasanya suka nonton film kartun apa?
T : kalau lagi main internet biasanya buka apa?
T : berapa kali suka update status?
T : kalau update status suka kata-katain kasar temen atau guru ga?
T : pernah jadi panitia MOS ga?
T : kegiatan MOS apa aja?
T : menurut kamu bentakan,cacian, sindiran yang dilakukan kakak kelas ke adik kelas hal
T : menurut kamu bentakan, cacian, sindiran yang dilakukan kakak kelas ke adik kelas
wajar dilakukan dan merupakan sebuah tradisi?
T : di sekolah ini ada genk-genkan ga?
T : di rumah kamu suka cerita masalah kamu ke orang tua ga?
T : orang tua suka ngajakin ngobrol tentang kegiatan kamu sehari-hari ga?
T : orang tua kamu masih ada?
T : sekarang kamu tinggal sama siapa?
T : perasaan kamu gimana tinggal sama papa tiri?
T : tindakan orang tua kamu apa kalau kamu bandel?
T : perasaan kamu gimana kalau diomelin orang tua?
T : pernah lihat orang tuanya berantem ga?
T : perasaan kamu gimana lihat orang tua berantem?
Pedoman wawancara (untuk Orang Tua)
T : pekerjaan anda apa ?
T : berapa jumlah anak anda?
T : biasanya anda dan keluarga sering meluangkan waktu untuk berkumpul bersama anak-
anak di rumah ga?
T : anak-anak sering curhat ke ibu atau bapak ga tentang masalahnya atau kegiatannya
diluar rumah?
T : apakah menurut anda keluarga anda termasuk keluarga yang sudah harmonis?
T : apa anda dan suami kalau berantem pernah menunjukannya didepan anak-anak?
T : apa dalam mendidik anak biasanya anda menggunakan kekerasan, seperti kekerasan
fisik?
T : apa anda termasuk orang tua yang ketat dalam mengontrol pergaulan anak-anak anda?
T : kalau anak anda bandel biasanya anda melakukan apa, apakah ibu menggunakan
kekerasan fisik?
T : apa anda mengetahui anak anda pernah ikut tawuran atau melakukan perilaku kekerasan
di sekolahnya
T : apa yang anda lakukan apabila anak anda melakukan tindak kekerasan atau menjadi
korban kekerasan di sekolah?