senyawa antikanker dan insektisida dari...
TRANSCRIPT
DESI HARNETI PUTRI HUSPA
SENYAWA ANTIKANKER
DAN INSEKTISIDA
DARI GENUS AGLAIA
UNPAD PRESS
-i-
SENYAWA ANTIKANKER
DAN INSEKTISIDA
DARI GENUS AGLAIA
-ii-
-iii-
DESI HARNETI PUTRI HUSPA
SENYAWA ANTIKANKER
DAN INSEKTISIDA
DARI GENUS AGLAIA
UNPAD PRESS
-iv-
TIM PENGARAH
Ganjar Kurnia
Mahfud Arifin, Engkus Kuswarno
Memed Sueb
TIM EDITOR
Wilson Nadeak (Koordinator), Tuhpawana P. Sendjaja
Fatimah Djajasudarma, Benito A. Kurnani
Denie Heriyadi, Wahya, Cece Sobarna
Dian Indira
Judul : Senyawa Antikanker dan Insektisida
dari Genus Aglaia
Penulis : Desi Harneti Putri Huspa
UNPAD PRESS
Copyright © 2009
ISBN 978-979-3985-55-8
-v-
PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur selalu
terpanjatkan hanya untuk Allah SWT sehingga penyusun
dapat menyelesaikan draft buku ini.
Buku ini berjudul “Senyawa Antikanker dan
Insektisida dari Genus Aglaia” yang diajukan sebagai
salah satu pertanggungjawaban penerima Hibah
Penelitian Mahasiswa Doktor Tahun 2009 (SK Rektor
Nomor 1607/H6.1/KEP/HK/2009) di Program Doktor
Pascasarjana FMIPA Universitas Padjadjaran.
Pada kesempatan kali ini penyusun mengucapkan
terima kasih kepada:
Prof. Dr. Roekmiati Tjokronegoro, Ir.,
Prof. Dr. Anas Subarnas, M.Sc.
dan
Dr. Unang Suptaman
selaku Tim Promotor, yang telah meluangkan waktu,
tenaga dan pikirannya untuk membimbing penyusun
dalam penyusunan buku ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa
penyusunan buku ini jauh dari kata sempurna karena
keterbatasan ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang
penyusun miliki. Masukan dan kritik yang membangun
sangat penyusun harapkan demi kemajuan penyusun
khususnya dan kita semua pada umumnya.
Akhir kata, semoga penyusunan karya tulis ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dan selanjutnya dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Bandung, Desember 2009
Penyusun
-vi-
-vii-
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I SEL KANKER MERUSAK ALAT
TUBUH
1
BAB II TINJAUAN UMUM 5
Kanker dan Sel Tumor 5
Tinjauan Tumbuhan Meliaceae dan
Aglaia
24
Kandungan Kimia pada Tumbuhan
Aglaia
32
Senyawa Aktif Sitotoksik dari
Tumbuhan Aglaia
40
BAB III
SENYAWA ANTIKANKER
TURUNAN
1H-SIKLOPENTA[b]BENZOFURAN
DARI TANAMAN Aglaia elliptica
47
Aglaia elliptica 47
Mekanisme sitotoksik pada tanaman
Aglaia elliptica
50
BAB IV AKTIVITAS ANTIKANKER
SENYAWA ODORIN DAN
ODORINOL DARI TUMBUHAN
AGLAIA ODORATA
59
Aglaia odorata 59
Taksonomi Aglaia odorata 60
-viii-
Halaman
Kandungan kimia tumbuhan Aglaia
odorata
61
Bahan-bahan dan metode penelitian 64
BAB V SENYAWA SITOTOKSIK DARI
KULIT BATANG Aglaia crassinervia
77
Aglaia crassinervia 77
Taksonomi Aglaia crassinervia 78
Eksperimen 79
Kandungan kimia tumbuhan Aglaia
crassinervia
81
Evaluasi Aktivitas Biologis 97
BAB VI AKTIVITAS INSEKTISIDA
SENYAWA FLAVAGLIN DARI
KULIT BATANG AGLAIA EDULIS
TERHADAP LARVA SPODOPTERA
LITTORALIS
103
Aglaia edulis 103
Spodoptera littoralis 107
Bahan dan Metode 112
Hasil dan Pembahasan 114
DAFTAR PUSTAKA 131
INDEKS 141
-ix-
GLOSARI
Alkaloid : Senyawa dalam arti luas bersifat basa,
mengandung unsur nitrogen heterosiklik,
berstruktur molekul komplek, mempunyai
aktifitas farmakologi.
Antikanker : Zat yang dapat menghambat atau membunuh
sel kanker
DNA : Deoxyribonucleic acid. Asam nukleat yang
terdapat dalam inti sel, yaitu di dalam
kromosom.
Glukosa : Suatu jenis monosakarida golongan heksosa
dengan satu gugus aldehid. Perbedaan
galaktosa dengan glukosa ada pada letak
gugus –OH di atom C no. 4.
IC50 : Inhibition Consentration 50%. Konsentrasi
yang dapat menghambat pertumbuhan sel
sebanyak 50%.
Kanker : atau karsinoma adalah pembentukan
jaringan baru yang abnormal dan bersifat
ganas (maligne).
Lemak : Ester dari gliserol dan asam-asam lemak
Leukemia : Kanker darah
Mutasi : Kesalahan dalam replikasi, sehingga
mengakibatkan kerusakan DNA secara
permanen.
ppm : Part per million, bagian per juta
-x-
Proliferasi Suatu kelompok sel yang tiba – tiba menjadi
liar dan memperbanyak diri secara pesat dan
terus menerus.
RNA : Ribonucleic acid. Asam nukleat yang
terdapat di luar inti sel, yaitu di dalam
sitoplasma.
Sel kanker : adalah kumpulan sel yang secara genetik
menghancurkan sel inang dan berkembang
menjadi sel yang tidak normal.
Sitotoksik : Racun sel
Steroid : Senyawa lipid yang bukan golongan ester
dengan struktur dasar yang terdiri dari 17
atom karbon yang berbentuk 4 cincin.
Triterpen : Terpena dengan jumlah atom kurang lebih
30. Terdiri dari gabungan ekor-kepala unit
isoprena. Secara biosintesis diturunkan dari
hidrokarbon C30 alisiklik, yaitu skualena.
Toksisitas : Daya racun
-xi-
(1)
BAB I
SEL KANKER MERUSAK ALAT TUBUH
MENURUT Organisasi Kesehatan Dunia, WHO,
setiap tahun jumlah penderita kanker di dunia bertambah
6,25 juta orang. Dalam 10 tahun mendatang diperkirakan
9 juta orang akan meninggal setiap tahun akibat kanker.
Dua pertiga dari penderita kanker di dunia akan berada di
negara-negara yang sedang berkembang.
Sel kanker adalah kumpulan sel yang secara genetik
menghancurkan sel inang dan berkembang menjadi sel
yang tidak normal. Penyebab terjadinya sel kanker
karena beberapa sel tidak dapat merespons mekanisme
regulasi kerja sel. Konsekuensinya sel tersebut akan terus
berkembang karena akan mengambil nutrien dari sel
normal (McKee and McKee, 1999). Sel kanker dapat membuat anak sebar (metastasis)
ke bagian alat tubuh lain yang jauh dari tempat asalnya
melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan
tumbuh kanker baru di tempat lain. Penyusupan sel
kanker ke jaringan sehat pada alat tubuh lainnya dapat
merusak alat tubuh tersebut sehingga fungsi alat tersebut
menjadi terganggu. Kanker dapat menimpa semua orang
pada semua bagian tubuh dan pada semua golongan
2 Desi Harneti P.H.
umur. Kanker dapat timbul pada pria, wanita maupun
anak-anak. Walaupun kanker dapat timbul pada anak-
anak, tetapi lebih sering timbul pada orang dewasa,
terutama pada orang yang berusia 40 tahun ke atas. Ini
disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon dan proses
menua atau kemunduran pertumbuhan sel.
Akhir-akhir ini kemoterapi menjadi salah satu
terobosan dalam pengendalian kanker. Meskipun
penemuan dan pemakaian kemoterapi menunjang hasil
yang bagus, tetapi toksisitas dan efek sampingnya sangat
besar (Siswandono, 1993). Bahan-bahan alam
mempunyai prospek sebagai penghambat pertumbuhan
sel kanker. Distribusi aktivitas antikanker sangat luas
dalam tumbuh-tumbuhan. Pendekatan yang sering
dilakukan dalam mencari zat kandungan yang berkhasiat
sebagai antikanker dari tanaman ialah dengan
kemotaksonomi tanaman, yakni tanaman yang termasuk
dalam takson tertentu dan mempunyai kemiripan tanda-
tanda anatomi, histologi, morfologi dan kemiripan dalam
zat kandungannya. Farnsworth melaporkan bahwa 400
spesies tanaman dalam genus 97 famili mempunyai
aktivitas sebagai penghambat tumor (Farnsworth, 196).
Berbagai zat kandungan yang berkhasiat sebagai
antikanker dan beberapa tanaman telah berhasil diisolasi
oleh Mc Laughlin et al, di mana pencarian senyawa
bioaktif tersebut dilakukan setelah dalam praskrining
aktivitas terhadap ekstrak tanaman menunjukkan hasil
positif atau aktif.
Indonesia adalah negara kedua di dunia yang
memiliki keanekaragaman hayati terbanyak termasuk
tumbuhan Meliaceae yang hanya tumbuh di daerah
Sel Kanker Merusak Alat Tubuh 3
tropis. Aglaia adalah genus terbesar dari keluarga
Meliaceae, yang terdiri dari kurang lebih 130 spesies
yang tersebar terutama di daerah Indo-Malaysian, Cina
Selatan dan Kepulauan Pasifik. Aglaia adalah salah satu
genus dari keluarga Meliaceae yang sangat potensil
sebagai sumber senyawa antikanker turunan rokaglat,
bisamida dan triterpenoid. Senyawa rokaglaol dan
aglaiaglabretol B yang diisolasi dari Aglaia crassinervia
teruji bersifat antikanker (Su, 2006). Lima senyawa
turunan lignan benzofuran yang berhasil diisolasi dari A.
elliptica terbukti dapat menghambat pertumbuhan sel
kanker manusia (Lee, 1998). Janprasert et al. (1993)
berhasil mengidentifikasi senyawa aktif yang bersifat
antikanker dari ranting A. odorata sebagai rokaglamida.
Sampai tahun 2001, para ilmuwan telah berhasil
mengisolasi sebanyak 52 senyawa turunan rokaglamida.
Aktivitas ekstrak bagian tanaman Aglaia selain dapat
bersifat sebagai insektisidal dapat juga bersifat sebagai
antimakan dan antikanker (Proksch et al.,2001).
Aglafolin (metil rokaglat) yang diisolasi dari A.
elliptifolia Merr. dapat menghambat pertumbuhan sel
kanker (Ko et al.,1992). Aglaiastatin dan rokaglaol,
menunjukkan dapat mengurangi jumlah sel kanker
dengan cara menghambat sintesis proteinnya. Perusahaan
obat Australia Cerylid Biosciences menyatakan bahwa
senyawa yang terdapat pada tanaman A.lepthantha dapat
membunuh 20 jenis sel kanker termasuk sel kanker yang
menyebabkan kanker otak, payudara dan melanoma .
Kandungan senyawa yang sama juga terdapat pada A.
silvestris (Ohse et al.,1996).
Sampai akhir tahun 2006, lebih 30 spesies Aglaia
telah dilaporkan kandungan kimianya. Kandungan utama
4 Desi Harneti P.H.
metabolit sekunder dari genus ini adalah
benzo[b]oxepines, bisamid, siklopenta[b]benzofuran,
siklopenta[b]benzopiran, lignan, steroid pregnan.
Senyawa-senyawa turunan siklopenta[b]benzofuran
(turunan rokaglat) telah dilaporkan secara signifikan
dapat menghambat sel kanker manusia (Su, 2006; Lee ,
1998).
(5)
BAB II
TINJAUAN UMUM
Kanker dan Sel Tumor
KANKER atau karsinoma adalah pembentukan
jaringan baru yang abnormal dan bersifat ganas
(maligne). Suatu kelompok sel yang tiba – tiba menjadi
liar dan memperbanyak diri secara pesat dan terus
menerus (proliferasi). Kanker terbentuk karena adanya
mutasi pada biosintesis sel, yaitu kekeliruan urutan DNA
karena terpotong, tersubstitusi atau ada pengaturan
kembali, adanya adisi dan integrasi bahan genetik virus
ke dalam gen serta adanya perubahan ekspresi genetik.
Sel–sel kanker ini dapat menginfiltrasi jaringan
sekitarnya dan memusnahkannya. Kanker primer sering
kali menyebarkan sel–selnya melalui saluran darah dan
limfe ke tempat lain di tubuh (metastase), untuk
selanjutnya berkembang menjadi kanker sekunder.
Gejala – gejala umum utama adalah nyeri yang sangat
hebat, penurunan berat badan secara tiba- tiba, kepenatan
total (cachexia), dan berkeringat di malam hari (Tjay &
Rahardja, 2002).
Tumor (bahasa Latin; pembengkakan) menunjuk
6 Desi Harneti P.H.
massa jaringan yang tidak normal, tetapi dapat berupa
"ganas" (bersifat kanker) atau "jinak" (tidak bersifat
kanker). Hanya tumor ganas yang mampu menyerang
jaringan lainnya ataupun bermetastasis (Anonim, 2007).
Tumor dibagi dalam dua golongan, yaitu tumor
jinak dan tumor ganas. Kanker adalah istilah umum
untuk semua jenis tumor ganas. Sel tumor pada tumor
jinak bersifat tumbuh lambat, sehingga tumor jinak pada
umumnya tidak cepat membesar. Sel kanker mendesak
jaringan sehat sekitarnya secara serempak sehingga
terbentuk simpai (serabut pembungkus yang memisahkan
jaringan tumor dari jaringan sehat). Oleh karena
bersimpai, maka pada umumnya tumor jinak mudah
dikeluarkan dengan cara operasi.
Sel tumor pada tumor ganas (kanker) tumbuh
cepat, sehingga tumor ganas pada umumnya cepat
menjadi besar. Sel tumor ganas tumbuh menyusup ke
jaringan sehat sekitarnya, sehingga dapat digambarkan
seperti kepiting dengan kaki-kakinya mencengkeram alat
tubuh yang terkena. Di samping itu sel kanker dapat
membuat anak sebar (metastasis) ke bagian alat tubuh
lain yang jauh dari tempat asalnya melalui pembuluh
darah dan pembuluh getah bening dan kanker baru
tumbuh di tempat lain. Penyusupan sel kanker ke
jaringan sehat pada alat tubuh lainnya dapat merusak alat
tubuh tersebut sehingga fungsi alat tersebut menjadi
terganggu.
Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai
dengan pembelahan sel yang tidak terkendali dan
kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan
biologis lainnya,baik dengan tempat yang jauh (meta -
Tinjauan Umum 7
tesis). Pertumbuhan tempat yang jauh (metatesis).
Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan
kerusakan DNA, adanya kerusakan DNA akan
menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol
pembelahan sel.
Gambar 2.1 Perkembangan sel tumor
menjadi sel kanker (Siswandono dan
Soekardjo, 1995).
Beberapa buah mutasi mungkin dibutuhkan untuk
mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi-mutasi
tersebut dapat diakibatkan oleh zat kimia maupun fisik
yang disebut karsinogen.
Kanker dapat menyebabkan banyak gejala yang berbeda,
bergantung pada lokasinya dan karakter dari keganasan
dan apakah ada metatesis. Sebuah diagnosis yang
menentukan biasanya membutuhkan pemeriksaan
mikroskopik jaringan yang diperoleh dengan biopsi.
Setelah didiagnosis, kanker biasanya dirawat dengan
operasi,kemoterapi dan radiasi. Bila tak terawat,
kebanyakan kanker menyebabkan kematian. Kanker
adalah salah satu penyebab utama kematian di negara
berkembang. Kebanyakan kanker dapat dirawat dan
8 Desi Harneti P.H.
disembuhkan. Kanker dikenali karena tanda atau gejala
tampak melalui “screening”. Kanker secara genetik
menghancurkan pertumbuhan sel otonom. Beberapa sel
tidak mampu merespons terhadap regulasi normal yang
menjaga koordinasi antarsel dalam organisme
multiselular.
Gambar 2.2 Proses terjadinya kanker (Siswandono
dan Soekardjo, 1995).
Tinjauan Umum 9
Konsekuensinya, sel abnormal tersebut akan mengambil
nutrien dari sel tetangga dan akhirnya berkumpul di
sekitar jaringan yang sehat. Karena sel tersebut sudah
rusak maka sel yang abnormal akan membentuk benign
atau malignant (Siswandono dan Soekardjo, 1995).
Kanker benign tumbuh secara pelahan dan terbatas
hanya di lokasi tertentu, tidak diikuti pertumbuhan
kanker dan jarang sekali menyebabkan kematian.
Sedangkan kanker malignant biasanya fatal karena akan
mengalami metastasis (sel kanker bermigrasi melalui
aliran darah atau jaringan limfa menuju lokasi yang jauh
dalam tubuh). Ketika tumor malignant muncul, mereka
mengganggu sel normal dan dapat menyebabkan
penderita meninggal (McKee and McKee, 1999).
Dalam darah dapat dibedakan antara orang yang
terkena kanker dan yang normal. Perbedaan tersebut
dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
Sel darah orang terkena
kanker
Sel darah orang normal
Gambar 2.3 Perbedaan sel darah terkena kanker dan
normal (Anonim, 2007).
10 Desi Harneti P.H.
Klasifikasi dari Kanker
Kanker diklasifikasikan berdasarkan pengaruh
jaringan. Jenis tumor kanker yang paling banyak adalah
karsinoma (tumor yang berasal dari sel jaringan epitel
seperti kulit, berbagai kelenjar, dan organ-organ lainnya).
Pada leukemia, leukosit pada sumsum tulang belakang
diproduksi secara berlebihan. Sama halnya dengan
produksi limfosit berlebih pada limfa dan pertumbuhan
tidak terkontrol pada limfoma. Tumor yang muncul pada
jaringan konektif disebut sarkoma. Meskipun memiliki
perbedaan jaringan yang diinfeksi, mereka memiliki
karakteristik umum yang sama sebagai berikut:
1. Sifat jaringan sel
Ketika tumbuh dalam jaringan, banyak sel
kekurangan kontak inhibisi sehingga sel tersebut
tumbuh dalam densitas tinggi dalam massa yang tidak
teratur (sel normal hanya tumbuh satu lapis dalam
sel). Berbeda dengan sel normal, sel kanker tumbuh
dan berkumpul serta cenderung tidak bergantung pada
faktor tumbuh dan sel tidak membutuhkan pengikatan
pada permukaan padat. Sel normal hanya mengalami
penggabungan sel dalam jumlah terbatas sedangkan
sel kanker tumbuh tidak terbatas.
2. Asal
Beberapa tumor berasal dari satu sel yang rusak. Sel
dapat dikatakan sebagai klon yang diturunkan dari sel
yang telah mengalami perubahan secara turun temurun.
Perusakan genetik meliputi mutasi delesi, insersi dan
penataan ulang kromosom. Beberapa perubahan dalam
Tinjauan Umum 11
kehilangan atau perubahan fungsi molekul terlibat dalam
pertumbuhan atau perkembangan sel. Tumor tumbuh
dalam waktu yang lama dan melibatkan berbagai tipe
kerusakan genetik (McKee and McKee, 1999).
Proses transformasi sel normal menjadi sel
malignant melalui tiga tahap, yaitu inisiasi, promosi dan
progresi. Selama proses inisiasi pada karsinogenesis,
perubahan permanen dalam genom sel menghasilkan
pertumbuhan yang melewati tetangganya. Banyak proses
inisiasi suatu mutasi memengaruhi protooncogenes atau
gen pencegah tumor. Kode protooncogenes untuk
berbagai faktor pertumbuhan, reseptor faktor
pertumbuhan, enzim atau faktor transkripsi yang
mempromosikan pertumbuhan sel dan penggabungan sel.
Versi termutasi dari protooncogenes yang
mempromosikan pertumbuhan sel abnormal disebut
oncogenes. Karena gen penyupresi tumor mencegah
karsinogenesis, maka apabila gen tersebut hilang akan
memfasilitasi pertumbuhan sel tumor. Contoh gen
penyupresi tumor adalah Rb dan p53. fungsi gen
penyupresi tumor tidak diketahui secara pasti tetapi dapat
dilihat bahwa p53 mengkode protein 21 kD yang
menghambat enzim Cdk pada mekanisme perbaikan
DNA. Kerusakan protooncogenes dan gen penyupresi
tumor disebabkan oleh:
1. Zat Kimia
Kanker yang disebabkan oleh bahan kimia
disebut mutagenik, yang mengubah struktur DNA.
Beberapa karsinogen yang mengandung nitrogen
adalah elektrofil yang berkeaktifan tinggi dan
menyerang gugus kaya elektron di DNA. Karsinogen
12 Desi Harneti P.H.
yang lain seperti benzo[a]pirena adalah prokarsinogen
yang diubah menjadi karsinogen aktif dengan lebih
dari satu reaksi yang dikatalisis enzim.
2. Radiasi
Beberapa radiasi bersifat karsinogen yang
menyebabkan pemutusan rantai DNA, pembentukan
dimer pirimidin dan penghilangan basa purin dan
pirimidin.
3. Virus
Virus berperan dalam proses transformasi
melalui beberapa cara. Beberapa membawa oncogenes
ke sel inang. Virus dapat memengaruhi ekspresi
protooncogenes selular melalui insersi mutagenesis,
proses acak dimana genom insersi virus meng-
inaktivasi sisi regulator atau mengubah deret
pengkode protooncogenes (McKee and McKee,
1999).
4. Penyinaran yang berlebihan
Sinar ultra violet yang berasal dari matahari
dapat menimbulkan kanker kulit. Sinar radioaktif dan
sinar X yang berlebihan dapat menimbulkan kanker
kulit dan leukimia.
5. Hormon
Hormon adalah zat yang dihasilkan kelenjar
tubuh yang fungsinya adalah mengatur kegiatan alat-
alat tubuh dan selaput tertentu. Pada beberapa
penelitian diketahui bahwa pemberian hormon tertentu
Tinjauan Umum 13
secara berlebihan dapat menyebabkan peningkatan
terjadinya beberapa jenis kanker seperti payudara,
rahim, indung telur dan prostat (kelenjar kelamin
pria).
6. Rangsangan fisik berulang
Gesekan atau benturan pada salah satu bagian
tubuh yang berulang dalam waktu yang lama
merupakan rangsangan yang dapat mengakibatkan
terjadinya kanker pada bagian tubuh tersebut, karena
luka atau cedera pada tempat tersebut tidak sempat
sembuh dengan sempurna.
Obat antikanker
Obat antikanker adalah senyawa kemoterapetik yang
digunakan untuk pengobatan tumor yang membahayakan
kehidupan (kanker). Obat antikanker disebut juga obat
sitotoksik, sitostatik atau senyawa antineoplasma. Tujuan
utama kemoterapi ini adalah merusak secara selektif sel
tumor yang berbahaya tanpa mengganggu sel normal
(Siswandono dan Soekardjo, 1995).
Pengobatan kanker dapat dilakukan dengan cara:
1. Pembedahan, terutama untuk tumor padat terlokali
sasi seperti karsinoma pada payudara dan kolorektal.
2. Radiasi digunakan untuk pengobatan tambahan
sesudah pembedahan dan untuk pengobatan tumor
seperti seminoma testikular dan karsinoma nasofa-
ring.
3. Pemberian kemoterapi untuk pengobatan tumor yang
tidak terlokalisasi seperti leukemia, koriokarsinoma,
multiple mieloma, penyakit Hodgkin, limfoma
14 Desi Harneti P.H.
Burkitt dan digunakan untuk pengobatan tambahan
seusai pembedahan.
4. Endokrinoterapi merupakan bagian dari kemoterapi
yaitu penggunaan hormon untuk pengobatan tumor
pada organ yang proliferasinya tergantung pada
hormon seperti karsinoma payudara dan prostate.
5. Imunoterapi, masih dalam penelitian dan berperan
penting pada pencegahan mikrometastatis
(Siswandono dan Soekardjo, 1995).
Obat antikanker dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Senyawa Pengalkilasi
Senyawa pengalkilasi adalah DNA, RNA dan
enzim-enzim tertentu. Senyawa ini digunakan pada
pengobatan kanker pada jaringan limfoid dan sistem
retikuloendotel seperti limfosarkoma dan penyakit
Hodgkin, leukemia limfositik dan mieloma. Efek
sampingnya adalah dapat merusak sumsum tulang,
menyebabkan leukosprenia dan trombositopenia serta
menekan kekebalan.
Cara kerja senyawa ini adalah dengan membentuk
senyawa kationik antara yang tidak stabil yang diikuti
pemecahan cincin membentuk ion karbonium reaktif. Ion
tersebut bereaksi, melalui reaksi alkilasi membentuk
ikatan kovalen dengan gugus-gugus elektron donor
seperti karboksilat, amin, fosfat dan tiol pada asam
amino, asam nukleat dan protein yang dibutuhkan pada
biosintesis sel. Reaksi ini membentuk cross-linking yang
memisahkan rangkaian DNA dan mencegah mitosis.
Akibatnya proses pembentukan sel terganggu dan terjadi
Tinjauan Umum 15
hambatan pertumbuhan sel kanker.
2. Antimetabolit
Senyawa antimetabolit adalah senyawa yang
menghambat jalur metabolik yang penting untuk
kehidupan dan reproduksi sel kanker, melalui
penghambatan folat, purin, pirimidin dan asam amino
serta jalur nukleosida, yang diperlukan untuk sintesis
DNA. Struktur antimetabolit berhubungan erat dengan
struktur metabolit normal dan bersifat antagonis.
Antimetabolit berdasarkan sifat antagonisnya dibagi
menjadi empat kelompok, yaitu:
a. Antagonis pirimidin
Antagonis pirimidin, biasanya berupa praobat, pada
in vivo mengalami anabolisme menjadi senyawa aktif
yang dapat memengaruhi sintesis DNA pada fasa awal
dan menyebabkan kekosongan asam timidilat sehingga
sel mati.
b. Antagonis purin
Pada umumnya antagonis purin merupakan pra-obat
dan aktif setelah mengalami anabolisme menjadi
nukleotida atau turunan difosfat atau trifosfat.
c. Antagonis folat
Antagonis folat bekerja dengan menghambat secara
kompetitif enzim dihidrofolat reduktase, yang
mengatalisis reduksi asam dihidrofolat menjadi asam
tetrahidrofolat. Antagonis folat mengikat enzim tersebut
secara kuat dan menyebabkan hambatan tak terpulihkan
semu, yang didasarkan pada protonasi cincin diamino
pirimidin pada pH fisiologis.
16 Desi Harneti P.H.
d. Antagonis asam amino
Sel tumor membutuhkan asam amino glutamin dan
asam glutamat untuk proses kehidupannya. Sehingga
untuk menghambat pertumbuhannya, antagonis asam
amino glutamin bekerja dengan menghambat proses
metabolik yang membutuhkan glutamin sebagai kofaktor.
Aktivitas antikanker disebabkan oleh kemampuan
menghambat fosforibosil formilglisinamidin sintetase,
yang mengatalisis formilglisinamida ribonukleotida
menjadi formilglisinamidin ribonukleotida.
3. Antikanker produk alam
Antikanker produk alam adalah senyawa yang
dihasilkan dari produk alam dan berkhasiat sebagai
antikanker. Antikanker produk alam dibagi menjadi 3
kelompok yaitu antibiotika antikanker, antikanker produk
tanaman, dan antikanker produk hewan.
a. Antibiotika antikanker
Pada umumnya antibiotika antikanker sukar
diabsorpsi pada saluran pencernaan sehingga diberikan
melalui parenteral. Contoh antibiotika antikanker adalah
sebagai berikut:
- Daktinomisin, daktinomisin mempunyai gugus
kromofor aktinosin (3-fenoksazon-1,9-dikarbok
silat) yang dapat menginterkalasi, melalui inter-
aksi alih muatan, gugus guanin dari pasangan
guanin-sitosin dobel heliks DNA. Dua cincin
lakton peptida daktinomisin dapat menduduki
celah kecil pada dobel heliks DNA dan
berinteraksi dengan dua gugus amino dari guanin
melalui ikatan hidrogen khas. Kompleks antibio-
Tinjauan Umum 17
tika DNA cukup stabil dan menghambat secara
selektif sintesis DNA- dependent RNA. Pada kadar
tinggi daktinomisin dapat menghambat sintesis
ADN.
O
N
CH3 CH3
NH2
O
C C
L-Thr
O O
D-Val
L-Pro
Sar
L-Me-Val
L-Thr
D-Val
L-Pro
Sar
L-Me-Val
OO
Gambar 2.4 Struktur daktiomisin
(Siswandono dan Soekardjo, 1995).
- Turunan antrasiklin, seperti doksorubisin,
epirubisin, idarubisin dan daunorubisin. Bekerja
sebagai antikanker dengan menghambat proses
replikasi dan transkripsi DNA. Bagian struktur
yang terlibat pada mekanisme kerja tingkat
molekul adalah cincin B dan C, sebagai
interkalator, cincin A dan gugus gula amino.
Antibiotika tersebut mengikat dobel heliks DNA
secara kuat dengan menginterkalasi gugus
kromofor planar (pada cincin B dan C) pada dua
pasang basa. Turunan antrasiklin bekerja secara
tidak khas pada siklus kehidupan sel.
- Pilkamisin, mekanisme kerjanya dengan meng
hambat DNA-dependent RNA nukleotidiltrans-
18 Desi Harneti P.H.
OCH3 O OH
COCH2-R
OHO
OH
O
O
NH2OH
CH3
ferase sehingga menghambat sintesis DNA dan
RNA. Pilkamisin mengikat secara khas gugus
guanin pada dobel heliks DNA, dan tidak
menginterkalasi pasangan basa DNA. Untuk
mengikat DNA, gugus kromofor antibiotika ini
harus dalam bentuk kompleks dengan logam
divalen (Mg dan Ca).
R : H daunorubisin
R : OH doksorubisin
Gambar 2.5 Struktur turunan antrasiklin
(daunorubisin dan doksorubisin) (Siswandono dan
Soekardjo, 1995).
- Bleomisin (Bleocin), Bleomisin bekerja sebagai
antikanker setelah mengalami aktivasi in vivo,
yaitu untuk membentuk kompleks ion fero,
kemudian melepaskan radikal hidroksil dan
superoksida yang sangat reaktif. Gugus bitiazol
Tinjauan Umum 19
dan bleomisin menginterkalasi sebagian DNA dan
radikal berinteraksi dengan dobel heliks DNA,
memecah ikatan fosfodiester sehingga sel kanker
mengalami kematian.
O
HO
HO
H3C
OO
H3C
HO
O
O
O
H3C
OH OH
O
OH
CH3
OH
OCH3
O
O
CH3
OH
O
O
O
OH CH3
OH
H3C
CH3
OH
Gambar 2.6 Struktur pilkamisin
(Siswandono dan Soekardjo, 1995).
b. Antikanker produk tanaman
Alkaloid vinca seperti vinblastin dan vinkristin,
diisolasi dari tanaman Vinca rosea Linn.
Mekanisme kerjanya sebagai antikanker adalah
dengan mengikat tubuli dan menghambat
pembentukan komponen mikrotubuli pada
kumparan mitosis sehingga metafase berhenti.
Alkalod vinca bekerja secara khas pada fase M.
Vinkristin mempunyai aktivitas lebih besar
dibanding vinblastin karena mempunyai
20 Desi Harneti P.H.
kemampuan penetrasi ke dalam sel kanker yang
lebih baik.
CONH2
HN
NH2
NH2
NN
CH3 HN
O
O
NH
HO
CH3
O
HO
HN
CH3
N N
S
O
H2N
CH3 O
S
N
C R
O
O
NH
N
O
O
O
OHCH2OH
OH
CH2OH
OH
OH O
CONH2
R
OH
NH(CH2)3-S+(CH3)2
CNH(CH2)4NH NH
NH2
: Asam Bleomisina
: Bleomisin A2
: Bleomisin B2
Gambar 2.7 Struktur bleomisin
(Siswandono dan Soekardjo, 1995).
Gambar 2.8 Struktur vinblastin dan vinkristin
(Siswandono dan Soekardjo, 1995).
Tinjauan Umum 21
- Podophyllotoksin, seperti etopoksida berasal dari
tanaman Phodophyllum peltatum, dapat
menghentikan pertumbuhan sel kanker pada fase
S dan G2.
O
OO
O
O
O
O
O
OCH3
OH
H3CO
OH
H
H3C
HO
Gambar 2.9 Struktur etopoksida
(Siswandono dan Soekardjo, 1995).
- Paklitaksel (Taxol), digunakan untuk pengobatan
karsinoma ovarium yang telah metastasis dan
kanker payudara.
Hubungan struktur-aktivitas paklitaksel dijelaskan
sebagai berikut :
1) Posisi 3 dan 10 dalam bentuk
teresterifikasi. Hidrolisis ester pada C-3
menyebabkan senyawa kehilangan
aktivitas.
2) Modifikasi struktur dapat dilakukan pada
gugus OH pada C-2’ dan C-7, pada
umumnya dilakukan dengan menambah-
kan gugus yang mudah larut dalam air
(hidrofil), untuk meningkatkan kelarutan
22 Desi Harneti P.H.
senyawa dalam air, karena paklitaksel
mempunyai kelarutan yang sangat rendah.
CONHHC C
H
OH
C
O
O
CH3
CH3
CH3
OOC
O
O
O C
O
CH3
O
CH3
H3C
C
HO
O
OH
2'3'3
10 7
13
Gambar 2.10 Struktur paklitaksel
(Siswandono dan Soekardjo, 1995).
c. Antikanker produk hewan
Contoh senyawa ini antara lain antineoplaston,
interferon α-2a (Roferon-A), interferon α-2b (Intron-
A) dan avaron. Mekanismenya belum diketahui
secara pasti, tetapi dari hasil percobaan in vitro
Roferon-A menunjukkan aktivitas proliferasi pada
bermacam sel tumor manusia dan digunakan pada
pengobatan hairly cells leukemia.
4. Imunomodulator
Zat – zat ini juga dinamakan Biological Response
Modifiers (BRM) yang memiliki kemampuan untuk
memengaruhi secara positif reaksi biologis dari
Tinjauan Umum 23
tubuh terhadap sel tumor. Fungsi sistem imun dapat
distimulasi dengan baik (imunostimulator) maupun
disupresi olehnya (imunosupresor). Sebagai
contoh, seperti interferon α-2a, interferon α-2b,
antineolplaston, dan avaron.
Gambar 2.11 Tempat Kerja beberapa Obat
Antikanker (Siswandono dan Soekardjo, 1995).
5. Hormon
Beberapa neoplasma dapat dikontrol dengan baik
oleh hormon seks seperti androgen, progestin dan
estrogen serta hormon adrenokortikoid. Dalam proses
penghambatan penyebarannya, androgen digunakan
untuk karsinoma payudara, estrogen untuk karsinoma
payudara dan prostat serta progestin untuk karsinoma
uterus adrenokortikoid untuk leukemia akut, leukemia
limfositik dan limfoma, sedangkan antisetrogen untuk
pengobatan kanker payudara. Mekanisme kerja hormon
terhadap sel kanker adalah dengan mengikat secara khas
reseptor-reseptor pada sitoplasma dan mengubah struktur
24 Desi Harneti P.H.
suatu reseptor. Bentuk kompleks hormon-reseptor ini
kemudian menuju inti, berinteraksi dengan sisi akseptor
dan memengaruhi proses transkripsi.
Mekanisme yang lain, seperti yang terjadi pada
glukokortikoid adalah dengan memengaruhi jaringan
limfatik sehingga mencegah pengambilalihan glukosa
pada sintesis protein. Antiandrogen seperti tamoksifen
dapat memblok pengambilalihan estradiol dengan cara
berkompetisi dengan estradiol pada reseptor estrogen dari
sel kanker payudara.
6. Golongan Lain
Contoh senyawa ini antara lain mitotan, 1-asparagin,
sisplatinum, hidroksiurea, mitoksantron dan asam
klodronat (Siswandono dan Soekardjo, 1995).
Tinjauan Tumbuhan Meliaceae dan Aglaia
Tumbuhan keluarga Meliaceae adalah tumbuhan
kayu yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis, terdiri
dari 51 genus, kurang dari 550 spesies. Tumbuhan ini
hidup di hutan beriklim tropis dan subtropis di wilayah
Asia Tenggara, Australia Utara dan Kepulauan Pasifik.
Beberapa genus yang tumbuh di Indonesia di antaranya
adalah: Cedrela, Toona, Xylocarpus, Melia, Sandoricum,
Dysoxylum, Lansium, Amoora dan Aglaia.
Taksonomi tumbuhan ini adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Orde : Sapindales
Keluarga : Meliaceae
Tinjauan Umum 25
Tumbuhan keluarga Meliaceae ini telah
dilaporkan mengandung banyak senyawa aktif baik yang
berkaitan dalam bidang pertanian maupun kesehatan,
seperti:
- Insektisidal, antifeedant, pengatur tumbuh, repellent,
larvasida, antelmintik.
- Antimalaria, antiviral, antioksidan, antikanker,
antibakteri, antijamur, dan antiinflamasi (Nugroho et
al., 1999; Omar et al., 2003; Nakatani et al., 2004).
Beberapa contoh senyawa aktif yang telah
diisolasi dari tumbuhan yang termasuk keluarga
Meliaceae adalah azadirachtin yang diperoleh dari
Azadirachta indica adalah insektisida alami yang
terkenal dan sudah dipasarkan sebagai insektisida botani
di Amerika Serikat dan India. Akar Lansium domesticum
var duku mengandung triterpenoid lansiolida yang
memiliki aktivitas antimalaria baik secara in vitro
maupun secara in vivo (Omar et al., 2003 dan Bray et al.,
1990).
Aglaia adalah genus terbesar pada keluarga
Meliaceae yang terdiri dari 130 spesies. Daerah
penyebaran tanaman ini meliputi India, Cina bagian
selatan, Asia Tenggara, Australia bagian utara dan
kepulauan di Samudera Pasifik. Di Indonesia tumbuhan
ini dapat ditemui di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa,
Sulawesi, Bali dan Flores. Sebagian tumbuhan genus ini
merupakan semak-semak, perdu, dan tumbuhan berkayu.
Tanaman dari genus Aglaia telah banyak digunakan oleh
masyarakat sejak dulu sebagai bahan bangunan dan
sumber obat tradisional (Heyne,1987). Genus ini
merupakan genus terbesar dalam famili Meliaceae, yang
terdiri dari 130 jenis tumbuhan (Inada et al., 2001).
26 Desi Harneti P.H.
Beberapa spesies dari Aglaia yang berasal dari
Indonesia tertera pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Nama tumbuhan Aglaia Indonesia beserta
daerah asalnya (Pannell, C.M.,1992).
NO. NAMA SPESIES DAERAH ASAL
1. Aglaia acida Jawa
2. Aglaia andamanica Kepulauan Andaman
3. Aglaia angustifolia Sumatera
4. Aglaia argentea Jawa
5. Aglaia aspera Jawa
6. Aglaia baramensis Kalimantan
7. Aglaia barbatula Jawa
8. Aglaia beccarii Kalimantan
9. Aglaia borneensis Kalimantan
10. Aglaia canariifolia Sulawesi
11. Aglaia celebica Sulawesi
12. Aglaia chartacea Sumatera
13. Aglaia clementis Kalimantan
14. Aglaia confertiflora Kalimantan
15. Aglaia coriacea Kalimantan
Tinjauan Umum 27
NO. NAMA SPESIES DAERAH ASAL
16. Aglaia cuspidella Kalimantan
17. Aglaia densisquama Kalimantan
18. Aglaia dipenhorstii Sumatera
19. Aglaia discolor Kalimantan
20. Aglaia dyeri Sulawesi
21 Aglaia dysoxylifolia Sulawesi
22 Aglaia elmeri Kalimantan
23 Aglaia euryphylla Jawa
24 Aglaia eusiderexylon Jawa
25 Aglaia forstenii Ambon
26 Aglaia foveolata Malaysia, Kalimantan,
Sumatera
27 Aglaia fraseri Kalimantan
28 Aglaia fusca Kep. Andaman
29 Aglaia grandis Kalimantan
30 Aglaia havilandii Kalimantan
31 Aglaia hemslevi Sulawesi
32 Aglaia heptandra Jawa
33 Aglaia heterobotrys Sumatera
34 Aglaia heterophylla Kalimantan
35 Aglaia hubertii Kalimantan
36 Aglaia hypoleuca Sumatera
28 Desi Harneti P.H.
NO. NAMA SPESIES DAERAH ASAL
37 Aglaia ignea Sumatera
38 Aglaia insignis Kalimantan
39 Aglaia javanica Sulawesi
40 Aglaia kabaensis Sumatera
41 Aglaia khasiana Indonesia
42 Aglaia latifolia Jawa
43 Aglaia laxiflora Kalimantan
44 Aglaia leptantha Sumatera
45 Aglaia littoralis Indonesia
46 Aglaia
longepetiolulata
Sumatera
47 Aglaia longivolia Jawa
48 Aglaia magnifoliola Sunda
49 Aglaia maiae Indonesia
50 Aglaia matthewsii Kalimantan
51 Aglaia megistocarpa Kalimnatan
52 Aglaia menadonensis Sulawesi
53 Aglaia minahassae Sulawesi
54 Aglaia minutiflora Indonesia
55 Aglaia monozyga Kalimantan
Tinjauan Umum 29
NO. NAMA SPESIES DAERAH ASAL
56 Aglaia Montana Jawa
57 Aglaia motleyana Kalimanatan
58 Aglaia moultonii Kalimantan
59 Aglaia mucronulata Jawa
60 Aglaia neotenica Kalimantan
61 Aglaia ochneocarpa Sumatera
62 Aglaia odoardoi Kalimantan
63 Aglaia oligocarpa Sumatera
64 Aglaia oligophylla Sumatera
65 Aglaia palembanica Kalimantan
66 Aglaia pamattonis Kalimantan
67 Aglaia paniculata Indonesia
68 Aglaia pedicellaris Indonesia
69 Aglaia perviridis Indonesia
70 Aglaia poliphylla Jawa
71 Aglaia pycnocarpa Sumatera
72 Aglaia pyricarpa Sumatera
73 Aglaia pyrrholepsis Jawa
74 Aglaia racemosa Kalimantan
75 Aglaia ramotricha Kalimantan
76 Aglaia reinwardtii Sulawesi
30 Desi Harneti P.H.
NO. NAMA SPESIES DAERAH ASAL
77 Aglaia rivularis Kalimantan
78 Aglaia rufa Sumatera
79 Aglaia sclerocarpa Sulawesi
80 Aglaia shawiana Kalimantan
81 Aglaia simplex Kalimnatan
82 Aglaia smithii Sulawesi
83 Aglaia splendens Jawa
84 Aglaia stapfii Sulawesi
85 Aglaia sterculiodes Kalimantan
86 Aglaia
submonophylla
Kalimantan
87 Aglaia subsessillis Kalimantan
88 Aglaia sulingi Jawa
89 Aglaia teysmanniana Sumatera
90 Aglaia tomentosa Indonesia
91 Aglaia trichostemon Kalimantan
92 Aglaia trimera Kalimantan
93 Aglaia tripelata Kalimantan
94 Aglaia undulate Indonesia
95 Aglaia unifoliata Kalimnatan
Tinjauan Umum 31
Beberapa spesies dari genus ini seperti A.
odorata, oleh masyarakat digunakan sebagai obat
tradisional, diantaranya penguat hati, demam, obat batuk,
inflamasi dan infeksi. Di Vietnam, bunga dari tanaman
Aglaia yang harum, digunakan untuk membuat teh wangi
atau disimpan di lemari untuk mengusir ngengat. Di
Indonesia bunga A. odorata digunakan sebagai repelen
serangga (Proksch, 2001).
Janpraset et al. (1993) berhasil mengidentifikasi
senyawa aktif yang bersifat insektisida dari ranting
Aglaia odorata (Meliaceae) sebagai rokaglamida. Senya-
wa aktif utama yang bersifat insektisida ini termasuk
dalam golongan benzofuran. Pada daun A. odorata selain
rokaglamida juga ditemukan dan tiga senyawa turunan-
nya, yaitu desmetilrokaglamida, metil rokaglat, dan
rokaglaol (Ishibashi et al., 1993). Rokaglamida juga telah
diisolasi dari empat spesies Aglaia lain, yaitu dari akar
dan batang A. elliptifolia (Wu et al., 1997), ranting A.
duppereana (Nugroho et al., 1997), dan buah A. elliptica
serta daun A. harmsiana. Kelompok senyawa triterpenoid
dan steroid juga ditemukan pada tumbuhan A. grandis.
Aktivitas ekstrak bagian tumbuhan Aglaia selain dapat
bersifat sebagai insektisida dapat juga bersifat sebagai
antimakan dan antikanker (Inada et al., 2000).
NO. NAMA SPESIES DAERAH ASAL
96 Aglaia waliishii Indonesia
97 Aglaia winckelii Jawa
98 Aglaia zollingeri Jawa
32 Desi Harneti P.H.
Kandungan Kimia Pada Tumbuhan Aglaia
Kandungan senyawa kimia yang ada dalam
tumbuhan Aglaia telah banyak diteliti, namun masih
banyak pula spesies Aglaia yang belum diketahui
kandungan senyawanya termasuk A.smithii. Tumbuhan
Aglaia mengandung minyak atsiri, alkaloid, saponin,
flavonoid, tanin (Mabberley et al., 1995), lignan (Wu, et
al., 1997), aminopirolidin, odorin, dan 5’-epiodorin dan
odorinol (Nugroho et al., 1999). Serta senyawa-senyawa
turunan siklopenta[bc]benzopiran (thapsakin, aglain, dan
aglaforbesin) dan turunan benzo[b]oksepin (forbaglin dan
thapoksepin) (Bacher et al.,1999). Selain senyawa-
senyawa tersebut di atas, tanaman Aglaia mengandung
sejumlah senyawa aktif insektisidal turunan dari
benzofuran yang termasuk ke dalam rokaglamida.
Kelompok senyawa triterpenoid dan steroid juga
ditemukan pada beberapa spesies Aglaia, seperti
sikloartan dan sterol (Mabberley et al., 1995).
Secara fitokimia, tumbuhan Aglaia merupakan
penghasil senyawa dengan kerangka yang unik yaitu
kerangka siklopenta[b]benzofuran salah satunya
kelompok senyawa rokaglamida. Rokaglamida termasuk
ke dalam kelompok senyawa turunan benzofuran.
Rangka dari rokaglamida tersusun dari prekursor awal
berupa flavonoid dan amida asam sinamat. Rokaglamida
dan turunannya memiliki sifat insektisidal alami yang
sangat kuat (Nugroho et al., 1999). Rangka benzofuran
yang terdapat didalam struktur rokaglamida merupakan
penyebab utama kuatnya aktivitas sifat insektisidal
tersebut (Cui et al.,1997).
Beberapa diantara senyawa rokaglamida yang di-
Tinjauan Umum 33
O
Gambar 2.12. Kerangka benzofuran
isolasi dan dikarakterisasi diantaranya adalah C-3’-
hidroksirokaglamida (1), C-1-O-asetil- 3’
hidroksirokaglamida (2), C-3’-metoksirokaglamida (3),
C-3’-metoksirokaglaol (4), turunan C-3’-hidroksi dari
demetilrokaglamida (5), turunan C-3’-hidroksi dari metil
rokaglat (6), C-3’-hidroksidimetilrokaglamida (7), C-1-
oksim (8) (Nugroho et al., 1999), rokaglaol (9), metil
rokaglat (10), demetilrokaglamida (Ishibashi et al.,1993)
(11), C-1-O-asetil-3' hidroksidemetil rokaglamida (12),
dan C-1-O-asetil-3'-hidroksimetilrokaglat (13) (Janpraset
et al.,1993).
Senyawa kelompok bisamida adalah salah satu
kelompok senyawa yang menjadi ciri khas tumbuhan
Aglaia, dan membantu dalam menentukan
kemotaksonomi tumbuhan tersebut. Senyawa bisamida
yang diisolasi dari A. edulis, A. grandis, dan A.
testicularis adalah aglaiadulin (14), aglaiathiodulin (15)
dan aglaiadthiodulin (16) (Brader, 1988).
Senyawa golongan damaran dan limonoid yang
berhasil diisolasi dari A. elaeodeae adalah 20S,24S-
epoksi-25-hidroksidamaran-3-on (17), 20S,24S-epoksi-
25-hidroksimetildamaran-3-on (18) dan 6a,11b-
diasetoksigedunin (19) (Fuzzati, 1996).
34 Desi Harneti P.H.
O
OH R1
H3CO
OCH3
OCH3
1
2
33a4a5
6
7 8
8a8b
1'
2'
3'
4'
5'
6'
1"2"
3"
4"
5"
6"
4
R3
R2
Gambar 2.13 Struktur senyawa aktif turunan rokaglamida
yang terkandung dalam tanaman Aglaia
odorata (Janpraset et al.,1993).
R1 R2 R3
(1) -OH -CON(CH3)2 -OH
(2) -OCOCH3 -CON(CH3)2 -OH
(3) -OH -CON(CH3)2 -OCH3
(4) -OH -H -OCH3
(5) -OH -CONHCH3 -OH
(6) -OH -COOCH3 -OH
(7) -OH -CONH3 -OH
(8) =NOH -COOCH3 -OCH3
(9) -OH - -
(10) -OH -COOCH3 -
(11) -OH -CONHCH3 -H
(12) -OCOCH3 -CONHCH3 -OH
(13) -OCOOCH3 -COOCH3 -OH
Tinjauan Umum 35
N
N
O
O
H
H
12
3
4
5
6
7
8
1
2
3
4
5
6
7
8
1'2'
3'
4'
5'6'
(14)
N
N
O
O
H
H
12
3
4
5
6
7
8
1''
2''1'
2'
3'
4'
5'6'
SCH3
(15)
N
N
O
O
H
H
1''2''
1''
2''1'
2'
3'
4'
5'6'
SCH3
H3CS
3''
3''
(16)
Gambar 2.14 Senyawa bisamida yang diisolasi dari
Aglaia edulis, A. grandis, dan A.
testicularis (Brader, 1988).
Tirucallane (20) adalah suatu senyawa
triterpenoid yang berasal dari Aglaia leucophylla
(Benosman, 1994). Senyawa golongan triterpenoid
yang berhasil diisolasi dari A. foveolata adalah 3-
epiokotillol (21), asam soreat (22), foveolin A (R = H)
(23) , dimalol (R = CH3) (24) (Roux, 1998).
36 Desi Harneti P.H.
O
H
H
OH
O
H
O
H
H
O
H
HO
(17) (18)
O
COOCH3
COOCH3
H3COOC
OO
O
O
(19)
Gambar 2.15 Senyawa golongan damaran dan
limonoid yang berhasil diisolasidari A. elaeodeae
(Fuzzati, 1996).
Senyawa kelompok pregnan dan triterpenoid
hidroperoksida telah berhasil diisolasi dari daun Aglaia
grandis adalah 2β,3β-dihidroksi-5α-pregnan-16-on (25)
dan dua senyawa triterpenoid hidroperoksida sikloartan
Tinjauan Umum 37
(26) dan (27) (Inada, 1997).
O
OCH3
(20)
O
O
H
H
H
OH
O
OH
H
H
H
HOOC
(21) (22)
Senyawa kelompok sterol yang terdapat pada
spesies A. rubiginosa (22R,25)-epoksi-kolest-7-ene-
3β,4β-diol (28) dan kolest-5-ene-3β,4β,22(R)-triol (29),
stigmast-5-ene-3β,7α-diol (30), dan stigmasterol (31).
(Weber et al., 1999).
38 Desi Harneti P.H.
O
OH
H
H
H
ROOC
OH (23-24)
H
H
HO
HO
O
(25)
OOH
H
HO
(26)
Tinjauan Umum 39
H
HO
OOH
(27)
O
HO
OH
(28)
HO
OH
OH
(29)
HO OH
(30)
HO
(31)
40 Desi Harneti P.H.
Senyawa Aktif Sitotoksik dari Tumbuhan Aglaia
Saat ini, senyawa bahan alam telah memegang
peranan penting dalam kemoterapi kanker. Lebih dari 60
% obat-obatan kanker diperoleh dari bahan alam. Taxol,
kamptotecin, podofilotoksin, vinblastin, dan vinkristin
adalah senyawa bahan alam yang telah digunakan
sebagai obat yang teruji dapat menghambat mekanisme
pertumbuhan sel tumor. Pencarian senyawa bahan alam
yang dapat digunakan sebagai obat antikanker harus
terus dilakukan untuk mendapatkan obat dengan hasil
klinis yang lebih baik (Lee, 1998).
Beberapa senyawa turunan rokaglat telah berhasil
diisolasi dari tumbuhan Aglaia yang memiliki potensi
antikanker karena bersifat sitotoksik. Rokaglaol (32)
yang berhasil diisolasi dari akar A. crassinervia memiliki
aktivitas sitotoksik yang lebih besar daripada paclitaxel
dan kamptothecin (Su, 2006).
O
MeO
OMeMeO
OH OH
(32)
Tinjauan Umum 41
Aglafolin (metil rokaglat) (33) diisolasi dari A.
elliptifolia dapat menghambat pertumbuhan sel kanker
(Ko et al.,1992). Selain itu lima senyawa turunan
rokaglat lainnya (34-38) telah berhasil pula diisolasi dari
A. elliptica dan menunjukkan aktivitas dapat
menghambat pertumbuhan sel kanker manusia (Lee,
1998).
Asam rokaglat (39), elliptifolin (40), dan elliptiol
(41), yang diisolasi dari daun A. elliptifolia bersifat
sitotoksik terhadap sel tumor P-388, masing-masing
dengan harga ED50 = 0,0012; 3,41 dan 3,62 µg/mL
(Wang, 2000). Elliptifolin dan elliptiol adalah dua
senyawa yang termasuk kelompok diamida.
O
HOO
OCH3
OCH3
H3CO
OCH3
HO
(33)
Senyawa pada tanaman A. lepthantha dapat
membunuh 20 jenis sel kanker. Kandungan senyawa
yang sama juga terdapat pada A. silvestris. Beberapa
bagian tumbuhan A. elaeagnoidea var. Beddomei, akar
42 Desi Harneti P.H.
dan kulit batang tumbuhan A. elliptifolia, daun dan
ranting A. odorata, dan A. odoratissima telah dilaporkan
memiliki aktivitas in vivo terhadap sel tumor P-388
leukemia.
O
R1
OCH3
H3CO
HOR2
R3
O O
(34-38)
R1 R2 R3 - OH H COOCH3
- OH H H
- =O H
- OCOHO H
- COOCH3
O
HOO
OH
OCH3
H3CO
OCH3
HO
(39)
Tinjauan Umum 43
O
OH
O
NN
O
MeO
OMe
OMe
OH
(40)
O
NHHN
O
OH
(41)
Senyawa turunan diamida yaitu odorinol (42)
yang bersifat antileukemia yang diujikan secara in vivo
terhadap mencit, berhasil diisolasi dari daun A.odorata
(Hayashi, 1981).
Selain itu, aktivitas sitotoksik juga terdapat pada
ekstrak daun A. formosana terhadap sel tumor kolon,
payudara, dan sel leukemia P-388 (King et al,1982). Pada
44 Desi Harneti P.H.
O
N
HN
OOH
H
(42)
tahun 1993 berhasil diisolasi dari ekstrak kloroform daun
A. formosana senyawa dehidroodorin (43 ) yang aktif
terhadap sel leukemia P-388 dengan nilai ED50= 3,86
µg/mL (Duh, 1993). Senyawa-senyawa dari kelompok
triterpen yang bersifat sitotoksik pun telah berhasil
diisolasi dari A. argantea yaitu argenteanon A (44), B
(45), dan argenteanol (46) ketiganya bersifat sitotoksik
terhadap sel KB (sel kanker nasofaring) (Omobuwajo,
1995).
O
NH
HN
O
(43)
Tinjauan Umum 45
R
OH
H
HOOH
H
H
H
H
O
O
HO
H
H
H
H
OHH
(45) R = O
(46) R = H dan -OH
Masih dari spesies yang sama, sembilan senyawa
triterpenoid dengan kerangka 3,4-sekoapotirukalan (47) –
(54) yang bersifat sitotoksik terhadap sel KB telah berhasil
diisolasi (Mohammad, 1999).
(44)
46 Desi Harneti P.H.
COOCH3
O
OH
H
OR1
H H
H
COOCH3
O
OH
H
OR1
H H
HR2O
(47) R1 = a (50) R1 = c, R2 = a
(48) R1 = b (51) R1 = c, R2 = b
(49) R1 = c (52) R1 = b, R2 = a
(53) R1 = R2 = a
(54) R1 = R2 = c
O
OH
O
OH
H
H3C CH3
O
HO
( a ) ( b ) ( c )
(47)
BAB III
SENYAWA ANTIKANKER TURUNAN
1H-SIKLOPENTA[b]BENZOFURAN
DARI TANAMAN Aglaia elliptica
Aglaia elliptica
LEE dan kawan-kawan (1998), meneliti
kandungan senyawa antikanker dari Aglaia eliptica. Latar
belakang, metode dan hasil penelitian Lee, dilaporkan
pada bagian ini.
Beberapa bagian tanaman Aglaia dapat digunakan
seperti kayu, buah, dan bunga sebagai kebutuhan di
bidang medis maupun pertanian. Kandungan senyawa
yang terdapat dalam tanaman ini juga memiliki berbagai
aktivitas biologis, yaitu sebagai insektisidal dan
antikanker. Beberapa bagian tanaman A. elaeagnoidea
var. Beddomei, akar dan kulit batang tanaman A.
elliptifolia, daun dan ranting A. odorata, dan A.
odoratissima telah dilaporkan memiliki aktivitas in vivo
pada sel tumor P-388 leukemia. Selain itu, aktivitas
sitotoksik juga terdapat pada ekstrak daun A. formosana
dalam sel tumor kolon, payudara, dan sel leukemia (King
et al,1982).
Aglaia elliptica merupakan salah satu spesies
48 Desi Harneti P.H.
yang sangat berpotensi untuk mendapatkan senyawa
antikanker. Dalam penelitian Cui et al pada tahun 1997,
Aglaia elliptica yang berasal dari Thailand, telah
ditemukan lima senyawa baru yang sangat berpotensi
terhadap sel tumor. Lima senyawa baru tersebut memiliki
kerangka induk yang sama yaitu siklopenta[b]benzofu-
ran. Kerangka induk ini juga terdapat pada spesies Aglaia
yang lainnya. Lima senyawa turunan siklopenta[b]benzo-
furan (1-5) tersebut adalah senyawa 1 (metil rokaglat), 2
(4’-demetoksi-3’,4’-metilendioksi-metil rokaglat) dan 5
(1-O-formil-4’-demetoksi-3’,4’-metilendioksi-metil roka-
glat).
1 (metil rokaglate)
Gambar 3.1 Struktur senyawa turunansiklopenta[b]ben
zofuran yang didapat dari Aglaia elliptica
(Lee et al, 1998).
Senyawa Antikanker Turunan … 49
Senyawa 1 – 2 dan 4 – 5 diperoleh dari batang Aglaia
elliptica, sedangkan senyawa 1 – 3 diperoleh dari
buahnya.
Gambar 3.2 Tanaman Aglaia elliptica.
Taksonomi dari Aglaia elliptica adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Sub Kingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
50 Desi Harneti P.H.
Ordo : Sapindales
Keluarga : Meliaceae
Marga : Aglaia
Jenis : Aglaia elliptica
Mekanisme sitotoksik pada tanaman Aglaia elliptica
Daya hambat senyawa 1-5 pada kultur sel kanker
manusia
Daya hambat lima senyawa turunan
siklopenta[b]benzofuran yang ditemukan pada batang
dan daun Aglaia elliptica dapat diketahui dengan cara
menghitung nilai IC50 kelima senyawa tersebut dengan
menggunakan sel kanker manusia, di antaranya Sel HT-
1080 (human fibrosarcoma), KB (human nasopharyng-
eal carcinoma), A431 (human epidermoid carcinoma),
LNCaP (hormone-dependent prostate cancer), ZR-75-1
(hormone-dependent breast cancer), U373 (human
glioblastoma), BC1 (human breast cancer), Lu1 (human
lung cancer), Mel2 (human melanoma), dan Col2
(human colon cancer). Semua sel di kultur pada suhu
37oC dalam 100% kelembaban dengan 5% CO2 atmosfer
di udara, kecuali sel melanoma yang tetap pada 37oC
dalam wadah kultur jaringan tertutup. Dari hasil
penelitian didapat nilai IC50 senyawa 1, 2 – 5 memiliki
rentang antara 1 – 30 ng/mL. Sedangkan senyawa 3 dan 4
memiliki nilai IC50 di atas 60 ng/mL (Lee et al.,1998).
Berdasarkan data dalam Tabel 3.1, kelima senyawa
tersebut memberikan aktivitas yang cukup baik, namun
yang paling berpotensi sebagai antikanker adalah
senyawa 1, 2, dan 5. Senyawa 1, 2, dan 5 memiliki nilai
IC50 di bawah 30 ng/mL. Kelima senyawa tersebut
memiliki struktur kerangka induk yang sama, yaitu
Senyawa Antikanker Turunan … 51
siklopenta[b]benzofuran, namun rantai sampingnya saja
yang berbeda. Hal ini menyebabkan aktivitas.
Tabel 3.1 Daya hambat (nilai IC50) senyawa 1 – 5 dari
tanaman Aglaia elliptica dalam kultur sel kan-
ker manusia (Lee et al, 1998).
Senya
wa BC1
HT-
1080
Lu1 Mel2 Col2 KB KB-IV A43
1
LNCa
p ZR-75
U3
73
1 10.0 9.0 6.0 30.0 9.0 9.0 30.0 20.0 20.0 3.0 3.0
2 0.9 10.0
5.0 60.0 10.0 6.0 20.0 10.0 2.0 2.0 0.8
3 200.0 - 70.0
- 70.0 90.0 100.0 - - 86.0 -
4 1400.
0 -
100.0
- 200.
0 200.0 300.0 - 70.0 - -
5 3.0 3.0 1.0 1.0 2.0 30.0 10.0 3.0 30.0 120.0 3.0
tingkat toksisitas yang cukup rendah (IC50 > 60 ng/mL),
karena adanya pengaruh gugus fungsi yang terletak pada
posisi C-1 dan C-2. Pada senyawa 4 , pergantian gugus
hidroksil (-OH) atau gugus formal (-OCHO) dengan
gugus keton ( C=O ) akan menyebabkan potensial daya
hambat pertumbuhan sel kanker akan berkurang.
Pengaruh penambahan senyawa 2 pada pembelahan sel
kanker Lu1
Sel Lu1 dilapiskan dengan densitas 5 x 105 sel per 25 cm
2
pada labu kultur, lalu diinkubasi selama 24 jam.
Kemudian ditambahkan 25 dan 50 ng/mL senyawa 2
selama interval waktu (8, 16, 24, 32, 48, 56, dan 72 jam),
jumlah sel dihitung. Viabilitas sel dapat diketahui oleh
52 Desi Harneti P.H.
Gambar 3.3 Hubungan struktur dan aktivitas antikanker
senyawa 3-4 yang diisolasi dari tanaman
Aglaia elliptica (Lee et al, 1998).
adanya pewarna tripan biru. Pembelahan sel yang terjadi
dibandingkan dengan kontrol. Semua perlakuan
dilakukan secara triplo. Dalam Gambar 3.4 dapat dilihat
bahwa dengan adanya penambahan senyawa 2 pada
kultur sel Lu1, jumlah sel yang membelah akan
berkurang. Sedangkan pengaruh adanya senyawa 2 dalam
proliferasi sel dan viabilitas sel Lu1 dapat dilihat pada
Gambar 3.5.
Senyawa Antikanker Turunan … 53
Gambar 3.4 Fotomikrograf sel yang diperlakukan dengan
senyawa 2. (A) tanpa adanya penambahan
senyawa 2, (B) dengan adanya penambahan
senyawa 2 (25 ng/mL) selama 32 jam
(pembesaran 100x) (Lee et al, 1998).
Pengaruh penambahan senyawa 2 pada siklus sel kanker
Lu1
Senyawa 2 yang dihasilkan dari tanaman Aglaia
elliptica diperlakukan terhadap sel Lu1 selama periode
54 Desi Harneti P.H.
Waktu (jam)
Gambar 3.5 Pengaruh penambahan senyawa 2 pada
proliferasi sel dan viabilitas sel Lu1. (●)
hanya pelarut DMSO, (▲) 25 ng/mL
senyawa 2, (◊) 50 ng/mL senyawa 2 (Lee et
al, 1998).
waktu (8, 16, 24, 32, 48, 56, dan 72 jam). Untuk
mengetahui jumlah sel yang terdistribusi dalam proses
siklus selnya, digunakan metode aliran sitometri (flow
cytometry). Sebanyak 50 ng/mL senyawa 2 yang
Via
bil
itas
sel
(%
) Ju
mla
h s
el (
x 1
0-6
)
Senyawa Antikanker Turunan … 55
ditambahkan, terjadi akumulasi sel pada fase G1/G0
dalam siklus sel.
Setelah 24 jam = Kontrol : 41 G1/G0, 37 S, 22% G2/M
Hasil : 74 G1/G0, 11 S, 15% G2/M
Setelah 32 jam = Kontrol : 52 G1/G0, 33 S, 15% G2/M Hasil : 75 G1/G0, 9 S, 16% G2/M
Setelah 48 jam = Kontrol : 61 G1/G0, 25 S, 142% G2/M
Hasil : 65 G1/G0, 16 S, 19% G2/M
Periode waktu yang selanjutnya menghasilkan data yang
tidak jauh berbeda dengan pada jam ke-48, pada periode
ini tidak terjadi perubahan yang signifikan.
Pada interval waktu 24 dan 32 jam terjadi suatu
akumulasi jumlah sel kanker pada fase G1. G1 adalah fase
dimana terjadi sintesis RNA pada sel kanker. Namun
karena keberadaan senyawa 2, RNA yang telah terbentuk
tidak dapat membentuk DNA-nya, sehingga sel tidak
akan menuju ke fase S (replikasi DNA). Hal ini
menyebabkan sel hanya akan terakumulasi pada fase G1
dan G0 (fase istirahat). Senyawa 2 dapat menghambat
terjadinya proses replikasi DNA (S) dan mengganggu
terjadinya siklus pembelahan sel kanker. Dari data
penelitian, sel akan terakumulasi pada fase G1/G0,
sedangkan jumlah sel pada fase S dan G2/M lebih kecil
bila dibandingkan dengan kontrol.
Aktivitas antikanker menggunakan bioindikator tikus
putih
Untuk mengetahui aktivitas antitumor pada
senyawa 2, dilakukan penelitian dengan menggunakan
56 Desi Harneti P.H.
bioindikator tikus putih betina. Kultur sel BC1 (1 x 106
sel) disuntikkan ke dalam bagian kanan dorsal pada tikus
putih betina yang berusia 4 – 6 minggu. Pada hari ke-3
senyawa 2 (10 mg/kg berat badan, yang dilarutkan dalam
40% DMSO) disuntikkan pada tikus putih tersebut.
Pemberian senyawa 2 dilakukan 3 kali dalam seminggu
selama 7 minggu. Untuk analisis, berat badan tikus putih
dan volume tumor ditimbang setiap harinya. Ternyata
semua tikus mati pada hari ke-33, ketika volume tumor
pada tikus kontrol mencapai 1,3 cm3.
Hari setelah penyuntikan sel BC1
Gambar 3.6 Pengaruh penambahan senyawa 2 pada
pertumbuhan tumor tikus putih betina yang
telah diberikan sel tumor BC1. (●) kontrol
dan (□) penambahan senyawa 2 (Lee et al,
1998).
Seperti yang terlihat pada Gambar 3.6, dengan adanya
penambahan senyawa 2 pada sel tumor BC1 dalam tikus
putih akan mengakibatkan volume tumor berkurang
sejalan dengan periode waktu. Hal ini disebabkan
Vo
lum
e tu
mo
r (c
m3)
Senyawa Antikanker Turunan … 57
pertumbuhan sel BC1 terhambat sehingga proses
pembelahannya pun akan berlangsung lama.
Pembelahan sel tumor dapat terjadi karena adanya
replikasi DNA dan sintesis RNA secara cepat. Oleh
karena itu, untuk menghambat atau menghentikan proses
penggandaan DNA, harus menggunakan suatu senyawa
atau agen yang dapat menghambat proses biosintesis
DNA, RNA, atau proteinnya. Pada umumnya mekanisme
kerja senyawa antikanker secara demikian, yaitu dengan
menghambat proses biosintesis proteinnya. Seperti
halnya senyawa pengalkilasi yang bersifat antikanker.
Senyawa ini memiliki ion karbonium yang reaktif,
sehingga dapat membentuk ikatan melintang dengan
DNA dan dapat menghambat terjadinya pembelahan sel
(Tjay & Rahardja,2002). Untuk senyawa antikanker
bahan alam, biasanya mekanisme kerja antikanker adalah
dengan menghambat sintesis protein dalam mikrotubuli.
Pada senyawa 2 yang diperoleh dari tanaman Aglaia
elliptica, aktivitas antikanker disebabkan oleh adanya
pengaruh gugus fungsi yang ada pada kerangka senyawa
tersebut.
58 Desi Harneti P.H.
(59)
BAB IV
AKTIVITAS ANTIKANKER SENYAWA
ODORIN DAN ODORINOL DARI
TUMBUHAN AGLAIA ODORATA
Aglaia odorata
AGLAIA odorata berasal dari marga Aglaia.
Suatu marga tumbuhan dengan anggota lebih dari 100
jenis tumbuhan. Tanaman ini dibiakkan dengan cara
pencangkokan. Tanaman ini banyak digunakan sebagai
pagar hidup, karena bentuknya yang indah dan kecepatan
tumbuhnya yang lambat (Heyne,1987).
Inada dan kawan-kawan (2001), meneliti kandungan
senyawa antikanker dari Aglaia odorata. Latar belakang,
metode dan hasil penelitian Inada dan kawan-kawan,
dilaporkan pada bagian ini.
Tumbuhan perdu ini dapat tumbuh dengan tinggi
2-5 m. Memiliki batang berkayu, bercabang banyak, dan
tangkai berbintik-bintik kelenjar berwarna hitam.
Memiliki daun majemuk, menyirip dan ganjil yang
tumbuh berseling. Dengan anak daun berjumlah 3-5 cm.
Anak daunnya bertangkai pendek, berbentuk bundar
seperti telur sungsang. memiliki panjang 3-6 cm dan
lebar 1-3,5 cm. Berujung runcing, berpangkal meruncing,
60 Desi Harneti P.H.
bertepi rata dan permukaannya licin mengilap, terutama
daun muda (Anonymous, 2005). Rebusan daunnya terasa
pahit tanpa pedas, jika diminum berkhasiat untuk
menstruasi yang terlalu keras dan penyakit kelamin.
Bunganya kecil, dalam helaian rapat, panjangnya
5-16 cm, warna kuning, dan harum. Bunga ini sering
dicampurkan kedalam daun the untuk mengharumkan-
nya. Seringkali pula digunakan untuk mengharumkan
pakaian. Selain itu, dicampurkan dalam ramuan parem
dan dijual kering. Bila air rebusan bunga ini diminum
akan menghasilkan daya menyejukkan (Heyne,1987).
Buah dari tanaman ini berbentuk kecil-kecil
seperti buah buni. Berbentuk bulat lonjong dengan warna
merah dan panjang 6-7 mm. Memiliki 1-3 ruang di dalam
buah dan jumlah biji 1 sampai dengan 3 (Anonymous,
2005).
Daun dan bunga Aglaia odorata L (Meliaceae) di
Cina digunakan sebagai obat herbal untuk mengatasi
memar, sakit kepala, batuk, dll. Bunganya biasa
digunakan untuk memberi wewangian pada teh dengan
catatan tergantung pada wangi teh itu sendiri. Dari
tanaman ini aminopirolidin-diamida, odorin dan odorinol
(= 2-hydroxyodorine), dan kandungan lainnya telah
diisolasi. Sebagai tambahan, aktivitas antileukimia dari
odorinol terhadap sel leukemia limfosit P-388 dari tikus
telah dilaporkan (Inada et.al., 2001).
Taksonomi Aglaia odorata
Menurut Tjitrosoepomo (2002) taksonomi
tumbuhan Aglaia odorata adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Aktivitas Antikanker Senyawa … 61
Kelas : Dycotiledoneae
Subkelas : Dyalipetalae
Ordo : Rutales
Keluarga : Meliaceae
Genus : Aglaia
Jenis : Aglaia odorata
Kandungan kimia tumbuhan Aglaia odorata
Tumbuhan Aglaia odorata memiliki berbagai
macam kandungan diantaranya minyak asiri, alkaloid,
saponin, flavonoid, terpenoid, triterpenoid, alkaloid,
tanin (Mabberley et al., 1995), arilpropanoid, dimer
arilpropanoid (lignan) (Wu, et al., 1997), asam
sinamat, dan odorin (Nugroho et al., 1999).
Tapsakin-A (turunan forbaglin) (Proksch et al.,
2001) kelompok senyawa dengan kerangka siklopenta -
[bc]benzopiran (aglain, dan aglaforbesin serta
turunannya), dan kelompok senyawa dengan kerangka
Gambar 4.1 Aglaia odorata.
62 Desi Harneti P.H.
benzo[b]oksepin (forbaglin serta turunannya). Selain
senyawa-senyawa tersebut di atas, tanaman ini mengan-
dung sejumlah senyawa aktif antikanker berkerangka
siklopentatetra[b]hidrobenzofuran yaitu rokaglamida (1)
(Mabberley et al., 1995).
N
H
NH
O OH
Odorinol (turunan odorin)
O
O
OH
H3CO
H3CO
OCH3
OH
Turunan flavonoid
Gambar 4.2 Struktur turunan odorinol (turunan odorin)
dan turunan flavonoid (Nugroho et al.,
1999).
O
H3CO
OCH3
OH
OCH3
OH
O
N(CH3)2
Gambar 4.3 Rokaglamida
Beberapa turunan rokaglamida yang telah berhasil
diisolasi dan dikaraktersasi yang berasal dari tumbuhan
Aglaia odorata di antaranya adalah didesmetilrokaglami-
Aktivitas Antikanker Senyawa … 63
O
H
NN
OCH3
H3COOH
OCH3
H
OHO
Tapsakin-A-10-O-asetat (turunan aglain)
O
H
NN
H3COOH H
O
O
O
O
O
O O
OCH3
H3CO
CH3
CH3
Tapoksepin-A (turunan forbaglin)
Gambar 4.4 Struktur Tapsakin-A-10-O-asetat (turunan
aglain) dan Tapoksepin) (Inada et.al., 2001).
da (2), C-3’-hidroksirokaglamida (3), dan C-1-O-asetil-
3’-hidroksirokaglamida (4) (Proksch et al., 2001).
Struktur dari ketiga senyawa tersebut dapat dilihat pada
Gambar 4.5.
3O
H3CO
OCH3
OH
OCH3
R1
R2
R3
23a
8b8a 1
5
6
7 8
2'
5'
6'
5"
4"
3"
Struktur turunan rokaglamida (1-4)
R1 R2R3
2 OH CONH2 H
3 OH CON(CH3)2 OCH3
4 OCOCH3 OH
4
3'
4'
1"2"
6" CON(CH3)
Gambar 4.5 Struktur beberapa turunan rokaglamida
yang terkandung dalam tumbuhan
Aglaia odorata (Cui et al., 1997; Proksch
et al., 2001).
64 Desi Harneti P.H.
Bahan-bahan dan metode penelitian
Bahan kimia
Bahan kimia DMBA dan TPA dari nacalitesque
(Kyoto,jepang), NOR-1 dan peroksi nitrit didapat dari
dojindo laboratories (Kumamoto, Jepang).
Hewan
Hewan specific pathogen-free female ICR-(6-
week-Old) /ICR-fatogen spesifik (usia 6 minggu) dan
SENCAR-mice (usia 6 minggu) didapat dari Japan SLC
ink Shizouka, Jepang. Hewan ini ditempatkan 5 ekor
dalam satu kandang polikarbonat pada suhu antara 24 ±
2oC dan diberikan makan, dan air adlibitum.
Isolasi Odorin dan Odorinol dari Aglaia odorata.
Daun Aglaia odorata (700 gram) diambil pada
bulan Januari 1993 di Kebun Raya Bogor (Bogor, Indo-
nesia). Fraksi etil asetat sebanyak 47,6 gram yang berasal
dari 78,0 gram ekstrak MeOH diisolasi sehingga
dihasilkan senyawa aminopirolidin-diamida, odorin (160
mg) dan odorinol (230mg) dengan kemurnian 99,9%.
Pengujian tahap dua karsinogenesis kulit tikus oleh
DMBA/TPA
Hewan (female ICR-mice berumur 6 minggu)
dipisahkan ke dalam 3 kelompok percobaan yang terdiri
dari 15 tikus pada setiap kelompoknya. Ekor dari setiap
tikus dicukur dengan menggunakan pisau bedah. Pada
ekornya ditambahkan DMBA (100µg, 390nmol) dalam
aseton (0,1 mL) Untuk kelompok yang pertama
(kelompok kontrol positif) satu minggu setelah diaktifkan
dengan DMBA, tikus-tikus kemudian diberi TPA (1µg,
1,7nmol) pada aseton (1mL) dua kali dalam seminggu.
Aktivitas Antikanker Senyawa … 65
Kelompok kedua dan ketiga mendapat penambahan dari
odorin (85nmol) pada aseton (0,1mL) dan odorinol
(85nmol) pada aseton 1 jam sebelum perlakuan pokok
masing-masing, secara berurutan. Pengaruh dari
pertumbuhan papiloma dilihat setiap minggu selama 20
minggu; persentase tikus-tikus mengalami penghambatan
papiloma dan jumlah papiloma rata-rata per tikus dicatat.
Perbedaan dalam papiloma tikus antara kontrol dan
eksperimen dianalisis dengan cara student’s t-test pada
20 minggu setelah promosi (Inada et.al., 2001)
Pengujian tahap dua karsinogenesis kulit tikus oleh
NOR-1/TPA
Hewan (female SENCAR-mice berumur 6
minggu) dipisahkan kedalam 3 kelompok percobaan
yang terdiri dari 15 tikus pada setiap kelompoknya. Ekor
dari setiap tikus dicukur dengan menggunakan pisau
bedah, dan tikus-tikus yang memiliki sifat karsinogenik
diaktifkan dengan NOR-1 (90µg, 390 nmol) dalam
aseton (0,1 mL). Untuk kelompok yang pertama
(kelompok kontrol +) satu minggu setelah diaktifkan
dengan NOR-1, tikus-tikus kemudian diberi TPA (1µg,
1,7nmol) pada aseton (1mL) dua kali dalam seminggu.
Untuk kelompok kedua, TPA ditabahkan dengan odorin
(0,0025%, 2,5 mg/100 ml air minum) dan kelompok
ketiga, TPA ditambahkan odorinol (0,0025%, 2,5 mg/100
ml air minum) diberikan melalui mulut satu minggu
sebelum dan sesudah tahap inisiasi dengan NOR-1.
Penambahan TPA, TPA dan odorin serta TPA dan
odorinol dilakukan selama 20 minggu, secara berurutan;
persentase tikus-tikus yang mengalami penghambatan
papiloma dan jumlah papiloma rata-rata per tikus dicatat.
Perbedaan dalam papiloma tikus antara kontrol dan
66 Desi Harneti P.H.
eksperimen dianalisis dengan cara student’s t-test pada
20 minggu setelah promosi (Inada et.al., 2001)
Pengujian tahap dua karsinogenesis kulit tikus oleh
Peroksinitrit/TPA
Hewan (female SENCAR-mice berumur 6
minggu) dipisahkan ke dalam 3 kelompok percobaan
yang terdiri dari 15 tikus pada setiap kelompoknya. Ekor
dari setiap tikus dicukur dengan menggunakan pisau
bedah, dan tikus-tikus yang memiliki sifat karsinogenik
diaktifkan dengan peroksinitrit (33,1µg, 390 nmol dalam
1mM NaOH) dalam aseton (0,1 mL). Untuk kelompok
yang pertama (kelompok kontrol positif), satu minggu
setelah diaktifkan dengan peroksinitrit, tikus-tikus
kemudian diberi TPA (1µg, 1,7nmol) pada aseton (1mL)
dua kali dalam seminggu. Untuk kelompok kedua, odorin
(0,0025%, 2,5 mg/100 ml air minum) dan kelompok
ketiga, odorinol (0,0025%, 2,5 mg/100 ml air minum)
diberikan melalui mulut dari satu minggu sebelum dan
satu minggu sesudah tahap inisiasi dengan peroksinitrit.
Penambahan TPA, TPA dan odorin serta TPA dan
odorinol dilakukan selama 20 minggu, secara berurutan.
Pengaruh dari pertumbuhan papiloma dilihat setiap
minggu selama 20 minggu; persentase tikus-tikus yang
menghambat papiloma dan jumlah papiloma rata-rata per
tikus dicatat. Perbedaan dalam papiloma tikus antara
kontrol dan eksperimen dianalisis dengan cara student’s
t-test pada 20 minggu setelah promosi (Inada et al.,
2001).
Aktivitas odorin dan odorinol sebagai antikanker
Pada percobaan yang dilakukan oleh Inada et.al
untuk pengujian senyawa yang menghambat pertumbu-
Aktivitas Antikanker Senyawa … 67
han papiloma pada tikus digunakan tiga perbandingan
perlakuan pada tikus. Papiloma sendiri merupakan salah
satu jenis kanker kulit di mana tempat terjadinya yaitu
pada permukaan kulit. Pada percobaan tersebut
digunakan SENCAR-mice sebagai objek penelitian.
SENCAR-mice atau dengan kata lain Sensitive
Carsinogenesis-mice merupakan tikus yang memiliki
sensitivitas tinggi terhadap zat-zat karsinogen. Tikus
tersebut sangat rentan terkena kanker jika ada pengaruh
dari zat-zat karsinogen.
Tikus yang digunakan dalam percobaan dibagi ke
dalam 3 kelompok dengan masing-masing kelompok
terdiri dari 15 ekor tikus.Untuk perlakuan pertama,
digunakan DMBA atau 7,12-dimethyl benz[a]anthracene
sebagai zat karsinogen untuk mengaktifkan sifat
karsinogenik tikus. Seperti telah disebutkan sebelumnya,
untuk memasukan DMBA ini ekor tikus sebelumnya
dicukur dengan menggunakan pisau bedah. Pencukuran
ini dilakukan untuk mempermudah dalam pengaktifan sel
kanker oleh DMBA karena apabila masih terdapat bulu
dikhawatirkan DMBA ini tidak langsung masuk ke dalam
kulit tikus.
Untuk kelompok pertama, setelah sel
karsinogenik tikus diaktifkan dengan DMBA dan
mengalami tahap inisiasi yaitu selama 1 minggu,
kemudian ditambahkan dengan TPA (12-O-
tetradecanoylphorbol-13-acetate) pada aseton dua kali
dalam seminggu. Kelompok pertama ini dikenal sebagai
kontrol positif. Sedangkan untuk kelompok kedua dan
ketiga ditambahkan odorin dan odorinol pada TPA satu
jam sebelum perlakuan pokok masing-masing. Persen
penghambatan papiloma dan jumlah rata-rata papiloma
yang terbentuk dicatat selama 20 minggu dan perbedaan
68 Desi Harneti P.H.
antara kontrol positif, kelompok kedua dan kelompok
ketiga dianalisis dengan menggunakan student’s t-test
pada 20 minggu setelah promosi.
Dari hasil analisis tersebut diperoleh grafik sebagai
berikut :
( grup 1), DMBA (390 nmol)+TPA (1,7 nmol); (grup 2),
DMBA (390 nmol)+Odorin (85 nmol)+TPA(1,7 nmol); (grup 3),
DMBA (390 nmol)+odorinol (85 nmol)+TPA (1,7 nmol). Dalam 20
minggu promosi, Odorin dan Odorinol berbeda dari kontrol (p<0,01)
dalam hubungannya dengan papilomas per tikus (n=15).
Gambar. 4.6 Efek penghambatan odorin dan odorinol
dalam karsinogenesis kulit tikus dengan
menggunakan DMBA dan TPA (Inada, et
al, 2001)
Aktivitas Antikanker Senyawa … 69
Seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.6, odorin
dan odorinol menghambat dengan baik pembentukan
papiloma pada kulit tikus dan menunjukkan efek
penghambatan yang signifikan terhadap pertumbuhan sel
kanker yang dihasilkan oleh DMBA dan TPA.
Gambar 4.6 A menunjukkan persen papiloma
pada 20 minggu masa promosi. Pada Gambar 4.6 A ini
dapat dilihat perbedaan yang sangat signifikan antara
kontrol positif dengan perlakuan tambahan menggunakan
odorin dan odorinol. Sampai dengan minggu ke-5
ketiganya masih belum menunjukkan pembentukan
papiloma dan pada minggu ke-6 perbedaan terlihat lebih
jelas dimana kontrol positif menunjukkan pembentukan
papiloma sebanyak 30% sedangkan penambahan odorin
dan odorinol masih belum menunjukkan pembentukan
papiloma. Untuk penambahan odorin papiloma terbentuk
sebanyak 10% pada minggu ke-8, sedangkan kontrol
positif pada minggu ke-7 menunjukkan pembentukan
papiloma sebanyak 80%. Untuk penambahan odorinol
hasilnya lebih baik dibandingkan penambahan odorin
karena pada penambahan odorinol papiloma terbentuk
sebanyak 5% pada minggu ke-9 dan pada minggu ke-7
masih belum menunjukkan pembentukan papiloma.
Kontrol positif menunjukkan hasil 100% untuk
pembentukan papiloma pada minggu ke-9 sedangkan
untuk penambahan odorin sampai pada minggu kelima
belas pun jumlah papiloma yang terbentuk kurang dari
70% dan pada minggu ke 20, 93,3% papiloma terbentuk.
Sama halnya seperti odorin, odorinol dapat menghambat
pertumbuhan sel kanker. Hal ini dapat dilihat pada
minggu keenam belas dengan jumlah papiloma yang
terbentuk dibawah 70% sedangkan pada kontrol positif
jumlah papilomanya sudah 100%.
70 Desi Harneti P.H.
Sama halnya seperti pada grafik 4.6 A pada grafik
4.6 B menunjukkan adanya penghambatan dengan
penambahan odorin dan odorinol. Pada grafik 4.6 B
dapat dilihat banyaknya papiloma yang terbentuk (jumlah
papiloma) pada sel karsinogenik tikus selama 20 minggu
masa promosi. Untuk kontrol positif setelah 10, 15 dan
20 minggu promosi terbentuk 3,9 ; 8,1 dan 8,8 papiloma.
Jumlah papiloma tersebut dapat dilihat pada masing-
masing kulit tikus yang kemudian dibagi dengan jumlah
tikus tiap kelompok. Dengan waktu yang sama untuk
penambahan odorin pada DMBA dan TPA papiloma
yang terbentuk adalah 0,5 ; 2,8 dan 4,3 papiloma.
Sedangkan untuk penambahan odorinol hasilnya lebih
baik dibandingkan penambahan odorin yaitu
menghasilkan papiloma 0,3 ; 2,6 dan 3,6 disetiap tikus
dengan waktu yang sama secara berurutan. Penambahan
odorin dan odorinol ini tidak mengurangi laju dari
pembentukan papiloma tikus melainkan hanya
mengurangi jumlah rata-rata papiloma papiloma setiap
tikus.
Selanjutnya yaitu dengan menggunakan donor
NO seperti NOR-1 ((±)-(E)-Methyl-2-[(E)-Hidroxy
Amino]-5-nitro-6-methoxy-3-hexenamide) dan peroksi-
nitrit sebagai tahap awal untuk mengaktifkan sifat
karsinogenik tikus. Sama halnya seperti percobaan di
atas, digunakan juga TPA sebagai promotor untuk
pengaktifan sel karsinogenik. Seperti telah diketahui
bersama bahwa kelebihan produksi dari NO
mengakibatkan terjadinya kerusakan gen, sel dan
jaringan sehingga akibatnya NO menjadi penyebab kuat
terjadinya mutagen dan karsinogenesis. Efek
penghambatan odorin dan odorinol dengan
menggunakan NOR-1 dan peroksinitrit diperiksa dengan
Aktivitas Antikanker Senyawa … 71
menggunakan metode oral administration. Hasilnya
kedua senyawa tersebut menghambat pembentukan
papiloma dan menunjukkan efek penghambatan. Hal
tersebut dapat dilihat pada grafik 4.7A dan B.
Pada grafik 4.7 A kelompok kontrol positif, yang
mendapat perlakuan dengan NOR-1 dan TPA menunjuk-
kan pembentukan papiloma sebanyak 100% pada minggu
ke 11. yang diperlakukan dengan NOR-1, TPA dan
odorin menunjukkan efek penghambatan karena pada
minggu ke-10 papiloma yang terbentuk kurang lebih
sebanyak 30% , pada minggu ke-11 papiloma yang ter-
bentuk kurang dari 40%, pada minggu ke-15 kurang dari
70% dan pada minggu ke-20 papiloma yang terbentuk
85%. Sedangkan untuk penambahan odorinol pada NOR-
1 dan TPA efek penghambatan jumlah papiloma yang
terbentuk lebih baik lagi karena dalam minggu ke-10
hanya membentuk papiloma kurang dari 30%, pada
minggu ke 15 menunjukkan 60% dan pada minggu ke-20
menunjukkan 80% pembentukan papiloma.
Untuk grafik 4.7 B tidak jauh berbeda dari grafik
4.7 A, di sini dapat dilihat untuk kontrol positif,
terbentuk papiloma rata-rata sebanyak 6,1 dan 8,1 setelah
15 dan 20 minggu masa promosi. Senyawa odorin
menunjukkan aktivitas penghambatan dengan
terbentuknya papiloma yang lebih sedikit yaitu sebanyak
2,9 dan 3,9 setelah 15 dan 20 minggu masa promosi.
Dalam kelompok yang diperlakukan dengan
odorinol, terbentuk kurang dari 2,6 dan 3,3 (60%
pengurangan bila dibandingkan dengan kelompok
kontrol) di setiap tikus setelah 15 dan 20 minggu masa
promosi. Pada percobaan ini, secara statistik tidak ada
perbedaan signifikan yang ditemukan antara masing-
masing kelompok dan peningkatan berat badan dari
72 Desi Harneti P.H.
( grup 1), NOR-1 (390 nmol)+TPA (1,7 nmol); (grup 2),
NOR-1 (390 nmol)+0,0025% Odorin (2 minggu)+TPA(1,7 nmol);
(grup 3), NOR-1 (390 nmol)+0,0025% Odorinol (2
minggu)+TPA (1,7 nmol). Dalam 20 minggu promosi, Odorin dan
Odorinol berbeda dari kontrol (p<0,01) dalam hubungannya dengan
papiloma per tikus (n=15)
Gambar 4.7 Efek penghambatan odorin dan odorinol
dalam karsinogenesis kulit tikus dengan
menggunakan NOR-1 dan TPA (Inada et al,
2001).
Aktivitas Antikanker Senyawa … 73
tikus-tikus tidak berpengaruh dengan perlakuan kedua
senyawa.
Gambar 4.8 A dan B menunjukkan efek pengham
batan dari odorin dan odoridol dalam tahap dua karsino-
genesis kulit menggunakan peroksinitrit sebagai tahap
awal dengan cara pemberian makan lewat mulut. Kedua
senyawa tersebut memperlambat pembentukan papiloma
dan menunjukkan efek penghambatan (Inada et al, 2001).
Pada kelompok kontrol positif yaitu yang
mendapat perlakuan dengan peroksinitrit dan TPA, 100%
pembentukan papiloma terjadi pada minggu ke-10. Tikus
yang diperlakukan dengan peroksinitrit, TPA dan odorin
menunjukkan persen pembentukan papiloma lebih sdikit
dibandingkan dengan kontrol positif. Pada minggu ke-10,
15 dan 20 papiloma yang terbentuk sebesar 32%, 55%
dan 93,3%. Sedangkan untuk tikus yang diperlakukan
dengan peroksinitrit, TPA dan odorinol memerlukan
waktu 10 minggu untuk menunjukkan kurang dari 30%
pembentukan, 15 minggu untuk menunjukkan 60% dan
20 minggu untuk menunjukkan 86,7% pembentukan
papiloma dan odorinol mengurangi jumlah rata-rata
papiloma per tikus (pengurangan sekitar 46% pada 20
minggu dibandingkan dengan kelompok kontrol positif).
Sedangkan untuk grafik 4.8 B kontrol positif
menunjukkan pembentukan rata-rata papiloma setiap
tikus sebanyak 3,2 dan 7,5 papiloma setelah 15 dan 20
minggu masa promosi. Untuk tikus dengan penambahan
odorin pembentukan rata-rata papiloma setiap tikus untuk
waktu promosi 15 dan 20 minggu adalah sebanyak 1,9
dan 3,5 papiloma. Untuk penambahan odorinol menun-
jukkan pembentukan rata-rata papiloma setiap tikus
adalah 0,8 dan 2,5 setelah 15 dan 20 minggu masa
promosi. Dengan ini dapat diketahui bahwa odorin me-
74 Desi Harneti P.H.
( grup 1), Peroksinitrit (390 nmol)+TPA (1,7 nmol); (grup 2),
Peroksinitrit (390 nmol)+0,0025% Odorin (2 minggu)+TPA(1,7
nmol); (grup 3), Peroksinitrit (390 nmol)+0,0025% Odorinol (2
minggu)+TPA (1,7 nmol). Dalam 20 minggu promosi, Odorin dan
Odorinol berbeda dari kontrol (p<0,01) dalam hubungannya dengan
papiloma per tikus (n=15).
Gambar 4.8 Efek penghambatan odorin dan odorinol
dalam karsinogenesis kulit tikus dengan
menggunakan Peroksinitrit dan TPA (Inada
et al, 2001).
Aktivitas Antikanker Senyawa … 75
ngurangi pembentukan papiloma sebanyak 3,5 papiloma
dan odorinol sebanyak 4,5 papiloma untuk setiap tikus.
Dari hasil tes tahap dua karsinogenesis ini, dapat
ditarik kesimpulan bahwa odorin dan odoridol bersama
dengan aktivitas antileukimia langsung dari odorinol
menunjukkan bahwa senyawa ini mungkin akan menjadi
senyawa antikarsinogen berharga dalam karsinogen
kimiawi. Penyelidikan secara mendalam tentang
mekanisme penghambatan senyawa ini dalam senyawa
karsinogen sedang diteliti.
76 Desi Harneti P.H.
(77)
BAB V
SENYAWA SITOTOKSIK DARI KULIT
BATANG Aglaia crassinervia
Aglaia crassinervia
AGLAIA crassinervia adalah salah satu spesies
tumbuhan dalam keluarga Meliaceae. Tumbuhan ini
ditemukan di Brunei Darussalam, India (Kepulauan
Nikobar), Indonesia (Kalimantan, Sumatera), Malaysia
(Peninsular Malaysia, Sabah, Sarawak), Myanmar,
Filipina dan Thailand. Nama lain tumbuhan ini adalah
Aglaia cinerea King, Aglaia pyricarpa Baker.f.,
Chisocheton sumatranus Baker.f. Nama lokal tumbuhan
ini di Kalimantan yaitu Lansat-lansat, Lantupak, Segara,
Sigirah.
Su, dan kawan-kawan (2006), meneliti kandungan
senyawa racun sel (sitotoksik) dari Aglaia odorata.
Latar belakang, metode dan hasil penelitian Su dan
kawan-kawan, dilaporkan pada bagian ini.
Tumbuhan ini berupa pohon kanopi pertengahan
tingginya 31 m dan diameternya 49 cm. Stipules absen.
Daun-daun beragam, campuran, lapisan lebar, berbulu di
bawah. Bunga-bunganya kira-kira berdiameter 1 mm,
berwarna kuning, terletak di dalam panikel besar. Buah-
78 Desi Harneti P.H.
buahnya berdiameter kira-kira 24 mm, berwarna krem
kecokelatan, kapsul gemuk. Benihnya berwarna
transparan merah kecokelatan.
Ekologi tumbuhan ini terletak di dalam hutan
campuran dipterocarp tak terganggu pada ketinggian 800
m. Di atas lereng bukit dan punggung bukit, tetapi juga
umumnya sepanjang sungai dan alirannya. Di atas tanah
liat sampai lahan berpasir. Di dalam hutan sekunder yang
pada umumnya menyajikan sisa pra-disturbansi.
Pengrusakan habitat adalah suatu ancaman bagi spesies
ini.
Taksonomi Aglaia crassinervia
Kerajaan : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Sub Divisi : Spermatophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Keluarga : Meliaceae
Genus : Aglaia
Spesies : Aglaia crassinervia
Gambar 5.1 Aglaia crassinervia (Panell, 1992)
Senyawa Sitotoksik dari Kulit … 79
Eksperimen
Bahan Tumbuhan
Kulit batang (850 g) Aglaia crassinervia
dikumpulkan di Pulau Lombok, Indonesia, pada Oktober
2001, dan diidentifikasi oleh Soedarsono Riswan. Suatu
spesimen voucher (nomor koleksi SR-040) telah
disimpan di Herbarium Bogoriense, Indonesia Institute of
Science, Bogor, Indonesia.
Ekstraksi dan isolasi
Kulit batang yang telah dikeringkan dan digiling
(850 g) diekstraksi menggunakan MeOH (3x3 L) pada
suhu kamar, masing-masing 2 hari. Setelah penyaringan
dan penguapan pelarut di bawah tekanan yang dikurangi,
gabungan ekstak metanol kasar disuspensikan dalam H20
(700 mL), kemudian dipartisi, secara bergiliran, dengan
petroleum eter (3x500 mL), CHCl3 (3x500 mL), dan
EtOAc (3x500 mL), untuk menghasilkan ekstrak kering
petroleum eter (5,2 g), CHCl3 (20,0 g), EtOAc (1,5 g),
dan larut-H20 (kira-kira 14,6 g). Ekstrak larut-CHCl3
ditemukan aktif dalam sel Lu1 dengan nilai ED50 0,29
µg/mL. Ekstrak ini kemudian dikromatografi kolom
dengan Si gel (7x40 cm, 460 g 230-400 mesh), dan di
elusi dengan CHCl3-MeOH bergradien (50:1 sampai 2:1),
menghasilkan tujuh fraksi (F01-F07). Fraksi-fraksi ini di
evaluasi kembali dalam sel Lu1 dan nilai ED50 (µg/mL)
berturut-turut 1,6, 0,19, 1,4, 1,7, 16,4, >20 dan >20.
Fraksi F01 dan F02 digabungkan dan dikromato-
grafi pada kolom Si gel (5,5x40 cm) dan dielusi dengan
petroleum eter-aseton (12:1 sampai 1:1), untuk
menghasilkan 7 subfraksi (F0101-F0107). Fraksi F0102
dimurnikan dengan kolom kromatografi Si gel (4,0x40
cm) menggunakan CHCl3-aseton (60:1 sampai 10:1)
80 Desi Harneti P.H.
sebagai pelarut, untuk menghasilkan campuran β-
sitosterol dan stigmasterol (250 mg), dan campuran
cabraleadiol dan epiokotillol (125 mg), berdasarkan
kepolarannya. Integrasi 1H NMR menduga bahwa rasio
β-sitosterol dan stigmasterol sekitar 3:2, sedangkan rasio
cabraleadiol dan epiokotillol sekitar 1:1. Dua campuran
bahan alam ini tidak dapat dipisahkan oleh HPLC dan
tidak diteliti lebih lanjut. Senyawa 5 (520 mg) didapatkan
sebagai bubuk amorf putih dari larutan CHCl3-aseton
(kira-kira 12:1) dari F0103. Subfraksi F0104 di
kromatografi pada kolom Si gel (3,8x45 cm) dan dielusi
dengan CHCl3-aseton (30:1 sampai 10:1), menghasilkan
tambahan jumlah senyawa 5 (6 mg) dan campuran
senyawa 4 & 5 (58 mg). Campuran ini kemudian
dimurnikan dengan KLT preparatif (Si gel Merck 60Å,
20x20 cm, 500 µm), dikembangkan dengan CHCl3-
MeOH (40:1), untuk menghasilkan senyawa 5 (Rf = 0,62
; 9,0 mg) dan epi-isomernya, senyawa 4 (Rf = 0,60 ; 15,2
mg). Subfraksi F0105 dimurnikan pada kolom Sephadex
LH-20 (3,5x45 cm) dan di elusi dengan MeOH untuk
memberikan 4 subfraksi selanjutnya (F010501-F010504).
Aglaiaglabretol B (2) 85 mg, didapatkan sebagai suatu
bubuk amorf putih dari larutan n-heksana-EtOAc (kira-
kira 1:1) dari F010502. Fraksi F010503 dimurnikan pada
suatu kolom Si gel (4,0x30 cm) dan dielusi dengan
CHCl3-MeOH (100:1), untuk menghasilkan aglaiaglabre-
tol A (1), 78 mg. Fraksi F010504 di kromatografi pada
kolom Si Gel (4,0x30 cm) dan di elusi dengan CHCl3-
MeOH (80:1 sampai 60:1), menghasilkan suatu
campuran (18 mg) dan 2β,3β-dihidroksi-5α-pregn-
17(20)-(E)-en-16-on (20 mg), berdasarkan kepolarannya.
Campuran ini kemudian dimurnikan dengan KLTP (Si
gel Merck 60Å, 20x20 cm, 1000 µm), dikembangkan
Senyawa Sitotoksik dari Kulit … 81
dengan CHCl3-aseton (5:2), untuk menghasilkan
senyawa 6 (Rf = 0,56 ; 10,0 mg).
Dua fraksi aktif lainnya dari kromatografi kolom
awal, F03 dan F04, digabungkan dan di fraksionasi pada
suatu kolom Si gel (4,0x40 cm) menggunakan petroleum
eter-aseton (8:1 sampai 1:1) sebagai eluat, dan
menghasilkan 6 subfraksi (F0301-F0306). Fraksi F0302
dimurnikan pada suatu kolom Si gel (4,0x30 cm) dan di
elusi dengan CHCl3-MeOH (100:1), untuk memberikan
jumlah tambahan Aglaiaglabretol A (1) 13,5 mg dan
skopoletin (15 mg). Fraksi F0304 dimurnikan pada
kolom Sephadex LH-20 (3,5x45 cm) dan di elusi dengan
CHCl3-MeOH (1:1), untuk memberikan 5 subfraksi
selanjutnya (F030401-F030405). Aglaiaglabretol C (3)
38 mg didapatkan sebagai suatu bubuk amorf putih dari
larutan n-heksana-EtOAc (kira-kira 1:2) dari F030402.
Kandungan kimia tumbuhan Aglaia crassinervia
Bagian larut-kloroform dari ekstrak metanol kulit
batang Aglaia crassinervia Kurz. ex Hiern ditemukan
menunjukkan aktivitas sitotoksik melawan beberapa sel
kanker manusia. Belum ada studi fitokimia atau biologis
yang telah dilaporkan dari tumbuhan ini sebelumnya.
Fraksionasi yang dipandu bioassay dari ekstrak
ini menggunakan sel Lu1 (kanker paru manusia) untuk
memantau hasil fraksionasi dalam isolasi tiga glabretal
baru tipe triterpenoid, aglaiaglabretol A–C (1–3), seperti
halnya sembilan senyawa yang telah diketahui. Di antara
isolat-isolat ini, siklopenta[b]benzofuran yang telah
diketahui, rokaglaol (6), ditemukan sangat tinggi sitotok-
siknya dan dapat dibandingkan dalam potensinya pada
kontrol positif, paklitaksel dan kampotekin.
82 Desi Harneti P.H.
Aglaiaglabretol A (1)
Aglaiaglabretol A (1) diperoleh sebagai kristal
jarum yang tidak berwarna, titik lelehnya 185-187 0C.
Rumus molekul C30H48O5 diberikan pada Aglaiaglabretol
A (1) berdasarkan pada HRESIMS (m/z nya 511,3383).
Gambar 5.2. Struktur Aglaiaglabretol A (1) (Su et al,
2006).
Spektrum 1H NMR dari senyawa 1 (dalam CDCl3,
Tabel 1) menunjukkkan karakteristik sinyal untuk enam
singlet dari gugus metil tersier (CH3-19, 26, 27, 28, 29,
dan 30), lima metin teroksigenasi dan proton metilen (H-
7, H2-21, H-23, dan H-24), dan sejumlah proton overlap
untuk alifatik metin dan metilen. Dan lagi, dua proton
dari suatu metilen alifatik (ditetapkan dengan korelasi 1H-
1H COSY dan HMQC) diamati dalam suatu daerah
relatif high-field pada δH 0,69 (1H, br d, J = 4,3 Hz,
H=18a) dan 0,48 (1H, d, J = 4,6 Hz, H=18b). Konsisten
dengan penentuan rumus molekul, 30 sinyal karbon
Senyawa Sitotoksik dari Kulit … 83
dimunculkan dalam spektrum 13
C NMR (dalam CDCl3,
Tabel 1) dari senyawa 1.
Data spektroskopik NMR DEPT135 menunjukkan bahwa
30 karbon dalam molekul senyawa 1 terdiri dari 6 gugus
metil, 10 metilen, 7 metin, dan 7 karbon kuarterner, yang
konsisten dengan analisis data spektroskopik 1H NMR.
Semua keterangan yang dijelaskan di atas, digabung
dengan pertimbangan kemotaksonomi genus Aglaia, di
duga bahwa senyawa 1 adalah suatu triterpen.
Berdasarkan pada pengamatan pergeseran kimia 13
C
NMR, jelas terlihat satu keton jenuh (δC 218,1, C-3), satu
karbon metilen teroksigenasi (δC 70,7, C-21), tiga karbon
metin teroksigenasi (δC 64,8, C-23; 74,0, C-7; 86,6, C-
24), dan satu karbon kuarterner teroksigenasi (δC 74,1, C-
25) terdapat dalam molekul senyawa 1. Dalam spektrum
HMBC senyawa ini, korelasi di amati dari kedua sinyal
proton CH3-28 dan CH3-29 ke C-3, C4, dan C-5, dari
CH3-19 ke C-1, C-5, C-9, dan C-10, dari CH3-30 ke C-7,
C-8, C-9, dan C-14, dan dari H-7 ke C-5, C-9, dan CH3-
30. Korelasi ini digunakan untuk menentukan bahwa 4
dari 6 gugus metil berada dalam cincin A dan B dari
molekul senyawa 1. Sebagian struktur ini mirip dengan
kebanyakan triterpenoid pada umumnya (Connolly &
Hill, 2005).
Pada interpretasi selanjutnya dari spektrum
HMBC senyawa 1, korelasi dari khususnya proton
metilen high-field pada δH 0,69 (H-18a) dan 0,48 (H-18b)
ke C-8, C-12, C-13, C-14, C-15, dan C-17 di amati.
Korelasi ini, dalam gabungannya dengan pergeseran
kimia H-18a, H-18b, dan C-18, dan konstanta kopling
antara H-18a dan H-18b (Ferguson et al., 1973;
Kashiwada et al., 1992), menduga keberadaan suatu
gugus metilen siklopropil dalam molekul senyawa 1 yang
84 Desi Harneti P.H.
Tabel 5.1. Data Spektroskopik NMR dari Senyawa 1a (Su
et al, 2006).
a TMS digunakan sebagai standar dalam; pergeseran kimia
ditunjukkan dalam skala δ dengan harga J (Hz) dalam tanda
Position Dalam CDCl3 (300/75 MHz) Dalam piridin-d5 (360/90 MHz)
δH δC δH δC
1 1,80-1,92,m; 1,48, m 39,4 t 1,69-1,73, m; 1,37, m 39,8 t
2 2,47, m 33,9 t 2,50, m 34,2 t
3 218,1
s
216,7
s
4 46,7 s 47,0 s
5 2,11, m 45,3 d 2,40-2,46, m 45,7 d
6 1,67, br dd (7,0, 2,1) 25,4 t 1,69-1,73, m 27,0 t
7 3,83, br s 74,0 d 3,96, br s 73,6 d
8 37,3 sb 37,8 sb
9 1,26-1,35, m 43,0 d 1,50-1,55, m 43,4 d
10 36,6 s 36,9 s
11 1,26-1,35, m 17,2 t 1,30, m; 1,14, m 17,7 t
12 1,80-1,92, m 28,14
tc
2,17, m; 1,69-1,73, m 28,8 tc
13 28,5 s 28,4 s
14 38,5 sb 39,0 sb
15 1,80-1,92, m; 1,53, m 26,1 t 1,80-1,91, m; 1,69-
1,73, m
26,4 t
16 2,05, m; 0,90, m 28,08
tc
1,80-1,91, m; 0,86, m 28,7 tc
17 2,22, br q (7,8) 45,8 d 2,40-2,46, m 46,5 d
18 0,69, br d (4,3); 0,48,
d (4,6)
14,3 t 0,98, d (5,2); 0,59, d
(5,3)
15,4 t
19 0,95, s 16,0 q 0,90, s 16,0 q
20 1,55, m 40,4 d 1,50-1,55, m 41,1 d
21 4,09, br d (10,6) 4,29, br d (11,6)
3,42, br d (10,6) 70,7 t 3,56, dd (11,5, 2,4) 71,2 t
22 2,00, m; 1,52, m 36,4 t 2,26, m;1,80-1,91, m 37,5 t
23 3,83, m 64,8 d 4,34, m 65,2 d
24 2,90, d (9,1) 86,6 d 3,37, d (9,2) 87,8 s
25 74,1 s 73,5, s
26 1,31, s 28,5 q 1,66, s 24,9 q
27 1,29, s 24,0 q 1,65, s 29,2 q
28 1,03, s 20,9 q 1,08, s 21,2 q
29 1,09, s 26,7 q 1,18, s 26,8 q
30 1,09, s 19,9 q 1,02, s 20,3 q
OH-7 2,57, br s 4,67, br s
OH-23 3,66, br s 6,34, br s
OH-25 3,05, br s 6,53, br s
Senyawa Sitotoksik dari Kulit … 85
kurung. Penetapan berdasarkan pada spektra 1H-
1H COSY,
HMQC, dan HMBC. b,c
Penetapan dapat dipertukarkan dalam kolom yang sama.
berlokasi antara C-13 dan C-14. Oleh karena itu,
senyawa 1 ditetapkan sebagai suatu triterpen tipe
glabretal (Ferguson et al., 1973). Pada umumnya,
triterpenoid yang memiliki suatu gugus metilen
siklopropil yang di isolasi dari spesies Aglaia adalah tipe
sikloartan (Inada et al., 1997; Weber et al., 2000), di
mana gugus metilen siklopropilnya antara C-9 dan C-10.
Keberadaan suatu cincin tetrahidropiran pada rantai
samping ditentukan berdasarkan interpretasi yang di
amati dari korelasi spektra 1H-
1H COSY, HMQC, dan
HMBC senyawa 1.
Seperti ditunjukkan dalam Tabel 1, beberapa
sinyal tumpang tindih di senyawa 1 dalam CDCl3
dipisahkan menggunakan piridin-d5. Contohnya, sinyal
CH3-29 dan CH3-30 senyawa 1 tumpang tindih pada δH
1,09 dalam spektrum 1H NMR yang dicatat di CDCl3 saat
dua resonansi ini jelas dipisahkan pada δH 1,18 dan 1,02
dalam piridin-d5. Pada interpretasi spektra NOESY
senyawa 1 yang diperoleh baik dalam CDCl3 dan piridin-
d5, korelasi diamati dari H-5 ke H-9 dan CH3-29, dari H-
7 ke CH3-30, dan dari H-9 ke H-18a. Hal ini diduga
bahwa H-5, H-9, dan gugus metilen siklopropil berada di
sisi yang sama dari molekul senyawa 1. Konfigurasi
relatif H-20, H-23, dan H-24 dari cincin tetrahidropiran
dalam rantai samping ditentukan sebagai α, β, dan α,
berturut-turut, berdasarkan pengamatan korelasi NOESY
baik dari H-20 dan H-24 ke H-21α, dan dari H-23 ke
CH3-26 dan CH3-27.
Bagaimanapun, stereokimia relatif cincin tetra hi-
dropiran dari rantai samping dan kerangka cincin senya -
86 Desi Harneti P.H.
Gambar 5.3. Penggambaran ORTEP dari
Aglaiaglabretol A (1) (Su et al, 2006).
wa 1 sulit untuk dilihat, sejak ikatan C-17/C-20 memiliki
rotasi bebas. Maka, analisis difraksi sinar-X kristal
tunggal (Gambar 5.3) dilakukan untuk menegaskan
struktur dan untuk menetapkan stereokimia relatif
keseluruhan molekul senyawa 1. Parameter Flack dari -
0,03 (19) ditentukan untuk struktur sinar-X ini dan
membolehkan penetapan stereokimia absolut dari
Aglaiaglabretol A (1) (Gambar 5.3). Penetapan ini
konsisten dengan penentuan 23R dengan analisis data
spektoskopik 1H NMR dari 1R dan 1S (Tabel 2) yang
didapatkan menggunakan metode ester Mosher yang
sesuai (Su et al., 2002).
Senyawa Sitotoksik dari Kulit … 87
Tabel 5.2. Data spektoskopik 1H NMR pilihan dari
turunan ester (R)- dan (S)- MTPA (1r dan
1s) dari senyawa 1a (Su et al, 2006).
Posisi δR δS δS- δR
7 3,945, br s 3,946, br s +0,001
18 0,932b 0,975, d (5,4) +0,043
0,539, d (5,3) 0,602, d (5,4) +0,063
20 1,836, m 1,875, m +0,036
21 4,112, dd (11,0, 6,2) 4,155, dd (11,1, 5,3) +0,033
3,788, dd (11,1, 5,0) 3,786, dd (11,0, 4,3) -0,002
22 2,213, m 2,292, m +0,079
1,844, m 1,880, m +0,036
23 5,965, m 5,906, m -0,059
24 3,628, d (5,4) 3,537, d (6,2) -0,091 a Spektra diperoleh dalam piridin-d5 pada 360 MHz dari reaksi
tabung NMR secara langsung; pergeseran kimia ditunjukkan
dalam skala δ dengan harga J (Hz) dalam tanda kurung. Penetapan
berdasarkan pada pengamatan korelasi 1H-
1H COSY.
b Tumpang tindih dengan sinyal CH3-30.
Aglaiaglabretol B (2)
Aglaiaglabretol B (2) didapatkan sebagai bubuk
amorf putih, titik leleh 132-135 0C, menunjukkan puncak
ion molekul tersodiasi pada m/z 593,3802 dalam
HRESIMS, menunjukkan rumus molekul C35H54O6.
Gambar 5.4 Struktur Aglaiaglabretol B (2) (Su et al,
2006).
88 Desi Harneti P.H.
Kedua data 1H dan
13C NMR (Tabel 5.3) senyawa
2 sangat mirip dengan senyawa 1, dan diduga bahwa
senyawa 2 adalah triterpen glabretal juga (Ferguson et
al., 1973). Ketika dibandingkan dengan senyawa 1,
spektra 1H dan
13C NMR senyawa 2 menunjukkan tipikal
sinyal untuk suatu substituen tigloiloksi pada δH 6,83
(1H, dq, J=7,1, 1,3 Hz, H-3’), 1,83 (3H, br s, H-5’), dan
1,78 (3H, d, J=7,1 Hz, H-4’), dan δC 167,79 (s, C-1’),
136,48 (d, C-3’), 129,27 (s, C-2’), 14,31 (q, C-4’), dan
12,09 (q, C-5’) (Ferguson et al., 1973; El Sayed et al.,
1995).
Dalam spektrum HMBC senyawa 2, kedua sinyal
proton CH3-28 dan CH3-29 dikorelasikan dengan sinyal
karbon pada δC 80,71 (d, C-3), menunjukkan keberadaan
suatu metin teroksigenasi pada C-3 dalam molekul
senyawa 2 sebagai pengganti gugus keton pada posisi
yang sama di senyawa 1. Pada interpretasi selanjutnya
dari spektrum HMBC senyawa 2, suatu korelasi dari H-3
ke karbon karbonil dari gugus tigloiloksi pada δC 167,79
(s, C-1’) di amati. Korelasi ini digunakan untuk
menentukan bahwa gugus tigloiloksi berada pada C-3
dalam senyawa 2. Spektrum 13
C NMR senyawa ini
menunjukkan karakteristik sinyal untuk suatu gugus
hemiasetal pada δC 98,25 (d, C-21) dan suatu gugus
epoksi trisubstitusi pada δC 67,66 (d, C-24) dan 58,05 (s,
C-25). Berdasarkan pada interpretasi dari korelasi yang
diamati dalam spektra 1H-
1H COSY, HMQC, dan
HMBC, rantai samping senyawa 2 ditetapkan memiliki
cincin tetrahidrofuran yang mengandung suatu gugus
hemiasetal pada C-21. Dengan cara yang sama seperti
untuk analog yang dilaporkan sebelumnya (Ferguson et
al., 1973; Arruda et al., 1994; Mulholland et al., 1996),
aglaiaglabretol B (2) diisolasi sebagai suatu campuran
Senyawa Sitotoksik dari Kulit … 89
epimer. Rasio epimer mayor dan minor sekitar 5:2. Data
NMR untuk kedua epimer ditunjukkan dalam Tabel 3.
Tabel 5.3. Data spektroskopik NMR dari Senyawa 2a (Su
et al, 2006).
Posisi Isomer mayor Isomer minor
δH δC δH δC
1 1,53-1,75, m; 1,03-
1,09, m
38,27 t 1,53-1,75, m; 1,03-1,09,
m
38,17 t
2 1,69-1,75, m; 1,53-
1,67, m
23,51 t 1,69-1,75, m; 1,53-1,67,
m
23,51 t
3 4,56, dd (11,4, 4,5) 80,71 d 4,56, dd (11,4, 4,5) 80,66 d
4 37,58 sb 37,58 sb
5 1,53-1,67, m 46,09 d 1,53-1,67, m 46,16 d
6 1,69-1,75, m; 1,53-
1,67, m
24,20 t 1,69-1,75, m; 1,53-1,67,
m
24,20 t
7 3,76, br s 74,39 d 3,76, br s 74,25 d
8 38,86 s 38,91 s
9 1,21-1,36, m 44,17 d 1,21-1,36, m 43,99 d
10 37,18 sb 37,25 sb
11 1,21-1,36, m 16,37 t 1,21-1,36, m 16,22 t
12 1,53-2,15, m 27,51 tc 1,53-2,15, m 25,94 tc
13 28,99 s 28,58 s
14 36,88 s 36,01 s
15 1,53-2,15, m 25,29 tc 1,53-2,15, m 25,29 tc
16 1,53-1,75, m; 0,84-
0,91, m
26,34 tc 1,41, m; 0,94, m 25,98 tc
17 2,21, br q (7,6) 44,83 d 2,05, m 48,22 d
18 0,67, br d (4,0); 0,48,
d (4,2)
13,77 t 0,75, br d (4,2); 0,50, d
(4,4)
13,59 t
19 0,91, s 15,97 q 0,90, s 15,85 q
20 1,85-1,91, m 49,35 d 2,08-2,18, m 50,66 d
21 5,43, m 98,25 d 5,43, m 102,16
d
22 1,90-2,01, m; 1,66-
1,74, m
30,83 t 2,03-2,11, m;1,38-1,42,
m
32,82 t
23 3,88, ddd (7,4, 7,4,
7,2)
78,43 d 3,95, m 77,34 d
24 2,84, d (7,5) 67,66 d 2,70, d (7,6) 65,35 d
25 58,05 s 57,25, s
26 1,30, s 25,03 q 1,35, s 24,94 q
27 1,31, s 19,21 q 1,31, s 19,42 q
28 0,90, s 16,88 q 0,90, s 16,88 q
29 0,88, s 27,82 q 0,88, s 27,82 q
30 1,04, s 19,53 q 1,03, s 19,47 q
OH-7 2,52, br s 2,46, br s
90 Desi Harneti P.H.
a Spektra
1H dan
13C diperoleh dalam CDCl3 pada 500 dan 125 MHz,
berturut-turut; TMS digunakan sebagai standar dalam; pergeseran
kimia ditunjukkan dalam skala δ dengan harga J (Hz) dalam tanda
kurung. Penetapan berdasarkan pada spektra 1H-
1H COSY,
HMQC, dan HMBC. b,c
Penetapan dapat dipertukarkan dalam kolom yang sama.
Jika perbedaan antara epimer mayor dan minor
yang dihasilkan dari konfigurasi gugus hidroksil
hemiasetal, konstanta kopling dari H-20α/H-21α dan H-
20α/H-21β harus secara umum berubah, saat pola
pemisahan H-23 dari dua epimer mirip. Bagaimanapun,
sinyal H-21 dari dua epimer tumpang tindih pada δH 5,43
dalam spektrum 1H NMR senyawa 2, sejak dua proton
hemiasetal ini hampir seluruh pergeseran kimianya sama
dalam CDCl3. Oleh karena itu, beberapa perbedaan
dalam konstanta kopling H-20α/H-21α dan H-20α/H-21β
dari dua epimer ini tidak jelas. Dengan kata lain, baik
pergeseran kimia dan pola pemisahan dari H-23 dalam
epimer ini secara jelas berbeda (Tabel 5.3).
Berdasarkan pengamatan spektroskopik ini, ada
juga kemungkinan gagasan bahwa konfigurasi relatif dari
C-23 dapat dibedakan dalam epimer ini, walaupun
kemungkinan besar pada karbon hemiasetal dari titik
kestabilan kimia. Oleh karena itu, aglaiaglabretol B (2) di
asetilasi menggunakan asetat anhidrid dan piridin.
OH-
21
3,06, br s 3,02, br s
1’ 167,79 s 167,79
s
2’ 129,27 s 129,27
s
3’ 6,83, dq (7,1, 1,3) 136,48
d
6,83, dq (7,1, 1,7) 136,48
d
4’ 1,78, d (7,1) 14,31 q 1,78, d (7,1) 14,31 q
5’ 1,83, br s 12,09 q 1,83, s 12,09 q
Senyawa Sitotoksik dari Kulit … 91
Gambar 5.5. 7,21-diasetat (2b dan 2d), 21-monoasetat
(2a dan 2c), dan 7,21-dehidroaglaiagla-bretol
B (2e) (Su et al, 2006).
Empat produk asetilasi, dua 7,21-diasetat (2b dan
2d) dan dua 21-monoasetat (2a dan 2c), dihasilkan.
Konstanta kopling antara H-20 dan H-21 dalam semua
produk asetilasi (2a-2d) sangat dekat, antara 2,7-3,2 Hz.
Hasil ini masih belum menunjukkan apakah bagian
epimerik dalam Aglaiaglabretol B (2) pada C-21 atau C-
92 Desi Harneti P.H.
23. Sebab itu, Aglaiaglabretol B (2) di oksidasi
menggunakan CrO3, membawa hanya pada satu produk
oksidasi, 7,21-dehidroaglaiaglabretol B (2e), yang
menetapkan bahwa epimer dalam Aglaiaglabretol B (2)
ada pada C-21. Berdasarkan hasil transformasi kimia
yang dijelaskan di atas, seperti halnya pola pemisahan
dan konstanta kopling H-21 dan H-23 dari senyawa 2
(Tabel 3) dan 2a-2d, dapat disimpulkan bahwa cincin
tetrahidrofuran memiliki perbedaan konformasi ketika
OH-21 atau AcO-21 adalah orientaasi α- atau β- (Gambar
3.6)
Gambar 5.6. Kemungkinan konformasi dari cincin
tetrahidrofuran dalam aglaiaglabretol B (2)
ketika H-20 dan H-21 adalah trans (A) dan cis
(B), berturut-turut (Su et al, 2006).
Dengan cara yang sama seperti untuk
aglaiaglabretol A (1), H-17 dan H-20 dari semua triterpen
glabretal yang dilaporkan sebelumnya (Ferguson et al.,
1973; Kashiwada et al., 1992; Miller et al., 1995;
Harding et al., 2001) telah ditetapkan sebagai β dan α,
berturut-turut. Informasi ini, digabung dengan
pengamatan korelasi NOESY dari H-20 ke H-23,
ditentukan bahwa baik H-20 dan H-23 dari senyawa 2
adalah orientasi α. Atas dasar biogenesis, stereokimia
relatif dari C-24 senyawa 2 ditetapkan sebagai R, yang
Senyawa Sitotoksik dari Kulit … 93
sama seperti pada senyawa 1. Pergeseran kimia karbon
hemiasetal (C-21) dari triterpen glabretal ada dalam
daerah lebih up-field ketika gugus OH-21 atau AcO-21
memiliki orientasi β (Harding et al., 2001). Proton H-21
dari 2a dan 2b, dan dari 2c dan 2d, ditentukan sebagai α
dan β, berturut-turut, berdasarkan perbandingan
pergeseran kimia C-21 dari produk asetilasi ini. (Harding
et al., 2001).
Aglaiaglabretol C (3)
Gambar 5.7. Struktur Aglaiaglabretol C (3) (Su et al,
2006).
Kedua data 1H dan
13C NMR dari aglaiaglabretol
C (3) (tabel 4) sangat mirip dengan senyawa 2. Korelasi
yang diamati dalam spektra 2D NMR 1H-
1H COSY,
HMQC, HMBC, dan NOESY juga menduga keberadaan
suatu gugus β-tigloiloksi pada C-3 dan suatu gugus α-
hidroksi pada C-7 dalam molekul senyawa 3, sama
seperti pada senyawa 2. Pergeseran kimia dari C-24 (δC
67,66) dan C-25 (δC 58,05) dari senyawa 2 diamati dalam
daerah downfield (δC 74,80 dan 73,74) dalam spektrum 13
C NMR senyawa 3. Hal ini menunjukkan bahwa suatu
gugus fungsional 24,25-dihidroksi dalam 3 telah
menggantikan gugus 24,25-epoksi dalam senyawa 2.
HRESIMS (m/z 611,3903) digunakan untuk
menunjukkan rumus molekul senyawa 3 sebagai
94 Desi Harneti P.H.
C35H56O7, satu unit H2O lebih banyak daripada senyawa
2. Aglaiaglabretol C (3) juga diisolasi sebagai suatu
campuran epimer, dan rasio isomer mayor dan minor
sekitar 5:1. Hanya data 1H dan
13C NMR dari epimer
mayor yang ditunjukkan dalam Tabel 5.4. karena korelasi
2D NMR yang diamati untuk isomer tidak cukup jelas
untuk melengkapi penentuan yang akan di buat. Dalam
cara yang sama seperti penentuan senyawa 2 yang
dijelaskan di atas, stereokimia relatif dari C-20, C-23,
sdan C-24 dari senyawa 3 ditetapkan sebagai S, R, dan S,
berturut-turut.
Tabel 5.4. Data spektroskopik NMR dari Senyawa 3a
(Su et al, 2006).
Posisi Senyawa 3 (360/90 MHz)
δH δC
1 1,51-1,74, m; 1,02-1,06, m 38,25 t
2 1,51-1,74, m 23,45 t
3 4,49-4,58, m 80,72 d
4 37,53 sb
5 1,51-1,74, m 46,03 d
6 1,51-1,74, m 24,12 t
7 3,77, br s 74,35 d
8 38,84 sb
9 1,21-1,32, m 44,07 d
10 36,92 sb
11 1,21-1,32, m 16,30 t
12 1,86-2,00, m; 1,51-1,74, m 26,25 tb
13 28,84 s
14 37,11 sb
15 1,51-1,74, m; 1,21-1,32, m 25,67 tb
16 1,21-1,32, m; 0,84-0,91, m 27,46 t
17 2,19, m 44,91 d
18 0,67, br d (3,9); 0,47, d (4,5) 13,73 t
19 0,90, s 15,97 q
20 1,86-2,00, m 48,61 d
Senyawa Sitotoksik dari Kulit … 95
21 5,36, br s 97,29 d
22 1,86-2,00, m; 1,81, m 29,44 t
23 4,49-4,58, m 78,75 d
24 3,14, d (7,6) 74,80 d
25 73,74 s
26 1,26, s 26,72 q
27 1,30, s 26,78 q
28 0,90, s 16,86 q
29 0,88, s 27,80 q
30 1,03, s 19,51 q
OH-7 2,55, br sb
OH-21 5,08, br sb
1’ 167,88 s
2’ 129,16 s
3’ 6,83, dq (7,1, 1,2) 136,66 d
4’ 1,79, d (7,1) 14,36 q
5’ 1,83, s 12,09 q
a Spektra
1H dan
13C diperoleh dalam CDCl3 pada 360 dan 90 MHz,
berturut-turut; TMS digunakan sebagai standar dalam; pergeseran
kimia ditunjukkan dalam skala δ dengan harga J (Hz) dalam tanda
kurung. Penetapan berdasarkan pada spektra 1H-
1H COSY,
HMQC, dan HMBC. b
Penetapan dapat dipertukarkan dalam kolom yang sama.
Senyawa yang telah di ketahui yang di isolasi dari kulit
batang Aglaia crassinervia
Gambar 5.8. Struktur 3-epicabraleahidroksilakton (4)
dan cabraleahidroksilakton (5) (Su et al,
2006).
96 Desi Harneti P.H.
Senyawa 4 dan 5 menunjukkan spektra 1H dan
13C NMR yang mirip, dan memiliki rumus molekul yang
sama, C27H44O3, yang dibentuk untuk kedua senyawa
tersebut berdasarkan data HREIMS-nya. Perbedaan
pergeseran kimia NMR di antara dua senyawa ini jelas
terlihat pada proton dan karbon dari cincin A, terutama
pola pemisahan pada H-3. Interpretasi pengamatan
korelasi NMR 2D menunjukkan bahwa senyawa 4 dan 5
mempunyai struktur kasar yang sama sebagai tipe
dammaran nortriterpenoid tertentu. Sinyal H-3 diamati
sebagai dobel doblet pada δH 3,20 (J=10,9, 5,2 Hz) dan
suatu singlet lebar pada δH 3,39 dalam spektra 1H NMR
dari senyawa 4 dan 5, berturut-turut. Hal ini diduga
bahwa senyawa 4 dan 5 adalah epimer pada C-3, yang
telah ditegaskan oleh korelasi spektroskopik NOESY-
nya. Senyawa 4, 3-epi-cabraleahidroksilakton, dilaporkan
baru-baru ini sebagai suatu bahan alam baru dari minyak
benih Camellia japonica, rupanya setelah hidrolisis dari
asetatnya yang dimurnikan dari fraksi terasetilasi
(Akihisa et al., 2004). Senyawa 5, cabraleahidroksilak -
ton, di isolasi sebagai satu dari komponen utama dalam
penelitian ini. Senyawa ini telah dilaporkan sebelumnya
dari Cabralea polytricha (Cascon & Brown, 1972).
Gambar 5.9. Rokaglaol (6) (Su et al, 2006).
Senyawa Sitotoksik dari Kulit … 97
Senyawa lain yang telah diketahui yang
didapatkan dalam penelitian ini adalah rokaglaol (6)
(Ishibashi et al., 1993), cabraleadiol (Hisham et al.,
1996), 2β,3β-dihidroksi-5α-pregn-17(20)-(E)-en-16-on
(Inada et al., 1997), epiokotillol (Mohamad et al., 1999),
skopoletin (Lee et al., 2001), dan campuran β-sitosterol
(Kojima et al., 1990) dan stigmasterol (Kojima et al.,
1990), diidentifikasi dengan membandingkan data fisik
dan spektroskopik ([α]D, 1H NMR,
13C NMR, DEPT,
NMR 2D, dan MS) dengan harga yang telah
dipublikasikan.
Evaluasi Aktivitas Biologis
Semua isolat dan hasil transformasi kimia yang
didapatkan dalam penelitian ini dievaluasi aktivitas
sitotoksiknya terhadap beberapa sel kanker manusia.
Tabel 5.5. Aktivitas sitotoksik dari senyawa 2, 2c,
2d, 3 dan 6a (Su et al, 2006).
Senyawa
Sel kankerb
Lu1 LNCaP MCF-7 HUVEC
2 2,6 0,5 1,7 3,4
2c 6,2 3,8 2,5 8,7
2d 13,9 9,0 12,1 16,3
3 3,6 4,7 3,1 6,8
6 0,006 0,01 0,004 3,3
Paklitakselc 0,002 0,004 0,0006 0,09
Kampotekinc 0,01 0,01 0,01 0,09
a Semua isolat lain dan produk transformasi kimia yang didapatkan
dalam penelitian ini tidak aktif (ED50 > 5 µg/mL).
98 Desi Harneti P.H. b
Hasil ditunjukkan sebagai harga ED50 (µg/mL). Kunci untuk sel
kanker yang digunakan : Lu1, kanker paru-paru manusia; LNCaP,
kanker prostat manusia bergantung hormon; MCF-7, kanker
payudara manusia; HUVEC, sel endothelial pembuluh darah pusat
manusia. c Digunakan sebagai kontrol positif.
Di antara 12 isolat ini, dua triterpen glabretal
baru, aglaiaglabretol B (2) dan C (3), dan turunan
rokaglate yang telah diketahui, rokaglaol (6), ditemukan
aktif, sedangkan semua senyawa lainnya tidak aktif
(ED50 > 5µg/mL). Seperti ditunjukkan dalam Tabel 5,
rokaglaol (6) menunjukkan potensi sitotoksik. Harga
ED50 dari rokaglaol (6), melawan sel kanker manusia
yang digunakan (Lu1, LNCaP, dan MCF-7)
dibandingkan terhadap kontrol positif, paklitaksel
(Taxol®) dan kampotekin. Lebih lanjut, rokaglaol (6)
ditemukan secara selektif (>330) aktif melawan ketiga sel
kanker, saat dibandingkan dengan sel HUVEC non-tumor
(tabel 5). Kuantitas terbatas dari senyawa 6 yang di
isolasi tidak memungkinkan uji biologis tambahan untuk
dilakukan sebagai bagian dari penelitian ini.
Seperti dijelaskan di atas dalam penggambaran
elusidasi struktur dan analisis konfirmasi dari
aglaiaglabretol B (2), dengan maksud untuk menegaskan
struktur dan menganalisis konfirmasi dari cincin
tetrahidrofuran, senyawa ini diasetilasi dan dioksidasi.
Menariknya, dua dari empat produk asetilasi yang
didapatkan, 2c dan 2d, di mana OAc-nya orientasi α,
ditemukan aktif atau secara garis besar aktif. Secara
berlawanan, dua epimer lainnya, 2a dan 2b, tidak aktif.
Produk oksidasi 2e juga tidak aktif melawan sel kanker
yang digunakan.
Aglaiaglabretol B (2) menunjukkan aktivitas
penghambatan yang dapat dilihat hanya untuk sel kanker
Senyawa Sitotoksik dari Kulit … 99
payudara manusia (MCF-7) di antara tiga tipe sel yang
digunakan (kanker paru-paru manusia Lu1; kanker
prostat manusia bergantung hormon, LNCaP; dan MCF-
7) (gambar 3.10). Pada dosis 6,25, 12,5, dan 25 mg/kg
berat badan, aglaiaglabretol B (2) menunjukkan
penghambatan 37,4%, 41,2%, dan 66,2 %, berturut-turut,
dalam pertumbuhan sel MCF-7 yang diimplantasikan
dalam kompartemen intraperitoneal (ip). Bagaimanapun,
pada dosis 50 mg/kg berat badan, dua tikus mati dalam
kaitannya dengan toksisitas senyawa ini. Berlawanan
dengan itu, tidak ada efek penghambatan signifikan yang
diamati dalam kompartemen subcutaneous (sc) dari tikus
menggunakan sel MCF-7 dengan senyawa 2. Juga pada
dosis ini (6,25, 12,5, 25, dan 50 mg/kg berat badan),
tidak ada efek penghambatan signifikan yang diamati
baik pada kompartemen ip atau sc dari tikus untuk dua
tipe sel lain yang digunakan, Lu1 dan LNCaP.
100 Desi Harneti P.H.
Gambar 5.10. Efek dari aglaiaglabretol B (2) pada
pertumbuhan sel LNCaP, Lu1, dan MCF-7
yang diimplantasikan pada kompartemen
i.p (kolom padat) dan s.c (kolom terbuka)
dari NCr nu/nu tikus. Hewan ini mendapat
perlakukan dengan PBS (kontrol) atau
dosis yang diindikasikan dari aglaiaglabre
tol B (2) sehari sekali dengan suntikan
intraperitoneal dari hari ke-3 sampai 6
Senyawa Sitotoksik dari Kulit … 101
setelah implantasi. Pada hari ke-7, tikus
dikorbankan, dan seratnya diambil
kembali dan dianalisis. Hasil ditunjukkan
sebagai persentasi rata-rata dari pertumbu-
han sel relatif pada kontrol. Perubahan
dalam berat badan tikus pada akhir
eksperimen di catat pada bagian bawah
gambar. *Bagian yang mendapat
perlakuan secara signifikan berbeda dari
bagian kontrol (p < 0,01); ***Bagian yang
mendapat perlakuan secara signifikan
berbeda dari bagian kontrol (p < 0,0001)
menggunakan tes t Student’s , dengan n =
6 untuk bagian kontrol dan n = 3 untuk
bagian yang mendapat perlakuan.
102 Desi Harneti P.H.
(103)
BAB VI
AKTIVITAS INSEKTISIDA SENYAWA
FLAVAGLIN DARI KULIT BATANG
AGLAIA EDULIS TERHADAP LARVA
SPODOPTERA LITTORALIS
Aglaia edulis
BACHER dan kawan-kawan (1999) , meneliti
kandungan senyawa insektisal dari spesies Aglaia edulis.
Pada bagian ini akan dilaporkan latar belakang, metode
hasil penelitian dari Bacher dan kawan-kawan. A. edulis
adalah salah satu spesies dari keluarga Meliaceae.
Habitat alami dari Aglaia edulis tersebar dan jumlahnya
hanya sedikit. Ditemukan di hutan hijau primer sepanjang
pesisir pantai pada batu pasir atau tanah liat berpasir,
tanaman ini juga dapat ditemukan di hutan sekunder
India bagian barat, Bhutan, Cina bagian selatan, Hainan,
Vietnam, Kamboja, jazirah Burma (Myanmar), jazirah
Thailand, Pulau Nikobar, jazirah Malaysia, Sumatra,
Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Halmahera
dan Filipina.
Aglaia edulis memiliki nama umum sebagai
berikut :
- Filipina : curran kaniue (Tagalog)
- Indonesia : langsatan (Jawa)
- Thailand : kholaen (prachuap khiri khan)
104 Desi Harneti P.H.
Pada umumnya pohon ini berukuran kecil hingga
sedang, dengan tinggi mencapai 20 m, tinggi penopang
sampai 1.5 m, permukaan batang berwarna cokelat
kemerahan, cokelat kekuningan atau hijau keabuan, jika
mengelupas akan terlihat warna cokelat jingga di dalam
batangnya, batang bagian dalam berwarna merah muda
atau cokelat. Lembaran daun berjumlah 5-9(-11), tumbuh
berseling, dengan tulang daun sekunder berjumlah 5-16
pasang, pada umumnya memiliki banyak lubang pada
kedua bagian permukaannya. Jumlah mahkota bunga 5,
daun bunga 5-7, dan kepala putik 5.
Biji dari Aglaia edulis aman untuk dimakan.
Lapisan tertentu dari kayu dapat dijadikan obat untuk
diare. Kayu dari tanaman ini biasa dimanfaatkan untuk
pembuatan perahu, pembangunan jembatan dan rumah,
tetapi jumlahnya terbatas.
Taksonomi Aglaia edulis
Menurut Pannel (1992) taksonomi dari tanaman
Aglaia edulis adalah sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Orde : Sapindales
Keluarga : Meliaceae
Genus : Aglaia
Spesies : Aglaia edulis
Kandungan Kimia dari Aglaia edulis
Genus Aglaia secara fitokimia merupakan
penghasil senyawa dengan kerangka yang unik yaitu
kerangka siklopentatetrahidrobenzofuran. Salah satunya
kelompok senyawa rokaglamida. Rokaglamida dan
Aktivitas Insektisida Flavaglin … 105
turunannya memiliki sifat insektisidal alami yang sangat
kuat (Nugroho et al., 1998).
Kandungan utama metabolit sekunder dari Aglaia
edulis adalah kelompok senyawa benzo[b]oxepines,
siklopenta[b]benzofuran, siklopenta[bc]benzopiran, dan
golongan bisamida (Kim et al., 2005 ; Bacher et al.,
1999; Saifah et al., 1999).
Dari bagian daun A. edulis telah diisolasi tiga
senyawa kelompok bisamida, yaitu aglaiduline,
aglaithioduline dan aglaidithioduline. Struktur dari ketiga
senyawa-senyawa tersebut adalah sebagai berikut :
Gambar 6.1 Aglaiduline
Gambar 6.2 Aglaithioduline
Gambar 6.3 Aglaidithioduline
106 Desi Harneti P.H.
Ketiga senyawa di atas menunjukkan hasil negatif untuk
aktivitas antiviral terhadap virus herpes simpleks (Saifah
et al., 1999).
Dari batang Aglaia edulis Kim et al (2005)
berhasil mengisolasi dua senyawa turunan benzo[b] -
oxepines, Edulisone A dan B.
Gambar 6.4 Edulisone A (1)
Edulisone B (2)
Aktivitas sitotoksik dari kedua senyawa di atas diujikan
terhadap sel kanker manusia, tetapi keduanya tidak
menunjukkan aktivitas yang berarti.
Selain senyawa di atas, ada beberapa senyawa
golongan alkaloid yang berhasil diisolasi dari tanaman
Aglaia edulis :
Gambar 6.5 Edulimida
Aktivitas Insektisida Flavaglin … 107
Gambar 6.6 1,4-Butanediamine,
9CI;N,N'Bis(phenylacetyl)
Spodoptera littoralis
Spodoptera littoralis adalah suatu hama yang
tersebar secara luas di Asia dan Pasifik. Penyebaran
hama ini dikendalikan dengan baik secara biologis, tetapi
kadang penyebaran terjadi akibat adanya angin puyuh
atau tersebar dari dalam area terisolasi yang baru saja
dibersihkan. Akibatnya Spodoptera littoralis mempunyai
suatu cakupan tuan rumah yang luas.
Ngengat atau ulat daun oriental Spodoptera
littoralis adalah salah satu spesies dari keluarga
Noctuidae yang merupakan hama bagi tanaman
pertanian. Spodoptera littoralis ini juga dikenal sebagai
klaster ulat bulu, ulat daun kapas, ulat pemotong
tembakau, dan ulat tentara tropis. Di Indonesia
Spodoptera litura dikenal dengan sebutan Ulat Grayak.
Morfologi /Bioekologi Spodoptera littoralis
Telur Spodoptera littoralis berbentuk hampir
bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadang
108 Desi Harneti P.H.
tersusun 2 lapis), warna cokelat kekuning-kuningan,
berkelompok (masing-masing berisi 25 – 500 butir) yang
bentuknya bermacam-macam pada daun atau bagian
tanaman lainnya, tertutup bulu seperti beludru.
Gambar 6.7 Telur Spodoptera littoralis
Larva mempunyai warna yang bervariasi,
mempunyai kalung / bulan sabit warna hitam pada
segmen abdomen keempat dan kesepuluh. Pada sisi
lateral dan dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru
menetas berwarna hijau muda, bagian sisi cokelat tua
atau hitam kecokelatan dan hidup berkelompok.
Larva menyebar dengan menggunakan benang
sutera dari mulutnya. Ulat menyerang tanaman pada
malam hari, dan pada siang hari bersembunyi dalam
tanah (tempat yang lembab). Biasanya ulat berpindah ke
tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar.
Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah,
perbedaannya hanya pada tanda bulan sabit, berwarna
hijau gelap dengan garis punggung warna gelap
memanjang. Umur 2 minggu panjang ulat sekitar 5 cm.
Pupa, ulat berkepompong dalam tanah,
membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon) berwana
cokelat kemerahan dengan panjang sekitar 1,6 cm.
Aktivitas Insektisida Flavaglin … 109
(a) (b) (c)
Gambar 6.8 (a) larva instar 1&2, (b) larva instar 3, (c)
larva instar terakhir
Gambar 6.9 Pupa Spodoptera littoralis
Ngengat dengan sayap bagian depan berwarna
cokelat atau keperak-perakan, sayap belakang berwarna
keputihan dengan bercak hitam. Malam hari ngengat
dapat terbang sejauh 5 kilometer.
Siklus hidup berkisar antara 30 – 60 hari (lama
stadium telur 2 – 4 hari, larva yang terdiri dari 5 instar :
20 – 46 hari, pupa 8 – 11 hari). Seekor ngengat betina
dapat meletakkan telur 2.000 – 3.000 telur.
110 Desi Harneti P.H.
Gambar 6.10 Ngengat Spodoptera littoralis
Taksonomi Spodoptera littoralis
Taksonomi Spodoptera litura adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthtropoda
Kelas : Insekta
Orde : Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Genus : Spodoptera
Spesies : Spodoptera littoralis
Tanaman Inang
Hama ini bersifat polifag, selain tomat hama ini
juga menyerang kubis, cabai, buncis, bawang merah,
terung, kentang, kangkung, bayam, padi, jagung, tebu,
jeruk, pisang, tembakau, kacang-kacangan, tanaman hias,
gulma Limnocharis sp., Passiflora foetida, Ageratum sp.,
Cleome sp., dan Trema sp.
Gejala Serangan
Larva yang masih kecil merusak daun dengan
meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas,
transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja.
Larva instar lanjut merusak tulang daun. Gejala
Aktivitas Insektisida Flavaglin … 111
serangan pada buah ditandai dengan timbulnya
lubang tidak beraturan pada buah tomat. Biasanya
larva berada di permukaan bawah daun, menyerang
secara serentak berkelompok. Serangan berat
menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah
habis dimakan ulat, umumnya terjadi pada musim
kemarau.
Pengendalian
a). Kultur teknis
- Sanitasi lahan dari gulma,
- Pengolahan tanah yang intensif.
b). Pengendalian fisik / mekanis
- Pembutitan, mengumpulkan larva atau pupa
dan bagian tanaman yang terserang kemudian
memusnahkannya,
- Penggunaan perangkap feromonoid seks
untuk ngengat sebanyak 40 buah per hektare
atau 2 buah per 500 m2 dipasang di tengah
pertanaman sejak tanaman berumur 2
minggu.
c). Pengendalian hayati
Pemanfaatan musuh alami seperti :
patogen Sl-NPV (Spodoptera litura – Nuclear
Polyhedrosis Virus), cendawan Cordisep,
nematoda Steinernema sp., predator Sycanus sp.,
Andrallus spinideus, Selonepnis geminada,
parasitoid Apanteles sp., Telenomus spodopterae,
Microplistis similis, dan Peribeae sp.
d). Pengendalian kimiawi
Dalam hal cara lain tidak dapat menekan
populasi hama, digunakan insektisida yang
efektif, terdaftar dan diizinkan Menteri Pertanian.
112 Desi Harneti P.H.
apabila berdasarkan hasil pengamatan tanaman
contoh, intensitas serangan mencapai lebih atau
sama dengan 12,5 % per tanaman contoh.
Bahan dan Metode
Bahan Tumbuhan
Kulit Batang Aglaia edulis diperoleh dari
Thailand barat daya, dekat air terjun Khao Lan, Thap
Sakae, Prachuap Khiri Khan. Kode spesimen (HG 515),
disimpan di herbarium Institut Pertanian Universitas
Vienna (WU).
Alat
Peralatan yang digunakan antara lain:
Spektrometer resonansi magnet inti Bruker, AM 400
WB dan DPX 250. Spektrometer massa Finnigan MAT
900 S. Spektrofotometer Inframerah Perkin-Elmer 16 PC
FT-IR. Spektrofotometer UV Hewlett-Packard, 8452
Diode Array. Rotasi optik Perkin Elmer Polarimeter 241.
HPLC Hewlett-Packard 1090 II, UV dengan detektor
diode array dideteksi pada panjang gelombang 230 nm,
Kolom berukuran 250 x 4mm, Hipersil BDS C-18.5 mm,
menggunakan pelarut metanol (bergradien 60±100%)
dalam larutan buffer (0.0015 M o-asam fosphorat, 0.0015
M tetrabutilammonium hidroksida pH 3), dengan laju alir
1ml/menit.
Ekstraksi dan Isolasi
Sebanyak 263 gram kulit batang Aglaia edulis
yang sudah kering digiling dan diekstraksi dengan pelarut
metanol pada suhu ruangan selama 3 hari, kemudian
disaring dan diuapkan. Fraksi kloroform dari larutan
diuapkan hingga kering di bawah tekanan (berat fraksi
Aktivitas Insektisida Flavaglin … 113
sebesar 2400mg) dan dilanjutkan ke tahap pemisahan
kromatografi kolom (Merck silica gel 60,35-70 mesh)
dengan pelarut heksan, etil asetat dan metanol. Fraksi
tersebut dielusi dengan etil asetat p.a dan kemudian
dipisahkan dengan MPLC 30% (v/v) etil asetat dalam
heksan (kolom berukuran 400 x 38 mm, Merck
LiChroprep silica 60, 225-40 mm, detector UV, 254 nm)
dilanjutkan dengan KLT preparatif (Merck silica gel 60,
F254) dengan metanol 4% dalam kloroform, dihasilkan
24 mg aglaroksin- A(1), 3 mg Pannelin(2), 2 mg
isothapsakin-B (4), 5 mg homothapsakin-A (5), 22 mg
thapsakin-A 10-O-asetat (6), 4 mg thapsakon-A (7) dan 9
mg thapsakon-B (8). Pemurnian dilakukan berulang
dengan MPLC dengan 50% (v/v) etil asetat dalam
heksan( kolom berukuran 400 x 38 mm, Merck
LiChropep silika gel 60, 25-40mm, detektor UV 254 nm)
dihasilkan 41 mg thapoksepin-A (9), 7 mg
homothapoksepin-A (10), 5 mg thapoksepin-B (11) sama
seperti thapsakin-B yang murni (3), yang akhirnya
dimurnikan dengan metode KLT preparatif (dengan fase
gerak CH2CL2-Et2O-MeOH, 70:27:3) hingga menghasil-
kan 6 mg senyawa murni.
Uji Hayati Serangga
Larva S. littoralis diperoleh dari suatu koloni
laboratorium, dan dibesarkan pada suatu medium kacang
berdasarkan diet (asupan) yang disesuaikan (Srivastava
& Proksch, 1991). Uji hayati dengan pemberian makanan
kepada larva segar (n = 20) dimana sampel tersebut
dicampurkan ke dalam diet (asupan) yang disesuaikan
dengan beberapa variasi konsentrasi (0.05 sampai 50
g/g fr. wt) yang dilarutkan ke dalam pelarut Me2CO. Setelah 5 hari (cawan lembab, 29
oC) tingkat ketahanan
114 Desi Harneti P.H.
larva dan tingkat pertumbuhan larva diamati dan
dibandingkan dengan suatu kontrol yang hanya berupa
pelarut. Rokaglamida, aglafolin dan rokaglaol (yang
diisolasi dari akar A.odorata Lour yang diperoleh dari Ko
Samet, Thailand bagian tenggara, HG 501), dan
azadirachtin (>96%) dari Roth (Karlsruhe, Jerman)
digunakan sebagai pembanding. Kemudian dari kurva
respons serangga terhadap dosis tiap percobaan (dilaku -
kan 3x) kita mendapat harga LC50 dan EC50 dengan
menghitung analisis probit-log.
Hasil dan Pembahasan
Dengan menggunakan metode analisis HPLC UV
dengan diode array, dari ekstrak kasar akar A. Edulis
ditemukan 3 senyawa dalam jumlah besar, dan 8 senyawa
minor lainnya, yang diisolasi dengan MPLC preparatif.
Berdasarkan karakterisitik spektrum UV,
senyawa-senyawa tersebut memiliki 3 tipe yang berbeda,
yaitu :
1. Senyawa yang telah diketahui sebelumnya yang
memiliki λmax 298 nm (Brader et al., 1998) untuk
senyawa 2-6.
2. Spektrum yang hampir serupa, dengan sedikit
pergeseran ke arah λmax 304 nm untuk senyawa
7 dan 8.
3. Spektrum yang berbeda, dengan λmax 280 nm dan
2 karakteristik bahu pada 335 dan 297 nm untuk
senyawa 9-11.
Aktivitas Insektisida Flavaglin … 115
Gambar 6.11 Struktur senyawa 1-8 (Bacher et al,
1999)
116 Desi Harneti P.H.
Tabel 6.1 Data 1H NMR untuk senyawa 3-11 (Bacher et
al, 1999)
32
Aktivitas Insektisida Flavaglin … 117
Tabel 6.2 Data 13
C NMR untuk senyawa 3-11
(Bacher et al, 1999)
33
118 Desi Harneti P.H.
Spektrum inframerah untuk senyawa 3-11
ditunjukkan oleh pita tajam pada 3430 hingga 3436 cm-1
(CHCl3 atau CCl4) yang mengindikasikan adanya fibrasi
N-H pada amida sekunder. Pita yang khas pada 1754
hingga 1760 cm-1
(CHCl3 atau CCl4) dan 1216 hingga
1223 cm-1
(CCl4) pada senyawa mayor 6 dan 9
mengindikasikan adanya gugus ester pada posisi C-10,
sedangkan gugus okso yang berada pada posisi yang
sama pada senyawa 7 dan 8, menghasilkan sinyal yang
lemah pada 1746 cm-1
. Dalam persetujuan dengan hak
paten terbaru (Ciba-Geigy, 1996), dari data 1H dan
13C
NMR diketahui bahwa senyawa 1 adalah aglaroksin A
yang merupakan turunan dari siklopenta[b]benzofuran,
pada cincin A terdapat gugus metoksi dan metilendioksi,
dan dimetil amida sederhana pada posisi 2. Dan dari data 1H dan
13C NMR, berdasarkan C,H-COSY, diketahui
bahwa senyawa 2 adalah pannelin (Brader et al., 1998).
Senyawa 3-6 menunjukkan adanya hubungan
dekat antara karakteristik 1H dan
13C NMR: resonansi
khas untuk 6-metoksi-7,8-metilendioksi yang tersubtitusi
pada cincin A, subtitusi para- pada cincin B (Ar’) dan
fenil pada cincin C (Ar”), telah digambarkan pada
senyawa pannelin (2), mereka memiliki amida yang
terhubung dari gugus karboksilat dari rangka flavaglin ke
turunan putresin 2-aminopirolidin yang terhubung kem-
bali dengan asam 2-metilpropanoat (senyawa 3,4 dan 6)
atau dengan asam 2-metilbutanoat (senyawa 5). Hubu-
ngan selanjutnya adalah dengan bisamida odorin, pem-
bentuk piriferin, keduanya mengandung asam sinamat
sebagai pengganti asam jenis flavaglin yang telah
beberapa kali ditemukan pada tanaman spesies Aglaia.
Senyawa 3-6 memiliki rangka siklopenta[bc]benzopiran
(2,5-metano-1-benzooksepin), hal ini diketahui dari data
Aktivitas Insektisida Flavaglin … 119
1H dan
13C NMR dan juga menggunakan teknik 2
dimensi, terutama NOESY dan HMBC. Flavaglin tipe ini
telah digambarkan untuk senyawa aglain A, B dan C dari
A. Argentea Blume (Dumontet et al., 1996).
Bagaimanapun, turunannya memperlihatkan bahwa tidak
ada gugus metilendioksi pada cincin A, dan mereka
terhubung dengan odorine-like bisamida. Dalam kasus ini
struktur bisamida piriferine-like jauh lebih besar.
Siklopenta[bc]benzopiran dan siklopenta[b]ben-
zofuran memiliki struktur yang berhubungan dekat:
pembentuknya mungkin dikonversi menjadi bentuk
selanjutnya dengan pembukaan ikatan 5-5a dan
penutupan 5a-10. Hal tersebut kemungkinan terjadi
melalui penataulangan ion karbenium setelah kehilangan
gugus OH pada posisi 10. Model dreiding menunjukkan,
bahwa saat penataulangan terjadi, konfigurasi pada C-2
kuartener (posisi 4 dalam penomoran siklopenta[b]benzo-
furan) mengalami perubahan dalam kedua struktur. Hal
ini penting, karena konfigurasi absolut dari siklopenta[b]
benzofuran flavaglin telah diketahui dari sintesis
enansioselektif rokaglamida. Jika sistem siklopenta[bc]-
benzopiran terhubung dengan topologi dari sistem
siklopenta[b]benzofuran, jembatan C-10 antara C-2 dan
C-5 dari cincin oksa-siklohepten mengarah ke atas. Seba-
gai konsekuensi, subtituen 2-(p-metoksifenil) dan 5 gu-
gus OH- harus menghadap ke bawah (posisi α). Subtitu-
en pada C-3 dan C-4 dengan berbagai macam posisi α
atau β sekarang bisa berkorelasi dengan konfigurasi
absolut dari subtituen ujung depan jembatan. Dalam kata
lain, dari data NMR, konfigurasi relatif dapat diperoleh,
konfigurasi absolut (yang terlihat dalam formula
struktural) diperoleh dari konfigurasi absolut siklopenta-
[b]benzofuran flavaglin yang telah diketahui.
120 Desi Harneti P.H.
Resonansi 1H dan
13C NMR ditentukan dengan
korelasi 2 dimensi(C,H-COSY, H,H-COSY HMBC, dan
NOESY) dan terdata dalam Tabel 3.1 dan 3.2. Konfigu-
rasi relatif dari variasi posisi C-3 (cincin fenil), C-4
(amida), C-10 (OH atau OAc), dan diastereomer labil C-
13 (antara 2 atom N) ditentukan dengan NOESY. Dalam
kasus senyawa nomor 3 (campuran A:B = 5:3), signal
NOESY 3-H/2’6’-H, 2”6”-H, dan 10-OH mengindikasi-
kan posisi 3β untuk proton pada C-3 dan penataulangan
endo dari 10-OH relatif menjadi 3β-H. Signal 4-H/2”6”-
H, 13-H, 5-OH, NH untuk senyawa 3A dapat ditukar
dengan 4α-H dan konfigurasi 13 S pada C-13. Orientasi
spesial dari rantai samping bisamida dapat digunakan
untuk membedakan konfigurasi 13 S dan 13 R dengan
signal NOESY: hanya konfigurasi 13 S yang menggam-
barkan signal 13-H/4-H dan 20,21-H3/2”6”-H.
Komponen inti 3A menunjukkan signal 13-H/4-H, 14-H,
15-H, NH dan 20,21-H3/19-H, NH, 2”6”-H. Untuk
komponen minor 3B tidak ada signal 13-H/4-H dan
20,21-H3/2”6”-H yang teramati. Senyawa 3A dan 3B
menjadi campuran epimerik dengan konfigurasi 13 S
(3A) dan 13 R (3B).
Senyawa 4 berbeda dengan senyawa 3 dengan
perubahan konfigurasi dari gugus OH pada jembatan C-
10. Hal ini dapat disimpulkan dari signal 3-H/10-H dapat
membuktikan 3β-H dengan hubungan endo untuk 10-H
(atau ekso- untuk 10-OH). Signal yang kuat dari 4-
H/2”6”-H mengindikasikan konfigurasi 13 S (semua pun-
cak silang NOESY senyawa 3 dan 4 secara virtual adalah
sama). Tidak berbeda dengan senyawa 3,4 dan 6,
senyawa 5 memiliki tipe rantai samping odorin dan
berbeda dari aglain C, hanya dengan adanya kehadiran
gugus metilendioksi pada cincin A. Semua data 1H dan
Aktivitas Insektisida Flavaglin … 121
13C NMR dari senyawa 5 serupa dengan aglain C. Signal
H-3/2’6’-H, 2”6”-H dan H-4/13-H, 2”6”-H, 10-OH
membuktikan bahwa struktur digambarkan dalam
dugaan formula dengan pola substitusi 3α-H dan 4β-H.
Konfigurasi 13 S mengikuti hubungan NOESY 4-H/13-H
dan ini mengindikasikan signal NOESY 21-H3 / 2”6”-H
(dibandingkan dengan Dumontet et al., 1996). Perubahan
dari konfigurasi relatif C-3 dan C-4 tercerminkan pada
nilai konstan kopling J(3,4) sebesar 6.0 Hz pada
senyawa 3 dan 5.1 Hz pada senyawa 4 (kedua 3β, 4α),
tetapi bernilai 10.0 Hz pada senyawa 5 (3α, 4β).Harga
konstan kopling J(3,4) = 9.6 Hz untuk asetat pada
senyawa 6 menyiratkan konfigurasi 3α-H dan 4β-H yang
mengikuti signal NOESY yang diharapkan. Ketertarikan
khusus ada untuk hubungan NOESY antara gugus 10-
asetat dan C-3 pada cincin fenil tidak tersubstitusi. Signal
10-asetil/2”6”-H dan 2”6”-H/3-H, 4-H, 10-asetil, 20-H3,
21-H3 membuktikan adanya posisi endo dari 10-
OCOCH3 dan konfigurasi 13 S yang memungkinkan
pendekatan gugus 20,21-dimetil pada cincin fenil tidak
tersubstitusi (proton 4-H dan13-H yang berdekatan
menunjukkan hubungan yang diharapkan dari signal 4-
H/13-H).
Untuk senyawa 7 dan 8, spektrum 1H NMR
jembatan metin proton C-10 (H, OH) hilang. Sejak
munculnya resonansi keto pada spektrum 13C NMR,
10-OH telah dioksidasi menjadi karbonil keto. Data
HMBC dan NOESY menunjukkan adanya resonansi dan
penentuan konfigurasi rantai samping 13 S. Bagaimana-
pun, konfigurasi relatif dari C-3 dan C-4 tidak dapat
diperoleh dari data ini, karena ketiadaan proton pada
jembatan C-10 tidak dapat memperlihatkan korelasi
NOESY dengan orientasi proton β pada C-3 dan C-4.
122 Desi Harneti P.H.
Masalah ini dapat diselesaikan dengan baik dengan
menggunakan Eu(fod)3 sebagai reagen penggeser.
Meskipun senyawa 7 dan 8 polifungsional, hampir semua
koordinasi terjadi pada gugus fungsi 10-keto. Eter
menunjukkan kordinasi konstan yang sangat kecil, begitu
juga dengan amida, dan alkohol tersier yang biasanya
menunjukkan sedikit koordinasi untuk reagen penggeser
lantanida dibandingkan dengan keton. Jika diasumsikan
bahwa lanthanida induced shifts (LIS) untuk 3-H dan 4-
H disebabkan karena koordinasi pada C-10 keto karbonil,
hasil LIS memungkinkan interpretasi secara langsung.
Proton 4-H pada senyawa 7 menunjukkan harga LIS
yang lebih besar daripada 3-H (4-H 0.43 ppm, 3-H 0.27
ppm), untuk senyawa 8 didapat hasil yang bertolak-
belakang (4-H 0.34 ppm, 3-H 0.67 ppm), ini hanya dapat
dipertukarkan dengan konfigurasi 3α-H, 4β-H pada
senyawa 7 dan konfigurasi 3β-H, 4α-H pada senyawa 8
karena harga LIS yang lebih besar adalah salah satu
kemungkinan untuk posisi β menghadap ke arah keto
karbonil yang juga dalam posisi β. Dalam konteks ini,
proton 3-H dan 4-H adalah yang paling penting. Melihat
nilai LIS untuk senyawa 8, didapat fakta yang lebih
lanjut, untuk beberapa alasan sterik, koordinasi yang
pantas dipertimbangkan mengambil tempat di posisi 15
karbonil amida. Hal ini mengindikasikan bahwa
tingginya nilai LIS untuk 13-H, 19-H, dan untuk kedua
gugus metil (20- dan 21-CH3) dari senyawa 8.
Bagaimanapun, ukuran koordinasi independen kedua
sangat jauh dari proton 3-H dan 4-H dan harus
mempunyai pengaruh kecil pada harga LIS proton
terhadap kompleksasi utama pada karbonil keto 10.
Data 1H dan
13C NMR dari senyawa 9-11
menunjukkan banyak karakteristik senyawa kelompok
Aktivitas Insektisida Flavaglin … 123
flavaglin 1-8, contohnya: substitusi metilendioksi-
metoksi pada cincin aromatik A, substitusi para-metoksi
pada cincin B (Ar’), cincin fenil sederhana cincin C
(Ar”), dan pasangan metin (3-H, 4-H), berkopling dengan
sesamanya.
Gambar 6.12 Struktur senyawa 9-11 (Bacher et al, 1999)
Senyawa 9-11 menunjukkan karakteristik sinyal
tipe piriferin, di mana senyawa 10 terkarakterisasi adanya
rantai samping analog odorin turunan bisamida. Diban-
dingkan dengan keton pada senyawa 7 dan 8, pada
senyawa ini karbonil dari keto hilang, bagaimanapun,
tipe resonansi baru untuk gugus –COOCH3 muncul pada
spektrum 1H dan
13C NMR (karbonil ester dan gugus es-
ter OCH3; bandingkan dengan tabel 3.1, 3.2 dan data IR).
Hal ini merekomendasikan sebuah struktur yang mung-
kin turunan dari siklopenta[bc]benzopiran tipe flavaglin
dengan pembukaan oksidatif pada jembatan 2,5-metano.
Dua turunan yang serupa, yaitu forbaglin A dan B, yang
124 Desi Harneti P.H.
telah dilaporkan sebelumnya oleh Dumontet et al (1996),
berbeda hanya pada konfigurasi C-13 (berturut-turut
epimer 13 R dan 13 S). Dalam kasus ini, senyawa 9 dan
11 diperoleh sebagai campuran epimer, dan epimer 13 S
memiliki jumlah yang lebih besar. Dengan berdasarkan
konfigurasi absolut siklopenta[b]benzofuran flavaglin
yang telah diketahui, dan konfigurasi relatif yang
diperoleh dari kristalografi sinar-X, konfigurasi absolut
pada C-13 ditentukan sebagai 13 R untuk forbaglin A
(Dumontet et al., 1996). Satu karakteristik dari epimer 13
R yaitu 19-H3 dari odorin untuk cincin fenil (Ar”) tidak
tersubstitusi, adalah pendekatan paling baik yang
ditunjukkan pada spektrum NOESY sebagai forbaglin A.
Dari kasus komponen minor piriferin diperoleh senyawa
9B dan 11B, efek yang serupa dipelajari untuk 19-H/20-
H3 dari rantai samping dan cincin Ar”. Kedudukan 13 S
untuk epimer A dan 13 R untuk epimer B didukung oleh
adanya perbedaan karakteristik 13
C NMR untuk kedua
bentuk. Terutama pergeseran C-14 dan C-15 untuk
semua flavaglin oksepin, cocok untuk membedakan
konfigurasi 13 S dan 13 R; C-14: 33.6-34.4 (13 S), 30.8-
31.7 (13 R); C-15: 21.2-21.8 (13 S), 0, 23.0-23.7 (13
R),semua data dibandingkan dengan tabel 3.2 senyawa 3-
11. Dengan pengecualian dari cincin A (dan piriferin
yang didapat dari rantai samping senyawa 9), resonansi 13
C NMR untuk konfigurasi 13 S senyawa 9A, 10 dan
forbaglin B secara virtual adalah sama (hal ini juga benar
untuk senyawa 9B dan forbaglin A). Konfigurasi relatif
pada posisi 3 dan 4 adalah identik untuk senyawa 9, 10,
dan untuk semua forbaglin (3α-H dan 4β-H).
Senyawa 11 (13 S/13 R A/B) terbukti berisomer
dengan senyawa 9 (A/B). Hal ini diindikasikan dari berat
molekul yang identik dan spektroskopi massa tanpa ada
Aktivitas Insektisida Flavaglin … 125
perbedaan yang besar antara senyawa 9 dan 11. Data 13
C
NMR senyawa 11 A/B dan 9 A/B berbeda sedikit tetapi
cukup signifikan. Pada spektrum 1H NMR terutama pada
pergeseran kimia proton 3-H dan 4-H ditunjukkan adanya
perbedaan nilai pergeseran kimia yang menghasilkan
kesimpulan bahwa substitusi rantai samping dari gugus
fenil Ar” dan bisamida mungkin berbeda pada senyawa 9
dan 11. Dengan prinsip, bahwa beberapa hubungan
isomerik adalah mungkin pada posisi C-3 dan C-4,
epimer dengan mengubah konfigurasi dari substituen,
diastereomer dengan mengubah kedua konfigurasi (3β-H
dan 4α-H seperti pada senyawa 3,4 dan 8), atau isomer
konstitusional dengan menukar substituen 3-bisamida, 4-
fenil, seperti yang tekah dijelaskan untuk aglaforbesin A
dan B (Dumontet et al., 1996). Buruknya, tidak ada bukti
dari NOESY atau HMBC yang mungkin untuk membuk-
tikan struktur isomerik secara langsung dan dengan cara
yang berdiri sendiri. Bagaimanapun dari semua data
NMR senyawa flavaglin, hanya perubahan konfigurasi
dari C-3 dan C-4 yang menghasilkan diastereomer 3β-H
dan 4α-H yang dapat dipertukarkan dengan data dari
senyawa 11. Dari semua senyawa flavaglin yang telah
diketahui saat ini (termasuk siklopenta[b]benzofuran),
proton benzilik ditemukan pada pergeseran kimia yang
lebih besar daripada proton metin pada atom karbon
yang mengandung rantai samping amida. Dalam kasus
senyawa 11 A/B proton berada pada δ 5.30/5.28. Dalam
semua kasus diukur untuk flavaglin tipe benzoksepin
dengan cincin fenil pada posisi 3, proton metin benzilik
menunjukkan hubungan NOESY dengan kedua cincin
aromatik B dan C (Ar’ dan Ar”). Puncak silang dari
NOESY ini tidak mungkin untuk cincin fenil tidak
tersubstitusi pada posisi C-4 (bandingkan dengan 4-fenil-
126 Desi Harneti P.H.
3-bisamida yang mensubstitusi aglaforbesin). Untuk
kasus senyawa 11 A/B puncak NOESY dari 3-H benzilik
dengan 2’6’ dan 2”6” membuktikan posisi 3 untuk
substituen fenil dan posisi 4 untuk substituen bisamida.
Nilai konstan kopling J(3,4) yang hanya berbeda sedikit
dalam senyawa 9 dan 11 adalah karakteristik untuk
penataan transoid proton 3-H dan 4-H. Kemungkinan
isomerik yang tertinggal adalah struktur diastereomer
dengan konfigurasi 3β-H dan 4α-H untuk senyawa 11
dibandingkan dengan 3α-H dan 4β-H pada senyawa 9.
Dukungan lebih lanjut bahwa 11 adalah bukan isomer
konstitusional dari senyawa 9 adalah puncak silang 10-
OCH3/2”6” untuk senyawa 9 dan 11, yang mengindikasi-
kan adanya hubungan antara – COOCH3 dan gugus fenil
pada C-3. Pada intinya, hal yang harus digaris bawahi
dari semua ini adalah bahwa semua flavaglin benzokse-
pin dalam penelitian ini mengisolasi turunan 3α-H, 4β-H
dalam jumlah lebih banyak daripada diastereomer 3β-H,
4α-H (senyawa 5 dan 6 bertentangan dengan senyawa 3
dan 4, dan pasangan diastereomer 7/8 dan 9/11).
Terbentuknya flavaglin siklopenta[b]benzofuran
(senyawa 1,2) dengan benzo[bc]piran tersubstitusi (se-
nyawa 3-8), dan turunan benzoksepin (9-11) dari A.
edulis menghasilkan suatu pola biogenetik umum.
Biogenetik ini didukung oleh laporan sebelumnya dari A.
argentea dan A. Forbesii, di mana flavaglin dari ketiga
tipe struktur menunjukkan pola substitusi umum dari
cincin aromatik yang diperoleh dari A.edulis mengalami
dimetoksilasi cincin. Dalam jalur biosintetik inti
flavonoid akan bergabung dengan asam sinamat untuk
membentuk rangka siklopentabenzo[bc]piran. Transfor-
masi dari rangka siklopentabenzo[bc]piran menjadi siklo-
Aktivitas Insektisida Flavaglin … 127
penta[b]benzofuran dapat dijelaskan dengan pembukaan
ikatan 5a dan penutupan 10-5a, di mana benzo[b]oksepin
dapat diperoleh dari oksidasi pemaksapisahan dari
jembatan 2,5-metanol dengan 5-10 (Gambar 6.13).
Gambar 6.13 Hubungan biosintetik antara rangka
Flavaglin (Bacher et al, 1999)
Seperti dari laporan sebelumnya, 2 flavaglin dengan
rangka benzofuran yaitu aglaroksin A (senyawa 1) dan
pannelin (senyawa 2) (Brader et al., 1998), diketahui
memiliki sifat racun serangga yang sangat signifikan
terhadap larva S. littoralis. Sebaliknya turunan
benzopiran (senyawa 6) dan turunan benzoksepin
(senyawa 9) tidak menunjukkan efek yang signifikan
(tabel 3.3). Turunan benzofuran yang sudah tidak asing
128 Desi Harneti P.H.
lagi yaitu rokaglamida, aglafolin dan rokaglaol yang
diisolasi dari akar tanaman A.odorata Lour dijadikan
perbandingan untuk nilai LC50 dan EC50. Dan senyawa
limonoid azadirachtin dijadikan sebagai kontrol positif.
Seperti yang dapat kita lihat pada Tabel 3.3, tingkat keta-
hanan dan perhambatan pertumbuhan dari senyawa
turunan benzofuran serupa dengan rokaglamida sebagai
Senyawa
Tingkat
ketahanan
LC50 (95%
FLa) g/g
fr.wt
Perhambatan
pertumbuhan
EC50 (95% FLb)
g/g fr.wt
Aglaroksin A (1)
Pannelin (2)
Thapsakin-A 10-O-
asetat (6)
Thapoksepin-A (9)
Rokaglamida
Aglafolin
Rolaglaol
Azadirachtin
(2.2-5.2)
2.1 (1.2-
4.3)
>50
>50
1.1 (0.8-
2.6)
2.9 (2.6-
3.1)
>20
6.1 (4.1-
11.0)
0.21 (0.19-0.22)
0.24 (0.20-0.29)
>50
>50
0.14 (0.12-0.17)
0.25 (0.19-0.31)
3.40 (2.08-5.95)
0.11 (0.05-0.17)
Tabel 6.3 Nilai LC50 dan EC50 dari flavaglin dan
azadirachtin terhadap larva neonatus
Spodoptera littoralis (Bacher et al,
1999).
Aktivitas Insektisida Flavaglin … 129
alarva neonatus S.littoralis dalam medium kacang (n=20)
diberikan artificial diet (3.8 g) yang dicampurkan
dengan beberapa konsentrasi sampel, setelah 5 hari
tingkat ketahanan dan pertumbuhannya ditentukan secara
triplo dan dibandingkan dengan kontrol. LC50 dan EC50
ditentukan dengan analisis probit-log bbatas fidusial
senyawa yang paling aktif, dan rokaglaol sebagai
senyawa turunan yang paling tidak aktif. Dengan
rocaglaol sebagai pengecualian, dapat kita simpulkan
bahwa semua turunan benzofuran memiliki tingkat
toksisitas terhadap serangga yang lebih tinggi daripada
azadirachtin.
130 Desi Harneti P.H.
(131)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, S.A. 2002. Peranan Kimia Bahan Alam dalam
Tanaman Berkhasiat Obat. Makalah Pembicara
Tamu Universitas Katholik Widya Mandala.
Anonim, 2006, Heart of Borneo: Sumber kekayaan
medis yang belum terungkap, diakses melalui :
http://www.wwf.or.id. [23-6-2006]
Anonim. 2003. Apa yang Harus Anda Ketahui Tentang
Kanker. http:// www. Indosiar. com/
Anonim. 2007.Kanker.http://www.wikipedia.com/kanker
Anonymous. 2005. Tanaman Obat Indonesia. Dalam
http://www.ppipteknet.co.id
Anonymous. 2006. Artemia salina-Sea monkey-
Anatomy-Taxonomy. Dalam
http://www.captain.at/artemiasalina-anatomy.htm
Bacher, M., O. Hofer., G. Brader., S. Vajrodaya., and H.
Greger. 1999. Thapsakins: possible biogenetic
intermediates towards insecticidal cyclopenta [b]
benzofurans from Aglaia edulis. Phytochemistry.
52, 253-263.
Benosman, A., Richomme, P., Sevenet, T., Perromat, G.,
Hadi, A.H.A., Bruneton, J., 1995. Tirucallane
triterpenes from the stem bark of Aglaia
leucophylla, Phytochemistry, 40(5), 1485-1487.
Brader, G., S. Vajrodaya., H. Greger., M. Bacher., H.
Kalchhauser., and O. Hofer. 1998. Bisamides,
lignans, triterpenes, and insecticidal cyclopenta
[b] benzofurans from Aglaia species. Journal
Natural Product. 61, 1482-1490.
132 Desi Harneti P.H.
Bray, D.H., D.C. Warhurst., J.D. Conolly., M.J. O’Neil.,
and J.D. Philipson. 1990. Plants as Source of
Antimalarial Drug. Pt. 7 activity of some species
Meliaceae plants and their constituent limoids.
Phytother. Res. 4, 29-35.
Chaidir., J. Hiort., B.W. Nugroho., F.I. Bohnenstengel.,
V. Wray., L. Witte., P.D. Hung., L.C. Kiet., W.
Sumaryono., and P. Proksch. 1999. New
insecticidal rocaglamide derivatives from
flowers of Aglaia duperreana. Phytochemistry 52,
837-842.
Christy, W. W. 2007. Plant Sterols and Related Lipids:
Structure, Occurrence, Biochemistry and Analysis.
Scottish Crop Research Institute. Scotland.
Cui, B., H. Chai., T. Santisuk., V. Reutrakul., N.
Farnsworth., G.A. Cordell., J.M. Pezzuto., and A.D.
Kinghorn. 1997. Novel cytotoxic 1H-
cyclopenta[b] benzofuran lignans from Aglaia
elliptica. Tetrahedron. 53, 17625-17632.
Djisbar, A., WAhyuni, S., dan Martono, B. 1999.
Koleksi Beberapa tanaman insektisida nabati
di BALITTRO. Pemanfaatan Insektisida Nabati.
Vol VI, 2, 10-15.
Dumontet, V., Thoison, O., Omobuwajo, O.R., Martin,
M. T., Perromat, G., Chiaroni, A., Riche, C., Pais,
M., & Sévenet, T. 1996. New Nitrogenous ang
aromatic derivates from A. Argentea and A.
forbesii.Tetrahedron, 52,6931-6942.
Fuzzati, N., W. Dyatmiko., A. Rahman., F. Achmad.,
and K. Hostettmann. 1996. Triterpenoid, lignans,
and a benzofuran derivative from te bark of
Aglaia elaeagnoidea. Phytochemitry. 42(5), 1395-
1398.
Daftar Pustaka 133
Guerrero, R.O. 2004. Bioactivities of latexes from
selected tropical plants. Plant Med. 9, 1-5.
Güssregen, B., M. Fuhr, B.W. Nugroho.,V. Wray, L.
Witte., and Proksch, P. (1997). J. of Bioscience
(Zeitschrift fur Naturforschung). 52C, 339-344.
Hakim, E.H. , 2002, Bioassay Sebagai Salah Satu
Tekhnik yang Dikembangkan dalam Kimia
Bahan Alam, Makalah Pembicara Tamu
Universitas Katholik Widya Mandala.
Harborne, J.B., 1987, Metode Fitokimia Cara Modern
Menganalisa Tumbuhan, Terbitan Kedua,
Bandung, ITB
Hayes, W.S. 1982. Pesticides Studied in Man.
Baltimore. William & Wilkiens.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia,
diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan
Jakarta. Koprasi Karyawan Departemen
Kehutanan. Jakarta.
Inada, A., H. Murata., Y. Inatomi., D. Darnaedi., and T.
Nakanishi. 1997. Pregnanes and triterpenoid
hydroperoxides from the leaves of Aglaia
grandis. Phytochemistry. 45(6), 1225-1228.
Inada, A., H. Nishino., M. Kuchide., J. Takayashu., T.
Mukainaka., Y. Nobukuni., M. Okuda., H.
Tokuda. 2001. Cancer Chemopreventive
Activity of Odorine and Odorinol from Aglaia
odorata. Biol. Pharm. Bull.24(11). 1282-1285.
Inada, A., K. Shono., H. Murata., Y. Inatomi., D.
Darnaedi., and T. Nakanishi. 2000. Three
putrescine bisamides from the leaves of
Aglaia grandis Phytochemistry. 53, 1091-1095.
134 Desi Harneti P.H.
Ishibashi, F., C. Satasook., M.B. Isman., and G.H.N
Towers. 1993. Insecticidal 1H-
cyclopentatetrahydro[b]benzofurans from
Aglaia odorata. Phytochemistry. 32, 307-310.
Janpraset, J., C. Satasook, P. Sukumalanad, D.E.
Champagne, M.B. Isman, P. Wiriachitra, and
G.H. Neiltowers.1992. Rocaglamide, A Natur
Benzofuran Insectiside from Aglaia odorata. Phytochem. 32, 67-69.
Katrin, E. 1997. Uji Bioaktifitas Sari Etanol beberapa
Tanaman Terhadap Sel Leukimia L 1210,
Cermin Dunia Kedokteran, 120. 1997. 40-44.
Khaomek, M., P. 2003. Chemical constituens of
Erythrina fusca and Erythrina suberosa stem
bark and their biological activities.
Pharmaceutical and natural products. ISBN :
974-17-51095.
Kim, S., B, Su., S, Riswan., L.B.S, Kardono., O.J,
Afriastini.,J.C Gallucci., H, Chai., N.R
Farnsworth., G.A Codell., S.M Swanson.,& D,
Kinghorn. 2005. Edulisones A and B, two
epimeric benzo[b]oxepine derivates from the
bark of Aglaia edulis. Tetrahedron, 46, 9021-
9024.
King, M.L., C.C. Chiang., H.C. Ling., E. Fujita., M.
Ochiai., and A.T. McPhail .1982. X-Ray
crystal structure of rocaglamide, a novel
antileukemic 1H-cyclopenta[b]benzofuran
from Aglaia elliptifolia. Journal of the Chemical
Society. 1150-1151.
Ko, F.N., T.S. Wu., M.J. Liou., T.F. Huang., and C.M.
Teng. 1992. PAF antagonism in vitro and in vivo
Daftar Pustaka 135
by aglafoline from Aglaia elliptifolia .European Journal of Pharmacology. 218, 129-135.
Kraus, W., Kypeke, K., Bokel, M., Griminger, W.,
Shawitsky, G., 1982, Surenolactone, a
noveltetranortriterpenoid A/B-dilactone from
Toona sureni (Meliaceae). Liebigs Ann. Chem. 1.
87-98.
Krishnaraju, A.V., T.V.N. Rao., D. Sundararaju., M.
Vanisree., H.S. Tsay., and G.V. Subbaraju. 2005.
Assessment of Bioactivity of Indian Medicinal
Plants Using Brine Shrimp (Artemia salina)
Lethality Assay. International Journal of Applied
Science and Engineering. 32.125-134
Lee, K. L., Cui, B., Mehta., R.R., Kinghorn, D., Pezzuto,
J.M. 1998. Cytostatic mechanism and antitumor
potential of novel 1H-cyclopenta[b]benzofuran
lignans isolated from Aglaia elliptica, Chemico-
Biological Interaction.115. 1998. 215-228.
Lenny, S. 2006. Senyawa Steroida dan Terpenoida.
Karya Ilmiah Departemen Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Mabberly, D.J., C.M. Pannel, and A.M. sing.1995.
Meliceae. Flora Malesiana. 12, 1-407.
McKee, T., McKee, R.J. 1999. Biochemistry: An
Introduction. Second Edition. McGraw-Hill
Companies. Boston
Meyer, B. N., N.R. Ferrigni., J.E. Putnam., L.B.
Jacobson., D.E. Nichols., and J.L. McLaughlin.
1982. Brine shrimp: a convenient general
bioassay for active plant constituents. Planta
Medica. 45, 31-34.
136 Desi Harneti P.H.
Nakatani, M., Abdelgalell, S.A.M., Saad. M.M.G.,
Huang, R.C., Doe, N., Iwagawa, T., 2004.
Phragmalin limonoids from Chukrasia
tabularis. Phytochemistry. 65. 2833-2841.
Nihal, A., and Mukhtar, H., 1999, “Green tea
Polyphenols and Cancer: Biologic
Mechanisms and Practical Implications”’
Nutrition Review, 1999 , 57 (3) : 67-78
Nugroho, B.W., B. Gussregen, V. Wray, G. Bringmann,
and P. Proksch. 1997. Insectisidal
Rocacgalamide Derivatives from Aglaia
eliptica and A. harmsiana. Phytochem. 45, 1579-
1585
Nugroho, B.W., R.A. Edrada, V. Wray, G. Bringmann,
M. Gehling and P. Proksch. 1999. An
Insectisidal Rocaglamide Derivative and
Related Compounds from Aglaia odorata.
Phytochem. 51, 367-376.
Nugroho, B.W., R.A. Edrada., B. Gussregen., V. Wray.,
L. Witte., and P. Proksch .1997. Insecticidal
rocaglamide derivatives from Aglaia
duppereana. Phytochemisty. 44,1455-1461.
Ohse, T., S. Ohba., T. Yamamoto., T. Koyano., K.
Umezawa. 1996. Cylopentabenzofuran lignan
protein synthesis inhibitors from Aglaia
odorata. Journal of Natural Products. 59, 650-
652.
Oka, I.N. 1994. Penggunaan Permasalahan serta
Prospek Insektisida Nabati dalam
Pengendalian Hama Terpadu. Bogor : Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Pannell, C.M. 1992. A Taxonomic Monograph of the
genus Aglaia Lour. (Meliaceae). Kew Bulletin
Daftar Pustaka 137
Additional Series XVI. Royal Botanic Gardens.
London.
Pinder, A. R. 1960. The Chemistry Of The Terpenes.
Chapman and Hall Ltd. London. pp. 326-365.
Proksch, P., R. Edrada., R. Ebel., F.I Bohnenstengel., and
B.W. Nugroho. 2001. Chemistry and biological
activity of rocaglamide derivates and related
compounds in Aglaia species (Meliaceae).
Current Organic Chemistry. 5, 923-938.
Roux, D., T. Martin., T. Adeline., T. Sevenet., H. Hadi.,
and M. Pais. 1998. Foveolins A dan B,
dammarane triterpenes from Aglaia foveolata.
Phytochemistry. 49(6), 1745-1748.
Ruslan, K., S. Soetarno, dan S. Sastrodihardjo. 1989.
Fitokimia : Insektisida dari produk alami. Pusat antar Universitas Bidang Ilmu Hayati, ITB
Bandung.
S. Omar, J. Zhang, et al. 2003. Traditionally-used
antimalarials from Meliaceae. Curr Top Med
Chem., 2003, 3(2), 133-139.
Saifah, E., R. Suttisri., S. Shamsub., T. Pengsuparp., and
V. Lipipun. 1999. Bisamides from Aglaia edulis.
Phytochemistry. 52, 1085-1088.
Sastrodihardjo, S dan S. Sastrowiyono. 1983. Kembali
Mencari Bahan Aktif Pestisida dari Bahan
Alam Tumbuhan. Media Pestisida. B. 25-26.
Sastrohamidjojo, H. 1995. Sintesis Bahan Alam. Edisi
pertama. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Schmutterer, H. 1990. Properties and potential of
natural pesticides from the neem tree
138 Desi Harneti P.H.
Azadirachta indica. Ann. Rev. Entomol.35 :
1271-1297.
Schmutterer, H. & R. P. Singh. 1995. List of insect pest
susceptible to neem products. In H.
Schmutterer (ed.), The Neem Tree- Source of
Unique Natural products for Integrated Pest
Management, Medicine, Industry and Other
Purposes. VCH, Weinheim, New York, Basel,
Cambridge, Tokyo.
Schoonhoven, L.M. 1982. Biological aspects of
antifeedants. Ent.Exp & Appl. 31 : 57-69.
Siswandono, dan Soekardjo, B. 1995. Kimia Medisinal.
University Airlangga Press. Surabaya.
Steven, M.C., 1993, Bioactive Natural Product :
Detection, Isolation, and Structural
Determination, CRC Press.
Su, B.N., Chai, H., Mi, Q., Riswan,S., Kardono,
L.B.S.,Afriastini, J.J., Santarsiero,B.D., Mesecar,
A.D., Farnsworth, N.R., Cordell, G.A., Swanson,
S.M., Kinghorn, A.D. 2006. Activity-guided
isolation of cytotoxic constituents from the
bark of Aglaia crassinervia collected in
Indonesia. Bioorganic and Medicinal Chemistry.
14, 2006, 960-972.
Syarif, A., dkk. 2004. Farmakologi dan Terapi. Bagian
Farmakologi. Fakultas Kedokteran. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Tsao, R., Coats J.R. 1995. Starting From Nature to
Make better Insecticides. American Chemical
Society. Chemtech. hal 23-28.
Weber, S., J. Puripattanavong., V. Brecht., and A.W.
Frahm. 1999. Phytochemical Investigation of
Daftar Pustaka 139
Aglaia rubiginosa. Journal Natural Product. 63,
636-642.
Wood, D.L., R.M. Silverstain., and M. Nakajima. 1970.
Control of Insects Behaviour by Natural
Product. Academic Press. New York.
Wu, T.S., M.J. Liou., C.S. Kuoh., C.M. Teng., T. Nagao.,
and K.H. Lee. 1997. Cytotoxic and antiplatelet
aggregation principles from Aglaia elliptifolia.
Journal Natural Product. 60, 606–608.
140 Desi Harneti P.H.
Daftar Pustaka 141
142 Desi Harneti P.H.
(141)
INDEKS
A
A.lepthantha, 3
Aglaia, 2, 3
aglaiaglabretol B, 3
Aglaiastatin, 3
antikanker, 2, 3
Aglaia elliptica, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 58, 61
antikanker, 49, 50, 54, 55, 59, 61
Aglaia odorata, 61, 62, 63, 65, 66, 67
antileukimia, 62
Aglaia cinerea, 81
Aglaia crassinervia, 81, 82, 83, 85, 101
Aglaia pyricarpa, 81
Aglaiaglabretol A, 85, 86, 87, 91
Aglaiaglabretol C, 85, 98, 99
Aglaia edulis, 107, 108, 109, 110, 111, 116, 117
Aglaidithioduline, 109, 110
Aglaiduline,, 109
Aglaithioduline, 109, 110
B
bisamida, 3
benzo[b]oksepin, 64
biosintesis, 61
benzo[b]oxepines, 109, 110
bisamida, 109, 123, 125, 128, 130
144 Desi Harneti P.H.
D
dammaran, 101
DNA, 5, 7, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 20.58, 61
DMBA, 66, 67, 70, 72, 73, 74
E
epimer, 94, 95, 97, 99, 101, 104
epiokotillol, 84, 102
Edulisone A dan B, 110
F
flavaglin, 123, 124, 128, 129, 130, 132, 133
H
hormone-dependent breast cancer, 53
hormone-dependent prostate cancer, 53
human epidermoid carcinoma), 53
human fibrosarcoma, 53
human melanoma, 53
human nasopharyngeal, 53
I
insektisidal, 49
K
kanker, 1, 2, 3, 4,5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 20,
21, 22, 23, 25, 41, 42, 44, 45
karsinogen, 7, 12, 13,68, 69, 70, 74, 75
kemoterapi, 9, 14, 15, 41
Indeks 143
L
Lansat-lansat, 81
Lantupak,, 81
M
Meliaceae, 2
metastasis, 6, 9, 22
metil rokaglat, 50
O
odorin, 62, 64, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 78,
80, 81
odorinol, 62, 64, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 78,
80, 81, 82
P
paklitaksel, 86, 104
P-388, 62
papiloma, 68, 69, 70, 71, 73, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 81
peroksinitrit, 69, 74, 79, 80
piriferin, 123, 128
R
rokaglaol, 3, 86, 102, 103
rokaglat, 3, 4
rokaglamida, 64, 65, 66
RNA,, 61
rokaglamida., 109, 124
144 Desi Harneti P.H.
S
sel Lu1, 83, 86
siklopenta[b]benzofuran, 3
siklopenta[bc]benzopiran, 64
siklopentatetra[b]hidrobenzofuran, 64
skopoletin, 85, 102
siklopenta[b]benzofuran, 50, 51, 53, 54
siklopenta[bc]benzopiran, 109, 124, 129
Siklopenta[bc]benzopiran, 124
siklopentatetrahidrobenzofuran, 109
Spodoptera littoralis, 107, 111, 112, 114, 115
T
tetrahidrofuran, 93, 97, 104
triterpenoid, 3
tumor, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 17, 24, 41, 43, 45
Tapsakin-A, 64, 65
tikus putih betina, 59, 60
tumor, 49, 50, 59, 60, 61
TPA, 66, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 74, 75, 77, 80
Sekilas Tentang Penulis
Pengajaran :
Pernah mengajar di Bimbingan Belajar Sony Sugema
College (1996-1998). Sejak tahun 1998 sampai sekarang,
mengajar di UNPAD dalam matakuliah : Kimia Dasar,
Kimia Organik, Kimia Bahan Alam dan Elusidasi
Struktur Senyawa Organik. Membimbing skripsi S-1.
Penelitian :
Pada tahun 1996, meneliti sintesis senyawa organik
bahan alam. Sejak tahun 2003 sampai sekarang meneliti
kandungan senyawa aktif dari tumbuhan Indonesia genus
Aglaia dan Toona.
Publikasi :
Seminar Nasional dan Internasional dan Laporan Riset.
Penulis adalah anak ke-9 dari pasangan Hoesbir Hoesein
dan Alinah Nurdin. Pada tahun 1999, menikah dengan
Urip Muryanto, S.Si., dan sekarang telah dikarunia satu
orang putri dan dua orang putra.
UNPAD PRESS ISBN 978-979-3985-55-8
Desi Harneti Putri Huspa, MSi.
Pendidikan :
1985 : SD ST. Agustinus Bandung
1988 : SMPN 2 Bandung
1991 : SMAN 2 Bandung
1996 : Sarjana Kimia Unpad (Cumlaude)
2001-2003 : Magister Kimia Organik ITB
(Cum Laude)