sepatu ciomas news

Upload: aswal-al-fakir

Post on 13-Oct-2015

69 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Berdikari Tanpa Bantuan BankKendati tak bisa mendapatkan bantuan kredit dan perbankan, namun bukan berarti semuanya kiamat, sebab faktanya banyak UMKM, salah satunya di Kabupaten Bogor bisa berdikari. Kesulitan mengakses kredit perbankan membuat para pelaku UMKM mencari jalan alternative mencari sumber pendanaan untuk meningkatkan modal usaha.Seperti yang dilakoni Acep, pengrajin alas kaki di Kecamatan Ciomas ini mendapatkan bantuan modal usaha dengan menjalin kerjasama dengan pemilik modal perorangan. Sejak membuka usahanya ia mengaku sama sekali tak tertarik meminjam modal ke bank.

Alasan Acep tak mau menjalin kerjasama dengan perbankan, lantaran takut dengan segala resiko yang bakal ditanggung, ketika usahanya mengalami kemunduran atau berhenti operasi. Selain alasan itu, ia mengungkapkan banyak persyaratan yang wajib dipenuhi, ketika ingin mengajukan kredit dari mulai harus adanya agunan hingga tingkat suku bunga yang tinggi.

Lebih enjoy dan tenang menjalin kerjasama dengan pemilik modal perorangan, sebab segala resikonya ditanggung bersama, begitu juga sebaliknya dengan pembagian keuntungan, semuanya kita bagi sesuai kesepakatan awal. Dan nyatanya langkah yang saya ambil itu cukup berhasil, karena kalau tidak mana mungkin bisa bertahan sampai sekarang, katanya.

Acep menjelaskan hampir semua pengrajian alas kaki di Kecamatan Ciomas ini, tak mau mengandalkan dunia perbankan untuk memperkuat kondisi permodalan usahanya.Ya mereka sama dengan saya mencari mitra bisnis untuk diajak usaha bareng. Keahlian dan lokasi yang kita miliki itu dijadikan modal awal, sementara untuk bahan baku dan peralatan dibebankan kepada pemilik modal,ujarnya.

Hal senada diungkapkan Ibad Badrusalam, pengrajin yang kini telah berganti posisi sebagai bos besar tas kulit yang berlokasi di Desa Tegal Waru, Kecamatan Ciampea. Memulai usaha sejak 12 tahun silam, anak pertama dari 12 bersaudara ini, tanpa pernah putus asa mengembangkan produk kerajinan tas kulit dan imitasi.

Bermodalkan uang tabungan sendiri, bos yang memiliki lebih dari 100 karyawan ini lambat laun jerih payahnya berbuah manis. Hebatnya lagi, kesuksesan yang kini ada digenggaman Ibad, sama sekali tidak ada campur tangan perbankan dalam mensuplai kebutuhan modalnya.

Ngeri pak, kalau misalnya pinjam duit ke bank untuk modal usaha, takut kalau nanti ada masalah semuanya kena imbasnya. Karena tahu sendiri kan, kalau kita tak mampu mengembalikan kredit, bisa-bisa semua yang kita miliki di sita, ungkapnya. Berpegang pada prinsip itu, Ibad belum berani membuka usahanya, meski ia sendiri telah mahir membuat tas dan tahu bagaimana cara memasarkanya. Selama menunggu modal minimal yang diinginkanya terkumpul, Ibad pun terpaksa menjadi kuli di orang lain. Agar mendapatkan upah yang besar, Ibad sengaja mengambil pekerjaan dengan sistem borongan. Bahan-bahan untuk membuat tas itu dibawa ke rumahnya dan dikerjakan bareng-bareng dengan anggota keluarganya yang lain.Kesabaran dan keuletan Ibad dalam menjalankan usaha kerajinan tas ini tak percuma. Kini dalam sebulan dia dan dibantu karyawannya bisa menyelesaikan sekitar 600 lusin tas dengan keuntungan bersih Rp 25 juta/bulan. Tas kulit dan imitasi hasil karya para pengrajin Ciampea ini menjadi etalase di beberapa toko besar yang khusus menjual produk tas, seperti di kawasan Tajur, Kota Bogor. Selain di jual ketoko-toko besar, tas produksi pengrajin Ciampea ini, dipasarkan juga kepengecer-pengecer yang ada ke pasar di Jabodetabek, jelasnya.

Ibab dan Acep pun mengaku tidak mengetahui adanya program Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau KCR yang digulirkan pemerintan pusat dan Jawa Barat itu. Walaupun ada keduanya menegaskan tidak tertarik untuk mengajukan permohonan kredit. Karena dua-duanya tidak mau terikat soal keuangan dengan pihak perbankan. (kho)Masyarakat Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, adalah pengrajin tas yang sebenarnya sudah ada sejak lama, meskipun di Bogor sendiri seperti kurang dikenal. Di Ciampea ini, hanya dua desa yang jadi pusat kerajinan tas tersebut. Yaitu di Desa Tegalwaru dan Desa Bojongrangkas, di masing-masing desa terdapat sekitar 50 pengusaha.

Ibad Badrusalam, salah seorang bos dari pengrajin tas di Desa Tegalwaru, membenarkan hal ini. Ibad yang memulai usaha produksi tas sejak tahun 2000 silam tersebut, selain memproduksi tas dengan cara home industri, kini dirinya juga memiliki sebuah pabrik. Usaha yang dijalankannya pun sempat jatuh bangun gara-gara tidak adanya modal dan sulitnya memasarkan produk yang dihasilkannya.

Untuk modal usahanya, selain belum pernah mengajukan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang digulirkan pemerintah pusat atau Kredit Cinta Rakyat (KCR) yang telah digulirkan Pemerintah Propinsi Jawa Barat, pria yang tidak sempat lulus sekolah dasar ini juga mengaku belum pernah mengajukan kredit ke bank manapun. Banyak hal yang menjadi alasannya, diantaranya, selain prosedur yang ribet, dirinya juga mengaku tidak mau terikat dengan pihak lain dalam hal keuangan. Makanya, sebelum punya modal sendiri, dia bekerjasama dengan keluarga dan kerabat dekat untuk bisa mendapatkan modal tersebut dengan cara kerja borongan pada orang lain. Prinsipnya, anak pertama dari dua belas bersaudara ini tidak mau bergantung pada pinjaman dari pemerintah.

Kini, Ibad memiliki pengrajin lebih dari 100 orang yang bekerja di rumah-rumah (home industri) dan 15 orang pengrajin yang khusus bekerja di pabrik miliknya. Upah yang diberikan kepada setiap tenaga kerja yang dipekerjakannya adalah sebesar Rp. 90.000,- per lusin. Selain warga pribumi, tenaga kerja yang dilibatkan dalam usaha ini juga banyak berasal dari luar daerah lainnya. Dalam sebulan, pihaknya dapat memproduksi tas rata-rata sebanyak 600 lusin atau lebih. Omzetnya rata-rata sekitar Rp. 252 juta per bulan. Hasil produksi dari perusahaan yang diberinama Mitra Dwi Perkasa atau Midper ini, selain dipasarkan oleh pengecer langganannya dan di toko miliknya, produk asli Ciampea ini juga banyak dipasarkan di toko langganannya di Jabodetabek dan berbagai daerah di seluruh Indonesia. Di Jakarta, utamanya tas ini dipasarkan di Pasar Senen, jelas suami dari Atikah ini.

Menurutnya, untuk mengembangkan usaha yang telah menjadi mata pencaharian mereka tersebut, sebelumnya tidak pernah ada pembinaan kepada pengrajin dari pihak pemerintah daerah (Pemda) maupun pihak manapun. Tapi kini setelah adanya sebuah koperasi khusus pengrajin tas di tingkat desa, pembinaan ini mulai digalakkan. Meskipun Saya rasa sebenarnya itu cuma formalitas, jelas ayah empat anak tersebut.

Pemerintah, dalam hal ini Pemda Kabupaten Bogor, kata dia, harus serius memperhatikan para pengrajin tas di Ciampea ini. Pembinaan yang dilakukan pun jangan terkesan setengah hati. Jika Anda kenal tas Tajur, sebenarnya itu produk Ciampea!, tambah Ibad. (Kholil)SEPATU CIOMAS

Narasumber:

1. Pemilik Bengkel Sepatu (Foto)2. Aktivis / Pemerhati Kerajinan Sepatu Ciomas

3. Kasi Perekonomian Kecamatan Ciomas

4. Camat Ciomas (Foto)Kerajinan sepatu dan sandal sejak puluhan tahun lalu menjadi sumber mata pencaharian warga di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Bahkan hasil kerajinan warga ini berhasil dipasarkan ke hampir seluruh pasar-pasar yang ada di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Kerajinan yang dibuat secara turun temurun dan menyerap ratusan hingga ribuan tenaga kerja ini telah berhasil menempatkan Ciomas sebagai sentra atau pusat kerajinan sepatu dan sandal.

H. Acep (54), salah seorang pengrajin dan pemilik bengkel sandal di Ciomas, Kabupaten Bogor ini, memulai usahanya sejak tahun 1987 silam. Sebelum terjun ke bisnis ini, dia bisa mahir membuat berbagai macam jenis sepatu dan sandal dengan cara belajar secara otodidak di bengkel milik orang lain yang sebelumnya sudah ada. Kini, Warga Kp. Cibinong, Rt.03/01, Desa Sukaharja, Kecamatan Ciomas tersebut memiliki sepuluh bengkel yang tersebar di dua desa, dengan jumlah pekerja delapan sampai dua belas orang per bengkel. Meski proses pembuatan produknya masih mengandalkan peralatan tradisional, namun kwalitas hasilnya bisa bersaing dengan produk yang menggunakan mesin modern.Berbeda dengan produk dari pemilik bengkel lainnya, Acep hanya memasarkan semua produknya langsung ke Jakarta melalui seorang bos yang sudah jadi rekan bisnisnya. Oleh karenanya, belum pernah ada pihak lain yang membantu memasarkan produk ini, karena semua hasil produk miliknya hanya dipasarkan langsung ke pelanggan tetap. Hasil kerajinan Kami ini cuma ada di toko-toko Matahari dan Ramayana di seluruh Indonesia, katanya.

Dikatakannya, dalam sebulan karyawannya bisa memproduksi minimal 200 kodi atau sebanyak 4000 pasang sandal. Omzetnya Rp. 1,5 hingga 2 Milyar rupiah per tahun. Pada bulan Mei hingga Juli ini Kami banyak mendapat pesanan, permintaan tersebut melonjak dari bulan-bulan sebelumnya, ungkap Ayah tiga anak tersebut.Meskipun tidak sulit untuk mendapatkan modal, namun pihaknya mengaku belum pernah menerima bantuan modal dari lembaga pembiayaan manapun. Dirinya lebih mengandalkan kepercayaan pada kerabat atau orang lain yang mau diajak berpartner dalam mengelola bisnis ini. Ya, tidak ada kesulitan yang dihadapi dalam menjalankan usaha ini. Bahkan Saya tidak mengeluarkan modal berupa uang sedikitpun, jelasnya.Dirinya mengaku tidak tahu menahu tentang adanya pembinaan pada pengrajin, dari pemerintah daerah atau pihak lain yang terkait. Mungkin ada. Yang jelas Kami belum pernah terlibat atau diundang untuk ikutan kegiatan seperti itu, ujarnya.Menurut Rahmat Jebeng (38), pemerhati kerajinan sepatu dan sandal Ciomas ini mengungkapkan, para pengrajin di Ciomas ini belum dibina dengan serius dan mereka masih mengalami sulitnya pemasaran hasil produksi. Adanya koperasi pengrajin sepatu pun dinilainya hanya formalitas saja. Jadi, menurutnya bisnis alas kaki yang sudah populer di Ciomas ini tidak akan pernah maju, jika tidak adanya pembinaan dari pihak terkait. Ya, supaya maju dan mandiri, para pengrajin ini selain harus dibina juga harus memiliki outlet khusus sepatu dan sandal di daerahnya. Dan itu harus difasilitasi oleh pemerintah, jangan diam saja, tambah mantan calon Kepala Desa Ciapus, Ciomas ini.

Warga Desa Ciapus, Ciomas ini mengatakan, dulu pengrajin di Cibaduyut Bandung pun belajar dari Ciomas, sekarang mereka bisa maju karena adanya pembinaan dan pemasaran yang jelas. Disisi lain, katanya, banyak peluang untuk memperoleh modal usaha sepatu ini, namun modal tersebut menjadi tidak bermanfaat bagi perkembangan bisnis sepatu di Ciomas. Karena ternyata, peluang modal berupa pinjaman dari pemerintah tersebut marak disalahgunakan. Ini harus jadi perhatian semua pihak, katanya.Kepala Seksi Perekonomian di Kantor Kecamatan Ciomas, Mila Resmilawaty, membantah keras tentang tidak adanya pembinaan dari pemerintah. Menurutnya, selama ini usaha pemerintah untuk membina para pengrajin selalu ada. Hanya saja, katanya, masyarakat yang majemuk ini seolah tidak mau dibina.

Jelas saja, mereka sudah punya pasar masing-masing. Koperasi yang sudah Kami bentuk pun terlihat kurang berjalan, padahal tahun 2006 lalu Kita pernah mendapatkan penghargaan dari MURI. Jadi, tidak benar kalau pemerintah diam saja, papar lulusan S2 Manajemen ini.Mila mengungkapkan, pada tahun 2010 lalu, data resmi yang tercatat di kantornya sebanyak 968 orang pengrajin. Jumlah pengrajin yang 100 persen pribumi ini diprediksi terus bertambah. Dari sepuluh desa dan satu kelurahan yang ada di Kecamatan Ciomas ini, pengrajin sepatu dan sandal hanya ada di beberapa desa saja. Yakni desa Ciomas, Ciapus, Sukaharja, Sukamakmur, Mekarjaya, Parakan dan Kota Batu. Masing-masing pengrajin memiliki tempat pemasaran yang berbeda. Kami juga terus berkoordinasi dengan pihak UPT terkait untuk memberdayakan pengrajin dengan baik, katanya.Camat Ciomas, Muliadi, enggan berkomentar banyak terkait perkembangan industri sepatu di wilayah yang dipimpinnya itu. Dia beralasan, masalah kerajinan sepatu ini perlu kajian dan kerjasama semua pihak. Kini, pihaknya mengaku sedang gencar melakukan berbagai pendekatan kepada masyarakat, khususnya kepada para pengrajin. Salah satunya dengan digelarnya pertemuan rutin para pengrajin di sebuah studio radio komunitas milik Pemerintah Kecamatan Ciomas yang bernama Radio Ciomas Bogor (RCB). Bahkan, katanya, selain pertemuan yang digelar setiap malam minggu tersebut, mereka juga bisa berdialog interaktif di radio ini setiap hari, pukul 09.00 hingga 10.00 WIB.Kerajinan sepatu dan sandal di Ciomas memang belum maju, tapi kita tidak bisa saling menyalahkan. Sekarang, lebih baik Kita bekerjasama memajukan kerajinan ini, media massa pun bisa jadi partner bisnis Kita, ujarnya singkat. (Kholil)