serat mudhatanya suntingan teks dan ajaran kepemimpinan/serat... · suntingan teks dan ajaran...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
SERAT MUDHATANYA: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh USWATUN CHASANAH
C0105050
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
SERAT MUDHATANYA: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan
Disusun oleh: USWATUN CHASANAH
C0105050
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing I
Dra. Endang Tri W., M.Hum NIP 195811011986012001
Pembimbing II
Drs. Sisyono Eko W., M.Hum NIP 196205031988032001
Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Daerah
Drs. Imam Sutarjo, M.Hum NIP 196001011987031004
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
SERAT MUDHATANYA: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan
Disusun oleh
USWATUN CHASANAH C0105050
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Pada Tanggal 13 Agustus 2009
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Drs. Imam Sutarjo, M.Hum NIP 196001011987031004
……………..
Sekretaris Dra. Hartini, M.Hum NIP 195001311978032001
……………..
Penguji I Dra. Endang Tri Winarni, M.Hum NIP 195811011986012001
……………..
Penguji II Drs. Sisyono Eko Widodo, M.Hum NIP 196205031988032001
……………..
Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Drs. Sudarno, M.A NIP 195303141985061001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Uswatun Chasanah NIM : C0105050 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Serat Mudhatanya: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, 13 Agustus 2009 Yang membuat pernyataan, Uswatun Chasanah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
“Setiap kesuksesan dan keberhasilan membutuhkan syarat.”
“Believe yourself. You can do it.
Doa, effort, tawakkal!”
(iluvislam.com)
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
(QS. Al Insyirah: 5-6)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka
mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
(QS. Ar Ra’d: 11)
“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.”
(Al Hadits)
“Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia.
Berlarilah, tanpa lelah sampai engkau meraihnya.
Laskar pelangi tak kan terikat waktu.
Bebaskan mimpimu di angkasa, warnai bintang di jiwa.
Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga.
Bersyukurlah pada Yang Kuasa.”
(“Laskar Pelangi”, NIDJI)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini kepada:
- Ibundaku tercinta
- Keluarga
- Sahabat dan teman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji syukur hanya kepada Allah, Tuhan
semesta alam, yang telah memberikan kesempatan dan kemampuan kepada
hamba-Nya, sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Serat Mudhatanya:
Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan” ini dapat terselesaikan.
Penulisan skripsi ini tidak mungkin selesai bila tanpa bimbingan dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Drs. Sudarno, M.A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan untuk menyusun skripsi
ini.
2. Drs. Imam Sutarjo, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang juga telah memberikan
kesempatan dan ilmunya dalam penyusunan skripsi ini.
3. Dra. Endang Tri Winarni, M.Hum., selaku Pembimbing Pertama, dengan
penuh kesabaran telah berkenan untuk mencurahkan perhatiannya pada
pembimbingan skripsi ini, juga proses kelulusan penulis.
4. Drs. Sisyono Eko Widodo, M.Hum., selaku Pembimbing Kedua, yang juga
telah berkenan untuk mencurahkan perhatiannya pada pembimbingan skripsi
ini, juga proses kelulusan penulis.
5. Siti Muslifah, S.S., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik, yang telah
membimbing penulis sejak awal hingga akhir studi di Jurusan Sastra Daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
6. Bapak dan ibu dosen Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
yang telah memberikan ilmunya kepada penulis sehingga memberikan
kontribusi nyata dalam penulisan skripsi ini.
7. Kepala dan staff Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa dan
Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan
kemudahan pelayanan kepada penulis.
8. Kepala dan staff Perpustakaan Museum Sana Budaya Yogyakarta yang telah
memberikan pelayanan terbaiknya selama proses pengumpulan data.
9. Seluruh staf dan karyawan Tata Usaha Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret, yang telah membantu penulis.
10. Rekan-rekan mahasiswa Sastra Daerah angkatan 2005, khususnya Filologi:
Mita, Daning, Ruma, Ebi, mbak Wik, mbak Ambar, Tantri, Ama yang telah
memberikan semangat untuk terus maju kepada penulis.
11. Saudara-saudariku pengurus dan anggota SKI, BPM, BKM, dan BEM FSSR
UNS atas perhatian, dukungan, pelajaran, kebersamaan dan indahnya
ukhuwah selama ini.
12. Berbagai pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga amal kebaikannya mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik yang membangun demi perbaikan selanjutnya.
Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan pemerhati
masalah filologi di Indonesia.
Surakarta, Agustus 2009
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….. i
HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………… iii
HALAMAN PERNYATAAN …………………………………………….. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………………. v
HALAMAN MOTTO ………………………………………………….… vi
KATA PENGANTAR ………………………………………………….… vii
DAFTAR IS I ……………………………………………………… ix
DAFTAR TABEL ……………………...………………………………….... xi
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………… xii
ABSTRAK ……………………………………………………………..… xiii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1
A. Latar Belakang ……………………………………………………… 1
B. Batasan Masalah ……………………………………………………. 16
C. Rumusan Masalah…………………………………………………….. 17
D. Tujuan Penelitian …………………………………………………….. 17
E. Manfaat Penelitian …………………………………………………… 17
F. Sistematika Penulisan ………………………………………………… 18
BAB II LANDASAN TEORI ……………………………………………... 20
A. Pengertian Filologi …………………………………………………… 20
B. Objek Filologi ……...………………………………………………… 21
C. Langkah Kerja Penelitian Filologi …………………………………… 21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
D. Pengertian Sastra Piwulang …..…………………………………….… 25
E. Kepemimpinan Jawa ……………………………………………….… 26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……………………………….. 29
A. Bentuk dan Jenis Penelitian ...………………………………….……. 29
B. Sumber Data dan Data Penelitian …………………………………… 29
C. Teknik Pengumpulan Data …………………………………… 30
D. Teknik Analisis Data ………………………………………………… 31
BAB IV ANALISIS DATA …………………………………………........... 33
A. Kajian Filologis ……………………..……………………...………… 33
1. Deskripsi Naskah ….……………………………………………... 33
2. Kritik Teks ……………………………………………………….. 49
3. Pedoman Transliterasi …………………………………………… 58
4. Suntingan dan Aparat Kritik ………………………………..…… 60
5. Sinopsis ………………………………………………………..… 116
B. Kajian Isi ……………………..……………………......................…. 123
1. Dialog I ….…………………………………..…………………... 123
2. Dialog II ……………………………..…………….……………. 128
3. Dialog III ………………………….………………...…………… 137
4. Dialog IV ………………..…………………………………..…… 139
BAB V PENUTUP ………………………………………………………. 147
A. Simpulan ……………………………………………………………. 147
B. Saran ………………………………………………………………… 148
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 150
LAMPIRAN ………………………………………………………………… 152
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Ketebalan naskah SM .............................................................. 34
Tabel 4.2 Lakuna ..................................................................................... 50
Tabel 4.3 Adisi ........................................................................................ 52
Tabel 4.4 Substitusi ................................................................................. 52
Tabel 4.5 Transposisi .............................................................................. 54
Tabel 4.6 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘kagaliya’ dengan
‘kagaliha’ ………………………………………………….
54
Tabel 4.7 Ketidakkonsistenan penulisan kata ‘dhahuru’ dengan
‘dahuru’ ……………………………………………………
55
Tabel 4.8
Ketidakkonsistenan penulisan kata ‘kalentu’, ‘kêlèntu’ dan
‘kalintu’ ……………………………………………………
55
Tabel 4.9 Ketidakkonsistenan penulisan kata ‘asreng’ dengan
‘angsring’ …………………………………………………..
55
Tabel 4.10 Ketidakkonsistenan penulisan kata ’Mukammat’,
’Mukammad’ dan ’Mukamad’ .................................................
56
Tabel 4.11 Ketidakkonsitenan dalam penulisan bunyi vocal .................... 56
Tabel 4.12 Variasi penulisan kata ‘blêdug’ dan kata ‘balêdug’ ................ 57
Tabel 4.13 Variasi penulisan kata ‘saknagari’ dan kata ‘saknêgari’ ........ 57
Tabel 4.14 Variasi penulisan kata ‘glêpung’ dan kata ‘galêpung’ ........... 57
Tabel 4.15 Variasi penulisan kata ‘panjênêngan’ dan kata
‘pênjênêngan’...........................................................................
58
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR SINGKATAN
cm : menunjukkan ukuran centimeter
dkk : dan kawan-kawan
hal. : halaman
M : Masehi, menunjuk pada tahun Masehi
Manassa : Masyarakat Pernaskahan Nusantara
PB : Paku Buwana
R.Ng : Raden Ngabehi
R.T. : Raden Tumenggung
SM : Serat Mudhatanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
ABSTRAK
Uswatun Chasanah. C0105050. 2009. Serat Mudhatanya: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan. Skripsi: Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Latar belakang penelitian ini adalah mengkaji naskah yang mengalami korup (rusak) karena ditemukan banyak sekali kesalahan penulisan dan ketidakkonsistenan penulisan. Keadaan ini menunjukkan bahwa naskah perlu dibersihkan dari kesalahan-kesalahan. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu bagaimana suntingan teks dari Serat Mudhatanya yang bersih dari kesalahan sesuai dengan cara kerja filologi serta ajaran apa yang terkandung di dalam Serat Mudhatanya. Tujuan penelitian ini adalah menyajikan suntingan teks dari Serat Mudhatanya yang bersih dari kesalahan sesuai dengan cara kerja filologi, serta mengungkapkan ajaran yang terkandung di dalam Serat Mudhatanya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Sumber data penelitian ini adalah katalog-katalog yang memuat informasi tentang keberadaan naskah Serat Mudhatanya. Dari hasil inventarisasi ditemukan 1 buah naskah yakni Serat Mudhatanya dengan nomor katalog PB C56. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik fotografis, print out, dan transliterasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif dan analisis interpretasi. Teknis analisis deskriptif mengacu pada cara kerja penelitian filologi. Metode penyuntingan teks menggunakan metode edisi standar, melalui tahapan-tahapan: (1) deskripsi naskah, (2) transliterasi naskah, (3) kritik teks, (4) suntingan teks dan aparat kritik, (5) sinopsis. Teknik analisis interpretasi digunakan untuk menginterpretasikan isi naskah melalui berbagai sudut pandang peneliti.
Hasil akhir penelitian ini dapat disimpulkan bahwa naskah SM adalah naskah pertama dan naskah tunggal dengan kode PB C56, sehingga digunakan metode suntingan edisi standar untuk menghasilkan suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Suntingan teks SM ini adalah suntingan atau edisi teks yang pertama dan bersih dari kesalahan (penulisan dan ejaan). Teks ini merupakan karya R.T.Purbadipura, seorang Abdidalem Bupati Anom Gedong Tengen Karaton Surakarta, ditulis oleh Wignyaukara dan R.T.Purbadipura sendiri. Dari hasil kritik teks ditemukan beberapa kesalahan tulis, yaitu lakuna, adisi, substitusi, ditografi, dan transposisi, juga ditemukan beberapa ketidakkonsistenan penulisan dan variasi penulisan kata. Jadi, disimpulkan bahwa naskah ini rusak/ korup. Secara garis besar, diketahui bahwa teks SM ini menjelaskan tentang ajaran kepemimpinan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dilengkapi dengan beberapa contoh gaya kepemimpinan para Nabi, dan para sahabat Nabi Muhammad SAW, serta gaya kepemimpinan raja-raja di Jawa. Ada delapan ajaran kepemimpinan yang harus dipahami dan diterapkan oleh seorang pemimpin dalam memimpin keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya, yakni: kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, dan pariksa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan kebudayaan beserta
peninggalan-peninggalan masa lampaunya. Bentuk peninggalan masa lampau
yang masih dapat dilihat dan dinikmati adalah artefak yang umumnya berupa
bangunan, seperti candi, masjid, kraton, dan bangunan lainnya. Tetapi sebenarnya,
masih ada satu jenis artefak lagi yang sering diabaikan dan ditinggalkan oleh
masyarakat yakni peninggalan kebudayaan yang berupa naskah. Naskah adalah
karangan tulisan tangan, baik yang asli maupun salinannya, yang mengandung
teks atau rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu
(Darusuprapta, 1984:10).
Naskah di Indonesia jumlahnya sangat banyak, jenisnya pun sangat
beragam, berbanding lurus dengan jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia.
Hampir setiap suku mempunyai peninggalan naskah ini. Salah satunya adalah
masyarakat Jawa, yang secara kepemilikan naskah menduduki urutan pertama dari
suku-suku yang lain. Naskah-naskah tersebut perlu segera dilakukan upaya
penanganan berupa penyelamatan, penelitian, pelestarian, pendayagunaan, dan
penyebarluasan hasil penelitian agar karya luhur nenek moyang kita tidak sekedar
menjadi benda pajangan di dalam museum-museum.
Suatu bidang ilmu yang erat kaitannya dengan upaya penanganan naskah
adalah filologi. Cara kerja filologi diperlukan sebelum naskah didayagunakan dan
disebarluaskan untuk berbagai macam kepentingan. Tugas utama filolog adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan, yang memberi
pengertian sebaik-baiknya dan yang bisa dipertanggungjawabkan pula sebagai
naskah yang paling dekat dengan aslinya (Haryati Soebadio, 1975:3).
Girardet-Susanto (1983) mengklasifikasikan jenis naskah Jawa sebagai
berikut:
1. Kronik, Legende dan Mite
Di dalamnya termasuk naskah-naskah: babad, pakem, wayang purwa, panji,
pustakaraja dan silsilah.
2. Agama, Filsafat dan Etika
Di dalamnya termasuk naskah-naskah yang mengandung unsur-unsur:
Hinduisme-Budhisme, Islam, mistik Jawa, Kristen, magic dan ramalan, sastra
wulang.
3. Peristiwa kraton, hukum, peraturan-peraturan
4. Buku teks dan penuntun, kamus, ensiklopedi tentang linguistik, obat-obatan,
pertanian, antropologi, geografi, perjalanan, perdagangan, masak-memasak
dan sebagainya.
Dari beberapa jenis naskah Jawa yang telah disebutkan di atas, penulis
tertarik untuk mengkaji naskah Jawa jenis sastra piwulang. Sejarah telah mencatat
bahwa naskah Jawa jenis piwulang sempat mengalami masa keemasan setelah
melewati masa-masa populernya kembali karya sastra Jawa Kuna di zaman
Surakarta awal. Naskah-naskah jenis piwulang bermunculan salah satu sebabnya
sebagai wujud reaksi atas kondisi sosial masyarakat saat itu.
Salah satu dari sekian banyak karya sastra piwulang tersebut adalah Serat
Mudhatanya (selanjutnya disebut SB). Kata Mudhatanya berasal dari dua kata,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
yakni ”mudha” dan ”tanya”. Menurut W.J.S.Poerwadarminta dalam Baoesastra
Djawa, kata “mudha” mempunyai dua arti yakni ”enom” yang berarti ”muda”
dan ”bodho” yang berarti ”bodoh” (hal. 323). Kata “tanya” berarti ”bertanya”
(hal. 592). Dari pemaknaan secara etimologis dari judul tersebut, bisa diketahui
bahwa teks ini berisikan tentang seorang pemuda yang bertanya karena ketidak-
tahuannya.
Inventarisasi naskah sebagai langkah awal penelitian filologi dilakukan
melalui penelusuran terhadap berbagai katalog diantaranya:
1. Descriptive Catalogus of the Javanese manuscripts and Printed Book in the
Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta (Girardet-Sutanto, 1983)
2. Javanese Language Manuscripts of Surakarta Central Java A Preliminary
Descriptive Catalogus Level I and II (Nancy K. Florida, 1994)
3. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya
Yogyakarta (T.E. Behrend, 1990)
4. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-B (Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, 1998)
5. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia (Lindstay, Jennifer, 1994)
6. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara jilid 2 Keraton Yogyakarta,
7. Daftar Naskah Perpustakaan Museum Radyapustaka Surakarta, Daftar Naskah
Perpustakaan Sasanapustaka Keraton Surakarta, Daftar Naskah Perpustakaan
Reksapustaka Pura Mangkunagaran Surakarta, Daftar Naskah Perpustakaan
Sanabudaya Yogyakarta, Daftar Naskah Perpustakaan Widyabudaya Keraton
Yogyakarta dan Daftar Naskah Perpustakaan Pura pakualaman Yogyakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Hasil inventarisasi dari berbagai katalog tersebut hanya ditemukan satu
naskah yang berjudul Serat Mudhatanya dalam Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta (T.E. Behrend, 1990) dengan
nomor PB C56 dan dalam katalog Girardet-Susanto tahun 1983 dengan nomor
68615 (PB C56) berjudul Mudha Tanaya.
Langkah selanjutnya adalah melakukan pengecekan langsung ke tempat
penyimpanan naskah yakni di perpustakaan museum Sana Budaya Yogyakarta.
Berdasarkan pengecekan ke tempat penyimpanan naskah tersebut, naskah SM
dalam kondisi masih tersimpan disana dan hanya berjumlah 1 buah naskah.
Serat Mudhatanya terdapat pada sebuah buku cukup tipis yakni terdiri
dari 130 halaman, berukuran 21,2 cm x 16,8 cm. Selain Serat Mudhatanya
ternyata dalam naskah ini ada satu judul lain, yakni Serat Kawontenanipun
Pergerakan Komunis. Hal itu bisa dilihat dalam cover luar naskah ini yang
bertuliskan ”Serat Moedatanya. Serat Kawontenanipoen Pergerakan
Koemoenis”, berikut gambarnya:
Gambar 1.1 Judul pada cover depan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Kemudian pada cover dalam naskah juga terdapat perbedaan lagi, judul
naskah bertuliskan ”Moedatanya (Koemoenis)”, berikut gambarnya:
Setelah dibaca secara teliti, ternyata naskah ini terdiri dari 2 bentuk teks,
yakni prosa dan tembang macapat. Dua bentuk teks yang berbeda jika
dihubungkan dengan dua judul naskah yang berbeda penulisannya pula, ada
beberapa kemungkinan seperti berikut:
1. Jika didasarkan pada gambar 1.1, dua teks yang berbeda bentuk memiliki
judul masing-masing, yakni teks yang berbentuk prosa memiliki judul ”Serat
Mudhatanya”, sedangkan teks yang berbentuk tembang macapat memiliki
judul ”Serat Kawontenanipun Pergerakan Koemunis”, sehingga bisa
dikatakan diantara keduanya berdiri sendiri.
2. Jika didasarkan pada gambar 1.2, dua teks yang berbeda bentuk tersebut
include dalam satu judul, yakni judul Serat Mudhatanya, sehingga bisa
dikatakan diantara keduanya saling berkaitan.
Teks yang berbentuk prosa disajikan dalam bentuk dialog antara dua
tokoh. Hal-hal yang didialogkan atau didiskusikan antara dua tokoh tersebut
seputar kehidupan bermasyarakat tentang etika dan norma-norma, juga
Gambar 1.2 Judul pada cover dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
kepemimpinan yang dilengkapi dengan kisah beberapa Nabi (Nabi Muhammad,
Nabi Adam, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Yusuf) dan sahabat-sahabat
Nabi Muhammad yang biasa disebut dengan khulafaur rasyidin (Abu Bakar ash-
Shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Juga
beberapa kisah tentang gaya kepemimpinan beberapa pemimpin atau raja-raja di
Jawa mulai dari Kyai Ageng Sela hingga Paku Buwana VIII.
Teks yang berbentuk tembang macapat terdiri dari tiga pupuh, yaitu
Durma (24 bait), Pangkur (32 bait), dan Asmaradana (38 bait). Gaya tulisannya
sama dengan gaya tulisan teks yang berbentuk prosa. Teks ini berisi tentang
sejarah pemberontakan gerakan komunis yang terjadi di Banten, Bandung, dan
Batavia. Dalam katalog Behrend disebutkan bahwa teks lain ini merupakan surat
edaran yang ditandatangani oleh pepatih dalem K.R.A.Jayanagara, tertanggal 15
November 1926, menyebutkan bahwa tahun tersebut di Batavia, Banten, dan
Bandung sedang terjadi pemberontakan Komunis (hal. 504).
Setelah kedua teks ini dibaca lebih teliti lagi, ternyata di antara keduanya
tidak mempunyai keterikatan. Keduanya saling berdiri sendiri dengan isi atau
informasi yang dimiliki masing-masing, judul Serat Mudhatanya mewakili teks
yang berbentuk prosa, sedangkan judul Serat Kawontenanipoen Pergerakan
Koemoenis mewakili teks yang berbentuk tembang macapat. Teks yang berbentuk
prosa termasuk dalam kategori naskah Jawa jenis sastra piwulang, sedangkan teks
yang berbentuk tembang macapat termasuk dalam kategori naskah Jawa jenis
sejarah. Akhirnya, secara otomatis teks yang berbentuk tembang macapat, yang
berisi sejarah, tereliminasi dari objek kajian penelitian ini karena tidak sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
dengan sasaran objek penelitian ini, yakni naskah Jawa manuskrip jenis sastra
piwulang.
Teks Serat Mudhatanya terdapat pada halaman 1-37 dan halaman 53-90,
sedangkan teks Serat Kawontenanipoen Pergerakan Koemoenis terdapat pada
halaman 38-52. Pada halaman 63-70, teks dicoret dengan tanda silang oleh
penulis sebagai penanda bahwa teks tersebut sudah tidak terpakai (tidak perlu
dibaca). Tinta yang digunakan dari awal sampai akhir tidak sama. Ada 3 jenis
tinta yang digunakan: tinta sejenis pulpen boxi berwarna hitam kebiru-biruan dan
cukup tebal (halaman iv & 1-52); tinta sejenis pulpen biasa berwarna hitam
kecoklatan dan sangat tipis (halaman 53-74 & 74i-90); tinta sejenis pulpen boxi
berwarna hitam pekat dan sangat tebal (halaman 74a-74f).
SM merupakan naskah tulisan tangan (manuscript) dengan huruf Jawa
berbahasa Jawa Baru ragam krama dan ngoko. Naskah ini dikarang oleh RT
Purbadipura, Abdidalem Bupati Anom Gedhong Tengen di Surakarta pada Kamis
Legi, 28 Sura, Jimakir 1858 (28 Juli 1927). Naskah ini ditulis oleh dua orang
penulis, yakni Wignyaukara dan R.T.Purbadipura sendiri. SM pada halaman 1-37
ditulis oleh Wignyaukara, halaman 53-90 ditulis RT Purbadipura sendiri.
Informasi mengenai pengarang naskah SM bisa dilihat dari kutipan berikut:
“Sêrat Mudhatanya punika, ingkang ngarang Raden Tumênggung Purbadipura, Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong Têngên ing Surakarta Hadiningrat. Pangarangipun nalika dintên Kêmis Lêgi tanggal kaping 28 wulan Sura taun Jimakir angka 1858 utawi kaping 28 Juli taun angka 1927. Gagriya salêbêting nagari ing kampung Kratonan Kidul, ondêr dhistrik Sêrêngan, sakilène Pasar Gêmblêgan.”
Terjemahan:
”Serat Mudhatanya ini yang mengarang Raden Tumenggung Purbadipura, Abdi Dalem Bupati Anom Gedhong Tengen di keraton Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Hadiningrat. Pembuatannya ketika hari Kamis Legi tanggal 28 bulan Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Bertempat tinggal di kampung Kratonan Kidul, distrik Serengan, sebelah barat Pasar Gemblegan.”
Informasi tentang pengarang dan penulis naskah SM dikuatkan lagi oleh
gambar berikut:
Ada empat alasan mengapa Serat Mudhatanya dijadikan objek kajian
dalam penelitian ini. Pertama, sejauh ini penelitian yang dilakukan terhadap
naskah Serat Mudhatanya baru sebatas deskripsi naskah untuk inventarisasi bagi
pembuatan katalog yang dilakukan oleh T.E. Behrend pada tahun 1990 dan
Girardet-Susanto pada tahun 1983, sedangkan penelitian secara filologis dan
telaah isi belum pernah dilakukan.
a
b
Gambar 1.3 Akhir teks SM bagian pertama ditutup dengan tanda semacam tanda tangan pengarang dan penulisnya, dan disertai keterangan teks tersebut
berlanjut ke halaman 53 a. Tulisan RT Purbadipura, bertuliskan “nyandhak kaca angka 53.
Purbadipura” b. Tulisan Wignyaukara, bertuliskan “ingkang nyêrat Wignyaukara”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Kedua, di dalam teks SM ini ditemui banyak sekali ketidakaturan
pemakaian ejaan dan kesalahan-kesalahan penulisan. Hal ini yang mendorong
peneliti untuk segera mengkaji naskah ini secara filologi untuk menghasilkan
sebuah teks yang diperkirakan paling mendekati aslinya dan menyediakan
terbitan naskah yang bersih dari kesalahan dan mudah dipahami oleh pembaca.
Berikut sebagian contoh dari ketidakaturan pemakaian ejaan dan kesalahan-
kesalahan penulisan tersebut:
1) Ketidakkonsistenan dalam penulisan kata, berikut sebagian contohnya:
- kata ”kalèntu” dengan kata ”kalintu”, berikut kutipannya:
”Wasana manawi wontên kalintu tuwin lêpating atur kula” (SM: 15) ”manawi botên kalèntu, criyosipun sabên…” (SM: 53c)
- kata ”dhahuru” dengan kata ”dahuru”, berikut kutipannya:
”uyang wayang wuyung botên raharja: dahuru” (SM: 56) “Dhahuru têgêsipun rêbut suwala lahir batin” (SM: 57)
2) Variasi penulisan kata, berikut contohnya:
- kata ”balêdug” dengan kata ”blêdug” dan kata ”balêduga”, berikut
kutipannya:
“Nyirêp balêduga ron-ronan sami lembaka ijêm ariyu-riyu sakeca dhatêng paningal” (SM: 53a) “miwah mawi angin agêng blêdug angampak-ampak dhatêng mripat sêpêt sakit” (SM: 53c) “tilem boten sakeca, balêdug angampak-ampak kabur…” (SM: 58a)
- kata ”saknagari” dengan kata ”saknêgari”, berikut kutipannya:
”kawêwahan ningali solah bawanipun tiyang saknagari” (SM: 53) “tiyang saknêgari manahipun tamtu suka rêna” (SM: 54)
- kata ”panjênêngan” dengan kata ”pênjênêngan”
”Pancen kula ajêng-ajêng rawuh panjênêngan” (SM: 53c) “salam taklim kula dhatêng garwa putra pênjênêngan” (SM: 62)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
3) Kesalahan penulisan kata, berikut contohnya:
”tiyang-tiyang sanakari ingkang dados wêwêngkonipun” (SM: 60)
4) Kekurangan penulisan kata, seperti kata ”gadha”, ”pamrentaha”, ”gri”,
”jantu”, dan lain-lain. Berikut kutipannya:
“Siyang dalu tansah kuwatir kêtir-kêtir. Gadha raos bok bilih…” (SM: 57) “angsal duduka saking ingkang nyêpêng pamrentaha kadakwa botên anu-anu.” (SM: 57) “Dhatêng manah sumpêg namung muntêl wontên salêbêting gri kemawon.” (SM: 58b) “Sirah punika isi utêg, utêg panggenan budi, budi tumurun dhateng jantu jantung anggèn pikir-pikir awon ingkang sae ingkang ngriku…” (SM: 61)
Ketiga, ada beberapa hal yang sangat menarik dari naskah SM ini, yakni
tentang gaya penulis naskah SM dalam menulis teks. Berikut uraiannya:
a. Pemakaian tanda berhenti di setiap kalimat dibuat sama, yakni dengan tanda
pada lingsa (,). Tanda pada lungsi (.) peneliti temukan hanya dipakai ketika
menuliskan judul teks. Berikut gambarnya:
Gambar 1.4 Penulisan pada lungsi (.) pada judul teks SM (SM: 1)
Tanda pada lungsi
Tanda pada lingsa
Gambar 1.5 Penulisan pada lingsa (,) di dalam paragraph. (SM: 1)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
b. Penulisan kata ’Allah’ dengan huruf Arab. Berikut gambarnya:
c. Pemakaian huruf Latin ketika menuliskan dua tokoh yang sedang berdialog,
yakni ditulis dengan huruf “a” dan “b” (“a”:orang pertama yang diasumsikan
sebagai ‘seorang kyai’, “b”:orang kedua yang diasumsikan sebagai ‘seorang
murid’). Berikut gambarnya:
d. Penggunaan angka Romawi ketika menuliskan pembagian poin-poin
kedelapan ajaran (kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, dan
pariksa). Berikut gambarnya:
Gambar 1.6 Penulisan kata ‘Allah’ dengan huruf Arab. (SM: 23)
Gambar 1.7 Penulisan icon 2 tokoh yang berdialog dengan huruf Latin “a” dan “b” (SM: 2)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Setiap penulis naskah mempunyai gaya masing-masing yang khas dalam
menuliskan suatu teks. Dan gaya menulis tersebut bukan suatu permasalahan
filologi melainkan suatu ciri tersendiri dari penulis naskah sebagai bentuk wujud
kreativitas. Di antara keempat gaya penulis naskah SM tersebut, ada satu yang
dikategorikan bisa menjadi permasalahan filologi yakni gaya penulis naskah yang
hanya menggunakan tanda pada lingsa (,) (untuk selanjutnya disingkat PLi) di
bagian tengah maupun di akhir kalimat. Hal tersebut akan mengganggu pembaca
dalam memahami teks. Oleh sebab itu, dibutuhkan hasil suntingan teks yang
bersih dari kesalahan-kesalahan sehingga didapatkan teks yang mudah dibaca dan
dimengerti oleh pembaca. Berikut contoh penggunaan tanda PLi atau koma dalam
paragraf:
Gambar 1.8 Penulisan angka Romawi dalam pembagian kedelapan ajaran (SM: 8)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Transliterasi:
”Lamba punapa rangkêp (PLi) anggèr kêdah waspada (PLi) dados botên kablowok ing rêmbag (PLi) sawatawis dipunêmong (PLi) mangatur-aturipun kêdah kagalih ingkang panjang (PLi) sampun kasêsa anyagahi (PLi) nanging bilih sampun sagah sampun ngantos nyidrani (PLi) ingkang sampun kasagahakên kêdah kalêksanan (PLi) anggèr kêdah adhadhasar panggalih lamba rumiyin (PLi) kaliyan pangandika arum manis mardawa mamalad driya ingkang narik suka rêna (PLi) sampun ngêtrapakên pangandika sêrêng sora (PLi) ingkang sarèh rèrèh ririh (PLi) sawatawis ingkang radi sumarah ing karsa (PLi) ingkang botên rêkasa sangsara (PLi)
Keempat, isi dari naskah Serat Mudhatanya ini sangat menarik, yakni
tentang ajaran kepemimpinan (leadership). Kepemimpinan dalam hidup
bermasyarakat bagi generasi muda yang disajikan dalam bentuk dialog antara
seorang pemuda dengan seorang kyai atau ulama. Dalam Baoesastra Djawa
halaman 323 karya W.J.S.Poerwadarminta kata “mudha” diartikan sebagai
”enom” (muda) dan ”bodho” (bodoh). Dan pada halaman 592 kata “tanya”
diartikan sebagai ”takon” (bertanya).
Ajaran kepemimpinan dalam hidup bermasyarakat ini memuat tentang
bekal apa saja yang harus dimiliki bagi generasi muda ketika kelak terjun dalam
kehidupan berkeluarga, bertetangga, dan bermasyarakat. Di antaranya ada 8
Gambar 1.9 Penggunaan pungtuasi yang sama di dalam kalimat (SM: 7)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
pedoman yang benar-benar harus dipahami, yaitu kuwasa, purba, wisesa, kukum,
adil, paramarta, dana, dan pariksa. Dalam teks SM ini, kedelapan pedoman
tersebut diartikan sebagai berikut:
1. Kuwasa berarti wewenang yang dimiliki untuk memutuskan segala sesuatunya
secara bijak. Berikut kutipannya:
”Kuwasa: wênang ngewahi tatanan ingkang kirang murakabi dhatêng kulawarga” (SM: 7)
2. Purba berarti bertanggungjawab atas semua semua permasalahan dalam
kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Berikut kutipannya:
”Purba: mêngku dhatêng samukawis agêng alit, amis bacin, èwêt pêkèwêt, gampil angèl, ruwêt rêntêng, papa sangsara. Sadaya kukubanipun ing ngriku, punika anggèr ingkang kajibah mêngku.” (SM: 7)
3. Wisesa berarti tegas terhadap siapapun untuk senantiasa berbuat kebajikan.
Berikut kutipannya:
”Wisesa: punika satêngah amêksa dhatêng tindak sae. Angancam-ancam sintên ingkang nglampahi lêpat badhe tampi pamisesa ing samurwatipun nanging saderengipun kêdah dipundhawuhakên. Yen ala bakal nemu ala. Yen becik bakal nemu becik.” (SM: 8)
4. Kukum berarti perlakuan hukum yang sama terhadap siapapun. Berikut
kutipannya:
”Kukum: kêdah nindakakên ing salêrêsipun. Têgêsipun: botên bahu kapine sintên-sintêna bilih botên lêrês inggih kêdah kalêrêsakên. Manawi mêksa botên purun mantuni tindakipun ingkang awon. Ing ngriku sampun sêdhêngipun katindakakên prakawisipun.” (SM: 8)
5. Adil berarti bersikap adil terhadap siapapun, sesuai dengan usaha yang telah
dilakukan. Berikut kutipannya:
”Adil: punika tumrap dhatêng putra wayah sadhèrèk santana abdi agêng alit. Manawi prakawisan rêbat lêrês. Dhatêng sasaminipun putra wayah sadhèrèk santana abdi, kêdah dipuntêtêpakên ing pangadilanipun ingkang jêjêg. Babasan utang nyaur, nyilih ngulihake. Utang lara nyaur lara, utang pati nyaur pati, sapiturutipun. Botên kenging dlemok cung, kêdah wradin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Têgêsipn yen si dhadhap kang utang, mung nyaur samene, yen si waru kang utang kudu nyaur samene, punika dlêmok cung namanipun. Sampun ngantos makatên, kêdah sami-sami pamidananipun, sarta kêdah têtêp ingkang sampun kasêbut ing anggèr, anggèr botên kenging mèncèng.” (SM: 8)
6. Paramarta berarti berhati lembut dan mempunyai sifat belas kasihan terhadap
siapapun, sabar dan pemaaf. Berikut kutipannya:
”Paramarta: punika bilih putra wayah sadhèrèk santana abdi gadhah prakawis dhatêng anggèr, ingkang sanès prakawis agêng, kadosta kalentu ing patrap, dêksura, kumasurun, anggêgampil kagunganipun anggèr ingkang botên sapintêna, punika kêdah dipunparingi paramarta. Sampun lajêng katêtêpakên ing kalêpatanipun. Kêdah dipunaring-aringi supados asrêp manahipun. Saupami lêpat sakêdhik kemawon dhatêng angger lajêng kapidana awrat, sarta lajêng kauwus-uwus ingkang botên sampun-sampun, punika botên prayogi.” (SM: 9)
7. Dana berarti rajin berderma dengan pemberian yang terbaik. Berikut
kutipannya:
”Dana: inggih ingkang kêrêp paparing. Manawi paparing barang ingkang enggal risak, kadosta dhahar-dhaharan, sêmbêt sapanunggilanipun, punika kêdah ingkang kêrêp. Manawi paparing barang ingkang sagêd lami kanggenipun kadosta: ingkang warni mas, intên, dhuwung, tumpakan tuwin griya papan semahan. Punika kêdah ingkang awis-awis.” (SM: 9)
8. Pariksa berarti sungguh-sungguh ketika melakukan proses pemantauan dan
kontrol terhadap kinerja bawahannya, tidak didelegasikan tetapi terjun
langsung ke bawah. Berikut kutipannya:
”Pariksa: pikajêngipun inggih ingkang pariksa sayêktos. Têgêsipun ingkang botên kaliyan aturing liyan, ingkang awon ingkang sae anggèr kêdah matitisakên piyambak dhatêng tiyangipun, botên mawi lalantaran utusan sabab utusan punika asring suda wêwah kaliyan nyatanipun.” (SM: 12)
Kedelapan ajaran diatas relevan sekali dengan kenyataan hidup
bermasyarakat saat ini. Seorang pemuda yang nantinya bakal menjadi seorang
pemimpin, baik pemimpin di keluarga maupun pemimpin di masyarakat. Karena
kedudukannya sangat berpengaruh terhadap perubahan dan perbaikan kondisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
sosial ekonomi masyarakatnya. Masyarakat yang adil dan makmur lahir dari
kumpulan keluarga-keluarga yang harmonis dan selalu mentaati norma-norma
yang berlaku di masyarakat. Piwulang atau ajaran ini juga dilengkapi dengan
kisah kehidupan rumah tangga dan kepemimpinan Rosulullah Muhammad SAW
dan kisah perjuangan Nabi-Nabi sebelumnya seperti Nabi Adam, Daud, Sulaiman,
Yusuf serta kisah beberapa khalifah seperti Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib (SM: 18-35). Juga beberapa kisah
tentang gaya kepemimpinan beberapa pemimpin atau raja-raja di Jawa mulai dari
Kyai Ageng Sela hingga Paku Buwana VIII (SM: 75-90).
B. Batasan Masalah
Banyaknya permasalahan yang ada dalam Serat Mudhatanya,
kemungkinan naskah ini bisa diteliti dari berbagai sudut pandang. Untuk itu
diperlukan pembatasan masalah untuk mencegah melebarnya pembahasan.
Batasan masalah tersebut lebih ditekankan pada dua kajian utama, yakni kajian
filologis dan kajian isi. Kajian filologis digunakan untuk mengupas permasalahan
seputar uraian-uraian dalam naskah melalui cara kerja filologis, yakni meliputi
inventarisasi naskah, deskripsi naskah, transliterasi naskah, kritik teks, aparat
kritik dan terjemahannya. Sehingga diperoleh suntingan teks yang bersih dari
kesalahan-kesalahan. Kajian isi berfugsi untuk mengungkapkan isi yang
terkandung dalam teks Serat Mudhatanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian teks Serat Mudhatanya sebagai berikut:
1. Bagaimana suntingan teks dari Serat Mudhatanya yang bersih dari kesalahan
sesuai dengan cara kerja filologi?
2. Bagaimana ajaran yang terkandung di dalam Serat Mudhatanya?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menyajikan suntingan teks dari Serat Mudhatanya yang bersih dari kesalahan
sesuai dengan cara kerja filologi.
2. Mengungkapakan ajaran yang terkandung di dalam Serat Mudhatanya.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni
manfaat praktis dan teoretis, sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis
a. Menyelamatkan data dalam naskah Serat Mudhatanya dari kerusakan dan
hilangnya data dalam naskah tersebut.
b. Mempermudah pemahaman isi teks Serat Mudhatanya, sekaligus
memberikan informasi kepada masyarakat tentang ajaran yang terkandung
di dalamnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
2. Manfaat Teoretis
a. Memberikan kontribusi dan membantu peneliti lain yang relevan untuk
mengkaji lebih lanjut naskah Serat Mudhatanya khususnya dan naskah
Jawa pada umumnya dari berbagai disiplin ilmu.
b. Menambah kajian terhadap naskah Jawa yang masih banyak dan belum
terungkap isinya.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih
jelas mengenai laporan hasil penelitian. Laporan penelitian ini akan dibagi
menjadi lima bab, yang akan disusun sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Bab ini merupakan uraian tentang latar belakang masalah, batasan
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian
dan sistematika penulisan.
BAB II Kajian Teoritis
Bab ini menguraikan pengertian filologi, objek penelitian filologi
dan cara kerja filologi.
BAB III Metodologi Penelitian
Bab ini menguraikan bentuk dan jenis penelitian, sumber data dan
data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
BAB IV Pembahasan
Pembahasan diawali dengan pembahasan kajian filologi kemudian
dilanjutkan pembahasan kajian isi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
BAB V Penutup
Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai simpulan dari yang
telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Selain simpulan, dalam
bab ini juga akan dikemukakan saran-saran.
Sebagai bagian akhir dari penulisan laporan hasil ini akan
dilampirkan copy naskah dan daftar pustaka yang dipakai sebagai
bahan acuan dalam kegiatan penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Filologi
Filologi secara etimologis menurut Siti Baroroh Baried (1994), berasal
dari bahasa Yunani philologia yang berupa gabungan kata Philos yang berarti
“senang” dan Logos yang berarti “pembicaraan” atau “ilmu”. Jadi Filologi berarti
“senang berbicara”, yang kemudian berkembang menjadi “senang belajar”,
“senang kepada ilmu”, “senang kepada tulisan-tulisan”, dan kemudian “senang
kepada tulisan-tulisan yang bernilai tinggi” seperti karya-karya sastra (hal.2).
Istilah filologi muncul pada saat para ahli dihadapkan pada upaya
mengungkapkan kandungan suatu naskah yang merupakan produk masa lampau,
yaitu beratus-ratus tahun sebelum peneliti lahir. Dalam sejarah perkembangannya,
istilah filologi mengalami perubahan dan perkembangan.
Menurut Edward Djamaris (1977), filologi adalah ilmu yang objek
penelitiannya naskah-naskah lama (hal.2). Sedangkan menurut Achadiati Ikram
(1980), filologi dalam arti luas adalah ilmu yang mempelajari segala segi
kehidupan di masa lalu seperti yang ditemukan dalam tulisan. Di dalamnya
tercakup bahasa, sastra, adat istiadat, hukum dan lain sebagainya (hal.1).
Tugas utama filologi adalah menyediakan sebuah teks yang diperkirakan
paling mendekati aslinya dan menyediakan terbitan naskah yang mudah dipahami.
Dr. Haryati Soebadio menyatakan bahwa pekerjaan utama dalam penelitian
filologi ialah mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan (dalam
Edward Djamaris, 1977:22).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Robson dalam Prinsip-prinsip Filologi Indonesia menyatakan bahwa agar
sebuah karya sastra klasik ‘terbaca/dimengerti’ pada dasarnya ada dua hal yang
harus dilakukan: menyajikan dan menafsirkannya (Robson, S.O. 1994:12).
B. Objek Filologi
Edward Djamaris (1977) mengemukakan bahwa, objek penelitian filologi
terdiri dari dua hal yakni naskah dan teks (hal.2). Siti Baroroh Baried pun
berpendapat sama, filologi mempunyai objek naskah dan teks (hal.3). Dijelaskan
juga bahwa objek penlitian filologi adalah naskah tulisan tangan yang menyimpan
berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya masa lampau
(hal.54).
Semua bahan tulisan tangan itu disebut naskah (handschrift atau
manuschrift), sedangkan teks adalah kandungan atau muatan naskah sesuatu yang
abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja dan memuat berbagai ungkapan
pikiran serta perasaan penulis yang disampaikan kepada pembacanya.
C. Langkah Kerja Penelitian Filologi
Langkah kerja penelitian filologi menurut Masyarakat Pernaskahan
Nusantara (Manassa), terdiri atas: penentuan sasaran penelitian, inventarisasi
naskah, observasi pendahuluan, penentuan naskah dasar, transliterasi naskah, dan
penerjemahan teks. Sedangkan menurut Edward Jamaris (1977), langkah kerja
yang dilakukan dalam penelitian filologi meliputi inventarisasi naskah, deskripsi
naskah, perbandingan naskah, dasar-dasar penentuan naskah yang akan
ditranseliterasi, singkatan naskah dan transliterasi naskah (hal.23). Cara tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
digunakan apabila peneliti menemukan naskah jamak atau naskah yang lebih dari
satu. Teori tersebut tak selamanya harus dipaksakan bisa diterapkan pada semua
naskah. Masing-masing naskah mempunyai kondisi yang berbeda-beda.
Serat Mudhatanya ini penanganannya menggunakan tahapan/langkah
kerja penelitian filologi Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) yang
dipadukan dengan langkah kerja menurut Edward Djamaris. Karena Serat
Mudhatanya adalah naskah tunggal, maka tidak terdapat perbandingan naskah.
Secara terperinci langkah kerja penelitian filologi sebagai berikut:
1. Penentuan sasaran penelitian
Langkah pertama adalah menentukan sasaran, karena banyak ragam yang
perlu dipilih, baik tulisan, bahan, bentuk, maupun isinya. Ada naskah yang
bertuliskan huruf Arab, Jawa, Bali dan Batak. Ada naskah yang ditulis pada
kertas, daun lontar, kulit kayu, atau rotan. Ada naskah yang berbentuk puisi dan
ada pula yang berbentuk prosa. Ada naskah yang berisi sejarah/babad,
kesusastraan, cerita wayang, cerita dongeng, primbon, adat-istiadat,
ajaran/piwulang, dan agama.
Berdasarkan hal tersebut, ditentukan sasaran yang ingin diteliti adalah
sebagai berikut: naskah bertuliskan huruf Jawa carik, ditulis pada kertas,
berbentuk prosa dan berisi masalah piwulang/ajaran. Keseluruhan bentuk di atas
terangkum di dalam Serat Mudhatanya.
2. Inventarisasi naskah sasaran
Inventarisasi naskah dilakukan dengan mendaftar dan mengumpulkan
naskah yang judulnya sama dan sejenis untuk dijadikan objek penelitian. Menurut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Edi S. Ekadjati (1980) bila hendak melakukan penelitian filologi, pertama-tama
harus mencari dan memilih naskah yang akan dijadikan pokok penelitian, dengan
mendatangi tempat-tempat koleksi naskah atau mencarinya melalui katalog.
Langkah ini dilakukan untuk mengetahui jumlah naskah, dimana tempat
penyimpanannya, dan penjelasan lain tentang keadaan naskah.
3. Observasi Pendahuluan dan Deskripsi Naskah
Observasi pendahuluan ini dilakukan dengan mengecek data secara
langsung ke tempat koleksi naskah sesuai dengan informasi yang diungkapkan
oleh katalog. Setelah mendapatkan data yang dimaksud yakni Serat Mudhatanya
maka diadakan deskripsi naskah dan ringkasan isi.
Deskripsi naskah ialah uraian ringkas naskah terperinci. Deskripsi naskah
penting sekali untk mengetahui keadaan naskah dan sejauh mana isi naskah itu.
Emuch Sumantri (1986) menguraikan bahwa deskripsi naskah merupakan sarana
untuk memberikan informasi mengenai: judul naskah, nomor naskah, tempat
penyimpanan naskah, asal naskah, ukuran naskah dan teks, keadaan naskah,
jumlah baris setiap halaman, huruf, aksara, tulisan, cara penulisan, bahan naskah,
bahasa naskah, bentuk teks, umur naskah, fungsi sosial naskah serta ikhtisar teks
(halm.2). Sedangkan ringkasan isi naskah digunakan untuk mengetahui garis
besar kandungan naskah sesuai dengan urutan cerita dalam naskah.
4. Transliterasi naskah
Transliterasi naskah ialah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf
dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Penyajian bahan transliterasi harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
selengkap-lengkapnya dan sebaik-baiknya, agar mudah dibaca dan dipahami.
Transliterasi dilakukan dengan menyusun kalimat yang jelas disertai tanda-tanda
baca yang teliti, pembagian alinea dan bab untuk memudahkan konsentrasi
pikiran (Edward Djamaris, 1977:25).
5. Kritik teks
Kegiatan kritik teks dilakukan setelah naskah dideskripsikan. Pengertian
kritik teks menurut Paul Mass dalam Darusuprapta (1984) adalah menempatkan
teks pada tempat yang sewajarnya, memberi evaluasi terhadap teks, meneliti atau
mengkaji lembaran naskah dan lembaran bacaan yang mengandung kalimat-
kalimat atau rangkaian kata-kata tertentu.
6. Suntingan teks dan aparat kritik
Suntingan teks adalah menyajikan teks dalam bentuk aslinya, yang bersih
dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam naskah yang dikritisi.
Aparat kritik merupakan suatu pertanggungjawaban dalam penelitian
naskah yang menyertai suntingan teks dan merupakan kelengkapan kritik teks.
Segala kelainan bacaan yang ditampilkan merupakan kata-kata atau bacaan salah
yang terdapat dalam naskah tampak dalam aparat kritik. Jika peneliti melakukan
perubahan (conjecture), pengurangan (eliminatio), dan penambahan (divinatio) itu
harus selalu disertai pertanggungjawaban melalui dasar teori maupun rujukan
yang tepat. Kesemuanya itu dicatat dan ditempatkan pada aparat kritik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
7. Sinopsis
Sinopsis adalah penuturan yang ringkas suatu teks yang mencakup
keseluruhan isi secara utuh. Maksud mengemukakan sinopsis suatu teks yaitu
untuk memudahkan pembaca agar memperoleh gambaran isi teks secara
menyeluruh.
D. Pengertian Sastra Piwulang
Istilah serat wulang berasal dari kata serat dan wulang. Serat mempunyai
arti tulisan dan wulang piwulang mempunyai arti ajaran, pelajaran
(Prawiroatmojo, 1989-1990: 190&328). Dengan demikian serat wulang/piwulang
adalah tulisan yangh berisi tentang suatu ajaran. Ajaran tersebut tentunya
mengandung nilai-nilai keluhuran moral yang di dalamnya memuat pemikiran-
pemikiran tentang pengajaran moral secara baik menurut ukuran suatu bangsa.
Ajaran dalam serat wulang pada umumnya merupakan nilai-nilai yang berasal dari
pemikiran para pujangga. Keberadaan pujangga pada masa kesusastraan Jawa
Baru ini mempunyai kedudukan sebagai abdi dalem di kraton, kabupaten, sebagai
wali, kyai, atau guru di pondok pesantren. Para pujangga yang berfungsi sebagai
juru jarwa, juru anggit, juru penget, juru citra, juga juru penglipur
(Darusuprapta, 1980:12).
Serat wulang/piwulang merupakan karya sastra yang dominan dalam
sastra Jawa. Sebagai karya sastra lama, serat wulang ini mengandung nilai-nilai
rohani dan ajaran moral/etika yang ditujukan pada masyarakat pembacanya. Hal
ini merupakan suatu bukti bahwa karya sastra lama bersifat didaktis (Edi Subroto
dkk., 1996:4). Sifat didaktik ini dimungkinkan karena orang Jawa tidak memisah-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
misahkan nilai-nilai luhur yang dimiliki yakni nilai religius, filosofis, etis dan
estetis. Karya sastra yang sarat dengan nilai-nilai estetis (menyangkut tata karma,
norma, dan nilai-nilai kehidupan sehari-hari).
Serat piwulang sebagai fungsi didaktis ini pada umumnya dijadikan
sebagai pegangan hidup dalam membentuk sikap pribadi yang ideal (Sadewa,
1989:14). Serat wulang lebih banyak mengajarkan kehidupan praktis, kehidupan
lahiriah yang disebut budi luhur, seperti mematuhi aturan berumah tangga, aturan
pemerintah, aturan agama, mendidik bawahan, mendidik anak, bercita-cita luhur,
mencintai tanah air, mengendalikan hawa nafsu, menjauhi berbuat jahat. Terdapat
pula ajaran untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai upaya untuk mendasari
motivasi ajaran lahiriah (Moh. Ardani, 1995:45).
E. Kepemimpinan Jawa
Pada zaman pemerintah Islam di Jawa (seperti pemerintahan Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta) para leluluhur atau pujangga Jawa
mewariskan nilai-nilai atau pemikiran budaya Jawa kepada generasi sekarang
melalui naskah-naskah lama, baik berupa fiksi maupun nonfiksi yang cukup
melimpah. Karya sastra Jawa lama itu memuat berbagai hal, seperti bahasa,
filsafat, sastra, etika, hukum, obat-obatan dan sebagainya. Sejumlah warisan
naskah Jawa itu banyak yang berisi ajaran kepemimpinan yang disampaikan oleh
para pujangga atau para raja pada masa itu (Pardi Suratno, 2009:2)
Nilai-nilai kepemimpinan dalam naskah-naskah Jawa itu tampaknya
menjadi perhatian bagi para pemimpin Jawa saat ini. Oleh sebab itu, banyak pihak
yang berkeinginan tetap mewariskan nilai-nilai itu kepada generasi sesudahnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Sebagai sosok intelektual dan pemimpin rakyat yang menyadari dirinya sebagai
wakil Tuhan tentunya menyadari bahwa dirinya mempunyai tanggung jawab
menyampaikan ajaran yang memiliki nuansa universal dan melampaui batas
waktu itu kepada masyarakat luas (Pardi Suratno, 2009:2).
Diantara sejumlah naskah Jawa yang memuat ajaran kepemimpinan adalah
Sêrat Wulangrèh, Asthabrata, Sêrat Sabdatama, Sêrat Wedhatama, Sêrat
Tripama, Sêrat Wirawiyata, Sêrat Pepali, dan sebagainya. Realitas menunjukkan
bahwa ajaran kepemimpinan itu disampaikan oleh para pemimpin pemerintahan
Jawa saat itu, seperti yang dilakukan oleh Pakubuwana IV (melalui karya yang
sangat popular Sêrat Wulangrèh), Paku Buwana IX (Sêrat Wulangputra),
Mangkunagara IV (Sêrat Tripama, Sêrat Wirawiyata, Sêrat Wedhatama), dan
sebagainya. Asthabrata merupakan salah satu ajaran kepemimpinan yang paling
terkenal di Jawa. Ajaran Asthabrata terdapat dalam Sêrat Rama Jarwa atau
Sêrat Nitisruti. Di dalamnya disampaikan ada 8 ajaran yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin, yakni sebagai berikut:
1. Pemimpin berwatak bumi: mampu menampung seluruh rakyatnya; kuat
santosa; suci.
2. Pemimpin berwatak matahari: kekuatan, kesabaran, dan sumber energi.
3. Pemimpin berwatak rembulan: keindahan, kelembutan, kehadirannya sangat
dinantikan karena dapat menyenangkan semua pihak.
4. Pemimpin berwatak angin: kepekaan dan empati.
5. Pemimpin berwatak samudra: keikhlasan dan lapang.
6. Pemimpin berwatak geni: ketegasan, keberanian, dan keadilan hukum.
7. Pemimpin berwatak bintang: simbol keindahan dan keteladanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
8. Pemimpin berwatak mendung (awan): pengayoman, perlindungan, keamanan,
dan keteduhan serta kewibawaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Bentuk dan Jenis Penelitian
Bentuk penelitian terhadap Serat Mudhatanya ini adalah penelitian
filologi. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, artinya melalui pendekatan
kualitatif yang bersifat deskriptif, yang berarti semata-mata menggambarkan,
melukiskan, menuliskan, melaporkan objek penelitian pada saat ini berdasarkan
data yang ditemukan atau sebagaimana adanya. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Bogdan R.C dan S.K. Bikeln dalam M. Attar Semi (1993) bahwa pendekatan
kualitatif yang bersifat deskriptif ini berpandangan bahwa semua hal yang berupa
sistem tanda tidak ada yang patut diremehkan, semuanya penting dan semuanya
mempunyai pengaruh dan berkaitan dengan yang lain. Dengan mendeskripsikan
segala macam bentuk tanda (semiotik) mungkin akan membentuk dan
memberikan suatu pemahaman yang lebih komprehensif mengenai apa yang
sedang dikaji (hal.24).
Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka
atau library research yaitu penelitian yang menggunakan sumber-sumber tertulis
untuk memperoleh data (Edi Subroto, 1992:42).
B. Sumber Data dan Data Penelitian
Sumber data penelitian ini adalah Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta karya T.E. Behrend pada
tahun 1990 dan dalam Descriptive Catalogus of the Javanese manuscripts and
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Printed Book in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta karya Girardet-
Sutanto pada tahun 1983. Data penelitian adalah naskah dan teks yang berjudul
Serat Mudhatanya koleksi museum Sana Budaya dengan nomor katalog PB C56.
Data sekunder dalam penelitian ini berupa buku-buku, makalah, artikel
dan sumber informasi penunjang lainnya yang dapat membantu memberikan
informasi yang berkaitan dengan penelitian naskah tentang Serat Mudhatanya.
C. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data ini, mengacu pada langkah awal dari cara
kerja penelitian filologi yaitu inventarisasi naskah. Inventarisasi naskah
dilaksanakan sesuai dengan sasaran penelitian yang telah diputuskan di awal,
yakni naskah jenis piwulang. Pengertian inventarisasi naskah dalam penelitian ini
adalah usaha-usaha mendata, mengumpulkan data. Salah satu caranya adalah
dengan membaca katalog. Kemudian mendaftar semua judul naskah yang sama.
Melalui katalog tersebut akan diperoleh beberapa informasi dan keterangan
tentang naskah yang dimaksud, misalnya jumlah naskah, tempat penyimpanan
naskah, deskripsi naskah (nomor catalog, ukuran naskah, tulisan naskah, bahasa
naskah, isi kandungan naskah), dan lain-lain.
Setelah mendapat informasi dari katalog-katalog, langkah selanjutnya
adalah mengecek langsung ke lokasi penyimpanan naskah dan melakukan
pengamatan (observasi). Langkah selanjutnya teknik fotografi digital, yaitu
memotret naskah dengan kamera digital (tanpa blitz). Teknik wawancara juga
diperlukan guna memperdalam kajian isi sebagai data sekunder guna melengkapi
data primer.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
D. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah mengolah data sesuai dengan cara kerja filologi.
Analisis data akan diolah sesuai dengan teori tahapan/langkah kerja penelitian
filologi Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) yang telah dipadukan
dengan langkah kerja menurut Edward Djamaris, yakni mulai dari penentuan
sasaran penelitian, inventarisasi naskah, observasi pendahuluan dan deskripsi
naskah, transliterasi naskah, kritik teks, suntingan teks dan aparat kritik, dan
terjemahan. Pada naskah tunggal, langkah kerja perbandingan naskah dan dasar-
dasar penentuan naskah yang akan ditransliterasi tidak berlaku. Analisis data pada
kajian isi dilakukan setelah terjemahan. Karena secara garis besar isi naskah
secara keseluruhan dapat diketahui dan lebih jelas setelah kerja filologi yang lain
selesai.
Penyuntingan naskah tunggal dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu
metode edisi standar dan metode edisi diplomatik. Untuk teks Serat Mudhatanya
ini menggunakan metode edisi standar (biasa). Edisi standar menurut Lubis dalam
Naskah, Teks dan Metose Penelitian Filologi, yaitu:
Edisi standar adalah suatu usaha perbaikan dan meluruskan teks sehingga terhindar dari berbagai kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang timbul ketika proses penulisan. Tujuannya ialah untuk menghasilkan suatu edisi yang baru dan sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat, misalnya dengan mengadakan pembagian alinea-alinea, pungtuasi, huruf besar dan kecil, membuat penafsiran (interpretasi) setiap bagian atau kata-kata yang perlu penjelasan, sehingga teks tampak mudah dipahami oleh pembaca modern. (Nabilah Lubis, 2001:96).
Metode edisi standar digunakan jika isi naskah dianggap sebagai cerita
biasa, bukan cerita yang dianggap suci atau penting dari sudut agama atau bahasa,
sehingga tidak perlu diperlakukan secara khusus atau istimewa (Edward Djamaris,
1991:15). Hal-hal yang dilakukan dalam edisi standar ini antara lain:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
membetulkan kesalahan teks, membuat catatan perbaikan, memberi komentar atau
tafsiran, menyusun daftar kata sulit sehingga memudahkan pembaca atau peneliti
membaca dan memahami teks.
Tahap akhir dari analisa data dengan mengungkapkan isi yang terkandung
dalam teks ini yakni dengan teknik analisis interpretasi digunakan untuk
menginterpretasikan isi naskah melalui berbagai sudut pandang peneliti yang
didukung dengan data penunjang, yakni buku-buku, artikel-artikel, majalah-
majalah, makalah-makalah, dan lain-lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
BAB IV
ANALISA DATA
A. Kajian Filologis
Kajian filologis memiliki tujuan menggambarkan, melukiskan,
menuliskan, melaporkan obyek penelitian pada saat ini, berdasarkan data yang
ditemukan atau sebagaimana adanya. Kajian ini terdiri atas lima bagian, yakni:
deskripsi naskah, transliterasi naskah, kritik teks, suntingan teks dan aparat kritik,
serta terjemahan.
Kelima bagian tersebut selengkapnya akan diuraikan sebagaimana berikut
ini:
1. Deskripsi Naskah
Deskripsi naskah adalah gambaran secara ringkas dan terperinci mengenai
wujud fisik naskah maupun isi naskah dengan tujuan untuk mempermudah
pengenalan terhadap naskah beserta konteks isinya. Deskripsi naskah yang
dilakukan terhadap naskah yang menjadi objek penelitian ini berpedoman pada
pendapat yang dikemukakan oleh Emuch Hermansoemantri (1986) yang
disesuaikan dengan karakteristik naskah yang diteliti.
Hal-hal yang diungkapkan dalam deskripsi naskah antara lain menyangkut
informasi atau data mengenai: (1) judul naskah; (2) nomor naskah; (3) tempat
penyimpanan naskah; (4) identitas pengarang/ penyalin; (5) manggala/ kolofon;
(6) ukuran naskah; (7) ukuran teks; (8) tebal naskah/ jumlah halaman; (9) jumlah
baris pada setiap halaman; (10) cara penulisan; (11) bahan naskah; (12) bahasa
naskah; (13) bentuk teks; (14) huruf, aksara, tulisan; (15) keadaan naskah; (16)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
umur naskah; (17) ikhtisar teks/ cerita; dan (19) catatan lain. Berikut deskripsi
lengkap naskah SM.
(1) Judul naskah
Naskah ini tercatat dalam katalog T.E. Behrend, Katalog Induk Naskah-
Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta (1990), pada
halaman 504, dengan judul Serat Mudatanya. Ketika dilakukan pengecekan
langsung ke tempat penyimpanan naskah, judul pada cover luar naskah
bertuliskan “Serat Moedatanya. Serat Kawontenanipoen Pergerakan
Koemoenis” dan pada cover dalam naskah juga pada bagian jilidan luar
bertuliskan “Moedatanya (Koemoenis)”.
Dua bentuk teks yang berbeda jika dihubungkan dengan dua judul naskah
yang berbeda penulisannya pula, ada beberapa kemungkinan seperti berikut:
1. Jika didasarkan pada judul di hard cover, dua teks yang berbeda bentuk
memiliki judul masing-masing, yakni teks yang berbentuk prosa memiliki
judul ”Serat Mudhatanya”, sedangkan teks yang berbentuk tembang
macapat memiliki judul ”Serat Kawontenanipun Pergerakan Koemunis”,
sehingga bisa dikatakan diantara keduanya berdiri sendiri.
2. Jika didasarkan pada judul di bagian jilidan luar dan cover dalam, dua teks
yang berbeda bentuk tersebut menjadi satu dalam satu judul, yakni judul
Serat Mudhatanya, sehingga bisa dikatakan diantara keduanya saling
berkaitan.
Setelah kedua teks ini dibaca lebih teliti lagi, ternyata di antara keduanya tidak
mempunyai keterikatan. Keduanya saling berdiri sendiri dengan isi atau
informasi yang dimiliki masing-masing. Teks yang berbentuk prosa termasuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
dalam kategori naskah Jawa jenis piwulang, sedangkan teks yang berbentuk
tembang macapat termasuk dalam kategori naskah Jawa jenis sejarah. Karena
sasaran penelitian ini adalah naskah manuskrip jenis piwulang bukan sejarah,
maka judul yang dipilih adalah Serat Mudhatanya. Dan judul Serat
Kawontenanipun Pergerakan Koemunis merupakan judul milik teks lain yang
berbentuk tembang macapat.
(2) Nomor naskah
Dalam katalog T.E. Behrend, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I
Museum Sana Budaya Yogyakarta (1990) pada halaman 504, naskah ini
terdaftar dengan nomor PB C56 dengan nomor rol film 112 no.10.
(3) Tempat penyimpanan naskah
Museum Sana Budaya Yogyakarta.
(4) Identitas pengarang/ penyalin
Teks SM dikarang oleh R.T.Purbadipura, hal ini dapat dilihat dari kutipan
halaman iv teks SM, yaitu:
“Sêrat Mudhatanya punika, ingkang ngarang Raden Tumênggung Purbadipura, Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong Têngên ing Surakarta Hadiningrat. Pangarangipun nalika dintên Kêmis Lêgi tanggal kaping 28 wulan Sura taun Jimakir angka 1858 utawi kaping 28 Juli taun angka 1927. Gagriya salêbêting nagari ing kampung Kratonan Kidul, ondêr dhistrik Sêrêngan, sakilène Pasar Gêmblêgan.” Terjemahan:
”Serat Mudhatanya ini yang mengarang Raden Tumenggung Purbadipura, Abdi Dalem Bupati Anom Gedhong Tengen di keraton Surakarta Hadiningrat. Pembuatannya ketika hari Kamis Legi tanggal 28 bulan Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Bertempat tinggal di kampung Kratonan Kidul, distrik Serengan, sebelah barat Pasar Gemblegan.”
R.T.Purbadipura merupakan seorang Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong
Têngên keraton Surakarta. Beliau hidup pada zaman pemerintahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Pakubuwana X. R.T.Purbadipura adalah abdi dalem kesayangan Pakubuwana
X. Beliau seorang sastrawan yang sering menggubah perjalanan-perjalanan
PB X dalam bentuk tembang. R.T.Purbadipura merupakan ayah dari R.Ng.
Poerbacaraka. R.T.Purbadipura selain sebagai pengarang naskah SM ini juga
sekaligus sebagai penulis teks SM, tetapi beliau hanya menulis pada halaman
53a-90, sedangkan halaman-halaman sebelumnya ditulis oleh seorang jurutulis
bernama Wignyaukara. Hal ini bisa dilihat dari kutipan halaman 37 teks SM
berikut:
”................................................................... a : inggih nggèr ndhèrèkakên wilujêng b : sampun kyai a : inggih
Ingkang ngarang Purbadipura Ingkang nyêrat Wignyaukara”
Terjemahan:
“………………….. a : ya nak, silahkan. Semoga selamat. b : cukup sekian kyai a : ya Yang mengarang Purbadipura Yang menulis Wignyaukara”
Selain naskah Serat Mudhatanya, beliau juga aktif menulis lebih dari 15 judul.
Sebagian besar bertemakan ajaran didaktik yang bernuansa Islam, etika hidup
manusia dan sejarah. Karya-karya tersebut diantaranya Serat Sri Karongron,
Serat Sri Papara, Serat Resi Danardana, Serat Sriyatna, Serat Sri Hascarya,
Serat Sri Sekaringpuri, Serat Sri Dirgayuswa, Serat Sri Hutomo, Bab
Dodotan, Cathetan Warni-warni, Essing Purbadipura, Kiyamat Kubra I-IV,
dan lain-lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
(5) Manggala/ kolofon
Naskah ini ditulis pada tahun 1858 Jawa. Sebagaimana yang tertulis pada
manggala berikut ini:
“Sêrat Mudhatanya punika, ingkang ngarang Raden Tumênggung Purbadipura, Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong Têngên ing Surakarta Hadiningrat. Pangarangipun nalika dintên Kêmis Lêgi tanggal kaping 28 wulan Sura taun Jimakir angka 1858 utawi kaping 28 Juli taun angka 1927. Gagriya salêbêting nagari ing kampung Kratonan Kidul, ondêr dhistrik Sêrêngan, sakilène Pasar Gêmblêgan.” Terjemahan:
”Serat Mudhatanya ini yang mengarang Raden Tumenggung Purbadipura, Abdi Dalem Bupati Anom Gedhong Tengen di keraton Surakarta Hadiningrat. Pembuatannya ketika hari Kamis Legi tanggal 28 bulan Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Bertempat tinggal di kampung Kratonan Kidul, distrik Serengan, sebelah barat Pasar Gemblegan.”
(6) Bahan naskah
Naskah SM dikemas dalam sebuah buku tulis cukup tebal dengan ketebalan
1,1 cm. Kertas yang dipakai kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna biru
muda). Kertasnya cukup tebal. Terdapat garis bantu dengan pensil untuk
batas margin.
Penulis menemukan ada 2 jenis kertas lain di luar kertas asli dari buku yang
digunakan untuk menuliskan teks SM. Kertas-kertas tersebut tidak setebal
kertas asli dari buku. Dua jenis kertas lain tersebut yang satu ditempelkan
dengan kertas asli dari buku, yang satunya hanya disisipkan, tidak
ditempelkan. Berarti dalam satu buku ada 3 jenis kertas, yaitu:
1) Kertas asli dari buku itu sendiri: kertas lokal, bergaris (garisnya
berwarna biru muda), kualitas kerta cukup tebal, tiap halaman ada 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
baris, berukuran 21,2 cm x 16, 8 cm, warna kertas coklat muda agak
kekuning-kuningan.
2) Kertas yang ditempel: kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna hitam),
tiap halaman ada 23 baris, kualitas kertas lebih tipis bila dibandingkan
denga kertas asli dari buku, ukuran kertas sama dengan kertas yang asli
dari buku, yaitu 21,2 cm x 16, 8 cm, warna kertas coklat muda agak
kekuning-kuningan.
3) Kertas yang disisipkan: kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna hitam),
kualitas kertas tipis, berwarna coklat (coklatnya lebih gelap bila
dibandingkan dengan 2 jenis kertas di atas, berukuran 17,4 cm x 15,4
cm.
(7) Keadaan naskah
Keadaan naskah secara fisik baik utuh/ lengkap, tidak ada lembaran-lembaran
naskah yang hilang, ada beberapa lubang kecil di halaman bagian awal tetapi
tidak sampai mengenai tulisan, dijilid, hard cover berwarna hitam bercorak
keemasan. Ada sekitar 2-3 lembar di bagian pertengahan naskah yang disobek
secara sengaja dan terlihat pemotongannya rapi untuk menempelkan kertas
lain (kertas tambahan).
Teks pada halaman 63-70 (8 hal) dicoret dengan tanda silang oleh penulis
sebagai penanda bahwa teks tersebut sudah tidak terpakai (tidak perlu dibaca).
(8) Ukuran naskah
Naskah SM berukuran panjang 21,2 cm dan lebar 16,8 cm.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
(9) Ukuran teks
Dari uraian tentang bahan naskah diatas, yakni ada 3 jenis kertas yang
berbeda-beda, hal tersebut mempengaruhi ukuran teks. Sehingga ada 3 ukuran
teks yang masing-masing juga berbeda. Berikut uraiannya:
1) Kertas asli dari buku itu sendiri
Ukuran teks pada halaman ganjil (sebelah kiri) : 17,8 cm x 11,2 cm
Ukuran teks pada halaman genap (sebelah kanan) : 17,8 cm x 11,1 cm
▪ Margin atas : 2 cm
▪ Margin bawah : 1,4 cm
Ukuran margin kanan dan kiri antara halaman ganjil (halaman sebelah
kiri) dengan halaman genap (halaman sebelah kanan) berbeda, yakni:
Halaman ganjil (halaman sebelah kiri):
Margin kiri : 3,1 cm
Margin kanan : 2,5 cm
Halaman genap (halaman sebelah kanan):
Margin kiri : 2,4 cm
Margin kanan : 3,3 cm
2) Kertas yang ditempel
Ukuran teks pada halaman ganjil (sebelah kiri) : 16,4 cm x 11 cm
Ukuran teks pada halaman genap (sebelah kanan) : 16,4 cm x 10,8 cm
▪ Margin atas : 2,7 cm
▪ Margin bawah : 2,1 cm
Ukuran margin kanan dan kiri antara halaman ganjil (halaman sebelah
kiri) dengan halaman genap (halaman sebelah kanan) berbeda, yakni:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Halaman ganjil (halaman sebelah kiri):
Margin kiri : 3,8 cm
Margin kanan : 2 cm
Halaman genap (halaman sebelah kanan):
Margin kiri : 2,1 cm
Margin kanan : 3,9 cm
3) Kertas yang disisipkan
Panjang x lebar : 17,1 cm x 15,4 cm
▪ Margin atas : 2,2 cm
▪ Margin bawah : 1,5 cm
▪ Margin kiri : 2,4 cm
▪ Margin kanan : 3,2 cm
Pada kertas ini, teks ditulis hanya satu muka (tidak recto verso), maka
tidak ada pembedaan antara halaman ganjil (halaman sebelah kiri) dengan
halaman genap (halaman sebelah kanan).
(10) Tebal naskah/ jumlah halaman
Tebal naskah SM berukuran 1,1 cm dengan jumlah halaman 130 halaman atau
65 lembar, berikut keterangannya:
Tabel 4.1 Tabel ketebalan naskah SM
Naskah Halaman Jumlah halaman
Serat Mudhatanya
(prosa berbentuk dialog)
i-xi 11 hal
1-37 37 hal
53a, 53b, 53c 3 hal
54-57 4 hal
58a, 58b 2 hal
59-74 16 hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
74a-74i (satu muka,
tidak recto verso)
9 hal x 2 : 18 hal
75-90 16 hal
Teks lain: Serat
Kawontenanipun
Pergerakan Komunis
(berbentuk tembang
macapat)
38-52 15 hal
Lembaran sisa (tidak
ditulisi)
8 hal
Total halaman 130 hal
(11) Jumlah baris pada setiap halaman
Jumlah baris pada setiap halaman rata-rata 24 baris:
a. SM 1-37 (penulis Wignyaukara) : 24 baris
b. SM 53a-90 (penulis R.T. Purbadipura) : 21-22 baris
(12) Cara penulisan
Penulisan teks pada setiap halaman ditulis secara bolak-balik, atau yang
lebih dikenal dengan sistem recto verso, yaitu lembaran-lembaran naskah
yang ditulisi pada kedua halaman muka dan belakang. Selain itu hanya
beberapa halaman yang ditulis secara satu muka (tidak recto verso), yaitu
pada halaman 74a sampai 74i. Ditulis satu muka karena kualitas kertasnya
cukup tipis dan tinta yang dipakai sangat tebal berwarna hitam pekat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Sehingga kecil kemungkinan teks pada halaman tersebut ditulis secara recto
verso.
Teks ditulis ke arah lebarnya, artinya teks ditulis sejajar dengan lebar
lembaran naskah, ditulis dari kiri ke kanan.
Penomoran halaman menggunakan 2 jenis angka, yaitu:
a. Angka Jawa: pada halaman 1-74 dan 75-90, terletak di sebelah atas
tengah.
b. Angka Arab: pada halaman 74a-74i, terletak di sebelah atas pojok
kanan, kemungkinan besar penomoran ini adalah tambahan dari
pembaca karena warna tinta teks dengan nomor halaman berbeda.
(13) Bahasa naskah
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Baru, ragam krama dan ngoko,
disisipi oleh bahasa Arab. Bahasa naskah cukup mudah dipahami oleh
masyarakat pembaca saat ini.
(14) Bentuk teks
Teks SM ditulis dalam bentuk prosa berupa teks dialog.
(15) Huruf, aksara, tulisan
Huruf yang dipakai ada 3 macam, yaitu:
a. Huruf Jawa carik: digunakan untuk menuliskan teks secara keseluruhan.
b. Huruf Arab: hanya digunakan ketika menuliskan kata “Allah”.
c. Huruf Latin: hanya digunakan ketika menuliskan icon kedua tokoh
dalam teks yang sedang berdialog.
Karena teks SM ini ditulis oleh 2 penulis, maka bentuk tulisannya berbeda,
yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
a. Penulis I (Wignyaukara):
- Ukuran font sedang
- Jarak antar huruf rapat
- Bentuk huruf ngetumbar miring ke kanan
- Tulisan jelas dan mudah dibaca
- Jarak antar baris cukup longgar
- Goresan pena sedang, tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis,
dengan tinta berwarna biru tua
- Sangat rapi, tidak ada coretan-coretan karena kesalahan penulisan
b. Penulis II (Purbadipura):
- Ukuran font agak kecil bila dibandingkan dengan tulisan penulis I
- Jarak antar huruf agak renggang
- Bentuk huruf ngetumbar miring ke kanan
- Tulisan jelas tetapi agak susah dibaca
- Jarak antar baris cukup longgar
- Goresan pena sangat tipis dengan tinta berwarna coklat, kecuali
pada halaman 74a-74i, goresan pena terlalu tebal dengan tinta
berwarna hitam pekat
- Kurang begitu rapi, banyak sekali coretan-coretan karena kesalahan
penulisan, banyak kata dan kalimat yang disisipkan karena susunan
kalimat dirasa kurang oleh penulis. Kata dan kalimat tambahan
tersebut ditempatkan di bagian margin (kanan, kiri, atas dan bawah
halaman teks).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Pungtuasi atau tanda baca yang peneliti temukan di dalam teks SM ada
beberapa bentuk, yaitu:
a.
Dalam penulisan Jawa, tanda ini dikenal dengan istilah “pada lingsa”,
fungsinya sebagai tanda berhenti (tepatnya jeda) pada kata, frasa dan
klausa di dalam kalimat. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah
tanda “koma” dalam suatu kalimat.
Fungsi tanda ini di dalam teks SM: tidak hanya sebagai tanda jeda suatu
kata, frasa dan klausa di dalam kalimat tetapi juga sebagai tanda
berhenti kalimat itu sendiri. Sehingga tanda berhenti antara kata, frasa,
klausa dan kalimat di dalam teks SM ini tidak ada pembedaan tanda,
keduanya sama. Kemungkinan besar pembaca akan merasa cukup
kesulitan ketika membaca dan memahami teks SM ini.
b.
Dalam penulisan Jawa, tanda ini dikenal dengan istilah “pada lungsi”,
berfungsi sebagai tanda berhenti suatu kalimat. Dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan istilah tanda “titik” dalam suatu kalimat.
Fungsi tanda ini di dalam teks SM:
- sebagai tanda berhenti suatu kalimat, tetapi fungsi ini sedikit sekali
pengaplikasiannya, peneliti temukan hanya ada di halaman 24, 28,
dan 31
- sebagai tanda petik dalam kalimat langsung (kalimat langsung dari
kutipan teks dari naskah lain di luar teks SM)
- untuk mengapit kutipan teks dari naskah lain di luar teks SM
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
- dipakai sekali sebagai tanda berhenti ketika menuliskan judul teks
SM
c.
Fungsi tanda ini di dalam teks SM adalah:
- untuk mengungkapkan persamaan kata (SM: 14 & 15)
- untuk mengungkapkan maksud dari suatu kata tertentu (SM: 34)
d.
Fungsi tanda “titik dua” di dalam teks SM ini adalah:
- dipakai pada akhir sutau pernyataan lengkap yang diikuti rangkaian
atau pemerian
- dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian
e.
Tanda yang mirip dengan huruf “L” ini dalam teks SM berfungsi untuk
menandai adanya kekurangan teks. Penulisannya, tanda ini diletakkan
pada bagian bawah teks yang kurang, kemudian teks tambahannya
diletakkan pada daerah margin bagian kiri.
f.
Tanda yang mirip dengan huruf “T” ini dalam teks SM mempunyai
fungsi yang sama dengan tanda sebelumnya, tanda yang mirip dengan
huruf “L”, yaitu sebagai tanda untuk menandai adanya kekurangan teks.
Penulisannya, tanda ini diletakkan di samping teks yang kurang,
kemudian teks tambahannya diletakkan di daerah margin bagian kanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
g.
Tanda yang mirip dengan huruf “F” ini dalam teks SM mempunyai
fungsi yang sama dengan tanda sebelumnya, tanda yang mirip dengan
huruf “L” dan huruf “T”, yaitu sebagai tanda untuk menandai adanya
kekurangan teks. Penulisannya, tanda ini diletakkan di samping teks
yang kurang, kemudian teks tambahannya diletakkan di daerah margin
bagian kanan.
h.
Tanda ini dalam teks SM berfungsi sebagai tanda yang mengisyaratkan
bahwa kata yang hendak ditulis sama dengan kata diatasnya, sehingga
kata yang tersebut tidak perlu ditulis kembali, cukup dengan menuliskan
tanda ini.
(16) Umur naskah
Naskah ini dibuat pada tanggal 28 Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli
1927. Tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa naskah ini adalah
naskah salinan. Informasi yang penulis temukan di halaman 37 tentang
penulis dan pengarangnya, mengandung maksud bahwa pengarang meminta
kepada juru tulis untuk menuliskan teks karangannya. Hal ini dikuatkan
dengan adanya tanda semacam tanda-tangan dari pengarang langsung. Jadi
umur naskah SM sampai tahun ini (2009) adalah 82 tahun.
(17) Ikhtisar teks/ cerita
Teks SM yang berbentuk teks dialog ini, mengisahkan dua orang, yakni
seorang kyai dan seorang murid, yang sedang berdialog membahas tentang
etika hidup bermasyarakat dan kepemimpinan. Dialog terjadi di rumah kyai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Dialog antara kyai dan murid ini terjadi dalam 4 kali dialog dengan tema
dialog yang berbeda-beda, berikut uraiannya:
a. Dialog I (SM: 1-16)
Berisi tentang etika hidup bermasyarakat bagi seorang pemimpin
dalam lingkup keluarga, tetangga, bawahan, dan hubungan dengan pihak
luar (8 ajaran kepemimipinan). Kepada keluarga dan sanak saudaranya dia
harus dekat, mencintai keluarga dan sanak saudaranya seperti mencintai
dirinya sendiri, tidak ada rasa rikuh pakewuh. Jika ada dari anggota
keluarga atau sanak saudaranya yang melakukan kesalahan, tidak langsung
dimarahi dengan semena-mena, hadapi dengan kelembutan dan kepala
dingin. Jika terbukti bersalah, jangan langsung memarahinya di depan orang
banyak. Pilihlah moment yang tepat untuk menegurnya, disampaikan
dengan penuh kelembutan dan kesabaran. Memberikan nasehat secukupnya
sesuai dengan kesalahan yang telah dilakukan. Dalam menegur jangan
sampai berlebihan sampai menjatuhkan wibawa dan reputasi sebagai
pemimpin keluarga.
Kepada para abdinya, seorang pemimpin harus memberikan
kepahaman akan tugas dan kewajibannya, selalu diingatkan agar jangan
sampai mengkhianati pekerjaan dan kewajibannya. Pemimpin yang baik
harus memperhatikan kesejahteraan abdi-nya, (kebutuhannya) jangan
sampai ada yang terlantarkan. Membangun hubungan yang baik dengan
abdi-nya, tidak sewenang-wenang (unsur senioritas). Berlaku seadil-adilnya
terhadap para abdi yang terbukti melakukan kesalahan, memberikan
ganjaran/ hukuman sesuai dengan kadar kesalahan yang telah dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Kepada tetangganya, pemimpin yang baik harus senantiasa
menjaga hubungan baik dengan orang lain, baik itu yang muda maupun
yang tua. Ketika bermusyawarah atau berdiskusi, tidak tergesa-gesa untuk
menyanggah pendapat orang lain melainkan didengarkan dahulu baik-baik,
dicerna baru kemudian ditanggapi dengan bahasa yang baik dan santun,
jangan sampai mengecewakan pihak yang berpendapat.
Untuk itu, ada 8 hal yang harus dipahami oleh seorang pemimpin,
yakni:
1) Kuwasa berarti wewenang yang dimiliki untuk memutuskan segala
sesuatunya secara bijak.
2) Purba berarti bertanggungjawab atas semua permasalahan dalam
kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya.
3) Wisesa berarti tegas terhadap siapapun untuk senantiasa berbuat
kebajikan.
4) Kukum berarti perlakuan hukum yang sama terhadap siapapun.
5) Adil berarti bersikap adil terhadap siapapun, sesuai dengan usaha yang
telah dilakukan.
6) Paramarta berarti berhati lembut dan mempunyai sifat belas kasihan
terhadap siapapun, sabar dan pemaaf.
7) Dana berarti rajin berderma dengan pemberian yang terbaik.
8) Pariksa berarti sungguh-sungguh ketika melakukan proses pemantauan
dan kontrol terhadap kinerja bawahannya, tidak didelegasikan tetapi
terjun langsung ke bawah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
b. Dialog II (SM: 16-37)
Berisi tentang keteladanan kepemimpinan dari para Nabi dan para
sahabat Nabi yang dikutip dari Serat Tajussalatin, yakni Nabi Adam, Nabi
Musa, Nabi Yusuf, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad, Abu
Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib.
c. Dialog III (SM: 53c-62)
Berisi tentang deskripsi kondisi alam, yakni iklim dan cuaca yang
terjadi saat itu hubungannya dengan sikap penduduk (faktor sebab dan
akibat).
d. Dialog IV (SM: 71-90)
Berisi tentang keteladanan kepemimpinan raja-raja di Jawa (Mataram,
Surakarta, Yogyakarta) mulai dari Ki Ageng Sela hingga PB VIII.
2. Kritik Teks
Kegiatan kritik teks dilakukan setelah naskah dideskripsikan. Pengertian
kritik teks menurut Paul Mass dalam Darusuprapta (1984) adalah menempatkan
teks pada tempat yang sewajarnya, memberi evaluasi terhadap teks, meneliti atau
mengkaji lembaran naskah dan lembaran bacaan yang mengandung kalimat-
kalimat atau rangkaian kata-kata tertentu. Baried berpendapat bahwa, “kritik teks
memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks pada tepatnya
yang tepat. Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan teks sedekat-dekatnya
dengan teks aslinya (constitutio textus) (Siti Baroroh Baried, et.al. 1994: 61).
Adapun Sangidu menyatakan:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Dengan kegiatan kritik teks ini, teks sudah dapat dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dan telah tersusun kembali seperti semula sehingga dapat dipandang sebagai bentuk teks mula (arketip) yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber untuk kepentingan berbagai penelitian dalam bidang ilmu-ilmu lain. (Sangidu, 2004: 82)
Berdasarkan kegiatan kritik teks yang telah dilakukan terhadap teks Serat
Mudhatanya ditemukan beberapa bentuk kesalahan tulis yang meliputi: lakuna,
adisi, substitusi, ditografi, dan transposisi. Selain itu juga ditemukan beberapa
ketidakkonsistenan penulisan kata dan variasi-variasi penulisan kata. Masing-
masing penjelasannya sebagai berikut:
(1) Lakuna
Lakuna adalah pengurangan huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks.
Tabel 4.2 Tabel Lakuna
No. Halaman/
Baris Tertulis Jawa
Tertulis
Latin Edisi
1. 29/7
lèmè lèmèk
2. 29/22
kabungah kabungahan
3. 53c/21
wêdal wêkdal
4. 54/7, 56/13
jam jaman
5. 54/20
landhungi landhunging
6. 56/12
titisa titisan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
7. 57/9
gadha gadhah
8. 57/11
pamrentaha pamrentahan
9. 58b/5
gri griya
10. 58b/21
parentah pamarentah
11. 59/5
tan kê tan kêna
12. 61/14 Wallahu
akam
Wallahu
aklam
13. 61/21
jantu jantung
14. 71/14
panjêngan panjênêngan
15. 73/9, 74/17
Kya Agêng Kyai Agêng
16. 74/8
wontê wontên
74e/7
mukmi mukmin
17. 77/16
suksa suksma
18. 79/13
saètu saèstu
19. 83/14
bala-ba bala-bala
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
(2) Adisi
Adisi adalah penambahan huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks.
Tabel 4.3 Tabel Adisi
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 7/23
dipunicaling dipunicali
2. 60/16
anggung agung
3. 74f/1 Narendrar
Narendra
(3) Substitusi
Substitusi adalah penggantian huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks.
Tabel 4.4 Tabel Substitusi
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis
Latin Edisi
1. 32/9
yatin yatim
2. 36/6
dasanipun dhasaripun
3. 57/19
Bêgêblug Pagêblug
4. 57/22
sarma Darma
5. 58a/6-7 kadhah gadhah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
6. 58a/22
karingipun garingipun
7. 58b/8
kêmbong kêmbung
8. 59/15
ngêdur ngêdhur
9. 60/10
dakmênang sakwênang
10. 60/19
sanakari sanagari
11. 61/7
thilar tilar
12. 62/3
dinas dhinas
13. 75/14-15
lêlakuhanipun lêlabuhanip
un
14. 76/3-4
mapat wapat
15. 77/13
sama nama
16. 84/17
dati-ati ngati-ati
17. 84/1-2
narama narima
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
18. 85/7 kalakuanipun lêlabuhanip
un
19. 90/12
mêsêp mênêp
20. 74e/17
Ngayogya Ngayodya
(4) Transposisi
Transposisi adalah perpindahan letak huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks.
Tabel 4.5 Tabel Transposisi
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 88/2
lêgêm gêlêm
Selain kesalahan penulisan teks seperti lakuna, adisi, substitusi, dan
ditografi, terdapat pula ketidakkonsistenan cara penulisan kata, yaitu:
a. Penulisan kata ‘kagaliya’ dengan ‘kagaliha’
Tabel 4.6 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘kagaliya’ dengan ‘kagaliha’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 5/2 kagaliya
kagaliya 2. 4/14-15 kagaliha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
b. Penulisan kata ‘dhahuru’ dengan ‘dahuru’
Tabel 4.7 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘dhahuru’ dengan ‘dahuru’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 57/18
dhahuru
dhahuru 2. 56/15
dahuru
c. Penulisan kata ‘kalentu’, ‘kêlèntu’ dan ‘kalintu’
Tabel 4.8 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘kalentu’, ‘kêlèntu’ dan ‘kalintu’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 15/22
kalintu
kalèntu
2. 53c/19, 74/14
kalèntu
3. 72/15-16
kêlèntu
d. Penulisan kata ‘asreng’ dengan ‘angsring’
Tabel 4.9 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘asreng’ dengan ‘angsring’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 83/9-10
asreng
asring
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
2. 83/7
angsring
e. Penulisan kata ’Mukammat’, ’Mukammad’ dan ’Mukamad’
Tabel 4.10 Ketidakkonsitenan dalam penulisan kata ’Mukammat’, ’Mukammad’
dan ’Mukamad’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 15/9
Mukammat
Mukammad 2. 27/16, 28/2,
29/24
Mukamad
3. 33/8
Mukammad
f. Ketidak-konsistenan dalam penulisan bunyi vocal
Tabel 4.11 Ketidakkonsitenan dalam penulisan bunyi vocal
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 72/18
Eslam Islam (dengan
huruf ‘i’
Murda)
72/13, 72/19,
73/7, 80/19
Eslam
2. 76/7
Nis
Nis 74/20
Nês
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Selain kesalahan dan ketidak-konsitenan dalam penulisan kata, di dalam
teks SM ini juga ditemui ada beberapa variasi dalam penulisan kata, berikut
uraiannya:
a. Variasi penulisan kata ‘blêdug’ dan kata ‘balêdug’
Tabel 4.12 Variasi penulisan kata ‘blêdug’ dan kata ‘balêdug’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin
1. 54/16
blêdug
2. 58a/12
balêdug
b. Variasi penulisan kata ‘saknagari’ dan kata ‘saknêgari’
Tabel 4.13 Variasi penulisan kata ‘saknagari’ dan kata ‘saknêgari’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin
1. 53c-54/22-1
saknagari
2. 54/8
saknêgari
c. Variasi penulisan kata ‘glêpung’ dan kata ‘galêpung’
Tabel 4.14 Variasi penulisan kata ‘glêpung’ dan kata ‘galêpung’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin
1. 35/10, 35/12
glêpung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
2. 35/15, 35/23
galêpung
d. Variasi penulisan kata ‘panjênêngan’ dan kata ‘pênjênêngan’
Tabel 4.15 Variasi penulisan kata ‘panjênêngan’ dan kata ‘pênjênêngan’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin
1. 13/10, 26/20,
35/, 72/7
panjênêngan
2. 62/17
pênjênêngan
3. Pedoman Transliterasi
Naskah Serat Mudhatanya ditulis dengan aksara Jawa. Oleh karena itu,
transliterasi merupakan salah satu langkah penting yang harus dilakukan untuk
penyuntingan teks. Transliterasi ini sebagai usaha agar teks naskah dapat dibaca
oleh masyarakat yang lebih luas, tidak hanya dari suku Jawa saja. Transliterasi
adalah pengalihan huruf demi huruf dari satu abjad ke abjad yang lain (Edward
Djamaris, 1991: 199). Namun, prinsip transliterasi tersebut tidak sepenuhnya bisa
diterapkan karena sistem ejaan penulisan aksara Jawa berbeda dengan sistem
ejaan penulisan aksara Latin. Untuk itu, dalam transliterasi ini digunakan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan (Sudaryanto, 1990)
sebagai dasar acuan penulisan bahasa Jawa dalam suntingan ini.
Berikut beberapa pedoman transliterasi untuk memudahkan pembaca
dalam memahami suntingan teks naskah Serat Mudhatanya ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
1) Penyajian teks perdialog, tiap dialog diberi judul Dialog I, Dialog II, Dialog
III, dan Dialog IV.
2) Tanda [ ] (kurung biasa), seperti tanda [1], [2], [3] dan seterusnya
menunjukkan pergantian halaman.
3) Angka Arab ukuran kecil di sebelah kanan atas kata, yakni 1, 2, 3, dst.
Menunjukkan catatan atau kritik teks.
4) Teks yang berbahasa Arab dicetak miring.
5) Tanda ^ di atas vokal e, yakni ê dibaca [ ∂] seperti dalam bahasa Indonesia
kata “beras”, kata “gelas”.
6) Tanda di atas vokal e, yakni è dibaca [ з ] seperti dalam bahasa
Indonesia kata “jengkel”, kata “bengkel”.
7) Kutipan dari naskah lain yang berbentuk tembang macapat disajikan perbaris.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Dengan kegiatan kritik teks ini, teks sudah dapat dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dan telah tersusun kembali seperti semula sehingga dapat dipandang sebagai bentuk teks mula (arketip) yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber untuk kepentingan berbagai penelitian dalam bidang ilmu-ilmu lain. (Sangidu, 2004: 82)
Berdasarkan kegiatan kritik teks yang telah dilakukan terhadap teks Serat
Mudhatanya ditemukan beberapa bentuk kesalahan tulis yang meliputi: lakuna,
adisi, substitusi, ditografi, dan transposisi. Selain itu juga ditemukan beberapa
ketidakkonsistenan penulisan kata dan variasi-variasi penulisan kata. Masing-
masing penjelasannya sebagai berikut:
(1) Lakuna
Lakuna adalah pengurangan huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks.
Tabel 4.2 Tabel Lakuna
No. Halaman/
Baris Tertulis Jawa
Tertulis
Latin Edisi
1. 29/7
lèmè lèmèk
2. 29/22
kabungah kabungahan
3. 53c/21
wêdal wêkdal
4. 54/7, 56/13
jam jaman
5. 54/20
landhungi landhunging
6. 56/12
titisa titisan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
7. 57/9
gadha gadhah
8. 57/11
pamrentaha pamrentahan
9. 58b/5
gri griya
10. 58b/21
parentah pamarentah
11. 59/5
tan kê tan kêna
12. 61/14 Wallahu
akam
Wallahu
aklam
13. 61/21
jantu jantung
14. 71/14
panjêngan panjênêngan
15. 73/9, 74/17
Kya Agêng Kyai Agêng
16. 74/8
wontê wontên
74e/7
mukmi mukmin
17. 77/16
suksa suksma
18. 79/13
saètu saèstu
19. 83/14
bala-ba bala-bala
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
(2) Adisi
Adisi adalah penambahan huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks.
Tabel 4.3 Tabel Adisi
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 7/23
dipunicaling dipunicali
2. 60/16
anggung agung
3. 74f/1 Narendrar
Narendra
(3) Substitusi
Substitusi adalah penggantian huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks.
Tabel 4.4 Tabel Substitusi
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis
Latin Edisi
1. 32/9
yatin yatim
2. 36/6
dasanipun dhasaripun
3. 57/19
Bêgêblug Pagêblug
4. 57/22
sarma Darma
5. 58a/6-7 kadhah gadhah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
6. 58a/22
karingipun garingipun
7. 58b/8
kêmbong kêmbung
8. 59/15
ngêdur ngêdhur
9. 60/10
dakmênang sakwênang
10. 60/19
sanakari sanagari
11. 61/7
thilar tilar
12. 62/3
dinas dhinas
13. 75/14-15
lêlakuhanipun lêlabuhanip
un
14. 76/3-4
mapat wapat
15. 77/13
sama nama
16. 84/17
dati-ati ngati-ati
17. 84/1-2
narama narima
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
18. 85/7 kalakuanipun lêlabuhanip
un
19. 90/12
mêsêp mênêp
20. 74e/17
Ngayogya Ngayodya
(4) Transposisi
Transposisi adalah perpindahan letak huruf, kata, frasa, atau kalimat pada teks.
Tabel 4.5 Tabel Transposisi
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 88/2
lêgêm gêlêm
Selain kesalahan penulisan teks seperti lakuna, adisi, substitusi, dan
ditografi, terdapat pula ketidakkonsistenan cara penulisan kata, yaitu:
a. Penulisan kata ‘kagaliya’ dengan ‘kagaliha’
Tabel 4.6 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘kagaliya’ dengan ‘kagaliha’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 5/2 kagaliya
kagaliya 2. 4/14-15 kagaliha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
b. Penulisan kata ‘dhahuru’ dengan ‘dahuru’
Tabel 4.7 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘dhahuru’ dengan ‘dahuru’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 57/18
dhahuru
dhahuru 2. 56/15
dahuru
c. Penulisan kata ‘kalentu’, ‘kêlèntu’ dan ‘kalintu’
Tabel 4.8 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘kalentu’, ‘kêlèntu’ dan ‘kalintu’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 15/22
kalintu
kalèntu
2. 53c/19, 74/14
kalèntu
3. 72/15-16
kêlèntu
d. Penulisan kata ‘asreng’ dengan ‘angsring’
Tabel 4.9 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘asreng’ dengan ‘angsring’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 83/9-10
asreng
asring
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
2. 83/7
angsring
e. Penulisan kata ’Mukammat’, ’Mukammad’ dan ’Mukamad’
Tabel 4.10 Ketidakkonsitenan dalam penulisan kata ’Mukammat’, ’Mukammad’
dan ’Mukamad’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 15/9
Mukammat
Mukammad 2. 27/16, 28/2,
29/24
Mukamad
3. 33/8
Mukammad
f. Ketidak-konsistenan dalam penulisan bunyi vocal
Tabel 4.11 Ketidakkonsitenan dalam penulisan bunyi vocal
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin Edisi
1. 72/18
Eslam Islam (dengan
huruf ‘i’
Murda)
72/13, 72/19,
73/7, 80/19
Eslam
2. 76/7
Nis
Nis 74/20
Nês
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Selain kesalahan dan ketidak-konsitenan dalam penulisan kata, di dalam
teks SM ini juga ditemui ada beberapa variasi dalam penulisan kata, berikut
uraiannya:
a. Variasi penulisan kata ‘blêdug’ dan kata ‘balêdug’
Tabel 4.12 Variasi penulisan kata ‘blêdug’ dan kata ‘balêdug’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin
1. 54/16
blêdug
2. 58a/12
balêdug
b. Variasi penulisan kata ‘saknagari’ dan kata ‘saknêgari’
Tabel 4.13 Variasi penulisan kata ‘saknagari’ dan kata ‘saknêgari’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin
1. 53c-54/22-1
saknagari
2. 54/8
saknêgari
c. Variasi penulisan kata ‘glêpung’ dan kata ‘galêpung’
Tabel 4.14 Variasi penulisan kata ‘glêpung’ dan kata ‘galêpung’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin
1. 35/10, 35/12
glêpung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
2. 35/15, 35/23
galêpung
d. Variasi penulisan kata ‘panjênêngan’ dan kata ‘pênjênêngan’
Tabel 4.15 Variasi penulisan kata ‘panjênêngan’ dan kata ‘pênjênêngan’
No. Halaman/Baris Tertulis Jawa Tertulis Latin
1. 13/10, 26/20,
35/, 72/7
panjênêngan
2. 62/17
pênjênêngan
3. Pedoman Transliterasi
Naskah Serat Mudhatanya ditulis dengan aksara Jawa. Oleh karena itu,
transliterasi merupakan salah satu langkah penting yang harus dilakukan untuk
penyuntingan teks. Transliterasi ini sebagai usaha agar teks naskah dapat dibaca
oleh masyarakat yang lebih luas, tidak hanya dari suku Jawa saja. Transliterasi
adalah pengalihan huruf demi huruf dari satu abjad ke abjad yang lain (Edward
Djamaris, 1991: 199). Namun, prinsip transliterasi tersebut tidak sepenuhnya bisa
diterapkan karena sistem ejaan penulisan aksara Jawa berbeda dengan sistem
ejaan penulisan aksara Latin. Untuk itu, dalam transliterasi ini digunakan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan (Sudaryanto, 1990)
sebagai dasar acuan penulisan bahasa Jawa dalam suntingan ini.
Berikut beberapa pedoman transliterasi untuk memudahkan pembaca
dalam memahami suntingan teks naskah Serat Mudhatanya ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
1) Penyajian teks perdialog, tiap dialog diberi judul Dialog I, Dialog II, Dialog
III, dan Dialog IV.
Tanda [ ] (kurung biasa), seperti tanda [1], [2], [3] dan seterusnya menunjukkan pergantian halaman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
4. Suntingan Teks dan Aparat Kritik
a. Dialog I (Pertama):
Sêrat Mudhatanya
A : Sumangga nggèr lajêng pinarak ngriki.
B : Inggih.
A : Punapa sami wilujêng nggèr?
B : Pangèstunipun Kyai inggih wilujêng. Panjênêngan Kyai punapa inggih
sami wilujêng?
A : Pandonga sampeyan inggih wilujêng. Sumangga nggèr wedangipun
kaunjuk.
B : Inggih sumangga sami ngunjuk. Anggèn kula sowan panjênêngan
punika, sapisan lami botên kapanggih. Kaping kalih parlu nyaosi uninga
kula badhe pindhah griya dhatêng ing Purwasari, ondhêr distrik1 Lawiyan
(Surakarta) nyuwun dhawuhipun kyai benjing punapa prayoginipun dintên
ingkang kula angge pindhah?
A : Pamanggih kula prayogi benjing Kemis Lêgi tanggal ping 28 wulan Sura
Jimakir 1858 punika dintênipun sae. Gêsanging dintên mangetan kaliyan
mangidul kalêrêsan dalêmipun anggèr lèr pindhah mangidul. Sangat yusup
rijêki jam 7:25, potipun jam 8:15. Prayogi [2] nipun katamtokakên jam 7:0
awit kala subanipun dhawah rasa kumpul sae. Wontên punapa ta nggèr
kok mawi pindhah dalêm?
1 dhistrik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
B : Mila pindhah, awit griya kula ingkang lami punika radi kalitên, mangka
anak putu batih kula kathah. Dados dhapur sêsak wontên ing griya lami.
Mila pindhah dhatêng griya ingkang agêng supados radi ombèr.
A : Inggih nggèr, botên langkung namung pupuji kula mugi-mugi
kalampahan kaliyan wilujêng sadayanipun sarta sagêda kaagêm ingkang
lami ngantos run tumurun dhatêng putra wayah sapangandhap.
B : Nuwun kapundhi paringipun pandonga panjênêngan mugi Gusti Allah
angabulna.
B : Dados pamriyoginipun2 Kyai benjing dintên kasêbut nginggil wau?
A : Inggih.
B : Dèrèng kalampahan kula sampun maturnuwun.
B : Kajawi punika sarèhne kula punika sugih anak putu sadhèrèk kulawarga
batih kathah, supados sami sakeca manahipun kados pundi Kyai? Mugi
paringa pitêdah badhe kula lampahi kaliyan têmên-têmên.
A : Anakku nggèr, saking trêsnane duwe wong tuwa [3] kaya aku, dadi karsa
ngandika kaya mangkana inggih ta nggèr. Kêkirangan punapa sampeyan,
namung rèhne wontên panêda 3 sampeyan. Kula sampeyan purih suka
pitêdah, inggih sasagêd-sagêd kula laksanani kados ing ngandhap punika:
Ha : Dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana agêng alit.
Punika sampeyan rakêt ingkang sayêktos. Sampeyan anggêp kados
sarira sampeyan piyambak. Sampun dipunsigêni. Sampun manah rêrênggi.
Sampun lêlamisan. Ngagêma panggalih lamba kemawon. Dipunpitados
2 pamrayoginipun 3 panêdha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
sampun mawi sumêlang. Awon sae mangke rak katingal piyambak.
Sampeyan ngagêma dêdhasar4 panggalih sae.
Manawi badhe duka kagalih ingkang panjang rumiyin, sampun
kasêsa. Dene manawi kêdah lêrêsipun duka, ingkang badhe dipundukani
kasingitna sampun ngantos katingal tuwin kamirêng ing akathah.
Wiyosing pangandika ingkang sarèh sêmu manis, sarta ingkang talanjar
ing lêpatipun kemawon, sampun ngantos anggladrah ical jêjêripun.
Wêdaling pangandika ingkang suraos mirma tuwin pangowêl dhatêng
ingkang dipundukani. Langkung prayogi ingkang badhe dipundukani
kaajaka nitih kareta botên mawi rencang. Salêbêtipun kareta lumajêng, ing
ngriku kawiyosna dêdukanipun, nanging inggih ing [4] kang pangandika
sarèh wau punika.
Punapa ingkang dados kabêtahanipun sampeyan tulungi kaliyan
eklasing lair batos. Sampun kintên-kintên ingkang botên-botên. Ingkang
pitados dhatêng kadaripun Gusti Allah, sapa ala nemu ala, sapa bêcik
nêmu bêcik tamtu makatên. Sarta kagungan panggalih momot mêngku
pangaksama. Nyipta yèn dosa lara tak apura, yèn dosa mati tak uripi.
Awit putra, wayah, sadhèrèk, santana punika bilih ngantos gadhah
manah gêla, cuwa, susah anggrêsah, wirang isin, gêngipun papa sangsara
saking sampeyan, punika tamtu gampil anggènipun damêl ruwêt
rêntênging panggalihipun anggèr, sagêd ambêbayani sayêktos. Sabab
sampun sumêrêp dhatêng woda-wadinipun anggèr. Mila kagalih5 saenipun
sampun ngantos nandhang gêla, cuwa, sapanunggilanipun wau.
4 dhêdhasar 5 kagaliya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Sarananipun anggèr kêdah mituruti ing sapantêsipun. Punapa ingkang
dipunsuwun, anggèr kêdah maringakên kaliyan lila lêgawa. Punika tamtu
pinanggih saenipun dhatêng sariranipun anggèr. Sarta kadhawuhan
sumêrêp ingkang têrang saha anglampahi kaliyan têmên-têmên dhatêng
pêpacaking agami ingkang dipunlampahi, ingkang kenging utawi ingkang
botên kenging, punika parlu sangêt.
Na: Dene manawi dhatêng abdi sampeyan agêng [5] alit.
Katêtêpna punapa ingkang sampun dados kawajibanipun. Kagaliya
sampun ngantos andaleya. Sarananipun kêdah dipuntuwuki boga busana.
Sampun ngantos wontên ingkang kêkirangan tuwin kasangsaran. Kêdah
kagalih kaliyan dana pariksa piyambak. Sampun lajêng tan nggêga aturing
liyan. Kêdah kapatitisakên kanyataaningsun.
Dhatêng abdi karakêtna sarta kaagêngna manahipun. Sampun
ngantos damêl tintrim maras-mirising abdi. Sadaya pandamêlaning abdi
punika, sajatosipun angrencangi dhatêng kabêtahan sampeyan. Mila
manawi nuju nyangkul pandamêlanipun anggèr sadèrèng tuwin
sêsampunipun kaarêm-arêm manahing sabda mangalêmbana angecani
manah, supados rumaos ènthèng anggènipun lumampah ing damêl. Lajêng
rumaos kagêm damêlipun.
Ki pujangga sampun cariyos, ”Ora ana wong kêndho janji kanggo.
Ora ana wong daleya ing gawe. Janji cukup pangane, ora ana panggawe
abot janji bobot.” Makatên punika kados sampun tamtu. Manawi sadaya
abdi sampeyan sampun karoban ing dana pariksa, tamtu lajêng gadhah
patêmbaya: anggènipun anglampahi pandamêlan mêsthi kaliyan têmên-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
têmên. Sarta gadhah cipta: sampun ingkang sakit sanadyan dumugi ing
pêjah botên mingkuh. Awit namung sêdya mamalês sih kadarman ing
bêndaranipun.
Manawi para abdi sampun sumung [6] kêm, asih trêsna sayêktos
dhatêng sampeyan. Tamtu mangajêng-ajêng ayahan awrat ènthènga sêdya
dipunlampahi kaliyan sêdya tuhu. Bêbasanipun kajêglugna ing gunung
waja kacêmplungna ing sagara gêni, manahipun botên ajrih sêdya nêtêpi
dhawuh. Makatên wau witipun saking karoban ing sih dana marta. Sarta
pangandika mardawa manis rum ingkang sagêd nuju prana damêl
bingahing manahipun para abdi.
Wosipun anggèr kêdah wêwasar sabda nyata, têrus têrang botên
lêlamisan. Sêsampunipun pariksa têrang, ingkang sae dipun-ganjara
samurwatipun. Ingkang awon dipunpidanaa ingkang timbang kaliyan
lêpatipun, sampun ngantos kagungan kakasih. Manawi kagungan kêkasih
tamtu lajêng baukapine, botên jêjêg pangadilanipun. Nanging sadaya abdi
dipunrakêta, supados gadhah pangraos kasihan. Sampun sangêt-sangêt
ngandika rècèh dhatêng abdi. Manawi ngutus utawi andhawuhi namung
saparlunipun kemawon (cêkak aos).
Ca: Manawi dhatêng tiyang agêng alita ingkang sanês
wêwêngkonipun anggèr, têgêsipun pawong mitra tangga têpalih
kuwaruhan tuwin liya bangsa.
Punika sawatawis kêdah dipunombèri panggalih, sarta dipunecani
manahipun kaliyan têmbung manis. Kanthi awas ing pamawas. Empan
papan wadyaning mangsa kala. Sampun tilar weweka. Priksaa dhatêng
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
sêsumuking lajêng badhe kados pu [7] ndi, lamba punapa rangkêp, anggèr
kêdah waspada. Dados botên kablowok ing rêmbag, sawatawis
dipunêmong. Mangatur-aturipun kêdah kagalih ingkang panjang. Sampun
kasêsa anyagahi, nanging bilih sampun sagah sampun ngantos nyidrani.
Ingkang sampun kasagahakên kêdah kalêksanan. Anggèr kêdah
adhêdhasar panggalih lamba rumiyin, kaliyan pangandika arum manis
mardawa mamalad driya ingkang narik suka rêna. Sampun ngêtrapakên
pangandika sêrêng sora, ingkang sarèh rèrèh ririh. Sawatawis ingkang radi
sumarah ing karsa, ingkang botên rêkasa sangsara.
Ra : Tiyang ingkang gadhah bale griya, punika sampun tamtu gadhah
kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, pariksa.
Ing sakukubanipun ing ngriku kemawon. Dados kenging
dipunwastani, sasat angratoni dhatêng wêwêngkonipun, mila kêdah
pariksa dhatêng kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana,
pariksa. Menggah têrangipun:
1. Kuwasa: wênang ngewahi tatanan ingkang kirang murakabi dhatêng
kulawarga.
2. Purba: mêngku dhatêng samukawis agêng alit, amis bacin, èwêt
pêkèwêt, gampil angèl, ruwêt rêntêng, papa sangsara. Sadaya
kukubanipun ing ngriku, punika anggèr ingkang kajibah mêngku.
Têgêsipun ingkang galih kados pundi sagêd dipunicaling6 sêsakit wau.
Sampun: ”Ya bèn awak-awakmu dhewe, wong kowe tak bla [8] nja,
6 dipunicali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
kuwat ya angkatên, ora kuwat ya minggata”. Sampun makatên kêdah
anggèr ingkang damêl nirmala waluya jati, sampun sèlak.
3. Wisesa: punika satêngah amêksa dhatêng tindak sae. Angancam-
ancam sintên ingkang nglampahi lêpat badhe tampi pamisesa ing
samurwatipun nanging sadèrèngipun kêdah dipundhawuhakên, yèn ala
bakal nemu ala, yèn bêcik bakal nêmu bêcik.
4. Kukum: kêdah nindakakên ing salêrêsipun. Têgêsipun, botên
baukapine. Sintên-sintêna bilih botên lêrês inggih kêdah kalêrêsakên.
Manawi mêksa botên purun mantuni tindakipun ingkang awon, ing
ngriku sampun sêdhêngipun katindakakên prakawisipun.
5. Adil: punika tumrap dhatêng putra wayah, sadhèrèk, santana, abdi
agêng alit. Manawi prakawisan rêbat lêrês, dhatêng sêsaminipun putra,
wayah, sadhèrèk, santana, abdi, kêdah dipuntêtêpakên ing
pangadilanipun ingkang jêjêg. Bêbasan: ”Utang nyaur, nyilih
ngulihake. Utang lara nyaur lara, utang pati nyaur pati”, sapiturutipun.
Botên kenging dlêmok cung, kêdah wradin. Têgêsipun yèn Si Dhadhap
kang utang, mung nyaur sêmene, yèn Si Waru kang utang kudu nyaur
sêmene, punika dlêmok cung namanipun. Sampun ngantos makatên,
kêdah sami-sami pamidananipun. Sarta kêdah têtêp ingkang sampun
kasê [9] but ing anggêr-anggêr botên kenging mèncèng.
6. Paramarta: punika bilih putra wayah, sadhèrèk, santana, abdi gadhah
prakawis dhatêng anggèr, ingkang sanès prakawis agêng, kadosta
kalèntu ing patrap, dêksura, kumasurun, anggêgampil kagunganipun
anggèr ingkang botên sapintêna, punika kêdah dipunparingi paramarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Sampun lajêng katêtêpakên ing kalêpatanipun. Kêdah dipunaring-
aringi supados asrêp manahipun. Saupami lêpat sakêdhik kemawon
dhatêng anggèr lajêng kapidana awrat, sarta lajêng kauwus-uwus
ingkang botên sampun-sampun, punika botên prayogi. Têmah
andados 7 maras-mirising abdi, nipisakên pasuwitan. Mila kêdah
dipunparingi paramarta. Pantês kaparingan pangapura. Punapa dene
tiyangipun ingkang lêpat sampun mungêl nyuwun tobat, punika anggèr
wajib paring pangapuntên ingkang yêktos. Ingkang pitados dhatêng
wicantênipun tiyang sae.
7. Dana: inggih ingkang kêrêp pêparing. Manawi pêparing barang
ingkang enggal risak, kadosta dhahar-dhaharan, sêmbêt
sapanunggilanipun, punika kêdah ingkang kêrêp. Manawi pêparing
barang ingkang sagêd lami kanggenipun, kadosta ingkang warni mas,
intên, dhuwung, tumpakan, tuwin gri [10] ya papan pemahan, punika
kêdah ingkang awis-awis. Mila kula matur makatên sabab anggèr
punika tiyang pancen sugih mas picis raja brana miwah pamêdalipun
agêng. Nglêmpakakên 8 bandha donya arta kathah. Punika tamtu
mêndhêt saking pandamêlanipun tiyang alit. Nanging bilih tiyang alit
sangêt-sangêt dipunpunguti kas kayanipun, punapa botên mêsakakên,
sapisan. Kaping kalih, bilih sampun sugih arta sangêt, bêbasan sampun
ngumbuk-umbuk drèwu, lajêng badhe kados pundi, punapa tiyang
botên badhe pêjah. Manawi sampun pêjah, mangka tilar arta bandha
kathah, punika tamtu dados gadhahanipun para waris. Tarkadhang
7 andadosakên 8 Ngêmpalakên
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
dados wêwinih ing prakawis, sabab kiranging panarimah
panampinipun warisan. Anggèr botên sagêd maibèn bab punika,
sampun kathah têtuladanipun. Punapa wontên tiyang umur satus taun?
awis. Dados bandha donya arta wau prayogi sacêkapipun kemawon.
Ingkang kagêm anggèr tuwin ingkang badhe kangge tambal sulam bale
griya. Salangkungipun kadanakêna. Dados asmanipun anggèr arum
angambar.
Mila sampun awrat tuwin owèl paring dana dhatêng putra
wayah, sadhèrèk, santana, abdi punapa dene dhatêng pawong
mitranipun anggèr. Nanging pawong mitra [11] wau kêdah dhawah
kantun. Paring dana dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana, abdi
karumiyina. Sabab bilih tansah paring dana pawèwèh kasaenan
dhatêng pawong mitra, ing mangka dhatêng putra, wayah, sadhèrèk,
santana, abdi awis-awis tur sakêdhik, punika lajêng kenging babasan
”Dananing bandara kaya nyaring banyu padasan. Kang adoh kênthuran
kang cêdhak ora”, sampun ngantos makatên. Awit kasaenan punika
manawi ingkang mastani tiyang liya, sanadyan kasaenanipun wau
sagunung inggih dèrèng kenging dipunandêl, awit botên sumêrêp ing
sadintên-dintênipun. Beda kaliyan para putra wayah sadhèrèk santana
abdinipun piyambak. Manawi mastani bandaranipun sae, tamtu sae
sayêktos, awit nungkuli ing sadintên-dintênipun. Dados sampun mêsthi
têrang dhatêng watak wantuning bandaranipun. Dhangthèk kala matur
kasaenan dhatêng liyan wau dèrèng kenging dipunandêl, punika
makatên. Saupami sampeyan tansah damêl kasaenan dhatêng tiyang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
liyan praja, sarana barang ingkang kathah reginipun, ingkang kataman
sarta ingkang mirêng kasaenanipun anggèr wau têmtu inggih lajêng
mastani sae. Nanging sarêng pitanglêt dhatêng putra, wayah, sadhèrèk,
santana, abdinipun ingkang damêl kasaenan wau, dipunpitang [12]
lêdi: ”Bêndaramu iku apa bêcik tênan?” Wangsulanipun: ”Lêrês
dhatêng liyan pancèn inggih kêrêp paring kasaenan. Nanging dhatêng
kula sadaya namung maligi pêpancèn kula ingkang mêsthi. Awis
sangêt wontên mirungganing kasaenan ingkang dumawah. Langkung
malih bilih suka-suka boga andrawira. Punika ingkang
dipunparlokakên namung dhatêng liyan. Bilih dhatêng putra, wayah,
sadhèrèk, santana, abdi awis-awis. Manguna suka wibawa inggih
namung alit-alitan kemawon. Bilih wontên katrangan makatên arak
kojur, pun liya lajêng gadhah grahita. Apa anggone gawe kabêcikan
marang aku iku, mung arêp panjaluk wêwalês bae”. Arak susah bilih
makatên.
8. Pariksa: pikajêngipun inggih ingkang pariksa sayêktos. Têgêsipun
ingkang botên kaliyan aturing liyan. Ingkang awon ingkang sae anggèr
kêdah matitisakên piyambak. Dhatêng tiyangipun, botên mawi
lêlantaran utusan sabab utusan punika asring suda wêwah kaliyan
nyatanipun. Anggèr tamtu kagungan panggalih: ”Bilih makatên kula
arak rêkaos?”. Inggih tamtu rêkaos tinimbang kaliyan nganggur.
Nanging bilih tiyang sumêdya nyambut damêl raharjaningrat, tamtu
botên angraos rêkaos. Rêkaos pundi kaliyan wong cilik pangane
sêthithi [13] k gawene iklik, yèn luput digitik? Sampeyan punapa kêrsa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
linton sawulan kemawon? Dhèg gèdhèg-gèdhèg. Sarèhne tamtu botên
kêrsa, (bandara dados abdi). Anggèr kemawon ingkang amot, mêngku,
sedya, tata, titi, sêtiti, ngati-ati, mêrak ati, sampun angas-ungase bêngis
angêngis-êngis. Ulat murêrêng marêngut. Prayogi ingkang sêmu
sumèh sumaringah, sampun kagungan wawatêgan nistha.
B : Ingkang panjênêngan wastani nistha punika ingkang pundi Kyai?
A : Nistha punika kathah warninipun kadosta ngopèni barang ingkang
rèmèh-rèmèh. Mirêngakên cariyos ingkang botên damêl alus saening budi. Sarta
ingkang botên mawi wawatoning agami. Ginêm ingkang nglêmpara, anggêladrah,
nyatur awon ing tiyang. Sêsêmbranan, gêgujêngan ingkang ngantos kêlantur-
lantur. Makatên malih anggèr, mêndhêt tatêdhan ingkang sampun dhawah ing siti,
mêlik dhatêng baranging liyan, ngantos kawêdal ngandika kêpengin. Botên
resikan. Mangagêm botên tata kirang tumrap. Ngagêm nyamping, rasukan,
paningsêt, dhestar, sapanunggilanipun jithêtan utawi suwèk, lokot, rêgêd. Taksih
kathah panunggilanipun ingkang nama nistha. Cêkakipun sa [14] bên panggalih
botên mêlikan, inggih botên gadhah tindak tanduk nistha. Punika anggèr sampun
ngantos makatên.
Makatên inggih nggèr, ing agêsang punika limrahipun ingkang kaèsthi
sagêda sae ing salami-laminipun ing donya dumugi ing akerat taksih agama sae.
Punika botên liya amung mêndhêt têtuladan tindak tanduk ingsun priyagung kina
kalarasa kaliyan jamanipun ingkang dipunidaki. Angêmohana dhatêng lêlabuhan
ingkang awon.
Kajawi punika pamanggih kula sadaya barang ingkang ewah kêdah mawi
ngaso kèndêl, kadosta kareta sêpur inggih mawi kèndêl ing sawatawis wontên ing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
sêtasiyun utawi ing haltê. Parlunipun bok manawi supados radi lêrês sawatawis,
sarta kaangge ngandhapakên nginggahakên barang ingkang sampun katamtonakên
mandhap minggahing prahu. Punapa dene kaangge niti pariksa rowa-rowa
sapanunggilanipun pirantosing kareta, bok manawi wontên ingkang ewah salah
satunggalipun, mila kêdah dipun satitèkakên. Makatên uninga gêsang ugi parlu
sangêt mawi ngaso kèndêl, kangge nglêrêmakên tuwin nuntumakên jiwa raga.
Manawi para luhur Buda, sêmadi maladi mahêning ngêningakên cipta. Manawi
para mukmin ya [15] sami sêmbahyang tuwin tapakur rahman. Para agami
Kristên, Yahudi, Konghucu tuwin liya-liyanipun, bok manawi inggih mawi
ngaso=kèndêl.
Wontên malih ingkang kula anggêp parlu, inggih punika ingkang kasêbut
ing Sêrat Wulang Sasana Sunu, warna sapisan mungêl:
....................................9
nahan warna sapisan kocapa/
dena eling salamine/
yèn tinitah sirêku/
saking ora mari dumadi/
dinadèkên manungsa/
mêtu saking ênur/
ri rajêng Nabi Mukammat10/
katujune nora tinitah sirèki/
dumadi sato kewan//
9 Baris pertama dari tembang Dhandhanggula yang tidak dikutip oleh penulis naskah, penulis naskah nampaknya langsung menuju ke baris kedua. 10 Mukammad
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Denagêdhe sokurirèng Widhi/
aywa lupa sira sanalika/
dènrumêksa ing uripe/
dènmadhêp ing Hyang Agung/
denapasrah aywa saksêrik/
manawa ana karsa/
urip tapi mundhut/
ngaurip wasana lina/
tan tartamtu dawa cêndhaking ngaurip/
aywa kacipta dawa//
Aywa cipta cêndhak ing ngaurip/
yeku dudu ciptaning kawula/
cêndhak dawa wus pêpancèn/
mung cipta amutèngsun/
mati ana sajroning urip/
mangkana pan winênang/
cipta kang satuhu/
madhêp kumawulèng suksma/
tan sumêlang ananira saking Widhi/
widagda ciptamaya//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Sampun nggèr sawêg samantên atur kula. Kagem tuwin botên namung
sumangga. Wasana manawi wontên kalintu 11 tuwin lêpating atur kula, kula
nyuwun ngapuntên.
B : O, Kyai sangêt panuwun pêpundhi kula dhatêng paringipun [16] wasiyat
pitêdah punika. Mugi-mugi kula sagêda anglampahi. Rèhne sampun dalu anggèn
kula sowan panjênênganipun Kyai. Sarta sampun kaleksanan panuwun kula, kula
nyuwun pamit mantuk. Sanes dintên sowan malih, nyuwun wêwahing pitêdah.
A : Inggih nggèr ndhèrèkakên wilujêng. Salam taklim kula dhatêng garwa
putranipun anggèr.
B : Inggih nuwun Kyai. Sampun.
A : Inggih andum wilujêng.
b. Dialog II (Kedua):
B : Kulanuwun Kyai.
A : E, anakku mrene manèh. Mangga nggèr, lajêng kemawon lêlênggahan
ngriki.
B : Inggih Kyai.
A : Punapa sami wilujêng nggèr?
B : Inggih pandonganipun Kyai wilujêng. Pangabêkti kula katura.
A : Inggih nuwun nggèr. Sampun radi lami anggèr botên tindak mariki.
Punapa sèstu12 pindhah dalêm?
B : Inggih sampun kalampahan pindhah griya nêtêpi [17] dintên dhawuhipun
Kyai.
11 kalentu 12 saèstu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
A : Sokur alhamdulilah. Rak inggih sami wilujêng ta garwa putra wayah
sadaya?
B : Inggih saking pangèstunipun Kyai sami wilujêng sadaya.
A : Sumangga nggèr wedangipun kaunjuk.
B : Inggih, anggèn kula sowan punika sapisan ngaturi uninga bilih kula
sampun kalampahan pindhah griya: wilujêng. Kaping kalihipun sadaya
piwulangipun Kyai sampun wiwit kula angge. Kajawi punika bilih kêparêng kula
nyuwun wêwah ing piwulang malih. Supados wêwahing sasêrêpan kula. Sangêt-
sangêt ing panuwun kula wêwah ing piwulang wau.
A : Anakku nggèr, gene kok kêraya-raya timên ênggone arêp nyidhuk
kawruhe wong tuwa. Inggih ta nggèr sêsagêd-sagêd kula inggih nglaksanani
dhatêng panêdhanipun anggèr, nanging kauningana, sajatosipun kula punika
dhatêng pangawruh taksih kathah kêkirangan kula. Dèrèng mantra-mantra nama
sagêd, tinimbang kaliyan para sampurnèng kawruh. Namung sarèhne kapêksa
saking panêdhanipun anggèr, anggèr katingal asih trêsna dhatêng kula, kula inggih
kêdah nimbangi asih trêsna.
B : O, Kyai sampun kathah-kathah ingkang kagalih, cêkakipun makatên:
upami tatêdhan kula doyan sangêt dhatêng piwulangipun Kyai. Saupami malih,
tiyang karêm nêdha jèngkol [18] punapa sagêd ngêndhat dhatêng tiyang ingkang
pakarêmanipun nêdha jèngkol. Tamtu botên sagêd. Awit sampun kêlajêng dados
pakarêmanipun. Makatên malih kula. Dhatêng piwulangipun Kyai, tiyang sampun
kêlajêng ajêng, kados pundi malih. Mila sumangga kalajêngna paring pitêdah
dhatêng kula.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
A : Inggih nggèr kula botên sagêd macali ingkang kados pangandikanipun
anggèr. Botên langkung inggih mugi kamirêngna. Kula criyos: kala anu punika
kula matur dhatêng anggèr, tiyang gadhah bale griya punika prasasat angratoni
dhatêng wêwêngkonipun. Mila anggèr kula aturi priksa dhatêng lêlabuhanipun
ratu ingkang utami. Sanadyan anggèr dede ratu nanging prasasat angratoni
wêwêngkonipun piyambak wau punika. Sumangga kula pêthikakên sêratan
Tajusalatin kaliyan rêringkêsan. Namung kapêndhêt wosipun kemawon.
Nalika Nabi Adam jumênêng ratu angratoni putra wayahipun, punika
taksih karsa nyambut damêl kasap. Sabên dintên pandhe tosan, kaurupakên
kangge dhahar ing sadintên-dintênipun. Sajêgipun sugêng dèrèng nate dhahar
tuwuk. Botên karsa bingah-bingah. Dipuncaosi dhaharan miwah pangagêman
saking putra wayah inggih botên karsa. Sabên dintên tansah katingal prihatos.
Putra wayah ngantos matur ”Punapa ingkang kaprahatosakên13?”. Wangsulanipun
Kanjeng Nabi Adam, ”Aku [19] iki maune dikarsakake dening Gusti Allah dadi
kalipah ana suwarga. Nuju ana dosaku diudhunake marang ing donya kusniya
malebari iki, ngratoni anak putu. Mulane aku ora duwe bungah. Pancèn tak cêgah
sakpatute. Bok manawa dhompo panggawèhaku ngratoni kowe kabèh. Yèn luput
saka kurang titi pariksa. Yakti 14 nêmu dêduka manèh. Kaya aku diudhunake
marang bumi sap pitu. Yèn ratu kêrêp bungah-bungah, lan juwèh iku ilang sênêne.
Murwate ora nana kang kari.” Makatên nggèr bilih Kanjêng Nabi Adam.
Nalika Kanjêng Nabi Mungsa ngiras jumênêng ratu ing Mesir,
ngêmpalakên tiyang sapraja Mêsir sadaya, dipunparentahi dados kalih prangkat.
Saprangkat Kanabeyan, saprangkat Karaton. Ngêndal punika ingkang dados
13 kaprihatosakên 14 yêkti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
keblat Masjidil Aksa ing nagari Betal Mukadas. Punika mèh dipunrisak dening
tiyang kapir. Sultan Kanjêng Nabi Mungsa ngundhangi umat sadaya siyaga
sakapraboning prang. Pangandikanipun: ”Hèh wong Mêsir kabèh, sumurupa
panggawehanira rong prakara. Kang dhingin parentah kanabeyaningsun.
Kapindhone parentah karatoningsun. Wong bangga parentahing nabi lan bangga
parentahing ratu, iku sah yèn dènpatènana”. Kathah sangêt wadya balanipun
Kanjêng Nabi Mungsa, ngantos damêl senapati kalih wê [20] las. Satunggaling
senapati amêngkoni bala 220 èwu tiyang. Sangajênging senapati satunggal nama
Sèh Nakib, punika sor-soraning patih, ingkang winênang ngebahakên sagunging
wadyabala sarta mutusi sadayaning prakawis. Dene pêpatihipun nama Sèh Yusak:
mangkat saking Mêsir dhatêng Betal Mukadas. Untaping wadyabala agêng alit
jalêr èstri tumut mangun yuda sadaya. Solahipun golong gumulung kados
sagantên wutah ing dharatan. Sasat jagad prakêsa gonjing prabatarum. Nalika
punika Sultan Kanjêng Nabi Mungsa botên karsa nênitih amung ndharat kemawon
salamining pêrang punika. Manawi dalu kèndêl wontên ing margi. Para
punggawa sami nyaosi pasanggrahan kaagêma lêrês. Sultan Kanjêng Nabi
ngandika: ”Hèh wong Mêsir, aja susah nguwèhi panglêrêman marang ingsun, awit
luwih gêdhe panggawehanira iki saka angarêpake pêrang. Ingsun ora sêdya
ngrèrènoni ngiras sapanggawehanira kang marang ingsun dhewe nora pisan-pisan,
awit kuwatiring atiningsun. Yèn sira ingsun dhawuhi nyambut gawe ingkang
tumrap marang ingsun, iku ingsun sumêlang bok manawa nyuda marang
kêkuwatanira besuk timpuk 15 ing pêrang. Kêndhoning otot, akèh wêtuning
karingêt saking saka panggawehaningsun liyane prakawis pêrang, yèn sira ingsun
15 têmpuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
purih gawe pasanggrahan ana ing dalan tumrapingsun, besuk têmpuk ing aprang
yèn ana kêndhonira, ingsun ora bisa [21] nyrêngêni. Dene ingsun turu ana ing
dalan mung karo santosaning atiningsun bae aja kongsi dadi gawening wadyabala.
Malah dhamparingsun ora ingsun linggihi yèn durung tempuh ing aprang. Yèn
kasoring lakuningsun aja dadi pangundhat-undhat. Luwih gêdhe panggawehaning
prang iku mungguhing para raja.
Gêgênging 16 pakèwêding praja punika kalih prakawis:1)ebahing kalam
2)ebahing pêdhang, nanging pêdhang botên sagêd ngebahakên kalam, kalam
sagêd ngebahakên pêdhang. Mila ngatos-atos bilih ngebahakên kalam, kêdah
lêlambaran sabda ingkang mardu mardawa tanduking basa sastra cêtha wosing
suraos. Awit bilih botên makatên kalam sagêd ngebahakên pêdhang.
Sultan Kanjêng Nabi Mungsa sabên dintên kêmbul dhahar kaliyan
wadyabalanipun ingkang kalêrês jagi dipunjak dhahar sarêng. Tansah damêl
agêng sarta pirênaning manahing wadyabala. Rumaosing panggalih:
ênggoningsun dadi ratu iki saka si cilik.
Jumênêngipun narendra Kanjêng Nabi Yusup, ugi nagari Mêsir, nuju
miyos siniwaka lênggah ing dhampar kancana pinatik ing mutyara. Ing adhêp
para wadyabala agêng alit pêpak. Ingkang wontên ing arsa para kukuma17 tuwin
ngulama. Sadhèrèk sawêlas angadhêp wo [22] ntên ing kanan kering. Nalika
punika Kanjêng Nabi sawêg nuju gêrah malira. Kacriyos saya wêwah anusipun.
Wontên satunggaling punggawa ingkang matur, ”Dhuh gusti kajawi gêrah dalêm
kados wontên ingkang dados prihatosing panggalih. Punapa gusti ingkang
dipunprihatosakên. Panjênêngan dalêm agung kêkalih ing suksma. Botên
16 Gêng-gênging 17 kukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
kêkirangan samukawis, keringan parangmuka, têka mawi panggalih prihatos”.
Wangsulanipun Kanjêng Nabi Yusup, ”Hèh sakèhing wadyabalaningsun wêruha,
kang dadi prihatin lan kuwatiring atiningsun, iya saka gêdhene
panggawehaningsun dadi kalipah. Wis pitulas taun anggoningsun jumênêng ratu,
ingsun durung sapisan marêgi ênggoningsun mangan. Saka tansah kuwatir
manawa ana sawijining wong kang ingsun ratoni, êsak atine utawa kurang
sandhang pangane. Iku bilahine pasthi katêmpuh marang panjênênganingsun (ratu
kang mêngkoni). Sarupane wong Mêsir iki kabèh kang padha ingsun ratoni iku
sarina sawêngine ingsun ora mariksa dhewe, amung ngêndêlake marang ature
punggawa mantri bae. Manawa ingsun besuk ing pangayunaning Gusti Allah
didangu, ”He Yusup, duk sira ingsun dadèkake ratu ana ing donya,
panggawehanira nata niti pariksa sukêr gampanging karaton. Iku sapa18 wus sira
lakoni dhewe karo setiti.” Yen didangu mangkono kapriye aturingsun. Sa [23]
têmêne ingsun ora midêr pariksa dhewe, mung pracaya marang aturing punggawa
bae. Mulane ingsun rewangi prihatin kurang mangan kurang turu. Sadina sawêngi
mung roti gandum rong iris. Para wadya sarêng mirêng dhawuh makatên lajêng
sami andhêkung sadaya.
Nalika jumênêngipun kanjêng Nabi Dawud, ngiras jumênêng ratu.
Sêsampunipun paring parentah tuwin ngukum-ukumi. Lajêng têdhak dhumatêng
pangimaman. Madhêp ing keblat salat kalih rêkaat, nyuwun dhumatêng ingkang
Maha Suci aturipun, ”Dhuh Gusti Allah ingkang paring karaton dhumatêng kula,
kapitados ambaurêksa dhumatêng kawulaning Allah sadaya, kula nyuwun rijêki
ingkang kalal saking Gusti Allah ing sadintên-dintênipun ingkang kula têdha,
18 apa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
sampun ngantos kula nêdha mêndhêt saking pamêdaling nagari. Bilih kula
ngantos makatên nama ratu siya-siya”. Sanalika katarimah panuwunipun Kanjêng
Nabi Dawud. Kaparingan ayat tumurun damêl rasukan tosan. Namung dipunjujut
kaliyan asta mujijatipun Kanjêng Nabi Dawud. Punika ing sadintên-dintênipun
kasade lajêng kadamêl dhahar kaliyan garwa. Malah wadyabalanipun
dipunanggèni rasukan tosan sadaya, saking dadamêlan tapak astanipun Kanjêng
Nabi Dawud piyambak.
Jumênêngipun Kanjêng Nabi Suleman ratuning jagad. Karêmênanipun
sabên dintên dhawuh ngliwêt 1000 [24] kêndhil. Ingkang sakêndhilipun isi wos
momotan sadasa unta. Sadintên kaping kalih enjing lan sontên. Parlunipun
kaagêm ngingoni wadyabala ingkang pinuju sowan. Ingkang dipunliwêt wau arta
saking asiling nagari. Dene saliranipun piyambak sarta ingkang kagêm nipkah
dhumatêng garwa. Sarintên sadalunipun, inggih punika anggènipun nganam
wakul. Manawi sampun dados lajêng utusan nyade dhumatêng19 pêkên. Bilih
sampun pajêng dados arta, lajêng katêmpurakên wos. Punika ingkang
dipundhahar sarta ingkang kagêm nipkah dhumatêng garwa. Sarta manawi dhahar
pados rencang pêkir utawi miskin kaajak kêmbul dhahar. Manawi botên angsal
pêkir miskin dipunlampu botên dhahar, kaanjingakên anglampahi siyam.
Satunggal wêkdal Kanjêng Nabi Suleman tindak pêpara dhatêng awiyat,
kadhèrèkakên wadyabala hiburan, ratuning jin setan lêlêmbat. Angin mega
mêndhung sapanunggilanipun bangsa ngawiyat. Sanadyan wadyabala dharatan
inggih andhèrèk nanging lumampah anggrubyuk wontên ing ngandhap kemawon.
Dipuntingali langkung sêmuwa. Tiyang sajagad mèh andhèrèk sadaya.
19 dhatêng
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Salêbêtipun lumampah sami sênêng manahipun. Botên wontên ingkang
kêbêntèrên, seyub sabab mega mêndhung sami mayungi, sarêng dumugi lêladan
tanah Ngarab, wontên sapinggiring nagari Mêkah, wontên pêkir satungga [25] l,
ngungun ngraosi dhatêng Kanjêng Nabi ingkang sawêg nganglangi, ngitêri jagad,
ungêlipun ”He Allah Kang Maha Agung, kalangkung têmên paring tuwan
kamulyan lan kaagungan dhatêng putrane Dawud.” Kanjêng Nabi Suleman
mirêng lajêng dhawuh dhatêng ratuning angin ingkang anyunggi dhampar
palênggahan, dikakakên mandhap nyêlaki dhatêng panggenan pêkir ingkang
ngungun wau. Sarêng sampun cêlak, Kanjêng Nabi Suleman uluk salam, pun
pêkir inggih dugi mangsuli salam. Kanjêng Nabi andangu ”Kisanak, punapa
ingkang sampeyan ucapakên wau?”, pun pêkir mangsuli ”Kula ngungun
kamulyan tuwin kaagunganing Pangeran ingkang kaparingakên dhatêng
sampeyan Sinuhun, dene kok agêng têmên”. Kanjêng Nabi Suleman ngandika ”O
kisanak pêkir, sampeyan sumêrêpa, kamulyan tuwin kaagungan kula wontên ing
donya punika, punika taksih kungkulan kaliyan tiyang ingkang mungêl:
”subêkanalahi ngalkamdulillahi wala ilahailolahu allahu akbar, la kawola wala
kuwatta illa billahil ngalaihil ngalim”, ingkang têrus sumêrêp dumugi
satêgêsipun pisan. Benjing ing akerat dipunparingi kamulyan tuwin kaagungan
kados kula punika tikêl kaping sèwu. Kisanak pêkir sampun maibèn tamtu
makatên. Kaliyan malih ing donya punika sampun masthi risak, botên langgêng,
ingkang têtêp lan ingkang langgêng punika namung ing jaman kapêjahan”. Kula
sêlani inggih nggèr. [26]
B : Inggih Kyai sumangga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
A : Layang Rama nuju têmbang Mijil. Angka kaca katon 440 dene larik 5
saka ngisor muni, sapada pinêthik, banjure sinêmbung:
Karana jroning urip puniki/
ana kang denantos/
mung sadhela tan langgêng uripe/
yayi risak jamaning wong urip/
jamane wong mati/
têtêp ananipun//
Sapada nginggil punika, pangandikanipun Sri Bathara Rama Wijaya
dhumatêng Sang Gunawan Wibisana. Lajêng kula sambêti taksih Sêkar Mijil
Sulastri Pelog Pathêt Barang (kala wau Mijil Maskenthar Salendro Pathêt
Manyura, rèhne larasipun tumbuk nêm, dados gampil pangingêripun dhatêng
barang). Pangapuntên nggèr radi nyalèwèng sakêthik.
B : Botên dados punapa Kyai. Kula malah sênêng. Sêkar Mijil punika kok
sakeca kamirêngakên.
A : Botên sêkar Mijil kemawon sanadyan liya-liyanipun sêkar inggih sakeca.
Janji sagêd ingkang ngêcakakên dhasar sae suwantênipun mawi kulina
sêkar, tamtu sakeca.
B : Panjênênganipun Kyai punika sampun sêpuh nanging manawi nyêkar
kok taksih sakeca.
A : Iyah, botên ta nggèr. Tiyang sêpuh punika ingkang tamtu sarwa suda.
Punapa dene suwantên kula punika nèm mila pancen cêkak mawi radi
gêrok. [27]
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
B : Inggih nanging kok taksih gadhah raos nganyut-anyut. Sumangga
kalajêngna Kyai sêkaripun Mijil Sulastri, sambêtipun kalawau.
A : Hê’êm,
Yèn mangkono pagene prihatin/
Ri ratri wirangrong/
sugih miskin wong cilik wong gêdhe/
bodho pintêr sanadyan narpati/
têmbe pasthi mati/
ragade kang kantun//
Dènulêsi wastra mung tri lapis/
tumuli ginotong/
mring kuburan pinêndhêm uruge/
bumi dhudhukan kaluwat bali/
dènidak-idak mrih/
madhêt ngisor dhuwur//
Asor luhur tan beda pangrakti/
pêndhême mangkono/
ing sarehne kaya padha bae/
prayogane narima eng20 ati/
ngati-ati nganti/
pupusên yèn lampus//
B : Saya sêkeca Kyai
20 ing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
A : Nyumanggakakên. Sapunika kula nglajêngakên bab lêlabuhanipun para
ratu ingkang utami.
Nalika jumênêngipun narendra Gusti Kanjêng Nabi Mukamad21 Salalahu
Ngalaihi Wasalam, wadyabalanipun kapalih, ingkang saprangkat senapatinipun
Sayidina Ngali bin Katob, saprangkat senapatinipun sakabat nama Ki Seh Kalid.
Kalih pisan wau sami prawira ing ayuda, angrèh para prajurit lêksan kêthên.
Satunggal wêkdal, musti Kanjêng Nabi wau mangun kaprabon ngirapakên
wadyabala badhe kaangkatakên pêrang nglurugi para kapir ingkang mukir dhatêng
agami. Untaping wadya bala kados rob ing jalani [28] dhi. Busana maneka warni
asri kawuryan lêstantun lampahing wadyabala. Gusti Kanjêng Nabi Mukamad22,
kaliyan bagendha Sayidina Ngumar ing lampah karsa anyimpang mampir nuwèni
ingkang putra Sayidina Patimah. Kacariyos wêkdal punika sawêg karaos radi
kirang sakeca sariranipun. Panyimpangipun Kanjêng Nabi wau, wadya bala botên
wontên ingkang sumêrêp. Rawuh dalêmipun ingkang putra lajêng nèthèk kori.
Sadèrèngipun dipunwêngani kori, sayidina Siti Patimah matur maning salêbêting
dalêm. Dawuh dalêm, “Punapa wontên ingkang ndhèrèk punapa namung
piyambak?”. Gusti Kanjêng Nabi mangsuli pangandika, “Pamanmu Sayidina
Ngumar dhewe kang mèlu. Apa kowe ngidini, pamanmu Sayidina Ngumar tak
ajak mèlu malêbu ngomah”. Sayidina Siti Patimah matur, “Kados pundi anggèn
kula sagêd ngidini bilih paman Sayidina Ngumar ndhèrèk malêbêt griya, awit kula
amung ngangge sinjang satunggal, èwêt anggèn kula nutupakên. Katutupakên
nginggil ngandhap kados pundi, katutupakên ngandhap nginggil kados pundi”
(Putri ing Ngarab bilih kapanggih tiyang jalêr ingkang sanès mukrim, salira
21 Mukammad 22 Mukammad
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
sakojur kêdah katutup sadaya namung mripat ingkang katingal). Gusti Kanjêng
Nabi ngandika “Nya, ênggèr 23 sêbeku ênggonên, dadi bisa jarit loro.”
Kauncalakên lajêng dipunagêm. Sasampu [29] nipun makatên lajêng ngêngakakên
kori. Gusti Kanjêng Nabi kaliyan Sayidina Ngumar malêbêt dhatêng dalêm lajêng
sami lêlênggahan. Gusti Kang24 Nabi ngandika: ”Anakku nggèr, nggonmu turu
geneya dene ora nganggo lèmèk, amung gumlethak ana ing jrambah bae. Mangka
kowe lagi lara.” Sayidina Siti Patimah matur: ”Mila botên mawi lèmè25 saking
sayêktos botên dhawah. Anggèn kula sakit punika sabab tigang dintên tigang dalu
kula botên nêdha botên ngombe. Inggih saking botên wontênipun ingkang kula
têdha, sabab nipkahipun putra dalêm mantu tigang dintên lowong, saking sawêg
anglampahi ayahan dalêm nglurug pêrang punika.” Gusti Kanjêng Nabi mèsêm
kaliyan ngandika: ”Anakku nggèr, dêmi Gusti Allah muga angasihana marang
wong kang sabar ing bilahi lan coba. Laku mangkono iku ora nana kang nimbangi
ing bêcike. Aku iki dikarsakake dadi nabi ratu kalipah ing Gusti Allah diutus
dikakake26 pitutur marang wong kabèh amrih slamêt ing donya lan akerat padha
kasinungana sabar ing ati. Kacuwan bab siji ana ing donya yèn bisa nyabarake,
besuk ana ing akerat tampa wêwalês kabêcikan lan kabungah 27 atikêl kaping
sèwu, Insa Allah.
Sarêng Gusti Kanjêng Nabi Mukamad 28 sampun seda, [30] ingkang
anggêntosi jumênêng ratu bagendha Sayidina Abu Bakar Sidik. Satunggaling
dintên nuju miyos siniwaka lênggah ing Pasar Rukmi, para ngulama, punggawa,
23 nggèr 24 Kanjêng 25 lèmèk 26 ngandikakake 27 kabungahan 28 Mukammad
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
mantri, agêng alit gumêlar sami sumewa sadaya. Panganggêpipun lastantun kados
nalika jumênêngipun Gusti Kanjêng Nabi. Wiyosipun wau parlu ngukum-ukumi
sagung para umat ingkang gadhah prakawis. Bibar pasewakaning kaprabon,
Sayidina Abu Bakar Sidik nilap ing wadyabala. Nyêlamur dhatêng pêkên sade
nyampingipun parlu badhe kadhahar sarta kaagêm nipkah dhatêng ingkang garwa.
Sadintên-dintên tansah makatên. Lami-lami kasumêrêpan ing wadyabala, lajêng
sami gadhah unjuk. Lampah makatên wau botên prayogi, dipunwastani kirang
santosa kramaning narpati. Kalipahing Gusti Allah sade nyamping dhatêng pêkên,
momor ing tiyang alit punika nyudakakên darajad. Sultan Abu Bakar Sidik
ngandika, ”Bênêr aturira iku, mungguh tumrape karatoningsun. Balik pangan lan
nipkahingsun marang rabiningsun, iku dudu panunggalane bab karaton. Nanging
wajibing manungsa kudu mangan lan nipkahi marang rabine, kang mêtu saka
kaskaya tapak tangane dhewe. Ora kêna nganggo saka liyane. Yèn tinggal
ngupaya nipkahe dhewe pasthi duraka. Lan yèn gêlêm mangan dudu nipkahe
dhewe iku mangan ruba arane”. Sarêng kêncêng pangandikanipun makatên. Para
punggawa ambudidaya sampun ngantos sang nata [31] nyalamur sade nyamping
piyambak dhatêng pêkên. Lajêng dipunsudhiyani sakêdhik saka arta Betta Mal
(asiling nagari). Sarêng Sultan Bagendha Abu Bakar bade29 seda nimbali ingkang
putra ingkang nama Sayidina Ngabdurrahman, dipunwasiyati. Sapêngkêripun
ingkang rama sabin pasitènipun ingkang dipuntanêmi kurma, punika dipunsadea
sapajêng-pajêngipun lajêng kasaurna dhatêng arta Betta Mal ingkang sampun
kadhahar sadintên-dintênipun wau. Tamtu langkung kathah pêpajênganipun
29 badhe
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
tinimbang arta Betta Mal ingkang kadhahar. Awit sadintênipun namung wos
satunggal bêruk, sampun sah kapara langkung ing panyaur.
Sasedanipun Bagendha Abu Bakar Sidik, ingkang anggêntosi jumênêng
ratu, Bagendha Sayidina Ngumar. Nuju dintên miyos tinangkil wadyabala
sumewa andhèr kados rob ing jalanidhi. Kanjêng Sultan lajêng ngukum-ukumi
sarta wêwarah ingkang amrih raharjaning donya akerat. Sarampungipun
sagunging wad, ingkang agêng-agêng sami munjuk. Mawi kaparêng nipkah sarta
dhaharipun Kanjêng Sultan dipuncaosi saking arta Betta Mal ing nagari. Dhawuh
wangsulanipun: ”Ingsun iki sira jumênêngake ratu ana ing nagari Madinah kene,
amêngkoni praja sajajahane. Ngêrèh para ratu-ratu, ngulama wadyabala sawonge
cilik lanang wado [32] n gêdhe cilik kabèh, kang padha masuk agamane swargi
gustiningsun Gusti Kanjêng Nabi Mukamad 30 , iku kabèh kawêngku ana
panjênênganipun, dadi gêdhe bangêt sêsangganingsun ing karaton iki. Kang iku
pisungsungira nipkah lan dhaharingsun sadina-dinane sira sangga mêtu saka
dhuwit Betta Mal asil wêwêtoning nagara. Muga aja dadi rêngating atinira kabèh,
ingsun ora arêp nampani, balik anggonên nyangga sandhang pangane
kawulaningsun kang padha kêkurangan: anak yatin31, wong papa sangsara, jompo,
sarta bot repoting praja kang amrih ayêm têntrême wêwêngkoningsun, supaya aja
kongsi ana wong sambat kurang kapenak jiwa ragane. Dene ingsun amung minta
suka pirênane atinira kabèh. Wadyabalaningsun gêdhe cilik, muga padha
nglilanana bab nipkah lan dhaharingsun. Sadina-dinane ingsun sêdya ngupaya
dhewe mêtu saka tapak tanganingsun. Sarana adol bata ana ing desa Bangkèk
iringing gunung, rada kiwa sawatara adoh saka ing nagara. Anggoningsun ndêlik
30 Mukammad 31 yatim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
nyithak bata, sira aja padha kuwatir marang panggawehaningsun tinangkil
ngukum-ukumi, mancasi prakara, miyarsakake atur prasaja, lan
panggawehaningsun mêmarah marang wong amrih salamêt ing awal akhir,
kalawan nêtêpi pangabêktiningsun Gusti Ingkang Maha Suci. Iku pasthi ingsun
parlokake dhingin. Eng [33] goningsun nyithak bata amung sambèn. Dianggo jaga
supaya aja nganggo nipkah lan panganingsun saka dhuwit Betta Maling nagara”.
Sasedanipun Sultan Bagendha Sayidina Ngumar, ingkang anggêntosi
jumênêng ratu, Bagendha Sayidina Ngusman. Satunggal wêkdal dintên Jumungah
Sayidina Ngusman ngimami. Sarampunging parlu sunating Jumungah lajêng
minggah ing mimbar. Muji ing Gusti Allah muji ing Gusti Kanjêng Nabi
Mukammad Salalahu Ngalaihi Wasalam, lajêng dhawuh ondhang-ondhang: ”Hèh
kèh kawulane Gusti Allah kang padha ana ing masjid, padha wêruha panggawe
kang luwih abot iku rong prakara, siji panggawehaning ratu adil, loro nipkahi
marang rabi. Loro pisan iku ora kêna gothang. Mungguhing karaton kudu tansah
micara supaya wêruh pratingkah sukêr sakit gampang ewuhing praja, yèn nganti
kalèru kang nindakake pasthi duraka gêdhe. Bab nipkah marang bojo yèn ora
ditêtêpi iya mangkono, kaya priye ingsun kudu nindaki rong prakara mau
kapraboningsun kudu awèh parentah kang bênêr bêcik. Enggoningsun tinitah dadi
lanang mêngku rabi kudu awèh nipkah, ing mangka ingsun iki samêngko wis
tuwa. Allah Subêkanalahi Walkamdulillahi”. Wadyabala sarêng mirêng
pangandika makatên wau sami wêlas. Pangagênging punggawa Bagendha
Sayidina Ngali bin Katob, bibar pa [34] sewakan karêmpakan ngrêmbag bab
pangandikanipun sang prabu. Gêlêng giliking rêmbag sayuk rujuk tiyang sapraja.
Rèhne sang prabu wau têmên sampun sêpuh tamtu botên kuwawi nyambut damêl.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Mila lajêng kapanci dipuncaosi dhahar saking arta Betta Mal. Nanging botên
watawis lami lajêng gêrah. Ngajêngakên badhe seda, arta Betta Mal ingkang
sampun kadhahar dipunsauri saking pêpajêngan panyadening pakêbonan ingkang
rumiyin nate dipuntatanêmi piyambak. Sah.
Sasedanipun Sultan Bagendha Sayidina Ngusman, ingkang gumantos
jumênêng ratu wontên ing Madinah, Bagendha Sayidina Ngali bin Katob wau.
Karatonipun mituhu pangrèhing ratu-ratu ingkang sampun kasêbut wau sadaya,
sarta nêtêpi sarengating Kanjêng Nabi panutan. Langkung hardayaning (hardaya =
seru, ribet) manggalih saking èngêt pakèwêtipun tiyang jumênêng ratu (makatên
raosing panggalihipun Sultan Bagendha Sayidina Ngali bin Katob). Tansah
kuwatos bok manawi kalèntu panindakipun tamtu katêmpuhakên dhumatêng
ingkang jumênêng ratu. Sanadyan botên sapunika (ing donya) masthi benjing
pinanggih ing akerat (têgêse sawuse mati tansah dicatur kapi alane ora uwis-uwis
malah alane dianggo kaca brênggala, iya iku wong duraka ing akerat mêmêlas).
Mila Sultan Bagendha Sayidina [35] Ngali bin Katob, sanadyan saliranipun
sampun nyêkêl asma Sultan Kabir Mukmin. Ewadene taksih sangêt prihatos
ngatos-atos. Ing mangka nalika taksih sugêngipun Gusti Kanjêng Nabi
Mukamad32, kajumênêngakên senapatining prang, botên nate kagungan panggalih
was sumêlang sakêdhik-kêdhika. Sarêng jumênêng nata tansah kêtir-kêtir. Mila
saselaning pasewakan rintên dalu tansah ulah pamicara kaliyan sagung para
ngulama tuwin sagung para bèrbudi. Saking sangêting prihatos, Sultan Bagendha
Sayidina Ngali bin Katob, sadintên-dintênipun namung dhahar glêpung gandum
sagêgêm. Gandum punika wêdalan saking sibi-sabinipun piyambak. Bilih
32 Mukammad
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
angglêpung dipunsarirani piyambak. Rampung ing pangglêpungipun lajêng
dipunrumati ngontên ing pêthi kinancing kêncêng. Pangagênging wadyabala
munjuk, ”Punapa karananipun Gusti, dene yasan dalêm galêpung panjênêngan
dalêm èmi-èmi sangêt. Ngantos panjênêngan dalêm lêbêtakên dhatêng pêthi
dipunkunci kêkah sangêt, ingkang purun mêndhêt dhahar dalêm kemawon sintên.
Kados botên wontên, kajawi ajrih, raos punapa tiyang amung bubuk lan gandum”.
Nanging kêrsa dalêm têka makatên punika abdi dalêm kawula dèrèng andungkap.
Dhawuh wangsulanipun Sultan Bagendha Sayidina bin Katob ”Mulane
yasaningsun galêpung gandum sudiyan panganingsun, ingsun lêbokake pêthi
tumuli ingsun kunci kukuh. Iku ingsun kuwatir [36] bok manawa kawruhan
marang anak-anakingsun. Pasthi diijoli pêpanganan kang luwih mirasa enak,
mulane ingsun kunci.
La punika nggèr lêlabuhan ingkang utami. Prayogi dipuntiru ingkang
yêktos. Inggih mangsa sagêda plêg botên ketang sapara dasanipun 33 inggih
lowung. Têgêsipun botên nama kêsangêtan anggonipun ngêmpalakên loba murka,
têmahan sagêd maradinakên ambêg paramarta mangaksama, sabab tansah ngagêm
têpa rahsaning sarira. Aku dislomot upêt anjingkat tur lara, kowe iya anjingkat,
rasane padha panas. Makatên sapiturutipun tiyang ingkang ngangge tepa-tepa.
Langkung prayogi malih bilih kagungan watêg, andhisikake liyan, angèrèkake
awake, ing atase wibawa, suka, wirya, busana, boga, andrawina, punika tumrap
dhatêng putra, wayah, sadhèrèk, santana, abdi agêng alit sadaya, bilih sêdya utami
kêdah makatên. Awit ing agêsang punika pikajênganipun warni-warni. Sok botên
kenging dipunwor, upami canthing bumbung dipunsoki toya saklênthing, tamtu
33 dhasaripun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
botên sagêd amot. Têmahan ambaludag wutah dhatêng siti, ingkang malêbêt
namung sakêdhik. Kosok wangsulipun sagantên, sampun ngêmot toya kathah
sangêt ewadene dipunjogi toya saking pundi-pundi taksih malêbêt kemawon. [37]
B : Ha, inggih pandhawuhipun Kyai, bêbasanipun bilih ingkang punika
sampun kalajêng botên doyan dhatêng warah wuruk. Gèk kados pundi, dipunjujua
kados pêksi inggih namung tiwas anjuju, botên sagêd malêbêt. Kajawi punika
Kyai, sadaya paringipun piwulang Kyai dhatêng kula, kula maturnuwun
sakalangkung kapundhi, muni-muni sagêda nglampahi angsal barkah, pangèstu
panjênêngan. Rèhne sampun sawatawis dalu anggèn kula sowan Kyai. Manawi
kêparêng kula nyuwun pamit wangsul mantuk.
A : Inggih nggèr ndhèrèkakên wilujêng.
B : Sampun Kyai.
A : Inggih.
Nyandhak kaca angka 53
Ingkang ngarang Purbadipura
Ingkang nyêrat Wignyaukara
Dialog III (Ketiga):
[53c]
B : Kyai apa ana dalêm?
Jiman : Wontên, mangke kula matur. Punika wontên tamu.
A : (Mêdal dhatêng pandhapi) Monggo nggèr kula aturi lênggah. Wilujêng
nggèr?
B : Inggih wilujêng. Kyai punapa inggih wilujêng?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
A : Inggih pandonganipun anggèr. Pancen kula ajêng-ajêng rawuh
panjênêngan. Punapa kabaripun?
B : Anu Kyai wêkdal punika hawanipun dhateng badan kok kirang sêkeca.
Kyai punapa inggih makatên?
A : Inggih lêrês makatên. Saya kula tiyang sêpuh, dhatêng badan raosipun
prungsang mriyang-mriyang. Bok manawi saking dèrèng wontên jawah punika.
La tiyang mangsa kanêm tanggal kaping 16 ika34 dèrèng wontên jawah, dados
panasipun sangêt, miwah mawi pundi agêng blêdug angampak-ampak dhatêng
mripat sêpêt sakit.
B : Inggih kok makatên wêkdal punika. Kula nyuwun criyosipun Kyai bilih
makatên punika kados pundi?
A : Manawi botên kalentu, criyosipun sabên kawan taun sapisan, katiganipun
panjang, inggih kados wêdal35 punika dhatêng badan kirang sakeca.
A : Kawêwahan ningali solah bawanipun tiyang saknaga[54]ri, kathah
ingkang sambat awratên samangken. Sarta glagading jaman tansah umêg lêmban
adu-adu dèrèng wontên ingkang rampung.
A : Inggih nggèr sampun dilalah. Manawi sawêg makatên punika raosipun
dhatêng badan kirang sakeca, dhatêng manah kirang têntrêm tansah kêtir-kêtir
kuwatir. Kosok wangsulipun bilih pinuju jam 36 tata têntrêm raharja, tiyang
saknêgari manahipun tamtu suka rêna sanadyan mangsa katiga ingkang
bêntèripun sangêt, ewadene rumaosing tiyang inggih sakeca kemawon. Gadhah
pamanggih manawi ngipe37 barang ingkang têlês, sagêd lajêng enggal garing.
34 punika 35 wêkdal 36 jaman 37 ngêpe
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Akas dhangan dhatêng badan. Manawi nuju rêndhêng inggih katampi sakeca.
Raosipun dhatêng badan botên prungsang. Toya jawah wau sagêd nyuburakên
dhatêng tatanêman. Ron-ron lêmbaka ijêm riyu-riyu sakeca dhatêng paningal.
Blêdug sirêp, kalèn-kalèn mili gumaladhag, ngètirakên rêrêgêd. Manawi wontên
angina38 agêng inggih dipuntampi sae, sagêd nyirnakakên ambêt ingkang botên
eca. Têmahan dhatêng napas landhung. Landhung39 napas sagêd anglastantunakên
tampahing rah sumambrah dhatêng saranduning badan waradin samêsthinipun.
[55] Manawi pinuju botên wontên angin, inggih sakeca botên ngraosakên
sumuk. Sanadyan sumuk inggih kèwran anggenipun murih sêgêring badan.
Tiyang malarat narimah angsalipun rêjêki. Tiyang sugih botên was-kuwatos
dening durjana. Anggenipun nyambut damêl kaliyan sênênging manah.
Kèngkènan larè alit dhatêng purun ingkang sawatawis têbih, inggih botên
dipunkuwatosakên. Punapa dene para priyantun dhasar kacêkap saya sangêt
anggènipun tanpa sumêlang.
Cêkakipun bilih wontên ing jaman tata têntrêm raharja wau, manah ing
tiyang sami sênêng suka rêna. Sadaya ingkang katingal kamirêngakên, namung
katampèn kaliyan sae kemawon. Mèh botên wontên ingkang nguciwani. Sanadyan
bêgo wong apisan upami, inggih botên ngraosakên susah. Langkung malih bilih
tiyang-tiyang ingkang anggadhahi manah suka rêna wau angsal sih dana
pariksaning Gusti ingkang tansah anggêlar paramartaning panggalih sarta
nindakakên jêjêging [56] adil, botên pisan ambaukapine inggih dhatêng sintên
kemawon botên mawi mawang tiyang, tamtu kenging adiling lêlêrêsan. Manawi
saèstu makatên tamtu lajêng gadhah cipta asih trêsna dhatêng tênggèn ingkang
38 angin 39 landhunging
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
dipundunungi. Sêdya labuh labêt nêtêpi prasêtyaning manah kèndêl kèrêm katrêm
wontên praja ingkang dipunênggèni. Dumugining lêbur luluh sêdya labuh. Saking
kataman adil paramarta wau ngantos sami katingal sangêt ing sih trêsnanipun
dhatêng ingkang ngasta pusaraning nagari, ingkang tansah rumêksa rukun
rumêngkuh asih marma dhatêng sadaya titisanagari.
Kosok wangsulipun manawi nuju jam 40 ingkang botên tata: pating
balêngkrah, botên têntrêm: uyang wayang wuyung, botên raharja: dahuru 41 .
Têmbung pating balêngkrah têgêsipun saking botên undha usuk, mangangge
sapurun-purunipun namung janji sagêd tumbas tanpa subasita yogya para ical.
Botên rukun dhatêng bangsa. Tingkah polah muna-muni kaduk purun kirang
dêdugi prayogi. Anggêpipun sami kemawon, botên sêdya urmat dhatêng
sêsamining manusa. Manah [57] gadhah raos angrêsahakên, botên gadhah manah
wêlas dhatêng tiyang ingkang nandang sudra papa, botên sudi têtulung dhatêng
tiyang sakit sangsara sapanunggilanipun. Ingkang piyambakipun asrêmbuhi
sumarêp42 tuwin cêlak dhatêng tiyang ingkang katiwasan wau, namung ningali
kemawon.
Uyang wayang wuyung têgêsipun, badan manah ing tiyang botên sakeca.
Siyang dalu tansah kuwatir kêtir-kêtir. Gadha43 raos bok bilih angsal sarusiku
agêngipun angsal dêduka saking ingkang nyêpêng pamrentaha44 kadakwa botên
anu-anu. Manah susah ngêsah mijêr ngalih panggenan mrika-mriki tansah kinuya-
nuya. Winaosnan iku kurang bênêr saiki kudu mangkene ora kêna mangkono,
40 jaman 41 dhahuru 42 sumêrêp 43 gadhah 44 pamrentahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
sapanunggilanipun ingkang ngebahakên manah rêkaos. Sontan-santuning
dhêdhawuhan damêl bingunging manahipun ingkang tampi parentah.
Dhahuru têgêsipun rêbut suwala lair batin. Bêgêblug45, sêsakit, sontan-
santun ingkang dhatêng, tiyang ingkang nandhang raga botên angsal usapamarta
(usapamarta: jampi ingkang mêdal saking wêlas asih marma sabda sarma46, botên
kaliyan pangru [58]a dapaksa têmbung misesa). Angsalipun jampi saking
parentah kaliyan sabda sêrêng sora. Dados ingkang ajrihan sami giris manahipun
dipunlampu botên nyuwun. Têmahan bingung botên kantên-kantênan. Sanadyan
sakitipun awit inggih narimah botên jêjampi, saking manawi kadhah47 panuwun
kangelan mawi dipunsêntak-sêntak.
Manawi mangsa katiga manah ing tiyang sami ngrêsula saking panasipun
gumamplêng, dhatêng badan karaos puyang mriyang-mriyang tansah ngorong
kêdah ngombe. Nêdha botên eca, tilem boten sakeca, balêdug angampak-ampak
kabur malêbêt dhatêng irung tuwin maripat botên sakeca sakit ing ganjêl. Mangka
balêdug wau ingkang kathah ubalan saking wradinan ingkang dipunsirami saking
toya kalen ingkang isi rêrêgêd. Adhuh.
Manawi mangsa rêndhêng manahing tiyang inggih kathah ingkang sêdhih,
sabab katampon agêngipun katrocohan. Kêkesahan botên sagêd. Ngipe48 barang
ingkang têlês dangu karingipun 49 . Badhe [58]b mangkat nyambut damêl
kapanjêng jawah. Tamtu dhatêngipun radi lat . Trêkadhang botên nyambut damêl.
Raosing badan kêkês pating marinding sêmu sumêng ngêcêcês atis. Dhatêng
45 Pagêblug 46 darma 47 gadhah 48 Ngêpe 49 garingipun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
manah sumpêg namung muntêl wontên salêbêting gri50 kemawon. Manawi pinuju
anginipun agêng, raosing badan pating prakinting prindang-prindang,
dipunkêmuli sumuk. Tanpa kêmul mangsuk angin dhateng padaran kêmbong51
ambasêsêt. Bilih botên wontên angin, ganda-ganda ingkang botên eca mulêg
botên sagêd ical. Têmahan damêl sêsêging manah. Umor munêg-munêg kados
badhe mutah. Lajêng gadhah kintên makatên wau mahanani sakit. Tiyang ingkang
malarat tansah gadhah manah was-kuwatos, bok manawi anggenipun nyambut
damêl bêbêrah, botên sagêd lêstantun. Angsala pandamêlan inggih kirang jênjêm
sabab para juragan kêrêp kêkirangan bahu sangking rêndhêngan. Lêlajêng muring-
muring dhatêng tiyang ingkang sami bêbêrah, trakadhang lajêng kèndêl botên
nyambut damêl. Para parentah 52 dhatêng sor-soranipun tansah nindakakên
kêkêrasan, anggêp dhiri kasar [59] ladak êdak kumingsun, sawênang-wênang
dumèh nyêpêng panguwasa. Pangraosipun nindakakên bênêr miturut anggèr,
nanging tanpa dêduga lawan prayoga. Myang watara riringa haywa lali. Iku
parabot satuhu. Tan kê 53 tininggala. Tangi lungguh angadêg tuwin lumaku,
angucap mênêng anendra, uga duga nora kari, miwah sabarang karya. Ing prakara
gêdhe kalawan cilik. Papat iku datan kantun. Kanggo ing sadina-dina, lan ing
wêngi nagara miwah ing dhusun, kabeh kang padha ambêkan. Papat iku datan
kari, kalamun ana manungsa. Anyinggahi dugi lawan prayogi, iku watêkan tan
patut. Amor marang wong kathah, wong dêksura daludur tan wruh ing ngêdur54.
Aja sira pêdhak-pêdhak. Nora wurung nêniwasi. (Wulangreh)
50 griya 51 kêmbung 52 pamarentah 53 kêna 54 ngêdhur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Cêkakipun manawi nuju jaman botên tata têntrêm raharja. Manahipun
tiyang sami giras-giris maras-miris kuwatir ketir-ketir. Sadaya ingkang katingal
tuwin kamirêngakên namung damêl botên sakecaning manah kemawon. Angsala
darajat [60] kaluhuran, tuwin angsala arta kathah pisan, kanggenipun nampèni,
bilih kaliyan manah rangu-rangu, botên katampèn kaliyan puja sokur. Sabab
saking sampun ngandhut manah sumêlang mêlang-mêlang. Sanadyan
wontêna 55 karamean tuwin pasamuan ingkang langkung saking endah, inggih
magsa ngêmu kuwatos. Langkung malih saupami tiyang-tiyang wau sumêrêp
utawi mirêng, bilih ingkang dados pangagêng nagari, panggalihanipun jahil,
mathakil, bêsisit, dakmênang56, kumaluhur, kèdanan dhatêng urmat, kumêcethil,
sukamèt lumuh kèlangan, nuruti karsanira pribadi, tur sugih donya, botên pisan
damêl têtuladan sae. Dhatêng sor-soranipun pundi ingkang anggung57 anggugung
bilih punika ingkang angsal sih. Bilih pangagêng makatên ambêg lêlabuhanipun
tiyang-tiyang sanakari58 ingkang dados wêwêngkonipun tamtu lajêng gadhah cipta
botên asih trêsna dhatêng nagari wutuh rahipun. Manah gêrah uyang ngalih
panggènan botên sêdya têtêp anggènipun gagriya wontên ing ngriku. [61] Labuh
labêt ajur luluh malih purana kêpêthuk kemawon sumimpang. Manawi dipunaruh-
aruhi èthok-èthok botên mirêng. Labêt saking mirêng punapa sampun kataman
wêwatakan botên sae wau.
Sêrat Menak Drig jilid 2 kaca angka 14 larik 5 saking ngandhap mungêl
dyan thilar59 aturipun, anggêp aturing bastak. Pasthining Hyang ngalamat jagad
55 wontên 56 sakwênang 57 agung 58 sanagari 59 tilar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
dahuru 60 . Atur bêcik kanthi nalar, tan nglastarèkakên janji. Mring aturan
ngomondaka. Kêna nurut buwang atur kang bêcik ujwalane ratu agung. Yen bakal
karusakan, sasar susur catur ala kang ginugu. Makatên nggèr ungelipun. Wallahu
akam61
B : Mèmpêr sangêt dhawuhipun Kyai punika, nanging punapa sababipun
dene praja angsring jaman tata asring boten tata.
A : Kajawi bêbasan sampun tinandur, ingkang murugakên inggih saking
sirah. Sirah punika isi utêg, utêg panggenan budi, budi tumurun dhateng jantu62,
jantung anggèn pikir-pikir awon ingkang sae ingkang ngriku, [62] lajêng kawêdal
dhatêng pangucap. Pangucapipun pangagêng ingkang nyêpêng panguwasa,
sumrambah dhatêng tiyang sadaya kang prang dinas63. Lajêng mahanani jaman
awon tuwin sae dalah satunggal ingkang tumindak.
B : Wah kula ndhèrèk sangêt dhawuhipun Kyai punika, kados tamtu
makatên. Kula matur suwun dhatêng Kyai anggènipun paring cariyos dhatêng
kula. Sapunika kula nyuwun pamit badhe mantuk sanès dintên kemawon sowan
malih.
A : Inggih nggèr ndhèrèkakên wilujêng, salam taklim kula dhatêng garwa
putra pênjênêngan.
B : Inggih Kyai nuwun kaping kalih, kantuna wilujêng.
Sambunge kaca angka 71
60 dhahuru 61 Wallahu aklam 62 jantung 63 dhinas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
c. Dialog IV (Keempat):
[71]
A : Jiman, klêdhang-klêdhang kae kaya anaku.
Jiman : Inggih.
B : Kulanuwun Kyai.
A : Mangga nggèr lajêng pinarak .
B : Inggih Kyai.
A : Ngriki ingkang radi cêlak kula anggènipun lênggah anggèr.
B : (Srêg maju).
A : Sami wilujêng nggèr sagarwa putra?
B : Pangèstonipun64 Kyai wilujêng sadaya.
A : Anggèr saking tindak pundi, kok radi siyang?
B : Saking griya kemawon, pancèn amung sêdya sowan Kyai.
A : Nuwun nggèr panjêngan65 kêrêp rawuh ing griya kula. Kula dèrèng nate
martamu dhatêng dalêmipun anggèr.
B : Mangga ta, benjing punapa Kyai rawuh ing griya kula ngiras mariksani
griya kula enggal, tuwin satiba bingahipun anak lan semah kula.
A : Inggih Insa Allah, sanes dintên kula matur sabên dhatêng anggèr. Jiman
patèhan kae ajokna mrene.
Jiman : Inggih.
A : Mangga nggèr ngunjuk wedang, punika wau sawêg kemawon kadamêl
wontên ing teko, rêkasnipun ingkang êmbok, tèhipun susong.
[72]
64 pangèstunipun 65 panjênêngan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
B : Inggih. Sowan kula punika inggih nyuwun cariyos ingkang ngêmu
wêwulang sadasa kados pundi. Manah kula manawi dipunparingi cariyos ingkang
Kyai punika têka lajêng ladhang dhatêng manah kula.
A : Sokur alkamdulillah bilih anggèr makatên. Kula inggih lêga lila dhatêng
panjênênganipun anggèr. Sumangga punapa ingkang kadangokakên. Ingkang
sagêd tamtu kula matur. Ingkang botên sagêd inggih matur balaka bilih dèrèng
sumêrêp.
B : Anu Kyai, karaton Jawi punika kula sampun sumêrêp. Ingkang miwiti
ngagêm agami Eslam, lajêng Sultan Dêmak sapisan, sapiturutipun dumugi
sapunika. Nanging bilih botên kêlèntu Kanjêng Sultan Dêmak punika bêbasanipun
rak namung madhahi. Talêcêripun ingkang kakung punika sintên ingkang wiwit
ngagêm agami Eslam66.
A : Ingkang wiwit ngagêm agami Eslam67 Kyai Agêng Ngabdurrahman ing
Sesela, ingkang lajêng aran Kyai Agêng Sela.
B : Kados pundi aturanipun.
A : Makatên Prabu Brawijaya ing Maospati ingkang wêkasan. Kula mêndhêt
jêjêr [73] ripun putra kakung ingkang nurunakên karaton Jawi kemawon inggih
punika: Radèn Bondhan Kajawan, taksih Buda pêputra Kyai Agêng Gêtas
Pandhawa, taksih Buda. Sakaliyan wau kula dèrèng sumêrêp kubur
pasareyanipun. Lajêng kyai Agêng Sela punika wiwit ngagêm agami Eslam68
sapiturutipun mangandhap dumugi sapunika.
66 Islam 67 Islam 68 Islam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
B : Kya69 Agêng Sela sapangandhap turunipun para ratu tumuli sapunika
punapa wontên pèngêtan ambêg lêlabuhanipun.
A : Sasumêrêp kula ing ngriki kados dèrèng wontên sêrat ingkang mligi
mèngêti ambêg lêlabuhanipun para ratu. Kajawi ing Pakualaman punika
kabaripun wontên sêrat pèngêtan makatên wau, dipunnamakakên Sêrat Jatipusaka,
wiwit saking sintên dumugi sintên kula dêrêng sumêrêp Sêrat Jatipusaka wau.
B : Cêkakipun kula gadhah pangintên dhatêng awak kula piyambak kados
mêsthi botên sagêd sumêrêp dhatêng Sêrat Jatipusaka wau. Mila bokcobi Kyai
kaparêng paring criyos dhatêng kula, ambêg lêlabuhanipun Kyai Agêng Sela
sapangandhap.
A : Mangke gèk gèsèh kaliyan ungêl-ungêlipun Sêrat Jatipusaka. [74]
B : Gèsèh inggih kajêngipun, tiyang sami anggêlar kawruh pangraosipun
piyambak-piyambak. Prakawis gèsèh punika limrah. Kadosta Sêrat Babad
Dipanagaran kaliyan Sêrat Orloh Dipanagaran, sami nyariyosakên pêrangipun
Pangeran Dipanagara. Têka inggih kathah gèsèhipun. Liya-liyanipun sêrat malih
inggih wonte 70 gèsèhipun tur nunggil ingkang kacariyosakên. Mila mugi
kêparênga maringi cariyos dhatêng kula.
A : Manawi makatên inggih nggèr, kula cariyos nanging inggih mêksa merit
saking lêlampahanipun ingkang kasêbut ing Sêrat Babad. Namung manawi lêpat
tuwin kalèntu kemawon mugi sampun kirang pamêngku tuwin pangaksama.
Criyos kula kados ing ngandhap punika:
69 Kyai 70 wontên
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Ambêg lêlabuhanipun kanjêng Kya 71 Agêng Sesela dumugi Ingkang
Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping kalih
Ha : Kangjêng Kyai Agêng Sesela, pêputra
Na : Kangjêng Kyai Agêng Nês72
Ca : Kangjêng Kyai ing Pamanahan
Ra : Kangjêng Panêmbahan Sènopati
Ka : Kangjêng Sinuhun Seda Krapyak
Da : Kangjêng Sinuhun Sultan Agung
[74]a
B : Anu Kyai kula punika angsring nggagas anak kaliyan bapa biyung. Anak
punika angsring botên sami mèmpêr kaliyan bapa biyungipun. Trakadhang plêg
warninipun. Punapa dene wêwatêganipun ugi anggèr botên mèmpêr kaliyan
tiyang sêpuhipun, punika kados pundi. Manawi kêparêng mugi paringa pitêdah.
A : Inggih nggèr mênggah wêwatonipun kula dèreng sumêrêp. Namung kula
ngaturakên pamanggih kula dhatêng anggèr. Kintên-kintên lêrês lêpat
nyumanggakakên. Manawi anggèr rujuk pamanggih kula makatên.
Trakadhang warninipun plêg kados bapakipun. Trakadhang warninipun
plêg kados biyungipun. Trakadhang warninipun sakêdhik mempêr bapaki [74b]
pun sakêdhik mempêr biyungipun. Trakadhang botên mèmpêr babar pisan kaliyan
sudarmanipun kalih. Ingkang makatên wau, manawi lare warninipun plêg kaliyan
bapakipun punika nalika badhe dhumawah ing wiji, ingkang branta rumiyin
kanthi adrênging manah punika ingkang jalêr. Saking adrêngipun ngantos
71 Kyai 72 Nis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
mahanani wujud kados piyambakipun, têmahan dadosing manungsa inggih kados
bapakipun.
Kosok wangsulipun bilih ingkang branta rumiyin kanthi adrênging manah
ingkang èstri. Saking adrêngipun ngantos mahanani wujud kados ibunipun.
Têmahan dadosing manungsa inggih kados ibunipun.
Manawi lare warninipun sakêdhik kados bapakipun, sakêdhik kados
ibunipun [74c] punika nalika badhe andhawahakên, ingkang badhe nampèn ing
wiji, jalêr èstri sami sasarêngan adrêng ing trastanipun. Lajêng mahananipun
angadhah73 warni kados bapa biyungipun.
Manawi wontên lare babar pisan botên wontên èmpêr-èmpêripun kaliyan
bapa biyungipun, punika nalika badhe andhawahakên saha ingkang badhe
nampèni wiji, jalêr èstri botên gadhah niyat nunggil tilêm. Tangi tilêm ènjing
wontên lajêng dadakan lajêng katindakakên. Wasana dados, têmahan botên
mempêr babar pisan. Makatên malih nglilir saking tilêm dalu têngah dalu. Wontên
barang ingkang gadhah kajêng piyambak lajêng katindakakên. Trakadhang
salêbêting tilêm wau mêntas supina sumêrêp kêthèk, sarêng nglilir manahipun
taksih anggagas impènipun. Tamtu inggih [74d] mahanani kados tilêm.
Sapanunggilanipun ingkang kumantil-antil wontên ing manah. Sagêd ugi
dadosing lare lajêng kados ingkang dipun-gagas wau. Sanadyan amung sakêdhik
èsthining manah tamtu anglabêti. Wontên ugi ingkang beda-beda wêwatêkanipun.
Ingkang lajêng watêgipun sae. Ingkang manggulu watêgipun awon sapiturutipun,
punika kados inggih botên liyan inggih saking tiyang sêpuhipun kalih. Têgêsipun
nalika badhe nètèsakên wiji ingkang dados. Bapa biyungipun manahipun sawêg
73 anggadhah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
punapa. Punapa sawêg murka angongsa-ongsa. Punapa sawêg sabar narimah
tawêkal . Punapa sawêg wêning. Punapa buthêg. Punapa nepsu. Punapa sawêg
ngèsthi kasugihan kasinggihan, kaluwihan sapiturutipun ingkang [74e] sawêg
kaèsthi marêm manah. Tamtu mahanani dhatêng anak.
B : êlo, manawi makatên manah punika ping-pingan sangêt.
A : Inggih nggèr, tiyang ingkang sampun tilangkung punika dipunsêbut
manahipun dalêmipun Gusti ingkang Kuwasa kolbu mukmi74 baetullah. Manawi
tiyang limrah, mêmanahanipun tamtu sontan-santu 75 gajêg makatên, gajêg
mangkana. Amila sare dene wontên sêsorah kados ingkang kasêbut nginggil.
Prayogi bilih badhe nètèsakên wiji, mawi ya angèsthi ingkang sae. Sampun
bêbasan sakengingipun kemawon, sampun makatên. Têtuladanipun wontên inggih
mangsa ngêplêkan. Inggih mirit sakêdhik-sakêdhik to cung. Inggih punika Prabu
Dasarata ing Ngayogya 76 , duk arsa pêputra [74]f Sri Jathara Rama Wijaya
Narendrar77 ing Purwapura.
B : Sanadyan sadaya wau sawêg nama sêsorah nanging manah kula marêm
cumêplong sarta rujuk.
A : Sokur nggèr alkamdulilah, walahu aklam.
[74i] : lanjutan dari halaman 75
Ja : Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Tiga, pêputra
Ya : Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Sakawan, pêputra
Nya : Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Gangsal, pêputra
Ma : Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Nêm, pêputra
74 mukmin 75 sontan-santun 76 Ngayodya 77 narendra
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
Ga : Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Pitu, punika putra dalêm Sri PeBe
kaping Sakawan
Tha : Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Wolu, punika putra dalêm Sri
PeBe kaping Nêm, pêputra
: Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping IX
Sri PeBe V
Sri PeBe VII
Sri PeBe VIII
[75]
Ta : Kanjêng Sinuhun sumare Têgal Arum, pêputra
Sa : Kanjêng Sinuhun Mangkurat Bawa
Wa : Kanjêng Sinuhun Mangkuratan
La : Kanjêng Sinuhun Pakubuwana Sapisan, punika putranipun ingkang
Sinuhun sumare ing Têgal Arum wau. Dados sadhèrèkan mrênah rayi
kaliyan Sinuhun Mangkurat Bawa. Sinuhun Pakubuwana Sapisan pêputra:
Pa : Kanjêng Sinuhun Prabu Amangkurat
Dha : Kanjêng Sinuhun Pakubuwana kaping Kalih
Ja : PB III
Ya : PB IV
Sadherek sami putra dalêm Sri PeBe IV nanging sanes ibu.
Sri PeBe V : nalika pêputra Sri PeBe V taksih jumênêng
Adhipati Anom, ingkang ibu lajêng seda, mila
asma Kanjêng Ratu Kadipaten
Sri PeBe VII : saking Kanjêng Ratu Kancana
Sri PeBe VIII : saking Kanjêng Raden Rantan Gawa Paminggir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Nya : PB V
Ma : PB VI
Ga : PB VII╒
Ba : PB VIII ╒
Tha : PB IX
╒ : kaping pitu, kaping wolu punika sami putra kaping 4, dados sanes dalêm
kaping 5 kaprênah nèm.
Mangsuli
Ha : Kanjêng Kyai Agêng Sesela. Ambêg lêlakuhanipun78 nalika taksih nèm,
rêmên dhatêng ing kaprajuritan, mila ngantos kadadosakên prajurit
Tamtama ing Dêmak. Linambaran tapabrata, wêgah dhahar, wêgah
nendra, tansah puruhita dhatêng para sagêd ing jaman samantên. Ngèsthi
dhatêng dugi prayogi. Mila lêpas dhatêng kawruh kasampurnan. Sarêng
sampun sêpuh rêmên sangêt dhatêng budi kapandhitan, nêtêpi agami
Eslam79. Rintên dalu tansah sêmbah Hyang nyuwun pitulung ing Gusti
Allah ingkang kaèsthi sagêda mêngku ing tanah Jawi. Sasêlaning ngabêkti
ing [76] Gusti Allah, sinambi olah tata, nênanêm, sapanunggilanipun,
dèrèng kalampahan sêlak seda. Nanging nalika karaos badhe mapat 80
sampun dhawuh dhatêng ingkang putra Kyai Agêng Nis kinèn
anglajêngakên ingkang dados èsthining panggalih wau.
78 lêlabuhanipun 79 Islam 80 wapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
Na : Kanjêng Kyai Agêng Nis. Ambêg lêlabuhanipun nyantri balaka. Karêm
lêlana tapabrata dhatêng ing wana. Mandhap ing jurang, minggah ing ardi.
Mila ngantos pêparab Bagus Anis, têgêsipun kêrêp kêkesahan ugi puruhita
dhatêng para sagêd ngantos dados sabatipun Kyai Bêluk ing Lawiyan.
Bêtah nglampahi wêgah dhatêng sare. Ngèsthi wêlingipun ingkang rama
tumuntên sagêda kasêmbadan. Dèrèng kalampahan kasêlak seda. Nanging
ugi sampun mêling dhatêng ingkang putra kanjêng Kyai Agêng
Pamanahan, kinèn anglajêngakên èsthining panggalih.
Ca : Kanjêng Kyai Agêng ing Pamanahan. Ambêg lêlabuhanipun, rêmên
tapabrata mardi budi utami. Mêmikir tata, titi, tatas, patitis. Amot mêngku
dhatêng kawruh akal lêmbat. Sagêd angawula. Waspada dhatêng tindak
nistha madya utami. Lêpas ing [77] panggalih, mutusi ing sasmita. Pun
padene dhatêng ngalamat ilamat dalajating praja, priksa sadèrèngipun
dumados. Mila nalika suwita wontên nagari Pajang saking sagêdipun
manggalih dhatêng samukawis ngantos dipunparabi Kyai Pamanahan
(namanipun piyambak Ngabdurrahman). Saking sugih pikir jêmbar ing
panggalih, mila ingkang dipunsuwitani sabên badhe kagungan karsa, tamtu
mundhut pamanggih sarta panimbangipun Kyai Agêng Pamanahan wau.
Saking katarimahipun ngantos dipun-ganjar siti ing Mataram. Dalah
malêbat wukiripun pisan (katêlah nama Kyai Agêng Mataram).
Salêbêtipun ngawula wontên ing Pajang, sasêlaning pakaryan praja, inggih
botên sah cêgah dhahar nendra têtêp ngabêkti ing suksa 81 awit taksih
nglastantunakên82 wêlingipun rama ing nginggil wau. Dèrèng kalampahan
81 suksma 82 nglêstantunakên
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
kasêlak seda nanging ugi sampun mêling dhatêng ingkang putra Radèn
Ngabêhi Sutawijaya: Panêmbahan Senapati, kinèn anglajêngakên
èsthining panggalih sêdya mangkurat tanah Jawi. Kyai Agêng Pamanahan
satampining siti Mataram upami dalu sampun mèh rahina sêmubang ing
purwa pajar sidik. Trostong-trostong hyang arupa arsa madhangi jaman.
[78]
Ra : Kanjêng Panêmbahan Senapati ing ngalaga. Ambêg lêlabuhanipun nèm
mila têtêg, têguh, dhantêr ing panggalih, sanadyan sampun nama kagungan
kamuktèn saking ingkang rama (siti ing Mataram) ewadene taksih karêm
lêlana tapa brata mati raga, tansah wêgah dhahar nèndra, ngèsthi
pêpêndhening sarira, mêlêng gumêlênging karsa. Nênuwun dhumatêng
Ingkang Murba Misesa tumuntêna kalêksanan wêlinging rama. Sagêd
mêngkoni nata pramudita nung sajawi sadaya. Linambaran nastapa, asih
dhatêng sêsamining manungsa kaliyan pangandika mêmalatsih damêl
bingah sarta agênging manah. Dhantêr dhatêng yuda. Digdaya
mandraguna prawira têtêg têguh ing pakewuh priksa dhatêng mangsa kala.
Tansah ngêtrapakên dugi prayoga watara riringa. Putus dhatêng kêdhap
sasmita. Botên kewran dhatêng galaring mangsah. Bilih pasang gêlang
botên katupiksa ing mêngsah. Saking rêmpit wingiding karsa alus lurusing
wadi ngantos botên kawadaka ing liyan. Bilih badhe mangsah pêrang
kajawi panggalih têtêg santosa prayitna ngatos-atos. Mawi nênungku cipta
sêmadi mahêni. Ngêlingkên kang panca driya. Mêgêng napas nutupi
babaèn nawa sanga. [79] Ngatas karsaning Hyang Wisesa, manawi
sampun têrang kaparêng lajêng mangsah sarta nyipta patêmbayaning
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
panggalih kalah sirna, mênang ngukum. Sarêng sampun kalampahan
jumênêng nata. Anggènipun mêngku dhatêng putra, santana, wadyabala
adil paramarta dana pariksa, tansah damêl agêngipun manah. Sadaya
tiyang wêwêngkonipun agêng alit sami kinulit daging. Raos eca sakeca
karumiyinakên dhatêng titiyang wêwêngkonipun. Saliranipun
kêkantunakên. Nanging ingkang sampun tetela lêpat tuwin awon masthi
kapidana punapa lêrêsipun. Ingkang saètu83 wis84 lêrês masthi dipun-ganjar
samurwatipun. Tansah panggalih waspada prayitna wèwèka, anglêluri
saha ngèstokakên sabda wasiyating para sêpuh ingkang amrih raharja.
Ka : Ingkang Sinuhun Seda Krapyak. Ambêg lêlabuhanipun asih marma
dhatêng putra, santana, wadyabala. Pangimbating praja adil paramarta.
Nanging panggalihipun tipis, botên patos têtêg radi ngêmu sumêlang.
Da : Ingkang Sinuhun Sultan Agung. Ambêg lêlabuhanipun timur, mila
sampun bapa kaliyan [80] para sadhèrèk rêmên sangêt anglampahi tapa
brata, bêkti ing Gusti Allah tuwin dhatêng para sêpuh. Asih sangêt dhatêng
para Jamhur Ngulami ingkang ahli sarengat tarekat kakekat makripat
kawruh ing kaeslaman. Bêbasanipun têtêp ngêdohi cêgah, anglampahi
parentahing Nabi panutan. Jumênêngipun narendra ngagêm Ambêg
Trimurti, inggih punika: 1)Ambêging Ratu Utami 2)Wali 3)Prajurit,
kaagêm sadaya, botên kewran panindakipun.
Têgêsipun Ambêging Ratu Utami wau tansah awas ing pamawas
dhatêng adil paramarta kêncêng, têtêp ing pangandika, sagêd damêl
agênging manahipun para wadyabala, para dhah ing nguja krama, welas
83 saèstu 84 wus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
asih dhatêng pêkir miskin. Patitis mêmatah karya, ingkang pandamêlan
alus botên kaparingan pandamêlan agal. Ingkang pandamêlan agal, botên
kaparingan pandamêlan alus sapiturutipun makatên.
Ambêging Wali, nêtêpi agami Eslam85. Bêtah tapa brata cêgah
dhahar nendra. Putus ing ngèlmi kasampurnan pamoring kawula gusti,
priksa sangkal paraning tumuwuh, botên kalèdhon pangukut,
pangracutipun lêpas patitis, sarta pambabaripun inggih botên kaèstu ing
tatrap [81] tuwin tansah ngicali susah panggrêsah ing panggalih. Namung
angagêngakên panarimah sumarah pasrah satitah èngêt dhatêng Gusti
Allah ingkang murba kamisesa ing ngalam sadaya.
Ambêg Prajurit: têtêg, têguh, têtêp, santosa, wèwèka, prayitna,
kêndêl dhatêng ing lêrês, sagêd pasang gêlar amrih sêkecaning lampah,
murih pakèwêding mangsah. Priksa pating awrat ènthènging lêlampahan
tansah dipunmaspaosakên. Lêlambaran prawira sakti mandraguna, bilih
sampun têmpuk ing yuda. Amratignya sêpuh kalah sirna mênang ngukum.
Botên watak nistha pêpangusira. Salêbêting panggalih amung pasrah
dhatêng Ingkang Murba Misesa ing jagad pramudhita. Èwêt bilih tindak
punika manut ing lêlampahan. Awon manggih awon, sae manggih sae.
Têmtu makatên ambêg lêlabuhanipun ingkang Sinuhun Sultan Agung.
Sanadyan sampun jumênêng narendra agung binathara, botên angêgung-
êgungakên, malah taksih radi asor raga. Taksih rêmên anjarah desa,
amilang kori, ngayam malas anjalak pandêling. Dhalasan sagantên inggih
dipunlêbêti. Saking anggènipun martitisakên dhatêng ing kawontênan
85 Islam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
ingkang sajati. Botên amung pracaya dhatêng atur kemawon, mawi dipun-
nyatakakên piyambak. Cê[82]kakipun bilih ing tanah Jawi sêsampunipun
karaton Dêmak Pajang Mataram dumugi sapunika dèrèng wontên narendra
ingkang kados Sinuhun Sultan Agung Hanyakrakusuma ingkang sumare
ing ngastana Imogiri. Sanadyan sampun seda ewadene taksih kagungan
daya prabawa tandhaning narendra ingkang linangkung, maibên.
Sumangga kacobiya sowan dhatêng pasareyanipun. Mangke rak lajêng
priksa lan kraos dhatêng manah kumêlas lajêng ajrih, asih ayêm têntrêm
wêning kaprabon ambêging ratu tuhu linangkung.
Ta : Ingkang Sinuhun Têgal Arum. Ambêg lêlabuhanipun inggih amung
salimrahing ratu kemawon, ugi asih marma dhatêng wadyabala. Wiyosing
pangandika angsring ngecani manah. Nanging sok wontên ingkang botên
nyata. Manawi panggalihanipun inggih tansah murih dhatêng raharjaning
praja. Namung asring kalêbêtan atur ingkang lala cora tarkadhang inggih
karsa ngagêm. Mila pandamêlan ingkang rèmèh-rèmèh sok
dipunparlokakên. Rêmên ngugung dhatêng para wanita. Kêrêp tilêm
ngagêm panggalih ingkang sawang karsa. Têmahan damêl rangu-
ranguning manahipun ingkang tampi dhawuh. Manawi duka botên mawi
panggalih panjang. Ingkang [83] kêrêp lajêng kabranang ing atur
mêmadul. Dhatêng ing ayuda kirang waspada. Mila kalampahan jêngkar
saking Mataram (bêdhah).
Sa : Ingkang Sinuhun Mangkurat Bawa, ingkang mêjahi Trunajaya. Ambêg
lêlabuhanipun santosa ing ayuda. Sagêd olah pangandika kêkèrasan,
pangandika manis arum nanging angsring botên tana, upami sapunika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
pêthak sanes dintên abrit. Botên wantah ing karsa, rêmên sêsiliban,
manawi kagungan karsa asring kêncêng, botên keguh ing atur prasaja.
Wa : Ingkang Sinuhun Mangkurat Mas. Ambêg lêlabuhanipun sanadyan
sampun nama diwasa, ewadene panggalihipun taksih kados nalika taksih
timur. Labêt saka kogung bala-ba 86 dhatêng wadyabala punapa dene
dhatêng wasita inggih lila pêparing raja brana. Nanging dhatêng wanita
bosênan, cêngkiling, mara asta rêmên gêgujêngan ingkang dipuncêlakakên
tiyang ingkang ngubungi karsa. Alitan panggalih, angsring sèlak botên
nêtêpi prajanji. Rêmên nyobi dhatêng wataking wanita. Pangandikanipun
sêmbrana parikêna, botên mituhu dhatêng wêlinging rama. Ing ayuda
kirang prawira, tipis ing panggalih, nanging kêrêp pêranging karsa
ingkang botên tana.
La : Ingkang Sinuhun Pakubuwana sapisan. [84] Ambêg lêlabuhanipun alus,
lêmbat, sabar, narama87, tawêkal, rèrèh, ririh ing ngandika botên rèsèh.
Ngèstokakên dhawuh ing rama. Bêtah tapa brata pasrah ing Gusti Allah,
sanadyan dipunwisesa dipunêngis-êngis dhatêng samining manusa inggih
amung sumarah. Sadaya rêmbag ingkang dhatêng saliranipun sanadyan
lêrês sae badhe sakeca botên lajêng dipunturuti. Nanging kagalih panjang
sarta kaèsthi wontên ing cênta maya. Tansah kèndêl wontên ing papan sêpi
ijèn sêmadi maladi mahênêng-ngêningkên kang panca driya nêgês dhatêng
Gusti ingkang nguwasani ing gêsang kita. Dados bilih kagungan karsa
mangka dèrèng têrang tetela saking Hyang Kang Murba, dèrèng karsa
anindakakên. Bilih sampun angsal sasmita cêtha wela-wela., punika sawêg
86 bala-bala 87 narima
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
dipunlampahi, kaliyan tata titi samêgta prayitna dati-ati88. Saking sabar
alusing panggalih, tiyang siti tiyang liya bangsa agêng ngalit sami sih
trêsna sêdya biyantu labuh sakit dumugi pêjah dipuntampahi kaliyan suka
dawaning manah.
Pa : Ingkang Sinuhun Prabu Amangkurat. Ambêg lêlabuhanipun alus.
Ngêmong dhatêng wadyabala. Asih trêsna sangêt dhatêng garwa putra.
Rêmên [85] paring dana dhatêng putra santana wadya89. Sarta pinarcaya
ing karya. Botên wontên ingkang dipunsinggèni. Sadaya rinakêt sami
kinawula warga. Dadosa sami amrih asih sumungkêm dhatêng
panjênênganipun.
Dha : Ingkang Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping kalih. Ambêg
kalakuanipun 90 alus, sabar, aris, lêmês ing panggalih. Rêmên damêl
yayan 91 enggal. Warni-warnining kados tênan wêwah-wêwah. Asih
dhatêng wadyabala tuwin dhatêng para ngulama. Panggalih tipis, botên
panggah, kirang wèwèka nanging radi buta ajêngan. Saking saening
panggalih ngantos sadaya aturing wadya kaagêm sadaya, kadosta rêmbag
ngrangkul Walandi kaagêm. Rêmbag ngrangkul bangsa Cina kaagêm.
Rêmbag bangsa sabrang kakêsahên92 saking tanah Jawi kaagêm.Punika
labêt saking panggalih kirang kêkêncêngan. Namung pracaya dhatêng
aturing putra, santana, wadyabala. Beda-bedaning rêmbag namung
dipunpituruti. [86] Saking kirang kêncênging panggalih têmahan wudhar
(Kartasura bêdhah).
88 ngati-ati 89 wadyabala 90 lêlabuhanipun 91 yasan 92 kakesahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
Ja : Ingkang Sinuhun Pakubuwana kaping tiga. Ambêg lêlabuhanipun asih
dhatêng garwa, putra, santana, wadyabala. Adil paramarta. Rêmên dhatêng
pakaryan kadosta: pangukir, pambubut, panggapyuk, mringgi, undhagi,
sapanunggilanipun pandamêlan kajêng. Punapa dene dhatêng cariyos-
cariyos têtuladan kina inggih rêmên, ngantos kagungan kakasih tiyang
paramèng sastra paramèng têmbung inggih punika Mas Ngabehi
Yasadipura Sapisan lajêng aran Ngabehi Tus Pajang utawi Ngabehi
Pensiyun. Nanging panggalih dalêm radi tipis. Sabab kados taksih
kèngêtan nalika bêdhah ing Kartasura de [87] ning Cina. Bêdhah Pacina
wau taksih nglabêti dhatêng panggalih marêm kagungan raos marma was,
mila sangêt suka rêna nampèni panungkulipun ingkang raka, nama inggih
punika Kanjêng Gusti Pangeran Adipati Harya Mangkunagari Sapisan,
ingkang aran Sambêr Nyawa. Malah prasasat dipunrangkul rintên dalu
tansah mundhut rêmbag-rêmbag ingkang amrih raharja dhatêng ingkang
raka wau.
Ya : Ingkang Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping sakawan. Ambêg
lêlabuhanipun, nalika dèrèng Pakêpung, panggalih dalêm taksih ngagêm
watak timur. Angsring karsa nampèni atur lala cora. Panggalih dalêm kèlu-
kêlulun dhatêng tiyang pitu inggih punika: 1)Bahman 2)Wiradigda
3)Kandhuruhan 4)Pasêngah 5)Mat Saleh 6)Sujanapura 7)Wartajaya, sami
sagah ing gulangi pêrang anjabêl pasisir manca nagari. Têmahan dados
pakêpung wau nalika Garêbêg Mulut taun Jimawal angka 1717 aturipun
tiyang pitu mau macêthot. Rèhne ngojok-ojok kang botên sae. Ingkang
nêm kasusup ing Gupêrmèn lajêng kaucal. Ingkang satunggal pun jasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
pura luwar. Sarêng sampun rampung prakawis punika, ingkang Sinuhun
lajêng karsa abêlakakên para ngulama tuwin para ngalim cariyos têtu [88]
ladan sae, miwah warni dalêm ngalus-alus tanpa cacad. Mawi lêgêm93
ngibadah nêtêpi rukuning agami Eslam 94 . Tansah anjangkung mêmadi
manawi mahêning-êning panca driya. Saking sangêt gênturing lampah
katarimah ing Pangeran ingkang Maha Agung. Ingkang Sinuhun wau
ngantos sinêbut Sinuhun Bagus utawi Waliyolah yaseng Cêmani (dhusun
Cêmani punika pasanggrahan dalêm kaprênah [89] saking lèr kadhaton,
têbihipun udakawis namung kawan pal)
Nya : ingkang Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping lima. Ambêg
lêlabuhanipun kandêl patitis, mardawèng sastra, mardawèng têmbung,
rêmên dhatêng sêrat-sêrat, nyêmakakên dhatêng para sagêd, botên tampik
cariyos. Awon saenipun pariksani. Cacadipun anggènipun jumênêng
namung sakêdhap, udakawis tigang taun.
Ingkang Sinuhun Pakubuwana kaping nêm. Ambêg lêlabuhanipun sabar
narimah. Rêmên ramèni 95 dhatêng ingkang kaprênah sêpuh. Trapsila
doraka. Pangandika manis arum. Labêt taksih kirang yuswa, kenging
sambêkala saking aturing garwa ingkang dipuntrêsnani sangêt. Sêsarêngan
ing Ngayogya wontên prakawis ngramanipun Pangeran Dipanêgara. Bibar
Pêrang Dipanagaran. Ingkang Sinuhun karsa ya mbangun tapa dhatêng ing
Pulo Ambon.
Ma : Ingkang Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping pitu. Ambêg
lêlabuhanipun kêndêl santosa, têtêg tata titi patitis, sabar, sarèh, 93 gêlêm 94 Islam 95 ngrameni
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
pangandika cêtha. Têtêp mantêp ngantêpipun ingkang sampun kawahya.
Botên karsa lincat ing karsa. Kêncêng adil paramarta. Dana krama [90]
inggih marma dhatêng putra, santana, wadyabala. Mila sadaya sami suka
asih trêsna sumungkêm, sêdya labuh ing sakit sêpuh. Suka lila lêbura ing
ayahan dalêm. Salêbêtipun jumênêng, tiyang sanagari mèh botên wontên
ingkang gadhah manah susah kang grêsah ngrêsula, ingkang kathah
namung suka sênêng tumêmên dhatêng kawajibanipun. Dhatêng ing
pamitran rakêt ngagêm salêrêsipun, botên mawi mawang bangsa ing
pamitran kasami kemawon.
Ga : Ingkang Sinuhun Pakubuwana ingkang kaping wolu. Ambêg
lêlabuhanipun sarwa sagêd, nanging mêsêp96 angèsthi ing kapandhitan. Rintên
dalu tansah manungku cipta hênêng hêning. Panggalih alus sabar botên nate duka.
Lumintu dana kramanipun dhatêng putra santana wadyabala. Dhatêng putra
santana asih trêsna sangêt.
96 mênêp
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
5. Sinopsis
Sinopsis adalah penuturan yang ringkas suatu teks yang mencakup
keseluruhan isi secara utuh. Maksud mengemukakan sinopsis suatu teks yaitu
untuk memudahkan pembaca agar memperoleh gambaran isi teks secara
menyeluruh. Teks SM ini berbentuk prosa yang disajikan dalam bentuk dialog,
terjadi empat kali dialog dengan tema masing-masing. Sebelum menyajikan
sinopsis dari teks SM ini, penulis akan terlebih dahulu menyajikan susunan
penyajian teks SM secara struktural melalui tabel berikut:
Tabel 4.17 Tabel susunan penyajian teks SM secara struktural
Dialog Hal. Isi dialog
Dialog I 1-16 a. Ajaran kepemimpinan dalam lingkup kehidupan
keluarga, kehidupan dengan para abdi, dan kehidupan
bermasyarakat.
b. Delapan ajaran kepemimpinan, yakni: kuwasa, purba,
wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, pariksa.
Dialog II 16-37 Keteladanan kepemimpinan dari para Nabi dan para
sahabat Nabi yang dikutip dari Serat Tajussalatin.
Teks lain 38-52 Sejarah pemberontakan pergerakan Komunis di
Bandung, Batavia, dan Banten.
Dialog III 53c-62 Gambaran kondisi jaman yang sejahtera dan jaman yang
tidak sejahtera kaitannya dengan sikap manusia.
Dialog IV 71-90 Keteladanan kepemimpinan dari para pemimpin atau
raja-raja di Jawa mulai dari Kyai Ageng Sela sampai
Paku Buwana VIII.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
Berikut sinopsis teks SM yang penulis sajikan perdialog:
a. Dialog I
Terhadap keluarga dan sanak saudaranya, seorang pemimpin harus
bijaksana, menyayangi mereka, dan memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Kepada para abdinya, pemimpin harus memahamkan terkait dengan hak dan
kewajibannya, memenuhi kebutuhannya, tidak sewenang-wenang (sikap
senioritas), menyayangi mereka dan tidak membeda-bedakan status sosialnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang pemimpin juga harus menjalin
hubungan yang baik keapada sesama, menghormati yang tua dan mengasihi
yang muda.
Berikut delapan ajaran kepemimpinan yang harus dimiliki seorang
pemimpin:
1) Kuwasa : berwenang memutuskan segala sesuatu.
2) Purba : bertanggung jawab atas semua permasalahan yang ada.
3) Wisesa : pemimpin harus tegas.
4) Kukum : perlakuan hukum yang sama terhadap siapapun.
5) Adil : bersikap adil terhadap siapapun sesuai kadarnya.
6) Paramarta : berhati lembut dan kasih sayang terhadap siapapun.
7) Dana : rajin berderma dengan pemberian terbaik.
8) Pariksa : senantiasa mengontrol kebijakan-kebijakan yang telah
diputuskan dan kinerja-kinerja jajaran pemerintahan di bawahnya.
b. Dialog II
Keteladanan kepemimpinan dari para Nabi dan para sahabat Nabi yang
dikutip dari Serat Tajussalatin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
1) Nabi Adam
Seorang pemimpin yang sangat sederhana, setiap hari senantiasa terlihat
prihatin, dan tanpa rasa malu Nabi Adam bersedia bekerja pekerjaan yang
kasar.
2) Nabi Musa
Seorang pemimpin yang tegas, tangguh, dicintai semua rakyatnya. Hal itu
terlihat ketika peperangan melawan kaum kafir yang hendak menghancurkan
Masjid Al-Aqsa, semua rakyatnya ikut terjun di medan peperangan baik itu
yang tua, muda, lelaki maupun perempuan. Beliau sangat menyayangi kaum
fakir dan miskin.
3) Nabi Yusuf
Seorang pemimpin yang menyadari kesalahannya, yakni di tengah-tengah
kemakmuran bangsanya, beliau tidak pernah terjun langsung ke lapangan
memantau kondisi rakyatnya, hanya didelegasikan kepada utusannya sehingga
beliau memutuskan untuk turut hidup susah karena khawatir jika ternyata ada
rakyatnya yang hidup susah.
4) Nabi Dawud
Seorang pemimpin yang rela bekerja keras demi keluarga, para abdi dan
rakyatnya, yakni membuat baju besi kemudian dijual di pasar untuk
menafkahi keluarga dan keperluan perang.
5) Nabi Sulaiman
Nabi yang paling luas kerajaannnya. Seorang pemimpin yang sangat
menyayangi keluarga, para abdi, semua rakyatnya, dan semua makhluk yang
ada di alam ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
6) Nabi Muhammad
Seorang pemimpin yang sangat menyayangi keluarga dan anak-anaknya dan
seorang pemimpin yang sangat bijaksana.
7) Abu Bakar Ash Shidiq
Seorang pemimpin yang sangat bijaksana, hidup sangat sederhana, tidak
bersedia memakai uang negara (Baitu Mal) untuk mencukupi kebutuhan
keluarga sehari-hari.
8) Umar
Sama seperti Nab-nabi sebelumnya, beliau juga seorang pemimpin yang
sangat sederhana, tidak bersedia memakai uang negara untuk mencukupi
kebutuha keluarganya sehari-hari.
9) Utsman bin Affan
Di usianya yang semakin senja, beliau masih bertahan memimpin rakyat dan
mencari nafkah untuk keluarganya, mekipun tidak seoptimal biasanya.
10) Ali bin Khatab
Seorang pemimpin yang sangat pemberani, dan hidupnya sangat sederhana.
c. Dialog III
Berisi gambaran kondisi jaman yang sejahtera dan jaman yang tidak sejahtera.
Jaman yang sejahtera adalah jaman dimana rakyatnya senantiasa bersyukur
terhadap apa yang ada, tidak pernah mengeluh meskipun kondisi alamnya saat
itu sedang kemarau panjang ataupun musim penghujan. Sedangkan jaman yang
tidak sejahtera adalah jaman dimana rakyatnya senantiasa berkeluh kesah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
musim kemarau dan musim penghujan tiba. Selain itu jaman yang tidak
sejahtera juga didukung oleh sikap rakyatnya yang mulai terkikis moralnya.
d. Dialog IV
Berisi keteladanan kepemimpinan dari para pemimpin atau raja-raja di Jawa
mulai dari Kyai Ageng Sela sampai Paku Buwana VIII.
1) Kyai Ageng Sesela
Pemimpin yang gemar bertapa, sederhana hidupnya (rajin berpuasa, sedikit
tidur), rajin menimba ilmu kepada orang-orang yang ahli. Di usianya yang
semakin senja, beliau semakin rajin mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2) Kyai Ageng Nis
Raja yang gemar bertapa dan rajin menimba ilmu kepada orang-orang pintar.
3) Kyai Ageng ing Pamanahan
Raja yang juga gemar bertapa, senantiasa menjauhi perbuatan tercela, tajam
pemikirannya hingga memiliki kemampuan bisa memprediksi kejadian yang
akan terjadi.
4) Kanjeng Panembahan Senapati
Raja muda yang tangguh dan teguh, rajin bertapa dan patuh terhadap
ayahandanya.
5) Kanjeng Sinuhun Seda Krapyak
Raja yang sangat menyayangi keluarga, para abdi dan punggawanya. Tetapi
beliau seorang raja yang kurang teguh pendiriannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
6) Kanjeng Sinuhun Sultan Agung
Raja yang gemar bertapa, taat terhadap perintah agama Islam, sangat
menghormati kaum ulama.
7) Kanjeng Sinuhun Tegal Arum
Raja yang sangat menyayangi keluarga, para abdi dan punggawanya. Beliau
suka memperhatikan hal-hal kecil yang sangat remeh, suka memuja
kecantikan wanita, kurang pemberani dan kurang tangguh.
8) Kanjeng Sinuhun Mangkurat Bawa
Raja yang sangat pemberani dan tangguh dalam peperangan, ramah, tetapi
kurang teguh pendirian.
9) Kanjeng Sinuhun Mangkurat Mas
Raja yang dermawan, tetapi kurang dewasa dan bijaksana, suka bermain
wanita, suka mengingkari janji, dan kurang tangguh dalam medan peperangan.
10) Kanjeng Sinuhun PB I
Raja yang penyabar, halus budi pekertinya, senantiasa bersyukur dan tawakal
kepada Allah SWT, tidak tergesa-gesa dan mempertimbangkan suatu
permasalahan lebih dalam lagi.
11) Kanjeng Sinuhun Prabu Amangkurat
Raja yang sangat menyayangi keluarga, para abdi dan punggawanya. Rajin
berderma. Tidak suka membanding-bandingkan status sosial orang tertentu.
12) Kanjeng Sinuhun PB II
Raja yang penyabar, halus budi pekertinya dan baik hatinya. Tetapi terlalu
mempercayai setiap masukan tanpa dipertimbangkan terlebih dahulu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
13) Kanjeng Sinuhun PB III
Raja yang sangat menyayangi keluarga, para abdi dan punggawanya. Gemar
membuat benda-benda dari kayu. Sangat menyukai karya sastra dan
bersahabat dekat dengan ahli sastra bernama Yasadipura I.
14) Kanjeng Sinuhun PB IV
Raja yang kurang teguh pendirian sehingga mudah dipengaruhi oleh orang
lain.
15) Kanjeng Sinuhun PB V
Raja yang sangat pandai dalam hal kesusatraan, rajin mempelajari karya-karya
sastra Jawa Klasik.
16) Kanjeng Sinuhun PB VI
Raja yang sangat penyabar, senantiasa bersyukur dengan apa yang
dimilikinya. Raja yang ramah, supel, gaya bicaranya menyenangkan.
17) Kanjeng Sinuhun PB VII
Raja yang sangat pemberani, tangguh, teguh pendirian, tegas, sabar, dan
senantiasa berlaku adil. Beliau sangat disayangi oleh rakyat, abdi dan para
punggawanya. Jaringannya cukup luas sampai ke mancanegara.
18) Kanjeng Sinuhun PB VIII
Raja yang multi talenta (serba bisa). Hatinya sangat lembut, sabar, dan tidak
pernah marah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
B. Kajian Isi
Kajian isi mengungkapkan isi yang terkandung dalam Serat Mudhatanya.
Secara garis besar serat ini menceritakan tentang ajaran-ajaran pokok
kepemimpinan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ajaran
kepemimpinan tersebut disampaikan secara lengkap mulai dari sikap seorang
pemimpin terhadap keluarga dan sanak saudaranya sampai pada sikap seorang
pemimpin terhadap bangsa dan negara yang dipimpinnya. Ajaran kepemimipinan
ini dilengkapi dengan contoh-contoh gaya kepemimpinan dari para Nabi, sahabat-
sahabat Nabi hingga para pemimpin Jawa mulai dari Kyai Ageng Sela sampai
Kanjeng Sinuhun Paku Buwana VIII.
Kajian isi Serat Mudhatanya akan disampaikan secara detail dan urut
susunannya perdialog, mulai dari dialog pertama hingga dialog keempat. Masing-
masing dialog memuat isi yang berbeda-beda. Berikut uraiannya:
1. Dialog I (SM 1-16):
Dialog pertama ini berisi tentang etika hidup bermasyarakat bagi seorang
pemimpin dalam lingkup keluarga, tetangga, bawahan, dan pihak luar, juga
delapan ajaran pokok kepemimipinan.
Pemimpin adalah seorang manusia biasa yang kesehariannya selalu hidup
bersama dengan keluarga dan sanak saudaranya. Di dalam teks SM ini dijelaskan
bahwa dalam menciptakan suasana kehidupan keluarga yang harmonis dan
sejahtera, seorang pemimpin atau kepala keluarga harus mampu bersikap seperti
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
a. Seorang kepala keluarga harus dekat dengan keluarga dan sanak saudaranya.
b. Seorang kepala keluarga harus mencintai keluarga dan sanak saudaranya
seperti mencintai dirinya sendiri.
c. Seorang pemimpin harus membangun pola komunikasi dua arah dengan
anggota keluarga, tidak ada rasa rikuh pakewuh atau sungkan.
d. Pemimpin keluarga yang baik tidak hanya tampak baik di luar permukaannya
saja. Antara hati, ucapan dan perbuatan harus sama.
e. Setiap keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan harus didasari dengan hati
yang bersih.
f. Jika ada anggota keluarga atau sanak saudara yang melakukan kesalahan, tidak
langsung memarahinya dengan semena-mena, hadapi dengan kelembutan dan
kepala dingin. Jika terbukti bersalah, jangan langsung memarahinya di depan
orang banyak. Pilihlah saat yang tepat untuk menegurnya dengan teguran yang
lembut dan nasehat secukupnya sesuai dengan kesalahan yang telah dilakukan.
Dalam menegur jangan sampai berlebihan sampai menjatuhkan wibawa dan
reputasi sebagai seorang pemimpin keluarga.
Dalam kehidupan kesehariannya, seorang pemimpin juga tidak bisa lepas
dari hubungannya dengan seorang abdi (bawahan) yang senantiasa membantu
kinerjanya. Berikut beberapa sikap yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin
terhadap abdinya:
a. Memberikan pemahaman kepada abdi-nya akan tugas dan kewajibannya,
selalu diingatkan agar jangan sampai mengkhianati pekerjaan dan
kewajibannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
b. Pemimpin yang baik harus memperhatikan kesejahteraan abdi-nya,
(kebutuhannya) jangan sampai ada yang disia-siakan.
c. Membangun hubungan yang baik dengan abdi-nya, tidak sewenang-wenang
(unsur senioritas).
d. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang ketika berbicara membuat hati
para abdi tentram ketika mendengarnya.
e. Berlaku seadil-adilnya terhadap para abdi yang terbukti melakukan kesalahan,
dengan memberikan ganjaran/ hukuman sesuai dengan kadar kesalahan yang
telah dilakukan.
f. Jika hendak memerintah, yang seperlunya saja, tidak berlebihan.
Sebagai makhluk sosial, seorang pemimpin juga tidak bisa lepas dari hidup
bermasyarakat yang setiap hari selalu berinteraksi. Berikut beberapa sikap yang
harus dilakukan oleh seorang pemimpin dalam memimpin masyarakatnya:
a. Menjaga hubungan baik dengan orang lain, muda tua, lain bangsa, dan lain-
lain.
b. Bertutur kata yang ramah dan santun dengan siapapun.
c. Setiap keputusan harus dipertimbangkan secara lebih mendalam lagi.
Selain beberapa sikap yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin
terhadap keluarga, sanak saudara, abdi(bawahan), dan masyarakat yang telah
diuraikan di atas, di dalam teks SM ini juga dijelaskan ada delapan pedoman
(bekal) yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Delapan pedoman tersebut
adalah kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana dan pariksa.
Berikut uraiannya:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
1) Kuwasa berarti wewenang yang dimiliki untuk memutuskan segala sesuatunya
secara bijak. Berikut kutipannya:
”Kuwasa: wênang ngewahi tatanan ingkang kirang murakabi dhatêng kulawarga” (SM: 7)
2) Purba berarti bertanggungjawab atas semua semua permasalahan dalam
kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Berikut kutipannya:
”Purba: mêngku dhatêng samukawis agêng alit, amis bacin, èwêt pêkèwêt, gampil angèl, ruwêt rêntêng, papa sangsara. Sadaya kukubanipun ing ngriku, punika anggèr ingkang kajibah mêngku.” (SM: 7)
3) Wisesa berarti tegas terhadap siapapun untuk senantiasa berbuat kebajikan.
Berikut kutipannya:
”Wisesa: punika satêngah amêksa dhatêng tindak sae. Angancam-ancam sintên ingkang nglampahi lêpat badhe tampi pamisesa ing samurwatipun nanging saderengipun kêdah dipundhawuhakên. Yen ala bakal nemu ala. Yen becik bakal nemu becik.” (SM: 8)
4) Kukum berarti perlakuan hukum yang sama terhadap siapapun. Berikut
kutipannya:
”Kukum: kêdah nindakakên ing salêrêsipun. Têgêsipun: botên bahu kapine sintên-sintêna bilih botên lêrês inggih kêdah kalêrêsakên. Manawi mêksa botên purun mantuni tindakipun ingkang awon. Ing ngriku sampun sêdhêngipun katindakakên prakawisipun.” (SM: 8)
5) Adil berarti bersikap adil terhadap siapapun, sesuai dengan usaha yang telah
dilakukan. Berikut kutipannya:
”Adil: punika tumrap dhatêng putra wayah sadhèrèk santana abdi agêng alit. Manawi prakawisan rêbat lêrês. Dhatêng sasaminipun putra wayah sadhèrèk santana abdi, kêdah dipuntêtêpakên ing pangadilanipun ingkang jêjêg. Babasan utang nyaur, nyilih ngulihake. Utang lara nyaur lara, utang pati nyaur pati, sapiturutipun. Botên kenging dlemok cung, kêdah wradin. Têgêsipn yen si dhadhap kang utang, mung nyaur samene, yen si waru kang utang kudu nyaur samene, punika dlêmok cung namanipun. Sampun ngantos makatên, kêdah sami-sami pamidananipun, sarta kêdah têtêp ingkang sampun kasêbut ing anggèr, anggèr botên kenging mèncèng.” (SM: 8)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
6) Paramarta berarti berhati lembut dan mempunyai sifat belas kasihan terhadap
siapapun, sabar dan pemaaf. Berikut kutipannya:
”Paramarta: punika bilih putra wayah sadhèrèk santana abdi gadhah prakawis dhatêng anggèr, ingkang sanès prakawis agêng, kadosta kalentu ing patrap, dêksura, kumasurun, anggêgampil kagunganipun anggèr ingkang botên sapintêna, punika kêdah dipunparingi paramarta. Sampun lajêng katêtêpakên ing kalêpatanipun. Kêdah dipunaring-aringi supados asrêp manahipun. Saupami lêpat sakêdhik kemawon dhatêng angger lajêng kapidana awrat, sarta lajêng kauwus-uwus ingkang botên sampun-sampun, punika botên prayogi.” (SM: 9)
7) Dana berarti rajin berderma dengan pemberian yang terbaik. Berikut
kutipannya:
”Dana: inggih ingkang kêrêp paparing. Manawi paparing barang ingkang enggal risak, kadosta dhahar-dhaharan, sêmbêt sapanunggilanipun, punika kêdah ingkang kêrêp. Manawi paparing barang ingkang sagêd lami kanggenipun kadosta: ingkang warni mas, intên, dhuwung, tumpakan tuwin griya papan semahan. Punika kêdah ingkang awis-awis.” (SM: 9)
8) Pariksa berarti sungguh-sungguh ketika melakukan proses pemantauan dan
kontrol terhadap kinerja bawahannya, tidak didelegasikan tetapi terjun
langsung ke bawah. Berikut kutipannya:
”Pariksa: pikajêngipun inggih ingkang pariksa sayêktos. Têgêsipun ingkang botên kaliyan aturing liyan, ingkang awon ingkang sae anggèr kêdah matitisakên piyambak dhatêng tiyangipun, botên mawi lalantaran utusan sabab utusan punika asring suda wêwah kaliyan nyatanipun.” (SM: 12)
Di dalam dialog ini juga diuraikan bahwa pemimpin yang baik
hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan nista. Berikut beberapa contoh
perbutan nista:
a. Memperhatikan hal-hal kecil yang tidak ada manfaatnya.
b. Mendengarkan cerita/perkataan orang yang tidak membawa dampak halusnya
budi pekerti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
c. Mendengarkan cerita/perkataan orang yang tidak berdasarkan pada agama
d. Berbicara sekehendak dirinya, suka menjelek-jelekkan orang lain.
e. Suka bercanda/bersendau gurau secara berlebihan.
f. Suka mengambil makanan yang sudah jatuh di atas tanah.
g. Jorok, tidak memperhatikan kebersihan diri dan lingkungannya.
h. cara berpakaian sekehendak hatinya, memakai baju yang sudah tidak layak
Dalam memimpin negara yang begitu kompleks permasalahannya, seorang
raja juga perlu istirahat sejenak (refreshing) untuk kembali menyegarkan pikiran.
Seperti orang Muslim, istirahatnya adalah shalatnya, sembahyang dan
tafaqurrahman (mendekatkan diri kepada Allah). Atau seperti orang Budha,
istirahatnya adalah bersemedi, mengheningkan jiwa raga.
2. Dialog II (SM 16-37)
Dialog ini berisi tentang keteladanan kepemimpinan para Nabi dan
kepemimpinan sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang sebagian besar
diambil dari Serat Tajussalatin bagian kitab Tabihul Gapilin dalam pasal ke-5.
1) Kepemimpinan Nabi Adam
Di dalam teks SM ini, Nabi Adam digambarkan sebagai seorang raja yang
sebagai berikut:
a. Seorang raja yang bersedia bekerja pekerjaan kasar tanpa rasa malu, yakni
sebagai seorang Pandhe tosan atau seorang pandai besi.
Berikut kutipannya:
”...punika taksih karsa nyambut damêl kasap. Sabên dintên pandhe tosan, kaurupakên kangge dhahar ing sadintên-dintênipun.” (SM: 18)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
Terjemahan:
”....masih bersedia bekerja pekerjaan yang keras/kasar. Setiap harinya bekerja sebagai Pandhe tosan (orang yang ahli membuat alat-alat/benda-benda dari besi), guna untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.” (SM: 18)
b. Selama hidupnya belum pernah makan enak. Tidak suka hidup bermewah-
mewah. Setiap hari senantiasa terlihat prihatin. Berikut pernyataan Nabi Adam
ketika ditanya oleh putranya tentang gaya hidup beliau yang senantiasa
prihatin:
”Aku iki maune dikarsakakke dening Gusti Allah dadi kalipah ana suwarga. Nuju ana dosaku diudhunake marang ing donya kusniya malebari iki, ngratoni anak putu. Mulane aku ora duwe bungah. Pancèn tak cêgah sak patute. Bok manawa dhompo panggawèhaku ngratoni kowe kabèh. Yèn luput saka kurang titi pariksa. Yakti nêmu duduka manèh. Kaya aku diudhunake marang bumi sap pitu. Yèn ratu kêrêp bungah-bungah lan juwèh iku ilang sênêne. Murwate ora nana kang kari.” (SM: 19) Terjemahan:
”Awalnya, memang aku ditakdirkan menjadi seorang khalifah/pemimpin di dalam surga. Karena kesalahan yang telah kuperbuat, Allah SWT memutuskan untuk menurunkanku ke bumi, mengelola dan memimpin bumi ini. Oleh sebab itu, sedikit sekali aku bersenang-senang, memang sekuat tenaga aku menekannya. Jangan sampai aku mengulangi kesalahan yang kedua kalinya karena ketidak telitianku dalam memimpin kalian semua, seperti kesalahanku dahulu hingga diturunkan dari langit tingkat tujuh. Jika raja hanya bersenang-senang belaka, hilanglah wibawanya dan harga dirinya”. (SM: 19)
2) Kepemimpinan Nabi Musa
Di dalam teks SM ini, Nabi Musa digambarkan sebagai seorang raja yang
tangguh dan sangat pemberani.
Ketika Masjid Al-Aqsa di negeri Baital Muqadas hendak dihancurkan oleh
orang-orang kafir, Nabi Musa menginstruksikan kepada semua bala tentara dan
semua rakyatnya untuk bersiap siaga perang melawan musuh Islam. Nabi Musa
membagi dua pasukan, yakni pasukan Kanabeyan dan pasukan Karaton. Beliau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
juga mengangkat 12 senapati, setiap senopati memimpin pasukan berjumlah 220
orang. Seh Nakib, salah satu senapati, bertugas untuk menggerakkan bala tentara
sekaligus memutuskan setiap permasalahan. Semua bala tentara dan semua rakyat
Nabi Musa, laki-laki-perempuan, tua-muda, semuanya terjun ke medan
peperangan turut berperang melawan orang-orang kafir yang hendak
menghancurkan Masjid Al-Aqsa.
Ketika perang, Nabi Musa tidak bersedia naik di atas kuda atau tandu,
beliau langsung terjun ke medan peperangan bersama tentaranya. Ketika malam,
beliau beristirahat di jalan. Punggawa yang melihat kondisi beliau yang seperti
itu, tidak tega dan langsung menawarkan tempat beristirahat yang lebih layak,
tetapi beliau menolaknya dengan lembut. Beliau berpesan kepada punggawa
tersebut supaya tenaganya jangan terlalu difokuskan untuk membuat tempat
peristirahatan, lebih baik tenaganya disimpan untuk pertarungan esoknya.
Dalam kehidupan sehari-harinya, Nabi Musa selalu mengajak makan
bersama dengan para abdi(bawahan) dan jajaran pemerintahannya. Beliau
senantiasa membuat hati mereka senang.
3) Kepemimpinan Nabi Yusuf
Di dalam teks SM ini, Nabi Yusuf digambarkan ketika itu beliau
sedang jatuh sakit malaria. Semua saudara dan para punggawanya berkumpul jadi
satu berada di samping beliau. Salah seorang dari mereka menanyakan perihal
sakitnya karena disamping sakit, Nabi Yusuf nampak memikirkan sesuatu yang
sangat berat. Dijawab oleh Nabi Yusuf bahwa beliau sangat khawatir terhadap
kondisi rakyatnya. Beliau tidak akan makan enak sebelum rakyat terpenuhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
kebutuhannya. Beliau merasa bersalah karena selama ini tidak bisa terjun
langsung mengamati kehidupan rakyatnya, beliau hanya mendelegasikan kepada
utusannya. Hal itu yang membuat beliau resah dan khawatir, kurang makan dan
kurang tidur, kesehariannya hanya makan roti gandum 2 potong. Mendengar hal
itu, para punggawa langsung merasa iba.
4) Kepemimpinan Nabi Dawud
Di dalam teks SM ini, Nabi Dawud digambarkan ketika itu seusai
memberikan perintah dan putusan-putusan, Nabi Dawud melangkah menuju ke
masjid kemudian mendirikan sholat dua rakaat. Beliau berdoa, memohon kepada
Allah SWT supaya diberi rezeki yang halal untuk hidup sehari-hari. Beliau tidak
ingin memakai uang negara untuk membiayai hidup beliau sehari-hari. Jika
sampai memakai uang negara adalah suatu kesia-siaan, percuma menjadi seorang
raja.
Kemudian Allah mengabulkan doa Nabi Dawud. Dengan perantara kalam-
Nya, Allah memerintahkan kepada Nabi Dawud untuk membuat baju besi.
Perintah itu dijalankannya. Setiap hari Nabi Dawud membuat baju besi, kemudian
menjualnya ke pasar, penghasilannya dipakai untuk hidup sehari-hari bersama
istri dan anak-anak beliau. Tidak hanya itu, beliau juga memberikan baju-baju
besi tersebut secara cuma-cuma kepada semua punggawanya.
5) Kepemimpinan Nabi Sulaiman
Di dalam teks SM ini, diceritakan bahwa Nabi Sulaiman setiap harinya
selalu menanak nasi sejumlah 1000 kendhil. Satu kendhilnya bisa untuk makan 10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
binatang onta. Setiap hari menanak dua kali, setiap pagi dan sore hari. Beliau
sengaja mempersiapkannya untuk para punggawanya yang hendak berkunjung ke
rumah beliau. Uang untuk menanak nasi tersebut, beliau ambil dari uang negara.
Sedangkan untuk menghidupi keluarga sehari-hari, beliau jualan tempat nasi di
pasar. Ketika hendak makan, beliau selalu mengajak kepada kaum fakir dan
miskin untuk makan bersama. Jika tidak mendapati adanya orang fakir dan
miskin, beliau memilih untuk menunda makannya dan melanjutkan untuk
berpuasa.
Suatu ketika, Nabi Sulaiman bersama semua punggawanya diikuti
rakyatnya dari bangsa jin, angin, mega, dan awan. Karena begitu banyaknya yang
turut mengiringi, terlihat seolah-olah semua makhluk di bumi ini ikut semua.
Rombongan tersebut tidak ada yang merasa kepanasan karena dilindungi oleh
awan. Sesampainya di Arab, tepatnya di tepi kota Mekah, ada seorang fakir yang
terpana melihat pemandangan seperti itu. Beliau menghampiri orang tersebut,
memberikan salam, kemudian berkata bahwa kemuliaan yang beliau dapatkan
sekarang ini masih jauh dibawah orang yang senantiasa memuji Allah dengan
mengucapkan kata subhanallah walhamdulillah walaa ilaha illallah allahu akbar,
la haula walaa quwatta illa billahil ‘aliyyil ‘adzim, sekaligus mengetahui makna
kalimat tersebut, maka besok ketika di akhirat orang tersebut akan mendapatkan
kemuliaan seperti kemuliaan Nabi Sulaiman saat itu. Nabi Dawud menambahkan
kepada orang fakir tersebut bahwa di dunia hanya sementara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
6) Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW
Di dalam teks SM ini, Nabi Muhammad digambarkan sebagai sesosok
bapak yang sangat menyayangi putrinya. Saat itu hendak dilaksanakan
peperangan. Perang melawan orang kafir, orang yang mengkhianati dan
memusuhi agama Islam. Pasukan perang dibagi menjadi dua kelompok, pasukan
pertama dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib, pasukan kedua dipimpin oleh Khalid
bin Walid. Dua-duanya adalah senapati yang pemberani dalam peperangan.
Dalam perjalannya menuju medan peperangan, Nabi Muhammad hendak mampir
sejenak menjenguk putrinya, Siti Fatimah, yang kabarnya sedang menderita sakit.
Kepergian beliau didampingi Umar bin Khattab tanpa sepengetahuan para
punggawanya. Sesampai di rumah Siti Fatimah, Nabi Muhammad menanyakan
perihal sakitnya. Siti Fatimah menjelaskan kepada ayahandanya bahwa sakitnya
disebabkan karena sudah tiga hari tidak makan dan tidak minum. Tidak ada
sesuap nasipun yang bisa dimakan karena selama tiga hari itu pula suaminya, Ali
bin Abi Thalib, tidak memberinya nafkah karena harus bertempur di medan
peperangan melawan kaum kafir. Setelah mendengar penjelasan dari putrinya,
beliau bersabda bahwa barang siapa yang sabar menghadapi cobaan dan ujian,
kelak di akhirat akan mendapatkan balasan kebajikan seribu kali lipat.
7) Kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq
Sepeninggal Nabi Muhammad, yang menggantikan kursi kekhalifahan
adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Seusai memberikan perintah dan putusan-putusan
di depan jajaran pemerintahannya, Abu Bakar pergi ke pasar menjual beberapa
bajunya untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Hal itu dilakukannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
berulang-ulang hingga diketahui oleh salah seorang punggawanya. Punggawa
tersebut kemudian berkata kepada Abu Bakar bahwa perbuatan tersebut kurang
layak dilakukan oleh seorang raja. Kemudian dengan sangat bijaknya Abu Bakar
berkata, “Memang benar apa yang anda katakan. Namun, masalah kebutuhan istri,
anak-anak dan keluarga di rumah itu di luar tanggung jawab kerajaan. Sudah
menjadi kewajiban bagi seorang kepala keluarga untuk memberi nafkah keluarga
dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Jika sampai menggunakan uang negara yang
bukan haknya itu dinamakan perbuatan riba”. Para punggawa bersikukuh
mengeluarkan sedikit uang dari Baitul Mal untuk diberikan kepada Abu Bakar.
Karena beliau sangat menghargai keputusan para punggawanya, beliau menerima
tawaran tersebut. Menjelang akhir hidupnya, beliau berpesan kepada putranya,
Sayidina Ngabdurrahman bahwa sepeninggal beliau nanti semua perkebunan
kurma diminta untuk dijual dan uangnya digunakan untuk membayar uang dari
Baitul Mal yang dahulu pernah dipakai untuk biaya hidup sehari-hari.
8) Kepemimpinan Umar
Sepeninggal Abu Bakar Asy-Syidiq, yang menggantikan kursi
kekhalifahan adalah Umar bin Khatab. Suatu hari datang beberapa punggawa
menghadap Umar. Kedatangan mereka hendak menawarkan uang dari Baitul Mal
kepada Umar supaya dipakainya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Oleh
Umar tawaran tersebut ditolaknya secara bijaksana. Beliau meminta kepada
punggawa-punggawa tersebut untuk memberikan uang dari Baital Mal itu kepada
rakyatnya yang lebih membutuhkan, seperti orang miskin, anak yatim, orang yang
teraniaya hidupnya, dan untuk kebutuhan negara yang mendesak. Jangan sampai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
ada rakyatnya yang hidup kekurangan dan menderita. Masalah biaya hidup Umar
sehari-hari, beliau meminta kepada punggawa tersebut untuk merelakannya.
Beliau mengusahakan dari tangan beliau sendiri dengan menjual batu bata di desa
Bangkek yang letaknya lumayan jauh dari rumah beliau. Beliau berpesan kepada
punggawa tersebut supaya tidak perlu merasa khawatir terhadap Umar dengan
pekerjaannya yang seperti itu. Pekerjaan membuat batu bata hanya sambilan,
hanya untuk jaga-jaga jangan sampai biaya hidup beliau sehari-hari menggunakan
uang Baitul Mal, masalah rakyat dan kenegaraan tetap beliau prioritaskan.
9) Kepemimpinan Utsman bin Affan
Sepeninggal Umar bin Khatab, yang menggantikan kursi kekhalifahan
adalah Ustman bin Affan. Suatu hari yakni hari Jumat, usai mengimami shalat
para jamaahnya, Usman bergerak menuju mimbar hendak memberikan ceramah
kepada para jamaah dan semua rakyatnya. Beliau berkata bahwa ada dua jenis
pekerjaan yang lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang lain,
yakni menjadi seorang raja yang adil dan pekerjaan memberikan nafkah kepada
keluarga. Dua pekerjaan tersebut merupakan amanah yang harus
dipertanggungjawabkan. Beliau mengakui di depan para punggawanya, bahwa
dua pekerjaan tersebut untuk saat itu tidak bisa dilaksanakan secara optimal
karena kondisi beliau saat itu sudaah sangat tua. Para punggawa mendengar hal
tersebut merasa iba. Seorang pembesar dari punggawa tersebut, yakni Ali bin Abi
Thalib kemudian mengumpulkan semua punggawa membahas solusi untuk
menghadapi kondisi rajanya yang seperti itu. Akhirnya mereka bersepakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
sebagian dari uang Baitul Mal diberikan kepada Usman bin Affan untuk
mencukupi kebutuhan beliau sehari-hari.
Tidak lama kemudian, Usman bin Affan jatuh sakit. Kemudian Usman
menjual semua perkebunan miliknya untuk membayar uang dari Baitul Mal. Dan
kursi kekhalifahan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib.
10) Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
Di dalam teks SM ini, penulis naskah menyebut nama Ali dengan Ali bin
Khatab. Menurut buku-buku sejarah Islam, seperti dalam buku “Kisah Teladan 20
Sahabat Nabi” karya Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, nama lengkap Ali yang benar
adalah Ali bin Abi Thalib. Sedangkan untuk kata “Khatab” adalah nama dari
khalifah Umar, yakni Umar bin Khatab bukan Ali bin Khatab.
Ali bin Abi Thalib adalah seorang raja yang selalu waspada di setiap
tindak-tanduknya, selalu hati-hati jangan sampai melakukan kesalahan. Ali bin
Abi Thalib mendapat gelar Sultan Kabir Mukmin. Semasa pemerintahan Nabi
Muhammad, beliau adalah seorang pemimpin perang yang sangat pemberani.
Ketika menjadi raja, setiap harinya beliau hanya makan roti gandum. Gandum
yang ditanam sendiri di kebunnya. Beliau sendiri juga yang membuat roti gandum
tersebut. Setelah jadi, roti tersebut disimpan dalam peti rapat-rapat. Punggawa
yang mengetahui hal itu langsung menanyakan kepada Ali kenapa sampai dikunci
rapat-rapat, padahal hanya gandum, tidak akan ada orang yang berkeinginan untuk
mengambilnya. Kemudian Ali mengutarakan alasannya mengapa roti gandum
tersebut sampai disimpannya rapat-rapat, yakni beliau tidak ingin anak-anaknya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
mengetahui hal itu, jika sampai diketahui oleh anak-anaknya pasti akan diganti
dengan makanan yang lebih layak dan enak.
3. Dialog III (SM: 53c-62)
Dialog ketiga ini berisi tentang gambaran kondisi alam yang terjadi saat
itu serta bagaimana reaksi masyarakat dengan kondisi alam yang seperti itu.
Berikut ada dua macam kondisi suatu bangsa dilihat dari reaksi masyarakat
terhadap keempat musim yang sering terjadi di masyarakat, yaitu:
a. Kondisi bangsa yang sejahtera
Bangsa yang sejahtera adalah bangsa yang senantiasa bersyukur dengan
kondisi alam yang senantiasa berganti. Baik itu musim penghujan,musim
kemarau,musim angin besar, maupun musim tidak ada angin sama sekali,
mereka tetap menerima, menikmati dan mensyukurinya.
Pada waktu musim penghujan, atau istilah Jawanya “rendeng”, masyarakat
menyambutnya dengan suka cita. Karena menurutnya di musim penghujan, air
hujan sangat potensial untuk menyuburkan tanah dan membuat tanaman-
tanaman semakin tumbuh subur. Air hujan juga bisa menyerap debu-debu
yang bertebaran. Selain itu, air hujan juga bisa menghanyutkan sampah-
sampah yang mengumpul di sungai-sungai. Cuaca di musim penghujan yang
tidak begitu panas, membuat tubuh terasa segar.
Bagi mereka, musim kemarau, atau istilah Jawanya “katiga” pun juga bisa
memberikan kemanfaatan yang luar biasa. Barang-barang atau benda-benda
yang dijemur akan lebih cepat keingnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
Ketika musim angin besar tiba, mereka juga menerimanya dengan senang
hati karena dengan adanya angin besar bisa menghilangkan bau di lingkungan
sekitar yang tidak sedap. Ketika tidak ada anginpun, mereka tidak mudah
mengeluh justru mereka bersyukur karena aktivitas atau pekerjaan mereka
tidak terhalang oleh angin besar.
b. Kondisi bangsa yang tidak sejahtera
Suatu kondisi bangsa yang tidak sejahtera ditandai dengan kondisi alam
yang cukup buruk dengan penerimaan masyarakat yang tidak baik pula.
Ketika musim penghujan tiba, masyarakat menyambutnya dengan bersedih
hati karena barang-barang atau benda-benda yang sedang dijemur lama
keringnya. Jalan-jalan yang belum beraspal juga menjadi becek sehingga
menyebabkan orang-orang terhalang untuk melakukan aktivitas. Cuaca dingin
yang terjadi di musim penghujan ini juga menyebabkan tubuh menggigil
kedinginan dan perut terasa kembung penuh udara sehingga mereka lebih
memilih untuk bertahan di rumah saja.
Apalagi ketika musim kemarau panjang tiba, masyarakat semakin merasa
sedih dan berkeluh kesah karena cuacanya sangat panas. Debu-debu banyak
yang bertebaran membuat penglihatan jadi terganggu. Ketika tidak ada angin,
bau tidak sedap di lingkungan sekitar semakin menyengat dan mengganggu
ketentraman masyarakat.
Selain kondisi alam yang buruk, suatu kondisi bangsa yang tidak nyaman
dan tidak tentram ditandai dengan sikap masyarakat saat itu yang berbuat
sekehendak hatinya. Banyak masyarakat berbuat tanpa didasari moral dan
etika yang baik. Hilang rasa saling menghormati dan menghargai. Tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
mempunyai rasa belas kasihan sedikitpun terhadap orang lain yang
membutuhkan pertolongan. Kondisi seperti ini bisa diperparah jika
pemimpinnya hanya mementingkan dirinya sendiri, berbuat sewenang-
wenang, tergila-gila dengan jabatan, dengan membawa misi mengumpulkan
harta sebanyak-banyaknya, tidak bisa memberikan teladan yang baik bagi
jajaran pemerintah dan rakyatnya. Rakyat yang hidup dibawah
kepemimpinannya merasa tertekan, tidak nyaman, tidak tentram, membuat
mereka tidak bersedia mengabdi negara dengan tulus.
4. Dialog IV (SM: 71-90)
Dialog keempat ini berisi tentang keteladanan kepemimpinan raja-raja
yang pernah memerintah di Jawa (Mataram, Surakarta, Yogyakarta) mulai dari
Kyi Ageng Sela hingga PB VIII. Berikut uraiannya:
1) Kyai Ageng Sesela
Ketika masih muda, Kyai Ageng Sesela gemar sekali tentang hal-hal
keprajuritan, hingga akhirnya diangkat menjadi prajurit Tamtama di Demak.
Beliau juga gemar bertapa, rajin berpuasa, dan sedikit tidur. Beliau juga suka
menimba ilmu kepada orang-orang berilmu hingga beliau menguasai ilmu
kasampurnan. Saat usianya yang semakin lanjut, beliau rajin sekali melakukan
budi kapandhitan, meyakini agama Islam. Siang malam senantiasa sembah
Hyang, dengan penuh harap memohon kepada Allah semoga beliau bisa
mengemban amanah sebagai pemimpin di Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
2) Kyai Ageng Nis
Seorang raja yang kesehariannya hanya nyantri (belajar ilmu agama).
Beliau gemar sekali bertapa di hutan, menuruni jurang dan mendaki gunung.
Karena kegemarannya itu hingga beliau mendapat gelar Bagus Awis. Selain
bertapa, beliau juga gemar mendatangi orang-orang pintar untuk menimba
ilmunya, hingga bertemu dengan seorang kyai bernama kyai Beluk di desa
Laweyan.
3) Kyai Ageng ing Pamanahan
Seorang raja yang gemar bertapa brata mardi budi utami. Cara
berpikirnya tata titi tatas patitis. Senantiasa waspada terhadap perbuatan nista.
Saat itu beliau sedang bertapa, hidup sementara di daerah Pajang. Beliau adalah
seorang raja yang dalam dan tajam cara berpikirnya, halus persaannya, tajam mata
batinnya, yakni bisa mengetahui kejadian yang bakal terjadi, hingga mendapat
gelar Kyai Pamanahan (nama aslinya Kyai Ngabdurrahman). Karena kemampuan
beliau yang bisa memprediksi masa depan, banyak orang di daerah Pajang
tersebut yang meminta bantuan beliau. Sebagai ucapan terimakasih orang-orang di
daerah itu memberikan tanah di daerah Mataram, hingga beliau mendapat julukan
sebagai Kyai Ageng Mataram.
4) Kanjeng Panembahan Senapati
Seorang raja muda yang tangguh dan teguh. Meskipun telah mempunyai
kesaktian dari ayahandanya, tetapi beliau tetap rajin bertapa brata mati raga, rajin
berpuasa dan sedikit tidur, berharap kepada Yang Maha Murba Misesa semoga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
terlaksana apa yang telah diwasiatkan oleh ayahandanya, yakni seorang raja yang
bisa memimpin kerajaannya dan merangkul semuanya. Seorang raja yang penuh
kelembutan mengasihi sesama manusia.
5) Kanjeng Sinuhun Seda Krapyak
Sinuhun Seda Krapyak adalah seorang raja yang penuh perhatian dan
senantiasa mengasihi keluarga, para abdi dan jajaran pemerintahannya. Namun
ada satu hal kelemahan beliau yakni karakter beliau yang kurang teguh
pendiriannya hingga mudah sekali berubah pemikirannya.
6) Kanjeng Sinuhun Sultan Agung
Sinuhun Sultan Agung adalah seorang raja yang gemar bertapa, sangat
patuh terhadap perintah agama. Seorang raja yang sangat menghormati para ulama
yang ahli di bidang syariat, hakikat, tarikat, dan ma’rifat. Dalam menjalankan
amanah sebagai seorang raja, Kanjeng Sinuhun Sultan Agung menggunakan 3
teori yang dikenal dengan ambeg Trimurti, yakni 1)ambeging ratu utami,
2)ambeging wali, 3)ambeging prajurit.
Ambeging ratu utami adalah sebagai seorang raja harus senantiasa peka,
awas, waspada, adil, teguh pendirian, mampu membuat senang para jajaran
pemerintahan di bawahnya, mengasihi kaum fakir miskin, dan bijak dalam hal
pembagian wilayah kerja sesuai dengan kemampuan punggawanya.
Ambeging wali adalah sebagai seorang raja harus patuh terhadap ajaran
agama Islam, gemar bertapa, sedikit makan, sedikit tidur. Seorang raja harus
paham tentang ilmu hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Seorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
raja yang senantiasa pasrah, tawakal terhadap keputusan Allah Yang Maha
Menguasai alam jagad raya.
Ambeging prajurit adalah seorang raja harus tangguh, teguh pendirian,
pemberani, waspada, Raja harus kritis terhadap permasalahan yang ada. Dalam
peperangan, seorang raja harus kuat fisiknya, tangguh, dan pemberani.
Namun ada satu hal dari Sultan Agung yang kurang begitu bagus untuk
diteladani yakni sikap beliau yang masih suka menjarah desa.
7) Kanjeng Sinuhun Tegal Arum
Sinuhun Tegal Arum adalah seorang raja yang sangat perhatian terhadap
keluarga dan jajaran pemerintahannya. Setiap perkataan beliau yang keluar
membuat hati tentram bagi yang mendengar, tetapi terkadang ada yang tidak
sesuai dengan kenyataannya. Terkadang masih suka memperhatikan hal-hal kecil
yang sangat remeh. Suka memuja kecantikan wanita. Jika jajaran
pemerintahannya melakukan kesalahan, tanpa berpikir panjang, beliau langsung
memarahinya. Di medan peperangan, Sinuhun Tegal Arum kurang begitu
pemberani dan tangguh.
8) Kanjeng Sinuhun Mangkurat Bawa
Sinuhun Mangkurat Bawa adalah seorang raja yang sangat pemberani dan
tangguh dalam peperangan. Gaya bicaranya menyenangkan, ramah terhadap
siapapun, tetapi kadang suka berubah pendirian, sekarang putih, keesokannya
merah. Jika sudah punya keinginan yang kuat, beliau akan berusaha keras
mewujudkannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
9) Kanjeng Sinuhun Mangkurat Mas
Meskipun sudah dewasa, tetapi terkadang karakter beliau masih seperti
anak-anak. Sinuhun Mangkurat Mas adalah seorang raja yang dermawan, gemar
memberi kepada para punggawanya. Namun ada beberapa sikap dari Sinuhun
Mangkurat Mas yang tidak baik untuk diteladani yakni: suka bermain wanita,.
suka bercanda dan bersendau gurau secara berlebihan, suka mengingkari janji,
tidak patuh terhadap nasehat ayahandanya, kurang tangguh dan berani di medan
peperangan.
10) Kanjeng Sinuhun PB I
Sinuhun PB I adalah seorang raja yang penyabar, halus budi pekertinya,
senantiasa bersyukur dan tawakal terhadap pemberian Allah, setiap pendapat dan
masukan dari jajaran pemerintahannya baik itu baik maupun buruk, tidak
langsung dituruti, melainkan dipikirkan lebih dalam lagi. Beliau adalah seorang
raja yang gemar menyepi di daerah yang sepi, untuk menenangkan hati dan
pikirannya, mendekatkan diri kepada Allah memohon petunjuk.
11) Kanjeng Sinuhun Prabu Amangkurat
Sinuhun Prabu Amangkurat adalah seorang raja yang sangat perhatian dan
mengasihi keluarga, para abdi dan jajaran pemerintahan di bawahnya. Gemar
memberikan uang kepada mereka. Seorang raja yang tidak suka membanding-
bandingkan status, semua dirangkulnya dengan penuh kasih sayang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
12) Kanjeng Sinuhun PB II
Sinuhun PB II adalah seorang raja yang penyabar, halus budi pekertinya,
dan baik hatinya. Senantiasa menyayangi para abdi beserta jajaran
pemerintahannya dan para ulama. Namun ada satu hal dari beliau yang kurang
begitu bagus untuk diteladani yakni menerima semua pendapat dan masukan dari
jajaran pemerintahan di bawahnya, semua dipakainya tanpa dipertimbangkan
lebih dalam lagi baik buruknya.
13) Kanjeng Sinuhun PB III
Sinuhun PB III adalah seorang raja yang sangat perhatian dan mengasihi
keluarga, para abdi dan jajaran pemerintahan di bawahnya. Gemar bekerja dan
membuat benda-benda yang terbuat dari kayu. Beliau sangat menyukai karya
sastra hingga bersahabat dekat dengan seorang ahli sastra bernama Yasadipura I.
14) Kanjeng Sinuhun PB IV
Sebelum terjadi pemberontakan Pakepung, watak Sinuhun PB IV masih
polos dan bersih. Namun pada perkembangannya, beliau menjadi mudah
dipengaruhi oleh orang lain yakni ada tujuh orang. Begitu mudahnya beliau
menerima ide-ide buruk dari ketujuh orang itu. Ada beberapa punggawa yang
menyanggah dan tidak sepakat dengan ide tersebut. Hingga terjadilah
pemberontakan Pakepung ketika Garebeg Maulud tahun 1717 Jawa. Ketujuh
orang tersebut adalah Mbah Man, Wiradigda, Kandhuruhan, Pasêngah, Mat Saleh,
Sujanapura dan Wartajaya. Ketujuh orang tersebut akhirnya ditangkap. Setelah
kejadian tersebut, Sinuhun PB IV kembali ke jalan yang benar dengan mematuhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
perintah agama dan menghormatai para alim ulama. Beliau semakin rajin
beribadah sesuai dengan tuntunan agama Islam dan mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Hingga sampai akhirnya beliau mendapat gelar Sinuhun Bagus
Waliyullah ing Cêmadi.
15) Kanjeng Sinuhun PB V
Sinuhun PB V adalah seorang raja yang sangat pandai dalam hal
kesusastraan, suka mempelajari karya-karya sastra Jawa Kuna. Beliau menjabat
sebagai raja hanya dalam waktu tiga tahun.
16) Kanjeng Sinuhun PB VI
Sinuhun PB VI adalah seorang raja yang penyabar, bersyukur dengan apa
yang telah dimiliki. Beliau adalah orang yang supel terhadap siapapun. Gaya
bicaranya sangat menyenangkan, ramah. Seusai turut dalam peperangan
Dipanagara, beliau memutuskan untuk bertapa di pulau Ambon.
17) Kanjeng Sinuhun PB VII
Sinuhun PB VII adalah seorang raja yang sangat pemberani, tangguh,
teguh pendirian, tegas, waspada, sabar dan berlaku adil terhadap siapapun. Gaya
bicaranya sangat santun dan jelas. Karena sifat, karakter dan sikap beliau yang
patut diteladani, semua rakyat, para abdi dan punggawa sangat menyukai Sinuhun
PB VII, sampai sedia mengabdi dalam keadaan bagaimanapun. Semasa
pemerintahannya, semua rakyat hidup sejahtera. Jaringan beliau cukup luas
sampai ke mancanegara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
18) Kanjeng Sinuhun PB VIII
Sinuhun PB VIII adalah seorang raja yang multi talenta (serba bisa).
Beliau gemar sekali melakukan olah budi, menenangkan diri dan mengheningkan
cipta di setiap siang dan malam harinya. Hatinya sangat lembut, penyabar dan
tidak pernah marah. Beliau sangat menyayangi keluarga, para abdi, punggawa dan
jajaran pemerintahan di bawahnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan terhadap teks Serat Mudhatanya dalam bab-bab
sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan kajian filologis, dapat diketahui bahwa naskah Serat Mudhatanya
adalah naskah pertama dan naskah tunggal, yang tersimpan di dalam museum
Sana Budaya Yogyakarta dengan nomor katalog PB C56. Teks SM berbentuk
prosa dan disajikan dalam bentuk dialog, yang terdiri atas empat dialog.
Naskah SM ini dikarang oleh R.T.Purbadipura, seorang Abdidalem Bupati
Anom Gedong Tengen Karaton Surakarta, ditulis oleh Wignyaukara dan
R.T.Purbadipura sendiri. Dari hasil kritik teks ditemukan beberapa kesalahan
tulis, yaitu lakuna, adisi, substitusi, ditografi, dan transposisi, juga ditemukan
beberapa ketidakkonsistenan penulisan dan variasi penulisan kata. Sehingga
naskah ini rusak/ korup. Metode penyuntingan teks menggunakan metode
suntingan edisi standar untuk menghasilkan suntingan teks yang bersih dari
kesalahan. Jadi, suntingan teks SM yang telah dihasilkan dalam penelitian ini
adalah suntingan atau edisi teks yang pertama dan bersih dari kesalahan
(penulisan dan ejaan).
1) Berdasarkan kajian isi, naskah Serat Mudhatanya adalah naskah yang berisi
ajaran kepemimpinan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang dilengkapi dengan beberapa contoh gaya kepemimpinan para Nabi, dan
para sahabat Nabi Muhammad SAW, serta gaya kepemimpinan raja-raja di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
Jawa. Ada delapan ajaran kepemimpinan yang harus dipahami dan diterapkan
oleh seorang pemimpin dalam memimpin keluarga, masyarakat, bangsa dan
negaranya, yakni: kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, dan
pariksa. Kuwasa berarti wewenang yang dimiliki seorang pemimpin harus
digunakan untuk memutuskan segala sesuatunya secara bijak. Purba berarti
pemimpin harus bertanggungjawab atas semua permasalahan dalam
kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Wisesa berarti pemimpin
harus tegas terhadap siapapun untuk senantiasa berbuat kebajikan. Kukum
berarti pemimpin harus memperlakukan hukum yang sama terhadap siapapun.
Adil berarti pemimpin harus bersikap adil terhadap siapapun, sesuai dengan
usaha yang telah dilakukan. Paramarta berarti pemimpin harus berhati lembut
dan mempunyai sifat belas kasihan terhadap siapapun, sabar dan pemaaf.
Dana berarti pemimpin harus rajin berderma dengan pemberian yang terbaik.
Pariksa berarti pemimpin harus bersungguh-sungguh ketika melakukan proses
pemantauan dan kontrol terhadap kinerja bawahannya, tidak didelegasikan
tetapi terjun langsung ke bawah.
B. SARAN
Berkaitan dengan simpulan yang dihasilkan dalam penelitian ini, dapat
diajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Penanganan awal yang telah dilakukan terhadap naskah Serat Mudhatanya
dalam penelitian ini adalah secara filologis, sehingga telah dihasilkan edisi
kritik teks. Selanjutnya perlu tindak lanjut dan kerjasama dengan pihak-pihak
terkait untuk mempublikasikan teks Serat Mudhatanya dalam bentuk terbitan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
agar teks ini mudah dibaca, dipahami, dan dinikmati oleh masyarakat luas.
Selain itu, dimungkinkan diadakannya penelitian lanjutan secara lebih
mendalam dan spesifik dari bidang-bidang ilmu terkait, seperti: ilmu sastra,
linguistik, serta ilmu-ilmu lainyang terkait untuk kemudian dipublikasikan,
mengingat pentingnya materi kajian yang ada di dalam SB ini.
2. Penelitian yang telah dilakukan ini, sekaligus membuka peluang diadakannya
penelitian lanjutan; walaupun telah menghasilkan edisi kritik naskah.