seri studi kualitatif ipkm; “nawi arigi” di bumi tolikara upaya meningkatkan derajat kesehatan...
DESCRIPTION
Hasil Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM)menunjukkan hasil yang bervariasi di antara 497 Kabupaten/Kotadi Indonesia. Beberapa Kabupaten/Kota mengalami peningkatan ataupun penuruna nilai IPKM pada tahun 2013 ini dibandingkan dengan IPKM 2007. Sembilan buku seri ini akan menggambarkan secara lebih mendalam faktor-faktor yang berkaitan dengan penurunan ataupun peningkatan nilai IPKM yang berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun geografis wilayah Kabupaten/Kota. Buku ini diharapkan dapat memberikan semangat ataupun pemikiran yang inovatif bagi Kabupaten/Kota lokasi studi kualitatif dilakukan, dalam membangun kesehatan secara lebih terarah dan terpadu. Disamping itu, buku ini dapat memberikan suatu pembelajaran bagi Kabupaten/Kota lainnya dalam meningkatkan status kesehatan masyarakatnya.TRANSCRIPT
PENERBIT PT KANISIUS
“Nawi Arigi” di Bumi TolikaraUpaya Meningkatkan Derajat Kesehatan Ibu
dan Anak di Kabupaten Tolikara, Papua
Setia PranataTatik Mudjiati
Hadi PurwantoMagendi Indramukti
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara, Upaya Meningkatkan Derajat Kesehatan Ibu dan Anak di kabupaten Tolikara, Papua1015003042 © 2015 - PT Kanisius
Penerbit PT Kanisius (Anggota IKAPI)Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, INDONESIAKotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011, INDONESIATelepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349E-mail : [email protected] : www.kanisiusmedia.com
Cetakan ke- 3 2 1Tahun 17 16 15
Editor : Prof. dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.PH Dr. Trihono, M.Sc Dr. Semiarto Aji Purwanto
Atmarita, MPH., Dr.PHDesainer isi : Oktavianus Desainer sampul : Agung Dwi Laksono
ISBN 978-979-21-4377-5
Hak cipta dilindungi undang-undangDilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh PT Kanisius Yogyakarta
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara iii
DEWAN EDITORProf. dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.PH guru besar pada Universitas Diponegoro Semarang, sekaligus Profesor Riset dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Dr. Trihono, M.Sc Ketua Komite Pendayagunaan Konsultan Kesehatan (KPKK), yang juga Ketua Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI), sekaligus konsultan Health Policy Unit Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dr. Semiarto Aji Purwanto antropolog, Ketua Dewan Redaksi Jurnal Antropologi Universitas Indonesia, sekaligus pengajar pada Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia di Jakarta.
Atmarita, MPH., Dr.PH doktor yang expert di bidang gizi.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikaraiv
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada International
Development Research Centre, Ottawa, Canada, atas dukungan
finansial yang diberikan untuk kegiatan pengembangan Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat tahun 2013 dan studi
kasus kualitatif gambaran peningkatan dan penurunan IPKM di
Sembilan Kabupaten/Kota di Indonesia.
“This work was carried out with the aid of a grant from the
International Development Research Centre, Ottawa, Canada.”
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kepada Allah SWT selalu kami panjatkan, karena
dengan rahmat dan karunia-Nya buku ini telah dapat diselesaikan
dengan baik. Buku ini merupakan bagian dari sembilan buku seri
hasil studi kualitatif di sembilan Kabupaten/Kota (Nagan Raya,
Padang Sidempuan, Tojo Una-Una, Gunungkidul, Wakatobi,
Murung Raya, Seram Bagian Barat, Lombok Barat, dan Tolikara)
di Indonesia, sebagai tindak lanjut dari hasil Indeks Pembagunan
Kesehatan Masyarakat.
Hasil Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM)
menunjukkan hasil yang bervariasi di antara 497 Kabupaten/Kota
di Indonesia. Beberapa Kabupaten/Kota mengalami peningkatan
ataupun penuruna nilai IPKM pada tahun 2013 ini dibandingkan
dengan IPKM 2007. Sembilan buku seri ini akan menggambarkan
secara lebih mendalam faktor-faktor yang berkaitan dengan
penurunan ataupun peningkatan nilai IPKM yang berkaitan
dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun geografis
wilayah Kabupaten/Kota. Buku ini diharapkan dapat memberikan
semangat ataupun pemikiran yang inovatif bagi Kabupaten/Kota
lokasi studi kualitatif dilakukan, dalam membangun kesehatan
secara lebih terarah dan terpadu. Disamping itu, buku ini dapat
memberikan suatu pembelajaran bagi Kabupaten/Kota lainnya
dalam meningkatkan status kesehatan masyarakatnya.
Penghargaan yang tinggi serta terima kasih yang tulus kami
sampaikan atas semua dukungan dan keterlibatan yang optimal
kepada tim penulis buku, International Development Research
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikaravi
Center (IDRC) Ottawa, Canada, peneliti Badan Litbangkes,
para pakar di bidang kesehatan, serta semua pihak yang telah
berpartisipasi dalam studi kualitatif dan penulisan buku ini. Kami
sampaikan juga penghargaan yang tinggi kepada semua pihak di
daerah Provinsi, Kabupaten/Kota sampai dengan tingkat Desa
baik di sektor kesehatan maupun non-kesehatan serta anggota
masyarakat, yang telah berpartisipasi aktif dalam studi kualitatif
di sembilan Kabupaten/Kota.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan
dari penyusunan buku ini, untuk itu akan menerima secara
terbuka masukan dan saran yang dapat menjadikan buku ini
lebih baik. Kami berharap buku ini selanjutnya dapat bermanfaat
bagi upaya peningkatan pembangunan kesehatan masyarakat di
Indonesia.
Billahittaufiqwalhidayah, Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, Juli 2015
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI.
Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama
SpP (K)., MARS., DTM&H., DTCE.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara vii
DAFTAR ISI
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................ ivKATA PENGANTAR ................................................................. vDAFTAR ISI ........................................................................ viiDAFTAR TABEL ...................................................................... ixDAFTAR GAMBAR ................................................................. ix
BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................... 1
BAB 2 WILAYAH DAN PENDUDUK TOLIKARA ...................... 13 2.1. Wilayah dan Keadaan Alam .......................... 13 2.2. Penduduk Tolikara .......................................... 16 2.3. Tradisi Masyarakat .......................................... 22 2.4. Dinamika Pembangunan ................................ 31
BAB 3 PROGRAM PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT ....................................... 39 3.1. Sarana dan Prasarana Pelayanan Kesehatan .. 42 3.2. Tenaga Kesehatan .......................................... 47 3.3. Program Pembangunan Kesehatan ................ 49 3.4. Pembiayaan Kesehatan .................................. 55
BAB 4 KESEHATAN BALITA DI KARUBAGA ........................... 57 4.1. Aliando, Potret Kesehatan Balita ................... 58 4.2. Pola Adaptasi Keluarga ................................... 64 4.3. Posyandu di Karubaga ...................................... 72 4.4. Imunisasi Dasar Lengkap Untuk Balita ............ 81 4.5. Program 1000 HPK ......................................... 85
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikaraviii
BAB 5 PELAYANAN KEHAMILAN DAN PERSALINAN ............ 97 5.1. Pelayanan Pemeriksaan Kehamilan ................ 97 5.2. SOP ANC Puskesmas Karubaga ....................... 110 5.3. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan di Fasilitas Kesehatan ..................................... 114BAB 6 DINAMIKA PELAYANAN KESEHATAN ........................ 117 6.1. Akses ke Puskesmas........................................ 118 6.2. Pelayanan Puskesmas Kuari, Puskesmas di Luar Ibukota Kabupaten Tolikara ................ 120 6.3. Kebijakan tentang Pemenuhan Tenaga Kesehatan ........................................... 124 6.4. Peran Lintas Sektor dan Masyarakat............... 127
BAB 7 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .......................... 137 7.1. Kesimpulan ..................................................... 137 7.2. Rekomendasi .................................................. 139
Daftar Pustaka ...................................................................... 151Indeks ........................................................................ 155
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Luas Wilayah, Jumlah Desa, Jumlah Penduduk, Menurut Distrik Kabupaten Tolikara
Tahun 2013 .................................................... 17Tabel 2.2. Fasilitas Pendidikan di Kabupaten TolikaraTahun
2013 ............................................................... 32Tabel 2.3. Angka Melek Huruf Kabupaten Tolikara tahun 2005 – 2013 ........................................ 32Tabel 4.1. Posyandu di Puskesmas Karubaga .................. 73Tabel 4.2. Laporan Imunisasi Bulan Januari 2015 Puskesmas Karubaga. ..................................... 84Tabel 5.1 Data ibu hamil dengan gravida lebih dari 2 .... 104Tabel 5.2 Data KIA di Puskesmas Karubaga ................... 106Tabel 5.3 Jenis pelayanan SOP ANC 10T ........................ 112Tabel 5.4. Persalinan oleh tenaga kesehatan Kabupaten
Tolikara ........................................................... 114
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikarax
Gambar 2.1. Karubaga, ibukota Tolikara ............................ 13Gambar 2.2. Peta Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua ...... 15Gambar 2.3. Pusat Kota Tolikara ........................................ 16Gambar 2.4. Transportasi Udara Penghubung Tolikara ..... 21Gambar 2.5. Pedagang dan barang dagangan ................... 24Gambar 3.1. Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara 40Gambar 3.2. Puskesmas Perawatan Karubaga ................... 43Gambar 3.3. Mobil untuk merujuk pasien......................... 44Gambar 3.4 Tugas Lain dari seorang Dokter ..................... 47Gambar 3.5. Suasana di ruang tunggu Puskesmas Karubaga .................................... 51Gambar 3.6. Pemanfaatan ruang di Puskesmas Kuari ....... 52Gambar 4.1 Aliando, dalam gendongan perawat ............ 58Gambar 4.2. Honai, Rumah Adat di Tolikara ...................... 68Gambar 4.3 Babi, aset ekonomi keluarga di Tolikara ........ 71Gambar 4.4. Menu makanan pada program 1000 HPK .... 85Gambar 4.5 Kader Posyandu memimpin Doa dalam kegiatan 1000 HPK ............................. 88Gambar 4.6. Kegiatan PMT untuk ibu hamil dan menyusui ...... 89
Gambar 5.1 Status Kunjungan Ibu hamil tahun 2014 ....... 99Gambar 5.2. Bidan memeriksa tekanan darah ibu hamil . 105Gambar 5.3. Pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid ......... 111Gambar 5.5 Pemeriksaan leopold oleh Bidan Puskesmas Karubaga .................................... 113Gambar 6.1. Jalan menuju Distrik Karubaga ..................... 118Gambar 6.2. Bangunan Puskesmas Kuari ........................ 121Gambar. 6.3. Kondisi ruangan di Puskesmas Kuari ............ 122
DAFTAR GAMBAR
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara xi
Gambar 6.4. Struktur Tim Teknis Pelaksanaan Program Penanganan Gizi Ibu Hamil Kabupaten Tolikara. ...................................... 127Gambar 6.5 Pembangunan WC Umum di Kuari ............... 129
1
BAB 1PENDAHULUAN
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang kesehatan, pembangunan kesehatan
yang dilakukan oleh Pemerintah merupakan upaya untuk
memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yakni, sehat secara fisik,
psikis, dan sosial. Untuk mencapai kondisi tersebut, Pemerintah
menetapkan kebijakan pembangunan kesehatan, guna menjamin
tersedianya upaya kesehatan, baik upaya kesehatan masyarakat
maupun upaya kesehatan perorangan yang bermutu, merata,
dan terjangkau oleh masyarakat. Suatu kebijakan yang diarahkan
pada upaya: (1) peningkatan jumlah jaringan dan kualitas sarana
dan prasarana kesehatan; (2) peningkatan kualitas dan kuantitas
tenaga kesehatan; (3) pengembangan sistem jaminan kesehatan
terutama bagi penduduk miskin; (4) peningkatan sosialisasi
kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat; (5) peningkatan
pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini; (6)
pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar
dan sebaran tenaga kesehatan (Balitbangkes, 2014).
Selain itu, pembangunan kesehatan juga dilakukan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar tercipta derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. Terciptanya derajat kesehatan masyarakat
adalah kondisi yang penting untuk diupayakan karena merupakan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara2
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif
secara sosial dan ekonomis.
United Nation Development Program (UNDP) menggunakan
Human Development Index (HDI) atau yang dikenal dengan istilah
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk melihat kesejahteraan
suatu bangsa. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah
satu indikator yang digunakan untuk melihat keberhasilan
pembangunan dalam bentuk kesejahteraan, selain menggunakan
domain pendidikan dan ekonomi penduduk. Dewasa ini, kondisi
Indonesia semakin baik yang ditandai dengan meningkatnya nilai
IPM dari 0,586 pada peringkat ke-112 dari 175 negara pada tahun
2000, menjadi 0,728 pada peringkat ke-107dari 177 negara pada
tahun 2007. Pada tahun 2014, Indonesia memiliki ranking ke-108
dari 187 negara dan mengalami penurunan nilai menjadi 0.684.
Fluktuasi nilai tersebut mengindikasikan bahwa derajat kesehatan
masyarakat telah dapat ditingkatkan, namun secara keseluruhan
derajat kesehatan di Indonesia masih belum memadai.
Dalam menghitung IPM, digunakan Umur Harapan Hidup
(UHH) sebagai indikator kesehatan. UHH adalah perkiraan
lama hidup rata-rata penduduk dari sejak dilahirkan, dengan
asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas menurut umur.
Namun muncul pertanyaan, apakah hanya cukup dengan UHH
yang panjang dapat mendukung pembangunan manusia?
Pembangunan manusia dari sektor kesehatan bukan hanya
mengupayakan agar penduduknya mencapai usia hidup yang
panjang, tetapi juga berkualitas dan tidak bergantung kepada
orang lain (Balitbangkes, 2014). Maka, untuk melihat sebuah
kondisi yang komprehensif, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan menyusun Indeks Pembangunan Kesehatan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 3
Masyarakat (IPKM). IPKM merupakan kumpulan dari beberapa
indikator kesehatan yang dapat dengan mudah diukur untuk
menggambarkan kondisi kesehatan di suatu daerah. Serangkaian
indikator yang diformulasikan berdasarkan data masyarakat dari
Riset Kesehatan Dasar (Riskedas), Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) dan Survei Potensi Desa (PODES) ini secara langsung
maupun tidak langsung akan berpengaruh pada UHH penduduk.
Berdasar pada indikator yang digunakan dalam IPKM,
pemerintah pusat bersama pemerintah kabupaten dan kemen-
terian bisa memahami kondisi pembangunan kesehatan yang
kurang baik dan mencari solusi yang tepat. Semua itu untuk
meningkatkan kesehatan dan pelayanan kesehatan dengan cara
yang lebih merata di seluruh negeri.
Pembangunan kesehatan yang dilakukan di Indonesia
secara berkesinambungan telah menunjukkan hasil yang meng-
gembirakan. Ketersediaan berbagai fasilitas pelayanan kese-
hatan, rumah sakit pemerintah dan swasta terus bertambah.
Keberadaan Puskesmas, Puskesmas pembantu, dan Puskesmas
keliling, jumlahnya juga bertambah. Selain itu, terdapat berbagai
fasilitas pelayanan kesehatan penunjang seperti praktik dokter,
klinik, apotek, laboratorium, dan asuransi kesehatan. Semua itu
dapat mempermudah akses dan meningkatkan pemanfaatan
fasilitas pelayanan kesehatan dasar oleh masyarakat.
Walaupun begitu harus diakui bahwa pembangunan
kesehatan bukan tanpa hambatan. Masih banyak permasalahan
kesehatan yang menjadi tantangan pembangunan kesehatan
di indonesia. Tidak semua problematika kesehatan bisa diatasi
sesuai yang diharapkan.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara4
Kebijakan pembangunan kesehatan belum seluruhnya
dirumuskan. Regulasi bidang kesehatan pada saat ini belum
cukup, baik jumlah, jenis, maupun efektivitasnya. Kondisi di
lapangan seringkali dihadapkan pada kerancuan pelaksanaan, ter-
masuk pemberian perlindungan hukum kepada pelaksana pela-
yanan kesehatan. Perencanaan pembangunan kesehatan belum
seperti yang diharapkan. Secara umum, alur perencanaan khusus-
nya terkait dengan hubungan antara perencanaan pembangunan
kesehatan jangka panjang nasional (RPJPN), jangka menengah
(RPJMN) dan perencanaan tahunan (Renja) dengan RPJMD,
Renstrada dan Renja SKPD belum optimal.
Meskipun upaya pemenuhan kebutuhan SDM Kesehatan
telah dilakukan dengan menempatkan tenaga kesehatan di
seluruh Indonesia, namun masih belum mencukupi dari segi
jumlah, jenis, dan kualitas tenaga kesehatan yang dibutuhkan
untuk dapat mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Indonesia masih berusaha mencapai sasaran MDG
indikator ke-4 tentang penurunan angka kematian anak walau
perkembangannya terhalang oleh kematian neonatal dan gizi
buruk pada anak. Kematian bayi masih berada pada angka
32/1.000 kelahiran hidup (SDKI 2012). Masih belum sesuai
dengan harapan yang mentargetkan maksimal angka kematian
bayi sebesar 26/1.000 kelahiran hidup. Demikian juga angka
kematian ibu melahirkan 359/100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2012 (SDKI, 2012). Besaran angka tersebut belum mencapai
sasaran MDGs, dan angka kematian ibu sebesar 102/100.000
kelahiran hidup pada tahun 2015.
Lebih spesifik lagi, Indonesia timur, khususnya Papua,
merupakan wilayah yang paling banyak memiliki permasalahan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 5
kesehatan. Seluruh indikator derajat kesehatan Papua, yaitu
angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita,
prevalensi gizi buruk, dan prevalensi gizi kurang, masih berada di
bawah angka rata-rata nasional.
Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, cakupan imunisasi
HB0 di Provinsi Papua sebesar 45,7%. Sedangkan cakupan
imunisasi BCG, Polio, DPT HB dan campak berturut turut
adalah sebesar 59,5%, 48,8%, 40,8% dan 56,8% merupakan
cakupan yang terendah dibandingkan dengan Provinsi lainnya.
Keaktifan Posyandu, ketersediaan tenaga kesehatan, serta
dukungan anggaran kesehatan menjadi isu yang masih sering
didengungkan.
Kabupaten Tolikara merupakan salah satu Kabupaten di
Papua yang memiliki kondisi kesehatan yang kurang. Kondisi
geografis berupa pegunungan menjadikan akses mendapatkan
layanan di fasilitas kesehatan menjadi lebih sulit. Data dari
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua menunjukkan bahwa angka
harapan hidup di Kabupaten Tolikara adalah 66,24 di tahun
2013. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada permasalahan yang
melatarbelakangi, baik itu masalah kesehatan, ekonomi, maupun
sosial budaya. Hasil dari riset kesehatan dasar tahun 2013
menunjukkan bahwa akses terhadap layanan kesehatan di Papua
merupakan yang terendah di antara Provinsi yang lain yaitu hanya
9,9%.
Sama halnya dengan Tolikara, kondisi pegunungan dengan
medan yang tidak mudah menjadi alasan masyarakat sulit
mengakses fasilitas kesehatan. Tolikara merupakan kabupaten
dengan status Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK). Tentang
pengetahuan terhadap keberadaan fasilitas kesehatan, masya-
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara6
rakat Tolikara hanya mengenal Puskesmas (94,4%) dan hampir
semua (92,9%) tidak mengenal fasilitas Rumah Sakit. Hal ini cukup
masuk akal, mengingat di Kabupaten Tolikara hanya terdapat
Puskesmas dan secara definitif belum terdapat Rumah Sakit.
Kondisi kesehatan anak dilihat dari status imunisasi,
hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa Tolikara mempunyai
cakupan imunisasi terendah untuk semua jenis imunisasi yang
meliputi BH-O (1,2%), BCG (1,2%), DPT-HB 3 (0%), Polio 4 (0%),
dan Campak (1,2%). Tolikara bersama beberapa kabupaten di
wilayah pegunungan tengah seperti kabupaten Jayawijaya, Paniai,
Puncakjaya, Mamberamo, dan Lanny Jaya mempunyai cakupan
imunisasi dasar lengkap 0%. Dengan angka 85,3% anak usia 12
– 59 bulan yang tidak diimunisasi, Tolikara merupakan 6 daerah
tertinggi angka tidak imunisasinya.
Kajian IPKM dilakukan untuk menunjukkan apakah suatu
kabupaten mempunyai status Daerah Bermasalah Kesehatan
(DBK) atau tidak. Penilaian tersebut dibuat berdasarkan pengem-
bangan model IPKM 2013. Terdapat 30 indikator terpilih yang
dikelompokkan menjadi 7 kelompok indikator kesehatan yang
meliputi:No. Kolompok Indikator Jumlah Indikator
1. Kesehatan Balita 6
2. Kesehatan Reproduksi 3
3. Pelayanan Kesehatan 5
4. Perilaku Kesehatan 5
5. Penyakit Tidak Menular 6
6. Penyakit Menular 3
7. Kesehatan Lingkungan 2
Total 30
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 7
Setelah dilakukan pengelompokan indikator, kemudian
dihitung nilai sub indeks masing-masing. Hasil nilai sub indeks
ini yang kemudian digunakan untuk memberikan gambaran baik
buruknya kondisi kesehatan di tiap-tiap kabupaten/kota. Nilai
indeks mendekati satu menunjukkan kondisi yang baik.
Kondisi Kabupaten Tolikara dilihat dari 7 subindeks IPKM
tersebut, menunjukkan bahwa semua kelompok indikator
memiliki angka indeks yang rendah. Indeks untuk kesehatan
lingkungan adalah 0,03, pelayanan kesehatan 0,06, penyakit
menula r0,11, kesehatan reproduksi 0,13, kesehatan balita 0,24,
perilaku 0,26 dan penyakit tidak menular sebesar 0,6.
Membandingkan antara IPKM tahun 2007 dan IPKM 2013,
Kabupaten Tolikara merupakan satu-satunya kabupaten/kota di
Provinsi Papua yang nilai indeksnya turun. Pada tahun 2007 nilai
indeksnya 0,3021 dan pada tahun 2013 menjadi 0,2161. Adanya
penurunan nilai dengan besaran <mean -1 SD, menunjukkan
bahwa Tolikara merupakan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK).
Berdasarkan IPKM tahun 2013, Kabupaten Tolikara meru-
pakan kabupaten dengan peringkat paling rendah. Peringkatnya
adalah 497 dari 497 Kabupaten/Kota di Indonesia. Bila diban-
dingkan dengan kabupaten/kota lain di Provinsi Papua, Kabu-
paten Tolikara menduduki peringkat ke-29 dari 29 Kabupaten di
Provinsi Papua. Berdasarkan keadaan tersebut maka penelitian
ini dilakukan di Kabupaten Tolikara. Tujuan utamanya adalah
untuk memberikan gambaran secara kualitatif terkait dengan
status IPKM Kabupaten Tolikara, ditinjau dari perspektif tenaga
kesehatan, peran lintas sektor, dan peran serta masyarakat.
Pada studi kualitatif ini, peneliti terjun langsung untuk
mem peroleh data di lapangan. Riset ini dilakukan pada
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara8
latar alamiah, naturalistik, dalam konteks keutuhan yang se-
cara ontologi menghendaki kenyataan sedemikian rupa
yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya.
Dalam melakukan studi ini, data diperoleh dari beberapa
jenis sumber. Secara langsung melakukan wawancara dengan
sasaran penelitian, melakukan pencatatan atau copy dokumen,
melakukan pengambilan foto dan pengambilan film. Sebagai
catatan yang harus selalu dipahami dengan penuh kesadaran
adalah bahwa instrumen utama pengumpulan data kualitatif
adalah peneliti itu sendiri.
Sebagai instrumen, sebagai peneliti kami sudah mencoba
dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan data yang sahih. Data
dokumen statistik Kabupaten Tolikara dalam angka diperoleh dari
Badan Pusat Statistik Kabupaten. Data profil kesehatan Kabupaten
Tolikara diperoleh dari Dinas Kesehatan. Cukup menyulitkan
peneliti ketika melihat tidak banyak yang bisa dianalisa dari data
excel lampiran profil.
Di saat peneliti mau melakukan pengumpulan data di
komunitas, benar apa yang kemukakan oleh Bryman (2004)
bahwa merupakan tahapan yang sulit dalam penelitian kualitatif
ketika masuk pada setting sosial. Informasi berkenaan dengan
substansi penelitian digali dari informan yang sudah ditetapkan
sesuai kriteria: mereka dari sektor kesehatan, dari lintas sektor,
dan yang berasal dari masyarakat. Pengumpulan informasi ini
diawali dengan mencari informasi kepada aparat Kampung. Ketika
peneliti dihadapkan pada keterbatasan informasi, maka untuk
mendapatkan kekurangan informasi tersebut peneliti meminta
informan untuk merekomendasikan siapa yang bisa melengkapi
dan tahu tentang substansi tersebut.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 9
Sebagai kelengkapan di lapangan, peneliti dibekali
pedoman pengumpulan data. Fungsi pedoman tersebut sebagai
panduan peneliti dalam menggali dan memperoleh informasi
sesuai substansi yang diteliti. Dalam pelaksanaannya di lapangan,
ketika akan melakukan wawancara kami menghafal terlebih
dahulu apa yang akan ditanyakan. Dengan demikian kami bisa
berdiskusi dengan bebas tanpa harus membawa buku pedoman
yang membuat hubungan kami tampak formal.
Karena substansi dari penelitian ini berhubungan dengan
upaya pembangunan kesehatan yang dilakukan daerah, maka
pada pedoman pengumpulan data memuat hal-hal yang akan
ditanyakan kepada para pelaku pembangunan kesehatan dan
masyarakat sebagai sasaran pembangunan. Substansi yang
terdapat pada buku pedoman tersebut adalah yang berkaitan
dengan kebijakan dan program kesehatan, peran lintas sektor,
dan peran serta masyarakat dalam upaya kesehatan.
Pada waktu melakukan wawancara secara bebas, pene-
liti kemudian langsung mencatat dan mendeskripsikan temuan
datanya pada Field Note catatan penelitian. Field Note ini
berfungsi memuat catatan hasil wawancara, detil hasil peng-
amatan, catatan intrepretasi, dan catatan analitik untuk kemudian
dirangkai sebagai suatu karya tulis.
Pertanyaannya adalah kami harus memulai dari mana?
Butuh waktu lebih untuk menata potongan informasi sehingga
dapat menghubungkan dan menggambarkan suatu fenomena
dengan tepat. Untuk kebutuhan itu, kami memilih melakukan
pemaparan tulisan ini menjadi tujuh bagian.
Bab pertama merupakan pendahuluan. Pada bab ini
diuraikan tentang hal-hal yang melatarbelakangi studi kualitatif
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara10
IPKM pada masyarakat Kabupaten Tolikara. Kami juga menilai
penting untuk memberikan gambaran, bagaimana studi ini
dilakukan di lapangan, penemuan tema yang menjadi bahasan
khusus dan diakhiri dengan uraian setiap bagian.
Bab kedua, wilayah dan penduduk. Bagian ini bertujuan
memperkenalkan budaya masyarakat Tolikara, di mana penelitian
ini dilakukan. Pada bagian ini dipaparkan juga sejumlah data
pengamatan, informasi yang diberikan narasumber yang menulis
tentang orangnya dan lingkungan ekologisnya.
Ketiga, Program Pembangunan Kesehatan Masyarakat
Tolikara. Bagian ini untuk menggambarkan bagaimana pem-
bangunan kesehatan masyarakat yang direncanakan dan
dianggarkan oleh Pemerintah Tolikara dapat menyentuh dan
mem pengaruhi kehidupan masyarakat.
Keempat, potret gizi balita di Tolikara. Tema ini berusaha
memberikan gambaran tentang kondisi gizi pada balita dan
program pelayanan kesehatan yang dilakukan untuk mengatasi
masalah gizi balita. Beberapa hal yang diharapkan bisa meng-
ungkap potret status gizi adalah dengan menggambarkan kondisi
gizi pada umumnya dan upaya yang dilakukan masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan gizi balita. Selain itu digambarkan
pula program pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan beserta segenap jajarannya.
Kelima, pelayanan kehamilan dan persalinan di Karubaga.
Melihat bagaimana kualitas pemeriksaan kehamilan yang
dilakukan dan upaya dari petugas kesehatan agar para ibu mau
bersalin dengan dibantu tenaga kesehatan.
Pada bahasan keenam dibahas dinamika pelayanan
kesehatan. Bagian ini menggambarkan bagaimana akses yang
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 11
dilakukan warga untuk mendapat pelayanan kesehatan, bagai-
mana pelayanan kesehatan diberikan oleh Puskesmas, bagaimana
kebijakan pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan
tenaga kesehatan dan bagaimana peran lintas sektor serta
masyarakat dalam upaya pembangunan kesehatan.
Ketujuh, berupa penutup. Bagian ini berisi kesimpulan
dari keseluruhan studi kualitatif indeks pembangunan kesehatan
masyarakat yang dilakukan di Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua
dan rekomendasi.
13
BAB 2WILAYAH DAN PENDUDUK TOLIKARA
2.1. Wilayah dan Keadaan Alam
Tolikara merupakan satu Kabupaten di Provinsi Papua.
Kabupaten Tolikara terbentuk berdasarkan Undang-undang No.
26 Tahun 2002 tentang pemekaran 14 kabupaten di Provinsi
Papua. Meskipun relatif baru terbentuk, namun perkembangan
Tolikara sudah dimulai sejak kehadiran Dave Marten, misionaris
Kristen asal Kanada yang mendarat di Tolikara tahun 1959.
Gambar 2.1. Karubaga, ibukota Tolikara
Sumber: dokumentasi peneliti
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara14
Kabupaten yang mempunyai motto Nawi Arigi1 merupakan
pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya. Kabupaten ini berada di
pegunungan tengah Papua, sebagaimana Kabupaten Wamena,
Mamberamo, Jayawijaya, dan Puncak Jaya. Geografi Tolikara,
tepatnya berada pada posisi 139⁰90”-141⁰ Bujur Timur dan 4⁰98’
- 7⁰10’ Lintang Selatan(BPS, 2014).
Sebagai bagian dari wilayah pegunungan tengah tanah
Papua, Kabupaten Tolikara secara topografi berada pada
ketinggian antara 1.400 meter sampai dengan 3.300 meter di
atas permukaan laut. Sebagian besar wilayahnya merupakan
perbukitan dengan kemiringan lahan sekitar 40%, terutama di
bagian tengah wilayah Kabupaten. Iklim di Kabupaten Tolikara
adalah iklim Tropis basah. Dipengaruhi letak wilayah yang berada
pada dataran tinggi, temperatur udaranya bervariasi antara 12oC
sampai 20oC. Tingkat kelembaban di wilayah ini di atas 86%.
Sedangkan angin yang bertiup sepanjang tahun adalah angin
barat daya dengan kecepatan rata-rata 16 knot dan terendah 2,9
knot.
Berada pada Daerah Aliran Sungai Mamberamo dan
Baliem, Kabupaten Tolikara memiliki banyak lokasi mata air di
mana arah aliran sungainya mengalir ke bagian utara maupun
ke selatan. Beberapa sungai yang terdapat di wilayah itu adalah
Sungai Toli, Konda, Sungai Bogo, Sungai Wunin, Sungai Kembu,
Sungai Pun, Sungai Kurip, Kega, Anggok, dan Sungai Mamberamo.
Air dari sungai tersebut, oleh masyarakat sekitar dijadikan sebagai
sumber air baku untuk pertanian dan untuk air bersih.
1 Mempunyai arti cinta kepada tanah kelahiran. Kecintaan yang mendalam sebagaimana dimaksud Nawi Arigi diharapkan dapat membuat orang yang lahir dan tinggal di Tolikara akan berbuat yang terbaik untuk Tolikara.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 15
Gambar 2.2.Peta Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua
Alam di Kabupaten Tolikara sebagian besar didominasi
oleh hutan. Luas hutan sebesar 1.200.500 Ha merupakan 82,43%
luas wilayah Kabupaten Tolikara. Sementara ini, pemanfaatan
hutan yang ada antara lain sebagai hutan lindung, hutan produksi
konversi, hutan produksi biasa, hutan cagar alam, dan Taman
Nasional Lorenz. Sisanya dipergunakan masyarakat sebagai areal
pemukiman, ladang, pertanian, dan banyak lahan yang berupa
padang rumput.
Memperhatikan ketersediaan lahan, Kabupaten Tolikara
mempunyai lahan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai
lahan pertanian. Beberapa lahan di sekitar pemukiman penduduk
sudah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian tanaman pangan.
Tanaman padi ladang, jagung, ubi jalar, ketela pohon, kacang
tanah, kacang kedelai, dan jenis tanaman holtikultura seperti
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara16
sayur-sayuran serta palawija dapat kita temui di setiap distrik.
Selain untuk dikonsumsi, tanaman hasil pertanian juga dijual di
pasar dan pusat keramaian.
2.2. Penduduk Tolikara
Secara administrasi Kabupaten Tolikara berbatasan lang-
sung dengan Kabupaten Membramo Raya di sebelah Utara,
Kabupaten Jayawijaya dan Lani Jaya di Selatan, Kabupaten Puncak
Jaya disebelah Barat dan di sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Mamberamo Tengah. Luas wilayah Kabupaten Tolikara
kurang lebih 1.456.400 Ha atau 14.263 Km2. Dibandingkan tahun
2008, di mana luas Kabupaten Tolikara menurut Perda hanya
5.234 km², luas wilayah ini mengalami pertambahan yang luar
biasa.
Gambar 2.3. Pusat Kota Tolikara
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sebagai kabupaten baru, Tolikara terus berkembang
dengan melakukan pemekaran wilayah administrasinya. Perkem-
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 17
bangan pesat terjadi pada keberadaan distrik. Pada tahun 2009
Kabupaten Tolikara terdiri dari 30 distrik definitif dan 5 distrik
persiapan yang terbagi ke dalam 507 kampung/kelurahan. Tahun
2010 terjadi pemekaran distrik dan kampung menjadi 46 distrik
dan 541 kampung dan 4 kelurahan.
Tabel 2.1. Luas Wilayah, Jumlah Desa, Jumlah Penduduk, Menurut Distrik Kabupaten Tolikara Tahun 2013
No. KecamatanLuas wilayah
(km2)
Jumlah
Desa/ kelurahan Penduduk
1. Karubaga 321 23 16.536
2. Bokondini 445 13 6.005
3. Kanggime 308 9 9.121
4. Kembu 583 11 8.489
5. Goyage 431 19 9.181
6. Wunin 397 9 7.133
7. Woniki 368 12 4.748
8. Bokoneri 423 17 5.667
9. Bewani 342 14 4.850
10. Kondaga 215 11 6.079
11. Nabunage 281 11 5.027
12. Dow 425 11 4.561
13. Egiam 443 11 3.878
14. Tayeve 418 18 5.401
15. Poganeri 204 17 7.813
16. Yuneri 247 11 9.953
17. Wakuo 221 15 5.040
18. Tagineri 213 7 2.996
19. Tagime 202 6 8.206
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara18
20. Kamboneri 297 9 3.798
21. Telenggeme 189 9 5.216
22. Lianogoma 222 9 5.326
23. Biuk 185 11 6.774
24. Wenam 211 9 5.270
25. Aweku 224 7 3.385
26. Anawi 169 10 3.892
27. Wugi 187 9 5.228
28. Gika 178 8 4.075
29. Kai 221 6 5.933
30. Bogonuk 210 10 6.246
31. Nelawi 223 13 8.264
32. Kubu 216 13 4.328
33. Numba 342 15 6.694
34. Air Garam 383 8 5.444
35. Geya 233 13 5.764
36. Kuari 240 17 8.067
37. Timori 454 14 4.774
38. Panaga 375 8 4.497
39. Dundu 452 10 5.415
40. Wina 462 13 5.929
41. Umagi 435 12 7.744
42. Gundagi 403 17 6.772
43. Gilubandu 439 10 5.709
44. Nunggawi 467 26 14.453
45. Danime 202 11 7.212
46. Juko 157 11 5.116
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 19
Berdasarkan data BPS (2014) tersebut, jumlah penduduk
Kabupaten Tolikara sampai dengan akhir tahun 2013 adalah
292.009 jiwa yang terkumpul dalam 59.855 rumah tangga. Dari
angka tersebut dapat kita ketahui bahwa rata-rata penduduk
per rumah tangga adalah 5 jiwa. Dilihat menurut distrik, sebaran
penduduk Kabupaten Tolikara masih belum merata. Jumlah
penduduk terbanyak berada pada distrik Karubaga dengan
jumlah penduduk 16.536 jiwa dan distrik Nunggawi 14.453 jiwa.
Sedangkan distrik dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah
Distrik Tagineri, yaitu 2.996 jiwa.
Komposisi penduduk menurut umur yang tercermin
dalam piramida penduduk Tolikara (BPS, 2014) menunjukkan
pola dengan alas besar kemudian berangsur mengecil hingga
ke puncak piramida. Pola ini mengindikasikan bahwa tingkat
kelahiran dan kematian di Kabupaten Tolikara relatif masih tinggi.
Dikatakan bahwa mulai kelompok umur 45 tahun keatas bentuk
piramidanya kecil. Artinya, tingkat kematian penduduk usia lanjut
cukup tinggi yang menandakan bahwa angka harapan hidup di
Kabupaten Tolikara masih rendah.
Memperhatikan sex ratio atau perbandingan penduduk
laki-laki dan perempuan, rasio jenis kelamin dari penduduk
di Kabupaten Tolikara menunjukkan angka di atas 100 yaitu
124. Angka ini menunjukkan jumlah penduduk laki-laki 24 jiwa
lebih banyak dibandingkan penduduk wanitanya. Dengan kata
lain, untuk setiap 100 wanita terdapat 124 laki-laki. Komposisi
penduduk menurut jenis kelamin dapat digunakan untuk
melihat keseimbangan penduduk laki-laki dan perempuan.
Ketidakseimbangan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara20
dapat mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi rumah tangga
serta keberlangsungan reproduksi.
Mengenai kepadatan penduduk, data BPS menunjukkan
bahwa kepadatan penduduk pada tahun 2013 adalah 20 jiwa/
km2.. Kepadatan penduduk bervariasi, mulai yang tertinggi di
Distrik Karubaga dengan 53 jiwa/km2. sampai yang terendah
di Distrik Egiam dengan 9 jiwa/km2.. Mengenai pertumbuhan
penduduk, Pemerintah setempat mensinyalir bahwa kondisi
tersebut bukan disebabkan faktor fertilitas, namun lebih banyak
disebabkan terjadinya migrasi penduduk baik dari kabupaten lain
di provinsi Papua maupun dari daerah lain di Indonesia.
Untuk mobilitas antarwilayah, jalan kaki, ojek, dan mobil
adalah sarana yang umum digunakan masyarakat di Tolikara.
Transportasi darat seharusnya merupakan transportasi yang
murah dengan daya angkut yang lebih besar. Masalahnya,
sarana transportasi dari distrik menuju ke ibukota kabupaten
yang mempunyai jarak tempuh antara 11 km dari Distrik Wugi
dan 276 km dari Distrik Dow, belum tersedia dengan baik.
Jaringan jalan yang ada masih berupa jalan tanah dan jalan tanah
yang diperkeras. Kondisi ini membuat hubungan Distrik dengan
Kota Kabupaten Tolikara tidak terjalin dengan baik. Saat ini,
Pemerintah Kabupaten Tolikara sedang berupaya sekuat tenaga
untuk membuka beberapa ruas jalan utama yang diharapkan
dapat menghubungkan distrik dan pusat pemukiman penduduk
dengan pusat pemerintah dan pusat pemasaran. Kesulitan
melakukan akses di wilayah Tolikara seringkali diperburuk dengan
tradisi palang2.
2 Dengan alasan tertentu, sekelompok orang menutup jalan dengan balok kayu yang mengakibatkan orang lain tidak dapat melintas.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 21
Sehubungan dengan kondisi topografi yang berupa pegu-
nungan dan medan yang sulit serta keterbatasan sarana trans-
portasi darat, jalur udara merupakan alternatif sarana yang
tersedia. Untuk beberapa distrik, transportasi udara merupakan
tulang punggung aksesibilitas wilayah. Kegiatan angkutan udara
ini di lakukan oleh perusahaan penerbangan milik misionaris
MAF/AMA. Lapangan terbang yang ada di Kabupaten Tolikara
hampir dimiliki oleh seluruh distrik. Berdasarkan statusnya, ada
dua buah lapangan terbang perintis yang berlokasi di Distrik
Karubaga dan Bokondini.
Gambar 2.4. Transportasi Udara Penghubung Tolikara
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Biaya untuk terbang dari dan ke Tolikara tidak mahal.
Peme rintah Kabupaten memberikan subsidi biaya terhadap biaya
pener bangan. Upaya tersebut sangat membantu masyarakat,
dibandingkan memakai transportasi darat yang cukup mahal
dan memakan waktu lama. Untuk menuju Tolikara dari Wamena
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara22
melalui darat butuh waktu sekitar 4,5 jam dengan biaya 3 juta
rupiah, sedangkan apabila menggunakan transportasi udara
hanya sekitar 20 sampai 30 menit dengan biaya 300 ribu rupiah.
Tetapi semua itu sangat bergantung kepada ketersediaan
anggaran Pemerintah Kabupaten Tolikara dan DPRD yang
mengesahkan anggaran. Pada awal tahun 2014, anggaran untuk
subsidi disetujui DPRD sehingga otomatis tidak ada layanan
penerbangan untuk umum.
Jalur penerbangan yang tersedia masih dari Wamena ke
Tolikara, begitu juga sebaliknya. Dalam satu minggu ada 3 – 4 kali
penerbangan. Kalaupun ada yang ke Jayapura, biasanya adalah
pesawat untuk misi (misionaris) ataupun carteran khusus dari
para pejabat daerah. Jangan dibayangkan suasana saat akan
memasuki pesawat sama dengan kebiasaan kita pada umumnya.
Pesawat yang ada tidak memakai nomer kursi, sehingga kita bisa
dan boleh duduk di kursi mana saja, asalkan bukan kursi pilot
dan co-pilotnya. Suasana yang juga berbeda, kita akan membawa
dan meletakkan bagasi sendiri dengan dibantu co-pilot sebelum
waktu pemberangkatan. Dalam memberikan pelayanan, mereka
juga bersifat amat kekeluargaan. Tapi jangan salah, scedule
keberangkatan juga sangat fleksibel. Bisa terjadi kita sudah pesan
tiket sebelumnya, tapi kemudian akan ada pemberitahuan kalo
besok jadwalnya di canceled.
2.3. Tradisi Masyarakat
Papua dalam studi antropologi dikenal sebagai wilayah yang
terdiri dari beraneka suku bangsa dengan ragam kebudayaannya.
Suku-suku di Papua menjadi komunitas yang unik sebab bentuk
tubuh mereka berbeda dengan suku bangsa lain yang ada di
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 23
Indonesia. Orang Papua secara ragawi memiliki struktur fisik yang
kekar, berkulit gelap, dan rambut keriting.
Keberagaman penduduk relatif masih terbatas. Tanah
Tolikara masih didominasi suku asli setempat yang dikenal
dengan nama Lani. Lani adalah salah satu etnis dengan struktur
fisik orang Papua yang banyak ditemukan di wilayah pegunungan
Jayawijaya seperti Mamberamo, Paniai, Lani Jaya, Jayawijaya, dan
Puncak Jaya. Selain suku Lani, suku asli Papua yang mendiami
Kabupaten Tolikara adalah suku Kwiyon, Kwabaki, dan suku Gem
di bagian Utara.
Keberadaan suku lain di luar suku asli Papua banyak
ditemui di Kota Karubaga, ibukota Kabupaten Tolikara. Orang
Toraja, Palopo, dan Jawa merupakan pendatang di tanah Tolikara.
Orang Toraja pada umumnya bekerja sebagai aparat pemerintah,
Palopo sebagai sopir atau tukang ojek, dan orang Jawa sebagai
penjual makanan.
Masyarakat Suku Lani yang ada di Tolikara sangat terbuka
pada pendatang. Kepada orang baru, mereka akan menyapa
dengan senyum dan ucapan selamat pagi kuben ai wa, siang
atupun sore. Salam tersebut juga diberikan ketika bertemu
dengan teman atau kerabat. Kata lain yang sering kita dengar
dalam pembicaraan mereka adalah ucapan wa… wa… wa… yang
artinya dia mengucapkan terima kasih.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara24
Gambar 2.5. Pedagang dan barang dagangan
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Bagi masyarakat suku Lani, Karubaga merupakan pusat
perdagangan. Mereka biasa berdagang sayur mayur, ubi, dan
juga buah-buahan yang sedang musim di sekitar mereka. Mereka
datang dari kampung-kampung dan distrik tetangga. Ada yang
menempuhnya dengan berjalan kaki dan ada yang menggunakan
jasa ojek atau angkutan umum. Ongkos untuk mencapai kota
dari tempat asal bisa sampai 500 ribu rupiah sekali jalan. Hanya
untuk menjual hasil kebun berupa beberapa ikat daun ubi jalar,
daun labu siam dan sedikit buah buahan yang kebetulan sedang
panen di kebun, mereka harus mengeluarkan uang yang tidak
sedikit. Sangat tidak sebanding dengan biaya transport yang
harus dikeluarkan. Itulah yang menarik dari masyarakat Suku Lani
di Tolikara. Dengan datang ke pusat kota, mereka juga mencari
barang kebutuhan sehari-hari yang diperlukan.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 25
Kaum lelaki pada suku Lani lebih banyak terlihat tidak me-
la kukan pekerjaan dibandingkan perempuan. Pemandangan yang
tampak di jalanan, laki-laki hanya merokok atau mengunyah
sirih dan tidak membawa beban apa pun. Mereka berjalan ke
sana kemari mengitari kota seakan-akan tanpa tujuan. Berbeda
dengan para perempuan yang senantiasa membawa noken berisi
anak, sayur, dan buah sebagai dagangan atau bahan kebutuhan
rumah tangga lainnya. Berat noken itu bisa mencapai 10 sampai
20 kg, beban yang tidak ringan. Banyak tanggung jawab yang
harus dilakukanperempuan khususnya terkait dengan kegiatan
domestik, seperti berkebun, menjual hasil kebun, menyiapkan
masakan bagi anak dan suami, serta membersihkan rumah
tempat mereka tinggal.
Masih banyak di antara mereka yang masih tinggal di
honai, sebutan untuk rumah asli suku di Papua. Honai yang
ditempati ada 2 jenis. Honai untuk kaum perempuan biasa ada
di sebelah kiri dari honai untuk kaum lelaki. Anak anak di bawah
umur biasanya ikut tidur dan bermain di honai perempuan. Di
honai ini biasanya para perempuan akan menyiapkan hidangan
bagi keluarganya. Di belakang honai perempuan, biasanya ada
kandang babi. Saat malam hari, tidak jarang para babi akan ikut
tidur di honai perempuan.
Babi, menurut orang Lani, adalah binatang paling berharga.
Ada nilai sosial dan nilai ekonomi yang melekat pada babi. Oleh
sebab itu, mereka punya tanggung jawab menjaga keberadaan
babi dengan segenap kemampuannya. Bukan hal aneh bila
mereka rela berbagi tempat dengan binatang yang dipeliharanya
tersebut. Babi dipergunakan sebagai mas kawin di perkawinan
adat mereka. Jumlah babi yang dimiliki menentukan status social
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara26
pemiliknya. Bila lelaki memiliki babi banyak, ia berpeluang untuk
kawin dengan beberapa perempuan yang diinginkan. Tradisi
orang Lani membolehkan seorang laki-laki mengawini lebih dari
satu perempuan.
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa tanah Papua
memiliki banyak cerita unik di balik eksotisme alamnya, yaitu
perilaku masyarakat yang kemudian terangkum dalam bingkai
tradisi masyarakat. Demikian juga dengan masyarakat Tolikara
yang dikenal dengan aneka budaya yang khas seperti Bakar
Batu, inegibagi, potong babi dan lempar panah selain tradisi
masyarakat Papua pada umumnya, seperti denda adat dan
kebiasaan makan pinang.
Makan pinang merupakan kebiasaan yang sulit untuk
ditinggalkan. Setiap saat dan di setiap tempat, kita dapat men-
jumpai orang makan pinang. Besarnya kebutuhan terhadap
buah pinang menjadi peluang usaha. Ini yang menyebabkan
banyak orang berjualan buah pinang. Kebiasaan makan pinang
ini menjadi persoalan ketika mereka yang mengkonsumsi tidak
berperilaku higienis dengan meludah di sembarang tempat.
Di setiap perkantoran dan fasilitas umum lainnya senantiasa
ditemukan papan larangan agar mereka tidak makan pinang
ketika berada di area tersebut. Bukan makan pinangnya yang
dilarang, melainkan kebiasaan membuang ludah yang berwarna
kemerahan ketika makan buah pinang, dapat mengotori tempat
dan tidak enak untuk dilihat.
Kebiasaan lain yang seringkali menimbulkan persoalan
sosial adalah apa yang dikenal dengan “denda adat”. Ucapan
“kena denda adat” mungkin merupakan hal yang biasa bagi
masyarakat lokal, tetapi tidak bagi masyarakat pendatang.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 27
Pemerintah setempat tidak bisa berbuat banyak ketika diha-
dapkan pada masalah denda adat ini.
Sebenarnya apa itu denda berdasarkan pemahaman
masyarakat di Tolikara? Secara harfiah denda adalah hukuman
atau uang yang harus dibayar sebagai ganti atas kerugian atau
pelanggaran terhadap hak seseorang. Di lingkungan masyarakat
lokal di Kabupaten Tolikara, denda adat merupakan hal yang
menakutkan sebab penentuan dendanya dilakukan secara mana
suka dan tanpa dasar. Siapa pun yang dirasa merugikan penduduk
asli dapat dimintai denda.
Denda juga menjadi hal yang menakutkan bagi petugas
kesehatan di Kabupaten Tolikara. Tindakan medis yang seharus-
nya dilakukan dengan cepat bisa tertunda karena takut dengan
denda tersebut. Diceritakan pengalaman seorang bidan saat
memberikan pelayanan kepada salah seorang pasien dari pen-
duduk asli Tolikara. Tindakan medis yang dilakukan adalah
pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium.
Merasa tindakan tersebut harus segera dilakukan, darah pun
diambil untuk keperlun pemeriksaan. Namun sang pasien tidak
terima darahnya diambil. Ia pun meluapkan kemarahannya
dengan meminta kerugian berupa sejumlah uang karena darah-
nya telah diambil. Untungnya, setelah beberapa petugas men-
jelaskan dengan baik maka ia pun mau mengerti.
Pemberlakuan denda sering kali terjadi. Semua tindakan
bisa menjadi objek denda selama hal tersebut dirasa merugikan.
Permintaan terhadap sejumlah uang adalah solusinya, seperti
yang diceritakan seorang pengemudi taxi yang berasal dari tanah
Sulawesi berikut.“...dulu ada rombongan mau naik ke Kuari, itu orang sini (warga asli Tolikara), pada saat naik, dekat tanjakan itu mobilnya
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara28
terperosok. Ada seorang yang tangannya lecet dikit. Lukanya berdarah tapi dikit saja. Itu minta denda 30 juta. Kalau tidak mobil dibakar. Terpaksa dibayar, daripada mobilnya dibakar...” (D, Karubaga).
Sehubungan dengan pelayanan kesehatan, pada kasus
pemeriksaan kehamilan, bidan tidak mau ambil risiko dengan
memaksa melakukan pemeriksaan darah ibu hamil. Harus
ada persetujuan pihak yang bersangkutan atau suaminya agar
tidak terjadi permasalahan. “... kami tidak berani, takut denda
itu...” (Bidan P, Karubaga). Semua tindakan medis harus atas
persetujuan pasien dengan penjelasan secara jelas, bagaimana
tindakan itu dilakukan. Peneliti juga sempat menyaksikan,
bagaimana seorang bidan hanya menawarkan untuk melakukan
tes darah. Namun ibu hamil yang akan diperiksa tidak mau karena
tidak ada paitua-nya. Kebiasaan masyarakat ini akan menjadi
permasalahan serius ketika perlu tindakan medis yang cepat.
Tradisi spesifik yang masih dilakukan masyarakat setempat
adalah inegibagi, kebiasaan bagi perempuan untuk memotong
jari tangan sebagai tanda berduka karena anggota keluarganya
meninggal dunia. Ajaran Kristen, yang dikenalkan oleh Dave
Marten asal Kanada melarang tradisi inegibagi dilakukan.
Pencerahan yang dilakukan pihak Gereja membuat masyarakat
Tolikara secara perlahan-lahan mulai meninggalkan kebiasaan
yang dianggap tidak baik ini. Tetapi masyarakat Suku Lani
yang tinggal jauh di pedalaman, masih ada yang melakukan
kebiasaan ini. Kebiasaan lain terkait kematian adalah mencoreng
mukanya dengan arang hitam. Anggota keluarga yang ditinggal
akan mencoreng muka menggunakan arang dan tidak akan
membasuhnya sebelum keluarga mengadakan acara kumpul
bersama dengan bakar batu.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 29
Bakar batu merupakan cara memasak makanan yang telah
dipersiapkan dengan menggunakan batu yang dibakar sebagai
media memasaknya. Sebelumnya dipersiapkan lubang atau lebih
dikenal dengan istilah kolam, untuk tempat bahan makanan yang
akan dibakar. Ada ubi, sayuran, babi, dan kadang juga ikan atau
ayam. Babi adalah hidangan yang wajib disajikan di setiap acara
Bakar Batu. Setelah kolam disiapkan, dimasukkan terlebih dahulu
batu yang telah dipanaskan dengan api. Kemudian ubi-ubian,
sayuran, dan terakhir babi, ikan, atau ayam. Bahan makanan
tadi kemudian ditutup dengan batu yang dibakar. Jadi, bahan
makanan akan matang dengan sistem panas dari batu tersebut.
(Seperti memakai oven dengan panas dari api atas dan bawah.)
Setiap melakukan bakar batu, mereka akan membuat beberapa
kolam sesuai perkiraan orang yang akan hadir. Bagi mereka yang
tidak mengkonsumsi babi, disediakan suguhan ayam atau ikan
yang dimasak pada kolam tersendiri.
Tradisi khas lain masyarakat Lani di Tolikara adalah lempar
panah. Budaya Lempar panah masih menjadi cara penuh “mistis”
yang dilakukan oleh penduduk asli untuk mencari “pelaku dosa”
atau orang yang melakukan kesalahan. Diceritakan oleh seorang
informan yang pernah mengalami kejadian dengan lempar panah
tersebut.
Suatu ketika ada seorang ibu hamil akan melahirkan di
Puskesmas. Kondisi ibu tersebut diketahui terdapat penyulit
persalinan. Proses persalinan pun dilakukan, namun naas bagi
sang ibu, ia tidak sempat melihat bayinya lahir. Ibu tersebut
meninggal di tengah upayanya melahirkan bayinya. Kabar duka
pun langsung terdengar oleh keluarganya. Selang beberapa
waktu, Puskesmas kedatangan segerombolan orang dengan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara30
membawa panah dan diiringi teriakan khas orang Papua yang
akan berperang.
Keadaan semakin gaduh, sementara informan kami berada
di dalam Puskesmas. Suasana mencekam menyelimuti Puskesmas
pada saat itu. “... takut sekali waktu itu ... saya hanya pasrah pada
tuhan … tapi saya yakin, kalau kita berbuat baik pada sesama,
kita pasti dijaga oleh Tuhan ...” tuturnya menggambarkan betapa
menakutkan suasana pada saat itu.
Di tengah-tengah histeria teriakan, sekelompok orang
tersebut mulai menarik busur panah dan memanahkan ke atas.
Mereka punya keyakinan bahwa anak panah yang dilesatkan
ke langit akan jatuh mengenai seseorang yang diyakini sebagai
pelaku dosa. Tetapi bila tidak ada yang terkena anak panah, itu
berarti tidak ada yang bersalah sebagai pendosa. Puluhan anak
panah dilesatkan, namun beruntung tidak ada yang mengenai
informan kami dan petugas kesehatan lain yang berada di
Puskesmas. Kemudian suara gaduh pun berangsur-angsur sepi.
Rupanya mereka pindah ke tempat lain untuk melakukan hal
serupa. Cara ini dianggap ampuh untuk menemukan seseorang
yang bersalah. Panah yang dilesatkan ke atas akan mengenai
seseorang apabila ia melakukan kesalahan yang dituduhkan.
Satu tradisi lagi yang mempunyai keterkaitan dengan
kesehatan adalah tradisi potong babi. Berdasarkan keterangan
dari beberapa narasumber diketahui bahwa potong babi
merupakan kegiatan bagi masyarakat untuk mengetahui penyakit
apa yang diderita oleh seseorang. Caranya adalah dengan
melihat bagaimana keadaan organ dalam babi yang di potong.
Bila pada saat dibelah, ada organ dalam babi yang terluka atau
memerah, maka seseorang yang akan dilihat kondisinya dianggap
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 31
memiliki kondisi yang sama dengan babi tersebut. Orang tersebut
dianggap mempunyai organ dalam yang juga sakit.
Kepercayaan masyarakat terhadap fungsi potong babi
masih banyak ditemui oleh petugas kesehatan. Beberapa orang
pernah datang dengan panik untuk memeriksakan kesehatannya
karena ia telah melakukan ritual potong babi. “... dokter ...
dokter ... hati saya sakit ... tadi waktu saya potong babi, hatinya
luka ... tolong saya dokter... tolong saya....” Begitulah D, seorang
informan kami yang menirukan bagaimana seorang pasien datang
untuk berobat. Masyarakat Tolikara mengistilahkan kegiatan
tersebut sebagai “Potong Babi”.
2.4. Dinamika Pembangunan
Untuk melihat keberhasilan pembangunan, Pemerintah
Kabupaten Tolikara mengacu pada Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Secara konseptual, IPM merupakan indeks komposit yang
disusun dari indikator lama hidup, pendidikan, dan standart
hidup. Penilaian keberhasilan pembangunan ini pada awalnya
dikembangkan oleh UNDP untuk mengukur laporan tahunan
perkembangan pembangunan.
Perkembangan pembangunan manusia di Kabupaten
Tolikara sebagaimana dikemukakan dalam IPM Tolikara (BPS,
2014) selama periode 2004 – 2013 mengalami trend yang positif.
Secara kuantitatif, capaian IPM mengalami kenaikan sebesar
5,86 point, dari 47,2 pada tahun 2004 menjadi 53,6 pada tahun
2013. Mengacu kepada konsep yang dikembangkan UNDP,
posisi pembangunan Kabupaten Tolikara berada pada kategori
“menengah bawah” yang mempunyai rentang nilai capaian IPM
50,0 – 65,9.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara32
Bagaimana gambaran kondisi pembangunan masyarakat di
Tolikara, salah satunya dapat dilihat dari aspek pendidikan. Data
BPS tentang pendidikan memperlihatkan bahwa keberadaan
fasilitas pendidikan masih terbatas. Ketika membandingkan
fasilitas pendidikan dengan jumlah distrik, tampak bahwa tidak
semua distrik memiliki sarana pendidikan, khususnya SLTP dan
SMU/SMK. Keberadaan fasilitas pendidikan di Kabupaten Tolikara
saat ini dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2. Fasilitas Pendidikan di Kabupaten TolikaraTahun 2013
No. Fasilitas Pendidikan Jumlah
1. TK 6
2. SD 68
3. SLTP 17
4. SMU 5
5. SMK 1
Total 97
Sumber : BPS, 2014
Keberadaan fasilitas pendidikan ini tentunya akan ber-
pengaruh pada kemampuan baca tulis masyarakat di Kabupaten
Tolikara. Cukup memprihatinkan, mengingat angka melek huruf
masyarakat di Tolikara masih rendah.
Tabel 2.3. Angka Melek Huruf Kabupaten Tolikara tahun 2005 – 2013
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
AMH 32,00 32,00 32,86 32,86 32,87 33,20 33,44 33,45 33,56
Sumber : papua.bps.go.id
Banyak ditemui anak-anak usia wajib belajar yang tidak
mengecap pendidikan sebagaimana mestinya. Keterbatasan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 33
tenaga pengajar adalah hal yang pasti. Selain itu, sekolah
seringkali tutup atau libur dengan alasan yang tidak jelas. Bila
seorang guru sedang berduka, biasanya sampai 3 hari, para
murid akan libur. Sebetulnya ada yang mau menjadi tenaga
honorer pengajar, tetapi Pemerintah Kabupaten tidak mampu
penyediakan sarana dan fasilitasnya. Peminatnya kebanyakan
berasal dari luar Tolikara dan membutuhkan rumah tinggal
selama bertugas.
Tampaknya masyarakat belum merasa perlu menyekolahkan
anaknya di lembaga pendidikan yang tersedia. Hanya sebagian
kecil saja yang berwawasan untuk mementingkan pendidikan
bagi generasi penerusnya. Biasanya ini hanya untuk kalangan
pegawai atau para pengurus gereja.
Mereka yang sadar terhadap arti penting pendidikan akan
menyekolahkan anaknya di Wamena atau Jayapura. Penting untuk
menyekolahkan anaknya di luar Tolikara, sebab menurut mereka
kualitas pendidikan di Tolikara kurang baik. Menurut pengamatan,
anak-anak yang sudah sekolah di Toli tidak mempunyai kualitas
membaca dan menulis yang bagus. Paling tidak, itu pendapat
MW Ibu Distrik. “... di sini, kalo anak sekolah bukan malah pandai atau pintar, mereka tetap saja bodoh, tidak bisa membaca dan menulis … waktu ada ujian, orang tua mereka akan mengancam guru-guru, supaya anaknya dinaikkan kelas atau diluluskan … ancamannya bisa macam macam, rumah guru dibakar kah, atau juga guru bisa diusir dari sini. Nah artinya, kalo seperti ini, gimana caranya mereka akan pandai membaca, menulis, dan berhitung ... kan tetap saja jadi orang bodoh ....”
Keterbatasan sarana pendidikan berakibat masyarakat
setempat jarang yang fasih dan mengerti bahasa Indonesia.
Penguasaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara34
sekolah juga terbatas. Dalam komunikasi sehari-hari, mereka
menggunakan bahasa Lani. Hanya anak-anak sekolah tingkat
lanjutan yang mulai paham berbahasa Indonesia. Keterbatasan
dalam berbahasa Indonesia sebagai media komunikasi dalam
pendidikan menyulitkan untuk berharap mutu pendidikan bisa
bagus, untuk bisa membaca dan berhitung dengan baik. Seperti
peribahasa, bagai menegakkan benang basah. Suatu pekerjaan
yang sepertinya mustahil bisa dilakukan. Akan tetapi selama
masih ada semangat dari anak anak bangsa dan juga guru sebagai
ujung tombak pendidikan, semuanya bisa dicapai. Asal ada
kemauan, di situ pasti ada jalan.
Di bidang ekonomi, pemerintah berusaha keras melakukan
pembangunan perekonomian masyarakat Tolikara. Penghitungan
oleh BPS (2014) dengan jumlah penduduk pada tahun 2013
sebanyak 124.326 jiwa, PDRB per kapita Kabupaten Tolikara
adalah 5,15 juta rupiah. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada
tahun 2013, setiap kepala yang ada di Kabupaten Tolikara dalam
satu tahun hanya mampu menghasilkan nilai tambah bruto
sebesar 5,15 juta rupiah atau sekitar 429 ribu rupiah per bulan.
Dengan penghasilan sebesar itu, PDRB per kapita penduduk
Kabupaten Tolikara masih sangat kecil. Dibandingkan angka
nasional yaitu sekitar 600 ribu perbulan, menunjukkan bahwa
kemampuan penduduk Tolikara untuk memenuhi kehidupan yang
layak masih jauh dari target seharusnya.
Perekonomian di Kabupaten Tolikara masih di dominasi
oleh sektor pertanian. Walaupun demikian, kekuatan sektor
pertanian ini belum mampu mengangkat kesejahteraan
masyarakatnya. Hal ini terjadi karena produktivitas pertanian
masih rendah dan masih digunakan untuk memenuhi kebutuhan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 35
sendiri. Pola pertanian yang banyak digunakan oleh penduduk
masih bersifat tradisional dan terbatas seperti yang dilakukan
pendahulunya, dengan mengandalkan tanaman yang biasa ada
di sekitar mereka saja. Yang ditanam selama ini hanya sayur
sayuran, yaitu kacang panjang, labu siam, wortel, kangkung,
kobis, dan yang menjadi andalan adalah buah merah. Belum
terlihat ada budi daya pertanian untuk lebih menganekaragamkan
jenis tanaman. Bahkan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat
akan sayuran, biasanya didatangkan dari Wamena atau daerah
lain di sekitarnya.
Sebagai daerah yang relatif baru, peran sektor swasta
masih dalam tahap perkembangan awal. Sektor perdagangan,
transportasi, dan pengangkutan mulai memberikan kontribusi
dan menyaingi peran pertanian. Dalam hal ini, peran pendatang
lumayan berarti.
Orang yang berasal dari Paloppo, Enrekang, Mamuju, dan
Majene biasa berusaha di bidang transportasi. Pendatang dari
Makassar, Bau-bau, dan Kendari, banyak yang membuka toko
sembako atau warung makanan. Para pendatang inilah yang
membuat suasana kota Karubaga sebagai sentra keramaian di
Tolikara. Kondisi ini seringkali dimanfaatkan suku asli di Tolikara
untuk meminta upeti dan memuaskan keinginan mereka. Seperti
dikatakan ibu M, sebagai pendatang dari Makassar.“... hampir tiap minggu ada saja yang akan diminta orang orang itu (suku asli, maksudnya), bahkan ada juga yang tiap hari kalau sedang jualan makanan .. .yaaa, mau gimana lagi? Kalau mereka bilang, sa pu tanah… (maksudnya tanah asli kepunyaan nenek moyang suku Lani, karena mereka kan hanya pendatang) … yaaa biar saja, asal tidak sampai marah-marah dan mengusir....”
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara36
Tokoh masyarakat setempat sudah tahu dengan keadaan
tersebut. Mereka juga sudah berusaha memberikan pengarahan
kepada penduduk asli untuk tidak bersikap merugikan.
Sehubungan dengan itu, berikut komentar Ibu Distrik Karubaga.
“... mereka yang seperti ini, biasanya karena tidak punya pekerjaan tetap, dan pendidikan yang sangat kurang. Coba kalo mereka mengerti bahwa para pendatang itu bukanlah perampok tanah mereka, tetapi karena orang sini sendiri yang belum mau dan mengerti pentingnya pendidikan ….”
Kondisi ekonomi
ini dipengaruhi oleh
kondisi politik yang
sedang ‘up and
down’ di Tolikara.
Ketika tim peneliti
berada di Karubaga,
keadaan dan suhu
politik memanas di
Karubaga. Puncak dari
memanasnya suhu
politik lokal tersebut
diwujudkan dengan
cara melakukan
pemalangan. Untuk beberapa saat tertutuplah jalan poros yang
menghubungkan kota Wamena dengan Kabupaten Tolikara dan
Puncak Jaya.
Ketidakkondusifan kondisi politik ini sudah berlangsung
sekitar 2 tahunan sejak Pilkada 2014. Seharusnya anggota Dewan
telah dilantik dan bekerja sebagaimana mestinya, tetapi dengan
kondisi seperti ini, Bupati tidak bisa berbuat banyak. Sementara
Ada calon anggota DPRD yang merasa dicurangi terkait hasil pemilu yang diumumkan KPU sehingga tidak bisa menjadi anggota Dewan. Keadaan tersebut berdampak tidak dilantiknya para anggota dewan hasil pemilu 2012. Protes dan tuntutan calon anggota DPRD diwujudkan dengan menggerakkan massa untuk melakukan pemalangan satu-satunya jalan yang menghubungkan Wamena dan Tolikara. Akibatnya semua pasokan kebutuhan hidup untuk masyarakat Tolikara menjadi terhenti.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 37
ini yang dilakukan adalah mengajak aparat untuk duduk bersama
mengatasi keadaan secara darurat. Dan itu terjadi berulang-ulang.
Bupati dan segenap aparatnya harusnya bertindak agar keadaan
ini tidak berkelanjutan. Semua kembali kepada pemimpin wilayah
yaitu Bupati.
Dalam pelaksanaan pembangunan, masih terdapat per-
bedaan antara daerah perkotaan dengan daerahyang jauh dari
perkotaan. Walaupun demikian, secara umum aspirasi penduduk
terhadap pembangunan cukup positif. Mereka masih bisa
menerima pembangunan yang diperuntukkan bagi kemajuan
daerahnya. Pembangunan yang hasilnya langsung terlihat lebih
disukai daripada program yang berjangka panjang. Apalagi bila
upaya pembangunan dilakukan dengan pendekatan langsung
pada individu. Cara itu lebih disukai dibandingkan dengan pola
hubungan antara pemerintah dan rakyat yang menyimbulkan
hubungan patron dan client. Program-program seperti pertanian,
pelayanan kesehatan dan pendidikan pada umumnya lebih dapat
diterima penduduk.
Tidak mudah melakukan pembangunan di Tolikara. Adat
dan tradisi masyarakat seringkali menjadi penghalang. Misalnya,
kasus pembangunan Puskesmas di Karubaga yang terkendala
dengan pembebasan lahan. Menurut adat, masyarakat Suku Lani
tidak boleh menjual tanah warisan leluhur kepada orang lain.
Menjual tanah leluhur merupakan tabu bagi mereka. Tindakan
yang diperbolehkan adalah menyewakan tanah, termasuk untuk
kepentingan pembangunan Puskesmas. Pemerintah harus
menyewa lahan untuk mendirikan Puskesmas, itupun dengan
syarat tertentu seperti yang dikemukakan oleh pak C, seorang
pegawai negeri yang berasal dari Toraja.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara38
“... untuk pembangunan Puskesmas ini, Pemerintah tidak bisa berbuat banyak dengan syarat yang dibuat pemilik lahan ... yang diminta adalah, ada bagian dari keluarga mereka yang masuk sebagai pegawai bila pembangunan selesai ... padahal kita semua tahu pendidikan mereka sangat tidak memadai ... belum lagi syarat yang lain, seperti meminta dibuatkan rumah untuk ditempati sebagai ganti bangunan yang akan dipakai untuk sarana umum. Semua ini bisa dikata sangat memberatkan bagi Pemda. Itulah sebabnya, di Tolikara pembangunan berjalan lambat. “
Di lingkungan pemerintahan Kabupaten Tolikara kental
dengan budaya memprioritaskan putra daerah. Pada banyak
lembaga pemerintah, beberapa jabatan dipegang oleh putra
daerah. Demikian juga dengan pemberian fasilitas jabatan, putra
daerah harus mendapatkan yang pertama. Rumah dinas dan
kendaraan dinas menjadi fasilitas yang diprioritaskan kepada
pegawai putra daerah. Budaya ini seringkali juga menghambat
pembangunan baik secara fisik maupun mental di Tolikara dan
Papua pada umumnya.
39
BAB 3PROGRAM PEMBANGUNAN
KESEHATAN MASYARAKAT
Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJM)
Kabupaten Tolikara di sektor kesehatan didesain sesuai misi
Pemerintah Kabupaten yakni meningkatkan kualitas pelayanan
dan derajat kesehatan masyarakat secara merata, dengan
biaya serendah-rendahnya. Selain itu, Pemerintah Kabupaten
akan memberikan pelayanan kesehatan secara gratis kepada
masyarakat miskin. Dalam upaya mewujudkan misi yang
ditetapkan, pemerintah melalui Dinas Kesehatan berkeinginan
untuk:
membuat rakyat sehat melalui pemberdayaan masyarakat a.
sampai tingkat kampung;
membuat rakyat sehat melalui penyediaan, pemeliharaan, b.
dan peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan;
membuat rakyat sehat melalui peningkatan kualitas dan c.
profesionalisme sumberdaya tenaga kesehatan;
membuat rakyat sehat melalui sistem kebijakan dan d.
manajemen termasuk penelitian pengembangan kesehatan
dan informasi kesehatan;
membuat rakyat sehat melalui peningkatan penyelenggaraan e.
pemerintahan.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara40
Gambar 3.1.Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara
Sumber: dokumentasi peneliti
Secara lebih spesifik, beberapa sasaran yang akan dicapai
melalui kegiatan pembangunan kesehatan sampai dengan tahun
2017 adalah meningkatkan umur harapan hidup menjadi 70,6
tahun. Kedua, menurunkan angka kematian ibu melahirkan
menjadi 275/100.000 kelahiran hidup. Ketiga, menurunkan angka
kematian bayi menjadi 46/100 kelahiran hidup dan menurunkan
prevalensi gizi kurang dan buruk pada balita menjadi 15%.
Target pencapaian tersebut merupakan target 5 tahunan yang
dicanangkan sejak tahun 2013. Namun permasalahan manajemen
data membuat peneliti kesulitan menemukan data dasar sebagai
acuan dalam menentukan program. Misalnya untuk UHH, Dinas
Kesehatan sebagaimana tercantum profil Dinas Kesehatan tahun
2013 masih mengacu pada UHH penduduk papua secara umum
tahun 2005 yaitu 66,2. Data lain tidak kami dapatkan. Menjadi
sangat sulit ketika target yang diinginkan tidak didasarkan pada
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 41
data dasar atau kondisi riil kabupaten, sehingga kita tidak bisa
melihat progres capaian kegiatan yang dilakukan.
Untuk mencapai sasaran pembangunan kesehatan tersebut,
Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara telah menetapkan strategi
menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup
sehat. Pada upaya memberdayakan masyarakat, Pemerintah
Daerah saat ini sudah membuka pintu lebar-lebar kepada
masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan kesehatan.
Keterlibatan masyarakat ini bisa dilakukan sejak penyusunan
kebijakan. Perilaku hidup bersih dan sehat, upaya kesehatan
berbasis masyarakat dan desa siaga merupakan kegiatan yang
dilakukan untuk memberdayakan masyarakat.
Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kese-
hatan yang berkualitas dan terjangkau merupakan strategi kedua
yang ditetapkan Pemerintah Tolikara. Sebagaimana kondisi geo-
grafis daerah pegunungan tengah Papua pada umumnya yang
berupa perbukitan dengan kemiringan mencapai 40% dan
sarana transportasi terbatas membuat masyarakat sulit meng-
akses pelayanan kesehatan yang keberadaannya juga terbatas.
Pemerintah sudah berupaya meningkatkan jumlah dan kualitas
sumberdaya kesehatan serta mendistribusikannya sesuai kebu-
tuhan. Walaupun dengan tenaga terbatas, fasilitas kesehatan
berupa Puskesmas sudah diupayakan keberadaannya di setiap
distrik.
Strategi ketiga adalah meningkatkan sistem surveilans,
monitoring, dan informasi kesehatan. Strategi ketiga ini disadari
sepenuhnya sebagai upaya penting untuk mencapai sasaran
pembangunan yang diharapkan. Masalahnya, kondisi ini tidak
ditunjang dan didukung oleh pelaksanaan kegiatan surveilans dan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara42
monitoring yang tepat serta dukungan informasi dan data yang
memadai.
Meningkatkan pembiayaan kesehatan adalah strategi
keempat yang diharapkan mampu menjadi penggerak strategi
lainnya. Malalui advokasi kepada berbagai sumber dana, Dinas
Kesehatan berusaha menggali dan kemudian mengalokasikan
pembiayaan kesehatan sesuai program yang direncanakan.
Kembali lagi, lemahnya monitoring merupakan hambatan
keberhasilan strategi keempat ini.
3.1. Sarana dan Prasarana Pelayanan Kesehatan
Kondisi sarana dan prasarana pelayanan kesehatan di
Kabupaten Tolikara masih terbatas. Dari 46 Distrik yang ada,
hanya 25 Distrik yang mempunyai sarana pelayanan kesehatan
Puskesmas. Dari 25 buah Puskesmas yang ada, 2 di antaranya
merupakan Puskesmas Perawatan dan 23 lainnya merupakan
Puskesmas Non Perawatan. Berdasarkan ketersediaan tenaga
dokter, menurut data BPS (2014) terdapat 7 Puskesmas yang
mempunyai tenaga dokter. Tetapi informasi dari Dinas Kesehatan
mengemukakan bahwa hanya 4 Puskesmas yang mempunyai
tenaga dokter.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 43
Gambar 3.2. Puskesmas Perawatan Karubaga
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Keberadaan Rumah Sakit, sementara ini belum ada. Kalau terdapat kondisi emergensi maka akan dirujuk ke Rumah Sakit di Kabupaten Wamena. Melalui jalan darat, rute Karubaga– Wamena hanya dapat dilalui oleh kendaraan berjenis double gardan dan memerlukan waktu tempuh antara 4 sampai 5 jam. Beratnya medan yang ditempuh merupakan risiko tersendiri bagi pasien yang berada pada kondisi emergensi. Seharusnya risiko tersebut dapat dikurangi bila transportasi udara yang melayani rute penerbangan Karubaga – Wamena dapat berjalan lancar. Alternatif lainnya adalah dengan membangun Rumah Sakit lengkap dengan tenaga kesehatan yang dibutuhkan.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara44
Gambar 3.3. Mobil untuk merujuk pasien
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Saat ini Pemerintah Kabupaten Tolikara sedang berproses
mewujudkan berdirinya sebuah Rumah Sakit. Keinginan untuk
mewujudkan Rumah Sakit sudah dimulai sejak tahun awal
terbentuknya Kabupaten Tolikara. Untuk tujuan tersebut,
Puskesmas Karubaga yang terletak di Distrik Karubaga, Ibukota
Kabupaten Tolikara, mulai dibenahi dan disiapkan menjadi Rumah
Sakit.
Awal tahun 2015 diharapkan sebagai tonggak berdirinya
Rumah Sakit Daerah Tolikara. Karena sesuatu hal, harapan
tersebut belum dapat terlaksana. Salah satu di antaranya karena
status tanah tempat dibangun calon Rumah Sakit masih belum
jelas kepemilikannya. Satu keluarga masih meng”klaim” sebagai
pemilik tanah tersebut. Di sisi lain ada pendapat bahwa tanah ini
sudah dibeli oleh Pemerintah Daerah Jayawijaya sebelum terjadi
pemekaran menjadi Tolikara. Kondisi ini dibiarkan berlarut-
larut tanpa kepastian. Pemerintah Daerah pun tidak mampu
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 45
melakukan tindakan apa pun untuk menyelesaikan sengketa
kepemilikan tanah ini.
Walaupun begitu, semangat Dinas Kesehatan dan segenap
petugas kesehatan untuk segera mewujudkan berdirinya
Rumah Sakit tidak pernah pudar. Pada suatu saat di hari libur,
tampak beberapa orang sedang memindahkan barang dari
gudang ke suatu ruangan calon Rumah Sakit. Mereka adalah
para dokter Puskesmas dan staf Puskesmas yang hampir semua
merupakan orang pendatang. Sebagai tambahan tenaga angkut,
dimanfaatkan beberapa orang setempat yang diupah.
Ketika ditanya barang apakah gerangan? Seorang dokter
yang berasal dari tanah Toraja menjawab bahwa barang-barang
tersebut adalah peralatan medis dan berbagai perabotan untuk
“Rumah Sakit”. Dikemukakan lebih lanjut bahwa barang-barang
tersebut sudah ada di gudang sejak tiga tahun yang lalu. Terlihat
beberapa karton berupa obat-obatan, semua sudah kadaluarsa.
Sungguh sayang tidak dimanfaatkan. Semua barang dikirim
langsung dari Jakarta untuk keperluan berdirinya Rumah Sakit
Tolikara. Barang-barang yang dipindahkan sangat banyak sehingga
membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan pekerjaan
tersebut.
Walaupun demikian, keberadaan Rumah Sakit nantinya
bukan jaminan bisa diakses oleh masyarakat dari 46 Distrik.
Perlu dibangun juga sarana transportasi yang layak menuju kota
Kabupaten Tolikara, karena saat ini kondisinya belum terbangun
dengan baik.
Melihat Kondisi geografis yang sulit dan terbatasnya sarana
transportasi antardistrik, maka keberadaan Puskesmas idealnya
menjadi fasilitas pelayanan kesehatan yang utama. Data BPS
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara46
juga mencatat bahwa sudah dibangun juga Puskesmas Pembantu
yang tersebar di 24 distrik, terutama untuk mengisi pelayanan
kesehatan pada distrik yang belum memiliki Puskesmas.
Masalahnya, keberadaan Puskesmas di 25 distrik masih belum
dilengkapi dengan tenaga kesehatan yang memadai. Kalau
Puskesmas induk belum mempunyai tenaga kesehatan yang
memadai, dapat diperkirakan bagaimana ketersediaan tenaga
kesehatan di Puskesmas pembantu.
“... Puskesmas Wunin, secara jarak lebih dekat ke Bokondisi (Distrik terbesar kedua setelah Karubaga) tetapi untuk menuju ke sana tidak ada jalan darat… harus naik pesawat ... oleh karena itu tenaga dokter untuk memberi pelayanan di Puskesmas diambil dari karubaga ….”“... perjalanan ke Puskesmas Wunin membutuhkan waktu satu hari satu malam ... pertama, dari Karubaga naik strada (merek mobil berjenis double gardan) sampai Distrik Kanggime ... perjalanan kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati jalan setepak ....”“... jadwal pelayanan di Puskesmas Wunin sebulan sekali ... kami bertiga, seorang dokter dan dua perawat berangkat berbekal obat-obatan yang kami punya ... di sana kami tinggal seminggu ... kadang-kadang tidur di Puskesmas, kadang-kadang di rumah kader ....”
“... seorang dokter Puskesmas di Tolikara harus memiliki kemampuan lebih. Seorang dokter dituntut menguasai ilmu kelistrikan dan mampu mengerjakan pekerjaan tukang ...”“... kalau perlu, memang bisa meminta pertolongan dari masyarakat sekitar, tapi itu membutuhkan “ongkos” yang besar, pekerjaan pun terkadang tidak sesuai harapan ....”
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 47
Secara keseluruhan ada sembilan distrik yang belum
mem punyai fasilitas kesehatan. Ini tidak berarti mereka tidak
mendapatkan pelayanan kesehatan. Selama ini pemberian
pelayanan kesehatan juga dilakukan oleh Gereja Injili di Indonesia
(GIdI). Tenaga yang memberikan pelayanan kesehatan pada GIdI
adalah penduduk setempat yang dilatih oleh pihak Gereja untuk
menjadi kader kesehatan.
3.2. Tenaga Kesehatan
Sampai Tahun 2013, tenaga Kesehatan di Kabupaten
Tolikara jumlahnya terbatas. Jumlah tenaga kesehatan seperti
yang tercatat pada Profil Kesehatan kabupaten terdiri dari
23 tenaga dokter, 128 tenaga keperawatan, 4 tenaga analis
dan seorang apoteker. Jumlah tenaga kesehatan tersebut,
Gambar 3.4 Tugas Lain dari seorang Dokter
Sumber : Dokumentasi Peneliti
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara48
keberadaannya masih terkonsentrasi di Distrik Karubaga. Dari
23 dokter yang ada, 21 diantaranya tinggal dan memberikan
pelayanan di Distrik Karubaga.
Terdapat 25 Puskesmas yang seharusnya bisa memberikan
pelayanan kepada masyarakat di Tolikara, namun tidak semua
mempunyai tenaga kesehatan yang memadai. Konsentrasi
keberadaan dan jumlah dokter sangatlah tidak sebanding dengan
kebutuhan penduduk yang tersebar di 46 distrik. Masalahnya,
sebagian besar dokter yang bertugas adalah dokter PTT yang
hanya bertugas dalam jangka waktu terbatas. Ada kekhawatiran
bahwa dokter PTT tersebut akan pindah setelah tugas sebagai
PTT selesai.
Kondisi serupa juga terjadi pada tenaga kesehatan lainnya,
seperti tenaga bidan dan perawat. Dari 64 tenaga bidan, 22
dan 12 di antaranya berada di distrik Karubaga dan Bokondini.
Sisanya tersebar di 22 Puskesmas lainnya. Jumlah ini makin terasa
kurang jika dilihat dari keadaan geografis wilayah yang sulit yang
mengharuskan di setiap kampung minimal harus terdapat 1 orang
perawat dan 1 orang bidan.
Memperhatikan bahwa distribusi tenaga kesehatan
seba gai permasalahan utama terkait ketenagaan kesehatan
di Kabupaten Tolikara, Pemerintah Daerah sudah berupaya
meng atasi kesenjangan distribusi tenaga yang belum merata
di semua Distrik. Upaya yang dilakukan adalah merelokasi
tenaga kesehatan dari Puskesmas Karubaga. Sayangnya upaya
ini tidak diimbangi dengan penyediaan fasilitas perumahan
di Puskesmas yang menjadi tujuan relokasi. Akibatnya, upaya
Pemerintah Daerah untuk merelokasi tenaga kesehatan masih
belum terealisir. Pada awal tahun 2014 ini, Pemerintah Daerah
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 49
telah menerima sekitar 20 tenaga bidan PTT. Rencana Dinas
Kesehatan, tenaga bidan PTT akan disebar di setiap Puskesmas
yang ada. Namun selama fasilitas tempat tinggal untuk tenaga
kesehatan belum disiapkan, tampaknya sulit bagi Dinas Kesehatan
merealisasikan rencananya.
Selain masalah ketersediaan dan distribusi yang tidak
merata, Kabupaten Tolikara juga dihadapkan pada masalah
kualitas tenaga kesehatan. Diakui oleh Dinas Kesehatan bahwa
kualitas tenaga kesehatan terutama paramedik masih terbatas.
Tenaga perawat yang ada kebanyakan berlatar belakang kader
gereja yang mendapat pelatihan dari misionaris Gereja. Untuk
mengisi kebutuhan tenaga kesehatan di setiap Distrik, mereka
kemudian diangkat sebagai PNS.
3.3. Program Pembangunan Kesehatan
Di tengah-tengah keterbatasan tenaga kesehatan yang ada,
disadari sepenuhnya bahwa pemerintah harus tetap melakukan
pembangunan kesehatan. Pembangunan kesehatan di Kabupaten
Tolikara mengacu pada visi yang ditetapkan yakni terciptanya
kampung sehat menuju masyarakat religius, maju, mandiri, adil,
sejahtera, dan unggul 2017. Pelaksanaan pembangunan di bidang
kesehatan akan diwujudkan melalui berbagai program kesehatan
yang terarah dan berkesinambungan. Skenario program pem-
bangunan kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Tolikara meliputi:
Promosi Kesehatana. yang bertujuan menumbuhkan budaya
hidup bersih dan sehat, meningkatkan peran serta dan
kemandirian masyarakat baik bagi individu, keluarga, dan
masyarakat dalam bidang kesehatan.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara50
Pelayanan Kesehatan Lingkungan dan Hygiene Sanitasi b.
yang didesain untuk meningkatkan kualitas lingkungan
seperti hal yang terkait dengan pengawasan mutu air,
pembuangan kotoran, perumahan/pemukiman, dan industri.
Pelayanan Kesehatan Keluarga melalui upaya pembinaan c.
kesehatan ibu dan anak, kesehatan usia subur dan
kesehatan usia lanjut.
Perbaikan Gizid. Masyarakat yang dilaksanakan dalam rangka
meningkatkan status gizi masyarakat terutama ibu, bayi, dan
balita dengan cara meningkatkan kesadaran gizi keluarga.
Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit, melalui kegiatan e.
pencegahan dan pemberantasan penyakit, peningkatan
peran serta masyarakat, dan melaksanakan program secara
terkoordinasi dengan sektor terkait.
Penyediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan yang bertujuan f.
menjamin ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan
di masyarakat. Seluruh persediaan obat untuk pelayanan
kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan meru-
pakan obat generik berlogo (OGB). Di Kabupaten Tolikara
belum ada apotik dan dokter praktek, oleh karena itu
semua pelayanan kesehatan dilakukan di sarana kesehatan
pemerintah.
Pengembangan Tenaga Kesehatan yang bertujuan untuk g.
mengatasi keterbatasan jumlah, jenis, mutu, dan penyebaran
tenaga kesehatan.
Selain program sebagaimana tersebut di atas, sebagai
upaya pengembangan, dilakukan pelayanan perizinan bidang
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 51
kesehatan. Dalam pelaksanaannya, program ini dilaksanakan
sebagai bentuk kepanjangan tangan Menteri Kesehatan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten untuk memberikan perizinan
terkait usaha di bidang kesehatan.
Gambar 3.5. Suasana di ruang tunggu Puskesmas Karubaga
Sumber: Dokementasi Peneliti
Pelayanan pengobatan kepada masyarakat dilakukan
melalui pelayanan rutin Puskesmas dan pelayanan rujukan.
Puskesmas Karubaga adalah tempat masyarakat Distrik Karubaga
dan Distrik sekitarnya memperoleh pelayanan kuratif. Banyaknya
kunjungan masyarakat ke Puskesmas, menunjukkan bahwa
masyarakat sudah tahu ke mana harus pergi bila mengalami
masalah kesehatan. Sayangnya kondisi ini hanya dapat dilihat
di Puskesmas Karubaga dan kata beberapa orang juga terjadi di
Puskesmas Bokondini. Mungkin karena didua tempat tersebut
ada tenaga dokter yang memberikan pelayanan. Berbeda dengan
kondisi ketika mengunjungi Puskesmas Kuari yang tidak dilengkapi
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara52
tenaga dokter. Puskesmas Kuari tidak lebih dari sekedar bangunan
tak bertuan.
Gambar 3.6. Pemanfaatan ruang di Puskesmas Kuari
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Di Kabupaten Tolikara, ketidakadaan Rumah Sakit menye-
babkan semua pelayanan kesehatan dasar dilakukan oleh
Puskesmas. Bila terjadi kondisi emergency di mana petugas
kesehatan yang bertugas di Puskesmas tidak dapat melakukan
tindakan medis, maka akan dilakukan tindakan rujukan. Pada
semua kasus rujukan, Rumah Sakit Kabupaten Wamena adalah
satu-satunya tempat yang menjadi tujuan rujukan pertama.
Berkaitan dengan program pembangunan kesehatan
yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tolikara, harusnya ada
beberapa kondisi masyarakat yang bisa digunakan sebagai
indikator untuk melihat hasil pembangunan kesehatan yang
dicapai. Beberapa aspek yang dapat digunakan sebagai indikator
capaian pembangunan kesehatan, di antaranya adalah kondisi
mortalitas, morbiditas, dan status gizi.
Dengan melihat besaran angka kematian pada bayi, balita,
dan ibu melahirkan, kita bisa mengetahui keberhasilan pelayanan
kesehatan. Masalahnya, di Kabupaten Tolikara tidak ditemukan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 53
catatan dan pelaporan tentang kematian tersebut. Alasan yang
dikemukakan Dinas Kesehatan sebagaimana tercantum pada
Profil Kesehatan adalah belum optimalnya Audit Maternal, yang
terjadi karena sistem pelaporan yang belum akurat dan keter-
batasan tenaga kesehatan yang berpetugas di Distrik. Pengakuan
ini senada dengan apa yang dikemukakan seorang petugas
kesehatan yang bertugas di Puskesmas Karubaga.
“… masalah disini ... kita tidak bisa melihat besarnya ... karena pencatatan kami sangat lemah ... Dinas tidak ada form untuk kita isi di Puskesmas ... kita tahu sendiri dinas bagaimana ... sepi orang ... kadang-kadang kita serahkan laporan tapi di sana stop ... tidak ada tindak lanjut ....”
Kondisinya tidak jauh berbeda ketika kita mau tahu tentang
seberapa besar morbiditas sehingga kita bisa mengetahui gam-
baran pola penyakit yang terjadi di masyarakat. Sistem pen-
catatan dan pelaporan dari pelaksana program yang belum
berjalan dengan baik merupakan alasan. Wajar bila kemudian
data yang dibutuhkan tidak tersedia dan kurang akurat. Walaupun
tidak ada catatan kasus, Kepala Puskesmas Karubaga mengakui
bahwa banyak masalah kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat
di Distrik Karubaga.
“… masalah kesehatan di sini ya cukup banyak, HIV termasuk tinggi, malaria juga, ISPA, rematik, diare. Untuk balita kami prioritaskan pada pemberian gizi dulu, lewat program 1000 hari kehidupan.”
Terkait dengan status gizi masyarakat, Dinas Kesehatan
meng inginkan adanya catatan tentang Balita dengan gizi
buruk atau kurang dan catatan tentang kecamatan rawan gizi.
Sebagaimana mortalitas dan morbiditas, data yang diharapkan
dapat mengindikasikan status gizi masih sebatas keinginan.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara54
Alasannya sama, tidak tersedia data karena sistem pencatatan
dan pelaporan dari pelaksana program belum berjalan dengan
baik.
“… karena saya salah satunya menangani masalah gizi, saya akan bilang, faktor gizi bumil dan bayi di sini cukup bermasalah ... sebelum ada program 1000 HPK ... berat bayi baru lahir umumnya < 3000 gram saja ... setelah ada program 1000 HPK ... puji Tuhan ... berat bayi baru lahir rata-rata > 3000 gram, beberapa malah ada yang lebih dari 4000 gram.”
Apa yang dikemukakan dokter koordinator Puskesmas
perawatan Karubaga tersebut di atas, menggambarkan bahwa ibu
hamil dan bayi masih mengalami masalah gizi. Untuk mengatasi
masalah gizi ibu hamil dan bayi, Pemerintah Kabupaten Tolikara
melalui Dinas Kesehatan mencanangkan Program 1000 HPK.
Program 1000 HPK merupakan kegiatan penanganan
masalah gizi ibu hamil dan pencegahan stunting. Selama periode
1000 hari pertama kehidupan, dilakukan kegiatan memberikan
makanan tambahan kepada ibu hamil dan menyusui. Bentuk
kegiatan pemberian makanan tambahan adalah makan bersama.
Bidan sebagai penanggungjawab kegiatan di setiap wilayah akan
membawakan paket makanan ke Posyandu sebagai tempat
pelaksanaan. Diawali dengan doa bersama dan ucapan sapa bayi
yang dipimpin oleh bidan, kegiatan makan bersama dimulai.
Bersumber dari APBD, Pemerintah Daerah mengalokasikan
dana 60 ribu rupiah untuk setiap paket makanan. Satu paket
makanan tambahan kepada ibu hamil ini terdiri dari nasi, lauk,
sayur, buah, dan susu. Yang penting adalah, jenis makanan yang
diberikan mampu memenuhi kebutuhan energi, kalori, protein
dan vitamin.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 55
Selain untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil dan
menyusui, program ini juga bertujuan menghidupkan per eko-
nomian masyarakat setempat. Oleh karena itu, bahan ma kanan
untuk program ini sebagian besar merupakan hasil bumi dari
Kabupaten Tolikara seperti, ubi jalar, sayur-sayuran, dan buah.
3.4. Pembiayaan Kesehatan
Dalam rangka melaksanakan pembangunan daerahnya,
Pe me rintah Kabupaten Tolikara mengalokasikan anggaran pem-
bangunan yang berasal dari berbagai sumber. Pendapatan
asli daerah, dana perimbangan, dan sumber pendapatan lain
seperti dana hibah dan OTSUS merupakan sumber anggarannya.
Penerimaan total pendapatan daerah Kabupaten Tolikara seperti
yang tercantum dalam APBD Kabupaten adalah 802,698 milyar.
Anggaran inilah yang kemudian digunakan sebagai belanja
daerah. Belanja pegawai, hibah, bansos, jasa, dan modal meru-
pakan bentuk dari belanja daerah Kabupaten Tolikara. Alokasi
anggaran pembangunan tersebut digunakan untuk penye-
lenggaraan program pembangunan secara langsung dan peng-
adaan berbagai fasilitas pendukung penyelenggaraan pelayanan
publik dan pemerintahan.
Khusus untuk bidang kesehatan, anggaran yang dialokasikan
oleh Pemerintah Kabupaten adalah 76,833 milyar. Sayangnya
kami tidak menemukan alokasi anggaran dari Dinas Kesehatan
untuk pelaksanaan program kesehatan. Pada profil daerah
Kabupaten Tolikara dikemukakan bahwa anggaran kesehatan yang
berasal dari APBD hanya digunakan sebagai belanja langsung dan
tidak langsung. Sedangkan anggaran kesehatan yang diperoleh
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara56
dari APBN digunakan sesuai peruntukannya, yakni untuk dana
alokasi khusus dan bantuan operasional kesehatan.
Kita semua tahu pentingnya anggaran untuk pembangunan,
tetapi tidak mudah untuk memperoleh informasi terkait
penggunaan anggaran. Dua Kepala Puskesmas yang ditemui tidak
banyak berkomentar tentang pengalokasian anggaran untuk
program kesehatan di wilayah kerja Puskesmas masing-masing.
Mencoba bertanya kepada pelaksana pelayanan di Puskesmas,
komentarnya adalah sebagai berikut.
“... selama ini dana tidak tahu, karena yang pegang adalah Dinas Kesehatan atau kepala Puskesmas, masalah pengalokasian pun kami tidak tahu ....”
“... kami di sini seakan-akan tidak punya suara dan power dalam menentukan sesuatu ... pengalokasian dana juga sudah ditentukan oleh kepala Puskesmas ... kami tidak pernah mengurus anggaran ....”
Nampaknya berbicara tentang anggaran merupakan hal
yang tabu dibicarakan, sampai-sampai data tentang anggaran
yang disampaikan dalam profil pun terbatas. Penelusuran
informasi kepada pelaksana program juga tidak memberikan hasil
yang diharapkan. Kami hanya bisa berharap semoga anggaran
untuk pembiayaan kesehatan digunakan sesuai peruntukannya.
57
BAB 4KESEHATAN BALITA DI KARUBAGA
Pagi itu di Puskesmas Karubaga terlihat banyak pasien
antri mendaftar di loket untuk mendapat pengobatan. Loket
Puskesmas biasanya dibuka pada pukul 08.45 WIT dan pelayanan
pengobatan baru dimulai pada pukul 09.00 WIT. Warga yang
mengantri sudah banyak berdatangan sejak pukul 08.00 WIT.
Terlebih bagi mereka yang rumahnya terletak di kampung yang
jauh dari lokasi Puskesmas. Bahkan tidak sedikit yang berasal dari
distrik lain. Mereka harus datang lebih pagi.
“... rumah saya di Kanggime, jauh di atas, naik mobil 200 ribu...”
Tutur salah seorang pasien yang mengaku sudah satu jam
berada di Puskesmas.
Puskesmas Karubaga adalah Puskesmas perawatan plus.
Sementara belum ada Rumah Sakit di Kabupaten Tolikara,
Puskesmas ini dalam beberapa hal sudah melaksanakan fungsi
Rumah Sakit. Bahkan, Dinas Kesehatan sudah merencanakan
mengembangkan Puskesmas ini menjadi Rumah Sakit Kabupaten
Tolikara. Selain untuk pelayanan administrasi dan poli, beragam
pelayanan seperti Unit Gawat Darurat (UGD), Rawat Inap,
Bersalin, dan operasi minor sudah disiapkan. Para dokter,
perawat, dan bidan siap memberikan pelayanan kesehatan.
Tidak salah bila banyak orang datang untuk mendapat pelayanan
pengobatan yang diinginkan.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara58
4.1. Aliando, Potret Kesehatan Balita
Di ruang perawatan, di tengah kesibukan pelayanan yang
diberikan oleh petugas kesehatan, kami melihat seorang Bidan
Puskesmas yang berusaha mendiamkan anak kecil yang sedang
menangis. Anak tersebut menangis semakin keras ketika kami
dekati. Kami bermaksud menghiburnya, namun si kecil tampak
kurang nyaman dengan kehadiran kami, dan ia menangis semakin
keras. Bocah mungil dalam gendongan Bidan adalah Aliando.
Seorang bayi berusia 6 bulan dengan berat badan sekitar 5,5
kg, berat badan yang masih tergolong rendah untuk seumur itu.
Keberadaan Aliando di Puskesmas merupakan upaya petugas
kesehatan untuk memulihkan kondisi status gizi Aliando yang
bermasalah.
Gambar 4.1 Aliando, dalam gendongan perawat
Sumber : Dokumentasi Peneliti
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 59
Pada saat kelahirannya, Aliando dilahirkan bersama saudara
kembarnya. Berat badannya sekitar 1,9 kg, kondisi bayi dengan
berat badan lahir rendah. Karena kondisinya, Aliando dan saudara
kembarnya diminta petugas kesehatan untuk dirawat sementara
di Puskesmas. Dengan pertimbangan bahwa ASI adalah makanan
terbaik buat sang bayi, Aliando kemudian diputuskan untuk
diasuh ibunya bersama saudaranya. Pemantauan petugas
kesehatan terhadap kondisi Aliando tidak menunjukkan pertum-
buhan yang membaik ketika diasuh ibunya. Kecukupan gizi
Aliando tidak terpenuhi dengan maksimal. Akibatnya, berat
badannya menurun. Pada bulan ketiga, pemantauan oleh Pus-
kesmas menemukan berat aliando hanya sekitar 2 kg.
Kondisi Aliando tersebut memunculkan inisiatif dokter dan
bidan untuk merawat Aliando di Puskesmas. Tujuannya tidak lain
agar ia mendapatkan perawatan yang memadai, khususnya untuk
memenuhi kebutuhan gizi. Awalnya pihak keluarga menolak
menyerahkan Aliando, namun dengan penjelasan yang ekstra
sabar, akhirnya Aliando diperkenankan keluarganya untuk dirawat
di Puskesmas. Tidak sia-sia upaya yang dilakukan para petugas
kesehatan, ini ditandai dengan bertambahnya berat badan
Aliando. Di usia yang keenam bulan, berat badan Aliando sudah
5,5 kg. Berat badannya meningkat pesat, tetapi perbandingan
dengan usia masih menunjukkan kondisi di bawah garis merah.
Demikian cerita D, seorang petugas kesehatan di Puskesmas
Karubaga tentang bayi yang sementara ini menjadi anak dari para
petugas kesehatan. “... Aliando ini kembar, bayinya sangat kurus ... dulu kita rawat semua di Puskesmas ... setelah membaik kita kembalikan ke orang tuanya, eh tidak taunya malah tambah buruk kondisinya … lalu kami minta Aliando untuk kita rawat di Puskesmas ...
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara60
keluarganya awalnya menolak, sangat sulit untuk kita bujuk ... namun setelah dengan pendekatan akhirnya bisa.”
Pada bahasan kesehatan balita ini, peneliti ingin mencoba
memotret bagaimana pelaksanaan program kesehatan anak
balita di Kabupaten Tolikara. Mengapa kesehatan Balita menjadi
prioritas dari studi ini? Kesehatan Balita menjadi prioritas karena
berdasarkan indeks kelompok indikator dalam IPKM, posisi
kesehatan Balita Kabupaten Tolikara dengan nilai 0,249 adalah
yang terendah di Papua. Secara lebih detail bila dibandingkan
dengan daerah lain di Provinsi Papua, dilihat dari prevalensi
status gizi buruk dan kurang, 42,41% adalah yang tertinggi.
Prevalensi balita sangat pendek dan pendek 52,01% adalah
lima besar tertinggi. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya
penimbangan balita dan imunisasi lengkap. Kasus Aliando
sebagaimana diuraikan di atas adalah gambaran kesehatan Balita
di Kabupaten Tolikara. Kondisi inilah yang menjadi daya tarik
peneliti untuk mengungkap fenomena di balik itu.
Pertanyaan kedua, mengapa wilayah Puskesmas Karubaga
yang menjadi daerah pilihan? Berdasarkan hasil diskusi dengan
teman Dinas Kesehatan, diketahui bahwa pelaksanaan program
kesehatan yang berjalan di Kabupaten Tolikara hanya ada dua
Puskesmas, Karubaga dan Bokondini. Dilihat dari fasilitas, tenaga
dan pelaksanaan program, sementara ini Puskesmas Karubaga
masih merupakan tempat pelayanan kesehatan yang utama
di Kabupaten Tolikara. Selain itu, tahun 2014 menjadi awal
baru bagi peningkatan kualitas kesehatan balita di Puskesmas
Karubaga. Kabupaten Tolikara tidak ingin terpuruk dengan kondisi
kesehatannya khususnya kesehatan balita. Melalui Puskesmas,
pemerintah daerah melakukan intervensi program perbaikan gizi
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 61
yang menurut peneliti menjadi langkah awal yang baik di tengah-
tengah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang boleh dibilang
rendah. Itulah sebabnya Puskesmas Karubaga menjadi pilihan
peneliti.
Puskesmas lain yang ingin kami potret adalah Puskesmas
Kuari. Pemilihan Puskesmas Kuari didasarkan pada model
pelayanan Puskesmas yang dilakukan oleh hanya seorang
Kepala Puskesmas yang sekaligus sebagai tenaga kesehatan. Ini
model pelayanan Puskesmas yang umum terdapat di Kabupaten
Tolikara. Alasan lain, Puskesmas Kuari terletak tidak jauh dari
pusat kota dan relatif mudah untuk dijangkau. Sebagai catatan
perlu kami sampaikan bahwa pembahasan tentang Puskesmas
Kuari tidak kami bahas di bab ini namun akan digambarkan di bab
selanjutnya.
Sepenggal cerita Aliando di atas menjadi pintu masuk
peneliti untuk melihat bagaimana pelayanan kesehatan balita
di Puskesmas Karubaga. Aliando tercatat bukanlah satu-satunya
balita dengan kasus gizi kurang. Di tanah Papua, khususnya di
Kabupaten Tolikara, permasalahan Balita dengan berat badan
di bawah normal masih menjadi salah satu prioritas untuk di
pecahkan. Permasalahan gizi kurang ditandai dengan berat
badan yang sangat rendah di bawah garis merah apabila dilihat di
Kartu Menuju Sehat (KMS). Peneliti melihat kondisi ini pasti ada
untuk daerah dengan tingkat ekonomi serta kualitas pelayanan
kesehatan yang masih terbilang minim. Kabupaten Tolikara,
berdasarkan pendapatan masyarakatnya, tergolong daerah
miskin dengan kondisi geografis yang cukup sulit untuk di akses
sampai ke pelosok.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara62
Sebagai langkah awal untuk mengetahui keluasan kasus
seperti yang dialami Aliando, peneliti mencoba menelusuri
catatan dan pelaporan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Yang
peneliti temukan adalah data yang sangat minim. Pencatatan dan
pelaporan tidak berjalan dengan baik. Ketika peneliti mencoba
mendapatkan data tentang jumlah balita yang mengalami gizi
kurang atau gizi buruk. Puskesmas maupun Dinas Kesehatan tidak
memiliki data satu pun. Sebagaimana disampaikan informan
yang kemudian diperkuat oleh informan lainnya bahwa kegiatan
pencatatan dan pelaporan masih belum maksimal dan menjadi
kendala:
“ ... kami di Puskesmas Karubaga terkendala Pencatatan dan Pelaporan ... terkadang kami melakukan kegiatan tetapi tidak tercatat dengan baik ... hal ini sebenarnya juga karena kami tidak memiliki form yang harus kami isi untuk kita serahkan ke Dinas Kesehatan ... jumlah kasus tidak ada laporannya ....”
“... di sini perlu meningkatkan manajemen di Puskesmas, sehingga program berjalan maksimal ... kegiatan yang dilakukan juga perlu dicatat dengan baik ... kan kita butuh laporan ke Dinas ... tapi ya gimana lagi ....”
Pencatatan dan pelaporan menjadi sangat penting untuk
melihat kondisi kesehatan di masyarakat. Hal ini juga dapat
digunakan sebagai acuan untuk menentukan sebuah program
di tingkat Dinas Kesehatan maupun di tingkat Puskesmas. Untuk
kasus gizi buruk dan gizi kurang, sangat penting melakukan
kegiatan surveilans kasus gizi kurang dan gizi buruk mengingat
dampak yang ditimbulkan pada balita dengan status gizi kurang
atau buruk sangat serius.
Indonesian Public Health menyebutkan bahwa balita
dengan kondisi gizi kurang dan gizi buruk memiliki dampak
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 63
jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek yaitu
akan mengakibatkan anak menjadi apatis, mengalami gangguan
bicara, serta mengalami gangguan perkembangan yang lain.
Sedangkan dampak yang akan timbul dalam jangka panjang
berupa penurunan skor intelligence quotient (IQ). Penurunan
perkembangan kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan
pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri,
serta akan menyebabkan merosotnya prestasi belajar.
Peneliti meyakini bahwa kasus gizi buruk dan gizi kurang
di Kabupaten Tolikara sesungguhnya masih perlu diperhatikan.
Melihat bagaimana pola asuh keluarganya, kondisi status sosial
ekonomi masyarakat, dan kondisi sanitasi di lingkungan tempat
tinggalnya yang menyebabkan sang anak terserang berbagai
macam penyakit. Diketahui bahwa kasus gizi buruk biasanya
disertai dengan penyakit penyerta yang tentu akan memperparah
keadaan sang anak. Berdasarkan ingatan salah seorang informan
kami, untuk kasus gizi buruk yang datang ke Puskesmas tahun
2014 berjumlah 7 anak seperti yang ia tuturkan berikut.“... seingat saya untuk kasus gizi kurang itu ada 7 anak ... anak usia di bawah 1 tahun ... 3 anak ... dan anak usia 1-3 tahun ... 4 anak ... itu berat badannya kecil sekali ... sangat kurus ... sekitar 4 kg ... ya itulah, lagi-lagi kami terkendala dengan pencatatan kami ... ke depan, kami akan berusaha untuk lebih baik lagi pendataan kami ....”
Melihat jumlah tersebut sebenarnya itu merupakan jumlah
yang tinggi yang terjadi untuk tingkat Puskesmas. Sebanyak
7 anak yang diingat mempunyai kondisi berat badan sangat
rendah menunjukkan keterkaitan dengan status ekonomi. Yang
pasti, menurut petugas yang menangani, ketujuh keluarga
yang mempunyai kasus gizi kurang adalah keluarga dengan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara64
penghasilan tidak tetap. Kalau kita melihat Produk Domestik
Regional Bruto Kabupaten Tolikara, dikemukakan oleh BPS (2014)
bahwa PDRB per kapita adalah 5,15 juta rupiah dengan proyeksi
penduduk sebanyak 125.326 jiwa. Ini menunjukkan bahwa dalam
satu tahun, setiap kepala yang ada di Kabupaten Tolikara hanya
mampu menghasilkan nilai tambah bruto sebesar 5,15 juta
rupiah atau sekitar 429 ribu rupiah per bulan. Memperhatikan
bahwa nilai tersebut masih bruto, maka PDRB per kapita tidak
bisa disamakan dengan pendapatan perkapita yang nilainya pasti
lebih kecil.
Memanfaatkan uang sebanyak 429 ribu per kepala
di Kabupaten Tolikara yang serba mahal, maka jumlah uang
tersebut akan habis dan bahkan tidak cukup untuk membeli
rokok dan buah pinang saja. Bagaimana kemudian mereka akan
memenuhi kebutuhan makanan untuk asupan gizi keluarganya?
Guna memenuhi kebutuhan makan keluarga, yang mereka
lakukan adalah mengonsumsi hasil dari bumi yang mereka olah,
yang hasilnya tidak bisa dipastikan. Apakah cukup? Aliando
jawabannya.
4.2. Pola Adaptasi Keluarga
Mendung mulai menyelimuti langit Karubaga, niat kami
menuju ke Posyandu Kimibur terhenti sejenak ketika hujan
mulai berjatuhan. Memang, hujan tidak pernah bisa ditebak. “...
ah, di sini kapan saja bisa hujan ... mau siang mau malam kalau
pingin hujan, hujan sudah ... tidak ada musim di sini ....” tutur
salah seorang informan. Sambil menunggu hujan reda, kami pun
menyiapkan semua perlengkapan untuk melakukan observasi
lapangan. Melihat bagaimana pemenuhan status gizi keluarga,
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 65
bagaimana pengolahan makanan, dan bagaimana kondisi sanitasi
rumah masyarakat. Beberapa keadaan yang kami lihat sebagai hal
yang melatarbelakangi fenomena yang dialami Aliando.
Lalu lalang warga menyadarkan kami bahwa hujan telah
berhenti. Kami kemudian meninggalkan penginapan menuju
ke Posyandu Kimibur. Posyandu Kimibur terletak sekitar 5 km
dari pusat kota di mana penginapan kami berada. Jalan menuju
Kimibur sudah beraspal bagus. Karena topografi yang berbukit
dan struktur tanah yang gerak, ada beberapa titik jalan yang retak
dan berlumpur akibat longsor.
Kami sengaja datang ke wilayah Kimibur untuk melihat
kondisi keluarga yang masih menempati honai. Karena masih
banyak masyarakat yang menempati honai sebagai tempat tinggal
mereka. Kami pun mengunjungi rumah salah seorang informan
kami, D perempuan usia 16 tahun yang sedang hamil.
Berdasarkan data Susenas tahun 2013, perempuan yang menikah pada usia dini (< 16 th) persentasenya meningkat, dari 5,47 persen pada tahun 2010 menjadi 9,20 persen pada tahun 2013. Hal ini mengindikasikan bahwa kesadaran masyarakat di Kabupaten Tolikara akan besarnya risiko menikah pada usia muda makin memburuk. (Indeks Pembangunan Manusia Tolikara, 2014)
Hamil, melahirkan, dan menikah di usia muda adalah
hal yang biasa bagi masyarakat Tolikara. Seperti “D” yang usia-
nya masih sangat muda namun sudah mengandung anak per-
tamanya. Pernikahan usia dini menjadi hal mudah karena bisa
dilakukan secara adat tanpa melalui pencatatan negara dan
terkadang tanpa dicatat oleh Gereja. Untuk menikah secara
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara66
adat di Tolikara, seorang laki-laki harus memiliki 2 ekor babi
sebagai mas kawinnya. Tidak memandang usia, ketika seorang
laki-laki memiliki babi sebagai mas kawin, maka perempuan
muda yang mau dinikahi akan segera menjadi istrinya. Di sinilah
kesiapan seorang perempuan muda secara mental dan sosial
untuk menjadi ibu dengan segala peran dan tanggungjawabnya
dipertaruhkan.
Kami hadir tepat waktu. Saat itu, anggota keluarga sedang
berkumpul untuk menunggu makan siang. Salah seorang
perempuan yang sudah tua terlihat sedang mencuci beras untuk
dimasak. Kepemilikan keluarga terhadap beras, menunjukkan
bahwa keluarga itu punya uang. Mereka mengonsumsi beras
hanya ketika ada uang. Harga beras di Tolikara mahal. Beras
bulog dihargai sampai 25 ribu per kilogram. Beras dan semua
kebutuhan lainnya dipasok dari Wamena. Ini terjadi karena
akses jalan dari Wamena menuju Tolikara sangat sulit dan
butuh biaya mahal. Pasokan beragam kebutuhan akan menjadi
lebih sulit ketika terjadi bencana longsor dan pemalangan yang
kerap terjadi. Terlepas dari semua keadaan tersebut, beras bagi
sebagian besar masyarakat yang tidak mempunyai sumber
penghasilan yang jelas, merupakan barang yang sulit didapatkan.
Kelompok masyarakat ini akan memanfaatkan tanaman yang
ada untuk dijadikan makanan pokok. Ubi adalah alternatif utama
bahan makanan masyarakat Tolikara.
Kemampuan masyarakat untuk membeli sangat rendah.
Satu-satunya sumber uang keluarga didapatkan dari berdagang
hasil kebun yang mereka tanam. Pisang, jeruk, umbi-umbian,
bayam merah, cabai, buah merah, markisa, serta bahan lain
yang memungkinkan untuk dijual. Hasil dari penjualan bahan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 67
makanan tersebut tidaklah banyak. Tidak semua bahan makanan
yang ia jual, dapat habis terjual dalam waktu sehari. Tidak jarang
bahan makanan tidak laku dan membusuk sehingga tidak bisa
dikonsumsi. Pendapatan mereka tidaklah banyak sehingga
kemampuan untuk membeli kebutuhan sehari-hari sangatlah
terbatas.
Untuk memenuhi kebutuhan makan, mereka biasanya
hanya makan 2 kali sehari, nasi dengan sayur seadanya. “... makan
siang sama malam ... makan pagi tra makan ... siang sama malam
saja ... pakai sayur diberi bawang ... garam ... ikan tra ada ... itu
sa....” Terang informan D ketika ditanya kapan makan dan makan
apa. Keluarga hanya menyediakan makanan yang sama untuk
semua anggota keluarga. Orang dewasa, anak-anak, dan bahkan
balita mengonsumsi makanan yang sama. Tidak ada makanan
khusus yang diberikan kepada sang anak agar kecukupan gizinya
terpenuhi. Mereka hanya tahu bahwa sang anak telah makan
dan kenyang. Mereka belum memperhatikan apakah makanan
yang dikonsumsi memiliki kecukupan gizi atau tidak. Hal ini
sangat berpengaruh terhadap kejadian gizi kurang atau buruk di
masyarakat.
Di rumah honai itu, peneliti sempat menyaksikan seorang
anak balita sedang mengonsumsi nasi saja yang dicampur dengan
air putih. Itulah asupan makanan bagi balita. Menjadi biasa
bagi mereka karena keterbatasan ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara68
Gambar 4.2. Honai, Rumah Adat di Tolikara
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Honai yang kami masuki adalah honai untuk perempuan.
Yang bisa tinggal hanya kaum perempuan dan dibolehkan anak
laki-laki sebelum remaja. Kami melihat seorang anak lelaki
kecil sedang bermain sendiri sedangkan sang ibu sedang sibuk
memasak. Honai yang berukuran sekitar 4 x 6 meter, berbentuk
persegi empat dengan alas rerumputan. Honai tersebut tidak
memiliki jendela sehingga di dalam sedikit gelap dan pengap.
Selain itu, penghuni masih harus rela berbagi dengan beberapa
ekor babi yang hanya terpisah oleh sekat dari kayu. Potensi
terserang penyakit bagi anak balita yang tinggal di honai sangat
besar. Di dalam honai juga digunakan untuk memasak makanan.
Asap yang ada di dalam ruangan tidak bisa segera keluar karena
ruangan sangat minim ventilasi.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 69
Melihat bagaimana sang ibu membiarkan anak beraktivitas
sendiri menunjukkan cara pengasuhan anak dalam keluarga.
Orang dengan latar belakang budaya lain, boleh menilai bahwa
orang tua kurang perduli dengan anaknya. Tetapi bagi orang
Tolikara, pembiaran seperti itu merupakan upaya agar anak
tumbuh menjadi orang yang kuat menghadapi bahaya kehidupan.
Berikut penuturan menarik dari seorang informan kami.
“... komunikasi antara ibu dan anak juga masih kurang, semenjak anak sudah bisa berjalan, sekaan-akan anak sudah diberi kebebasan untuk berjalan ke mana saja. Saat malam pun tidak begitu dihiraukan. Sudahkah makan atau belum. Atau keadaannya sakit atau ada lukakah. Baru bila sakit berat atau hanya bisa berbaring lemah baru dibawa ke Puskesmas ....”
Hal ini juga diperkuat oleh pengamatan peneliti yang
melihat bagaimana perhatian sang ibu kepada sang anak. Bagi
orang tua yang memiliki anak balita, perhatian untuk aktivitas
anaknya sangat minim perhatian. Ketika si ibu sedang sibuk
untuk keperluan mencuci pakaian atau memasak, anak dibiarkan
bermain sendiri atau bersama kakaknya. Entah apa yang ia
kerjakan jarang diperhatikan. Sempat kami melihat seorang anak
memakan rumput kotor bahkan tanah.
Memang ada beragam pandangan tentang cara pengasuhan
anak yang dianggap baik. Ada yang menekankan pada
kemandirian, keberanian, keharmonisan, atau mengutamakan
keber samaan. Setiap kebudayaan mempunyai perbedaan
pandangan terhadap apa yang dinilai baik. Setiap kebudayaan
juga memiliki alasan masing-masing. Mereka yang pilih
mengutamakan perhatian akan menimbulkan ketergantungan
anak kepada orang tuanya. Ada kekhawatiran terhadap anak yang
hidup tanpa perhatian dari ibunya atau orang yang mengasuhnya,
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara70
dia akan segera memasuki masyarakat orang dewasa. Apakah
pola pengasuhan anak di masyarakat Tolikara yang cenderung
membiarkan anak untuk beraktivitas sendiri merupakan pola
yang tidak baik? Untuk kondisi masyarakat di Tolikara, tentu saja
jawabannya adalah tidak. Alasannya sudah jelas, pembiaran itu
membuat anak berani dan bisa mengambil keputusan sendiri.
Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah anak menjadi
cepat dewasa. Percepatan masa pubertas membuat mereka
lebih cepat menjadi dewasa, termasuk untuk melakukan aktivitas
seksualnya. Ini terbukti dengan tingginya angka pernikahan dini.
Panjangnya usia produktif, memungkinkan mereka mempunyai
anak lebih banyak. Dikaitkan dengan program keluarga berencana
yang digalakkan pemerintah yang mengidealkan 2 anak cukup,
maka di Kabupaten Tolikara tidaklah demikian. Data susenas
(BPS, 2014) mengungkapkan bahwa persentase wanita berusia 10
tahun ke atas yang pernah kawin, hanya 4% yang menggunakan
alat kontrasepsi. Bentuk dari fenomena ini ditemukan peneliti
ketika berkunjung ke Posyandu. Pada saat pelaksanaan Posyandu,
hadir seorang ibu berusia 18 tahun dengan membawa seorang
bayi yang merupakan anak ketiganya. Di usia yang sangat muda ia
telah memiliki 3 orang anak. Jumlah anak yangt banyak, sampai
belasan, dapat ditemukan di Tolikara.
Selain banyak anak, kebiasaan seorang laki-laki untuk
mempunyai istri lebih dari 1 juga mudah dijumpai. Mampu
menjalani kehidupan secara berpoligami merupakan kebanggaan
bagi laki-laki. Poligami merupakan bukti “kekuatan” secara
seksual dan secara ekonomi. Laki-laki yang dinilai mampu dari
segi ekonomi, diukur dengan jumlah babi yang dimiliki. Bahkan
sempat kami mewawancara responden yang mempunyai istri
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 71
10 orang. Hal itu merupakan kebanggaan bagi seorang laki-laki
karena akan meningkatkan status sosialnya di masyarakat. Ini
bisa merupakan faktor penguat terjadinya kasus gizi kurang atau
bahkan gizi buruk di Tolikara.
Gambar 4.3 Babi, aset ekonomi keluarga di Tolikara
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Memang tidak semua generasi muda mengamini bahwa
memiliki anak banyak adalah suatu hal yang biasa. Seorang ibu
yang lebih memahami tanggung jawab untuk membesarkan
anaknya memiliki pandangan yang berbeda tentang jumlah anak
yang dimiliki. Ia menyampaikan “... punya anak 2 saja, karena
tidak ada kerja, susah kalau anak banyak, mau kasih makan
apa ....” E, Kimibur. Bagi generasi muda, memiliki anak banyak
tidak lagi menjadi kebutuhan status sosial saja. Lebih jauh
lagi, ia memikirkan bagaimana harus menghidupi sang anak,
bagaimana seorang ibu menjamin bahwa anaknya akan bahagia,
mendapatkan pendidikan yang layak, serta sangat menaruh
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara72
harapan besar untuk sang anak. Ia ingin hidup sang anak tidak
lagi seperti hidup orang tuanya. Dari penjelasan di atas peneliti
bisa menarik benang merah keterkaitan antara kejadian gizi
kurang dengan bagaimana pola asuh yang diberikan, kesehatan
lingkungannya, serta penyakit yang menyertainya.
4.3. Posyandu di Karubaga
Menciptakan kondisi kesehatan balita bukan semata-mata
tanggungjawab Pemerintah melalui pelayanan kesehatan yang
diberikan. Ada juga tanggungjawab masyarakat untuk berperan-
serta dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan balita, yang
keadaannya memang tidak bisa lepas dari pengaruh faktor sosial,
budaya, dan ekonomi keluarga. Tidak mudah untuk menyadarkan
masyarakat terhadap adanya tanggungjawab tersebut. Dengan
pendekatan PKMD sebagai serangkaian kegiatan yang sistematis
untuk mengikutsertakan masyarakat dengan segenap potensinya
guna memecahkan masalah kesehatan yang mereka hadapi,
pemerintah memfasilitasi pengembangan Posyandu. Pada
bagian ini, peneliti mencoba memberikan gambaran kondisi dan
peran Posyandu dalam upaya membantu Puskesmas melakukan
pemantauan terhadap tumbuh kembang balita.
Secara konseptual, Posyandu menurut Effendy (1998)
merupakan forum komunikasi, alih teknologi, dan pelayanan
kesehatan masyarakat. Dengan fasilitasi pemerintah, pengem-
bangan Posyandu berasal dari, dilakukan oleh, dan dimanfaatkan
untuk masyarakat. Keberadaannya dianggap mempunyai nilai
strategis untuk mengembangkan sumber daya manusia sejak
dini.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 73
Terlaksananya fungsi Posyandu merupakan indikator keber-
hasilan Puskesmas dalam memberdayakan masyarakat. Baiknya
sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan di suatu wilayah,
juga dapat dilihat dari bagaimana Posyandu di daerah tersebut
berjalan dengan baik atau tidak. Deteksi dini masalah kesehatan
ibu dan anak adalah fungsi Posyandu. Posyandu bisa dikatakan
sebagai perpanjangan tangan dari Puskesmas yang akan
memberikan pelayanan kesehatan serta pemantauan kesehatan
yang dilaksanakan secara terpadu dan sistematis.
Keberadaan Posyandu di Kabupaten Tolikara, sebagaimana
tertera pada Profil Kesehatan berjumlah 505 Posyandu yang
tersebar di 25 wilayah Puskesmas. Jumlah di setiap wilayah
Puskesmas berkisar antara 8 sampai 47 Posyandu. Berdasarkan
stratanya, semua masih tergolong sebagai Posyandu Pratama.
Tetapi kenyataan di lapangan bisa berbeda. Contohnya, di Distrik
Karubaga, pada Profil Kesehatan tercatat 26 Posyandu, berbeda
dengan data Puskesmas Karubaga yang hanya mencatat 7
Posyadu aktif dari 9 Posyandu yang ada.
Tabel 4.1. Posyandu di Puskesmas Karubaga
No. Nama Posyandu
1. Posyandu Yarusalem
2. Posyandu Ebenheizer
3. Posyandu Muara
4. Posyandu Kimibur
5. Posyandu Kolengger
6. Posyandu Ifar Gunung
7. Posyandu Banggeri
Sumber. Laporan penanganan Gizi Kab Tolikara
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara74
Perbedaan antara catatan di Profil Kesehatan dan
Puskesmas, menunjukkan manajemen pencatatan dan pelaporan
yang tidak baik. Perlu diketahui bahwa jarak antara Dinas
Kesehatan yang membuat profil kesehatan dengan Puskesmas
Karubaga hanya beberapa langkah saja. Pertanyaannya adalah,
mengapa jarak yang begitu dekat tidak mampu mendekatkan
data yang ada? Lalu bagaimana dengan data di Puskesmas yang
jarak tempuhnya harus melewati kabupaten lain? Ini adalah
jawaban seorang petugas kesehatan di Puskemas.
“... ya itulah yang sering terjadi di sini ... kelemahan koordinasi ... di sini kami ingin adakan koordinasi antara Puskesmas dan dinas ... tapi ... tau sendiri bagaimana dinas ... kosong kan ...?”
Berbicara Posyandu di Distrik Karubaga, sesungguhnya
keberadaan Posyandu ini tidak bisa dilepaskan dari peran gereja
yang ada di Karubaga. Semua Posyandu yang aktif merupakan
Posyandu yang terletak dan menjadi bagian dari kesatuan wilayah
gereja. Seringkali Posyandu dilakukan di dalam gereja. Fungsi
gereja sebagai tempat peribadatan, merupakan salah satu tempat
strategis yang sering dimanfaatkan Puskesmas untuk kepentingan
program kesehatan. Salah satu bentuk pemanfaatannya adalah
Posyandu ini. Berikut adalah penuturan salah satu informan
yang menjelaskan bagaimana gereja berperan dalam kegiatan
Posyandu.
“... semua program kami selalu bekerja sama dengan gereja. Kalau melalui gereja, bisa mudah masuk ke masyarakat, melalui ketua klasisnya atau gembalanya. Tanpa itu sulit di sini. Gereja menjadi unsur penting pembangunan kesehatan di Tolikara, Posyandu, promosi kesehatan, imunisasi, semua bisa dilakukan melalui gereja dan hal itu sangat efektif daripada dilakukan secara langsung pada kelompok masyarakat ... “.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 75
Lalu bagaimana dengan kecukupan Posyandu bila dilihat
dari banyaknya desa dalam satu Distrik Karubaga? Sebagaimana
tercatat pada sistem administrasi pemerintahan, di distrik
Karubaga terdapat 23 pemerintahan desa dan kelurahan.
Seandai nya benar ada 26 Posyandu seperti yang tertera pada
Profil Kesehatan, keberadaan dan peran Posyandu tentunya akan
membatu masyarakat itu sendiri dan tentunya Dinas Kesehatan
untuk memantau kondisi kesehatan ibu dan anak. Kenyataan
bahwa jumlah Posyandu yang hanya 7 buah di seluruh wilayah
Distrik Karubaga, tentu sangat kurang. Pasti sangat sulit bagi 7
Posyandu untuk membantu memantau kondisi kesehatan ibu
dan anak secara maksimal di masyarakat. Lebih tepatnya, karena
kondisi geografis dan akses jalan yang belum baik, sulit bagi
keluarga di luar ketujuh wilayah Posyandu yang aktif tersebut
untuk menjangkau pelayanan yang diberikan.
Menilik bagaimana sesungguhnya angka kecukupan Pos-
yandu di tiap desa, berdasarkan panduan Riset Kesehatan
Dasar, Jumlah Posyandu dikatakan memiliki kecukupan dari
sisi kuantitasnya apabila dalam satu desa memiliki minimal 4
Posyandu aktif. Kalau wilayah Puskesmas Karubaga mempunyai
26 wilayah desa dan kelurahan, maka jumlah Posyandu yang
harus difasilitasi dan dikembangkan oleh Puskesmas Karubaga
agar dapat berperan serta dalam hal kesehatan ibu dan anak
minimal harus ada 104 Posyandu. Jumlah 7 Posyandu ini hanya
sekitar 6,7% dari total yang harus dipenuhi. Atas dasar itulah,
agak sulit bagi Puskesmas untuk pemantauan kondisi kesehatan
ibu, bayi, dan balita bila tidak memprovokasi dan menyadarkan
masyarakat untuk ikut bertanggungjawab terhadap kesehatannya
melalui kegiatan pelaksanaan Posyandu.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara76
Berdasarkan data dari Tolikara dalam angka, wilayah Kabu-
paten Tolikara memiliki jumlah desa sebanyak 545 desa atau
kampung. Untuk memenuhi jumlah Posyandu dengan jumlah
desa tersebut dibutuhkan jumlah Posyandu sebanyak 2180
Posyandu. Jumlah yang cukup besar bagi Kabupaten Tolikara yang
saat ini masih memiliki jumlah Posyandu yang tidak banyak. Bagi
Kabupaten Tolikara, memenuhi jumlah Posyandu yang sedemikian
besar bukanlah pekerjaan yang mudah. Partispasi masyarakat
untuk mau ikut serta dalam kegiatan Posyandu sangat rendah.
Kesadaran untuk menjadi kader Posyandu juga sangat kecil
sehingga perlu ada upaya lain untuk bisa memberikan pelayanan
kesehatan masyarakat di seluruh kabupaten di Tolikara.
Melalui kegiatan Posyandu sebenarnya banyak hal yang bisa
dilakukan. Melihat bagaimana pentingnya Posyandu di wilayah,
maka sedianya semua pihak harus bersama-sama mensukseskan
kegiatan Posyandu yang ada di Tolikara. Berdasarkan panduan
pelatihan kader Posyandu, kegiatan utama yang idealnya dila-
kukan di Posyandu antara lain:
Kesehatan ibu dan anak yang meliputi pelayanan untuk ibu a.
hamil, nifas dan menyusui.
Pelayanan untuk bayi dan balita, seperti penimbangan berat b.
badan, penentuan status pertumbuhan, penyuluhan dan
konseling, serta dilakukan pemeriksaan kesehatan bila ada
tenaga kesehatan.
Keluarga berencana, di mana kader Posyandu dapat mem-c.
berikan kondom dan pil KB. Jika ada tenaga kesehatan
Puskesmas, dapat dilakukan pelayanan suntikan KB dan
konseling KB.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 77
Imunisasi, pelayanan imunisasi di Posyandu hanya dilak-d.
sanakan oleh petugas Puskesmas. Jenis imunisasi yang
diberikan disesuaikan dengan program terhadap bayi dan ibu
hamil.
Gizi, Pelayanan gizi di Posyandu adalah penimbangan berat e.
badan, deteksi dini gangguan pertumbuhan, penyuluhan dan
konseling gizi, pemberian makanan tambahan (PMT) lokal
dan suplementasi kapsul vitamin A dan tablet Fe.
Pencegahan dan penanggulangan diare, di Posyandu dilaku-f.
kan dengan penyuluhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS). Penanggulangan diare dilakukan dengan pemberian
oralit. Apabila diperlukan penanganan lebih lanjut, akan
diberikan obat Zinc oleh petugas kesehatan.
Posyandu merupakan salah satu upaya kesehatan ber-
sumber daya masyarakat (UKBM) yang dilakukan oleh masyarakat
dan diperuntukkan kepada masyarakat melalui pembinaan
Puskesmas. Sebagai UKBM, keberadaan kader sebagai pengelola
Posyandu merupakan hal yang utama. Berdasarkan pengetahuan
tentang lingkungan alam dan sosial sekitarnya serta kepedulian
terhadap pelayanan sosial dasar masyarakat, kader diharapkan
mampu menjembatani kepentingan pemerintah dan masyarakat.
Pada tujuh Posyandu di wilayah Puskesmas Karubaga, tidak
banyak jumlah kader yang ada tiap Posyandu. Berdasarkan hasil
pengamatan peneliti, ada sekitar 1 sampai 2 kader per Posyandu.
Nampaknya tidak mudah bagi masyarakat untuk menjadi
seorang kader. Butuh waktu, tenaga, dan pikiran lebih di tengah
keterbatasan. Adanya satu atau dua orang yang mau membantu
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara78
dan berkenan menjadi kader untuk melakukan kegiatan sosial
adalah awal yang baik.
Konsekuensi dari keterbatasan sumber daya masyarakat
tersebut adalah tidak berjalannya kegiatan utama yang ideal dari
sebuah Posyandu. Yang pasti, pelaksanaan Posyandu di wilayah
Puskesmas Karubaga sangat bergantung kepada bidan atau
petugas kesehatan lain, bukan kepada masyarakat sebagai “ruh”
dalam pelaksanaan Posyandu.
Peran kader Posyandu yang strategis dalam memberikan
pemahaman kepada masyarakat kurang berfungsi dengan baik.
Kader sementara ini hanya berperan sebagai pembantu bidan
untuk menyiapkan pelaksanaan Posyandu. Sistem informasi
Posyandu juga tidak berjalan baik. Kegiatan pencatatan dan
pelaporan dari kegiatan Posyandu tidak banyak dilakukan.
Pencatatan hanya dilakukan secara sederhana di buku KIA.
Akibatnya, kader Posyandu kurang bisa melihat bagaimana kondisi
balita berdasarkan naik-turun timbangannya, status gizinya dan
bagaimana status kesehatan ibu hamil berdasarkan pelayanan
ANC dan nifasnya. Ujungnya, permasalahan yang ada tidak bisa
segera dikomunikasikan kepada dan ditindaklanjuti oleh petugas
kesehatan terkait. Terkait dengan enam kegiatan utama yang
idealnya dilakukan di Posyandu, sulit kiranya terlaksana dengan
baik bila petugas kesehatan dan kadernya terbatas.
Salah satu kegiatan yang dilakukan di dalam Posyandu
adalah pemantauan berat badan bayi dan balita melalui
penimbangan. Penimbangan ini dimaksudkan untuk memantau
perkembangan status gizi balita. Sampai saat pengumpulan
data penelitian ini dilakukan, diketahui bahwa kecil sekali peran
yang dipunyai Posyandu dalam memantau status gizi balita.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 79
Kalau bukan Posyandu, bagaimana peran Puskesmas Karubaga?
Mengamati aktivitas harian Puskesmas Karubaga, tampak
bahwa Puskesmas ini lebih banyak menjalankan fungsi sebagai
tempat pengobatan karena memang merupakan satu-satunya
fasilitas pelayanan kesehatan yang terletak di Distrik Karubaga,
ibukota Kabupaten Tolikara. Puskesmas ini memiliki wilayah
kerja sebanyak 23 desa atau kampung. Setiap hari pelayanan
tercatat 70 – 100 penderita dari kampung dan distrik sekitar
Karubaga untuk berobat ke Puskesmas. Pelayanan pengobatan
inilah yang lebih menjadi prioritas dibandingkan penimbangan
balita, walau ini tidak berarti bahwa penimbangan balita tidak
dilakukan. Menyadari kondisi ini, Puskesmas mulai memfasilitasi
pengembangan tujuh Posyandu dengan segala keterbatasannya
untuk mendukung upaya promotif dan preventif yang dilakukan
oleh Puskesmas.
Di antara barang yang dikirim dari Jakarta 3 tahun yang lalu untuk “Rumah Sakit” banyak terdapat beberapa barang seperti media promosi, KMS dengan ukuran yang besar, tim-bangan bayi, timbangan berat badan elektrik, dan beberapa perlengkapan lain yang masih bisa dimanfaatkan. Barang tersebut akan lebih bermanfaat bila digunakan di Posyandu daripada hanya sekedar ditumpuk di gudang dan dibiarkan rusak ….
Upaya untuk melakukan pemantauan kesehatan balita oleh
Puskesmas dan tujuh Posyandu sebagai satelit pelayanan tidak
lepas dari keterbatasan fasilitas dan peralatan. Di Puskesmas
Karubaga banyak terdapat peralatan yang bisa digunakan untuk
menunjang pelaksanaan Posyandu. Tetapi karena masalah
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara80
manajemen, alat-alat yang seharusnya dapat dimanfaatkan,
akhirnya tetap menjadi barang simpanan di gudang Puskesmas.
Sangat disayangkan, selama kegiatan pengumpulan data
sekitar 18 hari di lokasi penelitian, peneliti tidak memiliki kesem-
patan untuk mengamati kegiatan Posyandu yang dilakukan di
masyarakat. Hanya 1 kali dan pelaksanaan Posyandu tersebut
dilakukan di salah satu ruangan di Rumah Sakit Karubaga. Pada
saat pelaksanaan Posyandu tersebut, bayi dan balita yang datang
ke Posyandu diukur berat badannya dengan menggunakan
timbangan yang ada. Setelah dilakukan pengukuran berat
badan, biasanya bidan menuliskannya di Buku KIA sehingga
tercatat setiap pertumbuhannya. Karena dilakukan di Puskesmas,
penimbangan dan pemantauan kesehatan balita menjadi tugas
Puskesmas melalui Bidan. Kalau mengacu kepada konsep UKBM
harusnya pelaksana Posyandu adalah kader, karena kaderlah
yang menjadi pengelola dan ujung tombak dalam setiap kegiatan
Posyandu.
Kegiatan Posyandu belum dilaksanakan di lokasi yang
sudah ditetapkan sebagai tempat pelayanan, tidak lain karena
alasan bahwa Puskesmas belum menyusun jadwal kunjungan ke
Posyandu. Jadwal kunjungan ke Posyandu biasanya dilaksanakan
pada minggu kedua tiap bulan. Namun jadwal tersebut bukan
hal yang bisa dipastikan. Semua bergantung kepada kese-
pakatan dan ketersediaan waktu dari petugas kesehatan.
Seharus nya program 1000 HPK yang dilakukan di Kabupaten
Tolikara tersebut merupakan bagian dan terintegrasi menjadi
satu kesatuan program di dalam kegiatan Posyandu. Tapi dalam
pelaksanaannya, Program 1000 HPK lebih merupakan kegiatan
pemberian makanan tambahan untuk ibu dan balitanya.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 81
4.4. Imunisasi Dasar Lengkap Untuk Balita
“ ... kami di sini kesulitan untuk melaksanaan imunisasi di wilayah, anggaran untuk turun sangat besar. Terkadang vaksin juga terlambat. Kita harus sewa kendaraan. Tidak ada anggaran khusus untuk itu, kalaupun ada sangat terbatas....” (L, Puskesmas Karubaga)
Pada dasarnya, semua orang perlu mendapatkan imunisasi,
terutama bagi kelompok yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
terserang penyakit seperti bayi, balita, anak usia sekolah, wanita
hamil, dan wanita usia subur. Pemerintah setiap tahun terus
berupaya untuk menurunkan kejadian penyakit seperti polio
myelitis, tuberculosis, campak, difteri, pertusis, tetanus, dan
hepatitis B dengan menggalakkan program imunisasi pada bayi
dan balita. Proverati (2010) dalam dr.suparyanto.blogspot.com
menyebutkan bahwa Imunisasi merupakan suatu program yang
dengan sengaja memasukkan antigen lemah agar merangsang
antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten terhadap penyakit
tertentu. Hal serupa juga dikemukakan oleh Alimul (2009) yang
menyebutkan bahwa imunisasi merupakan usaha memberikan
kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin ke
dalam tubuh. Tujuannya agar tubuh membuat zat anti untuk
mencegah penyakit tertentu. Dengan pemberian imunisasi
pada balita diharapkan sang anak menjadi kebal terhadap
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi sehingga dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta kecacatan.
Pemberian imunisasi yang terbaik adalah apabila vaksin
diberikan sesuai jadwal yang dianjurkan. Bila tidak, perlindungan
terhadap penyakit yang ingin dicegah tidak bisa optimal.
Penundaan pemberian imunisasi diperbolehkan hanya ketika
sang anak sedang sakit. Namun apabila sudah pulih kondisinya
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara82
maka segera diberikan imunisasi yang lengkap. Ada 5 (lima) jenis
imunisasi yang wajib untuk anak balita yaitu:
BCG adalah imunisasi1. untuk mencegah penyakit TBC dan
diberikan pada usia 1 bulan.
DPT adalah imunisasi2. untuk mencegah penyakit Dipteri dan
dberikan sebanyak 3 (tiga) kali pada usia 2,3, dan 4 bulan.
Polio adalah imunisasi3. yang diberikan untuk mencegah
penyakit polio dan diberikan 4 (empat) kali pada usia 1,2,3,
dan 4 bulan.
Campak adalah imunisasi4. yang diberikan untuk mencegah
penyakit campak dan diberikan 1 (satu) kali pada usia 9
(sembilan) bulan.
Hepatitis B adalah imunisasi5. yang diberikan untuk mencegah
penyakit Hepatitis B dan diberikan 1 (satu) kali pada usia 0-7
hari.
Pelaksanaan imunisasi di Puskesmas Karubaga bukan
tanpa kendala. Dari sisi penyediaan vaksin, sering kali terjadi
keterlambatan pengiriman vaksin dari Dinas Kesehatan Provinsi.
Selama ini pelaksanaan pemberian vaksin di Puskesmas masih
terbatas pada pasien yang datang saja. Apabila ada ibu yang
datang membawa balita, maka bidan akan melihat bagaimana
kelengkapan imunisasinya.
“... ya kalau datang begini baru kita tanya to ... apa bayinya sudah diimunisasi lengkap ... biasanya kita lihat di buku KIA riwayat imunisasinya ... tapi kalau tidak bawa atau hilang atau hanya sekedar ingat saja ya susah ... kalau yang aktif di Posyandu bisa kita simpan bukunya jadi terpantau.” (P, PKM Karubaga)
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 83
Selain di Puskesmas, pemberian imunisasi bagi balita juga
dilakukan di Posyandu. Berikut penuturan ibu yang memiliki anak
balita. “... bayinya disuntik di sini, imunisasi bayinya agar tidak
sakit ... bu bidan dia bilang nanti kalau disuntik tidak sakit ...”
tutur E, informan kami di salah satu Posyandu. Jadwal pemberian
imunisasi setiap bulannya tidak menentu. Biasanya pelaksanaan
Posyandu dilaksanakan pada minggu ke-2. Namun jadwal bisa
berubah ketika ada beberapa halangan, di antaranya ketersediaan
vaksin di Puskesmas.
Apabila dilihat bagaimana pelaksanaan imunisasi di kese-
luruhan Kabupaten Tolikara, maka pelaksanaannya masih jauh
dari harapan. Selain Puskesmas Karubaga dan Bokondini, semua
Puskesmas tidak mempunyai kecukupan sumberdaya untuk
melaksanakan imunisasi. Di Puskesmas Kuari yang terdekat
dengan ibukota Tolikara tidak ada lemari es untuk menyimpan
vaksin. Kalaupun ada lemari es, di daerah itu tidak ada aliran
listrik, baik yang bersumber tenaga diesel maupun solar, sebagai
sumber tenaga untuk memfungsikannya. Saat ini Dinas Kesehatan
tidak mempunyai kendaraan dinas operasional untuk menjangkau
lokasi Puskesmas yang mempunyai sumberdaya terbatas dan sulit
diakses. Di bawah ini adalah gambaran kegiatan imunisasi yang
dilakukan Puskesmas Karubaga yang notabene adalah Puskesmas
terbaik di Kabupaten Tolikara.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara84
Tabel 4.2. Laporan Imunisasi Bulan Januari 2015 Puskesmas Karubaga.
No. Nama Desa HB-0 BCG Polio DPT DPT DPT Campak TT1 TT2
1. Ebenheizer2. Muara 1 2 1 1 53. Banggeri 114. Yarusalem/
BKIA5 4 4 3 1
5. Kimibur 2 2 2 2 16. Kolengger 7. Ifar gunung
Total 1 20 2 7 5 8 3 1
Sumber: Laporan Bulanan Puskesmas Karubaga
Tabel di atas menjelaskan bagaimana rendahnya cakupan
imunisasi di Tolikara. Data tersebut hanyalah data yang ada di
Puskesmas Karubaga. Terlihat informasi bahwa imunisasi dasar
lengkap masih sangat minim. Bisa dibayangkan, bagaimana
kegiatan pemberian imunisasi di wilayah lain yang memiliki akses
sulit.
Penyimpanan vaksin yang dilakukan di Puskesmas dilakukan
di lemari pendingin untuk menyimpan vaksin, namun listrik yang
digunakan adalah tenaga matahari. Hal ini juga mengandung
beberapa risiko. Peneliti juga mendapatkan informasi yang kurang
mengenakkan terkait perangkat tenaga matahari ini yang kerap
dicuri oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Pengecekan
secara berkala perlu dilakukan untuk memastikan bahwa vaksin
yang disimpan berada pada keadaan normal dan bagus. Jangan
sampai vaksin yang disimpan mati, karena bukan zat kekebalan
tubuh lagi yang disuntikkan pada balita tetapi sudah menjadi
racun.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 85
4.5. Program 1000 HPK
Aktivitas di penginapan dan rumah makan Pondok Bambu
tidak pernah sepi. Sejak jam 5 pagi di setiap hari para pegawai
sudah sibuk menyiapkan makanan untuk diberikan kepada ibu
hamil dan menyusui. Cukup banyak porsi yang harus disiapkan
setiap harinya yaitu sekitar 96 porsi. Setiap porsi terdiri dari nasi,
sayur, lauk pauk, dan buah yang dikemas dalam sebuah kotak
makanan terbuat dari plastik.
Semua makanan ini diharapkan sudah siap jam 7 pagi.
Sekitar jam 07.00 sampai 08.00 para bidan pengelola Posyandu
akan datang mengambil paket makanan. Setiap bidan akan
membawa dan menyerahkan paket makanan kepada sejumlah
ibu hamil dan menyusui yang ada di wilayahnya, sebagaimana
dikemukakan oleh pegawai penginapan berikut.
“... ini makanan untuk ibu hamil ... dari dinas meminta kami untuk menyiapkan makanan tiap pagi ... sekitar 96 sampai 97 ... biasanya bidan kasih tau besok harus kasih masak berapa, 96
Gambar 4.4. Menu makanan pada program 1000 HPK
Sumber : Dokumentasi Peneliti
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara86
kah atau 97 kah ... jadi kami siapkan ... pagi-pagi bidan-bidan datang untuk ambil itu makanan ... dibawa di pos-pos ....” (N, Pegawai Penginapan Pondok Bambu)
Pesanan paket makanan ini dilakukan untuk memenuhi
permintaan Dinas Kesehatan dalam rangka melaksanakan Pro-
gram Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Program ini
adalah salah satu program Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara
yang mencoba menjawab permasalahan tentang kesehatan ibu
dan anak yang selama ini kurang tersentuh.
Seribu hari pertama kehidupan merupakan periode waktu
awal kehidupan yang dimulai saat terjadinya pembuahan sam-
pai sang anak berusia 2 tahun. Menjadi 1000 hari apabila
dihitung berdasarkan jumlah hari selama periode kehamilan, 270
hari, ditambah periode bayi lahir sampai berusia 2 tahun, 730
hari. Seribu hari pertama kehidupan adalah periode emas bila
diperlakukan dengan baik dan benar. Periode ini juga merupakan
waktu yang kritis dan perlu mendapatkan perhatian serius
karena bila tidak mendapat perlakuan yang baik dan benar dapat
berdampak pada kerusakan yang bersifat permanen. Ibu hamil,
ibu menyusui, bayi baru lahir, dan anak usia di bawah dua tahun
(baduta) merupakan kelompok sasaran untuk meningkatkan
kualitas kehidupan 1000 hari pertama manusia (Republik
Indonesia, 2012).
Program 1000 Hari Pertama Kehidupan di Kabupaten
Tolikara sejatinya merupakan program pemberian makanan
tambahan bagi ibu hamil dan menyusui. Program ini ditujukan
untuk memenuhi asupan gizi ibu yang menjadi sasaran program,
sekaligus merupakan kegiatan pemantauan dan pendampingan
bagi ibu hamil agar status gizinya terpantau selama masa
kehamilannya sampai sang anak berusia 2 tahun. Karena itu,
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 87
semua ibu hamil dan ibu menyusui, tanpa melihat apakah ia
seorang pendatang atau penduduk asli akan mendapat PMT.
Tahun 2014 merupakan awal pelaksanaan Program 1000
HPK. Wilayah Puskesmas Karubaga untuk sementara dijadikan
sebagai daerah ujicoba program ini sebelum diterapkan di semua
wilayah kabupaten. Banyaknya kasus BBLR di Kabupaten Tolikara
adalah latar belakang pemberian makanan kepada ibu hamil
dan menyusui. Program 1000 HPK menjadi sangat potensial
dan memiliki pengaruh positif bagi pemenuhan status gizi di
Kabupaten Tolikara khususnya di Puskesmas karubaga.
Untuk tujuan keberlangsungan kegiatan yang sudah diini-
siasi pada pertengahan tahun 2014, Dinas Kesehatan telah
merencanakan untuk membuat regulasi. Bentuknya berupa
peraturan daerah tentang pelaksanaan pemberian makanan bagi
ibu hamil dan menyusui. “... rencana kami mau membuat perda
biar program bisa sustain ...” demikian kata “D” dokter Puskesmas
Karubaga. Tetapi hal ini masih sebatas rencana dan belum masuk
ke dalam anggaran Dinas Kesehatan untuk penyusunan regulasi
ini.
Sebagaimana tercantum pada laporan kegiatan program,
beberapa bentuk kegiatan yang dilakukan setiap hari di setiap
Posyandu antara lain:
Doa, kegiatan yang dilaksanakan selalu diawali dengan 1.
doa. Pelaksanaan doa dipimpin oleh bidan atau kader yang
bertugas di tiap Posyandu. Memanjatkan doa kepada Yang
Maha Kuasa setiap mengawali suatu kegiatan merupakan
bentuk ketaatan masyarakat Tolikara terhadap ajaran agama-
nya.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara88
Suara Ibu, adalah bentuk sapaan terhadap bayi dalam 2.
kandungan yang telah diajarkan oleh bidan. Kegiatan ini
ditujukan untuk merangsang pertumbuhan dan memori
serta ikatan batin antara ibu dan anak.
Cuci Tangan, merupakan sosialisasi dan implementasi tentang 3.
PHBS. Sebelum acara makan bersama dari paket PMT,
para Ibu Hamil diajak untuk cuci tangan bersama terlebih
dahulu. Tujuannya, agar mereka terbiasa mencuci tangan
dan menjadikan kegiatan cuci tangan sebagai kebiasaan bagi
dirinya dan ditularkan kepada keluarganya.
Gambar 4.5 Kader Posyandu memimpin Doa dalam kegiatan 1000
HPK
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Doa seorang kader“... Tuhan Allah ... Berkatilah anak lahir ... Ibu hamil ... Mamanya ... Anaknya ... Berkati Tuhan ... Berikan kekuatan kepada bidan, yang sudah membawa makanan dan membantu kami ...Tuhan Allah, terima kasih ....”
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 89
Pemberian Makanan Tambahan ibu hamil dan menyusui, 4.
PMT dilaksanakan setiap hari, mulai hari senin sampai
dengan sabtu. Untuk PMT pada hari minggu, diberikan dalam
bentuk bekal yang bisa dibawa pulang ke rumah. Ibu hamil
dan menyusui diberi paket makanan siap saji. Makanan
tersebut harus dimakan bersama di Posyandu masing-masing
dan tidak boleh dibawa pulang.
Gambar 4.6. Kegiatan PMT untuk ibu hamil dan menyusui
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Peneliti berkesempatan untuk melihat bagaimana
pelaksanaan program 1000 HPK dilaksanakan di Posyandu. Kami
datang bertepatan dengan kedatangan ibu hamil. Beberapa
saat kemudian semua ibu yang menjadi sasaran kegiatan sudah
datang. Makanan yang sudah dibawa oleh bidan sudah siap untuk
dibagikan. Setelah semua siap, bidan kemudian mengarahkan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara90
ibu-ibu untuk melakukan kegiatan cuci tangan. Namun pada saat
itu dikemukakan oleh Kader Posyandu Kimibur bahwa air yang
seharusnya mengalir sudah 1 minggu tidak mengalir. Akibatnya
mereka tidak melakukan cuci tangan untuk memulai makan
bersama tersebut.
Terkait tidak mengalirnya air, tanpa penjelasan lebih
lanjut, kader hanya mengatakan bahwa itu terjadi karena ada
pihak-pihak tertentu yang sengaja menutup aliran air agar tidak
mengalir ke rumah-rumah penduduk.
Kegiatan PMT hari itu dilakukan tanpa kegiatan cuci tangan.
Mereka makan menggunakan sendok. Namun demikian, bidan
masih mengingatkan ibu-ibu yang hadir tersebut untuk selalu
melakukan cuci tangan di rumah. Diyakinkan bahwa kegiatan
cuci tangan pakai sabun merupakan kegiatan yang sangat baik
untuk menghindari ibu dan bayinya terserang berbagai macam
penyakit.
Kegiatan diawali dengan doa yang dipimpin oleh kader
setempat. Ketika kader selesai membacakan doanya, maka
kegiatan selanjutnya adalah hal yang menurut peneliti luar biasa.
Peneliti menganggap ini sebuah candle in the dark yang dilakukan
petugas kesehatan di tengah terbatasnya pola asuh anak
“... kita punya sumber air di atas sana, bagus ... cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk Karubaga ... PU sudah membuat pipa-pipa untuk mengalirkan air ke rumah ... hanya saja, sering terjadi orang menutup ... dan rusak pipa sehingga air tak bisa sampai rumah orang ... ini masalah akan selesai bila kita beri mereka ... orang yang bikin tutup pipa air tersebut, uang ...” Cerita Pak C, pegawai PU yang berasal dari tanah Toraja.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 91
yang terjadi di masyarakat Tolikara. Bidan memimpin sebuah
percakapan yang dilakukan antara ibu dan bayi maupun ibu
dan anak. Ibu hamil menirukan perlahan apa yang disampaikan
bidan sambil memegang dan membelai lembut perutnya yang
menandakan bahwa sang ibu sedang berbicara dan berinteraksi
dengan janinnya.
Demikian juga dengan ibu yang membawa balita. Ibu juga
menirukan apa yang disampaikan bidan dengan menatap sang
anak dan membelainya dengan lembut. Proses ini dilakukan
dengan tujuan agar ada ikatan batin yang kuat antara sang ibu
dan anaknya. Sapa bayi dan sapa anak menjadi titik awal bagi
sang ibu untuk bisa membangun tali kasih sayang di antara
keduanya. Harapannya adalah sang ibu bisa lebih memberikan
perhatian dan kasih sayangnya pada sang anak.
Sapa Bayi:
“Selamat pagi anakku.Apa kabar.Mama senang kamu ada dalam rahim mama.Mama bisa merasakan kalau kamu ada.Gerakanmu selalu mama rasakan.Mama harap kamu baik baik saja.Tumbuh sehat dan sempurna.Kelak kalau kamu lahir kita akan ketemu.Jadiah anak yang baik, sehat, dan berbakti pada Tuhan dan orang tua.Mama sayang kamu nak.”
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara92
Melihat bagaimana hasil yang diperoleh dari kegiatan ini
sebenarnya banyak hal yang menggembirakan. Apabila peneliti
perhatikan bahwa anak yang dilahirkan dan anak yang dibawa ke
pos kegiatan ini adalah anak yang sehat dan aktif. Nampak dari
pengamatan peneliti memiliki berat badan yang cukup. Selain
itu, pelaksanaan imunisasi juga berjalan bagi bayi yang mengikuti
program. Pelaksanaan penimbangan bayi serta sampai pada
layanan KB.
Dengan adanya intervensi program ini kepada masyarakat
diharapkan dapat memberikan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat. Selain itu program ini diharapkan mampu menjadi
gerbang awal bagi kesehatan bayi dan balita agar memiliki status
kesehatan dan gizi yang baik.
Kegiatan ini diibaratkan sebagai sebuah jaring laba-laba
yang bisa menjaring tidak hanya satu kegiatan saja. Melalui
kegiatan ini, banyak hal yang bisa di lakukan di antaranya:
Pelaksanaan Posyandu di Puskesmas karubaga khususnya di 1.
titik intervensi program lebih aktif. Ibu hamil dan menyusui
yang terjaring dan mengikuti program ini selalu dipantau
Sapa anak:
“Selamat pagi anakku.Apa kabar.Mama senang kamu hadir dalam hidup mama.Kamu mutiara hati mama.Mama harap kelak kamu jadi anak yang pintar dan sehat,takut akan Tuhan, berbakti pada bangsa dan orang tua.Mama selalu menyayangimu.”
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 93
perkembangannya. Pemantauan tumbuh kembang balita
melalui kegiatan penimbangan setiap bulan di Posyandu
bisa dilakukan dengan baik. Ibu hamil bisa dipantau perkem-
bangan kehamilannya.
Kegiatan ini sebagai pintu masuk bagi Dinas Kesehatan untuk 2.
mengajarkan pola hidup bersih dan sehat melalui kegiatan
Cuci Tangan Pakai Sabun.
Pemberian imunisasi bagi balita bisa lebih mudah.3.
Ibu hamil bisa dimotivasi untuk melakukan persalinan kepada 4.
tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan.
Kegiatan Inisiasi Menyusu Dini dan pemantauan pemberian 5.
ASI eksklusif bisa dilaksanakan.
Dari keseluruhan penjelasan di atas bisa kita ketahui bahwa
penimbangan balita, imunisasi dasar lengkap, serta kecukupan
Posyandu masih ditemui banyak kendala. Indikator IPKM berupa
tingginya status gizi buruk dan kurang, tingginya prevalensi balita
sangat pendek dan pendek, serta tidak adanya penimbangan
balita dan imunisasi lengkap merupakan keadaan balita di
Tolikara.
Menyadari kondisi balita yang demikian, Pemerintah
Tolikara tidak tinggal diam dengan kondisi tersebut. Ada upaya
nyata dan konkret di tengah-tengah keterbatasan anggaran
maupun tenaga. Melalui kegiatan pemberian makanan tam-
bahannya, Pemerintah Kabupaten berharap mendapatkan hasil
yang cukup menggembirakan. Harapannya ini menjadi titik balik
bagi Pemerintah Kabupaten untuk bisa mengubah status kese-
hatan masyarakat menjadi lebih baik.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara94
Anggaran untuk pelaksanaan program 1000 HPK ini
sangatlah besar. Berdasarkan laporan kegiatan, diketahui bahwa
anggaran yang dikeluarkan untuk pelaksanaan 1000 HPK mulai
bulan Juni sampai Desembar 2014 adalah 2 milyar rupiah. Jumah
yang sangat besar tersebut merupakan komitmen pemerintah
Kabupaten Tolikara melalui Dinas Kesehatan dalam upaya
meningkatkan status gizi ibu hamil dan menyusui di Kabupaten
Tolikara.
Dinas Kesehatan sebagai pengelola program perlu meng-
hitung keberlangsungan program, karena untuk beberapa
daerah, keberlangsungan program sangat bergantung pada ke-
ter sediaan anggaran. Anggaran 2 milyar tidak kecil untuk mem-
biayai program penanggulangan masalah gizi di 7 Posyandu di
satu wilayah Puskesmas di Kabupaten Tolikara selama enam
bulan. Padahal, untuk kegiatan selanjutnya, petugas kesehatan
pengelola program 1000 HPK mengatakan “... untuk tahun depan
apabila disetujui kami akan memperluas daerah 1000 HPK di
daerah lainnya ...”. Kalau di seluruh wilayah kabupaten terdapat
505 Posyandu, maka anggaran kesehatan kabupaten sebesar 76,8
milyar tidak akan cukup untuk membiayai program 1000 HPK.
Pemerintah Daerah, khususnya Dinas Kesehatan perlu mencari
alternatif pilihan untuk meningkatkan kondisi kesehatan ibu dan
anaknya. Situasi dan kondisi politik di Tolikara yang khas dan
peran DPRD sebagai lembaga yang menyetujui anggaran daerah
perlu antisipasi untuk menjamin program pemberian makanan
tambahan ini bisa berlanjut.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Tolikara perlu mem-
berikan perhatian lebih pada kondisi yang bisa memberikan
pengaruh pada kesehatan balita. Tidak mudah mengubah tradisi
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 95
terkait perkawinan, persalinan, menyusui, pemberian makan, dan
pengasuhan anak agar berkontribusi positif terhadap kesehatan
balita. Apalagi bila semua itu sudah membudaya dan mengakar
di masyarakat.
Dalam rangka menjamin keberlangsungan program, pihak
pemerintah Kabupaten Tolikara melalui Dinas Kesehatan telah
melakukan komunikasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Papua
untuk mendapatkan dukungan. Upaya mencari dukungan ini tidak
berhenti di sini. Awal Tahun 2015, Kabupaten Tolikara kedatangan
Tim dari Ausaid dalam rangka perencanaan program kerjasama
dengan Provinsi Papua dan Papua Barat. Melalui pertemuan
singkatnya dengan Wakil Bupati Kabupaten Tolikara, Tim Ausaid
tertarik dengan pelaksanaan program tersebut dan bersedia
untuk memberikan dukungan pada Kabupaten Tolikara berupa
program yang akan didiskusikan lebih lanjut. Dukungan pihak
lain untuk meningkatkan taraf kesehatan di Kabupaten Tolikara
memang masih diperlukan. Keterlibatan semua pihak akan sangat
membantu untuk membangun Tolikara agar lebih baik.
Langkah Pemerintah Daerah untuk mengubah kondisi
kesehatan masyarakatnya juga dilakukan melalui pendekatan
lintas sektor. Pembangunan prasarana berupa jalan yang
akan menghubungkan semua distrik sudah dimulai. Program
pembangunan honai berbasis kesehatan juga digalakkan,
terutama bagi mereka yang masih menginginkan tinggal di honai.
Honai buatan pemerintah berbentuk sama dengan honai pada
umumnya, namun beratapkan seng dengan beberapa jendela
atau ventilasi. Upaya ini adalah untuk meningkatkan pola hidup
bersih dan sehat (PHBS) di masyarakat. Terakhir adalah program
1000 HPK yang khusus ditujukan kepada ibu dan anaknya.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara96
Terkait dengan program 1000 HPK yang dilaksanakan di
Kabupaten Tolikara, ada yang memang perlu dikritisi terkait
pelak sanaan program tersebut. Melihat dari sisi keutuhan sebuah
program kesehatan, harusnya program 1000 HPK ini bukan
berdiri sendiri menjadi sebuah program baru. Namun menjadi
bagian dari kegiatan pelayanan kesehatan kehamilan dan
persalinan. Konsep continuum of care merupakan satu kesatuan
program dalam rangka meningkatkan status kesehatan ibu dan
anak. Dimulai pada pasangan usia subur dalam memberikan
konseling terhadap pengetahuan kesehatan, berlanjut pada ibu
hamil melalui pelaksanaan 10 T serta pemantauan kesehatan
kehamilan lainnya, berlanjut pada pelaksanaan persalinan
aman dan nifas serta neonatal, pelayanan kesehatan bayi dan
balita, pelayanan kesehatan pada anak sekolah dasar, sampai
pada pelayanan pada remaja SMP dan SMA melalui kesehatan
reproduksinya. Ini menjadi kesatuan program secara utuh dan
menjadi siklus yang tidak bisa dikerjakan sepotong-sepotong.
Bagaimana kita akan mendapatkan bayi sehat apabila remaja
kita mengalami anemia dan ibu hamil belum memahami
perlunya empat kali minimal harus periksa ke tenaga kesehatan.
Bagaimana kita bisa menurunkan angka kematian bayi apabila
bidan enggan untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini. Inilah yang
masih terjadi di wilayah Tolikara.
97
BAB 5PELAYANAN KEHAMILAN DAN
PERSALINAN
5.1. Pelayanan Pemeriksaan Kehamilan
Proses kehamilan merupakan fitrah bagi setiap perempuan.
Semua perempuan umumnya mengidam-idamkan terjadinya
kehamilan pada diri mereka. Demikian pula perempuan di wilayah
penelitian. Bahkan, tidak jarang perempuan di sana memiliki anak
lebih dari 2. Bukan tanpa risiko, semua proses kehamilan memiliki
risiko lebih-lebih bila selama kehamilan mengalami tanda-tanda
lain yang menyebabkan risiko semakin tinggi. Hal ini berpotensi
menyebabkan kematian baik bagi ibunya maupun janin yang
dikandungnya.
Berbagai upaya kesehatan telah diupayakan oleh
pemerintah khususnya permasalahan kesehatan ibu dan anak.
Upaya kesehatan tersebut diarahkan pada masyarakat yang
dianggap rentan terhadap kesakitan seperti bayi, anak, serta ibu
hamil. Semua itu dilakukan dalam rangka menurunkan Angka
Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka
kematian balita (AKBA). Hanya saja, upaya kesehatan yang
dilakukan sementara ini masih lebih terfokus pada kegiatan
kuratif. Upaya-upaya yang bersifat promotif dan preventif yang
justru menjadi ruh bagi pembangunan kesehatan masyarakat di
Indonesia masih belum dikerjakan dengan sepenuh hati. Dengan
kata lain mencegah lebih baik dari pada mengobati yang selalu
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara98
di gembar-gemborkan masih belum menjadi sebuah upaya yang
dilakukan dengan optimal.
Memperhatikan bagaimana Angka Kematian Ibu di
Indonesia yang masih menjadi salah satu prioritas yang perlu
dipe cahkan. Salah satu poin penting yang harus diperhatikan oleh
pemerintah adalah bagaimana pemerintah melalui Puskesmas
yang ada di daerah mampu menjamin bahwa setiap ibu hamil
mendapatkan pemeriksaan kehamilannya untuk mengetahui
status kesehatannya. Pemeriksaan kehamilan yang berkualitas
dapat membantu menurunkan angka kematian ibu dan bayi
karena melalui pemeriksaan kehamilan mampu mengetahui
secara dini status kesehatan ibu selama hamil. Petugas kesehatan
bisa menentukan apakah ibu hamil tersebut memiliki risiko yang
tinggi pada kehamilannya atau tidak sehingga tindakan yang
tepat bisa dilakukan.
Menilik bagaimana pelaksanaan pemeriksaan kehamilan
di Puskesmas Karubaga, petugas kesehatan telah berupaya
memberikan pelayanan yang maksimal di tengah-tengah
keterbatasan yang ada. Di Puskesmas karubaga terdapat Balai
Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) yang memberikan pelayanan
kesehatan terhadap ibu dan anak. Selain di Puskesmas, pelak-
sanaan pemeriksaan kehamilan juga dilaksanakan ketika ada
kegiatan Posyandu. Posyandu dibentuk untuk mendekatkan
pelayanan kesehatan ibu dan anak yang karena kondisi geo-
grafisnya membuat mereka sulit mendapatkan akses ke
Puskesmas. Ibu hamil tidak perlu menempuh perjalanan jauh
menuju ke Puskesmas untuk mendapatkan pelayanan pemerik-
saan kehamilan.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 99
Agak sulit untuk mengetahui data ibu hamil di tingkat
Kabupaten. Pada Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara yang
tercantum hanya data dari wilayah Puskesmas Bokondini, padahal
seharusnya ada 25 Puskesmas. Menurut pengakuan pengelola,
Puskesmas Karubaga sudah menyerahkan data kepada Dinas
Kesehatan. Mereka heran mengapa data ibu hamil Puskesmas
Karubaga tidak tercantum di profil. Diakui oleh penanggungjawab
program KIA bahwa penjaringan ibu hamil untuk wilayah Kerja
Puskesmas Karubaga masih belum berjalan secara maksimal.
Pendataan ibu hamil masih dilakukan berdasarkan kunjungan
yang ada di Puskesmas dan Posyandu. Data Puskesmas Karubaga
mencatat sebanyak 143 ibu hamil. Namun angka ini masih jauh
dari yang seharusnya dengan estimasi yaitu 2,5% dari jumlah
penduduk di Kecamatan Karubaga yaitu 413,4 ibu hamil.
Gambar 5.1 Status Kunjungan Ibu hamil tahun 2014
Sumber: Laporan Puskesmas Karubaga
Tidak bisa dipungkiri bahwa kendala utama masyarakat
untuk mendapatkan akses ke fasilitas pelayanan kesehatan adalah
kondisi geografi dan tersedianya prasarana seperti jalan dan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara100
alat transportasi yang memadai, terutama mereka yang tempat
tinggalnya jauh dari pusat kota dimana Puskesmas berada.
Mengingat keterbatasan tersebut, keberadaan Posyandu sebagai
kepanjangan tangan Puskesmas untuk memberikan pelayanan
kesehatan ibu dan anak perlu ditingkatkan, baik dari sisi jumlah
maupun kualitas Posyandu itu sendiri.
Beruntung bagi masyarakat yang tinggal di kota Karubaga.
Dengan mengendarai sepeda motor atau dengan berjalan
kaki, orang akan mudah menjangkau Puskesmas. Mereka
yang beruntung, termasuk warga pendatang yang tinggal
dan menetap di distrik Karubaga. Tingginya kesadaran warga
pendatang terhadap pentingnya kesehatan membuat mereka
lebih berkesinambungan untuk memeriksakan kehamilannya di
Puskesmas. Berbeda kesadarannya dengan penduduk asli yang
masih enggan untuk segera memeriksakan kondisinya ketika dia
sudah terlambat menstruasi.
“ ... di sini biasanya pendatang lebih rajin periksa, telat hamil sudah langsung ke Puskesmas. Jadi kunjungan bisa minimal 4 kali. Tapi kalau penduduk asli memang masih banyak yang belum memahami. Jadi berkunjung biasanya di atas 4 bulan. Pernah waktu itu datang sudah 8 bulan. Banyak yang gitu … 6 bulan-7 bulan … katanya tidak tahu kalau hamil ....” P, Puskesmas Karubaga.
Warga pendatang lebih paham tentang pentingnya
pemeriksaan di awal kehamilan dan datang ke fasilitas kesehatan
untuk memeriksakan kehamilannya. Biasanya mereka datang ke
Puskesmas pada saat tahu terlambat menstruasi. Saat ada tanda-
tanda perubahan yang dirasakan, misalnya terlambat haid, terasa
mual sampai muntah, badan terasa tidak enak, maka mereka
langsung memeriksakan kondisinya ke petugas kesehatan. “...
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 101
saya waktu periksa pertama kali saat usia kandungan 2 minggu,
telat haid langsung periksa … biar kandungan sehat ....” tutur
seorang informan pendatang dari Toraja. Lain halnya dengan
masyarakat asli, kesadaran untuk memeriksakan kehamilannya
masih rendah. Hal ini bisa dihubungkan dengan bagaimana status
pendidikan masyarakat yang umumnya masih rendah. Kasus-
kasus K1 kontak/akses pada kehamilan di atas 3 bulan bahkan
sampai 7 bulan tidak jarang ditemui. Alasan pun beragam,
kebanyakan mereka tidak mengetahui bahwa mereka sedang
hamil. Mereka biasanya datang karena ada hal yang berbeda
yang terjadi dengan perutnya. Setelah diperiksakan ke bidan
Puskesmas akhirnya diketahui bahwa ia telah hamil besar.
Mama Rosalia adalah salah satu informan yang kami temui
ketika memeriksakan kehamilannya di Puskesmas. Ketika datang
ia telah hamil besar, namun ia tidak mengetahui berapa bulan
usia kandungannya. Mama Rosalia tinggal di salah satu distrik
di Tolikara yang cukup jauh. Kanggime adalah nama distrik di
mana mama Rosalia tinggal. Jarak antara Karubaga dan Kanggime
adalah 102 km, jarak yang jauh karena medan di Tolikara
merupakan daerah sulit.
Sebagai gambaran bagaimana kondisi medan di Tolikara,
peneliti berkesempatan mengunjungi salah satu Puskesmas yaitu
Puskesmas Kuari yang terdekat dengan Karubaga. Dengan jarak
yang tidak terlalu jauh, hanya 22 km, namun lokasi ini hanya
dapat ditempuh dengan menggunakan mobil double gardan
dalam waktu 50 menit. Jalan yang kami lewati adalah sebagian
aspal berlubang namun lebih banyak jalan tanah berbatu. Banyak
cerita dari beberapa orang yang kami temui yang menyebutkan
bahwa beberapa kali kendaraan terjatuh ke jurang. Beberapa di
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara102
antaranya merupakan kecelakaan fatal sampai mengakibatkan
kematian. Daerah Kuari yang kami kunjungi terbilang masih cukup
mudah dibandingkan dengan yang lain.
Kedatangan mama Rosalia ke Karubaga bukan dalam rang-
ka mendapatkan pelayanan kesehatan. Ada cerita duka di balik
kedatangannya dari Kanggime. Dia datang ke Tolikara karena kasus
KDRT. Beberapa waktu yang lalu sang paitua telah memukulnya.
Kasus KDRT membuat mama Rosalia pergi ke rumah keluarganya
di Tolikara. Karena keberadaannya yang sedang hamil, keluarga
di Tolikara kemudian membawanya ke Puskesmas. Kunjungan ke
Puskesmas itu merupakan kontak pertama mama Rosalia dengan
petugas kesehatan selama hamil.
Di Puskesmas, mama Rosalia diperiksa kandungannya
oleh bidan. Proses pemeriksaan kehamilan dilakukan sesuai
dengan prosedur pemeriksaan. Awalnya dilakukan anamnesa
tentang informasi dasarnya mengenai nama, alamat, dan riwayat
kehamilan. Diketahui bahwa mama rosalia memiliki 4 orang anak.
Namun anak pertama dan ketiganya meninggal dunia. Tidak
diketahui apa penyebab anak pertama dan ketiganya tersebut
meninggal. Selanjutnya bidan mengukur berat badan, memeriksa
perut untuk mengukur tinggi Fundus Uteri (TFU), serta melihat
denyut jantung janin sang bayi. Melihat besarnya kandungan
Peneliti juga menemukan kasus KDRT pada informan E, 17 tahun yang memiliki anak berumur 3 bulan. Pada saat pelak-sanaan 1000 HPK di salah satu pos di Karubaga, ia hadir dengan luka di bawah mata sebelah kanan. Masih bengkak dan lebam kehitam-hitaman. Setelah ditanya penyebabnya, “... dipukul paitua ...” tuturnya.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 103
mama rosalia dan berdasarkan pengukuran TFU, bidan meyakini
bahwa kandungannya sudah berumur 7 bulan dan itu merupakan
kontak pertama kalinya dengan petugas kesehatan selama
mengandung anak ke empatnya. Mama Rosalia masih harus
menjalani proses pemeriksaan lanjutan karena ada pembesaran
di pusarnya yang diketahui sebagai hernia Umbilikalis3.
Cerita mama Rosalia menjadi salah satu penanda bahwa
kesadaran masyarakat untuk datang memeriksakan kandungan-
nya pada trimester pertama masih rendah. Hal ini menandakan
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan repro-
duksi.
Mama Rosalia merupakan wanita yang menurut Manuaba
(2008) dan Prawirohardjo (2009) digolongkan sebagai multipara
atau multigravida4. Sebagai gambaran bagaimana status multi-
gravida bagi ibu hamil di Tolikara, berikut adalah beberapa ibu
hamil yang memeriksakan kehamilannya di Posyandu dan tercatat
status multigravida-nya dengan usia masih muda:
3 Hernia adalah protusi (penonjolan) dari organ melalui lubang defektif yang didapat atau kongenital pada dinding rongga yang secara normal berisi organ. Istilah hernia berasal dari bahasa Yunani “ERNOS” yang berarti penonjolan. Hernia Umbilikalis umumnya pada orang dewasa, lebih umum pada wanita dan karena peningkatan tekanan abdominal. Ini biasanya terjadi pada orang yang gemuk dan wanita Multipara (Yunita, 2012).4 Seorang wanita yang telah melahirkan anak lebih dari satu kali. Sedangkan Varney(2006) menyebutkan bahwa wanita yang sudah hamil dua kali atau lebih disebut Multigravida.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara104
Tabel 5.1 Data ibu hamil dengan gravida lebih dari 2
No.Nama Ibu
HamilUmur Diagnosa Presentasi Umur kehamilan
1. Werina Wandik
28 G8 P7 A0 I.Kep, II.Bok 31 minggu
2. Seli Kogoya 30 G7 P5 A1 Kepala 23 minggu3. Meliana
Wenda30 G7 P6 A0 Kepala 37 minggu
4. Yulisa 28 G7 P6 A0 kepala 28 minggu5. Roli Jikwa 26 G4 P3 A0 Kepala 36 minggu6. Seli Bogum 25 G3 P2 A0 Kepala 34 minggu7. Wendina 35 G7 P6 A0 Lintang 32 minggu8. Anggi
Wenda30 G4 P3 A0 Kepala 32 minggu
9. Koromina Jikwa
28 G6 P5 A0 Kepala 20 minggu
10. Sendilera Ebere
23 G5 P4 A0 Lintang 18 minggu
11. Temilera Tabo
26 G4 P3 A0 Kepala 18 minggu
12. Mina Wenda
25 G4 P3 A0 Ball ( + ) 8 minggu
Sumber: Laporan 1000 Hari Pertama Kehidupan
Tabel di atas adalah hasil rangkuman dari data beberapa
Posyandu dengan gravida lebih dari 2. Bila kita lihat dari usia ibu
hamil, dan sebagian besar ibu hamil memiliki umur yang masih
muda. Werina Wandik misalnya, di usianya yang ke-2 sudah
mengalami kehamilan yang ke-8. Contoh lain adalah Wendina
dengan status gravida G7 yang artinya adalah ia sedang hamil
anak ke-7. Peneliti juga menemukan seorang anak berumur
belasan tahun sedang hamil anak yang ketiga. Kita tahu, bahwa
kehamilan di usia muda menjadi salah satu faktor penyebab
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 105
kematian ibu dan bayi. Selain itu, faktor lain yang menjadi risiko
terjadinya kematian ibu adalah jarak anak yang terlalu dekat.
Bila dilihat jumlah kehamilan dengan usia dari tabel di atas dapat
diketahui bahwa jarak kehamilan juga terlalu dekat. Bisa jadi,
beberapa di antara ibu hamil tersebut mengalami kehamilannya
setiap tahun. Tampaknya fenomena 4T5 merupakan keadaan
ibu dalam proses kehamilan dan persalinan yang dapat dengan
mudah dijumpai di Tolikara.
Gambar 5.2. Bidan memeriksa tekanan darah ibu hamil
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Standar pemeriksaan kehamilan bagi ibu hamil adalah
minimal sebanyak empat kali. Yaitu 1 (satu) kali pada trimester
pertama, 1 (satu) kali pada trimester kedua, dan 2 (dua) kali pada
5 Terlalu tua, Terlalu muda, Terlalu sering, dan Terlalu dekat jarak untuk seorang ibu hamil dan melahirkan.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara106
trimester ketiga. Pemeriksaan kehamilan yang teratur diharapkan
dapat memantau perkembangan kesehatan bayi dan ibunya. Hal
ini diperlukan sebagai upaya deteksi dini apabila ada kelainan
atau hal-hal yang dapat menyebabkan timbulnya risiko pada
saat melahirkan. Berikut adalah data bulanan dari Puskesmas
Karubaga yang telah peneliti rangkuman perbulan. Namun karena
manjemen data Puskesmas masih belum maksimal maka data
Kesehatan Ibu dan Anak hanya ada beberapa bulan saja.
Tabel 5.2 Data KIA di Puskesmas Karubaga
No. Data Sepember Oktober Nopember Desember1. Jumlah Bumil
dengan buku KIA
85 97 95 98
2. K1 Murni 7 10 3 53. K1 akses 34 13 5 34. K4 52 5 7 55. bumil terdeteksi
risti8 8 7 7
6. Persalinan nakes
7 3 2 2
7. Persalinan Dukun
4 6 3 1
8. KN - - - 39. Jumlah kader 500 500 500 50010. Kader aktif - - - -
Jumlah penduduk Kabupaten Tolikara
275.191 Jiwa
Sumber : Laporan bulanan Kesehatan Keluarga Puskesmas Karubaga tahun 2014
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 107
Dari data di atas terlihat bahwa kunjungan ibu hamil K1
murni rendah. Selain itu, capaian K4 juga rendah. “ ... kelemahan
kita di sini adalah pencatatan dari kegiatan yang dilakukan. Bisa
jadi data kami rendah karena kegiatan kami tidak tercatat ....”
demikian komentar D, petugas kesehatan di Puskesmas Karubaga.
Data tersebut terkait dengan pembahasan peneliti sebelumnya
tentang pengetahuan ibu hamil dalam hal waktu pemeriksaan
kehamilan pertama kali. Bila K1 tidak tercapai, maka K4 juga
tidak akan terpenuhi. K1 adalah kunjungan pertama ibu hamil di
trimester pertama. Sedangkan K4 adalah jumlah kunjungan ibu
hamil selama kehamilannya minimal 4 kali dengan waktu seperti
dijelaskan di atas. Waktu pemeriksaan ini sangat penting bagi
kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya.
Masa awal kehamilan merupakan periode emas bagi janin
dalam proses pembentukan otaknya sehingga perlu diperhatikan
kesehatannya. Untuk menentukan keberhasilan program KIA,
Puskesmas sedianya memperhatikan jumlah sasaran program
tiap tahun. Apabila kita mengacu kepada jumlah ibu hamil yang
terdata selama tahun 2014 adalah sejumlah 143 Ibu hamil
sebagai sasaran, maka tiap bulan Puskesmas Karubaga harus
mendapatkan ibu hamil minimal 11 ibu hamil perbulan.
Namun, bagaimana sesungguhnya jumlah sasaran ibu hamil
di Puskesmas Karubaga? Berdasarkan cara penghitungan jumlah
sasaran ibu hamil dari buku pedoman PWS KIA Kementerian
kesehatan tahun 2010, jumlah sasaran ibu hamil dalam 1 tahun
dapat diperoleh melalui proyeksi. Penghitungannya dilakukan
berdasarkan perkiraan jumlah ibu hamil dengan menggunakan
rumus: 1,10 X angka kelahiran kasar (CBR) X jumlah penduduk.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara108
Cara yang lebih mudah dan lazim dilakukan untuk estimasi ibu
hamil adalah 2,5 persen dari total penduduk.
Angka kelahiran kasar (CBR) di Provinsi papua pada tahun
2010 adalah 17 (data dari BKKBN berdasarkan survei penduduk).
Sedangkan jumlah penduduk di Distrik Karubaga berdasarkan
data dari Tolikara dalam angka yaitu sebanyak 16.536 jiwa.
Jumlah sasaran ibu hamil dapat diketahui melalui perhitungan
sebagai berikut: 1,10 X 0,017 X 16.536 = 309. Jadi, melihat jumlah
sasaran dari Puskesmas Karubaga yaitu sebanyak 309 ibu hamil
maka prosentase ibu hamil yang terlayani masih 46%.
Cara yang lebih mudah dan lazim digunakan untuk
mengetahui sasaran ibu hamil pada suatu daerah tertentu yaitu
dengan estimasi ibu hamil 2,5 persen dari total penduduk.
Melalui estimasi ini, diketahui bahwa jumlah ibu hamil adalah
sebagai berikut: 2,5 % x 16.536 = 413,4 ibu hamil. Perlu upaya
lebih bagi petugas kesehatan untuk bisa menjangkau semua ibu
hamil di wilayah Puskesmas Karubaga.
Menjadi catatan tim peneliti bahwa dukungan pemerintah
Kabupaten sangat menentukan keberhasilan program. Kebijakan
berupa peraturan bupati atau peraturah daerah dirasa perlu
guna memperlancar program kesehatan. Selain itu, upaya per-
baikan pelayanan pemeriksaan ibu hamil hendaknya diikuti
dengan perbaikan pencatatan dan pelaporan di Puskesmas
sehingga sekecil apa pun progres bisa terlihat dan tercatat untuk
menentukan perencanaan program kesehatan, karena sistem
informasi merupakan bagian penting dalam suatu organisasi,
termasuk Puskesmas. Sistem infomasi manajemen Puskesmas
(Simpus) merupakan suatu tatanan atau peralatan yang
menyediakan informasi untuk membantu proses manajemen
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 109
Puskesmas dalam mencapai sasaran kegiatannya (Depkes RI,
1997).
Berbicara tentang pemeriksaan kehamilan, bukan hanya
dilihat dari kuantitasnya saja, tetapi kita juga perlu melihat
bagaimana kualitas pemeriksaan kehamilan yang dilakukan di
Puskesmas Karubaga. Standar pemeriksaan pelayanan kehamilan
atau Antenatal Care tertuang ke dalam Standar Operasional
Prosedur Antenatal Care (SOP ANC) yaitu pemeriksaan kehamilan
10 T atau dikembangkan pemeriksaan sampai 14 T. Pemeriksaan
kehamilan yang berkualitas merupakan hak bagi masyarakat.
Pemerintah sedianya menjamin setiap pelayanan kehamilan di
Puskesmas sesuai dengan standar yang berlaku.
Terkait dengan hal tersebut, isu pelayanan publik menjadi
sesuatu yang perlu diperhatikan. Informasi tentang promosi
kesehatan, pelayanan kesehatan, dan hal-hal yang terkait
tranparansi di tingkat Puskesmas perlu di publikasikan. Hal kecil
namun memiliki manfaat yang besar terkait upaya peningkatan
pelayanan publik bidang kesehatan ibu dan anak adalah adanya
SOP ANC yang terpasang dan bisa dibaca oleh ibu hamil yang
datang agar tahu tentang hak-hak yang akan didapatkan apabila
ia memeriksakan kehamilannya. Pemasangan informasi SOP ANC
diletakkan di tempat strategis untuk memudahkan pengunjung
terpapar hal tersebut. Untuk hal ini, Puskesmas Karubaga masih
belum mempublikasikan SOP ANC untuk dibaca ibu hamil. Hal
ini bukan tanpa alasan, karena kebiasaan masyarakat untuk
memberikan perhatian terhadap tulisan umumnya masih kurang.
Langkah lain yang bisa dilakukan adalah menggunakan gambar
sebagai media promosi. Dengan langkah tersebut, setidak-
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara110
tidaknya Puskesmas sudah melakukan upaya promosi bagi ibu
hamil tentang pelayanan pemeriksaan kehamilan.
5.2. SOP ANC Puskesmas Karubaga
Pagi itu, suasana di Balai KIA Puskesmas Karubaga
tidak begitu ramai, hanya ada dua wanita yang masih muda
berusia masing-masing 16 dan 18 tahun sedang memeriksakan
keluhannya tentang infeksi pasca persalinan. Tak lama berselang
datang seorang perempuan bersama anaknya yang masih berusia
lima tahun. Ia adalah Ibu Rosna, seorang pendatang yang baru
tinggal selama 3 bulan di Tolikara dan tinggal di Jalan Ampera. Ia
datang ke Tolikara mengikuti suaminya yang bekerja di sini. Bu
Rosna datang ke Puskesmas untuk memeriksakan kondisinya. “...
saya baru pindah dari Toraja, datang di Tolikara sudah 3 bulan ...
ini kok telat menstruasi makanya saya periksa ... karena mungkin
hamil ... ini pertama kali saya periksa di sini...” tutur Ibu Rosna
pendatang dari Toraja yang tinggal di jalan Ampera.
Pemeriksaan diawali dengan penimbangan berat badan.
Namun berdasarkan observasi peneliti, Pengukuran tinggi
badan tidak dilakukan pada ibu Rosna. Tahap selanjutnya adalah
peng ukuran tekanan darah menggunakan tensimeter. Untuk
menentukan status gizi ibu rosna, bidan mengukur lingkar lengan
atas (LILA) tangan yang pasif (pada Ibu Rosna tangan kiri yang
diukur).
Skrining status Imunisasi TT (Tetanus Toksoid) dilakukan
bidan untuk melihat apakah terhadap Ibu Rosna perlu dilakukan
imunisasi TT atau tidak. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan
laboratorium (Hb dan urinenya) pada Ibu Rosna. Tahap
selanjutnya adalah konseling mengenai kondisi Ibu Rosna, hal apa
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 111
yang perlu dilakukan untuk menjaga kesehatan kandungannya.
“... untuk pemeriksaan kehamilan 10T kami lakukan, sesuai SOP-
nya ...” (Bidan Patima, Puskesmas Karubaga).
Gambar 5.3. Pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Melihat bagaimana proses pemeriksaan kehamilan pada
Ibu Rosna, pada dasarnya untuk standar pemeriksaan ibu hamil
usia 0-3 bulan (K1) sudah sesuai dengan SOP ANC. Berikut ini
adalah tabel pelayanan SOP ANC 10T:
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara112
Tabel 5.3 Jenis pelayanan SOP ANC 10T
Jenis pemeriksaan K1 K2 K3 K4
T1 Penimbangan Berat Badan √ √ √ √
T2 Pengukuran Tekanan darah √ √ √ √
T3 Pengukuran LILA √ O O O
T4 Pengukuran TFU √ √ √ √
T5 Penentuan Presentasi janin dan DJJ O O √ √
T6 Skrining dan imunisasi TT √ O O O
T7 Pemberian TTD O O √ √
T8 Tes laboratorium (Hb dan urine) √ O O √
T9 Tata laksana kasus √ √ √ √
T10 Konseling √ √ √ √
Sumber: Kartu kontrol SOP ANC Yapikma
Namun ada beberapa proses pemeriksaan yang menjadi
perhatian peneliti. Pelaksanaan penimbangan ibu hamil perlu di
perhatikan, karena posisi ibu saat diperiksa berpengaruh terhadap
ketepatan pengukuran. Berdasarkan panduan Riset Kesehatan
Dasar tentang bagaimana pengukuran berat badan bagi orang
dewasa, posisi yang ditimbang adalah dengan memperhatikan
posisi kaki responden tepat di tengah alat timbang, sikap tenang
dan kepala tidak menunduk (memandang lurus ke depan). Selain
itu, pemeriksaan leopold pada Mama Rosalia posisi kaki tidak
ditekuk 45 derajat. Hal lain yang menjadi perhatian peneliti
adalah pemeriksaan head to toe (pemeriksaan dari ujung rambut
sampai ujung kaki) belum dilakukan dengan optimal. Pemeriksaan
ini sangat penting untuk melihat tanda-tanda yang menyebabkan
risiko pada ibu hamil. Apakah ada kondisi tertentu yang terlihat
misalnya pembengkakan pada kaki, pembengkakan pada wajah,
apakah wajah ibu hamil pucat yang menandakan bahwa ia
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 113
menderita anemia, dan lain-lain. Pemeriksaan ini dilakukan mela-
lui pemeriksaan pandang (inspeksi), pemeriksaan raba (palpasi),
periksa dengar (auskultasi), dan periksa ketuk (perkusi).
Bidan Puskesmas perlu memperhatikan bagaimana pe-
laks anaan pemeriksaan tiap tahapan. Kesesuaian antara alat
yang digunakan dengan cara pemeriksaan yang benar akan
berpengaruh pada kualitas pemeriksaan karena kualitas pemerik-
saan menentukan ketepatan kondisi ibu hamil. Sebagaimana
telah peneliti sampaikan di awal, pemeriksaan kehamilan yang
berkualitas akan dapat mengetahui kondisi kesehatan ibu hamil
secara tepat demi keselamatan ibu dan bayinya.
Gambar 5.5 Pemeriksaan leopold oleh Bidan Puskesmas Karubaga
Sumber : Dokumentasi Peneliti
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara114
5.3. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan di Fasilitas Kesehatan
Upaya untuk menekan angka kematian ibu dan bayi adalah
dengan berupaya meningkatkan cakupan persalinan oleh tenaga
kesehatan di fasilitas kesehatan. Pertolongan persalinan tidak
cukup hanya oleh tenaga kesehatan. Untuk mencegah terjadinya
kondisi yang tidak diinginkan, proses persalinan hendaknya
dilakukan di fasilitas kesehatan.
Tabel 5.4. Persalinan oleh tenaga kesehatan Kabupaten Tolikara
No. TahunPersentase persalinan
oleh nakesketerangan
1. 2010 10% -
2. 2011 10% -
3. 2012 20% -
Sumber: Profil Dinas Kesehatan 2013
Data di atas menunjukkan masih rendahnya cakupan
persalinan oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Tolikara. Kebe-
radaan dokter serta bidan di wilayah mempengaruhi prosentase
persalinan dibantu tenaga kesehatan. Masyarakat masih banyak
yang melakukan persalinan sendiri ditolong oleh keluarganya. “...
masyarakat di sini rutin datang ke Puskesmas untuk periksa tapi
kalau waktu melahirkan tidak datang...“ (P, Puskesmas Karubaga).
Pendapat tersebut dikuatkan cerita pengalaman seorang
informan pada saat melahirkan. Ia mengaku bahwa persalinannya
dibantu oleh keluarganya tanpa ada petugas kesehatan yang
membantu menolong.
Dari data tahun 2014 diketahui bahwa persalinan oleh
tenaga kesehatan sejumlah 38 persalinan. Sedangkan persalinan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 115
yang ditolong oleh non tenaga kesehatan yang tercatat ada
31 persalinan. Angka ini sangat rendah apabila dibandingkan
dengan jumlah sasaran ibu hamil di distrik Karubaga yang
berjumlah 309 ibu hamil, atau 413 ibu hamil bila menggunakan
rumus 2,5% dari jumlah penduduk. Apa sesungguhnya yang
menyebabkan persalinan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas
Karubaga sedemikian rendah? Upaya pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan sedianya merupakan tanggung jawab
pemerintah. Pemerintah berkewajiban menjamin setiap warganya
memperoleh pelayanan kesehatan dasar termasuk pertolongan
persalinan. Pemerintah telah berupaya memberikan pelayanan
persalinan kepada rakyatnya melalui program jaminan persalinan.
Namun di awal tahun 2015, program jampersal di ganti dengan
program BPJS.
Beruntung bagi masyarakat Kabupaten Tolikara, semua
warganya, melalui kebijakan pemerintah Kabupaten Tolikara men-
dapatkan pelayanan kesehatan di Puskesmas secara gratis. Ada
dua hal yang menyebabkan rendahnya cakupan persalinan oleh
tenaga kesehatan di Kabupaten Tolikara. Pertama adalah upaya
penjaringan ibu hamil serta pendampingan ibu hamil sampai
melahirkan masih terbatas pada wilayah tertentu dan masih
belum mencakup seluruh wilayah Tolikara, khususnya wilayah
Puskesmas Karubaga. Kedua adalah kesadaran masya rakat untuk
bersalin dibantu tenaga kesehatan masih rendah.
Berbicara tentang kecukupan tenaga untuk wilayah
Kabupaten Tolikara, jumlah yang ada masih jauh dari angka cukup.
Namun, melihat bagaimana kondisi di Puskesmas Karubaga, Dari
sisi jumlah tenaga sebenarnya Puskesmas Karubaga memiliki
jumlah tenaga yang cukup. Di sana terdapat 9 dokter dan ada
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara116
11 bidan yang tercatat sebagai pegawai di Puskesmas Karubaga.
Bahkan ada penambahan jumlah bidan sebanyak 30 bidan pada
tahun 2015. Jumlah tenaga yang mencukupi ini menjadi potensi
bagi Puskesmas untuk bisa memberikan pelayanan persalinan
yang berkualitas. Bagi bidan Puskesmas, pelatihan APN (Asuhan
Persalinan Normal) menjadi standar wajib untuk memberikan
pelayanan persalinan normal. Namun, di Puskesmas Karubaga
masih belum ada bidan Puskesmas yang pernah mengikuti
pelatihan APN. Hal ini menjadi penting karena pengalaman bidan
dalam menolong persalinan menentukan bagaimana ia mampu
menangani persalinan secara aman.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 117
BAB 6DINAMIKA PELAYANAN KESEHATAN
Apabila kita kembali melihat IPKM tahun 2014 yang
diolah berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2013,
dapat diketahui bahwa indikator terkait pelayanan kesehatan
di Kabupaten Tolikara masih sangat rendah. Kondisi kesehatan
masyarakatnya berdasarkan indeks kelompok indikator pelayanan
kesehatan menunjukkan skor 0,06. Memang, Kabupaten Tolikara
bukanlah satu-satunya kabupaten dengan skor yang rendah
bila dibandingkan dengan kabupaten lain di Papua. Skor indeks
kelompok indikator di atas sengaja kami lihat secara lebih
dalam karena hal tersebut merupakan dasar bagi terpenuhinya
pelayanan kesehatan di Kabupaten Tolikara.
Permasalahan di tanah Papua terutama di daerah pegu-
nungan tengah boleh dikatakan merupakan masalah klasik yang
terjadi di sana. Bagaimana sebuah Puskesmas mampu mem-
berikan pelayanan kesehatan yang maksimal apabila dari sisi
kuantitas tenaga kesehatan yang dibutuhkan belum terpenuhi.
Masyarakat tentunya akan sangat kesulitan untuk mendapatkan
pelayanan pengobatan apabila di wilayahnya kekurangan dokter.
Bagaimana kondisi geografis, kecukupan tenaga, faktor etos
kerja, sampai pada minimnya pengawasan dari pemerintah
provinsi maupun pemerintah pusat menyebabkan ada sebagian
program kesehatan yang tidak berjalan dengan maksimal.
Tetapi bukan tanpa harapan, ada potensi yang dapat digali guna
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara118
memaksimalkan pelaksanaan upaya kesehatan oleh pemerintah
Kabupaten Tolikara.
6.1. Akses ke Puskesmas
Suatu ketika, kami berbincang-bincang dengan seorang
pasien Puskesmas yang datang dari wilayah yang cukup jauh dari
Puskesmas. Distrik tersebut bernama Kanggime yang berjarak 102
km dari Karubaga. Untuk menuju Karubaga, ia harus naik mobil
angkutan dengan biaya 200 ribu sampai 300 ribu rupiah sekali
jalan. Akses jalan yang sedemikian sulit memaksa biaya untuk
menuju ke Karubaga sedemikian mahalnya. Bila ia pulang ke
Kanggime harus naik angkutan lagi maka ia harus mengeluarkan
uang minimal 400 ribu rupiah hanya untuk berobat ke Puskesmas
Karubaga.
Gambar 6.1. Jalan menuju Distrik Karubaga
Sumber : Dokumentasi Peneliti
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 119
Puskesmas Karubaga merupakan salah satu Puskesmas
yang memberikan pelayanan kesehatan setiap hari. Pelayanan
pengobatan di Puskesmas Karubaga diberikan secara gratis
untuk semua pasien. “... di sini kebijakan dari Pemerintah
Kabupaten mengharuskan pelayanan pengobatan diberikan
gratis. Untuk semua pasien ...” (L, Puskesmas Karubaga). Pasien
yang datang ke Puskesmas Karubaga tiap harinya tidak kurang
dari 80 pasien. Namun, bagaimana kemampuan masyarakat
dalam mengakses pelayanan kesehatan di Kabupaten Tolikara?
Tidak semua distrik di Kabupaten Tolikara memiliki Puskesmas
yang aktif tiap harinya. Bidan dan dokter yang ditugaskan di
Puskesmas di pelosok terpaksa harus turun ke Karubaga karena
alasan tertentu. Keamanan, logistik, serta akses menjadi faktor
utama bagi petugas kesehatan untuk tidak menempati rumah
dinas di wilayah kerjanya. Masyarakat di luar Distrik Karubaga
terpaksa harus datang ke Karubaga untuk mendapatkan
pelayanan pengobatan. Biaya untuk menjangkau Puskesmas
sangat memberatkan masyarakat hanya untuk mendapatkan
pelayanan gratis. Bagi mereka, tetaplah tidak gratis untuk berobat
ke Karubaga karena untuk menuju ke Puskesmas Karubaga
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Beberapa narasumber di
Kimibur juga merasakan hal serupa. “... kalau mau berobat harus
ke Karubaga, jauh, kadang-kadang jalan kaki. Kalau naik ojek tidak
punya uang...” (D. Kimibur).
Harapan warga Tolikara, untuk mendapatkan pengobatan
dengan mudah sangat besar, khususnya mereka yang tinggal
di luar Distrik Karubaga. “... kalau ada bidan yang tinggal di
sini enak, mudah kalau mau berobat...” (E, warga Kimibur).
Keberadaan tenaga kesehatan di tiap distrik akan memudahkan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara120
akses masyarakat untuk berobat. Program pemerintah
menempatkan bidan di desa masih belum berjalan maksimal di
Kabupaten Tolikara. Pemerintah sedianya bisa menjamin petugas
kesehatan agar bisa menempati wilayahnya masing-masing.
Sebenarnya dokter dan bidan serta perawat di Tolikara
bukan tidak mau menempati wilayah yang ditentukan. “... kami
dokter dan bidan sebenarnya mau untuk menempati tempat di
wilayah ... namun kami juga butuh jaminan keamanan, kecukupan
perbekalan, serta akses kami ke sana...” (A, Puskesmas Karubaga).
Petugas kesehatan yang akan ditempatkan di Puskesmas sedianya
dibekali dengan perbekalan yang memadai selain jaminan
keselamatannya. Pendapat lain disampaikan oleh informan kami
D yang bekerja di Dinas PU.
“... dokter dan bidan itu sudah ditempatkan di sana, tapi tidak ditempati ... sudah disediakan rumah dinas juga di sana ... masyarakat di sana sangat membutuhkan tenaga kesehatan ... justru mereka senang ... aman kok di sana ... karena masyarakat jaga dia ... kan butuh to sama dokter ka, bidan ka,...”.
6.2. Pelayanan Puskesmas Kuari, Puskesmas di Luar Ibukota Kabupaten Tolikara
Di Kabupaten Tolikara, fasilitas pelayanan kesehatan yang
aktif dan setiap hari memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat sementara ini hanya dilakukan oleh 2 Puskesmas,
yaitu Puskesmas Karubaga dan Puskesmas Bokondini. Hal ini
terjadi karena kabupaten ini belum mempunyai Rumah Sakit
Daerah. Dalam hal ini peneliti juga tidak menggambarkan
kondisi pelayanan yang dilakukan di Puskesmas Bokondini
karena memang tidak menjangkau wilayah tersebut. Dinas
Kesehatan mengakui bahwa pelayanan kesehatan yang optimal di
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 121
seluruh wilayah Kabupaten Tolikara hanya dilakukan oleh kedua
Puskesmas tersebut.
Pertanyaannya adalah bagaimana dengan pelayanan yang
diberikan Puskesmas lainnya? Bagaimana pelaksanaan program
kesehatan di sana, kondisi pelayanan kesehatan secara umum
serta bagaimana kondisi kelayakan Puskesmas sebagai tempat
pelayanan kesehatan masyarakat?
Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut,
kami akan memberikan gambaran secara singkat bagaimana
kondisi pelayanan kesehatan di Puskesmas selain Puskesmas
Karubaga dan Bokondini. Dengan pertimbangan kemudahan
akses menuju lokasi Puskesmas, dipilih Puskesmas Kuari, yang
merupakan Puskesmas dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari
Puskesmas Karubaga.
Gambar 6.2. Bangunan Puskesmas Kuari
Sumber : Dokumentas peneliti
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara122
Sesampainya di Puskesmas Kuari, terlihat bangunan yang
lumayan besar dengan ukuran sekitar 6 x 12 meter memanjang
dengan bangunan sebagian besar terbuat dari kayu. Saat kami
datang, waktu menunjukkan pukul 12.00 WIT namun tidak ada
aktivitas yang terlihat di sana. Pintu Puskesmas pun terkunci,
menandakan sudah beberapa waktu Puskesmas tidak melakukan
pelayanan kesehatan. Kami pun mencoba masuk untuk melihat
lebih jauh bagaimana kondisi Puskesmas. Benar saja, di dalam
beberapa barang berserakan. Obat-obatan tidak tertata dengan
rapi. Kami pun menyimpulkan bahwa Puskesmas ini sudah lama
tidak beroperasi.
Gambar. 6.3. Kondisi ruangan di Puskesmas Kuari
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Pemahaman kami juga dibenarkan oleh seorang kader di
sana. Ia menyebutkan, memang sangat jarang pelayanan yang
dilakukan di Puskesmas. Dengan kata lain, hampir tidak ada
pelayanan yang terjadi di sana. Berdasarkan data, sebenarnya
ada beberapa petugas kesehatan yang ditugaskan di Puskesmas
Kuari, tetapi masih saja tidak menempati lokasi yang ada. Rumah
dinas yang disediakan untuk petugas Puskesmas terlihat sudah
ada penghuninya, dan itu adalah masyarakat lokal. Melihat
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 123
kondisi seperti ini, bagaimana dengan program KIA, program
pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan, dan
program-program lain yang sangat dibutuhkan masyarakat?
Per tanyaan lain yang mengusik hati adalah bagaimana dengan
penyerapan anggaran Puskesmas yang mengalir seperti anggaran
operasional, BOK, dan lainnya? Jawabannya, tidak ada yang
bisa menjawab. Bidan yang sekaligus adalah kepala Puskesmas,
sedang tidak berada di tempat. Dia lebih banyak tinggal di Tolikara
dan Wamena. Pendamping sekaligus penerjemah dari Dinas
Kesehatan ketika menemani kepergian peneliti ke Puskesmas
Kuari hanya melihat kami dan berkomentar menggunakan bahasa
lokal yang sama sekali tidak kami mengerti.
Bagi warga masyarakat seperti Brau Jikwa, pelayanan
kesehatan di wilayah Distrik Kuari lebih banyak ditangani oleh
kader. Seseorang yang dididik oleh pihak Gereja untuk senantiasa
siap melayani warga setempat. Terkait pelayanan kesehatan,
Jikwa berkata bahwa:“... tidak ada tenaga kesehatan di sini ... hanya kader yang layani pengobatan ... kalau dokter ada kunjungan ke puskes kita ... ada pengobatan untuk masyarakat Kuari ... obat-obat juga bisa gratis ... tapi itu hanya kadang-kadang saja ....”
Ketika seseorang berada pada kondisi sakit dan mem-
butuhkan pengobatan, maka akan pergi ke Puskesmas di Tolikara.
Tentunya kalau punya uang untuk biaya transportasi. Bila tidak
punya uang, pemanfaatan ramuan tradisional merupakan
alternatif pengobatan yang dilakukan.
Kondisi seperti ini seolah-olah menjadi suatu “kewajaran”
melihat kondisi geografis dan sekumpulan permasalahan yang
meliputinya. Puskesmas lain di wilayah Kabupaten Tolikara
memiliki kondisi yang kurang lebih sama dengan Puskesmas
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara124
Kuari. Mungkin perlu ada sebuah tindakan tegas dan revolusioner
guna mengubah tatanan Puskesmas menjadi lebih baik. Karena
pelayanan kesehatan minimal yang harus di dapatkan oleh
masyarakat, tidak terkecuali di daerah terpencil sekalipun,
menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya.
6.3. Kebijakan tentang Pemenuhan Tenaga Kesehatan
Pemenuhan kuantitas tenaga kesehatan sesungguhnya
tidaklah lepas dari kebijakan pemerintah daerah karena hal ini
terkait erat dengan anggaran kabupaten. Bila dilihat dari asal
muasal tenaga kesehatan yang ada di Kabupaten Tolikara, bisa
digolongkan menjadi tenaga PTT Pusat, Tenaga PTT Daerah, dan
PNS. Pemerintah kabupaten bukannya tidak mengusahakan
pemenuhan jumlah tenaga Kesehatan. Memang tidak tiap tahun
akan ada penambahan jumlah bidan dan dokter, tetapi setidak-
tidaknya dalam periode tertentu Dinas Kesehatan mendapatkan
bantuan tenaga bidan dan dokter melalui PTT Pusat yang
ditempatkan di wilayah tertentu di Kabupaten Tolikara. Selain itu,
ada beberapa tenaga PTT kabupaten yang didatangkan beberapa
waktu sebelum peneliti datang ke daerah penelitian. Telah
didatangkan bidan sebanyak 30 bidan guna memenuhi rasio
kecukupan bidan di Kabupaten Tolikara.
Tidak bisa terelakkan bahwa Kabupaten Tolikara masih
terbilang baru. Semua hal terkait sarana dan prasarana, jumah
tenaga secara umum, sampai pada program dan kegiatan
yang dilakukan oleh SKPD dirasa masih belum optimal. Seperti
halnya, Peraturan Bupati, maupun Peraturan Daerah, serta Surat
Keputusan baik itu dari bupati maupun kepala dinas terbilang
sangat minim. Pemerintah Kabupaten masih disibukkan dengan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 125
isu-isu politik yang kian memanas. Pertikaian antargolongan
ter tentu sampai pada peperangan bukan lagi terkait masalah
adat. Namun, sudah disisipi dengan bumbu politik yang
melatarbelakanginya. Ada pihak tertentu yang berkepentingan
akan “menunggangi” sekelompok masyarakat untuk berulah
demi tercapainya maksud dari sang sutradara. Peneliti berhasil
mengabadikan beberapa puing dari perkantoran yang telah
menjadi sasaran kemarahan warga terkait kepentingan politik.
Beberapa kantor termasuk Dinas Kesehatan dibakar. Penyebabnya
adalah orang yang didukung untuk menduduki kursi kepala
daerah ataupun anggota dewan perwakilan rakyat tidak terpilih.
Kebijakan yang tidak tertulis justru berpengaruh pada
pemenuhan tenaga kesehatan di Tolikara. Berdasarkan hasil
dari wawancara peneliti, beberapa informan menyebutkan
bahwa yang menduduki Kepala Puskemas adalah penduduk
asli Tolikara. Dan itu merupakan keharusan. Tidak penting lagi
bagaimana kualifikasi yang dimilikinya, apakah ia mampu untuk
memposisikan dirinya sebagai manajer atau tidak. Pangkat dan
golongan pun, sampai latar belakang pendidikan, bukan menjadi
penghalang.
Bagaimana dengan posisi lain di Puskesmas Karubaga? Bagi
masyarakat, dokter hanya bertugas sebagai tenaga pelayanan
kesehatan saja, tidak lebih. Dokter yang berasal dari luar
daerah masih belum memiliki kesempatan untuk menduduki
Kepala Puskesmas. Selain itu, bidan yang ditempatkan masih
sebatas pada tanggung jawab desa yang ditugaskan padanya.
Peneliti melihat belum ada pembagian tugas yang jelas yang
diinstruksikan Kepala Puskesmas kepada petugas tertentu
sebagai tenaga tertentu. Di BKIA misalnya, bisa siapa saja yang
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara126
memberikan pelayanan di sana. Siapa yang dirasa agak senggang
bisa menempati bagian pelayanan yang membutuhkan. Ini
berdampak pada pelaksanaan program tidak bisa berjalan
dengan optimal.
Ada pandangan unik di masyarakat tentang kepega waian di
Tolikara. Bagi tenaga PNS yang sudah mengalami masa pensiun,
maka keturunannya juga harus menjadi PNS menggantikan
orang tuanya yang pensiun. Selain itu, untuk pembebasan tanah
adat sebagai lokasi kompleks pemerintahan, ada beberapa hal
yang harus dipenuhi oleh pemerintah kabupaten, salah satunya
adalah harus terakomodirnya seseorang sebagai tenaga PNS di
lingkungan pemerintah Kabupaten.
Koordinasi antara Puskesmas dengan Dinas Kesehatan
sangatlah menentukan dalam keberhasilan program kesehatan.
Upaya monitoring dan evaluasi program kesehatan oleh Dinas
Kesehatan dapat menjadi bahan evaluasi bagi Dinas Kesehatan
untuk melihat, sejauh mana program yang dilakukan oleh
Puskesmas berjalan dengan baik atau tidak.
Berdasarkan wawancara dengan beberapa petugas Pus-
kesmas, memang jarang dilakukan pertemuan baik di tingkat
Puskesmas maupun Dinas Kesehatan untuk melakukan koordinasi
maupun evaluasi program. Pertemuan rutin yang sedianya
dilakukan tiap minggu untuk membahas capaian program di
tingkat Puskesmas jarang dilakukan. Selain itu, pertemuan kepala
Puskesmas untuk melaporkan capaian program masih belum
dilakukan. Contoh tidak dicantumkannya data yang dilaporkan
Puskesmas Karubaga pada Profil Dinas Kesehatan merupakan
bentuk tidak adanya koordinasi. Kepala Puskesmas Karubaga
sedianya menginginkan kegiatan pertemuan dengan Dinas Kese-
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 127
hatan berjalan rutin. Hal ini menyebabkan pelaksanaan moni-
toring dan evaluasi program kesehatan belum berjalan dengan
baik.
6.4. Peran Lintas Sektor dan Masyarakat
Pembangunan kesehatan masyarakat tidaklah mungkin
tercapai dengan baik apabila keterlibatan sektor terkait rendah.
Permasalahan kesehatan bukanlah menjadi permasalahan
Puskesmas atau Dinas Kesehatan saja, tetapi juga merupakan
permasalahan bersama dan diperlukan keterlibatan semua
pihak untuk menyelesaikannya. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten
Tolikara, peran aktif SKPD terkait dalam ikut serta mensukseskan
program kesehatan masih menjadi harapan besar. Program
pemberian makanan bagi ibu hamil dan menyusui seharusnya
bisa dilakukan melalui kerjasama lintas sektoral baik dari segi
pemenuhan bahan makanan sampai pada upaya promosi tentang
informasi kesehatan.
Gambar 6.4. Struktur Tim Teknis Pelaksanaan Program Penanganan Gizi Ibu Hamil Kabupaten Tolikara.
Sumber : Dokumentas Peneliti
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara128
Sebenarnya upaya untuk melibatkan instansi terkait dalam
program pemberian makanan bagi ibu hamil dan menyusui
sudah dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Surat resmi sudah pernah
disampaikan pada beberapa dinas yang menjadi sasaran kerja
sama. Namun masih belum ada respon untuk mau terlibat dalam
program kesehatan.
Dari gambar susunan tim teknis di atas terlihat bahwa ada
keterlibatan dinas lain dalam pelaksanaan program di antaranya
Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Dinas Sosial, Disperindag,
Tim Penggerak PKK, Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat. Namun
pada pelaksanaannya, masih belum tampak adanya peran aktif
dari sektor lain untuk ikut memberikan dukungannya baik berupa
keterlibatan dalam kegiatan maupun perencanaan program dan
anggaran. Di sinilah diperlukan adanya sinkronisasi program
bagi lintas sektor sehingga program berwawasan kesehatan bisa
terlaksana dengan baik.
Program lain memang sudah ada bentuk partisipasi
atau kerjasama lintas sektoral. Seperti yang dilakukan Dinas
Kesehatandengan BP2KB dalam hal pemenuhan alat kontrasepsi
serta penyuluhan kesehatan reproduksi serta promosi peng-
guna an alat kontrasepsi. Dinas PU juga terlibat dalam upaya
penyehatan lingkungan melalui penyediaan WC umum di
beberapa tempat strategis.
Berdasarkan pengakuan dari sekretaris PU disebutkan
bahwa untuk membangun 3 unit WC umum memerlukan biaya
lebih dari 100 Juta rupiah. “... di sini semua mahal, semen satu
sak harganya 800 ribu, pasir per truk itu harganya sama ongkos
angkutnya 7 juta ...” tuturnya.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 129
Gambar 6.5 Pembangunan WC Umum di Kuari
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Selain itu, dalam mendukung tersedianya kesehatan ling-
kungan di Kabupaten Tolikara, Dinas PU berupaya untuk mem-
buat saluran air bersih dari pegunungan dan disalurkan melalui
pipa-pipa kecil. Jangkauan pembangunan perpipaan ini memang
belum sampai pada semua daerah, hanya daerah perkotaan
dan beberapa daerah di sekitarnya. Namun program ini adalah
langkah awal bagi kesehatan lingkungan dalam upaya peningkatan
sanitasi di masyarakat. Bukan tanpa kendala, program perpipaan
ini seolah-olah menjadi hal yang menguntungkan bagi sebagian
masyarakat yang tidak bertanggung jawab. Di beberapa titik,
ada pipa yang dirusak menggunakan parang dengan memotong
saluran tersebut. Entah apa alasan dilakukan pemotongan
tersebut, yang pasti sudah menimbulkan kerugian tidak
hanya bagi pemerintah tetapi juga masyarakat. Selain itu,
upaya menyumbat air dengan sengaja dilakukan oleh oknum
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara130
masyarakat tertentu untuk mendapatkan keuntungan finansial
dengan memberikan sejumlah tarif bagi masyarakat yang
ingin mendapatkan air tersebut. Dukungan masyarakat dalam
menyukseskan perogram berwawasan kesehatan masih belum
optimal.
Di sisi lain, masih ada harapan dari keterlibatan masyarakat
untuk memajukan kesehatan di masyarakat. Bila kita lihat dari
kemampuan mengidentifikasi masalah kesehatan yang ada,
masyarakat sudah tahu bahwa di sekitarnya sudah terdapat
beragam penyakit, baik yang menular maupun yang tidak menu-
lar. Masyarakat juga tahu tentang perlunya menjaga kesehatan
ibu dan anak yang saat ini menjadi program utama Tolikara
dengan program 1000 HPK-nya. Berikut adalah beragam penyakit
yang diketahui oleh Amos Kogoya dan Yenni Waraba, warga
Karubaga.
“... orang-orang dewasa itu bisa sakit macam-macam, misalnya ada kencing manis, tinggi darah, dan sebagainya ... kalo anak-anak seperti flu, batuk ... biasa juga ada malaria, kalo ada hujan seperti ini ... setahu saya, ada periksa untuk anak-anak, ibu hamil, orang yang sakit apakah itu, penyakit … maaf, kelamin, HIV, tapi jarang orang sini yang sakit seperti itu ... tapi ada juga, teman saya, diperiksa dokter, diberi obat dan sepertinya sudah sembuh ....”
“... saya lihat untuk yang bupati sekarang ini lebih fokus ke kesehatan, ada PMT utuk ibu hamil dan menyusui ... itu sepertinya program khusus ... banyak yang tertolong ... menurut saya, ibu-ibu yang kurang bagus gizinya jadi lebih diperhatikan ... yaaa kondisi di sini, para suami kurang memperhatikan kondisi keluarganya ... tapi ada juga yang perhatian ... kebanyakan yang sudah pendidikan atau pegawai ... yang saya tau, mereka diberi paket makan pagi, lengkap ada susu dan buah juga, ya lumayan juga, saya pernah liat, menunya ganti-ganti kog ....”
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 131
Apa yang dikemukakan oleh Amos Kogoya menunjukkan
bahwa dia sudah mampu mengenali perilaku berisiko. Apakah
sadar bahwa dia mempunyai risiko terkena penyakit karena
berada dalam lingkungan yang berisiko, tampaknya belum
sepenuhnya disadari. Dia belum tahu tentang konsekuensi dari
risiko dan kondisi yang akan dihadapi serta ancaman bagi kondisi
sosialnya.
Bukan masalah terkait dengan penyakit saja yang mampu
masyarakat identifikasi. Masalah keterbatasan tenaga kesehatan,
terutama untuk memberikan pelayanan di luar wilayah Distrik
Karubaga, banyak menjadi keluhan. Bagi mereka, itu merupakan
tangungjawab pemerintah untuk menyediakan tenaga kesehatan
seperti dokter, perawat, dan bidan.
Mereka sadar, tidak mudah bagi pemerintah untuk segera
memenuhi harapan yang diinginkan. Kondisi alam membuat
masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan yang secara
kuantitas lebih banyak dibandingkan yang tinggal di kota
Karubaga, agak kesulitan mengakses fasilitas kesehatan dan
mendapat pelayanan kesehatan. Kondisi alam membuat tenaga
bidan atau perawat yang ditempatkan di luar Distrik Karubaga
tidak banyak yang bersedia. Adalah sudah semestinya bila
penanganan masalah kesehatan belum optimal.
Terlepas dari bagaimana kondisi alamnya, besarnya energi
yang dikeluarkan untuk berjalan kaki, besarnya uang untuk naik
alat transportasi yang ada, kalau sakit mereka akan pergi ke
Puskesmas agar bisa diobati oleh dokter, seperti yang dikatakan
Yonas Wanimbo dan Meiny Wenda dari Kagime berikut.“... kita kalo sakit pasti akan ke dokter supaya kasih obat, sembuh dan bisa sehat lagi toh ... dokter kasih tau supaya kita jaga kesehatan ... jaga makan yang sehat-sehat ... kasih badan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara132
istirahat kalo sakit ... kita akan menurut apa kata dokter ... obatnya kadang-kadang kurang cocok, jadi sering bolak balik.”
“... orang-orang sini kalo sakit langsung ke puskes ... kalo dekat langsung jalan kaki ... kita dari Kagime, musti naik mobil, ongkos mahal ... kalo ada ongkos, kita berangkat ke puskes, nunggu ada ongkos dulu.”
Dengan keahlian yang dimiliki dan pengabdian yang dibe-
rikan, dokter, bidan dan perawat mendapat tempat khusus di
hati masyarakat Tolikara. Mereka percaya dengan tindakan dan
pengobatan yang dilakukan petugas kesehatan. Pengobatan
secara medis mulai menggantikan peran ramuan tradisional. “...
biasanya orang sini akan ke Puskesmas, diperiksa dan dikasih obat
... sudah bagus dokter di sini ... sudah jarang yang pake ramuan
kalo sakit …” kata Emi Wanimbo.
Dalam mendapatkan pelayanan kesehatan semua pasien
tidak dipungut biaya. Jasa dokter dan tenaga kesehatan lainnya
serta obat-obatan yang diberikan kepada penderita ditanggung
oleh pemerintah melalui jaminan sosial kesehatan. Bahkan ketika
pasien harus dirujuk ke rumah sakit di Wamena, keluarga pasien
tidak akan mengeluarkan uang untuk transportasi dan bahkan
biaya hidup.
Tetapi mereka yang karena keterbatasannya sehingga
tidak bisa menjangkau pelayanan dokter dan Puskesmas, akan
memanfaatkan semua potensi yang ada. Ramuan dan daun
yang dipercaya dapat menyembuhkan, sampai dengan doa dari
pendeta di gereja adalah pilihan pengobatan yang dilakukan.
Tidak bisa dipungkiri, pemerintah Kabupaten Tolikara sudah
berusaha secara maksimal memberikan pelayanan kesehatan
terbaiknya. Di satu sisi, apa yang dilakukan pemerintah Tolikara
melalui Dinas Kesehatan dan segenap jajarannya merupakan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 133
langkah yang baik sebagai suatu bentuk tanggung jawab
untuk menyehatkan warganya. Disisi lain, pemerintah perlu
memikirkan ulang semua program yang dijalankan. Memenuhi
semua kebutuhan masyarakat tanpa syarat, tanpa diimbangi
kontribusi masyarakat, akan membuat masyarakat tidak berdaya.
Orientasinya pemberdayaan masyarakat, bukan membuat
masyarakat menjadi makin tergantung pada program-program
pemberian (charity).
Pemanjaan kepada masyarakat Tolikara telah membunuh
kepekaan masyarakat untuk mampu mengidentifikasi potensi
sumberdaya yang ada di masyarakat. Mereka hanya mengenal
dua lembaga yang selalu ada dan selalu siap membantu, negara
dan gereja. Masyarakat hanya tahu potensi bila memberikan
bantuan kepadanya. Negara dengan semua lembaga di dalamnya
tidak pernah disebut, karena itu dianggap sebagai tugas dari
negara.
Ketika ditanya tentang potensi apa saja yang ada di
sekitarnya yang dapat digunakan ketika mengalami masalah
khususnya kesehatan? Jawaban terbanyak adalah tidak tahu,
kedua adalah gereja. Menurut Waines Wanimbow, perkumpulan
di gereja dan pelayanan doa dari para pendeta dan gembala-
gembalanya selalu membantu orang-orang yang susah. Hanya
gereja dengan kader-kadernya yang siap membantu masyarakat,
selain itu tidak ada.
Ada pendapat yang berbeda ketika bertanya kepada warga
Tolikara pendatang. Pemerintah masih perlu berperan lebih
banyak karena tingkat pendidikan masyarakat di Tolikara masih
kurang untuk bisa mandiri. Berikut penuturan Khadidjah, seorang
pendatang dari Jawa yang tinggal di Karubaga.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara134
“... sepertinya kemampuan masyarakat sini masih terbatas, kalaupun gereja memberi tahu setiap pertemuan mingguan, tapi kan kembali ke orang itu sendiri ... ya itu tadi, perlu pemahaman dan pendidikan yang lebih keras lagi, untuk bisa sama dengan masyarakat di daerah lain ... dibutuhkan sarana yang memadai untuk membuka masyarakat sini ... masyarakat sini masih belum sadar betul untuk punya kemauan ... harus terus menerus diberi tahu ... untuk masyarakat sini, perlu dipenuhi kebutuhan pendidikan dan sarana lain yang bisa menunjang ... supaya mereka bisa memenuhi kebutuhannya sendiri ... seperti kasus penutupan jalan kemarin, mereka kan tidak sepenuhnya sadar kalo itu merugikan mereka sendiri ... ikut-ikutan saja sepertinya, itu yang saya lihat.”
Pemberdayaan masyarakat menurut Setiaji (2010) me-
mang memerlukan fasilitasi dari pemerintah daerah. Yang ter-
penting adalah pemerintah juga bertanggungjawab untuk
menciptakan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun
ber kelompok, mampu memecahkan berbagai persolan terkait
upaya peningkatan kualitas hidup dan kesehatannya. Kembali
pada konsep pemberdayaan masyarakat sebagai proses me-
mam pukan masyarakat itu sendiri, maka pemerintah Tolikara
perlu secara perlahan-lahan menciptakan suasana yang
memungkinkan potensi dan kontribusi masyarakat dapat tumbuh
dan berkembang. Karena pada prinsipnya tidak ada masyarakat
yang sama sekali tidak berdaya, sebab masyarakat yang demikian
pasti sudah punah.
Untuk mengetahui kemandirian masyarakat, salah satu
indikator yang dapat digunakan adalah dengan melihat kegiatan
partisipasi masyarakat. Bentuk partisipasi masyarakat dalam hal
ini berupa upaya untuk terlibat dalam pelaksanaan program,
upaya advokasi, dan upaya melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan program kesehatan. Terkait dengan bentuk partisipa-
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 135
si yang seharusnya bisa dilakukan masyarakat, tidak seorang pun
pernah melakukannya. Berikut pengakuan beberapa anggota ma-
syarakat.
“... saya hanya orang biasa, itu kan urusan para pemerintah di kampung dan urusan bupati ....”
“... ya, itu kan urusan bupati ... tidaklah ... kita tidak pernah ikut seperti itu, kita kerja sesuai saja seperti biasa. Sepertinya bupati ini cukup bagus perhatiaanya pada kesehatan ... pengawasan biasanya dilakukan instansi terkait sendiri ... kalo dari masyarakat sepertinya belum ada ... pihak gereja yang biasanya lebih aktif dalam hal ini ....”
Tampaknya masyarakat belum merasa perlu berperanserta
dalam pelaksanaan program pembangunan kesehatan. Padahal
masyarakat menurut Satropoetro (1988) mempunyai hak dan
dapat berperan aktif dalam mensukseskan kebijakan pemerintah
sehingga tujuan pembangunan dapat tercapai. Bahkan menurut
Siagian (1997) peran serta masyarakat mutlak diperlukan. Hal
ini dikarenakan masyarakat adalah objek dan sekaligus subjek
pembangunan yang nantinya akan melaksanakan kegiatan
pembangunan. Tanpa adanya partisipasi dari masyarakat maka
tujuan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau
daerah tidak akan tercapai bahkan bisa mengalami kegagalan.
(Kahairuddin, 1997).
Dalam upaya mencapai keberhasilan pembangunan kese-
hatan masyarakat Tolikara, Dinas Kesehatan secara perlahan-
lahan perlu memfasilitasi tumbuhnya apa yang Britha (2001)
sebut sebagai kemampuan masyarakat untuk berkembang seca-
ra mandiri (self-reliance) dalam usaha memperbaiki taraf hidup-
nya. Untuk itu, partisipasi sunsur masyarakat dengan kerja
sama secara sukarela merupakan kunci utama keberhasilan
pembangunan.
137
BAB 7KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1. Kesimpulan
Pengolahan lebih lanjut hasil Riset Kesehatan Dasar 2013,
Susenas dan Podes telah menghasilkan indikator kesehatan
untuk menggambarkan kondisi kesehatan suatu daerah yang
dikenal dengan IPKM. Berdasarkan indikator yang terdapat pada
IPKM, teridentifikasi daerah-daerah yang kondisi pembangunan
kesehatan daerahnya kurang baik. Beberapa kabupaten di
Provinsi Papua, khususnya di wilayah pegunungan tengah,
termasuk Kabupaten Tolikara merupakan daerah yang dalam
kategori kurang baik tersebut.
Berdasarkan keadaan tersebut, penelitian yang dilakukan di
Kabupaten Tolikara ini diharapkan mampu memberikan gambaran
secara kualitatif terkait dengan rendahnya status IPKM Kabupaten
Tolikara. Ditinjau dari perspektif sosial-budaya, pelayanan kese-
hatan, peran lintas sektor dan peran serta masyarakat, be be rapa
temuan yang menjadi kesimpulan dapat disampaikan sebagai
berikut.
Kondisi geografis berupa pegunungan menjadikan akses 1.
mendapatkan layanan di fasilitas kesehatan menjadi sulit.
Per masalahan politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial
budaya berkontribusi memperparah rendahnya akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara138
Kondisi sarana dan prasarana pelayanan kesehatan2. di
Kabu paten Tolikara masih terbatas. Dari 46 Distrik yang
ada, hanya 25 Distrik yang mempunyai sarana pelayanan
kesehatan Puskesmas. Dari 25 Puskesmas yang ada, hanya
dua Puskesmas yang aktif memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
Terkait kesehatan balita3. , kasus gizi buruk dan gizi kurang
masih mewarnai kondisi kesehatan balita di Kabupaten
Tolikara. Pola asuh keluarga, status sosial ekonomi, dan
kondisi sanitasi di lingkungan tempat tinggalnya merupakan
penyebab balita bermasalah di bidang gizi.
Program 1000 HPK4. merupakan prioritas kegiatan yang
dilakukan Dinas Kesehatan untuk memberikan makanan
tambahan kepada ibu hamil dan menyusui. Program ini
ditujukan untuk memenuhi asupan gizi ibu dan sekaligus
sebagai kegiatan pemantauan dan pendampingan bagi
ibu hamil agar status gizinya terpantau selama masa keha-
milannya sampai sang anak berusia 2 tahun.
Di tengah-tengah keterbatasan yang ada, petugas kesehatan 5.
telah berupaya memberikan pelayanan terbaik dalam
pemerik saan kehamilan. Selain di Puskesmas, pemeriksaan
kehamilan juga dilaksanakan ketika ada kegiatan Posyandu,
untuk mendekatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak
yang karena kondisi geografisnya membuat mereka sulit
mendapatkan akses ke Puskesmas.
Upaya melibatkan lintas sektor6. sudah diupayakan oleh Dinas
Kesehatan. Namun upaya tersebut masih belum mendapat
respon dari sektor lain untuk terlibat dalam mendukung
program kesehatan.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 139
Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara7. telah menetapkan
strategi menggerakkan dan memberdayakan masyarakat
untuk hidup sehat. Saat ini Pemerintah daerah sudah
mencoba melibatkan masyarakat untuk berperan dalam
pembangunan kesehatan. Namum masyarakat belum
merasa perlu berperan serta dalam pelaksanaan program
pembangunan kesehatan.
Dalam melaksanakan pembangunan kesehatan 8. daerahnya,
Pemerintah Kabupaten Tolikara mengalokasikan anggaran
yang berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan
dan sumber pendapatan lain seperti dana hibah dan OTSUS.
7.2. Rekomendasi
Dari sepenggal cerita bagaimana kondisi kesehatan
masyarakat di Kabupaten Tolikara, peneliti melihat ada potensi
yang dimiliki oleh Kabupaten Tolikara untuk bisa berubah menjadi
lebih baik. Hal yang dapat peneliti sampaikan adalah merupakan
sesuatu yang peneliti lihat dan rasakan berdasarkan pada
kegiatan observasi lapangan. Dari kompleksnya permasalahan
di Kabupaten Tolikara seolah-olah sudah tidak ada jalan lain
kecuali pemecahan masalah yang bisa dikatakan “klasik”, semisal
pemenuhan tenaga, peningkatan anggaran, pemberian insentif,
dan hal-hal lain yang terkait dengan uang atau anggaran. Di sini
peneliti mencoba menawarkan beberapa solusi bagi pemerintah
Kabupaten Tolikara dilihat dari beberapa sudut pandang.
Menyelesaikan permasalahan kesehatan bukanlah per-
kara yang mudah, namun bukan berarti tidak mungkin untuk
dilakukan. Dibutuhkan komitmen serius tidak hanya dari petugas
kesehatan saja, tetapi juga semua pihak yang terkait bagi upaya
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara140
perbaikan kualitas kesehatan di masyarakat. Terdapat dua
kelompok yang perlu mendapat perhatian yaitu sisi petugas
kesehatan sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai
pengguna layanan. Semoga penyelesaian masalah yang diupa-
yakan melalui kedua sisi tersebut mampu memberikan dampak
dan daya ungkit yang nyata bagi peningkatan perbaikan kondisi
kesehatan masyarakat di Kabupaten Tolikara.
Dari sudut pandang pemberi layanan1.
Yang dimaksud dengan pemberi layanan adalah peme-
rintah kabupaten, yang meliputi petugas Puskesmas, petugas
Dinas Kesehatandan pegawai di lingkup pemerintah Kabu-
paten Tolikara. Peneliti melihat masih banyak pegawai atau
petugas kesehatan yang bekerja bukan atas dasar tanggung
jawab namun masih sebatas pada kehendak sendiri. Maka,
ada beberapa poin yang perlu diperkuat guna meningkatkan
etos kerjanya yaitu:
Right man in the right joba.
Mungkin inilah yang perlu untuk dilakukan lebih awal
oleh Dinas Kesehatan dan segenap jajarannya. Banyak
petugas tidak berada pada posisi yang pas dan beberapa
petugas memiliki pekerjaan ganda. Di sinilah kejelian
seorang pimpinan untuk mampu melakukan rotasi pegawai
guna memperoleh formasi yang pas bagi sebuah instansi
agar berfungsi dengan baik. Sebuah pekerjaan akan bisa
terselesaikan dengan baik hanya apabila petugas yang
diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan memiliki
kemampuan yang baik pula. Untuk mendapatkan hasil yang
sempurna dibutuhkan ketepatan petugas pada sebuah
pekerjaan tertentu. Berikan kesempatan bagi seseorang
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 141
yang dianggap mampu untuk berada pada posisi tertentu
tanpa memandang suku, agama, maupun golongan tertentu
agar kualitas pelayanan kesehatan bisa lebih terarah sesuai
sistem kesehatan nasional.
Perjelas b. job description
Masalah lain yang peneliti temukan di Kabupaten
Tolikara terutama di Puskesmas Karubaga adalah tidak
jelas nya deskripsi pekerjaan seorang petugas kesehatan.
Berdasarkan pengakuan beberapa informan kami diketahui
bahwa kebanyakan petugas kesehatan berada pada posisi
tugas yang berubah-ubah. Tidak tentu setiap harinya,
semisal hari ini petugas x memberikan pelayanan di ruang
KIA, keesokan harinya si petugas tersebut bisa berpindah
pada pelayanan umum hanya atas dasar di mana ada
kekosongan posisi. Memang terlihat sederhana namun
apabila seseorang tidak memiliki deskripsi pekerjaan yang
jelas akan mengurangi tanggung jawab terhadap sebuah
pekerjaan, selain itu akan berpengaruh kepada kualitas data
yang ada karena data didapatkan dari beberapa orang.
Peningkatan kompetensi petugasc.
Bagi seorang petugas, terutama bagi petugas kesehatan,
kompetensi terhadap suatu pekerjaan perlu untuk dimiliki.
Salah satunya melalui pelatihan yang diselenggarakan baik
tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional. Berdasarkan
informasi yang peneliti dapatkan diketahui bahwa tidak ada
petugas kesehatan yang pernah dilatih tentang manajemen
Puskesmas ataupun tentang program kesehatan. Selain itu,
semua bidan belum mendapatkan pelatihan APN karena
terkendala anggaran. Hal ini akan sangat berdampak pada
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara142
pelaksanaan kegiatan Puskesmas ataupun pelaksanaan
program kesehatan.
Beri tanggung jawab pekerjaand.
Hal mendasar yang menjadi permasalahan adalah
sebagian besar petugas kesehatan belum bekerja secara
optimal. Petugas kesehatan yang tidak masuk pada hari
kerja adalah hal biasa. Penyebabnya adalah kurangnya
rasa tanggung jawab terhadap sebuah pekerjaan. Memang
tidak mudah membuat petugas bertanggung jawab, namun
ketika petugas kesehatan seolah-olah “ogah-ogahan”
untuk mau bekerja maksimal maka mustahil hal itu akan
tercapai. Bagi beberapa petugas kesehatan yang “tampak”
tidak memiliki kegiatan bisa diberikan tugas tertentu yang
bersifat berkelanjutan dan diberi tanggung jawab serta
kepercayaan terhadap sebuah pekerjaan. Hal ini akan dapat
meningkatkan rasa percaya diri petugas sehingga diharapkan
ia dapat memiliki perhatian lebih terhadap pekerjaannya.
Perkuat lintas sektore.
Kunci dari keberhasilan program kesehatan adalah
kuatnya kerjasama lintas sektor terkait dalam mendukung
setiap langkah penyelenggaraan program kesehatan.
Berbagai upaya kesehatan akan terasa sangat berat bila
hanya dikerjakan oleh Dinas Kesehatan ataupun Puskesmas.
Melihat bagaimana pelaksanaan kerjasama yang sangat
lemah di Kabupaten Tolikara tidak bisa didiamkan saja. Salah
satu langkah yang bisa dilakukan adalah setiap kegiatan yang
memerlukan kerjasama lintas sektor perlu dibuatkan SK Tim
Teknis oleh Bupati setempat untuk mempermudah langkah
Dinas Kesehatan. Sinkronisasi program juga perlu dilakukan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 143
untuk menghindari adanya program yang tumpang tindih.
Komunikasi Kepala Dinas Kesehatan terhadap Pimpinan
instansi terkait perlu diperkuat untuk mendapatkan
dukungan. Selain itu selalu melibatkan BAPPEKAB dalam
setiap program kegiatan.
Monitoring dan evaluasif.
Untuk mengetahui sejauh mana program kesehatan
telah berjalan atau mengalami hambatan diperlukan upaya
monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program
kesehatan. Peneliti melihat begitu lemahnya pelaksanaan
monitoring dan evaluasi baik oleh Dinas Kesehatan maupun
Kepala Puskesmas yang menyebabkan program berjalan
seadanya. Monitoring terhadap program wajib Puskesmas
juga hampir tidak pernah dilakukan. Pelaksanaan monitoring
dan evaluasi ini menjadi penentu terhadap keberhasilan
sebuah program kesehatan. Pelaksanaan monev dapat
berupa pertemuan bulanan di tingkat Puskesmas maupun
Dinas Kesehatan melalui pertemuan Kepala Puskesmas
atau dapat berupa pelaksanaan monev secara langsung
menggunakan instrumen tertentu untuk mengukur sejauh
mana program telah berjalan.
Maksimalkan regulasig.
Regulasi berupa Perbup atau Perda yang terkait
kesehatan masih belum pernah diterbitkan. Upaya untuk
memanfaatkan regulasi tersebut sangat baik untuk dilakukan.
Melalui regulasi berupa Perbup maupun Perda, program
kesehatan ataupun kebijakan tertentu akan memiliki
kekuatan secara hukum untuk bisa dijalankan dengan baik.
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara144
Perbaiki manajemen datah.
Permasalahan yang peneliti temukan di Kabupaten
Tolikara adalah lemahnya pendataan baik di tingkat Dinas
Kesehatan maupun Puskesmas. Data pokok berupa angka gizi
buruk, angka kematian ibu dan bayi, data penyakit tidak kami
temukan. Pendataan yang baik merupakan kekuatan bagi
perencanaan suatu program kesehatan. Untuk melakukan
intervensi terhadap sebuah permasalahan diperlukan data
yang valid agar dapat diketahui progres terhadap program
tersebut. Penggunaan format yang sesuai serta pemahaman
untuk mengisi sebuah format laporan penting untuk
diketahui. Adanya data yang lengkap bisa menjadi langkah
awal perbaikan kesehatan di Kabupaten Tolikara.
Tingkatkan koordinasi internali.
Seperti yang peneliti utarakan di awal bahwa pening-
katan kuantitas dan kualitas koordinasi sangat penting
untuk dilakukan baik di Tingkat Puskesmas Maupun Dinas
Kese hatan. Lokakarya mini di Puskesmas berperan penting
dalam meningkatkan koordinasi maupun untuk mengetahui
hambatan sebuah program kesehatan. Selain itu, lokakarya
mini juga bisa dimanfaatkan untuk merencanakan sebuah
program tertentu yang datang dari ide petugas kesehatan
yang dinilai merupakan ide yang baik dan revolusioner.
Upayakan peningkatan pelayanan publikj.
Isu pelayanan publik menjadi santer untuk didengungkan
di kalangan pegawai pemerintah, tidak terkecuali bagi
petugas kesehatan. Isu mengenai transparansi, akuntabilitas,
dan responsif sangat baik bila diterapkan bagi Puskesmas
ataupun Dinas Kesehatan. Bagaimana penggunaan anggaran
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 145
BOK bisa disampaikan pada masyarakat yang mewakili
melalui Dewan Penyantun Puskesmas ataupun melalui
papan pengumuman menjadi langkah untuk mengurangi
penyelenggaraan program yang tidak sesuai dengan
pedoman penggunaan anggaran BOK. Informasi mengenai
SOP teknis maupun non teknis juga menjadi poin penting
untuk dilakukan. Hal ini akan memudahkan baik Puskesmas
maupun masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan
di Puskesmas.
Dari sudut pandang masyarakat2.
Selain menguatkan petugas kesehatan, penguatan ter-
hadap masyarakat juga perlu dilakukan. Memandirikan
masya rakat sebagai pengguna layanan kesehatan memiliki
beberapa keuntungan. Pertama, masyarakat menjadi bagian
dari Puskesmas untuk bisa terlibat dalam hal peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan. Kedua, masyarakat yang
memiliki kesadaran dan keterbukaan terhadap program
kese hatan akan menjadi bagian dari sistem kontrol terhadap
penganggaran kegiatan serta program kesehatan yang
dijal ankan. Ketiga, masyarakat akan lebih care terhadap
peningkatan pelayanan kesehatan sehingga akan mudah
menjalankan program kesehatan. Namun menuju ke sana
tidaklah mudah tetapi perlu untuk dilakukan. Beberapa hal
yang bisa diupayakan adalah sebagai berikut.
Bentuk kelompok peduli kesehatana.
Kelompok peduli kesehatan di sini adalah beberapa
orang berdasarkan hasil identifikasi Puskesmas ataupun Dinas
Kesehatan yang memiliki kemauan dan waktu serta memiliki
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara146
kepedulian terhadap kemajuan kesehatan di Kabupaten
Tolikara. Dari beberapa orang tersebut dikumpulkan dan
dibentuk kelompok peduli kesehatan yang memiliki peran
sebagai penghubung atau jembatan antara Puskesmas dan
Masyarakat. Kelompok peduli kesehatan ini memiliki peran
yang startegis dalam meningkatkan pelayanan kesehatan di
Puskesmas. Beberapa program Puskesmas bisa dibantu oleh
kelompok tersebut untuk disosialisasikan. Selain itu apabila
ada permasalahan dari masyarakat yang ingin disampaikan
kepada Puskesmas dapat disampaikan melalui kelompok
peduli kesehatan tersebut. Kelompok ini berperan di dua sisi,
Puskesmas dan Masyarakat.
Peningkatan kapasitas dan pemahaman kesehatanb.
Siapa yang perlu ditingkatkan kapasitas dan pemaha-
mannya tentang kesehatan? Tentunya adalah kelompok
peduli kesehatan. Mereka perlu mendapatkan ilmu tentang
promosi kesehatan secara umum dan komperhensif untuk
bisa membantu memberikan pemahaman tentang kesehatan
di masyarakat.
Libatkan dalam program kesehatanc.
Kelompok peduli kesehatan dalam perkembangannya
bisa dilibatkan dalam kegiatan Puskesmas baik berupa
kegiatan program secara langsung ataupun kegiatan mini
lokakarya yang membahas permasalahan kesehatan.
Puskesmas membutuhkan informasi dari sisi masyarakat
melalui kelompok tersebut terkait permasalahan kesehatan.
Bentuk jaringan informasi kesehatan di distrikd.
Jaringan kesehatan yang dimaksud adalah sistem
kesehatan sederhana yang dibuat untuk memudahkan
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 147
petugas apabila ada permasalahan kesehatan di wilayah.
Teknis nya adalah melibatkan tokoh-tokoh di wilayah setem-
pat seperti kepala suku, kepala distrik, kepala kampung,
atau kader untuk berperan memberikan informasi tentang
kesehatan. Sistem ini merupakan sistem kewaspadaan
dini yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.
Apabila di suatu distrik atau kampung terdapat masalah
kesehatan, maka orang yang telah ditunjuk dan diberi jalur
informasi sehingga bisa menyampaikan informasi tersebut
pada jaringan di atasnya sampai ke petugas Puskesmas.
Sistem ini sangat bisa diterapkan di wilayah dan berfungsi
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap
permasalahan kesehatan di Kabupaten Tolikara.
Perbanyak promosi kesehatan menggunakan media e.
lokal
Upaya peningkatan pemahaman kesehatan di masya-
rakat salah satunya melalui promosi kesehatan melalui
berbagai media. Terkadang informasi kesehatan masih
meng gunakan bahasa indonesia yang bersifat umum. Bisa
diterapkan promosi kesehatan yang menggunakan media
setempat. Bisa menggunakan media banner, kartu antrian
yang ditulisi informasi kesehatan di kartu tersebut, papan
informasi kesehatan, radio komunitas, pengeras suara yang
ditempatkan di Puskesmas, serta promosi melalui lomba-
lomba tertentu untuk memperingati hari tertentu.
Buat layanan pengaduan untuk masyarakatf.
Pelayanan pengaduan masyarakat merupakan upaya
untuk mendapatkan masukan bagi Puskesmas berdasarkan
persepsi masyarakat. Perlu keseriusan dari petugas
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara148
kesehatan untuk konsisten menjalankan kegiatan ini.
Pelayanan pengaduan di Puskesmas “digawangi” oleh satu
orang petugas pengaduan untuk mengarahkan masyarakat
yang akan menyampaikan pengaduannya. Pengaduan
yang disampaikan dicatat: apa yang dikeluhkan, tanggal
pengaduan, serta siapa yang mengadukan. Pengaduan
tersebut nantinya akan dibahas pada pertemuan rutin
Puskesmas untuk dicarikan solusi. Tanggapan terhadap
pengaduan bisa berupa tanggapan langsung ataupun
tanggapan tidak langsung yang memerlukan tindak lanjut
ke tingkat yang lebih tinggi. Kegiatan ini sederhana namun
berdampak pada peningkatan partisipasi masyarakat
terhadap permasalahan kesehatan. Selain itu kegiatan
ini juga bisa dibebankan kepada petugas kesehatan yang
tampak tidak memiliki kegiatan.
Upaya perbaikan pelayanan kesehatan yang peneliti tawar-
kan merupakan upaya perbaikan di tengah-tengah keter batasan
yang ada. Bagaimana permasalahan kecukupan tenaga kesehatan
masih menjadi permasalahan, kompetensi petugas masih
perlu ditingkatkan, anggaran BOK masih belum sesuai dengan
peruntukannya, anggaran kesehatan boleh dibilang minim,
suasana politik berpengaruh pada penempatan jabatan di suatu
instansi dan masih banyak lagi permasalahan yang perlu ditindak
lanjuti. Tidak berlebihan bila peneliti menganggap permasalahan
di Kabupaten Tolikara adalah permasalahan yang kompleks. Kita
tidak membutuhkan orang lain untuk mengubah diri menjadi
lebih baik, tetapi kita sendirilah yang sesungguhnya akan mampu
mengubahnya. Kembali kepada permasalahan di Kabupaten
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 149
Tolikara, sekarang ini adalah waktunya untuk melakukan per-
ubahan dan semua itu tergantung pada ikhtiar Pemerintah
Kabupaten Tolikara.
151
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik, 2014, Papua dalam Angka. Jayapura: Badan
Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolikara, 2014, Tolikara dalam
Angka, Karubaga, Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolikara, 2014, IPM dan Analisis
Situasi Pembangunan Manusia Kabupaten Tolikara,
Karubaga, Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolikara, 2014, Produk Domestik
Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Kabupaten
Tolikara, Karubaga, Badan Pusat Statistik
Bambang, Setiaji, 2010, PNPM, Desa siaga, MDG’S Solusi Masalah
Kesehatan Masyarakat. Pemerhati Pemberdayaan Masya ra-
kat, Pusat Promosi Kesehatan. Dinas Kesehatan Kabupaten
Banggai
Britha, Mikkelsen, 2003, Metode Penelitian Partisipatoris dan
Upaya-upaya Pemberdayaan: Sebuah Buku Pegangan bagi
Para Praktisi Lapangan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Bryman, 2004, Social Research Mothods, Oxford University Press,
New York
Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara, 2013, Profil Dinas Kesehatan
Kabupaten Tolikara Tahun 2013. Karubaga; Dinkes Kabu-
paten Tolikara
Hapsara, HR. 2004, Pembangunan Kesehatan di Indonesia.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara152
Indonesian Public Health, 2013, Pengertian, Tujuan, dan Kegiatan
Posyandu. Tersedia pada http:// Indonesian-publichelath.
com diunduh pada: Februari 2015
Irma Yunita, 2012, Hernia Umbilikalis. Tersedia dalam:
http//:irmayunita.blogspot.com
Kartasasmita. G., 1997, PEMBERDAYAAN MASYARAKAT: Konsep
Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat. Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua
Bappenas. Disampaikan pada Sarasehan DPD GOLKAR Tk. I
Jawa Timur Surabaya, 14 Maret 1997
Khairuddin, 1997, Sosiologi Keluarga, Yogjakarta: Liberty, 1997
Kementerian kesehatan RI, 2012, Kurikulum dan Modul Pelatihan
Kader Posyandu, Jakarta; Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan RI, 2011, Assessment gavi – hss
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kia: Laporan Akhir
Provinsi Papua. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan RI, 2011, Daftar pertanyaan yang sering
ditanyakan dan jawabannya tentang penanggulangan
daerah bermasalah kesehatan (PDBK). Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI
Kementrian Kesehatan RI, 2010, Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan tahun 2010-2014. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI. Tersedia pada http://www.depkes.go.id
Kementerian Kesehatan RI, 2009, Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Bidang Kesehatan 2005-2025. Jakarta: Depkes RI.
Tersedia pada http://www.depkes.go.id.
Kementerian Perencanan Pembangunan Nasional, 2013, Evaluasi
Paruh Waktu RPJMN 2010-2014. Jakarta: Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 153
Poerwanto, Siswo dan Meliala, 1991, Masalah Kesehatan di
Indonesia Bagian Timur. Media Litbangkes Vol. 1 No. 04
Sastropoetro, Santoso, 1984, Partisipasi, Komunikasi, Persuasi
dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional, Bandung.
Stalker, Peter, 2008. Millenium Development Goals. Jakarta:
UNDP, http://www.undp.or.id
Suparyanto, 2011, Lima Imunisasi Dasar Lengkap. Tersedia pada
http://dr.suparyanto.blogspot.com diunduh pada: Februari
2015
155
Indeks
Aalat kontrasepsi - 70, 128Angka kelahiran kasar (CBR) - 108angka melek huruf - 32Antenatal Care - 109Antropologi - 22APN - 116, 141asuransi kesehatan - 3
Bbabi - 25, 26, 29, 30, 31, 66, 68,
70Badan Pusat Statistik - 5, 8, 18,
151bakar batu - 26, 29bidan - 27, 28, 48, 49, 80, 82, 83,
85, 87, 88, 102, 110, 114, 116, 119, 120, 124, 125, 131, 132, 141
BPJS - 115
DDaerah Bermasalah Kesehatan
(DBK) - 5, 6, 7Dave Marten - 13, 28denda adat - 26, 27derajat kesehatan - 1, 2, 4, 5Dinas Kesehatan - 8, 10, 49, 51,
82, 83, 86, 87, 114, 120, 123, 125, 126, 127, 128, 132, 135,
138, 140, 142, 143, 144, 145, 151
Distrik - 16, 17, 20, 21, 45, 48, 49, 51, 73, 108, 118, 119, 123, 131, 138
dokter - 3, 31, 46, 47, 48, 50, 87, 114, 115, 117, 119, 120, 123, 124, 125, 130, 131, 132
Eetnografi - 7, 11etos kerja - 117
Ffasilitas pendidikan - 32Field Note - 9
GGereja Injili - 47gizi - 10gizi buruk - 4, 5, 71, 138, 144
HHDI - 2honai - 25, 67, 68
Iimunisasi - 5, 6, 81, 82, 83, 110,
112indikator kesehatan - 2, 6, 137
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara156
Indonesia - 2, 3, 4, 7, 20, 23, 47, 86, 151, 153
inegibagi - 26, 28IPKM - 3, 6, 7, 10, 117, 137IPM - 2, 31, 151
Jjaminan kesehatan - 1Jawa - 23, 133, 152Jayawijaya - 6, 14, 16, 23
Kkader - 47, 49, 80, 87, 88, 106,
122, 123, 147Kaimana - 8KDRT - 102kelahiran hidup - 4kematian anak - 4kematian bayi - 4kematian ibu - 4, 5, 105, 114, 144kematian neonatal - 4kepadatan penduduk - 20kesehatan balita - 7, 72, 79, 80,
138kesehatan lingkungan - 1, 7, 129kesehatan reproduksi - 7, 10, 103,
128
LLanny Jaya - 6lempar panah - 26, 29lintas sektor - 7, 8, 9, 11, 128, 137,
138, 142
Mmakan pinang - 26
Mamberamo - 6, 14, 16, 23mas kawin - 25, 66masyarakat - 1, 2, 3, 5, 7, 8, 9,
10, 11, 14, 15, 20, 21, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 45, 46, 48, 49, 50, 51, 65, 66, 67, 70, 71, 72, 73, 80, 87, 103, 109, 114, 115, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 137, 138, 139, 140, 145, 146, 147
MDG - 4, 151merokok - 25misionaris Kristen - 13mobilitas antar wilayah - 20morbiditas - 81mortalitas - 2, 81
NNawi Arigi - 14nilai ekonomi - 25nilai sosial - 25noken - 25
OOTSUS - 139
PPalopo - 23Paniai - 6, 23Papua - 5, 7, 11, 13, 14, 15, 20,
22, 23, 25, 26, 117, 137, 151pedoman pengumpulan data - 9pelayanan kesehatan - 3, 4, 7, 10,
28, 45, 47, 50, 72, 73, 109,
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara 157
115, 117, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 131, 132, 137, 138, 141, 145, 146, 148
pembangunan kesehatan - 1, 3, 4, 9, 10, 11, 49, 135, 137, 139
pemeriksaan head to toe - 112pemeriksaan kehamilan - 106, 109pemeriksaan leopold - 112pendidikan - 1, 2, 31, 32, 71, 125,
130, 133, 134, 137pendidikan kesehatan - 1penduduk miskin - 1penelitian kualitatif - 8pengasuhan anak - 69penyakit menular - 7penyakit tidak menular - 7peran serta masyarakat - 9perawat - 48, 49, 120, 131, 132Perbaikan Gizi - 50Perencanaan pembangunan
kesehatan - 4perkawinan - 25persediaan obat - 50Pertolongan persalinan - 114PKMD - 72PODES - 3pola hidup sehat - 1Poligami - 70posyandu - 5, 73, 79, 80, 82, 83,
87, 104, 152Posyandu - 70, 72, 73, 80, 85, 88,
103, 138, 152Program 1000 HPK - 80, 87, 138program keluarga berencana - 70Promosi Kesehatan - 49, 151Puncakjaya - 6
puskesmas - 3, 11, 30, 46, 69, 73, 79, 80, 83, 102, 107, 108, 110, 114, 115, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 126, 131, 132, 138, 140, 143, 144, 147
Puskesmas - 6, 29, 30, 45, 48, 51, 72, 73, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 87, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 113, 114, 115, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 125, 126, 127, 138, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147
Puskesmas Bokondini - 51, 120Puskesmas Karubaga - 51, 73, 83,
115, 116, 118, 119, 126puskesmas keliling - 3Puskesmas Kuari - 51, 83, 122,
124puskesmas pembantu - 3, 46
Rragawi - 23Regulasi - 4, 143Riskedas - 3Riskesdas - 5, 6rumah sakit - 3, 132Rumah Sakit - 6, 45, 80, 120
Ssex ratio - 19sosial - 8status gizi - 10, 50, 87, 110status gravida - 104status sosial - 26, 71, 138sumber daya manusia - 2, 72SUSENAS - 3
“Nawi Arigi” di Bumi Tolikara158
TTaman Nasional Lorenz - 15tenaga kesehatan - 1, 4, 5, 7, 10,
46, 47, 48, 49, 50, 114, 115, 117, 119, 120, 123, 124, 125, 131, 132, 148
Tim Penggerak PKK - 128Tokoh Agama - 128Tolikara - 5, 6, 7, 8, 10, 13, 14, 15,
16, 17, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 65, 66, 68, 69, 70, 71, 73, 80, 83, 86, 87, 103, 105, 106, 108, 110, 114, 115, 117, 118, 119, 120, 123, 124, 125, 127, 129, 130, 132, 133, 134, 135, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 144, 146, 147, 148, 151
topografi - 14, 21Toraja - 23, 110tradisi palang - 20transportasi darat - 21transportasi udara - 21
UUHH - 2Undang-Undang Nomor 36 - 1UNDP - 2, 31, 153upaya kesehatan masyarakat - 1upaya kesehatan perorangan - 1usia dini - 1, 65
WWamena - 14, 21, 22, 66, 123, 132wawancara - 8, 9, 125, 126