shofiana ifada_23_di bawah mentari di atas pelangi

Upload: shofiana-ifada

Post on 19-Oct-2015

11 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Cerpen inspiratif

TRANSCRIPT

DI BAWAH MENTARI DI ATAS PELANGI

CERITA PENDEK

Disusun untuk memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas XII Akselerasi semester gasal tahun ajaran 2012/2013 yang diampu oleh Sunardi, S.Pd.,M.Pd.

Oleh Shofiana Ifada XII-Akselerasi/23 NISN: 9965059261SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 PURWOREJO 2013DI BAWAH MENTARI, DI ATAS PELANGISebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasaBau tanah basah. Pusara itu masih baru. Jejak-jejak terompah rombongan pelayat membekas dalam di tanah setengah lumpur itu. Beringin meranggaskan satu dua daunnya, diiringi denting rinai hujan gerimis. Meski gerimis, beberapa kupu-kupu hilir mudik mengitari pusara. Milik siapa gerangan? Di nisannya, tertulis nama Untung dan tanggal wafatnya, itu saja.

Selamat menempuh hidup baru, Pak. Semoga Anda baik-baik saja di sana.***

Lelaki kurus, necis dengan kemeja lusuh, berhias tembelan di beberapa lekuknya. Asyik menyecap seplastik teh manis sambil dikipasi dayang-dayang malaikat pembawa angin surgawi yang sepoi-sepoi membelai pipi keriputnya. Ah, sama nikmatnya dengan sultan di istana, pikirnya. Nikmat memang bukan terletak pada ada dan tiada, namun sikap kita terhadap ada dan tiada.

Sekejap kemudian, ekor matanya menangkap gerak-gerik seorang bocah yang lincah menghindari kubangan becek sambil membawa tas-tas besar, di belakang wanita dewasa. Tak lama kemudian, mereka berhenti di sebuah mobil mewah. Seorang pria dewasa beraksi tanggap membuka pintu mobil, ekslusif HANYA untuk sang nyonya. Anak kecil itu, menyublim ke keramaian pasar dengan sesungging senyum puas dan beberapa koin receh. Kontras kehidupan memanglah pilihan warna kota ini.Di pasar yang sama, pangkalan yang berbeda. Dunia memang sempit, ya. Lelaki kurus kembali berjodoh dengan bocah kemarin. Mereka dipertemukan di onggokan sampah. Anak kecil itu mengais serpihan roti setengah berjamur lalu melahapnya seakan itu roti nirwana. Orang-orang dewasa di sekitarnya, termasuk laki-laki kurus, tak berdaya melarangnya. Hanya rasa miris menggempur hati ketika petugas rumah makan membuang sisa-sisa makanan ke bukit sampah itu, yang kemudian diserbu makhluk-makhluk kelaparan, ada manusia, tidak lupa kucing, juga lalat-lalat hijau.

Kau tidak beli makanan saja, Nak? Sepertinya uangmu cukup, lelaki kurus memberanikan diri menyapa. Anak itu tidak menjawab. Bahkan tak sedikitpun menoleh pada lelaki kurus. Kehidupan keras memang kadang membuat sifat menjadi liar. Barulah setelah lelaki kurus menanyakan hal yang sama untuk ke-tiga kalinya, anak itu merespon.

Itu untuk adikku. Dia sedang sakit, tidak boleh makan makanan basi, jawabnya singkat, kemudian melanjutkan suapan terakhirnya.

Di mana orang tuamu, Nak?

Anak Bapak sendiri, ke mana?

Bapak hidup sendiri, Nak. Di mana orang tuamu?

Sudah sebulan mereka menghilang, tukas anak itu. Air mukanya tak secuilpun mencitrakan kesedihan, kehilangan, atau kemarahan. Ia tampak benar-benar biasa saja dengan kondisinya.Mengapa harus sedih? Aku dan adikku masih beruntung orang tua kami tidak menjual kami, ada teman-teman kami yang kehilangan adik-kakaknya, bahkan anggota tubuhnya sendiri, serangkai kata itu membuat lelaki kurus terpaku sejenak. Dapatkah hati nurani pudar dari kota ini?

***

Seorang pria muda datang terlambat. Ia baru saja mengetahui kepergian Pak Untung lima belas menit lalu. Matanya berkeliaran menyibakkan makam-makam lama, mencari makam yang masih baru. Syukurlah, ia masih dipertemukan dengan pusara itu. Buru-buru ia berdoa, cukup lama. Kemudian berjongkok di dekat gundukan tanahnya. Bercakap-cakap dengan pusara. Ia percaya, pria yang terbaring di bawah tanah itu dapat mendengar setiap gelombang kata-katanya.***

Lelaki kurus mengayuh pedalnya kuat-kuat. Di bangku penumpang, anak kecil mendekap adiknya yang hampir pingsan. Entah, sepertinya mereka berjodoh sekali. Berawal dari kubangan becek, kemudian sangat sering mereka bertemu di tempat tak terduga.

Lelaki kurus berpikir keras, kepalanya beruap-uap. Matanya cekatan membaca setiap papan nama di pinggir jalan. Berharap ada secercah harapan buat anak kecil. Ke rumah sakit? Tidak ada biaya. Rumah bersalin? Tidak mungkin. Ataukah rumah makan? Tidak penting! Pikirannya buntu.

Akhirnya gulir roda becaknya terhenti di sebuah tempat peribadatan, tepat saat Tuhannya memanggil. Tidak ada kuasa tidak ada upaya, melainkan hanya milik-Mu. Hanya pada-Mu hamba menyembah dan hanya pada-Mu hamba mohon pertolongan. Sepenggal doa lelaki kurus mengakhiri peribadatannya kali ini, tepat pukul 20.03 waktu kota.

Lelaki kurus menghampiri bocah yang duduk di anak tangga. Bocah itu menoleh, matanya bertanya lokasi pelabuhan mereka selanjutnya. Lelaki kurus hanya tersenyum, kemudian membelai rambut kusut bocah itu. Mereka berdua hanya terdiam, memandang bintang yang terus mengejar bulan. Tak lama kemudian, mereka terlelap di hamparan lantai anak tangga, saling berpelukkan.Hampir tengah malam. Seorang wanita paruh baya menautkan besi gembok namun tidak jadi. Sayup-sayup menembus kabut, pandangannya beralih pada tiga sosok manusia yang di anak tangga. Siapa gerangan? Malang sekali. Rasa keibuannya muncul, tak tega pada anak kecil yang tidur tanpa alas dan berselimut kabut beku. Ia pun menghampiri kawanan kecil itu.Tuan, apa kalian berkenan menginap di tempat kami? Tanya wanita itu pada lelaki kurus yang terbangun mendengar langkah sandal kayu. Lelaki kurus terdiam, kesadarannya belum kembali. Wanita itu menambahkan bicara.

Kasihan anak Tuan, mereka bisa kedinginan,

Oh, sungguh. Iya, iya. Kasihan anak-anak ini. Anak ini sedang sakit, setengah terkaget, akhirnya kesadaran lelaki kurus kembali. Tanpa banyak kata, malam itu lelaki kurus membawa dua anak kecilnya menginap di tempat wanita itu, bersama beberapa anak-anak malang lainnya, tinggal setiap hari. Ya, sebuah panti asuhan kecil.

***Ibu yakin akan mengasuh mereka berdua? Tanya pengasuh lain di panti itu. Ibu itu mengangguk mantap, tanpa sepatah kata pun.

Bu, Ibu juga yakin dengan kapasitas panti ini? Lihat Bu, anak-anak makin berdesakkan tiap hari. Bahkan kita tak sanggup lagi mengirim anak-anak ke sekolah, kita hanya memanggil relawan yang bersedia mengajar. Apalagi untuk mengobatkan anak yang sakit, Bu? pertanyaan pengasuh ini memang cukup logis. Aliran dana panti asuhan ini cukup seret. Hanya dari para relawan pengasuh sekaligus donatur. Sedikit-sedikit ditambal dengan uang pensiun ibu panti.

Setiap makhluk lahir membawa rejekinya sendiri-sendiri, Sri. Tidak mesti selalu uang, kita makan sehari dua kali sudah kenyang, itu juga rejeki. Lagipula, setiap makhluk kalau rejekinya habis, ya tinggal mati, jawab ibu panti.Lelaki kurus, yang berniat pamit hari itu, tak sengaja mendengar percakapan dua wanita tadi. Ia mengetuk pintu.

Maaf, saya mengganggu. Saya kemari untuk berpamitan. Saya harus terus menarik becak saya. Saya berjanji, saya akan menyumbangkan semua penghasilan saya, yang penting saya bisa makan saja. Permisi, lelaki kurus berpamitan dengan sangat cepat. Demikian cepatnya hingga dua wanita itu masih tertegun mendengar kata-kata lelaki kurus.***

Pagi itu lelaki kurus kembali ke atas sadelnya, beraktivitas seperti hari-hari lalu. Begitulah, juga hari-hari selanjutnya. Dari pagi hingga malam, usianya dihabiskan di atas sadel. Berkitar-kitar di sepanjang jalan kota, menembus gang-gang sempit, mengantarkan tuan penumpang atau barang-barang ke tempat tujuan. Dan setiap seminggu sekali, ia akhiri pekan dengan mengantarkan seplastik uang ke panti kecil, mempersembahkan tabungan penghasilannya selama seminggu untuk sahabat-sahabat kecilnya.Lebih dari dua puluh tahun berlalu. Lelaki kurus tetap setia pada rutinitasnya. Tidak ada yang berubah. Hanya garis-garis ketuaan yang makin jelas melukis wajahnya. Tidak ada yang ia sesali, termasuk janjinya untuk menyumbangkan semua penghasilannya. Meski dengan begitu, berarti ia harus makin hemat tiap harinya. Ia tidak menyesal.

Walaupun ia tak mampu lagi membeli baju, namun baginya sudah merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Asal kita jeli, semua ada jalannya, pikirnya. Ia juga tetap tersenyum ketika harus tidur di emperan karena tak sanggup membayar sewa harian gubuk dan tikar, yang penting ia tetap makan dan menabung, itu saja. Setiap keputusan ada imbasnya, dan kita bukan anak kecil lagi. Begitulah ia menjawab tiap kali ditanya pengasuh panti bagaimana ia bisa konsisten pada janjinya dahulu.

Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini, katanya lugu. Pagar ompong giginya mulai tampak di sana-sini ketika tersenyum.

***Malam-malam. Lelaki kurus datang ke panti. Seperti biasa, ia menambahkan plastik-plastik donasinya, lengkap dengan kata mutiara yang diselipkan melalui secarik kertas di dalamnya. Lelaki kurus ingin tidak hanya mendonasikan uangnya, tapi juga ilmunya.

Tumben Bapak datang malam sekali, kata salah seorang pengurus yang kebetulan sedang beranjak pulang ke rumahnya.

Yah, maklum orang tua. Saya sudah buram melihat jalan. Ya, sudah, saya pulang dahulu, kata lelaki kurus mengakhiri pembicaraan. Ada rasa menganjal di hati pengurus panti. Entah mengapa? Namun ada rasa yang berbeda kala ia berjumpa lelaki kurus kali ini. Dua puluh dua tahun silam, ia dan adiknya berjumpa dengan lelaki kurus, hingga dihantarkan ke panti ini. Tentu saja mereka sering bertemu di akhir pekan. Namun mengapa kali ini rasanya berbeda? Rasanya ia tak ingin lelaki kurus itu berbalik dan pergi.

Pak, hati-hati di jalan! Teriaknya. Namun lelaki kurus sudah kelewat jauh mengayuh.

***

Pak, ingat tidak? Dulu Bapak sering berpesan pada kami agar jangan memikirkan mencari uang dahulu, biarkan Bapak yang mencarikan buat kami, pria muda itu melanjutkan ceritanya, tangannya membelai gundukan tanah basah yang mulai mengering.

Saya suka sekali dengan kata-kata Bapak bahwa tak duduk di kelas pun kita bisa sukses, asalkan kita mau berusaha. Bapak bilang, ijazah bisa tetap kita dapat dari ujian persamaan. Bapak juga bilang, yang pentingpelajarilah apa yang kau inginkan, tapi pakailah hanya yang baik-baik saja dari yang kita pelajari, butir-butir air mata mengalir mengarungi pipi, bermuara pada dagu yang bergetar, lalu menetes di atas sepatu hitam necis mengkilat-kilat oranye diterpa matahari lengser. Pria muda itu melanjutkan dengan mengeluarkan secarik kertas.

***

Lelaki kurus membuka kantongnya. Tipis. Sejak pekan ini, uang yang didapat lelaki kurus tidak banyak. Maklum, badannya terasa tidak bugar. Hemm, lebih baik malam ini aku tidak menyewa gubuk, pikirnya.

Malam itu lelaki kurus beruntung menemukan sebuah gardu ronda untuk tidur. Lengkap dengan sebuah tikar dan lampu TL yang benderang. Selamat beristirahat semua, semoga kita bangun dengan semangat baru, pikirnya. Ia tidur tersenyum.Malam itu lelaki kurus bermimpi indah sekali. Ia hadir di sebuah jamuan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Apapun yang diinginkan selalu ada, bahkan lebih. Ia bercakap-cakap bersama orang-orang rupawan, tidak ada kebosanan padanya. Hingga akhirnya, dia pamit. Namun, seseorang menahannya.

Untuk apa kamu pulang? Semua yang kau inginkan ada di sini.

Aku ada janji dengan sahabat-sahabat kecilku, jawab lelaki kurus.

Sudahlah, mereka bisa cukup tanpa kau bantu.

Bagaimana kau bisa menjamin?

Akan kukatakan tapi kau harus berjanji mau ikut denganku.

Baiklah.

Bukankah setiap makhluk punya jatahnya masing-masing? Kalau habis, ya meninggal, kata sosok rupawan itu mengakhiri. Sejurus kemudian, lelaki kurus menepati janjinya pada sosok rupawan.

Siang hari itu Hari Kamis. Seorang yang kebetulan lewat memperhatikan tubuh lelaki kurus. Dari tadi pagi ketika ia berangkat bekerja hingga kini ia pulang, tampak tidak berubah. Ia memberanikan diri mendekat. Innalillahi wa innaillaihi rajiun.

Tubuh lelaki kurus sudah sedingin es, beku.

Toloong! Toloong! Ada mayat, toloong! Teriakan seseorang itu, bagaikan komando ketua regu, masyarakat berbondong-bondong ke TKP. Tidak ada yang mengenali lelaki kurus itu. Tidak satu pun. Sampai akhirnya seseorang membuka suara, menyampaikan gagasan untuk mencari kartu atau identitas apapun di sekitar lelaki kurus. Hanya sebuah plastik berisi beberapa lembar ribuan yang diikat karet dan sebuah kertas.

Apa tulisannya? Seseorang penasaran.

Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan. Mungkin saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Tidak boleh ada air mata karena semua ini, baca salah satu warga.

Di baliknya? Yang lain urun bicara.

Sebuah Cinta yang istimewa untuk orang-orang yang luar biasa. Untuk Yayasan Sahabat Ceria,

Oh, panti asuhan yang di sana itu. Kita tanyakan saja ke sana, barangkali mereka kenal, usul yang lainnya.

***

Penghuni panti tercekat, seakan sebuah bom terpasang dalam tenggorokannya. Semua masih tak percaya lelaki kurus itu tak akan kembali. Bahkan ketika jenazah dibawa ke panti itu, semua merasa ia hanya tertidur, atau mereka yang tidur dan sedang bermimpi. Suatu saat, tidur ini akan berakhir.Namun, realita tak dapat dihindari. Waktu terus bergulir. Jenazah sudah rapi terbungkus kafan dan siap diantar ke peristirahatan. Seorang pengurus panti menyiapkan nisan. Namun, ia tak tahu harus menulis apa. Ia hanya tahu lelaki kurus itu biasa dipanggil Pak Untung, itu saja. Tepat pukul 13.47, rombongan pelayat lepas landas ke pemakaman setempat. Tidak ada yang berani melahirkan tangis, yang menangis hanya berani menjerit di dalam batin.

Pukul 14.16, upacara pemakaman dimulai. Semua berlangsung khidmat dan lancar. Ditemani gerimis dan sedikit guguran daun beringin.

***Secarik kertas itu dilindunginya benar-benar. Ia takut cuaca merusak bait-bait kenangan simbolis yang rapuh itu. Pria muda kemudian mengeluarkan kuas dan cat minyak, menggoreskannya pada nisan yang masih hampa itu. Tak lama kemudian, jadilah nisan itu sewajarnya, lengkap dengan data layaknya nisan lain. Hemm,sudah sesuai catatanku.

Nama sudah Untung Raharjo. Nama ayah Bedjo Waskito. Usia dihitung-hitung sudah benar 94 tahun. Lengkap! Kata pria muda dalam hati. Dari semua insan yang mengetahui makam lelaki kurus, hanya pria muda inilah yang paling tahu data diri lelaki kurus. Dia memang selalu ingin tahu semua tentang lelaki yang telah membawanya ke panti itu karena baginya lelaki kurus adalah guru sekaligus orang tua terbaiknya. Sebelum beranjak pergi, setangkai bunga diletakannya. Bersama dengan sebuah tulisan indah berbingkai pigura kaca bertuliskan Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa, sebuah kalimat istimewa antara pria muda dan lelaki kurus.

***Pria muda itu memanglah orang yang paling banyak tahu mengenai lelaki kurus. Namun, dia masih melupakan beberapa bagian terpenting dari lelaki kurus. Yang orang-orang tahu, lelaki kurus meninggal dalam kemiskinan dan kebahagiaan yang berpadu harmonis. Tidak ada yang tahu bahwa sepanjang hidupnya lelaki kurus telah menyumbang hampir setengah milyar. Dari donasinya, ia telah membantu pendidikan dan makanan sekitar 300 anak yatim piatu. Dan yang jelas, tidak ada orang yang tahu kalau saat ini lelaki kurus sedang terpana bahagia, menari di atas pelangi di bawah mentari, di suatu tempat yang keindahannya tidak pernah berakhir.

Purworejo, Januari 2013