sikap, motivasi, dan hambatan dokter dalam upaya …digilib.unila.ac.id/59747/3/3. skripsi full teks...
TRANSCRIPT
SIKAP, MOTIVASI, DAN HAMBATAN DOKTER
DALAM UPAYA PENCEGAHAN KAKI DIABETIK
PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI FASILITAS KESEHATAN
TINGKAT PERTAMA (FKTP) KOTA BANDAR LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh
ADELA PUTRI AGATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
SIKAP, MOTIVASI, DAN HAMBATAN DOKTER
DALAM UPAYA PENCEGAHAN KAKI DIABETIK
PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI FASILITAS KESEHATAN
TINGKAT PERTAMA (FKTP) KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh
Adela Putri Agata
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Lulus
SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, 21 Agustus 1997 merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara, dari Ayahanda Dedi Gunawan dan Ibunda
Mahdalena.
Pendidikan Taman Kanak-kanak diselesaikan di TK Kartika II-26 Bandar
Lampung pada Tahun 2003, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Kartika II-5
Bandar Lampung pada tahun 2009, Sekolah Menengah Pertama (SMP)
diselesaikan di SMP Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 2012, dan Sekolah
Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 2 Bandar Lampung pada
tahun 2015. Tahun 2015, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif pada organisasi Perhimpunan
Mahasiswa Pecinta Alam dan Tanggap Darurat (PMPATD) Pakis Rescue Team
sebagai anggota dan staff divisi Organisasi pada tahun 2015-2018. Penulis
terdaftar sebagai anggota dan staff bidang Humas Forum Studi Islam (FSI) Ibnu
Sina pada tahun 2015-2018.
Kepada Allah Yang Maha Pengasih
Lagi Maha Penyayang
Teruntuk makhluk-makhluk Mu
yang paling hamba cintai, Mama dan Ayah.
Dan teruntuk keluarga tercintaku.
Terimalah bukti ilmu dari-Mu ini
untuk bekal ku menuju kepada-Mu
“Barang siapa menelusuri jalan untuk mencari ilmu pada-Nya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”
(HR. Muslim)
SANWACANA
Puji syukur Penulis ucapkan kepada Allah SWT, atas segala nikmat, karunia,
pertolongan, dan kemudahan yang diberikan-Nya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini berjudul “SIKAP, MOTIVASI, DAN HAMBATAN DOKTER
DALAM UPAYA PENCEGAHAN KAKI DIABETIK PADA PASIEN
DIABETES MELITUS DI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
(FKTP) KOTA BANDAR LAMPUNG” adalah salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas Lampung;
2. Dr. Dyah Wulan S.R.W., SKM., M.Kes, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung;
3. Prof. Dr. dr. Efrida Warganegara, S.Ked., M.Kes., Sp. MK selaku
Pembimbinng Akademik;
4. Dr. dr. TA Larasati, S.Ked., M.Kes selaku Pembimbing Satu yang telah
bersedia meluangkan waktu, memberikan bimbingan, kritik, saran dan
nasihat yang bermanfaat dalam penelitian skripsi ini;
5. Ibu Minerva Nadia Putri A.T., S.K.M., M.K.M selaku Pembimbing Kedua
yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan masukan, kritik,
saran dan nasihat bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini;
6. dr. Diana Mayasari, S.Ked., M.K.K selaku Pembahas skripsi yang bersedia
meluangkan waktu dan kesediannya untuk memberikan kritik, saran dan
nasihat yang bermanfaat dalam proses penyelesaian skripsi ini;
7. Ayah dan Mama tercinta, Bapak Dedi Gunawan dan Ibu Mahdalena,
terima kasih atas segala doa, cinta, dan dukungan baik fisik maupun psikis
yang telah diberikan kepadaku hingga saat ini;
8. Saudari kandung saya, Nadia Karismalita dan Saudara Kandung saya,
Faris Danuarta, yang selalu memberikan dukungan dan kasih sayang;
9. Seluruh keluarga besar yang turut memberikan dukungan kepadaku;
10. Seluruh staf pengajar dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung atas segala ilmu dan bimbingan yang kelak akan digunakan
sebagai bekal dalam menjalankan tugas sebagai dokter;
11. Seluruh Informan Penelitian dan Informan Triangulasi yang bersedia
berpartisipasi dalam penelitian ini;
12. Teman yang selalu mendukung, menemani, memotivasi dan menjadi
tempat berbagi saya: Ami, Refi, Hanifa, Iid, Deem, Kak Wulan, Anis,
Ninis, dan Vioren;
13. Teman seperjuangan ku Kak Winda dan Sheira;
14. Terimakasih kepada Thoriq Aziz dan kak Vermitia atas segala nasihat dan
bantuan yang diberikan selama proses penelitian ini;
15. Lembaga Kemahasiswaan yang selalu saya banggakan, PMPATD PAKIS
Rescue Team dan Forum Studi Islam (FSI) Ibnu Sina, terimakasih atas
segala ilmu dan keluarga yang telah diberikan;
16. Teman-teman Angkatan 2015 (ENDOMI5IUM) yang tidak bisa
disebutkan satu persatu;
Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Akan tetapi, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna untuk pembaca.
Bandar Lampung, Oktober 2019
Penulis
Adela Putri Agata
ABSTRACT
DOCTOR’S ATTITUDE, MOTIVATION, AND OBSTACLES
IN IMPLEMENTING DIABETIC FOOT PREVENTION
TO DIABETES MELITUS PATIENTS AT PRIMARY HEALTH CARE
FACILITIES (FKTP) IN BANDAR LAMPUNG CITY
By
ADELA PUTRI AGATA
Backgrounds : Every thirty seconds an amputation should be done due to
diabetic foot. Diabetic foot prevention can reduce 85% of the amputations.
However, it is often ignored. Meanwhile, with the availability of adequate
facilities, health workers are not interested or do not have enough knowledge
about diabetic foot
Purpose : The aim of this study was to determine doctor’s attitude, motivation
and obstacles in implementing diabetic foot prevention at primary health care
facilities of Bandar Lampung city.
Method : This study used qualitative design with a phenomenology approach.
The informants were doctors who work at primary health care facilities in Bandar
Lampung city which amounted to six people.
Result : Education for the patients is not specific and inadequate to diabetic foot.
There is no regular foot examination to the DM patients. The doctors have
intrinsic and extrinsic motivation and some obstacles in doing diabetic prevention.
Conclusion : Doctors have positive attitude but have inadequate cognitive and
conative aspect towards diabetic foot prevention. The doctors have intrinsic
motivations and extrinsic motivation in diabetic foot prevention. There are
obstacles derived from patient, health facility, and from the doctor as health care
giver in diabetic foot prevention.
Keywords : Attitude, Diabetic Foot Prevention, Doctor, Motivation, Obstacle
ABSTRAK
SIKAP, MOTIVASI, DAN HAMBATAN DOKTER
DALAM UPAYA PENCEGAHAN KAKI DIABETIK
PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI FASILITAS KESEHATAN
TINGKAT PERTAMA (FKTP) KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh
ADELA PUTRI AGATA
Latar Belakang : Setiap tiga puluh detik terjadi amputasi akibat kaki diabetik.
Pencegahan kaki diabetik dapat mengurangi 85% jumlah amputasi. Namun, kaki
pencegahan kaki diabetik sering terabaikan. Bahkan dengan tersedianya fasilitas
yang adekuat, petugas kesehatan tidak tertarik atau tidak memiliki pengetahuan
yang cukup mengenai kaki diabetik.
Tujuan : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap, motivasi, dan
hambatan dokter dalam melakukan pencegahan kaki dibetik di FKTP Kota Bandar
Lampung.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Informan penelitian adalah dokter yang bekerja di FKTP Kota
Bandar Lampung yang berjumlah 6 orang.
Hasil : Edukasi kepada pasien tidak spesifik dan tidak adekuat mengenai kaki
diabetik. Tidak dilakukan pemeriksaan kaki regular pada pasien DM. Dokter
memiliki motivasi interinsik dan ekstrinsik serta beberapa hambatan dalam
melakukan pencegahan kaki diabetik.
Kesimpulan : Dokter memiliki sikap positif terhadap pencegahan kaki diabetik
namun aspek kognitif dan konatif tidak adekuat. Dokter memiliki motivasi
interinsik dan eksterinsik dalam pencegahan kaki diabetik. Terdapat hambatan
yang berasal dari pasien, fasilitas kesehatan, dan dari dokter sebagai petugas
kesehatan.
Keywords : Dokter, Hambatan, Motivasi, Pencegahan Kaki diabetik, Sikap
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 6
1.4.1 Manfaat Teoritis ................................................................................... 6
1.4.2 Manfaat Praktis ..................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 7
2.1 Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 7
2.1.1 Diabetes Melitus ................................................................................... 7
2.1.2 Kaki Diabetik...................................................................................... 19
2.1.3 Hambatan dalam Pencegahan Kaki Diabetik ..................................... 35
2.1.4 Sikap ................................................................................................... 37
2.1.5 Motivasi .............................................................................................. 40
2.2 Kerangka Teori ............................................................................................. 45
2.3 Kerangka Konsep ......................................................................................... 50
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 51
3.1 Desain Penelitian .......................................................................................... 51
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 51
3.2.1 Tempat Penelitian ............................................................................... 51
3.2.2 Waktu Penelitian ................................................................................ 52
3.3 Informan ....................................................................................................... 52
3.4 Instrumen Penelitian ..................................................................................... 53
3.5 Pengumpulan Data ....................................................................................... 53
3.6 Analisis Data ................................................................................................ 54
3.7 Etika Penelitian ............................................................................................. 56
ii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 57
4.1 Hasil Penelitian ............................................................................................. 57
4.1.1 Gambaran Umum ............................................................................... 57
4.1.2 Karakteristik Informan Penelitian dan Informan Triangulasi ............ 58
4.1.3 Hasil Analisis Penelitian.................................................................... 59
4.2 Pembahasan .................................................................................................. 93
4.2.1 Sikap Dokter Terhadap Pencegahan Kaki Diabetik di FKTP ............ 93
4.2.2 Motivasi Dokter dalam Pencegahan Kaki Diabetik di FKTP ......... 102
4.2.3 Hambatan Dokter dalam Pencegahan Kaki Diabetik di FKTP ....... 103
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 109
5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 109
5.2 Saran ........................................................................................................... 110
5.3 Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 111
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 112
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Klasifikasi frekuensi skrinning risiko kaki diabetik ............................................... 29
2. Karakteristik Informan Penelitian ......................................................................... 58
3. Karakteristik Informan Triangulasi ........................................................................ 59
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Lokasi monofilament tes ........................................................................................ 30
2. Letak Monofilamen ................................................................................................ 30
3. Cara Memotong Kuku ............................................................................................ 33
4. Kerangka Teori ....................................................................................................... 49
5. Kerangka Konsep .................................................................................................. 50
6. Pencegahan Kaki Diabetik oleh Dokter di FKTP ................................................... 76
7. Motivasi Dokter dalam Pencegahan kaki Diabetik ................................................ 89
8. Hambatan Dokter dalam Pencegahan Kaki Diabetik ............................................. 92
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian
Lampiran 2 Surat Persetujuan Etik
Lampiran 3 Informed Consent Informan Penelitian
Lampiran 4 Infoimed Consent Informan Triangulasi
Lampiran 5 Form Panduan Wawancara Penelitan
Lampiran 6 Form Panduan Wawancara Triangulasi
Lampiran 7 Hasil Koding Penelitian
Lampiran 8 Hasil Koding Triangulasi
Lampiran 9 Dokumentasi Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan International Diabetes Federation (IDF), angka pasien diabetes di
dunia pada tahun 2017 mencapai 425 juta dan diestimasikan pada tahun 2045
meningkat menjadi 629 juta. Jumlah kematian di dunia yang diakibatkan oleh
diabetes pada tahun 2017 adalah 4 juta kematian. Di Indonesia, jumlah pasien
DM pada tahun 2017 mencapai 10,3 juta dan diprediksi akan meningkat menjadi
16,7 juta pada tahun 2045 (IDF, 2017b). Prevalensi Diabetes Melitus (DM) di
Indonesia pada tahun 2013 adalah 6,9 % dan meningkat menjadi 8,5 % pada
tahun 2018. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi dengan kenaikan
prevalensi DM yang cukup tinggi yaitu dari 0,8 % mencapai 1,6 % dari tahun
2013 ke 2018 (Kemenkes, 2018). Sementara Kota Bandar Lampung menempati
peringkat ke lima kota dengan prevalensi DM tertinggi di Provinsi Lampung
(Kemenkes, 2013).
Indonesia menempati peringkat pertama negara dengan persentase diabetes yang
tidak terdiagnosis pada tahun 2017 (IDF, 2017b). Diabetes dikenal dengan silent
killer karena sering tidak disadari dan saat diketahui sudah terjadi komplikasi
2
(Kemenkes RI, 2014). Semakin meningkatnya angka diabetes maka
memungkinkan meningkatnya prevalensi komplikasi kronik DM. Salah satu
komplikasi kronik dari DM adalah kaki diabetik. Kaki diabetik merupakan
penyebab mayor dari morbiditas dan mortalitas pasien diabetes dan berkontribusi
besar dalam penggunaan dana kesehatan (Singh, 2005; Cavanagh, Attinger,
Abbas et al, 2012). Prevalensi kaki diabetik di dunia bervariasi dengan rata-rata
prevalensi global 6,4 % (Bobircē, Mihalache, Georgescu et al, 2016). Di sisi lain,
prevalensi kaki diabetik di Indonesia memiliki angka yang cukup tinggi yaitu
sebesar 12% (Yusuf, Okuwa, Irwan et al, 2016).
Setiap tahunnya dilaporkan terdapat lebih dari satu juta amputasi dilakukan akibat
kaki diabetik (Bakker, Apelqvist, Lipsky et al, 2016). Setiap 30 detik satu
tungkai bagian bawah seseorang harus diamputasi akibat diabetes (IDF, 2017a).
Pada tahun 2017, pasien dengan kaki diabetik di dunia membutuhkan dana 5,4
kali lebih besar dari pasien tanpa kaki diabetik (IDF, 2017b). Total biaya
pengelolaan kaki diabetik di Amerika Serikat (AS) berkisar antara 9 hingga 13
miliar dolar amerika yaitu sekitar 126,4 sampai 182,6 triliun rupiah (Rice, Desai,
Cummings et al, 2014).
Sementara di Indonesia penderita kaki diabetik memerlukan biaya yang cukup
tinggi yaitu sebesar 1,3 juta sampai 1,6 juta rupiah perbulan dan 43,5 juta rupiah
per tahun untuk seorang penderita (Suyono, 2006 dalam Aftria, 2014). Sebesar
80% perawatan rumah sakit pada pasien diabetes di Indonesia diakibatkan oleh
kaki diabetik (Riyanto, 2007). Berbagai penelitian mengenai kualitas hidup
3
pasien diabetes, menunjukkan bahwa kehilangan anggota gerak tubuh akibat kaki
diabetik memiliki dampak negatif yang lebih besar pada kualitas hidup daripada
komplikasi diabetes lainnya (Clarke, 2002; Laiteerapong, Karter, Liu et al, 2011).
Kaki diabetik merupakan kondisi yang dapat dicegah, di mana intervensi
sederhana dapat mengurangi angka amputasi hingga 85% (Cousart dan Handley,
2016). Namun pencegahan kaki diabetik sering diabaikan (Allen, Van der, Does
et al, 2016). Di Itali, sebanyak 50% pasien diabetes tidak menerima pemeriksaan
kaki dan sebanyak 28% belum pernah mendapatkan edukasi mengenai kaki
diabetik (Berardis, Pellegrini, Franciosi et al, 2005). Audit tahunan manajemen
penyakit kronis yang dilakukan di klinik Klapmuts, Afrika Selatan pada tahun
2013 menunjukkan bahwa tidak ada pasien diabetes yang menjalani skrining kaki
sesuai dengan pedoman daerah setempat dan internasional (Allen, Van der, Does
et al, 2016). Sementara berdasarkan International Working Group On The
Diabetic Foot (IWGDF), sekurang-kurangnya dokter di FKTP harus memeriksa
kaki pasien diabetes satu kali dalam satu tahun (IWGDF, 2015b).
Diperkirakan hanya kurang dari sepertiga dokter yang mengenali gejala neuropati
perifer yang merupakan faktor risiko kaki diabetik (IDF, 2017a). Bahkan apabila
sudah tersedia fasilitas yang memadai, tenaga kesehatan yang ada tidak tertarik
atau tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kaki diabetik (Houtum,
2012). Penanganan kaki diabetik baik pencegahan sampai perawatan digambarkan
terfragmentasi dan tidak teratur, tergantung pada individu yang menangani dan
4
sumber daya lokal yang tersedia (IDF, 2017a). Hal ini mencerminkan perilaku
upaya pencegahan yang buruk.
Upaya pencegahan merupakan suatu perilaku yang terencana karena merupakan
aktivitas yang sengaja dilakukan untuk tujuan tertentu. Berdasarkan teori perilaku
terencana atau Theory of Planned Behavior (TPB), perilaku yang terencana
dipengaruhi langsung oleh niat (Intention) yaitu kumpulan faktor motivasi yang
mempengaruhi perilaku. Sementara niat dipengaruhi oleh sikap (attitude), norma
subjektif (subjective norms), dan persepsi kontrol perilaku (perceived behavioral
control) yang mengacu pada kemudahan atau kesulitan yang dirasakan dalam
melakukan perilaku dan diasumsikan mencerminkan pengalaman masa lalu serta
halangan dan hambatan yang diantisipasi (Ajzen, 1991).
Sikap dan motivasi tenaga kerja yang berkualitas sangat penting dalam
meningkatkan produktivitas dan kualitas layanan suatu organisasi (Stella, 2008).
Demotivasi atau motivasi yang buruk dapat menyebabkan sikap yang buruk dari
penyedia layanan kesehatan terhadap pasien serta dapat menyebabkan tidak
digunakannya protokol standar yang ada (WHO, 2006).
Dalam era sistem kesehatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) merupakan fokus utama dalam implementasi
sistem kesehatan nasional. Pelayanan kesehatan difokuskan di FKTP seperti di
Puskesmas, klinik atau dokter praktek perseorangan yang berperan sebagai
gerbang utama atau gatekeeper masyarakat dalam mengakses pelayanan
5
kesehatan yang lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, 2014). Sudah terdapat
beberapa penelitian yang membahas mengenai sikap, motivasi, dan hambatan dari
sisi pasien dalam upaya pencegahan kaki diabetik (Apriliyani, 2018; Mulya,
2014; Houtum, 2012). Namun saat ini belum terdapat penelitian mengenai sikap,
motivasi, dan hambatan penyedia layanan kesehatan dalam upaya pencegahan
kaki diabetik yang dilakukan di FKTP.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian kualitatif
yang menggali tentang sikap, motivasi, dan hambatan dokter dalam upaya
pencegahan kaki diabetik pada pasien diabetes melitus di fasilitas kesehatan
tingkat pertama kota Bandar Lampung.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah yaitu :
1. Bagaimanakah sikap dokter terhadap upaya pencegahan kaki diabetik di
fasilitas kesehatan tingkat pertama Kota Bandar Lampung?
2. Bagaimanakah motivasi dokter dalam upaya pencegahan kaki diabetik di
fasilitas kesehatan tingkat pertama Kota Bandar Lampung?
3. Bagaimanakah hambatan yang dirasakan dokter dalam melakukan upaya
pencegahan kaki diabetik di fasilitas kesehatan tingkat pertama Kota Bandar
Lampung?
6
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap, motivasi, dan hambatan
upaya pencegahan kaki diabetik oleh dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama
kota Bandar Lampung.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan di bidang ilmu
kedokteran komunitas.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi Peneliti
Untuk mendapatkan pengalaman meneliti, menambah wawasan
pengetahuan, dan mengaplikasikan pengetahuan yang telah didapat.
1.4.2.2 Bagi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk membantu meningkatkan
kualitas upaya pencegahan kaki diabetik.
1.4.2.3 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai data dan masukan yang dapat menjadi informasi dan sumber
referensi bagi penelitian dimasa yang akan datang.
1.4.2.4 Bagi Masyarakat
Sebagai salah satu sarana untuk menambah wawasan tentang
penyakit, komplikasi, dan pencegahan diabetes melitus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Diabetes Melitus
2.1.1.1 Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) adalah salah suatu bentuk penyakit
metabolik dengan ciri hiperglikemi akibat kelainan sekresi
insulin, gangguan kerja insulin, atau keduanya yang dapat
menimbulkan berbagai komplikasi (Soelistijo, Novida, Rudijanto
et al 2015). Berdasarkan IDF, DM adalah kondisi kronis yang
terjadi ketika terdapat peningkatan kadar glukosa darah karena
tubuh tidak dapat menghasilkan hormon insulin yang cukup atau
menggunakan insulin secara efektif (IDF, 2017). Diabetes secara
harfiah berarti “mengalirkan” dan melitus berarti “manis” yang
menunjukkan pengeluaran urin yang banyak dan manis akibat
glukosuria (Sherwood, 2015).
2.1.1.2 Manifestasi dan Patofisiologi Diabetes Melitus
Pada diabetes terjadi penurunan aktivitas insulin yang
menyebabkan kondisi hiperglikemia. Terdapat banyak glukosa
dalam darah namun sedikit glukosa intrasel. Akibatnya terjadi
8
kelaparan sel dan menimbulkan polifagia. Terjadi proses
glikogenolisis dan glukoneogenesis oleh hati tanpa kendali dan
memperburuk kondisi hiperglikemia yang menyebabkan
glukosuria. Glukosa dalam urin akan menarik air bersamanya
dan menyebabkan poliuria. Banyaknya cairan yang keluar
menyebabkan dehidrasi dan dapat menimbulkan gejala
polidipsia, gagal ginjal, bahkan kematian akibat berkurangnya
aliran darah ke otak. Apabila sel kehilangan air sewaktu, sel
dapat menciut dan otak sangat peka terhadap penciutan sehingga
dapat terjadi malfungsi sistem saraf (Sherwood, 2015).
Untuk mengkompensasi kurangnya glukosa intrasel, akan terjadi
lipolisis pada tubuh, sehingga penderita akan tampak kurus.
Asam lemak yang didapatkan akan diubah menjadi sumber
energi alternatif. Peningkatan metabolisme asam lemak oleh hatI
menyebabkan pelepasan badan keton yang bersifat asam dan
menyebabkan ketosis dan asidosis metabolik hingga koma
diabetes dan kematian. Tindakan kompensasi asidosis metabolik
adalah peningkatan pengeluaran CO2 pembentuk asam.
Pengeluaran salah satu badan keton melalui napas menyebabkan
napas berbau buah. Protein juga akan diuraikan untuk proses
glukoneogenesis sehingga menyebabkan penurunan berat badan
dan kelemahan. Pada anak dapat menyebabkan penurunan laju
pertumbuhan (Sherwood, 2015).
9
2.1.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus
Berdasarkan etiologinya, DM diklasifikasikan menjadi; DM tipe
1 yaitu yang disebabkan oleh destruksi sel beta oleh proses
autoimun atau idiopatik sehingga terjadi defisiensi insulin, DM
tipe 2 yang disebabkan oleh faktor yang bervariasi yang
menyebabkan resistensi insulin sampai defek sekresi insulin
pankreas, DM gestasional, dan DM tipe lain seperti pada defek
genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia,
infeksi, sebab imunologi, dan sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan DM (Soelistijo, Novida, Rudijanto et al 2015).
2.1.1.4 Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis DM ditegakkan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang disarankan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma
darah vena. Diikuti dengan adanya tanda dan gejala DM.
Seseorang dapat dikatakan diabetes melitus apabila memenuhi
salah satu dari kriteria berikut ini :
1. Jika Gula Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl (puasa minimal 8
jam).
2. Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl 2
jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan
beban glukosa 75 gram.
10
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan
keluhan klasik.
4. Pemeriksaan Hemoglobin A1 (HbA1c) ≥ 6,5% dengan
menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Programme (NGSP).
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau
kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang
meliputi: Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dan Glukosa
Darah Puasa Terganggu (GDPT).
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): GDP 100-125
mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140
mg/dl.
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan
glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl
dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl.
3. Didapatkan GDPT dan TGT secara bersamaan.
4. Kadar HbA1c 5,7-6,4% (Soelistijo, Novida, Rudijanto et al
2015).
2.1.1.5 Faktor Risiko Diabetes Melitus
Faktor risiko DM dapat digolongkan menjadi faktor risiko yang
dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor
risiko yang dapat dimodifikasi antara lain adalah berat badan
berlebih, obesitas abdominal atau sentral, pola hidup yang tidak
11
sehat, aktivitas fisik rendah, hipertensi, merokok, dislipidemia,
riwayat TGT atau GDPT. Sedangkan faktor risiko yang tidak
dapat dimodifkasi adalah umur, jenis kelamin, ras, etnik, riwayat
diabetes melitus pada keluarga, riwayat melahirkan bayi dengan
berat badan lebih dari 4000 gram, dan riwayat lahir dengan Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR) atau kurang dari 2500 gram
(Kemenkes RI, 2014).
2.1.1.6 Komplikasi Diabetes Melitus
Secara umum komplikasi DM digolongkan menjadi komplikasi
akut dan kronis. Komplikasi akut dapat berupa hipoglikemia dan
ketoasidosis diabetikum. Sementara komplikasi kronik
digolongkan menjadi komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular. Komplikasi mikrovaskular terjadi pada
pembuluh darah kecil. Nefropati, neuropati, dan retinopati
merupakan komplikasi mikrovaskular DM. Komplikasi
makrovaskular terjadi pada pembuluh darah besar dan dapat
menyebabkan strok, penyakit jantung, dan pembuluh darah
perifer yang memungkinkan terjadinya kaki diabetik dan
amputasi (Bambang, Yati, Muhammad et al, 2015).
Jaringan kardiovaskular, jaringan saraf, sel endotel pembuluh
darah, dan sel retina memiliki kemampuan untuk memasukkan
glukosa tanpa bantuan insulin, dan disebut juga jaringan yang
rentan terhadap hiperglikemia. Komplikasi kronik diabetes
12
melitus terjadi akibat hiperglikemia berkepanjangan pada
jaringan yang rentan tersebut sehingga terdapat glukosa berlebih
dalam sel, yang disebut juga keadaan hiperglisolia.
Terdapat banyak jalur patogenesis terjadinya komplikasi kronik
DM, salah satunya adalah jalur reduktase aldose. Pada jalur ini
glukosa dalam sel akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim
reduktase aldose dengan bantuan koenzim NADPH. Kemudian
sorbitol akan direduksi menjadi fruktosa. Sorbitol dan fruktosa
bersifat sangat hidrofilik, sehingga lambat untuk menembus lipid
bilayer sel. Akibatnya terjadi penumpukan sorbitol dan fruktosa
intraseluler.
Sel kemudian akan membesar akibat masuknya air ke dalam sel
karena proses osmotik, serta terjadi imbalans ion dan metabolit
yang mengakibatkan terjadinya kerusakan sel. Kemudian terjadi
penurunan rasio NADPH dan NADP+ akibat penggunaan
NADPH pada jalur ini, yang kemudian menimbulkan stres
oksidatif dan meningkatkan kerusakan sel (Setiati, Alwi, Sudoyo
et al, 2014).
2.1.1.7 Tatalaksana Diabetes Melitus
Tujuan umum penatalaksanaan DM adalah meningkatkan
kualitas hidup penderitanya. Tujuan penatalaksanaan DM
meliputi; tujuan jangka pendek yaitu menghilangkan keluhan
DM, memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko
13
komplikasi akut; tujuan jangka panjang yaitu mencegah dan
menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan
makroangiopati; dan tujuan akhir pengelolaan DM adalah
turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Langkah-langkah
penatalaksanaan DM dibagi menjadi penatalaksanaan umum
dan penatalaksanaan khusus.
a. Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum
Dilakukan evaluasi medis lengkap pada pertemuan pertama
yang terdiri dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, evaluasi
laboratorium, dan penapisan komplikasi dengan melakukan
pemeriksaan profil lipid, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, tes
urin rutin, elektrokardiogram, foto rontgen toraks apabila
terdapat indikasi tuberkulosis dan penyakit jantung kongestif,
serta pemeriksaan kaki secara komprehensif.
b. Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus
Penatalaksanaan DM diawali dengan menerapkan pola hidup
sehat dan diiringi dengan intervensi farmakologis dengan
obat anti hiperglikemia oral atau suntikan. Penatalaksanaan
khusus DM terdiri dari edukasi, terapi nutrisi medis, latihan
jasmani, dan terapi farmakologis.
1. Edukasi
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal
dan materi edukasi tingkat lanjutan. Materi edukasi pada
tingkat awal dilaksanakan di FKTP meliputi:
14
• Materi tentang perjalanan penyakit DM.
• Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan
DM secara berkelanjutan.
• Penyulit DM dan risikonya.
• Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta
target pengobatan.
• Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan
obat antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-
obatan lain.
• Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil
glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika
pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia).
• Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
• Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
• Pentingnya perawatan kaki.
• Cara mempergunakan fasilitas perawatan
kesehatan.
Sementara materi edukasi pada tingkat lanjut
dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan sekunder
dan /atau tersier adalah sebagai berikut:
• Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
• Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
• Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
15
• Rencana untuk kegiatan khusus (seperti olahraga).
• Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa,
hari-hari sakit).
• Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan
teknologi mutakhir tentang DM.
• Pemeliharaan/perawatan kaki (Soelistijo, Novida,
Rudijanto et al 2015).
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Terapi nutrisi medis diberikan sesuai dengan kebutuhan
setiap penderita DM. Kunci keberhasilan TNM adalah
keterlibatan menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli
gizi, petugas kesehatan yang lain, pasien dan
keluarganya). Prinsip pengaturan makan pada penderita
DM adalah makan dengan kalori dan zat gizi yang sesuai
dengan kebutuhan masing-masing individu. Keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori,
terutama pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin perlu
diperhatikan pada TNM pasien DM (Soelistijo, Novida,
Rudijanto et al 2015).
16
3. Latihan Jasmani
Latihan jasmani bertujuan untuk menjaga kebugaran dan
untuk menurunkan berat badan pada pasien obesitas serta
memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan jasmani yang
bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut
jantung maksimal) lebih dianjurkan seperti: jalan cepat,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Apabila tidak
disertai nefropati, latihan jasmani merupakan salah satu
pilar dalam pengelolaan DM. Kegiatan latihan jasmani
dilakukan secara secara teratur selama 30-45 menit, 3-5
kali perminggu.
Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah
sebelum latihan. Jika kadar glukosa darah <100 mg/dL
pasien harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu
dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan.
Aktivitas sehari-hari bukan termasuk dalam latihan
jasmani walaupun dianjurkan untuk selalu aktif setiap
hari (Soelistijo, Novida, Rudijanto et al 2015).
4. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis terdiri dari obat anti hiperglikemia
oral dan obat anti hiperglikemia bentuk suntikan.
17
a. Obat anti hiperglikemia oral
Obat anti hiperglikemia oral atau disebut Obat
Hipoglikemik Oral (OHO) dibagi menjadi lima
golongan yaitu :
1. Pemacu sekresi insulin (Insulin Secretagogue)
Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas contoh obat golongan insulin sekretagog
adalah sulfonilurea dan glinid.
2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Metformin merupakan salah satu obat peningkat
sensitivitas insulin. Metformin mengurangi
produksi glukosa oleh hati dan meningkatkan
pengambilan glukosa di jaringan. Tiazolidindion
merupakan jenis lain dari obat peningkat
sensitivitas insulin. Obat ini meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer.
3. Penghambat glukosa di saluran pencernaan
Penghambat alfa glucosidase bekerja
memperlambat peyerapan glukosa dalam usus
halus dan menurunkan glukosa darah sesudah
makan. Contoh obat golongan ini adalah acarbose.
18
4. Penghambat Dipeptidyl Peptidase-IV (DPP-IV)
Golongan ini menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga Glucose Like Peptide (GLP-1) yang
berfungsi meningkatkan sekresi insulin dan
menurunkan sekresi glukagon aktif tetap dalam
konsentrasi tinggi. Contoh obat golongan ini
adalah sitagliptin dan linagliptin.
5. Penghambat Sodium Glucose Co-Transporter 2
(SGLT-2)
Obat ini menghambat penyerapan kembali glukosa
di tubulus distal ginjal. Canagliflozin,
empagliflozin, dapagliflozin, dan ipragliflozin
merupakan contoh obat golongan SGLT-2.
b. Obat Anti hiperglikemia suntik
Insulin, agonis GLP-1, dan kombinasi dari keduanya
merupakan obat antihiperglikemia suntik. Insulin
diberikan pada keadaan salah satu dari kriteria berikut :
• HbA1c > 9% dengan dekompensasi metabolik
• Berat badan turun progresif
• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
• Krisis Hiperglikemia
• Gagal dalam kombinasi Obat Hiperglikemia Oral
(OHO) dosis optimal
19
• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark
miokard akut, strok)
• Kehamilan dengan DM gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
• Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
(Soelistijo, Novida, Rudijanto et al 2015).
2.1.2 Kaki Diabetik
2.1.2.1 Definisi Kaki Diabetik
Kaki Diabetik adalah infeksi, ulserasi atau penghancuran
jaringan yang berhubungan dengan neuropati atau dengan
penyakit arteri perifer ekstremitas bagian bawah pada
penyandang diabetes melitus (IWGDF, 2015a). Sementara kaki
diabetik didefinisikan oleh World Health Organization (WHO)
sebagai sekelompok sindrom terdiri dari neuropati, iskemia, dan
infeksi yang menyebabkan kerusakan jaringan kaki dan
mengakibatkan morbiditas dan kemungkinan amputasi (Saad,
Marei, Mohamed et al, 2014).
2.1.2.2 Patogenesis Kaki Diabetik
Terjadinya kaki diabetik disebabkan oleh infeksi, angiopati, dan
neuropati. Terjadinya kaki diabetik diawali oleh hiperglikemia
kronik yang menyebabkan hiperglisolia pada sel otot pembuluh
20
darah dan sel saraf yang kemudian menyebabkan kelainan
pembuluh darah atau angiopati dan neuropati.
Neuropati sensorik akan menimbulkan hilang atau menurunnya
sensasi nyeri kaki, sehingga menyebabkan penderita tidak dapat
merasakan rangsang nyeri dan kehilangan daya kewaspadaan
proteksi terhadap rangsang dari luar. Akibatnya, kaki lebih rentan
terhadap luka.
Neuropati motorik menyebabkan atrofi otot-otot kaki sehingga
terjadi ketidakseimbangan tekanan pada otot kaki. Hal ini
menyebabkan adanya perluasan daerah yang mengalami
penekanan. Atrofi otot kaki menyebabkan perubahan bentuk
atau deformitas pada kaki seperti jari menekuk atau cock up toes,
hammer toe, hallux rigidus, bergesernya sendi
metatarsofalangeal dan terjadi penipisan bantalan lemak di
bawah pangkal jari kaki. Deformitas kaki menyebabkan
terbatasnya mobilitas, meningkatkan tekanan plantar kaki dan
meningkatkan risiko terjadi ulkus (Santy, 2013).
Neuropati autonom dapat menyebabkan kulit tidak berkeringat,
kering, dan terjadi peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat
pintasan arteriovenosus kulit. Hal ini mencetuskan timbulnya
fisura, sehingga kaki rentan terhadap trauma minimal (Kartika,
2017).
21
Akibat hiperglikemia berkepanjangan, akan terjadi angiopati
terutama pada mikrovaskular. Mikroangiopati akan mengganggu
aliran darah pada kaki. Selain itu, terjadi perubahan daya
vasodilatasi-vasokonstriksi vaskular di daerah tungkai bawah.
Hal ini akan mengganggu distribusi oksigen, nutrisi atau obat
antibiotika yang dapat menggagu proses penyembuhan luka
(Santy, 2013). Bila sudah terjadi luka, akan memudahkan bakteri
masuk dan menyebabkan infeksi. Bila infeksi berlanjut dan tidak
ditangani dengan baik, infeksi dapat berkembang menjadi
pembusukan (gangren) bahkan dapat diamputasi. Ulkus diabetik
dapat menjadi gangren diabetik. Penyebab gangren pada
penderita DM adalah bakteri anaerob, yang tersering adalah
Clostridium. Bakteri ini akan menghasilkan gas, yang disebut
gas gangren (Kartika, 2017).
2.1.2.3 Klasifikasi Kaki Diabetik
Berdasarkan IWGDF, kaki diabetik diklasifikasikan menjadi :
1 Uninfected :
Tidak terdapat tanda atau gejala sistemik maupun lokal.
2 Mild Infection :
Terdapat minimal dua dari lima kriteria berikut ini, berupa
pembengkakan atau pengerasan local, eritema > 0,5 cm
disekitar luka, nyeri lokal, kaki hangat, discharge purulen
pada luka. Infeksi hanya melibatkan kulit atau jaringan
subkutan (tanpa keterlibatan jaringan yang lebih dalam), setiap
22
bagian eritema memanjang <2 cm di sekitar luka, dan tidak
ada tanda atau gejala infeksi sistemik.
3 Moderate Infection :
Infeksi melibatkan jaringan yang lebih dalam dari kulit atau
jaringan subkutan (seperti tulang, sendi, otot) atau eritema
memanjang > 2 cm dari batas luka. Tidak ada tanda atau
gejala infeksi sistemik.
4 Severe Infection :
Setiap infeksi kaki dengan Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS), seperti yang dimanifestasikan oleh ≥ 2 dari
kriteria berikut :
• Suhu > 38˚ atau <36˚ Celcius
• Denyut jantung > 90 denyut / menit
• Tingkat pernapasan > 20 napas / menit atau PaCO2 < 4,3
kPa (32 mmHg)
• Jumlah sel darah putih > 12.000 atau < 4.000 / mm3, atau
10% bentuk dewasa (band) (IWGDF, 2015b).
Sementara berdasarkan risiko terjadinya masalah oleh
Fryberg, kaki diabetik digolongkan menjadi :
1. Sensasi normal tanpa deformitas
2. Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar
tinggi
3. Insensitivitas tanpa deformitas
4. Iskemia tanpa deformitas
23
5. Kombinasi/ kombinasi
a. Kombinasi insensivitas dan/atau deformitas
b. Riwayat adanya tukak, deformitas charcot (Setiati,
Alwi, Sudoyo et al, 2014).
2.1.2.4 Pencegahan Kaki Diabetik
Pengelolaan kaki diabetik dibagi menjadi dua yaitu pencegahan
terjadinya kaki diabetik dan ulkus (pencegahan primer sebelum
terjadi perlukaan pada kulit) dan pencegahan agar tidak terjadi
kecacatan atau keparahan lebih berat (pencegahan sekunder).
Berdasarkan Perkeni tahun 2015, pencegahan dan penanganan
kaki diabetik harus dilakukan melalui kegiatan berikut :
a. Pencegahan primer kaki diabetik di FKTP
1. Pemeriksaan kaki secara lengkap dan berkala meliputi:
inspeksi, perabaan pulsasi arteri dorsalis pedis dan
tibialis posterior, dan pemeriksaan neuropati sensorik
minimal satu kali setiap tahun.
2. Deteksi dini kelainan kaki dengan risiko tinggi dilihat
dari:
• Kulit kaku yang kering, bersisik, dan retak-retak.
• Rambut kaki menipis.
• Kelainan warna dan bentuk kuku (kuku yang menebal,
rapuh, in growing nail).
• Kaki baal, kesemutan, atau tidak terasa nyeri.
• Kaki terasa dingin.
24
• Perubahan warna kulit kaki (kemerahan, kebiruan, atau
kehitaman).
• Kalus (mata ikan) terutama di bagian telapak kaki.
• Tulang-tulang kaki yang menonjol dan perubahan
bentuk jari-jari dan telapak kaki.
• Bekas luka atau riwayat amputasi jari-jari (Soelistijo,
Novida, Rudijanto et al 2015).
3. Edukasi
Seluruh pasien dengan diabetes perlu diberikan edukasi
mengenai perawatan kaki secara mandiri. Materi edukasi
pada tingkat awal dilaksanakan di FKTP meliputi:
• Materi tentang perjalanan penyakit DM.
• Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan
DM secara berkelanjutan.
• Penyulit DM dan risikonya.
• Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta
target pengobatan.
• Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan
obat anti hiperglikemia oral atau insulin serta obat-
obatan lain.
• Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil
glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika
pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia).
• Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
25
• Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
Selain latihan jasmani untuk mencegah diabetes,
terdapat pula latihan jasmani untuk mencegah kaki
diabetik, yaitu senam kaki diabet. Berdasarkan
penelitian Priyanto (2012), senam kaki dapat
memperbaiki kadar gula daran dan meningkatkan
sensitifitas kaki. Senam kaki diabet adalah latihan
yang dilakukan oleh pasien DM untuk mencegah
terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran
darah bagian kaki. Senam kaki diabet ini bertujuan
untuk memperbaiki sirkulasi darah sehingga nutrisi ke
jaringan lebih lancar, memperkuat otot-otot kecil, otot
betis, dan otot paha, serta mengatasi keterbatasan gerak
sendi yang sering dialami oleh penderita DM. Senam
kaki sebaiknya diberikan sejak pasien didiagnosa
menderita DM sebagai tindakan pencegahan dini
(Priyanto, 2012).
• Pentingnya perawatan kaki.
• Cara mempergunakan fasilitas perawatan
kesehatan (Soelistijo, Novida, Rudijanto et al
2015).
26
b. Pencegahan sekunder kaki diabetik
1. Kaki diabetik dengan ulkus harus dilakukan tatalaksana
sesegera mungkin. Komponen penting dalam manajemen
kaki diabetik dengan ulkus adalah :
• Kendali metabolik : Pengendalian kadar glukosa darah,
lipid, albumin, hemoglobin dan sebagainya.
• Kendali vaskular : Perbaikan asupan vaskular (dengan
operasi atau angioplasti), biasanya dibutuhkan pada
keadaan ulkus iskemik.
• Kendali infeksi : harus diberikan pengobatan infeksi
secara agresif bila terdapat tanda-tanda klinis infeksi
(adanya kolonisasi pertumbuhan organisme pada hasil
usap namun tidak terdapat tanda klinis, bukan
merupakan infeksi).
• Kendali luka : Pembuangan jaringan terinfeksi dan
nekrosis secara teratur. Perawatan lokal pada luka,
termasuk kontrol infeksi, dengan konsep TIME :
Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan
mati), Inflammation and Infection Control (kontrol
inflamasi dan infeksi), Moisture Balance (menjaga
kelembaban), dan Epithelial edge advancement
(mendekatkan tepi epitel).
• Kendali tekanan : Mengurangi tekanan pada kaki,
karena tekanan yang berulang dapat menyebabkan
27
ulkus, sehingga harus dihindari. Mengurangi tekanan
merupakan hal sangat penting dilakukan pada ulkus
neuropatik. Pembuangan kalus dan memakai sepatu
dengan ukuran yang sesuai diperlukan untuk
mengurangi tekanan (Soelistijo, Novida, Rudijanto et al
2015).
2. Pada fasilitas kesehatan sekunder dan/atau tersier,
diberikan edukasi mengenai :
• Mengenal dan mencegah komplikasi akut DM
• Pengetahuan mengenai komplikasi kronik DM
• Pemeliharaan/perawatan kaki. Berdasarkan PERKENI
poin-poin edukasi pemeliharaan kaki adalah sebagai
berikut:
1. Tidak diperbolehkan berjalan tanpa alas kaki,
termasuk di pasir dan di air.
2. Memeriksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada
dokter apabila kulit terkelupas, kemerahan, atau
luka.
3. Memeriksa alas kaki dari benda asing sebelum
memakainya.
4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak
basah, dan mengoleskan krim pelembab pada
kulit kaki yang kering.
5. Memotong kuku secara teratur.
28
6. Mengeringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara
teratur setelah dari kamar mandi.
7. Menggunakan kaus kaki dari bahan katun yang
tidak menyebabkan lipatan pada ujung-ujung jari
kaki.
8. Jika ditemukan kalus atau mata ikan, tipiskan
secara teratur.
9. Jika terdapat kelainan bentuk kaki, gunakan alas
kaki yang dibuat khusus.
10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar,
dan jangan menggunakan hak tinggi.
11. Menghindari penggunaan bantal atau botol berisi
air panas/batu untuk menghangatkan kaki.
Sementara berdasarkan IWGDF terdapat 5 elemen dalam
pencegahan kaki diabetik :
1. Identifikasi risiko kaki diabetik
Periksa kaki setiap tahun untuk mencari tanda atau
gejala neuropati perifer atau penyakit arteri perifer
(Peripheral Artery Disease (PAD)). Jika seorang
memiliki neuropati perifer, cek riwayat ulserasi kaki,
deformitas kaki, tanda-tanda pra-ulseratif di kaki,
kebersihan kaki, dan alas kaki. Berikut adalah tabel
klasifikasi frekuensi skrinning risiko kaki diabetik.
29
Tabel 1. Klasifikasi frekuensi skrinning risiko kaki diabetik
Kategori Karakteristik Frekuensi
pemeriksaan
0 Tidak ada neuropati perifer Setiap 1 tahun
1 Neuropati perifer Setiap 6 bulan
2 Neuropati perifer dengan
PAD dan/atau deformitas
Setiap 3-6 bulan
3 Neuropati perifer dan
riwayat ulkus atau amputasi
Setiap 1-3 bulan
Sumber : (IWGDF, 2015b).
2. Inspeksi dan pemeriksaan reguler kaki
Dokter harus memeriksa kaki pasien dengan berbaring
dan berdiri. Inspeksi dan pemeriksaan harus minimal
terdiri dari :
A. Riwayat penyakit sebelumnya dan pemeriksaan
kaki:
a. Riwayat :
Ulkus atau amputasi sebelumnya, penyakit ginjal
tahap akhir, pendidikan kaki sebelumnya, isolasi
sosial, akses ke perawatan kesehatan yang buruk,
kebiasaan berjalan tanpa alas kaki.
b. Status vaskular :
Riwayat klaudikasio, nyeri saat istirahat, palpasi
pulsasi arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior.
c. Kulit : Kalus, warna, suhu, edema
30
d. Tulang dan sendi: Kelainan bentuk (seperti claw
toes dan hammer toes) atau tonjolan tulang,
keterbatasan mobilitas sendi.
e. Alas kaki / kaus kaki dipakai saat di rumah dan
ketika berada di luar.
B. Penilaian neuropati, menggunakan teknik berikut:
a. Gejala neuropati, seperti kesemutan atau nyeri di
ekstremitas bawah terutama di malam hari
b. Persepsi tekanan menggunakan monofilament
Semmes-Weinstein tes :
Sumber : (IWGDF, 2015b).
Gambar 1. Lokasi monofilament tes.
Sumber : (IWGDF, 2015b).
Gambar 2. Letak monofilament
31
c. Persepsi getaran: garpu tala 128 Hz
d. Diskriminasi: Tusukan pada dorsum kaki
e. Sensasi taktil: Kapas pada dorsum kaki atau
dengan sedikit menyentuh ujung jari kaki pasien
dengan ujung jari telunjuk pemeriksa selama 1–2
detik.
f. Refleks: Refleks Tendon Achilles
3. Edukasi pasien, keluarga, dan penyedia layanan
kesehatan
Edukasi diberikan dengan cara yang terstruktur,
terorganisir dan berulang. Tujuannya untuk
meningkatkan pengetahuan perawatan kaki,
kesadaran, dan perilaku melindungi diri, serta untuk
meningkatkan motivasi dan keterampilan untuk
meningkatkan kepatuhan terhadap pencegahan kaki
diabetik. Pasien dengan diabetes harus mengetahui
bagaimana mengenali faktor risiko kaki diabetik dan
menyadari langkah-langkah yang perlu dilakukan.
Pemberi edukasi harus menunjukkan cara
melakukannya.
Edukasi diberikan dalam beberapa sesi. Penting untuk
mengevaluasi apakah orang dengan diabetes dan
anggota keluarga atau pengawas telah memahami
32
pesan-pesan tersebut, termotivasi untuk bertindak dan
mematuhi saran, serta memiliki keterampilan
perawatan diri yang memadai (IWGDF, 2015b).
Hal-hal yang harus diedukasi adalah sebagia berikut :
• Menentukan apakah pasien mampu melakukan
pemeriksaan kaki setiap hari. Jika tidak, diskusikan
siapa yang dapat membantu nya.
• Melakukan pemeriksaan kaki setiap hari, termasuk
area di antara jari-jari kaki.
• Memberitahu penyedia layanan kesehatan jika suhu
kaki meningkat, atau jika melepuh, terpotong,
terdapat goresan, atau ulkus pada kaki.
• Menghindari berjalan tanpa alas kaki, atau dengan
kaus kaki tanpa alas kaki, atau dengan sandal bersol
tipis, baik di rumah atau di luar.
• Memberitahu untuk tidak memakai sepatu yang
terlalu ketat dan memiliki pinggiran kasar atau
lapisan yang tidak rata.
• Memeriksa dan rasakan di dalam semua sepatu
sebelum mengenakannya.
• Menggunakan kaus kaki tanpa jahitan (atau dengan
jahitan dalam ke luar), tidak mengenakan kaus kaki
ketat atau setinggi lutut, dan mengganti kaus kaki
setiap hari.
33
• Mencuci kaki setiap hari (dengan suhu air di bawah
37° C) dan mengeringkan dengan hati-hati
• Tidak menggunakan pemanas jenis apa pun atau
botol air panas untuk menghangatkan kaki.
• Tidak menggunakan bahan kimia atau plester untuk
menghilangkan kalus.
• Menggunakan emolien untuk melumasi kulit kering,
tetapi jangan gunakan di antara jari-jari kaki.
• Potong kuku jari kaki lurus ke depan.
Sumber : (IWGDF, 2015b).
Gambar 3. Cara memotong kuku
• Menanyakan apakah kaki pasien diperiksa secara
teratur oleh penyedia layanan kesehatan.
4. Pemakaian rutin alas kaki yang sesuai
Alas kaki yang tidak sesuai dan berjalan tanpa alas
kaki adalah penyebab utama ulserasi kaki. Pasien yang
kehilangan sensasi protektif harus menggunakan alas
kaki yang sesuai setiap saat, baik di dalam maupun di
34
luar ruangan. Semua alas kaki harus disesuaikan
dengan perubahan dan kelainan bentuk yang
mempengaruhi kaki pasien. Sepatu tidak boleh terlalu
ketat atau terlalu longgar. Bagian dalam sepatu harus
1-2 cm lebih panjang dari kaki. Lebar internal harus
sama dengan lebar kaki di sendi phalangeal metatarsal
atau bagian terlebar dari kaki, dan ketinggian harus
memungkinkan untuk semua jari-jari kaki.
Menentukan kecocokan alas kaki dengan posisi berdiri
pasien. Jika tidak cocok karena kelainan bentuk kaki,
atau jika ada tanda-tanda kaki yang abnormal seperti
hiperemia, kalus, ulserasi, pasien dapat dirujuk untuk
membuat alas kaki khusus. Jika memungkinkan,
rekomendasikan adanya pengurangan tekanan plantar
pada alas kaki khusus ini untuk mencegah ulkus kaki
yang berulang (IWGDF, 2015b).
5. Pengobatan tanda-tanda pra-ulseratif
Penatalaksanaan pasien dengan diabetes dengan tanda
pra-ulseratif pada kaki antara lain adalah
menghilangkan kalus, melindungi lepuh, merawat
kuku yang tumbuh ke dalam atau menebal, dan
meresepkan pengobatan antijamur untuk infeksi jamur.
Perawatan ini harus diulang sampai tanda pra-ulseratif
35
hilang dan tidak kambuh dari waktu ke waktu, dan
sebaiknya dilakukan oleh spesialis perawatan kaki
terlatih. Jika memungkinkan, obati cacat kaki tanpa
pembedahan (misalnya, dengan orthosis) (IWGDF,
2015b).
2.1.3 Hambatan dalam Pencegahan Kaki Diabetik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hambatan adalah
halangan atau rintangan. Berdasarkan penelitian Houtum, hambatan
dalam mengimplementasikan perawatan kaki diabetik dibagi menjadi
tiga kategori :
1. Ketersediaan fasilitas kesehatan
Kurangnya klinik pada beberapa wilayah dapat menjadi hambatan
dalam upaya pencegahan kaki diabetik. Bahkan jika fasilitas
perawatan kaki tersedia dan dokter yang menangani telah
mendapatkan informasi tentang perawatan yang ada saat ini, masih
terdapat perbedaan dalam perawatan yang diterapkan. Ketersediaan
alat dan cara masih sangat bervariasi antara fasilitas yang berbeda
(Houtum, 2012).
2. Faktor yang berhubungan dengan pasien
Untuk mendiagnosis dan mengobati pasien, pasien diperlukan untuk
mempresentasikan keadaan mereka kepada petugas kesehatan,
kurang nya pengetahuan mengenai diabetes dan komplikasinya dapat
meningkatkan risiko kaki diabetik lebih dari 90% kasus di mesir.
36
3. Sistem kesehatan
Sistem kesehatan dalam suatu negara mempengaruhi kemungkinan
penggunaan fasilitas kesehatan yang ada. Namun, ketika perawatan
hanya diberikan oleh asuransi swasta atau bahkan dengan
pembayaran sendiri, jenis perawatan tertentu mungkin dibatasi atau
tidak dapat diperoleh oleh sebagian pasien atau sebagian yang
lainnya dapat dengan mudah memperoleh perawatan diatas harga
tanpa memikirkan tentang hal ini dimasa depan (Houtum, 2012).
Berdasarkan penelitian Guell dan Unwin (2015), hambatan yang
ditemukan dalam perawatan kaki diabetik antara lain :
1. Pasien tidak mampu secara fisik atau emosional untuk merawat
kaki mereka, atau kekurangan pengetahuan atau sumber
keuangan untuk perawatan kaki.
2. Tenaga kesehatan tidak memiliki waktu, pendidikan atau sumber
daya yang cukup untuk melakukan pemeriksaan dan perawatan
kaki.
3. Tenaga kesehatan juga menghadapi hambatan dalam sistem
kesehatan yang sering menghambat rujukan, tindak lanjut dan
kompensasi.
Berdasarkan penelitian kualitatif Sayampanathan, Cuttilan, dan
Pearce (2017) yang dilakukan pada petugas kesehatan, beberapa
hambatan yang dirasa oleh pemberi layanan kesehatan dalam upaya
pencegahan kaki diabetik adalah sebagai berikut :
37
1. Hambatan yang berhubungan dengan pasien :
Tingkat pendidikan pasien yang rendah, status sosial dan
ekonomi pasien yang rendah, dukungan sosial yang rendah (baik
oleh anggota keluarga atau wali pengasuh lainnya), tingginya
persepsi yang salah, sikap yang buruk, kepercayaan, agama atau
budaya, perawatan diri yang rendah, hambatan dalam pekerjaan
(seperti komitmen pekerjaan dan persyaratan pekerjaan)
2. Hambatan dari sisi petugas layanan kesehatan :
Tidak adanya alur atau pedoman yang tepat, tingkat ketertarikan
dan keterlibatan pemberi layanan kesehatan yang buruk, tidak
ada atau rendahnya pendekatan multidisiplin mengenai
perawatan diabetes. Tingkat tindak lanjut atau follow up dan
retensi perawatan yang buruk dalam sistem layanan kesehatan,
tingkat ketidaknyamanan administratif yang tinggi.
2.1.4 Sikap
Menurut Charles Osgood, Louis Thurstone, dan Rensis Likert dalam
Azwar, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap
dapat berupa perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun
perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada
suatu objek. Menurut La Pierre dalam Azwar, sikap merupakan suatu
respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan (Azwar, 1995).
Sikap merupakan tanggapan atau reaksi seseorang terhadap suatu objek,
dalam bentuk positif atau negatif yang dapat berupa rasa suka atau tidak
suka, setuju atau tidak setuju.
38
Menurut Zimbardo dan Leippe, sikap merupakan kesiapan untuk
bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu serta respon
evaluatif terhadap pengalaman kognitif, reaksi afektif, kehendak dan
perilaku. Sikap dapat berupa rasa suka tidak suka, mendekati atau
menghindari situasi, orang, benda, suatu kelompok atau aspek
lingkungan yang dapat dikenal lainnya termasuk gagasan abstrak dan
kebijakan sosial. Menurut Notoadmodjo, sikap adalah bagaimana
pendapat atau penilaian seseorang terhadap hal yang terkait dengan
kesehatan, sehat, sakit, dan faktor yang terkait dengan faktor risiko
kesehatan (Notoatmodjo, 2014).
Berdasarkan Theory of Planned Nehavior, sikap terhadap perilaku
ditentukan oleh keyakinan akan konsekuensi dari suatu perilaku, yang
disebut keyakinan perilaku (behavioral beliefs) dengan penilaian
subjektif individu terhadap dunia sekitarnya, dan pemahaman individu
mengenai diri dan lingkungannya. Behavioral belief adalah keyakinan
(belief) seseorang terhadap konsekuensi positif dan atau negatif yang
akan diperoleh seseorang apabila melakukan suatu perilaku dan
evaluasi dari keyakinan tersebut. Keyakinan ini dapat memperkuat
sikap terhadap perilaku itu apabila berdasarkan evaluasi yang dilakukan
individu (Ajzen, 1991).
Sikap adalah pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan mengenai benda, orang atau peristiwa. Sikap tersusun
atas tiga komponen yaitu kognitif (pemikiran), afektif (perasaan) dan
39
perilaku. (Robbins dan Coulter, 2007 dalam tulisan Rejeki, 2012).
Berdasarkan Triadic Model of Attitude, sikap dipengaruhi oleh tiga
aspek, yaitu aspek kognitif, aspek konatif, dan aspek afektif. Aspek
kognisi sikap merupakan keyakinan, pendapat, pengetahuan, atau
informasi yang dimiliki oleh seseorang. Aspek afektif sikap berupa
emosi atau perasaan. Aspek konatif sikap adalah bentuk kemauan untuk
bertindak dengan cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu ((Fiske,
Gilbert, dan Lindzey, 2010).
Berdasarkan intensitasnya, sikap memiliki beberapa tingkatan sebagai
berikut :
1. Menerima
Pada tingkatan sikap yang pertama ini, seseorang menerima
stimulus atau objek yang diberikan atau dihadapi.
2. Menanggapi
Pada tingkatan kedua, seseorang akan menanggapi atau
memberikan jawaban atau tanggapan terhadap obyek yang dihadapi.
3. Menghargai
Artinya seseorang memberikan nilai yang positif terhadap obyek
dan mau membahas dengan orang lain bahkan mempengaruhi orang
lain untuk ikut merespons.
4. Bertanggung jawab
Artinya seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan
keyakinannya dan berani menghadapi resikonya (Azwar S, 1995).
40
2.1.5 Motivasi
Di bidang kesehatan, mencapai tujuan kesehatan dalam suatu populasi
sangat tergantung pada penyediaan layanan yang efektif, efisien, mudah
diakses, layak, dan berkualitas tinggi oleh para profesional kesehatan
yang, secara teknis, didorong oleh motivasi (Aduo-Adjei, Emmanuel,
Mensah et al, 2016).
Menurut Petri (1981) dalam tulisan Gordan (2014), motivasi adalah
usaha dari seorang individu untuk memulai dan mengarahkan suatu
perilaku. Motivasi berasal dari bahasa latin movere, yang berarti
dorongan atau daya penggerak. Motivasi merupakan alasan yang
mendasari suatu perilaku (Guay, Chanal, Ratelle et al, 2010). Motivasi
adalah suatu dorongan dari dalam diri manusia yang akan mengarahkan
tindakannya untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan (Munandar,
2008). Motivasi dapat diartikan sebagai suatu kondisi mental yang
mendorong suatu tindakan dan memberikan kekuatan dalam pencapaian
kebutuhan, memberi kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan
(Faridah, 2009).
Menurut Cascio, motivasi adalah suatu kekuatan yang dihasilkan dari
keinginan seseorang untuk memuaskan kebutuhannya (Syahgani dan
Widiartanto, 2017). Siagian mendefinisikan motivasi sebagai daya
pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi agar mau
dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau
keterampilan tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai
41
kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan
kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran
organisasi yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 2012). Motivasi
menjadi penting karena menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung
perilaku giat dan antusias dalam mencapai suatu hasil yang optimal
(Cahyani, Wahyuni dan Kurniawan, 2016).
Teori Motivasi :
A. Teori Kebutuhan dari Abraham H. Maslow
Dalam teori ini, kebutuhan manusia tersusun menjadi suatu hirarki.
Tingkat kebutuhan yang paling rendah adalah kebutuhan fisiologis
dan yang paling tinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri. Hirarki lima
kebutuhan dasar manusia menurut Maslow yaitu:
1. Kebutuhan fisiologis (Physiologocal needs), meliputi rasa lapar,
haus, berlindung, seksual dan kebutuhan fisik lainnya.
2. Kebutuhan keamanan dan keselamatan kerja (Security or safety
needs), meliputi rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan
emosional.
3. Kebutuhan sosial (Affection), meliputi rasa kasih sayang,
kepemilikan, keterlibatan, penerimaan dan persahabatan.
4. Kebutuhan penghargaan (Esteem needs) meliputi penghargaan
internal seperti hormat diri, otonomi dan pencapaiannya serta
faktor-faktor penghargaan eksternal seperti status pengakuan dan
perhatian.
42
5. Kebutuhan aktualisasi diri (Needs for self actualization), dorongan
untuk menjadi seseorang sesuai kecakapannya melalui
pengembangan diri dan keinginan untuk menjadi lebih baik
(Robbins dan Judge, 2008).
Dalam teori ini diasumsikan bahwa orang berusaha memenuhi
kebutuhan yang lebih pokok (fisiologis) sebelum mengarahkan
perilaku kearah kebutuhan yang paling tinggi (self actualization).
Apabila kebutuhan seseorang sangat kuat, maka semakin kuat pula
motivasi orang tersebut menggunakan perilaku yang mengarah pada
pemuasan kebutuhannya (Robbins dan Judge, 2008).
B. Teori Motivasi Kesehatan dari Frederick Herzberg
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang yaitu
dissatisfiers dan satisfiers atau hygiene dan motivator atau extrinsic
factors dan instrinsic factors pengertian dari masing-masing
kebutuhan adalah sebagai berikut:
1. Satisfiers atau motivators atau instrinsic factors meliputi
kebutuhan psikologis seseorang, yaitu yang berasal dari diri
sendiri. Yang termasuk dalam factor intrinsik antara lain
pencapaian atau prestasi (achievement), pengakuan (Recognition),
pekerjaan (The work), tanggung jawab (Responsibility), dan
pengembangan potensial individu (Advancement). Apabila faktor
kepuasan kerja dicapai dalam pekerjaan, maka akan menggerakkan
43
tingkat motivasi yang kuat bagi seorang dan akhirnya dapat
menghasilkan prestasi yang tinggi.
2. Dissatisfiers atau hygiene atau extrinsic factors meliputi
kebutuhan akan pemeliharaan (maintenance factor). Hilangnya
faktor-faktor ini akan menimbulkan ketidakpuasan bekerja. Faktor
hygiene yang menimbulkan ketidakpuasan kerja, antara lain
peraturan perusahaan, pengawasan, kondisi lingkungan pekerjaan,
gaji, status, kemanan kerja, hubungan interpersonal (Wiyono,
1997 dalam tulisan Faridah, 2009).
C. Teori Harapan dari Victor H.Vroom
Berdasarkan teori harapan yang digagas oleh Victor H. Vroom,
motivasi adalah akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh
seorang yang memperkirakan bahwa tindakannya akan mengarah
kepada hasil yang diinginkan. Apabila seseorang sangat
menginginkan sesuatu, dan tersedia jalan terbuka untuk
memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dalam teori harapan dinyatakan bahwa jika seseorang menginginkan
sesuatu dan harapan untuk memperolehnya itu cukup besar, maka
seseorang tersebut akan sangat terdorong untuk memperoleh hal
yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal
yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan
menjadi rendah.
44
Terdapat 3 faktor penting dalam teori ini yaitu :
1. Nilai, baik nilai positif (favourable) atau negatif (unfavourable)
maupun nilai besar atau kecil nya suatu hal bagi seseorang.
2. Instrumentalitas yaitu hubungan antara pekerjaan yang harus
dilakukan dengan harapan yang dimiliki. Apabila pekerjaan dapat
menjadi alat untuk mendapatkan apa yang diharapkan maka
timbulah motivasi.
3. Ekspektasi yaitu persepsi tentang besarnya kemungkinan
keberhasilan mencapai tujuan atau hasil (Faridah, 2009).
D. Reinforcement Theory oleh B.F. Skinner
Menurut Skinner, dorongan seseorang dalam melakukan perilaku
dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu :
1. Faktor penguat positif (Positive Reinforcement)
Apabila seseorang memiliki respon positif pada suatu perilaku
atau dia bekerja keras dengan baik, maka dia akan mendapatkan
penghargaan (reward) positif. Hal ini dapat meningkatkan
kemungkinan diulangnya perilaku tersebut.
2. Faktor penguat negatif (Negative Reinforcement)
Merupakan penghapusan rangsangan aversive untuk
meningkatkan kemungkinan diulangnya perilaku yang diinginkan.
3. Hukuman (Punishment)
Penerapan rangsangan aversive untuk menurunkan kemungkinan
diulangnya suatu perilaku yang tidak diinginkan.
45
4.Extinction Reinforcement
Menurunkan perilaku yang tidak diinginkan dengan menghapus
reward pada perilaku tersebut (Gordan, 2014).
2.2 Kerangka Teori
Upaya pencegahan (prevensi) merupakan sebuah usaha yang dilakukan dalam
mencegah terjadinya suatu yang tidak diinginkan. Secara etimologi prevensi
berasal dari kata prevanire yang artinya datang sebelum, atau antisipasi atau
mencegah untuk tidak terjadinya sesuatu. Secara umum, upaya pencegahan
adalah upaya yang secara sengaja dilakukan untuk mencegah terjadinya
gangguan, kerusakan, atau kerugian bagi seseorang atau masyarakat
(Nugraheni, Wijayatini, dan Wiradona, 2018). Hal ini menjadikan upaya
pencegahan merupakan suatu perilaku yang terencana.
Dalam teori perilaku terencana atau Theory of Planned Behavior (TPB),
terdapat dua faktor yang mempengaruhi pencapaian perilaku yaitu motivasi
(niat) dan kemampuan (kontrol perilaku). Niat (intention) menjadi faktor
sentral dalam TPB. Niat (intention) dalam teori ini diasumsikan sebagai
kumpulan faktor motivasi yang mempengaruhi perilaku, yang mengacu pada
seberapa besar seseorang mau mencoba dan seberapa banyak upaya yang
mereka rencanakan untuk melakukan perilaku tersebut.
Semakin kuat niat untuk terlibat dalam perilaku, maka semakin besar hasil
kinerja atau performa dari perilaku tersebut. Niat (intention) dipengaruhi
oleh tiga faktor penentu. Penentu yang pertama adalah sikap terhadap
perilaku (attitude towards behavior) yang mengacu pada sejauh mana
46
seseorang memiliki evaluasi atau penilaian yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan dari perilaku. Penentu kedua adalah faktor sosial disebut juga
norma subyektif (subjective norms) yang mengacu pada pengaruh tekanan
sosial yang dirasakan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku.
Penentu ketiga dari niat adalah persepsi pengendalian diri (perceived
behavioral control), yang mengacu pada kemudahan atau kesulitan yang
dirasakan dalam melakukan perilaku dan diasumsikan mencerminkan
pengalaman masa lalu serta halangan dan hambatan yang diantisipasi.
Sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan persepsi pengendalian diri
saling mempengaruhi satu sama lain. Semakin menguntungkan sikap dan
norma subyektif sehubungan dengan perilaku, dan semakin besar persepsi
pengendalian diri, semakin kuat niat individu untuk melakukan perilaku yang
dipertimbangkan (Ajzen, 1991). Sementara berdasarkan Triadic Model of
Attitude, sikap dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu aspek kognitif
(pengetahun), aspek konatif (tindakan), dan aspek afektif (perasaan) (Fiske,
Gilbert, dan Lindzey, 2010).
Berdasarkan TPB, sikap terhadap perilaku ditentukan oleh behavioral belief.
Behavioral belief adalah keyakinan (belief) seseorang terhadap konsekuensi
positif dan atau negatif yang akan diperoleh seseorang apabila melakukan
suatu perilaku dan evaluasi dari keyakinan tersebut. Norma subyektif
(subjective norm) diartikan sebagai persepsi seseorang terhadap tekanan dari
lingkungan sekitar untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku.
Subjective norm ditentukan oleh kombinasi antara belief seseorang tentang
47
setuju dan atau tidak setuju seseorang atau kelompok yang dianggap penting
bagi individu terhadap suatu perilaku (normative beliefs), dan motivasi
individu untuk mematuhi anjuran tersebut (motivation to comply).
Perceived behavioral control (PBC) adalah persepsi seseorang tentang
kemampuannya untuk menampilkan suatu perilaku tertentu dan mengacu
pada persepsi seseorang tentang kemudahan atau kesulitan melakukan
perilaku (Ajzen, 1991). PBC ditentukan oleh control beliefs, yaitu belief
seseorang tentang ada atau tidak adanya faktor pendukung atau penghambat
untuk dapat memunculkan perilaku (Ajzen, 2006). Semakin banyak sumber
daya dan peluang yang dimiliki dan semakin sedikit hambatan yang
diantisipasi, maka semakin besar semakin besar PBC yang dimiliki (Ajzen,
1986).
Dalam TPB, persepsi kontrol perilaku (perceived behavioral control) dapat
mempengaruhi perilaku secara langsung dan secara tidak langsung melalui
niat (Ajzen, 1991). Seseorang yang percaya bahwa mereka tidak memiliki
sumber daya atau peluang untuk melakukan perilaku tertentu tidak mungkin
membentuk niat perilaku yang kuat untuk terlibat di dalamnya bahkan jika
mereka memiliki sikap positif terhadap perilaku tersebut dan percaya bahwa
orang lain yang penting akan menyetujui mereka melakukan perilaku
tersebut. Hal tersebut menggambarkan hubungan antara PBC dan niat (Ajzen,
1986).
48
Perceived behavioral control juga dapat mempengaruhi perilaku secara
langsung karena dapat dianggap sebagai pengganti parsial untuk kontrol
perilaku aktual (actual behavioral control) yaitu faktor pendukung atau
penghambat yang benar ada dan mempengaruhi perilaku. Actual behavioral
control (ABC) sulit untuk diukur karena harus menilai dengan mengobservasi
perilaku bersamaan dengan ABC yang ada. Sementara banyak ABC yang
muncul secara tidak sengaja dan tidak diantisipasi sehingga sulit untuk
menilai secara valid ABC yang mempengaruhi perilaku (Ajzen, 1986).
Menurut TPB, luaran atau kinerja suatu perilaku adalah fungsi bersama dari
niat dan persepsi kontrol perilaku. Untuk prediksi yang akurat, beberapa
syarat harus dipenuhi. Pertama, ukuran niat dan kontrol perilaku yang
dirasakan harus sesuai atau kompatibel dengan perilaku yang diprediksi.
Misalnya, jika perilaku yang akan diprediksi adalah "menyumbangkan uang
kepada palang merah," maka kita harus menilai niat "untuk menyumbangkan
uang kepada palang merah" (bukan niat "untuk menyumbangkan uang" pada
umumnya atau niat "untuk membantu Merah Palang"), serta kontrol yang
dirasakan atas" menyumbangkan uang kepada palang merah." (Ajzen, 1991).
49
Gambar 4. Kerangka Teori
Keterangan : = yang diteliti
Sumber : Theory of Planned Behavior (Ajzen, 2006), Triadic model of attitude (Fiske, Gilbert, dan
Lindzey, 2010)
INTENTION BEHAVIOR
OUTCOME
Attitude
toward
behavior
Behavioral
Beliefs
Perceived
Behavioral
Control
Control
Beliefs
Subjective
Norms Normative
Beliefs
Actual
Behavioral
Control
Aspek Kognitif Aspek Konatif Aspek Afektif
50
2.3 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori diatas, peneliti akan meneliti sikap (atittude)
dokter terhadap pencegahan kaki diabetik, faktor motivasi (yang termasuk
dalam intention) dokter dalam perilaku pencegahan kaki diabetik, serta
hambatan yang dirasa (yang termasuk dalam perceived behavioral control)
dalam melakukan pencegahan kaki diabetik.
Gambar 5. Keranga Konsep
Sikap dokter dalam upaya
pencegahan kaki diabetik
Hambatan yang dirasa dokter dalam
pencegahana kaki diabetik
Faktor Motivasi
pembentuk niat
Perilaku
Pencegahan Kaki
Diabetik oleh
dokter
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan strategi
pendekatan fenomenologi. Strategi penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dan mengeksplorasi pengalaman manusia tentang suatu
fenomena tertentu dan kemudian mengembangkan pola-pola atau relasi-
relasi makna (Creswell, 2016).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di beberapa Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) yang memiliki jumlah pasien diabetes
terbanyak di Bandar Lampung. Pemilihan para calon informan akan
dilakukan dengan menggunakan data di beberapa fasilitas kesehatan
tingkat pertama kota Bandar Lampung. Setelah informan setuju untuk
mengikuti penelitian, selanjutnya informan dan peneliti akan
menentukan tempat untuk melakukan wawancara. Tempat yang
dipilih harus kondusif untuk dilakukannya wawancara secara
mendalam.
52
3.2.2 Waktu Penelitian
Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan di bulan April 2019 hingga
Oktober 2019 yang mencakup tahap persiapan sampai pelaporan.
3.3 Informan
Dalam penelitian kualitatif, sampel disebut dengan istilah informan. Informan
dipilih dengan cara purposive sampling, yaitu memilih informan dengan
sengaja dan penuh perencanaan. Kriteria informan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Informan merupakan dokter fungsional yang bekerja di fasilitas kesehatan
tingkat pertama Kota Bandar Lampung
2. Informan sudah berpraktek minimal lima tahun
3. Informan pernah menatalaksana pasien diabetes
4. Bersedia menjadi informan
Proses pemilihan informan diawali dengan membuat surat izin penelitian dan
ethical clearance kemudian membawa surat-surat tersebut untuk meminta
referensi dari fasilitas kesehatan tingkat pertama terkait. Setelah calon
informan didapatkan, peneliti akan memperkenalkan diri dan membina
hubungan saling percaya dengan calon informan. Selanjutnya peneliti
menyampaikan maksud, tujuan, dan prosedur terkait penelitian dan
menanyakan kesediaan informan untuk mengikuti penelitian. Apabila calon
informan setuju, maka peneliti akan meminta untuk menandatangani dan
mengisi lembar persetujuan sebagai informan penelitian (informed consent).
Setelah itu, peneliti dan informan akan menjadwalkan waktu untuk
53
melakukan wawancara. Tempat dan waktu wawancara akan ditentukan sesuai
kesepakatan yang dibuat oleh peneliti dan informan.
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen dan alat utama dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri.
Peneliti memiliki peran untuk menggali informasi dengan jelas dan dalam
dari informan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan dari penelitian ini.
Peneliti akan menggunakan panduan wawancara yang didesain oleh peneliti
sendiri. Peneliti akan membuat catatan lapangan (field notes) mengenai proses
wawancara dan hal-hal yang perlu dicatat selama proses wawancara. Peneliti
juga akan menyiapkan alat perekam untuk merekam proses wawancara.
3.5 Pengumpulan Data
Setelah informan setuju untuk mengikuti penelitian ini, peneliti dan informan
akan menentukan waktu dan tempat untuk melakukan proses wawancara
dengan teknik wawancara mendalam (in depth interview). Wawancara
mendalam adalah suatu teknik wawancara tatap muka dengan menggunakan
pertanyaan terbuka. Pertanyaan terbuka yang dibuat digunakan untuk
memunculkan pandangan dan opini dari informan. Proses wawancara yang
akan dilakukan bersifat alamiah, mengalir, dan kontekstual, dengan panduan
wawancara. Proses wawancara sepenuhnya didasari pada perkembangan
pertanyaan secara alami dan spontan.
54
3.6 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian merupakan upaya memahami, menjelaskan,
menafsirkan, dan mencari hubungan daripada data-data yang diperoleh
(Ibrahim, 2015). Analisis data pada penelitian kualitatif dilakukan sejak awal
penelitian (on going). Peneliti harus membaca dan menganalisis data yang
terkumpul sejak awal penelitian baik berupa catatan lapangan, transkrip,
dokumen, atau material lainnya secara kritis analitis sembari melakukan uji
kredibilitas maupun pemeriksaan keabsahan data secara berkelanjutan.
Tahapan analisis data yang akan dilakukan pada penelitian ini terdiri dari
enam langkah. Pertama adalah proses mengolah dan mempersiapkan data
untuk dianalisis. Pada langkah ini melibatkan proses transcribing wawancara
dan mengetik data lapangan. Yang kedua yaitu membaca keseluruhan data.
Ketiga, memulai coding semua data. Tahap ini melibatkan proses penulisan
kategori untuk mengorganisasikan data, selanjutnya memberi label pada
kategori tersebut dengan istilah khusus. Keempat, menerapkan proses coding
untuk mendeskripsikan setting (ranah), orang (partisipan), kategori, dan tema
yang akan dianalisis. Penerapan proses coding dilakukan untuk membuat
sejumlah tema atau kategori. Kelima, menunjukkan bagaimana deskripsi dan
tema-tema tersebut akan disajikan kembali dalam narasi/laporan kualitatif.
Langkah keenam yaitu pembuatan interpretasi dalam penelitian kualitatif atau
memaknai data (Creswell, 2016). Terdapat empat kriteria keabsahan data
kualitatif, yaitu derajat keterpercayaan (kredibilitas), keteralihan
(transferabilitas), kebergantungan (dependibilitas), dan kepastian
55
(konfirmabilitas). Peneliti akan melakukan beberapa uji data untuk
membuktikan bahwa data yang didapatkan dapat dipercaya (Ibrahim, 2015).
1. Peneliti akan melakukan uji kredibilitas untuk memeriksa akurasi hasil
penelitian data dengan cara :
a. Member checking
Member checking dilakukan dengan memberikan hasil laporan akhir
kepada informan untuk mengecek kesesuaian dengan persepsi mereka
dengan hasil laporang yang dibuat.
b. Triangulasi
Peneliti juga akan melakukan triangulasi sumber, yaitu sebuah proses
membandingkan data dari narasumber yang berbeda. Sumber
triangulasi dalam penelitian ini adalah pasien sebagai sumber yang
relevan dengan informan. Selain itu peneliti akan melakukan triangulasi
teori, yaitu membandingkan dengan teori yang ada..
2. Uji transferabilitas, untuk menentukan apakah hasil penelitian dapat
ditransfer ke wilayah lain. Uji ini dilakukan dengan menguraikan laporan
penelitian dengan rinci, teliti, cermat , dan sistematis. Uraian rinci (thick
description) ini dibuat agar pembaca akan menjadi jelas dengan hasil
penelitian ini dan dapat memutuskan apakah penelitian ini dapat
diaplikasikan pada tempat lain atau tidak.
3. Uji dependibilitas yang dilakukan dengan audit terhadap keseluruhan
proses penelitian. Dalam mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam
melakukan penelitian, audit dilakukan oleh dosen pembimbing sebagai
auditor yang independen dalam melakukan penelitian. Audit dilakukan
56
dengan cara menunjukkan bukti kerja yang dilakukan sejak menentukan
masalah dan fokus penelitian, memasuki lapangan, menentukan
informasi/sumber data penelitian, melakukan analisis data, menguji
keabsahan data, dan membuat kesimpulan.
4. Uji konfirmabilitas untuk menentukan obyektivitas penelitian. Sebuah
penelitian kualitatif dikatakan obyektif apabila hasil penelitian disepakati
banyak orang. Uji konfirmabilitas berarti menguji hasil penelitian
dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan
fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut
telah memenuhi standar confirmability. Dalam hal ini, peneliti akan
melibatkan peran dosen pembimbing untuk menguji konfirmabilitas hasil
penelitian.
3.7 Etika Penelitian
Peneliti telah mendapatkan surat persetujuan etik dengan nomor surat No.
660/UN.26.18/pp05/02/00/2019.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pada penelitian ini didapatkan dokter memiliki sikap yang positif terhadap
perilaku pencegahan kaki diabetik. Hal ini sejalan dengan aspek afektif yang
dimiliki dokter yang baik. Namun, aspek kognitif dan konatif yang dimiliki
dokter belum adekuat mengenai pencegahan kaki diabetik di FKTP.
Motivasi dokter dalam melakukan pencegahan kaki diabetik yang didapatkan
dari penelitian ini adalah motivasi interinsik berupa rasa tanggung jawab
(resposibilities), pencapaian (achievement), pengembangan potensial
(advancement), pekerjaan (the work), keluarga, dan rasa empati, serta
motivasi eksterinsik berupa Prolanis.
Didapatkan beragam hambatan dokter dalam melakukan pencegahan kaki
diabetik yang dikategorikan menjadi hambatan yang berasal dari pasien,
hambatan yang berasal dari fasilitas kesehatan, dan hambatan yang berasal
dari petugas kesehatan.
110
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Instansi Kesehatan
Instansi kesehatan diharapkan dapat memiliki guideline atau panduan
dan indikator yang lebih spesifik dalam upaya pencegahan kaki diabetik
di FKTP. Instansi kesehatan juga diharapkan dapat menambahkan poin
mengenai pencegahan kaki diabetik dalam SOP Konsultasi, Infomasi,
dan Edukasi (KIE).
5.2.2 Bagi Dokter
Dokter diharapkan dapat mengevaluasi komunikasi dokter-pasien
terutama mengenai edukasi kaki diabetik di FKTP sehingga diharapkan
edukasi dapat tersampaikan kepada pasien sesuai dengan tujuan
pengobatan.
5.2.2 Bagi peneliti lain
Peneliti lain diharapkan dapat meneliti lebih dalam mengenai hubungan
antara sikap, motivasi, dan hambatan dalam pencegahan kaki diabetik di
FKTP terhadap perilaku pencegahan kaki diabetik.
111
5.3 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan berupa :
1. Keterbatasan penelitian ini adalah sumber triangulasi yang tidak
didampingi keluarga atau wali sehingga informasi mengenai edukasi
kurang dapat digali lebih dalam.
2. Peneliti kurang menggali lebih dalam mengenai hubungan jumlah pasien
dan waktu pengobatan dokter di FKTP, sehingga penelitian ini tidak
memiliki informasi yang adekuat mengenai hambatan dokter berupa
keterbatasan waktu dan tenaga dalam melakukan pencegahan kaki
diabetik.
3. Peneliti tidak menganalisis aspek afektif sikap melalui ekspresi wajah,
intonasi, volume, dan nada bicara informan.
DAFTAR PUSTAKA
Aduo-Adjei K, Emmanuel O, Mensah F, Opoku. 2016. The impact of motivation
on the work performance of health workers (korle bu teaching hospital):
evidence from ghana. Hospital Practices and Research. 1(2): 47-52.
Aftria MP. 2014. Honey as a topical treatment for diabetic foot ulcers. J Majority.
3(7): 81–7.
Ajzen I. 1986. Prediction of goal-directed behavior : attitudes, intentions, and
perceived behavioral control. Journal of Experimental Social Psychoogy.
22:453–74.
Ajzen I. 1991. The theory of planned behavior. Organizational Behavior and
Human Decision Process. 50:179–21.
Ajzen I. 2006. Constructing a TPB questionnaire: conceptual and methodological
considerations. [Diunduh 28 Februari 2019]. Tersedia dari:
https://www.researchgate.net/publication/235913732_Constructing_a_Theor
y_of_Planned_Behavior_Questionnaire.
Allen ML, Van der AMB, Does, Gunst C. 2016. Improving diabetic foot
screening at a primary care clinic : A quality improvement project. African
Journal of Primary Health Care & Family Medicine. 8(1):1–9.
Apriliyani S. 2018. Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap dengan perilaku
pencegahan terjadinya luka kaki diabetik pada pasien penderita DM tipe 2
[Skripsi]. Surakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah.
Azwar S. 1995. Sikap manusia teori dan aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Bakker K, Apelqvist J, Lipsky BA, Van Netten JJ, Schaper NC. 2016. The 2015
IWGDF guidance documents on prevention and management of foot
problems in diabetes: development of an evidence‐based global consensus.
Diabetes Metab Res Rev. 32(Suppl 1): S2–6.
Bambang TAAP, Yati NP, Muhammad F, Marzuki ANS, Moelyo AG, Soesanti F.
2015. Konsesus nasional pengelolaan diabetes melitus tipe 1. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Berardis G, Pellegrini F, Franciosi M, Belfiglio M, Di Nardo B, Greenfield S, et
al. 2005. Are type 2 diabetic patients offered adequate foot care? The role of
physician and patient characteristics. Journal of Diabetes and its
Complications. 19(6):319-27.
Bobircē F, Mihalache O, Georgescu D, Patrascu T. 2016. The new prognostic
therapeutic index for diabetic foot surgery extended analysis. Chirurgia.
111(2):151–5.
BPJS Kesehatan. 2014. Penguatan faskes primer sebagai ujung tombakpelayanan
ksehatan peserta BPJS kesehatan [Diunduh 2 Februari 2019]. Tersedia dari:
(http://bpjskesehatan.go.id/bpjs/index.php/post/r ead/2014/278/Penguatan-
FaskesPrimer-Sebagai-Ujung-Tombakpelayanan-Kesehatan-Peserta-
BPJSkesehatan).
Cahyani ID, Wahyuni I, Kurniawan B. 2016. Faktor-faktor yang berhubungan
dengan motivasi kerja pada perawat rumah sakit jiwa. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-journal). 4(2):76-85.
Cavanagh P, Attinger C, Abbas Z, Bal A, Rojas N, Xu ZR. 2012.Cost of treating
diabetic foot ulcers in five different countries. Diabetes Metab Res Rev.
28(Suppl 1):107-11.
Clarke P, Gray A, Holman R. 2002. Estimating utility values for health states of
type 2 diabetic patients using the EQ-5D (UKPDS 62). Med Decis Making.
22(4):340–9.
Cousart TH, Handley M. 2016. Implementing diabetic foot care in the primary
care setting. The Journal for Nurse Practitioners. 13(3):129–32.
Creswell JW. 2016. Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faridah. 2009. Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap motivasi kerja
petugas pelaksana manajemen terpadu balita sakit (MTBS) di puskesmas kota
surabaya [Tesis]. Semarang : Universitas Diponegoro.
Fiske ST, Gilbert DT, Lindzey G, dan Jongsma AE. 2010. The Hand Book of
Psychology. Newyourk, Hoboken N.J.
Guay F, Chanal J, Ratelle CF , Marsh HW , Larose S, Boivi M. 2010. Intrinsic,
identified, and controlled types of motivation for school subjects in young
elementary school children. British Journal of Educational Psychology.
80(4):711–35.
Gordan M. 2014. A review of B. F. Skinner’s reinforcement theory of motivation.
International Journl of Research in Education Methodology. 6(3):680–8.
Guell C, Unwin N. 2015. Barriers to diabetic foot care in a developing country
with a high incidence of diabetes related amputations : an exploratory
qualitative interview study. BMC Health Services Research, 15(377):1–7.
Houtum WHV. 2012. Barriers to implementing foot care. Diabetes Metab Res
Rev. 28(Suppl 1): S112–115.
Ibrahim. 2015. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Alfabeta.
IDF. 2017a. IDF clinical practice recommendations on the diabetic foot – 2017 a
guide for healthcare professionals. Brussels: International Diabetes
Federation.
IDF. 2017b. International Diabetes Federation ATLAS Eight edition 2017.
Islam FM, Chakrabarti R, Dirani M, et al. 2014. Knowledge, attitudes and practice
of diabetes in rural Bangladesh: the Bangladesh Population based Diabetes
and Eye Study (BPDES). PLoS One. 9(10.
IWGDF. 2015a. Definitions and criteria diabetic foot [online article] [diunduh 25
November 2018]. Tersedia dari : http://iwgdf.org/guidelines/definitions-
criteria-2015/.
IWGDF. 2015b. IWGDF guidance on the diagnosis and management tof foot
infections in persons with diabetes [online article] [diunduh 25 November
2018]. Tersedia dari : http://www.iwgdf.org/files/2015/website_infection.pdf.
Kartika RW. 2017. Pengelolaan gangren kaki diabetik. Continuing Medical
Education. 44(1):18–22.
KBBI. 2019. Kamus Besar Bahasa Indonesia [online]. Tersedia dari :
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hambatan.
Kemenkes RI. 2013. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. 2014. Situasi dan analisis diabetes. Jakarta Selatan : Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI. 2018. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Laiteerapong N, Karter AJ, Liu JY, Moffet HH, Sudore R, Schillinger D, et al.
2011. Correlates of quality of life in older adults with diabetes: the diabetes
& aging study. Diabetes Care. 34(8):1749–53.
Legowo G. 2015. Hipertensi sebagai faktor risiko penurunan fungsi kognitif pada
lansia di Posyandu Lansia Rajabasa Bandar Lampung [Skripsi]. Tersedia
dari: http://digilib.unila.ac.id/17184/118/BAB%20II.pdf.
Mulya AP, Betty. 2014. Hubungan pengetahuan dan motivasi penderita diabetes
mellitus dengan upaya pencegahan ulkus diabetik di poli penyakitt dalam RS
Achmad Mochtar Bukit Tinggi. Jurnal Kes-STIKES Prima Nusantara Bukit
Tinggi. 5(1):92-103.
Munandar AS. 2008. Psikologi industri dan organisasi. Jakarta: UI Press.
Nather A, Cao S, Chen JLW, dan Low AY. 2018. Prevention of Diabetic Foot
Complication. Singapore Med J. 59(6):291-294.
Notoatmodjo S. 2007. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta.
Notoatmodjo S. 2014. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nugraheni H, Wijayatini T, Wiradona I. 2018. Kesehatan masyarakat dalam
determinan sosial budaya. Yogyakarta: Deepublish.
Priyanto S. 2012. Pengaruh senam kaki terhadap sensitivitas kaki dan kadar gula
darah pada agregat lansia diabetes melitus di magelang [Tesis]. Depok:
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Rahaman KS, Majdzadeh R, Holakouie NK, dan Raza O. 2017. Knowledge,
Attitude and Practices (KAP) Regarding Chronic Complications of Diabetes
among Patients with Type 2 Diabetes in Dhaka. Int J Endocrinol Metab.
30;15(3).
Rejeki S. 2012. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dokter di poliklinik
rawat jalan rumah sakit angkatan laut Dr. Mintohardjo jakarta tahun 2012
[Tesis]. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Ren M, Yang C, Lin DZ, et al. 2014. Effect of intensive nursing education on the
prevention of diabetic foot ulceration among patients with high-risk diabetic
foot: a follow-up analysis. Diabetes Technol Ther. 16(9):576–581
Rice JB, Desai U, Cummings AK, Bimbaung HG, Skomicki M, Parsons NB.
2014.Burden of DFUs for medicare and private insurers. Diabetes Care.
37(9): 651–658.
Riyanto B. 2007. Infeksi pada kaki diabetik. Dalam : Darmono et al, penyunting.
Naskah lengkap diabetes melitus ditinjau dari berbagai aspek penyakit dalam
dalam rangka purna tugas Prof Dr.dr.RJ Djokomoeljanto. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro Semarang.hlm.15-30.
Robbins SP, Judge TA. 2008. Perilaku oganisasi. Jakarta: Salemba Empat.
Saad NES, Marei SA, Mohamed DA, Khafaji GM, Soliman SSA. 2014. The
effectiveness of foot care education on patients with type 2 diabetes at family
medicine outpatient clinics. The Egyptian Journal of Family Medicine,
32(2):73–84.
Santy WH. 2013. Negative pressure wound therapy (NPWT) for the management
of diabetic foot wound. Journal Health of Science, 6(2):1-10.
Sayampanathan AA, Cuttilan AN, Pearce CJ. 2017. Barriers and enablers to
proper diabetic foot care amongst community dwellers in an Asian
population: a qualitative study. Annals of Translational Medicine. 5(12):254-
62.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata KM, Setiyohadi B, Syam AF,
penyunting. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta Pusat: Interna
Publishing.
Sherwood L. 2015. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta: EGC.
Siagian P. 2012. Teori pengembangan organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Singh N, Armstrong DG, Lipsky BA. 2005. Preventing foot ulcers in patients with
diabetes. J Am Med Assoc. 293(2):217–28.
Soelistijo S, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika, Manaf A, et al. 2015.
Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia
2015. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Stella O. 2008. Motivation and work performance : complexities in achieving
good performance outcomes a study focusing on motivation measures and
improving workers performance in kitgum district [Tesis]. Uganda : Institute
of Social Studies.
Syahgani R, Widiartanto. 2017. Turnover intention karyawan melalui kepuasan
kerja sebagai variabel ntervening (Studi kasus pada karyawan PT. Intinusa
Salareksa, Tbk). Jurnal Ilmu Administrasi Bisnis. 6(2):1–9.
WHO. 2006. Improving health worker performance : in search of promising
practices. Geneva : Evidence and Information for Policy, Department of
Human Resources for Health.
Yusuf S, Okuwa M, Irwan M, Rassa S, Laitung B, Thalib A, Kasim S, et al.
2016. Prevalence and risk factor of dabetic foot ulcers in a regional
hospital,eastern indonesia. Open Joulnal of Nursing. 6:1–10.