sinopsis novel
TRANSCRIPT
Novel Balai Pustaka Angkatan 20 - an
Sinopsis Novel "Sitti Nurbaya"
Karya Marah Rusli
Ibunya meninggal saat Sitti Nurbaya masih kanak-kanak, maka
boleh dikatakan itulah titik awal penderitaan hidupnya. Sejak saat itu
hingga dewasa dan mengerti cinta, dia hanya hidup bersama seorang
saudagar kaya di Padang bernama Baginda Sulaiman. Bersebelahan
dengan rumah Baginda Sulaiman, tinggal pula seorang penghulu yang
sangat disegani dan dihormati penduduk di sekitarnya itu, yang bernama
Sutan Mahmud Syah. Ia mempunyai putra bernama Samsulbahri, anak
tunggal yang berbudi dan berprilaku baik.
Sebagaimana umumnya kehidupan bertetangga, hubungan antara
keluarga Sutan Mahmud Syah dan keluarga Baginda Sulaiman, berjalan
dengan baik. Begitu pula hubungan Samsulbahri dan Sitti Nurbaya. Sejak anak-anak sampai usia mereka menginjak
remaja, persahabatan mereka makin erat. Apalagi, keduanya belajar di sekolah yang sama. Hubungan kedua
remaja itu berkembang menjadi hubungan cinta. Perasaan tersebut baru mereka sadari ketika Samsulbahri akan
berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya.
Sementara itu, Datuk Meringgih, salah seorang saudagar kaya di Padang, berusaha untuk menjatuhkan kedudukan
Baginda Sulaiman. Ia menganggap Baginda Sulaiman sebagai saingannya yang harus disingkirkan, di samping rasa
iri hatinya melihat harta kekayaan ayah Sitti Nurbaya itu. Ia kemudian menyuruh anak buahnya untuk membakar
dan menghancurkan bangunan, toko-toko, kebun, dan semua harta kekayaan Baginda Sulaiman.
Akal busuk Datuk Meringgih berhasil. Baginda Sulaiman pun jatuh miskin. Namun, sejauh itu, ia belum menyadari
bahwa sesungguhnya, kejatuhannya akibat perbuatan licik Datuk Meringgih. Oleh karena itu, tanpa prasangka apa-
apa, ia meminjam uang kepada orang yang sebenarnya akan mencelakakan Baginda Sulaiman.
Bagi Datuk Meringgih kedatangan Baginda Sulaiman itu ibarat “Pucuk dicinta ulam tiba”, karena memang hal itulah
yang diharapkannya. Rentenir kikir yang tamak dan licik itu, kemudian meminjamkan uang kepada Baginda
Sulaiman dengan syarat harus dapat dilunasi dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang telah ditetapkan, Datuk
Meringgih pun datang menagih janji.
Malang bagi Baginda Sulaiman. Ia tak dapat melunasi utangnya. Tentu saja Datuk Meringgih tidak mau rugi. Tanpa
belas kasihan, ia mengancam akan memenjarakan Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali
apabila Sitti Nurbaya diserahkan untuk dijadikan istri mudanya.
Baginda Sulaiman tentu saja tidak mau putri tunggalnya menjadi korban lelaki hidung belang itu walaupun
sebenarnya ia tak dapat berbuat apa-apa. Maka, ketika ia sadar bahwa dirinya tak sanggup untuk membayar
utangnya, ia pasrah saja digiring polisi dan siap menjalani hukuman. Pada saat itulah, Sitti Nurbaya keluar dari
kamarnya dan menyatakan bersedia menjadi istri Datuk Meringgih asalkan ayahnya tidak dipenjarakan. Suatu
putusan yang kelak akan menceburkan Sitti Nurbaya pada penderitaan yang berkepanjangan.
Samsulbahri, mendengar peristiwa yang menimpa diri kekasihnya itu lewat surat Sitti Nurbaya, juga ikut prihatin.
Cintanya kepada Sitti Nurbaya tidak mudah begitu saja ia lupakan. Oleh karena itu, pada suatu kesempatan
liburan, ia pulang ke Padang. Ketika itu ayah Sitti Nurbaya sedang sakit keras. Syamsulbahri menyempatkan diri
menengok Baginda Sulaiman. Kebetulan pula, Sitti Nurbaya pada saat yang sama sedang menjenguk ayahnya.
Tanpa sengaja, keduanya pun bertemu lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing.
Ketika mereka sedang asyik mengobrol, datanglah Datuk Meringgih. Sifat Datuk Meringgih yang culas dan selalu
berprasangka itu, tentu saja menyangka kedua orang itu telah melakukan perbuatan yang tidak pantas.
Samsulbahri yang merasa tidak melakukan hal yang tidak patut, berusaha membela diri dari tuduhan keji itu.
Namun Datuk meringgih malah melontarkan kata-kata kotor yg sangat menyinggung perasaan. Aamarah
Saymsulbahri tak tertahankan lagi. Pertengkaran pun tak dapat dihindarkan. Sitti Nurbaya berteriak-teriak agar
mereka menghentikan perkelahian. Teriakan Sitti Nurbaya terdengar oleh Baginda Sulaiman yg sedang berbaring di
tempat tidur dan berusaha datang ke tempat kejadian. Namun, karena kondisinya yang kurang sehat, ia jatuh
tersungkur dari tangga dan menghembuskan nafasnya yg penghabisan.
Ternyata ekor perkelahian itu tak hanya sampai di situ. Ayah Samsulbahri yang merasa malu atas tuduhan yang
ditimpakan kepada anaknya, kemudian mengusir Samsulbahri. Pemuda itu terpaksa kembali ke Jakarta. Sementara
Sitti Nurbaya, sejak ayahnya meninggal merasa dirinya telah bebas dan tidak perlu lagi tunduk dan patuh kepada
Datuk Meringgih. Sejak saat itu ia tinggal menumpang bersama salah seorang familinya yang bernama Aminah.
Sekali waktu, Sitti Nurbaya bermaksud menyusul kekasihnya ke Jakarta. Namun, akibat tipu muslihat dan akal licik
Datuk Meringgih yang menuduhnya telah mencuri harta perhiasan bekas suaminya itu, Sitti Nurbaya terpaksa
kembali ke Padang. Oleh karena Sitti Nurbaya tidak bersalah, akhirnya ia bebas dari tuduhan. Namun, Datuk
Meringgih masih juga belum puas. Ia kemudian menyuruh anak buahnya untuk meracun Sitti Nurbaya. Kali ini,
perbuatannya berhasil. Sitti Nurbaya meninggal karena keracunan.
Rupanya, berita kematian Sitti Nurbaya membuat sedih ibu Samsulbahri. Ia kemudian jatuh sakit, dan tidak berapa
lama kemudian meninggal dunia.
Berita kematian Sitti Nurbaya dan ibu Samsulbahri, sampai juga ke Jakarta. Samsulbahri yang merasa amat
berduka, dan mencoba bunuh diri. Tetapi berkali-kali gagal. Ketika gantung diri di palang kayu di rumahnya,
ternyata patah. Mencebur di sungai, eh ternyata sungainya dangkal. Di samping itu, lain lagi berita yang sampai ke
Padang. Di kota ini, Samsulbahri malah dikabarkan telah meninggal dunia.
Karena niatnya untuk bunuh diri selalu gagal, ia pun mendaftar menjadi serdadu kompeni, dengan niat supaya mati
di medan perang dan didorong oleh rasa frustasinya mendengar orang-orang yang dicintainya telah meninggal.
Sepuluh tahun berlalu, ia sudah menyandang pangkat letnan yang lebih dikenal dengan nama Letnan Mas. Suatu
hari, ia mendapat tugas harus memimpin pasukannya memadamkan pemberontakan yang terjadi di Padang. Ia pun
bimbang. Bagaimanapun, ia tak dapat begitu saja melupakan tanah leluhurnya itu. Ternyata pemberontakan yang
terjadi di Padang itu didalangi oleh Datuk Meringgih.
Dalam pertempuran melawan pemberontak itu, Letnan Mas mendapat perlawanan cukup sengit. Namun, akhirnya
ia berhasil menumpasnya, termasuk juga menembak Datuk Meringgih, hingga dalang pemberontak itu tewas.
Namun, Letnan Mas luka parah terkena sabetan pedang Datuk Meringgih.
Rupanya, kepala Letnan Mas yang terluka itu, cukup parah. Ia terpaksa dirawat di rumah sakit. Pada saat itulah
timbul keinginan Letnan Mas untuk berjumpa dengan ayahnya. Ternyata, pertemuan yang mengharukan antara “Si
anak yang hilang” dan ayahnya itu merupakan pertemuan terakhir sekaligus akhir hayat kedua orang itu. Oleh
karena setelah Letnan Mas menyatakan bahwa ia adalah Samsulbahri, ia menghembuskan napas di depan ayahnya
sendiri. Adapun Sutan Mahmud Syah, begitu tahu bahwa Samsulbahri yang dikiranya telah meninggal beberapa
tahun lamanya tiba-tiba kini tergolek kaku menjadi mayat akhirnya pun meninggal dunia pada keesokan harinya.
Novel Angkatan Pujangga Baru Angkatan 30-an
Sinopsis Novel “DIAN YANG TAK KUNJUNG PADAM”
Karya ST. Alisjahbana
Suatu hari Yasin, seorang pemuda udik, miskin, serta yatim
secara kebetulan bertemu pandang dengan seseorang pemudi cantik,
anak bangsawan Palembang ketika gadis itu sedang santai-santai
diserambi rumah yang mewah dekat sungai itu. Si cantik yang ternyata
bernama Molek itu, rupsanya sama-sama jatuh cinta akibat pandangan
pertama itu. Namun saying cinta kasih mereka, sulit untuk sampai
kepelaminan, sebab antara keduanya sangat jauh perpedaan derajatnya.
Yasin adalah seorang pemuda Udik yang yatim dan miskin, sedang si
Molek adalah anak seorang yang kaya raya, dan bangsawan terhormat.
Keduanya sama-sama menyadari akan kenyataan perpedaan
itu, namun cinta kasih mereka yang selalu bnergolak itu ttak peduli
dengan semua itu. Cinta mereka dilangsungkan lewat kirim-kirim surat. Segala rindu mereka tumbuh dalam kertas
cinta.
Tapi walaupun begitu, Yasin, rupanya tak tahan juga, dia hendak melamar Molek secara jantan. Niatnya
itu dia beritahu itu dan seluruh sanak famili dekatnya. Keluarga Yasin kemudian berembuk untuk melaksanakan
Yasin itu. Lalu dengan segala keberanian dan kesederhanaan mereka, keluarga Yasin dating juga memalar Molek.
Karena mereka dari Udik dan miskin, walaupun keadaan pakaian mereka sudah bagus-baguskan dan bawaan
lamaran mereka juga sudah diada-adai dengan sekuat tenaga, lamaran mereka ditolak mentah-mentah kedua
orangtua si Molek. Malah oleh kedua orang tua Molek, keluarga Yasin cukup mendapat sindiran hinaan. Maka
pulanglah rombongan udik ini ke kampungnya dengan membawa segudang rasa malu dan kesal.
Tak lama kemudian, Molek dilamar oleh Sayid Mustafa, seorang keturunan Arab yang terkenal di
Palembang sebagai seorang pedagang yang sukses. Walaupun Sayid ini sudah agak berumur, namun karena
termasuk orang kaya, kedua orang tua si Molek sndiri, tentu saja kenyataan itu sangat menghancurkan hahtinya.
Dia sedikitpun tidak mencintainya telah tertanam dalam lubuk hati si Yasin.
Perkawinan itu tidak membawa kebahagiaan badi si Molek, sebab disamping di tidak mencintai Sayid
Mustafa itu, Sayid sendiri sebenarnya menikahi si Molek hanya karena kekayaan ayahnya saja. Perlakuan Sayid
terhadapnya juga kurang baik. Segala macam kegalauan hati si Molek, mulai dari kesedihan, kerinduannya
terhadap Yasin serta kesepiannya dia itu selalu dilaporkan kepada Yasin lewat surat. Karena Yasin tidak tega
melihat dan mendengar kekasih hatinya yang tidak bahagia itu dan sekaligus rasa rindu yang bergejolak hendak
bertemu dengan si Molek. Yasin mencoba menemui Molek di Palembang dengan menyamar sebagai seorang
pedagang nanas. Usahanya itu berhasil. Dia berhasil bertemu dengan si Molek. Dan itulah rupanya pertemuan
terakhir mereka, sebab rupanya si Molek yang tidak mampu menahan rasa sakit hati dan kesepian serta gejolak
rindunya sama Yasin itu kemudian meninggal dunia.
Yasin sendiri setelah kekasihnya meninggal itu, kemabali ke desanya, dan sedtelah ibunya meninggal,
Yasin memilih hidup menyepi di lereng gunung Semenung. Dia meninggal di sana.
Angkatan Balai Pustaka (Angkatan 20-an)
Ciri-cirinya :a. Pleonasme (menggunakan kata-kata yang berlebihan)b. Bahasa terkesan kaku dan statisc. Bahasanya sangat santun
Angkatan Pujangga Baru (Angkatan 30-an)
Cirinya – cirinya :
1) Bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia modern,
2) Temanya tidak hanya tentang adat atau kawin paksa, tetapi mencakup masalah
yang kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum intelek, dan sebagainya,
3) Bentuk puisinya adalah puisi bebas, mementingkan keindahan bahasa, dan mulai
digemari bentuk baru yang disebut soneta, yaitu puisi dari Italia yang terdiri dari 14
baris,
4) Pengaruh barat terasa sekali, terutama dari Angkatan ’80 Belanda,
5) Aliran yang dianut adalah romantik idealisme, dan
6) Setting yang menonjol adalah masyarakat penjajahan.
Keterangan :
Warna Kuning : Adat Kebiasaan Warna Merah Muda : Etika