sistem hukum adat di wilayah pesisir
TRANSCRIPT
SISTEM HUKUM ADAT DI WILAYAH PESISIR
1. Pendahuluan
Pesisir merupakan wilayah peralihan dan interaksi antara
ekosistem darat dan laut. Wilayah ini sangat kaya akan
sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang disebut
sumberdaya pesisir. Sumberdaya pesisir terdiri dari
sumberdaya hayati dan non-hayati, dimana sumber daya
hayati terdiri dari ikan, magrove, terumbu karang, padang
lamun dan biota laut lain. Sedangkan unsur non-hayati terdiri
dari sumberdaya mineral dan abiotik lain di lahan pesisir,
permukaan air, di kolom air , dan di dasar air.
Potensi sumberdaya pesisir sangat besar dan penting bagi
kehidupan manusia, dimana sebagian besar masyarakat kita
menggantungkan kehidupannya pada sektor ini. Sebagai
suatu ekosistem yang memiliki fungsi ekonomi penting bagi
kehidupan manusia, maka perlu dikelola dengan baik agar
terlindungi dari segala aktivitas yang dapat mengancam
kelestariannya .
Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung
pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk
meningkatkan penerimaan devisa, lapangan pekerjaan, dan
pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut
mempunyai keunggulan karena tersedia dalam jumlah besar
dan beraneka ragam serta dapat dimanfaatkan dengan biaya
relatif murah. Di sisi lain, kebutuhan pasar masih terbuka
sangat lebar karena kecenderungan permintaan pasar yang
terus meningkat.
1
Dengan masuknya ekonomi pasar ke daerah pedesaan
khususnya pesisir banyak menimbulkan masalah. Hal ini
berlangsung dengan dukungan berbagai peraturan yang
dikeluarkan oleh negara . Pemerintah sebagai alat negara
yang mengatur interaksi tingkah laku antar negara melalui
seperangkat lembaga negara dan lembaga komunitas politik
dengan masyarakat pemilik modal dalam upaya untuk
memenuhi kebutuhan pasar.
Sistem yang dibentuk , ditetapkan dan dijalankan oleh
pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam secara
teknologi dengan memberi keuntungan sebanyak-banyaknya
pada negara. Hal ini mendorong negara untuk
mengedepankan model-model pengelolaan negara secara
homogen.
Pengelolaan secara homogen serta mengkonsentrasikan
keputusan di tangan pemerintah pusat, mengakibatkan
kehidupan masyarakat pesisir semakin marjinal dan ancaman
lingkungan berupa degradasi sumberdaya alam. Tekanan
terhadap sumberdaya pesisir sering diperberat oleh tingginya
angka kemiskinan . Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran
dimana penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya
lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula yang akan
menanggung dampak dari kerusakan lingkungan.
Masyarakat pesisir pada umumnya bekerja sebagai nelayan
yang memakai peralatan tradisional sehingga hasil tangkapan
juga sedikit. Dengan kondisi pendapatan penduduk pesisir
yang masih dibawah garis kemiskinan tersebut, tidaklah
mengherankan jika praktek perikanan yang merusak masih
sering terjadi diwilayah pesisir. Pendapatan mereka dari
2
kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan
cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka
sebagai nelayan.
Hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem antara
lain :
- over eksploitasi;
- penangkapan tidak ramah lingkungan;
- degradasi fisik habitat;
- pencemaran;
- perubahan iklim global dan bencana alam.
Beberapa negara lain posisi negara yang mengakomodasikan
peran masyarakat mendorong munculnya tuntutan otonomi
pemerintahan yaitu otonomi dalam pengelolaan sumberdaya
alam wilayah dan hukum adat masyarakat setempat untuk
meningkatkan kepentingan mereka dalam pencapaian
tingkat kesejahteraan yang signifikan.
Hukum adat masyarakat setempat turut diberlakukan dengan
bijak oleh pemerintah untuk menghindari konflik-konflik
antara hukum negara dan hukum adat dalam mencapai
kepentingan negara dan masyarakat adat.
Pemerintah Indonesia juga memberlakukan hal demikian di
beberapa propinsi. Propinsi dapat mengedepankan model-
model pengelolaan sumberdaya alam yang homogen yang
berlaku di wilayah propinsi .Jika hal ini diberlakukan di tingkat
kabupaten/kota akan melakukannya sampai tingkat desa.
Persoalan akan timbul di tingkat desa atau kecamatan dalam
lingkungan heterogen.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah
dalam pengelolaan sumberdaya alam akan memberi
3
konsekuensi keberlanjutan terhadap keamanan sosial,
pengurangan kemiskinan, isu-isu gender dan keberlanjutan
pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat di tingkat desa
atau satu kecamatan .
Setiap daerah mempunyai kewenangan mengelola dan
mengembangkan kegiatan didaerahnya sesuai kemampuan
prakarsa masing-masing daerah berdasarkan potensi yang
ada. Dalam pelaksanaannya akan muncul berbagai konflik
yang pada akhirnya merugikan sumberdaya laut dan
perikanan, sehingga perlu penyadaran kepada segenap
pelaku.
Dengan adanya otonomi daerah memberikan substansi
desentralisasi yaitu : sebuah proses sistematis yang memberi
pesan kepada masyarakat sebagai pelaku penting untuk
berpartisipasi dalam menerima manfaat pembangunan.
Untuk melindungi sumberdaya alam dan meningkatkan taraf
hidup masyarakat pesisir adalah dengan melibatkan
masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alam . Dasar
pengelolaan sumberdaya alam khususnya sektor perikanan
dengan meningkatkan kemampuan dalam melakukan
ekonomi pasar dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal.
Penanaman kesadaran masyarakat dapat dilakukan dengan
meningkatkan pendidikan, pelatihan, dinamika kelompok,
spanduk,poster dan pemutaran film.
Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan daerah
pesisir akan meningkatkan pengawasan dan pemanfaatan
sumber daya alam dari tindakan eksploitasi daerah pesisir.
4
Beberapa propinsi masih memberlakukan aturan –aturan adat
atau kebiasaan yang berlangsung secara turun-temurun .
Hukum adat dan kebiasaan telah menjadi akar budaya yang
kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya. Hukum
adat masih berlaku dalam batas-batas tertentu sampai saat
ini. Selain masyarakat adat, dijumpai juga kelompok-kelompok
masyarakat yang berasal dari bagian lain wilayah Indonesia.
Mereka hidup disekitar masyarakat dan hukum adat setempat
disamping adanya hukum-hukum kebiasaan yang berlaku di
kalangan mereka sendiri.
Daerah perkotaan memiliki sifat heterogen. Hukum yang
berlaku di lingkungan komunitas terbatas cenderung
memperlihatkan keberlakuan hukum negara. Sedangkan
komunitas lainnya masih memberlakukan hukum adat
bersama-sama hukum negara. Dengan demikian masyarakat
masih mematuhi hukum adat, hukum negara dan hukum
Internasional yang mengatur laut yang berada di sisi-sisi luar
pulau-pulau kecil yang berbatasan dengan negara lain.
Keikutsertaan masyarakat berarti memberikan peranan
kepada masyarakat dalam mengelola laut. Peranan ini adalah
aturan-aturan yang dipatuhi oleh masyarakat itu sendiri.
Sehingga kadangkala hukum-hukum formal perikanan yang
dikeluarkan oleh pemerintah tidak sesuai dengan pikiran
masyarakat sehingga tidak dipahami. Akibatnya terjadi
kesalahpahaman dimana hukum adat dan hukum positif
berlaku bersama-sama, jarang diatur dan jarang saling
disesuaikan , hampir terus-menerus dalam keadaan tidak
laras, kadang-kadang dalam keadaan saling bertentangan
sehingga hukum-hukum itu tidak bisa dijalankan dengan baik.
5
Perbedaan ini dapat diatasi dengan menyelaraskan hukum-
hukum non formal yang sudah ada dalam masyarakat pesisir.
Dalam kondisi ini maka kita harus mencoba identifikasi dan
inventarisasi tradisi lokal dan hukum adat yang sudah
diberlakukan secara turun-temurun sampai saat ini. Bila
memungkinkan tradisi lokal dan hukum adat tersebut
diserasikan dengan hukum positif, atau hukum positif
diserasikan dengan hukum lokal atau adat. Apakah masih
layak dan cukup efektif sebagai alat pengendali dalam
pengelolan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Dalam situasi ini kita berharap dengan disosialisasikannya
tradisi lokal dan hukum adat tersebut kepada stakeholder
bidang kelautan dan perikanan manfaat penyelenggaraan
program kelautan dan perikanan akan semakin dirasakan oleh
berbagai pihak. Sebagai contoh kita lihat dengan dibuatnya
awig-awig oleh masyarakat di Nusa Tenggara Barat ternyata
mampu mengantisipasi kerusakan lingkungan, yakni dengan
memberlakukan pengamanan wilayah pesisir secara tegas
dan adil tanpa terkecuali bagi nelayan perusak lingkungan
maupun oleh oknum yang mendukung kegiatan pengrusakan
ini .
Beberapa daerah pesisir , hukum adat dan hak-haknya pada
tahap tertentu masih diakui secara umum dalam perangkat
kebijakan nasional. Kegiatan ini bertujuan untuk
memberdayakan masyarakat adat untuk merancang
program-program serta menyumbang pada penawaran
kebijakan-kebijakan negara melalui revitalisasi hukum
adat/tradisi lokal yang akhirnya akan mempengaruhi
pendekatan terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan dalam memahami peran institusi adat serta
6
memperkuatnya, sebagai contoh : Propinsi Sulawesi Selatan(
Ponggawa Sawi), Propinsi Maluku( Tradisi Sasi), Propinsi Sumatera Selatan
(Lebak Lebung), Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Panglima Laot),
Propinsi Nusa Tenggara Barat ( Awig-Awig) dan Propinsi Papua
(Ondoafi).
Kebijakan-kebijakan tersebut menekankan keseragaman
institusi diseluruh daerah yang diterapkan dalam beberapa
dasawarsa terakhir ini ternyata berdampak tradisi lokal,
masyarakat adat serta praktek-praktek pengelolaan
sumberdaya alam.
Desentralisasi dengan jelas menyuarakan kesempatan besar
pada masyarakat dan lembaga adat sehingga diharapkan
persatuan nasional dapat diperkuat dengan meningkatkan
kapasitas berbagai komponen masyarakat adat dalam
mengelola ekonomi masyarakat.
Dalam hal ini masih diperlukan langkah-langkah untuk
merumuskan suatu kebijakan nasional dan menciptakan
beberapa cara bagi koordinasi pemerintah dalam berbagai
tingkat.
Dengan mempermuda kembali anasir-anasir yang kuat dari
kebudayaan Indonesia, maka Indonesia akan mampu
memperkokoh kedudukannya ke dalam, dan akan mampu
memberikan sumbangan yang positif kepada perdamaian
dunia,keadilan sosial dan kemerdekaan dalam dunia
internasional.
Bila di negara-negara lain dicapai kesepakatan antara
masyarakat adat untuk memberlakukan proses pencapaian
kepentingan bersama yang menggunakan hukum negara ,
dan pada saat yang bersamaan menggunakan hukum adat
7
masyarakat setempat, yang hasilnya menghilangkan konflik
kepentingan diantara para pihak. Apakah hal ini dapat kita
terapkan di Indonesia ?
BAB II
METODE PENELITIAN
Pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
di daerah sangat ditentukan oleh karakteristik sosial, ekonomi
dan budaya setempat, sehingga model yang harus diterapkan
untuk masing-masing daerah memiliki spesifikasi tertentu.
Begitupun dengan kegiatan penyerasian Hukum Adat/Tradisi
Lokal melalui Sinergi dengan Hukum Formal dalam
pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (SDKP) ini,
sangat memperhatikan aspek-aspek diatas.
2.1 Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat analitis ,
yaitu penelitian yang menggambarkan dan menguraikan
keadaan ataupun fakta yang ada tentang pengelolaan
sumberdaya pesisir. Kemudian gambaran umum tersebut
dianalisis dengan bertitik tolak dari perundang-undangan ,
8
teori-teori yang ada dan pendapat para ahli yang bertujuan
untuk mencari dan mendapatkan jawaban dari pokok
masalah.
2.2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipergunakan adalah :
a. metode yuridis normatif,
metode yuridis normatif yaitu penelitian yang
menekankan pada data sekunder yakni dengan
mempelajari dan mengkaji asas-asas hukum dan kaidah-
kaidah hukum positif yang berasal dari bahan-bahan
kepustakaan yang ada dalam peraturan perundang-
undangan serta ketentuan-ketentuan terutama yang
berkaitan dengan perkembangan kegiatan pengelolaan
sumberdaya pesisir.
b. metode studi kasus
pendekatan studi kasus adalah: pendekatan untuk
mempelajari, menerangkan atau menginterprestasi
suatu kasus dalam konteks secara natural tanpa adanya
intervensi dari pihak luar (Salim,2000). Kecenderungan
utama diantara semua ragam studi kasus adalah bahwa
studi ini menyoroti suatu keputusan atau seperangkat
keputusan : mengapa keputusan ini diambil, bagaimana
diterapkan dan apakah hasilnya (Yin diacu dalam
Salim,2000). Oleh karena itu, dalam studi ini, selain
mengiventarisasi jenis/bentuk hukum adat dan tradisi
lokal yang ada, juga dilakukan studi identifikasi mengenai
akar budaya, setting sosial yang ada, serta kecemburuan
9
perkembangan pola pikir masyarakat dan penerapan
hukum adat/tradisi lokal dan implikasinya terhadap
sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Berlakunya sesuatu peraturan hukum adat adalah tampak
dalam putusan(penetapan) petugas hukum,misalnya putusan
kepala desa, putusan kepala adat, putusan hakim perdamaian
desa, putusan pegawai agama, dan sebagainya masing-
masing dalam lapangan kompetensinya sendiri-sendiri. Yang
dimaksud dengan putusan dan penetapan itu, adalah :
perbuatan atau penolakan perbuatan(non-action) dari petugas
hukum dengan tujuan untuk memelihara atau menegakkan
hukum. Berhubung dengan itu penyelidikan setempat(field
research) hukum adat harus terutama ditujukan kepada
research tentang putusan-putusan petugas hukum .
Disamping itu perlu juga ditinjau sikap penduduk dalam
hidupnya sehari-hari terhadap hal-hal yang kita ingin untuk
mendapatkan keterangan dengan peyelidikan setempat.
Dengan kata lain, kita juga harus menyelidiki kenyataan
sosial (social reality).
Cara (metode) penyelidikan setempat, ialah mendekati para
pejabat desa, orang-orang tua, para cerdik pandai, orang-
orang terkemuka di daerah yang bersangkutan, dan
sebagainya. Yang perlu ditanyakan kepada mereka adalah
fakta-fakta atau kejadian-kejadian yang telah dialami atau
diketahui sendiri oleh mereka.
Dengan memakai metode ini dicapailah keterangan tentang
peraturan-peraturan yang benar-benar berlaku di dalam hidup
bersama di daerah yang diselidiki dan berdasarkan
10
keterangan-keterangan seperti itu dapat dilukiskan hukum
adat yang hidup di daerah itu. Dalam penyelidikan hukum
adat yang menentukan bukan banyaknya jumlah perbuatan
yang terjadi tetapi seberapa banyak peraturan yang benar-
benar dirasakan oleh masyarakat sebagai hal yang memang
sudah seharusnya, maka dari fakta ini sudah dapat ditarik
kesimpulan adanya suatu norma hukum. Tempat sesuatu
norma hukum adat dapat dikatakan berlaku, maka sesuatu
norma hukum adat adalah berlaku di dalam daerah hukum
yang merupakan kesatuan sossiologis. Dari studi kasus ini,
diharapkan dapat diperoleh suatu model revitalisasi hukum
adat/tradisi okal dalam pengelolaaan sumberdaya kelautan
dan perikanan, yang dapat sebagai acuan/masukan bagi
penyususnan peraturan perimbangan formal yang dapat
diberlakukan secara lokal/regional (dalam bentuk Perda).
Selanjutnya model revitalisasi tersebut dapat direplikasi di
daerah lain, melalui penyesuaian/penyerasian dengan
budaya/tradisi lokal setempat.
2.3 Tahap Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
2.3.1Penelitian Kepustakaan
Pengumpulan data dalam penelitian ini melaui penelusuran
peraturan perundang-undangan yang berkaitan, dokumen-
dokumen maupun literatur ilmiah dan penelitian pakar yang
berkaitan dengan objek permasalahan, bahan-bahan hukum
adat (yang tersirat).
2.3.2Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dilakukan guna mendapatkan data primer
sebagai pendukung data sekunder bagi analisis hasil
11
penelitian. Penelitian lapangan ini diperlukan untuk
mendapatkan data tentang pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir.
BAB III
HUKUM ADAT TRADISIONAL SEBAGAI PRANATA PENGELOLAAN SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR
Untuk melibatkan langsung sistem tradisional dalam
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan diwilayah pesisir merupakan suatu bentuk
pelibatan dan pengalokasian kewenangan dan tanggung
jawab masyarakat pesisir. Keterlibatan masyarakat pesisir
dalam wewenang dan tanggung jawab ini bukan tanpa alasan,
hal ini berdasarkan tingginya biaya operasional dan
manajemen jika terus berada dibawah pemerintahan pusat.
Pemerintah menyadari keterbatasan ini sehingga efektifitas
pengelolaan berada ditangan penggunanya sendiri, dalam hal
ini masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir juga bukan mampu
12
secara totalitas mengelolanya tanpa bantuan dari pemerintah
atau instansi terkait lainnya.
Melibatkan masyarakat sekitar sebagai subyek dalam
mengelola, memberdayakan dan menjaga kelestarian
sumberdaya kelautan dan perikanan dimasa sekaranag dan
yang akan datang. Sehingga diharapkan mampu
memanfaatkan dan mengelola sumberdaya kelautan dan
perikanan tersebut untuk menunjang pembangunan ekonomi
secara berkelanjutan dan mampu bersaing ditingkat
internasional.
Masyarakat pedesaan umumnya masih memberlakukan
hukum adat ataupun hukum kebiasaan mereka sebagai suatu
peraturan yang mengatur perilaku dalam hubungan dengan
orang lain, baik terhadap pribadi, keluarga, kelompok,
lingkungan alam dan dunia luar lingkungan mereka sendiri .
Hukum adat adalah hukum non-statutair yang sebagian besar
adalah hukum kebiasaan dan sebagaian kecil hukum Islam.
Hukum adat itupun mencakup hukum yang berdasarkan
keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum
dalam lingkungan ,dimana ia memutuskan perkara. Hukum
adat berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat
adalah suatu hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan
fitrahnya sendiri, hukum adat terus-menerus dalam keadaan
tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.
Adat atau kebiasaan ini merupakan lembaga tradisional .
Lembaga tradisional adalah lembaga yang sudah lama berdiri
dan terbukti teruji dengan keberadaan masyarakat
pendukungnya sejak zaman dahulu kala hingga kini. Karena
13
lembaga tradisional selalu berkaitan dengan nilai-nilai adat
yang dianut suatu masyarakat maka disebut sebagai lembaga
adat. Seringkali lembaga tradisional ini dipandang sebagai
lembaga informal, karena tidak ada prasyarat formal baik
berupa organisasi maupun organisasi pendukungnya.
Sesungguhnya, nasionalisme yang sehat dan bersifat
membangun harus bergandengan tangan dengan
internasionalisme yang sehat pula; ini berarti bahwa tata
tertib sosial baru dibentuk dengan mencantumkan dengan
tepat warisan kebudayaan pada proses modernisasi.
Contoh dua lembaga tradisional seperti panglima laot di
Nangroe Aceh Darusallam(NAD) dan lembaga sasi di
kepulauan Kei Maluku Tenggara. Keduanya merupakan
lembaga tradisional yang telah terbentuk sejak ratusan tahun
yang lampau. Namun dengan dikeluarkannya Qanun (Perda)
Nomor 3 Tahun 2004 oleh Gubernur NAD, maka setidaknya
pada tingkat propinsi lembaga tradisional panglima laot yang
sesuai dengan adat istiadat Aceh dapat pula digolongkan
sebagai lembaga tradisional yang formal.
Dua propinsi yang memiliki tradisi kebaharian yang cukup
kental adalah propinsi NAD dan Riau. Secara historis dari dua
wilayah propinsi ini lahir kerajaan-kerajaan Islam maritim
yang berbeda dengan kerajaan Islam agraris yang tumbuh di
Pulau Jawa. Kerajaan Samudra Passai di Aceh yang telah
melahirkan perjuangan heroik laksamana Malahayati dalam
melawan penjajahan. Pada masa Sultan Iskandar Muda mulai
diperkenalkan pengelolaan hukum laut yang hingga kini masih
dijalankan dan dipatuhi masyarakat. K
Kehidupan mereka bersama dengan hukum adat ataupun
hukum kebiasaan berlangsung tanpa campur tangan dari
14
lembaga negara. Hukum adat tidak saja merupakan realita
sosial tetapi juga memiliki ketertiban , kerangka maupun
nilai-nilai dasar sendiri.
Di dalam hukum adat terdapat keragaman pengetahuan,
tradisi dan nilai- nilai masyarakat asli. Kehadiran hukum adat
dan hukum kebiasaan di tengah-tengah hukum negara, jika
dilihat dari kompleksitas hukum, baik dari hukum negara
maupun bukan hukum negara.
Pembahasan hukum adat di dalam sistem hukum nasional
ditujukan untuk menciptakan pemahaman dan pengertian
yang lebih besar terhadap keragaman yang berasal dari
hukum negara dan bukan hukum negara seperti hukum adat
maupun hukum kebiasaan, yang mengatur tertib hukum di
dalam masyarakat. Di Nangroe Aceh Darusalam, hukum
agama menjadi dasar utama bagi hukum adat, bahkan
terhadap hukum negara.
Mempelajari hukum adat atau kebiasaan tidak hanya
mempelajari ketentuan normatifnya tetapi juga mempelajari
perilaku masyarakat maupun kondisi yang mendorong
terjadinya hukum adat atau hukum kebiasaan tertentu.
Perubahan kondisi akan mempengaruhi perilaku masyarakat,
baik secara individual maupun secara kelompok. Hukum
dikalangan mereka juga dapat berubah.
Hukum adat merupakan suatu sistem pengendali sosial yang
muncul dalam kehidupan masyarakat pada suatu negara yang
tidak diatur secara politis. Ketertiban sosial dalam
masyarakat tersebut diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang
ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis-spontan.
15
Hukum ditaati bukan karena adanya tradisi ketaatan yang
bersifat otomatis-spontan, tetapi karena sistem timbal-balik
dan prinsip publisitas.
Sistem pertukaran sosial yang berkembang dalam masyarakat
menjadi pengikat sosial dan daya dinamis yang
menggerakkan :
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat melalui prinsip
timbal-balik dalam bentuk pertukaran benda dan tenaga;
hubungan-hubungan ekonomi, pertukaran jasa antar kerabat;
sistem pertukaran mas kawin; dan hubungan antar kelompok
dalam bentuk upacara-upacara yang berlangsung dalam
kehidupan bersama.
Apabila hukum diberi pengertian sempit, hanya sebagai
sistem pengendali sosial yang diciptakan oleh lembaga
legislatif dan diterapkan oleh aparat penegak hukum seperti
polisi, pengadilan atau jaksa maka hukum pada masyarakat
sederhana yang tidak terorganisasi sebagai tidak memiliki
hukum. Tetapi, kalau hukum diberi pengertian yang luas
sebagai proses pengendali sosial yang secara empiris
berlangsung dalam masyarakat, maka semua bentuk yang
sangat sederhana memiliki hukum dalam bentuk mekanisme
yang diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial sebagai
sarana pengendali sosial.
Pengertian hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition)
atau kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum
mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan.
Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan
tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam hubungan
antar individu. Sedangkan kebiasaan merupakan
16
seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan
berlangsung dalam kurun waktu yang lama.
Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan
peraturan hukum tetapi bisa juga berbeda. Ini berarti,
peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang
sama-sama terwujud dalam bentuk norma-norma yang
mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan individu, dan
juga sama-sama sebagai sarana pengendali sosial dalam
kehidupan masyarakat.
Masyarakat pesisir sendiri, sistem tradisional sudah lama
dikenali dan digunakan sebagai alat pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan daratan walaupun
sifatnya lokalitas semata jika tolak ukurnya adalah
pemanfaatan dan pengelolaannya.
Sistem tradisional yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan dasar (sandang dan pangan) kebanyakan lahir dari
persepakatan aturan norma hubungan sosial dan ekonomi
yang statusnya belum banyak terlegitimasi akibat minimnya
analisis keefektifan sistem tradisional itu sendiri.
Beberapa sistem tradisional masih banyak yang bertahan dan
dipraktekkan oleh sekelompok masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan, tetapi ada juga yang
sudah hilang akibat lemahnya kedudukan mereka. Kegagalan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan yang berpusat
pada pemerintah terutama negara berkembang menjadi
suatu pelajaran yang berharga untuk mengaktifkan sistem
tradisional.
17
Penguatan sistem tradisional akan mempercepat tercapainya
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir karena
banyak dibentuk dan dijalankan oleh masyarakat pesisir, dan
yang terpenting proses pemberdayaan tangggung jawab
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya sehingga akan
terbentuk suatu tanggung jawab bersama.
Keperluan untuk membina tata negara Indonesia berdasarkan
kebangsaaan, kemanusiaan atau internasionalisme,
demokrasi dan keadilan sosial memberi tugas kepada para
pemimpin nasional Indonesia untuk menemukan kembali
tradisi kebudayaan dan pula nilai-nilai yang berlaku pada
organisasi masyarakat di lapangan rakyat jelata.
Persekutuan-persekutuan adat harus menjaga pemeliharaan
kesejahteraan umum, sebagaimana yang telah ditentukan
oleh Undang-Undang Dasar. Modernisasi persekutuan-
persekutuan ini tidak bisa dielakkan, akan tetapi modernisasi
ini harus selaras dengan institut-institiut rakyat Indonesia.
Sistem tradisional sebagai pranata sosial ekonomi menjadi
fokus pada penulisan ini adalah : Propinsi Nusa Tenggara
Barat (Awig-Awig), Propinsi Sulawesi Selatan (Ponggawa-Sawi)
dan Propinsi Maluku (Tradisi Sasi).
Hambatan untuk membahas sistem tradisional adalah tidak
mudahnya ditemukan bahan yang telah terdokumentasi dan
kebanyakan hanya berdasarkan pada analisis perilaku sistem
sosial ekonomi masyarakat, namun diyakini dalam
masyarakat tersebut. Sistem ini sendiri sudah menjadi norma
hubungan sosial dan ekonomi mereka sendiri-sendiri.
18
Untuk mengetahui keterlibatan langsung sistem tradisional
dalam rangka kebijakan pembangunan sumberdaya kelautan
dan perikanan harus dimulai dengan menganalisa dinamika
sistem tradisional itu sendiri, efektifitas, termasuk muatan
norma hubungan sosial yang memungkinkan untuk
menjadikan unsur penyelarasan di dalam Undang-Undang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Otonomi Daerah Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir.
3.1 SISTEM TRADISIONAL PONGGAWA-SAWI (PROPINSI
SULAWESI SELATAN)
3.1.1 Sejarah Terbentuknya Ponggawa- Sawi
Kedudukan seseorang didalam masyarakat adat biasanya
tergantung dari tingkat derajat etnis, hal seperti ini juga
19
berlaku di wilayah pesisir Sulawesi Selatan. Tingkatan ini
berlaku juga dalam penguasaan sumberdaya alam di
wilayahnya. Kelompok minoritas umumnya mengusahakan
sumberdaya yang belum atau menjadi perhatian etnis
dominan.
Di Sulawesi Selatan, ada tiga kelompok etnis dominan yaitu :
Bugis, Makasar dan Mandar, sedangkan etnis minoritas
seperti Tana Toraja hanya mengusahakan pemanfaatan
wilayah daratan atau pegunungan akibat kondisi geografisnya
yang tidak mempunyai laut. Walau demikian tidak semua
etnis Bugis mempunyai wilayah laut, seperti Sidenreng
Rappang dan Soppeng. Mereka memperoleh kebutuhan hidup
sama seperti etnis Tana Toraja.
Ikatan kekerabatan antar anggota masyarakat pesisir tidak
terlepas dari sejarah revolusi fisik masa lalu dimana
pengelompokan orang berdasarkan asal etnis dilakukan untuk
mempertahankan wilayahnya yang kemudian merambah
kepada hal pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam kondisi
demikian terjadi selektivitas orang yang dapat memimpin
kelompoknya, termasuk akses perolehan sumberdaya alam di
sekitarnya. Pada awalnya yang menjadi pusat perhatian
adalah wilayah laut karena mereka beranggapan bahwa laut
adalah kehidupan mereka yang tidak dapat dipisahkan.
Anggapan ini akhirnya menimbulkan sejarah bahwa
masyarakat pesisir Sulawesi Selatan adalah masyarakat
bahari.(Mattulada, 1995).
Dalam sejarah, Ponggawa atau punggawa dapat diartikan
sebagai pemimpin bagi suatu etnis tertentu. Kewenangan dari
Ponggawa ini bersifat lokal, sehingga para pengikutnya(Sawi)
sangat menggantungkan harapannya kepada Ponggawanya.
20
Hubungan ini timbul sedikit banyak tergantung dari perang
fisik masa lalu, saat itu kelompok etnis tertentu mencari
seseorang yang dapat menjadi pemimpin perlindungan
mereka. Perlindungan terus berlanjut dari perlindungan fisik
sampai perlindungan sumberdaya sekitarnya sebagai sumber
hidup. Akibatnya timbul suatu kepatuhan norma dan
hubungan yang mengikat secara sosial demi kelangsungan
hidup mereka. Pengikut( dalam bahasa Makassar disebut
sebagai minawang, atau dalam bahasa Bugis disebut sebagai
ata) dinormakan sebagai kepatuhan untuk memenuhi
petunjuk atau perintah yang diberikan oleh Ponggawa.
Norma hubungan ini tidak hanya berlaku untuk sawi sendiri
dalam bentuk kepatuhan dan loyalitas, tapi bagi
ponggawanya sendiri ada ikatan moral bagaimana cara
mensejahterakan sawinya. Tingkat kesejahteran ini justru
menjadi tolak ukur efektifitas hubungan norma sosial dan
seberapa jauh suatu etnis dapat menjamin sumber hidup
anggotanya dibandingkan etnis lainnya.
3.2 SISTEM TRADISIONAL AWIG-AWIG (NUSA TENGGARA BARAT)
Pengelolaan yang dikembangkan pada sektor kelautan dan
perikanan di Indonesia saat ini berdasarkan pengelolaan
partisipatif. Pengelolaan sumberdaya perikanan secara
21
partisipatif ini telah dicoba di Nusa Tenggara Barat khususnya
di Pulau Lombok dengan menggunakan awig-awig. Terlepas
dari kontroversi tentang kurangnya efektifitas pengelolaan
partisipatif dengan awig-awig, pengembangan awig-awig
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan potensi
yang perlu dikembangkan. Tetapi dalam pelaksanaanya, kita
perlu melihat dukungan sosial budaya yang ada di kawasan
pengelolaan.
Awig-awig merupakan budaya yang diperkenalkan oleh
masyarakat Bali ke Lombok. Dalam kehidupan berbanjar,
masyarakat Bali mempunyai keterikatan dalam berperilaku
yang dirumuskan sebagai awig-awig, yaitu hukum adat yang
biasanya (awalnya) tidak tertulis, yang harus dipatuhi oleh
seluruh anggota banjar.
Pelanggaran terhadap aturan banjar tersebut akan menerima
sanksi dari banjar yang biasanya berupa sanksi sosial.
Kehidupan berbanjar juga dikenal dalam masyarakat Sasak
(Lombok), termasuk didalamnya awig-awig yang mengatur
perilaku para anggota banjar. Awig-awig tradisional tersebut
juga ada dijumpai di kawasan pesisir yang banyak dihuni oleh
kaum pendatang(Bugis).
Awig-awig tradisional dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan merupakan sesuatu yang relatif baru, sekitar
dekade 80-an. Walaupun ada awig-awig yang lebih tua dan
bermanfaat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan,
biasanya hal itu terjadi secara tidak langsung, atau bahkan
tidak sengaja. Ada waktu tertentu orang sekitar laut dilarang
melaut, ini berlaku bagi awig-awig di Tanjung Luar. Hal ini
sangat bermanfaat untuk sedikit mengurangi tekanan
eksploitasi terhadap sumberdaya perikanan pantai. Tetapi hal
22
ini diragukan, apakah memang awig-awig dimaksudkan untuk
tujuan demikian.
Penggunaan awig-awig yang ditujukan untuk pengelolaan
sumberdaya perikanan dapat dijumpai di Kecamatan Tanjung,
Lombok Barat, dan Kecamatan Keruak, Lombok Timur. Di
kedua lokasi tersebut, awig-awig yang dibuat tidak bisa lagi
dikatakan tradisional. Bahkan sebagian merupakan awig-
awig” pesanan “ proyek pemerintah.
3.3 SISTEM TRADISIONAL SASI ( PROPINSI MALUKU)
3.3.1Pengertian dan Sejarah Mulainya Sasi
Sistem pengelolaan berbasis masyarakat sasi umum
ditemukan di Kepulauan Maluku Tengah dan Tenggara.
Kata sasi berasal dari bahasa Melayu Makasar berarti ‘
menyaksikan’ atau ‘tanda larangan’. Di pulau-pulau Maluku
men-sasi berarti menempatkan larangan pada panen,
menangkap, atau mencuri sumberdaya ekonomi atau nilai
subsisten milik masyarakat. Mempertunjukkan suatu
upacara sasi atau melaksanakan sasi berarti bahwa akses ke
area khusus(kebun,sekumpulan pertanian, atau area
penangkapan ikan) dibatasi sampai adanya pemberitahuan
23
selanjutnya. Tindakan menetapkan suatu area dalam sasi
disertai dengan pemasangan tanda larangan (salele).
Men-sasi pohon mangga misalnya, biasanya dilakukan
dengan mengalungi pohon mangga tersebut dengan daun
sagu sebagai tanda larangan. Bagi penduduk lokal, tanda ini
dengan segera dapat dibaca sebagai larangan memetik
buah mangga: bahwa objek tersebut secara eksklusif telah
termiliki secara individual atau komunal oleh pihak-pihak
lain. Pemberian tanda yang dilakukan oleh kewang
dimaksudkan sebagai sarana komunikasi kontinyu antar
proses berlangsungnya sasi dengan pemberitahuan kepada
anggota masyarakat.
.
24
25