sistem hukum indonesia

50
SISTEM HUKUM INDONESIA: UNIKUM YANG DINAMIS Ditulis oleh Nyoman Surata | 10 Juni 2010 Sistem Hukum Indonesia merupakan hal yang telah menjadi wacana berkelanjutan, yang tidak hanya melibatkan ahli dan pemerhati hukum, tetapi juga telah menarik ke dalamnya berbagai kalangan untuk ikut menyampaikan pendapat. Ini merupakan sesuatu yang dapat dimengerti mengingat dalam kenyataannya hampir tidak ada celah kehidupan yang tidak ‘diintervensi’ norma hukum. Slogan-slogan Ubi Sociates Ibi Ius, Fiat Jutitia Ruat Caelum, dan lain- lainya menegaskan bahwa dalam masyarakat yang paling sederhana sekalipun keberadaan norma hukum sebagai suatu pranata sosial secara nyata telah menjadi qonditio sine quanon bagi keberlangsungan masyarakat tersebut sebagai suatu entitas. Namun demikian, apakah itu berarti hukum yang ada di suatu masyarakat telah menjadi sesuatu yang sistemik, dengan kata lain apakah hukum yang ada pada masyarakat tersebut telah terbangun menjadi sistem hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu harus dipastikan dulu apa yang dimaksud sebagai sistem hukum, untuk dapat dijadikan tolok ukur, karena mungkin saja yang terdapat pada suatu masyarakat adalah aturan-aturan hukum yang berserakan, yang tidak saling

Upload: melinda-damayanti

Post on 03-Dec-2015

18 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

SIstem Hukum Indonesia

TRANSCRIPT

SISTEM HUKUM INDONESIA: UNIKUM YANG DINAMIS

Ditulis oleh Nyoman Surata | 10 Juni 2010

Sistem Hukum Indonesia merupakan hal yang telah menjadi wacana berkelanjutan, yang

tidak hanya melibatkan ahli dan pemerhati hukum, tetapi juga telah menarik ke dalamnya

berbagai kalangan untuk ikut menyampaikan pendapat. Ini merupakan sesuatu yang dapat

dimengerti mengingat dalam kenyataannya hampir tidak ada celah kehidupan yang tidak

‘diintervensi’ norma hukum.

Slogan-slogan Ubi Sociates Ibi Ius, Fiat Jutitia Ruat Caelum, dan lain-lainya

menegaskan bahwa dalam masyarakat yang paling sederhana sekalipun keberadaan norma

hukum sebagai suatu pranata sosial secara nyata telah menjadi qonditio sine quanon bagi

keberlangsungan masyarakat tersebut sebagai suatu entitas. Namun demikian, apakah itu berarti

hukum yang ada di suatu masyarakat telah menjadi sesuatu yang sistemik, dengan kata lain

apakah hukum yang ada pada masyarakat tersebut telah terbangun menjadi sistem hukum? Untuk

menjawab pertanyaan ini tentu harus dipastikan dulu apa yang dimaksud sebagai sistem hukum,

untuk dapat dijadikan tolok ukur, karena mungkin saja yang terdapat pada suatu masyarakat

adalah aturan-aturan hukum yang berserakan, yang tidak saling berhubungan, atau kalaupun

berhubungan tidak saling mendukung, justru saling melemahkan.

Berdasarkan pendapat Ludwig von Bertalanffy, H. Thierry, William A. Shorde/ Voich

Jr., Bachsan Mustofa ( 2003: 5-6) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem hukum

adalah sistem sebagai jenis satuan yang dibangun dengan komponen-komponen sistemnya yang

berhubungan secara mekanik fungsional yang satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan.

Sistem hukum terdiri dari komponen jiwa bangsa, komponen struktural, komponen substansial,

dan komponen budaya hukum.

Suherman (2004: 10-11) tidak sependapat jika pengertian sistem hukum hanya

penggabungan istilah sistem dan hukum. Menurutnya pengertian spesifik dalam hukum harus

tercermin dari istilah sistem hukum. Suherman mengemukakan pendapat J.H. Merryman sebagai

perbandingan. Menurutnya sistem hukum adalah suatu perangkat operasional yang meliputi

institusi, prosedur, atau aturan, dalam konteks ini ada suatu negara federal dengan lima puluh

sistem hukum di Amerika Serikat, adanya sistem hukum setiap bangsa secara terpisah, serta ada

sistem hukum yang berbeda seperti halnya dalam organisasi Masyarakat Ekonomi Eropah dan

Perserikatan Bangsa-bangsa.

Bagaimanapun juga, sebagai suatu sistem, sistem hukum seharusnya: terdiri dari bagian-

bagian, bagian-bagian tersebut saling berhubungan, masing-masing bagian dapat dibedakan

tetapi saling mendukung, semuanya ditujukan pada tujuan yang sama, dan berada dalam

lingkungan yang kompleks (pendapat ini dihubungkan dengan pendapat Shrode dan Voich

(dalam Amirin, 1987: 11)).

Untuk komponen sistem hukum, pendapat yang sering dijadikan rujukan adalah apa yang

dikemukakan oleh Friedman (selain Mustofa dan Suherman, juga Acmad Ali (2003: 7-dst)),

yang menyatakan bahwa sistem hukum meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum.

Ada pendapat bahwa hukum Indonesia, dengan segala keterbatasannya, telah terbangun

menjadi suatu sistem. Norma hukum Indonesia, ada yang telah lebih teruji oleh waktu lebih dari

seabad, melewati berbagai dinamika masyarakat dan sampai saat ini masih berlaku. Sejak

pendidikan hukum dilakukan secara formal di Indonesia, sistem hukum Indonesia telah menjadi

bahan kajian. Hampir tidak ada yang menyerukan agar dilakukan ‘revolusi’[1] dalam hukum,

yang banyak diserukan adalah reformasi dalam bidang-bidang hukum tertentu. Dengan demikian

krisis hukum yang sering disebut-sebut, boleh jadi bukan krisis dalam sistem hukum secara

keseluruhan, tetapi krisis dalam penegakan hukum.

Sebagai suatu sistem, bagaimanakah gambaran umum Sistem Hukum Indonesia?[2]

Dalam kajian-kajian teoretik, berdasarkan berbagai karakteristik sistem hukum dunia dibedakan

antara: sistem hukum sipil; Sistem hukum anglo saxon atau dikenal juga dengan common law;

hukum agama; hukum negara blok timur (sosialis). Eric L. Richard (dalam Suherman, 2004: 21)

membedakan sistem hukum yang utama di dunia (TheWorld’s Major Legal Systems) menjadi:

civil law; common law; Islamic law; socialist law; sub-Sahara Africa; dan Far East. Munir

Fuady (2007: 32-dst.) myatakan terdapat lebih dari 11 pengelompokan sistem hukum.[3]

Menurutnya tradisi hukum dunia dibedakan antara: tradisi hukum Eropah Kontinental, tradisi

hukum Anglo Saxon, tradisi hukum sosialis, tradisi hukum kedaerahan, tradisi hukum

keagamaan.

Di antara sistem-sistem hukum yang dikenal, sistem hukum Eropah Kontinental dan

sistem hukum Anglo Saxon banyak dipakai dan cenderung berpengaruh terhadap sistem hukum

yang dianut negara-negara di dunia. Sistem hukum Eropa Kontinental dikenal juga dengan

sebutan Romano-Germanic Legal System adalah sistem hukum yang semula berkembang di

dataran Eropa. Titik tekan pada sistem hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang

sifatnya tertulis, berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis

yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi

dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.

Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi,

yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar bagi putusan hakim-

hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru,

Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian

Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental

Napoleon).

Sistem Hukum Adat dinyatakan dianut oleh beberapa negara di antaranya oleh

Monggolia dan Srilangka (ada juga yang mengkategorikan Indonesia sebagai negara penganut

sistem hukum adat). Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan

agama tertentu, yang umumnya terdapat dalam Kitab Suci. Arab Saudi, Iran, Sudan, Suriah, dan

Vatikan dikategorikan sebagai negara dengan sistem hukum agama. Selain negara-negara

tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya

Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun

juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.

Secara umum antara Sistem Hukum Eropah Kontinental dengan Sistem Hukum Anglo

Saxon dibedakan berdasarkan mana yang dipentingkan dalam pembentukan dan penegakkan

hukum, melalui peraturan perundang-undangan atau melalui jurisprudensi, secara lebih mendasar

mana yang lebih dipentingkan hukum tertulis atau hukum kebiasaan. Mengingat kekurangan dan

kelebihan antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, maka secara filosofis hal ini

berhubungan dengan masalah pengutamaan antara kepastian dan keadilan, yang meskipun sama-

sama merupakan nilai dasar hukum tetapi antara keduanya terdapat spannungsverhaltnis

(ketegangan satu sama lain).

Sistem Hukum Eropah Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan

perundang-undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-undangan yang baik,

selain menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya

ketertiban, juga dapat diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan.

Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis

diharapkan dapat lebih fleksibel dengan sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang

bersifat teknis, serta dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.

Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum

yang berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui

lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan

dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.

Apapun sistem hukum yang dianut, pada dasarnya tidak ada negara yang hanya

didasarkan pada hukum tertulis atau hukum kebiasaan saja. Tidak ada negara yang sistem

hukumnya menafikan pentingnya undang-undang dan pentingnya pengadilan.

Kompleksitas sistem hukum Indonesia dibentuk oleh perjalanan sejarah Bangsa

Indonesia. Pertama kali kebudayaan yang muncul adalah kebudayaan Indonesia asli. Sebagai

produk kebudayaan asli ini adalah hukum adat. Kebudayaan ini berlangsung sebelum kedatangan

kebudayaan India (Hindu). Selanjutnya Indonesia memasuki masa pengaruh kebudayaan Hindu.

Pada abad ke-13 sampai ke-14 masuk pengaruh Islam, dan hukum Islam berkembang dan

memperkaya sistem hukum yang ada di Indonesia. Baru pada abad ke-17 masuk kebudayaan

Eropa-Amerika.

Jika hukum adat yang ada di Indonesia, dihubungkan dengan corak dasar kedua sistem

hukum yang paling berpengaruh (Eropah Kontionental dan Anglo Saxon), cenderung lebih dekat

dengan sistem Ango Saxon. Hukum adat terbangun dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam

menghadapi situasi dan kondisi tertentu, yang kemudian oleh masyarakat ditempatkan lebih dari

sekadar norma kesopanan atau kesusilaan menjadi norma hukum (opinio juris sive necessitatis).

Masyarakat tradisional Indonesia yang bercorak patriarkhis, menempatkan tetua-tetua/ pemuka-

pemuka adat sebagai tokoh penting yang menentukan hukum jika masyarakat menghadapi suatu

persoalan. Meskipun tidak ketat mengikat, apa yang diputuskan akan diikuti jika terjadi lagi hal

serupa. Jadi Mirip dengan sistem preseden. Peran tetua/ tokoh/ ketua suku menjadi sangat

penting dalam membentuk hukum, sehingga dapat dipahami jika yang dipilih seharusnya yang

paling berpengetahuan dan bijak.

Pada masa kolonial Belanda, dengan penerapan asas konkordansi, maka hukum yang

berlaku di Hindia Belanda sejalan dengan hukum yang berlaku di Belanda. Belanda merupakan

salah satu pendukung terkemuka sistem hukum Eropah Kontinental. Dengan demikian, secara

mutatis mutandis sistem Eropah Kontinental dilaksanakan di Indonesia. Walaupun demikian

pada dasarnya Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek) yang membiarkan

hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi

kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan

demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Dengan adanya lembaga

penundukan diri secara sukarela, banyak penduduk Indonesia saat itu menunduukan diri untuk

terikat pada Hukum Barat, terutama yang berusaha di bidang perdagangan. Dalam

perkembangan hukum di Indonesia selanjutnya, tampak kuatnya pengaruh hukum kolonial dan

cenderung meninggalkan hukum adat (Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).

Setelah kemerdekaan, pengaruh Sistem Eropah Kontinental tampak dalam semangat

untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi. Meskipun Hukum Adat tetap diakui, tetapi pandangan

yang lebih mengemuka adalah dalam pembangunan hukum maupun optimalisasi fungsi hukum

sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial dilakukan melalui peraturan perundang-

undangan. Ajaran yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat beberapa waktu

sebelumnya, yaitu Mazhab Sejarah yang dipelopori oleh Von Savigny dan teori keputusan yang

dikemukakan oleh Ter Haar, dianggap tidak relevan. Mazhab sejarah menyatakan bahwa hukum

itu hinkt achter de feiten aan, hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh secara historis atas dasar

peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi. Teori keputusan menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan

yang diakui oleh penguasalah yang merupakan hukum. Kedua mazhab ini menyatakan bahwa

hukum hanya menyangkut kejadian yang sudah sering terjadi. Kedua paham ini dianggap tidak

sejalan dengan pembangunan yang identik dengan perubahan, dengan kemungkinan terjadinya

hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Dari sudut pandang ini inilah kedua mazhab ini

dianggap tidak relevan (lihat antara lain Sunarjati Hartono, 1982).

Dalam perkembangannya kemudian, sebagai dampak pergaulan Indonesia dalam kancah

internasional, munculah bidang-bidang hukum baru seperti corporative law, computer law, cyber

law, dan sebagainya. Kebijakan dalam bidang-bidang ini dan kebijakan-kebijakan global lainnya,

legitimasinya banyak mengacu pada Sistem Common law.

Pemberian wewenang yang lebih luas kepada Pengadilan Agama, tidak hanya sekadar

menangani nikah, talak, rujuk, juga membuat pengaruh Hukum Islam bagi warga Negara

Indonesia yang beragama Islam semakin luas, setelah sebelumnya memberikan warna bagi

Hukum Adat di beberapa tempat di Indonesia.

Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum

yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa

sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi

juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.

Tidak hanya unik, sistem hukum Indonesia adalah sistem yang masih penuh dengan

dinamika, untuk mencari format di mana ketertiban dan keteraturan hukum sipil mendapat

tempat, dengan tidak mengesampingkan keluwesan hukum Anglo Saxon, serta tidak

menghilangkan suasana kebatinan masyarakat Indonesia.

Pencermatan terhadap kondisi nyata sistem Hukum Indonesia dan Sistem Hukum yang

dicita-citakan seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam pembangunan hukum, termasuk

dalam pembangunan pendidikan hukum. Legislator yang handal dan Juris yang berkemampuan

sama-sama diperlukan. Tetapi, ahli mana yang jumlahnya lebih banyak dibutuhkan, keahlian apa

yang lebih banyak diperlukan tentu berbeda.

Komitmen untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi keberadaan

hukum maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri mendasar dari supremasi hukum.

Supremasi hukum ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai dengan, dan yang

membawa keadilan sosial bagi masyarakat. Jadi yang terutama dan diutamakan adalah hukum

dan sistem hukum yang membawa keadilan bagi masyarakat.

 

DAFTAR PUSTAKA

Amirin, Tatang M. 1987. Pokok-pokok Teori Sistem. Jakarta: CV. Rajawali.

 

Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Jakarta: Ghalia Indonesia.

 

Fuady, Munir. 2007. Perbandingan Ilmu Hukum. Bandung: Refika Aditama.

 

Hartono, Sunarjati. 1982. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Jakarta: Bina Cipta.

 

Lev, Daniel S. 1990. Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta: LP3S.

 

Suherman, Ade Maman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 Mustafa, Bachsan. 2003. Sistem Hukum Indonesia terpadu. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Sistem Hukum Indonesia BAB I

PENDAHULUAN

A.         Latar Belakang Masalah

Hukum  Indonesia  adalah keseluruhan kaidah dan asas  berdasarkan keadilan yang mengatur 

hubungan manusia  dalam masyarakat yang berlaku sekarang di   Indonesia.  Sebagai  hukum nasional, 

berlakunya hukum Indonesia dibatasi dalam wilayah hukum tertentu, dan ditujukan pada subyek hukum 

dan objek hukum tertentu pula. Subyek hukum Indonesia adalah warga negara Indonesia dan warga 

negara asing yang berdomisili  di   Indonesia.  Sedangkan objek hukum Indonesia adalah semua benda 

bergerak atau tidak bergerak,  benda berwujud atau tidak berwujud yang terletak di  wilayah hukum 

Indonesia. 

Hukum   Indonesia   sebagai   perlengkapan  masyarakat   ini   berfungsi   untuk   mengintegrasikan 

kepentingan-kepentingan  anggota  masyarakat   sehingga   tercipta  ketertiban  dan  keteraturan.  Karena 

hukum   mengatur   hubungan   antar   manusia   dengan   manusia,   manusia   dengan   masyarakat   dan 

sebaliknya, maka ukuran hubungan tersebut adalah keadilan. 

Hukum Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu sistem, yang terdiri dari unsur-unsur atau 

bagian-bagian  yang   satu   sama  lain   saling  berkaitan  dan  berhubungan  untuk  mencapai   tujuan  yang 

didasarkan  pada  UUD 1945  dan dijiwai  oleh   falsafah  Pancasila.   Sebagai   satu   sistem,   sistem hukum 

Indonesia   telah  menyediakan   sarana   untuk  menyelesaikan   konflik   diantara   unsur-unsurnya.   Sistem 

hukum Indonesia   juga bersifat   terbuka,  sehingga di  samping faktor  di   luar  sistem seperti:  ekonomi, 

politik, sosial dapat mempengaruhi, sistem hukum Indonesia juga terbuka untuk penafsiran yang lain

B.           Tujuan Penulisan

Untuk Membahas tentang pengertian Hukum dan Seperti apa Hukum yang Berlaku di Indonesia, 

sejarah  perkembangan   sistem hukum  Indonesia,   gambaran  umum sistem hukum  Indonesia,   sistem 

hukum nasional, politik hukum lama dan politik hukum baru, serta pengaruh politik dalam pembentukan 

hukum di Indonesia.

Dengan mempelajari makalah ini, Kita akan memperoleh gambaran tentang bagaimana sistem 

hukum di   Indonesia  dijalankan,  yang tentu saja banyak perbedaan dengan praktik-praktik hukum di 

negara lain. Dengan demikian Kita akan lebih mantap dan percaya diri dalam proses pembelajaran serta 

akan memberikan tuntunan bagi Kita dalam berbuat sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. 

C.         Pembatasan Masalah

1.                     Apa Pengertian Hukum dan Seperti apa Hukum yang Berlaku di Indonesia?   

2.                     Bagaimana    Sejarah Perkembangan Sistem Hukum Indonesia?

3.                     Bagaimanakah G   ambaran Umum Sistem Hukum Indonesia?

4.                     Bagaimana Dengan Sistem Hukum Nasional?   

5.                     Bagaimana Dengan Politik Hukum Lama?   

6.                     Bagaimana Dengan Politik Hukum Baru?   

7.                     Bagaimana Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia?   

BAB II

PEMBAHASAN

A.         Pengetian dan Fungsi Hukum

Hukum   adalah   sistem   yang   terpenting   dalam   pelaksanaan   atas   rangkaian   kekuasaan 

kelembagaan. Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat 

dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat 

terhadap   kriminalisasi   dalam   hukum   pidana,   hukum   pidana   yang   berupayakan   cara   negara   dapat 

menuntut   pelaku   dalam   konstitusi   hukum  menyediakan   kerangka   kerja   bagi   penciptaan   hukum, 

perlindungan  hak  asasi  manusia  dan  memperluas  kekuasaan  politik   serta   cara  perwakilan  di  mana 

mereka   yang   akan  dipilih.  Administratif   hukum digunakan  untuk  meninjau   kembali   keputusan  dari 

pemerintah,   sementara   hukum   internasional   mengatur   persoalan   antara   berdaulat   negara   dalam 

kegiatan   mulai   dari   perdagangan   lingkungan   peraturan   atau   tindakan   militer.   filsuf   Aristotele 

menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dibandingkan dengan peraturan 

tirani yang merajalela."

Hukum  Indonesia  adalah keseluruhan kaidah dan asas  berdasarkan keadilan yang mengatur 

hubungan manusia  dalam masyarakat yang berlaku sekarang di   Indonesia.  Sebagai  hukum nasional, 

berlakunya hukum Indonesia dibatasi dalam wilayah hukum tertentu, dan ditujukan pada subyek hukum 

dan objek hukum tertentu pula. Subyek hukum Indonesia adalah warga negara Indonesia dan warga 

negara asing yang berdomisili  di   Indonesia.  Sedangkan objek hukum Indonesia adalah semua benda 

bergerak atau tidak bergerak,  benda berwujud atau tidak berwujud yang terletak di  wilayah hukum 

Indonesia. 

Hukum   Indonesia   sebagai   perlengkapan  masyarakat   ini   berfungsi   untuk   mengintegrasikan 

kepentingan-kepentingan  anggota  masyarakat   sehingga   tercipta  ketertiban  dan  keteraturan.  Karena 

hukum   mengatur   hubungan   antar   manusia   dengan   manusia,   manusia   dengan   masyarakat   dan 

sebaliknya, maka ukuran hubungan tersebut adalah: keadilan. 

Hukum Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu sistem, yang terdiri dari unsur-unsur atau 

bagian-bagian  yang   satu   sama  lain   saling  berkaitan  dan  berhubungan  untuk  mencapai   tujuan  yang 

didasarkan  pada  UUD 1945  dan dijiwai  oleh   falsafah  Pancasila.   Sebagai   satu   sistem,   sistem hukum 

Indonesia   telah  menyediakan   sarana   untuk  menyelesaikan   konflik   diantara   unsur-unsurnya.   Sistem 

hukum Indonesia   juga bersifat   terbuka,  sehingga di  samping faktor  di   luar  sistem seperti:  ekonomi, 

politik, sosial dapat mempengaruhi, sistem hukum Indonesia juga terbuka untuk penafsiran yang lain 

B.           Hukum yang Berlaku di Indonesia

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan 

hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum 

Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan 

wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian 

besar masyarakat Indonesia menganut Agama Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih 

banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku 

sistem hukum Adat   yang  diserap  dalam perundang-undangan   atau   yurisprudensi,   yang  merupakan 

penerusan   dari   aturan-aturan   setempat   dari  masyarakat   dan   budaya-budaya   yang   ada   di   wilayah 

Nusantara.

C.       Sejarah Perk embangan Sistem Hukum Indonesia

a.             Periode Kolonialisme Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda 

dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.

1.      Periode VOC

1)      Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk: Kepentingan ekspolitasi 

ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda; 

2)      Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan 

3)      Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa. 

Hukum   Belanda   diberlakukan   terhadap   orang-orang   Belanda   atau   Eropa.   Sedangkan   bagi 

pribumi,  yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. 

Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara 

dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.

2.      Periode liberal Belanda

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau 

Peraturan   tentang   Tata   Pemerintahan   (di   Hindia   Belanda)   yang   tujuan   utamanya   melindungi 

kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur 

perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini 

dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap 

eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.

Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi 

sebengis sebelumnya.  Namun, pembaruan hukum yang dilandasi  oleh politik  liberalisasi  ekonomi  ini 

ternyata   tidak  meningkatkan   kesejahteraan   pribumi,   karena   eksploitasi  masih   terus   terjadi,   hanya 

subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal 

swasta.

3.      Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang

1)      Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang 

berkaitan   langsung   dengan   pembaharuan   hukum   adalah:   Pendidikan   untuk   anak-anak   pribumi, 

termasuk pendidikan lanjutan hukum;

2)      Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;

3)      Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi; 

4)      Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;

5)       Pembentukan   peraturan   perundang-undangan   yang   berorientasi   pada   kepastian   hukum.   Hingga 

runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: 

  Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan;

  Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-

Tionghoa, dan Pribumi.

Masa   pendudukan   Jepang   pembaharuan   hukum   tidak   banyak   terjadi   seluruh   peraturan 

perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari 

menghilangkan   hak-hak   istimewa   orang-orang   Belanda   dan   Eropa   lainnya.   Beberapa   perubahan 

perundang-undangan yang terjadi:

1)       Kitab   UU   Hukum   Perdata,   yang   semula   hanya   berlaku   untuk   golongan   Eropa   dan   yang   setara, 

diberlakukan juga untuk orang-orang Cina;

2)      Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di 

bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah:

  Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan;

  Unifikasi kejaksaan;

  Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan;

  Pembentukan lembaga pendidikan hukum;

   Pengisian   secara  massif   jabatan-jabatan   administrasi   pemerintahan  dan  hukum  dengan  orang-orang 

pribumi.

b.           Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal 1.      Periode Revolusi Fisik

1)       Pembaruan hukum yang sangat  berpengaruh  di  masa awal   ini  adalah pembaruan di  dalam bidang 

peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan 

dengan melakukan penyederhanaan;

2)      Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan 

pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.

2.      Periode Demokrasi Liberal

UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum 

dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan 

peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap 

perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi 

peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian 

sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung 

dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

c.             Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru Periode Demokrasi Terpimpin

Langkah-langkah   pemerintahan   Demokrasi   Terpimpin   yang   dianggap   sangat   berpengaruh   dalam 

dinamika hukum dan peradilan adalah:

1)      Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di 

bawah lembaga eksekutif;

2)      Mengganti lambang hukum dewi keadilan menjadi pohon beringin yang berarti pengayoman;

3)      Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses 

peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada 

masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-

putusan yang lebih situasional dan kontekstual.

2.      Periode Orde Baru

Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh 

penyingkiran  hukum dalam proses  politik  dan pemerintahan.  Di  bidang perundang-undangan,  rezim 

Orde  Baru   ?membekukan?   pelaksanaan  UU  Pokok  Agraria,   dan   pada   saat   yang   sama  membentuk 

beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah 

UU   Penanaman  Modal   Asing,   UU   Kehutanan,   dan   UU   Pertambangan.   Selain   itu,   orde   baru   juga 

melakukan:   1)   Penundukan   lembaga-lembaga   hukum   di   bawah   eksekutif;   2)   Pengendalian   sistem 

pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis,   termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya,  pada 

masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.

3.      Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)

Sejak pucuk eksekutif di  pegang Presiden Habibie hingga sekarang,  sudah terjadi  empat kali 

amandemen UUD RI.  Di  arah  perundang-undangan  dan kelembagaan negara,  beberapa  pembaruan 

formal yang mengemuka adalah:

1)      Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;

2)      Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan

3)      Pembaruan sistem ekonomi.

Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada 

masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun 

dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti 

polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan 

permbaruan hukum, hal  ini  dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses 

peradilan mantan Presiden Soeharto,  peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat 

hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber 

daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan 

hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.

D.       Gambaran Umum Sistem Hukum Indonesia Dalam kajian-kajian teoretik, berdasarkan berbagai karakteristik sistem hukum dunia dibedakan 

antara: sistem hukum sipil;  Sistem hukum    anglo saxon    atau dikenal juga dengan common law;  hukum 

agama;  hukum negara blok timur  (sosialis). Eric L. Richard (dalam Suherman, 2004: 21) membedakan 

sistem hukum yang utama di dunia (TheWorld’s Major Legal Systems) menjadi:  civil law;  common law;

Islamic law; socialist law; sub-Sahara Africa; dan  Far East.  Munir   Fuady   (2007:   32-dst.)  myatakan 

terdapat lebih dari 11 pengelompokan sistem hukum.[3] Menurutnya tradisi hukum dunia dibedakan 

antara:   tradisi  hukum Eropah Kontinental,   tradisi  hukum Anglo Saxon,   tradisi  hukum sosialis,   tradisi 

hukum kedaerahan, tradisi hukum keagamaan. 

Di   antara   sistem-sistem hukum yang  dikenal,   sistem hukum Eropah  Kontinental  dan  sistem 

hukum Anglo Saxon banyak dipakai dan cenderung berpengaruh terhadap sistem hukum yang dianut 

negara-negara   di   dunia.   Sistem   hukum   Eropa   Kontinental  dikenal   juga   dengan   sebutan  Romano-

Germanic Legal System  adalah sistem hukum yang semula berkembang di dataran Eropa. Titik tekan 

pada   sistem   hukum   ini   adalah,   penggunaan   aturan-aturan   hukum   yang   sifatnya   tertulis,  berbagai 

ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut 

oleh hakim dalam penerapannya.  Hampir 60% dari  populasi  dunia tinggal  di  negara yang menganut 

sistem hukum ini. 

Sistem  Anglo-Saxon  adalah   suatu   sistem  hukum  yang  didasarkan   pada  yurisprudensi,   yaitu 

keputusan-keputusan   hakim   terdahulu   yang   kemudian   menjadi   dasar   bagi   putusan   hakim-hakim 

selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di  Irlandia,  Inggris,  Australia,  Selandia Baru,  Afrika Selatan, 

Kanada  (kecuali   Provinsi   Quebec)   dan  Amerika   Serikat  (walaupun   negara   bagian   Louisiana 

mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). 

Sistem Hukum Adat dinyatakan dianut oleh beberapa negara di antaranya oleh Monggolia dan 

Srilangka   (ada   juga  yang  mengkategorikan   Indonesia  sebagai  negara  penganut  sistem hukum adat). 

Sistem   hukum  agama  adalah   sistem   hukum   yang   berdasarkan   ketentuan   agama   tertentu,   yang 

umumnya terdapat dalam Kitab Suci. Arab Saudi, Iran, Sudan, Suriah, dan Vatikan dikategorikan sebagai 

negara   dengan   sistem   hukum   agama.  Selain   negara-negara   tersebut,   beberapa   negara   lain   juga 

menerapkan   sistem   hukum   Anglo-Saxon   campuran,   misalnya   Pakistan,   India   dan   Nigeria   yang 

menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan 

hukum agama.

Secara umum antara Sistem Hukum Eropah Kontinental  dengan Sistem Hukum Anglo Saxon 

dibedakan berdasarkan mana yang dipentingkan dalam pembentukan dan penegakkan hukum, melalui 

peraturan  perundang-undangan  atau  melalui   jurisprudensi,   secara   lebih  mendasar  mana  yang   lebih 

dipentingkan   hukum   tertulis   atau   hukum   kebiasaan.  Mengingat   kekurangan   dan   kelebihan   antara 

hukum tertulis  dengan hukum kebiasaan, maka secara filosofis hal ini  berhubungan dengan masalah 

pengutamaan antara kepastian dan keadilan, yang meskipun sama-sama merupakan nilai dasar hukum 

tetapi antara keduanya terdapat spannungsverhaltnis (ketegangan satu sama lain).

Sistem Hukum Eropah Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan perundang-

undangan  menduduki   tempat   penting.   Peraturan   perundang-undangan   yang   baik,   selain  menjamin 

adanya   kepastian  hukum,   yang  merupakan   syarat  mutlak   bagi   terwujudnya   ketertiban,   juga  dapat 

diharapkan   dapat  mengakomodasi   nilai-nilai   keadilan   dan   kemanfaatan.   Lembaga   peradilan   harus 

mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel 

dengan   sistem   bertingkat   dari   norma   dasar   sampai   norma   yang   bersifat   teknis,   serta   dengan 

menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.

Sistem Hukum Anglo  Saxon cenderung   lebih  mengutamakan hukum kebiasaan,  hukum yang 

berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan 

dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan 

kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.

Apapun sistem hukum yang dianut, pada dasarnya tidak ada negara yang hanya didasarkan pada 

hukum   tertulis   atau   hukum   kebiasaan   saja.   Tidak   ada   negara   yang   sistem   hukumnya  menafikan 

pentingnya undang-undang dan pentingnya pengadilan. 

Kompleksitas   sistem   hukum   Indonesia   dibentuk   oleh   perjalanan   sejarah   Bangsa   Indonesia. 

Pertama kali kebudayaan yang muncul adalah kebudayaan Indonesia asli. Sebagai produk kebudayaan 

asli ini adalah hukum adat. Kebudayaan ini berlangsung sebelum kedatangan kebudayaan India (Hindu). 

Selanjutnya  Indonesia  memasuki  masa pengaruh kebudayaan Hindu.  Pada abad ke-13 sampai  ke-14 

masuk pengaruh  Islam,  dan hukum Islam berkembang dan memperkaya sistem hukum yang ada di 

Indonesia. Baru pada abad ke-17 masuk kebudayaan Eropa-Amerika.

Jika hukum adat yang ada di Indonesia, dihubungkan dengan corak dasar kedua sistem hukum 

yang paling berpengaruh (Eropah Kontionental dan Anglo Saxon), cenderung lebih dekat dengan sistem 

Ango Saxon. Hukum adat terbangun dari  kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam menghadapi situasi 

dan kondisi tertentu, yang kemudian oleh masyarakat ditempatkan lebih dari sekadar norma kesopanan 

atau kesusilaan menjadi norma hukum (opinio juris sive necessitatis). Masyarakat tradisional Indonesia 

yang bercorak patriarkhis, menempatkan tetua-tetua/ pemuka-pemuka adat sebagai tokoh penting yang 

menentukan hukum jika masyarakat menghadapi suatu persoalan. Meskipun tidak ketat mengikat, apa 

yang diputuskan akan diikuti jika terjadi lagi hal serupa. Jadi Mirip dengan sistem preseden. Peran tetua/ 

tokoh/ ketua suku menjadi  sangat penting dalam membentuk hukum, sehingga dapat dipahami  jika 

yang dipilih seharusnya yang paling berpengetahuan dan bijak.

Pada masa kolonial Belanda, dengan penerapan asas konkordansi, maka hukum yang berlaku di 

Hindia   Belanda   sejalan   dengan   hukum   yang   berlaku   di   Belanda.   Belanda   merupakan   salah   satu 

pendukung terkemuka sistem hukum Eropah Kontinental. Dengan demikian, secara  mutatis mutandis

sistem   Eropah   Kontinental   dilaksanakan   di   Indonesia.  Walaupun   demikian   pada   dasarnya   Belanda 

menganut   politik   hukum   adat  (adatrechtpolitiek)  yang  membiarkan   hukum   adat   itu   berlaku   bagi 

golongan  masyarakat   Indonesia   asli   dan  hukum Eropa  berlaku  bagi   kalangan  golongan  Eropa   yang 

bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku 

pluralisme   hukum.   Dengan   adanya   lembaga   penundukan   diri   secara   sukarela,   banyak   penduduk 

Indonesia   saat   itu  menunduukan  diri  untuk   terikat  pada  Hukum Barat,   terutama yang  berusaha  di 

bidang perdagangan. Dalam perkembangan hukum di Indonesia selanjutnya, tampak kuatnya pengaruh 

hukum kolonial dan cenderung meninggalkan hukum adat (Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).

Setelah   kemerdekaan,   pengaruh   Sistem Eropah  Kontinental   tampak  dalam   semangat   untuk 

melakukan kodifikasi dan unifikasi.  Meskipun Hukum Adat tetap diakui, tetapi pandangan yang lebih 

mengemuka adalah dalam pembangunan hukum maupun optimalisasi   fungsi  hukum sebagai  sarana 

untuk melakukan rekayasa sosial dilakukan melalui peraturan perundang-undangan. Ajaran yang sangat 

berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat beberapa waktu sebelumnya, yaitu Mazhab Sejarah yang 

dipelopori  oleh  Von Savigny  dan  teori   keputusan  yang  dikemukakan  oleh  Ter  Haar,  dianggap  tidak 

relevan.  Mazhab sejarah menyatakan bahwa hukum itu  hinkt achter de feiten aan,  hukum itu tidak 

dibuat tetapi tumbuh secara historis atas dasar peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi. Teori keputusan 

menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang diakui oleh penguasalah yang merupakan hukum. Kedua 

mazhab ini menyatakan bahwa hukum hanya menyangkut kejadian yang sudah sering terjadi. Kedua 

paham   ini   dianggap   tidak   sejalan   dengan   pembangunan   yang   identik   dengan   perubahan,   dengan 

kemungkinan terjadinya hal-hal  yang sebelumnya tidak pernah terjadi.  Dari  sudut pandang ini   inilah 

kedua mazhab ini dianggap tidak relevan (lihat antara lain Sunarjati Hartono, 1982).

Dalam   perkembangannya   kemudian,   sebagai   dampak   pergaulan   Indonesia   dalam   kancah 

internasional, munculah bidang-bidang hukum baru seperti  corporative law,  computer law,  cyber law,

dan sebagainya. Kebijakan dalam bidang-bidang ini dan kebijakan-kebijakan global lainnya, legitimasinya 

banyak mengacu pada Sistem Common law.

Pemberian   wewenang   yang   lebih   luas   kepada   Pengadilan   Agama,   tidak   hanya   sekadar 

menangani nikah, talak, rujuk, juga membuat pengaruh Hukum Islam bagi warga Negara Indonesia yang 

beragama Islam semakin luas, setelah sebelumnya memberikan warna bagi Hukum Adat di beberapa 

tempat di Indonesia.

Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun 

dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah 

ada.  Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri   lokal,  tetapi  juga mengakomodasi 

prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.

Tidak hanya unik, sistem hukum Indonesia adalah sistem yang masih penuh dengan dinamika, untuk 

mencari   format   di  mana   ketertiban   dan   keteraturan   hukum   sipil  mendapat   tempat,   dengan  tidak 

mengesampingkan   keluwesan   hukum   Anglo   Saxon,   serta   tidak   menghilangkan   suasana   kebatinan 

masyarakat Indonesia.

Pencermatan terhadap kondisi nyata sistem Hukum Indonesia dan Sistem Hukum yang dicita-

citakan   seharusnya   menjadi   bahan   pertimbangan   dalam   pembangunan   hukum,   termasuk   dalam 

pembangunan pendidikan hukum. Legislator  yang handal  dan Juris  yang berkemampuan sama-sama 

diperlukan. Tetapi, ahli mana yang jumlahnya lebih banyak dibutuhkan, keahlian apa yang lebih banyak 

diperlukan tentu berbeda.

Komitmen untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi keberadaan hukum 

maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri  mendasar dari supremasi hukum. Supremasi hukum 

ditandai dengan penegakan  rule of law  yang sesuai dengan, dan yang membawa keadilan sosial bagi 

masyarakat.   Jadi  yang  terutama dan diutamakan adalah hukum dan sistem hukum yang membawa 

keadilan bagi masyarakat.

E.         Sistem Hukum Nasional              Hukum nasional suatu negara merupakan gambaran dasar mengenai  tatanan hukum nasional 

yang dianggap sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Bagi Indonesia , tatanan hukum 

nasional yang sesuai dengan masyarakat Indonesia adalah yang berdasarkan Pancasila dengan pokok – 

pokoknya sebagai berikut :

a.             Sumber dasar Hukum Nasional Adalah kesadaran atau perasaan hukum masyarakat yang menentukan isi suatu kaedah hukum. 

Dengan demikian sumber dasar tatanan hukum Indonesia adalah perasaan hukum masyarakat Indonesia 

yang   terjelma   dalam   pandangan   hidup   Pancasila.   Oleh   karena   itu   dalam   kerangka   sistem   hukum 

Indonesia , Pancasila menjadi sumber hukum ( Tap MPRS No. XX/ MPRS / 1966 ).

b.           Cita-cita hukum nasional Dalam penjelasan UUD 1945 , dinyatakan bahwa pembukaan UUD 1945 memuat pokok-pokok 

pikiran sebagai berikut :

         Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar 

atas persatuan.

         Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

         Negara yang berkedaulatan rakyat , berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.

         Negara berdasar atas KeTuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

c.             Politik Hukum Nasional Politik hukum yang dilakukan oleh pemerintah berkaitan erat dengan wawasan nasional bidang 

hukum yakni   cara  pandang  bangsa   Indonesia  mengenai  kebijaksanaan  politik  yang  harus  ditempuh 

dalam   rangka  pembinaan  hukum  di   Indonesia.  Adapun  arah   kebijaksanaan  politik  dibidang  hukum 

ditetapkan dalam GBHN.

Dalam TAP MPR dibawah ini terdapat politik hukum Indonesia yang menyangkut GBHN, antara 

lain:

a.       TAP MPR No. 66 / MPRS / 1960

b.      TAP MPR No. IV / MPR / 1973

c.       TAP MPR No. IV / MPR / 1978

d.      TAP MPR No. II / MPR / 1983

e.       TAP MPR No. II / MPR / 1988

f.       TAP MPR No. II / MPR / 1993

g.      TAP MPR No. X / MPR / 1998

Tentang   Pokok   –   pokok   reformasi   pembangunan   dalam   rangka   penyelamatan   dan   normalisasi 

kehidupan nasional sebagai haluan negara “.

h.      TAP MPR No. VIII / MPR / 1998

Mencabut TAP MPR No. II / MPR/ 1998

i.        TAP MPR No. X / MPR / 1998, tentang GBHN

j.        Tap mpr No. IV / MPR / 1999 tentang GBHN 1999 sampai dengan 2004.

F.         Politik Hukum Lama Politik   Hukum   Lama,   di   jalankan   pada  masa   pemerintahan   Hindia,   Belanda,   diawali   sejak 

kedatangan   atau   zaman   pemerintahan  Hindia   Belanda   yang  menerapkan   asas   Konkosedansi   yaitu: 

menerapakn hubungan yang berlaku di Belanda berlaku juga di Hindia Belanda. Di Hindia Belanda selain 

berlaku hukum adat dan Hukum Islam.

Sejak pendudukan penjajahan Belanda sampai  dengan Indonesia  merdeka tidak ada asvikasi 

hukum. Kalau menang Belanda berupaya untuk melakukan asifikasi (memberlakukan satu hukum untuk 

seluruh Rakyat di seluruh wilayah negara) tidak berhasil jug.

a.             Asas Konkordansi Yaitu pemberlakuan hukum Belanda disebuah wilayah Hindia Belanda. Unifikasi Hukum adalah 

berlakunya suatu   hukum di suatu wilayah negara untuk seluruh paalnya. Kenapa hukum Islam masih 

berlaku ? karena sebagian besar pelakunya adalah beragama Islam.

Tetapi masuk terdapat orang-orang Indonesia yang tidak bulat “membela pemikiran barat”. A.c. 

Hamengku Buwono IX yang tetap mempertahankan Budaya Timur dengan menyatakan: jiwa barat  dan 

timur  dapat   dilakukan  dan  bekerja   sama   secara   ekonomomis   tanpa  harus   kehilangan   kepadiannya 

masing-masing. Selama tidak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama 

dalam mator yang kaya dalam tradisi.

Pandangan politik hukum penjajah Belanda di Hiondia Belanda; 

secara keseluruhan politik hukum Belanda sama isinya dengan politik hwed untuk tanah atau aja 

hanya di Hindia Belanda.

panangan politik Hukum Belanda sama dengan politik umum dan politik hukum dari  hampir 

smua orang Eropa dan orang negara baratt trhadap daerah timur yang mereka jajah.

umumnya daerah yang dapat mereka kuasai; Daerah di Afrika dan Asia.

dikatakan  oleh  mereka,   kebudayaan  barat,  tinggi,  baik,  mul;ia,sedangkan  kebudayaan  timur 

rendah terbelakang, primitif, sangat bergantung pada alam.

orang yang berpegang pada kebudayaan barat  maju sedangkan yang berpegang pada timur 

ketinggalan zaman.

pendidikan mereka memandang pendidikan asli rendah, pendidikan Islam rendah dapat dilihat 

pada daerah jajahan Inggris, perancis, Belanda.

Usaha penjajah Belanda memaksakan sistem kebudayaan ke Hindia Belanda berhasil sehingga 

pemikiran sebagian bangsa Indonesia berpihak pada penjajah Belanda atau Barat.

Jadi terjadi dikotomi timur dan Barat.

b.           Unifikasi Jaman Penjajahan di Hindia Belanda Terlihat adanya usaha unifikasi melalui tahap tersebut pada masa penjajahan di Hindia Belanda 

antara   lain;  dalam bidang  hukum dagang dan  lalu   lintas  ekonomi,  dengan  tujuan utamanya adalah 

keinginan pemberlakuan hukum Belanda bagi seluruh orang di Hindia Belanda caranya ialah:

         memulai memberlakukan peraturan-peraturan yang disusun oleh pemerintah Belanda itu untuk orang 

Belanda dan Eropa sendiri.

         Kemudian memberlakukan Hukum Belanda pada orang yang menunjukkan dii dengan sukarela kepada 

hukum Belanda.

          selanjutnya baru memberlakukan Hukum Belanda untuk orang yang dipersamakan oleh pemerintah 

Hindia Belanda dengan orang-orang Belanda.

c.             Unifikasi Masa Indonesia Merdeka         dizaman Indonesia merdeka maka tahap tertentu seperti diatas tak diperlukan memberlakukan suatu 

hukum   gak   tetap   untuk   yang   lain   atau  menundukkan   diri   kepada   kepada   hukum   tertentu   tidak 

diperlukan lagi dalam hukum pemerintahan hukum di Indonesia merdeka, teutama dalam tindak hukum 

lalu lintas ekonomi dan keuangan baik untuk semua bangsa Indonesia sediri apalagi dalam hubungan 

dengan bangsa lain.

          Khusus  untuk  sesama bangsa  Indonesia   terhadap kemungkinan memberlakukan pertahanan hukum 

bagi   kekhususan orang Indonesia.

Menyangkut   bidang   yang   disebut   untuk   dewa   sesuai   dengan   bidang   yang   netral,   tidak   sulit 

mengunifikasikannya misal; KUHAP, tidak sulit dalam hak ;

         Perasaan dan pemikiran anggota masyarakat untuk menyatukan peraturan-peraturannya.

         sedangkan mengenai isinya tetap menghadapi kesulitan yang tak terhingga, misal bidang perdagangan 

dalam perdata yang berhubungan dengan perjanjian, bidang  ini  sudut  isinya tetap tidak sangat sulit 

perasaan anggota masyarakat untuk menyatukannya.

          mungkin   di   mintakan   masukan   yang   diperlukan   oleh   pihak   yang   merasa   bersangkutan   dengan 

masalahnya,  hal  yang diangkat   tersulit  dalam dalam bidang  hukum yang berhubungan dengan rasa 

kepercayaan keagamaan. Misalnya; bidang kekeluargaan, namun untuk bidang  ini   ini  telah di rumus 

dengan suatu idang hukum yang berat.

d.           Kondifikasi Menurut teori ada 2 macam kodifikasi hukum, yaitu ;

         Kodifikasi  terbuka

Kodifikasi   terbuka   adalah   kodifikasi   yang   membuka   diri   terhadap   terdapatnya   tambahan   – 

tambahan   diluar induk kondifikasi.   Pertama atau semula maksudnya induk permasalahannya sejauh 

yang   dapat   dimasukkan   ke   dalam   suatu   buku   kumpulan   peraturan   yang   sistematis,tetapi   diluar 

kumpulan   peraturan   itu   isinya  menyangkut   permasalahan   di   luar   kumpulan   peraturan   itu   isinya  

menyangkut   permasalahan   –   permasalahan   dalam   kumpulan   peraturan   pertama   tersebut.   Hal   ini 

dilakukan berdasarkan atas kehendak perkembangan hukum itu sendiri sistem ini mempunyai kebaikan 

ialah;

“ Hukum dibiarkan berkembang menurut kebutuhan masyarakat dan hukum tidak lagi disebut sebagai 

penghambat kemajuan masyarakat hukum disini diartikan sebagai peraturan “.

         Kodifikasi tertutup 

    Adalah semua hal yang menyangkut permasalahannya dimasukan ke dalam kodifikasi atau buku 

kumpulan peraturan.

Cacatan;

Dulu  kodifikasi   tertutup  masih  bisa  dilaksanakan  bahkan   tentang  bidang   suatu  hukum  lengkap  dan 

perkasanya perubahan kehendak masyarakat  mengenai  suatu bidang hukum agak   lambat.  Sekarang 

nyatanya kepeningan hukum mendesak agar dimana-mana yang dilakukan adalah Kodifikasi Terbuka.

 Isinya;

1. Politik hukum lama

2. Unifikasi di zaman Hindia Belanda (Indonesia) gagal

3. Penduduk terpecah menjadi;

a. penduduk bangsa Eropa

b. Penduduk bangsa Timur Asing

c. Pendudk bangsa pribadi (Indonesia)

4. pemikiran bangsa Indonesia terpecah-pecah pula.

5. Pendidikan bangsa indonesia:

a. Hasil Pendidikan Barat.

b. Hasil Pendidikan Timur

G.       Politik Hukum Baru Politik   hukum   baru   di   Indonesia   muali   pada   tanggal   17   Agustus   1945   (versi   Indonesia). 

Kemerdekaan  Indonesia  Belanda adalah;  19 desember 1949 yaitu sewaktu adanya KMB di  Denhaag 

(Belanda).

Apa syarat untuk membuat atau membentuk Politik Hukum sendiri bagi suatu negara;

1. Negara tersebut negara Merdeka.

2. Negara tersebut yang mempunyai Kedaulatan keluar dan kedalam

a. Kedaulatan keluar ; Negara lain mengakui bahwa Negara kita merdeka.

b. Kedaulatan kedalam; Kedaulatan Negara diakui oleh seluruh Warga Negara.

3. Ada keinginann untuk membuat  hukum yang tujuannya untuk mensejahterakan Masyarakat.

Sumber-sumber hukum bagi Politik antara lain :

1.      Konstitusi

2.      Kebajiakan (tertulis atau undang-undang)

3.      Kebijakan tertulis atau tidak. 

Seperti :

1. UUD 1945

2. Perbidang atau perlapangan hukum

-          perdata, pidana, dagang, tata usaha negara, tata negara.

-          ex : di sektor ekonomi, ketenaga kerjaan, Accantung, management, sosial politik, politik bisnis.

3. Kebijakan tidak tertulis dengan hukum adatnya.

Adat kita menyatu dengan sumber politik Hukum:

Contoh :

1. Hukum perkawinan, UU No. 1 1974 tetapi masih menyelenggarakan pertunangan.

2. Adanya pelarangan menikah antara 2 Agama yang berbeda.

Apa bahan baku dari politik Hukum (Indonesia hukum nasional yang baru)

1. Hukum Islam

2. Hukum Adat 

3. Hukum Barat

Pihak ytang tersebut dalam pembentukan Politik Hukum :

1. Negara ~ pemerintah

2. Parpol ~ partai.

3. Para Pakar ~ ahli hukum dengan tulisan dan doktren dan pendapat.

4. Warga Negara ~ Kesadaran Hukumnya ~ bila warga negara kesadraan hukum tinggi maka politik 

hukumnya tinggi begitu sebaliknya.

Bagi Indonesia politik Hukum dicantumkan dalam :

1. Konsitusi = garis besar politik Hukum.

2. UU = ketentuan Incroteto = ketentuan yang berlaku.

3. Kebijaksanaan yang lain = pelengkap untuk pemersatu.

4. Adat = Berupa Nilai.

5. GBHN = Berupa Program

6. Hukum Islam , yang diambil adalah nilainya.

            Sedangkan dari sisi produk Perundang-undangan. Terjadi perubahan Politik Hukum, yakni: dengan 

dikeluarkannya beberapa UU yang semula belum ada, yakni :

1. UU No 14 tahun 1970 Tentang  ketentuan kekeuasaan kehakiman.

2. UU No 5 Tahun 1960 Tentang ketentuan pokok Agraria.

3. UU lingkungan Hiduop.

4. UU Perburuhan.

5. UU Perbankan, Dsb.

1.      Kemudian Prof. HAZAIRIN berpendapat bahwa :

         Di Pakainya Hukum Adsat sebagai sumber Hukum Nasional telah disebakan Hukum Adat sudah Eksis 

dalam budaya dan perasaan Bangsa Indonesia.

          Di   pakainya  Hukum  Islam   sebagai   sumber  Hukum Nasional   karena  mayoritas  Penduduk   Indonesia 

beragama Islam ~ Iman.

         Terhadap Hukum Adat dan Hukum Islam tersebut hanya diambil asas-asasnya saja.

           Hukum Barat dijadikan sumber Hukum Nasional  juga berkaitan dengan urusan-urusan Internasional 

atau berkaitan dengan Hukum atau perdagangan Internasional.

2.       Tahun 1979,  PURNADI dan SURYONO   SUKAMTO menyatakan:  Hukum Negara (Tata Negara)  adalah 

Struktur  dan proses perangkaat kaedah-kaedah Hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat 

tertentu serta bwerbentuk tertulis.

3.      Tahun 1986, JOHN BALL menyatakan : Persoalan Hukum di Indonesia adalah persoalan dalam rangka 

mewujudkan Hukum Nasional di Indonesia, yaitu persoalan yang terutama bertumpu pada realita alam 

Indonesia.

4.      Tahun 1966, UTRECHT membuat buku dengan judul “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”.

5.       Tahun  1977,  AHMAD SANUSI  menyatakan  PTHI  hendaknya  dipahami   sebagai  penguraian  Deskritif-

Analistis yang tekanannya lebih dikhususkan bagi Ilmu Hukum Indonesia, menjelaskan sifat-sifat spesifik 

dari Hukum Indonesia dengan memeberikan contoh-contohnya sendiri.

         Persoalan Hukum di Indonesia dan Negara-negara baru lainnya tidak hanya sekedar penciptaan Hukum 

baru yang dapat ditujukan pada hubungan Perdata dan Publik dengan karekteristiknya yang telah cukup 

diketahui.

         Harus diusahakan pendobrakan cara berpikir Hukum kolonial dan penggantinya dengan cara berpikir 

yang didorong oleh kebutuhan menumbuhkan Hukum setempat bagi Negara yang telah merdeka.

6.       Tahun 1978 ,  DANIEL S.  LEV menlis  aspek Politiknya dengan menyatakan dan kedudukan Hukum di 

Negara republik   indonesia sebaian besar merupakn perjuangan yang hanya dapat dimengerti secara 

lebih baik dengan memahami Sosial Poltik daripada kultural.

         Hukum Indonesia harus memberi tempat kepada Rasa Hukum, Pengertian Hukum,Paham Hukum yang 

khas (Indonesia).

         Hendaknya ada pelajaran Hukum indonesia.

7.      Tahun 1952, DORMEIER membuka wacana dengan cara :

         menulis  buku “Pengantar Ilmu Hukum”   (buku PIH karangannya ini adalah buku PIH pertama dalam 

Bahasa Indonesia).

         Menukis bentuk-bentuk khusus Hukum yang berlaku di Indonesia.

8.      Tahun 1955, LEMAIRE Deskripsi Hukum Indonesia.

9.      Tahun 1965, DANIEL S.LEV. menyatakan Transformasi yang sesungguhnya terhadap ;

         Hukum masa Kolonial, terutama tergantung dari pembentukan Ide-ide baru, yang akan mendorong ke 

arah bentuk Hukum yang sama sekali berbeda dengan Hukum Kolonial.

          Sejak   sebelum   kemerdekaan   sesudah   kemerdekaan  Republik   Indonesia   sudah  banyak  usulan   agar 

Negara Republik  indonesia memiliki  Hukum Politik dsendiri,  bukan Politik Hukum yang sama dengan 

Politik Hukum Belanda. Usulan-usulan tersebut.

10.  Tahun 1929, KLEINTJES menulis dalam sebuah buku, yang isinya :

         Pokok-pokok Hukun Tentang Negara dan Hukum Antar Negara yang berlaku di Hindia Belanda.

         Beberapa aspek pranata Hukum yang dijumpai  di Hindia Belanda.

11.  Tahun 1932, VAN VOLLEN HOVEN dalam pidatonya yang brjudul “Romantika Dalam Hukum indonesia” 

menyatakan :

         Hukum Indonesia harusnya menuju “Hukum Yang Mandiri” dan jangan hanya menjadi tambahan saja 

bagi Hukum Belanda di Hindia Belanda.

          Ideaalnya, sejak Tahun 1945 Indonesia sudah memiliki  Politik Hukumnya sendiri  yang sesuai dengan 

situasi dan kondisi Bangsa Indonesia

H.       Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia

a.             Peranan Struktur dan Infrastruktur Politik Menurut  Daniel  S.  Lev,  yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi  dan struktur 

kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat 

hukum  dalam  negara,   tergangtung   pada   keseimbangan   politik,   defenisi   kekuasaan,   evolusi   idiologi 

politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya (Daniel S. Lev, 1990 : xii).

Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan 

maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan 

hukum mengalami hal  yang sama, yakni  konsepsi  dan struktur  kekuasaan politiklah yang berlaku di 

tengah   masyarakat   yang   sangat   menentukan   terbentuknya   suatu   produk   hukum.   Maka   untuk 

memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari   latar belakang 

kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur 

sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.

Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu 

perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula 

mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam 

kenyataan (Lihat Mieke Komar at. al, 2002 : 91).

Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik 

melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada 

dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup 

kata  “process”  dan   kata  “institutions,”  dalam  mewujudkan   suatu   peraturan   perundang-undangan 

sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang 

oleh   suatu   institusi   politik   yang   sangat  dpengarhi   oleh   kekuata-kekuatan  politik   yang  besar  dalam 

institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik 

diartikan   sebagai   kemampuan   untuk   mempengaruhi   kebijaksanaan   umum   (pemerintah)   baik 

terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan (M.Kusnadi,  SH.,  2000 : 

118). Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang 

duduk  dalam  institusi  politik   itu  adalah   sangat  menentukan.   Institusi  politik   secara   resmi  diberikan 

otoritas   untuk  membentuk   hukum  hanyalah   sebuah   institusi   yang   vacum   tanpa   diisi   oleh  mereka 

diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang 

kekuasaan politik. Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki 

oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan 

lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya dan 

sisi  kekuatan  politik  dari   infrastruktur  politik  adalah  seperti:  partai  politik,   tokoh-tokoh  masyarakat, 

organisasi   kemasyarakatan,   Lembaga   Swadaya  Masyarakat,   organisasi   profesi   dan   lain-lain.  Dengan 

demikian dapatlah disimpilkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan 

politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.

Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum yang berpengaruh kuat 

terhadap   konsep-konsep   dan   implementasi   kehidupan   hukum   di   Indonesia   adalah   teori   hukum 

positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai 

jenis  hukum yang berlaku di   Indonesia  bahkan telah merambat  ke  sistem hukum  internasional  dan 

tradisional (Lili Rasjidi, SH., 2003 : 181). Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat, 

pengaruh  aliran  poisitvis  adalah  sangat  dominan.  Apa  yang  disebut  hukum selalu  dikaitkan  dengan 

peraturan  perundang-undangan,   di   luar   itu,   dianggap  bukan  hukum dan  tidak  dapat   dipergunakan 

sebagai   dasar   hukum.   Nilai-nilai   dan   norma   di   luar   undang-undang   hanya   dapat   diakui   apabila 

dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang 

yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.

Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan 

berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang 

dasar   1945   (UUD  1945)   setelah   perubahan.   Jika   diteliti   lebih   dalam  materi   perubahan  UUD   1945 

mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-

masing   lembaga-lembaga  negara,  mempertegas   batas-batas   kekuasaan   setiap   lembaga   negara  dan 

menempatkannya   berdasarkan   fungsi-fungsi   penyelenggaraan   negara   bagi   setiap   lembaga   negara. 

Sistem   yang   demikian   disebut   sistem  “checks and balances”,  yaitu   pembatasan   kekuasaan   setiap 

lembaga   negara   oleh   undang-undang   dasar,   tidak   ada   yang   tertinggi   dan   tidak   ada   yang   rendah, 

semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.

Dengan   sistem  yang  demikian,  memberikan   kesempatan   kepada   setiap  warga  negara   yang 

merasa  dirugikan  hak  konstitusionalnya  oleh produk  politik  dari   instutusi  politik  pembentuk  hukum 

untuk   mengajukan   gugatan   terhadap   institusi   negara   tersebut.   Dalam   hal   pelanggaran   tersebut 

dilakukan  melalui   pembentukan  undang-undang  maka  dapat   diajukan   keberatan   kepada  Mahkmah 

Konstitusi  dan dalam hal segala produk hukum dari   institusi  politik  lainnya dibawah undang-undang 

diajukan kepada Mahkamah Agung.

b.           Pengaruh Kelompok Kepentingan dalam Pembentukan Hukum Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-

kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh 

institusi-institusi  politik.  Kekuatan tersebut  berbagai  kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui 

keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, 

seperti kalangan pengusaha,   tokoh  ilmuan,  kelompok organisasi  kemasyarakatan,  organisasi  profesi, 

tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang 

Pembentukan   Peraturan   Per-Undang-Undangan,   dalam   Bab.   X   menegaskan   adanya   partisipasi 

masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan 

atau tertulis  dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan 

Peraturan Daerah.”

Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengarh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan 

hukum,  mendapat  tempat  dan apresiasi  yang begitu  luas.  Apalagi  sejak  tuntutan masyarakat  dalam 

mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru di 

bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di 

segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu 

besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik 

Walter   Lippmann,  bahwa  opini  massa   telah  memperlihatkan  diri   sebagai   seorang  master  pembuat 

keputusan yang berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati (Walter Lippmann, 

1999 : 21).

Kenyataan   yang   perlu   disadari,   bahwa   intensnya   pengaruh   tuntutan  masyarakat   terhadap 

pembentukan   hukum   dan   lahirnya   keputusan-keputusan   hukum   dapat   terjadi   jika   tuntutan   rasa 

keadilan  dan   ketertiban  masyarakat  tidak   terpenuhi   atau   terganggu  Karena   rasa   ketidakadilan  dan 

terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin 

besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau 

keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.

Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para lawmaker

adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu :”Kalu opini umum sampai mendomonasi 

pemerintah,   maka   disanalah   terdapat   suatu   penyelewengan   yang  mematikan,   penyelewengan   ini 

menimbulkan   kelemahan,   yang   hampir   menyerupai   kelumpuhan,   dan   bukan   kemampuan   untuk 

memerintah (Ibid, : 15). Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting 

memperhatikan   suara   dari   kelompok   masyarakat   yang   mayoritas   yang   tidak   punya   akses   untuk 

mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disnilah peranan 

para   wakil   rakyat   yang   terpilih  melalui   mekanisme   demokrasi   yang   ada   dalam   struktur   maupun 

infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, 

kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.

c.             Sistem Politik IndonesiaUntuk  memahami   lebih   jauh   tentang  mekanisme   pembentukan  hukum  di   Indonesia,   perlu 

dipahami   sistem   politik   yang   dianut.   Sistem   politik   mencerminkan   bagaimana   kekuasaan   negara 

dijalankan oleh lembaga-lembaga negara dan bagaimana meknaisme pengisian jabatan dalam lembaga-

lembaga negara itu dilakukan. Inilah dua hal penting dalam mengenai sistem politik yang terkait dengan 

pembentukan hukum.

Beberapa prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait dengan uraian ini adalah sistem 

yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini 

saling terkait dan saling mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya 

sistem politik ideal yang dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu pemisahan 

kekuasaan   - check and balances -  prinsip due process of law,  jaminan  kekuasaan  kehakiman yang 

merdeka   dan   jaminan   serta   perlindungan   terhadap   hak-hak   asasi   manusia.   Prinsip   konstitusional 

mengharuskan   setiap   lembaga-lembaga  negara  pelaksana   kekuasaan  negara  bergerak  hanya  dalam 

koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang diberikan konstitusi.

Dengan prinsip demokrasi partisipasi publik/rakyat berjalan dengan baik dalam segala bidang, 

baik pada proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur politik,  maupun dalam proses penentuan 

kebijakan-kebijakan   yang   diambil   oleh   berbagai   struktur   politik   itu.   Karena   itu   demokrasi   juga 

membutuhkan   transparansi   (keterbukaan   informasi),   jaminan   kebebasan   dan   hak-hak   sipil,   saling 

menghormati dan menghargai serta ketaatan atas aturan dan mekanisme yang disepakati bersama.

Dengan sistem politik yang demikianlah berbagai produk politik yang berupa kebijakan politik 

dan peraturan perundang-undangan dilahirkan. Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah produk 

politik sebagai sumber hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum diharapkan – 

sebagaimana yang dianut aliran positivis  – mengakomodir  segala kepentingan dari  berbagai   lapirsan 

masyarakat,   nilai-nilai   moral   dan   etik   yang   diterima   umum   oleh  masyarakat.   Sehingga   apa   yang 

dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan oleh 

institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan etik dianggap telah termuat dalam 

perundang-undangan   itu  karena   telah  melalui  proses  partisipasi   rakyat  dan  pemahaman atas   suara 

rakyat.  Dalam hal  produk  itu  dianggap melanggar  norma-norma dan nilai-nilai  yang mendasar  yang 

dihirmati oleh masyarakat dan merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka rakyat dapat 

menggugat   negara   (institusi)   tersebut   untuk  mebatalkan   peraturan   yang   telah   dikeluarkannya   dan 

dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai moral dan etik, kepentingan-kentingan rakyat yang ada 

dalam   kenyataan-kenyataan   sosial   tetap   menjadi   hukum   yang   dicita-citakan   yang   akan   selalui 

mengontrol   dan   melahirkan   hukum   positif   yang   baru   melalui   proses   perubahan,   koreksi   dan 

pembentukan perundangan-undangan yang baru.

BAB IIIPENUTUP

A.       Kesimpulan Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari  akar falsafah pemikiran yang dominan dalam 

kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai  hukum serta  apa yang diyakini  sebagai 

sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa 

yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran 

positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam 

peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan 

perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem 

hukum   Indonesia   ke   depan.   Adapun   nilai-nilai   moral   dan   etika   serta   kepentingan   rakyat   dalam 

kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang 

baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak 

tertulis, yang sifatnya religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual), sebagai hukum asli Indonesia 

semakin tergeser digantikan oleh paham positivis. Menurut Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada 

penegakan hukum serta kekecewaan pada aturan hukum sebagian besarnya diakibatkan oleh situasi 

bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut serta proses pembentukan hukum dan putusan-

putusan hukum yang tidak demokratis.

B.         Saran 1.                     Kita sebagai masyarakat    Indonesia seharusnya kita tau bagaimana system penerintahan di Indonesia.

2.                     Penegak hokum harus bertidak demokratis dan  jangan penah menyepelekan hukum karena hukum    

adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad  Ali,  Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,  Cet.   II,   Penerbit  Gunung 

Agung, Jakarta, 2002.

Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.

Lili Rasyidi & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung 

2001.

Bushar Muhammad,  Asas_Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar,  Cet. ke 4, Pradnya Paramita, Jakarta, 

1983.

Fletcher, George P, Basic Concepts of Legal Thougt, Oxford University Press, New York, 1996.

Amirin, Tatang M. 1987. Pokok-pokok Teori Sistem. Jakarta: CV. Rajawali.

Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Jakarta: Ghalia Indonesia.

Fuady, Munir. 2007. Perbandingan Ilmu Hukum. Bandung: Refika Aditama.

Suherman,   Ade  Maman.   2004.  Pengantar Perbandingan Sistem Hukum.  Jakarta:   PT.   Raja  Grafindo 

Persada.

Mustafa, Bachsan. 2003. Sistem Hukum Indonesia terpadu. Bandung: PT. Citra Aditya