sistem informasi dan komunikasi bencana
DESCRIPTION
Manajemen BencanaTRANSCRIPT
![Page 1: Sistem Informasi dan Komunikasi Bencana](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022072106/563dbb77550346aa9aad67c9/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bencana terjadi secara mendadak atau berangsur-angsur dan akibat yang
ditimbulkan sangat merugikan masyarakat, sehingga masyarakat dipaksa untuk
melakukan tindakan penanggulangan secara cepat dan tepat. Disamping itu,
akibat dari bencana dapat pula menimbulkan pengungsian secara besar-besaran.
Pada kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir bencana yang terjadi di Indonesia
semakin kompleks, baik bencana yang disebabkan oleh alam seperti gempa bumi,
gunung meletus, banjir, tanah longsor, atau karena ulah manusia seperti
kerusakan/konflik dan terorisme serta bencana akibat kegagalan teknologi,
kecelakan transportasi.
Penanggulangan krisis akibat bencana dapat dilakukan secara cepat, tepat, dan
baik apabila didukung oleh informasi dan komunikasi kejadian bencana serta
akibat yang ditimbulkannya secara cepat, tepat, dan akurat.
Bila dilihat dari jenis/macam data yang ada saat ini baik itu di Depkes,
Depsos, Bakomas PBP dan lain-lain instansi terkait, data dikumpulkan
berdasarkan kepentingan/kebutuhan operasional masing-masing, sehingga bila
akan digunakan, memerlukan konfirmasi ulang tentang kebenarannya.
Data/informasi yang dikumpulkan tersebut sebagian besar belum dikelola
secara baik, belum menggunakan formulir yang baku serta belum dilakukan oleh
petugas khusus yang terlatih, sehingga validitas dan reabilitasnya sering
dipertanyakan. Selain itu, mekanisme serta alur pengumpulan data yang baku
belum ada. Untuk mendapatkan informasi yang cepat, tepat dan akurat maka perlu
dikembangkan suatu Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Akibat Bencana
(SIPK-AB).
![Page 2: Sistem Informasi dan Komunikasi Bencana](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022072106/563dbb77550346aa9aad67c9/html5/thumbnails/2.jpg)
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sistem informasi dan komunikasi bencana?
2. Bagaimana peran komunikasi dalam situasi bencana?
3. Bagaimana peran sistem informasi dalam situasi bencana?
4. Apa saja jenis informasi dan waktu penyampaian saat penanggulangan situasi
bencana?
5. Apa saja sumber informasi yang dibutuhkan untuk penanggulangan bencana?
6. Bagaimana alur penyampaian informasi bencana?
7. Bagaimana pengelolaan data saat bencana?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sistem informasi dan komunikasi bencana.
2. Untuk mengetahui peran komunikasi dalam situasi bencana.
3. Untuk mengetahui peran sistem informasi dalam situasi bencana.
4. Untuk mengetahui jenis informasi dan waktu penyampaian saat
penanggulangan situasi bencana.
5. Untuk mengetahui sumber informasi yang dibutuhkan untuk penanggulangan
bencana.
6. Untuk mengetahui alur penyampaian informasi bencana.
7. Untuk mengetahui pengelolaan data saat bencana.
D. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini yaitu:
![Page 3: Sistem Informasi dan Komunikasi Bencana](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022072106/563dbb77550346aa9aad67c9/html5/thumbnails/3.jpg)
BAB I mengenai pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II mengenai pembahasan materi tentang sistem informasi dan komunikasi
bencana.
BAB III mengenai penutup yang berisikan simpulan dan saran mengenai makalah
sistem informasi dan komunikasi bencana.
DAFTAR PUSTAKA
![Page 4: Sistem Informasi dan Komunikasi Bencana](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022072106/563dbb77550346aa9aad67c9/html5/thumbnails/4.jpg)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sistem Informasi dan Komunikasi Bencana
Bencana merupakan suatu kejadian, secara alami maupun karena ulah
manusia, terjadi secara mendadak ataupun berangsur-angsur, menimbulkan akibat
yang merugikan sehingga masyarakat dipaksa melakukan tindakan
penanggulangan (Bakornas PB, 1999).
Sistem informasi merupakan kumpulan modul atau komponen yang dapat
mengumpulkan, mengelola, memproses, menyimpan, menganalisa dan
mendistribusikan informasi untuk tujuan tertentu (Turban et al, 1997).
Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide,
gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya, komunikasi
dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.
apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi
masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan
sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu.
Cara seperti ini disebut komunikasi nonverbal (Wikipedia, 2015).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sistem informasi bencana adalah suatu
kumpulan modul atau komponen mengenai kejadian-kejadian bencana mulai dari
pengumpulan, pengelolaan, proses, penyimpanan, analisa, dan pendistribusian
informasi mengenai bencana. Sedangkan komunikasi bencana merupakan suatu
proses penyampaian pesan mengenai bencana dari satu pihak kepada pihak lain
baik dilakukan secara verbal maupun non verbal.
B. Peran Komunikasi dalam Situasi Bencana
Penanganan bencana yang berlandaskan kepada peraturan, jika ditinjau dari
aspek legal, memang dapat dipertanggungjawabkan. Namun nuansa birokratis
![Page 5: Sistem Informasi dan Komunikasi Bencana](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022072106/563dbb77550346aa9aad67c9/html5/thumbnails/5.jpg)
yang berbelit – belit, tetap tidak bisa dihindari. Karena itu, mengingat aspek legal
wajib dijalankan, sedangkan penanganan bencana harus dilakukan dengan cepat,
maka peran komunikasi dalam menyampaikan informasi secara cepat, merupakan
salah satu jalan untuk mendukung penanganan bencana yang eskalasinya
meningkat.
Myers dan Myers (1988: 4) berpendapat, bahwa komunikasi dimaksudkan
untuk berbagi informasi dan mengurangi kekakuan dalam organisasi. Jadi,
komunikasi dapat menciptakan suatu fleksibilitas dalam melaksanakan kegiatan
organisasi tanpa harus melakukan penyimpangan terhadap peraturan yang ada.
Dalam pemikiran konvensional, komunikasi merupakan pengungkapan diri
yang berjalan sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku sebagai hak dan
kewajiban setiap orang yang terlibat didalamnya (Littlejohn&Foss, 2009 :189).
Dengan demikian, komunikasi dapat menciptakan fleksibilitas dalam pelaksanaan
kegiatan, namun tetap berpijak kepada aturan dan norma yang disepakati
bersama.
Menurut Bachtiar Chamsah (2007: 9), dalam implementasi penanggulangan
bencana, pemerintah daerah harus menyusun Contingency Plan Penanggulangan
Bencana, yang mencakup analisa daerah rawan bencana, identifikasi potensi dan
sistem sumber yang dapat dimobilisasi, menentukan kebijakan serta langkah
strategis jika terjadi bencana.
Pada kontek ini, masyarakat harus diposisikan sebagai subyek, bukan sebagai
obyek dalam penanggulangan bencana, sehingga mereka mengetahui ancaman di
wilayahnya dan mampu meningkatkan kapasitas menghadapi ancaman melalui
Program Penanggulangan Bencana Berbasiskan Masyarakat. Karena itu,
diperlukan deregulasi sistem pengawasan dan pengendalian bencana dengan
aturan khusus dalam kondisi darurat, yang bisa memangkas birokrasi pemberian
bantuan dan mempersingkat proses komunikasi berjenjang menjadi pola
komunikasi yang integratif dalam waktu yang cepat.
![Page 6: Sistem Informasi dan Komunikasi Bencana](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022072106/563dbb77550346aa9aad67c9/html5/thumbnails/6.jpg)
Kecepatan dalam komunikasi untuk pengambilan keputusan dan sistem
komunikasi yang terhubung antar lembaga peduli bencana, akan meminimalisir
jatuhnya korban. Acuan penanggulangan bencana dapat berjalan lancar jika
manajemen informasi bencana dikelola dengan interaktif. Harjadi (2007:17),
mengungkapkan acuan penanggulangan bencana, tidak bisa lepas dari fungsi
komunikasi, yang memberikan sinyal untuk mengurangi ketidakpastian, sebagai
berikut :
1. Memasang sarana diseminasi informasi, termasuk ”dedicated link” (saluran
Komunikasi khusus), radio Internet, server untuk system “5 in One”dan
sirene, sehingga informasi dari BMG dapat diterima secepat – cepatnya.
2. Membuat peta jalur evakuasi dan zona evakuasi dan rambu–rambu bahaya
bencana.
3. Membangun shelter pengungsian yang dilengkapi dengan jalan dari
pemukiman penduduk ke shelter, serta sarana dan prasarana darurat di
pengungsian.
4. Mengadakan pelatihan evakuasi baik untuk masyarakat maupun aparat terkait,
secara berkala 2 (dua) kali setahun, dalam rangka meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.
5. Memfasilitasi peningkatan pemahaman masyarakat melalui Pendidikan formal
dan nonformal.
Tindakan – tindakan tersebut diatas, berkaitan dengan konsep – konsep
komunikasi Bower dan Bradac. Misalnya dalam membuat peta jalur evakuasi dan
membangun shelter pengungsian, selayaknya jika diperhatikan komunikasi
sebagai pertukaran gagasan verbal, proses interaksi yang saling memberikan
pemahaman, mengurangi ketidakpastian, penyampaian pesan dan transfer
pemahaman, proses untuk menghubungkan satu entitas dengan entitas lain.
Sedangkan dalam pelatihan dan peningkatan pemahaman kepada masyarakat,
![Page 7: Sistem Informasi dan Komunikasi Bencana](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022072106/563dbb77550346aa9aad67c9/html5/thumbnails/7.jpg)
menyangkut pula komunikasi sebagai proses yang mendorong suatu tindakan
untuk menguasai dengan memanfaatkan saluran untuk mengirimkan pesan,
mengeluarkan stimulus untuk memperoleh respon yang diharapkan, memiliki
maksud untuk mendorong munculnya perilaku yang dikehendaki. Mengingat
komunikasi juga terkait respon yang berbeda, ketersediaan waktu dan situasi,
maka selayaknya jika institusi pemerintah sebagai pihak yang berhubungan
langsung dengan penanganan bencana, harus membuat pusat informasi bencana
yang mengeluarkan informasi standar, faktual dan mudah diakses oleh
masyarakat. Sebab bagaimanapun juga komunikasi adalah kekuatan untuk
mempengaruhi khlayak.
Standarisasi informasi bukan berarti menghentikan kebebasan menyampaikan
informasi, tetapi demi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, agar
mereka dapat melakukan dengan bertumpu kepada kekuatan dan pengalaman diri
sendiri, dalam meminimalisir dampak negatif, jika sewaktu – waktu muncul
bencana di lingkungannya. (Susanto, 2006). Namun memang tidak mudah untuk
mengelola bencana dalam perspektif yang integratif, dalam arti ada
kesinambungan komunikasi antar unit – unit yang ada sebagai pihak yang
bertanggungjawab terhadap peristiwa bencana. Bukan rahasia umum lagi,
problem koordinasi sebagaimana dalam job description lembaga sub – ordinat
kekuasaan negara, sering dibelenggu oleh lemahnya komunikasi antar unit akibat
menjalankan birokrasi yang teramat kaku.
Implikasinya informasi seputar bencana dikeluarakan tidak kontinyu tetapi
muncul pada saat tertentu dalam belenggu hiruk pikuk saat terjadi bencana yang
bukan mustahil tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Bagiamanapun juga,
penyebaran informasi untuk mencegah jatuhnya korban, maupun untuk
menyelamatkan nyawa manusia, tidak bisa dilakukan secara sporadis dan kurang
menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Disisi lain, hak atas informasi adalah hak
yang melekat dalam diri manusia (Haryanto, 2010:7). Karena itu, penetapan
standar informasi bencana yang terkoordinasi dengan baik, harus disebarluaskan
![Page 8: Sistem Informasi dan Komunikasi Bencana](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022072106/563dbb77550346aa9aad67c9/html5/thumbnails/8.jpg)
dengan memanfaatkan saluran komunikasi yang ada di masyarakat, seperti media
massa dan media alternatif lain.
Boykoff dan Robert (dalam Susanna Hornig Priest, 2010: 145), menyatakan
bahwa, liputan media massa menjadi kontributor utama dalam memberikan
pemahaman kepada masyarakat maupun tindakan yang harus diambil dalam
menghadapi berbagai isu tentang lingkungan, teknologi dan resiko yang akan
terjadi. Sedangkan McQuail (2005:57) menyatakan, khalayak media massa yang
berjumlah besar, tersebar luas, heterogin dan tidak terorganisir bisa dipengaruhi
oleh liputan media.
C. Peran Sistem Informasi dalam Situasi Bencana
1. Tujuan sistem informasi bencana
a. Tujuan umum, yaitu tersedianya informasi penanggulangan krisis akibat
bencana yang cepat, tepat, akureat dan sesuai kebutuhan untuk
optimalisasi upaya penanggulangan.
b. Tujuan khusus, yaitu tersedianya informasi pada tahap pra, saat dan pasca
bencana serta tersedianya mekanisme pengumpulan, pengelolaan,
pelaporan informasi masalah kesehatan akibat bencana mulai dari tahap
pengumpulan sampai penyajian informasi.
2. Sasaran sistem informasi bencana
Sasaran sistem informasi bencana adalah seluruh jajaran kesehatan di tingkat
Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota sampai Puskesmas.
3. Ruang lingkup sistem informasi bencana
Ruang lingkup Pengembangan Sistem Informasi Penanggulangan Krisis
Akibat Bencana (SIPK-AB) meliputi:
a. Jenis informasi dan waktu penyampaian
![Page 9: Sistem Informasi dan Komunikasi Bencana](https://reader036.vdocuments.pub/reader036/viewer/2022072106/563dbb77550346aa9aad67c9/html5/thumbnails/9.jpg)
b. Sumber informasi
c. Alur dan mekanisme penyampaian informasi
d. Pengelolaan data