sistem informasi akuntansistaffnew.uny.ac.id/upload/198508072015042002/penelitian/kejaha… ·...
TRANSCRIPT
LAPORAN HASIL PENELITIAN
SISTEM INFORMASI AKUNTANSI
Judul:
KEJAHATAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM PERSPEKTIF UMKM: STUDI
KASUS DI KOTA YOGYAKARTA
Kegiatan ini dibiayai oleh Dana DIPA FE UNY Tahun Anggaran 2019 berdasarkan Surat
Perjanjian B/10/UN34.18/PM.01.01/2019
Disusun Oleh
Afrida Putritama, S.E., M.Sc.Ak./NIP. 19850807 201504 2 002
Diana Rahmawati, S.E., M.Si./NIP. 19760207 200604 2 001
Ratna Yudhiyati, S.E., M.Comm./NIP. 11709920 503657
Alif Mundi Adi/NIM. 15803241043
Dwi Novita Sari/NIM. 15803241006
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
TAHUN 2019
RG-FE-285
ii
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN RESEARCH GROUP
iii
ABSTRAK PENELITIAN
Pertumbuhan ekonomi dan persaingan bisnis saat ini menuntut Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM) untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam kegiatan bisnis. Akan
tetapi, masalah baru muncul karena UMKM rentan menjadi korban kejahatan teknologi
informasi. Oleh karena itu, pemahaman tentang kejahatan teknologi informasi adalah keahlian
yang perlu dimiliki oleh pelaku UMKM demi mempersiapkan mereka dalam menghadapi
persaingan pasar saat ini.
Penelitian ini akan menggali lebih jauh tentang kejahatan teknologi informasi, dan
bagaimana perspektif UMKM dari berbagai jenis usaha dan ukuran yang berbeda memandang
hal tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk mengidentifikasi
langkah-langkah yang diambil untuk meminimalisir risiko yang dihadapai UMKM terkait
pemanfaatan teknologi informasi secara spesifik di berbagai jenis dan ukuran usaha.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pendekatan metode kualitatif yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi kasus pada UMKM di kota
Yogyakarta. Responden penelitian dipilih secara proporsional untuk merepresentasikan ukuran
usaha yang berbeda (mikro, kecil, dan menengah). Terdapat lima UMKM yang menjadi
responden pada penelitian ini.
Penelitian ini menemukan bahwa tingkat pemahaman responden UMKM terhadap jenis-
jenis fraud teknologi informasi dipengaruhi oleh tingkat kompleksitas teknologi informasi
yang mereka gunakan dan pengalaman mereka dalam menjadi target pelaku fraud teknologi
informasi. Akan tetapi, penelitian ini juga menemukan bahwa bahwa kesadaran dan
pemahaman responden terhadap risiko fraud teknologi informasi masih bersifat dangkal.
Mereka cenderung masih memandang risiko ini sebagai hal asing yang tidak relevan bagi bisnis
mereka. Hal ini ditunjukan oleh rendahnya minat mayoritas responden untuk mempelajari lebih
dalam risiko fraud teknologi informasi dan kesediaan mereka untuk melakukan investasi
peningkatan keamanan teknologi informasi
Kata kunci: perspektif, UMKM, adopsi teknologi informasi, kejahatan teknologi
informasi
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................................. ii
ABSTRAK PENELITIAN .................................................................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
B. Pembatasan Masalah ............................................................................................................ 3
C. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 3
D. Tujuan Penelitian .................................................................................................................. 3
E. Manfaat Penelitian ............................................................................................................... 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................................................... 5
A. Perspektif ............................................................................................................................. 5
B. Usaha Menengah, Kecil, dan Mandiri .................................................................................... 5
C. Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bisnis ......................................................................... 6
D. Konsep Fraud ........................................................................................................................ 7
E. Kejahatan Teknologi Informasi .............................................................................................. 8
F. Kejahatan Teknologi Informasi dalam Perspektif UMKM ........................................................ 8
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................................................... 10
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan yang Digunakan ................................................................ 10
B. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel .................................................................... 10
C. Pengumpulan Data ............................................................................................................. 12
D. Prosedur Analisis Data ........................................................................................................ 13
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................... 15
A. Profil Responden ................................................................................................................ 15
B. Hasil Penelitian ................................................................................................................... 16
C. Analisis dan Pembahasan .................................................................................................... 23
BAB V SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................................... 25
A. Simpulan ............................................................................................................................ 25
B. Saran .................................................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 27
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Berbagai Jenis Fraud menurut Korbannya ........................................................................ 7
Tabel 2. Kategori Ukuran Perusahaan ......................................................................................... 10
Tabel 3. Profil Responden ........................................................................................................... 15
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan semakin ketatnya persaingan bisnis, pemanfaatan teknologi oleh
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi suatu kebutuhan. Kondisi ini
didukung oleh beberapa hasil studi yang sudah ada. Cataldo dan McQueen (2013)
menemukan bahwa adopsi teknologi informasi dibutuhkan oleh UMKM untuk dapat tetap
bersaing, terutama jika UMKM terebut beroperasi di industri yang menggunakan
teknologi informasi secara umum. Bahkan ketika UMKM yang mengadopsi teknologi
informasi tersebut beroperasi di indutri yang belum umum menggunakan teknologi
informasi, UMKM yang mengadopsi teknologi informasi akan memiliki keunggulan
kompetitif dibandingkan pesaingnya.
Besarnya dampak teknologi informasi bagi UMKM mendorong banyaknya
penelitian tentang topik ini. Penelitian tentang adopsi teknologi informasi oleh UMKM di
Indonesia umumnya menganalisis tentang sejauh apa pemanfaatan teknologi informasi
oleh UMKM atau bagaimana persepsi mereka terhadap pemanfaatan teknologi informasi
(Ahmad dan Sentosa 2012, Roosdhani, Wibowo, & Widiastuti 2012). Sebagian besar
penelitian sejenis ini menemukan bahwa tingkat adopsi teknologi informasi oleh UMKM
saat ini secara umum masih rendah (Iddris 2012, Ahmad dan Sentosa 2012). UMKM yang
enggan mengadopsi teknologi informasi umumnya memiliki beberapa masalah seperti; (1)
belum memadainya infrastruktur pendukung, (2) keahlian sumber daya manusia UMKM
yang masih terbatas, (3) besarnya biaya yang diperlukan untuk adopsi teknologi informasi,
(4) kengganan pelaku UMKM untuk mengubah proses yang biasanya dilakukan, (5)
kekhawatiran terhadap tingkat keamanan teknologi informasi yang digunakan, (6) profil
pelanggan UMKM yang berasal dari kelompok masyarakat yang enggan menggunakan
teknologi informasi, dan (7) belum adanya aturan dan hukum yang jelas, terutama terkait
e-commerce (Iddris 2012).
Kekhawatiran UMKM untuk mengadopsi teknologi informasi yang dilandasi oleh
keamanan teknologi informasi memang dapat dipahami. Penggunaan teknologi informasi
memang memiliki potensi besar untuk memberikan dampak positif bagi UMKM. Akan
tetapi, ketika sebuah entitas memutuskan untuk mengadopsi teknologi informasi, entitas
tersebut menghadapi berbagai risiko yang terkait dengan keamanan teknologi informasi
yang digunakan yang jika diabaikan akan menimbulkan berbagai masalah dan kerugian.
2
Risiko ini harus dipertimbangkan oleh UMKM ketika mereka memutuskan untuk
mengadopsi teknologi informasi, terutama karena UMKM memiliki risiko lebih besar
untuk menjadi korban kejahatan teknologi informasi. Keterbatasan sumber daya dan
modal yang dimiliki UMKM membuat UMKM jarang mendedikasikan sumber daya
khusus untuk menjaga keamanan teknologi informasi yang digunakan. Akibatnya, UMKM
sering dianggap sebagai salah satu calon korban potensial oleh pelaku kejahatan teknologi
informasi.
UMKM yang mengabaikan risiko teknologi informasi berpotensi untuk mengalami
beberapa kerugian yang secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni kerugian
langsung dan kerugian tidak langsung. Kerugian langsung umumnya terdiri dari kerugian
finansial langsung, seperti hilangnya aset perusahaan atau denda dari pemerintah karena
kelalaian perusahaan. Kerugian tidak langsung dapat terdiri dari rusaknya reputasi
UMKM, terganggunya operasi bisnis, bocornya informasi rahasia, dan blackmail dimana
pelaku kejahatan teknologi informasi mengambil alih akses dan kendali teknologi
informasi perusahaan dan meminta kompensasi (Rahman dan Lackey 2013).
UMKM adalah salah satu topik spesifik dari salah satu delapan isu strategis yang
dijabarkan pada Rencana Induk Penelitian (RIP) UNY 2016-2020, yakni terkait dengan
peningkatan kualitas dan kapabilitas SDM untuk pembangunan sosial, ekonomi, bidang
bahasa dan seni. UMKM memiliki peran sebagai salah satu pendukung perekonomian
Indonesia. Mengingat pentingnya teknologi informasi di dunia bisnis saat ini, langkah-
langkah nyata perlu diambil untuk membantu UMKM dalam mempersiapkan diri untuk
menghadapi segala risiko yang dapat muncul akibatnya pemanfaatan teknologi informasi.
Pada penelitian sebelumnya, peneliti telah melakukan studi eksplorasi terkait dengan
persepsi UMKM terhadap risiko yang dapat muncul dari penggunaan teknologi informasi.
Penelitian tersebut memberikan indikasi bahwa UMKM yang memiliki jenis usaha
berbeda (jasa, dagang, dan manufaktur) dan ukuran berbeda (mikro, kecil, dan menengah)
memiliki perbedaan persepsi pada beberapa topik tentang keamanan teknologi informasi
dan risikonya. UMKM yang beroperasi di bidang jasa dan dagang kemungkinan memiliki
persepsi yang berbeda dengan UMKM yang beroperasi di bidang manufaktur karena
mereka menggunakan teknologi informasi pada fungsi yang berbeda. Hal yang sama juga
terjadi pada sudut pandang ukuran usaha. Usaha yang termasuk pada kategori mikro dan
menengah kemungkinan memiliki persepsi yang berbeda karena mereka menggunakan
teknologi informasi dengan tingkat cangkupan yang berbeda. Informasi ini juga didukung
oleh beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa industri dan jenis usaha
3
mempengaruhi bagaimana sebuah perusahaan memanfaatkan teknologi informasi dan
seberapa efektif pemanfaatan teknologi informasi tersebut (Brynjolfsson & Hitt, 1995).
Oleh karena itu, ada kemungkinan usaha yang berbeda akan memandang risiko teknologi
informasi secara berbeda.
Penelitian ini menggali lebih jauh tentang kejahatan teknologi informasi, dan
bagaimana UMKM dari berbagai jenis usaha dan ukuran yang berbeda memandang hal
tersebut. Penelitian ini berfokus untuk memetakan perspektif UMKM tentang keamanan
sistem dan teknologi informasi bagi kegiatan bisnis secara khusus di berbagai jenis dan
ukuran usaha yang berbeda.
B. Pembatasan Masalah
Penulis membatasi fokus penelitian ini pada perspektif UMKM terhadap risiko
yang dapat muncul akibat pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan bisnis.
Penelitian ini tidak menilai pemahaman mereka terhadap kejahatan teknologi informasi.
Obyek penelitian ini hanya UMKM yang menggunakan teknologi informasi dengan jenis
yang akan dideskripsikan pada metodologi.
C. Rumusan Masalah
Permasalahan yang dijawab melalui penelitian ini adalah bagaimana kejahatan
teknologi informasi dalam perspektif UMKM dari berbagai jenis dan ukuran usaha.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana kejahatan teknologi informasi
dalam perspektif UMKM dari berbagai jenis dan ukuran usaha.
E. Manfaat Penelitian
UMKM adalah salah satu pilar ekonomi Indonesia. Semakin banyak UMKM yang
mengadopsi teknologi informasi karena tuntutan persaingan bisnis. Akan tetapi, adopsi
teknologi informasi oleh UMKM tidak mudah. Risiko baru akan muncul seiring dengan
penggunaan teknologi informasi. UMKM adalah pihak yang rentan menjadi sasaran
kejahatan teknologi informasi. Oleh karena itu, langkah-langkah penting perlu diambil
untuk mempersiapkan UMKM dalam adopsi teknologi informasi.
4
Penelitian ini mencoba menjawab permasalahan tersebut dengan memetakan
kejahatan teknologi informasi dalam perspektif berbagai UMKM dari jenis dan ukuran
yang berbeda. Informasi yang diperoleh dapat dijadikan dasar untuk mengambil langkah-
langkah aplikatif yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan kejahatan teknologi
informasi bagi UMKM secara khusus, sesuai dengan kebutuhan UMKM di tiap jenis dan
ukuran usaha yang berbeda-beda.
Penelitian ini menghasilkan dua jenis kontribusi. Pertama, penelitian ini
memberikan saran bagi pemerintah maupun lembaga yang berkepentingan tentang
bagaimana meningkatkan pemahaman UMKM tentang risiko fraud teknologi informasi.
Kedua, penelitian ini akan menambah dan memperbarui studi tentang risiko penggunaan
teknologi informasi pada UMKM yang jumlahnya masih terbatas, terutama untuk UMKM
yang ada di Indonesia.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Perspektif
Definisi perspektif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu cara
melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh
mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar, dan tingginya); sudut pandang atau pandangan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perspektif dalam konteks
penelitian ini adalah sudut pandang pelaku UMKM dari berbagai jenis dan ukuran usaha
terhadap kejahatan teknologi informasi.
B. Usaha Menengah, Kecil, dan Mandiri
Definisi UMKM menurut UU No 20 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:
1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha
perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh
orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun
tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha
Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan
oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun
tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih
atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa UMKM adalah usaha
produktif yang dimiliki baik perorangan, badan/usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan/ cabang yang memiliki kriteria sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Klasifikasi UMKM berdasarkan omset dan kekayaan bersih sesuai UU No. 20 Tahun 2008
adalah sebagai berikut:
1. Usaha Mikro, apabila memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan
paling banyak Rp300.000.000,00
6
2. Usaha Kecil, apabila memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 sampai
dengan paling banyak Rp500.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 sampai
dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00.
3. Usaha Menengah, apabila memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00
sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari
Rp2.500.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00
C. Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bisnis
Globalisasi telah mendorong banyak UMKM menggunakan teknologi informasi
untuk menyimpan, memproses, mendistribusikan, dan bertukar informasi di dalam
perusahaan dan sepanjang rantai pasokan UMKM agar mampu bertahan dalam persaingan
usaha yang semakin kompetitif (Afolayan, Plant, White, Jones, dan Beynon‐Davies,
2015). Definisi teknologi adalah komputer dan peralatan komunikasi terkait dan perangkat
lunak komputer memungkinkan untuk berurusan dengan kerangka kerja independen atau
jaringan dengan perangkat lain, sedangkan definisi informasi adalah fakta yang dihasilkan
dari pemrosesan data sehingga dapat disimpulkan bahwa teknologi informasi adalah
penggunaan teknologi modern dalam mengelola dan menangani sejumlah besar data
tentang kehidupan politik, ekonomi, ilmiah, dan social (Al-Qudah, Baniahmad, dan Al-
Fawaerah, 2013), atau dengan kata lain bidang yang terkait dengan penggunaan teknologi
untuk mengatur dan memproses informasi yang dibutuhkan oleh entitas (Baltzan, Fisher,
dan Lynch, 2015).
Teknologi informasi adalah penggunaan alat teknologi modern, antara lain
dilakukan oleh komputer dalam pengumpulan dan pemrosesan data, sedangkan
informatika memiliki tiga elemen dasar: entitas fisik seperti komputer, perangkat lunak,
dan sumber daya pengetahuan (Al-Qudah, Baniahmad, dan Al-Fawaerah, 2013).
Teknologi informasi mampu membantu mengembangkan hubungan yang sukses dengan
pelanggannya, memenangkan persaingan pasar, membantu proses pengambilan
keputusan, meningkatkan produktivitas, dan mendorong persaingan global (Al-Qudah,
Baniahmad, dan Al-Fawaerah, 2013). Teknologi informasi dapat digunakan oleh entitas
untuk berbagai fungsi bisnis, seperti penjualan dan pemasaran, keuangan, pembelian,
pelayanan pelanggan, dan distribusi (Baltzan, Fisher, dan Lynch 2015).
7
D. Konsep Fraud
Fraud dianggap sebagai salah satu masalah utama yang menciptakan tantangan
serius untuk semua tipe organisasi bisnis (Perri dan Brody, 2012). Fraud terjadi di mana-
mana mulai dari peretasan sistem informasi perusahaan oleh hacker hingga penggelapan
aset kecil-kecilan oleh karyawan perusahaan. Fraud adalah ancaman yang selalu ada,
berkembang, dan semakin berbahaya baik bagi bisnis maupun profesi jasa keuangan
(Smith, 2015). Fraud adalah istilah yang digunakan untuk menyebut segala jenis metode
yang digunakan oleh seseorang untuk memperoleh keuntungan dari orang lain dengan
memanfaatkan representasi palsu (Albrecht et al, 2016), atau dengan kata lain setiap
aktivitas yang disengaja yang dilakukan oleh satu orang atau sekelompok orang dengan
tujuan menipu pihak lain (Halbouni et al., 2016). Klasifikasi fraud yang sering digunakan
adalah berdasarkan korbannya seperti Tabel 1 di bawah ini (Albrecht et al, 2016):
Tabel 1. Berbagai Jenis Fraud menurut Korbannya
Jenis Fraud Korban Penjelasan
Fraud karyawan Perusahaan Pegawai atau bahkan pejabat tinggi yang
mengambil atau menggunakan aset perusahaan,
contohnya penggelapan dana dan pencurian aset.
Fraud vendor Perusahaan yang
membeli dari
vendor tersebut
• Vendor membebankan harga yang terlalu tinggi
diatas kewajaran.
• Vendor dengan sengaja memberikan barang atau
jasa dengan kualitas dibawah kesepakatan tanpa
menyampaikan kepada pembeli.
Fraud
konsumen
Perusahaan yang
menjual pada
konsumen
tersebut
Konsumen tidak membayar, atau membayar lebih
sedikit dari yang kesepakatan dengan penjual
dengan menipu penjual.
Fraud
manajemen
Pemegang saham,
pemerintah,
kreditor
Manajemen memanipulasi laporan keuangan untuk
memberikan gambaran yang tidak sesuai dengan
kondisi perusahaan yang sebenarnya.
Investasi palsu
dan fraud
konsumen lain
Calon investor
yang kurang
waspada
Fraudster umumnya memanfaatkan internet untuk
menghubungi dan meyakinkan korban untuk
8
menginvestasikan uang mereka di skema investasi
yang sebenarnya palsu.
Fraud lain-lain Tergantung
situasi
Segala jenis cara dimana seseorang menipu orang
lain untuk memperoleh keuntungan dari korban.
Sumber: Dirangkum dari Albrecht et al (2016)
Pada umumnya terdapat tiga faktor pendorong fraud (fraud triangle) yaitu tekanan
ekonomi, kesempatan, dan rasionalisasi (Smith, 2015). Fraud triangle bukanlah sebuah
hal baru bagi dunia bisnis modern namun masih menjadi sebuah tantangan yang cukup
berat bagi para pelaku bisnis. Dampak tindakan fraud antara lain sebagai berikut (Ernst &
Young, 2011):
1. Rusaknya reputasi perusahaan.
2. Perusahaan mengalami kerugian finansial.
3. Menuntut pertanggungjawaban perdata atau pidana.
4. Persyaratan atau prosedur ketaatan hukum semakin meningkat seiring meningkatnya
kasus fraud.
E. Kejahatan Teknologi Informasi
Kejahatan teknologi informasi dapat mengakibatkan kerugian finansial yang besar
sehingga upaya pencegahan lebih diutamakan dibandingkan investigasi dan pemulihan
(Ernst & Young, 2011). Kejahatan teknologi informasi adalah tindakan penipuan yang
ditujukan untuk memperoleh keuntungan dari korban dengan memanfaatkan teknologi
informasi (Rahman dan Lackey, 2013). Kejahatan teknologi informasi yang sering terjadi
di dunia bisnis antara lain sebagai berikut (Ernst & Young, 2011):
1. Penggelapan yang dilakukan oleh karyawan
2. Pelanggaran properti intelektual
3. Penipuan valas
4. Pencurian data
5. Penipuan pengembalian dana
6. Kecurangan pengadaan
7. Penyalahgunaan dana
F. Kejahatan Teknologi Informasi dalam Perspektif UMKM
UMKM adalah kontributor terbesar perekonomian di hampir semua negara
berkembang, termasuk di Indonesia. UMKM memberikan kontribusi besar terhadap
9
pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang sebab berperan dalam penciptaan
lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan (Afolayan, Plant, White, Jones, dan Beynon‐
Davies, 2015). Di sisi lain, sayangnya UMKM pun tidak lepas dari permasalahan fraud
sebab faktanya fraud tidak hanya menimbulkan kerugian bagi perusahaan besar namun
juga menimbulkan kerugian bagi perusahaan kecil, bahkan hasil survey KPMG (2013)
menemukan bahwa hampir 50 persen fraud terjadi di perusahaan kecil dan menengah.
Estimasi kerugian yang dialami perusahaan besar akibat fraud mencapai $100,000 dan
UMKM sebesar $147,000 (ACFE, 2012). Fraud adalah salah satu penyebab utama
UMKM gagal dalam menjalankan kegiatan strategisnya dan bahkan dapat menyebabkan
kebangkrutan (Sow, Basiruddin, Mohammad, and Rasid, 2018).
Dengan banyaknya ragam aplikasi sistem teknologi informasi yang digunakan untuk
mendukung bisnis UMKM dan banyaknya UMKM yang mengalami fraud, maka
perspektif pelaku UMKM dari berbagai jenis dan ukuran usaha terhadap kejahatan
teknologi informasi menjadi sebuah hal yang penting. Perspektif pelaku UMKM dari
berbagai jenis dan ukuran usaha terhadap kejahatan teknologi informasi dalam penelitian
ini didefinisikan sebagai sudut pandang pelaku UMKM dari berbagai jenis dan ukuran
usaha terhadap tindakan penipuan yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan dari
korban, dalam hal ini UMKM, dengan memanfaatkan teknologi informasi.
10
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan yang Digunakan
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pendekatan metode kualitatif yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi kasus pada UMKM di kota
Yogyakarta. Jumlah UMKM yang terdaftar tahun 2018 sebesar 2082 UMKM. Pendekatan
studi kasus menurut Rahardjo (2017) adalah serangkaian kegiatan ilmiah yang dilakukan
secara intensif, terinci dan mendalam tentang suatu program, peristiwa, dan aktivitas, baik
pada tingkat perorangan, sekelompok orang, lembaga, atau organisasi untuk memperoleh
pengetahuan mendalam tentang peristiwa tersebut. Biasanya, peristiwa yang dipilih yang
selanjutnya disebut kasus adalah hal yang aktual (real-life events), yang sedang
berlangsung, bukan sesuatu yang sudah lewat.
B. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
1. UMKM dan Pengkategoriannya
Peneliti menggunakan UU No 20 Tahun 2008 karena pembagian kategori untuk
usaha mikro, kecil dan menengah dianggap paling jelas. Tabel 2 menyajikan kategori
ukuran usaha berdasarkan kekayaan bersih (selain tanah dan bangunan tempat usaha)
dan omset yang diatur dalam UU No 20 Tahun 2008.
Tabel 2. Kategori Ukuran Perusahaan
Ukuran Usaha Kekayaan Bersih Omset
Mikro < 50 juta < 300 juta
Kecil 50 – 500 juta 300 juta -2,5 milyar
Menengah 500 juta – 10 milyar 2,5 – 50 milyar Sumber: UU No 20 Tahun 2008
2. Teknologi Informasi di UMKM
Teknologi informasi adalah bidang yang terkait dengan penggunaan teknologi
untuk mengatur dan memproses informasi yang dibutuhkan oleh entitas (Baltzan,
Fisher, dan Lynch 2015). Teknologi informasi dapat digunakan oleh entitas untuk
berbagai fungsi bisnis, seperti penjualan dan pemasaran, keuangan, pembelian,
pelayanan pelanggan, dan distribusi, dalam berbagai ukuran dan tingkat kompleksitas.
Oleh karena itu, bisnis yang masih berkategori UMKM pun dapat memanfaatkan
teknologi informasi.
11
Peneliti menentukan bahwa penggunaan teknologi informasi oleh UMKM yang
menjadi objek penelitian ini adalah sebagai berikut;
• Penggunaan media sosial (Facebook, Instagram, dll) atau website lain (OLX, dll)
untuk memperoleh pesanan, yang lalu dilanjutkan dengan pelanggan berkomunikasi
langsung dengan penjual tanpa melalui pihak ketiga.
• Penggunaan virtual marketplace (Bukalapak, Tokopedia, Shopee, dll) atau aplikasi
online lain (GoFood, Grab, dll) sebagai pihak ketiga yang memediasi pemesanan
dan pembayaran antara pelanggan dan penjual.
• Penggunaan aplikasi kasir dan pengelolaan keuangan untuk langsung mencatat
pesanan dan/atau transaksi penjualan di sistem akuntansi dan keuangan perusahaan.
• Pemberian layanan atau jasa kepada pelanggan yang terkait dengan pengelolaan
teknologi informasi pelanggan.
3. Fraud Teknologi Informasi
Fraud adalah tindakan penipuan yang dilakukan seseorang untuk mengambil
keuntungan dari orang lain. Bentuk keuntungan yang diambil pelaku fraud ini haruslah
merugikan korban. Kerugian yang dialami korban dapat bersifat material (keuangan,
barang) ataupun imaterial (waktu).
Penulis mendefinisikan fraud teknologi informasi pada penelitian ini sebagai
bentuk kejahatan atau penipuan (fraud) yang merugikan pelaku UMKM dan terjadi
karena pelaku UMKM menggunakan teknologi informasi. Jika pelaku UMKM dapat
menjadi korban fraud tersebut meskipun mereka tidak menggunakan teknologi
informasi, maka fraud tersebut tidak termasuk dalam definisi penulis tentang fraud
teknologi informasi.
4. Perspektif UMKM terhadap Kejahatan Teknologi Informasi
Perspektif UMKM terhadap kejahatan teknologi informasi adalah hasil intepretasi
UMKM terhadap informasi mengenai fraud yang terjadi melaluli pemanfaatan
teknologi informasi seperti internet, media sosial, dan sebagainya.
Beberapa hal yang dapat digali terkait perspektif UMKM terhadap fraud
teknologi informasi adalah sebagai berikut.
a. Pemahaman UMKM mengenai kejahatan teknologi informasi
12
b. Pemahaman UMKM mengenai jenis kejahatan teknologi informasi yang
dialaminya
c. Pengalaman yang dialami UMKM jika pernah menjadi korban fraud teknologi
informasi
d. Informasi mengenai kerugian yang dialami akibat fraud teknologi informasi
e. Informasi terkait tindakan yang dapat dilakukan UMKM untuk mencegah
terjadinya fraud teknologi informasi
f. Informasi mengenai Sistem Pengendalian Internal yang dimiliki oleh usahanya
g. Informasi mengenai kesediaan UMKM berinvestasi lebih besar dalam
meningkatkan keamanan teknologi informasi
h. Informasi mengenai pengalaman UMKM melakukan perawatan rutin atau tidak
terhadap teknologi informasi yang dimiliki.
i. Informasi mengenai model literasi dan sosialisasi serta pelatihan yang dibutuhkan
UMKM terkait fraud teknologi informasi dan keamanan sistem.
Detail yang telah dijabarkan ini menjadi dasar untuk penyusunan pedoman
interview.
C. Pengumpulan Data
Responden penelitian ini adalah UMKM yang berada di wilayah Kota Yogyakarta.
Peneliti menentukan responden penelitian dengan melalui beberapa tahap.
• Peneliti memperoleh daftar calon responden dengan memkombinasikan data UMKM
yang terdaftar di DEKRANAS Kota Yogyakarta dan daftar hadir UMKM yang
menghadiri beberapa acara pelatihan yang diadakan oleh UNY.
• Peneliti mengidentifikasi UMKM yang telah menerapkan teknologi informasi dengan
kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Kriteria telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya tentang definisi teknologi informasi UMKM.
• Peneliti menentukan daftar calon responden terpilih dengan memastikan bahwa setiap
kategori UMKM (Mikro, Kecil, dan Menengah) telah terwakili secara proporsional.
• Peneliti mengkontak setiap calon responden terpilih untuk memperoleh kesediaan
mereka untuk menjadi responden. Setelah melakukan langkah-langkah tersebut,
peneliti memperoleh lima responden.
Penelitian ini menggunakan data primer. Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah dokumentasi, observasi dan wawancara. Creswell (2007) mengungkapkan bahwa
wawancara dan observasi merupakan alat pengumpul data yang banyak digunakan oleh
13
berbagai penelitian. Kedua alat itu merupakan pusat dari semua tradisi penelitian kualitatif
sehingga memerlukan perhatian tambahan dari peneliti.
Dokumentasi dilaksanakan dengan menggali profil UMKM yang menjadi responden
melalui website atau sumber informasi lain. Observasi dilaksanakan dengan mengamati
secara langsung pemanfaatan teknologi informasi oleh responden. Wawancara
dilaksanakan dengan melakukan interview responden secara langsung berdasarkan
pedoman wawancara yang telah disusun. Beberapa responden Hasil wawancara
didokumentasikan dalam bentuk audio maupun transkrip wawancara.
D. Prosedur Analisis Data
Sebelum kegiatan pengumpulan data dilakukan, peneliti melaksanakan kegiatan
Focus Group Discussion (FGD). FGD ini memiliki tiga tujuan utama; (1) menentukan
kejahatan yang dapat dianggap sebagai fraud teknologi informasi menurut UMKM, (2)
menentukan teknologi informasi yang berkontribusi besar untuk bisnis UMKM sebagai
syarat untuk menjadi responden penelitian, dan (3) menentukan daftar pertanyaan
interview. Peserta FGD adalah perwakilan dari beberapa kategori, yakni dosen, ahli
teknologi informasi, dan pelaku UMKM yang telah menggunakan teknologi informasi.
Pertanyaan atau bahan diskusi dalam FGD disajikan dalam bentuk pertanyaan terbuka
yang memungkinkan peserta untuk memberikan jawaban yang disertai dengan penjelasan-
penjelasan (Krueger, 1988).
Peneliti menganalisis data hasil dokumentasi, observasi, dan interview responden
menggunakan tahapan yang dijabarkan oleh Stake (1995).
1. Pengumpulan kategori. Peneliti mengklasifikasikan data penelitian menjadi beberapa
kategori. Sementara ini kategori yang direncanakan terdiri dari 6 kategori; yakni (1)
pemahaman responden mengenai fraud TI, (2) pengalaman responden terkait dengan
fraud TI, (3) pemahaman responden terkait dengan tindakan pencegahan fraud TI, (4)
penerapan pengendalian internal oleh responden, (5) pendapat UMKM terkait dengan
investasi tambahan untuk TI, dan (6) pendapat responden mengenai model
pengembangan literasi TI untuk UMKM.
2. Interpretasi langsung. Data dari lima responden yang relevan untuk tiap kategori yang
telah dikelompokkan lalu diinterpretasi langsung untuk menemukan makna yang
relevan dengan isu yang akan muncul. Hal ini merupakan suatu proses dalam menarik
14
data secara terpisah dan menempatkannya kembali secara bersama-sama agar lebih
bermakna.
3. Peneliti membentuk pola dan mencari kesepadanan antara dua atau lebih kategori.
Proses interpretasi dan pencarian pola ini dilakukan oleh dua anggota tim peneliti
yang bersama-sama menganalisis data penelitian, menggelompokkan, dan
menginterpretasinya bersama.
4. Akhirnya, peneliti mengembangkan generalisasi naturalistik berdasarkan data yang
dianalisis. Peneliri menentukan apakah data kesimpulan memiliki kemungkinan untuk
digeneralisasi; apakah kesimpulan hanya berlaku untuk suatu kasus ataukan dapat
diterapkan pada sebuah populasi kasus.
15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Profil Responden
Berikut adalah profil lima UMKM yang menjadi responden penelitian ini.
Tabel 3. Profil Responden
Inisial
Responden
Jenis Usaha Omset per
Tahun dan
Kategori
Penggunaan TI untuk Bisnis
KA Pembuatan
dan penjualan
produk
Rp3 milyar
(Menengah) • Menggunakan website perusahaan
untuk marketing, menerima
pesanan dari pelanggan, dan
mengecek ketersediaan stok barang.
BB Jasa Rp360 juta
(Kecil) • Menggunakan website perusahaan
untuk marketing dan menerima
pesanan dari pelanggan.
AB Penjualan
produk
Rp72 juta
(Kecil) • Menggunakan media sosial untuk
pemasaran produk
• Menggunakan virtual marketplace
untuk menerima pesanan dan
pembayaran dari pelanggan.
JA Penjualan
produk
Rp48 juta
(Mikro) • Menggunakan media sosial untuk
pemasaran produk
• Menggunakan virtual marketplace
untuk menerima pesanan dan
pembayaran dari pelanggan, serta
membeli stok dari supplier.
WJ Pembuatan
dan penjualan
produk
Rp9,8 juta
(Mikro) • Menggunakan media sosial untuk
pemasaran produk dan pemesanan
bahan baku pada supplier.
• Menggunakan virtual marketplace
untuk menerima pesanan dan
pembayaran dari pelanggan.
Tabel 3 memberikan gambaran tentang profil responden penelitian ini. Tiga kategori
UMKM telah diwakili oleh lima responden tersebut. Responden KA termasuk dalam
kategori Usaha Menengah, responden AB dan BB termasuk dalam kategori Usaha Kecil,
dan responden WJ termasuk dalam kategori Usaha Mikro.
Lima responden tersebut menggunakan teknologi informasi yang bervariasi.
Responden KK adalah responden yang memanfaatkan teknologi informasi secara paling
komprehensif dengan mengunakan website perusahaan untuk marketing, penjualan, dan
manajemen persediaan. Responden BB juga menggunakan website perusahaan seperti
KK, tetapi BB hanya menggunakannya untuk pemasaran dan penjualan saja. Tiga
16
responden yang lain masih menggunakan layanan dan aplikasi online yang dikelola pihak
ketiga, yakni media sosial dan virtual marketplace, untuk marketing dan penjualan.
B. Hasil Penelitian
Berikut adalah hasil interview responden tentang perspektif UMKM terhadap fraud
teknologi informasi. Secara umum, jawaban responden dapat dibagi menjadi enam
kategori.
1. Pemahaman responden mengenai fraud teknologi informasi
Seluruh responden penelitian telah menggunakan teknologi informasi. Oleh
karena itu, mereka telah mengetahui bahwa penggunaan teknologi informasi tidak
hanya membawa manfaat, tetapi juga risiko untuk bisnis mereka.
Berikut adalah pendapat responden KA yang merepresentasikan pendapat
seluruh responden terkait dengan bagaimana mereka memandang risiko fraud
teknologi informasi.
“Saya sadar berjualan online lewat website, medsos, Line, WA, atau marketplace tetap
ada risikonya. Teknologi secanggih apapun pasti suatu saat juga akan usang, begitu juga
sistem keamanan website yang dilengkapi firewall dan token pun tidak bisa menjamin
100% aman dari hacker/cracker namun setidaknya kami sudah melakukan upaya sebaik
mungkin yang kami mampu untuk menjaga kepercayaan konsumen kami.” - KA
Jawaban sejenis juga diberikan oleh responden yang termasuk kategori Usaha
Mikro dan Kecil. Responden AB menyampaikan pernyatan berikut, “Saya sadar
berjualan offline maupun online pasti ada risikonya namun saya percaya sistem
keamanan yang digunakan marketplace bisa mengantisipasinya”.
Ketika diminta untuk mengidentifikasi jenis risiko fraud teknologi informasi
yang dapat mereka alami, jawaban responden secara umum dapat dibagi menjadi tiga
kategori. Pertama, sebagian responden menyebutkan ancaman yang merusak tenologi
informasi yang digunakan, seperti virus komputer atau ancaman hacker. Contoh
responden yang memberikan jawaban ini adalah KA yang menyebutkan ancaman dari
hacker atau cracker pada pernyataan yang telah dicantumkan sebelumnya. Responden
lain, JA, juga memberikan jawaban sejenis yang dapat dilihat pada pernyataan berikut.
“Itu masalah virus pasti berisiko ya karena kita menggunakan internet. Ada juga kejahatan
karena orang tidak bertanggung jawab seperti hacker. Kita mempunyai website, kita
mempunyai akun, tetapi lalu ada orang lain yang mencoba menembus web atau akun kita.
Dia juga bisa mencari-cari informasi tentang apa saja sih yang kita jual dan berapa sih
penghasilkan kita. Itulah mengapa sekarang saya itu 2 minggu atau satu bulan sekali selalu
mengganti password untuk akun website supaya tidak ter-hack. Karena kalau sudah ter-
hack ya sudah habis deh.” - JA
17
Kedua, sebagian responden memberikan jawaban yang lebih terfokus pada
modus dimana pelaku kejahatan mencoba merugikan calon korban dengan
menggunakan teknologi informasi tanpa merusak teknologi informasi itu sendiri.
Responden yang memberikan jawaban ini adalah BB, AB, dan KA. BB memberikan
pernyataan sebagai berikut.
“Resiko kerugian jelas ada, namanya bisnis pasti ada resiko tersebut, seperti yang sudah
saya jelaskan sebelumnya kalau bakal ada oknum yang sengaja membooking lewat
aplikasi sehingga terlihat kamar terlihat sudah habis dan tidak bisa di booking orang lain
tapi oknum tersebut tidak mau melakukan pembayaran dan tidak datang”. – BB
Ketiga, ada responden yang menyatakan bahwa walaupun mereka memahami
bahwa penggunaan teknologi informasi untuk bisnis mengandung risiko, mereka
mengakui bahwa mereka belum dapat mengidentifikasi masalah apa yang dapat
muncul secara spesifik. Responden WJ menyampaikan pandangan ini dalam
pernyataan berikut.
“Dan bentuknya seperti apa pun aku belum bisa ngebayangin. Aku tahu sih kalau risikonya
itu ada, tapi aku belum bisa ngebayangin kejadian macam apa yang relevan untuk bisnis
aku.” – WJ
Variasi jawaban yang beragam dan lintas kategori UMKM ini mengindikasikan
bahwa pemahaman lebih jauh tentang jenis-jenis fraud teknologi informasi tidak
tergantung pada kategori UMKM tertentu. JA yang termasuk kategori Usaha Mikro
dan KA yang termasuk kategori Usaha Menengah memberikan jawaban yang sejenis,
sedangkan WJ yang termasuk kategori Mikro seperti JA menyatakan masih kurang
pengetahuan untuk mengidentifikasi contoh risiko fraud teknologi informasi.
2. Bagaimana pengalaman responden terkait fraud teknologi informasi
Responden memiliki pengalaman yang berbeda terkait dengan fraud teknologi
informasi. Sebagian responden memiliki pengalaman menjadi target fraud teknologi
informasi, sedangkan sebagian lain menyatakan bahwa mereka belum pernah menjadi
target fraud teknologi informasi.
Responden yang menyatakan pernah menjadi target pelaku fraud teknologi
informasi adalah responden KA, BB, dan JA. Jenis fraud yang mereka alami adalah
pemanfaatan teknologi informasi oleh pelaku fraud untuk menipu atau merugikan
korban, tanpa merusak teknologi informasi yang digunakan oleh korban. Responden
KA menyampaikan pengalamannya dalam pernyataan berikut.
“Pernah ada customer yang confirm payment padahal sebenarnya belum melakukan
payment sama sekali namun berhubung kami memiliki SOP double checking yaitu untuk
18
mengirimkan barang orderan setelah payment benar-benar masuk ke rekening kami, maka
kami tidak tertipu. Pernah juga ada customer yang tertipu melakukan order dan
pembayaran di website yang serupa dengan website kami (namun bukan website asli kami)
sehingga karena kami kasihan akhirnya kami memberikan produk secara gratis agar
customer tidak kecewa.” - KA
Ada dua modus fraud teknologi informasi yang dapat diidentifikasi dari
pengalaman KA, yakni pembayaran palsu (fake payment) dan pencurian identitas
perusahaan oleh pelaku fraud menggunakan website palsu. Perusahaan akan
mengalami kerugian material jika pelaku berhasil melakukan modus pertama karena
perusahaan mengirim barang kepada pelaku tanpa menerima pembayaran. Pada
modus kedua, KA tidak menjadi korban langsung fraud karena pihak yang mengalami
kerugian material dan target pelaku fraud adalah calon pelanggan KA yang
bertransaksi di website palsu. Akan tetapi, KA mengalami kerugian reputasi karena
keberadaan website palsu tersebut yang jika diabaikan dapat berpotensi mengurangi
jumlah pelanggan KW yang bersedia untuk bertransaksi via website perusahaan.
Walaupun ada perbedaan dalam pelaksanaannya, Responden BB dan JA
menjadi target modus fraud dimana pelaku menggunakan teknologi informasi untuk
memanipulasi pesanan untuk merugikan target. BB menyatakan bahwa mereka belum
pernah sampai menjadi korban, tetapi pernah menjadi target fraud dalam
pernyataannya yang dijabarkan berikut ini.
“Untuk penipuan online, Alhamdulillah belum pernah menjadi korban, semoga tidak terjadi
ya. Karena kami sudah meminimalisir dengan cara bayar di muka. Paling kalo hal yang
kurang menyenangkan kadang ada oknum yang sengaja membooking semua kamar lewat
aplikasi sehingga terlihat kamar yang saya jual sudah habis dan tidak bisa di booking orang
lain tapi oknum tersebut tidak mau melakukan pembayaran dan tidak datang (fake
booking)” - BB
Pernyataan serupa disampaikan oleh JA yang menyampaikan bahwa mereka
pernah menjadi target pelaku yang menggunakan modus pesanan palsu. Perbedaan
antara modus fraud yang dialami JA dan BB adalah pada niat pelaku. Pelaku yang
pernah mengincar BB bertujuan untuk mengalihkan calon pelanggan dan mengurangi
penjualan BB, sedangkan modus yang pernah dialami JA bertujuan untuk
memperoleh barang tanpa membayar.
Jawaban responden yang bervariasi ini menunjukkan bahwa pengalaman
mereka menjadi target pelaku fraud teknologi informasi tidak dapat dibagi
berdasarkan ukuran bisnis mereka. Responden KA, BB, dan JA berasal dari kategori
ukuran bisnis yang berbeda (Menengah, Kecil, dan Mikro).
19
3. Pendapat responden tentang tindakan pencegahan fraud teknologi informasi
Jawaban responden tentang langkah yang mereka anggap perlu untuk mencegah
fraud teknologi informasi dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori.
Pertama, sebagian pelanggan menganggap bahwa mereka perlu mengambil
peran aktif untuk meningkatkan keamanan teknologi informasi yang mereka gunakan.
Mereka berinisiatif untuk menerapkan metode keamanan, seperti firewall, dan
menyusun SOP atau prosedur penggunaan teknologi informasi yang harus dilakukan
oleh karyawan perusahaan. Responden BB menjelaskan langkah pengamanan yang
telah mereka lakukan pada pernyataan berikut.
“Namun biasanya jika terjadi seperti ini (ada pesanan palsu) kami langsung lapor ke pemilik
aplikasi agar bookingan tersebut dihapus sehingga bisa dijual lagi kamarnya, dan saya
sudah menerapkan regulasi batas waktu pembayaran sehingga jika hal tersebut terjadi
akan segera teratasi dengan cepat jadi kami tidak merugi. Kami juga jelas ada SOP karena
saya memiliki banyak staf yang mana perlu standard bagaimana mereka bekerja. Di SOP
juga sudah dijelaskan bagaimana mereka harus merespon tamu, menggunakan aplikasi,
regulasi yang diterapkan ketika ada reservasi dari aplikasi juga sudah ada dalam SOP.” - BB
Kedua, sebagian responden lain lebih memilih untuk mengambil langkah
pencegahan yang berfokus pada aspek manusia dari pelaku dan korban fraud
teknologi informasi. Mereka memilih untuk meningkatkan kehati-hatian dalam
berinteraksi dengan calon pelanggan dan meningkatkan pemahaman tentang profil
calon pelanggan sebelum memutuskan untuk berinteraksi. Contoh responden yang
menerapkan langkah ini adalah WJ, yang memberikan pernyataan sebagai berikut.
“Kalau selama ini di komunitas crafter kami juga yang seperti ini (kejahatan online) belum
pernah dengar ya. Mungkin karena kan kalau calon penipu atau penjahat online itu kan
pastinya mencari sasaran itu yang seperti apa, lalu hubungan antar orang di grup itu
intens nggak, saling mengenal dan sering komunikasi atau nggak. Kalau di komunitas itu
kelihatannya anggota grup saling mengenal ya dia mungkin sadar, wah kalau aku
mencoba cari korban ini malah langsung ketahuan karena pasti ada anggota lain yang
dapat mengingatkan.” - WJ
4. Pengendalian internal yang diterapkan oleh responden
Responden menerapkan tingkat pengendalian internal yang berbeda pada bisnis
mereka. Secara umum, ada tiga jenis kegiatan pengendalian yang teridentifikasi pada
responden, yakni; (1) panduan atau pedoman untuk pelaksanaan operasional bisnis,
(2) pencatatan transaksi bisnis, dan (3) pemisahan tanggung jawab.
Penggunaan panduan oleh responden sendiri terbagi menjadi dua tingkat.
Beberapa responden memiliki Standard Operating Procedure (SOP) yang ditentukan
secara resmi, sedangkan sebagian responden yang lain hanya memiliki kebiasaan
20
(common practice) yang disampaikan kepada karyawan mereka. Responden yang
menggunakan SOP adalah KA (Usaha Menengah) dan BB (Usaha Kecil). Sebagian
lain responden yang hanya memiliki kebiasaan adalah AB, JA, dan WJ yang
seluruhnya termasuk kategori Usaha Mikro.
Semua responden telah melakukan pencatatan transaksi bisnis. Mereka
memanfaatkan data penjualan yang terlah tercatat oleh teknologi informasi yang
mereka gunakan. Penjualan yang telah diproses oleh website atau virtual marketplace
dicatat secara otomatis oleh sistem. Beberapa responden yang juga menggunakan
media sosial atau website untuk mempromosikan produk dan layanan mereka
melakukan rekapitulasi tambahan dengan menggabungkan data historis penjualan dari
marketplace atau website dengan transaksi penjualan yang diperoleh melalui media
sosial atau website seperti OLX.
Namun, responden WJ mengakui bahwa ia tidak mencatat semua transaksi
penjualan yang diperoleh dari media sosia. Ia menilai bahwa bisnisnya belum dapat
mendedikasikan waktu dan tenaga untuk pencatatan keuangan yang lebih mendetail.
WJ menjelaskan jawabannya pada pernyataan berikut.
“Belum sih Na. Bagusnya memang di track dan gabungkan data penjualannya seperti itu.
Tetapi aku masih belum. Karena aku memang jalannya masih pelan-pelan dan masih
sendiri juga.” - WJ
Penelitian ini juga menemukan bahwa semua responden yang termasuk
kategori Usaha Kecil dan Usaha Menengah menyatakan bahwa mereka telah
menerapkan pemisahan tanggung jawab (segregation of duties) pada operasional
mereka, walaupun penelitian ini tidak menanyakan lebih lanjut tentang seberapa jauh
pemisahan tersebut diaplikasikan. Berikut adalah jawaban salah satu responden, BB,
tentang bagaimana ia mengaplikasikan pemisahan tanggung jawab di bisnisnya.
“SOP jelas ada karena saya memiliki banyak staf yang mana perlu standard bagaimana
mereka bekerja, di SOP juga sudah dijelaskan bagaimana mereka harus merespon tamu,
menggunakan aplikasi, regulasi yang diterapkan ketika ada reservasi dari aplikasi juga
sudah ada dalam SOP. Setiap staf punya tanggung jawab sendiri, dengan SOP yang
spesifik sesuai tanggung jawab mereka.” - BB
Namun, tiga responden yang masih termasuk kategori Usaha Mikro menyatakan
bahwa mereka tidak melakukan pembagian tugas. Pemilik masih mengelola secara
langsung semua aspek pada bisnis tersebut sehingga pemisahan tanggung jawab
dianggap belum diperlukan.
21
5. Pendapat responden tentang biaya tambahan untuk keamanan teknologi informasi
Seluruh responden menyatakan bahwa mereka pada dasarnya bersedia untuk
melakukan investasi peningkatan keamananan teknologi informasi yang mereka
gunakan. Akan tetapi, keputusan investasi ini sangat tergantung pada penilaian
responden tentang apakah biaya yang dikeluarkan sepadan dengan manfaat yang
diperoleh. Saat ini, seluruh responden menganggap bahwa keamanan teknologi
informasi yang mereka miliki telah memadai dan belum membutuhkan peningkatan.
Responden dari seluruh kategori memberikan jawaban yang serupa. Pandangan ini
direpresentasikan oleh pernyataan salah satu responden, BB.
“Yang melakukan investasi peningkatan keamanan adalah pihak provider sedangkan untuk
website kami milik sendiri, saya bersedia berinvestasi lebih asalkan biayanya masih
terjangkau dan mampu membantu keberlangsungan usaha, logikanya jika kami
keamanannya bagus, otomatis dapat meningkatkan kepercayaan dan kenyamanan calon
customer.” - BB
Informasi lain yang dapat diambil adalah responden menilai bahwa investasi
untuk peningkatan keamanan teknologi informasi ini bukanlah sesuatu yang berada
pada prioritas atas. Mereka menilai bahwa pihak yang bertanggungjawab untuk
meningkatkan keamanan teknologi informasi adalah vendor yang menyediakan dan
mengelola teknologi informasi yang digunakan. Pendapat ini dapat ditemukan pada
pernyataan BB yang telah disampaikan sebelumnya. Pandangan serupa juga
disampaikan oleh AB pada pernyataan berikut.
“Mayoritas transaksi kami kan berasal dari marketplace dan medsos jadi yang melakukan
investasi dalam peningkatan keamanan selama ini tidak lain adalah pihak provider
marketplace dan medsos, bukan saya selaku pemilik. Mungkin di masa mendatang jika
omset kami berkembang pesat, saya baru akan membuat website dan bersedia
berinvestasi lebih banyak untuk meningkatkan keamanan website kami.” - AB
6. Pendapat responden tentang komunikasi dan pembaruan informasi terkait teknologi
informasi
Minat untuk Mendapat Informasi tentang Fraud Teknologi Informasi
Minat responden untuk mendapatkan informasi lebih terkait dengan risiko fraud
teknologi informasi ternyata sangat bervariasi. Sebagian responden menyatakan tidak
berminat untuk mengikuti kegiatan sosialisasi atau pelatihan terkait penanggulangan
fraud teknologi informasi, walaupun mereka tidak menolak untuk ikut serta pada
22
kegiatan tersebut. Dua responden yang memiliki pendapat seperti ini adalah KA dan
AB, yang berasal dari kategori usaha yang berbeda (menengah dan mikro). Pandangan
ini direpresentasikan oleh KA pada pernyataannya berikut.
“Untuk saat ini saya rasa baik saya maupun karyawan kami belum terlalu membutuhkan
pelatihan terkait kejahatan TI bagi UMKM sebab website kami dibuat dan dirawat oleh
pihak kedua yaitu developer website yang memang benar-benar kompeten di bidangnya
jadi insya Allah tingkat keamanannya bisa diandalkan.” - KA
Sebagian responden yang lain menyatakan bahwa mereka berminat untuk
mendapat informasi lebih banyak tentang fraud teknologi informasi. Pernyataan BB
berikut merepreresentasikan minat sebagian responden ini untuk menambah wawasan
tentang teknologi informasi dan risikonya pada bisnis.
“Seandainya saja ada kegiatan semacam sosialisasi atau pelatihan tentang cara
pencegahan kejahatan TI, mungkin saya atau karyawan saya akan mengikutinya. Ya
lumayanlah untuk menambah wawasan kami tentang kejahatan TI meskipun Alhamdulillah
selama ini belum pernah menjadi korban kejahatan TI.” - BB
Media Sosialisasi tentang Fraud Teknologi Informasi
Seluruh responden menyatakan bahwa ternyata mereka telah memperoleh
informasi tentang fraud teknologi informasi sebelumnya. Akan tetapi, informasi yang
mereka terima tidak bersifat rutin, serta umumnya berbentuk pesan yang dibagikan di
komunitas atau diperoleh dari rekan bisnis. Responden AB menceritakan
pengalamannya pada pernyataan berikut.
“Saya selama ini mendapatkan banyak informasi terkait kejahatan TI yang marak terjadi di
UMKM dari teman-teman saya sesama pelaku UMKM namun saya pribadi belum pernah
mendapatkan info sosialisasi dan pelatihan terkait kejahatan TI bagi UMKM.” - AB
Responden AB juga menyatakan bahwa jika ia dapat memperoleh informasi
andal tentang fraud teknologi informasi, ia lebih memilih untuk mendapatkannya
dalam bentuk sosialisasi terpusat atau pelatihan khusus. Seluruh responden memiliki
pendapat yang sama. Responden JA menyampaikan pendapatnya bahwa bentuk
pelatihan atau sosialisasi terpusat memungkinkan UMKM untuk menjalin relasi
sekaligus bertanya secara mendetail kepada pemberi materi.
”Kalau dari saya sih bentuk yang paling suka itu workshop atau seminar. Karena
harapannya sih kita dapat bertemu dengan orang yang pernah mengalami tindak
kejahatan dan mereka membagikan pengalamannya begitu. Lalu hal yang saya suka juga
ketika sesi briefing atau sharing, kita dapat bertukar pikiran begitu. Jadi saya lebih suka
kalau ketemu face-to-face terutama karena faktor sosial begitu.” - JA
23
Salah satu responden, WJ, juga menawarkan bentuk lain yang dapat digunakan
untuk mendukung model pelatihan, yakni menggunakan platform online, seperti
Youtube, Instagram, ataupun website. Ia menyampaikan bahwa media sosialisasi
online akan sangat membantu pelaku UMKM yang tidak dapat hadir pada kegiatan
pelatihan.
”Ada alternatif lain sih untuk orang seperti aku yang tidak ikut perkumpulan apapun. Jadi
menurutku poin-poin penting dapat diposting di akun khusus Instagram. Jadi akunnya bisa
memuat tips-tips bisnis online dan salah satu materinya mencangkup topik kejahatan online
begitu, karena kan bosan juga jika isinya melulu topik yang itu-itu aja. Terus mungkin ada
link dan tambahan kalau mau informasi lebih lanjut bisa melihat di Youtube channel
tertentu atau website tertentu. Kombinasi media begitu.” - WJ
C. Analisis dan Pembahasan
Semua responden menyatakan bahwa mereka telah memahami bahwa penggunaan
teknologi informasi pada bisnis menciptakan risiko bagi mereka untuk menjadi target
fraud. Akan tetapi, jawaban responden menunjukkan bahwa kesadaran dan pemahaman
ini masih bersifat dangkal. Mereka mengetahui keberadaan risiko fraud teknologi
informasi, tetapi risiko ini masih dianggap sebagai sesuatu yang asing dan mereka belum
memiliki tindakan nyata untuk menghadari risiko ini.
Kesimpulan ini diambil berdasarkan hasil penelitian yang menemukan bahwa minat
responden untuk mempelajari lebih dalam risiko fraud teknologi informasi dan kesediaan
responden untuk melakukan investasi peningkatan keamanan teknologi informasi
tergolong rendah. Sebagian responden menganggap bahwa pelatihan tentang keamanan
teknologi informasi adalah hal yang tidak diperlukan, sedangkan sebagian yang lain hanya
sekedar berminat saja dan belum mengambil tindakan nyata. Temuan ini serupa dengan
penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa 48 persen perusahaan di Turki menilai
bahwa mereka tidak membutuhan pelatihan tentang keamanan teknologi informasi
(Yildirim, Akalp, Aytac, & Bayram, 2011).
Selain itu, seluruh responden juga menunjukkan keengganan untuk melakukan
investasi peningkatan teknologi informasi saat ini. Keengganan ini disebabkan oleh
kepercayaan mereka terhadap langkah pengamanan yang telah diterapkan pada teknologi
infomrasi yang mereka gunakan saat ini (Yildirim et al., 2011). Sayangnya, penelitian
sebelumnya menemukan bahwa investasi untuk keamanan teknologi informasi di banyak
perusahaan belum memadai (Yildirim et al., 2011). Situasi ini menunjukkan bahwa
terdapat indikasi bahwa responden masih meremehkan risiko keamanan teknologi
24
informasi dan menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang kurang relevan dengan bisnis
mereka.
Hal yang perlu diperhatikan bahwa tidak ada pola jawaban responden yang dapat
diidentifikasi terkait perbedaan jawaban antara responden yang termasuk Usaha Mikro,
Kecil, ataupun Menengah. Sebagian responden, yang termasuk Usaha Mikro,
menunjukkan minat yang tinggi untuk mempelajari lebih jauh tentang fraud teknologi
informasi. Akan tetapi, sebagian responden lain yang termasuk Usaha Menengah, Kecil,
dan Mikro menunjukkan minat rendah yang bervariasi.
Ketiadaan pola jawaban ini juga terjadi pada jawaban responden tentang kesediaan
untuk melakukan investasi peningkatan keamanan teknologi informasi. Seluruh responden
menyatakan bahwa mereka menganggap bahwa investasi keamanan tersebut belum
diperlukan saat ini, padahal beberapa responden telah memiliki sumber daya memadai dan
telah menggunakan sudah teknologi informasi yang cukup kompleks.
Aspek lain yang perlu mendapat perhatian adalah keberadaan vendor sebagai pihak
yang mengelola atau menyediakan teknologi informasi yang digunakan oleh responden.
Semua responden tidak mengelola sendiri teknologi informasi yang mereka gunakan,
melainkan menggunakan teknologi informasi yang disediakan atau dikelola oleh pihak
ketiga. Responden menyerahkan pengelolaan teknologi informasi tersebut pada vendor
dan hanya memiliki hak akses dan penggunaan yang bervariasi. Situasi ini menyebabkan
responden memiliki ketergantungan yang tinggi pada vendor. Temuan ini serupa dengan
penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa salah satu risiko yang umum dihadapi
UMKM terkait dengan penggunaan teknologi informasi adalah risiko ketergantungan
kepada pihak ketiga (Grant, Edgar, Sukumar, & Meyer, 2014; Sukumar & Edgar, 2009).
Namun, sebagian besar UMKM belum menyadari bahwa ketergantungan terhadap
pihak ketiga sebagai penyedia jasa teknologi informasi dapat menciptakan risiko baru,
yakni risiko kebocoran informasi. Kondisi inilah yang menyebabkan perusahaan yang
sudah mapan cenderung enggan menggunakan jasa pihak ketiga untuk mengelola
teknologi informasi mereka (Yildirim et al., 2011). Sayangnya, pilihan ini tidak tersedia
bagi UMKM yang umumnya tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk mengelola
sendiri sepenuhnya teknologi informasi yang mereka gunakan.
25
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berikut adalah beberapa simpulan yang diperoleh dari penelitian ini.
• Ada indikasi bahwa tingkat pemahaman responden UMKM terhadap jenis-jenis fraud
teknologi informasi dipengaruhi oleh tingkat kompleksitas teknologi informasi yang
mereka gunakan dan pengalaman mereka dalam menjadi target pelaku fraud teknologi
informasi. Semakin besar proporsi nilai penjualan responden yang diperoleh melalui
teknologi informasi, semakin bervariasi pengalaman mereka dalam menjadi target
pelaku fraud teknologi informasi dan pemahaman mereka terhadap fraud teknologi
informasi. UMKM yang dapat menggunakan teknologi informasi yang kompleks
umumnya adalah UMKM yang memiliki sumber daya memadai. Oleh karena itu,
penelitian ini memberikan tambahan bukti bahwa ukuran perusahaan memiliki
kontribusi terhadap tingkat pemahaman UMKM tentang fraud teknologi informasi.
• Responden UMKM menyatakan bahwa mereka telah memahami adanya kemungkinan
mereka menjadi target pelaku fraud teknologi informasi. Akan tetapi, penelitian ini
menunjukkan bahwa kesadaran dan pemahaman ini masih bersifat dangkal. Risiko
fraud teknologi informasi masih dianggap sebagai sesuatu yang asing dan belum
relevan bagi mereka. Hal ini ditunjukan oleh rendahnya minat mayoritas responden
untuk mempelajari lebih dalam risiko fraud teknologi informasi dan kesediaan mereka
untuk melakukan investasi peningkatan keamanan teknologi informasi.
• Seluruh responden UMKM memiliki ketergantungan yang tinggi pada vendor yang
menyediakan dan mengelola teknologi informasi yang mereka gunakan. Situasi ini
adalah hal yang umum terjadi pada UMKM yang menggunakan teknologi informasi.
Akan tetapi, ketergantungan ini dapat menciptakan risiko baru, yakni risiko kebocoran
informasi.
B. Saran
Penelitian ini menemukan bahwa mayoritas responden UMKM belum memiliki
pemahaman yang utuh tentang risiko fraud teknologi informasi. Mayoritas responden
belum mengetahui berbagai jenis risiko fraud teknologi informasi yang dapat mereka
alami dan juga sebagian besar masih menganggap risiko ini sebagai hal asing yang tidak
26
relevan bagi mereka. Oleh karena itu, penelitian ini menekankan pentingnya dilakukan
kegiatan pelatihan bagi pelaku UMKM.
Saran pertama yang berhasil dirumuskan oleh penelitian ini adalah masukan bagi
pemerintah atau lembaga yang memiliki agenda untuk meningkatkan adopsi teknologi
oleh UMKM. Ada dua opsi bentuk pelatihan yang dapat diberikan pada UMKM. Bentuk
pelatihan terpusat, seperti workshop, lebih disukai oleh pelaku UMKM karena
memungkinkan pelaku UMKM untuk bersosialisasi dan membangun relasi dengan
rekannya. Pelatihan ini dapat didukung oleh bentuk sosialisasi berbasis daring, seperti
menggunakan twitter atau instagram untuk memberikan tips aman berbisnis online.
Kombinasi ini memungkinkan pesan dan informasi yang hendak disampaikan dapat lebih
mudah diakses dan dipelajari oleh pelaku UMKM.
Bagi peneliti yang hendak melanjutkan penelitian ini atau mengambil topik
penelitian yang serupa, saran yang dapat diberikan adalah menambah variasi responden
pada penelitian selanjutnya sehingga jumlah responden untuk setiap kategori UMKM
semakin banyak. Selain itu, kuesioner yang menjadi basis interview responden dapat
dikembangkan dengan membahas setiap aspek risiko keamanan teknologi informasi yang
dibahas pada penelitian selanjutnya.
27
DAFTAR PUSTAKA
Sow, A.N, Basiruddin R., Mohammad, J., Rasid, S.Z.A., 2018. "Fraud prevention in Malaysian small
and medium enterprises (SMEs)", Journal of Financial Crime, Vol. 25 Issue: 2, pp.499-517,
https://doi.org/10.1108/JFC-05-2017-0049
ACFE (2012), “Report to the nations on occupational fraud and abuse”, available at:
www.acfe.com/uploadedFiles/ACFE_Website/Content/rttn/2012-report-to-nations.pdf
Afolayan, A., Plant, E., White, G.R.T., Jones, Paul, and Beynon‐Davies, Paul., 2015. “Information
Technology Usage in SMEs in a Developing Economy”. Strategic Change 24: 483–498 (2015).
Published online in Wiley Online Library (wileyonlinelibrary.com) DOI: 10.1002/jsc.2023
Al-Qudah, A.A, Baniahmad, A.Y, and Al-Fawaerah, N., 2013. The Impact of Information Technology
on the Auditing Profession. Management and Administrative Sciences Review. ISSN: 2308-1368
Volume: 2, Issue: 5, Pages: 423-430.
Ahmad, I.A.F., Sentosa, I., 2012, “An Empirical Study of E-Commerce Implementation among SME
in Indonesia”, International Journal of Independent Research and Studies, vol. 1, no. 1, pp. 13-
22, diunduh pada 22 Januari 2018, http://ssrn.com/abstract=2106782
Albrecht, W., Albrecht, C., Albrecht, C., & Zimbelman, M., 2011, Fraud Examination, Cengage
Learning.
Baltzan, P, Lynch, K, Fisher, J 2015, Business Driven Information Systems, 3e McGrawHill North
Ryde, Australia.
CAPITAL, Volume 1, Nomor 2 Hal 155.
Cataldo, A., McQueen, R., 2014, “Strategic driver or unimportant commodity?”, Industrial
Engineering, vol. 46, no. 2, pp. 36–41, diunduh pada 18 Januari 2018,
http://www.iise.org/uploadedFiles/IIE/Author_permissions/IEFeb14Cataldo.pdf
Creswell, J.W. (2007). Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among Five Approaches,
2nd ed. Sage Publication.
Ernst and Young. 2011. Ever increasing fraud risks in the IT and ITeS sector
Grant, K., Edgar, D., Sukumar, A., & Meyer, M. (2014). Risky business: Perceptions of e-business
risk by UK small and medium sized enterprises (SMEs). International Journal of Information
Management, 34(2), 99–122. https://doi.org/10.1016/j.ijinfomgt.2013.11.001
Halbouni, S.S., Halbouni, S.S., Obeid, N., Obeid, N., Garbou, A. and Garbou, A. (2016), “Corporate
governance and information technology in fraud prevention and detection: evidence from the
UAE”, Managerial Auditing Journal, Vol. 31 Nos 6/7, pp. 589-628.
Iddris, F 2012, “Adoption E-Commerce Solutions in Small and Medium-Sized Enterprises in Ghana”,
European Journal of Business and Management, vol. 4, no. 10, pp. 48-57, diunduh pada 18
Januari 2018, http://pakacademicsearch.com/pdf-files/ech/517/48-
57%20Vol%204,%20No%2010%20(2012).pdf
Krueger, R. A., 1988. FOCUS GROUPS: A Practical Guide for Applied Research. SAGE
Publications. California.
KPMG (2013), “KPMG Malaysia fraud, bribery and corruption survey 2013”, available at:
www.kpmg.com/MY/en/IssuesAndInsights/ArticlesPublications/Documents/2013/fraud-
survey-report.pdf
28
Nugroho, M.A., Susilo, A.Z., Fajar, M.A., & Rahmawati, D., 2017. “Exploratory Study of SMEs
Technology Adoption Readiness Factors”. The 4th Information Systems International
Conference (ISICO) Proceeding 2017.
Perri, F.S. and Brody, R.G. (2012), “The optics of fraud: affiliations that enhance offender credibility”,
Journal of Financial Crime, Vol. 19 No. 3, pp. 305-320.
Rahman, S.M., Lackey, R., 2013, “E-Commerce System Security for Small Business” International
Journal of Network Security & Its Application, vol. 2, no. 2, diunduh pada 17 Januari 2018,
https://pdfs.semanticscholar.org/ad35/db6fefa7b7300b844f7903f0cb79f086d5b3.pdf
Roosdhani, M.R., Wibowo, P.A., Widiastuti, A., 2012, “Analisis Tingkat Penggunaan Teknologi
Informasi dan Komunikasi pada Usaha Kecil Menengah di Kab. Jepara”, Jurnal Dinamika
Ekonomi dan Bisnis, diunduh pada 17 Januari 2018,
https://ejournal.unisnu.ac.id/JDEB/article/view/18
Sukumar, A., & Edgar, D. (2009). E-Business, SMEs and Risks: Towards a Research Agenda.
International Journal of Management Innovation Systems, 1(2).
https://doi.org/10.5296/ijmis.v1i2.113
Sean Stein Smith. 2015. 3 Ways Accountants Can Use Big Data to Fight Fraud. Available at
https://www.accountingweb.com/practice/practice-excellence/3-ways-accountants-can-use-big-
data-to-fight-fraud
Yildirim, E., Akalp, G., Aytac, S., & Bayram, N. (2011). Factors influencing information security
management in small- and medium-sized enterprises: A case study from Turkey. International
Journal of Information Management, 31(4), 360–365.
https://doi.org/10.1016/j.ijinfomgt.2010.10.006
Yin, R.K. (1989). Case Study Research Design and Methods . Washington: COSMOS Corporation
Undang-undang No 20 Tahun 2008 mengenai Usaha Mikro Kecil dan menengah (UMKM).
Winarkho, Sudati dan Priyono. 2017. “Deskripsi dan Permasalahan Pelaku UMKM “. Jurnal Riset
Ekonomi Pembangunan Volume 2 No.2 April 2017.
http://umkm.jogjakota.go.id/direktori2/group.php?mod=ci&cabang_industri=Kerajinan+dan+Umum
&p=45. Diakses pada tanggal 30 Desember 2018.
https://www.coursehero.com/file/p2ou6dg/Berikut-contoh-dari-masing-masing-fraud-berdasarkan-
jenis-korban-a-perusahaan). Diakses pada tanggal 30 Desember 2018
https://www.hestanto.web.id/pengertian-industri-kerajinan. Diakses 30 Desember 2018
REALISASI DANA PENELITIAN
A Biaya Operasional Sesuai
Proposal Realisasi
1 Penggandaan materi 250.000 180.195
2 ATK 1.200.000 0
3 Biaya perjalanan 2.500.000 236.140
4 Biaya Komunikasi 1.000.000 0
5 Biaya pengumpulan data 3.500.000 1.337.000
6 Konsumsi rapat koordinasi peneliti 1.000.000 745.650
7 Biaya FGD instrumen penelitian 2.500.000 3.600.000 8 Konsumsi FGD instrument penelitian 1.000.000 335.000
B Biaya Non-Operasional
1 Penelusuran pustaka 1.300.000 1.250.400
2 Biaya seminar proposal & seminar hasil 600.000 300.000
3 Biaya registrasi international conference 0 3.750.000
Biaya akomodasi international conference 0 3.259.268
4 Penggandaan materi seminar proposal & seminar hasil 250.000 241.000
5 Penggandaan laporan penelitian 400.000 127.070
6 Biaya submit jurnal terindeks 2.500.000 2.500.000
7 Biaya penyusunan artikel 0 400.000
Total Biaya 18.000.000 18.261.723
Keterangan: 1 Penggandaan materi : 80.195
2 Biaya perjalanan 36.140
3 Biaya pengumpulan data
Berupa honor validator 3 orang x Rp400000 1.200.000
Berupa fotokopi 137.000
Total 1.337.000
6 Konsumsi rapat koordinasi peneliti 745.650
7 Biaya FGD instrumen penelitian
Berupa honor dan transportasi untuk 6 peserta 3.600.000
8 Konsumsi FGD instrument penelitian 335.000
9 Penelusuran pustaka 1.250.400
10 Biaya seminar proposal & seminar hasil 300.000
11 Biaya registrasi international conference 3.750.000
12 Biaya akomodasi international conference 3.259.268
13 Penggandaan materi seminar proposal & seminar hasil 241.000
14 Penggandaan laporan penelitian 127.470
15 Biaya submit jurnal terindeks 2.500.000
16 Biaya proofread artikel berbahasa Inggris 400.000
18.262.123
TRANSKRIP WAWANCARA
Transkrip Wawancara Dengan Pemilik Bunk Bed & Breakfast
Afrida : Apa jenis usaha Anda (jasa, dagang, manufaktur) dan bergerak di bidang apa?
Ellya : Bunk, bed and Breakfast bergerak di bidang jasa tepatnya bidang pariwisata
Afrida : Usaha Anda ini sudah berapa lama berjalan?
Ellya : Kurang lebih 4 tahun
Afrida : Sudah lumayan lama ya? Klo boleh tahu, berapakah omset bisnis per bulan?
Ellya : Rata-rata 30jt/bulan, jadi omset setahun kurang lebih Rp360juta
Afrida : Dapatkan Anda menjelaskan tentang proses bisnis Anda?
Ellya : Proses bisnis saya adalah penginapan untuk budget traveller yang mana tamu yang
mau menginap biasanya melakukan reservasi dulu melalui online travel agent atau
langsung menghubungi kami melalui telpon/email/whatsapp, atau mereka juga bisa
langsung booking melalui web kami. Setelah mereka booking kemudian akan dicatat
datanya oleh staf kami dan tamu dapat cek in pada tanggal yang sudah dipesan.
Afrida : Tadi Anda menyatakan bahwa Bunk Bed & Breakfast menggunakan layanan
online, kalau boleh tahu untuk menjalankan fungsi bisnis apa?
Ellya : Baik marketing maupun operasional sudah menggunakan layanan online.
Afrida : Sudah berapa lamakah Bunk Bed & Breakfast menggunakan layanan online
tersebut? Apakah sejak awal berdiri sudah menggunakan layanan online ataukah
baru saja beralih? Jika baru beralih, sudah berapa lama beralih dan mengapa
memutuskan untuk beralih?
Ellya : Untuk aplikasi marketing/penjualan sudah saya gunakan sejak awal usaha saya
berdiri, untuk aplikasi operasional baru berjalan sekitar 3 tahun
Afrida : Mengapa Anda memutuskan untuk menggunakan layanan online untuk Bunk Bed
& Breakfast?
Ellya : Karena untuk penjualan akan sangat membantu mengenalkan keberadaan usaha
kami di masyarakat, apalagi target market usaha saya tidak cuma wisatawan
domestic tapi juga mancanegara, sedangkan untuk aplikasi operaasional
dibutuhkan untuk efisiensi dan efektifitas kerja saya dengan tim saya.
Afrida : Menurut Anda, bagaimana layanan online yang Anda gunakan membantu
keberlangsungan usaha Anda selama ini? Apakah memberikan pengaruh positif,
biasa saja, atau justru negatif? Misalnya pelanggan semakin banyak, operasional
semakin mudah/rumit, dll.
Ellya : Sejauh ini aplikasi yang saya gunakan di usaha saya masih membantu
keberlangsungan usaha, karena jika tidak pasti sudah saya cut tidak saya pakai lagi.
Afrida : Saat Anda memutuskan untuk menggunakan layanan online untuk Bunk Bed &
Breakfast, bagaimana Anda memilih yakin bahwa ini yang terbaik bagi usaha Anda?
Apa saja pertimbangannya kalau boleh tahu?
Ellya : Pertimbangannya biasanya adalah seberapa banyak aplikasi tersebut digunakan
oleh para wisatawan untuk mencari penginapan, dan seberapa memudahkan kami
untuk membantu dalam menjelaskan bisnis kami, selain itu harga/fee yang
dibayarkan juga menjadi salah satu pertimbangan kami.
Afrida : Bagaimana pengaruh orang di sekitar Anda, seperti karyawan, rekan bisnis,
kompetitor terhadap keputusan Anda menggunakan aplikasi tersebut? Apakah
keputusan Anda menggunakan aplikasi tersebut dipengaruhi oleh mereka atau tidak?
Ellya : Sebenarnya keputusan saya menggunakan aplikasi marketing jelas dipengaruhi
oleh orang di sekitar saya seperti rekan bisnis atau competitor, melihat bagaimana
target pasar kami, untuk aplikasi operasional juga kami mempertimbangkan kinerja
staff apakah lebih efektif dan efisien untuk mereka sehingga mereka akan bekerja
maksimal dan meminimalisir kesalahan saat bekerja.
Afrida : Apakah Anda memiliki pengalaman tidak menyenangkan selama Anda
menggunakan aplikasi atau layanan online? (Contohnya, menjadi korban penipuan,
mendapat order palsu, data yang disimpan di sistem informasi hilang atau rusak, dll.)
Jika pernah, mohon dijelaskan!
Ellya : Untuk penipuan online, Alhamdulillah belum pernah menjadi korban, semoga tidak
terjadi ya. Karena kami sudah meminimalisir dengan cara bayar di muka. Paling
kalo hal yang kurang menyenangkan kadang ada oknum yang sengaja membooking
semua kamar lewat aplikasi sehingga terlihat kamar yang saya jual sudah habis dan
tidak bisa di booking orang lain tapi oknum tersebut tidak mau melakukan
pembayaran dan tidak datang (fake booking) namun biasanya jika terjadi seperti ini
kami langsung lapor ke pemilik aplikasi agar bokingan tersebut dihapus sehingga
bisa dijual lagi kamarnya, dan saya sudah menerapkan regulasi batas waktu
pembayaran sehingga jika hal tersebut terjadi akan segera teratasi dengan cepat jadi
kami tidak merugi.
Afrida : Apakah Anda menyadari risiko atau kerugian yang mungkin terjadi jika Anda
menggunakan aplikasi/layanan online ini? Jika ya, tolong jelaskan dengan contoh
sesuai pemahaman Anda. Jika tidak, kenapa Anda berpendapat begitu?
Ellya : Resiko kerugian jelas ada, namanya bisnis pasti ada resiko tersebut, seperti yang
sudah saya jelaskan sebelumnya kalau bakal ada fake booking namun ya saya sudah
antisipasi bagaimana menimimalisir hal tersebut dengan menerapkan pembayaran di
muka sebelum tamu cek in, jadi jika tamu tidak melakukan pembayaran yang sudah
ditentukan pemesanan kamar otomatis hangus.
Afrida : Apakah Anda sudah mengetahui dan sudah menjalankan cara-cara untuk mencegah
terjadinya penipuan seperti yang sudah dijelaskan di atas. Jika ya, tolong dijelaskan
menurut Anda langkah-langkah apa yang diperlukan.
Ellya : Antisipasi sudah dilakukan yaitu dengan cara melakukan pembayaran di depan
dengan batas waktu yang telah ditentukan sehingga mencegah kerugian tidak
terjualnya kamar jika tamu tersebut batal pesan atau tidak datang (no show)
Afrida : Anda tadi mengatakan bahwa belum pernah menjadi korban penipuan online.
Langkah apa yang sudah Anda lakukan untuk mencegahnya?
Ellya : Alhamdulillah belum pernah mengalami, karena semua transaksi yang akan terjadi
jika itu bersumber dari platform yang tidak jelas akan kami filter berkali2. Jadi
memang jangan mudah percaya pada orang yang transaksinya terlihat
mencurigakan.
Afrida : Apakah Bunk bed & breakfast telah memiliki SOP, kebijakan atau bisa juga cukup
sebagai kebiasaan, tentang hal-hal yang perlu Anda lakukan terkait dengan
bagaimana bisnis Anda menggunakan aplikasi/layanan online tersebut? Jika ya, bisa
tolong dijelaskan?
Ellya : SOP jelas ada karena saya memiliki banyak staf yang mana perlu standard
bagaimana mereka bekerja, di SOP juga sudah dijelaskan bagaimana mereka harus
merespon tamu, menggunakan aplikasi, regulasi yang diterapkan ketika ada
reservasi dari aplikasi juga sudah ada dalam SOP. Setiap staf punya tanggung jawab
sendiri dengan SOP yang spesifik sesuai tanggung jawab mereka.
Afrida: Baik, saya rasa informasi yang Mbak Ellya berikan sudah cukup memadai. Terima
kasih atas waktunya. Semoga Bunk, Bed & Breakfast tingkat okupansinya semakin
tinggi dan tidak menjadi korban penipuan online.
Ellya : Aamiin. Terima kasih kembali, Mbak Afrida. Senang bisa membantu.
Wawancara susulan:
A : Assalamu’alaikum, Mbak Ellya. Mohon maaf saya mengganggu waktu Mbak karena
ada beberapa informasi penting terkait usaha Mbak yaitu Bunk, Bed & Breakfast yang
kemarin kelupaan. Apakah Mbak Ellya masih bersedia saya wawancarai by phone
lagi?
E : Ok, ga apa-apa. Akan saya jawab sebisa saya ya, Mbak Afrida.
A : Baik. Sebelumnya, terima kasih banyak atas waktunya ya, Mbak Ellya. Saya ingin
mengetahui sebenarnya apa yang mbak pahami tentang jenis-jenis kejahatan teknologi
informasi yang dialami oleh Bunk, Bed & Breakfast?
E : Kalau saya tidak salah ingat, dahulu saya pernah menyampaikan dalam kesempatan
wawancara terdahulu bahwa Bunk, Bed & Breakfast sudah pernah mengalami fake
booking, dan fake payment meskipun tidak menimbulkan kerugian material sebab
sudah diantisipasi sebelumnya. Keduanya termasuk jenis kejahatan TI kan, Mbak
Afrida?
A : Ya, benar, Mbak. Keduanya memang termasuk jenis kejahatan TI. Langkah
antisipasi yang sudah diterapkan adalah SOP terkait penggunaan aplikasi, SOP proses
order lewat aplikasi, SOP pembayaran di muka lewat aplikasi ya, Mbak Ellya?
E : Betul, Mbak Afrida. Jadi alhamdulillah kami belum pernah menjadi korban
kejahatan TI hingga hari ini. Semoga tidak akan pernah ya…
A : Iya, semoga tidak akan pernah, Mbak. Jadi bisa saya simpulkan bahwa tingkat
keamanan TI Bunk, Bed, and Breakfast sudah cukup tinggi ya, Mbak. Meskipun
demikian, kira-kira apakah Mbak Ellya bersedia mengeluarkan biaya lebih banyak
atau dengan kata lain, berinvestasi lebih besar dalam upaya meningkatkan keamanan
TI Bunk, Bed & Breakfast?
E : Seperti yang sudah saya utarakan dalam wawancara awal dahulu, untuk aplikasi
traveloka, pagoda, dsb bukan kami yang melakukan investasi peningkatan keamanan.
Yang melakukan investasi peningkatan keamanan adalah pihak provider sedangkan
untuk website kami milik sendiri, saya bersedia berinvestasi lebih asalkan biayanya
masih terjangkau dan mampu membantu keberlangsungan usaha, logikanya jika
website Bunk, Bed & Breakfast keamanannya bagus, otomatis dapat meningkatkan
kepercayaan dan kenyamanan calon customer
A : Begitu ya…Baik, Mbak Ellya. Jika Mbak Ellya berkenan memberikan informasi,
apakah selama ini Mbak sudah melakukan maintenance atau perawatan rutin untuk
website Bunk, Bed & Breakfast?
E : Bunk, Bed & Breakfast sebagian besar transaksinya dilakukan melalui aplikasi
traveloka, pagoda, dsb sehingga saya kurang tahu apakah telah dilakukan perawatan
rutin tapi harapannya pihak provider sudah melakukan perawatan rutin sih
ya….Untuk website milik Bunk, Bed & Breakfast sendiri biasanya baru
dimaintenance saat terjadi masalah saja karena mayoritas transaksi booking kamar
dan pembayaran kamar berasal dari aplikasi traveloka, pagoda, dsb, bukan dari
website milik kami sendiri.
A : Jadi bisa saya simpulkan bahwa Bunk, Bed & Breakfast belum melakukan
maintenance website milik sendiri secara rutin ya, Mbak?
E : Betul, Mbak Afrida. Mungkin jika transaksi yang dilakukan customer lewat website
Bunk, Bed & Breakfast sudah semakin banyak baru akan kami lakukan perawatan
rutin. Untuk saat ini kami belum menganggap perawatan rutin sebagai hal yang
mendesak untuk dilakukan.
A : Oke, Mbak Ellya. Nah Mbak Ellya sebagai pemilik Bunk, Bed & Breakfast kira-kira
membutuhkan kegiatan literasi, sosialisasi atau pelatihan untuk mengantisipasi dan
mengatasi kejahatan TI atau tidak? Lalu apakah selama menjalankan usaha Bunk, Bed
& Breakfast ini, Mbak Ellya pernah mendapatkan info adanya kegiatan sosialisasi atau
pelatihan terkait kejahatan TI bagi para pelaku UMKM atau tidak?
E : Seingat saya, saya belum pernah mendapatkan informasi sosialisasi maupun
pelatihan terkait kejahatan TI bagi pelaku UMKM dari dinas terkait ya…. Selama ini
saya hanya mendapatkan informasi tentang kejahatan TI yang pernah dialami oleh
rekan bisnis dan yang pernah saya hadapi sendiri. Seandainya saja ada kegiatan
semacam sosialisasi atau pelatihan tentang cara pencegahan kejahatan TI, mungkin
saya atau karyawan saya akan mengikutinya. Ya lumayanlah untuk menambah
wawasan kami tentang kejahatan TI meskipun alhamdulillah selama ini belum pernah
menjadi korban kejahatan TI.
A : Oh begitu njih…Baik, saya rasa wawancara ini sudah cukup. Terima kasih banyak
sudah menyediakan waktu untuk saya wawancarai di sela kesibukan Mbak Ellya.
Mohon maaf apabila sudah mengganggu aktivitas Mbak Ellya untuk kedua kalinya.
E : Saya senang bisa membantu, Mbak Afrida. Maaf ya terpaksa wawancara by phone
saja, tidak bisa ketemu langsung karena saya ada agenda lain yang tidak bisa
ditinggalkan.
A : iya ga apa-apa kok, Mbak. Saya sudah sangat terbantu. Sekali lagi terima kasih atas
informasinya ya, Mbak Ellya. Semoga Bunk, Bed, & Breakfast semakin tinggi tingkat
okupansinya dan tidak pernah menjadi korban kejahatan TI.
E : Aamiin ya rabbal alamiin. Terima kasih kembali, Mbak Afrida.
Transkrip Wawancara Dengan Pemilik Alifa Babyshop
Afrida : Apa jenis usaha Anda (jasa, dagang, manufaktur) dan bergerak di bidang apa?
Eka Daytan : Alifa Babyshop adalah usaha saya yang bergerak di bidang penjualan aneka
ragam perlengkapan bayi dan balita.
Afrida : Alifa Babyshop ini sudah berapa lama berjalan?
Eka Daytan : Usaha ini sudah berjalan sejak pertengahan 2016, jadi skrg sudah 3 tahunan.
Afrida : Jika boleh tahu, berapakah omset bisnis per bulan?
Eka Daytan : Jumlah orderan setiap bulan memang tidak menentu namun jika dirata-rata
omset kami sekitar Rp6juta per bulan, jadi omset setahun kurang lebih
Rp72juta.
Afrida : Dapatkan Anda menjelaskan tentang proses bisnis Anda?
Eka Daytan : Saya melakukan pembelian perlengkapan bayi ke distributor untuk stok,
dengan jumlahnya yang mencukupi dengan ragam jenis dan range ukuran yang
memadai. Jika ada customer yang menginginkan suatu barang namun saya
tidak memiliki cukup stok, maka customer bisa melihatnya juga di tampilan
laman marketplace alifa babyshop sehingga saya tidak terkesan PHP.
Afrida : Anda tadi mengatakan Alifa Babyshop menggunakan marketplace? apakah
Anda sendiri yang menangani ataukah ada karyawan yang Anda pekerjakan
untuk menangani order dari marketplace ini?
Eka Daytan : Sebenarnya saya hanya memiliki 1 orang karyawan yang bergantian dengan
saya bertugas menjaga toko offline, mengambil barang dari distributor,
menangani order dari marketplace, sekaligus yang bertugas untuk mengirimkan
barang orderan konsumen ke ekspedisi.
Afrida : Apakah ada platform lain yang digunakan selain marketplace? Bisa tolong
disebutkan?
Eka Daytan : Kami menggunakan tokopedia, IG, dan Fb.
Afrida : Platform yang Anda sebutkan tadi, untuk untuk menjalankan fungsi bisnis apa?
Apakah hanya pemasaran, penjualan, operasional ataukah ada fungsi lain?
Eka Daytan : Untuk marketing, dan penjualan Alifa Babyshop saja.
Afrida : Sudah berapa lamakah Alifa Babyshop Anda menggunakan platform-platform
online tersebut? Apakah usaha Anda sejak awal berdiri sudah menggunakannya
atau baru saja beralih? Jika baru beralih, sudah berapa lama beralih dan mengapa
memutuskan untuk beralih?
Eka Daytan : Seingat saya akhir tahun 2017 mulai beralih ke online menggunakan marketplace.
Jika hanya mengandalkan toko offline jelas bisnis ini tidak bisa berkembang
karena bila mengandalkan toko offline kami yang hanya berupa kios kecil di
rumah saya maka hanya tetangga dan kenalan saja yang tahu lokasinya
sehingga tidak akan dapat menjangkau banyak kalangan.
Afrida : Jika boleh tahu, mengapa Anda memutuskan untuk menggunakan marketplace bagi
Alifa Babyshop?
Eka Daytan : Sudah banyak competitor yang melakukan hal yang sama dan juga karena
keterbatasan sumberdaya modal maupun sumber daya manusia (hanya saya dan 1
karyawan sebagai admin & tukang antar barang ke ekspedisi). Sekarang semua orang
punya smartphone dan hampir semua orang menjadi pengguna marketplace jadi
peluang untuk menjangkau lebih banyak calon konsumen cukup menjanjikan
dibandingkan bila hanya mengandalkan took offline di ruamh saya saja.
Afrida : Menurut Anda, bagaimana marketplace membantu Alifa Babyshop dalam
mempertahankan keberlangsungan usaha? Apakah memberikan pengaruh positif,
biasa saja, atau justru pengaruh negatif?
Eka Daytan : Menurut pengalaman saya selama ini, marketplace sangat banyak pengaruh
positifnya dalam meningkatkan penjualan saya. Adanya keterbatasan waktu dan
dukungan teknologi smartphone mendorong ibu-ibu muda menjadi lebih suka
browsing di marketplace daripada harus menghabiskan banyak waktu mencari
perlengkapan bayi di toko offline.
Afrida : Saat Anda memutuskan untuk menggunakan marketplace untuk bisnis Anda,
bagaimana Anda yakin telah memilih yang terbaik bagi usaha Anda? Kalau boleh
tahu, apasajakah pertimbangan Anda?
Eka Daytan : Pertimbangan saya sederhana, saya memiliki keterbatasan sumberdaya modal
dan sumberdaya manusia sehingga marketplace adalah pilihan terbaik bagi Alifa
Babyshop.
Afrida : Bagaimana pengaruh orang di sekitar Anda, misalnya karyawan, rekan bisnis, pesaing,
dan pelanggan terhadap keputusan Anda menggunakan website? Apakah keputusan
Anda memakai website dipengaruhi oleh mereka atau tidak?
Eka Daytan : Rekan bisnis saya seperti distributor dan karyawan sangat mendukung.
Keputusan saya memakai marketplace lebih karena ingin mengatasi keterbatasan
sumberdaya modal dan sumberdaya manusia yang kami miliki.
Afrida : Apakah Anda memiliki pengalaman tidak menyenangkan selama Anda menggunakan
marketplace ini? Contohnya menjadi korban penipuan, mendapat order palsu, data
yang disimpan di sistem informasi hilang atau rusak. Bisa tolong Anda jelaskan?
Eka Daytan : Alhamdulilah belum pernah sih, Mbak. Semoga jangan pernah.
Afrida : Apakah Anda menyadari risiko atau kerugian yang mungkin terjadi jika Anda
menggunakan marketplace ini? Jika ya, tolong jelaskan dengan contoh sesuai
pemahaman Anda? Jika tidak, bisa tolong jelaskan alasan Anda?
Eka Daytan : Saya sadar berjualan offline maupun online pasti ada risikonya namun saya
percaya system keamanan yang digunakan marketplace bisa mengantisipasinya. Yang
penting kita jujur, pasti konsumen juga memberikan testimony positif sehingga calon
konsumen juga percaya pada kita.
Afrida : Apakah Anda sudah mengetahui dan sudah menjalankan cara-cara untuk mencegah
terjadinya penipuan seperti yang sudah dijelaskan di atas. Jika ya, tolong dijelaskan
menurut Anda langkah-langkah apa yang diperlukan. Jika belum, menurut Anda
mengapa Anda tidak memperlukan langkah tersebut?
Eka Daytan : saya sudah mengetahui dan sudah menjalankan beberapa langkah pengamanan
minimal yang disarankan oleh provider marketplace.
Afrida : Seandainya Anda suatu saat menjadi korban penipuan online, langkah apa yang sudah
Anda lakukan untuk menanggulangi hal tersebut?
Eka Daytan :Saya akan segera lapor ke provider marketplace agar segera melakukan
pengecekan dan penelusuran, lalu akan lapor juga ke Polisi Polda Yogyakarta sebagai
ikhtiar untuk melacak penipu online tersebut. Kalau uang saya tidak kembali,
setidaknya bisa mencegah agar tidak jatuh korban penipuan online lain.
Afrida : Apakah Alifa Babyshop telah memiliki SOP? Dapatkah Anda beri gambaran SOP
tersebut? Jika tidak, mengapa?
Eka Daytan : Sayangnya hingga saat ini kami belum punya, hanya sekedar kebiasaan yang
selalu kami jalankan. Berhubung saya menangani sendiri operasional Alifa
Babyushop dibantu hanya oleh 1 karyawan maka pengendaliannya cukup mudah, bila
timbul masalah bisa langsung saya handle. Mungkin jika Alifa Babyshop sudah
berkembang dan memiliki lebih banyak karyawan, barulah saya akan membuat SOP
tertulis. Selama ini penjualan lewat marketplace Alhamdulillah juga lancar tidak
pernah menemui kendala yang berarti.
Afrida : Baiklah, saya rasa wawancara hari ini sudah cukup. Terima kasih banyak atas waktu
dan kesediaan Mbak Eka menjadi responden penelitian kami, Mbak Eka. Semoga
Alifa Babyshop tidak pernah menjadi korban penipuan online ya
Eka Daytan: Aamiin. Sama-sama, Mbak Afrida. Senang bisa membantu. Ditunggu repeat
ordernya.
Afrida : Siap, Mbak Eka.
Wawancara susulan:
A : Assalamu’alaikum, Mbak Eka. Sebelumnya, saya mohon maaf harus merepotkan
Mbak lagi karena ternyata ada beberapa informasi yang terlupa untuk saya tanyakan
ke Mbak.
E : Baik, ga masalah, Mbak. Kalau ketemuan langsung memang ga bisa karena saya
sedang di luar kota jadi terpaksa wawancara by phone saja. Semoga tidak
mengecewakan Mbak Afrida.
A : Oh ga apa-apa, Mbak. Saya sudah sangat terbantu dengan kesediaan saya
wawancarai kembali meskipun hanya by phone. Jadi begini Mbak, saya ingin
mengetahui sebenarnya apa sih yang Mbak Eka pahami tentang jenis-jenis kejahatan
teknologi informasi?
E : Ya seperti yang pernah saya kemukakan dalam wawancara terdahulu, ada beberapa
jenis kejahatan teknologi informasi seperti fake payment, dan fake order yang sudah
familiar bagi saya.
A : Oh iya. Dahulu Mbak Eka pernah menyampaikan bahwa di Alifa Babyshop sudah
ada kebiasaan tidak tertulis, lalu penjualan lewat tokopedia sudah dilakukan secara
otomatis oleh provider tokopedia sedangkan pencatatan penjualan melalui medsos
dilakukan secara manual. Benar demikian ya,Mbak?
E : Iya benar, Mbak Afrida. Itu yang selama ini berjalan di Alifa Babyshop.
A : Ok. Kira-kira apakah Mbak bersedia berinvestasi lebih besar dalam upaya
meningkatkan keamanan TI Alifa Babyshop?
E : Bagaimana ya, Mbak Afrida. Mayoritas transaksi Alifa Babyshop kan berasal dari
marketplace dan medsos jadi yang melakukan investasi dalam peningkatan keamanan
selama ini tidak lain adalah pihak provider marketplace dan medsos, bukan saya
selaku pemilik Alifa Babyshop. Mungkin di masa mendatang jika omset
AlifaBabyshop berkembang pesat, saya baru akan membuat website dan bersedia
berinvestasi lebih banyak untuk meningkatkan keamanan website Alifa Babyshop.
A : Baiklah, Mbak Eka. Oya Apakah selama ini sudah ada perawatan rutin terhadap TI
yang dimiliki Alifa Babyshop?
E : Saya jelas tidak melakukan perawatan rutin terhadap TI karena bukan pemilik
aplikasi marketplace dan medsos. Yang melakukan perawatan rutin seharusnya adalah
provider marketplace (Tokopedia) dan provider medsos (IG dan Fb) ya namun saya
tidak tahu persis apakah benar sudah dilakukan perawatan rutin terhadap TI
marketplace dan medsos karena saya selama ini tidak pernah mendapatkan informasi
detailnya dari provider,Mbak.
A : Oh begitu ya….Jadi bisa saya simpulkan bahwa Alifa Babyshop tidak pernah
melakukan maintenance secara rutin ya, Mbak?
E : Ya, memang benar, Mbak. Tapi saya yakin pihak provider marketplace dan provider
medsos sudah melakukan maintenance rutin.
A : Oke, Mbak Eka. Nah Mbak Eka, kira-kira Anda sebagai pelaku UMKM apakah
membutuhkan kegiatan literasi, sosialisasi atau pelatihan untuk mengantisipasi dan
mengatasi kejahatan TI atau tidak? Lalu apakah selama menjalankan usaha, Mbak Eka
pernah mendapatkan info adanya kegiatan sosialisasi atau pelatihan terkait kejahatan
TI bagi para pelaku UMKM atau tidak?
E : Saya selama ini mendapatkan banyak informasi terkait kejahatan TI yang marak
terjadi di UMKM dari teman-teman saya sesama pelaku UMKM namun saya pribadi
belum pernah mendapatkan info sosialisasi dan pelatihan terkait kejahatan TI bagi
UMKM. Seandainya suatu saat nanti akan diadakan sosialisasi dan pelatihan
mengenai cara pencegahan dan penanganan kejahatan TI di bagi UMKM, menurut
saya sebaiknya yang materinya mudah dipahami orang awam sebab saya maupun 1
orang karyawan yang saya pekerjakan tidak memiliki latar belakang pendidikan di
bidang TI sama sekali. Kalau materinya terlalu high-tech rumit gitu, bukannya paham
takutnya malah jadi bingung nantinya. Saya kan hanya ibu rumah tangga biasa, Mbak
Afrida.
A : Oh iya ya….baik, Mbak Eka. Saya informasi dari Mbak Eka sudah mencukupi.
Terima kasih banyak atas waktunya ya, Mbak Eka. Mohon maaf sudah merepotkan
Mbak Eka untuk kedua kalinya.
E : Ga apa-apa, santai aja, Mbak Afrida. Saya juga mohon maaf kita tidak bisa meet up
sebab saya sedang ada agenda di luar kota jadi cuma wawancara by phone saja.
A : Terima kasih banyak atas informasinya ya, Mbak Eka. Semoga Alifa Babyshop tidak
menjadi korban kejahatan TI ya
E : Aamiin ya rabbal alamiin. Sama-sama, Mbak Afrida.
Transkrip Wawancara Dengan Pemilik Kamila Wardrobe
Afrida : Apa jenis usaha Anda (jasa, dagang, manufaktur) dan bergerak di bidang apa?
Rizka : Kamila wardrobe milik saya adalah usaha pembuatan dan penjualan aneka ragam
fashion wanita mulai dari jilbab, kemeja, blus, tunik, gamis, dan celana panjang wanita.
Afrida : Kamila Wardrobe ini sudah berapa lama berjalan?
Rizka : Usaha ini sudah berjalan cukup lama sejak 2012. Awalnya saya hanya membantu usaha
tailor nenek saya namun kemudian saya mulai membuat pola gambar, menjahit dan menjual
pakaian karya saya sendiri. Awalnya dari lingkaran pertemanan saya lalu semakin berkembang
hingga pada akhirnya berdirilah Kamila Wardrobe pada 2012.
Afrida : Jika boleh tahu, berapakah omset bisnis per bulan?
Rizka : Sekitar Rp3.000.000.000 per tahun
Afrida : Dapatkan Anda menjelaskan tentang proses bisnis Anda?
Rizka : Sekarang saya focus membuat desain-desain pakaian yang baru lalu memberikan
desain tersebut kepada penjahit untuk dijahit, kemudian memasarkannya via website.
Pembayaran dan konfirmasi pembayaran dari customer juga via website. Customer
dan saya juga dapat mengecek stok barang lewat website. Tracking kiriman barang
juga bisa dilakukan via website kami.
Afrida : Website ini dibuat dan dikelola sendiri oleh karyawan Anda atau dioutsourchingkan?
Rizka : Kami bekerjasama dengan pihak kedua untuk pembuatan website ini namun setelah
website jadi, pengelolaannya oleh admin yang merupakan karyawan Kamila
Wardrobe.
Afrida : Dalam usaha anda, Anda menggunakan website untuk menjalankan fungsi bisnis apa?
Rizka : Untuk marketing, penjualan dan operasional semua menggunakan website kamila
wardrobe.
Afrida : Sudah berapa lamakah usaha Anda menggunakan website tersebut? Apakah usaha
Anda sejak awal berdiri sudah menggunakan website ini? Jika baru beralih, sudah
berapa lama beralih dan mengapa memutuskan untuk beralih?
Rizka : Sudah sejak tahun 2017 yang lalu kami menggunakan website. Memutuskan beralih
karena semakin lama tren penjualan online semakin meningkat. Tadinya kami hanya
melakukan penjualan lewat medsos (Fb, IG, Line, WA) namun semakin lama dengan
meningkatnya kuantitas order sehingga kami kewalahan dan sudah terbukti
penggunaan website sangat memudahkan operasional kami.
Afrida : Jika boleh tahu, mengapa Anda memutuskan untuk menggunakan website tersebut
untuk bisnis Kamila Wardrobe?
Rizka : Saat itu saya melihat memang semua bisnis mengarah ke penjualan online karena
praktis dan saya rasa website yang paling cocok untuk kami. Kami pernah
menggunakan shopee namun sekarang sudah tidak lagi karena website praktis, jika
ada masalah kami bias meminta developer website untuk memperbaiki namun hingga
saat ini Alhamdulillah tidak pernah ada masalah. Website kami sudah dipasangi
firewall jadi insyaAllah cukup aman. Hingga saat ini kami masih melakukan promosi
lewat endorsement artis di Instagram dan Facebook namun jika ada customer yang
menghubungi langsung kami arahkan untuk registrasi di website Kamila Wardrobe
sebab fitur di website sudah cukup lengkap.
Afrida : Menurut Anda, bagaimana website Kamila Wardrobe membantu keberlangsungan
usaha Anda selama ini? Apakah memberikan pengaruh positif, biasa saja, atau justru
pengaruh negatif?
Rizka : Menurut pengalaman saya selama ini, website Kamila Wardrobe sangat Sangat
banyak pengaruh positifnya. Kuantitas penjualan meningkat, jam pelayanan order
yang fleksibel, pengecekan ready stock lebih, confirm payment oleh customer lebih
mudah, tracking pengiriman pesanan oleh customer lebih mudah. Pembayaran lewat
website kami sudah menggunakan token (3 digit kode unik) sehingga insyaAllah
cukup aman. Overall saya puas menggunakan website ini sebab memudahkan
operasional kami.
Afrida : Saat Anda memutuskan untuk menggunakan website ini untuk bisnis Anda,
bagaimana Anda yakin telah memilih yang terbaik bagi usaha Anda? Kalau boleh
tahu, apasajakah pertimbangan Anda?
Rizka : Sebenarnya yang menjadi pertimbangan utama saya adalah faktor kemudahan
penggunaan, keamanan dan biaya. Setelah menggunakan website ini selama lebih dari
2,5 tahun, website ini telah mampu memenuhi kebutuhan Kamila Wardrobe. Biayanya
juga masih wajar dan sesuai anggaran kami. Website ini juga user friendly jadi
masyarakat awam yang menjadi calon customer kami tidak kesulitan dalam
mengaksesnya.
Afrida : Bagaimana pengaruh orang di sekitar Anda, misalnya karyawan, rekan bisnis, pesaing,
dan pelanggan terhadap keputusan Anda menggunakan website? Apakah keputusan
Anda memakai website dipengaruhi oleh mereka atau tidak?
Rizka : Rekan bisnis saya seperti penjahit langganan dan karyawan saya sangat mendukung
keputusan saya menggunakan website untuk menunjang perkembangan Kamila
Wardrobe. Kompetitor saya pada saat itu beberapa sudah menggunakan website
terlebih dahulu dibandingkan saya jadi hal tersebut memang sedikit-banyak membuat
saya memikirkan alternative penggunaan website Kamila Wardrobe.
Afrida : Apakah Anda memiliki pengalaman tidak menyenangkan selama Anda menggunakan
website Kamila Wardrobe ini? Contohnya menjadi korban penipuan, mendapat order
palsu, data yang disimpan di sistem informasi hilang atau rusak. Bisa tolong Anda
jelaskan?
Rizka : Pernah ada customer yang confirm payment padahal sebenarnya belum melakukan
payment sama sekali namun berhubung kami memiliki SOP double checking yaitu
untuk mengirimkan barang orderan setelah payment benar-benar masuk ke rekening
kami, maka kami tidak tertipu. Pernah juga ada customer yang tertipu melakukan
order dan pembayaran di website yang serupa dengan website Kamila Wwardrobe
kami (namun bukan website asli kami) sehingga karena kami kasihan akhirnya kami
memberikan produk secara gratis agar customer tidak kecewa.
Afrida : Apakah Anda menyadari risiko atau kerugian yang mungkin terjadi jika Anda
menggunakan website ini? Jika ya, tolong jelaskan dengan contoh sesuai pemahaman
Anda? Jika tidak, bisa tolong jelaskan alasan Anda?
Rizka : Saya sadar berjualan online lewat website, medsos, Line, WA, atau marketplace tetap
ada risikonya. Teknologi secanggih apapun pasti suatu saat juga akan usang, begitu
juga sistem keamanan website Kamila Wardrobe yang dilengkapi firewall dan token
pun tidak bisa menjamin 100% aman dari hacker/cracker namun setidaknya kami
sudah melakukan upaya sebaik mungkin yang kami mampu untuk menjaga
kepercayaan konsumen kami. Salah satu cara meyakinkan calon customer adalah
dengan memposting real testimony dari customer kami yang merasa puas dengan
layanan website kami, juga endorsement artis yang juga sudah pernah menjadi
pelanggan Kamila Wardrobe.
Afrida : Apakah Anda sudah mengetahui dan sudah menjalankan cara-cara untuk mencegah
terjadinya penipuan seperti yang sudah dijelaskan di atas. Jika ya, tolong dijelaskan
menurut Anda langkah-langkah apa yang diperlukan. Jika belum, menurut Anda
mengapa Anda tidak memperlukan langkah tersebut?
Rizka : saya sudah mengetahui dan sudah menjalankan beberapa cara untuk mencegah
penipuan online antara lain menggunakan firewall untuk website kamila wardrobe dan
token untuk pembayaran order dari customer. Kami juga sudah memiliki SOP double
check sebelum melakukan shipping order dari customer.
Afrida : Seandainya Anda suatu saat menjadi korban penipuan online, langkah apa yang
sudah Anda lakukan untuk menanggulangi hal tersebut?
Rizka :Saya akan segera lapor ke developer website saya agar segera melakukan pengecekan
dan peningkatan keamanan, saya juga akan melaporkan ke Polisi divisi cybercrime
Polda Yogyakarta agar dapat melacak penipu online tersebut agar tidak jatuh korban
lain.
Afrida : Tadi di awal Anda mengatakan bahwa Kamila Wardrobe telah memiliki SOP double
check, apakah ada SOP lainnya? Dapatkah Anda beri gambaran yang lebih jelas?
Rizka : SOP double checking yaitu untuk mengirimkan barang orderan setelah payment benar-
benar masuk ke rekening kami. SOP lain adalah calon customer baru bisa melakukan
order pembelian setelah melakukan registrasi dengan menuliskan alamat email, nomor
telepon/hp, alamat, dan tanggal lahir di website Kamila Wardrobe. SOP Comfirm
payment adalah customer harus mengkonfirmasi bahwa telah melakukan pembayaran
diserta dengan kode order dan tanggal order pembelian yang dilakukannya.
Wawancara susulan:
Afrida : Assalamu’alaikum, Mbak Rizka. Mohon maaf mengganggu waktu Mbak Rizka
karena ada beberapa informasi penting terkait Kamila Wardrobe yang kemarin
terlewat untuk saya tanyakan. Apakah Mbak Rizka bersedia saya wawancarai by
phone lagi?
Rizka : Oh iya, monggo saja, Mbak Afrida. Selama saya bisa bantu, akan saya bantu
semampu saya.
Afrida : Terima kasih banyak ya, Mbak Rizka. Begini Mbak, kami ingin mengetahui
sebenarnya apa yang mbak pahami tentang jenis kejahatan teknologi informasi yang
dialami Kamila Wardrobe?
Rizka : Seperti yang sudah saya sampaikan saat wawancara terdahulu, sebenarnya Kamila
Wardrobe sudah pernah mengalami beberapa jenis kejahatan TI seperti fake order,
fake website, dan fake payment namun alhamdulillah hingga saat ini masih bisa kami
atasi.
Afrida : Semua itu bisa diatasi karena Kamila Wardrobe sudah menggunakan Firewall,
token,prosedur pelanggan harus registrasi sebelum melakukan order, dan prosedur
confirm payment ya, Mbak?
Rizka : Ya,benar,Mbak. Langkah pengamanan tersebut yang selama ini kami jalankan dan
alhamdulillah cukup berhasil untuk Kamila Wardrobe.
Afrida : Jadi bisa dikatakan bahwa tingkat keamanan Kamila Wardrobe cukup baik ya, Mbak.
Nah kira-kira apakah Mbak Rizka bersedia mengeluarkan biaya lebih banyak atau bisa
dikatakan, berinvestasi lebih besar dalam upaya meningkatkan keamanan website
Kamila Wardrobe?
Rizka : Saya rasa tidak masalah bila harus berinvestasi lebih banyak demi meningkatkan
keamanan asalkan biayanya masih sesuai dengan anggaran Kamila Wardrobe, dan
pengambahan fitur keamanan tersebut tidak serta-merta mengubah proses bisnis
Kamila Wardrobe yang sudah berjalan dengan sangat baik selama ini
Afrida : Oh begitu ya, Mbak Rizka. Baik. Oh ya kalau boleh tahu, apakah selama ini Mbak
Rizka sudah melakukan maintenance atau perawatan rutin untuk website Kamila
Wardrobe?
Rizka : Saya dan karyawan saya tidak memiliki background TI sehingga yang melakukan
perawatan adalah pihak kedua yang merupakan developer website Kamila Wardrobe.
Di wawancara terdahulu saya pernah memberitahukan tentang hal ini. Jadi sebenarnya
perawatan website tidak terlalu sering, biasanya dilakukan setengah tahun sekali atau
bila terjadi masalah/error, maka kami akan langsung menghubungi pihak developer
website ini agar masalah segera teratasi.Hal ini sudah tertuang dalam surat kontrak
antara pihak Kamila Wardrobe dengan pihak developer website.
Afrida : Jadi sudah ada kontrak hitam di atas putih supaya tanggungjawab perawatan rutin
ini jelas siapa pelaksananya ya,Mbak Rizka?
Rizka : Betul, Mbak. Serahkan masalah TI pada ahlinya saja.
Afrida : Baik, Mbak Rizka. Oya menurut Mbak pribadi, sebenarnya UMKM seperti Kamila
Wardrobe membutuhkan kegiatan literasi, sosialisasi atau pelatihan untuk
mengantisipasi dan mengatasi kejahatan TI atau tidak? Lalu apakah Mbak pernah
mendapatkan info adanya kegiatan sosialisasi atau pelatihan terkait kejahatan TI bagi
pelaku UMKM?
Rizka : Saya kurang tahu apakah pelaku UMKM lain membutuhkan atau tidak sebab tiap
orang pasti punya wawasan dan skala prioritas yang berbeda-beda, namun menurut
saya pribadi sebenarnya sangat mudah untuk mendapatkan informasi tentang
kejahatan TI. Antara lain bisa dilihat di laman website resmi kementrian, kepolisian,
maupun pemberitaan di media massa. Sayangnya saya belum pernah mendengar atau
mengikuti sosialisasi dan pelatihan terkait kejahatan TI bagi UMKM, baik yang
diselenggarakan oleh dinas terkait ataupun dari pihak lain, ya mungkin karena tataran
teknis biasanya hanya dipahami oleh orang yang memiliki latar belakang TI ya, jadi
sosialisasi dan pelatihan terkait kejahatan TI bagi para pelaku UMKM belum
dianggap penting untuk diselenggarakan oleh dinas terkait.
Afrida : Begitu ya…Lalu menurut pendapat Mbak Rizka, apakah Mbak sebagai pemilik dan
karyawan Kamila Wardrobe membutuhkan pelatihan dan sosialisasi terkait kejahatan
TI?
Rizka : Untuk saat ini saya rasa baik saya maupun karyawan Kamila Wardrobe belum terlalu
membutuhkan pelatihan terkait kejahatan TI bagi UMKM sebab website Kamila
Wardrobe dibuat dan dirawat oleh pihak kedua yaitu developer website yang memang
benar-benar kompeten di bidangnya jadi insyaAllah tingkat keamanannya bisa
diandalkan.
Afrda : Ok. Saya rasa informasi yang Mbak Rizka berikan sudah mencukupi. Terima kasih
banyak atas waktunya. Mohon maaf sudah merepotkan Mbak Rizka lagi.
Rizka : Ya ga apa-apa, Mbak. Mohon maaf juga ya hanya wawancara by phone karena saya
masih ada agenda di Jakarta saat ini.
Afrida : Oh tidak apa-apa,Mbak. Saya sudah sangat terbantu dengan informasi yang Mbak
berikan. Sekali lagi terima kasih ya, Mbak Rizka.
Rizka : Sama-sama, Mbak Afrida. Senang bisa membantu.
Transkrip Wawancara dengan Pemilik With Joy Craft
Responden (R)
Pewawancara (P)
P : Jadi ini kami ada penelitian. Bentuk penelitiannya kualitatif, jadi lebih ke interview
responden. Ini aku izin rekam ya Yun. Penelitian kami ini kan basisnya begini. Bisnis
yang menggunakan aplikasi atau layanan online kan semakin berkembang. Dari rumah,
sewaktu-waktu pun bisa menjalankan bisnis. Tapi, situasi baru yang muncul kan
dengan adanya model baru bisnis seperti ini muncul risiko baru yang dapat muncul,
misalnya penipuan dan masalah-masalah lain. Penelitian ini tujuannya itu untuk
mencari tahu sudut pandangnya teman-teman yang punya bisnis online itu bagaimana
sih mereka memandang risiko-risiko, penipuan, dan masalah keamanan lain yang bisa
muncul karena bisnis online yang tidak ada jika bisnisnya hanya model tradisional saja.
Nah ini yang bisa jadi responden itu bisnis apapun, tidak masalah jika baru berdiri dan
berapapun omsetnya tetap bisa jadi responden kami selama memenuhi beberapa
kategori, tapi yang relevan untuk Yuni ini bisnisnya menerima order dari aplikasi atau
website online, bisa website khusus milik perusahaan atau toko atau media sosial. Jadi
intinya mendapat order via online. Order via online ini juga proporsinya harus
signifikan dibandingkan total omset, kalau misalnya ada jualan offlinenya juga, sekitar
40-50% dari total omset lah. Untuk bisnis Yuni kan memenuhi persyaratan ini ya.
Nah sekarang, aku bisakah minta gambaran bisnisnya Yuni. Misalnya jualan apa, lalu
prosesnya dalam artian misalnya yang apa yang dijual, yang buat siapa lalu sasaran
konsumennya siapa begitu. Tolong untuk bisa ngasih gambaran ya.
R : Oke. Jadi bisnis ini saya beri nama With Joy Craft ya sebagai brand nya. Jadi kami ini
awalnya ingin mencoba bisnis barang yang custom order, jadi berbasis PO (pre-order)
ya. Seperti tas, dompet, tempat tisu, pokoknya semua yang bisa dijahit begitu kami bisa
terima order untuk produk apapun. Jadi awalnya itu memang dimulai dari menyediakan
jasa.
With Joy ini sendiri sudah berjalan selama kurang-lebih 1 tahun. Untuk terima order,
aku memang pake iklan ya, iklannya itu memang di website media sosial dan baru-baru
ini aku juga sudah menggunakan toko online. Toko online nya itu aku pake dua
platform; shopee dan juga tokopedia. Karena aku lihat bahwa marketnya untuk barang
jualanku ini lebih banyak masuk ke situ ya, makanya aku pake dua platform itu. Oh ya
apa lagi tadi ya pertanyaanya?
P : Ini mungkin bisa dikasih gambaran bisnisnya, misalnya ada yang bantu atau tidak, lalu
mungkin mekanisme pelanggan pesannya bagaimana. Setelah pelanggan pesan via toko
online misalnya, lalu apakah sudah tidak perlu komunikasi, tinggal buat, lalu kalau
sudah jadi pengirimannya bagaimana?
R : Oh iya. Jadi untuk bisnis ini memang semuanya aku kerjain sendiri, kecuali kalau
sedang banyak banget ada 1 orang yang aku minta bantu. Mulai dari produksi dan yang
lain aku sendiri. Untuk prosesnya… kalau Tokopedia dan Shopee ini selama ini aku
memang tidak terima PO, jadi sistemnya memang ready stock. Jadi begitu aku selesai
produksi satu barang, aku upload kemudian sudah deh pelanggan klik pesan, lalu bisa
aku langsung kirim. Jadi emang prosesnya ya biasa saja seperti kalau kita belanja di
toko online. Sementara ini memang barang yang aku jual online itu sistemnya ready
stock, untuk yang PO aku belum banyak main di toko online. Pernah sih aku coba
masukin, tapi kayaknya belum banyak yang minat. Mungkin karena kalau PO itu kan
biasanya lebih lama atau bagaimana. Kalau orang yang belanja toko online biasanya
mereka kebanyakan konsumen yang pengen butuh cepat. Ada beberapa yang request
apakah bisa dikirim hari ini.
P : Oh jadi yang kalau yang di toko online itu lebih yang sistemnya ready stock. Kalau
yang PO tadi Yuni sempat cerita itu berarti untuk barang yang ditawarkan via wesbite,
maksudnya media sosial begitu?
R : Jadi sekarang ini aku sudah nggak terima PO lagi kalau lewat marketplace. PO itu
terutama dulu waktu aku masih banyak terima order offline. Pernah sih kemarin itu ada
order yang pake model PO. Mekanismenya begini. Jadi kami crafter kan punya
komunitas dan ada beberapa grup yang kami punya. Nah salah satunya itu grup yang
mempertemukan buyer dan seller. Jadi kadang ada buyer yang posting kalau dia butuh
jasa begini-begini. Lalu para seller itu masuk deh menawarkan jasa nanti siapa yang
dapat begitu.
memang bener sih aku ini sekarang terima order kebanyakan online, jarang yang
offline. Cuman ya itu jalurnya beberapa. Ya itu ada yang lewat grup Facebook, ada
lewat WA status, ada yang lewat marketplace Tokopedia dan Shopee.
P : Oke deh. Nah ini selanjutnya kalau boleh tahu, perkiraan kasar omzet bisnisnya per
bulan Yun?
R : Kalau omzet berapa ya …. soalnya kan bisnis ku ini fluktuatif banget ya. Kalau sedang
ada order yang lumayan bisa sampe Rp1,5 juta-an ya per order. Order begini biasanya
aku selesaikan dengan kerja selama seminggu. Cuman kalau sedang produk yang
selama ini paling banyak dibeli itu ya seperti sarung tisu sementara ini. Sebulan ini laku
6 pcs sih, satu-nya sekitar Rp350 ribu lah. Jadi kalau ditotal perkiraan kasar ya rata-rata
sebulan Rp700rb – Rp 800rb lah sebulan. Ini aku pukul rata ketika sedang sepi dan
ketika sedang banyak order.
P : Sip. Ini aku review lagi ya. Jadi untuk aplikasi dan layanan online yang dipakai Yuni
untuk berjualan ada marketplace, shopee dan Tokopedia. Lalu ada di medsos, dan
WhatsApp status.
Nah selanjutnya. Jadi waktu Yuni pertama kali mulai bisnis crafting ini dari awalnya
sudah online atau niatnya offline dulu baru beralih ke online atau bagaimana?
R : Jadi kan aku ini kebetulan pindah lokasi tinggal dari Jakarta ke Solo. Dan itu
berpengaruh banget ke bisnis offline aku dulu. Seperti teman-teman kerja kan dulu itu
bisa jadi market dan sarana promosi offline. Karena aku pindah domisili ini aku jadi
nggak bisa mengandalkan market offline lagi. Itulah mengapa aku fokus ambil market
online sekarang. Itulah mengapa dari awal aku buat With Joy Craft setahun lalu ini aku
sudah berniat fokus online karena nggak peduli dimana domisili aku jika misalnya
pindah lagi pun tidak masalah.
P : Nah, jadi kan ini Yuni pernah bisnis sejenis tapi sifatnya tradisional offline kan ya
waktu di Jakarta. Kita asumsikan kondisinya sama ya, anggaplah di Solo sekarang ini
Yuni juga punya opsi untuk pasar offline. Jadi jika dibandingkan dengan ketika dulu
mendapat pasar dari offline dan sekarang dengan fokus market online, ada perbedaan
yang terasa banget tidak ya? Jadi misalnya sekarang ini dengan model online malah
lebih ribet dan sebenarnya ya terpaksa pake online, atau malah online itu lebih
gampang?
R : Oke ini sebenarnya jangka waktunya udah lama juga ya. Tapi kalau dipukul rata aku
memang lebih prefer offline. Menurut aku nggak ribet ya, walau pun ribet itu memang
relatif ya. Ada beberapa orang yang malas upload foto di toko online.
Jadi begini Na, untuk crafter itu kalau menjual barang di toko offline kesulitan
utamanya adalah memilih kategori tepat. Jika kami memasukkan ke kategori yang
salah, otomatis produknya nanti diblokir. Jadi kami memang harus meluang kan waktu
dan effort untuk merinci itu semua. Memasukkan produk di toko online itu nggak asal
masukin produk, juga harus dimasukkan info beratnya, dimensinya, opsi pengiriman.
Terus yang jadi perhatian utama aku itu ya jangan sampe masuk ke kategori yang salah.
Lalu sering rasanya kurang pas begitu. Jadi kan kalau jual di toko online itu kita
sedapat mungkin memasang nama yang bisa mudah di-search oleh konsumen.
Misalnya kemarin aku membuat sarung tisu basah, kadang aku harus mikir dulu nih
judul barangnya, apa mau diberi nama ‘Wet Tissue Cover’ atau ‘Sarung Tisu Basah’
atau gimana. Setelah diberi nama ini juga nanti harus masuk ke kategori yang harus
dipilih hati-hati, soalnya kategorinya itu tipis-tipis banget perbedaanya. Kalau kita salah
masukin kategori itu akan diblokir kita.
Jadi kalau dibilang online itu lebih ribet, ya benar sih lebih ribet di awalnya ketika akan
menawarkan barang, tapi selanjutnya ya simpel aja. Menurut aku tetap lebih
menguntungkan online karena bagiku membuka market aja sih. Apalagi jika produknya
itu baru dan/atau unik dan punya pangsa pasar yang amat terbatas, ya kayak produkku
ini. Kan crafter itu pasarnya terbatas banget, ya konsumennya orang-orang yang
memang suka barang yang lucu-lucu atau custom. Itu kan nggak semua orang yang
suka barang custom atau lucu-lucu. Jadi ya intinya tetap lebih suka yang offline karena
membuka pasar dan peluang.
P : Kalau boleh tahu nih, berarti para crafter ini punya komunitas atau sering ngobrol
dengan sesama crafter ya? mungkin barangnya nggak sama persis, tetapi ya orang-
orang yang memproduksi dan menjual barang-barang custom begitu. Mungkin FB atau
WhatsApp grup begitu?
R : Kalau crafter itu sebenarnya banyaaak banget grup dan komunitas onlinenya. Dan aku
ikut di grup itu mau yang Indonesia mau yang luar bisa terserah aku. Kadang itu ada
pattern yang bisa aku download. Lalu kami kan sering saling share karya, nah dari
share karya ini bisa juga tiba-tiba dihubungi pembeli. Jadi misalkan kita share Barang
A yang baru jadi, niatnya untuk minta masukan atau komentar, tiba-tiba ada yang
minat.
P : Berarti bisa dibilang faktor komunitas itu sangat mempengaruhi penggunaan media
online Yuni ya. Karena dengan adanya media sosial mempermudah Yuni saling
berkomunikasi dengan crafter lain.
R : Iya. Kita bahkan ada grup khusus untuk jual beli alat dan bahan. Jadi nggak cuma
jualan antara crafter dan konsumen akhir tapi antar crafter dan antara crafter dan
supplier juga. Jadi emang semuanya sudah gampang ya. Dan mereka juga nggak sedikit
yang main jualan di Tokopedia dan Shopee. Jadi grup ini memang membuka pasar
banget ya, dengan jadi teman satu grup kan kenal, lalu jadi friend di medsos, lalu bisa
melihat update status ketika ada barang baru.
Aku juga lihat yang paling memanfaatkan grup komunitas ini itu adalah penjual bahan.
Jadi penjual kain, penjual alat, itu banyak banget memanfaatkan. Karena di grup itu ya
semua jenis crafter dan yang berkaitan pada ngumpul begitu jadi ya pangsa pasarnya ya
banyak yang dari situ juga. Misalnya jualan kain. Banyak dari crafter yang
menggunakan kain impor. Nah barang seperti ini kan sering readynya kuantitas
banyaak karena harganya yang mahal. Dengan adanya komunitas ini kan mudah untuk
beli barengan dan bagi-bagi. Aku juga beberapa kali sih beli alat dan bahan disitu,
malah pernah jual alat yang nggak dipake lagi juga.
Jadi adanya komunitas ini itu sangat berguna mengumpulkan orang-orang yang
berbisnis di segmen ini. Rata-rata crafter ya pasti main online karena faktor komunitas
ini
P Oke. Nah tadi kan pertanyaanya lebih ke aku ingin mengetahui bagaimana Yuni
menggunakan aplikasi dan layanan online di bisnis Yuni. Selanjutnya aku mau tanya
nih, Yuni pernah tidak ya mengalami pengalaman nggak enak, penipuan, atau kejahatan
online sejenis di komunitas atau marketplace dan jualan online lain. Mungkin ya order
palsu, atau info hoaks, atau sejenisnya. Pernah nggak mengalamin yang seperti ini?
R : Kalau selama ini nggak pernah ada ya. terutama di komunitas kami juga yang seperti
ini belum pernah dengar ya. Mungkin karena kan kalau calon penipu atau penjahat
online itu kan pastinya mencari sasaran itu yang seperti apa, lalu hubungan antar orang
di grup itu intens nggak, saling mengenal dan sering komunikasi atau nggak. Kalau di
komunitas itu kelihatannya anggota grup saling mengenal ya dia mungkin sadar, wah
kalau aku mencoba cari korban ini malah langsung ketahuan karena pasti ada anggota
lain yang dapat mengingatkan.
Dan juga untuk grup crafter yang dari luar negeri itu proses masuk di grupnya juga ada
saringannya berupa pertanyaan-pertanyaan sebelum masuk grup itu lho. Kalau kamu
bisa di-approve itu berarti sudah melalui saringan.
P : Nah itu kan tadi terkait dengan penipuan dan kejahatan online yang mungkin muncul di
komunitas. Kalau terkait dengan Yuni sendiri, kan sekarang sudah pake Shopee dan
Tokopedia, yang berarti Yuni sudah menerima pembayaran online. Pernah tidak pernah
mengalami pembayaran lama, tiba-tiba ditarik kembali, atau pembayaran fiktif, atau
hal-hal sejenis itu?
R : Kalau menurutku untuk proses pembayaran malah lebih aman pake toko online ya. Kan
kalau lewat Shopee dan Tokopedia kan seperti punya sejenis rekening bersama. Pas ada
pesanan masuk nih, kita kerjakan, pelanggan bayar dan uang kan sudah masuk ya, tapi
masih di tangan ketiga di Shopee-nya. Lalu kita kirim dan barang kemudian sudah
diterima. Pemesan akan menerima notifikasi yang menanyakan apakah barang sudah
diterima dan uang dapat dilepaskan. Jika mereka klik ya uang dapat dilepaskan,
langsung masuk uangnya ke kita. Lebih aman ya rasanya aku dari sudut pandang
penjual, pembeli mungkin juga ya.
P : Nah kalau dibandingkan dengan ketika Yuni terima pembayaran dari orderan yang
masuk via WA status atau Facebook itu bagaimana perbedaannya?
R : Oh ya ada. Waktu itu aku terima order dari teman yang lihat produk di status FB aku.
Nah sebenarnya kan idealnya kalau pre-order aku selalu minta uang DP, karena
nominal pesanan dia memang cuma Rp100 ribu aku proses aja pesanannya tanpa minta
DP, karena aku biasanya DP10% dan kok nggak enak minta ditransfer DP cuma Rp10
ribu doang. Aku kerjain deh, barang jadi, aku kasih konfirmasi ke dia. Terus dia itu
menunda-nunda dulu untuk bayarnya sampai baru sekitar sebulan baru dia bayar. Jadi
paling seperti itu ya terima bayarnya lama.
Kalau order fiktif aku belum pernah sih. Dan kalaupun ada aku kan sistemnya uang
masuk dulu baru aku kirim barang. Kalau dia khawatir udah transfer tapi nggak dapet
barang ya biar sama-sama enak aku saranin pake toko online aja.
P : Iya ya. Jadi lebih enak dan aman dari sisi pembeli maupun penjual.
R : Toko online itu juga lebih enak karena mereka kan sekarang permainannya ngasih
promo, free ongkir, dan sejenisnya itu membantu banget dan menaikkan penjualan
menurut aku. Seperti kemaren kan habis aja promo gratis ongkir tanpa minimal
pembelian itu juga ngefek untuk order yang masuk.
P : Oke. Dari penjelasan Yuni kan Yuni sudah paham plus minusnya toko online. Nah,
terkait dengan akun kita nih. Tentunya kan Yuni punya akun tokopedia dan shopee, ini
nggak cuma untuk untuk toko online sih tapi juga internet banking dan sejenisnya.
Tentunya ada faktor-faktor keamanan yang harus kita perhatikan, password, anti virus,
dan sejenisnya. Kalau boleh tahu nih Yuni mempertimbangkan hal tersebut atau
dibawa santai saja atau bagaimana?
R : kalau aku sih belum kepikiran juga, mungkin nanti kalau bisnisnya sudah gede terus
tokonya sudah rame, mungkin aku baru akan mikirin masalah keamanan seperti itu.
Kan biasanya ada notifikasi untuk ganti password setiap berapa kali itu. Tapi kalau aku
malah nggak tak lakukan sih karena takutnya nanti aku lupa dan terblokir. Kan akunnya
ada berbagai jenis itu, ada internet banking, ada lain-lain nanti malah lupa.
P : Secara umum ini semua pertanyaan kelihatanya sudah. Terima kasih banget ya Yun.
Jadi ini untuk interview awal cukup begitu, nanti setelah kami analisis dan bandingkan
dengan jawaban responden lagi dan kami butuh informasi dan klarifikasi lagi kami
mohon bantuannya ya. Sekali lagi terima kasih.
Tambahan interview
P : Yuni, sori ya ganggu lagi. Jadi setelah kami analisis, ada beberapa hal yang ingin kami
tanyakan lebih lanjut.
Jadi berdasarkan gambaran yuni tentang bisnis Yuni kemarin kan sudah menggunaka
marketplace dan media sosial ya. Pertanyaan yang pertama, berniat untuk menambah
aplikasi atau layanan online yang dipakai untuk bisnis tidak? Mungkin marketplacenya
ditambah, atau medsos nya ditamba. Atau mungkin berniat menggunakan website? Ada
niat nggak kira-kira
R : Selama ini kan marketplacenya aku pake Tokopedia dan Shopee. Cuman ada keinginan
juga untuk nambah ke Bukalapak karena aku mikirnya semakin banyak channel akan
menambah customer. Dulu aku awalnya memang cuma di Shopee, terus akhirnya aku
merambah ke Tokopedia. Cuma Tokopedia menurut aku beda sih, lebih rame di
Shopee. Menurutku sih ya Na.
P : Mungkin karena faktor pelanggan ya. Kalau pelanggan barang-barang fashion gitu
kayaknya lebih banyak di Shopee nggak sih. Mungkin ada kecenderungan barang
tertentu lebih banyak di marketplace tertentu.
R : Kalau menurutku lebih karena di Shopee kan ada program gratis ongkir itu. Jadi
menurutku itu ngefek karena faktor lokasi. Kalau dari data yang aku miliki, pembelian
produkku itu lebih banyak dari Jakarta. Jadi gratis ongkir itu seperti membantu.
P : Oke. Jadi Yuni tertarik untuk menambah aplikasi online yang digunakan ya, seperti
menambah marketplace yang dipakai.
R : Betul. Sama ini juga sih Na. Aku tertarik untuk menambah Googlr Business aku belum
terapkan. Aku sebenarnya ingin, tapi karena lokasi aku bakal pindah lagi. Jadi nanti
kalau aku sudah balik Depok lagi baru aku akan pakai Google Business. Soalnya kan
kada orang itu lebih mantap pesan online kalau ada info alamat offlinenya.
Contohnya nih, aku kan juga jual jasa pembuatan. Kalau mereka search di google itu
kan harapannya nanti nama bisnis ku bisa keluar, lalu juga di map bisa keluar. Jadi ini
yang aku paling tertarik sih, tapi belum.
P : Oke. Selanjutnya terkait dengan transaksi penjualan Yuni nih. Kalau boleh tahu apakah
sudah ada pencatatan? Jadi misalnya ada order masuk atau transfer masuk langsung
dicatat? atau menunggu dulu atau bagaimana untuk mekanisme pencatatan
transaksinya?
R : Kalau aku belum pake aplikasi pencatatan gitu. Cuma kalo pelanggan membeli dalam
jumlah banyak tidak lewat marketplace, aku pake aplikasi invoice di handphone. Kalau
begitu jadinya terecord. Cuma kalau yang di Shopee dan Tokopedia itu nggak aku
gabungin dan backup lagi sih datanya. Ya sudah begitu saja cukup di histori.
P : Kalau boleh tahu definisi ‘pelanggan membeli banyak’ itu jika mereka membeli berapa
ya?
R : Di atas sejuta.
P : Yuni tidak menggabungkan jadi satukah daftar penjualannya itu. Kan di historinya
Shopee, Tokopedia begitu kan bisa tinggal di pindah ke excel dan di total. Sudah
melakukan ini kah? atau merasa belum perlu? atau bagaimana?
R : Belum sih Na. Bagusnya memang di track dan gabungkan data penjualannya seperti itu.
Tetapi aku masih belum. Karena aku memang jalannya masih pelan-pelan dan masih
sendiri juga.
P : Sip. Oke selanjutnya kalau boleh tahu, terkait dengan rekening yang terhubung dengan
Shopee dan Tokopedia, serta kalau menerima transfer dari pelanggan itu masih jadi
satu sama rekening tabungan pribadi tidak ya?
R : Oh kalau aku rekeningnya terpisah sih Na. Jadi yang rekening untuk Shopee dan
Tokopedia aku pisah sendiri. Jadi aku punya rekening Mandiri yang tidak terpakai. Aku
pake untuk jualan deh. Untuk rekening pribadi pake rekening yang lain.
P : Kemarin kan aku sempat tanya-tanya terkait penipuan dan kejahatan online.
Alhamdulillah Yuni belum pernah kena. Tapi tentunya kita tidak dapat mengingkari
bahwa kemungkinan untuk menjadi korban itu selalu ada.
Kalau boleh tahu, Yuni merasa sudah cukup tahu belum tentang kemungkinan
kejahatan online ini? Lalu jika misalnya ada informasi atau pelatihan terkait tentang
kejahatan dan penipuan online berminat atau tidak? Atau mungkin merasa cukup dan
sudah tidak memerlukan?
R : Kalau menurut aku sih informasi itu pasti butuh ya karena aku juga tidak update dengan
teknologi. Contohnya kemarin kan sempat ada rame-rame VPN ya waktu masa
Facebook, Instagram, dan medsos diblokir itu. Itu kan aku juga sempat bingung ya
karena waktu itu aku sedang proses beli bahan baku via online. Nah ketika aku mau
pilih barang nah tiba-tiba nggak bisa buka gambar. Bingung jadinya. Cuman aku ya
nggak berani pake VPN. Untungnya lalu WA kembali bisa dipake. Aku sempat dengar
katanya kalau pake VPN itu bisa potensi jadi korban kejahatan. Tapi untuk info
pastinya aku ngga tahu, makanya kalau info seperti ini kan aku pastinya perlu ya.
P : Terkait dengan info-info tentang TI seperti ini yang Yuni butuhkan, Yuni merasa
bentuk penyebaran informasi yang paling efektif itu seperti apa ya? Mungkin lebih suka
kumpul pelatihan, atau merasa lebih suka channel Youtube yang tidak terkendala
lokasi, atau lebih suka akun twitter, atau mungkin dalam bentuk booklet atau buku. Jadi
intinya Yuni lebih suka memperoleh informasi update TI dari media apa?
R : Kalau aku sih sebenarnya untuk informasi suka offline ataupun online. Dua-duanya
suka. Contohnya, topik ini kan bisa dimasukkan untuk materi ketika gathering
komunitas. Aku belum ikut komunitas UMKM memang ya, tetapi menurut aku ide
bagus jika info-info seperti ini masuk ke pelatihan-pelatihan yang diadakan di
perkumpulan UMKM atau perkumpulan lain. Itu dapat dimasukkan jadi materi.
Ada alternatif lain sih untuk orang seperti aku yang tidak ikut perkumpulan apapun.
Aku kan kadang nggak sempat lihat video di Youtube, karena time consuming juga.
Baca buku atau booklet juga sama. Jadi menurutku poin-poin penting dapat diposting di
akun khusus Instagram. Jadi akunnya bisa memuat tips-tips bisnis online dan salah satu
materinya mencangkup topik kejahatan online begitu, karena kan bosan juga jika isinya
melulu topik yang itu-itu aja. Terus mungkin ada link dan tambahan kalau mau
informasi lebih lanjut bisa melihat di Youtube channel tertentu atau website tertentu.
Kombinasi media begitu. Jadi kalau aku lihat di Instagram dan “oh iya aku pernah
hampir mengalami yang seperti ini” baru aku klik dan lanjut ke Youtube channel untuk
lengkapnya.
P : Oh iya hampir lupa. jadi terkait dengan kemungkinan setiap orang menjadi korban
kejahatan dan penipuan online, kalau boleh tahu langkah-langkah apa yang Yuni sudah
lakukan untuk mencegah jadi korban kejahatan atau penipuan online? Kalau belum ada
kenapa?
R : Kalau aku belum sih Na. Karena aku merasa masih aman-aman saja. Contohnya seperti
langkah-langkah mengganti no PIN atau password aku merasa juga belum perlu.
Karena balik lagi ya aku merasa bisnis ku masih kecil, aku merasa belum jadi sasaran
kejahatan-kejahatan begitu. Dan bentuknya seperti apa pun aku belum bisa
ngebayangin. Aku tahu sih kalau risikonya itu ada, tapi aku belum bisa ngebayangin
kejadian macam apa yang relevan untuk bisnis aku. Itulah mengapa aku tadi bilang
butuh info ya terkait bentuk-bentuk kejahatan online yang bisa muncul. Contoh-
contohnya seperti apa begitu.
P : Oke Yuni aku mau konfirmasi nih pemahaman aku, tolong dikoreksi kalau salah. Jadi
sebenarnya Yuni merasa tahu bahwa pasti ada risiko Yuni menjadi korban kejahatan
karena pake online. Tapi jujur aja jika diminta untuk membayangkan bentuk-bentuk
dan contoh riil kejahatan yang terjadi dalam bentuk paling update itu belum bisa.
Begitu ya Yun? Merasa informasinya masih kurang terkait dengan bentuk-bentuk dan
contoh. Lalu untuk pencegahan, Yuni merasa masih aman-aman saja ya, karena bisnis
masih kecil dan belum menjadi target.
R : Iya
P : Wah ini sangat menarik sekali. Terima kasih ya Yun. Untuk sementara ini sudah cukup
dahulu.
Transkrip interview dengan pemiliki Jasa Dropshipping Alvin
Responden (R)
Pewawancara (P)
P : Perkenalkan mas Alvin, saya Bu Ratna dari Pendidikan Akuntansi. Sebelumnya maaf
menggangu ya. Jadi saya dan beberapa teman ada penelitian terkait dengan beberapa
bisnis yang menggunakan aplikasi atau layanan online. Jadi kami membutuhkan
beberapa responden dengan model bisnis yang bervariasi. Mas terpilih sebagai
responden, sehingga pada kesempatan ini kami mohon waktunya sebentar ya untuk
menjadi responden kami. Bersedia ya mas?
R : Iya tidak apa-apa bu.
P : Jadi sebelumnya, kami sampaikan dulu tujuan dari penelitian ini. Penelitian kami ini
peneltian kualitatif, jadi tidak banyak angka dan lebih berfokus pada respoden, yakni
untuk kami adalah pelaku bisnis.
Jadi kan bisnis sekarang mengalami transformasi digital ya, semakin banyak bisnis
yang menggunakan aplikasi dan layanan online ataupun sarana-sarana lain. Tujuan
penelitian ini ingin mengetahui kira-kira bagaimana pengaruh transformasi ini bagi
bisnis-bisnis itu. Yang kedua, kami juga ingin mengetahui lebih lanjut pendapat bisnis
terhadap risiko online. Ketika bisnis mulai menggunakan aplikasi dan layanan online,
pastinya ada risiko baru yang mulai muncul ya mas. Contohnya mungkin data yang
dipublikasikan online digunakan pihak tidak berkepentingan, lalu mungkin tiba-tiba ada
pesan hoax masuk ke hp, jadi intinya akan muncul risiko baru yang tidak ada waktu
bisnis belum menggunakan aplikasi. Jadi kami ingin mengetahui tentang bagaimana
pendapat pelaku bisnis terhadap risiko-risiko yang baru muncul ini. Jadi itu
pengantarnya ya mas.
Untuk yang pertama, kami boleh mendapat gambaran tentang bisnis mas Alvin. Bisnis
tentang apa? prosesnya bagaimana? Supaya kami ada gambaran lebih jelas begitu.
R : Oh begitu. Baik jadi untuk bisnis saya itu ada banyak ya, lumayan banyak. Mulai dari
dropshipper toko-toko online, lalu saya baru mulai menjual minuman kesehatan yang
kami produksi sendiri lalu jual online. Untuk jasa dropshipper online, kami mengambil
barang di toko online satu lalu dijual di toko online yang lain dengan harga yang kita
bisa ambil untung.
P : Oh jadi lebih ke jual-beli online ya. ada yang produksi sendiri juga tidak ya?
R : Sekarang untuk yang bisnis utama saya lebih yang beli dari pedagang lain untuk kita
jual lagi. Baru mulai dua minggu inilah saya memulai menjual barang yang produksi
sendiri, yang minuman kesehatan tadi itu.
P : Kalau boleh tahu sudah berapa lama ya bisnis ini berjalan? yang dropshipping online
tadi itu terutama
R : Untuk yang jual-beli barang onlinenya itu sudah jalan 6 bulan-an sih.
P : Oh ya, lalu jika mas Alvin berkenan saya ingin tahu omzet penjualan kasar bisnis mas
Alvin yang dropshipping itu per bulan berapa ya?
R : Omzet per bulan itu sih, ya cukuplah untuk penghasilan selama masih mahasiswa.
P : Ya angka perkiraan kasar saja kalau berkenan menyampaikan.
R : Kalau omzet kasarnya itu bisa Rp500 rb – Rp2 juta per hari kalau sedang ada order. Ini
hanya dari bisnis dropshippingnya saja ya, belum yang produksi. Satu bulan kira-kira
bisa ada 10-15 order untuk segala jenis barang. Ya katakanlah Rp4 juta-5 juta sebulan.
Untuk yang barang produksi sendiri bisa sampai Rp2-3 juta per bulan.
P : Selanjutnya, untuk proses bisnis selama ini, aplikasi online apa saja yang mas gunakan
untuk bisnis? misalnya nih jika pakai marketplace, marketplacenya apa? lalu adalah
layanan online atau aplikasi lain selain marketplace yang digunakan?
R : kalau dari saya, pertama kali ambil order itu dari Bukalapak. Lalu Tokopedia saya juga
pakai. Terus kadang juga kita pakai OLX, terutama untuk barang yang kita produksi
sendiri. Supaya untuk konsumen yang dekat-dekat saja, kita bisa langsung bertemu
dengan konsumen-konsumennya itu sendiri.
P : Oh berarti ini mas Alvin tidak ada preferensi ya? Maksud saya begini, ini kan bisnis
dropshipping mas Alvin membeli barang dari toko online satu ke toko yang lain. Jadi
ada preferensi tidak mas, misalnya kalau untuk cari stok barang lebih suka di
BukaLapak, tapi untuk jualnya lebih suka di marketplace lain. Ada preferensi begini
tidak mas? Atau tidak ada?
R : Tidak ada sih bu. Jadi sebenarnya lebih ke minat konsumen dan ketersediaan barang di
marketplace saja.
P : Oke berarti tidak ada preferensi ya mas. Selanjutnya ya, ketika mas Alvin pertama kali
memulai bisnis, apakah sudah langsung bisnis menggunakan aplikasi dan layanan
online begini, atau pernah bisnis yang tradisional offline begitu?
R : Banyak sih Bu untuk bisnis saja. Bisnis offline saya sampai sekarang juga masih terus
dicoba jalan. Karena memang saya ingin jadi pengusaha dan masih mencari bentuk dan
jalan terbaik. Jadi saya coba semuanya.
P : Oh ya, model bisnis offlinenya itu beda dengan bisnis online yang sekarang jalan atau
bagaimana ya? saya minta sedikit gambaran kalau boleh.
R : Untuk bisnis offline kami lebih ke jual-beli makanan kecil-kecilan ya bu. Pernah jual
sosis bakar, sandwich, dan sejenisnya di SunMor atau acara-acara lain begitu. Tapi
yang besar ya yang online ini. Saya coba semua bisnisnya.
P : Untuk bisnis dropshipping ini, apakah ada barang tertentu yang menjadi spesialis mas?
atau bisa barang apapun?
R : Untuk jual-beli barang online kami menerima barang apapun ya random begitu. Tapi
kondisinya ternyata kami mayoritas jual-beli untuk gadget.
P : Jadi random dan terima barang apa saja ya? Ini untuk tahu barang apa yang dibeli
berdasarkan apa ya mas? karena harga barang sedang murah atau request pelanggan
atau bagaimana?
R : Pertama kali sih saya tanya-tanya survei ke calon konsumen, misalnya teman-teman
saya, atau koneksi saya. Misalnya cewek sekarang sedang senang barang apa ya yang
sedang nge-hits. Kami coba cari, tawarkan dan penuhi permintaannya. Jadi yang
diminta oleh pasar kami coba penuhi.
P : Baik ke pertanyaan selanjutnya ya. Jadi kan selama ini mas Alvin sudah ada bisnis
yang online dan offline. Dua-duanya juga masih jalan bersama. Kalau boleh tahu dari
pengalaman mas Alvin di berbagai bisnis, asumsikan bahwa mas Alvin punya bisnis
dengan model dan kondisi yang sama, yang satu menggunakan online dan yang satunya
menggunakan offline. Kira-kira menurut mas Alvin, adakah perbedaan di antara
keduanya? Atau mungkin kalau online malah lebih ribet, harus ngecek macem-macem.
Atau mungkin kalau online malah lebih simpel. Atau bagaimana?
R : Sebenarnya bisnis online itu lebih enak ya, karena kan kita cukup bermain dengan
gadget kita sendiri, smartphone atau laptop. Modal kita ya itu saja. Untuk bisnis offline
lebih berat sih karena kan kita tidak hanya produksi sendiri, tetapi juga ngurus semua
sendiri. Apalagi jika pendapatan kita tidak sesuai dengan yang kita inginkan. Lalu kita
mungkin juga perlu bayar orang, sewa toko, jadi akhirnya ada pengeluaran lagi. Jadi
lebih capek offline sih daripada online.
P : Oke jadi saya coba rangkum, kalau bisnis offline usahanya lebih banyak ya mas, butuh
orang, butuh tempat, butuh tenaga lebih begitu.
Oh iya mas, waktu pertama kali mulai menggunakan online ini kan yang banyak
dipakai Bukalapak, Tokopedia. Sekarang kan marketplace tambah banyak kan ya jadi
marketplacenya tidak hanya dua itu. Lalu terkait dengan OLX. Biasanya OLX itu kan
dipakai jika penjual ingin pembeli mengkontak langsung via HP, ini hampir sama
dengan info jualan di Media Sosial. Jadi pertanyaan saja; untuk marketplace kenapa
milihnya Bukalapak dan Tokopedia. Kenapa tidak marketplace lain? Lalu untuk OLX,
kalau dibandingkan dengan iklan via media sosial atau online advertising lain, kenapa
lebih memilih OLX?
R : Jadi memiliki Tokopedia dan Bukalapak itu karena mereka yang paling nge-trend ya.
Orang-orang kalau mau belanja online ya di Bukalapak dan Tokopedia karena dua itu
barangnya sudah terstandar, lalu ya minat konsumen saya ya di barang-barang yang
dijual di 2 marketplace itu. Lalu selanjutnya kenapa OLX, karena OLX itu menurut
saya simpel. Kita cuma memposting apa yang mau kita jual, cantumkan nama dan no
HP kita lalu pelanggan akan menghubungi sendiri. Orang juga mudah mencari barang
di OLX dan banyak sekali yang menggunakan OLX.
P : Jadi bisa dibilang mas Alvin memilih aplikasi dan layanan online itu karena pelanggan
mas ya banyaknya pakai Tokopedia, Bukalapak, dan OLX itu ya.
Selanjutnya, mas Alvin ini kan sudah ada banyak pengalaman bisnis berbagai jenis dan
tentunya ada berbagai kenalan dan kompetitor. Jadi keputusan untuk menggunakan
marketplace dan OLX ini keputusan sendiri atau terpengaruh orang disekitar,
kompetitor, atau keputusan sendiri?
R : Sejak dulu itu sih ini sudah keputusan sendiri. Soalnya kan waktu pertama kali mulai
bisnis ini kan karena memang butuh pemasukan. Jadi cobalah cari-cari, dan ternyata
bisnis online ini praktis dan penghasilannya Alhamdulillah lumayan. Bisnis online ini
ya sesuai dengan kebutuhan saya.
P : Nah ini kan mas Alvin sudah ada berbagai pengalaman bisnis online. Pernah tidak
mengalami pengalaman tidak menyenangkan karena menggunakan online, atau karena
share informasi online. Misalnya dari OLX dapat orderan palsu, atau mungkin jualan
lewat Bukalapak atau Tokopedia ada masalah waktu pencairan dana. Pokoknya
pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan yang muncul karena menggunakan
aplikasi atau layanan online, yang tidak ada dibandingkan ketika bisnisnya hanya
menggunakan offline. Ada tidak yang seperti itu?
R : Oh mungkin pernahnya lebih ke masalah pengiriman sih. Dulu pernah terima orderan
via OLX, kan pelanggan yang kami dapat dari OLX bisa dari seluruh Indonesia. Nah
jadi barang yang kami kirim tidak sesuai ekspektasi karena ada kerusakan waktu
pengiriman. Pelanggan minta ganti rugi, dan dari kami ya sudah lah tidak apa. Cuma
seperti itu sih dan ini risiko biasa ya.
Lalu pernah terjadi sudah ada pesanan masuk via OLX, sudah disiapkan dan dibeli
barangnya, lalu tidak jadi. Ya sudah.
P : Nah berarti pengalaman tidak menyenangkannya kalau sampai penipuan, atau data
disalahgunakan, itu belum pernah mengalami ya mas?
R : Oh belum sih. Semoga tidak pernah.
P : Oke selanjutnya, menurut mas Alvin sendiri, dengan keputusan untuk menggunakan
aplikasi dan layanan online ini, ada tidak ya dampak negatif yang muncul misalnya
masalah keamanan data, virus, atau sejenisya? Menurut mas ada masalah yang bisa
muncul sejenis ini tidak?
R : Oh ya pastinya ada sih bu. Yang paling jelas sih jika kita menggunakan online kan
identitas kita terbaca oleh orang, apalagi kalau online itu kan harus benar-benar share
identitas kita sesungguhnya baru dipercaya oleh orang. Data diri mudah diperoleh
orang. Lalu untuk bisnis saya sendiri, pernah mau melakukan dropshipper ternyata toko
tujuan dropshipper itu tidak menerima untuk dijadikan tujuan dropshipper, padahal
menurut sistem marketplace sudah OK. jadi entah ada manipulasi atau informasi tidak
update.
P : Sip jadi mas Alvin kurang-lebih sudah paham ya dan ada gambaran, tetapi belum
pernah mengalami dan semoga tidak pernah mengalami ya.
Tadi kan mas sudah menyampaikan bahwa jika bisnis online kan informasi yangdiinput
online tidak bisa palsu, harus pake data diri asli. Menurut mas Alvin sendiri, mas Alvin
merasa nyaman tidak dengan data diri yang disimpan oleh marketplace atau dishare
oleh OLX itu. Mungkin merasa ah biasa saja saya nggak masalah, atau bagaimana
perasaaan mas dengan data diri tersebut diketahui.
R : Kalau sekarang sih biasa saja sih bu, karena memang niat saya ya emang baik dan
bisnis jujur. Jika jadi korban ya memang sudah musibah dan sudah risiko.
P : Betul ya mas memang sudah risiko, tetapi kan tentunya kalau terkait dengan musibah
ya kita harus ikhtiar ya jadi usaha dulu untuk mencegah. Kira-kira ada bayangan tidak
tentang cara-cara mencegah untuk tidak menjadi korban? ini tidak hanya tentang data
diri ya mas, tetapi bisa juga terkait dengan berbagai masalah lain yang bisa muncul
karena menggunakan online. Menurut mas Alvin cara-cara mencegah ini bagaimana
ya?
R : Menurut saya yang hal penting itu berhati-hati ketika berbisnis online. Soalnya kan
bisnis online itu bermacam-macam ya. Salah satu penipuan yang bisa muncul ketika
berbisnis online itu misalnya orang minta uangnya dulu, tetapi barangnya tidak dikirim.
Biasanya ini terjadi kalau via OLX atau medsos. Nah itu kan penipuan. Yang begini
kan bisa dihindari dengan sudah kenal atau mencari info dulu. Atau kalau tidak ya
harusnya pake marketplace saja. Kejahatan seperti ini itu macam-macam, belum bisa
terbaca semua, dan ada saja yang baru kalau dibandingkan ketika bisnis masih
tradisional offline.
P : Berarti lebih kita harus hati-hati, mencari informasi tentang pihak dengan siapa kita
bekerja sama. Nah ini sudah diterapkan belum di bisnis mas Alvin?
R : Alhamdulillah sudah diterapkan bu. Kemarin sebelum Lebaran contohnya. Untung saja
kita teliti jadi terselamatkan.
P : Wah kalau boleh tahu ini ceritanya gimana mas? ini usaha penipuan dari orang yang
beli atau justru mas Alvin sedang beli ke toko?
R : Ada pelanggan dari OLX yang minta barangnya diberikan secara langsung COD
begitu, di dekat stasiun Lempuyangan. Nah waktu itu ada feel nggak enak gitu kan.
Akhirnya diputuskan untuk mengajak teman. Ya ternyata benar kan dia cuma mau
barangnya aja uangnya nggak dikasih. Mencoba kabur sih tapi langsung kita tangkep.
Ini sebelum puasa kemarin sih.
P : Wah jadi memang harus hati-hati ya mas.
R : Iya bu. Pakai OLX pelanggannya tambah banyak tapi ya orangnya juga jadi macam-
macam juga. Mereka bisa dapat kontak kita ya dari data yang dishare online, tinggal
WA deh.
P : Nah ini kan mas Alvin sudah hampir pernah menjadi korban begini. Jadi untuk ke
depannya ini sudah ada rencana tidak terkait dengan cara mencegah supaya tidak terjadi
lagi?
R : Kalau untuk mencegah ini kita lebih selektif lagi untuk liat pelanggan yang dapat dari
online. Misalnya pelanggan minta COD ya tidak ngasih barangnya sendirian begitu.
P : Nah ini pertanyaan terakhir mas. Selama bisnis online mas Alvin sudah berjalan ini ada
kebiasaan atau hal-hal yang diperhatikan tidak terkait dengan penggunaaan aplikasi
onlinenya. Contohnya, mas Alvin kan pastinya punya akun Bukalapak dan Tokopedia,
terus internet banking ya. Ini ada kebiasaan seperti ganti password rutin, cek akun rutin
atau bagaimana?
R : Untuk akun marketplace ya kami ngecek sewaktu jam-jam kosong, atau malam untuk
ngecek ada order atau pesan dari pelanggan. Untuk internet banking, kita ngecek setiap
hari sih. ada transaksi masuk apa saja. kalau misalnya ada transaksi keluar padahal saya
nggak beli juga supaya kelihatan.
P : Oke, ini kan mengecek kondisi akunnya ya. Kalau misalnya kita login internet banking
atau m-banking kan sering ada notifikasi mengganti pasword setiap berapa waktu. Kita
diminta ganti password rutin. Nah ini mas Alvin mengganti password mengikuti
notifikasi itu, atau ganti passwordnya setahun sekali, ada kebiasaan lain, atau lebih
memilih tidak ganti password?
R : Kalau saya lebih memilih nggak mengganti password ya. karena ini kan privas saya
sendiri, yang pakai cuma saya. Password juga cuma saya ingat tidak saya catat jadi
insya Allah tidak dilihat orang juga.
P : Sip berarti karena akun hanya dipakai sendiri jadi lebih memilih tidak mengganti
password ya. Sepertinya untuk interview ini sudah cukup mas. Jika diperlukan, kami
mungkin akan interview lagi untuk bertanya lebih lanjut. Kami mohon kesediannya ya
jika ada pertanyaan lagi. Sekali lagi terima kasih ya.
R : Iya bu tidak masalah. Sama-sama Bu.
Tambahan Interview
P : Pada kesempatan sebelumnya mas Alvin sudah menceritakan tentang bisnis mas Alvin
dan juga terkait dengan kejahatan atau penipuan online yang hampir dialami. Nah
untuk melanjutkan nih. Menurut mas Alvin ya, jadi bukan berdasar pengalaman cukup
pemahaman tidak apa, kalau misalnya kita bisnis online, apa saja ya masalah atau risiko
yang dapat muncul karena online? jadi tidak hanya kejahatan, tetapi hal-hal lain juga.
Nah sepemahaman mas Alvin apa saja?
R : Hal pertama menurut saya adalah jaringan. Tidak semua orang percaya dengan bisnis
online. Ibaratnya kita mau beli suatu barang di sosial media, tetapi kita nggak tahu
pakah barang tersebut sesuai dengan gambar yang dishare atau tidak. Kebanyakan saat
ini penipuan-penipuan dimana barang tidak sesuai dengan gambar aslinya. Jadi masalah
kepercayaan adalah ancaman utama disini.
Kedua adalah risiko dari konsumen. Konsumen mungkin lebih memilih untuk
berbelanja di pasar atau toko daripada online karena mungkin ya itu mereka tidak
percaya dengan online.
P : Oke ya, itu risiko yang dapat dibilang dari sudut pandang pasar atau pelanggan. Nah
selanjutnya pendapat mas Alvin terkait risiko atau potensi kejahatan yang mengancam
sudut pandang operasional ada tidak ya?
R : Pastinya ada. Kita mau mengirim barang ternyata pelanggan meminta COD, jadi kita
harus mengantarkan barang tersebut. Otomatis kan kita harus keluar tenaga juga, bensin
juga. Akibatnya tidak sesuai keuntungan dengan usaha kita, jadi kita merasa balik
modal nih, padahal kenyataannya ternyata minus. Itu masalahnya.
P : Sekarang saya mau tanya terkait teknis onlinenya ya mas. Kemarin kan ada situasi
ketika bank Mandiri tidak dapat diakses layanan perbankan onlinenya dan ATM-nya,
ini saya dengar sempat menjadi masalah bagi bisnis-bisnis online. Ini contoh masalah
teknis. Nah, sejauh pemahaman mas Alvin sendiri terkait dengan aplikasi online. Apa
saja ya kejahatan atau permasalahan yang terjadi karena kita pake TI, dari sisi
teknisnya? misalnya mungkin virus atau password tidak bisa login, sejenis itu. Kalau
menurut mas Alvin, apa saja permalahan sejenis ini yang relevan untuk bisnis mas
Alvin?
R : Oh ya. Itu masalah virus pasti berisiko ya karena kita menggunakan internet. Lalu ada
juga kejahatan karena orang tidak bertanggung jawab seperti hacker. Kita mempunyai
website, kita mempunyai akun, tetapi lalu ada orang lain yang mencoba menembus web
atau akun kita. Dia juga bisa mencari-cari informasi tentang apa saja sih yang kita jual
dan berapa sih penghasilkan kita. Itulah mengapa sekarang saya itu 2 minggu atau satu
bulan sekali selalu mengganti password untuk akun website supaya tidak ter-hack.
Karena kalau sudah ter-hack ya sudah habis deh. Tapi untuk akun banking sih tidak
saya ganti2 karena beda dengan yang lain dan kayaknya lebih aman.
P : Nah terkait dengan kejahatan online yang tadi ya mas. Kira-kira dari sudut pandang
mas Alvin sendiri merasa perlu tidak sih untuk mendapatkan informasi atau update
tentang kejahatan TI yang sedang marak. Apa mas Alvin merasa sudah cukup dan tidak
perlu repot-repot atau mas Alvin tertarik untuk mendapatkan semacam pelatihan,
workshop, atau informasi terkait hal ini. Jadi tertarik atau tidak?
R : Kalau untuk sekarang saya sangat tertarik ya untuk belajar tentang risiko bisnis.
Makanya belakangan ini saya banyak ikut workshop tentang bisnis online. Supaya
bisnis yang saya jalankan ini tidak sia-sia lagi begitu. Tetap terjaga walaupun
penghasilannya tidak seberapa. Asalkan cukup untuk menambah pengetahuan dan
pengembangan. Mudah-mudahan saja bisnis online saya bisa berkembang di kemudian
hari. Walaupun misalnya topik traning terlihat tidak penting pun, tetap saya ambil
semuanya karena kita tidak tahu mana yang nanti akan berguna.
P : Oke, jadi Mas Alvin menyatakan bahwa tertarik ya untuk mendapatkan pelatihan atau
informasi terkait bisnis online secara umum, maupun kejahatan TI secara khusus. Nah
sekarang saya ingin bertanya menurut pendapat mas Alvin, media penyebaran
informasi yang tepat sasaran itu yang seperti apa? Apakah seperti workshop? Atau
bentuknya seminar, booklet, website, atau posting twitter, instagram atau bagaimana?
Jadi media untuk mendapatkan update informasi terkait kejahatan TI?
R : Kalau dari saya sih bentuk yang paling suka itu workshop atau seminar. Karena
harapannya sih kita dapat bertemu dengan orang yang pernah mengalami tindak
kejahatan dan mereka membagikan pengalamannya begitu. Lalu hal yang saya suka
juga ketika sesi briefing atau sharing, kita dapat bertukar pikiran begitu. Saya tidak
suka untuk informasi di bentuk booklet. Karena kalau kita sedang pusing atau capek
kan kalau baca sesuatu kadang tidak nyampe. Jadi saya lebih suka kalau ketemu face-
to-face terutama karena faktor sosial begitu.
P : Mas Alvin menyatakan kalau lebih suka dalam bentuk workshop begitu kan. Tetapi
kejahatan TI itu kan update terus ya. Jadi kalau menurut mas Alvin, idealnya berapa
jangka waktu untuk update informasi terkait dengan kejahatan TI secara khusus, tetapi
bisa juga isu bisnis online lainnya. Jadi supaya efektif dan efisien kira-kira berapa
jangka waktunya? Misalnya mas Alvin merasa ah aku baru ikut workshop kemarin,
kira-kira kapan ya ikut lagi begitu.
R : Menurut saya jangka waktunya itu minimal 1 bulan sekali. Yang pasti kan TI itu setiap
hari selalu mengalami perkembangan dan hampir selalu ada kemungkinan kejahatan
juga. Karena semakin kesini itu orang semakin pintar menggunakan TI. jadi ya
setidaknya 1 bulan sekali perlu update untuk permasalahan-permasalahan TI. Sehingga
apa yang kita kerjakan ini tidak dirusah oleh orang lain yang tidak bertanggung jawab.
P : Oke, selanjutnya saya mau menanyakan apakah saat ini mas Alvin ada wacana atau
pertimbangan untuk mengupgrade aplikasi atau layanan online yang sudah digunakan?
Misalnya sekarang sudah pake marketplace dan OLX, lalu kemudian berencana untuk
nambah lagi atau merasa sudah nyaman? atau bagaimana?
R : Jadi kan kemaren kita awalnya jual-beli pake marketplace ya. Nah kemaren kami baru
satu minggu ini mencoba untuk terjun langsung ke perusahaan di Yogyakarta. Dia
perusahaan produksi obat-obat kesehatan. Nah mereka hanya memproduksi, dan kita
yang menjualkan menggunakan social media. Jadi kita bagi untung dan bagi hasil. Itu
salah satu peluang yang baru kami dapat. Ke depannya kami berencana untuk bekerja
sama dengan perusahaan-perusahaan lain yang mau kami bantu pemasarannya.
Ataupun ada usaha-usaha UMKM yang ingin mengembangkan pemasaran onlinenya
dapat kami bantu.
P : Rencana mas Alvin untuk bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan itu kan berarti
lebih ke melebarkan bisnis ya. Nah, rencananya untuk memasarkan produk perusahaan-
perusahaan partner tersebut akan menggunakan apa mas? Kan rencananya pemasaran
online, jadi platformnya apa ya? Apakah akan menggunakan social media, marketplace
atau bagaimana?
R : Kerja sama yang sudah berjalan ini kami pake marketplace. Setiap orang yang punya
satu email kan dia ibaratnya punya satu akun dan satu toko di marketplace. Nah ini
yang kami buatkan untuk perusahaan. Kami membuatkan satu toko untuk tiap
perusahaan, dimana kami yang mengelola. Hanya berbedaannya adalah pada harga.
Jadi misalnya perusahaan menjual barang dengan harga A, kita akan menjual dengan
harga B. Sehingga ketika kita menjualkan itu kita mendapatkan untung dari selisih itu.
Asalkan kita nggak jauh-jauh menetapkan harga dari harga awal perusahaan tersebut.
Harus didiskusikan dulu amannya.
P : Oke. Berarti kan untuk kerjasama ini jualannya masih sama dengan yang sudah
dilakukan selama ini kan, berarti platformnya masih social media dan marketplace,
tokopedia begitu. Adakah rencana untuk menambah opsi platform onlinenya. Misalnya
menambah marketplace yang lain, supaya tidak cuma tokopedia. Atau bahkan mungkin
menggunakan website. Jadi intinya adakah rencana untuk melebarkan platform yang
dipakai atau sudah merasa nyaman dengan yang sekarang?
R : Kalau untuk rencana sih pastinya banyak ya, apalagi terkait dengan teknologi yang
digunakan. Banyak sih idenya terkait hal itu. Saya ada ide bisnis baru yang nggak ada
hubungannya sih dengan yang ini, yaitu membuat jasa manajemen dana untuk
mahasiswa yang ingin berbisnis. Sekarang ini kan kalau mahasiswa mau berbisnis
sering kesulitan modal, jika ingin meminjam uang di bank mungkin tidak memenuhi
syarat. Jadi saya punya ide untuk membantu mahasiswa yang benar-benar
membutuhkan dana bisnis, walaupun cuma Rp1 juta, dengan cara mencarikan orang-
orang yang mendepositkan uangnya untuk dipinjamkan kembali.
Ada ide lain juga terkait dengan biaya kesehatan. Sekarang ini kan kalau orang berobat
dengan BPJS baru bisa menggunakan jika sudah membayar. Saya sempat terpikir
bahwa kan banyak masjid-masjid di sini yang memiliki infak dengan nilai besar,
bahkan millyaran pun ada. Jadi saya terpikir untuk memanfaatkan infak tersebut supaya
bermanfaat begitu dengan cara membuat kartu yang diberikan kepada mereka yang
berhak, sehingga mereka mendapat jaminan kesehatan dari masjid.
P : Nah sekarang saya mau menanyakan terkait operasional bisnis selama ini. Pertama,
mas Alvin sudah merekap penjualan belum ya? Kan ini ada banyak platform dan media
penjualannya, ada marketplace dan olx. Jadi sudah ada semacam merekap total
penjualan dalam satu bulan begitu tidak?
R : Yah kalau itu tentunya sudah, supaya kita dapat tahu keuangan kita bagaimana.
Misalnya dari tokopedia satu bulannya dapat Rp300.000, dari olx sebulan mungkin
Rp200.000. Kita selalu merekap dan digabungkan. Kemarin juga kita sempat mencoba
membuat bisnis minuman kesehatan, sempat laba, lalu kemudian hanya dalam satu
bulan jadi minus sampai Rp15 juta, dan sampai sekarang kita hold dan belum ada
pemasukan sama sekali. Itu terjadi karena kami salah mengelola data keuangan dan
hendak dicegah supaya tidak terjadi lagi.
P : Nah itu ya, pengelolaan data itu sekilas terlihat ribet tetapi sebenarnya penting supaya
kita bisa tahu kondisi bisnis kita. Untuk saat ini sendiri, bisnis mas Alvin terutama yang
bisnis onlinenya ini perekapannya sudah bagaimana? Misalnya merekapnya setiap
berapa lama? Lalu atau menggunakan excel atau aplikasi lain?
R : Kalau saya sih menggunakan excel ya, soalnya saya malas ngitung. Pokoknya saya
masukin dan jadikan satu di excel, nanti excel yang menghitungkan jumlahnya segini.
Lalu kita bandingkan dengan uang yang kita terima, supaya tahu oh tidak pas nih
dengan uang yang ada di kita. Nah kita cari lagi kenapa nggak sama, apa uangnya
terpakai oleh kita atau kita ada kesalahan ketika memasukkan ke data tersebut. Terus
kami rekapnya ini kadang seminggu kadang sebulan, semaunya sih merekapnya.
Soalnya kan saya masih sendiri, belum sama teman. Kalau sama teman yang lain
soalnya harus bagi hasil, harus bagi-bagi tanggung jawab. Nah kalau saya sendiri ini
kan masih oleh saya sendiri, untuk saya sendiri.
P : Oke jadi mas Alvin melakukan rekap setidaknya supaya tahu ya kondisi bisnisnya
seperti apa. Nah terkait rekapnya, selama ini rekapnya baru penjualan saja? Soalnya
kan penjualan mudah ya di tokopedia ada historinya lalu yang dari olx tinggal
ditambahkan. Jadi yang di rekap baru penjualan saja atau sudah dengan pengeluaran-
pengeluaran?
R : Kalau sampai sekarang sih memang penjualan dan pengeluaran saja yang di rekap.
Sama mungkin transaksi modal ya, karena modal itu juga lumayan penting. Lalu
pengeluaran juga penting karena nanti kita total dan bandingkan dengan penjualan,
supaya tahu apakah minus atau tidak.
P : Nah untuk nyatet pengeluarannya ini apakah mas Alvin sudah rutin? Apakah mungkin
aduh ribet saya sering lupa, ataukah oh saya sudah rutin kalau ada pengeluaran selalu
saya simpan semua lalu saya catat.
R : Yah kalau boleh jujur sih memang agak ribet ya apalagi untuk mahasiswa. Misalnya
pernah waktu itu ternyata pemasukan, tetapi saya catat di pengeluaran. Jadi harus
direkap lagi. Pernah juga pengeluaran tapi kok ya saya catat di pemasukan. Ya yang
penting teliti sih. Soalnya kalau salah satu nol saja sudah merubah datanya.
XXX-X-XXXX-XXXX-X/XX/$XX.00 ©20XX IEEE
How Micro and Small Enterprises Perceive
Information Technology Fraud: A Study of
Indonesian’ Small Businesses
Diana Rahmawati
Doctoral Program in Economics
Universitas Negeri Sebelas Maret
Surakarta, Indonesia
Ratna Yudhiyati
Department of Accounting
Universitas Negeri Yogyakarta
Yogyakarta, Indonesia
Afrida Putritama
Department of Accounting
Universitas Negeri Yogyakarta
Yogyakarta, Indonesia
Abstract—Micro, Small, and Medium Enterprise (MSME)
managed to survive an economic downturn in many countries
because of its resilience. It is much easier for MSME’s owner to
adjust its business and respond to the changes in markets.
However, MSME also needs to admit they it has weaknesses in
areas like marketing, technology, and finance. The adoption of
information technology by MSMEs is generally still low because
of the great hesitancy of MSME to adopt new technology. This
hesitancy is understandable. Despite the usefulness of
information technology, the adoption of information technology
may put MSME at risk in becoming a potential victim of
information technology fraud. This study explores how MSMEs
perceive the risks of information technology fraud and how
much their perception affected their decision in utilising
information technology. The result of this study can be used to
formulate necessary steps in addressing small business wariness
toward information technology risks.
Keywords—small business, MSMEs, information technology,
fraud risk
I. INTRODUCTION
Micro, Small, and Medium Enterprise (MSME) is one of the most important cornerstones of economy in many countries. MSME drived employment and one of the main contibutors of economic growth. Moreover, one of the discerning factors of MSME compared to its bigger counterpart is its resilience [12]. MSME is nimbler than bigger business. Important strategic decision can be decided by MSME swiftly because of its small size. This resilience was one of the main factors why MSME managed to survive economic downturn in many countries, including Indonesia.
The growth of industries requires MSME to adjust its strategies by meeting the global market needs and adopting new advances in science and technologies [12]. However, these steps can not be taken easily. Nimbleness and ability to respond customer’s need in quality and innovation are some of MSME’s main strengths, but MSME also have weaknesses in areas like marketing, technology, and finance [12]. MSME is usually hesitant to adopt new technology. The adoption of information technology by MSMEs is generally still low [1][7] Decision to adopt technology in MSME is also usually caused by external pressure instead of internal motivation [12].
This hesitancy can be harmful for MSME. Reference [4] explained that utilising information technology is necessary
for MSME to keep competing in market, especially when technology is commonly used in the industry where it competes. Utilising technology is not about obtaining advantage anymore, but it is now about staying in competition. Global market changes rapidly and information technology is one of the most feasible ways to keep up with the changes. MSMEs which refuse to use information technology where it is commonly used in the industry will not be able to compete with their competitors.
However, the adoption of information technology may create new issues for MSME. When a business entity adopts information technology, it encounters new risks caused by security concern of the new technology used by the entity. MSME has great risk to become victim of information technology crime. MSME only has limited resources which can be dedicated for information technology security, so it is often considered as easy target by hackers and fraudsters [9].
MSME which ignore technology security risk may face several risks. The first risk is a direct financial loss, whether it is caused by theft of business’ assets by fraudster or a fine from the government due to the busineness’ negligence. The second risk is indirect loss, such as damage to business’ reputation, disturbance in operation, theft of business’ confidential information, and a blackmail where fraudster takes over access and control of enterprise information technology and asks for compensation [9]. These risks make many MSMEs become cautious in adopting information technology. Several studies found that security concern is indeed one of the main barriers for MSME in adopting information technology [7][12]13]. This continued hesitancy will make them left behind by their bigger counterparts in business competition.
MSME is a very important topic in Indonesia because of its role in sustaining economy during depression and economic downturn. Research about how to improve MSME’ competitiveness in growing market is greatly sought. Most of the studies on information technology adoption by MSME in Indonesia analyzed about how far the information technology utilization by MSME or what their perception towards the utilization of information technology in general was [1][10]. They rarely address specific issue and provide further insight about each specific issue faced by MSME in information technology adoption. This study would focus on one of the barriers faced by MSME in adopting information technology; security concern. This study would identify and analyse about
how MSME perceive information technology risk and its influence toward business operation. This study also decided to concentrate on micro and small industries (hereafter ‘small business’). Several MSMEs which represent different industries were selected as respondents for this study. This decision was made based on previous study which indicated that businesses in different industries utilise information technology differently [3]. Thus, this study decided to focus on small business which operate in various industries, so it can derive several specific conclusions which can be used to formulate necessary steps in addressing small business wariness toward information technology risks.
II. THEORETICAL BACKGROUND
A. Information Technology Fraud
Fraud is a term used to refer to any kind of method used by a person to benefit from others by using a false representation [2]. When a person deliberately deceives others for gain, it can be categorized as fraud.
Fraud can be found in any industries and any type business. However, companies using information technology have unique risks caused by the application of information technology [2]. This risk is the potential for becoming a victim of information technology fraud.
Information technology fraud is an act where a fraudster utilised information tecnology to wrongfully benefit from victims. Companies which becomes victims of information technology fraud suffer several losses, which are; (1) direct financial loss, (2) impact on reputation, (3) impact on company performance, and (4) theft of important information.
There are many schemes of information technology fraud. Some commonly known examples of them are social engineering, spamming, spyware, carding, and piggy backing [11]. Social engineering is performed by fraudster who deceive and manipulate victim to disclose confidential information willingly. Carding is a technique where credit or debit card information was copied and used illegally, while piggybacking is performed by sneaking illegally into a wi-fi network and utilise it to steal information or manipulate victim who have legal access [11].
B. Micro, Small and Medium Enterprise
Micro, Small, and Medium Enterprise (MSME) is difficult to be defined. One of the most commonly used definition of MSME in Indonesia is provided by Law no. 20/2008 about Micro, Small, and Medium Enterprise [8].
Reference [8] provided definition of each type of enterprise. Each type of enterprise is differentiated based on the amout of its assets or turnover per year. Business whose net assets, excluding land and building, is Rp50,000,000 at most or whose turnover is Rp300,000,000 per year at most, is classified as micro enterprise. Small enterprise is business whose net asset, excluding land and building, is between Rp50,000,000 and Rp500,000,000, or whose turnover is between Rp300,000.000 and Rp 2,500,000,000 per year. Medium a business whose net asset is between Rp500,000,000 and Rp10,000,000.000 or whose turnover is between Rp2,500,000,000 and Rp50,000,000,000 per year. The enterprises should also not be a subsidiary of bigger enterprise to be qualified as MSME.
C. Previous Studies about The Use of Information
Technology by MSMEs
A comprehensive study about MSME’s resilience put a great importance on use of technology. The study found that most organisations who became respondents in the study admit that information technology is important in their organisation [12]. Most of them believed that information technology improves the efficiency of their operation and also their relationship with customers and suppliers. However, most MSMEs only used information technology for a single function, such as procuring or marketing, but not for an integrated supply chain activity [12]. The study also found that very few MSMEs knew and used technologies like ERP and EDI. This information showed that most MSMEs had not viewed their operations from a supply chain perspective, which could be considered as a great weakness and a waste of opportunity.
The same study also identified several barriers faced by MSMEs when they wanted to use information technology. The lack of skills in using information technology, security concerns, insufficient financial supports, and the lack of top management supports were some main barriers for MSMEs in adopting information technology [12]. Another study found similar findings related to barriers of information technology adoption by MSMEs. Reference [7] found that the lack of established regulatory system, costly initial investment, and security issues were the top three most important reasons why MSMEs hesitated to adopt information technology in Ghana. High cost of initial IT investment may be one of the reasons why some MSME top managements hesitate to support information technology adoption, as mentioned by Reference [12].
Another study about information technology adoption in Indonesia provided additional evidence that security concern, the lack of skills and high cost of infrastructure are some considerations which make MSME hesitated to use information technology. Reference [13] explained that their informants do not want to invest in IT infrastructure because it is too costly for companies at their size. The study also noted that the informants were worried of possibility of obtaining false information which may harm their decision making. They were also worried of possibility that competitors will obtain information about their products and service through information technology, which can be classified as information leakage [13].
III. RESEARCH METHOD
A. Research Design
This study was a qualitative research which utilize thematic method. Several respondents who experienced same phenomenon were interviewed intensively and their experiences were described and analysed by summarising several important themes and conclusions. The phenomenon which became the focus of this research is small businesses’ experience is using information technology.
All respondents were small businesses who had utilised any kind of information technology. However, this study emphasized on information technology fraud, so this research would focus on explaining how small businesses perceive information technology fraud, as those who had used the information technology.
B. Data Collection
Respondents of this study were selected after following several steps of selection. First, we obtained a list of MSMEs which can be possible respondents. We combined the list of MSMEs registered in Department of Industry and Trade, DI Yogyakarta, and some unregistered MSMEs. Unregistered MSME’s data was obtained from participant list of several seminar and training for MSMEs held by our institution. Second, we identified MSMEs in the list which can be classified as micro and small enterprise based on their turnover and asset. Third, we identified the small business in our list which utilised information technology in their business operation. We identified them based on public information we have about them, and we also asked some small businesses personally. Fourth, our respondents need to represent at least two types of business; trading, manufacturing, or service. Fifth, based on the updated list of possible respondents, we contacted them to ask their willingness to be our respondents. We managed to obtain five respondents for our study.
This study utilised direct interview to collect data and information from respondents. The interview was conducted for 15-30 minutes and the questions aksed during interview were based on pre-arranged interview guide. We would interview each respondent several times if we need more information. The two main questions asked in interviews were ‘what have you experienced when you use information technology in your business?’ and ‘what is your opinion about fraud risk which may arise when you use information technology for business?’. The results of the interviews were documented in audio recordings and interview transcripts.
C. Data Analysis
The procedure of data analysis in this research could be divided into several stages. First, we reviewed the interview transcript, and specifically marks important statements that can be found in the research data. These important statements may consist of statements or quotations made by respondents regarding their experience in using information technology and their opinion about information technology fraud and sceurity concern. We marked a statement as important based on a guideliness which was derived from several conclusions
of previous studies. This stage was performed by two persons who analysed each interview transcript by their own before discussing them together.
Second, we put these important statements into three themes. The themes served as a foundation for describing and analysing what respondents experience and how they view the experience [5]. The themes were decided by two persons who analyse and group the themes by their own, before they discussed their conclusion together to increase data reliability.
Third, we wrote structured descriptions that describe in detail the essence of the phenomena based on the summarised themes. Topic which becomes the focus of this study is similar experiences shared by majority of respondents.
IV. RESULT AND DISCUSSION
A. Respondents’ Profile
Table 1 provided background and introductory information about respondents of this study. This information would be useful for analysing the result of our study.
Some respondents admitted that they had started using information technology since they started their operation. Based on our interview, all respondents had basic knowledge and experience in using information technology before they started their business, so they did not hesitate to use information technology when they started business of their own. However, two respondents admit that he did not use information technology when they started his business, despite their experience in using information technology. They adopted information technology recently, thanks to the the growing popularity of internet, e-commerce, electronic payment, and other appliance of information technology in business. This information expressed that owner’s background indeed greatly influence decisions made by small business and it is also much easier for owner to implement changes in small business, as long as they are willing [12].
All respondents used information technology for marketing and receiving payment from customer, despite the industry where they operated. The most commonly used information technology is the internet-based ones, such as
TABLE I. RESPONDENTS’ PROFILE
Respondents’
Initial Industry How long they have used IT How they utilise IT in business
AH Service (lodging and
hospitality)
Since the business started
its operation • Using website for marketing, booking, and
customer service.
• Accepting electronic payment
MC Manufacture (Food &
Bakery)
Since the business started
its operation • Using website and social media for
marketing and receiving order.
• Accepting electronic payment
BAJ Retail Since the business started
its operation • Using simple database sharing system to
share data with franchiser.
• Accepting electronic payment
• Using website for marketing
KK Manufacture (sugar and
palm sugar)
Since the product became
well known and
established
• Accepting electronic payment
• Using website for marketing
• Using e-mail for communicating operation
report
• Using GPS and online map system for
tracking shipment of products to customer.
BB Retail (food and
restaurant)
Adopt information
technology recently • Accepting electronic payment
• Using website for marketing
social media, website, and internet-based payment channel (PayPal, internet banking, mobile banking). We noticed that there were two respondents which utilise more complicated information technology, such as database and GPS tracking. This information is surprising since previous study noted that most small business only use simple information technology and rarely use interconnected information technology such as database or Business-to-Business (B2B) [12].
B. Result and Discussion
1) How much small business understand the fraud risk of
information technology and their opinion about it. Our respondents explain that their decision to use
information technology was greatly influenced by a cost-benefit analysis. They compared potential benefits they can obtain and risks they may face. Regarding fraud risk of information technology, they know and understand the risks, yet they are willing to bear the risk because in their opinion, the benefit of using information technology fat outweigh the risks.
All respondents shared similar view. They were not ignorant about the possibility of becoming fraud victim due to their decision of using information technology. However, these potential problems did not stop them from utilising information technology in their businesses. This opinion was expressed in following statement from one of the respondents, AH;.
“In my understanding, if we designed a fully-secured
system, data will not be able to go in or out. Basically, the
system will only be a security vault without additional
value, since we can not utilise the data. This is one of the
main reasons why system designers will try their best to
find a balance between system’s security and benefit. This
is also the reason why all systems have weaknesses and
loopholes, simply because it was designed that way. If we
make doors for going in and out, there will always be small
holes.”
Another similar statement was provided by another
respondent, MC.
“I told my friend that if we use online platform, we should
not expect our data to be fully secure. We need to be ready
for it to be public. That risk is the price for obtaining the
advantage of online platform.”
Our respondents’ profile showed that they had prior knowledge of information technlogy before they start implementing it in their businesses. We concluded that initial information technology knowledge significantly influences small business decision in using information technology and how they perceive the fraud risk associated with it. This finding was supported by previous study which found that MSMEs’ managers or owners who have IT-professional background or IT experience regarded IT fraud risk as a high-priority threat, compared to MSMEs’ managers or owners who had no such experience [6].
2) The opinion of small businesses about information
technology security measures.
Our study found that most of the respondents used
information technology provided by third-party vendor.
Respondents expressed their trust to existing security system
provided by those parties. They believed that information
technology provided by reputable companies had good
quality and it also had adequate security measure. This
attitude was explained by AH in following statement.
“I trust the security measures provided by the online
trading website and platforms, especially those reputable
companies. Those companies surely have ways and
measures to prevent unwanted circumstances. However, we
also need to be wary and take necessary precaution
regarding online platform, such as securing password and
change it regularly.”
Most respondents expressed that they have confidence on
security measures provided by vendors whom they partnered
with. Our respondents also thought that the ones who held
main responsibility over their IT security were the vendors
who provide the technology. However, we also noticed that
respondents also did not blindly trust the vendor. They
understood that they also had responsibility toward their own
system’s security. They understood the importance of
personal security measures, such as user name, password, and
antivirus software.
Nevertheless, their trust toward third party vendor
affected their willingness to invest in security measures. As
mentioned before, respondents had basic knowledge about
information technology. They also understood that security
cost is always cheaper than financial loss which may arise if
they become a victim of information technology fraud.
However, they were willing to pay the security if they felt that
they need it. Most respondents believed that they did not need
the additional security cost because they felt content with the
current technology and they also believed that the security
measures provided by vendors were adequate. They did not
consider long-term benefit which could not be identified
easily in their cost-benefit calculation.
This view was expressed by MC in following statement;
“I will definitely do it (improving security measures) in the
future when my business had grown. I have plans to use
more IT when I finally have my own shop. For now, I think
everything is working well because I only use simple online
banking and it is quite safe.”
This finding was similar with another study which found
a situation where small businesses had high dependency on
third-party vendor which provide the information technology
used by the small businesses [6]. Reference [6] concluded
that MSME’s age was the main factor which caused the
dependency. However, our study did not find similar
conclusion since all respondents greatly depended on third
party vendors despite their difference in age. It was assumed
that business’ size may have bigger influence toward high
dependecy on third party provider than business’ age.
3) Routine maintenance is not considered as a very
important security measure.
Routine maintenance is one the preventive security
measures which can be used to reduce information
technology fraud. Cost of preventive measures is usually
much cheaper than financial loss which occur when an entity
become a fraud victim [2]. However, this study found that
most respondents thought that routine maintenance for
security measures is not necessary.
One of the respondents, KK, expressed his opinion in
following statement; “We do not perform routine maintence,
so we will only perform maintenance if we encounter a
problem or there is a server failure”. A similar statement was
provided by BB which stated; “We do not think that
maintenance is necessary, since our information technology
is provided by third party.”
Our respondents argued that reactive maintenance, which
is a maintenance performed when a problem occurs, is better
than routine maintenance from a cost-benefit view. Routine
maintenance is considered costly while not providing
immediate benefit. Some respondents also thought that
routine maintenance is not their responsibility since they used
third-party online platform or software. This view was also
greatly affected by their trust towards vendors and their
reluctance to pay additional cost for security measure whom
they assessed as adequate, which had been discussed in prior
section.
V. CONCLUSION
This study found that small businesses which utilise
information technology are usually owned by individuals
who have initial knowledge and prior experience in using
information technology, before they decided to implement
the information technology in their businesses. They made an
informed decision in adopting information technology. They
had adequate knowledge about fraud risks which may arise,
yet they were willing to bear the risks. They consider that the
benefit of using information technology greatly outweigh the
risks.
Several conclusions about how small business perceives
information technology fraud were summarised from this
study. This study found that most small businesses used
information technology provided by third party vendor. They
thought that the vendors were the one who is most responsible
to provide adequate security measure for their technology.
However, those businesses were not ignorant about the
importance of personal security measures which need to be
implemented properly, such as personal password and
accounts. The trust toward third party vendor also greatly
affected their reluctance to pay additional investment in
security measures because they assessed that the existing
security measures were adequate.
This study expanded previous literatures and research of
MSMEs by analysing and describing MSMEs’ opinion and
how they perceive information technology fraud risk. While
most previous studies discussed about barriers of IT adop tion
by MSME in general, this study focused and analysed in
depth one of those barriers; security concern. These findings
would be beneficial to answer small business’ concern toward
information technology security and encourage them to adopt
information technology further. Our finding about the great
role of third-party vendor also can be usefull for those
vendors and other interested parties to design the most
information technology and its additional service for MSME.
Nevertheless, this study had several limitations. First, this
study did not aim to generalise its finding to all small
businesses because its main aim is obtaining new insights.
Thus, it is important to find further evidence to support this
study’s conclusions which can be generalised to all small
businesses. Second, this study also did not separate our
analysis based on the respondents’ industries and ages. Based
on our findings and previous studies, we noticed there was
possibility that additional insights could be concluded if they
were comparatively analysed.
ACKNOWLEDGMENT
This research was funded by Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia.
REFERENCES
[1] I.A.F Ahmad and I. Sentosa, “An empirical study of e-commerce
implementation among SME in Indonesia”, International Journal of Independent Research and Studies, vol. 1, pp. 13-22, 2012.
[2] W. Albrecht, C. Albrecht, C. Albrecht, and M. Zimbelman, Fraud Examination. Boston: Cengage Learning, 2011.
[3] E. Brynjolfsson and L. Hitt, “Information technology as a factor of production: The role of differences among firms”, Economics of Innovation and New technology, vol. 3(3-4), pp. 183-200, 1995.
[4] A. Cataldo and R. McQueen, “Strategic driver or unimportant commodity?”, Industrial Engineering, vol. 46, pp. 36–41, 2014.
[5] J. W. Creswell, ualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among Five Approaches. Sage Publication, 2007.
[6] K. Grant, D. Edgar, A. Sukumar, and M. Meyer, “Risky business’: perceptions of e-business risk by UK small and medium sized enterprise (SMEs)”, International Journal of Information Management, vol. 34, pp. 99-122, 2014.
[7] F. Iddris, “Adoption e-commerce solutions in small and medium-sized enterprises in Ghana”, European Journal of Business and Management, vol. 4, pp. 48-57, 2012.
[8] Law No. 20/2008 (Indonesia).
[9] S.M. Rahman and R. Lackey, “E-commerce system security for small business”, International Journal of Network Security & Its Application, vol. 2, 2013.
[10] M.R. Roosdhani, P.A. Wibowo, and A. Widiastuti, “Analisis tingkat penggunaan teknologi informasi dan komunikasi pada usaha kecil menengah di Kab. Jepara (An Analysis of information technology utilisation level in small and medium enterprises at Jepara)”. Jurnal Dinamika Ekonomi dan Bisnis, 2012.
[11] M.B. Romney and P.J. Steinbart, Sistem Informasi Akuntansi (Accounting Informasion System). Jakarta Selatan: Penerbit Salemba Empat, 2015.
[12] A. Gunasekaran A, B.K. Rai and, M. Griffin, “Resilience and competitiveness of small and medium size enterprises: an empirical research”, International journal of production research, vol. 49(18), pp. 5489-5509, 2011.
[13] M.A. Nugroho, A. Z. Susilo, M. A. Fajar, and D. Rahmawati, “Exploratory Study of SMEs Technology Adoption Readiness Factors”, Procedia Computer Science, vol. 124, pp. 329-336, 2017.