sistem manajemen iso

153
KAJIAN SISTEM MANAJEMEN TERPADU (ISO 9001:2000 DAN ISO 22000:2005) DI PERUSAHAAN GULA RAFINASI MELALUI MAGANG DI PERUSAHAAN JASA KONSULTASI, PREMYSIS CONSULTING, JAKARTA HANS PUTRA KELANA F24104051 2009 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Upload: george-marx-hegel

Post on 28-Sep-2015

55 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

  • KAJIAN SISTEM MANAJEMEN TERPADU (ISO 9001:2000 DAN ISO

    22000:2005) DI PERUSAHAAN GULA RAFINASI MELALUI MAGANG

    DI PERUSAHAAN JASA KONSULTASI, PREMYSIS CONSULTING,

    JAKARTA

    HANS PUTRA KELANA

    F24104051

    2009

    DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

  • KAJIAN SISTEM MANAJEMEN TERPADU (ISO 9001:2000 DAN ISO

    22000:2005) DI PERUSAHAAN GULA RAFINASI MELALUI MAGANG

    DI PERUSAHAAN JASA KONSULTASI, PREMYSIS CONSULTING,

    JAKARTA

    SKRIPSI

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

    pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

    HANS PUTRA KELANA

    F24104051

    2009

    DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

  • HANS PUTRA KELANA. F24104051. Kajian Sistem Manajemen Terpadu (ISO

    9001:2000 dan ISO 22000:2005) di Perusahaan Gula Rafinasi Melalui Magang di

    Perusahaan Jasa Konsultasi, Premysis Consulting, Jakarta. Di bawah bimbingan

    Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc dan Tjahja Muhandri, MT.

    ABSTRAK

    Isu keamanan pangan kerap menjadi sesuatu yang disepelekan perusahaan

    pangan tetapi akan berdampak besar ke bisnis perusahaan tersebut jika sampai

    terjadi. Jaminan keamanan pangan merupakan persyaratan dasar untuk seluruh

    aktivitas yang meliputi rantai pangan, seperti produksi, distribusi, sampai

    konsumsi. Selain itu, setiap orang adalah pelanggan yang sangat mencari dan

    menghargai mutu dari sebuah produk. The International Organization for

    Standardization (ISO) menjawab kebutuhan perusahaan tersebut dengan

    mengeluarkan produk berupa sistem manajemen mutu (ISO 9001:2000) dan

    sistem manajemen keamanan pangan (ISO 22000:2005).

    Kegiatan magang ini memiliki enam tujuan yang sistematis. Tujuan tersebut

    yaitu: (1) mempelajari Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP), standar

    sistem manajemen ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005, (2) melakukan

    identifikasi kesesuaian dan menganalisis ketidaksesuaian sistem manajemen

    terpadu milik perusahaan gula rafinasi dengan standar mutu dan keamanan pangan

    internasional ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005, (3) melakukan pemeriksaan

    ketidaksesuaian implementasi sistem manajemen terpadu yang ada di perusahaan

    gula rafinasi dengan acuan standar mutu (ISO 9001:2000) dan keamanan pangan

    (ISO 22000:2005), (4) menyusun solusi alternatif bagi ketidaksesuaian

    implementasi sistem manajemen terpadu milik perusahaan gula rafinasi, (5)

    melakukan verifikasi keberhasilan solusi alternatif yang diberikan, dan (6)

    memberikan solusi alternatif tahap kedua atas ketidaksesuaian yang ditunjukkan

    hasil verifikasi. Melalui tujuan-tujuan tersebut diharapkan tulisan ini dapat

    digunakan sebagai salah satu sumber informasi dan pembelajaran praktis bagi

    akademisi maupun praktisi industri pangan dalam mengenal sistem manajemen

    terpadu berbasis ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005.

    Pelaksanaan magang dilakukan di tiga tempat. Tempat pertama di Perusahaan

    Jasa Konsultasi, Premysis Consulting, Jakarta. Tempat kedua di kantor pusat PT

    Gula Rafinasi A, Jakarta. Tempat ketiga di pabrik PT Gula Rafinasi A, Cilegon.

    Secara garis besar, pelaksanaan magang dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu

    kajian sistem HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO 22000:2005, tinjauan umum

    perusahaan tempat magang, dan kajian penerapan sistem manajemen terpadu (ISO

    9001:2000 dan ISO 22000:2005) di perusahaan gula rafinasi.

    Hasil analisis HACCP, ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005 menunjukkan

    keterkaitan antara ketiga sistem ini. HACCP merupakan sistem analisa bahaya

    yang dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan titik-titik kritis di dalam proses

    pangan. ISO mengintegrasikan HACCP ke dalam ISO 22000:2005 dan

    menjadikannya sebagai salah satu elemen kunci penerapan ISO 22000:2005. ISO

    9001:2000 dan ISO 22000:2005 memiliki keterkaitan berupa perbedaan dan

    persamaan sistem ini bagi sebuah organisasi. Kelima bagian utama pada ISO

  • 9001:2000 dan ISO 22000:2005 yang dapat diintegrasikan adalah saasaran dan

    kebijakan, wakil manajemen, pengendalian dokumen dan catatan, audit, dan

    tinjauan manajemen.

    Kajian tahap pertama sistem manajemen terpadu di PT Gula Rafinasi A

    dengan menggunakan tabel ketidaksesuaian menunjukkan PT Gula Rafinasi A

    masih belum memenuhi persyaratan ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005 secara

    penuh. Hasil identifikasi menunjukkan terdapat 4 ketidaksesuaian sistem

    manajemen mutu berdasarkan ISO 9001:2000. Selain itu, hasil identifikasi

    menunjukkan 5 ketidaksesuaian sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan

    ISO 22000:2005.

    Ketidaksesuaian yang ada berusaha diselesaikan dengan penyusunan solusi

    alternatif bersama antara tim konsultan Premysis dengan tim mutu dan keamanan

    pangan PT Gula Rafinasi A. Solusi alternatif yang telah disusun dicoba

    diimplementasikan dan diamati tiga bulan berikutnya. Setelah tiga bulan,

    dilakukan verfikasi sistem manajemen terpadu PT Gula Rafinasi A. Solusi

    alternatif yang disusun mampu menyelesaikan 4 ketidaksesuaian sistem

    manajemen mutu dan 3 ketidaksesuaian manajemen keamanan pangan. Selain itu,

    hasil verifikasi menunjukkan terdapat 2 ketidaksesuaian manajemen keamanan

    pangan yang baru teridentifikasi di pabrik PT Gula Rafinasi A. Selanjutnya, solusi

    alternatif tahap kedua disusun untuk menyelesaikan 2 ketidaksesuaian lama dan 2

    ketidaksesuaian baru untuk sistem manajemen keamanan pangan. Secara

    keseluruhan, PT Gula Rafinasi A telah menerapkan sistem manajemen terpadu

    berbasis ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005.

  • I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Isu keamanan pangan kerap menjadi sesuatu yang disepelekan

    perusahaan pangan tetapi akan berdampak besar ke bisnis perusahaan tersebut

    jika sampai terjadi. Jaminan keamanan pangan merupakan persyaratan dasar

    untuk seluruh aktivitas yang meliputi rantai pangan, seperti produksi,

    distribusi, sampai konsumsi. Hal ini menjadi perhatian karena setiap orang

    memiliki hak yang sama untuk mengkonsumsi pangan yang aman bagi

    kesehatannya. Selain itu, setiap orang adalah pelanggan yang sangat mencari

    dan menghargai mutu dari sebuah produk.

    Perusahaan yang baik akan berusaha menjaga dan meningkatkan mutu

    produk sesuai yang diharapkan konsumennya. Kepuasan pelanggan adalah

    ukuran yang penting bagi perusahaan dalam menjaga bisnisnya dan

    melakukan siklus perbaikan berkelanjutan. Perbaikan secara berkelanjutan,

    peningkatan kinerja dan mutu, dan pelaksanaan bisnis dengan jaminan

    keamanan pangan merupakan kebutuhan bagi setiap perusahaan pangan saat

    ini.

    The International Organization for Standardization (ISO) menjawab

    kebutuhan perusahaan tersebut dengan mengeluarkan produk berupa sistem

    manajemen mutu (ISO 9001:2000) dan sistem manajemen keamanan pangan

    (ISO 22000:2005). ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005 adalah perangkat

    sistem manajemen yang memberikan jaminan proses terkendali, dinamis, dan

    terstandarisasi internasional yang efektif dalam meningkatkan kinerja dan

    keuntungan perusahaan.

    ISO mengadopsi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) ke

    dalam ISO 22000:2005. Hal ini dikarenakan HACCP telah diakui sebagai

    perangkat yang efektif untuk mengendalikan keamanan pangan. Pengetahuan

    tentang HACCP, khususnya terkait 12 langkah penerapan meliputi 7 prinsip

    telah diperkenalkan secara luas pada praktisi industri pangan di berbagai

    belahan dunia. Penerapan HACCP bisa diterapkan di dalam rantai produksi

    pangan, mulai dari produsen utama bahan baku pangan (pertanian),

  • penanganan, pengolahan, distribusi, pemasaran, sampai dengan pengguna

    akhir.

    Berdasarkan pertimbangan di atas, pelaksana magang berusaha

    membantu menyediakan informasi pembelajaran memadukan penerapan ISO

    9001:2000 dan ISO 22000:2005 dalam industri pangan bagi pihak lain yang

    membutuhkan seperti praktisi industri maupun akademisi. Penerapan sistem

    manajemen yang terstandarisasi dan efektif merupakan kebutuhan bagi semua

    pihak yang terlibat dalam perusahaan pangan. Melalui laporan kegiatan

    magang ini diharapkan dapat menumbuhkan cara berpikir baru bagi setiap

    orang yang ingin tahu mengenai penerapan standar internasional di dalam

    perusahaan pangan.

    B. Tujuan

    Tujuan dilakukan kegiatan magang di PT Premysis Consulting, Jakarta

    adalah (1) mempelajari HACCP, standar sistem manajemen ISO 9001:2000

    dan ISO 22000:2005, (2) melakukan identifikasi dan analisis ketidaksesuaian

    sistem manajemen terpadu milik perusahaan gula rafinasi dengan standar

    mutu dan keamanan pangan internasional ISO 9001:2000 dan ISO

    22000:2005, (3) melakukan pemeriksaan ketidaksesuaian implementasi sistem

    manajemen terpadu yang ada di perusahaan gula rafinasi dengan acuan

    standar mutu (ISO 9001:2000) dan keamanan pangan (ISO 22000:2005), (4)

    menyusun solusi alternatif bagi ketidaksesuaian implementasi sistem

    manajemen terpadu milik perusahaan gula rafinasi, (5) melakukan verifikasi

    keberhasilan solusi alternatif yang diberikan, dan (6) memberikan solusi

    alternatif tahap kedua atas ketidaksesuaian yang ditunjukkan hasil verifikasi.

    C. Manfaat

    Manfaat hasil laporan magang ini adalah sebagai salah satu sumber

    informasi dan pembelajaran praktis bagi akademisi maupun praktisi industri

    pangan dalam mengenal sistem manajemen mutu dan keamanan pangan

    berstandar internasional, ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005.

  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. Sistem Manajemen Mutu

    Juran di dalam Muhandri dan Kadarisman (2008) mendefinisikan mutu

    sebagai fitness for use (kecocokan atau kelayakan untuk digunakan). Hal ini

    dapat diartikan penggunaan akan barang atau jasa sesuai dalam pemenuhan

    kebutuhan konsumennya. Penjelasan fitness for use oleh Juran dapat dikaji

    menjadi dua bagian, yaitu quality of design (mutu rancangan) dan quality of

    conformance (mutu kesesuaian). Quality of design disebut sebagai mutu

    absolut artinya mutu yang direncanakan. Bila biaya untuk menaikkan mutu

    ini ditingkatkan maka dapat meningkatkan nilai jual lebih tinggi. Quality of

    conformance merupakan tingkat kesesuaian produk atau jasa terhadap

    rancangan yang sudah dibuat. Tingkat kesesuaian yang tinggi akan

    menurunkan biaya produksi per unit produk.

    Ada dua unsur mendasar tentang mutu, yaitu pengalaman pelanggan

    dalam mengenal mutu dan kreatifitas produsen mengenai mutu (Kolarik,

    1999). Saat pelanggan melakukan pilihan, secara tidak sadar dirinya

    membentuk pengertian mutu. Kepuasan pelanggan menggunakan sebuah

    produk baik barang maupun jasa akan selalu diukur oleh dirinya sendiri yang

    nantinya akan menjadi sebuah ingatan dan pengalaman dalam menentukan

    pilihan produk selanjutnya. Bagi pihak produsen, pengalaman-pengalaman

    konsumen tersebut merupakan kumpulan atribut berharga yang sebisa

    mungkin dipenuhi agar produk yang dijual sesuai mutu yang ada di

    pengalaman konsumen.

    Produk pangan merupakan komoditas yang tidak terlepas dari konsep

    mutu. Berbagai atribut mutu yang melekat pada produk pangan seperti rasa,

    aroma, warna, tekstur, harga, dan sebagainya, merupakan faktor penentu bagi

    konsumen dalam menentukan pilihannya. Oleh karena itu, perusahaan pangan

    harus mampu secara nyata meningkatkan mutu produknya untuk memberikan

    kepuasan dan kepercayaan konsumen.

    Seiring perjalanan waktu, tidak jarang perusahaan-perusahaan lalai dalam

    mengendalikan mutu produknya. Pengendalian mutu menurut Juran (1995),

  • merupakan proses yang digunakan untuk membantu pencapaian produk dan

    proses sesuai dengan tujuan. Kegiatan pengendalian mutu mencakup: 1)

    menilai kinerja operasi yang aktual, 2) membandingkan dengan tujuan

    (standar) dan 3) mengambil tindakan jika terdapat perbedaan. Melalui

    pengendalian mutu, sebuah perusahaan selain mampu mengendalikan biaya

    dalam kegiatan operasional juga mampu bertahan dalam persaingan usaha

    dari kompetitornya.

    Kendala yang umum terjadi di dalam perusahaan yang belum atau tidak

    memiliki sistem di dalamnya adalah ketergantungan pada pihak tertentu yang

    menguasai konsep dan pengendalian mutu. Pengendalian disertai peningkatan

    mutu yang dilakukan berkesinambungan memerlukan sebuah sistem yang

    mampu mengaturnya. Sistem ini akan membantu perusahaan mampu

    mengendalikan mutunya walaupun pihak yang selama ini ahli dalam

    melakukan pengendalian mutu, tidak lagi berada di perusahaan tersebut.

    B. Standar Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000

    ISO 9001:2000 adalah sebuah standar internasional yang dibuat oleh The

    International Organization for Standardization (ISO) untuk memberikan

    panduan, arahan, dan acuan sistem manajemen mutu di dalam organisasi.

    Pengadopsian sistem manajemen mutu hendaknya merupakan keputusan

    strategis dari suatu organisasi. Perancangan dan penerapan dari sistem

    manajemen mutu organisasi dipengaruhi oleh kebutuhan yang bervariasi,

    tujuan tertentu, produk yang disediakan, proses yang digunakan, serta ukuran

    dan struktur dari organisasi (ISO, 2000).

    Menurut ISO (2008), ISO 9001:2000 memiliki delapan prinsip dalam

    memberikan standar sistem manajemen mutu, yaitu:

    1) fokus ke pelanggan,

    2) kepemimpinan,

    3) pelibatan semua pihak,

    4) pendekatan proses,

    5) pendekatan sistem ke manajemen,

    6) perbaikan berkelanjutan,

  • 7) pendekatan faktual untuk pengambilan keputusan, dan

    8) hubungan saling menguntungkan dengan pemasok.

    Kedelapan prinsip tersebut menyediakan kerangka bekerja yang ilmiah dan

    sistematis bagi manajer senior untuk menjalankan organisasinya menuju

    peningkatan kinerja. Prinsip-prinsip tersebut berguna dalam meningkatkan

    mutu suatu organisasi dan melibatkan seluruh pihak yang terkait di dalamnya.

    Penerapan ISO 9001:2000 tidak terlepas dari pentingnya penerapan

    standar. Standar memberikan kontribusi positif yang besar hampir di setiap

    aspek kehidupan. Menurut ISO (2008), standar memastikan karakteristik

    yang diinginkan untuk produk dan jasa seperti mutu, keramahan lingkungan,

    keamanan, keterandalan, efisiensi dan pertukaran, serta biaya ekonomis. Jika

    standar tidak muncul dalam suatu hal, baik itu produk maupun proses, hal ini

    dapat segera diketahui.

    Standar sistem manajemen mutu yang terdapat dalam ISO 9001:2000

    memiliki tatanan yang ilmiah dalam pengaturan proses yang terdapat dalam

    organisasi. Standar internasional ini mengutamakan pendekatan proses dalam

    memberikan arahan untuk menyusun sistem manajemen mutu yang efektif.

    Hal ini penting, karena syarat sebuah organisasi berjalan efektif, maka

    organisasi tersebut harus mampu mengidentifikasi dan mengelola sejumlah

    kegiatan yang saling berhubungan. Kegiatan yang menggunakan sumberdaya

    dan dikelola untuk memungkinkan perubahan masukan menjadi keluaran

    dapat dianggap sebagai proses.

    Keuntungan yang didapat dengan menjalankan ISO 9001:2000 bagi

    sebuah organisasi adalah terpenuhinya kebutuhan sesuai dengan harapan

    organisasi dan regulasi yang berlaku. Selain itu, organisasi yang menjalankan

    standar internasional ini dapat meningkatkan kepercayaan pelanggan terhadap

    kinerja dan mutu organisasi. Peningkatan kinerja dan mutu organisasi dapat

    menurunkan biaya produksi dan meningkatkan produktivitas.

    ISO 9001:2000 bisa diterapkan di setiap organisasi apapun. Standar

    sistem ini memiliki ruang lingkup yang luas karena menekankan kepada

    sistem manajemen mutu. Makna mutu berlaku universal di seluruh bidang

    usaha apapun. Standar ini tidak menyiratkan harus terjadi keseragaman sistem

  • manajemen mutu maupun dokumentasinya. Sebagai acuan tambahan, standar

    ini menggunakan beberapa aturan seperti peraturan pemerintah ataupun

    persyaratan pelanggan.

    Penerapan ISO 9001:2000 memerlukan persiapan yang matang untuk

    suatu organisasi dalam mewujudkan kerangka kerja sistem manajemen mutu.

    Saat yang tepat bagi sebuah organisasi dalam menerapkan standar

    internasional ini adalah ketika organisasi telah siap memajukan dan

    mengembangkan usahanya. Hal ini disebabkan, perubahan di dalam dunia

    usaha selalu dinamis dan menuntut setiap organisasi untuk selalu bergerak

    maju. Perubahan tersebut mengharuskan organisasi memiliki suatu kerangka

    berpikir yang mantap untuk senantiasa mengutamakan mutu.

    C. Sistem Manajemen Keamanan Pangan

    Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang: Pangan,

    keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah

    pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat

    mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan

    bersifat sensitif terhadap kesehatan manusia karena pangan dikonsumsi

    setidaknya tiga kali dalam sehari. Selama pengolahan mulai dari hulu sampai

    hilir terdapat berbagai ancaman bagi pangan yang bisa menyebabkan

    gangguan kesehatan bagi konsumen.

    Sementara itu, Codex Alimentarius Commission (2003) menyatakan

    keamanan pangan adalah jaminan bahwa pangan tidak akan menyebabkan

    bahaya bagi konsumen ketika disiapkan dan/atau dimakan berdasarkan tujuan

    penggunanya. Bahaya yang mungkin timbul selama proses persiapan,

    pengolahan, sampai penyajian pangan disebabkan adanya kontaminasi, reaksi

    yang timbul selama pengolahan, dan kesalahan penanganan pangan.

    Hariyadi (2008) memiliki pandangan lain dengan mengelompokkan

    keamanan pangan menjadi dua bagian, yaitu keamanan bagi tubuh (safety for

    body) dan keamanan bagi keyakinan (safety for mind). Tinjauan keamanan

    pangan bagi tubuh (safety for body) setidaknya meliputi tiga aspek utama,

    yaitu mikrobiologi, fisik, dan kimia. Keamanan bagi tubuh bila dijabarkan lagi

  • berdasarkan sumber-sumbernya dapat dikelompokkan menjadi tujuh yaitu

    kimia (residu pestisida, obat hewan ternak, antibiotik, dan lain-lain),

    kontaminan lingkungan, biologi (bakteri, virus, parasit, protozoa, dan lain-

    lain), mikotoksin (toksin dari kapang), alergen, non-konvensional (prion), dan

    bioterorisme. Keamanan pangan untuk keyakinan (safety for mind) biasanya

    berlaku bagi pemeluk agama tertentu. Contoh keamanan pangan ini berupa

    jaminan Kosher bagi umat Yahudi atau Halal bagi umat Islam.

    Mengacu kepada konsep Codex Alimentarius Commission (CAC),

    terdapat kemungkinan bahaya keamanan dalam perdagangan pangan yang

    dikategorikan menjadi 3 hal yaitu bahaya biologi, kimia, dan fisik.

    1. Bahaya biologi

    Bahaya biologi artinya pangan terjamin keamanannya dari

    kontaminan biologi yang bersumber dari bakteri, virus, parasit, dan

    protozoa, yang patogenik bagi kesehatan manusia dan menyebabkan

    gangguan penyakit karena makanan (foodborne disease). Penyakit-

    penyakit keracunan pangan di Indonesia yang terpublikasi biasanya

    disebabkan patogen dan atau senyawa kimia. Mengingat di negara-negara

    maju dengan tingkat sanitasi tinggi dilaporkan bahwa patogen adalah

    penyebab utama kasus-kasus penyakit asal pangan, maka cukup aman

    untuk mengasumsikan bahwa kemungkinan besar kasus-kasus penyakit

    asal pangan di Indonesia juga didominasi oleh patogen asal pangan

    (foodborne pathogen) Dewanti-Hariyadi (2008).

    Secara umum penyakit-penyakit karena patogen asal pangan dapat

    digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu infeksi dan intoksikasi. Infeksi

    adalah penyakit asal pangan yang terjadi karena masuknya patogen hidup

    seperti virus, bakteri, protozoa, cacing melalui bahan pangan. Jika patogen

    berhasil mencapai usus, pada saat yang bersamaan mereka akan

    mengganggu kesehatan inang (manusia) yang ditumpanginya dengan

    berbagai cara. Intoksikasi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya

    toksin melalui bahan pangan ke dalam tubuh. Toksin dalam bahan pangan

    dapat berupa toksin secara alami terdapat dalam bahan pangan tersebut,

  • toksin yang dihasilkan bakteri atau kapang, toksin lingkungan, atau toksin

    dari penggunaan pestisida (Dewanti-Hariyadi, 2008).

    2. Bahaya kimia

    Kontaminan kimia yang terpapar dalam pangan cukup banyak

    jenisnya. Pembagian jenis menurut Andrews et. al. (2001) mengacu

    kepada perkembangan ditemukannya kontaminan kimia. Pertama,

    kontaminan kimia yang dapat menyebabkan penyakit dalam jangka waktu

    yang panjang seperti senyawa karsinogenik. Kedua, kontaminan kimia

    yang dapat menyebabkan penyakit degenerasi permanen secara perlahan

    seperti yang disebabkan timbal dan merkuri. Ketiga, kontaminan kimia

    yang muncul dalam pengolahan pangan dan bersifat karsinogen seperti 3-

    monokloropropanadiol (3-MCPD), dan asam lemak trans (Muhandri dan

    Kadarisman, 2006). Keempat, kontaminan kimia yang terpapar pada

    produk pertanian, seperti residu pestisida dan herbisida. Kelima,

    kontaminan kimia yang baru diketahui memiliki efek negatif bagi manusia

    seperti residu perawatan hewan ternak (veterinary residues) dan organisme

    genetik termodifikasi/genetically modified organism (GMO) (Andrews et.

    al., 2001).

    3. Bahaya fisik

    Keamanan dari bahaya fisik di sini berarti pangan terjamin

    keamanannya dari benda-benda asing (kontaminan fisik) yang dapat

    menyebabkan luka jika konsumen mengonsumsinya. Kontaminan fisik

    dapat menyebabkan resiko keamanan dan penurunan kualitas pangan.

    Kontaminan fisik biasanya jarang ditemukan dalam kasus keamanan

    pangan dan hanya mempengaruhi sejumlah kecil konsumen, berbeda

    dengan kontaminan biologi atau kimia yang mampu mempengaruhi

    seluruh populasi.

    Kontaminan fisik ada yang langsung mempengaruhi keamanan tubuh

    konsumen dan ada yang dapat mempengaruhi pandangan konsumen

    terhadap mutu. Kontaminan yang dapat menyebabkan luka biasanya

    pecahan gelas, potongan kayu tajam, serpihan besi, batu dan logam-logam

    non besi. Bila ada pecahan gelas di makanan bayi, potongan paku di dalam

  • sekaleng minuman ringan, atau serpihan kacang dalam makanan bebas

    kacang, dapat dikategorikan bahaya keamanan pangan. Contoh terakhir

    lebih terkait dengan isu alergen. Kontaminan fisik jenis lain yang

    menurunkan mutu produk dalam pandangan konsumen biasanya kotoran

    atau potongan tubuh hewan kecil seperti serangga dan serpihan kayu. Jika

    konsumen menemukan potongan tubuh serangga pada salad atau

    menemukan serpihan kayu pada kue pai akan menyebabkan ketidakpuasan

    konsumen. (Andrews et. al., 2001).

    Maraknya kasus keracunan pangan di dunia mengindikasikan minimnya

    kesadaran dan pengetahuan tentang keamanan pangan bagi sebagian besar

    pelaksana usaha pangan. Hal ini perlu menjadi pembelajaran bagi setiap

    organisasi yang membuat, menangani, atau memasok pangan untuk lebih

    memperhatikan keamanan pangan. Dampak keracunan pangan tidak hanya

    berimbas kepada konsumen tetapi juga kepada nama baik dan kelangsungan

    bisnis produsen. Sebagai contoh kasus keamanan pangan, Amerika Serikat

    dan Indonesia memiliki kasus dalam jumlah yang besar. Sebagai pembanding

    Amerika Serikat dipilih karena sistem pendataannya yang baik dan akurat.

    Berdasarkan data Centre for Disease Control and Prevention (CDC),

    Amerika Serikat pada tahun 2006 memiliki kasus penyakit diakibatkan

    pangan (foodborne illness) dan kejadian luar biasa (outbreaks) dalam jumlah

    yang besar. Kejadian luar biasa setidaknya memiliki dua arti, yaitu: 1) suatu

    kejadian dimana terdapat dua atau lebih orang mengalami sebuah penyakit

    yang sama setelah menelan makanan yang sama, atau 2) analisis epidemiologi

    dari suatu kejadian yang mengindikasikan pangan sebagai sumber dari

    penyebab penyakit (Hui, et. al., 2001). Sebagian besar kasus penyakit

    disebabkan oleh virus, yang tercatat sebanyak 11.122 kasus terkonfirmasi dan

    2841 kasus dugaan. Ilustrasi data jumlah kasus penyakit diakibatkan pangan

    di Amerika Serikat pada tahun 2006, dapat dilihat pada Gambar 1. Kasus

    kejadian luar biasa (KLB) pada tahun ini, tercatat virus sebagai penyebab

    terbesar, yaitu sebanyak 337 KLB terkonfirmasi dan 165 KLB dugaan.

    Ilustrasi data jumlah kejadian luar biasa di Amerika Serikat pada tahun 2006,

  • 02,000

    4,000

    6,000

    8,000

    10,000

    12,000

    Bakteri Kimia Parasit Virus

    5,336

    221 129

    11,122

    1,440

    39 18

    2,841

    Ka

    sus

    Penyebab

    Konfirmasi

    Dugaan

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    300

    350

    Bakteri Kimia Parasit Virus

    223

    53

    9

    337

    75

    11 3

    165

    Ka

    sus

    Penyebab

    Konfirmasi

    Dugaan

    dapat dilihat pada Gambar 2. Total keseluruhan kasus penyakit diakibatkan

    pangan dan KLB di Amerika Serikat ditampilkan pada Gambar 3. Data

    keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 1.

    Gambar 1. Jumlah kasus penyakit diakibatkan pangan di Amerika Serikat

    tahun 2006 (dimodifikasi dari CDC, 2006)

    Gambar 2. Jumlah Kejadian Luar Biasa di Amerika Serikat tahun 2006

    (dimodifikasi dari CDC, 2006)

  • 05000

    10000

    15000

    20000

    Total

    Konfirmasi Sumber Penyakit

    Total Dugaan

    Sumber Penyakit

    Sumber Penyakit

    yang tidak diketahui

    623 275 349

    16,904

    4,592 4,163

    Ka

    sus

    Jumlah Kejadian

    Luar Biasa (KLB)

    Jumlah Kasus

    0

    50

    100

    150

    200

    2001 2002 2003 2004 2005 2006

    2643 34

    164184

    159

    KL

    B

    Tahun

    Gambar 3. Jumlah Kejadian Luar Biasa dan kasus penyakit diakibatkan

    pangan di Amerika Serikat tahun 2006 (dimodifikasi dari CDC,

    2006)

    Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik

    Indonesia (BPOM RI), Indonesia memiliki kasus keamanan pangan dalam

    jumlah besar (Hariyadi, 2008). Kejadian luar biasa yang terjadi di Indonesia

    tercatat mengalami peningkatan seperti terlihat pada Gambar 4. Hal yang

    serupa juga terlihat pada jumlah korban sakit seperti terlihat pada Gambar 5,

    sedangkan jumlah korban yang meninggal akibat pangan seperti terlihat pada

    Gambar 6. Data keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 2.

    Gambar 4. Jumlah Kejadian Luar Biasa di Indonesia dari tahun 2001 sampai

    dengan tahun 2006 (dimodifikasi dari BPOM tahun 2008)

  • 02000

    4000

    6000

    8000

    10000

    2001 2002 2003 2004 2005 2006

    1183

    3635

    1843

    7366

    8949 8747

    Korb

    an

    sak

    it

    Tahun

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    2001 2002 2003 2004 2005 2006

    1610 12

    51 49

    38

    Korb

    an

    men

    inggal

    Tahun

    Gambar 5. Jumlah korban sakit akibat pangan di Indonesia dari tahun 2001

    sampai dengan tahun 2006 (dimodifikasi dari BPOM tahun 2008)

    Gambar 6. Jumlah korban meninggal akibat pangan di Indonesia dari tahun

    2001 sampai dengan tahun 2006 (dimodifikasi dari BPOM tahun

    2008)

    Era keterbukaan dan globalisasi memberikan kemajuan pesat informasi

    di berbagai bidang termasuk keamanan pangan. Setiap pelanggan akan

    semakin peduli terhadap keamanan pangan yang mereka konsumsi. Hal ini

    berdampak langsung bagi setiap organisasi yang menghasilkan, menangani,

    atau memasok pangan, wajib mengetahui bahwa semakin meningkatnya

    persyaratan keamanan pangan yang diajukan pelanggan.

  • D. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)

    1. Pengertian HACCP

    HACCP atau Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis adalah

    suatu sistem jaminan mutu yang berdasarkan kepada kesadaran atau

    penghayatan bahwa bahaya (hazard) dapat timbul pada berbagai titik atau

    tahap produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendalian untuk

    mengontrol bahaya-bahaya tersebut (Winarno dan Surono, 2002). Bahaya-

    bahaya yang dimaksud bisa berupa bahaya yang bersifat fisik, kimia, atau

    biologi yang bisa terdapat pada bahan baku maupun proses. Bahaya-

    bahaya tersebut dapat mengakibatkan masalah kesehatan bagi manusia

    yang terdapat pada produk pangan jika tidak dikendalikan oleh produsen.

    Sistem HACCP yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan

    sistematika, mengidentifikasi bahaya dan tindakan pengendaliannya untuk

    menjamin keamanan pangan. HACCP menilai bahaya dan menetapkan

    sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan daripada

    mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir. Setiap sistem

    HACCP mengakomodasi perubahan seperti kemajuan dalam rancangan

    peralatan, prosedur pengolahan atau perkembangan teknologi (BSN,

    1998).

    Beberapa negara dunia menetapkan aturan untuk keamanan dan

    kelayakan dari produk pangan untuk menerapkan HACCP dalam setiap

    usaha dan organisasi yang menghasilkan pangan. Bidang yang tercakup

    meliputi keseluruhan, baik itu organisasi profit maupun tidak, baik umum

    maupun pribadi, aktivitas-aktivitas seperti persiapan, proses, manufaktur,

    pengemasan, penyimpanan, transportasi, distribusi, penanganan,

    penawaran langsung untuk dijual ataupun untuk mensuplai kebutuhan

    pangan. Di Eropa, melalui acuan aturan EU Directive 93/94/EEC on Food

    Hygiene, semua pihak yang beroperasi di bidang pangan di dalam Uni

    Eropa harus menerapkan HACCP (National Board of Experts-HACCP,

    2002). Mereka harus memastikan bahwa prosedur keamanan yang cukup

    memenuhi untuk diidentifikasi, didokumentasikan, dipelihara, dan ditinjau

  • berdasarkan prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengembangkan sistem

    HACCP.

    Indonesia sering mengalami permasalahan di bidang keamanan

    pangan saat melakukan ekspor produk pangannya ke uni eropa. Pada tahun

    2004 tercatat 71 Unit Pengolahan Ikan (UPI) mendapatkan notifikasi

    Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF). Kemudian jumlah

    notifikasi menurun pada tahun 2005 menjadi 65 UPI. Tahun 2006,

    Indonesia mendapatkan notifikasi 46 UPI pada tahun 2006, sedangkan

    pada tahun 2007 (Maret) tercatat 12 UPI memperoleh notifikasi RASFF

    (Retnowati, 2007).

    Penerapan sistem keamanan pangan yang melibatkan HACCP terbukti

    meningkatkan kualitas keamanan produk perikanan Indonesia. Hal ini

    dapat dilihat dari penurunan notifikasi yang diterima Indonesia pada tahun

    2007 menjadi 12 notifikasi terhadap UPI. Oleh karena itu, penerapan

    konsep sistem HACCP dalam melakukan upaya yang berhubungan dengan

    keamanan pangan merupakan salah satu piranti yang cukup efektif.

    2. Sejarah HACCP

    Sejarah perkembangan HACCP oleh beberapa ahli dianggap sebagai

    evolusi, karena perkembangannya melalui proses yang panjang sejak

    dimulai pada tahun 1959. Awalnya, Pillsbury Company bekerja sama

    dengan National Aeronautics and Space Agency (NASA), Natick

    Research and Development Laboratories dan US Air Force Space

    Laboratory Project pada tahun 1959, mengadakan penelitian penerapan

    HACCP dengan tujuan mengembangkan makanan yang aman bagi

    astronot (Thaheer, 2005). Kemudian, pada tahun 1971, dimulai pemaparan

    pertama kepada masyarakat mengenai sistem HACCP di American

    National Conference for Food Protection, Amerika Serikat. Lalu, pada

    tahun 1973, FDA mengeluarkan aturan untuk menerapkan prinsip HACCP

    pada makanan kaleng berasam rendah (low acid canned food).

    Selanjutnya, sistem HACCP selalu dipelajari dan dikembangkan terus

    menerus oleh negara-negara di dunia dan mengalami perkembangan yang

    pesat sejak tahun 1990-an.

  • HACCP mulai dikenal di Indonesia melalui panduan HACCP yang

    berasal dari Codex Alimentarius Commission. Pada tahun 1993, Codex

    Guidelines for the Application of the HACCP diadopsi oleh FAO/WHO

    Codex Alimentarius Commission (CAC) termasuk the Codex Code on

    General Principles of Food Hygiene direvisi untuk mencakup sistem

    HACCP. Selanjutnya diadakan revisi Codex Guidelines for the

    Application of the HACCP pada tahun 1997 menjadi Hazard Analysis

    Critical Control Point (HACCP) System and Guidelines for Its

    Application. Sejak tahun 1998, Indonesia mengadopsi Hazard Analysis

    Critical Control Point (HACCP) System and Guidelines for Its

    Application menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4852-1998)

    Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis

    and Critical Control Point) Serta Pedoman Penerapannya.

    3. Keunggulan HACCP

    HACCP merupakan sistem yang efektif biaya dalam proses bisnis

    pangan. Sistem ini menargetkan ke sumber area kritis proses. Selain itu,

    HACCP juga mengurangi risiko pembuatan dan penjualan produk yang

    tidak aman. Oleh karena itu, di dunia internasional hingga saat ini,

    HACCP adalah metode paling efektif dalam memaksimalkan keamanan

    pangan (Mortimore dan Wallace, 1998)

    Pengguna HACCP hampir sepenuhnya yakin akan menemukan

    manfaat tambahan di area mutu produk. Peningkatan kesadaran akan

    bahaya (hazard) secara umum dan partisipasi aktif dari orang-orang yang

    terlibat di area operasi merupakan keutamaan dari sistem ini. Banyak

    mekanisme pengendalian keamanan berfungsi sekaligus dalam

    pengendalian mutu produk (Mortimore dan Wallace, 1998).

    Penerapan sistem HACCP dapat membantu inspeksi oleh lembaga

    yang berwenang dan memajukan perdagangan internasional melalui

    peningkatan kepercayaan keamanan pangan (BSN, 1998). Karena

    keunggulan dan tatanan kerja yang sistematis dan logis, HACCP diakui

    banyak negara di seluruh dunia sebagai sebuah sistem keamanan pangan

    yang dapat diterapkan di mana pun. Pengujian akan keefektifan sistem

  • keamanan pangan yang terdapat dalam organisasi yang memproduksi

    pangan lebih mudah dilakukan karena salah satu prinsip HACCP, yaitu

    dokumentasi. Penjaminan dari lembaga sertifikasi akan pengoperasian

    HACCP dalam organisasi berupa sertifikat HACCP memudahkan

    penerimaan produk organisasi tersebut dalam perdagangan internasional.

    4. Cara menerapkan HACCP

    Penerapan HACCP tidak terlepas dari keduabelas langkah

    penerapannya yang terdiri dari lima langkah awal dan tujuh prinsip

    penerapannya. Lima langkah awal penerapan HACCP yaitu: 1)

    pembentukan tim HACCP, 2) deskripsi produk, 3) identifikasi rencana

    penggunaan, 4) penyusunan diagram alir, dan 5) verifikasi diagram alir di

    lapangan. Tujuh prinsip penerapan HACCP yaitu: 1) analisa bahaya, 2)

    penentuan titik kendali kritis (TTK/CCPs), 3) penetapan batas kritis, 4)

    penetapan sistem untuk memantau pengendalian titik kendali kritis

    (monitoring), 5) penetapan tindakan perbaikan (corrective action), 6)

    penetapan prosedur verifikasi, dan 7) penetapan dokumentasi mengenai

    semua prosedur dan catatan. Semua prinsip HACCP ini terdapat hampir di

    seluruh standar keamanan pangan di negara-negara dunia, seperti

    International Food Standards, ISO 22000:2005, Recommended

    International Code of Practise General Principles of Food Hygiene

    CAC/RCP I -1969, Rev.4 (2003) dan SNI 01-4852-1998.

    A. Lima langkah awal penerapan HACCP

    1. Pembentukan tim HACCP

    Operasi pangan harus menjamin bahwa pengetahuan dan

    keahlian spesifik produk tertentu tersedia untuk pengembangan

    rencana HACCP yang efektif. Secara optimal, hal tersebut dapat

    dicapai dengan pembentukan sebuah tim dari berbagai disiplin ilmu.

    Apabila beberapa keahlian tidak tersedia, diperlukan konsultan dari

    pihak luar. Adapun lingkup dari program HACCP harus

    diidentifikasi. Lingkup tersebut harus menggambarkan segmen-

    segmen mana saja dari rantai pangan tersebut yang terlibat dan

  • penjenjangan secara umum bahaya-bahaya yang dimaksudkan

    (yaitu meliputi semua jenjang bahaya atau hanya jenjang tertentu).

    2. Deskripsi produk

    Penjelasan lengkap dari produk harus dibuat termasuk

    informasi mengenai komposisi, struktur fisika/kimia (termasuk aw,

    pH, dll.), perlakuan-perlakuan mikrosidal/statis (seperti perlakuan

    pemanasan, pembekuan, penggaraman, pengasapan, dll.),

    pengemasan, kondisi penyimpanan dan daya tahan serta metoda

    pendistribusiannya.

    3. Identifikasi rencana penggunaan

    Rencana penggunaan harus didasarkan pada kegunaan-

    kegunaan yang diharapkan dari produk oleh pengguna produk atau

    konsumen. Dalam hal-hal tertentu, kelompok-kelompok populasi

    yang rentan, seperti yang menerima pangan dari institusi, mungkin

    perlu dipertimbangkan.

    4. Penyusunan diagram alir

    Diagram alir harus disusun oleh tim HACCP. Dalam diagram

    alir harus memuat segala tahapan dalam operasional produksi. Bila

    HACCP diterapkan pada suatu operasi tertentu, maka harus

    dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah operasi tersebut.

    5. Verifikasi diagram alir di lapangan

    Tim HACCP, sebagai penyusun diagram alir harus

    memverifikasi operasional produksi dengan semua tahapan dan jam

    operasi serta bilamana perlu mengadakan perubahan diagram alir.

    B. Tujuh prinsip HACCP

    1. Analisa bahaya

    Tim HACCP harus membuat daftar bahaya yang mungkin

    terdapat pada tiap tahapan dari produksi utama, pengolahan,

    manufaktur, dan distribusi hingga sampai pada titik konsumen saat

    konsumsi. Tim HACCP harus mengadakan analisis bahaya untuk

    mengidentifikasi program HACCP dimana bahaya yang terdapat

    secara alami, karena sifatnya mutlak harus ditiadakan atau dikurangi

  • hingga batas-batas yang dapat diterima, sehingga produksi pangan

    tersebut dinyatakan aman.

    Dalam mengadakan analisis bahaya, apabila mungkin

    seyogyanya dicakup hal-hal sebagai berikut:

    - kemungkinan timbulnya bahaya dan pengaruh yang merugikan

    terbadap kesehatan;

    - evaluasi secara kualitatif dan/atau kuantitatif dari keberadaan

    bahaya;

    - perkembangbiakan dan daya tahan hidup mikroorganisme-

    mikroorganisme tertentu;

    - produksi terus menerus toksin-toksin pangan, unsur-unsur

    fisika dan kimia; dan

    - kondisi-kondisi yang memacu keadaan di atas.

    2. Penentuan titik kendali kritis (TTK)/critical control points (CCP)

    Pengendalian bahaya yang sama mungkin terdapat lebih dari

    satu CCP pada saat pengendalian dilakukan. Penentuan dari CCP

    pada sistem HACCP dapat dibantu dengan menggunakan pohon

    keputusan seperti pada Gambar 7 yang menyatakan pendekatan

    pemikiran yang logis (masuk akal).

    Penerapan dari pohon keputusan harus fleksibel, tergantung

    apakah operasi tersebut produksi, penyembelihan, pengolahan,

    penyimpanan, distribusi atau lainnya. Pohon keputusan ini mungkin

    tidak dapat diterapkan pada setiap CCP dan mempertimbangkan

    situasi yang ada. Pendekatan-pendekatan lain dapat digunakan serta

    dianjurkan untuk mengadakan pelatihan dalam penggunaan pohon

    keputusan.

    3. Penentuan batas kritis

    Batas-batas kritis (critical limits) harus ditetapkan secara

    spesifik dan divalidasi apabila mungkin untuk setiap CCP. Dalam

    beberapa kasus lebih dari satu batas kritis akan diuraikan pada suatu

    tahap khusus. Kriteria yang sering digunakan mencakup

    pengukuran-pengukuran terhadap suhu, waktu, tingkat kelembaban,

  • Apakah ada

    tindakan

    pengendalian?

    Apakah langkah ini

    khusus dibuat untuk

    mengendalikan bahaya?

    Dapatkah kontaminasi

    dengan bahaya teridentifikasi

    terjadi melebihi tingkatan

    yang dapat diterima?

    Apakah tahapan berikutnya

    menghilangkan bahaya yang

    teridentifikasi atau mengurangi

    tingkatan kemungkinan terjadinya

    hingga ke tingkatan yang dapat

    diterima?

    Ya

    Tidak Apakah pengendalian

    pada tahap ini perlu

    untuk pengamanan?

    Modifikasi

    Tahapan Proses

    Ya

    Tidak

    Bukan CCP

    Tidak

    Ya

    Ya

    CCP

    Tidak

    Tidak

    Ya

    Q1

    Q2

    Q3

    Q4

    Gambar 7. Pohon keputusan CCP untuk proses

    pH, aw, keberadaan klorin, dan parameter-parameter sensori seperti

    penampakan visual dan tekstur.

    4. Penetapan sistem untuk memantau pengendalian titik kendali kritis

    Pemantauan merupakan pengukuran atau pengamatan

    terjadwal dari CCP yang dibandingkan terhadap batas kritisnya.

    Prosedur pemantauan harus dapat menemukan kehilangan kendali

  • pada CCP. Pemantauan seyogianya dilaksanakan sebelum terjadi

    penyimpangan dan memberi informasi yang tepat waktu untuk

    memastikan pengendalian proses dapat mencegah penyimpangan

    dari batas kritis. Penyesuaian proses harus dilaksanakan pada saat

    hasil pemantauan sebab mungkin saja hasil tersebut menunjukkan

    kecenderungan ke arah kehilangan kendali pada suatu CCP. Data

    yang diperoleh dari pemantauan harus dinilai oleh orang yang diberi

    tugas, berpengetahuan dan berwewenang untuk melaksanakan

    tindakan perbaikan yang diperlukan. Apabila pemantauan tidak

    berkesinambungan, maka jumlah atau frekuensi pemantauan harus

    cukup untuk menjamin agar TKK terkendali.

    5. Penetapan tindakan perbaikan

    Tindakan perbaikan yang spesifik harus dikembangkan untuk

    setiap TKK dalam sistem HACCP agar dapat menangani

    penyimpangan yang terjadi. Tindakan-tindakan harus memastikan

    bahwa TKK telah berada dibawah kendali. Tindakan-tindakan harus

    mencakup disposisi yang tepat dan produk yang terpengaruh.

    Penyimpangan dan prosedur disposisi produk harus

    didokumentasikan dalam catatan HACCP.

    6. Penetapan prosedur verifikasi

    Penetapan prosedur verifikasi. Metode audit dan verifikasi,

    prosedur dan pengujian, termasuk pengambilan contoh secara acak

    dan analisa, dapat dipergunakan untuk menentukan apakah sistem

    HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi harus cukup

    untuk memverifikasi bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif.

    Contoh kegiatan verifikasi mencakup :

    - Peninjauan kembali sistem HACCP dan catatannya

    - Peninjauan kembali penyimpangan dan disposisi produk

    - Memverifikasi apakah TKK dalam kendali

    Apabila memungkinkan, kegiatan validasi harus mencakup tindakan

    untuk memverifikasi keefektifan semua elemen-elemen rencana

    HACCP.

  • 7. Penetapan dokumentasi mengenai semua prosedur dan catatan.

    Pencatatan dan pembuktian yang efisien serta akurat penting

    dalam penerapan sistem HACCP. Prosedur dalam menjalankan

    kegiatan yang berkaitan dengan keamanan pangan harus

    didokumentasikan. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup

    memadai sesuai sifat dan besarnya operasi.

    Contoh dokumentasi :

    - Analisa Bahaya

    - Penentuan TKK

    - Penentuan Batas Kritis

    Contoh pencatatan :

    - Kegiatan pemantuan Titik Kendali Kritis/TKK (CCP)

    - Penyimpangan dan Tindakan perbaikan yang terkait

    - Perubahan pada sistem HACCP

    Selain 5 langkah awal dan 7 prinsip HACCP, keberhasilan penerapan

    sistem ini juga memerlukan beberapa kondisi. Kondisi penting di tingkat

    manajemen yaitu komitmen dan keterlibatan penuh dari manajemen dan

    tenaga kerja. Selanjutnya, HACCP juga mensyaratkan pendekatan dan

    berbagai disiplin. Pendekatan berbagai disiplin ini harus mencakup

    keahlian dalam agronomi, kesehatan veteriner, produksi, mikrobiologi,

    obat-obatan, kesehatan masyarakat, teknologi pangan, kesehatan

    lingkungan, kimia, perekayasa sesuai dengan pengkajian yang teliti (BSN,

    1998).

    5. Area penerapan HACCP

    HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan dari produk

    primer sampai pada konsumsi akhir dan penerapannya harus dipedomani

    dengan bukti secara ilmiah terhadap resiko kesehatan manusia (BSN,

    1998). Keseluruhan rantai pangan yang dimaksud bisa meliputi produsen

    hasil pertanian, pakan ternak, produsen pangan primer, pabrik pangan,

    produsen makanan sekunder, grosir, pengecer, jasaboga, katering, hingga

    pangan tersebut sampai ke tangan konsumen. Pengawasan dan

    pengendalian keamanan pangan melalui HACCP di setiap titik rantai

  • pangan dapat menurunkan risiko terjadinya gangguan kesehatan pada

    konsumen akibat pangan.

    E. Standar Sistem Manajemen Keamanan Pangan ISO 22000:2005

    Organisasi yang menghasilkan, menangani, atau memasok pangan,

    dituntut untuk mampu menampilkan dan menyediakan bukti yang cukup atas

    kemampuan mereka dalam menangani keamanan pangan. Mereka harus bisa

    mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya keamanan pangan dan berbagai

    kondisi yang berdampak bagi keamanan pangan. Kemudian, pembuktian

    usaha tersebut lebih dapat dipertanggungjawabkan melalui sertifikasi sistem

    manajemen keamanan pangan.

    ISO 9001:2000 yang diterapkan pada industri pangan tidak selalu dapat

    berfungsi menjaga keamanan pangan. Menurut Frgemand dan Jespersen,

    (2004), sebagai sebuah standar sistem manajemen mutu, ISO 9001:2000 tidak

    mengulas secara spesifik mengenai keamanan pangan Hasilnya, banyak

    negara, seperti Denmark, Belanda, Irlandia, dan Australia mengembangkan

    standar nasional sukarela untuk sistem keamanan pangan.

    Standar nasional sukarela yang dimiliki beberapa negara tersebut akan

    menemui masalah jika menghadapi perdagangan internasional. Keberagaman

    persyaratan dan kondisi dari masing-masing negara tidak akan menemukan

    titik temu jika menggunakan standar nasional sukarela dari sebuah negara

    tertentu. Perlunya sebuah standar internasional yang membahas sistem

    keamanan pangan yang bisa digunakan di keseluruhan organisasi apa pun di

    wilayah mana pun menjadi sebuah kebutuhan yang terelakkan. Oleh karena

    itu, dibentuklah suatu standar internasional sistem manajemen keamanan

    pangan oleh The International Organization for Standardization (ISO), yang

    dikenal dengan nama ISO 22000:2005.

    1. Sejarah ISO 22000:2005

    Tanggal 1 September 2005 adalah publikasi resmi standar

    internasional ISO 22000:2005 (ISO, 2005). Standar ini diluncurkan dengan

    tujuan menjamin keamanan pangan di keseluruhan rantai pangan bagi

    seluruh organisasi yang bergerak di bidang pangan di seluruh dunia.

  • Standar ini telah mengalami perubahan berulangkali dalam penyusunannya

    hingga sampai pematangan konsep sistem keamanan pangan. Standar ini

    selanjutnya banyak diadopsi oleh berbagai organisasi yang bergerak di

    bidang pangan hingga saat ini.

    2. Manfaat ISO 22000:2005

    Banyak manfaat yang diperoleh organisasi dari penerapan ISO 22000

    seperti yang diungkapkan Frgemand dan Jespersen (2004) dari ISO

    dalam artikel mereka saat rancangan ISO 22000 hampir selesai. Manfaat

    pertama, terjalinnya komunikasi yang terarah dan terorganisasi antar mitra

    bisnis. Manfaat kedua adalah pengoptimasian sumberdaya baik internal

    maupun sepanjang rantai pangan. Manfaat ketiga, sistem

    pendokumentasian yang lebih baik. Manfaat keempat, perencanaan proses

    lebih baik dan mampu mengurangi verifikasi pasca proses. Manfaat

    kelima, pengendalian yang dinamis dan efisien terhadap bahaya keamanan

    pangan. Manfaat keenam, semua ukuran pengendalian diterapkan ke

    analisis bahaya. Manfaat ketujuh, manajemen yang sistematis dari

    program-program prayarat (Prerequisite programmes). Manfaat

    kedelapan, memiliki dasar yang sah untuk pengambilan keputusan

    Manfaat kesembilan pengendalian terfokus kepada apa yang diperlukan

    sehingga mampu menyimpan sumberdaya dengan mengurangi biaya lebih

    dari sistem audit.

    Menurut Frgemand dan Jespersen (2004), ISO 22000 akan

    menyediakan sistem keamanan pangan yang tepat digunakan dalam

    organisasi yang bergerak di bidang rantai pangan apapun. Sistem

    keamanan pangan yang paling efektif dirancang, dioperasikan dan

    diperbarui dalam kerangka kerja sistem manajemen yang terstruktur ke

    dalam keseluruhan aktivitas manajemen organisasi. Kondisi ini

    memaksimalkan keuntungan untuk organisasi dan pihak yang

    berkepentingan. ISO 22000:2005 juga mempertimbangkan persyaratan

    yang dibutuhkan ISO 9001:2000 untuk meningkatkan kesesuaian kedua

    standar tersebut serta memungkinkan jika mau dilakukan pengintegrasian.

  • 3. Cara menerapkan ISO 22000:2005

    Penerapan ISO 22000:2005 secara sederhana mengacu kepada empat

    elemen kunci yang dimilikinya. Elemen pertama adalah HACCP, sebuah

    sistem analisa bahaya dan pengendalian titik-titik kritis bahaya pada proses

    pengolahan pangan. Elemen kedua adalah Pre Requisite Programme

    (PRP), kondisi dasar dan aktivitas yang diperlukan untuk memelihara

    lingkungan yang higienis sepanjang rantai makanan. Elemen ketiga adalah

    komunikasi interaktif, sebuah sistem komunikasi yang melibatkan pihak

    internal dan eksternal untuk mengkomunikasikan informasi atau

    perubahan apa pun yang berkaitan dengan jaminan keamanan sepanjang

    rantai makanan. Elemen keempat adalah sistem manajemen yang

    menyediakan sumberdaya yang diperlukan untuk sistem keamanan

    pangan, menjamin sistem keamanan pangan dilaksanakan seluruh pihak di

    organisasi, dan mengendalikan sistem keamanan pangan tersebut.

    a. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)

    HACCP adalah suatu sistem jaminan mutu yang berdasarkan

    kepada kesadaran bahwa bahaya (hazard) dapat timbul pada berbagai

    titik atau tahap produksi tertentu Bahaya-bahaya yang dimaksud bisa

    berupa bahaya yang bersifat fisik, kimia, atau biologi yang bisa terdapat

    pada bahan baku maupun proses. Bahaya-bahaya tersebut dapat

    mengakibatkan masalah kesehatan bagi manusia yang terdapat pada

    produk pangan jika tidak dikendalikan oleh produsen. Penjaminan

    keamanan pangan melalui HACCP didasarkan pada ilmu pengetahuan

    dan sistematika pengidentifikasian bahaya dan tindakan pengenda-

    liannya untuk menjamin keamanan pangan.

    b. Pre Requisite Programme (PRP)

    Pre requisite programme atau program persyaratan dasar

    keamanan pangan adalah kondisi dasar dan aktifitas yang diperlukan

    untuk memelihara lingkungan yang higienis sepanjang rantai makanan.

    Kondisi dasar dan aktivitas yang ditentukan disesuaikan dengan proses

    produksi, penanganan dan ketetapan produk akhir yang aman untuk

    konsumsi manusia. PRP yang diperlukan tergantung pada bagian mana

  • dari rantai makanan organisasi tersebut beroperasi dan jenis organsasi.

    Contoh istilah yang setara digunakan dalam organisasi yang bergerak di

    bidang pangan adalah: Good Agricultural Practices (GAP), Good

    Manufacturing Practices (GMP), Good Hygienic Practices (GHP),

    Good Production Practices (GPP), Good Distribution Practices (GDP)

    dan Good Trading Practices (GTP).

    Organisasi harus mempertimbangkan hal-hal berikut pada saat

    menetapkan program ini:

    1) konstruksi dan tata letak bangunan dan utilitas yang berkaitan;

    2) tata letak tempat, meliputi ruang kerja dan fasilitas pekerja;

    3) pasokan udara, air, energi, dan utilitas lainnya;

    4) layanan pendukung, meliputi pembuangan limbah dan kotoran;

    5) kesesuaian dengan peralatan dan kemudahan akses untuk proses

    pembersihan, perawatan, dan perawatan untuk mencegah kerusakan;

    6) pengaturan pembelian bahan (contohnya bahan baku, bahan

    penyusun, bahan kimia, dan pengemas), pasokan (contohnya air,

    udara, uap air, dan es), pembuangan (contohnya limbah dan

    kotoran) dan penanganan produk (contohnya penyimpanan dan

    transportasi);

    7) ukuran untuk tindakan pencegahan kontaminasi silang;

    8) pembersihan dan sanitasi;

    9) pengendalian hama;

    10) kebersihan pekerja;

    11) aspek-aspek lain yang sesuai kondisi perusahaan.

    c. Komunikasi interaktif

    Komunikasi sepanjang rantai makanan penting untuk memastikan

    bahwa semua bahaya keamanan pangan yang relevan teridentifikasi dan

    dikendalikan secara memadai pada setiap tahapan dalam rantai

    makanan. Komunikasi yang dilakukan berlaku bagi pihak internal dan

    pihak eksternal. Ini menyiratkan bahwa komunikasi antara organisasi

    baik dari hulu hingga hilir dalam rantai makanan harus terjalin baik.

  • 1) Komunikasi eksternal

    Komunikasi dengan para pelanggan dan pemasok tentang

    bahaya yang teridentifikasi dan tindakan pengendalian akan

    membantu dalam menjelaskan persyaratan-persyaratan pelanggan

    dan pemasok. Sebagai contoh, kelayakan dan kebutuhan untuk

    persyaratan-persyaratan tersebut dan dampak peran mereka terhadap

    produk akhir.

    Pengenalan peran organisasi dan posisi dalam rantai makanan

    merupakan sebuah hal yang penting. Hal ini untuk memastikan

    komunikasi interaktif yang efektif sepanjang rantai makanan dalam

    rangka mengirimkan produk yang aman kepada konsumen akhir.

    Demi mendapatkan informasi yang cukup tentang isu mengenai

    keamanan pangan tersedia di seluruh rantai makanan, organisasi

    harus menetapkan, menerapkan dan memelihara bentuk komunikasi

    yang efektif dengan:

    a) para pemasok dan kontraktor,

    b) para pelanggan atau konsumen, khususnya yang berkaitan

    dengan informasi produk (termasuk instruksi mengenai sasaran

    penggunaan, persyaratan penyimpanan yang spesifik dan,

    bilamana sesuai, umur simpan), permintaan keterangan, kontrak

    atau penanganan order termasuk perubahan-perubahannya dan

    umpan balik pelanggan yang juga mencakup keluhan pelanggan,

    c) pihak yang berwenang dalam perundang-undangan dan peraturan

    yang berlaku, serta

    d) organisasi lainnya yang berdampak pada, atau yang akan

    terpengaruh oleh keefektifan atau perbaharuan dari sistem

    manajemen keamanan pangan.

    Komunikasi tersebut harus menyediakan informasi mengenai

    aspek keamanan pangan dari produk organisasi tersebut yang

    mungkin relevan terhadap organisasi lainnya dalam rantai makanan.

    Penerapan ini terutama untuk bahaya keamanan pangan yang

    diketahui bahwa perlu dikendalikan oleh organisasi lainnya dalam

  • rantai makanan. Catatan komunikasi eksternal harus dipelihara untuk

    menjaga sistem.

    2) Komunikasi internal

    Organisasi harus menetapkan, mengimplementasikan dan

    memelihara bentuk komunikasi yang efektif dengan personal internal

    tentang isu yang memiliki dampak terhadap kemanan pangan. Dalam

    rangka memelihara efektivitas sistem manajemen keamanan pangan,

    organisasi harus memastikan bahwa tim keamanan pangan

    diinformasikan tepat pada waktunya untuk setiap adanya perubahan

    setidaknya meliputi:

    a) produk ataupun produk baru;

    b) bahan baku, bahan dan jasa;

    c) sistem produksi dan peralatan;

    d) fasilitas produksi, lokasi peralatan, lingkungan sekitar;

    e) program pembersihan dan sanitasi;

    f) sistem pengemasan, penyimpanan dan distribusi;

    g) tingkatan kualifikasi personal dan/atau pembagian tanggung

    jawab dan wewenang

    h) persyaratan perundang-undangan dan peraturan;

    i) pengetahuan mengenai bahaya keamanan pangan dan tindakan

    pengendalian;

    j) persyaratan pelanggan, sector atau lainnya yang organisasi

    pantau;

    k) permintaan keterangan yang relevan dari pihak eksternal yang

    berkepentingan

    l) komplain yang mengindikasikan bahaya keamanan pangan

    m) kondisi lainnya yang berdampak pada keamanan pangan.

    Tim keamanan pangan harus memastikan bahwa informasi ini

    dimasukkan dalam pembaharuan sistem manajemen keamanan

    pangan. Manajemen puncak harus memastikan bahwa informasi

    yang relevan dengan keamanan pangan dimasukkan sebagai

    masukan tinjauan manajemen. Setelah didapatkan keputusan tindak

  • lanjut atas informasi keamanan pangan dari tinjauan manajemen, tim

    keamanan pangan mensosialisasikannya kepada personil yang terkait

    agar melaksanakan ketetapan yang baru.

    d. Sistem manajemen

    Sistem keamanan pangan yang paling efektif dibuat, dilaksanakan

    dan diperbaharui dalam kerangka suatu sistem manajemen yang

    terstruktur dan satu kesatuan dalam keseluruhan aktivitas manajemen

    organisasi. Hal ini memberikan manfaat maksimum untuk organisasi

    dan pihak yang berkepentingan. Selain itu, standar Internasional ISO

    22000:2005 telah disejajarkan dengan ISO 9001 dalam rangka

    meningkatkan kesesuaian dua standar.

    Organisasi harus menetapkan, mendokumentasikan, mengimple-

    mentasikan dan memelihara suatu sistem manajemen keamanan pangan

    dan memperbaharuinya bilamana diperlukan sehubungan dengan

    standar ISO 22000:2005. Ruang lingkup sistem manajemen keamanan

    pangan harus ditetapkan oleh organisasi agar menyesuaikan dengan

    standar. Ruang lingkup tersebut harus menentukan produk atau kategori

    produk, proses dan lokasi produksi yang ditujukan oleh sistem

    manajemen keamanan makanan.

    Dalam rangka membangun sistem manajemen keamanan pangan,

    organisasi harus melakukan minimal empat hal. Pertama, organisasi

    harus memastikan bahwa bahaya keamanan pangan yang mungkin

    terjadi dalam hubungannya dengan produk dalam lingkup sistem

    diidentifikasi, dievaluasi, dan dikendalikan dengan cara yang

    sedemikian rupa agar produk dari organisasi tersebut tidak, secara

    langsung atau tidak langsung, merugikan konsumen. Kedua, organisasi

    harus mengkomunikasikan informasi yang sesuai sepanjang rantai

    makanan mengenai isu keamanan yang berhubungan dengan

    produknya. Ketiga, organisasi harus mengkomunikasikan informasi

    mengenai pengembangan, implementasi dan pembaharuan sistem

    manajemen keamanan pangan sepanjang organisasi tersebut, kepada

    tingkat yang diperlukan untuk memastikan keamanan pangan yang

  • diperlukan oleh ISO 22000:2005. Keempat, organisasi harus

    mengevaluasi secara periodik, dan memperbaharui sistem manajemen

    keamanan pangan guna memastikan bahwa sistem tersebut

    mencerminkan aktivitas organisasi dan menyertakan informasi terbaru

    mengenai bahaya keamanan pangan yang terkendali.

    Bukti berjalannya sistem manajemen keamanan pangan terdapat

    dalam dokumen dan catatan organisasi. Dokumen dan catatan ini harus

    dikendalikan, dipelihara, dan diperbaharui jika diperlukan untuk

    menjaga kelangsungan sistem. Suatu prosedur yang terdokumentasi

    harus dibuat dalam rangka pengendalian dokumen yang diperlukan

    untuk:

    1) Menyetujui dokumen akan kecukupannya sebelum diedarkan

    2) Meninjau, memperbaharui seperlunya dan menyetujui ulang

    dokumen.

    3) Memastikan perubahan dan status revisi terakhir dari dokumen

    dapat teridentifikasi.

    4) Memastikan versi relevan dari dokumen yang berlaku tersedia di

    tempat pemakaiannya.

    5) Memastikan dokumen tetap dapat dibaca dan mudah diidentifikasi

    6) Memastikan dokumen yang relevan dari luar teridentifikasi dan

    pendistribusiannya dikendalikan; dan

    7) Mencegah penggunaan yang tidak diinginkan terhadap dokumen

    yang kadaluwarsa, dan guna memastikan bahwa dokumen tersebut

    teridentifikasi secara memadai sebagaimana jika disimpan untuk

    tujuan tertentu.

    5. Area penerapan ISO 22000:2005

    Seperti HACCP, ISO 22000:2005 dapat diterapkan pada seluruh rantai

    pangan dari produk primer sampai pada konsumsi akhir. Organisasi dalam

    rantai makanan terbentang dari produsen pakan dan produsen utama

    melalui pabrikan makanan, jasa pengangkutan dan penyimpanan serta para

    kontraktor hingga pengeceran dan toko-toko pelayanan makanan

  • (bersama-sama dengan organisasi terkait di dalamnya seperti produsen

    peralatan, material kemas, bahan pembersih, bahan aditif dan bahan baku).

    ISO 22000 mengharuskan bahwa semua bahaya yang mungkin terjadi

    dalam rantai makanan, termasuk bahaya yang berhubungan dengan proses

    dan fasilitas yang digunakan, diidentifikasi dan ditinjau. Jadi hal ini

    menyediakan cara untuk menentukan dan mendokumenkan alasan bahaya

    teridentifikasi yang tertentu perlu dikendalikan oleh organisasi tertentu dan

    mengapa yang lainnya tidak perlu. Ilustrasi skema rantai pangan di mana

    ISO 22000:2005 dapat diterapkan dapat dilihat pada Gambar 8.

    Gambar 8. Skema rantai pangan di mana ISO 22000:2005 dapat diterapkan

    (ISO, 2005)

    F. Industri dan Teknologi Pengolahan Gula

    Gula adalah sebutan untuk bahan pemanis yang diekstraksi dari tumbuh-

    tumbuhan yang menghasilkan gula alami (Anonimc, 2008). Gula yang umum

    dikenal di dunia berasal dari tumbuhan bit dan tebu. Tumbuhan lainnya yang

    dapat digunakan juga untuk menghasilkan gula adalah kelapa dan aren.

    Kegunaan dari gula sebagai bahan pangan cukup bervariasi. Gula dapat

    berfungsi sebagai pemberi rasa manis pada pangan maupun minuman. Gula

    merupakan bahan baku utama dalam produk konfeksioneri. Selain itu, gula

    bisa berguna sebagai humektan atau pengikat air untuk pangan tertentu yang

  • memiliki aw rendah. Selain menentukan tekstur, sifat pengikat air ini juga

    menjadikan gula sebagai salah satu pengawet alami. Melalui pengikatan air

    bebas oleh gula hingga kadar aw tertentu, sebagian mikroba tidak mampu

    untuk tumbuh maupun hidup di dalam pangan. Gula juga bisa berfungsi

    sebagai agen pembentuk warna coklat melalui proses karamelisasinya.

    Gula memiliki berbagai jenis bentuk dan karakter fisik yang bergantung

    pada pengolahannya. Melalui ekstraksi cairan tumbuhan, biasanya dihasilkan

    gula kristal mentah dan molase. Gula kristal mentah ini yang nantinya dapat

    diolah menjadi berbagai jenis produk turunan lainnya. Secara umum, diagram

    pengolahan berbagai jenis gula dapat dilihat pada Gambar 9.

    Gambar 9. Pengolahan berbagai jenis gula secara umum (dimodifikasi dari

    Anonimb, 2008)

    Gula kristal

    mentah Molase

    Cairan gula

    Ekstraksi

    Kristalisasi lambat

    Gula Batu

    Pemurnian

    sederhana

    Kristalisasi

    Gula

    granulasi

    Rafinasi

    Gula rafinasi/

    caster

    Pencampuran

    Gula

    coklat Gula

    bubuk

    Gula icing

    (icing

    sugar)

    Penghancuran mekanis

    Penghancuran

    mekanis +

    sirup jagung

    Tumbuhan

  • 1. Gula rafinasi

    Gula rafinasi adalah gula sukrosa yang diproduksi melalui tahapan

    proses pengolahan gula kristal mentah yang meliputi: afinasi pelarutan

    kembali (remelting) - klarifikasi dekolorisasi kristalisasi fugalisasi

    pengeringan pengemasan (BSN, 2006). Setelah melalui tahapan ini gula

    akan mengalami perubahan ukuran, warna, derajat polarisasi, dan kadar

    gula pereduksi. Tahapan proses pembuatan gula rafinasi secara umum

    dapat dilihat pada Gambar 10.

    Proses pembuatan gula rafinasi dimulai dari penanganan gula kristal

    mentah. Gula kristal mentah masih dilapisi dengan molase yang

    mengandung ketidakmurnian (impurities) dan bahan berwarna. Rerata

    kemurnian dari film tersebut sekitar 70% (Baikow, 1982). Film ini dapat

    dihilangkan melalui proses afinasi. Afinasi adalah proses pencucian gula

    kristal mentah yang telah dicampur dengan air atau sirup gula dalam

    mixer. Selanjutnya, gula dicuci menggunakan mesin sentrifugal untuk

    menghilangkan lapisan tetes yang ada di permukaan kristal.

    Gula afinasi atau gula yang telah dicuci harus memasuki tahapan

    pelarutan kembali (re-melting) sebelum memasuki tahapan selanjutnya.

    Pelarutan kembali biasanya menggunakan air gula (sweet water),

    kondensat, atau air netral yang bebas dari garam anorganik terlarut dan

    bakteri. Pelarutan gula yang paling menguntungkan dan ekonomis sebaik

    nya 66 Brix karena dapat menghilangkan proses evaporasi lebih lanjut

    (Baikow, 1982).

    Sirup gula dari proses re-melting masih memiliki warna yang keruh dan

    memerlukan proses penjernihan atau klarifikasi. Proses klarifikasi bisa

    dilakukan dengan fosfatasi, karbonatasi atau proses lainnya. Umumnya,

    industri rafinasi gula menggunakan fosfatasi dan karbonatasi karena kedua

    proses tersebut baik dalam menghilangkan warna dengan harga rendah dan

    peralatan sederhana.

  • Gambar 10. Pembuatan gula rafinasi secara umum (dimodifikasi dari

    BSN, 2006)

    Gula kristal mentah

    Afinasi

    Gula afinasi

    Re-melting

    Sirup gula I

    Klarifikasi

    Sirup gula II

    Filtrasi

    Sirup gula III

    Dekolorisasi

    Sirup gula IV

    Penguapan,

    pH =9

    Sirup gula V

    Pendinginan

    Massecuites

    Larutan Induk Fugalisasi

    Kristal sukrosa

    Gula Rafinasi Pengemasan

    Pengeringan

    Gula Rafinasi dalam kemasan

  • Sirup gula yang sudah melalui penjernihan di proses klarifikasi,

    dijernihkan melalui proses filtrasi untuk menghilangkan semua bahan yang

    tidak dibutuhkan. Oleh karena itu, proses filtrasi biasanya dilakukan dalam

    beberapa tingkat tergantung metode pemurnian (refining). Mesin filter

    bertekanan digunakan dalam proses filtrasi untuk menghilangkan partikel

    atau endapan yang ada di sirup gula. Hasil yang diperoleh berupa sirup

    yang jernih, sedikit berwarna, tipis, dengan kandungan kering sekitar 12-

    15% (Belitz and Grosch, 1987).

    Setelah melalui filtrasi, sirup gula sudah memiliki tingkat kejernihan

    tinggi karena terbebas dari bahan warna dan endapan lainnya. Langkah

    selanjutnya adalah dekolorisasi atau penghilangan warna sirup gula.

    Dekolorisasi bisa menggunakan resin penukar ion, karbon aktif atau bahan

    penyerap warna lainnya. Penghilangan warna sirup ini menghilangkan

    pigmen-pigmen warna melalui adsorpsi.

    Sirup gula yang sudah kehilangan warna diuapkan dalam tahapan

    berkali-kali. Selama proses penguapan, kondisi alkali (pH 9) dijaga untuk

    mencegah inversi sukrosa. Melalui proses penguapan dan pendinginan

    sirup gula, dihasilkan campuran kristal sukrosa dengan larutan induk

    (mother liquor).

    Campuran kristal sukrosa dengan larutan induk selanjutnya diproses

    melalui fugalisasi untuk memisahkan keduanya. Pemisahan dilakukan

    dengan menggunakan mesin sentrifugal. Larutan induk (fase cair) yang

    memiliki berat jenis lebih rendah akan berada di lapisan atas, sedangkan

    kristal sukrosa (fase padat) yang memiliki berat jenis lebih tinggi akan

    berada di lapisan bawah. Fase cair dari mesin sentrifugal dilarutkan dan

    dikembalikan ke panci pemanasan (reboiling/re-melting).

    Proses selanjutnya adalah pengeringan. Fase padat dikeringkan,

    disaring, digranulasikan, dan ditekan menjadi bentuk yang diinginkan.

    Proses pengeringan fase padat tersebut setidaknya melalui dua tahap, yaitu

    penghilangan uap air tidak terikat, dan penghilangan uap air terikat yang

    berlebih (Baikow, 1982).

  • Tahap terakhir pembuatan gula rafinasi adalah pengemasan. Pada tahap

    ini gula rafinasi dalam bentuk curah (bulk sugar) disalurkan melalui pipa-

    pipa kemudian ditampung dalam silo-silo gula rafinasi. Selanjutnya gula

    rafinasi ini akan disalurkan ke konsumen dalam dua bentuk pilihan, yaitu

    curah atau karung.

    Gula rafinasi yang diproduksi di Indonesia ditujukan untuk konsumsi

    industri makanan dan minuman. Guna melindungi kepentingan konsumen

    dan memudahkan produsen, Badan Standardisasi Nasional (BSN)

    mengeluarkan SNI 01-3140.2-2006, yang mengatur penetapan syarat

    mutu, pengambilan contoh dan cara uji gula kristal rafinasi.

    2. Gula kristal mentah

    Gula kristal mentah yang dikenal sebagai sukrosa dengan rumus kimia

    C12H22O11 (dapat dilihat pada Gambar 11) diperoleh dari hasil olahan

    kristalisasi cairan tanaman bit (Beta vulgaris ssp. vulgaris) atau tebu

    (Saccharum officinarum) dan masih memiliki lapisan molase. Gula kristal

    mentah yang dibahas di dalam tulisan ini adalah gula kristal hasil olahan

    cairan tebu. Menurut Bender di dalam Anonim (2008), gula kristal mentah

    adalah gula kristal berwarna coklat yang belum dimurnikan, memiliki

    kadar kemurnian 96-98%, dan perlu dimurnikan lebih lanjut (refining).

    Gula kristal mentah tidak dapat dikonsumsi langsung oleh manusia

    sebelum diproses lebih lanjut.

    Gambar 11. Rumus kimia sukrosa (C12H22O11)

    Menurut James di dalam Jackson (1999) proses pembuatan gula kristal

    mentah yang berasal dari tebu meliputi tahapan sebagai berikut:

    1. Tebu dihancurkan dan cairannya diperas keluar

    2. Cairan tebu dipanaskan dan diberikan kapur untuk menghilangkan

    kotoran (impurities)

  • 3. Cairan tebu dievaporasi sampai gula mengkristal

    4. Campuran kristal dan cairan induk (mother liquor) yang juga disebut

    massecuite atau masse, disentrifugasi untuk menghasilkan gula tebu

    mentah dan cairan induk

    5. Cairan induk dari tahapan 4 dipanaskan lagi untuk menghasilkan gula

    mentah lainnya

    6. Cairan induk dari tahapan dipanaskan lagi untuk ketiga kalinya

    7. Setelah pemanasan pada tahapan 6, akan dihasilkan sisa cairan induk

    yang secara ekonomi sudah mengalami penurunan mutu hingga

    tingkatan paling rendah (bottom downgrade). Sisa ini disebut juga

    factory molasses

    8. Gula mentah hasil ekstraksi tebu mengandung 97% sukrosa dan 3%

    molase.

    Gula kristal mentah biasanya masih terkontaminasi dengan spora kapang,

    bakteri, serat tebu, dan butiran tanah. Gambar gula kristal mentah dapat

    dilihat pada Gambar 12.

    Gambar 12. Gula kristal mentah (Anonima, 2008)

    3. Molase

    Molase merupakan produk samping dari pembuatan gula, memiliki

    warna coklat berbentuk lapisan hasil dari olahan massecuitemagma

    yang terbentuk dari proses kristalisasi cairan guladengan tingkatan mutu

    terendah. Bagian utama molase tersusun dari berbagai karamel dan

    mineral. Molase digunakan sebagai bahan campuran bersama gula kristal

    mentah dalam pembuatan gula coklat (brown sugar). Gambar molase

    dapat dilihat pada Gambar 13.

  • Gambar 13. Molase (Anonimb, 2008)

    4. Gula coklat

    Gula coklat adalah produk turunan gula granulasi yang dicampur

    dengan sedikit molase untuk menghasilkan gula dengan warna coklat dan

    flavor yang khas. Pembuatan gula coklat menurut Anonimc (2008)

    dibedakan menjadi gula coklat terang dan gula coklat gelap. Gula coklat

    terang dapat dibuat dengan perbandingan 2/3 gula coklat gelap ditambah

    1/3 gula granulasi. Gula coklat gelap dapat dibuat dengan perbandingan

    satu cangkir gula granulasi ditambah dua sendok makan molase atau satu

    cangkir gula coklat terang ditambah satu sendok makan molase. Gambar

    gula coklat dapat dilihat pada Gambar 14.

    Gambar 14. Gula coklat (Anonimb, 2008)

    5. Gula batu

    Gula batu memiliki bentuk besar tidak beraturan dengan derajat

    kemurnian rendah. Gula batu tidak semanis gula granulasi biasa. Gula

    batu memiliki kristal bening berukuran besar berwarna putih atau kuning

    kecoklatan. Kristal bening dan putih dibuat dari larutan gula jenuh yang

    mengalami kristalisasi secara lambat. Gula batu putih memiliki rekahan-

    rekahan kecil yang memantulkan cahaya. Kristal berwarna kuning

    kecoklatan mengandung berbagai karamel. Gula ini kurang manis karena

    kandungan air dalam kristal cukup tinggi (Anonima, 2008). Gambar gula

    batu bisa dilihat pada Gambar 15.

  • Gambar 15. Gula batu (Anonimb, 2008)

    6. Gula granulasi

    Gula granulasi (gula pasir) adalah kristal-kristal gula berbentuk

    butiran kecil yang umumnya dijumpai dan digunakan di rumah (Anonima,

    2008). Gula granulasi merupakan hasil olahan pemurnian gula kristal

    mentah secara sederhana. Pembuatan gula granulasi serupa dengan gula

    kristal mentah, hanya saja untuk gula granulasi melalui proses

    penambahan sulfur dioksida yang berfungsi memucatkan warna sirup gula

    sebelum proses penguapan atau evaporasi (Bloch, 2007). Gula granulasi

    dijual dalam bentuk gula butiran/pasir seperti terlihat pada Gambar 16 atau

    dicetak dalam bentuk gula kubus seperti terlihat pada Gambar 17.

    Gambar 16. Gula granulasi (gula pasir) (Anonimb, 2008)

    Gambar 17. Gula kubus (Anonimb, 2008)

    7. Gula bubuk/gula icing (Icing sugar)

    Gula bubuk biasanya diproduksi di industri melalui penghancuran

    mekanis gula granulasi dengan cara digiling menjadi 4 kali, 6 kali, atau 10

    kali lebih kecil dengan satuan ukuran mesh (Baikow, 1982). Biasanya,

  • gula ini dicampur dengan sedikit pati atau bahan anti kempal seperti pati

    jagung atau tri-kalsium fosfat sebanyak 3% dari berat gula untuk

    mencegah penggumpalan. Gula bubuk juga dikenal sebagai gula

    confectionary. Gula ini biasa digunakan sebagai bahan baku dalam

    pembuatan kue-kue manis dan juga bisa menjadi bahan pelapis kue. Gula

    bubuk/gula icing dapat dilihat pada Gambar 18.

    Gambar 18. Gula bubuk/gula icing (icing sugar) (Anonimb, 2008)

    8. Gula caster

    Gula castor atau caster adalah nama dari gula pasir yang sangat halus.

    Gula ini dinamai demikian karena ukuran butirannya sangat kecil sehingga

    dapat ditaburkan dari wadah berlubang-lubang kecil. Biasanya gula caster

    diperoleh dari pembuatan gula rafinasi yang dimodifikasi sehingga ukuran

    partikel gula ini mampu melewati saringan (shieve) berukuran 0.4 mm atau

    lebih kecil.

    Karena kehalusannya, gula ini lebih cepat larut dibandingkan gula

    putih pada umumnya.Oleh karena itu gula ini secara khusus bermanfaat

    dalam pembuatan meringues' dan cairan dingin. Gula ini tidak sehalus

    gula bubuk yang dihaluskan secara mekanis. Gula caster dapat dilihat pada

    Gambar 19. Perbandingan bentuk antara gula icing, gula granulasi, dan

    gula caster dapat dilihat pada Gambar 20.

    Gambar 19. Gula caster (Anonimb, 2008)

  • Gambar 20. Gula icing gula granulasi gula caster (Arfi, 2008)

    G. Mutu dan Keamanan Produk Gula Rafinasi

    Menurut BSN (2006), produk gula rafinasi di Indonesia wajib

    menggunakan acuan SNI 01-3140.2-2006 untuk kriteria mutu dan keamanan.

    Faktor mutu yang diperhatikan adalah derajat polarisasi, kandungan gula

    pereduksi, susut pengeringan, warna larutan, kadar abu, dan sedimen yang

    terbentuk. Faktor keamanan bagi gula rafinasi yang perlu diperhatikan adalah

    cemaran senyawa kimia seperti belerang dioksida (SO2), logam-logam berat

    seperti timbal (Pb), tembaga (Cu), arsen (As), dan mikroba dengan kriteria

    angka lempeng total (ALT), kapang, dan khamir. Kriteria mutu dan keamanan

    gula rafinasi dapat dilihat pada Tabel 1.

    Karakteristik gula rafinasi yang memiliki sedikit kandungan air

    menjadikannya sulit sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Gula

    rafinasi atau Berry sugar menurut Belitz dan Grosch (1987) memiliki

    karakteristik kandungan sukrosa sebanyak 98.8%, dengan kadar air sebesar

    0.7%, kadar abu sebesar 0.2%, dan 0.29% bahan organik lainnya. Kadar air

    sebesar 0.7% merupakan kondisi yang sulit bagi mikroba untuk melakukan

    pertumbuhan.

    Kondisi pengepakan dan penyimpanan yang kurang higienis biasanya

    dapat menyebabkan produk gula pasir (granulasi) terkontaminasi mikroba.

    Jenis mikroba yang biasanya mengkontaminasi biasanya tergolong dalam

    jenis Bacillus dan Clostridium (Apriyantono, et. al., 1989). Menurut

    Vanderzart dan Splittstoetsser (1992) setidaknya terdapat 3 jenis mikrospora

    bakteri termofilik yang bisa mengontaminasi produk gula. Jenis pertama

    adalah spora bakteri termofilik penyebab kebusukan flat sour (asam tanpa

  • gas), contohnya Bacillus stearothermophillus, Bacillus coagulans, dan

    Bacillus thermoacidurans. Jenis kedua adalah spora bakteri anaerobik yang

    tidak memproduksi H2S, contohnya Clostridium thermosaccharolyticum.

    Jenis ketiga adalah spora bakteri anaerobik penyebab kebusukan sulfida

    (memproduksi H2S), contohnya Clostridium nigrificans dan Bacillus

    betanigrificans.

    Tabel 1. Syarat mutu gula kristal rafinasi (BSN, 2006)

    No. Kriteria uji Satuan Persyaratan

    I II 1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    11

    12

    13

    Polarisasi

    Gula Pereduksi

    Susut pengeringan

    Warna larutan

    Abu

    Sedimen

    Belerang dioksida (SO2)

    Timbal (Pb)

    Tembaga (Cu)

    Arsen (As)

    Angka Lempeng Total (ALT)

    Kapang

    Khamir

    Z

    %

    % ,b/b

    IU

    %, b/b

    mg/kg

    mg/kg

    mg/kg

    mg/kg

    mg/kg

    koloni/10 g

    koloni/10 g

    koloni/10 g

    min. 99.80

    maks. 0.04

    maks. 0.05

    maks. 45

    maks. 0.03

    maks. 7.0

    maks. 2.0

    maks. 2.0

    maks. 2.0

    maks. 1.0

    maks. 200

    maks. 10

    maks. 10

    min. 99.70

    maks. 0.04

    maks. 0.05

    maks. 80

    maks. 0.05

    maks. 10.0

    maks. 5.0

    maks. 2.0

    maks. 2.0

    maks. 1.0

    maks. 250

    maks. 10

    maks. 10

    CATATAN Z = Zuiker = Sukrosa; IU = ICUMSA UNIT

    Salah satu kasus kejadian luar biasa (KLB) terkait gula adalah kasus

    KLB kontaminasi batang tebu di Brazil. Menurut Massarani (2005), insiden

    ini terjadi karena cairan tebu terkontaminasi oleh parasit Trypanosoma cruzi

    sehingga menimbulkan penyakit Chagas. Penyakit Chagas adalah penyakit

    yang berpotensi menimbulkan dampak fatal bagi kesehatan manusia yang

    disebabkan parasit. Umumnya penyakit ini ditularkan ke manusia melalui

    gigitan serangga. Dampak yang ditimbulkan penyakit ini ke pasien adalah

    demam, migrain, dan nyeri otot. Namun, penyakit ini bisa berkembang lebih

  • jauh menimbulkan penyakit kuning, nyeri perut, pendarahan organ dalam,

    cairan di paru-paru, dan gagal jantung. Tercatat lima orang dari kasus ini

    dinyatakan meninggal.

  • III. METODE PELAKSANAAN

    A. Tempat dan Waktu

    Pelaksanaan magang dilakukan di tiga tempat. Tempat pertama di

    Perusahaan Jasa Konsultasi, Premysis Consulting, Jakarta. Tempat kedua di

    kantor pusat PT Gula Rafinasi A. Tempat ketiga di pabrik PT Gula Rafinasi

    A. Nama perusahaan gula disamarkan atas dasar kesepakatan pelaksana

    magang dengan perusahaan penyedia magang. Kegiatan dilakukan selama 7

    bulan dari bulan Maret sampai dengan Oktober 2008.

    B. Tahapan dan Cara Pelaksanaan

    Secara garis besar, pelaksanaan magang dilakukan dengan tiga tahapan,

    yaitu kajian sistem HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO 22000:2005, tinjauan

    umum perusahaan tempat magang, dan kajian penerapan sistem manajemen

    terpadu (ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005) di perusahaan gula rafinasi.

    Kajian sistem HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO 22000:2005 dilakukan untuk

    mengetahui keterkaitan antar sistem manajemen tersebut. Tahapan berikutnya,

    yaitu tinjauan umum perusahaan dilakukan untuk mengetahui gambaran

    umum mengenai dua perusahaan tempat dilakukan magang. Tahapan terakhir

    adalah kajian penerapan sistem manajemen terpadu di perusahaan gula

    rafinasi. Tahap ini merupakan praktik pengamatan langsung kesesuaian sistem

    manajemen yang ada di perusahaan tersebut dengan standar internasonal

    sistem mutu (ISO 9001:2000) dan keamanan pangan (ISO 22000:2005).

    1. Kajian HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO 22000:2005

    Tahapan melakukan kajian terhadap ketiga sistem tersebut, yaitu:

    a. Mempelajari HACPP

    Hal yang dipelajari terkait dengan HACCP meliputi pengertian,

    sejarah, keunggulan, cara menerapkan, dan area penerapan HACCP.

    b. Mempelajari ISO 9001:2000

    Hal yang dipelajari terkait ISO 9001:2000 meliputi sistem

    manajemen mutu dan garis besar tentang ISO 9001:2000.

  • c. Mempelajari ISO 22000:2005

    Hal yang dipelajari terkait ISO 22000:2005 meliputi sistem

    manajemen keamanan pangan, sejarah, manfaat, cara menerapkan,

    dan area penerapan ISO 22000:2005.

    d. Melakukan analisis keterkaitan HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO

    22000:2005

    Setelah mempelajari HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO

    22000:2005, dilakukan analisis keterkaitan antara ketiganya.

    Keterkaitan bisa berupa kesamaan, perbedaan, dan cara

    pengintegrasian antara ketiga sistem tersebut.

    Kajian HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO 22000:2005 dilakukan

    dengan cara studi pustaka, diskusi, rapat kecil, dan mengikuti pelatihan

    ISO 9001:2000, HACCP, dan ISO 22000:2005

    a. Studi pustaka

    Studi pustaka dilakukan pelaksana magang dengan membaca

    pustaka-pustaka terkait HACCP, ISO 9001:2000, dan ISO

    22000:2005 berupa pustaka fisik maupun elektronik.

    b. Diskusi

    Diskusi langsung dilakukan pelaksana magang dengan tiga orang

    konsultan senior Premysis untuk mengetahui makna setiap informasi

    yang didapat dari tinjauan pustaka. Diskusi juga membahas makna

    dari setiap klausa yang tercantum di dalam ISO 9001:2000 terkait

    mutu dan ISO 22000:2005. Pembahasan setiap klausa ISO 9001:2000

    dan ISO 22000:2005 disertai contoh-contoh praktik manajemen mutu

    dan keamanan pangan pada beberapa industri pangan. Setiap hasil

    diskusi dicatat oleh pelaksana magang dalam bentuk data elektronik.

    c. Rapat

    Rapat dilakukan antara pelaksana magang dan tiga orang konsultan

    senior Premysis untuk mengukur kedalaman pengetahuan dan

    pemahaman pelaksana magang mengenai mutu, keamanan pangan,

    HACCP, standar internasional mutu (ISO 9001:2000) dan standar

    internasional keamanan pangan (ISO 22000:2005). Rapat kecil

  • dilakukan di ruang pertemuan Premysis menggunakan alat bantu

    laptop dan LCD. Pelaksana magang melakukan presentasi hasil

    sementara yang sudah diperolehnya untuk dievaluasi oleh tiga orang

    konsultan senior Premysis. Rapat kecil dilakukan sekali setiap bulan.

    d. Mengikuti pelatihan ISO 9001:2000, HACCP, dan ISO 22000:2005

    Pelaksana magang ikut serta sebagai asisten konsultan senior

    dalam pelatihan ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005 untuk industri

    pangan yang diadakan Premysis Consulting. Pelaksana magang

    membantu persiapan pelatihan dan mengikuti pelatihan ISO

    9001:2000 dan ISO 22000:2005. Pengetahuan yang didapatkan

    pelaksana magang dari hasil pelatihan sama seperti peserta yang

    merupakan praktisi industri pangan.

    2. Tinjauan umum perusahaan

    Tahapan melakukan tinjauan umum perusahaan tempat magang,

    yaitu:

    a. Mempelajari Premysis Consulting

    Tinjauan untuk Premysis Consulting dilakukan dalam lingkup

    profil, lokasi, struktur organisasi, waktu kerja, metode kerja, dan

    produk perusahaan.

    b. Mempelajari PT Gula Rafinasi A

    Tinjauan untuk Premysis Consulting dilakukan dalam lingkup

    profil, struktur organisasi, dan produk perusahaan.

    Tinjauan umum perusahaan dilakukan dengan cara kunjungan

    langsung, studi dokumen dan wawancara.

    1. Kunjungan langsung ke perusahaan

    Kunjungan langsung ke perusahaan dilakukan untuk mengetahui

    informasi-informasi umum tentang Premysis Consulting dan PT Gula

    Rafinasi A.

    2. Studi dokumen

    Studi dokumen dilakukan setelah dilakukan kunjungan langsung ke

    perusahaan dengan meminjam dokumen-dokumen kepada pihak yang

  • bertanggung jawab di perusahaan. Dokumen yang terkait berupa

    booklet dan pedoman perusahaan.

    3. Wawancara

    Wawancara dilakukan kepada pihak yang bertanggung jawab di

    perusahaan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan pelaksana

    magang.

    3. Kajian penerapan sistem manajemen terpadu di PT Gula Rafinasi A

    Kajian penerapan Sistem Manajemen Terpadu di PT Gula Rafinasi A

    dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

    a. Mempelajari Sistem Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan di PT

    Gula Rafinasi A

    Saat kunjungan langsung tahap pertama, pelaksana magang

    mempelajari sistem manajemen terpadu yang terimplementasi di PT

    Gula Rafinasi A. Sistem manajemen yang masuk lingkup di sini

    adalah sistem manajemen mutu dan keamanan pangan yang berlaku

    di kedua bagian perusahaan (kantor pusat dan pabrik).

    b. Identifikasi ketidaksesuaian

    Langkah selanjutnya dilakukan identifikasi ketidaksesuaian sistem

    manajemen terpadu yang terimplementasi di PT Gula Rafinasi A

    dengan acuan persyaratan ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005.

    c. Analisis ketidaksesuaian

    Setelah dilakukan pengidentifikasian, langkah berikutnya adalah

    pembahasan ketidaksesuaian-ketidaksesuaian yang ada dalam sistem

    manajemen PT Gula Rafinasi A antara tim konsultan dengan tim

    mutu dan keamanan pangan PT Gula Rafinasi A. Pembahasan

    bertujuan untuk menyelesaikan ketidaksesuaian yang ada dengan

    ruang lingkup penyebab ketidaksesuaian, kondisi perusahaan yang

    menyebabkan ketidaksesuaian, dan sarana serta prasarana yang dapat

    dimanfaatkan untuk menyelesaikan ketidaksesuaian.

    d. Penyusunan solusi alternatif tahap pertama

    Setelah dilakukan pembahasan ketidaksesuaian, penyusunan solusi

    alternatif dilakukan untuk menangani ketidaksesuaian yang ada

  • dalam penerapan ISO 9001:2000 dan ISO 22000:2005 di PT Gula

    Rafinasi A. Solusi alternatif dirancang berdasarkan pertimbangan

    ketidaksesuaian, sumber ketidaksesuaian, sarana yang dimiliki

    perusahaan, dan metode yang bisa diterapkan. Pemberian solusi

    alternatif mengacu pada sumber literatur yang sahih dan praktik

    industri yang benar. Solusi alternatif dicatat dan disimpan dalam