skenario fgd tuberkulosis
DESCRIPTION
fgd tuberkulosisTRANSCRIPT
TUBERKULOSIS
PEMBIMBING :
Gembong Nuswanto, dr.,MSc
OLEH :
Talita Nandia. P 09700052
Shelivia Destiana 09700023
Alam Indramawan 09700090
Lengginus Arief .T 09700125
Rr. Ghea Kuspratiwi 09700312
Dwi Setiawan .H 09700232
Nur Aini 09700328
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karuniaNya kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini dibuat berdasarkan data dan informasi serta
pengetahuan yang diperoleh selama kepanitraan klinik di SMF Ilmu Kesehatan Masyarakat
dengan judul Tuberkulosis. Penyusunan makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas
kepanitraan klinik di SMF Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Gembong Nuswanto, dr.,MSc selaku dosen
pembimbing, serta semua teman sejawat yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini
hingga selesai.
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan, sehingga kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga dapat
bermanfaat bagi para membaca.
Surabaya, 20 November 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………….. iii
BAB I. PENDAHULUAN…..……………………………….......................………….…. 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 4
2.1 ANALISA......................................................................................................... 4
2.2 TUBERKULOSIS............................................................................................ 6
2.2.1 Definisi TB...............................................................................................
6
2.2.2 Gejala dan cara penularan TB................................................................... 7
2.2.3 Faktor resiko TB....................................................................................... 7
2.2.4 Pencegahan TB......................................................................................... 12
2.2.5 Program penanggulangan TB................................................................... 14
BAB III RENCANA PROGRAM.................................................................................... 17
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN..………………………..........………………… 25
DAFTAR PUSTAKA…………….………………………………..…..………………… 26
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan
sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
Tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia.
Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta
manusia. Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika
sebesar 30%, Asia sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar
35% dari semua kasus tuberkulosis.
Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada tahun 2009
angka kejadian TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga 9,9 juta
jiwa) dan meningkat terus secara perlahan pada setiap tahunnya dan menurun lambat
seiring didapati peningkatan per kapita. Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar
14 juta (berkisar 12 juta sampai 16 juta). Jumlah penderita TB di Indonesia
mengalami penurunan, dari peringkat ke tiga menjadi peringkat ke lima di dunia,
namun hal ini dikarenakan jumlah penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria
melebihi dari jumlah penderita TB di Indonesia.
Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000
dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian
akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Selain itu, kasus resistensi
merupakan tantangan baru dalam program penanggulangan TB. Pencegahan
meningkatnya kasus TB yang resistensi obat menjadi prioritas penting.
Pemberantasan kasus tuberkulosis paru menjadi perhatian dunia karena
pemberantasan kasus tuberkulosis paru termasuk dalam tujuan keenam dari
Milllenium Development Goals (MDG) 2015 yakni penanganan penyakit menular
berbahaya yaitu HIV/AIDS, malaria, tuberkulosis paru dan penyakit lainnya.
Sedangkan penyebab utama meningkatnya prevalensi uberkulosis adalah
kondisi sosial ekonomi, kondisi lingkungan yang buruk, status gizi yang buruk, dan
program penanganan tuberkulosis paru yang belum optimal. faktor-faktor yang
mempunyai hubungan bermakna dengan kesembuhan/ketidaksembuhan orang yang
sedang berobat tuberkulosis paru adalah merokok, penghasilan, pengetahuan tentang
tuberkulosis paru, sikap terhadap proses pengobatan tuberkulosis paru, perilaku,
keadaan rumah, program OAT (Obat Anti Tuberkulosis), PMO (Pengawas Minum
Obat).
Mengacu pada kondisi tersebut diperlukan adanya penanggulangan penyakit
tuberkulosis paru ini. DOTS (Directly Observed Treatment Succes Rate) adalah
stategi penyembuhan tuberkulosis paru jangka pendek dengan pengawasan secara
langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan
tuberkulosis paru dapat berlangsung secara cepat. Kategori kesembuhan penyakit
tuberkulosis paru yaitu suatu kondisi dimana individu telah menunjukan peningkatan
kesehatan dan memiliki salah satu indikator kesembuhan penyakit tuberkulosis paru,
diantaranya: menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak
(follow up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan minimal satu pemeriksaan
follow up sebelumnya negatif (Depkes RI, 2008).
Program kesembuhan tuberkulosis paru DOTS menekankan pentingnya
pengawasan terhadap penderita tuberkulosis paru agar menelan obat secara teratur
sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh. Strategi DOTS direkomendasikan oleh
WHO secara global termasuk di Indonesia untuk menanggulangi tuberkulosis paru,
karena menghasilkan angka kesembuhan yang tinggi yaitu 95% (Fatiyyah, et al,.
2011).
I.2 Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan masalah sebagai berikut :
1.2.1 Apa faktor yang menyebabkan tingginya angka TB di puskesmas Sukamandi?
1.2.2 Bagaimana cara menurunkan prevalensi TB di Kecamatan Sukamandi?
I.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan tingginya angka TB di Puskesmas
Sukamandi dan mengetahui cara menurunkan prevalensi TB di Kecamatan
Sukamandi.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui penyebab kurangnya penyuluhan TB
b. Mengetahui peranan rendahnya PMO pada prevalensi TB
c. Mengetahui peranan kondisi lingkungan pada prevalensi TB
d. Mengetahui peranan kondisi kepadatan hunian pada prevalensi TB
e. Mengetahui peranan kondisi sosial ekonomi pada prevalensi TB
f. Mengetahui prioritas dalam menurunkan prevalensi TB
BAB II
ANALISA DATA
2.1 Analisa
Skenario
Dokter dari Puskesmas Sukamandi ingin melaksanakan program menekan
tingginya prevalensi diwilayahnya. Prevalensi Tb di daerahnya termasuk tertinggi di
Kabupaten. Angka prevalensi Kecamatan Sukamandi 455/100.000 penduduk
sedangkan angka prevalensi Kecamatan kesuluruhan sekitar 385/100.000 penduduk.
Dokter Puskesmas tersebut ingin membuat program yang mungkin dapat
menurunkan angka prevalensi dengan menggunakan beberapa faktor risiko terjadinya
tingginya angka prevalensi Tb tersebut. Dalam analisi odds ratio dari penelitian yang
dilakukan terlihat sebagai berikut :
Faktor risiko Odds ratio Keterangan
1. Kurangnya penyuluhan
Tb
2 OR>1
2. Rendahnya PMO 9 OR>1
3. Kondisi lingkungan 5 OR>1
4. Kepadatan hunian 6 OR>1
5. Rendahnya pengertian
PHBS
0,2 OR<1
6. Rendahnya pendidikan 1 OR=1
7. Kodisi sosial ekonomi 4 OR>1
Dari data pada skenario diatas dapat dianalisis permasalahan sebagai berikut :
1. Tingginya prevalensi TB di Kecamatan Sukamndi
2. Kurangnya penyuluhan TB
3. Rendahnya peran PMO
4. Kondisi lingkungan yang buruk
5. Kepadatan hunian
6. Kondisi sosial ekonomi menengah kebawah
Faktor tersebut menjadi faktor risiko tingginya prevalensi TB di Kecamatan
Sukamandi karena bernilai odds ratio >1. Sedangkan rendahnya tingkat pendidikan bukan
menjadi faktor risiko dikarenakan odds = 1, dan rendahnya pemahaman PHBS menjadi
faktor protektif dikarenakan odds ratio <1.
Rendahnya pemahaman tentang PHBS merupakan faktor protektif karena pemahaman
masyarakat hanya sebagian kecil dan tidak menyeluruh. Ada beberapa indikator dalam
PHBS, namun yang berkaitan dengan TB hanya sebagian kecil saja. Diperkirakan yang
dikuasai oleh masyarakat tidak berkaitan dengan TB.
Berdasarkan analisis kelompok kami priorotas masalah yang diangkat adalah
“menekan prevalensi TB dan meningkatkan motivasi PMO di Kecamatan Sukamndi” dan
dapat disimpulkan faktor risiko yang terusun dalam inventarisasi masalah adalah sebagai
faktor penyebab dan tingginya prevalensi TB sebagai faktor akibat. Setelah mengetahui
prioritas masalah dan penyebab tingginya prevalensi TB, maka kepala Puskesmas harus
membuat program penurunan prevalensi TB dan memotivasi PMO. PMO di data agar
dapat diketahui berapa besar minat warga untuk ikut berperan dalam berpartisipasi
sebagai PMO.
Penyebab menurunnya peranan PMO dikarenakan faktor berikut, yaitu :
a. Tingkat pengetahuan kader dan petugas tentang tugas dan fungsi PMO
b. Motivasi PMO menurun dikarenakan tidak adanya reward, misalnya tidak digaji
c. Sarana transportasi tidak menujang untuk kerumahpasien TB yang jauh
d. Pelaporan kurang memadai, biarpun pasien rajin minum obat namun PMO jarang
melaporkan maka perhitungan tempo waktu jangka sembuh pasien di puskesmas
menjadi rancu.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor tinggi prevalensi TB yaitu kurangnya
peranan PMO. Peranan PMO cenderung menurun, dikarenakan kurangnya motivasi
dan pengetahuan tentang penyakit TB, maka membutuhkan peranan dokter dan dinas
kesehatan.
Fish bone
Penyuluhan Peran dokter dan dinkes
Pelayanan kesehatan Kepatuhan pasien
Rendahnya pengertian PHBS Rendahnya pendidikan
Rendahnya PMO
Rendahnya sosial ekonomi
Kepadatan hunian Kondisi Lingkungan
2.2 TUBERKULOSIS
2.2.1 Definisi TB
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
basil Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru,
tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).
Proses
Lingkungan
Masukan
Tingginya prevalensi TB
2.2.2 Gejala dan cara penularan TB
Gejala-gejala TB Paru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga,
batuk bercampur darah, sesak napas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan
berkurang, berat badan turun, rasa kurang enak badan (lemas), demam meriang
berkepanjangan, berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan kegiatan.
(Kementrian Kesehatan RI, 2010)
Penularan TB Paru Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA
positif. Penularan terjadi pada waktu penderita TB paru batuk atau bersin, penderita
menyebarkan kuman bakteri ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet
yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa
jam, orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam pernapasan.
Setelah kuman TB paru masuk kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran
darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian
tubuh lainnya (Depkes RI, 2002).
2.2.3 Faktor Risiko TB
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru Teori John
Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu agent, pejamu (host), dan lingkungan (environment) ( Soemirat, 2010).
1. Agent
Agent adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Agent
dapat berupa benda hidup, tidak hidup, energi, sesuatu yang abstrak, suasana
sosial, yang dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan penyebab
utama/esensial dalam terjadinya penyakit ( Soemirat, 2010). Agent yang
mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium
tuberculosis.
2. Host
Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan
arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam. Manusia
merupakan reservoar untuk penularan kuman Mycobacterium tuberculosis, kuman
tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat
menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002).
Host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah manusia. Beberapa faktor host yang
mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah :
a. Jenis kelamin Beberapa penelitian menunjukan bahwa laki-laki sering terkena
TB paru dibandingkan perempuan. Hal ini terjadi karena laki-laki memiliki
aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga kemungkinan
terpapar lebih besar pada laki-laki (dalam Sitepu, 2009).
b. Umur Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia
produktif yaitu 15-50 tahun (Kementrian Kesehatan RI,2010). Karena Pada usia
produktif selalu dibarengi dengan aktivitas yang meningkat sehingga banyak
berinteraksi dengan kegiatan kegiatan yang banyak pengaruh terhadap resiko
tertular penyakit TB paru.
c. Kondisi sosial ekonomi WHO 2003 menyebutkan 90% penderita tuberkulosis
paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin
(dalam Fatimah,2008). Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya
kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan
berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan
menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena
infeksi TB Paru.
d. Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu : kekebalan alamiah dan buatan.
Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis
paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan
diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillis Calmette Guerin).
Tetapi bila kekebalan tubuh lemah maka kuman tuberkulosis paru akan mudah
menyebabkan penyakit tuberkulosis paru ( dalam Fatimah, 2008)
e. Status gizi Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup
akan berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap
infeksi kuman tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan
mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan kalori dan
protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru
(dalam Sitepu, 2009).
3. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar dari host, baik benda tidak
hidup, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat
interaksi semua elemen-elemen tersebut, termasuk host yang lain (Soemirat,
2010). Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam penularan, terutama
lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan rumah merupakan
salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan
penghuninya.
Kondisi Fisik Rumah Rumah sehat menurut Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2005), merupakan bangunan tempat tinggal yang memenuhi syarat
kesehatan yaitu rumah yang memiliki jamban yang sehat, sarana air bersih, tempat
pembuangan sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi yang baik,
kepadatan hunian rumah yang sesuai dan lantai rumah yang tidak terbuat dari
tanah. Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia. Bagi
sebagian besar masyarakat, rumah merupakan tempat berkumpul bagi semua
anggota keluarga dan menghabiskan sebagian besar waktunya. Namun, yang perlu
diingat kondisi kesehatan perumahan juga sangat berperan sebagai media
penularan penyakit diantara anggota keluarga atau tetangga sekitarnya (Winarsih,
2007).
Rumah yang tidak sehat merupakan penyebab dari rendahnya taraf kesehatan
jasmani dan rohani yang memudahkan terjangkitnya penyakit dan mengurangi
daya kerja atau daya produktif seseorang. Rumah tidak sehat ini dapat menjadi
reservoir bagi seluruh lingkungan. Timbulnya permasalahn kesehatan di
lingkungan pemukiman pada dasarnya disebabkan karena tingkat kemampuan
ekonomi masyarakat yang rendah, karena rumah dibangun berdasarkan
kemampuan keuangan penghuninya.
Adapun syarat-syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis yang
berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru antara lain :
a.Ventilasi
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang
menyenangkan dan menyehatkan manusia (Dalam Tobing, 2009). Jendela dan
lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknya udara juga sebagai
lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut
tetap segar. Rumah sehat harus memiliki ventilasi atau lubang udara. Ventilasi
berfungsi untuk menjaga aliran udara didalam rumah tetap lancar sehingga
rumah tidak pengap, keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni
rumah juga tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya
oksigen didalam rumah yang berarti karbon dioksida yang bersifat racun dapat
meningkat (Winarsih,2007). Ventilasi juga berfungsi untuk membebaskan
udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri pathogen misalnya bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir.
b. Kelembaban Rumah
Kelembaban merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme, termasuk kuman tuberkulosis sehingga viabilitas lebih lama
(Dalam Sitepu, 2009). Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah
denganmenggunakan hygrometer. Kelembaban udara dalam rumah minimal
40% – 70. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas
akan berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk
istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan
dan pada orang-orang tertentu dapat menimbulkan alergi (Depkes,2007).
Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan
mempermudah berkembang biaknya mikroorganisme. Mikroorganisme
tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara , selain itu kelembaban
yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering
sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban
udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk kuman-kuman
termasuk kuman tuberkulosis.
c. Pencahayaan
Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga sangat
baik bagi kesehatan karena dapat membunuh bibit penyakit seperti kuman TB
(Winarsih,2007). Depkes RI,1994 mengemukakan bahwa : “Sinar matahari
dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru, dengan
mengusahakan masuknya sinar matahari pagi ke dalam rumah. Cahaya
matahari masuk ke dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca.
Diutamakan sinar matahari pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat
mematikan kuman” (dalam Fatimah, 2008). Oleh sebab itu, rumah dengan
standar pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian
tuberkulosis.
d. Kepadatan Penghuni Rumah
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah
dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan
kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per
orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas
bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 9
m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum3 m² per orang. Kamar tidur
sebaiknya tidak dihuni >2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah
dua tahun ( Suryo, 2010).
Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit
tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya. Ukuran
luas ruangan suatu rumah erat kaitannya dengan kejadian tuberkulosis paru.
Disamping itu Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru Bradbury mendapat
kesimpulan secara statistik bahwa kejadian tuberkulosis paru paling besar
diakibatkan oleh keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat pada luas
ruangannya (dalam Fatimah, 2008).
Semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula udara di
dalam rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena jumlah penghuni yang
semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam ruangan
tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya. Dengan meningkatnya
kadar CO2 di udara dalam rumah, maka akan memberi kesempatan tumbuh
dan berkembang biak lebih bagi kuman Mycobacterium tuberculosis. Dengan
demikian akan semakin banyak kuman yang terhisap oleh penghuni rumah
melalui saluran pernafasan.
e. Lantai rumah
Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan
perkembangbiakan kuman dan vektor penyakit, menjadikan udara dalam
ruangan lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat
menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya. Keadaan lantai rumah
perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air seperti tegel, semen atau
keramik. Secara hipotesis jenis lantai rumah memiliki peran terhadap proses
kejadian tuberkulosis, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah
cenderung menimbulkan kelembaban, dengan demikian viabilitas kuman
tuberkulosis di lingkungan juga sangat dipengaruhi.
2.2.4 Pencegahan TB
Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru Mencegah lebih baik dari pada
mengobati, kata-kata itu selalu menjadi acuan dalam penanggulangan penyakit TB
Paru di masyarakat.
Dalam buku Kementrian Kesehatan RI, 2010 upaya pencegahan yang harus
dilakukan adalah:
1. Minum obat TB secara lengkap dan teratur sampai sembuh
2. Pasien TB harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan batuk karena pada saat
bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar melalui percikan dahak.
Kuman TB yang keluar bersama percikan dahak yang dikeluarkan pasien TB saat :
a. Bicara : 0-200 kuman, b. Batuk : 0-3500 kuman, c. Bersin : 4500-1.000.000 kuman
3. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat khusus
dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah/kaleng tertutup yang sudah diberi
karbol/antiseptik atau pasir. Kemudian timbunlah kedalam tanah.
4. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), antara lain :
a. Menjemur peralatan tidur.
b. Membuka jendela dan pintu setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk.
c. Aliran udara (ventilasi) yang baik dalam ruangan dapat mengurangi jumlah kuman
di udara. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman.
d. Makan makanan bergizi.
e. Tidak merokok dan minum-minuman keras.
f. Lakukan aktivitas fisik/olahraga secara teratur.
g. Mencuci peralatan makan dan minuman dengan air bersih mengalir dan memakai
sabun.
h. Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan memakai sabun. Tanpa
pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita Tuberkulosis Paru akan
meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25%
sebagai kasus kronik yang tetap menular (Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis, 2011).
2.2.5 Program penanggulangan TB
Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Untuk dapat memberikan
pelayanan kesehatan menyeluruh, puskesmas menjalankan beberapa program pokok
salah satunya adalah program pemberantasan penyakit menular (P2M) seperti
program penanggulangan TB Paru yang dilakukan dengan strategi DOTS dan
Penyuluhan Kesehatan. Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB
mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap.
Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK (Unit
Pelayanan Kesehatan) terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan
kesehatan dasar (Muninjaya, 2004; Depkes, 2007).
Strategi DOTS . Fokus utama DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse) adalah penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan
kepada penderita TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan
dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan
menyembuhkan penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan
TB. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam
penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS
sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam
pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya
(Depkes, 2007). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:
a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.
b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan
tepat waktu dengan mutu terjamin.
e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan.
Pengawas Minum Obat (PMO) Salah satu komponen DOTS adalah
pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh PMO.
Untuk menjamin kesembuhan dan keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.
Persyaratan untuk menjadi PMO yaitu seseorang yang dikenal, dipercaya dan
disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan
dihormati oleh penderita, seseorang yang tinggal dekat dengan penderita, bersedia
membantu penderita dengan sukarela dan bersedia dilatih atau mendapat penyuluhan
bersama-sama dengan penderita. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya
Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila
tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader
kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau anggota keluarga.
Seorang PMO mempunyai tugas untuk mengawasi penderita TB agar menelan
obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada penderita
agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada
waktu yang telah ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita
TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri
ke Unit Pelayanan Kesehatan, dan tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti
kewajiban penderita mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan. Petugas
kesehatan harus memberikan informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk
disampaikan kepada penderita dan keluarganya bahwa TB disebabkan kuman bukan
penyakit keturunan atau kutukan, TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur, cara
penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya, cara
pemberian pengobatan penderit, pentingnya pengawasan supaya penderita berobat
secara teratur, kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan ke UPK (Depkes, 2007).
Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara
menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan sehingga masyarakat tidak saja sadar,
tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan melakukan suatu anjuran yang ada
hubungannya dengan kesehatan. Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari
promosi kesehatan adalah rangkaian dari rangkaian kegiatan yang berlandaskan
prinsif-prinsif belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau
masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara,
melindungi dan meningkatkan kesehatan (Depkes RI, 2002;Effendy, 1998).
Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru banyak
berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan
adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam
penanggulangan TB Paru. Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan
menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media.
Penyuluhan langsung dapat dilakukan dengan perorangan atau kelompok.
Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media seperti: bahan cetak seperti
leaflet, poster atau spanduk, sedangkan bentuk media massa dapat berupa koran,
majalah, radio dan televisi.
Dalam program penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung perorangan
sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita.
Penyuluhan langsung perorangan dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para
kader dan PMO. Pada kunjungan pertama ada beberapa informasi penting tentang TB
Paru yang dapat disampaikan pada penderita, antara lain: pengertian atau arti TB
Paru, penyebab TB Paru, cara penularan TB Paru dan resiko penularan TB Paru,
riwayat pengobatan sebelumnya, cara pengobatan TB Paru, pentingnya pengawasan
menelan obat. Sedangkan pada kunjungan berikutnya informasi yang dapat
disampaikan adalah cara menelan obat, jumlah obat dan frekuensi menelan obat, efek
samping dari OAT, pentingnya jadwal pemeriksaan ulang dahak, apa yang dapat
terjadi bila pengobatan tidak teratur atau tidak lengkap.
Penyuluhan ini selain ditujukan kepada penderita, tetapi juga disampaikan
kepada keluarganya. Tujuannya supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur
sampai sembuh dan bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga, melindungi dan
meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TB Paru. Penyuluhan
dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat
menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat
tentang TB Paru sebagai suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan
memalukan, menjadi suatu penyakit yang berbahaya tapi dapat disembuhkan. Bila
penyuluhan ini berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita secara pasif
(Depkes RI, 2002).
BAB III
RENCANA PROGRAM
Tabel Scoring Pioritas Pemecahan Masalah
No Kegiatan efektivitas Efisiensi Hasil
M I V C
1. Penyuluhan TB 4 3 4 3 16
2. Pembentukan
TIM PMO
4 4 5 4 20
3. Peningkatan
mutu pelayanan
kesehatan
4 3 3 3 12
4. Promosi
kesehatan
3 4 3 4 9
5. Kerja bakti 3 4 2 3 8
Keterangan :
P : Prioritas jalan keluar
M : Magnitude, besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi ini
dilaksanakan ( turunnya prevelensi dan besarnya masalah lain)
I : Implementasi, kelanggengan selesainya masalah
V : Vulnerability, sensitifnya dalam mengatasi masalah
C : Cost, biaya yang diperlukan
Jadi dapat disimpulkan urutan prioritas, yaitu :
Penyuluhan TB
Pembentukan TIM PMO
Peningkatan mutu pelayanan kesehatan
Promosi kesehatan
N
O
Kegiatan Sasaran Target Volume
Kegiata
n
Rincian
Kegiatan
Lokasi
pelaksanaa
n
Tenaga
Pelaksan
a
Jadwal Kebutu
han
pelaksa
naan
1 Penyuluhan
TB
Warga desa
di
Kecamatan
sukamandi
Meningkat
kan
pengetahu
an tentang
TB
4 bulan
sekali
Pencega
han
Bahaya
pengobat
an
Balai desa Dokter
dan
petugas
kesehata
n PKM
Januari,
Mei,
Septemb
er
Pembic
ara,
materi,
konsum
si,sewa
lokasi
2 Pembentuka
n TIM PMO
Keluarga
penderita
TB dan
tenaga
kesehatan
Meningkat
kan
kualitas
PMO
Setiap
ada
pasien
baru
Mengaja
k dan
monitori
ng
keluarga
pasien,
kegiatan
PMO,
dan
evaluasi
hasil
kegiatan
PMO
Rumah
warga,
khususnya
pasien TB
Keluarga
pasien
dan
tenaga
medis
Relatif Tenaga
kesehat
an dan
dana
3 Peningkatan
mutu
pelayanan
kesehatan
Tenaga
medis,
pelayanan
fasilitas
kesehatan
Meningkat
kan
kinerja
tenaga
medis,
kualitas
pelayanan
kesehatan
6 bulan
per kali
Pelatihan
tenaga
medis,
monitori
ng
fasilitas
kesehata
n
Puskesmas Tenaga
medis,
dokter,
manajem
en
puskesm
as
Relatif Tenaga
kesehat
an dan
dana
4 Promosi
kesehatan
Warga desa
di Kec.
Sukamandi
Meningkat
kan
pengetahu
an tentang
PHBS
1 kali Memberi
kan
pengetah
uan
tentang
PHBS
dan
pencegah
an
penulara
n TB,
serta
mudahny
akses ke
puskesm
as
terdekat
Balai desa Tenaga
kesehata
n dan
puskesm
as
1 kali Tenaga
kesehat
an,
dana,
poster,
masker
5 Kerja bakti Lingkungan
sekitar
tempat
tinggal
Meningkat
kan
kebersihan
lingkunga
n rumah
dan
sekitarnya
1
minggu
per kali
Gotong
royong,
dan
menyedi
akan
fasilitas
untuk
kebersih
an
lingkung
an
Di sekitar
tempat
tinggal
penduduk
Seluruh
warga
secara
bergantia
n
Setiap
hari
Minggu
Alat
kebersi
han,
dana,
alat
pembua
ngan
sampah
1. Penyuluhan TB
Penyuluhan ini ditujukan untuk semua warga desa yang berada di Kecamatan
Sukamandi karena tingginya prevalensi TB pada daerah tersebut. Dengan adanya
penyuluhan, diharapkan agar bisa mengikuti penyuluhan tersebut dan menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Di mana pengetahuan mengenai pengertian, faktor
risiko, gejala-gejala, bahaya TB, pencegahan, pengobatan TB bisa diketahui oleh
warga desa. Agar upaya dalam penyuluhan TB ini dapat menurunkan tingginya
prevalensi TB di wilayah Puskesmas Sukamandi.
2. Pembentukan Tim PMO
Pembentukan TimPMO di wilayah PKM Sukamandi ditujukan untuk keluarga
pasien TB dan tenaga medis. Dengan adanya pembentukan tim ini diharapkan
kepatuhan dalam mengonsumsi obat lebih baik dan terjadwal. Sehingga pengobatan
efektif TB selama 6 bulan dapat menurunkan prevalensi TB. Selain itu juga dilakukan
monitoring pada kegiatan PMO itu sendiri guna mengevaluasi kelancaran tim PMO
dalam melaksanakan tugasnya.
3. Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan
Peningkatan mutu pelayanan kesehatan di wilayah PKM Sukamandi ditujukan
untuk tenaga medis dan fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan dan ada pun kegiatannya yaitu pelatihan seluruh tenaga
puskesmas, peningkatan kualitas laboratorium, ketersediaan OAT bagi semua
penderita TB yang ditemukan, pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala
dan terus menerus. Dengan adanya beberapa kegiatan yang disebutkan di atas
diharapkan dapat menurunkan prevalensi TB
4. Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan ini bertujuan untuk mengetahui PHBS (perilaku hidup
bersih dan sehat) melalui poster – poster, guna keluarga dapat menolong diri sendiri di
bidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan – kegiatan kesehatan masyarakat.
Selain itu juga memberikan kemudahan bagi pasien dan keluarga pasien untuk
mencegah tertularnya penyakit TB melalui pemberian masker, sehingga semua
masyarakat yang menderita TB sadar bahwa pentingnya mencegah itu lebih baik
daripada mengobati.
5. Kerja Bakti
Salah satu faktor yang meningkatkan angka prevalensi penyakit menular,
khususnya TB adalah lingkungan tempat tinggal dan lingkungan sekitar yang kotor
dan padat. Penyebab penyakit TB ini adalah bakteri yang dapat berkembang biak
didaerah yang kotor, padat, kurangnya pencahayaan dan ventilasi yang kurang.
Dengan adanya program kerja bakti ini dapat meningkatkan kebersihan lingkungan
dan mencegah berkembang biaknya bakteri sehingga upaya kerja bakti ini dapat
menurunkan angka prevalensi TB di daerah tersebut.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulaan
Tingginya prevalensi TB di Kecamatan Sukamndi dipengaruhi beberapa faktor
risiko yaitu kurangnya penyuluhan TB, rendahnya peran PMO, kondisi lingkungan
yang buruk, kepadatan hunian dan kondisi sosial ekonomi menengah kebawah.
Kurangnya penyuluhan TB pada masyarakat di Kecamatan Sukamandi
mengakibatkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang TB. Kondisi sosial
ekonomi yang rendah menyebabkan adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan
yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan menurun. Kondisi
lingkungan yang buruk dan kepadatan hunian dapat mempermudah proses penularan.
Faktor yang paling mempengaruhi prevalensi TB di Kecamatan Sukamandi
adalah rendahnya PMO di Kecamatan Sukamandi, karena diperlukan pengawasan
meminum obat yang dapat dilakukan oleh keluarga bila penderita merasa bosan atau
jenuh meminum obat.
Saran
1. Melakukan penyuluhan TB secara berkala di Kecamatan Sukamandi agar warga
mendapat pengetahuan yang cukup dan melakukannya dengan baik, yaitu meliputi
pengertian TB, gejala, cara penularannya, faktor risiko, bahaya, pengobatan dan
pencegahan TB.
2. Meningkatkan peran PMO untuk mengarahkan pasien agar mau mengkonsumsi
obat secara teratur sampai pengobatan selesai, menjelaskan tata cara minum obat
dan menjelaskan juga efek samping obat.
3. Meningkatkan peningkatan mutu kualitas pelayanan kesehatan baik pada
penyeddia layanan kesehatan maupun sarana dan prasarana yang menunjang
kinerja dalam pencegahan dan penanggulangan TB.
4. Mengadakan promosi kesehatan guna warga desa mengetahui kiat-kiat dalam cara
penularan, pencegahan, dan bahaya TB.
5. Menciptakan kondisi lingkungan yang sehat agar menghambat penularan TB di
lingkungan sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Crofton, A. Horne, M. Miller, F. Tuberkulosis Klinis. Jakarta : Widya Medika; 2002.
2. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI; 2011.
http://www.scribd.com/doc/127006223/DEPKES-RI-2011- Pedoman-Penanggulangan-
TB-di-Indonesia-pdf#. Diakses tanggal 10 desember 2013.
3. Widoyono. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Semarang: Erlangga; 2008.
4. Achmadi, UF. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta : Universitas Indonesia
(UI Press); 2008.
5. Fatimah, S. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Tb Paru Di Kabupaten Cilacap (Kecamatan Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan,
Gandrungmangun, Bantarsari) Tahun 2008. Semarang. Undip; 2008.
http://eprints.undip.ac.id/24695/1/SITI_FATIMAH.pdf. Diakses tanggal 27 Desember
2013
6. Bachtiar,I. Ibrahim, E. Ruslan. Hubungan Perilaku Dan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah
Dengan Kejadian Tb Paru Di Kota Bima Provinsi NTB. Makassar. Unhas; 2012.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/3935/Imam%20Bac htiar-
K11108031.pdf?sequence=1. Diakses tanggal 27 Desember 27 2013
7. Naben, AX. Suhartono. Nurjazuli. Kebiasaan Tinggal Di Rumah Etnis Timor Sebagai
Faktor Resiko Tuberkulosis Paru. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. Vol. 12 No.
1/April 2013. Diakses tanggal 25 Maret 2014.
8. World Healty Organization. Global tuberculosis report 2013 : WHO.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/91355/1/9789241564656_eng.pdf. diakses
tanggal 5 juni 2014
9. Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Depkes RI; 2013.
http://www.kemkes.go.id. Diakses tanggal 11 Desember 2013
10. Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
http://www.terbitan.litbang.depkes.go.id. Diakses tanggal 7 April 2014
11 Priatin, W. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kecemasaan Anggota Keluarga
Terhadap Penularan TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sokaraja II Kabupaten
Banyumas. http://portalgaruda.org. Jurnal Keperawatan Soedirman Vol. 2 No. 3
November 2007. diakses tanggal 18 Desember 2013
12. Chandra, B. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2006.
13. Musadad, A. Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dengan Penularan TB Paru Kontak
Serumah. http://portalgaruda.org. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 5 No. 3 Desember
2006 : 486 – 496. Diakses tanggal 11 April 2014.
14. Notoatmojo, S. Prinsip -Prinsip Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Rineka Cipta;
1997.
15. Notoatmojo, S. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka
Cipta; 2012. 26. Kamus V2.0 : Fen_Lis Project [computer program]. KBBI database pusat
bahasa english indonesia database : http://gkamus.sourceforge.net ; 2008
16. Wahyuni. Determinan Perilaku Masyarakat Dalam Pencegahan Penularan Penyakit
TBC Di Wilayah Kerja Puskesmas Bendosari. www.jurnal.stikesaisyiyah.ac.id. GASTER Vol.
4 No. 1 Februari 2008 : 178 – 183. Diakses tanggal 12 April 2014.
17. Tobing, T. L. pengaruh perilaku penderita TB paru dan kondisi rumah terhadap
pencegahan potensi penularan TB paru pada keluarga di kabupaten tapanuli utara.
[online]. 2009. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6656/1/09E01348.pdf
[diakses 25 agustus 2014]