skillabs sken 12
DESCRIPTION
skillabs resumeTRANSCRIPT
TUGAS SKILL LAB
PEMERIKSAAN TELINGA
SKENARIO 12
Oleh:
KELOMPOK F
Rizky Ratnawati (112010101010)
Meytrisna Ajeng Z (112010101014)
Annisa Kinanti Asti (112010101016)
Vina Nadiyah Hajjah ` (112010101018)
Eny Nurmaida (112010101019)
Devani Bagus Aprinda (112010101020)
Natiti Putri Ariani (112010101031)
Vony Safitri Yusmarina (112010101039)
Fauziyah Damayanti (112010101040)
Fajrina Muflihah A (112010101054)
Febrina Sylva Fridayanti (112010101058)
Hilwa Alfi Fauziyah (112010101063)
Robitha Kartika Sari (112010101081)
Sharfina (112010101082)
Dea Resita Azharini (112010101088)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013
PEMERIKSAAN TELINGA
1. Mengidentifikasi auricula (deformitas, lesi,kulit, dischargen tragus pain)
DEFORMITAS AURICULA
KELAINAN KONGENITAL
Atresia liang telinga dan mikrotia
Pada mikrotia, daun telinga bentuknya lebih kecil dan tidak sempurna. Kelainan ini
sering disertai dengn tiak terbentuknya liang telinga dan kelainan tulang pendengaran.
Namun keadaan ini jarang disertai dengan kelainan telinga dalam, karena proses
embriologinya berbeda.
Bila ditemukan mikrotia bilateral maka pikirkan kemungkinan adanya sindroma
kraniofasial (sindroma treacher collins, sindrom nager).
Penyebab kelaianan ini masih belum jelas diduga adlaha faktor genetik, infeksi virus,
intoksikasi bahan kimia dan obat teratogenik pada kehamilan muda.
Diagnosis mikrotia ini dapat ditegakkan dengan cara melihat bentuk daun telinga
yang tidak sempurna dan tidak terbentuknya liang telinga.
Pemeriksaan fungsi pendengaran dan CT-Scan temporal dengan resolusi tinggi
diperlukan untuk menilai keadaan telinga tengah dan telinga dalam. Hal ini digunakan
untuk memprediksi tingkat keberhasilan bila dilakukan rekonstruksi.
Pada atresia liang telinga yang bilateral, untuk menghindari terjadinya keterlambatan
berbahasa maka dilatih dengan menggunakan alat bantu dengar hantaran tulang sejak
dini. Jika dari hasil pemeriksaan menunjukkan keadaan telinga dalam yang bagus
maka direncanakan operasi pada usia 5-7 tahun. Operasi ini dilakukan dengan
beberapa tahap yaitu diawali dengan pemebentukan daun telinga kemudian
dilanjutkan pembentukan liang telinga dan penataan telinga tengah.
Sedangkan pada atresia unilateral, maka operasi dilakukan setelah anak dewasa.
Komplikasi dari operasi ini adalah paresis nervus VII, hilangnya pendengaran, dan
yang paling sering adalah terjadinya restenosis.
Fistula pre aurikuler (3A)
Fistula preaurikel terjadi ketika pembentukan daun telinga dalam masa embrio.
Kelainan berupa gangguan embrional pada arkus brakial 1 dan 2. Sering ditemukan
pada suku bangsa di asia dan afrika, dan merupakan kelainan herediter yang dominan.
Fistel dapat ditemukan didepan tragus atau skitarnya, dan sering terinfeksi. Pada
keadaan tenang tampak muara fistel berbentuk bulat atau lonjong, berukuran seujung
pensil, dari muara fistel sering keluar sekret yang berasal dari kelenjar sebasea.
Biasanya pasien datang berobat oleh karena terdapat obstruksi dan infeksi fistel.
Sehingga terjadi pioderma atau selulitis fasial. Dengan memasukkan biru metilen ke
dalam fistel dapat diduga panjang fistel. Cara ini digunakan pada waktu operasi. Cara
lain adalah dengan fistulografi, yaitu dengan memasukkan bahan kontras ke dalam
muara fistel, lalu dilakukan pemeriksaan radiologic.
Tata laksana:
Bila tidak ada keluhan, operasi tidak perlu dilakukan. Akan tetapi apabila terdapat
abses berulang dan pembentukan secret kronis, maka perlu dilakukan pengangkatan
fistel-fistel itu seluruhnya, oleh karena bila tidak bersih akan menimbulkan
kekambuhan.
Lop ear (bat’s ear)
Daun telinga tampak lebih lebar dan lebih menonjol. Fungsi pendengaran tidak
terganggu, namun karena bentuknya yang tidak enak dipandang maka sering
dilakukan operasi otoplasti.
KELAINAN DAUN TELINGA
HEMATOMA
Definisi
Hematoma adalah koleksi (kumpulan) darah diluar pembuluh darah. Hematoma
terjadi karena dinding pembuluh darah, arteri, vena atau kapiler, telah dirusak dan
darah telah bocor kedalam jaringan-jaringan dimana ia tidak pada tempatnya.
Hematoma mungkin adalah kecil, dengan hanya satu titik darah atau ia dapat menjadi
besar dan menyebabkan pembengkakan yang signifikan.
Hematoma aurikuler adalah hematoma daun telinga akibat suatu rudapaksa yang
menyebabkan tertimbunnya darah dalam ruang antara perikondrium dan kartilago..
Perdarahan daun telinga yang diikuti oleh pembengkakan dan orang yang beresiko
40% pada atlet.
Etiologi
Hematoma aurikurel biasanya disebabkan oleh rudapaksa atau trauma. Dimana
taruma ini biasanya terjadi olahraga yang berhubungan dengan kekerasan seperti
tinju. Dengan adanya taruma ini bisa menyebabkan tertimbunnya darah dalam ruang
antara perikhondrium dan kartilago. Jika terjadi penimbunan darah pada daerah
tersebut, maka akan terjadi perubahan bentuk telinga luar dan tampak massaa
berwarna ungu kemerahan. Darah yang tertimbun ini bias menyebabkan terputusnya
aliran darah ke kartilago sehingga dapat terjadi perubahan bentuk telinga. Selain
karena trauma, hematoma aurikula bisa juga disebabkan karena gigitan serangga.
Dimana gigitan serangga ini dapat menembus pembuluh darah dan dapat merusak
pembuluh darah yang ada di daun telinga sehingga bisa terjadi hematoma aurikula.
Manifestasi klinis
1. Pembengkakan (karena ada gumpalan darah).
2. Perubahan bentuk telinga (deformitas).
3. Ada/tidak ada rasa nyeri.
4. Perubahan warna (tampak massa berwarna ungu).
5. Ada rasa panas.
6. Kemerahan.
7. Benjolan di aurikula (daun telinga).
8. Fluktuasi/ kenyal
Pemeriksaan fisik
• Inspeksi
Pada hematoma aurikuler biasanya ditemukan benjolan pada aurikular bagian depan
pada daerah cekungan, pembengkakan karena ada gumpalan darah, adanya perubahan
bentuk pada telinga atau deformitas, perubahan warna dimana biasanya tampak massa
berwarna ungu, kemerahan dan benjolan di aurikula (daun telinga).
• Palpasi
Kaji adanya nyeri tekan, benjolan di aurikula (daun telinga) dan adanya fluktuasi atau
terasa kenyal.
Tindakan penanganan atau terapi inti: diaspirasi atau insisi kemudian di balut tekan
dengan meggunakan kasa atau gibs
Mengeluarkan isi hematoma yaitu bisa secara aspirasi atau insisi. Aspirasi dilakukan
dengan jarum aspirasi nomor 18 untuk mencegah reakumulasi dari hematoma. Prinsip
selanjutnya setelah dilakukan aspirasi atau insisi dilakukan penekanan untuk
mencegah reakumulasi antara lain dengan cara : pembalutan seperti pemasangan
perban, penekanan paksa mastoidektomi, penekanan lokal dengan blaster yang dijahit.
Menggunakan penekanan gips yang dipasang di depan dan di belakang.
Menggunakan perban gipsona yang melingkari daun telinga. Disamping kedua tahap
ini, juga penting pemberian antibiotik yang adekuat (Fariz, 2006).
Selain itu ada beberapa cara atau metode dalam penanganan hematoma aurikuler,
yaitu:
1. Bebet tekan melingkar
2. Bantalan kapas atau kasa dijahitkan menembus aurikula
3. Bantalan kasa yang jenuh dengan salep antibiotika dan pipa karet yang masing-
masing didepan dan dibelakang aurikulum dijahit menembus aurikuler
4. bantalan kapas atau kasa yang dicelupkan dalan cairan kolodion dan diletakkan
pada telinga yang sakit(Stuteville)
5. white wool atau webrig yang dicelupkan dalam cairan kolodion dan diletakkan
pada telinga yang sakit
6. gips yang dicampur air secukupnya dan dicetakkan pada telinga yang sakit
7. penekanan dengan memakai bloster yang dijarit
8. bantalan kasa yang padat dibasahi betadine masing-masing didepan dan dibelakang
aurikula dijahit menembus aurikula dan difiksasi dengan pipa plastik dan bekas selang
infus pada bagian belakang aurikula(soekirman 1995)
PSEUDOKISTA
Benjolan di daun telinga disebabkan kumpulan cairan kekuningan di antara lapisan
perikondrium dan tulang rawan telinga. Benjolan ini tidak nyeri dan tidak diketahui
penyebabnya. Kumpulan cairan ini harus dikeluarkan secara steril untuk mencegah
timbul perikondritis. Kemudian dilakukan balut tekan dengan bantuan semen gips
selama seminggu supaya perikondrium melekat pada tulang rawan kembali. Apabila
perlekatan tidak sempurna dapat timbul kekekambuhan.
PERIKONDRITIS AURIKULA
Efusi serum atau pus di antara lapisan perikondrium dan kartilago telinga luar.
Etiologi
Stafilokokus, streptokokus, pseudomonas
Perikondritis bisa terjadi akibat:
- cedera
- gigitan serangga
- pemecahan bisul dengan sengaja.
Nanah akan terkumpul diantara kartilago dan lapisan jaringan ikat di sekitarnya
(perikondrium). Kadang nanah menyebabkan terputusnya aliran darah ke kartilago,
menyebabkan kerusakan pada kartilago dan pada akhirnya menyebabkan kelainan
bentuk telinga. Meskipun bersifat merusak dan menahun, tetapi perikondritis
cenderung hanya menyebabkan gejala-gejala yang ringan.
Patofisiologi
Trauma : laserasi atau akibat kerusakan yang tidak disengaja pada pembedahan
telinga, memar
Radang : Furunkel dengan pengobatan yang tidak adekuat. infiltrasi perikondrium →
supurasi → nekrosis tulang rawan→
dapat terjadi deformitas daun telinga
Diagnosis
Anamnesis
- aurikula bengkak, nyeri, merah
- kadang dapat disertai demam
Pemeriksaan
- kriteria dx : edema luas aurikula, hiperemia, panas, nyeri palpasi
- suhu tubuh ↑
- supuratif → fluktuasi (+)
- nekrosis → deformitas (+)
- pembesaran KGB regional
- lekosit ↑
EKSIM
Eksim pada telinga merupakan suatu peradangan kulit pada telinga luar dan saluran
telinga, yang ditandai dengan gatal-gatal, kemerahan, pengelupasan kulit, kulit yang
pecah-pecah serta keluarnya cairan dari telinga.Keadaan ini bisa menyebabkan infeksi
pada telinga luar dan saluran telinga.
Palpasi
Amati telinga luar apakah terdapat kelainan/abnormalitas. Palpasi dengan penekanan
pada tragus, aurikula, dan os. Mastoideus di posterior aurikula. Perhatikan adanya
nyeri tekan, kemungkinan otitis eksterna dan mastoiditis.
2. Cara menggunakan ostoskop
a. Pemeriksaan Telinga
Pasien duduk dengan posisi badan condong ke depan dan kepala lebih tinggi
sedikit dari kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat liang telinga dan
membrantimpani.
Atur lampu kepala supaya fokus dan tidak mengganggu pergerakan, kira kira
20-30 cm di depan dada pemeriksa dengan sudut kira kira 60 derajat,
lingkaran focus darilampu, diameter 2-3 cm.
Untuk memeriksa telinga, harus diingat bahwa liang telinga tidak lurus. Untuk
meluruskannya maka daun telinga ditarik ke atas belakang , dan tragus ditarik
ke depan.
Pada anak, daun telinga ditarik ke bawah. Dengan demikian liang telinga dan
membran timpani akan tampak lebih jelas.
Liang telinga dikatakan lapang apabila pada pemeriksaan dengan lampu
kepala tampak membran timpani secara keseluruhan( pinggir dan reflex
cahaya) Seringkali terdapat banyak rambut di liang telinga,atau liang telinga
sempit( tak tampak keseluruhan membran timpani) sehingga perlu dipakai
corong telinga. Pada anak oleh karena liang telinganya sempit lebih baik
dipakai corong telinga.Kalau ada serumen, bersihkan dengan cara ekstraksi
apabila serumen padat, irigasi apabila tidak terdapat komplikasi irigasi atau di
suction bila serumen cair.
b. Pemeriksaan Otoskop
Untuk pemeriksaan detail membran timpani spt perforasi, hiperemis atau
bulging dan retraksi, dipergunakan otoskop. Otoskop dipegang seperti
memegang pensil. Dipegang dengan tangan kanan untuk memeriksa telinga
kanan dan dengan tangan kiri bila memeriksa telinga kiri. Supaya posisi
otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang memegang otoskop
ditekankan pada pipi pasien.
Untuk melihat gerakan membran timpani digunakan otoskop
pneumatic.memasukkan corong telinga ke dalam kanalis auditorius eksterna.
Corong kemudian dipegang dengan tangan kiri, ibu jari dan jari telunjuk
mengamati telinga luar dan sekitarnya.
Memeriksa kanalis auditorius eksterna dan membrana timpani
3. Mengidentifikasi canalis auditoris & membran timpani (discharge, serumen,
benda asing, inflamasi)
a. Untuk melihat kanalis auditorius dan membran timpani, gunakan otoskop dengan
spekulum teling berukuran paling besar yang dapat masuk ke dalam kanalis
tersebut.
b. Atur posisi kepala pasien agar pemeriksa bisa melihat dengan nyaman melalui
otoskop.
c. Untuk meluruskan kanalis auditorius, pegang daun telinga pasien dengan kuat
tetapi hati-hati, tarik ke arah atas-belakang serta menjauhi kepala.
Jika pasien merasa nyeri saat ditarik daun telinganya otitis eksterna
akut, bukan otitis media. Pada otitis media terdapat nyeri tekan di
belakang telinga
d. Pegang tangkai otoskop diantara ibu jari dan jari tangan yang lain. Supaya
otoskop tidak goyang, tangan pemeriksa bisa ditumpangkan pada wajah pasien.
e. Masukkan spekulum dengan hati-hati ke saluran telinga kemudian arahkan ujung
spekulum sedikit ke bawah dan ke depan.
f. Lakukan inspeksi kanalis auditorius dengan memperhatikan sekret yang ada,
benda asing, kemerahan pada kulit atau pembengkakan. Serumen warna dan
konsistensinya bervariasi dari kuning serta menyerupai serpihan hingga coklat dan
lengket atau bahkan hitam dan keras, dapat menghalangi sebagian atau seluruh
pandangan pemeriksa.
Otitis Eksterna Akut saluran telinga sering terlihat membengkak,
menyempit, basah, pucat dan nyeri tekan. Tetapi dapat juga terlihat
kemerahan.
Otitis Eksterna Kronis saluran telinga terlihat menebal, berwarna
merah dan terasa gatal.
g. Lakukan inspeksi membran timpani, perhatikan warna dan konturnya. Cone of
light (pantulan cahaya berbentuk kerucut pada membran timpani yang terlihat
ketika membran tersebut disinari) biasanya mudah terlihat dan dapat membantu
mengenali arah.
Membran timpani yang merah menonjol ditemukan pada otitis media
purulen akut
Membran timpani yang berwarna kuning terdapat pada efusi serosa
h. Kenali bagian tangkai malesu dengan memperhatikan posisinya, dan inspeksi
proc. Brevis os maleus
Proc. Brevis yang menonjol secara abnormal dan tangkai maleus yang
menonjol serta terlihat lebih horizontal menunjukkan retraksi
membran timpani
i. Gerakkan spekulum dengan hati-hati supaya dapat melihat membrab timpani
seluas-luasnya, termasuk pars flasida yang berada di sebelah atas (superior) dan
margo pars tensa cari setiap perforasi yang mungkin terdapat.
j. Margo anterior dan inferior membran timpani dapat tertutup oleh dinding saluran
teling yang melengkung
k. Mobilitas membran timpani dapat dievaluasi dengan otoskop pneumatik.
Penurunan mobilitas membran timpani dapat terjadi pada efusi serosa,
penebalan membran timpani atau otitis media purulen
4. Mengidentifikasi membran timpani (warna & kontur, cone of light, perforasi)
Membran Timpani normal berwarna kelabu kemerahan, tangkai tulang maleus
terletak pada posisi yang agak miring dibelakang pars superior membran tersebut.
Prosesus brevis os maleus mendorong membran timpani ke lateral sehingga terbentuk
tonjolan kecil berwarna putih. Di atas prosesus brevis terdapat bagian kecil membran
timpani yang disebut dengan pars flasida. Bagian membran timpani lainnya adalah
pars tensa. Plika anterior dan posterior maleolus yang berjalan miring ke arah atas dari
prosesus brevis memisahkan pars flasida dan pars tensa, tetapi lipatan ini sering tidak
terlihat kecuali jika membran timpani mengalami retraksi. Dari umbo akan terlihat
berkas cahaya terang berbentuk kerucut (cone of light) yang memancar ke anterior
dan bawah. Pantulan cahaya lainnya yang terlihat pada foto ini merupakan artefak.
Disebelah posterior maleus terlihat bagian dari inkus yang tampak dibelakang
membran timpani. Pembuluh darah kecil yang berjalan di sepanjang tangkai maleus
berada dalam batas normal dan tidak menunjukkan inflamasi. Saluran telinga (canalis
auditorius) yang melingkari membran timpani terlihat lebih rata daripada keadaan
sebenarnya karena adanya keadaan distorsi yang terdapat dalam teknik fotografi.
5. Mengidentifikasi adanya nyeri ketok mastoid
Adakah abses atau fistel di belakang telinga. Mastoid diperkusi untuk menentukan
nyeri ketok.
DD : Mastoiditis
Gejala : Nyeri dan nyeri tekan di belakang telinga.Bengkak pada mastoid.
Gejala dari keluhan penyakit didapatkan keluarnya cairan dari dalam telinga yang
selama lebih dari tiga minggu, hal ini menandakan bahwa pada infeksi telinga tengah
sudah melibatkan organ mastoid. Gejala demam biasanya hilang dan timbul, hal ini
disebabkan infeksi telinga tengah sebelumnya dan pemberian antibiotik pada awal-
awal perjalanan penyakit. Jika demam tetap dirasakan setelah pemberian antibiotik
maka kecurigaan pada infeksi mastoid lebih besar. Rasa nyeri biasanya dirasakan
dibagian belakang telinga dan dirasakan lebih parah pada malam hari, tetapi hal ini
sulit didapatkan pada pasien-pasien yang masih bayi dan belum dapat berkomunikasi.
Hilangnya pendengaran dapat timbul atau tidak bergantung pada besarnya kompleks
mastoid akibat infeksi.
6. Tes RinneTujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran tulang
dengan hantaran udara pada satu telinga pasien.
Ada 2 macam tes rinne , yaitu :
A. Garputal 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya
tegak lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus
eksternus). Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita
pindahkan didepan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika
pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien
tidak dapat mendengarnya
B. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya
secara tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garputala
didepan meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah
bunyi garputala didepan meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada
dibelakang meatus skustikus eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika
pasien mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya
tes rinne negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus eksternus
lebih lemah atau lebih keras dibelakang.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne :
1) Normal : tes rinne positif
2) Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat didengar melalui tulang lebih
lama)
3) Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :
a) Bila pada posisi II penderita masih mendengar bunyi getaran garpu tala.
b) Jika posisi II penderita ragu-ragu mendengar atau tidak (tes rinne: +/-)
c) Pseudo negatif: terjadi pada penderita telinga kanan tuli persepsi pada
posisi I yang mendengar justru telinga kiri yang normal sehingga mula-
mula timbul.
Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat terjadi baik berasal dari pemeriksa
maupun pasien. Kesalah dari pemeriksa misalnya meletakkan garputala tidak tegak lurus,
tangkai garputala mengenai rambut pasien dan kaki garputala mengenai aurikulum pasien.
Juga bisa karena jaringan lemak planum mastoid pasien tebal.
Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak
mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan garputala di planum mastoid pasien.
Akibatnya getaran kedua kaki garputala sudah berhenti saat kita memindahkan garputala
kedepan meatus akustukus eksternus.
7. Tes Schwabach
• Prinsip : Membandingkan hantaran tulang yang diperiksa dengan pemeriksa,
dimana pemeriksa harus normal
• Garpu tala digetarkan, kemudian tangkai garpu tala diletakkan pada processus
mastoid pemeriksa, bila telah tidak terdengar diletakkan pada penderita atau
sebaliknya. (dianggap pemeriksa normal). Apabila penderita masih mendengar
meskipun pemeriksa sudah tidak mendengar berarti Schwabach memanjang. Apabila
pemeriksa masih mendengar meskipun tidak lagi terdengar oleh penderita berarti
Schawach memendek.
• Interprestasi :
- Schwabach memanjang gangguan konduksi
- Schwabach memendek gangguan sensorineural
- Schwabach sama Normal
8. Tes Weber
Tujuan : untuk pemeriksaan ketajaman pendengaran.
Bunyi / suara yang dapat didengar oleh telinga normal berfrekuensi antara 8-6 sampai
kira-kira 32.000 Hz
Alat : Garpu tala 256 Hz dan 512 Hz
Prosedur pemeriksaan :
1. Garpu tala yang dibunyikan diletakkan pada dahi penderita, vertex tepat di
pertengahan
2. Penderita diminta mendengarkan bunyinya dan menentukan pada telinga mana
bunyi lebih keras terdengar
Hasil pemeriksaan :
• Normal : kerasnya bunyi terdengar sama pada telinga kanan dan
kiri
• Tuli konduksi : terjadi lateralisasi ke telinga yang tuli / bunyi lebih keras
terdengar pada telinga yang tuli
• Tuli perseptif : terjadi lateralisasi ke telinga sehat / bunyi lebih keras
terdengar pada telinga yang sehat
9. Tes Bisik
Merupakan tes semi kuantitatif. Dengan nilai normal tes bisik : 5/6 – 6/6
3 syarat utama melakukan tes bisik :
1. Syarat tempat
3 syarat tempat untuk melakukan tes bisk :
a. Ruangan sunyi
b. Tidak terjadi echo/gema. Caranya dinding tidak rata, terbuat dari soft board,
atau tertutup kaun gorden
c. Jarak minima 6 meter
2. Syarat penderita
4 syarat penderita saat melakukan tes bisik :
a. Kedua mata penderita kita tertutup agar ia tidak bisa melihat gerakan bibir
pemeriksa
b. Telinga pasien yang diperiksa, kita hadapkan kea rah pemeriksa
c. Telinga pasien yang tidak kita periksa, kita tutup (masking).
Caranya dengan tragus telinga tersebut kita tekan ke arah meatus akustikus
eksternus atau kita menyumbatnya dengan kapas yang telah dibasahi dengan
glicerin
d. Penderita mengulangi dengan keras dan jelas setiap kata yang kita ucapkan.
3. Syarat pemeriksa
2 syarat pemeriksa saat melakukan tes bisik :
a. Pemeriksan membisikka kata menggunakan cadangan udara paru-paru setelah
fase ekspirasi
b. Pemeriksa membisikkan satu atau dua suku kata yang telah dikenal penderita.
Biasanya kita menyebutkan nama-nama benda yang ada di sekitar kita.
Teknik pemeriksaan pada tes bisik, yaitu :
Penderita dan pemeriksa sama-sama berdiri. Hanya pemeriksa yang boleh berpindah
tempat. Pertama-tama pemeriksa membisikkan kata pada jarak 1 meter dari penderita.
Pemeriksa lalu mundur pada jarak 2 meter dari penderita bilamana penderita mampu
mendengar semua kata yang kita bisikkan. Demikian seterusnya sampai penderita hanya
mendengar 80% dari semua kata yang kita bisikkan kepadanya. Jumlah kata yang kita
bisikkan biasanya 5 atau 10. Jadi tajam pendengaran penderita kita ukur dari jarak antara
pemeriksa dengan penderita dimana penderita masih mampu mendengar 80% dari semua
kata yang kita ucapkan (4 dari 5 kata).
Kita dapat lebih memastikan tajam pendengaran penderita dengan cara mengulangi
pemeriksaan. Misalnya tajam pendengaran penderita 4 meter. Kita maju pada jarak 3
meter dari pasien lalu membisikkan 5 kata dan penderita mampu mendengar semuanya.
Kita kemudian mundur pada jarak 4 meter dari penderita lalu membisikkan 5 kata dan
penderita masih mampu mendengar 4 kata (80%). Pada orang normal dapat mendengar
80% dari kata-kata yang dibisikkan pada jarak 6 s/d 10 meter.
Apabila kurang dari 5 - 6 meter berarti ada kekurang pendengaran. Apabila penderita tak
dapat mendengarkan katakata dengan huruf lunak, berarti tuli konduksi. Sebaliknya bila
tak dapat mendengar kata-kata dengan huruf desis berarti tuli
persepsi. Apabila dengan suara bisik sudah tidak dapat mendengar dites dengan suara
konversasi atau percakapan biasa. Orang normal dapat mendengar suara konversasi pada
jarak 200 meter.
TES BISIK MODIFIKASI
Tes bisik modifikasi merupakan hasil perubahan tertentu dari tes bisik. Tes bisik
modifikasi kita gunakan sebagai skrining pendengaran dari kelompok orang
berpendengaran normal dengan kelompok orang berpendengaran abnormal dari sejumlah
besar populasi. Misalnya tes kesehatan pada penerimaan CPNS.
Cara kita melakukan tes bisik modifikasi, yaitu :
Kita melakukannya dalam ruangan kedap suara. Kita membisikkan 10 kata dengan
intensitas suara lebih kecil dari tes bisik konvensional karena jaraknya juga lebi dekat dari
jarak pada tes bisik konvensional. Cara kita memperlebar jarak dengan penderita yaitu
dengan menolehkan kepala kita atau kita berada dibelakang penderita sambil melakukan
masking (menutup telinga penderita yang tidak kita periksa dengan menekan tragus
penderita ke arah meatus akustikus eksternus).Pendengaran penderita normal bilamana
penderita masih bisa mendengar 80% dari semua kata yang kita bisikkan.