skizofrenia residual
DESCRIPTION
lapsusskizofrenia residualkoasskejiwaanTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan-gangguan psikis yang sekarang dikenal sebagai skizofrenia,
untuk pertama kalinya diidentifikasi sebagai “demence precoce” atau gangguan
mental dini oleh Benedict Muler (1809-1873), seorang dokter kebangsaan Belgia
pada tahun 1890. Konsep yang lebih jelas dan sistematis diberikan oleh Emil
Kraepelin (1856-1926), seorang psikiatri jerman pada tahun 1893. Kraepelin
menyebutnya dengan istilah “dimentia praecox”. Menurut Kraepeli, dimentia
praecox merupakan proses penyakit yang disebabkan oleh penyakit tertentu dalam
tubuh. Dimentia praecox meliputi hilangnya kesatuan dalam pikiran, perasaan,
dan tingkah laku. Penyakit ini muncul pada usia muda dan ditandai oleh
kemampuan-kemampuan yang menurun yang akhirnya menjadi disintegrasi
kepribadian yang kompleks. Gambaran Kraepelin tentang dimentia paecox ini
meliputi pola-pola tingkah laku seperti delusi, halusinasi, dan tingkah laku yang
aneh.
Tidak seperti Kraepelin, Eugen Bleuler (1857-1939) tidak menekankan
prognosis yang buruk dalam mendiagnosis skizofrenia. Hal itu juga menjadi lebih
terbukti sejak Kraepelin memperkenalkan konsep dementia praecox bahwa
kelainan tidak selalu dimulai pada masa remaja atau awal dewasa. Dengan
demikian, Bleuler menyarankan bahwa nama penyakit akan berubah menjadi
"skizofrenia" karena karakteristiknya berupa disintegrasi dari berbagai fungsi
mental. Ia membagi skizofrenia menjadi empat subtipe: paranoid, katatonik, jenis
hebefrenik dan sederhana (simple).
Kurt Schneider (1887-1967) mengarah pada identifikasi tanda-tanda dan
gejala yang akan sangat membedakan skizofrenia dengan penyakit lainnya. Gejala
ia pilih sebagai ciri skizofrenia itu sangat berbeda dari gejala fundamental Bleuler.
Dia mengidentifikasi kelompok delusi dan halusinasi yang dia yakini sebagai
patognomonik untuk skizofrenia dan gejala ini disebut "gejala tingkat pertama".
Gejala lain yang sering terjadi di skizofrenia tetapi tidak patognomonik disebut
1
2
"gejala peringkat kedua". Konsep diagnostik skizofrenia dari Schneider memiliki
pengaruh besar di hampir semua sistem diagnostik yang berikutnya berkembang.
Skizofrenia residual adalah salah tipe dari skizofrenia. Namun saat
Kraepelin dan Bleuler merumuskan skizofrenia, tipe residual ini belum ada
dipaparkan. Tipe skizofrenia residual ini baru diperkenalkan pada International
Classification of Diseases. International Classification of Diseases (ICD) adalah
sistem klasifikasi suatu penyakit yang dikembangkan oleh WHO untuk
mempromosikan perbandingan statistik pelayanan kesehatan secara internasional.
Revisi kedelapan dari International Classification of Diseases (ICD-8),
diluncurkan pada tahun 1967, menempatkan pendapat Schneiderian mengenai
gejala tingkat pertama didalam deskripsi gejala skizofrenia. Pada ICD-8 ini
dipaparkan tujuh subtipe skizofrenia. Tipe sederhana dicirikan oleh keanehan
perilaku, kesulitan dalam hubungan sosial, dan penurunan kinerja secara
keseluruhan tetapi tanpa gejala skizofrenia yang menonjol. Gejala khas dari jenis
hebefrenik adalah afek yang inappropriate, perilaku katatonik, dan gangguan pikir
yang menonjol. Jenis yang katatonik ditandai oleh gejala katatonik, dan tipe
paranoid menonjolnya gejala delusi dan halusinasi. Dalam episode skizofrenia
akut, timbulnya gejala skizofrenia secara akut, dan dream-like state dengan sedikit
pengaburan kesadaran dan bingung sering muncul. Jenis laten ini ditandai dengan
munculnya gejala skizofrenia yang tidak nyata, tetapi cukup parah untuk
meningkatkan kecurigaan yang kuat skizofrenia. Tipe residual diperuntukkan bagi
keadaan-keadaan residual yang kronis dan pudarnya sebagian gejala skizofrenia
terjadi. Selain itu, "tipe lain" dan "tipe tak tergolongkan" diperuntukkan bagi
pasien yang tidak cocok dengan subtipe lain.1
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Skizofrenia adalah gangguan mental atau kelompok gangguan yang
ditandai oleh kekacauan dalam bentuk dan isi pikiran (contohnya delusi atau
halusinasi), dalam mood (contohnya afek yang tidak sesuai), dalam perasaan
dirinya dan hubungannya dengan dunia luar serta dalam hal tingkah laku.
Sedangkan skizofrenia residual adalah keadaan yang muncul pada individu
dengan gejala skizofrenia yang, setelah episode skizofrenia psikotik, tidak
lagi psikotik.2
Menurut DSM-IV, adapun klasifikasi untuk skizofenia ada 5 yakni
subtipe paranoid, terdisorganisasi (hebefrenik), katatonik, tidak tergolongkan
dan residual. Untuk istilah skizofrenia simpleks dalam DSM-IV adalah
gangguan deterioratif sederhana.3 Sedangkan menurut Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia yang ke-
III skizofrenia dibagi ke dalam 6 subtipe yaitu katatonik, paranoid,
hebefrenik, tak terinci (undifferentiated), simpleks, residual dan depresi pasca
skizofrenia. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai skizofrenia residual.4
2.2 Epidemiologi
Penelitian insiden pada gangguan yang relatif jarang terjadi, seperti
skizofrenia, sulit dilakukan. Survei telah dilakukan di berbagai negara, namun
dan hampir semua hasil menunjukkan tingkat insiden per tahun skizofrenia
pada orang dewasa dalam rentang yang sempit berkisar antara 0,1 dan 0,4 per
1000 penduduk. Ini merupakan temuan utama dari penelitian di 10 negara
yang dilakukan oleh WHO. Untuk prevalensi atau insiden skizofrenia di
Indonesia belum ditentukan sampai sekarang, begitu juga untuk tiap-tiap
subtipe skizofrenia.5
4
Prevalensinya antara laki-laki dan perempuan sama, namun
menunjukkan perbedaan dalam onset dan perjalanan penyakit. Laki-laki
mempunyai onset yang lebih awal daripada perempuan. Usia puncak onset
untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun, sedangkan perempuan 25 sampai
35 tahun. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa laki-laki adalah lebih
mungkin daripada wanita untuk terganggu oleh gejala negatif dan wanita
lebih mungkin memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-laki. Pada
umumnya, hasil akhir untuk pasien skizofrenik wanita adalah lebih baik
daripada hasil akhir untuk pasien skizofrenia laki-laki. Skizofrenia tidak
terdistribusi rata secara geografis di seluruh dunia. Secara historis, prevalensi
skizofrenia di Timur Laut dan Barat Amerika Serikat adalah lebih tinggi dari
daerah lainnya.3
2.3 Etiologi
Penyebab skizofrenia sampai sekarang belum diketahui secara pasti.
Namun berbagai teori telah berkembang seperti model diastesis-stres dan
hipotesis dopamin. Model diastesis stres merupakan satu model yang
mengintegrasikan faktor biologis, psikososial dan lingkungan. Model ini
mendalilkan bahwa seseorang yang mungkin memiliki suatu kerentanan
spesifik (diastesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang
menimbulkan stres, memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia.
Komponen lingkungan dapat biologis (seperti infeksi) atau psikologis (seperti
situasi keluarga yang penuh ketegangan).
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh
terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Teori tersebut muncul dari dua
pengamatan. Pertama, kecuali untuk klozapin, khasiat dan potensi
antipsikotik berhubungan dengan kemampuannya untuk bertindak sebagai
antagonis reseptor dopaminergik tipe 2. Kedua, obat-obatan yang
meningkatkan aktivitas dopaminergik (seperti amfetamin) merupakan salah
satu psikotomimetik. Namun belum jelas apakah hiperaktivitas dopamin ini
karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin atau terlalu banyaknya reseptor
5
dopamin atau kombinasi kedua mekanisme tersebut. Namun ada dua masalah
mengenai hipotesa ini, dimana hiperaktivitas dopamin adalah tidak khas
untuk skizofrenia karena antagonis dopamin efektif dalam mengobati hampir
semua pasien psikotik dan pasien teragitasi berat. Kedua, beberapa data
elektrofisiologis menyatakan bahwa neuron dopaminergik mungkin
meningkatkan kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan
jangka panjang dengan obat antipsikotik. Data tersebut menyatakan bahwa
abnormalitas awal pada pasien skizofrenia mungkin melibatkan keadaan
hipodopaminergik.3
Skizofrenia berdasarkan teori dopamin terdiri dari empat jalur dopamin
yaitu:
a. Mesolimbik dopamin pathways: merupakan hipotesis terjadinya
gejala positif pada penderita skizofrenia. Mesolimbik dopamin pathways
memproyeksikan badan sel dopaminergik ke bagian ventral tegmentum
area (VTA) di batang otak kemudian ke nukleus akumbens di daerah
limbik. Jalur ini berperan penting pada emosional, perilaku khususnya
halusinasi pendengaran, waham dan gangguan pikiran. Antipsikotik
bekerja melalui blokade reseptor dopamin ksususnya reseptor dopamine
D2. Hipotesis hiperaktif mesolimbik dopamin pathways menyebabkan
gejala positif meningkat.
b. Mesokortikal dopamin pathways: jalur ini dimulai dari daerah
VTA ke daerah serebral korteks khususnya korteks limbik. Peranan
mesokortikal dopamin pathways adalah sebagai mediasi dari gejala negatif
dan kognitif pada penderita skizofrenia. Gejala negatif dan kognitif
disebabkan terjadinya penurunan dopamin di jalur mesokortikal terutama
pada daerah dorsolateral prefrontal korteks. Penurunan dopamin di
mesokortikal dopamin pathways dapat terjadi secara primer dan sekunder.
Penurunan sekunder terjadi melalui inhibisi dopamin yang berlebihan pada
jalur ini atau melalui blokade antipsikotik terhadap reseptor D2.
Peningkatan dopamin pada mesokortikal dapat memperbaiki gejala negatif
atau mungkin gejala kognitif.
6
c. Nigostriatal dopamin pathways: berjalan dari daerah substansia
nigra pada batang otak ke daerah basal ganglia atau striatum. Jalur ini
merupakan bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal. Penurunan dopamin
di nigostriatal dopamin pathways dapat menyebabkan gangguan
pergerakan seperti yang ditemukan pada penyakit parkinson yaitu rigiditas,
bradikinesia dan tremor. Namun hiperaktif atau peningkatan dopamin di
jalur ini yang mendasari terjadinya gangguan pergerakan hiperkinetik
seperti korea, diskinesia atau tic.
d. Tuberoinfundibular dopamin pathways: jalur ini dimulai dari
daerah hipotalamus ke hipofisis anterior. Dalam keadaan normal
tuberoinfundibular dopamin pathways mempengaruhi oleh inhibisi dan
pelepasan aktif prolaktin, dimana dopamin berfungsi melepaskan inhibitor
pelepasan prolaktin. Sehingga jika ada gangguan dari jalur ini akibat lesi
atau penggunaan obat antipsikotik, maka akan terjadi peningkatan
prolaktin yang dilepas sehingga menimbulkan galaktorea, amenorea atau
disfungsi seksual.4
Selain dopamin, neurotransmiter lainnya juga tidak ketinggalan diteliti
mengenai hubungannya dengan skizofrenia. Serotonin contohnya, karena obat
antipsikotik atipikal mempunyai aktivitas dengan serotonin. Selain itu,
beberapa peneliti melaporkan pemberian antipsikotik jangka panjang
menurunkan aktivitas noradrenergik.3
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
skizofrenia, antara lain :
a. Faktor Genetik
Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-
keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka
kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%;
bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%;
bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur
7
(heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut
quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin
disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda
di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi
tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari
ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia
semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang
memiliki penyakit ini.
b. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak
yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan
neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan
bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang
berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang
abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas
dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa
neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga
memainkan peranan.
c. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin
lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan
orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam
keluarga.
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam
keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah
schizophregenic mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan
tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang
diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya.
Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005),
keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam
pembentukan kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk
8
anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya
orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak
memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya.
2.4 Gejala dan Diagnosa
Gejala dari skizofrenia residual berupa gejala “negative” dari
skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas
menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif,
kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal
yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan
posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk.5 Gejala waham
dan halusinasi dapat muncul tapi tidak menonjol.3
Gejala positif :
a. Halusinasi (auditorik; mendengar suara-suara yang mengomentari atau
bercakap-cakap tentang dirinya, visial, olfaktori, gustatorik dan taktil)
b. Waham (biasa dalam bentuk waham kejar, cemburu, bersalah, kebesaran,
keagamaan, somatic, waham dikendalikan, siar pikiran, penarikan pikiran,
waham menyangkut diri sendiri)
c. Perilaku aneh (dalam berpakaian, perilaku social, seksual, agresif,
perilaku berulang)
d. Gangguan proses pikiran (inkoherensi, tangensialitas, bicara kacau)
Gejala negatif :
a. Afek yang tumpul atau datar (ekspresi wajah tidak berubah, penurunan
spontanitas gerak, hilangnya gerakan ekspresif, kontak mata yang buruk,
afek yang tidak sesuai, tidak adanya modulasi bicara)
b. Alogia (kemiskinan bicara, kemiskinan isi bicara, penghambatan dan
peningkatan latensi respon)
c. Tidak ada kemauan, apatis
d. Anhedonia (tidak suka berhubungan sosial, tidak suka dalam hubungan
pertemanan)
9
e. Atensi impairmen (pecahnya perhatian)
Terlebih dahulu akan dibahas mengenai penegakan diagnosa
skizofrenia. Adapun menurut DSM-IV sebagai berikut:
a. Gejala Karakteristik: dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan
untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang
jika diobati dengan berhasil):
1) Waham
2) Halusinasi
3) Bicara terdisorganisasi (misalnya sering menyimpang atau
inkoherensi)
4) Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas
5) Gejala negatif yaitu pendataran afektif, alogia, atau tidak ada
kemauan (avolition)
Catatan: hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham
adalah kacau atau halusinasi terdiri dari suara yang terus-menerus
mengomentari perilaku atau pikiran pasien atau dua lebih suara yang
saling bercakap-cakap satu sama lainnya.
b. Disfungsi sosial/pekerjaan: untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset
gangguan, satu atau lebih fungsi utama seperti pekerjaan, hubungan
interpersonal, atau perawatan diri, adalah jelasdi bawah tingkat yang
dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja,
kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik,
atau pekerjaan yang diharapkan).
c. Durasi: tanda gangguan terus-menerus menetap selama sekurangnya 6
bulan. Pada 6 bulan tersebut, harus termasuk 1 bulan fase aktif (yang
memperlihatkan gejala kriteria A) dan mungkin termasuk gejala prodormal
atau residual.
d. Penyingkiran gangguan skizoafektif atau gangguan mood: gangguan
skizoafektif atau gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan
karena:
10
1) Tidak ada episode depresif berat, manik atau campuran yang telah
terjadi bersama-sama gejala fase aktif.
2) Jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi
totalnya relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.
e. Penyingkiran zat/kondisi medis umum
f. Hubungan dengan gangguan
Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa (PPDGJ) di Indonesia yang ke-III sebagai berikut: harus ada sedikitnya
satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila
gejala-gejala itu kurang jelas):
a. ‘thought eco’ = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan walaupun isinya
sama tapi kualitasnya berbeda, ‘thought insertion or withdrawal’ = isi
pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi
pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal), dan
‘thought broadcasting’ = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya.
b. ‘delusion of control’ = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar, ‘delusion of influence’ = waham tentang
dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar, ‘delusion of
passivity’ = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
suatu kekuatan dari luar; (tentang ‘dirinya’ secara jelas merujuk ke
pergerakan tubuh/anggota gerak atau pikiran, tindakan atau penginderaan
khusus), dan ‘delusion perception’ = pengalaman inderawi yang tak wajar,
yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat.
c. Halusinasi auditorik: suara halusinasi yang berkomentar secara terus-
menerus terhadap perilaku pasien atau mendiskusikan perihal pasien
diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara) atau jenis
suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh pasien.
11
d. Waham-waham menetap lainnya yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama
atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa.
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas ataupun disertai oleh ide-ide yang berlebihan
yang menetap atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu
atau berbulan-bulan terus menerus.
b. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraannya tidak relevan atau neologisme.
c. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu
(porturing), fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor.
d. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama
kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase
nonpsikotik prodormal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan
bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi,
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat
sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri, dan penarikan diri secara sosial.5
Diagnosa skizofrenia residual digunakan pada pasien yang telah
sembuh dari gejala yang menonjol seperti delusi, halusinasi atau perilaku
yang terdisorganisasi tapi masih memperlihatkan bukti yang ringan akan
adanya proses berjalannya penyakit seperti afek datar atau kurangnya
12
komunikasi. Adapun cara penegakan diagnosa menurut DSM-IV sebagai
berikut:
a. Tidak adanya waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, dan perilaku
katatonik terdisorganisasi atau katatonik yang menonjol.
b. Terdapat terus bukti-bukti gangguan seperti yang ditunjukkan oleh adanya
gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang tertulis dalam kriteria A
untuk skizofrenia, ditemukan dalam bentuk yang lebih lemah (misalnya
keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim).3
Selain itu, PPDGJ-III memberikan pedoman diagnostik untuk
skizofrenia residual yakni harus memenuhi semua kriteria dibawah ini untuk
suatu diagnosis yang meyakinkan:
a. Gejala ‘negatif’ dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak
mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial
yang buruk.
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau
yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia.
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas
dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia.
d. Tidak terdapat demensia atau penyakit gangguan otak organik lain, depresi
kronis, atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif
tersebut.5
2.5 Diagnosa Banding
Depresi pasca skizofrenia merupakan salah satu diagnosa banding dari
skizofrenia residual. Keduanya mempunyai kesamaan yakni gejala
skizofrenia yang masih ada tapi tidak lagi mendominasi atau menonjol.
13
Namun terdapat perbedaan yang jelas diantara keduanya. Penegakan diagnosa
depresi pasca skizofrenia tentu saja pasien harus memenuhi gejala depresi
selama 2 minggu. Adapun gejala utama depresi yakni mood yang depresif,
kehilangan minat dan kegembiraan, atau berkurangnya energi yang menuju
meningkatnya keadaan mudah lelah dan penurunan aktivitas. Selain itu gejala
lainnya dari depresi adalah konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri
dan kepercayaan diri berkurang, adanya ide bunuh diri, pandangan masa
depan yang suram dan pesimis, tidur terganggu, nafsu makan berkurang,
gagasan tentang rasa bersalah atau tidak berguna. Selain itu, pasien telah
menderita skizofrenia selama 12 bulan terakhir sedangkan pada skizofrenia
residual, gejala negatif timbul dan penurunan yang nyata dari gejala waham
dan halusinasi sedikitnya sudah melampaui kurun waktu 1 tahun.5
2.6 Pengobatan
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk masing-masing subtipe
skizofrenia. Pengobatan hanya dibedakan berdasarkan gejala apa yang
menonjol pada pasien. Pada skizofrenia residual, gejala “negative” lebih
menonjol, maka adapun pengobatan yang disarankan kepada pasien obat-obat
antipsikotik golongan atipikal yang dapat meningkatkan dopamin di
mesokortikal.4 Memang obat tertentu (terutama obat antipsikotik baru) telah
dinyatakan efektif secara spesifik terhadap gejala “negative” pada gangguan
psikotik, tetapi bukti yang mendukung pendapat ini masih tidak konsisten.7
Risperidon adalah suatu obat antipsikotik dengan aktivitas antagonis
yang bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) dan pada reseptor
dopamin tipe 2 serta antihistamin (H1). Menurut data penelitian, obat ini
efektif mengobati gejala positif maupun negatif.3 Risperidon senyawa
antidopaminergik yang jauh lebih kuat, berbeda dengan klozapin, sehingga
dapat menginduksi gejala ekstrapiramidal juga hiperprolaktinemia yang
menonjol. Meskipun demikian, risperidon dianggap senyawa antipsikotik
atipikal secara kuantitatif karena efek samping neurologis ekstrapiramidalnya
kecil pada dosis harian yang rendah.7
14
Klozapin termasuk obat antipsikotik atipikal yang juga mempunyai
aktivitas antagonis yang bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) dan
antagonis lemah pada reseptor dopamin tipe 2 juga bersifat antihistamin (H1).
Efek samping berupa gejala ekstrapiramidal sangat minimal, namun
mempunyai sifat antagonis beta-1 adrenergik yang bisa menimbulkan
hipotensi ortostatik dan sedatif.6 Selain itu, dilaporkan terjadinya
agranulositosis dengan insiden 1-2% ditambah harganya yang mahal.
Klozapin adalah obat lini kedua yang jelas bagi pasien yang tidak berespon
terhadap obat lain yang sekarang ini tersedia.
Selain terapi obat-obatan, juga bisa diterapkan terapi psikososial yang
terdiri dari terapi perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok,
psikoterapi individual. Terapi perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan
latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial,
kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi
interpersonal. Perilaku adaptif didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat
ditebus untuk hal-hal yang diharapkan sehingga frekuensi maladaptif atau
menyimpang dapat diturunkan. Terapi berorientasi keluarga cukup berguna
dalam pengobatan skizofrenia. Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan
harus termasuk mengidentifikasi dan menghindari situasi yang kemungkinan
menimbulkan kesulitan. Setelah pemulangan, topik penting yang dibahas di
dalam terapi keluarga adalah proses pemulihan khususnya la ma dan
kecepatannya. Selanjutnya diarahkan kepada berbagai macam penerapan
strategi menurunkan stresdan mengatasi masalah dan pelibatan kembali
pasien ke dalam aktivitas. Terapi kelompok biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Terapi kelompok
efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan dan
meningkatkan tes realitas bagi pasien dengan skizofrenia. Psikoterapi
individual membantu menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep
penting didalam psikoterapi adalah perkembangan hubungan terapeutik yang
dialami psien adalah aman. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat
dipercayanya ahli terapi, jarak emosional antara ahli terapi dan pasien, dan
15
keikhlasan ahli terapi seperti yang diinterpretasikan oleh pasien. Ahli
psikoterapi sering kali memberikan interpretasi yang terlalu cepat terhadap
pasien skizofrenia. psikoterapi untuk seorang pasien skizofrenia harus
dimengerti dalam hitungan dekade, bukannya sesi, bulanan, atau bahkan
tahunan. Di dalam konteks hubungan profesional, fleksibilitas adalah penting
dalam menegakkan hubungan kerja dengan pasien. Ahli terapi mungkin akan
makan bersama, atau mengingat ulang tahun pasien. Tujuan utama adalah
untuk menyampaikan gagasan bahwa ahli terapi dapat dipercaya, ingin
memahami pasien dan akan coba melakukannya dan memiliki kepercayaan
tentang kemampuan pasien sebagai manusia. Mandred Bleuler menyatakan
bahwa sikap terapeutik terhadap pasien adalah dengan menerima mereka
bukannya mengamati mereka sebagai orang yang tidak dapat dipahami dan
berbeda dari ahli terapi.3
2.7 Prognosis
Prognosis tidak berhubungan dengan tipe apa yang dialami seseorang.
Perbedaan prognosis paling baik dilakukan dengan melihat pada prediktor
prognosis spesifik di tabel berikut ini:
Prognosis Baik Prognosis Buruk
Onset lambat
Faktor pencetus yang jelas
Onset akut
Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan
pramorbid yang baik
Gejala gangguan mood (terutama
gangguan depresif)
Gejala positif
Riwayat keluarga gangguan mood
Sistem pendukung yang baik
Onset muda
Tidak ada faktor pencetus
Onset tidak jelas
Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan
pramorbid yang buruk
Perilaku menarik diri, autistik
Gejala negatif
Riwayat keluarga skizofrenia
Sistem pendukung yang buruk
Riwayat trauma prenatal
Tidak ada remisi dalam 3 tahun
16
Banyak relaps
Riwayat penyerangan
Walaupun skizofrenia bukanlah penyakit yang fatal, namun rata-rata
kematian orang yang menderita skizofrenia dua kali lebih tinggi dibandingkan
dengan populasi umum. Tingginya angka kematian berkaitan dengan kondisi
buruk di institusi perawatan yang berkepanjangan yang menyebabkan
tingginya angka Tuberkulosis dan penyakit menular lainnya. Namun,
penelitian baru-baru ini pada orang-orang skizofrenia yang hidup dalam
masyarakat, menunjukkan bunuh diri dan kecelakaan lain sebagai penyebab
utama kematian di negara berkembang maupun negara-negara maju. Bunuh
diri, khususnya, telah muncul sebagai masalah yang mekhawatirkan, karena
risiko bunuh diri pada orang dengan gangguan skizofrenia selama hidupnya
telah diperkirakan di atas 10%, sekitar 12 kali lebih tinggi dari populasi
umum. Sepertinya ada sebuah peningkatan mortalitas untuk gangguan
kardiovaskular juga, mungkin terkait dengan gaya hidup yang tidak sehat,
pembatasan akses perawatan kesehatan atau efek samping obat antipsikotik.6
BAB III
17
KESIMPULAN
Skizofrenia residual adalah salah satu tipe skizofrenia dimana masih
ditemuinya bukti adanya gangguan skizofrenia, tanpa adanya kumpulan lengkap
gejala aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Gejala
dari skizofrenia residual berupa gejala ‘negatif’ dari skizofrenia yang menonjol,
misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul,
sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi
pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka,
kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial
yang buruk. Jika waham atau halusinasi ditemukan, maka hal itu tidak lagi
menonjol.
Untuk menentukan diagnosis dari skizofrenia residual, PPDGJ III dapat
digunakan sebagai pedoman. Menurut PPDGJ III pedoman diagnostik untuk
Skizofrenia Residual (F20.5) adalah persyaratan berikut harus dipenuhi semua:
a. Gejala “negatif” dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan
psikomotor, aktivitas menurun, afek yang tumpul, sip pasif dan ketidaan
inisiatif, kemiskinan dalam kualitas atau isi pembicaraan, komunikasi non
verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara,
dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk.
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia.
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” dari skizofrenia
d. Tidak terdapat dimentia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi
kronik atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif
tersebut.
Pada skizofrenia residual terdapat adanya gangguan persepsi, isi pikiran,
perilaku dan adanya hendaya dalam bidang sosial sehingga pasien
membutuhkan farmakoterapi, psikoterapii, dan sosioterapi.
18
DAFTAR PUSTAKA
19
1. Suvisaari, Jana. Incidence and Risk Factors of Schizophrenia in
Finland. University of Helsinki, Faculty of Medicine, Department of Public
Health. 1999. Available from:
http://ethesis.helsinki.fi/julkaisut/laa/kansa/vk/suvisaari/introduction.html
2. Kumala, Poppy dkk. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25.
EGC. Jakarta:1998. 970
3. Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J., dan Grebb, Jack A.
Sinopsis Psikiatri, Jilid I. Binarupa Aksara. Tangerang: 2010. 699-702, 720-
727, 737-740
4. Syamsulhadi dan Lumbantobing. Skizofrenia. FK UI. Jakarta:
2007.26-34
5. Maslim, Rusdi.Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ- III. FK Unika Atmajaya. Jakarta:2001. 46, 50
6. Silva, J.A. Costa.Schizophrenia and Public Health. WHO. 1998. 6-
13. Available from: www.who.int/mental_health/media/en/55.pdf
7. Goodman dan Gilman. Dasar Farmakologi Terapi Vol.I. EGC.
Jakarta:2007.475,480 & 482