skrip si

Upload: devi-christina-damanik-papua-medical-school

Post on 14-Oct-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PAGE 1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahPembangunan di bidang kesehatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan kesejahteraan bangsa secara berkesinambungan, terus menerus dilakukan bangsa Indonesia untuk menggapai cita-cita luhur, yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, baik spiritual maupun material. GBHN 1999 mengamanatkan perlunya meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung melalui pendekatan paradigma sehat, dengan memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan , pemulihan, dan rehabilitasi (Aditama dan Hastuti, 2002).

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan politik. Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007 ).Kesepakatan global berupa Millenium Development Goals (MDGS) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa pada tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Untuk Indonesia, indikator yang digunakan adalah peresentase anak berusia di bawah 5 tahun (balita) yang mengalami gizi buruk (severe underweight) dan persentase anak-anak berusia 5 tahun (balita) yang mengalami gizi kurang (moderate underweight) (Ariani, 2007). Kurang gizi atau gizi buruk dinyatakan sebagai penyebab tewasnya 3,5 juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia. Mayoritas kasus fatal gizi buruk berada di 20 negara, yang merupakan negara target bantuan untuk masalah pangan dan nutrisi. Negara tersebut meliputi wilayah Afrika, Asia Selatan, Myanmar, Korea Utara, dan Indonesia. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan Inggris The Lanchet ini mengungkapkan, kebanyakan kasus fatal tersebut secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak mampu atau lambat untuk berobat, kekurangan vitamin A dan zinc selama ibu mengandung balita, serta menimpa anak pada usia dua tahun pertama. Angka kematian balita karena gizi buruk ini terhitung lebih dari sepertiga kasus kematian anak di seluruh dunia (Malik, 2008).Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Resiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek (Irwandy, 2007).Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita adalah 5,4%, dan Gizi Kurang pada Balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi (20%), maupun target Millenium Development Goals pada 2015 (18,5%) telah tercapai pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara,Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008).Di provinsi Sulawesi Tenggara jumlah kasus gizi buruk pada balita mengalami kenaikan dari tahun 2006 ke tahun 2007. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan provinsi Sulawesi Tenggara, jumlah kasus gizi buruk pada balita di Sulawesi Tenggara pada tahun 2006 yaitu terdapat 803 balita yang mengalami gizi buruk, dan pada tahun 2007 jumlah kasus gizi buruk pada balita meningkat menjadi 1.113 balita yang mengalami gizi burukPada daerah Kota Kendari dalam tiga tahun terakhir jumlah kasus gizi buruk pada balita mengalami perubahan yang berfluktuasi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan kota Kendari bagian UKM dan Gizi, jumlah kasus gizi buruk pada balita di kota Kendari pada tahun 2006 yaitu 107 kasus balita yang mengalami gizi buruk dan mengalami peningkatan menjadi 139 balita yang mengalami gizi buruk pada tahun 2007, serta terjadi penurunan pada tahun 2008 yaitu 108 balita yang mengalami gizi buruk.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan kota Kendari bagian UKM dan Gizi untuk tahun 2008 jumlah kasus gizi buruk pada balita yang tertinggi berada pada wilayah kerja Puskesmas Mata yaitu 23 balita yang mengalami gizi buruk. Sedangkan, pada wilayah kerja Puskesmas lainnya seperti di wilayah kerja Puskesmas Perumnas jumlah kasus gizi buruk pada balita yaitu 19 balita yang mengalami gizi buruk dan pada wilayah kerja Puskesmas Benu- benua terdapat 16 balita yang mengalami gizi buruk. Selain itu, pada wilayah kerja Puskesmas Mata berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan kota Kendari untuk tiga tahun terakhir jumlah kasus gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata terus mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2006, jumlah kasus gizi buruk pada balita yaitu 8 balita yang mengalami gizi buruk, kemudian meningkat pada tahun 2007 menjadi 22 balita yang mengalami gizi buruk dan terus meningkat pada tahun 2008 menjadi 23 balita yang mengalami gizi buruk.

Penyebab gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia sesuai hasil penelitian bermula dari krisis ekonomi, politik dan sosial menimbulkan dampak negatif seperti kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan rendah, kesempatan kerja kurang, pola makan, ketersediaan bahan pangan pada tingkat rumah tangga rendah, pola asuh anak yang tidak memadai, pendapatan keluarga yang rendah, sanitasi dan air bersih serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai (Unicef, 1999 dalam Khomsan, dkk (2004)).Berdasarkan data yang diperoleh dari profil Puskesmas Mata tahun 2007, pada wilayah kerja Puskesmas Mata yang terdiri dari 9 Kelurahan yang ada pada Kecamatan Kendari, penduduk yang tergolong penduduk miskin melebihi setengah dari keseluruhan jumlah penduduk pada wilayah kerja Puskesmas Mata yaitu berjumlah 14.258 penduduk miskin dari 22.310 penduduk yang ada pada wilayah kerja Puskesmas Mata. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya pengaruh tingkat pendapatan, yang tentunya akan berpengaruh pada pola makan balita dan pengetahuan ibu tentang gizi yang merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya kasus gizi buruk pada balita. Selain itu, pada wilayah kerja ini terdapat penyakit ISPA dan diare pada balita yang juga merupakan salah satu masalah penyakit infeksi yang terjadi pada wilayah kerja Puskesmas Mata. Berdasarkan uraian dan permasalahan yang ada dengan melihat faktor-faktor penyebab terjadinya kejadian gizi buruk dan masih adanya kasus gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata, maka menarik untuk dilakukan suatu penelitian analisis faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008.B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi masalah adalah seberapa besarkah faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008 ditinjau dari pola makan, tingkat pengetahuan gizi ibu, tingkat pendapatan, dan penyakit infeksi. C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan UmumUntuk mengetahui faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2008 ditinjau dari pola makan, tingkat pengetahuan gizi ibu, tingkat pendapatan, dan penyakit infeksi. 2. Tujuan Khususa. Untuk mengetahui faktor risiko pola makan terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2008.b. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2008.c. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pendapatan terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2008.d. Untuk mengetahui faktor risiko penyakit infeksi terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2008.D. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini bermanfaat sebagai data dan informasi tentang faktor-faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari .2. Hasil penelitian ini bermanfaat dalam menentukan kebijakan penanggulangan gizi buruk pada balita di Dinas Kesehatan Kota Kendari.

3. Sebagai salah satu referensi untuk studi lebih lanjut bagi para peneliti lain yang tertarik pada masalah gizi buruk pada balita di masa yang akan datang.

4. Bagi peneliti merupakan pengalaman yang berharga dalam rangka memperluas wawasan serta pengetahuan melalui penelitian yang dilakukan di lapangan. II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Status Gizi1. Pengertian status gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang . Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjagi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan. Gangguan gizi terjadi baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih (Almatsier, 2004).

2.Penilaian status gizi Penilaian status gizi terbagi atas penilaian secara langsung dan penilaian secara tidak langsung. Adapun penilaian secara langsung dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung terbagi atas tiga yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.a. Penilaian secara langsung1) AntropometriSecara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, dkk., 2001).

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri.

Rekomendasi dalam menilai status gizi anak di bawah lima tahun yang dianjurkan untuk digunakan di Indonesia adalah baku World Health Organization-National Centre for Health Statistic (WHO-NCHS).

Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi Anak (Balita)INDEKSSTATUS GIZIAMBANG BATAS

Berat badan menurut umur (BB/U)Gizi lebih>+ 2 Standar Deviasi (SD)

Gizi baik- 2 SD Sampai + 2 SD

Gizi kurang< -2 SD Sampai -3 SD

Gizi buruk< -3 SD

Tinggi badan menurut umur (TB/U)Normal -2 SD

Pendek (Stunted)< -2 SD

Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)Gemuk> + 2 SD

Normal + 2 SD Sampai - 2 SD

Kurus (Wasted)< -2 SD Sampai -3 SD

Kurus sekali< -3 SD

Sumber : Keputusan Menkes RI No. 920/Menkes/SK/VII/2002

a) Indeks berat badan menurut umur (BB/U)

Merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan sebagai indikator dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan dan keseimbangan antara intake dan kebutuhan gizi terjamin. Berat badan memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya terserang infeksi, kurang nafsu makan dan menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. BB/U lebih menggambarkan status gizi sekarang. Berat badan yang bersifat labil, menyebabkan indeks ini lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Current Nutritional Status) (Supariasa, dkk., 2001).

b) Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)

Indeks TB/U disamping memberikan status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status ekonomi (Beaton dan Bengoa (1973) dalam Supariasa, dkk. (2001)).

c)Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu (Supariasa, dkk., 2001).Berbagaiindeks antropometri, untuk menginterpretasinya dibutuhkan ambang batas. Penentuan ambang batas yang paling umum digunakan saat ini adalah dengan memakai standar deviasi unit (SD) atau disebut juga Z-Skor.

Rumus perhitungan Z-Skor adalah : Z-Skor= Nilai individu subyek-Nilai median Baku Rujukan Nilai Simpang Baku Rujukan

2)Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi . Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid (Supariasa, dkk.,2001).Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan fisik secara menyeluruh, termasuk riwayat kesehatan. Bagian tubuh yang harus lebih diperhatikan dalam pemeriksaan klinis adalah kulit, gigi, gusi,bibir, lidah, mata (Arisman dalam Yuliaty, 2008).3)Biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot (Supariasa, dkk., 2001). 4)BiofisikPenentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan (Supariasa, dkk., 2001).b.Penilaian secara tidak langsung

1)Survei konsumsi makanan

Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Metode survei konsumsi makanan untu individu antara lain : a) Metode recall 24 jam

b) Metode esthimated food record

c) Metode penimbangan makanan (food weighting)

d) Metode dietary historye)Metode frekuensi makanan (food frequency).2)Statistik vital

Pengukuran gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian sebagai akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi (Supariasa, dkk., 2001).

3)Faktor ekologi

Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain (Supariasa, dkk., 2001).B. Tinjauan Tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Gizi Buruk

Berdasarkan hasil studi kepustakaan yang telah ditemukan sebelumnya yaitu beberapa variabel bebas (independen) yang merupakan faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian gizi buruk pada balita.1. Tinjauan Tentang Pola Makan Pola makan adalah gambaran pola menu, frekuensi, dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari dimana merupakan bagian dari gaya hidup atau ciri khusus suatu kelompok (Astawan, 1998).

Pola makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih bahan makanan dan mengkonsumsinya sebagai tanggapan dari pengaruh fisiologi, sosial dan budaya diukur dengan frekuensi, jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari (Suhardjo, 2003).

Pola makan merupakan ciri khas untuk status kelompok masyarakat tertentu. Pola makan suatu daerah dapat berubah-ubah. Pola makan masyarakat pedesaan di Indonesia pada umumnya diwarnai oleh jenis-jenis bahan makanan yang umum dan diproduksi setempat. Misalnya pada masyarakat nelayan di daerah-daerah pantai ikan merupakan makanan sehari-hari yang dipilih karena dapat dihasilkan sendiri. Daerah-daerah pertanian padi , masyarakat berpola makan pokok beras. Daerah-daerah dengan produk utama jagung seperti pulau Madura dan Jawa Timur bagian selatan, masyarakatnya berpola pangan pokok jagung. Gunung Kidul dan beberapa daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur masyarakatnya berpola pangan pokok ubi kayu karena produksi tanaman pangan utama adalah ubi kayu (Khumaidi, 1994).

Pengertian pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan ini dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adalah : kebiasaan kesenangan, budaya, agama, taraf ekonomi, lingkungan alam, dan sebagainya. Sejak zaman dahulu kala, makanan selain untuk kekuatan/pertumbuhan, memenuhi rasa lapar, dan selera, juga mendapat tempat sebagai lambang yaitu lambang kemakmuran, kekuasaan, ketentraman dan persahabatan. Semua faktor di atas bercampur membentuk suatu ramuan yang kompak yang dapat disebut pola konsumsi (Santoso dan Ranti, 2004).

Pola makan di suatu daerah dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan beberapa faktor ataupun kondisi setempat, yang dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu pertama adalah faktor yang berhubungan dengan persediaan atau pengadaan bahan pangan. Termasuk di sini faktor geografi, iklim, kesuburan tanah berkaitan dengan produksi bahan makanan, sumber daya perairan, kemajuan teknologi, transportasi, distribusi, dan persediaan suatu daerah. Kedua, adalah faktor-faktor dan adat kebiasaan yang berhubungan dengan konsumen. Taraf sosio-ekonomi dan adat kebiasaan setempat memegang peranan penting dalam pola konsumsi penduduk. Ketiga, hal yang dapat berpengaruh di sini adalah bantuan atau subsidi terhadap bahan-bahan tertentu. Selain itu, pola makan setempat juga dapat diperkaya dengan pengaruh budaya asing yang datang dari India, Arab, Cina, dan Eropa (Santoso dan Ranti, 2004).

Pemilihan bahan makanan ternyata dipengaruhi oleh unsur-unsur tertentu. Pertama, sumber-sumber pengetahuan masyarakat dalam memilih dan mengolah pangan mereka sehari-hari. Termasuk dalam sumber pengetahuan dalam memilih dan mengolah pangan adalah : sistem sosial keluarga secara turun temurun, proses sosialisasi dan interaksi anggota keluarga dengan media massa. Kedua, aspek aset dan akses masyarakat terhadap pangan mereka sehari-hari. Unsur aset dan akses terhadap pangan adalah berkenaan dengan pemilikan dan peluang upaya yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga guna melakukan budidaya tanaman pangan dan atau sumber nafkah yang menghasilkan bahan pangan atau natura (uang). Ketiga, pengaruh tokoh panutan atau yang berpengaruh. Pengaruh tokoh panutan terutama berkenaan dengan hubungan bapak anak, jika keluarga yang memperoleh pangan atau nafkah berupa uang kontan melalui usaha tani majikan (Santoso dan Ranti, 2004).

Kebiasaan makan adalah cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengkonsumsi, dan menggunakan makanan-makanan yang tersedia, yang didasarkan kepada faktor-faktor sosial dan budaya di mana ia/mereka hidup. Kebiasaan makan individu, keluarga dan masyarakat dipengaruhi oleh :

a) Faktor perilaku termasuk di sini adalah cara berpikir, berperasaan, berpandangan tentang makanan. Kemudian dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih makanan. Kejadian ini berulang kali dilakukan sehingga menjadi kebiasaan makan.

b) Faktor lingkungan sosial, segi kependudukan dengan susunan, tingkat, dan sifat-sifatnya.

c) Faktor lingkungan ekonomi, daya beli, ketersediaan uang kontan, dan sebagainya.

d) Lingkungan ekologi, kondisi tanah, iklim, lingkungan biologi, system usaha tani, sistem pasar, dan sebagainya.

e) Faktor ketersediaan bahan makanan, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang bersifat hasil karya manusia seperti sistem pertanian (perladangan), prasarana dan sarana kehidupan (jalan raya dan lain-lain), perundang-undangan, dan pelayanan pemerintah.

f) Faktor perkembangan teknologi, seperti bioteknologi yang menghasilkan jenis-jenis bahan makanan yang lebih praktis dan lebih bergizi, menarik, awet dan lainnya.

Pola makan masyarakat atau kelompok di mana anak berada, akan sangat mempengaruhi kebiasaan makan, selera, dan daya terima anak akan suatu makanan. Oleh karena itu, di lingkungan anak hidup terutama keluarga perlu pembiasaan makan anak yang memperhatikan kesehatan dan gizi (Santoso dan Ranti, 2004).

2.Tinjauan Tentang Pengetahuan Ibu Tentang Gizi

Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni :

a. Tahu (Know) Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.b.Memahami (Comprehension)

Diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.c.Aplikasi (Aplication)

Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).d. Analisis (Analysis)Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e.Sintesis (Synthesis)Menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. e. Evaluasi (Evaluation)Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas (Notoatmodjo, 2003).Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan :

a) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.

b) Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi.

c) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum dijumpai setiap negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Lain sebab yang penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Rendahnya pengetahuan gizi dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan. Rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita (Suhardjo, 2003).3.Tinjauan Tentang Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan adalah total jumlah pendapatan dari semua anggota keluarga , termasuk semua jenis pemasukan yang diterima oleh keluarga dalam bentuk uang, hasil menjual barang, pinjaman dan lain-lain (Thaha, 1996 dalam Rasifa 2006). Rendahnya tingkat pendapatan keluarga, akan sangat berdampak rendahnya daya beli keluarga tersebut. Pada masyarakat nelayan, rendahnya tingkat pendapatan keluarga , sangat berdampak terhadap rendahnya rata-rata tingkat pendidikan, yang pada gilirannya akan berimplikasi terhadap rendahnya tingkat pengetahuan dan perilaku (khususnya pengetahuan dan perilaku gizi). Rendahnya pengetahuan gizi dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga , yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan. Rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita (Suhardjo, 2003). Kehidupan di kota-kota pada dewasa ini, terutama dalam pemberian atau penyajian makanan keluarga pada kebanyakan penduduk dapat dikatakan masih kurang mencukupi yang dibutuhkan oleh tubuh masing-masing. Kebanyakan keluarga telah merasa lega kalau mereka telah dapat mengkonsumsi makanan pokok (nasi, jagung) dua kali dalam sehari dengan lauk pauknya kerupuk dan ikan asin, bahkan tidak jarang mereka juga telah merasa lega kalau mereka telah dapat mengkonsumsi nasi atau jagung cukup dengan sambal dan garam. Menurut penelitian, keadaan yang umum ini dikarenakan rendahnya pendapatan yang mereka peroleh dan banyaknya anggota keluarga yang harus diberi makan dengan jumlah pendapatan yang rendah. Penduduk kota dan penduduk pedesaan yang kebanyakan berpenghasilan rendah, selain memanfaatkan penghasilannya itu untuk keperluan makan keluarga, juga harus membagi-baginya untuk berbagai keperluan lainnya (pendidikan, transportasi, dan lain-lain), sehingga tidak jarang persentase penghasilan untuk keperluan untuk keperluan penyediaan makanan hanya kecil saja. Mereka pada umumnya hidup dengan makanan yang kurang bergizi (Kartasapoetra, 2002).

Tingkat pendapatan keluarga akan mempengaruhi mutu fasilitas perumahan, penyediaan air bersih dan sanitasi yang pada dasarnya sangat berperan terhadap timbulnya penyakit infeksi. Selain itu, penghasilan keluarga akan menentukan daya beli keluarga termasuk makanan, sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan yang tersedia dalam rumah tangga dan pada akhirnya mempengaruhi asupan zat gizi (Suhardjo dalam Yuliati, 2008).

Berkaitan dengan besarnya pendapatan keluarga, pemerintah Kota Kendari berdasarkan Peraturan Gubernur No. 35 Tahun 2008, tanggal 5 Desember Tahun 2008 menetapkan Upah Minimum Kota (UMK) Kendari tahun 2009 sebesar Rp. 810.000,- per bulan (Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Kendari, 2009).4.Tinjauan Tentang Penyakit Infeksi

Infeksi adalah masuknya, bertumbuh dan berkembangnya agent penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidaklah sama dengan penyakit menular karena akibatnya mungkin tidak kelihatan atau nyata. Adanya kehidupan agent menular pada permukaan luar tubuh, atau pada barang, pakaian atau barang-barang lainnya, bukanlah infeksi, tetapi merupakan kontaminasi pada permukaan tubuh atau benda (Noor, 1997).

Infeksi berat dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan makanannya dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi (Pudjiadi, 2003).

Ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus dan parasit) dengan malnutrisi. Mereka menekankan interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi, dan juga infeksi akan mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi. Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan, yaitu : a. Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya absorpsi, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit.b. Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat diare, mual/muntah dan pendarahan yang terus menerus.c. Meningkatnya kebutuhan, baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit (human host) dan parasit yang terdapat dalam tubuh.

Pada umumnya baik infeksi umum maupun infeksi lokal, dapat respon metabolik bagi penderitanya, yang disertai dengan kekurangan zat gizi. Penelitian yang dilakukan, ditemui bahwa kurang gizi, dapat menyebabkan gangguan pada pertahanan tubuh. Di lain pihak, pada infeksi akan memberikan efek berupa gangguan pada tubuh, yang dapat menyebabkan kekurangan gizi. Penyakit infeksi dapat menyebabkan kurang gizi sebaliknya kurang gizi juga menyebabkan penyakit infeksi. Ada tendensi di mana, adanya penyakit infeksi, malnutrisi (gizi lebih dan gizi kurang), yang terjadi secara bersamaan di mana akan bekerjasama (secara sinergis), hingga suatu penyakit infeksi yang baru akan menyebabkan kekurangan gizi yang lebih berat. Ini dikenal dengan siklus sinergis (vicious cycle) yang banyak dan sering terjadi di negara-negara berkembang, menyebabkan tingginya angka kematian di negara tersebut (Supariasa, 2001).

Terjadinya hubungan timbal balik antara kejadian infeksi penyakit dan gizi kurang maupun gizi buruk.Anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan terhadap penyakit infeksi. Di sisi lain anak yang menderita sakit infeksi akan cenderung menderita gizi buruk (Depkes dalam Yuliaty 2008).C. Tinjauan Umum Tentang Gizi Buruk1. Pengertian gizi buruk

Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian, yakni gizi buruk karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut marasmus), dan kekurangan kedua-duanya. Gizi buruk ini biasanya terjadi pada anak balita (bawah lima tahun) dan ditampakkan oleh membusungnya perut (busung lapar). Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun (Nency, 2005).

2. Faktor-faktor penyebab gizi buruk

Gizi buruk disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama adalah faktor pengadaan makanan yang kurang mencukupi suatu wilayah tertentu. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kurangnya potensi alam atau kesalahan distribusi. Faktor kedua, adalah dari segi kesehatan sendiri, yakni adanya penyakit kronis terutama gangguan pada metabolisme atau penyerapan makanan. Selain itu, ada tiga hal yang saling kait mengkait dalam hal gizi buruk, yaitu kemiskinan, pendidikan rendah dan kesempatan kerja rendah. Ketiga hal itu mengakibatkan kurangnya ketersediaan pangan di rumah tangga dan pola asuh anak keliru. Hal ini mengakibatkan kurangnya asupan gizi dan balita sering terkena infeksi penyakit (Mardiansyah, 2008).Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara garis besar penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan makanan yang kurang atau anak sering sakit/terkena infeksi.a. Asupan yang kurang disebabkan oleh banyak faktor antara lain :1) Tidak tersedianya makanan secara adekuat, Tidak tersedianya makanan yang adekuat terkait langsung dengan kondisi sosial ekonomi. Kadang kadang bencana alam, perang, maupun kebijaksanaan politik maupun ekonomi yang memberatkan rakyat akan menyebabkan hal ini. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makan yang adekuat. Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Proporsi anak malnutrisi berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi.

2) Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, Makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap status gizi bayi. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan.

3) Pola makan yang salah, Pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya perempuan yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menyebabkan anak menderita gizi buruk.Kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan / adat istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam pemberian makan akan sangat merugikan anak . Misalnya kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu (misalnya tidak memberikan anak anak daging, telur, santan dll), hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak, protein maupun kalori yang cukup.b. Sering sakit (frequent infection)

Menjadi penyebab terpenting kedua kekurangan gizi, apalagi di negara negara terbelakang dan yang sedang berkembang seperti Indonesia, dimana kesadaran akan kebersihan / personal hygine yang masih kurang, serta ancaman endemisitas penyakit tertentu, khususnya infeksi kronik seperti misalnya tuberculosis (TBC) masih sangat tinggi. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan tubuh.3.Patofisiologi gizi buruk

Patofisiologi gizi buruk pada balita yaitu anak sulit makan atau anorexia bisa terjadi karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik sperti suasana makan, pengaturan makanan dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Karena keempat elemen ini meurpakan nutrisi yang penting bagi rambut. Pasien juga mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi vitamin A dan protein. Pada retina ada sel batang dan sel kerucut. Sel batang lebih hanya bida membedakan cahaya terang dan gelap. Sel batang atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika cahaya terang mengenai sel rodopsin, maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut akan mengumpul lagi pada cahaya yang gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin. Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun senja terjadi karena kegagalan atau kemunduran adaptasi rodopsin.

Tugor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek patella negatif terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendo patella dan degenerasi saraf motorik akibat dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat penurunan VLDL dan LDL. Karena penurunan VLDL dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan, pada akhirnya penumpukan lemak di hepar.

Yang khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema adalah edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi, maka terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke intrasel, karena pada penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi natrium. Padahal natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor, selain defisiensi protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel. Untuk kembalinya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik dan onkotik (Sadewa, 2008).

4.Gejala klinis gizi buruk

Gejala klinis gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor, atau marasmic-kwashiorkor. Tanpa mengukur atau melihat berat badan bila disertai edema yang bukan karena penyakit lain adalah KEP berat / gizi buruk tipe kwashiorkor.a. Kwashiorkora) Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki.b) Wajah membulat

c) Pandangan mata sayu

d) Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit atau rontok

e) Perubahan status mental, apatis, dan rewel

f) Pembesaran hati

g) Otot mengecil ( hipotrofi ), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk.h) Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas.

i) Sering disertai : penyakit infeksi, anemia, diare.

b. Marasmusa) Tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit

b)Wajah seperti orangtua

c) Cengeng, rewel

d) Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada.

e) Sering disertai : penyakit infeksi ( umumnya kronis berulang )

f) Diare kronis atau konstipasi / susah buang air

c. Marasmik-Kwashiorkor

Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U 50 % dari total skor jawaban benar

2)Kurang:Bila pola makan balita 50 % dari total skor jawaban benar

Kriteria penilaian didasarkan atas jumlah pertanyaan keseluruhan yaitu sebanyak 8 pertanyaan dan setiap pertanyaan di berikan nilai 1 (satu) jika menjawab benar dan nilai 0 (nol) jika menjawab salah, sehingga diperoleh skor nilai :

Skor tertinggi:8x1=8 (100 %)Skor terendah:8x0=0 (0 %)

Kemudian diukur dengan menggunakan rumus menurut Sudjana (2002) sebagai berikut :I=

R KI=Interval kelasR=Range atau kisaran yaitu nilai tertinggi nilai terendah

=100 % - 0 % = 100 %

K=Kategori

=Jumlah kategori sebanyak 2 yaitu cukup dan kurang

I=100 %

2I=50 %

c.Pengetahuan Ibu Tentang Gizi

Merupakan pengetahuan responden (ibu balita) tentang hal-hal yang berhubungan dengan gizi, yang diukur melalui nilai dari daftar pertanyaan/kuesioner. Adapun kriteria objektifnya adalah sebagai berikut : 1)Cukup:Bila pengetahuan gizi ibu > 50 % dari total skor jawaban benar. 2)Kurang:Bila pengetahuan gizi ibu 50 % dari total skor jawaban benar.Kriteria penilaian didasarkan atas jumlah pertanyaan keseluruhan yaitu sebanyak 12 pertanyaan dan setiap pertanyaan di berikan nilai 1 (satu) jika menjawab benar dan nilai 0 (nol) jika menjawab salah, sehingga diperoleh skor nilai :

Skor tertinggi:12x1=12 (100 %)

Skor terendah:12x0=0 (0 %)

Kemudian diukur dengan menggunakan rumus menurut Sudjana (2002) sebagai berikut :

I=

R

K

I=Interval kelas

R=Range atau kisaran yaitu nilai tertinggi nilai terendah

=100 % - 0 % = 100 %

K=Kategori

=Jumlah kategori sebanyak 2 yaitu cukup dan kurang

I=100 %

2

I=50 %

d.Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan adalah jumlah pendapatan perkapita yang diperoleh oleh kepala keluarga, istri, anak maupun anggota keluarga lainnya yang tinggal pada rumah tangga tersebut yang dinilai dalam bentuk uang dan barang yang dinilai dengan uang (rupiah) kemudian dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Tingkat pendapatan perkapita keluarga pada tiap rumah tangga dinilai berdasarkan standar Upah Minimum Kota Kendari Tahun 2009. Adapun kriteria objektifnya sebagai berikut :1)Cukup= Bila pendapatan keluarga Rp. 810.000,- per bulan.

2)Kurang=Bila pendapatan keluarga < Rp. 810.000,- per bulan.

(Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Kendari, 2009).

e.Penyakit infeksi

Penyakit infeksi adalah penyakit yang diderita oleh balita selama berada pada wilayah lokasi penelitian dalam enam bulan terakhir sesuai dengan medical recordnya dan hasil wawancara. Adapun kriteria objektifnya adalah sebagai berikut :

1)Ya:Apabila balita menderita salah satu atau lebih penyakit infeksi dalam enam bulan terakhir.

2)Tidak:Apabila balita tidak pernah menderita salah satu atau lebih penyakit infeksi dalam enam bulan terakhir.

E.Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa daftar pertanyaan/kuesioner yang di dalamnya terdapat pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut variabel-variabel dalam penelitian ini yang meliputi status gizi, pola makan, pengetahuan gizi ibu, tingkat pendapatan perkapita keluarga dan penyakit infeksi. Selain itu juga menggunakan timbangan balita (Dacin) untuk mengukur berat badan dari balita.

F.Prosedur Pengumpulan Data

1. Pemberian Informed Consent (Formulir Persetujuan)

Setiap responden dalam penelitian ini akan dimintai persetujuan dengan mengisi lembar informed consent yang berisikan tujuan, manfaat dan kejelasan tentang kerahasiaan subyek.

2.Sumber Data

a.Data primer

Data primer diperoleh dengan wawancara secara langsung dengan orang tua balita (ibu) yang menggunakan alat bantu berupa kuesioner . Data yang dikumpulkan berupa identitas responden, identitas sampel (tidak termasuk balita gizi buruk), pola makan, pengetahuan gizi ibu, tingkat pendapatan dan penyakit infeksi.

b.Data sekunderData sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, Dinas Kesehatan Kota Kendari, Puskesmas Mata, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Kendari serta instansi lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Data yang dikumpulkan antara lain : data jumlah kasus balita gizi buruk di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2006 dan 2007, data jumlah kasus balita gizi buruk di Kota Kendari tahun 2006, 2007, dan 2008, data jumlah kasus balita gizi buruk setiap Puskesmas tahun 2006, 2007, dan 2008, dan data Upah Minimum Kota Kendari tahun 2009. G.Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer menggunakan program Statistic and Service Solution (SPSS) for Windows versi 13.0.

H. Analisis Data

Analisis data dilakukan sebagai berikut :

1.Analisis univariatAnalisis univariat dilakukan secara deskriptif dari masing-masing variabel dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi disertai penjelasan.

2.Analisis bivariat

Untuk menguji hipotesis nol (Ho) digunakan analisis bivariat (Odds Ratio) dengan menggunakan tabel 2x2 dengan formulasi sebagai berikut :Tabel 2 . kontigensi 2x2 pada kejadian gizi buruk pada balita

Faktor ResikoKejadian Gizi Buruk Pada BalitaJumlah

KasusKontrol

Faktor Resiko +aba + b

Faktor Resiko -cdc + d

Jumlaha + cb + da + b + c +d

OR = a x d b x c (Multono, 2000)

Keterangan :

a:jumlah kasus dengan resiko (+)

b:jumlah kontrol dengan resiko (+)

c:jumlah kasus dengan resiko (-)

d:jumlah kontrol dengan resiko (-)

Menurut Multono (2000), estimasi Coefisien Interval (CI) ditetapkan pada tingkat kepercayaan 95 % dengan interpretasi :

a. Jika OR > 1, merupakan faktor risiko terjadinya kasus.b. Jika OR = 1, bukan faktor risiko terjadinya kasus.

c. Jika OR < 1, merupakan faktor risiko proteksi/ perlindungan terjadinya kasus.Nilai OR dikatakan bermakna apabila nilai lower limit dan upper limit tidak mencakup nilai 1 (Ho ditolak). Untuk menentukan apakah nilai OR yang diperoleh mempunyai pengaruh kemaknaan maka harus dihitung nilai batas bawah (lower limit) dan nilai batas atas (upper limit). Untuk mengetahui batas atas dan batas bawah tersebut dapat digunakan rumus :

Upper limit:OR x

Lower limit:OR x Di mana, f =

E = log nature (2,72) (Chandra, 1996)

I. Penyajian Data

Data disajikan dalam bentuk tabel, gambar dan selanjutnya dinarasikan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASANA. Gambaran Umum Lokasi

1. Letak Geografis

Puskesmas Mata merupakan salah satu dari 11 Puskesmas yang ada di Kota Kendari, yang terletak di Kecamatan Kendari Kelurahan Kessilampe. Jarak dari Kantor Walikota lebih kurang 12 km ke arah barat.

Wilayah kerja Puskesmas Mata 67.805 hektar yang berjarak 25 KM dari Ibukota Propinsi.

Adapun batas-batas wilayah kerja Puskesmas Mata antara lain :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Soropiab. Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Kendaric. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Bandad. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kendari BaratJumlah desa/kelurahan seluruhnya di wilayah kerja Puskesmas Mata ada 9 kelurahan. Keadaan alam di wilayah kerja Puskesmas Mata terdiri dari dataran (35%), pegunungan/bukit (65%). Iklim di wilayah kerja Puskesmas Mata adalah iklim tropis dengan musim hujan umumnya bulan Desember Mei dan musim kemarau terjadi bulan Juni - November. Suhu udara rata-rata berkisar antara 270C 370C.

e. Kondisi Demografis

Berdasarkan hasil pendataan terakhir, jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Mata adalah 22.310 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 5.044, yang tersebar dalam 9 wilayah kelurahan. Mata pencaharian terbesar penduduk di wilayah kerja Puskesmas Mata adalah pedagang/industri (44%). Sedangkan yang lainnya adalah PNS/ABRI (23%), tani/nelayan (15%) dan sisanya buruh, sopir dan pekerja lainnya (18%).

Masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Mata terdiri dari berbagai macam suku. Mayoritas adalah suku Bugis, Muna dan Tolaki, juga terdapat kelompok suku minoritas yaitu Buton, Jawa, dan Makassar. Sebagian besar memeluk agama Islam. Agama lain yang dianut adalah Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.f. Sarana Kesehatan

Sarana pelayanan kesehatan di terdapat di wilayah kerja Puskesmas Mata yang dijadikan sebagai unit pelayanan kesehatan bagi masyarakat setempat terdiri dari sarana kesehatan pemerintah dan sarana kesehatan yang bersumber daya masyarakat antara lain sebagai sarana kesehatan pemerintah terdiri dari 1 Puskesmas non perawatan dan 3 Puskesmas Pembantu, sedangkan sarana kesehatan bersumber daya masyarakat terdiri dari 15 Posyandu Balita dan 2 Posyandu Lansia. B. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Analisis univariata. Distribusi balita menurut umur

Umur adalah umur pada saat ulang tahun terakhir (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Serang, 2008).Penentuan matching umur sampel (kasus dan kontrol) berdasarkan kelompok umur dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Distribusi Matching Sampel Berdasarkan Kelompok UmurKelompok SampelKelompok Umur

0-11

bln12-23

bln24-35

bln36-47

bln48-59

bln

Kasus510710

Kontrol510710

Jumlah10201420

Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009 Tabel 3 memperlihatkan bahwa dari 46 balita yang menjadi sampel, jumlah balita yang menjadi sampel lebih banyak pada kelompok umur 12-23 bulan yaitu sebanyak 20 balita (10 balita pada kasus dan 10 balita pada kontrol) dan tidak ditemukan balita pada kelompok umur 48-59 bulan (tidak ada balita baik pada kelompok kasus maupun kontrol).

Kelompok umur balita dalam penelitian ini dapat juga dilihat pada gambar 3 berikut :

Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009Gambar 3.Grafik Balita Menurut Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008

Pada gambar 3 telihat bahwa dari 46 balita yang menjadi sampel, jumlah balita yang menjadi sampel lebih banyak pada kelompok umur 12-23 bulan yaitu sebanyak 20 balita (43,5%) dan tidak ditemukan balita pada kelompok umur 48-59 bulan (0%).b. Distribusi balita menurut jenis kelaminJenis kelamin adalah kata yang umumnya digunakan untuk membedakan seks seseorang seperti laki-laki dan perempuan (Komsiah, 2008).Penentuan matching sampel (kasus dan kontrol) berdasarkan jenis kelamin dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.Tabel 4. Distribusi Matching Sampel berdasarkan Jenis Kelamin

Kelompok SampelJenis KelaminJumlah

Laki-LakiPerempuan

Kasus111223

Kontrol111223

Jumlah222446

Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009Tabel 4 memperlihatkan bahwa dari 46 balita yang menjadi sampel, jumlah balita yang menjadi sampel lebih banyak pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 24 balita (12 balita pada kasus dan 12 balita pada kontrol) dan balita dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 22 balita (11 balita pada kasus dan 11 balita pada kontrol).

Karakteristik balita menurut jenis kelamin dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 4.

Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009 Gambar 4. Grafik Balita Menurut Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008

Gambar 4 menunjukkan bahwa dari 46 balita yang menjadi sampel, sebagian besar balita berjenis kelamin perempuan sebanyak 24 orang (52,2%), dan sebanyak 22 balita (47,8%) berjenis kelamin laki-laki. c. Distribusi balita menurut jenis penyakit infeksi

Infeksi adalah masuknya, bertumbuh dan berkembangnya agent penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidaklah sama dengan penyakit menular karena akibatnya mungkin tidak kelihatan atau nyata. Adanya kehidupan agent menular pada permukaan luar tubuh, atau pada barang, pakaian atau barang-barang lainnya, bukanlah infeksi, tetapi merupakan kontaminasi pada permukaan tubuh atau benda (Noor, 1997).

Jenis penyakit infeksi yang diderita oleh balita dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5.Tabel 5. Distribusi Balita Berdasarkan Jenis Penyakit Infeksi di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008NoPenyakit InfeksiJumlah%

1

2

3

4

ISPA

Diare

Cacar

Tidak Menderita Penyakit Infeksi32

5

2

769,6

10,9

4,3

15,2

Total46100

Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009Tabel 5 memperlihatkan bahwa dari 46 balita yang menjadi sampel, sebagian besar sampel menderita penyakit infeksi yaitu 39 orang (84,8%), 32 orang (69,6%) diantaranya menderita ISPA, 5 orang (10,9%) menderita diare dan 2 orang (4,3%) menderita cacar. Sedangkan yang tidak menderita penyakit infeksi sebanyak 7 orang (15,2 %). Data diperoleh dari keterangan responden dan diagnosa penyakit didasarkan pada catatan medik (medical record) Puskesmas Mata.

d.Distribusi balita menurut pola makan

Gambaran pola makan balita dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 6.Tabel 6.Distribusi Sampel Berdasarkan Pola Makan di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008Kelompok SampelPola MakanJumlah

KurangCukup

Kasus21223

Kontrol101323

Jumlah311546

Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009Tabel 6 memperlihatkan bahwa dari 46 balita yang menjadi sampel, jumlah balita yang menjadi sampel lebih banyak yang pola makannya kurang yaitu sebanyak 31 balita (21 balita pada kasus dan 10 balita pada kontrol) dan balita dengan pola makan cukup yaitu 15 balita (2 balita pada kasus dan 13 balita pada kontrol).e.Distribusi balita menurut pengetahuan ibu tentang gizi

Gambaran pengetahuan ibu tentang gizi dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 7.Tabel 7. Distribusi Sampel Berdasarkan Pengetahuan Gizi Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008Kelompok SampelPengetahuan Ibu Tentang GiziJumlah

KurangCukup

Kasus131023

Kontrol22123

Jumlah153146

Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009

Tabel 7 memperlihatkan bahwa dari 46 sampel, jumlah sampel yang banyak yang memiliki pengetahuan ibu tentang gizi yang cukup yaitu sebanyak 31 balita (10 balita pada kasus dan 21 balita pada kontrol) dan balita dengan pengetahuan ibu tentang gizi yang kurang yaitu 15 balita (13 balita pada kasus dan 2 balita pada kontrol).f.Distribusi balita menurut tingkat pendapatanGambaran tingkat pendapatan keluarga balita dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 8.Tabel 8. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendapatan Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008Kelompok SampelPendapatan KeluargaJumlah

KurangCukup

Kasus21223

Kontrol20323

Jumlah41546

Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009

Tabel 7 memperlihatkan bahwa dari 46 sampel, jumlah sampel yang banyak yang memiliki pendapatan kelarga yang kurang yaitu sebanyak 41 balita (21 balita pada kasus dan 20 balita pada kontrol) dan balita dengan pendapatan kelarga yang cukup yaitu 5 balita (2 balita pada kasus dan 3 balita pada kontrol).g.Distribusi responden menurut tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan adalah suatu proses jangka panjang yang menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir, yang mana tenaga kerja manajerial mempelajari pengetahuan konsepsual dan teoritis untuk tujuan tujuan umum (Mangkunegara, 2003).

Karakteristik responden menurut tingkat pendidikan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 5 berikut :

Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009 Gambar 5. Grafik Responden Menurut Tingkat Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008Gambar 5 menunjukkan bahwa dari 46 responden, sebagian besar responden mempunyai tingkat pendidikan SMP sebanyak 21 orang (45,7%) dan hanya 4 responden (8,7%) yang mempunyai tingkat pendidikan perguruan tinggi.

h.Distribusi responden menurut jenis pekerjaan kepala keluarga

Pekerjaan adalah suatu kegiatan yang dil;akukan untuk menafkahi diri dan keluarganya dimana pekerjaan tersebut tidak ada yang mengatur dan dia bebas karena tidak ada etika yang mengatur (Cookeyzone, 2009).

Karakteristik ibu balita menurut jenis pekerjaan kepala keluarga dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 6 berikut :

Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009 Gambar 6. Grafik Responden Menurut Jenis Pekerjaan Kepala Rumah Tangga di Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008Gambar 6 menunjukkan bahwa dari 46 responden, sebagian besar kepala keluarga mempunyai mata pencaharian sebagai wiraswasta yaitu sebanyak 22 orang (47,8%). Sedangkan sebagian kecil mempunyai pekerjaan sebagai buruh, PNS, ojek, tukang kayu dan nelayan . 2. Analisis bivariat

a. Faktor risiko pola makan dengan kejadian gizi buruk pada balitaPola makan adalah gambaran pola menu, frekuensi, dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari dimana merupakan bagian dari gaya hidup atau ciri khusus suatu kelompok (Astawan, 1998).

Distribusi balita berdasarkan pola makan di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9.Distribusi Frekuensi Menurut Pola Makan Di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008No Pola MakanStatus BalitaOR

CI 95 %

KasusKontrol13,62,57 - 72,39

n%n%

1

2Kurang

Cukup21

291,3

8,710

1343,5

56,5

Total2310023100

Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009Tabel 9 menunjukkan bahwa dari 23 balita yang termasuk kelompok kasus, sebagian besar balita yaitu 21 (91,3%) balita pola makannya kurang dan 2 (8,7%) balita dengan pola makan cukup. Sedangkan pada kelompok kontrol dari 23 balita yang termasuk kelompok kontrol, terdapat 10 (43,5%) balita pola makannya kurang, dan 13 (56,5%) balita yang pola makannya cukup. Hasil uji statistik bermakna pada tingkat kepercayaan 95%, karena lower limit dan upper limit tidak mencakup nilai 1, dengan nilai OR=13,6 (2,57