skripsi - 103.56.207.239103.56.207.239/21/1/kornelis tilis 16.75.5906.pdfprogram studi ilmu teologi...
TRANSCRIPT
RITUS FUA PAH SUKU LOPO METAN-KOKBAUN: SEBUAH
KAJIAN TEOLOGIS IMAN KRISTIANI
SKRIPSI
Diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat
Program Studi Ilmu Teologi – Filsafat
Agama Katolik
Oleh
KORNELIS TILIS
NPM: 16. 75. 5906
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO
2020
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Kebudayaan merupakan sebuah tradisi yang melekat dalam diri masyarakat
dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Tradisi tersebut dapat
diekspresikan dalam pelbagai bentuk praktik hidup masyarakat. Ritus-ritus yang
ditemukan dalam setiap masyarakat merupakan warisan dari kebudayaan itu sendiri.
Ritus-ritus yang dipraktikan dalam masyarakat merupakan hasil usaha manusia yang
dilakukan untuk mengatasi berbagai tantangan dan kesukaran-kesukaran hidup, guna
mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Maka setiap masyarakat
tentu selalu berusaha untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi ritus-ritus yang
telah diwariskan leluhur mereka.
Masyarakat suku Lopo Metan yang ada di wilayah Kokbaun pun memiliki
tradisi-tradisi yang melekat dalam keseharian hidup mereka dan hingga saat ini pun
masih dipraktikkan. Salah satu tradisi yang masih dipraktikkan oleh masyarakat suku
Lopo Metan saat ini ialah ritus fua pah. Bagi masyarakat suku Lopo Metan, ritus fua
pah dipahami sebagai sebuah tradisi yang khas dalam memahami alam khususnya
dalam kebudayaan pertanian tradisional dan melalui tradisi ini, mereka melakukan
penyembahan terhadap Roh alam dan leluhur karena mereka yakin bahwa melalui
ritus ini mereka akan memperoleh keuntungan serta akan dijauhkan dari segala
malapetaka. Hal ini terjadi karena masyarakat suku Lopo Metan dalam kehidupannya
masih bergantung pada alam sebagai sumber memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pandangan mereka terhadap alam sangat kental dan alam dilihat sebagai suatu kosmos
yang perlu disembah dan dihormati.
Dewasa ini, pelbagai pemahaman serta cara pandang manusia terhadap praktik
ritus kebudayaan khususnya seperti ritus fua pah dalam masyarakat suku Lopo Metan
dilihat sebagai sebuah praktik penyembahan berhala. Namun sebenarnya di balik ritus
vi
Fua Pah tersebut, terdapat nilai-nilai luhur yang turut membentuk cara hidup dan pola
tingkah laku serta relasi yang baik antar sesama dalam masyarakat maupun dengan
Wujud Tertinggi, roh leluhur dan roh alam. Nilai-nilai itu antara lain, persatuan,
kerukunan, keharmonisan, kesejahteraan, kesetiaan dan ketaatan. Nilai-nilai ini pun
terungkap dalam ajaran iman Kristiani. Sebagai umat Kristiani, masyarakat suku Lopo
Metan pun menghidupi nilai-nilai tersebut seperti kebenaran, kekudusan, cinta kasih,
kesetiaan dan ketaatan. Nilai-nilai tersebut mendorong masyarakat suku Lopo Metan
untuk mengakui bahwa Allah sungguh hadir sebagai pribadi atau perantara yang
memprakarsai seluruh siklus hidup dan karya mereka. Selain itu, nilai-nilai tersebut
juga menjadi dasar dan pedoman hidup bagi semua kaum beriman yang mengakui
Yesus Kristus sebagai penyelamat dunia termasuk masyarakat suku Lopo Metan.
Hasil penulisan karya ilmiah ini merupakan sebuah usaha kerja keras penulis.
Namun penulis pun menyadari bahwa proses penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas
dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikannya. Oleh
karena itu, penulis ingin menyampaikan syukur dann terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu.
Pertama-tama, penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang telah membimbing dan menjiwai penulis dalam terang Roh Kudus-Nya selama
proses penulisan karya ilmiah ini. Penulis juga menyampaikan limpah terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing Andreas Tefa Sa’u, Lic., yang
dengan setia mendamping dan membimbing penulis sehingga karya ilmiah ini dapat
dirampung pada waktunya. Terima kasih juga kepada dosen penguji Dr. Yohanes
Masneno, yang telah menguji, memperkaya dan mempertajam pemahaman penulis
berkenaan dengan isi tulisan ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada komunitas Seminari Tinggi St.
Paulus Ledalero yang selalu mendukung dan menjawabi berbagai kebutuhan penulis.
Terima kasih kepada orangtua, saudara/i, segenap keluarga, yang dengan caranya
masing-masing selalu mendukung penulis. Terima kasih kepada kedua formator dan
teman-teman di Unit St. Arnoldus-Ledalero yang telah menyemangati dan
mendukung penulis.
vii
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap pembaca yang setia dan
penuh antusias membaca karya ilmiah ini. Namun penulis pun menyadari bahwa
karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dengan rendah hati, penulis
mengharapkan kritik dan perbaikan dari pembaca untuk membenahi dan memperkaya
karya ilmiah ini.
Ledalero, Mei 2020
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBARAN JUDUL .......................................................................................... i
LEMBARAN PENERIMAAN JUDUL............................................................... ii
LEMBARAN PENGESAHAN .......................................................... iii
LEMBARAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Penulisan ............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 5
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................... 6
1.4 Metode Penulisan .......................................................................................... 6
1.5 Sistematika Penulisan ................................................................................... 7
BAB II MENGENAL RITUS FUA PAH SUKU LOPO METAN DI WILAYAH
KOKBAUN ............................................................................................ 8
2.1 Sejarah Suku Lopo Metan ............................................................................... 8
2.1.1 Asal-Usul Nenek Moyang Suku Lopo Metan ................................................ 10
2.1.2 Keadaan Geografis ....................................................................................... 13
2.1.3 Mata Pencaharian ......................................................................................... 14
2.1.3.1 Bercocok Tanam ....................................................................................... 14
2.1.3.2 Berternak ................................................................................................... 15
2.1.4 Sistem Kekerabatan ...................................................................................... 16
ix
2.1.4.1 Kekerabatan karena Garis Keturunan (Uem Kanaf) .................................... 17
2.1.4.2 Kekerabatan karena Perkawinan (Fe Mone) ............................................... 18
2.1.5 Sistem Kepercayaan ..................................................................................... 19
2.1.5.1 Kepercayaan kepada Wujud Tertinggi (Uis Neno) ..................................... 20
2.1.5.2 Kepercayaan kepada Roh Leluhur (Uis Nitu) ............................................. 22
2.1.5.3 Kepercayaan kepada Roh Alam (Uis Pah) ................................................. 24
2.2 Gambaran Ritus Fua Pah ................................................................................ 26
2.2.1 Pengertian Fua Pah ...................................................................................... 26
2.2.2 Struktur Tata Pelaksanaan Ritus Fua Pah ..................................................... 27
2.2.3 Fungsi Ritus Fua Pah ................................................................................... 31
2.2.3.1 Fungsi Magis ............................................................................................. 31
2.2.3.2 Fungsi Mitos ............................................................................................. 32
2.2.3.3 Fungsi Religius ......................................................................................... 34
2.2.3.4 Fungsi Intensifikasi ................................................................................... 35
2.2.3.5 Fungsi Faktitius ........................................................................................ 35
2.3 Kesimpulan ..................................................................................................... 36
BAB III KAJIAN TEOLOGIS TERHADAP RITUS FUA PAH ..................... 38
3.1 Pengantar ........................................................................................................ 38
3.2 Gambaran tentang Teologi .............................................................................. 38
3.2.1 Model-Model Teologi ................................................................................. 39
3.2.2 Nilai-Nilai Teologi Kristiani ......................................................................... 42
3.3 Pandangan Gereja Katolik terhadap Kebudayaan ............................................. 44
3.4 Pandangan Masyarakat Suku Lopo Metan terhadap Alam .............................. 48
3.5 Ritus Fua Pah sebagai Tanggapan Moral atas Manifestasi Diri Wujud
Tertinggi Kepada Manusia .............................................................................. 49
3.6 Makna Ritus Fua Pah dalam Hidup Kristiani .................................................. 52
3.6.1 Puji Syukur ................................................................................................... 52
3.6.2 Permohonan .................................................................................................. 54
x
3.7 Pentingnya Teologi Inkarnasi bagi Masyarakat Suku Lopo Metan ................... 55
3.8 Makna Kurban dalam Ritus Fua Pah ............................................................... 57
3.9 Nilai-Nilai Positif dalam Ritus Fua Pah .......................................................... 59
3.9.1 Nilai Sosial ................................................................................................... 60
3.9.2 Nilai Religius ............................................................................................... 61
3.9.3 Nilai Ekonomis ............................................................................................ 63
3.10 Pemahaman tentang Ritus Fua Pah dalam Terang Iman Kristiani .................. 64
3.10.1 Ritus Fua Pah sebagai Bentuk Persekutuan ................................................ 64
3.10.2 Ritus Fua Pah sebagai Bentuk Ekspresi Iman Tradisional .......................... 65
3.10.3 Ritus Fua Pah sebagai Bentuk Pengakuan akan Adanya
Yang Transenden ....................................................................................... 69
3.10.4 Tinjauan atas Pemahaman tentang Ritus Fua Pah ....................................... 72
3.11 Dampak Ritus Fua Pah Bagi Penghayatan Iman Kristiani Masyarakat
Suku Lopo Metan .......................................................................................... 74
3.12 Relevansi Nilai-Nilai Luhur dalam Ritus Fua Pah Bagi
Karya Pastoral ............................................................................................... 75
3.12.1 Merencanakan Karya Pastoral dalam Hubungan dengan
Masyarakat Adat ....................................................................................... 75
3.12.2 Peran Nilai-Nilai Ritus Fua Pah dalam Pewartaan Iman Kristiani .............. 77
3.12.3 Mendorong Masyarakat Lopo Metan Untuk Lebih Mencintai Allah ........... 78
3.12.4 Meningkatkan Keasadaran Umat Suku Lopo Metan akan Pentingnya Hidup
Menggereja ................................................................................................. 79
BAB IV PENUTUP ........................................................................ 83
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 83
4.2 Saran ............................................................................................................... 85
4.2.1 Bagi Para Pelayan Pastoral ........................................................................... 86
4.2.2 Bagi Masyarakat Suku Lopo Metan .............................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 88
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Kebudayaan dan masyarakat adalah dua realitas sosial yang tak
terpisahkan.1 Keberadaan masing-masing mengandaikan satu sama lain. Artinya,
masyarakat dan kebudayaan merupakan kesatuan wujud yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan kata lain, tidak ada masyarakat yang
hidup tanpa memiliki kebudayaan itu sendiri atau sebaliknya tidak akan ada
kebudayaan tanpa masyarakat.
Secara eksplisit tradisi hidup manusia selalu diidentikkan dengan
kebudayaan. Tidak ada makhluk hidup lain di dunia ini yang memiliki tradisi
hidup seperti manusia. Dengan ini, kita dapat berasumsi bahwa kebudayaan telah
menjadi bagian integral dari kehidupan manusia. Kebudayaan merupakan tradisi
hidup yang diwariskan secara turun-temurun kepada setiap kelompok masyarakat.
Konsep tentang kebudayaan pertama kali dirumuskan oleh para antropolog
dengan berbagai definisi seperti berikut ini. Misalnya, menurut Edward B. Tylor
seorang antropolog Inggris sebagaimana dikutip oleh Ali Saifullah, “culture is
that complex whole which includes knowledge, belief, artl, moral, law custom,
and any other capabilities and habits aquired by man as a member of society”.2
Konsep kebudayaan yang dirumuskan Tylor ini mau menunjukkan kepada kita
bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan kompleksitas realitas kehidupan
manusia. Hal ini karena di dalam kebudayaan terdapat seperangkat nilai dan
pedoman hidup serta hasil cipta dan karya manusia. Selanjutnya, menurut Ralph
Linton dalam bukunya“The cultural background of person” sebagaimana dicatat
1Bernad Raho, Sosiologi, Sebuah Pengantar, (Maumere: Ledalero, 2008), hlm.58. 2Drs. ALI Saifullah H.A., Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (Surabaya: Usaha Nasional,
1982), hlm. 24.
2
oleh Raymundus Rede Blolong bahwa kebudayaan merupakan konfigurasi
tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku manusia, yang unsur-unsur
pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.3 Setiap
kelompok masyarakat memiliki kebudayaan secara turun temurun. Artinya bahwa
kekayaan dari kebudayaan suatu masyarakat selalu merupakan warisan dari para
pendahulu (nenek moyang) yang tidak boleh direduksi atau dihilangkan oleh para
penerus. Hal inilah yang akan membentuk pribadi manusia dalam kehidupan
masyarakat menjadi makhluk yang berbudaya.
Manusia dalam kehidupannya selalu dibentuk oleh unsus-unsur
kebudayaan. Unsur-unsur pembentuk seperti simbol-simbol, bahasa, nilai-nilai,
norma-norma dan kepercayaan merupakan kekhasan dari masing-masing
budaya. 4 Setiap unsur mempunyai makna tersendiri sebagaimana simbol yang
digunakan seperti benda-benda selalu memiliki arti yang berbeda. Begitu juga
bahasa menjadi mutlak perlu dalam suatu kebudayaan guna menangkap dan
memahami hal-hal yang diproyeksikan dalam simbol-simbol yang digunakan
dalam kebudayaan tersebut. Sedangkan nilai-nilai merupakan standar-standar di
mana pendukung-pendukung dalam suatu kebudayaan mendefinisikan apa yang
dianggap baik, indah, layak dan juga dikehendaki oleh seluruh lapisan
masyarakat.
Melalui norma seorang individu dapat menentukan bagaimana ia
bertingkah laku sekaligus menilai tingkah laku orang lain sesuai dengan harapan
masyarakat. Dengan bertolak pada unsur-unsur kebudayaan inilah, manusia
menaruh harapan pada realitas yang tertinggi yakni kepercayaan pada Wujud
Ilahi. Hal ini karena manusia dalam penghidupannya selalu meyakini bahwa
eksistensi Wujud Ilahi dalam peranannya mengatasi segala kemampuan
manusiawi.
Berdasarkan pemahaman tentang konsep-konsep kebudayaan dan unsur-
unsurnya, maka konsep tentang kebudayaan dapat dipahami sebagai sebuah
tradisi leluhur. Tradisi yang diturunkan dari para leluhur dapat diekspresikan
dalam pelbagai bentuk dan yang paling umum ditonjolkan dalam setiap
3Raymundus Rede Blolong, Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Ende: Nusa Indah, 2012), hlm.
56. 4Bernad Raho, op. cit., hlm. 59-66.
3
kebudayaan ialah ritus-ritus khas dari setiap budaya setempat. Praktik ritus
sebagai hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam
dan zaman (kodrat dan masyarakat), dalam perjuangan di mana terbukti kejayaan
hidup manusia untuk mengatasi berbagai tantangan dan kesukaran di dalam hidup
dan penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada
lahirnya bersifat tertib, damai dan sejahtera. Hal ini menunjukkan bahwa setiap
kelompok masyarakat memiliki tradisi masing-masing yang diwariskan secara
turun temurun.
Indonesia merupakan sebuah negara yang plural, termasuk nilai-nilai
budayanya. Misalnya di Papua dengan budayanya sendiri yang tentu setiap suku
di Papua memiliki cara yang khas untuk melestarikan budayanya sendiri. Begitu
pula di Nusa Tenggara Timur, setiap daerah memiliki tradisi dan budayanya
masing-masing, Manggarai memiliki tradisi budayanya yang berbeda dengan
Ende, begitu juga Larantuka dengan Sumba. Keberagaman budaya ini tentu
berdampak pada pembentukkan pribadi setiap individu dalam cara bertingkah
laku.
Pulau Timor sendiri khususnya Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan
mayoritas penduduk dari suku Dawan memiliki tradisi dan kebudayaan yang khas
pula. Masyarakat Timor Tengah Selatan khususnya suku Lopo Metan di wilayah
Kokbaun memiliki sebuah tradisi ritus yang masih dipraktikkan hingga saat ini.
Tradisi itu disebut dalam istilah etnis Dawan yakni ritus “Fua Pah”. Tradisi ritus
“Fua Pah” ini diwariskan secara turun temurun menjadi kekhasan masyarakat
suku Lopo Metan. Jika dilihat secara lebih mendalam, tradisi ritus “Fua Pah” ini
merupakan warisan leluhur yang mencirikan keyakinan atau kepercayaan
tradisional. Secara historis, masyarakat suku Lopo Metan umumnya bekerja
sebagai petani dan berladang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hidup mereka sangat bergantung
dari alam. Di sini alam dapat membawa kesejahteraan hidup dan kebahagiaan
bagi mereka tetapi juga bisa mendatangkan malapetaka jika masyarakat bersikap
serakah. Hal ini tergantung bagaimana manusia mengusahakannya. Masyarakat
suku Lopo Metan memiliki tradisi-tradisi lisan yang umumnya berkaitan erat
dengan bahasa-bahasa ritus dan upacara formal di mana tradisi-tradisi lisan ini
4
menjadi satu kekuatan bagi masyarakat suku Lopo Metan itu sendiri. Semua ritus
itu khususnya dalam melakukan pekerjaan bertani (sebagai mata pencaharian
sehari-hari) sangat berkaitan erat dengan keyakinan religius tradisional (misalnya
memberi sesajian sebagai penghargaan dan penghormatan kepada Realitas
Tertinggi melalui alam dan roh para leluhur).
Tradisi-tradisi lisan yang berada di etnis Dawan dengan berbagai ritus
yang dipraktikkan oleh masyarakat suku Lopo Metan, mengartikan bahwa mereka
benar-benar yakin akan relasi Realitas Tertinggi dengan mereka melalui alam
semesta. Mereka meyakini adanya Realitas Tertinggi yang tak dapat dibahasakan,
tak berwujud atau suatu misteri yang tak terselami namun Realitas Tertinggi itu
mewujudkan diri-Nya dalam bentuk tanda dan simbol yang dapat diinderai di
dalam alam semesta. Realitas Ilahi itu mewahyukan diri secara alamiah artinya
Allah menggunakan sarana-sarana atau instrumen-instrumen yang cocok dengan
kondisi manusia untuk menyatakan diri dan menyelamatkan umat manusia (dan
alam semesta), agar manusia dapat memahami dan menerimanya, yaitu dalam
bahasa dan kategori-kategori pemikiran dan tindakan manusia.5Oleh sebab itu,
kehidupan masyarakat Dawan selalu diwarnai oleh berbagai ritus dalam setiap
kegiatan hidup mereka. Salah satu ritus yang yang masih dikenal dan dipraktikkan
oleh masyarakat Dawan hingga kini adalah Fua Pah. Ritus ini diciptakan untuk
menyiasati alam yang gersang dan iklim yang kurang bersahabat. Ritus Fua Pah
juga merupakan salah satu ritus yang berhubungan erat dengan sistem
kepercayaan masyarakat Dawan mengenai Roh Leluhur dan Alam Semesta.
Ritus Fua Pah merupakan bentuk penyembahan terhadap Roh-Roh dari
leluhur yang sebenarnya tidak dapat diinderai dan dijangkau oleh daya nalar
manusia. Akan tetapi, kehadiran dari wujud tertinggi tersebut dirasakan sebagai
sesuatu yang dahsyat melebihi kekuatan manusia. Hal ini tidak akan kita pahami
tanpa mengetahui hubungan antara Tuhan, pekerjaan suku Lopo Metan (bercocok
tanam), dan pemujaan terhadap roh dalam ritus Fua Pah. Dengan adanya ritus ini,
maka alam selalu dipandang sebagai manifestasi diri Allah yang bebas dan
5Remigius Ceme, Mengungkap Relasi Dasar Allah Dan Manusia (Maumere: Ledalero, 2012),
hlm. 74.
5
personal yang memanggil manusia untuk memberikan jawaban iman yang bebas
dan personal pula.6
Maka melalui tulisan ini, penulis ingin menggali makna yang tersirat
dalam ritus ini untuk mengatasi berbagai problem yang bisa terjadi yakni
pertama, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin
maju, di satu pihak manusia memahami konsep ritus Fua Pah sebagai upacara
penyembahan berhala, namun di lain pihak di balik ritus Fua Pah terdapat nilai-
nilai religius. Kedua, ritus Fua Pah merupakan warisan leluhur yang perlu
dipertahankan oleh anak-anak muda dewasa ini dan tidak boleh dihilangkan oleh
manusia siapa pun. Hal ini karena ritus Fua Pah memiliki nilai-nilai mulia yang
menjadi landasan iman terhadap wujud tertinggi yang tidak bisa dicapai oleh nalar
manusia. Oleh karena itu, dengan berpijak pada uraian tentang kebudayaan etnis
Dawan khususnya tradisi ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun,
maka penulis memilih judul: RITUS FUA PAH SUKU DAWAN LOPO
METAN-KOKBAUN: SEBUAH KAJIAN TEOLOGIS IMAN KRISTIANI.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah pokok yang menjadi titik fokus dari penulisan ini adalah untuk
mencari dan menemukan nilai-nilai teologis di balik tradisi ritus Fua Pah
masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun. Dengan demikian, masalah pokok dari
penelitian dan pembahasan tema ini ialah bagaimana hubungan antara nilai-nilai
ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun dengan nilai-nilai
Kristiani?
Masalah-masalah lain yang timbul dari masalah utama di atas dan yang
dapat dirumuskan untuk dijadikan pedoman dalam penelitian adalah:
1. Sejauh mana kesadaran masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun akan nilai-
nilai positif di balik ritus Fua Pah?
2. Apa makna dan fungsi dari ritus Fua Pah bagi masyarakat suku Lopo Metan-
Kokbaun?
3. Nilai-nilai positif apa saja yang terkandung dalam ritus Fua Pah?
6Remigius Ceme, op. cit., hlm. 77.
6
4. Sejauh mana dampak yang dirasakan oleh masyarakat suku Lopo Metan-
Kokbaun terkait tradisi ritus Fua Pah bagi penghayatan iman Kristiani mereka
di masa kini?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini berdasarkan kajian
penelitian penulis adalah sebagai berikut.
Pertama, untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat yang menjadi
tuntutan akademis dari Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero demi
memperoleh gelar Sarjana (S1).
Kedua, untuk menjelaskan secara detail dari arti kebudayaan dan
komponen-komponen yang ada dalam setiap kebudayaan dan pentingnya nilai-
nilai religius dalam tradisi ritus setiap kebudayaan serta relevansinya bagi iman
Kristiani masa kini. Khususnya menggali kekayaan nilai-nilai teologis yang
terkandung dalam ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun.
Ketiga, untuk mendeskripsikan dan merumuskan nilai-nilai teologis dalam
ritus Fua Pah suku Dawan Lopo Metan yang secara jelas menjadi sarana dalam
mengakarkan nilai-nilai Kristiani ke dalam budaya lokal khususnya dalam budaya
masyarakat suku Lopo Metan.
Keempat, untuk meningkatkan rasa cinta dan penghargaan terhadap
kekayaan nilai-nilai kebudayaan lokal. Selain itu, untuk membantu masyarakat
suku Lopo Metan agar semakin menyadari kekayaan nilai-nilai budaya dan tradisi
leluhur.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan dua metode yakni metode penelitian
kepustakaan dan metode penelitian lapangan. Dalam metode kepustakaan penulis
berusaha mengumpulkan bahan-bahan yang tersedia dalam berbagai buku,
literatur, dan ensiklopedi kebudayaan baik yang langsung berhubungan dengan
tradisi ritus Fua Pah maupun tidak langsung. Sumber-sumber yang dikaji dalam
metode ini digunakan sebagai referensi sekunder dalam melengkapi hasil
7
penelitian lapangan. Metode kepustakaan ini digunakan karena
mempertimbangkan variabel lain dalam judul tulisan ini.
Sedangkan metode penelitan lapangan, penulis menggunakan metode
wawancara langsung dan metode observasi partisipatoris. Metode wawancara
langsung dengan tokoh-tokoh adat sebagai informasi kunci. Dalam metode
wawancara langsung ini, penulis mengumpulkan sebanyak mungkin informasi
seputar tradisi ritus Fua Pah.
1.5 Sistematika Penulisan
Demi mendapat suatu kajian penulisan yang runtut maka dalam
menyusun, mengolah, dan menyelesaikan penulisan ini, penulis membaginya
dalam empat bab dengan perinciannya sebagai berikut:
Dalam bab I, penulis memuat pendahuluan sebagai bahasan atas kajian
latar belakang tema dan judul tulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode
penulisan, serta sistematika penulisan yang menjadi pedoman kajian penulis
dalam menyelesaikan penulisan ini.
Dalam bab II, penulis menguraikan tentang gambaran umum masyarakat
Lopo Metan-Kokbaun. Pada bagian ini akan dibahas sejarah asal usul nenek
moyang suku Lopo Metan, keadaan geografis, mata pencaharian, sistem
kekerabatan, sistem kepercayaan asli sebelum agama katolik masuk. Dalam
bagian ini juga akan menguraikan tentang apa itu Fua Pah, bagaimana tata
pelaksanaan praktek tradisi ritus Fua Pah serta fungsi dan makna ritus Fua Pah
bagi masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun.
Dalam bab III, penulis akan membahas dan menganalisa secara teologis
tradisi ritus Fuah Pah yang berpijak pada penghayatan iman Kristiani. Pada
bagian ini, penulis juga akan mengkaji perjumpaan nilai-nilai potitif dalam ritus
Fua Pah dengan nilai-nilai Kristiani.
Dalam bab IV, merupakan penutup tulisan yang berisi kesimpulan, usul,
dan saran. Penulis merangkum kesimpulan dari tulisan yang dibahas sebelumnya
dan menyertakan usul dan saran bagi masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun dan
bagi masyarakat seluruhnya.
8
BAB II
MENGENAL RITUS FUA PAH SUKU LOPO METAN DI WILAYAH
KOKBAUN
Pada bab ini penulis akan mendeskripsikan sejarah suku Lopo Metan,
keadaan geografis, sistem kekerabatan, sistem kepercayaan, dan pengenalan ritus
Fua Pah suku Lopo Metan. Pada bagian sejarah suku Lopo Metan, akan diuraikan
mengenai asal-usul nenek moyang masyarakat suku Lopo Metan dan mengapa
disebut suku Lopo Metan. Pada bagian keadaan geografis akan diuraikan
mengenai kondisi alam di wilayah-wilayah tempat masyarakat suku Lopo Metan
menetap. Pada bagian sistem kekerabatan, akan diuraikan mengenai sistem relasi
sosial kemasyarakatan dan faktor-faktor pembentuk relasi tersebut. Pada bagian
sistem kepercayaan akan diuraikan mengenai kepercayaan asli masyarakat suku
Lopo Metan sebelum masuknya agama Kristen. Sedangkan pada bagian
pengenalan ritus Fua Pah, akan dibahas mengenai pengertian, tata pelaksanaan,
fungsi, dan makna ritus Fua Pah yang menjadi dasar pembahasan dalam tulisan
ini.
2.1 Sejarah Suku Lopo Metan
Suku Lopo Metan merupakan salah satu suku yang mendiami kawasan
barat Kecamatan Kokbaun, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Suku Lopo Metan
tergolong sebagai suku mayoritas di wilayah Kokbaun karena pada masa silam
kebudayaan suku Lopo Metan merupakan suku pertama yang mendiami wilayah
tersebut dan memperanakan suku-suku lain misalnya suku Manu dan suku Bien.
Kebudayaan suku Lopo Metan memiliki kekhasan di seluruh wilayah Kokbaun.
Kesamaan kekhasan budaya yang dimiliki oleh masing-masing suku adalah cerita
rakyat, pantun-pantun dan dongeng.
Suku Lopo Metan menyebar di seluruh wilayah Kokbaun yang meliputi
beberapa kampung atau desa yakni desa Niti, desa Sapnala, desa Benahe, desa
9
Kol’Oto dan desa Lotas. “Suku Lopo Metan merupakan suku terbesar yang terdiri
dari beberapa klan kecil yang disatukan menjadi klan besar yang disebut kanaf.”7
Sebagai suku terbesar di wilayah Kokbaun, peran setiap klan dalam suku Lopo
Metan harus turut mengambil bagian dalam pelaksanaan ritus adat yang
merupakan warisan leluhur dalam komunitas suku. Selain itu, mereka memiliki
kekhasan berbahasa adat dan ritus adat yang sama. Bahasa ritus yang sering
digunakan dalam praktik-praktik ritus ialah bahasa Dawan dalam bentuk syair-
syair adat atau dalam bahasa Dawan disebut dengan natoni adat.
Bahasa ritus merupakan bahasa yang bernilai tinggi, karena penuh dengan
simbol-simbol dan metafora serta berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-
hari.8 Dalam setiap kebudayaan memiliki bahasa ritusnya masing-masing yang
menunjukkan kekhasan setiap budaya. Kekhasan berbahasa pun diturunkan sesuai
latar belakang setiap suku. Suku Lopo Metan sebenarnya merupakan salah satu
suku yang memiliki kekhasan bahasa yakni bahasa Dawan atau disebut sebagai
uab meto. Sama seperti wilayah lain pada umumnya, suku Lopo Metan
menggunakan bahasa Dawan sebagai bahasa daerah, namun memiliki dialek dan
aksentuasi yang cukup berbeda dengan suku-suku lain. Bahasa Dawan atau uab
meto memiliki kekhasan tersendiri pada saat pelaksanaan ritus.
Pada umumnya penggunaan bahasa ritus di semua masyarakat etnis dawan
yang ada di pulau Timor sangat berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-
hari. Dalam konteks masyarakat suku Lopo Metan pun demikian. Bahasa yang
digunakan sehari-hari jauh berbeda dengan bahasa ritus yang dianggap sebagai
bahasa yang bernilai tinggi. Dengan demikian, bahasa ritus bagi mereka sebagai
cara penggunaan kosakata yang khas untuk mengungkapkan perasaan dan nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menciptakan
keindahan dalam menyampaikan pesan dan juga untuk mengungkapkan identitas
budaya mereka.
7Kanaf secara harafiah diartikan sebagai nama dari suatu klan besar yang mendiami satu suku.
Kanaf berarti nama yang menjadi identitas diri seseorang. Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh
adat suku Lopo Metan, Kokbaun 29 Juni 2019. 8James J. Fox, Bahasa, Sastra dan Sejarah (Jakarta: Djambatan, 1986), hlm. 236-238.
10
2.1.1 Asal-Usul Nenek Moyang Suku Lopo Metan
Dalam tradisi suku Lopo Metan, ada orang-orang tertentu yang dipercaya
dan mengetahui dengan sangat jelas bahasa adat setempat. Orang yang dituakan
dalam suku yang boleh menggunakan bahasa ritus ketika melaksanakan ritus adat.
Hal ini sangat berkaitan dengan hubungan manusia dengan kosmos dan bagi Fox
artikulasi alam semesta selalu dikaitkan dengan peranan akan unsur supernatual,
di mana dimensi tidak kelihatan seharusnya didekati dengan cara tertentu yakni
dengan melaksanakan ritus dengan menggunakan bahasa ritus atau metafora-
metafora.9 Konsep suku Lopo Metan sama seperti yang diuraikan oleh Fox dan
bahasa ritus dianggap sakral dalam suku sebagai warisan leluhur mereka hingga
dewasa ini.
Pada umumnya, setiap suku yang ada di wilayah Kokbaun memiliki
riwayat asal-usulnya masing-masing. Meskipun mereka memiliki riwayat asal-
usul masing-masing, namun mereka semua memiliki kesamaan kisah yang hampir
mirip. Hal ini karena tergantung bagaimana nenek moyang dari setiap suku
menceritakan asal-usul suku mereka dari versi yang berbeda. Ada yang
menceritakan asal-usul kedatangan nenek moyang dari tempat yang jauh dan tidak
mengetahui tempat asal yang sebenarnya. Ada pula suku yang secara persis
mengenal asal-usul kedatangan nenek moyang dari suku-suku terdekat, sehingga
masih ada kesinambungan cerita yang hampir mirip dan kadang mereka
menggunakan syair adat.
Dalam bahasa dawan syair adat disebut takanab, dan orang yang
mengucapkannya disebut mafefa, juga sering dipakai nama lais tonis dan
orangnya juga disebut apiot lasi.10 Secara garis besar akan dikisahkan mengenai
kedatangan nenek moyang suku Lopo Metan atau sejarah asal-usul nenek moyang
suku lopo metan berdasarkan mitologi dan cerita-cerita rakyat yang hidup dan
sudah diwarisi secara turun temurun. Kisahnya adalah sebagai berikut.
9James J. Fox, op. cit., hlm. 143. 10ADM Parera, Sejarah Pemerintahan Raja-Raja Timor, diedit oleh Drs. Gregor Neonbasu, SVD
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 24.
11
Bahasa dawan “Un-unu sin be’i ma na’i kan
mui fa uim le’u. Ton natun
mese ma mese sin na’i npoi na
ko pah timor leste ka makana
fa. Sin nao-naon neman ntea
noemuti ka natambok fa msat.
Oke sin nao-naon neman ntea
pah mollo, sin tokon kian nbi
bale nae lalo. Oke sin
nakanbok nbin pah molo, mes
am nemat namfaun nabua nok
sin le he kase askolat le nem
piut Ma natan sin, mes sin ka
makana es sinan etun sin
kanan nak Lopo. Na ko nae sin
nahakeb nan lopo ma nhal
nana. Oke sin fam es halla ma
lopo. Mes nmui uable nak neu
sin nak ume nae hit teana lopo
metan-metan. Sin natenab
namaebok oke nfen he naon
nten mes fe n’etun usif na
Oematan. Sin be’i ma na’i
fenan nbin nae nao-naon
neman ntea pah es in kana
Sabun, Amanatun Selatan sin
toko nbin bale nae. Nbin nae
msa nmui tubu es ma sin nsae
ma nlolon manu mtasa, oke
nsanun na ko tubu nae atoni
bife fentaha neu sen pen muti
ma pena pnais. Oke sin na
pleob fatu teun ma nlolon
manu neuna ma sin natam
manu neu noah in nanan le nak
nek nhanik ai maputu. Na ko
nae sin nfenan nten neo Sona
ma ntokon nbin, oke sin nema
neu Sono mes sin ka ntokon
lalo nbin nae ma sin neman
nten neu kuan noe nok nain
mnasi, an usif an tob. Sin fenan
nten na ko kuan Noe oke
neman ma ntokon nbin
Nausenu, oke nfenan nten neo
Terjemahan bahasa Indonesia
Dahulu kala nenek moyang suku Lopo
Metan tidak memiliki rumah adat. Tahun
seratus satu (101), mereka keluar dari Timor
Leste, Lalu mereka pindah dan menetap di
Noemuti. Setelah itu, mereka pindah lagi ke
wilayah Mollo dan menetap lama di situ.
Pada saat itu, banyak kaum terdidik yang
datang untuk berkunjung sambil mempelajari
asal-usul dari nama suku mereka yakni suku
lopo. Pada saat itulah mereka mulai
membangun sebuah rumah adat dan
memasang para-para, itulah nama suku
mereka Lopo dan Halla. Namun berbagai
kritikan terhadap mereka karena rumah yang
mereka diami itu dalam keadaan Gulita.
Dengan kritikan-krikan itu, mereka pun malu
lalu memberitahukan kepada raja Oematan
untuk meninggalkan wilayah Mollo. Mereka
keluar dari Mollo dan mereka beranjak lagi
kewilayah Sabun di Amanatun Selatan lalu
menetap di tempat itu. Di Sabun ada sebuah
gunung yang memungkinkan mereka untuk
melakukan upacara ritus lalu mereka pun
membawa seekor ayam merah ke atasnya
dan membunuh ayam merah itu untuk
memohon kesuburan tanah serta hujan.
Setelah itu, mereka semua laki-laki dan
perempuan turun dari atas gunung lalu mulai
menanam jagung yang telah disediakan
sebagai bibit khusus untuk ditanam. Mereka
lalu meletakan tiga buah batu pelat dan darah
ayam yang disembelih itu dan mereka
teteskan di atas batu-batu tersebut. Setelah
itu memasukkan ayam tersebut ke dalam
buah kelapa sebagai tanda pendinginan atas
api panas atau musim panas yang
berkepanjangan. Setelah itu, mereka lalu
pindah lagi ke Sona dan menetap di situ,
namun tidak betah di situ mereka lalu
singgah di Sono dan tidak lama menetap di
situ. Mereka pindah lagi dari Sono ke Kuan
Noe bersama-sama dengan tua-tua adat, raja
dan masyarakat. Setelah itu mereka lalu
pindah lagi dari kuan Noe ke Nausenu dan
dari situ mereka ke Oenunuh pun tidak
12
Oe Nunuh mes kan malan fa
nbi bale nae ok sin neman nten
neu Kiu Naek un ma ntok nbin
nae tala nabal-nabal. Nbin
bale nae sin lopo nahakeb nan
ma nasufab nan lopo ma manu.
Onane ma ntek sin nak ume
nua esa ume lopo metan ma
ume manu.”11
bertahan dan pada akhirnya mereka menetap
di Kiunaek hingga saat ini. Di Kiu Naek
mereka membangun rumah adat di situ
karena bertambahnya anggota suku Lopo
dan Manu. Dengan demikian, rumah adat
mereka secara umum disebut suku Lopo
Metan
Secara singkat, kehidupan awal masyarakat suku Lopo Metan berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Keadaan ini dilatarbelakangi oleh
kondisi alam dan keadaan finansial yang menjadi pemenuhan akan kebutuhan
hidup mereka sehari-hari. Di lain pihak, keadaan tersebut memberi mereka
peluang untuk menetap dan menjadi satu masyarakat utuh dalam satu
kebudayaan yang didasari oleh cita-cita dan keinginan bersama sebagai satu
keluarga besar suku Lopo Metan.
Berdasarkan kronologi historis di atas sebenarnya bisa dibilang
masyarakat suku Lopo Metan bukanlah masyarakat asli melainkan masyarakat
pendatang yang kemudian berkumpul dalam satu tujuan polis (masyarakat
tradisional). Sebagai satu polis masyarakat suku Lopo Metan dalam
perkembangannya mermbangun sebuah kehidupan baru yang didasari oleh tujuan
bersama. Atas tujuan bersama itu, akhirnya masyarakat suku Lopo Metan mampu
membuka ruang kehidupan baru dalam situasi yang mereka alami dengan
membentuk sebuah tradisi kebudayaan bersama sebagai ungkapan akan rasa
kegembiraan, syukur, sekaligus permohonan kepada alam yang telah
menyediakan mereka sebuah tempat kehidupan baru. Oleh karena itu, dalam
kronologi historitas di atas sebenarnya mengungkapkan proses pembentukan
sebuah kebudayaan yang nampak dalam cara hidup masyarakat suku Lopo Metan
sebagai pendatang sekaligus menjadi penduduk yang berpindah-pindah dari satu
iklim – alam ke iklim – alam yang lain sambil mencari dan menemukan rumah
sebagai tempat kediaman bagi pembentukkan atau wadah bagi mereka
menyatukan satu hasrat bersama sebagai masyarakat suku Lopo Metan. Dengan
11Hasil wawancara dengan Stefanus Halla, Tokoh adat suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 2 Juli
2019 di kuan Upun.
13
demikian itulah secara singkat cikal bakal pembentukkan kebudayaan
masyarakat suku Lopo Metan.
2.1.2 Keadaan Geografis
Dalam pembahasan sebelumnya telah disinggung mengenai masyarakat
suku Lopo Metan yang menyebar di sisi barat Kecamatan Kokbaun, Kabupaten
Timor Tengah Selatan. Penyebaran suku Lopo Metan ini pada umumnya meliputi
wilayah kampung Upun, kampung Noe, Sapnala, Taupi, Oenunuh, Oken,
Haunenes, Pini, Ayo Kokle’o dan Bestobe. Secara umum, keadaan geografis di
wilayah-wilayah itu merupakan wilayah-wilayah yang berbukit dengan
kemiringan yang cukup curam serta padang rumput yang luas. Pada umumnya
wilayah-wilayah perbukitan memiliki tanah yang subur sehingga tumbuh berbagai
jenis pohon, sedangkan pada wilayah padang rumput memiliki kandungan tanah
yang kurang subur sehingga di sekitarnya tidak tumbuh pepohonan.
Kondisi geografis yang demikian, sangat mempengaruhi pola pemanfaatan
alam lingkungan. Dengan demikian, masyarakat suku Lopo Metan sering
memanfaatkan wilayah yang berbukit dan lembah untuk dijadikan sebagai lahan
perkebunan. Sedangkan di wilayah padang rumput yang ditumbuhi rerumputan
sering dijadikan tempat merumput untuk hewan-hewan peliharaan. Di wilayah
padang rumput juga sering diolah sedemikian rupa sehingga tanahnya dapat
dimanfaatkan untuk berkebun.
Keadaan iklim di wilayah-wilayah suku Lopo Metan pada umumnya tidak
jauh berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Nusa Tenggara Timur, yakni
beriklim tropis. Dengan demikian, hanya terdapat dua musim dalam setahun yakni
musim hujan dan musim kemarau. Akan tetapi, dewasa ini curah hujan tidak
menentu seperti adanya pergeseran musim sehingga wilayah-wilayah yang ada
terancam kekeringan. Keadaan ini sangatlah berbeda dengan keadaan alam pada
masa lampau yang memiliki hutan-hutan nan lebat dan memiliki tingkat
kesuburan tanah yang sangat baik. Sehingga pada masa sekarang dengan keadaan
alam yang tak menentu seperti curah hujan yang rendah telah mengakibatkan
kekeringan pada wilayah barat Kecamatan Kokbaun.
14
2.1.3 Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat suku Lopo Metan pada umumnya adalah
bertani. Aktivitas bertani dilakukan dengan mengolah tanah atau kebun sendiri
dengan cara-cara yang tradisional tanpa bantuan mesin atau traktor. Pengolahan
tanah dilakukan dengan menggunakan alat cangkul seperti pacul, linggis, tajak
dan parang. Mereka hidup dengan mengandalkan bantuan alam seperti curah
hujan di musim menanam. Mereka memiliki filosofi tersendiri bahwa alam adalah
ibu yang dapat memberi makan dan menolong mereka untuk mempertahankan
hidup di bumi serta dapat memberikan kesejahteraan bagi mereka. Selain
pekerjaan bertani yang mereka geluti untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka
juga berternak atau memelihara hewan-hewan yang memiliki nilai ekonomis
tinggi seperti sapi, babi, anjing, dan ayam dan hewan-hewan peliharaan tersebut
dapat juga dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan adat.
2.1.3.1 Bercocok Tanam
Pada umumnya masyarakat Dawan hidup dari pertanian, sehingga ada
pula mitologi yang bersifat agraris, yang sekaligus mengungkapkan hubungannya
secara harmonis kosmos. Dengan adanya mitologi-mitologi yang mengisahkan
asal usul manusia dari makhluk dunia, maka keterikatan antara manusia dan
kosmos sangatlah erat.12 Masyarakat suku Lopo Metan merupakan masyarakat
agraris. Sebagai masyarakat agraris, mata pencaharian utama ialah bercocok
tanam.
Dengan bercocok tanam, masyarakat suku Lopo Metan selalu menaruh
harapan hidup mereka pada alam. Ketergantungan inilah yang membuat mereka
untuk membangun relasi yang sangat intim dengan alam. Mereka meyakini bahwa
alam memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap keberhasilan mereka dalam
usaha pertanian. Sistem bercocok tanam selalu mengikuti siklus musim dalam
setahun. Ketika musim kemarau, mereka membuka atau membersihkan kebun
baru sehingga ketika musim hujan tiba mereka mulai menanam. Proses bercocok
tanam dimulai dari membersihkan lahan, menanam jagung, ubi kayu, pisang,
12Dr. Stephan Ozias Fernandez, SVD, Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini
(Maumere: Ledalero, 1990), hlm. 114
15
kacang hijau, lombok, dan pepaya sampai pada memanen hasil. Dan dalam proses
tersebut selalu disertai dengan ritus adat seturut tahapan-tahapan dalam bercocok
tanam. “Ritus adat yang dimaksud merupakan suatu bentuk permintaan berkat
dari Wujud Tertinggi, roh alam dan roh leluhur agar aktivitas bercocok tanam
dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan panenan yang berlimpah.”13
Selain itu, dalam aktivitas bercocok tanam, masyarakat suku Lopo Metan
memiliki tradisi gotong-royong dalam bentuk kelompok yang disepakati bersama.
Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang ingin bekerja
secara individual. Mereka yang bekerja secara individual ini bukan berarti bahwa
mereka tidak menghargai dan mengikuti tradisi dalam suku Lopo Metan. Cara
kerja seperti ini dikenal dengan nama “meup tanoeb”14 yang merupakan suatu
sistem kerja gotong royong dari kebun yang satu ke kebun yang lain atau
dilakukan secara bergilir. Bagi masyarakat suku Lopo Metan, “cara kerja gotong
royong seperti ini merupakan suatu bentuk ungkapan persaudaraan dalam suku
dan dapat meringankan pekerjaan anggota suku yang lain.”15 Pola kerja meup
tanoeb ini masih dilakukan hingga saat ini dan sudah menjadi tradisi bagi
masyarakat suku Lopo Metan ketika melakukan pekerjaan bercocok tanam.
2.1.3.2 Beternak
Selain bercocok tanam, masyarakat suku Lopo Metan juga beternak.
Dalam komunitas suku Lopo Metan, aktivitas beternak bukan suatu aktivits
pokok, melainkan aktivitas sampingan demi menunjang kehidupan ekonomi
dalam keluarga. Semua anggota suku Lopo Metan memiliki kebiasaan yang sama
yakni beternak. Hal ini pun sudah dilakukan sejak dahulu sampai sekarang
sehingga kebiasaan beternak terus dilakukan dan dipelihara dalam wilayah suku
mereka. Jenis ternak atau hewan peliharaan mereka seperti sapi, babi, anjing,
ayam dan lain-lain. Hewan-hewan peliharaan seperti sapi dan babi sangat
13Hasil wawancara dengan Andreas Lopo, Tokoh Adat Suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 28 Juni
2019, di kuan Upun. 14Meup tanoeb dari bahasa dawan yaitu meup berarti kerja dan tanoeb berarti bergilir. Secara
harafiah meup tanoeb berarti kerja bergilir atau bekerja secara bergilir dari satu tempat ke tempat
lain atau dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Hasil wawancara Kornelis Tanu, tokoh adat
suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 27 Juni 2019 di Taupi. 15Hasil wawancara Kornelis Tanu, tokoh adat suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 27 Juni 2019 di
Taupi.
16
didukung oleh keadaan geografis wilayah tersebut yakni, terdapat padang-padang
rumput yang luas. Sistem pemeliharaannya dilakukan dengan cara mengikat
hewan-hewan tersebut dengan seutas tali yang panjang pada tumpuan yang kokoh
di sekitar padang yang berumput atau mengikatnya di sekitar rumah. Hal ini
dilakukan agar lebih mudah untuk mengontrol hewan-hewan peliharaan mereka.
Selain itu, hewan yang dikandangkan atau dilepas di sekitar kompleks
kampung seperti babi, ayam dan anjing dilakukan dengan cara yang sangat
tradisional dan masih dipraktikkan hingga kini, yakni ketika hari mulai sore,
setiap anggota keluarga mulai memukul sebatang bambu atau dengan cara
memanggilnya dengan panggilan yang khas. Menarik bahwa keakraban
masyarakat dengan hewan peliharaan begitu dekat sehingga dengan cara apa pun
hewan peliharaan mereka akan secepatnya masuk kandang.
Hewan-hewan peliharaan tersebut pada umumnya memiliki nilainya
tersendiri bagi masyarakat suku Lopo Metan. Hal itu sangat tampak di mana
hewan-hewan peliharaan bisa digunakan sebagai bahan kurban dalam ritus adat,
sebagai sarana utama dalam tata adat perkawinan serta dijual untuk menunjang
kebutuhan rumah tangga dan juga untuk membantu melancarkan kebutuhan
sekolah pada anak-anak mereka. Berhubungan dengan hewan yang digunakan
dalam tata adat perkawinan dalam masyarakat suku Lopo Metan sangatlah
berbeda. Misalnya di setiap suku yang ada di bagian Pulau Flores, umumnya
hewan digunakan untuk mengantarkan belis. Selain itu, hewan-hewan lain
digunakan untuk membantu mereka seperti anjing yang digunakan untuk berburu
atau menjaga rumah dan kebun mereka. Sebagaimana yang dilakukan oleh suku
lain di pulau Flores, sangatlah berbeda dengan wilayah suku Lopo Metan. Dalam
tata adat suku Lopo Metan, mereka tidak mengenal istilah belis. Hewan-hewan
peliharaan yang mereka miliki dikhususkan untuk ritus adat Fua Pah. Sedangkan
dalam adat perkawinan, hanya digunakan untuk melancarkan acara-acara dalam
upacara-upacara adat maupun pernikahan secara sah dalam gereja.
2.1.4 Sistem Kekerabatan
Kekerabatan merupakan suatu ikatan keanggotaan seorang individu ke
dalam bentuk keluarga melalui perkawinan atau turunan darah. Hal ini dapat
17
menciptakan suatu ikatan atau hubungan antar individu dan kelompok.
Kekerabatan yang dibentuk karena hubungan darah dan perkawinan ini akan
mengikat orang-orang yang terlibat di dalamnya dan akan membentuk suatu
hubungan yang berlangsung secara turun-temurun. Hubungan antar suku ialah
hubungan kekeluargaan yang dimulai dengan hubungan kawin-mawin secara
eksogami.16
Dalam konteks masyarakat suku Lopo Metan-Kokbaun, hubungan
kekerabatan yang terjalin atas dasar hubungan garis keturunan di mana keluarga
inti yang disebut ume17dan membentuk suatu klan besar yang disebut kanaf. Klan
besar kanaf ini terbentuk dari gabungan antara klan-klan kecil. Selain kekerabatan
karena garis keturunan darah, juga terdapat suatu kekerabatan dalam perkawinan
antar suku maupun antar klan besar yang disebut kanaf.
2.1.4.1 Kekerabatan Karena Garis Keturunan (Uem Kanaf)
Masyarakat suku Lopo Metan mengenal suatu sistem kekerabatan yang
dihasilkan oleh kesamaan garis keturunan darah. Melalui kekerabatan yang
dibentuk, keluarga inti atau ume yang satu membentuk ikatan dengan keluarga inti
yang lain berdasarkan garis keturunan ayah. Kumpulan keluarga inti yang satu
dengan keluarga inti yang lain berdasarkan genealogis patrilineal ini akan
membentuk suatu klan besar yang disebut kanaf. Relasi ini berlangsung dan
mengikat secara turun temurun yang bersifat tetap dan tidak dapat diubah oleh
siapa pun.
Bagi masyarakat suku Lopo Metan, anggota keluarga yang memiliki hak
penuh dalam uem kanaf adalah anak laki-laki sulung yang disebut atonen amaf.
Anggota kelurga yang dimaksud ini terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang
belum kawin. Bentuk perkawinan dalam masyarakat suku Lopo Metan bersifat
patrilineal, sehingga setiap pasangan muda yang baru saja menikah akan tinggal
di lingkungan keluarga isteri selama beberapa tahun lamanya. Alasan pasangan
muda tinggal di rumah keluarga isteri karena dari pihak keluarga laki-laki belum
16ADM Parera, Sejarah Pemerintahan Raja-Raja di Timor, diedit oleh Gregor Neonbasu, SVD,...,
op. cit., hlm. 100. 17Ume mnasi dan lopo mnasi memiliki makna yang sama. Ume mnasi atau lopo mnasi adalah
rumah adat setiap suku yang mendiami satu wilayah tertentu. Ume mansi juga merupakan tempat
di mana semua anggota suku berkumpul untuk melaksanakan upacara-upacara adat.
18
memenuhi tuntutan adat. Jika proses pertunangan dan tuntutan adat selesai, maka
suatu saat pasangan muda ini akan pindah ke tempat di mana pihak keluarga asal
suami untuk menetap di situ.
Selain itu, setiap klan besar kanaf memiliki rumah adatnya masing-masing
yang disebut lopo. Setiap upacara adat atau pembicaraan mengenai kehidupan
anggota klan akan dilangsungkan di lopo. Dalam tradisi adat suku Lopo Metan,
“anak perempuan sulung bife naek diberi hak untuk mendiami lopo tersebut dan
dianggap sebagai penjaga rumah suku atau ume mnasi atau lopo mnasi.” 18
Meskipun lopo atau ume mnasi didiami oleh perempuan sulung, namun yang
berhak memberikan petuah ialah laki-laki sulung atau yang tertua. Peran
perempuan sulung sebagai penjaga sedangkan peran laki-laki sulung sebagai
petuah dalam melakukan ritus di rumah suku atau lopo mnasi ume mnasi. Selain
itu, mereka pun bersama-sama memiliki tanggung jawab besar untuk bersatu hati
dalam melestarikan segala tradisi leluhur.
2.1.4.2 Kekerabatan karena Perkawinan (Fe Mone)
Di seluruh pulau Timor terdapat dua sistem perkawinan segi satu
(unilateral) yaitu patriarkat dan matriarkat. 19 Sistem perkawinan dalam
masyarakat suku Lopo Metan ialah sistem perkawinan patriarkat. Namun dalam
masyarakat suku Lopo Metan sistem perkawinan patriarkat tersebut lebih sering
disebut dengan sistem kekerabatan yang terjadi oleh perkawinan (fe mone).
Kekerabatan ini terjalin antara suku pemberi dan penerima dari kedua belah pihak
atau istri-suami (fe mone). Relasi antar suku di wilayah masyarakat Kokbaun
menunjukkan bahwa perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan dapat menghubungkan kedua suku yang ada. Sistem relasi ini bersifat
tetap dan turun-temurun.
Sistem perkawinan yang dianggap baik menurut masyarakat suku Lopo
Metan ialah perkawinan antara dua klan yang sudah terikat oleh hubungan
perkawinan. Dalam tradisi mereka, “jika hubungan antar klan semakin kuat, maka
mas kawin yang harus diberikan pula harus sesuai dengan permintaan dari klan
18Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat, Kokbaun, pada 2 Juli 2019 di kuan Upun. 19ADM Parera, Sejarah Pemerintahan Raja-Raja di Timor, diedit oleh Drs Gregor Neonbasu,
SVD,,..., op. cit., hlm. 105.
19
yang lain yang menjadi satu ikatan klan besar. Semua anggota yang ada dalam
ikatan kekerabatan merupakan hasil dari sebuah klan patrilineal yang berjumlah
banyak. Dalam ikatan klan-klan yang ada biasanya disebut menurut nama benda
suci nono yang menjadi barang pusaka milik mereka.”20
Dalam tradisi perkawinan menurut sistem perkawinan fe mone, seorang
istri diakui sebagai warga dalam klan suaminya. Hal ini berarti bahwa seorang
istri sudah menjadi tanggung jawab dalam seluruh warga klan dan menjadi bagian
dari keluarga besar klan suami. Selain itu kedua orang tua dari seorang istri yakni
ayah dan ibu pun termasuk dalam ikatan nono dari klan suami. Klan-klan yang
ada dalam satu suku pun biasanya digolongkan dalam tiga kelompok klan yakni
“mereka yang berkuasa atas tanah yang diduduki atau disebut sebagai kua tuaf,
kaum pendatang baik atas hasil kawin-mawin maupun mereka yang datang dan
menetap sendiri di tempat yang telah diduduki atau disebut sebagai atone amafet,
dan para pendatang yang berstatus mengungsi di tempat kua tuaf tinggal atau
disebut sebagai atone amnemat.”21
2.1.5 Sistem Kepercayaan
Masyarakat suku Lopo Metan dewasa ini, pada umumnya telah menganut
agama-agama modern yakni agama Katolik Roma. Jauh sebelum menganut
agama Katolik, masyarakat suku Lopo Metan telah memiliki kepercayaan asli.
Dalam kepercayaan asli itu, mereka mengenal dan mengakui adanya dewa-dewi
dan kekuatan-kekuatan lain yang melampaui kemampuan manusia. Artinya
bahwa sebelum masuknya agama Katolik dengan sistem kepercayaan yang baru
sebagaimana telah dibawa oleh para misionaris Portugis, masyarakat suku Lopo
Metan telah memiliki kepercayaan tradisional. Selain itu, mereka juga memiliki
kepercayaan pada kekuatan-kekuatan lain yang termanifestasi dalam roh para
leluhur dan roh alam. Dengan demikian, pada bagian ini akan diuraikan sistem
kepercayaan masyarakat suku Lopo Metan dalam tiga bagian yakni kepercayaan
20Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 4 Juli 2019 di
Kuan Upun. 21Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 4 juli 2019 di
kuan Upun.
20
kepada Wujud Tertinggi atau Uis Neno, roh leluhur atau uis nitu dan roh alam
atau uis pah.
2.1.5.1 Kepercayaan kepada Wujud Tertinggi (Uis Neno)
Sistem kepercayaan masing-masing daerah di Nusa Tenggara Timur
terhadap Wujud Tertinggi, pada umumnya memiliki sebutan nama yang berbeda-
beda. Pada intinya bahwa masing-masing kebudayaan mengungkapkan
keyakinan mereka kepada Wujud Tertinggi sesuai dengan latar belakang budaya,
bahasa dan pola pikir dalam komunitas hidup mereka. Hal ini dapat kita jumpai
seperti dalam masyarakat Sikka menyebutnya dengan nama Ina Ni’ang tana
Wawa dan Ama Lero Wulang Reta, masyarakat Flores Timur menyebutnya
dengan nama Lera Wulan Tana Ekan, masyarakat Ende Lio menyebutnya
dengan nama Du’a Ngga’e, masyarakat Ngada menyebutnya dengan nama Ga’e
Dewa atau Dewa Zeta Ga’e Zale, masyarakat Manggarai menyebutnya dengan
nama Mori Kraeng, masyarakat Belu menyebutnya dengan nama Nai Maromak,
masyarakat Dawan atau Atonne menyebutnya dengan nama Usi Neno Mnanu Uis
Neno Pala.22
Menarik bahwa meskipun masing-masing kebudayaan di Nusa Tenggara
Timur memiliki ungkapan dan sebutan nama yang berbeda-beda akan Wujud
Tertinggi, namun pada dasarnya bahwa semua kebudayaan yang ada telah
memiliki satu keyakinan akan Wujud Tertinggi itu sendiri. Pemahaman masing-
masing kebudayaan akan eksistensi Wujud Tertinggi dalam setiap kebudayaan di
Nusa Tenggara Timur selalu memiliki makna yang sama. Ungkapan akanadanya
yang transenden dalam kebudayaan masing-masing daerah merupakan suatu
bentuk kepercayaan yang kokoh.
Sebagai salah satu komunitas suku budaya yang ada di wilayah Nusa
Tenggara Timur khususnya wilayah Timor Tengah Selatan, masyarakat suku
Lopo Metan-Kokbaun mengenal dan menyebut Wujud Tertinggi dengan atribut
Usi Neno. Secara historis, ketika awal mula sebelum agama Kristen masuk ke
pulau Timor, khususnya pada zaman penjajahan, orang Dawan telah memiliki
satu konsep tentang Yang Ilahi dalam kehidupan. Konsep tentang Yang Ilahi ini
22Dr. Stephanus Ozias Fernandez, SVD, op. cit., hlm. 298-320.
21
dilatarbelakangi oleh pemikiran dan pengalaman orang Dawan dengan adanya
“sesuatu” yang memiliki daya kekuatan melampaui kekuatan manusia. Bagi
orang Dawan matahari merupakan salah satu representasi ciptaan dari Yang Ilahi
di mana Yang Ilahi dianggap memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan ciptaan lainnya. Ada dua pendekatan yang dapat mengartikan Uis Neno
yakni pendekatan sosiologis dan kosmologis. Dalam pendekatan sosiologis Uis
Neno dipahami dengan status kekuasaan strukturalisme dalam sebuah wilayah.
Di mana, dalam sebuah wilayah terdapat seorang tua adat atau raja yang
memiliki hak khusus sebagai status sosial yang diembani. Artinya bahwa seorang
tua adat atau raja memiliki kuasa untuk dihormati dan disegani, yang dalam suku
Lopo Metan biasa disebut dengan Usi yang artinya adalah raja. Sedangkan dalam
pendekatan kosmologis Uis Neno, dipahami sebagai realitas alam yang dirasakan
dan dijumpai setiap harinya. Hal ini menerangkan tentang situasi, keadaan dan
kondisi alam. Di mana berbagai peristiwa dan kejadian akibat situasi dan
keadaan alam ini menjadi begitu terikat dengan sesuatu Yang Transenden (yang
melampau daya pikir manusia), yang dalam suku Lopo Metan biasa disebut Usi
artinya Raja, Dewa atau Tuhan dan Neno artinya hari atau langit. Dengan
demikian, Uis Neno dapat diartikan sebagai Raja, Dewa atau Tuhan yang
memiliki kuasa atas langit dan alam semesta.
Selain itu, masyarakat Dawan pada umumnya dan masyarakat suku Lopo
Metan pada khususnya mengenal dewa matahari Uis Neno sebagai penguasa
langit dan hari. Bagi mereka, nama dewa-dewi terutama dewa tertinggi tidak
boleh disapa dengan nama yang asli. Sebutan atribut Uis Neno dilihat sebagai
sesuatu yang sakral dan sebagai sang penguasa langit dan bumi. Nama Uis Neno
pun dilihat sebagai matahari yang merentangkan naungannya kepada seluruh
umat manusia. Sebagaimana matahari yang menyinari permukaan bumi, dalam
pemahaman mereka bahwa Uis Neno pun demikian. “Matahari merubah
pergantian musim dan menyinari seluruh alam semesta, sebaliknya Uis Neno
dilihat sebagai Dia yang menyediakan bagi mereka suatu tempat, lahan, untuk
tanaman padi dan jagung serta yang menjaga kesuburan tanah.”23
23Hasil wawancara Andreas Lopo, tokoh adat suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 28 Juli 2019 di
kuan Upun.
22
Sangat menarik bahwa keyakinan masyarakat suku Lopo Metan akan
Wujud Tertinggi ini dapat dipahami dengan berbagai versi. Dengan berbagai
versi inilah, mereka melihat keseluruhan eksistensi Wujud Tertinggi itu sebagai
atetus ma amnit. 24 Mereka mensakralkan sebutan atribut Uis Neno karena
mereka meyakini bahwa Uis Neno merupakan suatu realitas yang sangat jauh,
suci dan keramat. Anggapan-anggapan seperti inilah yang mendorong mereka
untuk memberi penghormatan khusus kepada Uis Neno karena Allah yang
mereka imani ialah Allah yang tidak berwujud, tidak berwajah dan tidak
bernama, tetapi mempunyai kekuatan dan kekuasaan atas hidup mereka.
Masyarakat Dawan pada umumnya berpikir asosiatif, polaris, dan
integralistis, sehingga tidak cukup bila yang maha tinggi hanya digelari “Uis
Neno”: raja matahari.25 Secara historis, kepercayaan masyarakat Dawan pada
umumnya begitu kuat terhadap kekuatan planet-planet di angkasa yakni
matahari, bulan dan bintang yang diyakini sebagai dewa-dewi tertinggi. Matahari
dilihat sebagai yang paling berkuasa karena menurut pandangan para leluhur atau
mitos dari para leluhur bahwa matahari seperti sebuah sosok jantan atau
termasuk dalam kategori jantan, sedangkan bulan dan bintang dikategorikan
sebagai sosok betina. Selain itu, bulan disebut sebagai istri dari matahari dan
bintang-bintang sebagai adik atau saudara bulan. Dengan adanya mitos dari
leluhur inilah, mereka menaruh kepercayaan akan adanya hubungan yang intim
antara matahari dan bulan. Atas kepercayaan ini, keduanya selalu dihormati dan
disembah karena dianggap memiliki kesucian.
2.1.5.2 Kepercayaan kepada Roh Leluhur (Uis Nitu)
Selain percaya kepada wujud tertinggi Usi Neno, dalam konteks
masyarakat suku Lopo Metan memiliki kepercayaan pula terhadap roh para
leluhur atau uis nitu. Dengan demikian, mereka selalu melakukan kultus
penghormatan terhadap roh para leluhur dengan cara memberi sesajian. Kultus
penghormatan kepada roh para leluhur ini pada dasarnya mengandaikan adanya
iman akan Wujud Tertinggi. Artinya bahwa keyakinan mereka sangat kuat akan
24Atetus ma amnit secara harafiah atetus diartikan sebagai penyokong atau penegak, sedangkan
amnit sebagai penadah atau pemangku. 25Dr. Stephanus Osiaz Fernandez, op. cit., hlm. 318.
23
kehidupan roh para leluhur yang kemudian menjadi perantara bagi mereka.
Keyakinan akan roh para leluhur ini merupakan kesalehan religius dalam
membangun relasi dengan Wujud Tertinggi yang agung di hadapan mereka.
Penghormatan kepada roh para leluhur pada hakikatnya didorong oleh keyakinan
bahwa mereka memiliki kedekatan dengan Wujud Tertinggi. 26 Dengan ini,
konsep akan roh para leluhur dianggap sebagai perantara bagi mereka untuk
sampai pada Wujud Tertinggi karena roh para leluhurlah yang dianggap paling
dekat dengan Wujud Tertinggi. Oleh karena itu, mereka yakin bahwa kedekatan
roh para leluhur dengan Wujud Tertinggi menghantar mereka pada kesanggupan
untuk mengkomunikasikan kehendak Wujud Tertinggi.
Eksistensi antara Wujud Tertinggi dan roh para leluhur yang memiliki
kedekatan diyakini mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan
manusia sehingga bagi masyarakat suku Lopo Metan roh para leluhur berperan
sebagai penghubung antara manusia dengan Wujud Tertinggi. Di satu sisi
mereka sebagai perantara doa dan permohonan dan di sisi lain mereka sebagai
penyalur rahmat bagi manusia dari Wujud Tertinggi. Sesuai dengan konsep
inilah, masyarakat suku Lopo Metan masih mempertahankan penghormatan
khusus terhadap roh para leluhur hingga kini.
Roh para leluhur merupakan cikal bakal keberadaan suku Lopo Metan
dan selalu menjadi perantara mereka kepada Wujud Tertinggi. Maka
penghormatan terhadap roh para leluhur merupakan hal yang niscaya mereka
lakukan pada setiap musim. Penghormatan kepada roh para leluhur merupakan
struktur keluarga, pertalian keluarga, dan keturunan.27 Keyakinan masayarakat
suku Lopo Metan akan relasi yang begitu dekat dengan roh para leluhur yang
menjadi perantara bagi Wujud Tertinggi, maka masyarakat suku Lopo Metan
selalu mengundang roh leluhur untuk hadir dalam setiap upacara adat yang mana
leluhur mereka mempunyai peranan penting dalam setiap kebutuhan mareka.
26Alex Jebadu, Bukan Berhala, Penghormatan Kepada Para Leluhur (Maumere: Ledalero, 2009),
hlm. 53. 27Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 82.
24
2.1.5.3 Kepercayaan kepada Roh Alam (Uis Pah)
Menurut para antropolog kepercayaan kepada roh alam merupakan
tingkat tertua dalam evolusi religi tradisional. Roh alam ini mendiami tempat-
tempat tertentu dan memiliki pengaruh terhadap kehidupan manusia. 28
Masyarakat suku Lopo Metan juga percaya kepada roh alam atau uis pah atau uis
nain. Meskipun hidup di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
keyakinan mereka terhadap roh alam masih ada hingga dewasa ini. Keyakinan
mereka terhadap roh alam merupakan respons terhadap pengalaman sehari-hari
yang mereka alami dan rasakan bahwa roh alam mempunyai andil bagi hidup
mereka.
Kepercayaan suku Lopo Metan terhadap roh alam boleh jadi merupakan
suatu keyakinan yang sangat kokoh. Hal ini karena mereka masih percaya
terhadap daya atau kekuatan alam semesta. Mereka yakin bahwa ada suatu
kekuatan besar yang melampaui segala sesuatu di balik tempat-tempat yang
dianggap sakral. Selain keyakinan akan hal-hal ajaib dalam alam semesta, mereka
juga yakin bahwa roh alam akan memberi mereka panenan yang berlimpah. Roh
alam diyakini sebagai sang penguasa alam semesta sehingga suku Lopo Metan
sering melaksankan ritus-ritus adat dengan tujuan agar memohon perlindungan
dari sang penguasa alam semesta uis pah.
Di samping percaya kepada uis pah, suku Lopo Metan juga percaya
kepada beberapa jenis binatang yang dianggap sebagai pembawa berita atau pesan
bagi hidup mereka, misalnya cicak dan buaya. Keduanya menempati tempat yang
unik dalam keyakinan religius suku dawan. Binatang-binatang itu diyakini
sebagai representasi dari yang kudus. Misalnya, kalau keluarga sedang melakukan
percakapan dan tiba-tiba saja terdengar bunyi tokek, mereka akan bersukacita
karena ini pertanda bahwa Tuhan Yang Maha Tinggi mengikuti dan merestui hal
yang mereka percakapkan.29 Dalam keyakinan suku Lopo Metan simbol cicak
atau buaya sangat kental. Keyakinan yang kuat akan kedua simbol inilah yang
mendorong mereka untuk melaksanakan ritus fua pah sebagai tanda
28Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 13. 29Dr. Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah Dalam Budaya, Upaya Menjejaki Makna Allah Dalam
Perangkat Budaya Suku-Suku di Nusa Tenggara Timur (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 140.
25
penghormatan terhadap cicak dan buaya. Mereka percaya bahwa kedua hewan ini
merupakan representasi diri Dewa yang harus disembah. Lebih lanjut, suku dawan
meto menyembah buaya karena dianggap sebagai penguasa lautan, sungai,
pemberi hujan kesejukan, kesuburan, dan kesejahteraan.30Dengan demikian, suku
Lopo Metan pun selalu melakukan praktek ritus untuk menghormati buaya
sebagai sang penguasa air dan darat.
Makna simbolis terkandung dalam tradisi ritus fua pah berkaitan dengan
proses pelaksanaan ritus. Tempat di mana dilangsungkan ritus dan barang-barang
yang digunakan merupakan simbol penyerahan diri seutuhnya terhadap alam. Hal
ini berarti bahwa konsep mereka mengenai simbol sama dengan pemberian diri.
Sebagai contoh, dalam lasi tonis atau syair adat mereka mengungkapkan bahwa
“neon i ma leku i, lol nait nan nafuf mese haef mese nak’kluibe neu kit na’nakbe
neu kit” (pada hari ini, detik ini, kami menyembelih sehelai bulu dan sepotong
kaki, untuk mengarahkan kepadamu dan memberikan kepadamu).31 Ungkapan ini
bermakna simbolis karena yang mereka sembelih itu untuk memurnikan diri
mereka terhadap Dewa-Dewi. Penyerahan diri yang total kepada sang penguasa
langit dan bumi akan menyadarkan mereka melalui “tae lilo” 32 hewan yang akan
disembelih itu. Setelah mengungkapkan mantra dan menyembelih hewan itu, akan
ada petunjuk khusus melalui tae lilo hewan itu. Jika simbol yang mereka lihat
melalui tae lilo hewan itu dianggap baik, maka mereka meyakini bahwa
persembahan mereka diterima. Sedangkan kalau ada tanda buruk maka mereka
akan melihat itu sebagai malapetaka. Dengan demikian makna simbolis dari ritus
Fua Pah sangat penting bagi masyarakat suku Lopo Metan.
30Dr. Eben Nuban Timo, loc. cit. 31Hasil wawancara Sebastianus Lopo, guru sekolah dasar katolik, Kokbaun, pada 8 Juli 2019 di
kuan Noe. 32“Tae lilo atau tae paku berkaitan dengan kepercayaan masyarakat suku Lopo Metan terhadap
peran para leluhur dalam upacara ritus. Istilah Tae lilo ialah melihat tali perut dari ayam merah
yang telah disembelih. Tujuan dari tae lilo ini untuk mengetahui apakah tali perut dari ayam
tersebut dalam keadaan berdiri atau tidur. Jika tali perut dalam keadaan tidur maka pertanda bahwa
akan ada malapetaka yang menimpa mereka. sebaliknya jika tali perut dalam keadaan berdiri
berarti itu pertanda bahwa apa yang mereka minta pasti dikabulkan Dewa-Dewi”.
26
2.2 Gambaran Ritus Fua Pah
Praktik-praktik ritus kebudayaan memiliki arti dan makna tersendiri bagi
setiap masyarakat dalam suku tertentu. Ritus Fua Pah suku Lopo Metan memiliki
makna mendalam serta artinya bagi kehidupan mereka. Hal ini karena ritus Fua
Pah dilihat sebagai ritus penghormatan terhadap roh leluhur dan roh alam.
2.2.1 Pengertian Fua Pah
Secara etimologis, Fua Pah berasal dari dua kata benda dalam bahasa
Dawan, yaitu Fua dan Pah. Kata “Fua artinya menyembah, bersujud,
menengadah, sedangkan kata Pah artinya bumi, dunia atau alam.” 33 Dengan
demikian, secara harafiah Fua Pah dapat diartikan sebagai penyembahan terhadap
bumi, dunia atau alam. Dalam hubungannya dengan dunia agraris Fua Pah berarti
meyembah tuan, raja atau penguasa bumi, dunia atau alam. Berdasarkan
pengertian diatas, dalam pelaksanaannya Fua Pah memiliki makna yang sangat
luas. Secara konseptual ada dua bentuk pemahaman dari arti kata Fua Pah yakni
pemahaman religius dan pemahaman mitologis.
Dalam pemahaman religius, Fua Pah dapat dipahami sebagai permohonan
dan syukur kepada Dewa-Dewi dengan melaksanakan upacara persembahan
korban kepadanya melalui perantara leluhur dan dewa-dewi. Pemahaman tersebut
bahwa Dewa merupakan kekuatan supranatural yang diyakini sebagai manifestasi
diri Dewa kepada manusia yang perlu dihormati. Sedangkan dalam pemahaman
mitologis, Fua Pah dapat dipahami sebagai bentuk pemberian korban sesajian
kepada roh alam dan roh leluhur sebagai upacara yang harus dijalankan karena
jika tidak, maka akan ada malapetaka yang menimpa manusia khususnya
masyarakat suku Lopo Metan. Pada saat membuka lahan pertanian, tempat yang
biasanya dijadikan lokasi pelaksanaan upacara Fua Pah adalah di kebun, gunung
atau bukit. Tempat-tempat ini dipandang sebagai tempat suci karena
sesungguhnya tempat-tempat tersebut memiliki sifat magis religius.34
33Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat, Kokbaun, pada 3 Juli 2019 di kuan upun. 34Andreas Tefa Sawu, op. Cit, hlm. 107.
27
2.2.2 Struktur Tata Pelaksanaan Ritus Fua Pah
Masyarakat suku Lopo Metan masih menjalani tradisi ritus Fua Pah
hingga saat ini. Ritus Fua Pah yang mereka lakukan merupakan bentuk
pemberian kurban terhadap Dewa-Dewi yang biasanya dilakukan pada saat
sebelum kegiatan menebas hutan dan pada saat penanaman benih. Dalam
melaksanakan ritus Fua Pah, masyarakat biasanya mengikuti struktur dalam tata
pelaksanaan ritus tersebut. Secara terperinci, susunan tata pelaksanaan ritus Fua
Pah sebagai berikut.
Pertama, persiapan. Tahap persiapan ini merupakan tahap awal sebelum
upacara adat ritus Fua Pah dilaksanakan. Dalam tahap persiapan ini ada beberapa
hal yang harus dipersiapkan seperti, ayam berbulu merah, babi berbulu merah,
kambing, makanan berupa jagung, pisang ubi kayu, kelapa muda, sirih pinang dan
padi sesuai dengan kesepakatan bersama anggota suku.
Kedua, memberitahukan kepada tobe35 bahwa semua warga berkeinginan
untuk melaksanakan ritus Fua Pah. Pemberitahuan ini diwakili oleh beberapa
warga 36 saja yang didahului dengan makan sirih pinang, lalu mereka
menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka dengan membawa serta
okomama (tempat sirih) berisi uang sebagai “alas pembicaraan”.37 Kepala suku
akan menerima okomama tersebut dan menyatakan persetujuannya untuk
melaksanakan upacara.
Ketiga, setelah proses pemberitahuan kepada kepala suku, hal berikut
yang perlu dibuat ialah penentuan tempat. Penentuan tempat ini biasanya dilihat
35Tobe secara harafiah diartikan sebagai imam atau orang yang dianggap pintar dalam berbasa
adat. Tobe juga dianggap sebagai orang yang dipercayakan oleh keluarga suku dan apa yang ia
tuturkan pasti diterima oleh wujud yang mereka yakini akan mengabulkan permohonan mereka.
Selain itu Tobe diyakini memiliki charismanya tersendri dalam menyampaikan dan
mengungkapkan mantra Lasi Tonis. 36 Beberapa warga tersebut merupakan utusan dari masyarakat yang dipercayakan untuk
menyampaikan pesan kepada kepala suku bahwa semua masyarakat bersedia dan siap untuk
melaksanakan ritus Fua Pah. 37 Alas pembicaraan adalah dasar atau pokok pembicaraan. Hal ini bertujuan untuk dapat
mengambil hati ketua suku agar dapat mengabulkan permohonan mereka. Di samping itu, dalam
tradisi suku Lopo Metan, hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat, okomama merupakan salah
satu bentuk penghargaan terhadap ketua suku. Di samping itu, “alas pembicaraan” tersebut
merupakan sebuah tradisi awal dalam menyampaikan keinginan dari maksud yang akan
disampaikan. Yang dalam masyarakat suku Lopo Metan, alas pembicaraan disimbolkan dalam
wujud okomama yang menjadi bentuk penghormatan terhadap orang-orang yang memiliki
kedudukan dan jabatan tinggi dalam masyarakat adat maupun dalam kedudukannya sebagai
pemerintah.
28
dari segi kosmos. Di samping itu tempat yang ditentukan dapat memberi rasa
nyaman baik secara jasmani maupun bantiniah masyarakat seluruhnya. Oleh
karena itu, ritus Fua Pah biasanya dilaksanakan di tempat-tempat yang diyakini
sebagai tempat berdiam uis pah (raja bumi) seperti gunung, bukit atau ladang.
Keempat, para peserta. Biasanya peserta yang hadir dalam pelaksanaan
ritus Fua Pah ialah semua warga suku baik pria maupun wanita dan umumnya
merupakan orang-orang dewasa dan orang-orang yang dituakan dalam suku.
Kelima, inti pelaksanaan ritus fua pah. Pada saat melakukan ritus Fua
Pah, formula mantra atau lasi tonis yang diucapkan oleh seorang Tobe merupakan
bentuk ungkapkan pujian dan syukur serta permohonan dari seluruh masyarakat
yang diwakili oleh seorang Tobe tersebut. Mantra yang diucapkan memiliki
beragam syair atau biasa disebut natoni.38 Berikut ungkapan bahasa ritus atau
natoni yang menggambarkan keteguhan iman akan keberadaan leluhur dan dewa-
dewi sebagai penguasa alam semesta dan sang pemberi hidup bagi mereka.
Bahasa dawan
“Uis Neno, ma Uis pah, etko
fat biana mne bian.
Apohot ana’at neo pah ma
nifu netu ma nonof.
Haim totem akum ma tani, ao
mina ma nekaf uf, ma mfe
man kai lanan ma musona
kai lanan amneot neu to tafa
Oh Uis Neno ma Uis pah
Amnen hai han sananet ma
hai han sakoit
On pah ma nifu ma on Uis
Terjemahan bahasa Indonesia
Raja langit dan bumi di balik batu
dan kayu
Pelindung dan penunggu bukit,
kolam dan lembah
Kami memohon kesehatan dan
keteguhan hati serta bersihkanlah
kami dan tunjukkanlah jalan yang
benar bagi kami umatmu
Oh raja langit dan bumi
Dengarkanlah suara permohonan dan
suara permintaan kami
Bagiakan raja langit dan bumi
38Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat, Kokbaun, pada 3 Juli 2019 di Kuan Upun. Semua
warga yang turut hadir di tempat perayaan ritus Fua Pah mengambil sikap duduk atau berdiri
mengelilingi tobe dan mesbah serta bahan-bahan kurban. Setelah itu tobe akan mengajak semua
warga yang hadir dalam perayaan tersebut untuk mengarahkan hati dan pikiran mereka kepada
Dewa-Dewi dan Roh Leluhur yang akan disembah. Ketika semuanya sudah siap maka tobe mulai
mengucapkan mantra atau lasi tonis sebagai ujud permohonan kepada Dewa agar menyucikan dan
melindungi mereka semua dalam perayaan ritus fua pah tersebut. Hal ini sebagai pengakuan atas
segala kesalahan dan kelalaian yang telah dibuat oleh semua warga suku terhadap Dewa-Dewi dan
Roh Leluhur mereka.
29
Neno pah mnatu nifu ne
mnatu.
Haim totem lais mafut nekaf
neu to tafa kai nait mhaket on
mese ma mfenat on mese
mifena pah ma nifu neto ma
nonof. Mutonan kai lanan
amneot ma mfe kai pah
manikin ma oe tena. Mpao
ma mpanat kai na ko lasi
huma-huma he nait hai meup
bale nok alekot ma musona
kai na ko amleut huma-huma.
Onen ma uab tuk-tuka ma
tonja pal-pala.” 39
mengaruniakan isi bumi dengan
danau dan emas. Kami memohon
satukanlah hati kami umatmu agar
kami duduk atau berdiri selalu
bersama-sama bersatu hati demi
membangun tanah pusakamu.
Tunjukanlah jalan kebenaran dan
berikanlah kami air kesegaran dan
daerah kesejukkan. Jagalah dan
lindungilah kami dari segala tutur
dan tingkah salah kami yang tidak
sesuai agar kami tetap setia
merancang tempat pusakamu dengan
baik dan bebaskanlah kami dari
segala macam bahaya. Inilah doa dan
tuturan kami.
Setelah mengucapkan lasi tonis (doa atau mantra) oleh Tobe, ritus ini
dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban. Sebelumnya, hal yang
dilakukan oleh tobe ialah “hewan kurban (ayam) dicabut bulunya lalu disisihkan
diantara batu-batu. Setelah itu, hewan tersebut akan dibunuh atau lol lalu darah
dari hewan kurban tersebut diteteskan pada faut bena (batu pelat) yang telah
disediakan yang berfungsi sebagai mesbah. Kemudian daging hewan kurban yang
telah disembelih dimasak secara adat lalu diletakkan pada faut bena sebagai
bentuk persembahan kepada Uis Neno-uis pah. “Umumnya daging yang
dipersembahkan oleh suku Lopo Metan kepada Uis Neno-uis pah ialah daging
pilihan terbaik.”40 Setelah itu, daging terbaik yang telah mereka pilih tersebut,
diletakkan bersamaan dengan nasi di atas mesbah. Setelah hasil persembahan
diletakkan di atas mesbah, tobe atau pemimpin ritus mulai membacakan lasi tonis
khusus sebagai berikut.
Bahasa dawan
“Uooo ….
Terjemahan bahasa Indonesia
Uooo....
39 Hasil wawancara Sebastianus Lopo, Guru Sekolah Dasar dan tokoh adat suku Lopo Metan, pada
8 Juli 2019 di kuan Noe. 40 Daging pilihan terbaik ini, dipilih berdasarkan masing-masing bentuk hewan yang dikurbankan
dan biasanya memiliki pengecualiannya masing-masing terhadap hewan kurban baik yang berkaki
empat, berkaki dua maupun hewan reptil lainnya. Untuk hewan yang berkaki empat seperti babi
atau kambing biasanya mereka mengambil hati dan daging has sebagai daging terbaik untuk
dipersembahkan kepada Dewa. Sedangkan untuk unggas seperti ayam biasanya mereka
mengambil bagian paha dan dada.
30
Lasa net sen
Tonja net sen
In abo sin
An honi kai
An ta’o
Neno i
Ma leku i,
Lol
Nait nan nafuf mese
Haef mese
Nak’klui be neu kit
Na’nak be neu kit
Es olas i
Na biku na nen
Nane nak ni ma kane
Ma sis hana
Es utonim
Ma u’latan
Nbi humak
Tonan ntea ben
Tabu ntea ben
Hen nha’taen hil poan
Hi lof es mpao neten
Ma es ampao kobe
Es nbi pah
Es Ena Mnasi
Es Ama Mnasi
Lasi tuk-tuka
Maksud kami hendak persembahkan
Tutur kami hendak antarkan
Kepada leluhur kami semua
Anak kandungmu
Anak ciptaanmu
hari ini
dan saat ini,
Kami menyembelih
kami mengambil sehelai bulu
sepotong kaki
menyerahkan kepadamu
memberikan kepadamu
karena pada saat ini
kami sedang mengerjakan
itulah nasi sudah sedia
dan lauk
karena itu saya tuturkan
dan saya panjatkan
di hadapanmu
tahunnya telah tiba
musimnya sudah datang
untuk menguatkan halaman kami
karena kamulah yang menjaga bukit
dan lembah
yang ada di bumi
bagi ibu Tua
bagi bapak Tua
maksud kami sesingkat ini
31
Tonja pal-pala.”41 tutur kami sesingkat ini
Bentuk tuturan lasi tonis khusus ini berisi undangan kepada dewa-dewi
untuk turut hadir bersama-sama dengan masyarakat. Di samping itu masyarakat
juga berharap agar dewa-dewi dapat mengabulkan permohonan yang mereka
sampaikan. Setelah pemimpin ritus membacakan lasi tonis dalam suasana sakral
dan kudus, seluruh anggota yang hadir dalam perayaan tersebut bersama-sama
mencicipi persembahan berupa daging dan nasi yang diletakkan di atas altar. Usai
mencicipi hasil sesajian, semua warga kembali mengikuti instruksi dari pemimpin
ritus. Biasanya dalam instruksi yang dilakukan oleh pemimpin ritus memberikan
kesempatan bagi seluruh warga untuk kembali ke rumah masing-masing.
Sekaligus menjadi tanda bahwa ritus yang dirayakan telah berakhir.
Oleh karena itu, keseluruhan struktur pelaksanaan ritus Fua Pah yang
dilaksanakan oleh masyarakat suku Lopo Metan telah digambarkan sebelumnya
dan memang semuanya membutuhkan proses yang lama. Sehingga dari awal
sampai bagian akhir ritus yang dirayakan masyarakat suku Lopo Metan pun
bergantung pada peranan dari masing-masing warga serta yang paling penting
ialah kesungguhan dalam mengikuti perayaan yang sakral dan kudus tersebut.
2.2.3 Fungsi Ritus Fua Pah
Ritus Fua Pah memiliki fungsi yang sangat membantu perkembangan
hidup setiap suku yang ada di pulau Timor khususnya masyarakat suku Lopo
Metan. Fungsi ritus Fua Pah tidak sekedar berciri mitis, tetapi juga bisa berciri
sosiologis. Dengan demikian fungsi ritus Fua Pah dapat dakategorikan dalam
lima bagian yaitu fungsi magis, mitis, religius, intensifikasi, dan fungsi faktitius.
2.2.3.1 Fungsi Magis
Kepercayaan magis adalah salah satu penjelmaan pertama dan mencolok
dari bangkitnya kayakinan diri manusia.42Masyarakat suku Lopo Metan mengenal
fungsi magis karena hal ini sangat berkaitan erat dengan penggunaan bahan-bahan
dalam upacara ritus Fua Pah yang memberi kekuatan karena adanya daya mistis. 41Hasil wawancara Sebastianus Lopo, Guru Sekolah Dasar dan tokoh adat suku Lopo Metan, pada
8 Juli 2019 di kuan Noe. 42Ernst Cassirer, op. cit, hlm. 139.
32
Mereka melaksanakan ramalan melalui hati hewan korban yang telah disembelih.
Melalui pelaksanaan ramalan tali perut (urat perut) hewan korban, mereka selalu
beranggapan bahwa hal ini merupakan sebuah tindakan magis, di mana mereka
dapat mengetahui apa yang dikehendaki oleh Roh alam (Uis Pah). Dengan
demikian, ritus Fua Pah akan mempengaruhi kekuatan ilahi melalui rangkaian
bahasa ritus (tonis) dan ramalan hati hewan kurban dibuat dengan maksud agar
tidak mengganggu dan merusak tanaman. Bahkan ramalan ini sebagai simbol
kekuatan yang meyakinkan mereka akan apa yang hendak mereka lakukan.
Simbol yang mereka terima dalam bentuk ramalan ini sebagai bentuk persetujuan
antara roh alam dan Dewa di mana roh alam selalu memberi malapetaka bagi
mereka.
Tindakan magis yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang
bekerja karena daya-daya mistis.43Keyakinan masyarakat terhadap Dewa dilihat
sebagai penunjuk jalan kebenaran bagi mereka. Dewa sebagai sang pemberi tanpa
menerima dan sang penenun kebaikan yang tidak bisa diutarakan. Dengan
demikian, ramalan hati hewan yang mereka sembelih akan menunjukkan baik
atau buruknya apa yang akan mereka lakukan. Jika ramalan dianggap baik dan
dapat membantu, maka mereka akan menaruh kepercayaan mereka bahwa Dewa
telah memberi jalan yang baik dan permohonan mereka pasti dikabulkan. Akan
tetapi, jika ramalan hati hewan itu dianggap buruk atau tidak sesuai, maka mereka
pun merasa cemas bahkan kehilangan harapan. Mereka mulai berasumsi bahwa
akan ada malapetaka seperti musim kemarau yang berkepanjangan dan kutukan
dari Dewa bagi mereka. Dengan ini, mereka mulai mencari tahu kesalahan-
kesalahan dan berusaha untuk menyenangkan hati Dewa dengan membuat ritus
Fua Pah.
2.2.3.2 Fungsi Mitos
Mitos dimengerti sebagai buah emosi dan latar belakang emosional itu
mewarnai buah-buahnya dengan warna khas. 44 Dalam masyarakat tradisional,
perilaku-perilaku ritus umumnya dapat dijelaskan dengan istilah-istilah mitis.
43Mariasusai Dhavamony, loc. cit. 44Ernst Cassirer, op. cit, hlm. 124.
33
Istilah Mitos ini bertujuan untuk memberikan pembenaran atas berbagai macam
upacara. Sekalipun ada kemungkinan bahwa banyak ritus pada masa silam
berlaku tanpa mitos-mitos, akan tetapi pada tingkat perilaku manusia dapat
diamati dua fenomena: ritus dan mitos, berjalan seiring. Hal ini dapat dibenarkan
dalam kehidupan masyarakat suku Lopo Metan di wilayah Kokbaun. Fungsi
mitos dalam suku ini dianggap masih berlaku hingga dewasa ini. Mereka tidak
terlepas dari mitos-mitos yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Boleh jadi
mereka sering melakukan ritus karena adanya mitos yang sudah menjadi tradisi
dalam suku.
Mitos sebagai sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu
kepada sekelompok orang. Lewat mitos itu, manusia dapat turut serta mengambil
bagian dalam kejadian-kejadian sekitarnya, dapat menanggapi daya-daya
kekuatan alam.45 Masyarakat suku dawan Lopo Metan mempraktikkan ritus Fua
Pah sebagai warisan dari nenek moyang mereka. Bagi mereka, Jika ritus ini tidak
dijalankan, maka jelas akan ada malapetaka yang akan menimpa mereka. Hal ini
sudah diayakini bahwa ritus ini sebagai warisan dari leluhur yang merupakan
suatu keharusan yang perlu dijalankan secara turun temurun.
Berhubungan dengan fungsi mitos yang dimaksud, masyarakat memang
mengakuinya ketika gereja masuk dan mengubah semua cara pandang tradisional
dalam setiap budaya. Akan tetapi, nilai-nilai budaya ini jika ditelusuri lebih dalam
sangatlah bermanfaat bagi masyarakat. Di sini fungsi mitos dapat dikategorikan
oleh Prof. Dr. C. A. Van Peursen dalam dua bagian yakni pertama, menyadarkan
manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Kedua, memberi jaminan bagi masa
depan.46 Manusia harus mampu untuk menghayati daya-daya yang dapat memberi
kekuatan yang mempengaruhi kehidupannya dan berkuasa atas alam semesta.
Melalui penghayatan akan kekuatan-kekuatan tersebut, manusia akan selalu
berusaha melakukan upacara-upacara korban kepada alam dunia untuk dapat
bersatu padu dengan alam Yang Transenden. Dalam mitos pun ada harapan dari
manusia untuk masa depannya dan ketika ia bercocok tanam ia akan menyerahkan
semuanya pada yang berkuasa atas langit dan bumi untuk memperoleh
kesejahteraan hidup.
45Prof. Dr. C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 37. 46Prof. Dr. C. A. Van Peursen, op. cit, hlm. 38-39.
34
2.2.3.3 Fungsi Religius
Para filsuf dan para antropolog berpendapat bahwa sumber hakiki dan
sumber sejati dari agama adalah rasa ketergantungan manusia.47 Religi muncul
ketika manusia terus-menerus menggantungkan hidupnya terhadap sesuatu yang
dianggap bisa memberikan kenyamanan baginya dan juga keselamatan.
Ketergantungan ini ialah bahwa manusia memiki keyakinan penuh akan sesuatu
yang ada di luar dirinya. Sesuatu yang supranatural yang melampaui hidup dan
keberadaannya di dunia. Dengan demikian, manusia selalu mencari dan
melakukan apa yang hendak dibuat agar mencapai apa yang diharapkan.
Demikian pun dalam konteks masyarakat suku Lopo Metan, keyakinan mereka
selalu bergantung pada rangkaian ritus adatFua Pah dengan tujuan agar apa yang
diharapkan dapat tercapai.
Umumnya pelaksanaan rangkaian ritus Fua Pah dapat dikategorikan
sebagai sebuah tindakan religius yang bersifat kreatif dan berdimensi sosial.
Dalam pelaksanaan ritus Fua Pah, masyarakat suku Lopo Metan berkumpul
bersama dan secara kreatif melaksanakan upacara itu demi kepentingan bersama
seluruh anggota suku. Konsep mereka bahwa kultus para leluhur juga bekerja
dengan cara ini dan dapat dikategorikan sebagai tindakan religius asli. Bagi
mereka ritus Fua Pah memiliki fungsi religius dan simbol religi lokal. Dalam
kepercayaan masyarakat suku Lopo Metan, jika dalam pelaksanaannya benar-
benar diungkapkan secara radikal, maka pelaksanaan ritus Fua Pah akan
bermuara kepada kepasrahan terhadap wujud Tertinggi yakni Uis Neno.
Keyakinan yang teguh akan sesuatu Yang Transenden inilah yang mendorong
mereka untuk tetap setia melaksanakan upacara ritus dalam religi budaya lokal.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pemahaman masyarakat terhadap sesuatuYang
Transenden ini telah menjadi tradisi dan telah membudaya hingga saat ini.
Selain itu, keberfungsian religius ritus Fua Pah ini sebagai sesuatu yang
sangat nampak dan merubah pola pikir mereka serta mengarahkan mereka kepada
sesuatu Yang Transenden. Hal ini berarti bahwa mereka melaksanakan upacara
ritus Fua Pah bukan merupakan bentuk persembahan mereka terhadap alam,
melainkan di balik semuanya itu ada sesuatu yang dianggap bisa menerima dan 47Prof. Dr. C. A. Van Peursen, op. cit, hlm. 138.
35
mengabulkan setiap permohonan yang diutarakan. Bentuk persembahan terhadap
alam yang mereka sembah merupakan ungkapan rasa syukur terhadap Yang
Transenden. Dengan demikian, bagi mereka segala hasil yang mereka peroleh dari
alam merupakan pemberian paling luhur dari yang Ilahi.
2.2.3.4 Fungsi Intensifikasi
Fungsi Intensifikasi berkaitan dengan ritus kelompok yang mengarah
kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, ketersediaan panenan. Jika
dapat didefinisikan kata intensifikasi memiliki arti yang lebih terarah pada proses
peningkatan suatu kegiatan yang lebih hebat.48 Upacara ritus Fua Pah terutama
dilandasi oleh motivasi intensifikasi, karena masyarakat menginginkan panenan
berhasil. Ketergantungan terhadap alam membuat masyarakat suku Lopo Metan
harus setia menjaga dan melindungi alam dengan baik. Alam dilihat sebagai ibu
yang merawat dan membesarkan mereka. Dengan anggapan seperti ini, setiap
ritus yang dibuat selalu dipersembahkan dengan memberi sesajian sebagai
ungkapan rasa syukur atas semua keberhasilan yang mereka peroleh.
Selain itu, ketika mereka memberi korban persembahan, hal pertama yang
mereka pikirkan ialah bahwa apa yang mereka peroleh merupakan hasil
pemberian yang cuma-cuma atau anugerah terindah bagi mereka. Anggapan
seperti inilah yang mendorong mereka untuk mempersembahkan apa yang mereka
peroleh kepada Allah melalui korban ekaristi kudus. Oleh karena itu, fungsi
intensifikasi dalam ritus kelompok ini dilihat sebagai ungkapan rasa syukur
mereka atas keberhasilan yang diperoleh dari semua anggota suku mereka.
2.2.3.5 Fungsi Faktitius
Fungsi faktitius berkaitan dengan peningkatkan produktivitas, kekuatan,
pemurnian dan perlindungan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan
materi.49 Sangat jelas bahwa anggapan masyarakat suku Lopo Metan tentang ritus
Fua Pah merupakan suatu tindakan faktif dengan motivasi meningkatkan
kesejahteraan material anggota suku. Mereka tidak hanya mewujudkan korban
48 Drs. Suharso dan Dra. Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Lux,
(Semarang: Widya Karya, 2011), hlm 187. 49Mariasusai Dhavamony, loc. cit.
36
sesajian untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, tetapi juga pelaksanaan
tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular
mereka. Segala tindakan kesalahan yang dibuat oleh kelompok suku maupun
anggota akan menjalani pemurnian diri. Proses pemurnian dibuat karena
kesalahan-kesalahan terhadap alam tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh sesuatu yang tidak kelihatan. Untuk mencari perhatian dari dewa-dewi inilah,
mereka berusaha untuk meningkatkan produktifitas, kekuatan, pemurnian dan
perlindungan dengan cara memberi sesajian terhadap alam atau yang disebut
dengan Fua Pah.
Faktitius merupakan hal yang sengaja dibuat atau diadakan dan tidak asli
atau dengan kata lain bahwa buatan atau rekaan.50Melalui alam yang mereka
sembah, ada suatu kekuatan yang melampaui segala sesuatu sehingga pemberian
mereka terhadap alam hanyalah hasil rekaan atau simbol dan tujuannya bukan
untuk alam saja melainkan untuk yang lebih berkuasa atas alam itu sendiri.
Selain itu, mereka pun membuat perjanjian untuk tidak lagi membuat
kesalahan yang sama dan pada waktu yang bersamaan pun mereka menyerahkan
seluruh hidup mereka kepada alam. Kebergantungan hidup mereka terhadap alam
inilah yang mendorong mereka untuk terus-menerus meminta perlindungan dari
leluhur dan dewa-dewi. Mereka selalu menjaga keharmonisan dengan alam
karena alam dilihat sebagai yang sakral. Jika tidak sesuai dengan perjanjian yang
dibuat, maka akan terjadi kesenjangan antara alam dan manusia. Mereka tidak
lagi memperoleh hasil sesuai yang diharapkan dan mereka anggap itu sebagai
malapetaka yang menimpa hidup mereka.
2.3 Kesimpulan
Sejarah asal-usul nenek moyang suku dawan Lopo Metan-Kokbaun
umumnya telah dilukiskan sebelumnya bahwa nenek moyang mereka awalnya
berasal dari tempat yang jauh yakni Timor Leste. Setelah melewati perjalanan
yang panjang akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal menetap di wilayah
Kokbaun. Dalam perjalanan waktu, mereka membentuk rumpun keluarga besar
dalam suku hingga menjadi suku yang sangat besar dan juga dapat
50Ibid.
37
mengeneralisasi suku-suku yang lain di wilayah Kokbaun. Hal ini berawal dari
kekerabatan karena garis keturunan dalam suku mau pun perkawinan antar suku.
Tradisi ini masih dipegang hingga dewasa ini. Bahasa yang digunakan sehari-hari
ialah bahasa dawan. Penggunaan bahasa ini bukan hanya di dalam suku Lopo
Metan melainkan berlaku untuk semua wilayah yang ada di Kabupaten Timor
Tengah Selatan. Penggunaan bahasa sehari-hari sangat berbeda dengan
penggunaan bahasa dalam praktek ritus. Hal ini karena bahasa ritus merupakan
bentuk ungkapan untuk melukiskan keberadaan dan keluhuran Wujud Tertinggi
atau Uis Neno. Dengan demikian yang boleh menggunakan bahasa ritus atau
natoni hanyalah mereka yang dianggap mampu berbicara dengan baik dan pintar
dalam berbahasa adat.
Tradisi ritus Fua Pah suku Lopo Metan merupakan tradisi leluhur yang
masih dipraktekan hingga dewasa ini. Dalam prakteknya, masyarakat suku Lopo
Metan memiliki keyakinan bahwa apa yang mereka minta pasti akan dikabulkan.
Masyarakat suku Lopo Metan pun percaya akan Wujud Tertinggi atau Uis Neno
sebagai sang penguasa langit dan bumi. Menurut mereka, eksistensi Uis Neno
merupakan sesuatu yang sangat jauh atau tidak bisa dijangkau oleh manusia siapa
pun. Oleh karena itu, cara mereka untuk mendekatkan diri dengan Uis Neno ialah
dengan memberi sesajian kepada roh alam uis pah dan roh leluhur uis nitu sebagai
perantara mereka.
38
BAB III
KAJIAN TEOLOGIS TERHADAP RITUS FUA PAH
3.1 Pengantar
Dalam bab ini, penulis mengemukakan aspek-aspek yang terkadung dalam
ritus Fua Pah sebagai dasar perbandingan dengan nilai-nilai teologis yang
terdapat dalam Gereja Katolik. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya tentang
pengertian dan maksud ritus Fua Pah, penulis menemukan beberapa nilai positif
yang ditemukan juga dalam teologi Kristiani, seperti kebersamaan (communio),
permohonan, dan persembahan.
Ritus Fua Pah dilakukan dalam kelompok dengan jumlah anggota yang
cukup banyak dan dipimpin oleh ketua adat atau ketua suku. Ketua suku berperan
sebagai pelaku utama sekaligus nahkoda untuk memperlancar pelaksanaan ritus
tersebut. Penulis meyakini bahwa dalam ritus Fua Pah yang dilakukan dan
dihayati oleh masyarakat Suku Lopo Metan di desa Kokbaun, terdapat nilai-nilai
teologis yang tidak dapat diabaikan. Keyakinan ini berangkat dari pemahaman
bahwa Allah telah lebih dahulu hadir dan bekerja di dalam kebudayaan-
kebudayaan masyarakat lokal dan mendatangkan kebaikan bagi masyarakat
tersebut.51
3.2 Gambaran tentang Teologi
Teologi 52 secara harafiah berarti ilmu tentang Tuhan. Berbicara atau
bertanya jawab akan Tuhan tentu suatu hal yang tidak mudah dan tidak akan
51 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah dalam Budaya: Upaya Menjajaki Makna Allah dalam
Perangkat Budaya Suku-Suku di Nusa Tenggara Timur (Maumere: Ledalero, 2005), hlm. v. 52 Teologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu theos yang berarti “Allah” dan logos yang berarti
“kata” atau “pikiran”. Maka, secara etimologis, teologi adalah kata atau pikiran, atau berkata atau
berpikir tentang Allah. Bagi kaum Skolastik teologi terdiri dari dua kata Yunani, yaitu theos yang
berarti “Allah” dan logos yang berarti “kata” atau “pikiran”. Maka, secara etimologis, teologi
adalah kata atau pikiran, atau berkata atau berpikir tentang Allah. Berdasarkan pengertian ini,
maka Teologi secara langsung dapat dimengerti sebagai suatu refleksi manusia tentang Allah yang
merupakan objek pengetahuan. Menurut pemahaman Skolastik konsep teologi ini dapat diterima.
39
pernah berakhir. Hal ini dikarenakan ilmu atau naluri manusia sekalipun tidak
mampu untuk mendefinisikan secara tuntas tentang siapa itu Tuhan. Oleh karena
keterbatasan itu, maka manusia berjuang untuk memahamiNya melalui media
atau perantara. Agama menjadi satu-satunya cara atau jalan bagi manusia untuk
memahami Tuhan (Wujud Tertinggi). Di dalam agama Katolik, Kitab Suci adalah
sumber utama untuk mengenal Tuhan dengan ditunjang oleh dogma-dogma dan
tulisan-tulisan para teolog. Semua ini merupakan sarana bagi manusia untuk dapat
mengenal Tuhan secara nyata. Selain Alkitab dan dogma-dogma tersebut, akal
budi pun diikutsertakan dengan tujuan membantu manusia dalam menjawabi
pertanyaan mendasar mengenai apa itu teologi dan bagaimana keraguan-keraguan
manusia akan Tuhan dapat dijawab secara logis. Untuk memperoleh gambaran
teologi Kristiani secara jelas, baik dan benar, maka hal pertama yang perlu
dilakukan ialah mendalami secara penuh pengertian teologi itu sendiri. Selain
pengertiannya, perlu dipahami juga nilai-nilai teologi Kristiani yang terkandung
di dalamnya sebagai tonggak dasar bagi setiap orang atau suku yang percaya
kepada Allah.
3.2.1 Model-Model Teologi
Dalam memahami teologi, terdapat beberapa model teologi yang
ditawarkan sebagai jembatan penghubung antara realitas manusia, iman dan akal
budi, antara lain model terjemahan, model antropologis, model praksis, dan model
sintesi, model transendental dan model budaya tandingan.53 Model-model teologi
ini memiliki kekhasannya masing-masing. Akan tetapi, setiap model tersebut
saling berkaitan dan berpengaruh satu dengan yang lainnya. Itu berarti setiap
model yang ada tidak bersifat eksklusif, tetapi inklusif. 54 Tidak ada model
Namun, persoalannya bahwa Allah tidak dapat ditempatkan sebagai objek pengetahuan manusia.
Menurut kaum Skolastik, Allah senantiasa menjadi subjek karena hakikat Allah adalah misteri
yang tidak terpecahkan oleh hasil pemikiran manusia, sehingga untuk memahami Allah, tidak
hanya mengandalkan akal budi tetapi dibutuhkan iman dan kepercayaan. Hal ini dimaksudkan
agar apa yang dicemaskan manusia terkait teologi tidak saja dijawabi melalui refleksi ilmiah
namun lebih dari itu dibutuhkan juga sebuah refleksi iman manusia dalam menjawabi pertanyaan
tentang teologi khususnya tentang Allah. Lih. Stephen B. Bevans, Teologi Dalam Perspektif
Global, (Maumere: Ledalero, 2013), hlm. 11 dan 51. 53Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, terj. Yosef Maria Florisan (Maumere:
Ledalero, 2002), hlm. 51-248. 54Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global..., op. cit., hlm. 234.
40
berteologi dalam konteks yang lengkap dan utuh serta tuntas. Setiap model pada
dasarnya mengacu kepada keberagaman pendekatan yang digunakan dalam
mengembangkan teologi kontekstual. Hal ini karena konteks turut mempengaruhi
model seperti apa yang cocok digunakan dalam berteologi. Berikut merupakan
penjelasan singkat mengenai keenam model teologi kontekstual.
Pertama, Model Terjemahan. Model terjemahan adalah model yang paling
umum dipakai dalam teologi kontekstual. Umumnya model ini paling banyak
dipakai dalam bidang liturgi. Terjemahan yang dimaksud dalam model ini
bukanlah terjemahan kata demi kata, melainkan terjemahan kreatif dan idiomatik
untuk mencari padanannya dengan konteks budaya di mana Injil itu
diterjemahkan. Akan tetapi, dalam proses terjemahan tersebut, inti Injil atau
ajaran Kristiani tetapi dipertahankan. Inti dari pewartaan dalam model terjemahan
adalah bahwa Injil tidak pernah berubah, sebab ia bersifat adi-budaya atau adi-
kontekstual.55 Sementara itu, hal yang berubah adalah konteks kebudayaan. Jika
dilihat, model ini sungguh mengindahkan dan memberikan penekanan pada
pewartaan Kitab Suci berdasarkan tradisi dan jati diri Kristiani. Model ini pun
mengakomodasi nilai-nilai yang terdapat di dalam setiap budaya di mana Gereja
bertumbuh. Akan tetapi, model ini memberikan penekanan berlebihan terhadap
jati diri Kristiani tanpa melihat keunikan budaya-budaya lain.
Kedua, Model Antropologis. Kekhasan model antropologis ialah
pengakuan atau pelestarian jati diri budaya. Model ini merujuk pada pemahaman
bahwa kekristenan bukan terutama menyangkut amanat tertentu atau seperangkat
doktrin, melainkan berkaitan erat dengan pribadi manusia dan kepenuhan
hidupnya.56 Model ini memungkinkan orang untuk melihat agama Kristen dari
perspektif yang lebih baru sesuai dengan kekhasan budaya dan kenyataan hidup
orang bersangukutan. Dalam perwujudannya, model antropologis mengindahkan
dan mendayagunakan sumber-sumber dari ilmu-ilmu sosial, yakni antropolologi
dan etnografi. Oleh karena itu, model antropologi sering disebut sebagai model
“etnografis” atau “pribumian.”57
55Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi..., op.cip., hlm. 64-67. 56Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global..., op. cit., hlm. 241. 57Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi..., op.cip., hlm. 97-98.
41
Ketiga, Model Praksis. Model praksis dalam teologi kontekstual lebih
memfokuskan perhatian pada upaya untuk memperjuangkan suatu perubahan
sosial dengan bertumpu pada refleksi dan aksi yang terus berkelanjutan.58 Dalam
model praksis pewahyuan merupakan kehadiran Allah dalam sejarah, peristiwa
hidup sehari-hari, aneka pengalaman penindasan dan penderitaan, di mana Allah
itu hadir sebagai pembebas dan penyembuh. Dalam berteologi menggunakan
model praksis, seseorang dituntut untuk bersikap peka, analitis dan kritis terhadap
keadaan di sekitarnya. Sikap-sikap itu kemudian mendorongnya untuk mengambil
tindakan transformatif yang tepat dengan berlandaskan pada inspirasi Kitab Suci.
Keempat, Model Sintesis. Model berteologi ini berupaya untuk
memadukan pendekatan model terjemahan, model antropologis, dan model
praksis. Model sintesis juga menjangkau berbagai wawasan dari konteks orang
lain yang mencakup pengalaman, kebudayaan dan cara berpikir orang tersebut.59
Model sintesis ini sebagai sebuah model “jalan tengah” atau model dialogis antara
tradisi iman, konteks, dan dinamika yang terjadi dalam praksis. Keunikan dari
model teologi ini terletak pada kemampuannya untuk bersikap terbuka dan
mendengarkan semua pihak dalam suatu dialog. Akan tetapi, model ini sering kali
berbenturan dengan pihak-pihak yang bersikap eksklusif dan plin-plan berkaitan
dengan pandangannya mengenai doktrin tradisional dan pengalaman kehadiran
Allah dalam Gereja lokal.
Kelima, Model Transendental. Kekhasan model ini yaitu bahwa diri
adalah subjek dari sebuah komunitas beriman. Itu berarti subjek yang mengenal
realitas terlibat secara penuh dalam menentukan bentuk hakiki dari realitas
tersebut. Model ini selalu dimulai dari pengalaman religius sendiri dan dengan
pengalaman menyangkut diri sendiri. berhadapan dengan sebuah pengalaman,
sesuatu yang bersifat privat dan personal dapat pula mengungkapkan pengalaman-
pengalaman orang-orang lain yang mengambil bagian dalam pengalaman
tersebut. Di sini, model transendental memberi penekanan terhadap autentisitas
subjek atau pribadi manusia.60
58Ibid., hlm. 127. 59Ibid., hlm. 161. 60Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi…, op.cit., hlm. 192-196.
42
Keenam, Model Keterlibatan. Model teologi ini bukan sebuah model yang
anti-budaya. Sebaliknya, model ini menampilkan sebuah fungsi kritis terhadap
konteks manusiawi dengan tetap menghargai konteks tersebut dan membiarkan
Injil menjadi penuntun bagi seluruh proses berteologi.61
3.2.2 Nilai-Nilai Teologi Kristiani
Segala sesuatu akan dikatakan memiliki nilai apabila dianggap berguna,
baik, benar, indah, dan religius. Pada dasarnya nilai itu bersifat ideal. Oleh karena
itu, “nilai” itu dapat dilihat sebagai “sesuatu yang abstrak” dan tidak dapat
disentuh oleh panca indera. Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Kristiani
pada dasarnya bermaksud untuk mengarahkan kaum beriman dalam memahami,
mengenal dan mengalami perjumpaan dengan Allah.
Nilai-nilai yang perlu ditanamkan kepada seluruh kaum beriman Kristiani
adalah nilai-nilai yang tidak terlepas dari sifat-sifat Allah sebagaimana yang
ditandaskan dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) bahwa “Allah itu
Mahasempurna dalam segala hal. Artinya, Tuhan mempunyai semua sifat yang
baik tanpa batas yang tidak bisa dibayangkan.”62 Lebih lanjut, Allah menunjukkan
jati diri-Nya melalui pribadi Yesus Kristus. Kesaksian hidup kaum beriman
Kristiani harus sesuai dengan nilai-nilai yang dikehendaki Allah yakni
“kebenaran, cinta kasih, kekudusan, kesalehan, kesetiaan dan keutamaan.”63
Pertama, nilai kebenaran memiliki makna yang sangat penting bagi kaum
beriman Kristiani. Setiap orang perlu memegang kebenaran dan juga dapat
mengajarkan kebenaran sesuai dengan ajaran Alkitab sebagaimana ditegaskan
dalam Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi (Dei Verbum [DV]) nomor 6
bahwa:
“Dengan wahyu ilahi Allah telah mau menampakkan dan
membuka diri-Nya sendiri serta keputusan kehendak-Nya yang
abadi tentang keselamatan manusia, yakni untuk
61Ibid., hlm. 221-222. 62Konferensi wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 141-142. 63Ibid.
43
mengikutsertakan manusia dalam harta-harta ilahi, yang sama
sekali melampaui daya tangkap akal budi insani”.64
Kedua, nilai cinta kasih manusia terhadap sesama harus sama seperti cinta
kasih Allah dalam diri Yesus Kristus yang adalah ciri kehidupan umat Kristiani
yang selalu dinantikan oleh orang-orang di sekitarnya sebagaimana ditegaskan
dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes [AG]) nomor 12
bahwa:
“Akan tetapi Gereja sama sekali tidak bermaksud mencampuri
pemerintahan masyarakat duniawi. Gereja tidak menghendaki
kewibawaan lain bagi dirinya kecuali untuk bantuan Allah,
dengan cinta kasih dan dalam pengabdian yang setia, melayani
umat manusia.”65
Ketiga, nilai kekudusan kaum beriman Kristiani merupakan syarat
seseorang yang dapat melihat Allah, dan masuk menghadap hadirat-Nya dalam
Konstitusi Pastoral Gereja di Dunia Dewasa Ini (Gaudium Et Spes [GS]) nomor
14 berbicara tentang:
“Oleh karena itu, manusia tidak boleh meremehkan hidup
jasmaninya, melainkan sebaliknya, ia wajib memandang baik
serta layak dihormati badannya sendiri, yang diciptakan oleh
Allah dan harus dibangkitkan pada hari terakhir. Tetapi karena
manusia terlukai oleh dosa, ia mengalami pemberontakan pada
badannya. Maka dari itu martabat manusia menuntut, supaya
meluhurkan Allah dalam badannya, dan jangan membiarkan
badan itu melayani kecondongan-kecondongan hatinya yang
tidak baik.”66
Keempat, nilai kesalehan. Nilai ini lebih mengutamakan relasi manusia
dan Allah melalui kesederhanaan hidup. Dalam Konstitusi Pastoral Gereja di
Dunia Dewasa Ini (Gaudium et Spes [GS]) nomor 15 menguraikan bahwa “berkat
kurnia Roh Kudus, manusia dalam iman makin mendekat untuk berkontemplasi
tentang misteri Rencana ilahi serta menikmatinya.”67
Kelima, nilai kesetiaan. Dalam Konstitusi Pastoral Gereja di Dunia
Dewasa Ini (Gaudium et Spes [GS]) nomor 16 tentang kesetiaan menyatakan
64Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, penerj. R. Hardawirayana SJ, cetakan XI
(Jakarta: Obor, 1993), hlm. 330. 65Ibid., hlm. 429. 66Ibid., hlm. 536. 67Ibid., hlm. 537.
44
bahwa seluruh umat Kristiani hendaknya selalu bersatu hati mencari kebenaran
dalam memecahkan setiap masalah yang dihadapi. Menurut dokumen ini, “hati
nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang
diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya.”68
Keenam, nilai keutamaan. Dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja
(Ad Gentes [AG]) nomor 3 berbicara tentang semangat untuk memberikan yang
terbaik kepada Tuhan dan sesama tentunya diilhami oleh Allah sendiri yang telah
memberikan yang terbaik, yakni Anak-Nya Yang Tunggal bagi dunia. Dokumen
ini menandaskan:
“Rencana Allah untuk menyelamatkan seluruh umat manusia itu
terlaksana bukan saja seolah-olah secara tersembunyi dalam jiwa
manusia, atau pun melalui usaha-usaha mereka, juga yang
bersifat keagamaan, untuk mencari Allah dengan pelbagai cara,
kalau-kalau mereka dapat menjamah atau menemukan-Nya,
meskipun ia tidk jauh dari kita masing-masing (Kis 17:27).
Sebab usaha-usaha ituperlu diterangi dan disembuhkan,
sungguhpun, atas rencana penyelenggaraan Allah yang murah
hati, itu semua akhirnya juga dapat dipandang sebagai
pendidikan menuju Allah yang benar atau sebagai persiapan
injili.”69
Nilai-nilai teologi Kristiani yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa
Gereja menghargai setiap kegiatan manusia sebagai kaum beriman. Hal ini karena
semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia baik secara perorangan maupun
bersama untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka merupakan suatu
bagian dari perwujudan rencana Allah. Manusia diciptakan menurut gambar Allah
dan diberi tanggung jawab untuk mengelola bumi beserta segala sesuatu yang ada
di dalamnya berdasarkan prinsip keadilan dan kesucian (GS 56).
3.3 Pandangan Gereja Katolik terhadap Kebudayaan
Sebelum Konsili Vatikan II, imperatif misi pewartaan Gereja adalah extra
ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Namun, setelah
adanya Konsili Vatikan II imperatif misi pastoral Gereja berubah menjadi
68Ibid., hlm. 538. 69Ibid., hlm. 413.
45
Ecclesia semper reformanda (Gereja senantiasa memperbaharui diri). 70
Pernyataan extra Ecclesiam nulla salus, lebih menekankan pewartaan Gereja pada
penaklukan kebudayaan non-Barat dan mengkristenisasikan bangsa-bangsa lain di
seluruh jagat ini. Sementara itu Ecclesia semper reformanda, lebih menekankan
keterbukaan Gereja terhadap keberagaman agama atau budaya dan berusaha
untuk membangun dialog antar agama atau budaya tertentu demi menumbuhkan
iman seluruh kaum Kristiani dari setiap budaya. Setelah munculnya Konsili
Vatikan II, Gereja mulai terbuka dan tidak lagi mengutuk agama-agama lain atau
praktik-praktik agama asli dari kebudayaan tertentu.
Konsili Vatikan II merupakan tonggak dasar yang menentukan
keterbukaan Gereja terhadap dunia khususnya kebudayaan-kebudayaan. Gereja
mulai sadar dan membuka diri terhadap kebudayaan-kebudayaan. Kesadaran ini
didasarkan pada realitas di mana Gereja hidup di tengah dunia yang kompleks
akan tradisi atau warisan budaya. Kesadaran ini pula tidak terlepas dari semangat
para bapa konsili saat itu yang mendorong Gereja untuk tidak hanya terarah pada
budaya Yahudi, melainkan lebih terbuka dan menghormati kebenaran budaya-
budaya lain. Dengan semangat para Bapa Konsili ini, Gereja pun terus
mengevaluasi, menilai dan mengarahkan dirinya untuk menyikapi perjumpaan
dengan pelbagai kebudayaan. Namun, Gereja pun selalu berhati-hati dalam
menerima kebudayaan sebagai suatu kekayaan kultural dan sejarah hidup umat
manusia. Gereja sadar bahwa penolakan terhadap budaya berarti penolakan
terhadap manusia. 71 Sebagaimana hal ini ditegaskan dalam Gaudium et Spes
bahwa Gereja dewasa ini perlu memahami kebudayaan sebagai segala upaya
manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-
pembawaan jiwa-raganya, dan manusia itu “berusaha menguasai alam semesta
dengan pengetahuan maupun jerih payahnya. Ia menjadikan kehidupan sosial,
dalam keluarga maupun dalam seluruh masyarakat, lebih manusiawi melalui
kemajuan tata susila dan lembaga-lembaga. Akhirnya, di sepanjang masa ia
mengungkapkan, menyalurkan, dan melestarikan pengalaman-pengalaman rohani
70Jacob Kavunkal, “Penaklukkan atau Kehadiran: Misi di Asia dalam Milenium Ketiga”, dalam
Georg Kirchberger dan John Mansford Prior, Mendengarkan dan Mewartakan, (Ende: Nusa
Indah, 2002), hlm. 211. 71 Cristhologus Dhogo. Su’i Uwi: Ritus Budaya Ngada dalam Perbandingan dengan Ekaristi
(Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 148.
46
serta aspirasi-aspirasinya yang besar melalui karyanya supaya berfaedah bagi
kemajuan banyak orang, bahkan segenap umat manusia” (GS 53).
Gereja pada dasarnya menempatkan budaya sebagai wahana yang
digunakan manusia dalam menentukan etos dan pandangan hidupnya. Kendati
demikian, budaya memungkinkan manusia untuk bisa menempatkan tatanan nilai-
nilai kehidupan yang ada. Misalnya, cara menggunakan benda-benda,
menjalankan karya-karya, mengungkapkan diri, membentuk adat istiadat dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan
sarana untuk mengatasi dan menjawabi kesulitan hidup manusia. Lebih jauh,
dalam upaya membangun Gereja yang autentik seturut Konsili Vatikan II, Gereja
mesti dibangun di atas perjumpaan dengan pelbagai budaya. Dalam perjumpaan
tersebut, Gereja semakin diperkaya dengan mengenal pelbagai tradisi, simbol,
adat-istiadat dan kekayaan lain dalam suatu budaya di mana Gereja itu berada.
Selain itu, perjumpaan dengan pelbagai budaya juga dapat mengubah dan
membaharui nilai-nilai budaya dari dalam, dan sekaligus membuka penafsiran
kreatif atas nilai-nilai injil yang diwartakan Gereja ke dalam ungkapan-ungkapan
yang baru atau membuka jalan baru dalam memahami injil dan kekayaannya.
Konsep teologis tentang Gereja tidak lagi hanya terbatas pada persekutuan
murid-murid Kristus yang kelihatan, yang mana Gereja “sebagai sakramen (LG
1), yaitu sakramen keselamatan bagi semua orang (LG 48). Akan tetapi, konsep
teologis tentang Gereja juga mencakup wawasan Gereja yang bersifat misioner
(AG 1).” 72 Keterbukaan Gereja terhadap budaya bangsa-bangsa lain menjadi
keterbukaan universal. Artinya, Gereja tidak hanya tertuju pada para murid Yesus
melainkan untuk semua orang. Dengan ini, pewartaan teologi semakin meluas dan
benih-benih sabda yang diwartakan dapat merasuki hati semua manusia dalam
setiap budaya. Di sini Gereja tidak menutupi dirinya dan berasumsi bahwa di luar
Gereja tidak ada keselamatan melainkan mulai terbuka dan memperbaharui
dirinya dengan menggali dan menyikapi kekayaan nilai-nilai teologis dari setiap
budaya yang dijumpai. Dengan demikian, Gereja tidak hanya menjurus pada
persekutuan para murid melainkan persekutuan seluruh kaum beriman. Atas dasar
72Stephen B. Bevans, “Mitra dan Nabi-Gereja dan Globalisasi”, dalam Georg Kirchberger dan
John Masfort Prior, Mendengarkan dan Mewartakan (Ende: Nusa Indah, 2002), hlm. 68-69.
47
itulah Gereja dipahami sebagai Gereja universal yang terbuka bagi semua umat
beriman di seluruh dunia.
Sejak konsili vatikan II Gereja pun melihat dan memperbaharui diri secara
radikal, mengubah seluruh pandangannya tentang agama-agama lain, tentang
praktik keagamaan masyarakat tradisional serta tentang kebudayaan bangsa-
bangsa pada umumnya. Sambil tetap memegang teguh keunikan Yesus Kristus
sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan. Gereja Katolik mulai membenahi
diri dan menerima nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam praktik-praktik budaya.
Gereja Katolik sadar bahwa iman tidak selamanya harus dipahami secara rasional
tetapi harus dihayati dan dilihat secara nyata. “Sejak saat itu, Gereja Katolik
mengimbau putra-putrinya untuk merangkul nilai-nilai baik dan luhur di dalam
kebudayaan mereka dan tradisi-tradisi iman agama-agama lain melalui inkulturasi
dan dialog antar-agama.”73Gereja menyadari kekayaan nilai-nilai budaya yang
berpengaruh bagi kehidupan manusia, sehingga turut secara langsung menentukan
kemanjuran pewartaan dan keberakarannya di dalam dunia.
Dengan demikian, keterbukaan Gereja terhadap keberagaman budaya pada
dasarnya merupakan keniscayaan, serentak gema pewartaan harus sungguh-
sungguh berakar agar benih-benih sabda yang diwartakan itu tumbuh dalam hati
setiap orang Kristen dalam kebudayaannya masing-masing. Oleh karena sikap
baru dari Gereja Katolik yang diilhami Konsili Vatikan II ini, “agama-agama
tradisional dalam pandangan dan ritusnya terus memainkan sebuah peran penting
di dalam kehidupan sejumlah besar orang Katolik di berbagai wilayah dalam
mempraktikkan iman dengan memakai tata cara agama Katolik dan juga melalui
tata cara keagamaan asli mereka.”74
Atas dasar pemahaman ini, di dalam praktik keagamaan tradisional
terkandung nilai-nilai Kristiani yang bervariasi. Hal ini dikarenakan praktik
budaya atau tradisi yang dilakukan masyarakat bervariatif atau berbeda-beda.
Sebagaimana diuraikan secara panjang mengenai pandangan Gereja terhadap
kebudayaan tradisional, maka secara gamblang dapat dikatakan bahwa praktik-
praktik ritus kebudayaan memiliki nilai-nilai yang luhur yang bisa disandingkan
dengan nilai-nilai Kristiani. Oleh karena itu, pandangan Gereja terhadap agama
73Alex Jebadu, op. cit, hlm. 3. 74Ibid., hlm. 4.
48
tradisional dapat diterima serta ritus kebudayaan sebagai ritus keagamaan
tradisional dapat dipertahankan.
Oleh karena itu, mereka yang berpandangan negatif terhadap pandangan
dan ritus keagamaan tradisional cenderung menganggap pandangan agama
tradisional sebagai pandangan yang terlalu dominan oleh hal-hal yang magis.
Selain itu, praktik keagamaan tradisional adalah berhala, kepercayaan sia-sia atau
takhayul. 75 Hal yang patut disayangkan adalah hingga saat ini Gereja tidak
mempunyai teologi praktis yang dapat menjembatani pertentangan di atas. Gereja
juga tidak mempunyai pedoman pastoral yang bisa menolong agen pastoral untuk
mengintegrasikan secara harmonis pandangan dan praktik keagamaan asli ke
dalam teologi dan praktik keagamaan Katolik.76
3.4 Pandangan Masyarakat Suku Lopo Metan terhadap Alam
Ketergantungan masyarakat suku Lopo Metan terhadap alam sangat
kental, hal ini tampak dalam segala jenis perkakas seperti ike-suti dan suni-auni
yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Peralatan-peralatan ini sangat
berguna dan penting bagi masyarakat yang bernaung di bawah suku Lopo Metan.
Masyarakat dapat menggunakan peralatan-peralatan tersebut untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi demi mempertahankan hidup. Bahan-bahan yang digunakan
dalam membuat peralatan atau perkakas ini semuanya berasal dari alam.
Ketergantungan ini membuat mereka untuk memperlakukan alam layaknya
seperti mereka memperlakukan seorang manusia yaitu dengan menjaga, merawat
dan melindunginya. Atas dasar ini, maka relasi antara mereka dengan alam sangat
dekat. Alam dianggap seperti saudara dan bumi dianggap sebagai ibu mereka.
“Bagaimana mungkin mereka dapat menyakiti dan melukai saudara dan ibu
mereka sendiri.”77 Masyarakat Atoni Meto memiliki prinsip bahwa alam selalu
membantu dalam memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Dengan demikian,
dalam seluruh siklus hidup mereka, semua kekayaan alam dilihat sebagai
pemberian dari Yang Ilahi yang patut untuk dilestarikan tanpa merusaknya.
75 Fransiskus Bonevasio Rodos, Ritus Paki Kaba Kelas Mese dalam Masyarakat Sipi dan
Pandangan Kristen Tentang Hidup Sesudah Mati, Sebuah Upaya Mencari Model Inkulturasi
Budaya, dalam Jurnal Ledalero Volume 11 No. 2, Juli 2012, hlm 86. 76Ibid. 77Dr. Eben Nuban Timo, op. cit., hlm. 36.
49
Orang Timor memiliki pandangannya tersendiri terhadap alam. Alam
terutama dilihat sebagai saudara sekaligus sumber hidup manusia. Hutan, air,
udara, musim untuk menanam, memetik hasil, mengolah lahan, hujan, dan api,
misalnya, dilihat sebagai satu kesatuan yang membentuk kosmos.78 Agar tetap
menjalin relasi yang baik dengan kosmos, masyarakat suku Lopo Metan selalu
menjaga dan melestarikan kosmos tersebut. Anggapan mereka bahwa jika
keharmonisan antara mereka dengan alam retak maka timbulah malapetaka yang
datang untuk membinasakan mereka. Misalnya, kesuburan tanah, kegagalan
panen, dan kekeringan. Semua kegagalan ini dilihat sebagai satu ekspresi
kemarahan dari Dewa-Dewi atau Leluhur akibat kelalaian mereka dalam
memperlakukan alam yang adalah saudara mereka sendiri. Akibat lanjutan dari
kelalaian tersebut, mengakibatkan relasi antara mereka dan Dewa-Dewi atau
Leluhur semakin renggang. Bagi Masyarakat suku Lopo Metan, semua
malapetaka yang mereka terima adalah satu teguran dari Dewa-Dewi atau
Leluhur. Sebagai bentuk ungkapan rasa bersalah dan pemurnian diri dari segala
bentuk kelalaian yang telah dibuat, maka ritus Fua Pah adalah hal penting yang
perlu dilakukan sebagai jembatan mereka untuk membangun kembali relasi yang
intim dengan Leluhur atau Dewa-Dewi
3.5 Ritus Fua Pah sebagai Tanggapan Moral atas Manifestasi Diri Wujud
Tertinggi kepada Manusia
Alam dan manusia adalah ciptaan Allah dalam wujud atau bentuk yang
berbeda. Meskipun berbeda wujud, namun keduanya saling melengkapi. Hal ini
tampak nyata dalam perkembangan spiritualitas manusia akan Wujud Tertinggi.
Manusia tidak mampu untuk menangkap, memahami dan menjelaskan segala
sesuatu dengan akal-budinya. Oleh karena keterbatasan ini, maka ia
membutuhkan wadah lain untuk memahami realitas sekitarnya termasuk realitas
tentang Wujud Tertinggi. Wadah lain yang dibutuhkan adalah keseluruhan
kosmos. Melalui kosmos yang meliputi batu, air, udara, api, pohon dan tanah
manusia mampu untuk mengenal karya agung Wujud Tertinggi secara nyata.
78Piet Manehat, SVD, Pandangan Orang Timor Terhadap Alam Sekitar, dalam Gregor Neonbasu,
SVD, Ph. D., ed, Kebudayaan: Sebuah Agenda, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013),
hlm. 76.
50
Semuanya ini sangat penting bagi manusia, sebab bagi manusia Wujud Tertinggi
adalah sesuatu yang bersifat misteri atau yang tak terselami. Meskipun demikian,
manusia yakin dan percaya bahwa Wujud Tertinggi selalu mempunyai cara untuk
memperlihatkan diri. Cara Wujud Tertinggi menyatakan diri ialah melalui wahyu
dalam bentuk alamiah yang bersifat analogis.79 Allah menggunakan sarana-sarana
atau instrumen-instrumen yang cocok dengan kondisi manusia untuk menyatakan
diri dalam karya penyelamatan kepada umat manusia dan alam semesta sehingga
manusia senantiasa memahami dan menerima karya penyelamatan tersebut.
Selain itu, Allah juga mewahyukan diri kepada manusia dalam ha-hal biasa atas
pengalaman riil harian manusia, sehingga manusia dapat mengenal dan
mengimani-Nya.
Ajaran Kristen menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang
terbatas. Sebagai ciptaan yang terbatas manusia memiliki tujuan yang kodrati.
Melalui wahyu Allah, manusia diberikan kehendak bebas sebagai jawaban atas
panggilan Allah untuk masuk ke dalam persekutuan dengan Allah yang kodratnya
melampaui manusia atau yang transendental. Itu berarti manusia memiliki tujuan,
yang sebenarnya tidak sesuai dengan kodratnya. Tujuan itu ditambahkan
kepadanya.80 Dengan demikian, manusia dapat mengenal Allah melalui pelbagai
sarana atau instrumen. Di samping itu, pelbagai sarana dan instrumen yang ada
hanyalah sebagai simbol bahwa Allah benar-benar ada. Allah itu adalah misteri
yang tidak terselami yang tidak dapat dimengerti secara holistik oleh pikiran
manusia. Manusia memerlukan pemahaman analogis agar dapat memahami dan
menyakinkan dirinya mengenai berbagai simbol sebagai bagian dari pewahyuan
Allah. “Manusia mengenal Allah, namun hanya melalui perantara yaitu pelbagai
simbol. Sebaliknya Allah benar-benar menyatakan diriNya dan benar-benar hadir
secara nyata kepada manusia dalam simbol-simbol.”81
Seturut pemahaman Kristiani, penghormatan dan penghargaan terhadap
alam dapat mengantar manusia untuk semakin mengimani Tuhan. Alam semesta,
termasuk manusia di dalamnya, dilihat sebagai ciptaan Tuhan. Adanya alam
membuktikan secara nyata tentang kemahakuasaan dan keagungan Tuhan.
79Millard J. Erickson, Cristian Theology (Mighigan: Baker Books, 1998), hlm 204-206. 80Sefrianus Juhani, Teologi Penciptaan (ms), (Diktat Kuliah STFK Ledalero 2017), hlm 120. 81Remigius Ceme, op.cit., hlm. 75.
51
Penghormatan terhadap alam juga dibuat oleh masyarakat suku Lopo Metan.
Penghormatan itu lahir dari pemahaman bahwa alam semesta adalah hasil ciptaan
Wujud Tertinggi atau yang disebut Uis Neno. Hal ini dapat dilihat secara jelas
dalam pelaksanaan ritus Fua Pah oleh masyarakat setempat. Di dalam
pelaksanaan ritus ini, masyarakat kerap menggunakan sarana-sarana atau
instrumen-instrumen sebagai simbol pengenalan akan Allah, seperti bahasa
simbol dan metafora untuk menganalogikan Allah sedemikian rupa sehingga
dikenal oleh semua anggota yang ikut ambil bagian dalam upacara tersebut.
Umumnya simbol yang digunakan dalam ritus Fua Pah adalah bahasa-bahasa
adat (natoni) dan hewan-hewan sebagai korban dalam upacara tersebut. Bagi
masyarakat suku Lopo Metan, bahasa yang dituturkan dalam bentuk natoni ini
mewakili keseluruhan perasaan mereka kepada Wujud Tertinggi. Natoni menjadi
simbol bagi mereka dalam mengungkapkan segala persoalan yang dialami kepada
Wujud Tertinggi, baik itu yang menyenangkan maupun yang mengecewakan.
Hewan-hewan korban menjadi ungkapan persembahan mereka kepada Leluhur
Atau Dewa-Dewi. Masyarakat suku Lopo Metan yakin dan percaya bahwa
dengan natoni dan persembahan lewat hewan-hewan yang dikorbankan, dewa-
dewi selalu menjaga dan memberikan kebahagiaan dalam hidup mereka. Bahkan,
terkabul-tidaknya doa-doa permohonan pun dapat dilacak dan diketahui melalui
tanda-tanda yang ada pada hewan korban, seperti ayam dan babi. Tanda-tanda itu
dapat dilihat secara khusus pada tali perut dan hati hewan kurban tersebut.
Tindakan ini dinamakan tae lilo.
Ritus Fua Pah adalah suatu cara yang digunakan oleh masyarakat untuk
mendekatkan diri dan menghadirkan Leluhur di tengah-tengah mereka. Dalam
ritus ini, masyarakat berkumpul dan merayakan kebersamaan melalui makan
bersama. Lebih dari itu, ritus ini mengarahkan masyarakat suku Lopo Metan
untuk masuk dalam kesakralan dan keintiman relasi bersama dengan Leluhur.
Kesakralan itu dirasakan melalui mantra-mantra yang dibawakan oleh ketua adat
(natoni). Pada saat natoni berlangsung, semua mereka menunduk dalam diam.
Masyarakat Suku Lopo Metan sadar akan keterbatasan dalam diri untuk mengenal
Wujud Tertinggi maka dengan melaksanakan ritus, mereka dapat mengalaminya
secara simbolis. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa di dalam dan melalui ritus
52
Fua Pah, Leluhur memanifestasikan diri secara simbolis dan masyarakat suku
Lopo Metan dapat menyatakan sembah bakti dan syukur kepada-Nya.
3.6 Makna Ritus Fua Pah dalam Hidup Kristiani
Terdapat makna yang mendalam dalam ritus Fua Pah. Bahkan, makna itu
pun dapat dilihat dalam hubungannya dengan hidup Kristiani. Makna dari ritus ini
yaitu sebagai ungkapan permohonan dan puji-syukur dari kesadaran terdalam
masyarakat suku Lopo Metan.
Sebagaimana sudah diuraikan bahwa seluruh siklus kehidupan dan pola
perkembangan masyarakat berpijak pada ritus-ritus. Melalui ritus ini seluruh
eksistensi hidup masyarakat suku Lopo Metan diarahkan kepada Wujud Tertinggi,
yang berkuasa atas kehidupan manusia dan seluruh alam semesta. Berikut ini akan
dijelaskan mengenai makna ritus Fua Pah itu sendiri.
3.6.1 Puji-Syukur
Puji-syukur adalah ekspresi rasa keterpesonaan manusia atas kebaikan
yang diterima dari Dewa. Ungkapan “syukur kepada Allah!” adalah sebuah
ungkapan yang biasanya dilantunkan oleh seorang beriman. Ungkapan ini bukan
sebuah ungkapan rasa terima kasih untuk sesuatu yang lampau, melainkan
kegembiraan karena kebaikan Tuhan yang sekarang.82 Ungkapan syukur yang
disampaikan manusia kepada Leluhur merupakan suatu reaksi kegembiraan atas
segala peristiwa yang dialami. Ungkapan rasa syukur ini menyadarkan mereka
bahwa pelbagai peristiwa gembira yang dialami merupakan bukti
penyelenggaraan kebaikan Leluhur. Sebagai misal, pengalaman kesuksesan,
pengalaman situasi-situasi tapal batas, dan kesehatan yang baik, dan sebagainya
82Ibid., Dalam pembahasan mengenai “puji syukur” ini Remigius Ceme lebih menekankan pada
aspek kesadaran atas kebaikan Allah kepada manusia. Bukan saja terbatas pada ungkapan syukur
atas kebaikan yang telah Allah berikan namun lebih mengarah kepada sebuah iman persona untuk
menyadari bahwa Allah selalu mengaruniakan kebaikanNya kepada manusia dalam realitas harian
manusia. Kesadaran atas kebaikan ini yang menghantar manusia kepada kepenuhan akan suka cita
dalam menjalin relasi yang lebih intim dengan Allah. Meskipun demikian dalam praktik “puji
syukur” yang dilaksanakan oleh manusia, manusia kerap memiliki kecenderungan untuk
mengungkapkan hasratnya atas dasar bahasa ucapan sebagai ungkapan hati atas kebaikan Allah
kepada dirinya dan tidak melihat lebih jauh bahwa tindakkan kasih Allah yang tercurah dalam
kegembiraan dan kebaikan itulah yang menghantar kita kepada kepenuhan dalam membahasakan
syukur dan pujian kepada Allah melalui sesama dan alam semesta yang ada dan hadir dalam
realitas hidup kita.
53
diyakini secara pasti oleh manusia bahwa itu semua merupakan rahmat yang
diberikan dari Dewa secara cuma-cuma. Perolehan rahmat dan pelbagai peristiwa
yang dialami manusia dalam hidup mendorong manusia untuk mengungkapkan
rasa syukur atas kebaikan Dewa padanya.
Masyarakat suku Lopo Metan pada hakikatnya hidup bertani atau
berladang. Ini membuktikan bahwa mereka hidup bergantung pada alam. Atas
kebergantungan ini, mereka selalu memandang “alam sebagai ibu” yang selalu
memberi tanpa menerima atau selalu mendengarkan setiap permohonan yang
dipanjatkan. Permohonan ini bermaksud untuk meminta kesuburan tanah,
kesejahteraan hidup dan memperoleh panenan yang berlimpah.83 Ketika mereka
memperoleh hasil yang memuaskan, seperti panenan yang berlimpah atau
kesejahteraan hidup, misalnya, mereka pun tidak segan-segan untuk
menyampaikan rasa syukur terhadap pemberian itu. Mereka menyadari bahwa
yang mereka peroleh merupakan penyelenggaraan Yang Ilahi, sehingga salah satu
caranya untuk menyampaikan rasa syukur adalah melalui ritus Fua Pah.
Ritus Fua Pah dilihat sebagai suatu jalan bagi masyarakat suku Lopo
Metan untuk mengungkapkan rasa syukurnya kepada Leluhur dan Dewa-Dewi.
Ungkapan rasa syukur itu disertai dengan pemberian atau persembahan korban.
Melalui ritus Fua Pah, masyarakat menyadari bahwa mereka adalah makhluk
yang terbatas, rapuh, memiliki keterbatasan dalam diri, dan bergantung
sepenuhnya pada penyelenggaraan Yang Ilahi tersebut. Alam tempat manusia
hidup, tinggal dan berkarya adalah bukti nyata kemurahan kasih Yang Ilahi
tersebut. Pelaksanaan ritus Fua Pah adalah sebentuk ungkapan syukur yang tiada
tara dari pihak masyarakat suku Lopo Metan terhadap kemurahan Yang Ilahi
tersebut.
Perayaan syukur masyarakat suku Lopo Metan melalui ritus Fua Pah ini
melibatkan para leluhur (be’e-na’i). Para leluhur diyakini sebagai perantara doa-
doa mereka kepada Wujud Tertinggi (Uis Neno). Dengan melibatkan para leluhur
dalam ritus ini, masyarakat tidak hanya menghormati para leluhur sebagai figur-
figur yang telah terlebih dahulu hidup dan meletakkan dasar-dasar yang baik
menyangkut nilai-nilai dan pelaksanaan ritus Fua Pah. Lebih dari itu, para leluhur
83Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat, Kokbaun, pada 4 Juli 2019, di kuan Upun.
54
adalah perantara antara anggota masyarakat yang masih hidup dengan Wujud
Tertinggi. Ungkapan puji-syukur di satu sisi sebagai bentuk ekspresi iman
religiositas asli masyarakat suku Lopo Metan melalui pelaksanaan ritus Fua Pah
dan di lain sisi sebagai bentuk ungkapan kegembiraan mereka terhadap seluruh
siklus hidup yang telah dialami dalam dunia.
3.6.2 Permohonan
Doa permohonan sesungguhnya tidak hanya menyangkut kebutuhan
manusia, tetapi sekaligus juga berkaitan dengan kebaikan Tuhan yang senantiasa
memperhatikan kebutuhan makhluk ciptaan-Nya. 84 Kesadaran dalam diri
manusia untuk mendekatkan diri dengan Tuhan merupakan suatu keniscayaan.
Hal ini disebabkan oleh kesadaran manusia atas keterbatasan dalam dirinya dan
merupakan makhluk yang fana, maka ia perlu membangun relasi yang intim
dengan roh leluhur dan roh alam sebagai perantara untuk memperoleh
penyelenggaraan dari Wujud Tertinggi Uis Neno.
Atas dasar itu, manusia selalu menyampaikan permohonan-permohonan
untuk memperoleh kepenuhan hidup dari penyelenggaraan Wujud Tertinggi Uis
Neno. Permohonan-permohonan tersebut disampaikan melalui perantara roh para
leluhur atau roh alam. Setiap permohonan yang disampaikan merupakan hasil dari
pengalaman kelompok atas pelbagai peristiwa yang dihadapi. Misalnya memohon
penyelenggaraan Dewa-Dewi atas situasi-situasi sulit yang dihadapi,
kesejahteraan hidup, peningkatan produktivitas, dan kesuksesan dalam hidup.
Masyarakat suku Lopo Metan dalam siklus dan pola kehidupan di dunia
telah menyadari keterbatasan-keterbatasan dalam diri. Kesadaran akan
keterbatasan dalam diri ini telah mengarahkan hidup mereka kepada sesuatu yang
dianggap memiliki kekuatan supra-natural. Keterarahan hi
dup mereka seluruhnya diselenggarakan melalui upacara ritus-ritus. Dalam
penyelenggaraan ritus Fua Pah ini, mereka mengharapkan setiap permohonan
84Artinya bahwa doa permohonan tidak semata dilihat sebagai ungkapan sujud dari setiap pribadi
kepada Allah untuk sekadar dikabulkan namun yang mau diterangkan ialah ungkapan relasi belas
kasih yang dijalin oleh manusia dan Allah. Allah menjadi tujuan dan Yesus Kristus sebagai
perantara agung dalam doa permohonan menyadarkan manusia akan kebaikan Allah kepada
seluruh umat-Nya yang merupakan sebuah janji atas karya keselamatan yang dijalani dan yang
terlaksana dalam kisah perjanjian Allah kepada manusia melalui Adam baru. Tom Jacobs SJ,
Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 239.
55
yang mereka sampaikan akan dikabulkan. Upacara ritus Fua Pah merupakan
momen bagi mereka untuk mengungkapkan setiap permohonan dan penyerahan
diri secara total kepada leluhur. Upacara ritus Fua Pah merupakan upacara adat di
mana seluruh anggota ikut ambil bagian dan mengalami peristiwa-peristiwa sakral
di dalamnya.
Pelaksanaan ritus Fua Pah memungkinkan masyarakat suku Lopo Metan
untuk menyampaikan permohonannya secara bebas, penuh keyakinan atau iman,
dan dengan penuh harapan. Pengalaman iman yang diungkapkan oleh Masyarakat
suku Lopo Metan menunjukkan bahwa “iman dalam arti tertentu datang dari
pelaksanaan kebebasan manusia sendiri, di mana manusia menerima tanpa
paksaan undangan batiniah rahmat Allah untuk mengambil bagian dalam relasi
intim dengan Allah sendiri.”85 Oleh karena itu, iman terungkap dalam kegiatan
manusia sebagaimana yang diselenggarakan dalam upacara ritus Fua Pah oleh
masyarakat suku Lopo Metan.
3.7 Pentingnya Teologi Inkarnasi Bagi Masyarakat Lopo Metan
Metode teologi Kristiani dalam Gereja Katolik merupakan cara terbaik
untuk mencari pemahaman yang lebih mendalam mengenai iman Kristiani. Di
sini sebagai manusia Kristiani setiap orang perlu memiliki cara pandang yang
khas atas dunia untuk melakukan teologi. Hakikat kekatolikan dan prinsip utama
metode teologi Katolik adalah analogi keberadaan, prinsip bahwa terdapat suatu
kesinambungan antara keberadaan manusia dan keberadaan Allah, dan bahwa
pengetahuan tentang hal-hal di dunia ini dapat mengantar ke satu pengetahuan
nyata, meskipun tidak sempurna, tentang Allah. 86 Untuk melakukan teologi
Katolik seseorang mesti memiliki imajinasi analogis. Artinya, pendasaran atas
realitas dunia mesti berupa sesuatu yang menangkap kesamaan dalam perbedaan
yang merupakan dasar dalam semua realitas.
Selain memerlukan imajinasi analogis dalam melakukan teologi Katolik,
cara lain untuk melukiskan kecerdasan pikiran ialah perlunya berbicara dalam
kerangka prinsip dasar sakramentalisme. Cara pandang Gereja Katolik terhadap
85Remigius Ceme, op. cit., hlm. 155. 86 “Analogi keberadaan” adalah paham filosofis yang hemat Bevans merupakan intipati cara
pandang Katolik atas dunia, dalam Stephan Bevans, op. cit., hlm 264.
56
realitas dunia sebagai jalan perjumpaan dan dialog dengan Allah ialah melalui
hal-hal yang kelihatan maupun sejarah yang merupakan wahana aktual dari
kehadiran Allah yang sesungguhnya. Sebuah perspektif sakramental adalah sisi
tilik di mana yang sekular dapat menyatakan yang sakral, yang imanen dapat
menyatakan yang transenden, yang partikular dan parsial dapat menyatakan
kesatuan dari keseluruhan.87 Artinya prinsip sakramental yang dialami melalui
pelbagai simbol dalam realitas dunia yang dijumpai mengarahkan kita pada
kehadiran Allah yang sungguh-sungguh nyata. Kepercayaan iman Katolik
menyatakan bahwa kehadiran Allah yang menyelamatkan itu tidak hanya tampak
dalam doktrin, tetapi juga melalui pengalaman-pengalaman hidup setiap hari.
Oleh karena itu, selain pelbagai mediasi yang digunakan dalam mengalami
kehadiran Allah, Gereja Katolik juga dapat dilihat sebagai bentuk nyata dari
perjumpaan antara yang insani dan Ilahi. Persepsi tentang hakikat sakramental
realitas tercipta juga jika kita benar-benar memahami makna kata Katolik. Artinya
bahwa perlu adanya keterbukaan terhadap kebenaran dan nilai yang terkandung di
dalamnya.
Melalui pelbagai mediasi yang dijumpai sebagai wujud teologis yang
berakar pada cara pandang sakramentalis mengenai dunia membutuhkan realisme
kritis. Filosofi realisme kritis akan membantu setiap rumusan yang berciri
teologis. Realisme kritis ini adalah posisi yang sekaligus menghindari ekstrem
realisme naif atau empirisme mentah di satu pihak yakni, “apa yang sekarang
sudah ada di luar sana adalah nyata”, dan idealisme “apa yang nyata adalah apa
yang ada dalam pikiran saya” di lain pihak. Artinya bahwa jika prinsip
sakramentalisme sebagai keyakinan dasar kekatolikan, maka pengetahuan tentang
Allah dalam perjumpaan dengan wahyu merupakan sebuah pengalaman yang
diperantarai oleh konteks realitas individual dan kultural historis yang dapat
diabsahkan secara objektif, empiris dan rasional. Dengan demikian, realisme kritis
akan menghindari setiap pengertian yang naif terhadap realitas seluruhnya dan
setiap gagasan tentang wahyu selalu berpijak pada cara pandang Katolik.88
Selain itu, prinsip inkarnasi merupakan pijakan refleksi iman mengenai
Allah dan sebagai salah satu prinsip yang benar-benar teologis dalam melakukan
87Ibid., hlm. 265. 88Ibid., hlm. 271.
57
teologi. Yesus Kristus, Firman yang menjadi daging (Yoh 1:14), benar-benar
Allah dan benar-benar manusia (DS 301; ND 614), pada ujung-ujungnya
merupakan alasan untuk cara pandang iman Katolik dan sakramental atas dunia,
alasan mengapa harus ekuivalen antara yang insani dan Ilahi, dan mengapa kita
dapat benar-benar mengetahui dengan akal budi kita yang dikondisikan secara
historis dan kultural. 89 Melalui prinsip teologis inkarnasi kita dapat memiliki
implikasi-implikasi mendalam dalam melakukan teologi. Inkarnasi sebagai
pernyataan Allah secara total melalui sabda yang telah menjelma menjadi daging
dalam Kristus yang benar-benar jasmani dan rohani dengan menghantar manusia
untuk dapat membangun relasi dengan Allah. Pelbagai peristiwa sejarah dan
realitas dunia yang dijumpai manusia merupakan simbol-simbol teologis yang
menghantar manusia dengan membangun dialog dengan Allah serta pengenalan
akan Yesus sebagai perantara Allah. Oleh karena itu, inkarnasi sebagai salah satu
prinsip dalam berteologi Katolik yang merupakan simbol dalam memaknai hidup
manusia melalui perjumpaan dan dialog dengan realitas dunia.
3.8 Makna Kurban dalam Ritus Fua Pah
Upacara kurban mempunyai tempat utama karena dengannya masyarakat
Suku Lopo Metan mengadakan persembahan diri kepada dewa lewat suatu
pemberian dan hubungan serta komunikasi yang erat antara manusia dengan dewa
yang ditetapkan lewat keikutsertaan dan partisipasi dalam persembahan yang
disucikan.90 Sebagaimana telah diuraikan dalam pengakuan akan adanya yang
Transenden, maka dalam pelaksanaan ritus Fua Pah selalu disertakan korban
sembelihan. Tujuan utama dari pemberian korban sembelihan ialah sebagai
bentuk ungkapan permohonan ketika membuka kebun baru dan sebelum
menanam serta ungkapan rasa syukur dan terima kasih setelah memperoleh hasil
panenan yang berlimpah.
Pelaksanaan doa dan persembahan kurban sembelihan merupakan ekspresi
lahiriah masyarakat suku Lopo Metan, karena mereka menyadari bahwa hidup
mereka selalu bergantung dalam penyelenggaraan roh alam dan roh leluhur. Salah
89Ibid., hlm. 272. 90Bdk. Marisusai Dhavamony, op. cit. hlm. 203.
58
satu alasan untuk menyampaikan permohonan dan syukur yaitu bahwa mereka
menyadari keterbatasan hidup mereka. Hal ini dapat dilihat dalam pengalaman
hidup mereka, seperti memperoleh panenan yang berlimpah, segala peristiwa
dalam hidup mereka yang dapat diselesaikan dan pengalaman situasi batas yang
dapat dilalui.
Selain itu, “upacara kurban adalah suatu tindakan religius yang melalui
penyucian kurban, mengubah keadaan moral orang-orang yang melaksanakannya
ataupun keadaan benda-benda tertentu.”91 Kurban yang hendak dipersembahkan
telah disucikan sebelumnya sehingga kurban yang dari awal dianggap kotor atau
belum disucikan berubah menjadi suci lewat penyucian itu. Ketika upacara
kurban telah disucikan maka konteks pandangannya berbeda. Artinya bahwa
bukan lagi dianggap sebagai barang duniawi melainkan sudah masuk dalam
kategori disucikan.
Pelaksanaan ritus Fua Pah dalam konteks masyarakat suku Lopo Metan
juga merupakan suatu bentuk permohonan, syukur dan terima kasih mereka
kepada Wujud Tertinggi. “Permohonan, syukur dan terima kasih lahir dari
kesadaran mereka sebagai manusia yang memiliki keterbatasan dalam diri. Segala
peristiwa yang mereka alami baik dalam memperoleh kelimpahan, kesuksesan
bahkan situasi batas, semuanya berasal dari kehendak Yang Transenden.”92 Atas
dasar itulah, segala peristiwa yang dialami dalam siklus hidup mereka di dunia
sebagai manusia merupakan bukti penyelenggaraan Yang Transenden.
Oleh karena itu, “sebelum mereka menikmati hasil panenan perdana yang
mereka peroleh, hal utama yang mereka lakukan ialah melaksanakan upacara ritus
Fua Pah dengan memberikan kurban sesajian sebagai bentuk persembahan
91H. Hubert dan M. Mauss, “Sacrifice: Its Nature and Function”, dalam Marisusai Dhavamony, op.
cit., hlm. 217. Artinya bahwa kurban persembahan yang telah dikurbankan dalam situasi atau
konteks ritual merupakan sebuah kurban persembahan totalitas atas diri kepada roh alam dan roh
para leluhur sebagai bagian atas iman akan Wujud Tertintinggi dalam tradisi imanen. Kurban
persembahan ini, memberi ruang bagi setiap individu untuk mengalami kebebasan atas rasa syukur
dan permohonan sebab melalui kurban tersebut setiap individu percaya bahwa Wujud Tertinggi
atau Uis Neno dalam bentuk alam dan roh para leluhur mampu menjadi perantara antara iman
mereka atas rahmat Wujud Tertinggi. Dengan demikian, kurban persembahan mampu
membebaskan moril setiap individu yang melaksanakan ritus tersebut karena dikehendaki oleh
kebebasan setiap pribadi tanpa didesak atau sekadar dipaksa dengan keharusan sehingga atas dasar
kehendak bebas ini setiap individu mampu mengalami hubungan yang lebih terbuka dan harmonis
antara sesama dan bentuk lain dari Wujud Tertinggi. 92Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 4 juli 2019 di
Kuan Upun.
59
mereka kepada roh dewa-dewi.”93 Setelah kurban sesajian ini dipersembahkan,
maka mereka akan menikmati hasil yang telah mereka peroleh. Seluruh anggota
yang ikut ambil bagian dalam upacara tersebut akan menikmati hasil sesajian
sebagai ungkapan rasa solidaritas dan keterikatan sosial dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Artinya bahwa Yang Ilahi tidak memiliki cacat cela sehingga apa
yang mereka berikan pun demikian. Kurban persembahan atau sesajian yang
diselenggarakan dalam ritus Fua Pah merupakan ekspresi kebahagiaan atas
penyelenggaraan Yang Ilahi dalam kehidupan mereka sebagai masyarakat agraris.
Kesakralan yang tercipta dalam ritus Fua Pah memberi ruang atas rahmat Yang
Ilahi melalui kesadaran secara langsung oleh masyarakat suku Lopo Metan
sebagai anugerah paling berharga.
Oleh karena itu, ritus Fua Pah merupakan bentuk penyembahan kepada
Yang Transenden yang mencerminkan kesetiaan dalam keseluruhan pola hidup
masyarakat suku Lopo Metan untuk membalas segala kebaikan yang telah
diterima secara cuma-cuma dari Yang Ilahi.
3.9 Nilai-Nilai Positif dalam Ritus Fua Pah
Nilai-nilai positif yang ditemukan dalam ritus Fua Pah ialah kajian dari
simbol-simbol yang memiliki makna religius dan mempengaruhi iman serta sikap
hidup masyarakat Suku Lopo Metan. Nilai-nilai positif yang dimaksud seperti
nilai persekutuan, persaudaraan, kesetiaan, kekudusan, ketaatan, kesejahteraan
hidup dan kerukunan. Nilai-nilai ini memiliki kesejajaran dengan nilai-nilai dalam
ajaran Kristiani. Dalam ajaran teologi Katolik, nilai-nilai Kristiani yang menjadi
dasar bagi kehidupan kaum beriman dalam Gereja adalah nilai kebenaran,
kesalehan, kesetiaan, kekudusan, dan kasih. Selain nilai-nilai di atas, nilai dasar
dalam ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan yang ekuivalen dengan nilai
iman Kristiani dijelaskan sebagai berikut.
93Hasil wawancara Stefanus Halla, tokoh adat suku Lopo Metan, Kokbaun, pada 4 juli 2019 di
Kuan Upun.
60
3.9.1 Nilai Sosial
Tradisi ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan mempunyai nilai
sosial di dalamnya. Nilai sosial itu bertautan dengan tata adat, etika dan norma-
norma moral yang harus dipatuhi oleh seluruh warga demi tercapainya
keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, tradisi ritus Fua
Pah yang hidup dalam kebudayaan masyarakat suku Lopo Metan memiliki nilai
sosial yang bertujuan untuk membangun kesadaran sosial masyarakat suku Lopo
Metan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
Dalam konsep mereka, nilai-nilai sosial dalam tradisi ritus Fua Pah
bermaksud untuk menjaga keharmonisan sosial yang telah diwariskan secara
turun-temurun. Keharmonisan sosial itu kemudian bermuara pada semangat
persatuan dan persaudaraan dalam kehidupan masyarakat. Nilai sosial dalam ritus
Fua Pah biasanya diungkapkan melalui bentuk tuturan fua pah. 94 Secara
menyeluruh dalam pelaksanaan ritus fua pah ini mengandung nilai-nilai sosial
yakni nilai kebersamaan dan nilai persekutuan. Nilai kebersamaan merupakan
refleksi dari keterbatasan manusiawi mereka sebagai individu. Dalam realitas
kehidupan sehari-hari, mereka tidak mungkin hidup sendiri-sendiri dan tentunya
membutuhkan orang lain untuk membangun suatu kehidupan yang lebih baik
termasuk kebersamaan dengan dewa-dewi dan roh leluhur. Kendati demikian,
Mereka menyadari esensi dan nilai kebersamaan itu dalam berbagai aspek
kehidupan termasuk nilai kebersamaan dalam ritus fua pah yang dirayakan.
Sedangkan nilai persatuan sangat menjunjung tinggi semangat persatuan
“Tmoin tabua nekaf mese ansaof mese” yang berarti hidup bersama sehati-
sepikiran. Ungkapan ini dalam praktik merupakan motif dasar yang mengilhami
setiap bentuk kerja sama dalam kehidupan sehari-hari. Konsep bekerjasama
sehati-sepikiran ini bertujuan mafit atau matuntakun95 untuk saling meringankan
beban. Semangat persatuan yang dibangun masyarakat suku Lopo Metan ini
terwujud dalam satu wadah kerja sama tmeup tabua yang berarti bahwa mereka
selalu kerja sama bahu membahu dengan semangat kekeluargaan saat
mempersiapkan serta memperlancar seluruh proses pelaksanaan ritus. Seluruh
94Hasil wawancara Sebastianus Lopo, Guru Sekolah Dasar, Kokbaun, 8 juli 2019, di Kuan Noe. 95Hasil wawancara Sefanus Halla, tokoh adat, Kokbaun, pada 2 juli 2019 di kuan Upun.
61
proses upacara ritus fua pah merupakan momen di mana seluruh warga
berkumpul bersama dan bersatu hati di tempat pelaksanaan ritus.
Selain itu, bentuk tuturan doa dan mantra ritus Fua Pah yang dirayakan
masyarakat suku Lopo Metan pada dasarnya berisi tentang nilai-nilai sosial
kemasyarakatan. Nilai-nilai tersebut menjadi simpul untuk mencapai
keharmonisan sosial. Dalam ungkapan “tok on mese thaek on mese ma nekaf
mese ansaof mese toit hit bei ma nai nfekit ao mina ma ao leko ma kais nfekit
maufinu huma-huma” (mereka duduk atau berdiri selalu bersama-sama untuk
bersatu hati memohon kepada roh-roh leluhur agar memberikan kehangatan dan
menjauhkan mereka dari segala mara bahaya) secara tersirat diungkapkan suatu
makna bahwa masyarakat suku Lopo Metan selalu memohon kepada roh para
leluhur untuk tetap menjaga dan melindungi mereka agar tetap hidup rukun dan
damai. Sebagai sebuah komunitas yang memiliki kesamaan sejarah, mereka harus
tetap bersatu dalam membangun kehidupan yang harmonis. Hal ini dianalogikan
secara metaforis seperti mafut nekaf tafen pah ma nifu onle bale fnekan (mengikat
hati melestarikan alam sebagai tempat pengharapan), hendak mengesahkan
semangat kebersamaan tersebut.
3.9.2 Nilai Religius
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa keyakinan tradisional suku
Lopo Metan tentang keberadaan Uis Neno adalah sebagai penguasa langit dan
bumi yang menuntun arah hidup manusia di dunia. Eksistensi Uis Neno sebagai
penguasa alam semesta, selalu menyadarkan manusia untuk mengarahkan seluruh
hidup kepada-Nya. Ia dianggap sebagai yang tunggal dan memiliki kuasa atas
segala ciptaan, maka manusia patut menyerahkan seluruh keberadaan hidup
kepada-Nya. Uis Neno sebagai penggerak utama dan juga sebagai akhir dari
kehidupan manusia.96 Dengan demikian, melalui kesadaran mendasar ini orang-
orang suku Lopo Metan selalu membangkitkan semangat mereka untuk beriman
teguh kepada-Nya. Ketika mereka sungguh-sungguh mengimani-Nya, mereka
berusaha untuk melakukan segala sesuatu yang tidak melanggar perintah atau apa
96Hasil wawancara Ambrosius Bano, guru agama, Kokbaun, pada 10 Juli 2019 di kuan Upun.
62
yang diyakini sebagai kehendak dari Uis Neno terutama dengan membuat upacara
ritus sebagai tanda penyembahan mereka kepada-Nya.
Selain mengenal lebih jauh mengenai eksistensi Uis Neno sebagai
penguasa langit dan bumi, konsep suku Lopo Metan mengenai roh leluhur adalah
sebagai perantara mereka dengan Uis Neno. Keberadaan roh leluhur tidak berada
pada posisi sejajar dengan Uis Neno, dalam pemahaman mereka bahwa
keberadaan roh leluhur dekat dengan-Nya.97 Hal ini berarti bahwa mereka tidak
menyembah roh leluhur tetapi hanya menghormatinya sebagai perantara
permohonan mereka. Bagi mereka, peranan roh leluhur dalam kehidupan mereka
tidak boleh diabaikan dan harus tetap disembah secara turun-temurun. Eksistensi
roh leluhur dalam pengetahuan mereka bahwa selain berada dekat dengan Uis
Neno juga berada dekat dengan mereka. Dalam syair adat ritus atau lasi tonis
seperti “Hi lof es mpao netu, Ma esa mpao kobe” (Karena kamulah yang menjaga
bukit dan menjaga lembah). Keberadaan roh leluhur yang dekat dengan mereka
inilah yang membuat mereka merasa nyaman akan kedekatan mereka dengan roh
leluhur. Ungkapan ini pula mau meyakinkan mereka bahwa roh leluhur mereka
sangat dekat dengan mereka sehingga apa yang mereka minta dan apa yang
mereka harapkan akan terpenuhi.
Suku Lopo Metan yang memberi penghormatan kepada roh leluhur, selain
karena keyakinan mereka bahwa roh leluhur sebagai perantara kepada Uis Neno,
tetapi juga mau menunjukkan bahwa roh leluhur dalam suku merupakan cikal
bakal keberadaan mereka sebagai suatu komunitas budaya. Peranan roh leluhur
sangat penting dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, penghormatan terhadap
roh leluhur merupakan suatu bentuk pengakuan akan keberadaan leluhur yang
begitu dekat dalam kehidupan mereka.
Sebagaimana suku-suku Dawan lainnya, penyebutan masyarakat suku
Lopo Metan akan nama Wujud Tertinggi sebagai Uis Neno adalah transformasi
dari segala atribut yang dikhususkan untuk mudah disebut karena nama Usi Neno
dianggap paling sakral. Uis Neno adalah Dia yang menciptakan dan menguasai
seluruh alam semesta. Masyarakat suku Lopo Metan pada masa silam selalu
menjaga keharmonisan dengan roh alam bahkan hingga kini dengan
97Hasil wawancara Ambrosius Bano, guru agama, Stasi Sapnala, Kokbaun, pada 10 Juli 2019 di
kuan Upun.
63
mempertahankan kesakralan suasana pada tempat-tempat suci yang dianggap
keramat. Jika ada tindakan atau pelanggaran terhadap kesakralan pada tempat-
tempat tersebut, maka akan ada malapetaka bagi mereka. Pada umumnya semua
suku di Nusa Tenggara Timur memilki kepercayaan yang mirip akan malapetaka
dari roh alam yang akan menimpa mereka seperti jari terputus, bahkan penyakit di
bagian dalam tubuh, karena teriris-iris olehnya.
Melalui kepercayaan inilah, masyarakat selalu menata dan menjaga
keharmonisan dengan alam sekitar mereka. Masyarakat meyakini bahwa alam
semesta ini mempunyai pemilik dan penjaganya. Dalam konsep mereka, alam itu
dimiliki oleh Wujud Tertinggi yang disebut Uis Neno. Hal ini sangat jelas ketika
mereka melakukan upacara adat yang berhubungan dengan alam, seperti
membuka lahan baru selalu saja ada ungkapan-ungkapan bahasa ritusnya, yakni
“O Uis Neno pah pinan funam naeuk, fe man kai tetus neo kai he nait munseb
man pen fini ma aen fini” (Ya Tuhan Allah sang penguasa dunia, berikanlah kami
berkat agar kami dapat hasil panenan padi dan jagung yang melimpah).98 Dengan
ungkapan ini, mau menyiratkan bahwa masyarakat suku Lopo Metan harus
mejaga keharmonisan dengan alam, sebab alam ini diciptakan dan dikuasai oleh
Tuhan. Segala usaha manusia untuk mengolah alam ini demi memenuhi
kebutuhan hidupnya.
3.9.3 Nilai Ekonomis
Pelaksanaan ritus Fua Pah mengandung makna ekonomis bagi masyarakat
suku Lopo Metan. Upacara ini berkaitan dengan bagaimana mereka dapat
meningkatkan produktivitas mata pencaharian yakni bercocok tanam dan
berternak. Masyarakat suku Lopo Metan umumnya adalah petani. Karena itu,
mereka selalu berusaha untuk meningkatkan produktivitas hasil bumi mereka agar
dapat menopang hidup mereka dan juga membantu mereka untuk menyekolahkan
anak-anak.
Sebagaimana yang tersirat dalam pantun di atas bahwa “es utonim nbi
humak ma u’latan, tonan ntea ben tabu ntea ben hen ha’taen hai poan” (karena
98Hasil wawancara Sebastianus Lopo, guru sekolah dasar katolik, Kokbaun, pada 8 Juli 2019 di
Kuan Noe.
64
itu, kami tuturkan dan panjatkan doa di hadapanmu, tahunnya telah tiba dan
musimnya telah datang agar engkau menguatkan halaman kami). 99 Setiap
permohonan yang mereka panjatkan itu berkaitan dengan permohonan untuk
memperoleh kesejahteraan hidup dan peningkatan hasil bumi yang telah mereka
kerjakan. Ritus Fua Pah biasanya dilakukan dengan segenap hati. Oleh karena
itu, segala bentuk pengorbanan masyarakat, terutama pengorbanan materiil jarang
dilihat sebagai sesuatu yang membebankan. Mereka yakin bahwa dengan
memberi dan berkorban, mereka akan menerima dan memperoleh kemurahan dari
alam.
3.10 Pemahaman tentang Ritus Fua Pah dalam Terang Iman Kristiani
Berdasarkan penjelasan mengenai makna dan nilai yang terkandung dalam
ritus Fua Pah di atas, dapat dilihat bahwa ritus ini mengandung nilai-nilai luhur
yang berguna bagi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri,
orang lain alam ciptaan dan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, pada bagian ini
penulis berusaha menjelaskan pemahaman masyarakat suku Lopo Metan
mengenai ritus Fua Pah tersebut dan melihatnya dalam terang iman Kristiani.
3.10.1 Ritus Fua Pah sebagai Bentuk Persekutuan
Dalam ritus Fua Pah, masyarakat suku Lopo Metan menunjukkan
persekutuannya yang erat, baik antar-anggota masyarakat, maupun antara mereka
dan para leluhur, alam semesta dan Wujud Tertinggi. Dapat dilihat bahwa ritus
Fua Pah tidak hanya menyangkut relasi fungsional dan sosial-horisontal, tetapi
juga relasi vertikal. Konsep mereka bahwa Wujud Tertinggi, roh leluhur dan roh
alam tidak bisa disamakan dengan manusia atau makhluk hidup lainnya. Wujud
Tertinggi Uis Neno, roh leluhur (uis nitu) dan roh alam (uis pah) sebagai wujud
yang tidak kelihatan dan tidak dapat dijangkau oleh manusia itu dianggap kudus
atau sakral.
Pada dasarnya, communio dan communicatio yang dibangun masyarakat
suku Lopo Metan dalam praktik ritus Fua Pah merupakan bentuk persekutuan
99Hasil wawancara Sebastianus Lopo, guru sekolah dasar katolik, Kokbaun, pada 8 Juli 2019 di
Kuan Noe.
65
dengan para leluhur. Artinya communio dan communicatio yang dibangun bukan
hanya diantara mereka sebagai perkumpulan kolektif, tetapi di dalamnya mereka
mengintensifkan secara khusus pada kuasa atau kekuatan roh yang dapat
mempersatukan mereka dengan-Nya. Persekutuan dan komunikasi yang intensif
antara mereka dengan leluhur dan sesama dilangsungkan secara simbolis dalam
upacara yang diselenggarakan tersebut. Oleh karena itu, dalam praktik
pelaksanaan ritus Fua Pah, masyarakat suku Lopo Metan dapat membangun
komunikasi dan persekutuan secara sosial horisontal baik antar manusia dalam
suku, maupun bercorak vertikal dengan leluhur.
3.10.2 Ritus Fua Pah sebagai Bentuk Ekspresi Iman Tradisional
“Kepercayaan bisa mempunyai suatu arti intelektual dalam
mengungkapkan suatu kekurangan atau suatu arti personal yang jauh lebih dalam
dari arti intelektual tadi.” 100 “Percaya di satu sisi memiliki perspektif yang
berbeda jika kepercayaan itu bersifat rasional. Manusia tidak akan mengetahui
secara pasti bahwa apa yang ia yakini merupakan sesuatu yang dapat
menggerakkannya. Manusia selalu mencari kebenaran yang pasti dan dapat
diterima oleh akal yang riil. Dengan demikian ketika ia mengatakan bahwa ia
percaya, namun hanyalah permainan rasionalitas, maka tindakan itu tidak sesuai
pernyataan.”101
Sedangkan di lain sisi, bahwa “arti personal yang jauh lebih dalam dari
arti intelektual ialah perkataan antar pribadi. Perkataan itu dapat meyakinkan
orang lain walaupun baru bertemu dalam sebuah relasi personal antara dua orang.
Kepercayaan antar pribadi dapat menjadi suatu kepercayaan kolektif, jika hal itu
100Georg Kirchberger, Teologi Iman, Perspektif Kristen (Maumere: Ledalero,2002), hlm. 55. 101Ibid.“Kepercayaan yang dimaksudkan tidak saja terbatas pada ungkapan rasionalitas yang logis
dalam memberi pendapat dan debat mengenai kebenaran iman. Namun, lebih dari itu kepercayaan
menggerakkan kita pada sebuah konsep pertanggungjawaban atas bahasa yang diungkapkan secara
logis-rasionalitas itu. Memang Iman selalu membutuhkan akal budi dalam mengaitkan
kepercayaan namun di samping itu akal budi yang dimaksudkan ialah akal budi mengenai
keyakinan yang mutlak melalui iman akan ajaran yang absolut yang memungkinkan adanya
pembaharuan dengan perubahan-perubahan yang dimungkinkan sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan zaman. Dengan demikian kepercayaan hendaknya dilihat sebagai satu kesatuan
yang utuh dengan iman yang dapat dipertanggungjawabkan melalui perbuatan sebagaimana
ungkapan Rasul Yakobus tentang “iman tanpa perbuatan adalah mati.”
66
merupakan suatu keputusan hati dan dianggap baik serta bermanfaat bagi
kehidupan suatu kelompok tertentu.”102
Lebih jauh, “manusia pun harus mencari dasar itu di dalam suatu kekuatan
transenden, dalam kepercayaan akan Allah, sebagaimana sudah dilakukan
manusia sepanjang sejarahnya dalam pelbagai agama’”.103 Iman pada dasarnya
muncul karena adanya pengalaman perjumpaan dengan yang ilahi. Dalam
perjumpaan itu, “manusia merasa terpesona, kagum dan tertarik kepada realitas.
Dalam perjumpaan itu juga manusia merasa takut atau terkejut terhadap realitas
yang ilahi.” 104 “Pengalaman perjumpaan dengan yang ilahi ini mendorong
manusia untuk selalu mengarahkan diri kepada yang ilahi dan dengannya manusia
memiliki kerinduan untuk selalu mengalami perjumpaan itu.”105
Masyarakat tradisional memahami iman sebagai kepercayaan asli dalam
kehidupan suku mereka. Iman mereka tumbuh dalam suatu tradisi ritus dan nilai-
nilai yang hidup dalam kehidupan suku mereka. Iman tersebut dirasakan dan
dihayati dalam hubungannya dengan dewa-dewi. Suku Lopo Metan percaya
bahwa komunikasi antara mereka dan dewa-dewi dalam ritus Fua Pah terarah
kepada sesuatu Yang Ilahi. Komunikasi dalam ritus Fua Pah ini pun dilakukan
secara turun-temurun dan menjadi buah pengalaman ekspresi iman suku Lopo
Metan dalam kehidupan religiositas. Bahasa sebagai sarana atau jembatan untuk
berkomunikasi dengan dewa-dewi dalam pelaksanaan ritus Fua Pah dan yang
sering digunakan ialah bahasa ritus atau syair-syair adat (natoni).
“Bahasa memiliki posisi sentral dan amat utama dalam kajian yang
spektakuler mengenai tata ritusisme masyarakat. Pelbagai disiplin postur manusia
dalam melaksanakan segala struktur pelaksanaan ritus, semuanya mustahil tanpa
dipahami melalui bahasa.”106 “Satu hal sangat dasariah walau amat mengganggu,
102Ibid. 103Ibid., hlm. 58. 104 Agus M. Hadjana, Religiositas, Agama dan Spiritualitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm.
30. 105Ibid. 106Gregor Neonbasu, SVD, Ph. D, Manusia dan Bahasa: (Sebuah Permenungan dalam Perspektif
dan Kajian strukturalisme), dalam Gregor Neonbasu, SVD, Ph. D., ed, Kebudayaan: Sebuah
Agenda, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 181. Dijelaskan bahwa bahasa
merupakan salah satu komponen penting dalam mendukung terbentuknya sebuah budaya atau pun
suku. Tanpa bahasa sebuah budaya atau pun suku tidak dapat dimungkinkan untuk terbentuk.
Sehingga, bahasa sangat andil dalam kehidupan sebuah masyarakat sebab hanya melalui bahasa
67
adalah pernyataan Levi-Strauss berkenaan dengan kelemahan berbahasa
masyarakat primitif, di mana diklaimnya bahwa masyarakat tradisional sangat
kikir memakai bahasa. Hal ini terutama dilihat ketika manusia memakai bahasa
untuk mengungkap realitas Yang Ilahi pada saat melaksanakan sebuah ritus.
Tidak saja pada perkara menyebut Yang Ilahi, melainkan semua bahasa yang
berkenaan dengan ritus diujar dengan sangat hati-hati di satu pihak, dan sering
tidak dimengerti oleh masyarakat luas pada pihak lain.”107
“Sementara itu ada etika dalam ritus bahwa nama Yang Ilahi tidak boleh
disebut secara langsung. Yang Ilahi harus diungkap dengan menggunakan
medium, sarana, jembatan yang bisa segera dimengerti.”108
Dalam konteks ritus Fua Pah yang dipraktikkan masyarakat suku Lopo
Metan, biasanya muncul ungkapan-ungkapan lisan maupun non-lisan. Ungkapan
bahasa lisan sebagai simbol utama yang digunakan yakni bahasa puitik yang kaya
akan metafora serta memiliki makna yang mendalam mengenai keseluruhan
realitas yang dihidupi oleh masyarakat bersangkutan. Menurut Christologus
Dhogo dalam bukunya “Su’i Uwi,” ungkapan non-lisan, religiositas tampak
dalam benda-benda yang digunakan, tata upacara, kebiasaan-kebiasaan dan
pandangan hidup.109 Pelaksanaan ritus Fua Pah sebagai ekspresi iman masyarakat
suku Lopo Metan. Mereka sadar akan keterbatasan dalam diri sehingga mereka
selalu mengarahkan diri kepada Leluhur dan Dewa-Dewi. Keterarahan kepada
Leluhur dan Dewa-Dewi membentuk kerohanian masyarakat primitif suku Lopo
Metan.
Gregor Neonbasu dalam bukunya berbicara mengenai relasi antara ekologi
dan simbol bahwa “manusia selalu memakai bahasa untuk melukis dengan indah
dan menarik perjumpaannya dengan ekologi. Namun, untuk memberi sebuah
gambaran yang mencukupi, manusia tidak saja memakai bahasa biasa. Ada sarana
dan ragam bahasa lain, yang dengannya manusia dapat melihat batas
sebtiap budaya bisa membahasakan nilai dan makna yang terkandung di dalamnya dan
memampukan setiap orang untuk memahami apa maksud dari tradisi ritual budaya tersebut. 107Ibid. 108Ibid., hlm 182. 109Cristologus Dhogo, op. cit, hlm 76.
68
kerapuhannya untuk memahami ‘makna dan arti’ secara umum.”110 Lebih lanjut,
bahwa “manusia dapat melihat lintas, yakni segala keterbatasan akal-budi
kehendak dan perasaannya untuk kemudian mampu menemukan sebuah
perspektif yang lebih baru untuk menangkap realitas di balik segala kejadian yang
biasa. Perspektif yang lebih baru itulah yang kemudian disebut sebagai ‘yang
sakral’. Di sini, manusia membutuhkan simbol yang merupakan rekayasa arti di
balik realitas yang nampak bagi indera penglihatan untuk masuk dalam
perjumpaan dengan Yang Sakral.” 111
Dalam konteks masyarakat suku Lopo Metan, konsep tentang Yang Ilahi
adalah realitas yang kudus dan sempurna, sehingga selalu abstrak dan tidak dapat
dipahami manusia. Simbol-simbol dan metafora dijadikan sebagai cara terbaik
untuk menggambarkan realitas Yang Ilahi agar dapat ditangkap dan dipahami
dengan mudah. Atas dasar itu, ungkapan yang digunakan dalam pelaksanaan ritus
Fua Pah selalu menggunakan bahasa lisan sebagaimana yang dilukiskan
sebelumnya bahwa bahasa lisan itu terwujud dalam bahasa puitis atau bahasa
adat. Formulasi yang diberi dalam simbol dan tanda selalu berkenaan dengan
yang suci. Hal itu bertujuan untuk menciptakan suasana yang memungkinkan
terjadinya perjumpaan antara manusia dan “yang sakral”.112
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat suku Lopo
Metan memiliki mata pencaharian sebagai bertani dan bercocok tanam. Melalui
kesadaran tersebut, masyarakat suku Lopo Metan menyadari bahwa sebagai
masyarakat agraris harus selalu bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan hidup
keluarga maupun kelompok. Sebagai “makhluk pekerja (homo faber), mereka
selalu berusaha untuk mengelola alam lingkungan, baik secara individu maupun
kelompok dan berkerja secara gontong royong. Kerja gotong-royong ini bertujuan
untuk tetap mengikat tali persaudaraan di antara mereka sebagai makhluk sosial.
Mereka melihat kerja sebagai berkah, karena di dalamnya mereka bisa
mewujudkan eksistensinya.”113
110Gregor Neonbasu SVD, Ph.D., Citra Manusia Berbudaya (Jakarta: Antara Publishing, 2016),
hlm. 135-136 111Ibid., hlm. 136. 112Ibid., hlm. 137. 113Hasil wawancara Sefanus Halla, tokoh adat, Kokbaun, pada 2 juli 2019 di kuan Upun.
69
Sedangkan dalam kaitannya dengan “homo orans atau makhluk pendoa,
masyarakat suku Lopo Metan menyadari bahwa selain berkarya di dunia mereka
pun perlu mengikat diri secara mutlak kepada Wujud tertinggi atau dewa-dewi.”
Atas dasar itu, “mereka selalu menyerahkan seluruh pekerjaan dalam doa untuk
memohon, dan bersyukur kepada leluhur atau dewa-dewi melalui pelaksanaan
ritus Fua Pah.”114
Dengan demikian, iman masyarakat suku Lopo Metan merupakan suatu
religiositas asli yang membudaya sebab lahir dari pengalaman keterpesonaan,
ketertarikan, ketakutan dan keterkejutan akan keberadaan Leluhur dan dewa-dewi
dalam keseluruhan hidup mereka. Iman ini tumbuh dan berkembang menjadi
kesadaran mendasar dalam diri mereka dan dapat menjiwai seluruh siklus dan
pola kehidupan untuk mempertahankan serta melestarikan warisan-warisan
leluhur. Suku Lopo Metan juga mewarisi tradisi dalam membangun relasi yang
intim dengan Leluhur dan dewa-dewi Uis Neno, roh leluhur uis nitu dan roh alam
uis pah.
3.10.3 Ritus Fua Pah sebagai Bentuk Pengakuan akan Adanya Yang Transenden
“Kehidupan di alam semesta, dalam kesatuan sosial maupun sebagai
individu tidak dapat berlangsung, kalau tidak dipelihara dan dirangsang dengan
ritus-ritus yang menjamin kesesuaian dengan kosmis atau ilahi, begitulah
pemikiran manusia-manusia religius.”115 Sebagaimana yang telah dijelaskan pada
uraian sebelumnya bahwa kepercayaan mengandaikan akan adanya relasi dengan
yang transenden, maka ritus Fua Pah suku Lopo Metan pada dasarnya merupakan
sebuah bentuk penegasan akan adanya Yang Transenden itu. Dalam ritus Fua
Pah, iman tradisional merupakan dimensi dasar yang membentuk pergolakan
batin seluruh anggota masyarakat suku Lopo metan untuk melaksanakan ritus
tersebut. Selain itu, dalam ritus Fua Pah terkandung nilai-nilai budaya seperti
persekutuan, kerukunan, persaudaraan, keharmonisan, kesetiaan, kekudusan dan
keutamaan. Masyarakat suku Lopo Metan sungguh menyadari akan adanya Yang
Transenden. Kesadaran itu diungkapkan melalui pelaksanaan ritus Fua Pah.
114Hasil wawancara Ambrosius Bano, Guru Agama, Kokbaun, pada 10 Juli 2019 di kuan Upun. 115Marisusai Dhavamony, op. cit., hlm. 203.
70
“Karena pengetahuan kita tentang Allah itu terbatas, maka pembicaraan
kita tentang Allah pun demikian terbatas. Kita hanya dapat berbicara tentang
Allah dari sudut pandang ciptaan dan sesuai dengan cara mengerti dan cara
berpikir manusiawi kita yang terbatas.” 116 Pengakuan akan adanya realitas
Transenden dalam keseluruhan pola hidup tampak pada kehidupan yang
berdimensi kosmik, yang mencakup alam, sosial dan simbol-simbol dalam suatu
keutuhan yang total. Itu berarti, setiap kegiatan yang dilakukan dan segala bentuk
kejadian yang dialami bahkan seluruh kosmos merupakan sesuatu yang sakral dan
kudus. Seluruh kosmos, termasuk dunia, diatur oleh adat, suatu peraturan kudus
atau Ilahi yang diwariskan.
“Pelanggaran terhadap adat entah dilakukan secara sadar atau tidak sadar,
mengganggu peraturan kosmos dan mengakibatkan bencana atau ancaman
terhadap kehidupan manusia. Dengan demikian pada dasarnya tradisi pada
wilayah tertentu memiliki suatu kosmologi sakral, di mana seluruh alam semesta
bersifat Ilahi.”117 Atas dasar inilah, masyarakat suku Lopo Metan ketika membuka
kebun baru sampai pada memanen hasil kebun selalu melakukan ritus adat.
Pelaksanaan ritus adat ini bertujuan untuk memohon kepada Leluhur dan dewa-
dewi agar memberikan kesuburan dan kesejahteraan hidup.
Dalam ritus Fua Pah, keberadaan Yang Transenden juga ditegaskan
melalui ungkapan-ungkapan lisan yang sering dijumpai dalam pelaksanaan
upacara melalui doa-doa adat atau syair-syair adat Fua Pah. Misalnya dalam
upacara pelaksanaan ritus Fua Pah, “Yang Ilahi dilukiskan sebagai amoet ma
apakaet “yang mencipta dan mengukir.” Yang Ilahi sebagai pencipta senantiasa
mengukir dan mengatur serta menyusun struktur kehidupan manusia dalam
prinsip ekologi dan masyarakat. “Selain itu, Yang Ilahi disebut sebagai ahaot ma
afatis, “yang memberi makan dan memelihara”. Ungkapan ini merujuk pada sifat
Yang Ilahi, yang selalu hadir di setiap eksistensi manusia hic et nunc.”118
Istilah yang semirip adalah apean ma alikin “yang memecahkan dan
menetas” yang senantiasa berada di antara manusia di tengah pergaulan
116Kongregasi Ajaran Iman, Katekismus Gereja Katolik, penerj. P. Herman Embuiru SVD (Ende:
Propinsi Gerejawi Ende, 1995), hlm. 51. 117Georg Kirchberger, Allah Menggugat, (Maumere: Ledalero, 2012), hlm. 255. 118Gregor Neonbasu, SVD, Ph. D., Citra Manusia Berbudaya (Jakarta: Antara Publishing), hlm.
218.
71
masyarakat. “Di sini, Yang Ilahi senantiasa memberi “manikin ma oetene”
“rahmat dan anugerah”, tetus ma nit “hukum dan keadilan”, neo ma mafot
“perlindungan dan tempat berteduh”, kepada semua makhluk baik yang hidup
maupun yang mati.”119 “Masyarakat mengenal peran lain dari Yang Ilahi dengan
ungkapan aneot ma amafot, “yang melindungi dan menjaga”.120
Yang Ilahi itu sering kali dikaitkan dengan simbol-simbol alam seperti air
(oe), batu (fatu) dan kayu (hau). Dalam pelaksanaan ritus adat, air (oe) dilihat
sebagai unsur yang menyucikan dan membersihkan. Sementara itu, batu (fatu)
sesuai dengan sifatnya yang keras dan stabil merujuk pada suatu ketetapan batin
dalam melakukan suatu hal. Masyarakat pun seringkali melihat batu sebagai hal
yang menandakan kesulitan yang dihadapi manusia. Selain air dan batu, kayu
(hau) pun tidak dapat diabaikan perannya dalam ritus adat. Kayu atau pohon
dalam ritus adat masyarakat Timor dilihat sebagai kekuatan yang meneguhkan
semua usaha manusia pada pelbagai lini kehidupan. Kayu merujuk pada suatu
“komitmen tunggal dari seseorang untuk selalu berpikir pada pertumbuhan dan
perkembangan masa depan.”121
Dalam ungkapan doa dan syair-syair Fua Pah ini melukiskan tentang
bagaimana masyarakat suku Lopo Metan memahami yang Transenden melalui
ungkapan doa dan syair-syair Fua Pah dengan bahasa simbolis dan bahasa kiasan.
Oleh karena itu, masyarakat suku Lopo Metan pada dasarnya mengakui adanya
Yang Transenden yang dinyatakan dalam berbagai gelar. Itu berarti bahwa
eksistensi Yang Transenden selalu dapat dialami melalui berbagai simbol yang
dianggap sakral dan kudus. Dalam realitas kehidupan masyarakat suku Lopo
Metan, yang dianggap sakral dan kudus tidak boleh disebut sembarangan karena
dapat membawa atau menimbulkan malapetaka bagi mereka yang menyebut nama
tersebut tidak dengan hormat. “Istilah lokal yang lazim digunakan untuk merujuk
pada Yang Ilahi adalah ka mateka’fa lafu-lafu (tidak boleh disebut di sembarang
tempat). Ada pula istilah Dawan lain, seperti “tnona nimka ka ntea, ma tfit haeka
119Ibid., hlm. 218-219. 120Ibid., hlm. 219. 121Ibid.hlm. 142-145.
72
ka nteafa msa” (tidak dapat dicapai dengan mengangkat tangan dan bahkan
angkat kaki pun tidak sampai [untuk mencapai Yang Ilahi]).”122
Kehidupan spiritual masyarakat suku Lopo Metan berawal dari
pengalaman hidup mereka sehari-hari, terutama pengalaman akan hal-hal di luar
batas kemampuan manusiawi mereka. Pengalaman itu tampak nyata dalam
simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan suasana kehidupan
spiritual yang telah melekat dalam sanubari bahwa ada kekuatan lain yang
melampaui kekuatan manusia. Kekuatan itu dimiliki oleh sesuatu Yang Ilahi.
Oleh karena itu, penyelenggaraan ritus Fua Pah adalah bagian dari upaya untuk
mengarahkan seluruh hidup masyarakat suku Lopo Metan kepada Yang Ilahi
tersebut.
3.10.4 Tinjauan atas Pemahaman tentang Ritus Fua Pah
Pemahaman masyarakat suku Lopo Metan tentang ritus Fua Pah
sebagaimana dijelaskan di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya ritus tersebut
bermakna bagi kehidupan mereka. Ritus itu mengantar mereka untuk semakin
bersatu hati sembari mengakui bahwa mereka adalah makhluk yang terbatas.
Selanjutnya, hal itu mengantar mereka untuk mengekspresikan keyakinan bahwa
ada sesuatu Yang Transenden dan Ilahi yang melebihi kekuatan manusiawi dan
berpengaruh signifikan terhadap kehidupan mereka di alam semesta.
Berdasarkan model persekutuan eskpersi iman dan pengakuan akan
adanya Yang Transenden dalam ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan,
bahwa sebenarnya dapat dipahami secara baru dalam iman Kristiani. Untuk
makna persekutuan, misalnya, seturut pemahaman Kristiani, “Gereja dipanggil
menjadi communio sebagai model, contoh, sakramen, agar semua manusia dan
bangsa memperoleh communio dan communicatio satu sama lain. Karena keadaan
dalam communio itu adalah keadaan selamat dan bahagia, maka Gereja sebagai
communio membangun antisipasi dan tanda atas kehadiran Kerajaan Allah
122Ibid., hlm. 202-203.
73
sebagai karya keselamatan yang dijanjikan sebagai karya keselamatan
eskatologis.”123
“Manusia, baik sebagai kolektif maupun individu hidup berpisah-pisah
dan terasing satu sama lain. Artinya bahwa manusia selalu mengelompokan diri
ke dalam kesatuan darah, marga, suku, bahasa, dan sejarah. Dari tengah realitas
ini, Allah berinisiatif untuk menghimpun, mengumpulkan, menyatukan dan
mempersatukan mereka dalam satu komunitas yang bernama Gereja.”124 Selain
itu, “Allah dengan cara-Nya sendiri memanggil manusia keluar dari keterasingan
satu sama lain, untuk hidup dalam keterikatan relasi yang akrab. Inilah
persekutuan orang-orang percaya (congregatio fidelium) yang dinamakan
Gereja.”125
Sementara itu, berkaitan dengan ekspresi iman dan pengakuan akan
adanya Yang Transenden, Gereja melihat pentingnya wahyu ilahi. Dalam Konsili
Vatikan II, khususnya dalam Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi Dei
Verbum (DV), ditegaskan bahwa Allah mewahyukan diri-Nya kepada manusia
melalui Kristus, Sang Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus. Dengan
pewahyuan tersebut, Allah yang tidak kelihatan mau menyapa manusia dengan
cinta-Nya yang besar dan bergaul dengan manusia. Hal itu tampak dalam diri
Kristus, yang menjadi pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu (DV 2).
123Georg Kirchbereger, op. cit., hlm 424. Dalam hal ini, Gereja Katolik melalui karya keselamatan
yang terpenuhi melalui Yesus Kristus sebagai Adam baru memberi jawaban kepada manusia atas
sebuah kebebasan dalam hidup dan karya panggilannya masing-masing. Artinya bahwa Gereja
melalui kebangkitan Yesus Kristus menggenapi janji Allah bahwa manusia akan hidup kembali
dalam kedamaiannya bersama dengan Allah. Kehidupan baru yang dijanjikan ini merupakan
kehidupan setelah kematian. Itu berarti Gereja menjadi wadah bagi karya keselamatan umat
manusai menempatkan diri sebagai sebuah fondasi imanen untuk setiap manusia kembali dan
bertobat sehingga memungkinkan sebuah kehidupan yang harmonis dalam relasinya dengan Yang
Transenden. 124Dr. Eben Nuban Timo, op. cit., hlm. 71-72. Artinya bahwa Gereja merupakan sebuah communio
atau persekutuan umat Allah menjadi wadah berpulangnya seluruh umatnya. Hal ini didasari oleh
tubuh mistik gereja sebagai kesatuan yang akrab dengan Yang Transenden. Gereja sebagai tubuh
memberi ruang bagi setiap individu untuk kembali berkumpul dan menemukan dirinya secara
melalui jawaban atas panggilan Allah tersebut. Dengan demikian, Gereja hendaknya membuka
diri kepada siapa saja untuk masuk dan kembali sebagai manusia baru yang dimana dimampukan
oleh Gereja untuk dilahirkan kembali secara pribadi yang bersih melalui sakramen-sakramen yang
ada di dalamnya. Dalam hal ini Gereja telah terpenuhi terlebih dahulu oleh karya pewartaan dan
rahmat atas sabda yang telah menjadi daging. Di samping itu hubungan Gereja dengan umatnya
hendaknya menjalin hubungan sebagai Ayah dan anak di mana anak membutuhkan tubuh ayah
untuk selalu menguatkan dan menghantar anaknya agar lebih kokoh dalam menjalani dan
menjawabi panggilan realitas atas jalan hidupnya masing-masing. 125Ibid.
74
Dari penjelasan di atas, kiranya jelas bahwa iman Kristiani itu bersumber
dan berpuncak pada pribadi Yesus Kristus itu sendiri. Dapat dilihat bahwa dalam
ritus Fua Pah, ekspresi iman ditujukan kepada para leluhur dan dewa-dewi,
sementara dalam perspektif Kristiani, ekspresi iman itu ditujukan kepada pribadi
Yesus Kristus sebagai Sabda Allah yang menjadi manusia dan menyelamatkan
manusia dari dosa dan kelemahan.
3.11 Dampak Ritus Fua Pah bagi Penghayatan Iman Kristiani
Masyarakat Suku Lopo Metan
Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa pelaksanaan ritus Fua Pah
sebagai ungkapan permohonan lahiriah, syukur dan terima kasih kepada Yang
Ilahi. Atas dasar itu, pelaksanaan ritus Fua Pah memiliki pengaruh bagi
keseluruhan siklus kehidupan masyarakat suku Lopo Metan terutama dalam
kehidupan religius maupun dalam kehidupan sosial. Relasi yang dibangun seturut
fungsinya bukan hanya relasi sosial-horisontal antara manusia dan manusia dalam
suku, tetapi juga relasi sosial-vertikal dengan roh leluhur dan roh alam.
Ritus Fua Pah dalam masyarakat suku Lopo Metan memiliki dampak
positif dan dampak negatif terutama dalam hubungannya dengan penghayatan
iman Kristiani. Adapun beberapa dampaknya sebagai berikut:
Pertama, dampak positif. Sebelum masuknya kepercayaan agama Katolik
di wilayah suku Lopo Metan, kesadaran akan Yang Transenden sudah tumbuh
dalam kehidupan masyarakat suku Lopo Metan. Nilai-nilai yang telah diwariskan
oleh leluhur melalui ritus Fua Pah mengarahkan hidup mereka pada satu tujuan
yakni Yang Ilahi melalui para leluhur dan dewa-dewi. Hal ini memungkinkan
bagi sebuah upaya pastoral di tengah masyarakat suku Lopo Metan. Di dalam
ritus Fua Pah, terkandung nilai-nilai yang memiliki kemiripan dengan nilai-nilai
iman Kristiani. Nilai-nilai kebudayaan itu dapat diangkat dan diberi pemaknaan
seturut terang iman Kristiani yang berguna untuk penghayatan iman masyarakat
(yang adalah penganut agama Katolik) akan Yesus Kristus.
Kepercayaan akan leluhur melalui praktik ritus Fua Pah telah mendorong
mereka untuk tetap mempertahankan dan melestarikan ritus yang telah diwariskan
75
bagi mereka serta mengambil nilai-nilai positif itu untuk membangun kehidupan
Kristiani sebagai orang-orang yang percaya kepada Allah.
Kedua, dampak negatif. Tidak adanya pembedaan yang tegas dari
pemahaman antara iman dan kebudayaan dapat menjerumuskan masyarakat suku
Lopo Metan ke dalam praktik iman yang keliru. Keaktifan dalam kehidupan
menggereja menjadi berkurang karena orang lebih mengutamakan ritus Fua Pah
dengan alasan bahwa sama-sama merupakan bentuk ungkapan iman akan yang
ilahi.
3.12 Relevansi Nilai-Nilai Luhur dalam Ritus Fua Pah bagi Karya
Pastoral
Ada tiga hal pokok yang diangkat sebagai relevansi iman dari kesejajaran
nilai-nilai dalam ritus Fua Pah dengan nilai-nilai Kristiani. Pokok-pokok
relevansi yang diangkat ialah merencanakan karya pastoral dalam hubungan
dengan masyarakat adat, peran nilai-nilai ritus Fua Pah dalam pewartaan iman
Kristiani dan mendorong masyarakat suku Lopo Metan untuk ltbih mencintai
Allah. Semuanya ini berkaitan dengan kehidupan pastoral Gereja masa kini.
3.12.1 Merencanakan Karya Pastoral dalam Hubungan dengan Masyarakat Adat
Karya pastoral Gereja merupakan “tugas Gereja untuk meneruskan Missio
Dei, karya Allah Tritunggal sebagai Pencipta dan Penebus, demi kepentingan
dunia.” 126 Istilah yang sering dipakai untuk menyebut tugas Gereja ini yakni
“Misi” atau “Evangelisasi.” Kata “Misi” berasal dari bahasa Latin missio, yang
berarti pengutusan. Missio Dei = pengutusan yang berasal dari Allah/kepunyaan
Allah 127 sedangkan “Evangelisasi” merupakan semua tindakan pewartaan dan
pemakluman Kabar Gembira, Yesus Kristus, dalam berbagai cara. Evangelisasi
diperuntukkan kepada orang-orang yang belum mengenal Yesus Kristus,
termasuk kepada agama-agama lain.128
126Peter C. Phan, Memperjuangkan Misi Allah di Tengah Dunia Dewasa Ini (Ende: Nusa Indah,
2004), hlm. 193. 127 Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-Pemikiran Mengenai
Kontekstualisasi Teologi Di Indonesia (Kanisius: Yogyakarta, 2000), hlm. 161. 128E. Armada Riyanto, Dialog Interreligius, Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah (Yogyakarta:
Kanisius, 2010), hlm. 123.
76
“Kristus, Sabda Allah menciptakan Gereja lewat mana Ia bisa hadir dan
berbicara dalam sejarah manusia.”129“Gereja mengalami bahwa dirinya dipanggil
untuk bersekutu dalam iman dan diutus untuk mewartakan kabar sukacita tentang
pengalaman penyelamatannya, pengalaman berada dalam suasana kerajaan
Allah.”130
“Gereja melalui pelayan-pelayan pastoral di keuskupan-keuskupan
terutama di paroki-paroki menjalankan sedapat mungkin tugas meneruskan Missio
Dei melalui karya pastoralnya.”131 Di sini karya pastoral yang dilaksanakan harus
sesuai dengan situasi dalam wilayah pastoral. Gereja telah membuka diri
mewartakan Injilnya ke dalam masyarakat adat sehingga Yesus Kristus dikenal
dan diakui. Dengan demikian, nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki masyarakat
adat belum begitu digalih dan direfleksikan. Masyarakat suku Lopo Metan
menyadari bahwa ritus Fua Pah yang dipraktekkan kurang mendapat perhatian
dari para agen pastoral.132 Ritus Fua Pah yang dipraktikan masyarakat suku Lopo
Metan menampakan suatu religiositas asli. Hal ini berarti bahwa masyarakat suku
Lopo Metan telah memiliki religiositas asli dan karena itu perlu mendapat
perhatian khusus dari para agen pastoral.133
129Georg Kircberger, op. cit., hlm. 464. 130Edmund Woga, Misi, Misiologi, Evangelisasi Di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm.
15. 131Para Bapa Konsili Vatikan II sudah meminta dalam dekret Inter Marifica agar “Hendaklah
semua putra-putri Gereja serentak dan secara sukarela mengusahakan agar upaya-upaya
komunikasi sosial dengan cekatan dan intensif mungkin memanfaatkan secara efektif dalam aneka
macam karya kerasulan, menanggapi tuntutan situasi setempat. Hendaklah para Gembala di
bidang itu pun dengan tangkas menunaikan tugas mereka, karena tugas itu berhubungan erat
dengan kewajiban harian mereka mewartakan injil...”. Bdk. Frans Josef Eiler, Berkomunikasi
Dalam Pelayanan Misi, Sebuah Pengantar Komunikasi Pastoral dan Komunikasi Evangelisasi,
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 251. 132Hasil wawancara Stefanus Halla dan Andreas Lopo, tokoh adat, Kokbaun, 4 Juli 2019, di kuan
Upun. 133Contoh Karya pastoral yang bisa dijalankan oleh agen-agen pastoral dalam kaitannya dengan
ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan sebagai berikut. Pertama, katekese. Katekese
dimaksudkan agar masyarakat sedapat mungkin memahami peranan iman kristiani di dalam
kehidupan sehari-hari mereka baik sebagai masyarakat awam maupun sebagai masyarakat adat.
Kedua, sharing kitab suci. Sharing kitab suci ini dimaksudkan agar masyarakat memahami Yesus
Kristus sebagai satu-satunya kurban yang menjadi pengatara antara realitas hidup yang dijalani
sehari-hari kepada Allah Yang Transenden itu. Ketiga, kunjungan pastoral. Melalui kunjungan
pastoral ini sedapat mungkin para agen pastoral membuka ruang komunikasi yang inheren dengan
masyarakat adat khususnya masyarakat suku Lopo Metan. Sehingga, bisa mendapat terang iman
yang lebih terarah dan jelas. Selain itu komunikasi yang dibangun harus mampu memberi peluang
adanya situasi saling mendengarkan dan memberikan masukkan yang sedapat mungkin
membangun kesadaran iman dan orientasi iman yang lebih terarah. Keempat, dialog. Melalui
77
3.12.2 Peran Nilai-Nilai Ritus Fua Pah dalam Pewartaan Iman Kristiani
Masyarakat suku Lopo Metan menghidupi nilai-nilai budaya yang
dimiliki. Nilai-nilai budaya yang dimiliki sangat bergantung pada sejauh mana
usaha mereka untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut tanpa menolak arus
globalisasi dewasa ini. Mereka pun membutuhkan transformasi, tetapi sedapat
mungkin memahami makna dari perubahan tersebut dan bukan asal berubah
mengikuti perkembangan zaman.
Dewasa ini perkembangan globalisasi merupakan realitas yang tidak
disangkali lagi. Masyarakat suku Lopo Metan hendaknya merespons
perkembangan globalisasi dengan meyesuaikan kekayaan nilai-nilai budaya yang
ada, tanpa mengubah substansinya. Hal itu ditegaskan oleh I. Wibowo bahwa “hal
yang harus dilakukan adalah menyesuaikan diri sekreatif mungkin sehingga bisa
menunggangi gelombang globalisasi dan tidak tertindas olehnya.”134
Nilai-nilai dalam ritus Fua Pah suku Lopo Metan perlu diafirmasi dan
diangkat guna merefleksikan penghayatan iman Kristiani yang dianut oleh umat
atau masyarakat suku Lopo Metan. Hal ini dimaksudkan agar, di samping tetap
berpegang pada nilai-nilai tradisi budaya yang dimiliki, umat atau masyarakat
suku Lopo Metan pun dapat bertumbuh menjadi umat Katolik yang sejati. Nilai-
nilai positif dalam ritus Fua Pah perlu dipertahankan. Nilai-nilai itu antara lain
semangat persekutuan, cinta kasih, hidup dalam persaudaraan, hidup harmonis
dengan alam, saling membantu, semangat gotong royong dan setia menaati dan
menghayati aturan-aturan adat yang ada dalam suku.
Perkembangan globalisasi tidak dapat dibendungi. Salah satu jalan terbaik
bagi mereka untuk tetap mempertahankan nilai-nilai positif budaya yang ada ialah
harus terus-menerus merefleksikan dan mendalaminya. Mgr. Julianus Kemo
Sunarko, SJ menegaskan bahwa “penting disadari bahwa umat memerlukan kabar
dialog ini para agen pastoral diharapkan sedapat mungkin mendengarkan masyarakat sehingga
antara realitas iman kristiani dan realitas iman tradisional bisa menemukan konsep religiusitas
yang lebih terarah pada konsep kurban Yesus Kristus itu sendiri. Artinya bahwa dialog tersebut
memberi ruang untuk iman tradisional masuk ke dalam realitas iman kristiani dengan sedapat
mungkin menanamkan unsur-unsur iman akan Kristus sebagai yang utama. 134I. Wibowo, Sesudah Filsafat: Esai-Esai Untuk Frans Magnis-Suseno, (Yogyakarta: Kanisius,
2006), hlm. 178.
78
Gembira sepanjang zaman, yang mempunyai relevansi dan urgensi untuk
menghadapi tantangan hidup yang kontekstual seturut perkembangan zaman.”135
3.12.3 Mendorong Masyarakat Suku Lopo Metan untuk Lebih Mencintai Allah
Masyarakat suku Lopo Metan umumnya beragama Katolik. Secara kasat
mata, mereka memiliki iman ganda yakni mereka percaya kepada leluhur yang
diajarkan oleh leluhur dan mereka juga percaya kepada Allah sesuai dengan
ajaran Kristiani. Mereka mengakui kehadiran Allah dalam seluruh hidup dan
karya serta memiliki keyakinan akan Allah.
Yesus Kristus adalah juga penyelamat suku Lopo Metan. Penyelamatan itu
ditunjukkan-Nya dengan memberi panenan yang berlimpah, meleburkan diri-Nya
di dalam kebun-kebun masyarakat hingga menumbuhkan tanaman mereka. Yesus
Kristus juga selalu memenuhi setiap permohonan mereka dengan menurunkan
hujan. Mgr. Petrus Boddeng Timang menegaskan bahwa “Allah berpihak kepada
manusia, selalu peduli dan menyertai, mewujudkan dalam sabda-terutama dalam
karya Yesus.”136
Oleh karena itu, para agen pastoral harus mampu memberikan penjelasan
realistis berkaitan dengan iman Kristiani dalam kaitannya dengan ritus-ritus yang
dijalankan oleh Masyarakat. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa
pada dasarnya Allah itu hidup dalam selalu berpihak kepada manusia.
Keberpihakkan Allah kepada manusia tidak terbatas pada apa yang dilakukan oleh
individu-individu tertentu yang didasari oleh hal-hal baik namun Allah berpihak
kepada setiap manusia baik dan buruknya manusia. Dengan demikian melalui
keberpihakkan Allah tersebut Allah membuka ruang komunikasi yang intim
dengan meyakinkan kepada manusia bahwa Dialah Allah yang hidup dan hanya
kepada-Nya kita semua selamat sebab Dialah jalan kebenaran dan hidup.
135Julianus Kemo Sunarko, “Tulis dan Wartakan Kabar Gembira”, dalam: Majalah Hidup, No.
14/Tahun ke-67 (April, 2013), hlm. 42. 136Petrus Boddeng Timang, “Samudera Kasih Allah”, dalam: Majalah Hidup, No. 22/Tahun ke-69
(31 Mei 2015), hlm. 43. Dari penjelasan Petrus Boddeng Timang di atas, dapat disimpulkan
bahwa Allah selalu menyertai setiap umat-Nya yang berserah dan memohon kepada-Nya. Dalam
relasi yang harmonis antara Allah dan manusia dan manusia dengan Allah menjadi jalan untuk
menjembatani setiap syukur dan permohonan manusia atas rahmat yang telah dan ingin dialami.
Yang terpenting dari relasi tersebut adalah iman dan keterbukaan di mana iman menuntun pada
sikap dan perbuatan setiap kita.
79
Berdasarkan nilai biblis tersebut para agen pasrtoral diharapkan agar sedemikian
rupa untuk membangun dialog cinta sambil memberi pedalaman iman dalam
komunikasi-komunikasi yang terbuka, lebih parstisipatoris dan Gereja melalui
agen pastoral jangan membiarkan pro – kontra dalam iman yang dianut oleh
masyarakat suku Lopo Metan. Namun diharapkan sedapat mungkin untuk
menetralisasikan kedua pemahaman akan iman itu dengan tetap menjadikan iman
akan Kristus yang bangkit sebagai acuan untuk membangun kesadaran bahwa
Allah selalu turut bekerja bersama mereka dalam setiap usaha dan permohonan
mereka.
3.12.4 Meningkatkan Kesadaran Umat Suku Lopo Metan akan Pentingnya Hidup
Menggereja
Berdasarkan penjelasan point-point dari bab sebelumnya dapat dikatakan
bahwa ritus fua pah merupakan sebuah upacara penyembahan terhadap roh alam.
Tradisi ritus ini juga merupakan sebuah warisan dari para leluhur (nenek
moyang). Sebagai sebuah warisan, ritus fua pah sangat mengakar dalam
keseharian hidup masyarakat suku Lopo Metan. Hal ini bisa dilihat dari
penghayatan hidup masyarakat suku Lopo Metan khususnya dalam segala
persiapan berkaitan dengan berlangsungnya perayaan ritus fua pah. Dalam
keadaan akan penghayatan yang mendalam ini, masyarakat suku Lopo Metan pun
tidak bisa menolak bahwa mereka juga menghayati realitas iman akan Kristus
dalam berbagai aspek kehidupan yang mereka jalani. Iman akan Kristus yang
dihayati tersebut seolah membuka dualisme iman dalam keseharian mereka. Di
mana mereka masih tetap mempraktikkan realitas iman tradisional sekaligus
menjalani juga realitas iman akan Kristus. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis
ingin memberi tanggapan kritis atas realitas iman yang dihidupi dan dihayati oleh
masyarakat suku Lopo Metan. Kendatipun demikian, penempatan posisi penulis
dalam hal ini berkaitan dengan kedudukan akedemik penulis sebagai Mahasiswa
Filsafat dan Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sehingga,
penulis tidak memprioritaskan pada satu subjek kajian realitas iman yang dijalani
oleh masyarakat suku Lopo Metan. Melainkan penulis ingin menempatkan diri
80
dengan berusaha untuk menanggapinya secara netral tanpa memberi ruang pro
atau kontra dengan realitas iman yang dihayati tersebut.
Masyarakat suku Lopo Metan dalam perayaan ritus fua pah sebenarnya
memberi ruang atas ekspresi iman yang telah lama berakar dalam realitas hidup
mereka sehari-hari. Ekspresi iman ini lahir dari warisan para leluhur dalam
menanggapi keadaan mereka sebagai manusia lemah dihadapan kehidupan yang
dijalani saat itu. Kesadaran sebagai makhluk terbatas menghantar masyarakat
suku Lopo Metan kepada iman akan sesuatu yang Transendental yang melampaui
segala usaha mereka. Hal ini, tidak semata sebagai realitas semu yang dihayati
begitu saja. Namun lebih kepada sebuah kronologis historis atas pengalaman
hidup yang telah ditanamkan oleh para leluhur. 137 Keberakaran akan warisan
leluhur ini membentuk masyarakat suku Lopo Metan sebagai sebuah komponen
masyarakat yang taat akan budaya. Dengan demikian bukanlah hal yang mudah
jika Gereja ingin menghilangkan atau meluruskan beberapa unsur dalam ritus Fua
Pah yang telah dijalani dan dihayati oleh maryarakat suku Lopo Metan.
Keberakaran masyarakat suku Lopo Metan terhadap upacara ritus Fua Pah
merupakan pertanggungjawaban mereka sebagai masyarakat tradisional
(masyarakat yang berbudaya). Tanggung jawab ini menjadikan masyarakat suku
Lopo Metan semakin intens dalam memelihara dan menjaga keorisinalitas unsur-
unsur yang telah lama dipraktikkan. Sebenarnya, ungkapan ekspresi iman
masyarakat suku Lopo Mentan memberi jawaban atas rasa lapar dan haus dalam
menemukan jati diri mereka sebagai manusia yang ingin selalu dekat dengan
alam. Hal ini, nampak dalam pelbagai perspektif mengenai alam. Di mana,
masyarakat suku Lopo Metan percaya bahwa alam adalah sarana bagi mereka
dalam memenuhi kehidupan harian mereka, di samping itu, masyarakat suku
Lopo Metan juga percaya bahwa alam adalah ibu bagi mereka. Dengan demikian,
perspektif akan alam dalam versi kehidupan yang mereka jalani bisa disimpulkan
137Artinya berdasarkan sejarah terbentuknya suku Lopo Metan yang telah dijelaskan pada bab II di
atas dapat dilihat bahwa keadaan masyarakat suku Lopo Metan pada masa awal merupakan
masyarakat yang berpindah-pindah dari satu situasi alam ke situasi alam yang lain menjadikan
mereka semakin percaya bahwa adanya kekuatan lain yang menjadi pengantara atas hidup di dunia
dengan alam yang ingin ditempati. Hal ini nampak dengan perayaan ritus Fua Pah yang selalu
dijalani oleh masyarakat pada masa itu. Oleh karena itu, bukan suatu kemustahilan bahwa jika
lahirnya ritus Fua Pah sebenarnya sebagai usaha atau tanggapan atas rasa khawatir akan alam
yang ingin ditempati oleh masyarakat suku Lopo Metan pada masa-masa awal sejarahnya.
81
bahwa alam menjadi rahim atas seluruh keberhasilan pun kegagalan yang mereka
jalani, alami dan hidupi setiap harinya. Sehingga, ritus Fua Pah yang
dipraktikkan setiap saat menjadi satu-satunya sarana dalam mendekatkan mereka
pada rahim tersebut. Oleh karena itu, jika Gereja dalam hal ini agen-agen pastoral
berusaha untuk menginkulturasikan nilai-nilai ritus Fua Pah ke dalam unsur-
unsur iman Kristiani, tentu bukanlah hal yang mudah.
Berdasarkan uruaian di atas, masyarakat suku Lopo Metan masih menjadi
masyarakat yang sangat tertutup. Dalam hal ini, masyarakat suku Lopo Metan
masih cenderung berakar dalam tradisi warisan leluhur. Kendatipun demikian
secara gamblang masyarakat suku Lopo Metan, tidak bisa mengelak bahwa
mereka juga menghayati iman akan Kristus. Iman akan Kristus yang dihidupi oleh
masyarakat suku Lopo Metan pun bukanlah realitas iman semu yang bisa
digandakan dalam berbagai situasi yang dialami. Dalam keyakinan akan Kristus
sebenarnya masyarakat suku Lopo Metan perlu melihat lebih jauh bahwa
keseluruhan unsur yang dipraktikan dalam ritus Fua Pah merupakan hal yang
hampir sama dalam praktik iman akan Kristus. Hal ini bisa dilihat dari berbagai
sarana dan persiapan dalam upacara ritus Fua Pah. Di mana masyarakat suku
Lopo Metan dalam persiapannya membutuhkan sarana yakni faut bena (mesbah)
dan ritus Fua Pah dilakasanakan di tempat yang tinggi sperti, gunung atau bukit.
Hal ini sebenarnya bisa dilihat dalam iman Kristiani sebagai usaha untuk
mewartakan syukur dan permohonan mereka kepada wujud tertinggi. Faut bena
dalam ritus Fua Pah sebenarnya adalah mesbah yang juga dalam Gereja menjadi
simbol pewartaan, ucapan syukur, penyerahan diri, dan permohonan kepada
Allah. Selain itu, tempat tinggi seperti gunung dan bukit yang dalam masyarakat
suku Lopo Metan diyakini sebagai tempat yang mendekatkan mereka kepada
Wujud Tertinggi. Hal tersebut dalam iman akan Kristus tempat tinggi juga
diyakini sebagai sebuah bangunan fisik yang menjadi tempat bagi seluruh umat-
Nya untuk berkumpul dalam perayaan iman akan Kristus yang bangkit di mana
dapat dilihat dalam bentuknya yakni Gereja.
Hal lain dalam prkatik masyarakat suku Lopo Metan dapat dilihat
memiliki pemahaman yang sama dalam Gereja ialah mengenai tae lilo (lihat tali
perut). Tea lilo dalam praktik masyarakat suku Lopo Metan diartikan sebagai
82
usaha untuk membaca tanda-tanda alam sebagai ekspresi akan tanggapan para
leluhur terhadap segala syukur dan permohonan yang disampaikan dalam ritus
Fua Pah. Tae lilo dalam praktik iman Kristiani dapat dilihat dalam diri Yesus
Kristus di mana Yesus Kristus sebagai penggenapan akan janji Allah kepada
bangsa Israel (mewakili seluruh dunia) akan datangnya sang Almasih yakni Yesus
Kristus itu sendiri. Sehingga dalam penggenapan-Nya itu Yesus Kristus diimani
sebagai “Jalan Kebenaran dan Hidup” (Bdk. Yoh. 14:6).
Oleh karena itu, dalam realitas masyarakat suku Lopo Metan sebenarnya
memiliki unsur-unsur yang memungkinkan adanya interaksi yang lebih nyata dan
intim dengan Gereja sebagai realitas iman yang juga dihayati secara bersama.
Dengan demikian, masyarakat suku Lopo Metan perlu merefleksikan diri ke
dalam sarana iman akan Kristus sebagai satu-satunya pengantara akan manusia
dengan Allah sebagai wujud tertinggi. Hal ini, dikarenakan dalam upacara ritus
Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan belum mampu menemukan pendasaran
iman akan wujud tertinggi yang diayakini itu. Dengan kata lain, dalam praktiknya
masyarakat suku Lopo Metan memiliki kecenderungan melihat wujud tertinggi
dalam diri roh para leluhur. Sehingga, bukan tidak mungkin jika Gereja sebagai
sebuah communion (persekutuan) iman membuka diri sekaligus mengayomi
masyarakat suku Lopo Metan dalam iman akan Kristus sebagai jalan kebenaran
dan hidup.
Keterbukaan Gereja perlu mengintegrasikan seluruh nilai-nilai iman
tradisional dengan iman Gereja dalam satu wajah baru yang mana wajah baru ini
dilihat sebagai koorporasi dua iman dalam satu tujuan dasar iman yakni, Yesus
Kristus itu sendiri dalam perayaan syukur dan permohonan atau dengan kata lain
perayaan ekaristi. Dalam hal ini, keterbukaan Gereja tidak semata menghilangkan
nilai dalam ritus Fua Pah masyarakat suku Lopo Metan namun Gereja lebih
mendekatkan diri dalam iman akan Kristus melalui dialog, komunikasi
partisipatoris dan sedapat mungkin memberi realitas iman yang perlu dilihat dan
dihayati secara nyata oleh masyarakat suku Lopo Metan. Sehingga Gereja tidak
saja memberi dan menanamkan sebuah teori iman dalam berbagai konsep yang
memperumitkan pemahaman iman akan Kristus namun lebih kepada praktik nyata
dalam kedekatan, dialog dan komunikasi yang dibangun
83
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Masyarakat suku Lopo Metan pada umumnya bermatapencarian sebagai
petani. Pola kehidupan seperti ini membuat mereka begitu bergantung pada alam
sebagai sumber kehidupan mereka sehari-hari. Ada keyakinan bahwa
kebergantungan mereka pada alam mendatangkan kebahagiaan. Akan tetapi,
untuk dapat meraih kebahagiaan itu, mereka perlu bekerja keras mengolah alam.
Pengolahan atas alam dapat memberikan hasil panen yang melimpah. Di samping
itu, mereka juga percaya bahwa alam dapat mendatangkan malapetaka bagi
kehidupan mereka apabila mereka salah mengelolah dan menggunakan hasil alam
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini yang membuat mereka selalu berusaha untuk
senantiasa menjaga keharmonisan mereka dengan alam. Di lain sisi masyarakat
suku Lopo Metan memiliki konsep tersendiri berkaitan dengan alam. Bagi mereka
alam merupakan makro-kosmos yang adalah bagian lain dari diri Yang
Transenden, sehingga seluruh siklus kehidupan dan ritus yang dilakukan selalu
dianggap sakral dan kudus. Atas dasar itu, mereka selalu melaksanakan pelbagai
macam ritus. Salah satu ritus yang masih dipraktikkan hingga dewasa ini ialah
ritus Fua Pah itu sendiri.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa ritus
Fua Pah merupakan upacara penyembahan terhadap (roh) alam. Tradisi ritus ini
diwariskan secara turun-temurun dan menjadi kekhasan serta kekayaan bagi
masyarakat suku Lopo Metan. Dalam upacara ritus Fua Pah terdapat sejumlah
perangkat nilai yang memiliki fungsi dan makna yang sangat dalam bagi
kehidupan mereka. Sejumlah perangkat nilai tersebut turut membentuk cara hidup
dan pola tingkah laku serta relasi mereka baik antar-sesama dalam suku maupun
dengan Wujud Tertinggi, roh leluhur dan roh alam. Nilai-nilai itu antara lain nilai
84
persatuan, kerukunan, keharmonisan, cinta kasih, persaudaraan, kesetiaan dan
ketaatan. Nilai-nilai ini mendorong mereka untuk mengakui bahwa Allah sungguh
hadir sebagai pribadi atau perantara yang memprakarsai seluruh siklus hidup dan
karya mereka. Selain itu, sebagai umat Katolik, mereka pun menghidupi nilai-
nilai Kristiani, seperti nilai kebenaran, kekudusan, cinta kasih, kesetiaan dan
ketaatan. Nilai-nilai dalam ajaran Katolik tersebut sebagai dasar bagi semua kaum
beriman yang mengakui Yesus Kristus sebagai penyelamat dunia termasuk
masyarakat suku Lopo Metan.
Nilai-nilai yang terkandung dalam ritus Fua Pah suku Lopo Metan dapat
dimanfaatkan untuk membentuk dan memperkuat iman umat atau masyarakat
adat dewasa ini. Nilai-nilai positif yang hidup dalam budaya suku Lopo Metan
telah menjadi identitas atau jati diri budaya mereka. Selain itu, nilai-nilai dalam
ritus Fua Pah pada dasarnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani. Hal
ini turut membantu dan memudahkan misi pewartaan nilai-nilai Injil dari para
pelayan pastoral dengan mengarahkan umat suku Lopo Metan untuk memaknai
kehadiran Allah melalui pribadi Yesus Kristus dalam kebudayaan lokal.
Masyarakat suku Lopo Metan yakin bahwa nilai-nilai yang terkandung
dalam ritus Fua Pah merupakan identitas budaya. Nilai-nilai tersebut dapat
menjadi pedoman hidup bagi karya mereka di dunia. Oleh karena itu, nilai-nilai
itu patut dipertahankan dan dihayati dalam hidup setiap hari.
Telah dikatakan sebelumnya bahwa nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam ritus Fua Pah memiliki banyak kesamaan. Kesamaan itu antara lain terlihat
jelas mengenai penekanan yang sama akan pentingnya nilai persekutuan,
persaudaraan, solidaritas, rela berkorban, dan sebagainya yang mendukung
kehidupan bersama. Walaupun demikian, masyarakat suku Lopo Metan adalah
juga pengikut Kristus. Mereka adalah umat Katolik yang juga memiliki hak yang
sama untuk diarahkan dan diberdayakan menjadi saksi Kristus yang sejati. Oleh
karena itu, dituntut suatu upaya dan kerja keras dari para pelayan pastoral untuk
menuntun dan mengarahkan masyarakat/umat suku Lopo Metan agar mereka
lebih mencintai Sabda Allah dan percaya kepada Yesus Kristus sebagai
pengantara dan penyelamat satu-satunya.
85
Nilai-nilai kebudayaan, sebagaimana yang terkandung dalam ritus Fua
Pah masyarakat suku Lopo Metan perlu diangkat dan dimaknai secara lebih baru
sesuai dengan semangat Injil Kristus. Ritus ini berhubungan dengan suatu upaya
penyembahan dan penghormatan terhadap roh alam dan para leluhur yang
berpengaruh signifikan terhadap usaha pengolahan lahan masyarakat suku Lopo
metan. Dari ritus ini, tampak bahwa masyarakat suku Lopo Metan meyakini
bahwa alam semesta itu adalah pemenuh segala kebutuhan manusia. Dengan ritus
tersebut, mereka memohon ijin kepada roh alam dan para leluhur untuk mengolah
alam sesuai dengan kebutuhan mereka. Pemahaman ini tentunya dapat
menggiring mereka untuk bertindak semena-mena terhadap alam, sebab walaupun
mereka berusaha menjaga keharmonisan dengan alam, alam tetap hanya dilihat
sebagai objek pemenuh kebutuhan manusia belaka. Di sini, pelayan pastoral,
berlandaskan pada terang ajaran Kristiani, perlu mengarahkan masyarakat bahwa
alam semesta adalah saudara/saudari sesama ciptaan Tuhan yang perlu dihormati.
Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berada dalam suatu relasi saling
tergantung satu sama lain dan diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama.
4.2 Saran
Pada dasarnya iman selalu tumbuh dan berkembang dalam setiap
kebudayaan. Hal ini karena manusia dan kebudayaan itu sendiri merupakan dua
realitas sosial yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa iman dan kebudayaan adalah dua hal yang
saling menyokong satu sama lain. Iman membutuhkan kebudayaan untuk dapat
mewujud, sementara kebudayaan membutuhkan iman agar kebudayaan itu tetap
langgeng bertahan. Iman itu sendiri merupakan jawaban manusia atas panggilan
Allah dan di dalam setiap kebudayaan juga terdapat perjumpaan antara Allah dan
manusia melalui nilai-nilai yang telah mereka hidupi. Atas dasar itu, di akhir
tulisan ini, penulis hendak menyarankan beberapa hal kepada masyarakat suku
Lopo Metan secara khusus sebagai penerus budaya lokal dan juga kepada para
agen pastoral.
86
4.2.1 Bagi Para Pelayan Pastoral
Para pelayan pastoral tentunya melakukan pelayanan pastoral dengan
bertolak dari Kitab Suci, tradisi dan doktrin-doktrin Gereja sebagai sumber ajaran
iman Kristiani. Meskipun demikian, praktik pelayanan yang dijalankan tidak
hanya sebatas pada panduan iman tersebut, tetapi juga harus terbuka dan
menerima serta bertanggungjawab atas nilai-nilai budaya yang sudah ada di
sekitar mereka. Dengan demikian, kesatuan antara Gereja sebagai tubuh yang
menjembatani iman akan Allah dengan budaya memampukan pertumbuhan dan
perkembangan iman secara lebih mudah. Gereja perlu menjadi wadah yang
merangkul nilai-nilai luhur kebudayaan di mana Gereja itu bertumbuh dan
berkembang.
Di sini, para pelayan pastoral berperan penting dalam upaya tersebut. Para
pelayan pastoral hendaknya mengindahkan dan memurnikan nilai-nilai budaya
suatu masyarakat agar sesuai dengan pewartaan kabar sukacita Injili. Para agen
pastoral harus berusaha untuk menyusun bentuk-bentuk pewartaan yang sesuai
dengan konteks masyarakat suku Lopo Metan. Di samping itu, para agen pastoral
harus mampu membangun sebuah dialog iman untuk memurnikan berbagai nilai,
fungsi dan makna yang dihidupi dalam tradisi tersebut. Proses ini memberi
peluang bagi bertumbuhnya iman yang kokoh sehingga masyarakat lebih bebas
dalam menjalani dan menjawabi panggilan iman yang mereka alami. Dengan
demikian para agen pastoral hendaknya sedapat mungkin mencari hubungan
antara nilai-nilai dan fungsi ritus agar bisa diselaraskan dengan nilai-nilai iman
Kristiani berdasarkan sumber iman Kitab Suci.
Kiat nyata yang dapat dilakukan oleh para pelayan pastoral untuk
melakukan proses pendampingan terhadap umat atau masyarakat suku Lopo
Metan adalah dengan melakukan kegiatan pendalaman iman, seperti katekese,
sharing Kitab Suci, dan sosialisasi dokumen Gereja yang berkaitan dengan Ajaran
Sosial Gereja. Lebih lanjut, para pelayan pastoral pun perlu mendampingi umat
dalam upaya pemberdayaan dan peningkatan ekonomi. Hal itu dapat dilakukan
melalui pelatihan-pelatihan ketrampilan yang berguna bagi peningkatan
87
kesejahteraan hidup mereka, baik dalam bidang pertanian, pertukangan, maupun
peternakan. Semua upaya pemberdayaan umat tersebut akan berjalan baik apabila
para pelayan pastoral memiliki sikap kesetiakawanan yang sejati.
4.2.2 Bagi Masyarakat Suku Lopo Metan
Umumnya masayarakat suku Lopo Metan memiliki peranan penting dalam
mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam ritus Fua Pah. Oleh karena
itu, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, masyarakat suku Lopo Metan harus tetap bertanggungjawab
untuk menjaga dan melestarikan kekayaan nilai-nilai budaya lokal, termasuk
nilai-nilai yang terkandung dalam ritus Fua Pah. Salah satu nilai dari ritus ini
yang perlu dipertahankan adalah tentang pentingnya menghargai atau
menghormati alam lingkungan sebagai penyedia berbagai kebutuhan hidup. Nilai
lain yang tampak dari ritus ini yaitu nilai perjuangan dan kerja keras. Masyarakat
suku Lopo Metan diingatkan bahwa untuk dapat memperoleh hasil yang
memuaskan dari suatu pekerjaan, dibutuhkan perjuangan dan kerja keras. Nilai-
nilai ini yang perlu diangkat kembali dan ditanamkan ke dalam hati dan benak
para generasi penerus (anak-anak).
Kedua, masyarakat suku Lopo Metan yang adalah juga anggota Gereja
diharapkan agar membuka diri terhadap pendampingan dan pelayanan dari para
pelayan pastoral mengenai pentingnya hidup sebagai pengikut Kristus yang sejati.
Dalam hal ini, masyarakat perlu terlibat aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang
berkaitan dengan pembinaan iman (seperti katekese, sharing Kitab Suci, dan
sebagainya), maupun yang berkaitan dengan pelatihan untuk meningkatkan
kesejahteraan ekonomi. Salah satu sikap yang mesti ditumbuhkembangkan dalam
diri umat atau setiap anggota masyarakat adalah sikap kesetiakawanan atau
solidaritas satu sama lain.
88
DAFTAR PUSTAKA
I. Dokumen-Dokumen
Kongregasi Ajaran Iman. Katekismus Gereja Katolik. Terj. Herman Embuiru.
Ende: Propinsi Gerejawi Ende, 1995.
Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Konsili Vatikan II. Dokumen Konsili Vatikan II. Terj. R. Hardawirayana SJ. Cet.
II. Jakarta: Obor,1993.
Suharso dan Ana Retnoningsih. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Lux.
Semarang: Widya Karya, 2011.
II. Buku-Buku
Bevans, Stephen B. Teologi dalam Perspektif Global. Terj. Yosef Maria Florisan.
Maumere: Ledalero, 2013.
---------------. Model-Model Teologi Kontekstual. Terj. Yosef Maria Florisan.
Maumere: Ledalero, 2002.
Ceme, Remigius. Mengungkap Relasi Dasar Allah Dan Manusia. Maumere:
Ledalero, 2012.
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Dhogo, Cristologus. Su’i Uwi: Ritus Budaya Ngada dalam Perbandingan dengan
Ekaristi. Maumere: Ledalero, 2009.
Eiler Josef, Frans. Berkomunikasi Dalam Pelayanan Misi, Sebuah Pengantar
Komunikasi Pastoral dan Komunikasi Evangelisasi. Yogyakarta:
Kanisius, 2008.
Erickson, Milard J. Cristian Theology. Michigan: Baker Books, 1998.
Fernandez, Stephan Ozias. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan
Kini. Maumere: Ledalero, 1990.
Fox, James J. Bahasa, Sastra dan Sejarah. Jakarta: Djambatan, 1986.
89
Gerrit Singgih, Emanuel. Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-Pemikiran
Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Kanisius: Yogyakarta,
2000.
Hadjana, Agus. Religiositas, Agama dan Spiritusitas. Yogyakarta: Kanisius,
2005.
Jacobs, Tom. Paham Allah. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Jebadu, Alex. Bukan Berhala, Penghormatan kepada Para Leluhur. Maumere:
Ledalero, 2009.
Kirchberger, Georg. Allah Menggugat. Maumere: Ledalero, 2012.
---------------. Pandangan Kristen Tentang Dunia dan Manusia. Ende: Nusa
Indah, 1986.
---------------. Teologi Iman, perspektif Kristen. Maumere: Ledalero, 2002.
---------------. Mendengarkan dan Mewartakan. Ende: Nusa Indah, 2002.
Koentjaraningrat. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Neonbasu, Gregor. Citra Manusia Berbudaya: Sebuah Monografi Tentang Timor
dalam Perspektif Melanesia, Jakarta: Antara Publishing, 2016.
---------------. (ed). Kebudayaan: Sebuah Agenda. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2013.
Nuban Timo, Eben. Sidik Jari Allah Dalam Budaya: Upaya Menjajaki Makna
Allah dalam Perangkat Budaya Suku-Suku di Nusa Tenggara Timur. Cet.
II. Maumere: Ledalero, 2009.
Parera, ADM, Sejarah Pemerintahan Raja-Raja Timor, diedit oleh Neonbasu,
Gregor, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1994.
Phan, Peter C. Memperjuangkan Misi Allah di Tengah Dunia Dewasa Ini. Ende:
Nusa Indah, 2004.
Raho, Bernad. Sosiologi Sebuah Pengantar. Maumere: Ledalero, 2008.
Rede Blolong, Raymundus. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Ende: Nusa
Indah, 2012.
Riyanto E., Armada. Dialog Interreligius, Historisitas, Tesis, Pergumulan,
Wajah. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Saifullah, ALI. Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan. Surabaya: Usaha
Nasional, 1982.
90
Sawu, Andreas Tefa. Di Bawah Naungan Gunung Mutis. Ende: Nusa Indah,
2004.
Van Peursen, C. A. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Wibowo, I. Sesudah Filsafat: Esai-Esai Untuk Frans Magnis-Suseno,
Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Woga, Edmund. Misi, Misiologi, Evangelisasi di Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius, 2009.
III. Jurnal
Rodos, Fransiskus Bonevasio. “Ritus Paki Kaba Kelas Mese dalam Masyarakat
Sipi dan Pandangan Kristen Tentang Hidup Sesudah Mati, Sebuah Upaya
Mencari Model Inkulturasi Budaya”. Jurnal Ledalero, 11:2, Juli 2012.
Kleden, Paul Budi. “Yang Lain sebagai Fokus Berteologi Kontekstual di
Indonesia”. Jurnal Ledalero, 9:2, Desember 2010.
IV. Majalah dan Manuskrip
Juhani, Sefrianus. Teologi Penciptaan (ms.). Diktat Kuliah STFK Ledalero 2017.
Kemo Sunarko, Julianus. “Tulis dan Wartakan Kabar Gembira”. Majalah Hidup,
No. 14/Tahun ke-67 (April, 2013).
Timang Boddeng, Petrus. “Samudera Kasih Allah”. Majalah Hidup, No.
22/Tahun ke-69 (31 Mei 2015.
V. Wawancara
Bano, Ambrosius. Wawancara langsung, 10 Juli 2019.
Halla, Stefanus. Wawancara langsung, 3 Juli 2019.
Lopo, Andreas. Wawancara langsung, 28 Juli 2019.
Lopo, Sebastianus. Wawancara langsung, 8 Juli 2019.
Tanu, Kornelis. Wawancara langsung, 27 Juni 2019.