skripsi dr. prisca anindita fk brawijaya 2008
DESCRIPTION
skripsiTRANSCRIPT
IDENTIFIKASI HUBUNGAN POLA ASUPAN PROTEIN HEWANI DENGAN RESIKOGOUT ARTHRITIS DI KOTA BATU
Handono Kalim*, Sri Sunarti**, Prisca Anindhita***
ABSTRAK
Gout Arthritis adalah penyakit metabolisme dengan manifestasi klinik arthritis gout akut, akumulasi kristal pada jaringan yang merusak tulang, batu asam urat, dan yang jarang adalah kegagalan ginjal. Salah satu faktor risiko munculnya gout arthritis adalah pola asupan protein hewani yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asupan protein hewani dengan resiko gout arthritis. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta seminar di Rumah Sakit Baptis, Batu. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 117 yang diambil secara purposive sampling dengan kriteria yang telah ditetapkan. Penelitian ini menunjukkan nilai p=0,001 (p≤0.05) yang berarti H1 diterima artinya ada hubungan yang bermakna antara pola asupan protein hewani dengan resiko gout arthritis. Hasil analisis juga menunjukkan nilai OR=17,192 dengan batas antara 6,340-46,615 untuk confidence interval 95%, yang berarti subjek penelitian dengan pola asupan protein hewani tinggi memiliki peluang 17,192kali untuk mendapat serangan gout arthritis dibandingkan sengan subjek penelitian dengan pola asupan protein hewani rendah. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan bisa menjadikan penelitiannya lebih baik dengan acuan penelitian ini serta agar bisa menggali faktor-faktor lain yang bisa menyebabkan gout arthritis.
Kata kunci: pola asupan protein hewani, gout arthritis
ABSTRACT
Gout Arthritis is a metabolic disease. In the clinical manifestation of acute gout arthritis, there is an accumulation of crystals in the tissue which can damage the bone, causing uric acid stone, and rarely lead to kidney failure. One of the potential risk factor that causes gout arthritis is high intake of animal protein. The purpose of this research is to know the relationship between the pattern of animal protein intake and the risk of gout arthritis. This research is an analytic observation study with cross section approach. Data collection was conducted using questionnaires. The population in this study were from the seminar in Baptis Hospital, Batu. In this study, 117 participants were chosen by the purposive sampling with certain criteria. The result shows the value p=0,001 (p≤0.05) which means H1 is accepted that there is a significant relationship between the pattern of animal protein intake with the risk of gout arthritis. The result also shows the value OR=17,192 with the border limit between 6,340-46,615 for the confidence interval 95%, which means that the research subjects with high high animal protein will have gout arthritis 17,192 times easier than the research subjects with low intake of animal protein. However, the next researcher should conduct a better research in order to be able to find some other factors which will cause gout arthritis.
Keyword: pattern of animal protein intake, gout arthritis
*Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Saiful Anwar, Malang** Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Saiful Anwar, Malang***Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang
PENDAHULUANGout arthritis merupakan penyakit
yang sering ditemukan di masyarakat.
Gout arthritis adalah penyakit
metabolisme dengan manifestasi klinik
arthritis gout akut, akumulasi kristal pada
jaringan yang merusak tulang, batu asam
urat, dan yang jarang adalah kegagalan
ginjal.
Gout arthritis merupakan penyakit
yang multifaktorial. Faktor-faktor resiko
gout antara lain adalah pria di atas 30
tahun, wanita postmenopause, ras
Africans Americans, usia tua, obesitas,
konsumsi obat-obatan tertentu (misalnya
diuretik), dan konsumsi makanan kaya
purin dan alkohol. Makanan ataupun
minuman beralkohol tidak hanya
meningkatkan produksi urat tetapi juga
menurunkan eliminasi urat melalui ginjal.1
Bir memiliki kandungan purin tertinggi di
antara makanan dan minuman beralkohol
sehingga merupakan faktor resiko
tertinggi untuk perkembangan gout.2
Sebaliknya, anggur atau wine tidak
meningkatkan resiko terjadinya gout.
Menariknya, sebuah study yang baru-baru
ini dilakukan oleh Choi et al menunjukkan
bahwa mengkonsumsi sayuran kaya
protein tidak berpengaruh pada
perkembangan gout dan peningkatan
konsumsi produk susu menurunkan
insiden gout.3
Menurut studi, konsentrasi asam
urat (resiko gout), berkorelasi dengan
umur, kadar kreatinin dalam serum, kadar
nitrogen urea dalam darah, gender laki-
laki, tekanan darah, berat badan, dan
konsumsi alkohol. Ada korelasi langsung
antara kadar asam urat dalam serum
dengan insidensi dan prevalensi gout.
Hiperurisemia adalah keadaan di
mana terjadi peningkatan kadar asam urat
(AU) darah di atas normal. Hiperurisemia
yang berkepanjangan dapat
menyebabkan gout, namun tidak semua
hiperusemia akan menimbulkan kelainan
patologi berupa gout.
Protein yang terdapat dalam
makanan merupakan salah satu sumber
purin. Asam urat merupakan hasil akhir
dari metabolisme purin, suatu produk sisa
yang tidak mempunyai peran fisiologi.
Sebuah survey nutrisi yang dilakukan oleh
Hyon Choi pada tahun 2010 menyatakan
bahwa peningkatan berat badan, obesitas,
konsumsi bir, daging dan makanan laut,
minuman yang mengandung fruktosa dan
gula merupakan faktor resiko gout
arthritis. Makanan yang memiliki efek
menurunkan risiko gout arthritis antara
lain penurunan berat badan, konsumsi
makanan rendah lemak, vitamin C, dan
kopi. Faktor diet lain yang bersifat netral
terhadap perkembangan gout arthritis
antara lain anggur, teh, minuman bersoda,
produk-produk susu tinggi lemak, dan
sayuran kaya purin. Hal ini bertolak
belakang dengan anggapan masyarakat
bahwa sumber protein nabati dapat
memicu gout arthritis.
Pada penelitian diteliti hubungan
pola asupan protein hewani dengan resiko
gout arthritis di Kota Batu.
METODE PENELITIANPenelitian ini menggunakan jenis
penelitian observasional analitik dengan
studi cross sectional. Variabel bebas
pada penelitian ini adalah pola asupan
protein hewani sedangkan variabel
terikatnya adalah gout arthritis.
Populasi dalam penelitian ini
adalah warga yang datang ke seminar di
Rumah Sakit Baptis, Batu yang berjumlah
118 responden. Teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah
purposive sampling dimana ada kriteria
inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi
dalam penelitian ini adalah bersedia
mengikuti penelitian dan menandatangani
informed consent, penduduk Kota Batu
baik pria maupun wanita yang berusia
lebih dari 30 tahun, dan penduduk dengan
atau tanpa gout arthritis sedangkan
kriteria eksklusinya adalah penduduk yang
menderita Systemic Lupus Erythematosus
dan tidak bersedia mengikuti penelitian
dan tidak menandatangani informed
consent. Dari 118 responden, yang
memenuhi kriteria inklusi adalah 117
responden. Untuk instrumen penelitian,
dalam penelitian ini menggunakan
kuesioner.
HASIL PENELITIAN Mengenai karakteristik umum
responden, berdasarkan jenis kelamin,
responden yang hadir sebagian besar
berjenis kelamin wanita (94,9%).
Berdasarkan usia, yang terbanyak adalah
responden yang berusia antara 56-70
tahun (41,9%). Berdasarkan status
pernikahan, sebagian besar responden
masih berstatus menikah (91,5%).
Berdasarkan jenis pendidikan, sebagian
besar responden berpendidikan SMA dan
sederajat (32,5%). Berdasarkan jenis
pekerjaan, sebagian besar responden
berprofesi sebagi ibu rumah tangga
(59,8%).
Hasil analisis univariat dalam
penelitian ini adalahTabel 5.2.1 Karakteristik Responden yang Diukur
Karakteristik Frekuensi (N) Presentase (%)
Status Penyakit
a. Gout positif
b. Gout negatif
34
83
29.1%
70.9%
Pola Asupan
Protein Hewani
a. Rendah
b. Tinggi
85
32
72,6%
27.4%
Berdasarkan tabel di atas,
sebagian besar responden yakni
berjumlah 83 responden (70,9%)
merupakan gout negatif. Kemudian
didapatkan gout positif berjumlah 34
responden (29.1%). Sebanyak 85
responden (72.6%) memiliki pola asupan
protein hewani yang rendah dan sebanyak
32 responden (27.4%) memiliki pola
asupan protein hewani yang tinggi.
Adapun hasil analisis bivariat
dalam penelitian ini adalah
5.2.2 Hubungan Pola Asupan Protein Hewani dengan Resiko Gout Artritis
Tabel 5.2.2 Hasil Analisis Chi-Square antara Hubungan Pola Asupan Protein Hewani dan Resiko Gout Artritis
Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,001. Karena nilai p<0,05 yang berarti
H0 ditolak dan H1 diterima, maka dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara pola asupan protein
hewani yang tinggi dengan resiko gout
arthritis. Hasil analisis juga menunjukkan
nilai OR=17,192 dengan batas antara
6,340 – 46,615 untuk confidence interval
95%, yang berarti subjek penelitian yang
dengan pola asupan protein hewani tinggi
memiliki peluang 17,192 kali untuk
menderita gout arthritis dibandingkan
dengan subjek penelitian dengan pola
asupan protein hewani yang rendah.
PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, peneliti
membagi pola asupan protein hewani
menjadi dua yakni pola asupan protein
hewani tinggi dan rendah. Hasil penelitian
menunjukkan sebanyak 85 responden di
Rumah Sakit Baptis cenderung memiliki
pola asupan protein hewani yang rendah
(72,6%), sedangkan 32 responden
(27,4%) memiliki pola asupan protein
hewani yang tinggi.
Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa sumber protein hewani yang paling
banyak dikonsumsi warga adalah telur,
ayam, dan daging sapi.
Dari hasil penelitian, sebanyak 34
responden (29,1%) menderita gout
arthritis dan sebanyak 83 responden
(70,9%) tidak menderita gout arthritis.
Keluhan yang paling sering dirasakan
responden adalah lebih dari 1 serangan
gout arthritis (82,9%), serangan
oligoarthritis ( 60,7%), dan pernah benar-
benar sembuh sempurna setelah
serangan (41,9%).
Berdasarkan hasil analisis
menggunakan uji chi-square didapatkan
nilai p=0,001. Karena p<0,05 maka H0
ditolak dan H1 diterima yang berarti
terdapat hubungan bermakna antara pola
asupan protein hewani dengan resiko gout
arthritis. Hal ini sesuai dengan penelitian
cross-sectional yang dilakukan oleh Hyon
Choi pada tahun 2010 yang menunjukkan
hubungan yang positif antara pola asupan
protein hewani dan resiko gout arthritis di
populasi. Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa sayuran yang kaya purin bersifat
Pola Asupan Protein Hewani
Gout ArthritisP
value OR
95% CIGout (+) Gout (-)
n % n %
Tinggi 23 19.7 9 7.7
0,001 17,192
6,340- 46,615Rendah 11 9.4 74 63.2
netral sebagai faktor resiko gout arthritis.
Penelitian lain yang juga dilakukan oleh
Hyon Choi et. al. pada tahun 2005
menyebutkan bahwa sumber protein
nabati yang selama ini diduga
menyebabkan peningkatan asam urat
seperti kacang-kacangan, bayam, jamur,
dan kembang kol tidak terkait dengan
peningkatan resiko gout arthritis.
Nilai OR dalam penelitian ini
adalah 17,192 yang berarti subjek
penelitian dengan pola asupan protein
hewani tinggi memiliki peluang 17,192 kali
untuk mendapat serangan gout arthritis
dibandingkan dengan subjek penelitian
dengan pola asupan protein hewani
rendah.
Pada 85 responden (72,6%)
dengan pola asupan protein rendah, 11
orang di antaranya juga menderita gout
arthritis. Hal ini karena gout arthritis
merupakan penyakit yang multifaktorial,
yang berarti tidak hanya dipicu oleh pola
asupan protein hewani yang tinggi.
Selain itu, serangan akut arthritis gout
tidak selalu harus dalam keadaan asam
urat tinggi. Fluktuasi kadar asam urat
yang cenderung turun-naik, juga bisa
mengakibatkan serangan akut. Konsumsi
sumber protein hewani ini menyebabkan
kadar asam urat naik secara mendadak.
Sebaliknya, seseorang dengan kadar
asam urat tinggi bisa mendapat serangan
akut bila melakukan diet terlalu ketat atau
minum obat penurun asam urat
(allopurinol) dosis tinggi. Diet ketat atau
konsumsi obat tersebut menyebabkan
kadar asam urat turun drastis (5mg
%).4Penelitian lain yang dilakukan oleh
Tjokorda Raka Putra pada tahun 2009
menyebutkan bahwa kelainan fungsi
ginjal sebagai faktor resiko gout arthritis.
Hal ini dikaitkan dengan adanya kelainan
ekskresi urat di tubulus menurunkan
kilrens urat endogen.5
Asam urat yang dapat
mencetuskan terjadinya serangan gout
arthritis akut terdiri atas asam urat
endogen (80%) yaitu asam urat yang
diproduksi sendiri oleh tubuh dan asam
urat eksogen (20%) yang berasal dari
makanan. Walaupun persentase asam
urat eksogen jauh lebih kecil daripada
endogen , tetapi asam urat eksogen
memiliki peran yang besar dalam
menyebabkan fluktuasi kadar asam urat
dalam tubuh. Penelitian yang dilakukan
oleh Hyon Choi pada tahun 2010 juga
menyebutkan bahwa jus buah sebagai
salah satu faktor resiko gout arthritis.
Kandungan fruktosa yang tinggi pada jus
buah menghambat kinerja enzim di
tubulus sehingga menyebabkan
reabsorbsi asam urat meningkat.
Faktor lain yang dapat memicu
serangan gout arthritis akut adalah
hipertensi. Penelitian oleh Edward dan
Becker (2001) serta Wirama Diana dan
Raka Putra (2007) melaporkan 25-50%
dan 2-14% pasien hipertensi menderita
gout. Oleh karena kadar asam urat serum
berhubungan secara langsung dengan
resistensi vaskuler di perifer dan vaskular
renal. Penurunan aliran darah ke ginjal
mungkin berhubungan dengan hipertensi
dan hiperurisemia. Penelitian lain
terhadap 40 penderita hipertensi ringan
sampai sedang yang dilakukan
pemeriksaan asam urat dan ekskresi
asam urat mendapatkan konsentrasi
asam urat serum dan prevalensi
hiperurisemia lebih tinggi pada penderita
hipertensi dibandingkan dengan mereka
dengan tekanan darah normal. Pada
penderita dengan hipertensi yang disertai
hiperurisemia didapatkan kadar
(Fractional Uric Acid Clearance ) FUAC
lebih rendah dibandingkan orang normal.
Hubungan antara asam urat dengan
FUAC yang ditemukan pada penderita
hipertensi menjelaskan tingginya
prevalensi hiperurisemia pada hipertensi
esensial disebabkan oleh gangguan
ekskresi asam urat di ginjal.6
Konsumsi alkohol juga dapat
meningkatkan resiko gout arthritis. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Brusch (1957), O’Sullivan (1970), Krupp (1974), dan Herlianthy (2000) juga mendapatkan hasil terdapat hubungan antara konsumsi alkohol dengan FUAC. Hasil penelitian ini sesuai dengan sebuah penelitian yang dilakukan Gibson,et al. terhadap 5 laki-laki penderita gout dan 5 laki-laki dengan kadar asam urat normal yang mengkonsumsi alkohol (bir atau squash) dalam periode 4 jam selama 2 hari berturut-turut. Terjadi peningkatan kadar
laktat serum setelah konsumsi bir dan squash, tetapi peningkatan asam urat serum hanya terdapat pada yang mengkonsumsi bir. Klirens urat meningkat pada kedua jenis minuman, tetapi hanya pada mereka yang mengkonsumsi bir terjadi peningkatan ekskresi asam urat 24 jam. Ini dikaitkan dengan kandungan purin dalam hal ini guanosine, yang merupakan bentuk purin yang mudah diabsorbsi. Alkohol juga menyebabkan terjadinya hiperurisemia karena penurunan ekskresi asam urat. Konsumsi alcohol yang berlebihan akan mengakibatkan asam organik seperti laktat, sehingga menghambat sistem transport urat. Pada penelitian ini berdasarkan kebiasaan minum alkohol didapatkan pada mereka yang hiperurisemia kebanyakan dengan peminum alkohol sebanyak 12 orang (42,8%). Sedangkan pada kelompok hiperurisemia karena penurunan ekskresi asam urat didapatkan mereka yang merupakan peminum alkohol sebanyak 40,8%.
KESIMPULAN 1. Berdasarkan tabel 5.2.1 diketahui
bahwa responden yang menderita
gout arthritis adalah sebanyak 34
responden (29.1%) dan sebanyak 83
responden (70.9%) tidak menderita
gout arthritis.
2. Dari tabel 5.2.2 diketahui hasil
p=0,000 (p<0,05) yang berarti H1
diterima dan H0 ditolak, yang artinya
terdapat hubungan yang bermakna
antara pola asupan protein hewani
dengan resiko gout arthritis.
3. Dari tabel 5.2.2 diketahui hasil uji Chi-
Square didapatkan nilai OR=17,792
dengan batas antara 6,340-46,615
untuk confidence interval 95%, yang
berarti subjek penelitian dengan pola
asupan protein hewani tinggi memiliki
peluang 17,192 kali untuk mendapat
serangan gout arthritis dibandingkan
dengan subjek penelitian dengan pola
asupan protein hewani rendah.
SARAN1. Informasi bahwa pola asupan protein
hewani yang tinggi merupakan faktor
resiko terjadinya gout arthritis yang
dapat membantu dalam usaha
pencegahan.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
dengan metode cohort untuk dapat
memperkuat hipotesis awal.
3. Perlu dilakukan penyuluhan kepada
masyarakat mengenai pemilihan
sumber protein hewani yang baik.
DAFTAR PUSTAKA1. Collantes Estevez E, Pineda
Priego M, A-Non Barbudo J, et al. 2010. Hyperuricaemia-hyperlipidemia Association in The Absence of Obesity and Alcohol Abuse. Clin Rheumatol 9 : 28 – 31.
2. Choi, Hyon K, Atkinson K, Karlson EW, et al,. 2010. Alcohol Intake and Risk of Incidence Gout in Men : a Prospective Study. Lancet 363 : 1277-81.
3. Sunkureddi, Prashant, Nguyen-Oghalai, Tracy U., Karnath, Bernard M., 2006. Clinical Signs of Gout. Hospital Physician 39-47.
4. Padang, Caecilia. 2006. Characteristics of Chronic Gout in Northern Sulawesi. Indonesian Rheumatic Center.
5. Raka Putra, Tjokorda. 2009. . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Rama Putra, I Made. 2010. Korelasi antara Konsumsi Alkohol dan Fractional Uric Acid Clearance (FUAC) pada Populasi Suku Bali di Desa Penglipuran, Kubu< Bangli. Bagian SMF/ Ilmu Penyakit Dalam FK Unud RSUP Sanglah Denpasar: 164-170.