skripsi -...
TRANSCRIPT
i
PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA KAWIN PAKSA
(Studi Analisis Putusan No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenui Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Agung Ari Irawan
212 11 005
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
ii
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (Empat) Eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan
dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Agung Ari Irawan
NIM : 21211005
Judul : PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA KAWIN
PAKSA (Studi Analisis Putusan
No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi).
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, Februari 2016
Pembimbing,
Farkhani, S.H., S.HI., M.H
Nip. 19760524 200604 1 002
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Agung Ari Irawan
NIM : 21211005
Jurusan : Ahwal Al-Syakhshiyyah
Fakultas : Syari’ah
Judul Skripsi : PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA KAWIN PAKSA
(Studi Analisis Putusan No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi).
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar karya saya sendiri,
bukan jiplakan dari karya orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, Februari 2016
Yang menyatakan
Agung Ari Irawan
21211005
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Kesuksesan itu membutuhkan proses
Jadilah dirimu sebagaimana yang kau inginkan
Kegagalan adalah suatu keberhasilan yang tertunda
Hanya orang-orang yang berfikirlah yang ingin meninggalkan keburukan
Jadikan hal-hal baik dari semua orang yang kita temui sebagai referensi hidup
PERSEMBAHAN
Untuk orang tuaku,
Para dosenku, saudara-saudaraku,
Sahabat-sahabat seperjuanganku,
dan teman spesialku yang selalu setia “menungguku”.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala nikmat-Nya, kesabaran, ketelitian dan ilmunya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: ” Pembatalan Perkawinan
Karena Kawin Paksa (Studi Analisis Putusan No. 1465/Pdt.G/2014/PA.Bi) ”,
untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program S-1
Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai apabila tanpa ada bantuan dari
berbagai pihak yang telah berkenan meluangkan tenaga, fikiran dan waktunya
guna memberikan bimbingan dan petunjuk yang berharga demi terselesaikannya
pembuatan skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan
terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian
dan penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga
yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.
3. Bapak Sukron Ma’mun, S.HI., M.Si., selaku Ketua Jurusan Ahwal al-
Syakhshiyyah IAIN Salatiga yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk menyusun skripsi ini.
vii
4. Bapak Farkhani, S.H., S.HI., M.H., selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingannya kepada penulis sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Bapak H. Imam Shofwan, S.H., M.H., selaku Ketua Pengadilan Agama
Boyolali yang telah berkenan memberikan izin penulis untuk melakukan
penelitiaan di Pengadilan Agama Boyolali.
6. Bapak Drs. Abdul Rozaq, M.H., selaku Wakil Ketua Pengadilan Agama
Boyolali yang telah membantu memberikan informasi dan data-data yang
penulis butuhkan.
7. Bapak Drs. H. Asrori, S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Agama Boyolali
yang telah membantu memberikan informasi serta data yang penulis perlukan.
8. Para Dosen Fakultas Syari’ah yang banyak memberikan ilmu, arahan serta
do’a selama penulis menuntut ilmu di IAIN Salatiga.
9. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga atas bantuan semua pihak yang telah berkontribusi dalam skripsi
ini sebagaimana disebutkan di atas mendapat limpahan berkah dan imbalan yang
setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
Skripsi ini, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi
kasempurnaan tulisan ini serta bertambahnya pengetahuan dan wawasan penulis.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini nantinya dapat bermanfaat
viii
khususnya bsgi civitas akademika IAIN Salatiga dan semua pihak yang
membutuhkannya.
Atas perhatiannya penulis sampaikan banyak terimakasih.
Salatiga, Februari 2016
Penulis
Agung Ari Irawan
ix
ABSTRAK
Irawan, Agung Ari. 2016, Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa (Studi
Analisis Putusan No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi). Skripsi. Jurusan Ahwal Al-
Syakhshiyyah (AS). Fakultas Syari’ah. Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga. Dosen Pembimbing : Farkhani, S.H., S.HI., M.H.
Kata Kunci : Pembatalan Perkawinan, Kawin dan Paksa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembatalan perkawinan karena
kawin paksa. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Apa
yang menjadi dasar pertimbangan hakim terhadap permohonan pembatalan
perkawinan karena kawin paksa di Pengadilan Agama Boyolali dalam perkara
No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi? untuk menjawab pertanyaan tersebut maka
penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif.
Sahnya sebuah perkawinan itu telah ditetapkan bahwa apabila telah
terpenuhinya semua syarat dan rukun perkawinan. Demikian juga dengan
ketentuan hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Apabila perkawinan yang
semacam itu (terlanjur terjadi) sudah terlaksana, maka dapat dibatalkan sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku.
Temuan penelitian ini adalah putusan pembatalan perkawinan didasarkan
pada fakta-fakta dalam persidangan yang dinyatakan telah terbukti dan cukup
alasan. Pembatalan perkawinan juga bisa terjadi karena adanya paksaan. Seperti
adik kepada kakaknya, dan terdapat kasus yang menarik yang terjadi pada
pasangan suami istri yakni, pemohon (istri) yang menikah dengan termohon
(suami). Karena pemohon (istri) dijodohkan dan dipaksa oleh adik kandungnya,
sedangkan pemohon (istri) belum mengenal watak dan pribadi termohon (suami)
karena pemohon (istri) baru bertemu satu kali.
Sementara itu perbedaan usia pemohon (istri) dengan termohon (suami)
yang cukup jauh yaitu terpaut 15 (lima belas) tahun. Selama bertempat tinggal di
rumah termohon (suami), antara pemohon (istri) dengan termohon (suami) tidur
berpisah kamar belum pernah melakukan hubungan sebagaimana layaknya suami
istri, dan pemohon (istri) merasa tersiksa lahir dan batin.
Melalui penelitian ini dihasilkan suatu kesimpulan bahwa dalam perkara
pembatalan perkawinan No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi perkawinan antara Pemohon
dengan Termohon I telah terjadi karena adanya unsur paksaan.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN............................................................. iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................ iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................ viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Fokus Penelitian ................................................................................. 3
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 3
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 4
E. Penegasan Istilah ................................................................................ 4
F. Telaah Pustaka .................................................................................... 6
G. Metode Penelitian ............................................................................... 7
H. Sitematika Penulisan .......................................................................... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Perkawinan .......................................................................................... 16
1. Pengertian Perkawinan .................................................................. 16
2. Hukum Melakukan Perkawinan .................................................... 18
3. Prinsip-Prinsip Perkawinan ........................................................... 20
4. Tujuan Perkawinan ........................................................................ 22
5. Syarat Perkawinan ......................................................................... 25
6. Rukun Perkawinan ........................................................................ 26
B. Pembatalan Perkawinan ...................................................................... 29
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan .............................................. 29
2. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan ......................................... 30
xi
3. Pembatalan Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 .................................................................... 31
4. Pembatalan Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) 34
5. Pihak-Pihak yang dapat mengajukan Pembatalan Perkawinan ..... 38
6. Pembatalan Perkawinan karena Kawin Paksa ............................... 39
BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BOYOLALI TERHADAP
PERMOHONAN PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA
KAWIN PAKSA DALAM PERKARA No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Boyolali ................................... 41
1. Profil Pengadilan Agama Boyolali ................................................. 41
2. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Boyolali ............................ 42
3. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Boyolali .................. 44
4. Visi dan Misi Pengadilan Agama Boyolali .................................... 45
5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Boyolali ........................... 46
B. Putusan Pengadilan Agama Boyolali Terhadap Permohonan
Pembatalan perkawinan Karena Kawin Paksa Dalam Perkara No.
1465/Pdt.G/2014/PA.Bi ........................................................................ 47
C. Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Permohonan Pembatalan
Perkawinan Karena Kawin Paksa di Pengadilan Agama Boyolali
Dalam Perkara No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi ......................................... 53
BAB IV ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP
PERMOHONAN PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA
KAWIN PAKSA DALAM PERKARA No.
1465/Pdt.G/2014/PA.Bi
A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Permohonan
Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa di Pengadilan
Agama Boyolali Dalam Perkara No. 1465/Pdt.G/2014/PA.Bi
Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ............... 54
B. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Permohonan
Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa di Pengadilan
Agama Boyolali Dalam Perkara No. 1465/Pdt.G/2014/PA.Bi
Pasal 71 huruf (f) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI).............................................................................. 57
BAB V PENUTUP
xii
A. Kesimpulan ......................................................................................... 62
B. Saran .................................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan
maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan
perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk
yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana
damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara suami dan isteri. Anak keturunan
dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus
merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan
(Basyir, 2000:01).
Perkawinan yang bertumpu kepada cinta dan cinta yang memancar dari
iman akan menimbulkan rasa santun menyantuni dan saling amanah diatas beban
dan tanggung jawab sebagai suami istri yang diikat oleh tali suci perkawinan
(Abdurrahman, 2000:110).
Sahnya sebuah perkawinan itu telah ditetapkan bahwa apabila telah
terpenuhinya semua syarat dan rukunnya. Demikian juga dengan ketentuan
hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Apabila perkawinan yang semacam itu
(terlanjur terjadi) sudah terlaksana, maka dapat dibatalkan sesuai dengan
ketentuan Undang-undang yang berlaku (Arso Sosroatmodjo, 1981:67).
2
Suatu perkawinan batal dimulai setelah putusan pengadilan, karena
pengadilanlah yang mempunyai wewenang untuk membatalkan perkawinan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pembatalan perkawinan terdapat dalam
pasal 70 sampai dengan 76. Sementara dalam Undang-undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 terdapat dalam pasal 22 sampai dengan 28 (Abdurrahman, 2000:129).
Pembatalan perkawinan juga bisa terjadi karena adanya paksaan. Seperti
adik kepada kakaknya, dan terdapat kasus yang menarik yang terjadi pada
pasangan suami istri yakni, pemohon (istri) yang menikah dengan termohon
(suami). Karena pemohon (istri) dijodohkan dan dipaksa oleh adik kandungnya,
sedangkan pemohon (istri) belum mengenal watak dan pribadi termohon (suami)
karena pemohon (istri) baru bertemu satu kali.
Sementara itu perbedaan usia pemohon (istri) dengan termohon (suami)
yang cukup jauh yaitu terpaut 15 (lima belas) tahun. Selama bertempat tinggal di
rumah termohon (suami), antara pemohon (istri) dengan termohon (suami) tidur
berpisah kamarbelum pernah melakukan hubungan sebagaimana layaknya suami
istri, dan pemohon (istri) merasa tersiksa lahir dan batin.
Implikasi dari paksaan nikah ternyata telah berdampak negatif kepada
perempuan seperti dalam aspek psikologis membuat perempuan stress dan
nervous serta apatis. Karena sudah semestinya, persoalan memilih pasangan bagi
perempuan merupakan hak utama yang tidak boleh dipaksakan. Karena pada
dasarnya, Hak Asasi Perempuan merupakan bagian dari nilai-nilai universal dari
Hak Asasi Manusia (HAM) secara umum (Miftahul Huda, 2009:108).
3
Dengan adanya permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka
penulis ingin mencoba untuk meninjau lebih dalam melalui penulisan skripsi
dengan judul PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA KAWIN PAKSA
(Analisis Putusan No. 1465/Pdt.G/2014/PA.Bi).
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka yang menjadi fokus dalam penelitian adalah:
1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim terhadap permohonan
pembatalan perkawinan karena kawin paksa di Pengadilan Agama
Boyolali dalam perkara No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sehingga penelitian
ini akan lebih terarah serta dapat mengenai sasarnnya. Adapun tujuan penelitian
ini adalah:
1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim terhadap permohonan
pembatalan perkawinan karena kawin paksa di Pengadilan Agama
Boyolali dalam perkara No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi?
D. Kegunaan Penelitian
Dari penulisan ini tentunya penulis berharap agar tulisan ini mempunyai
manfaat, diantaranya adalah sebagai berikut :
4
1. Untuk penulis, memberikan wawasan dan pengetahuan agar lebih bisa
memahami tentang pembatalan perkawinan dan juga dalam rangka
persyaratan sebagai Sarjana Syari’ah.
2. Untuk kalangan akademis, sebagai penambahan literatur Perpustakaan
Fakultas Syari’ah.
3. Untuk masyarakat, memberi kontribusi pada masyarakat dalam
mendudukan perkara pembatalan perkawinan menurut perundang-
undangan yang berlaku.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari adanya beda penafsiran kata-kata, kesalahpahaman,
dan pengertian yang simpang siur dalam judul pembatalan perkawinan karena
kawin paksa (Studi Analisis Putusan No. 1465/Pdt.G/2014/PA.Bi), maka perlu
penulis kemukakan pengertian istilah-istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini,
yakni sebagai berikut:
1. Pembatalan
Pembatalan berasal dari kata batal yang berarti tidak sah, tidak
berlaku, tidak dipakai, sia-sia. Pembatalan berarti pengurungan, proses,
perbuatan, cara membatalkan, pernyataan batal (Fajri dan Senja,
ttp:125).
5
2. Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974).
3. Kawin
Kawin dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti
perjodohan antara laki-laki dan perempuan menjadi suami istri
(Poerwadarminta, 1982:453).
4. Paksa
Paksa adalah perbuatan (tekanan, desakan dan sebagainya)
yang mengharuskan (mau tidak mau atau harus). Sedangkan dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, paksa adalah mengerjakan sesuatu
yang diharuskan walaupun tidak mau (Poerwadarminta, 1982:697).
Jadi yang dimaksud dengan pembatalan perkawinan karena
kawin paksa adalah membatalkan suatu ikatan perkawinan yang telah
terjalin antara suami istri disebabkan karena adanya perjodohan yang
dipaksakan, berarti suatu perkawinan yang dilaksanakan tidak atas
kemauan sendiri atas desakan atau tekanan dari pihak lain.
6
F. Telaah Pustaka
Pada tahun 2005, dalam penelitian yang berjudul “Pembatalan Nikah
Karena Menggunakan Wali Hakim( Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan
Agama Temanggung No. 616/Pdt.G/1996)” karya Mahsun memfokuskan
pembahasannya pada status hakim dalam perkawinan di tinjau dari Hukum Islam,
pembatalan nikah karena menggunakan wali hakim di Pengadilan Agama
Temanggung, dan pembatalan nikah di Pengadilan Agama Temanggung di tinjau
Hukum Islam serta Undang-undang Perkawinan. Di dalam penelitian tersebut
dinyatakan bahwa status wali hakim menurut Hukum Islam itu sudah sah
hukumnya, akan tetapi harus melalui kaidah atau ketentuan-ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, seperti halnya Peraturan Menteri Agama No. 2 tahun
1987 yaitu tentang penunjukan wali hakim.
Pada tahun 2012, dalam penelitian yang berjudul “Pembatalan
Perkawinan Karena Hamil Di Luar Nikah( Studi Putusan Pengadilan Agama
Boyolali No. 886/Pdt.G/2010/PA.Bi)” karya Astuti Nur Halimah memfokuskan
pembahasannya pada Pembatalan perkawinan ditinjau dari Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Tinjauan Hukum Islam terhadap pembatalan
perkawinan karena hamil di luar nikah, dan pertimbangan hakim dalam
menetapkan putusan terhadap pembatalan perkawinan karena hamil di luar nikah.
Di dalam penelitian tersebut dinyatakan Dalam Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan yang disebutkan tentang batalnya perkawinan,
pasal 22, yaitu: perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan dan pada pasal 28 ayat (1)
7
menyebutkan bahwa, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan. menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan dapat dibatalkan karena telah
sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang.
Ditinjau dari hukum islam pembatalan perkawinan karena hamil di luar
nikah ini dapat di batalkan karena dalam hal ini, perkawinan itu lebih banyak
madharatnya daripada manfaatnya yang berakibat tidak baik untuk semua pihak
dan terdapatnya unsur penipuan sehingga menyebabkan adanya salah sangka dari
perkawinan oleh pihak suami terhadap pihak istri. Maka, perkawinan ini tidak
sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Agama Islam di dalam Al-Quran maupun
Sunnah Rasul serta dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sehingga perkawinan
ini dapat di batalkan karena tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada bab XI tentang batalnya perkawinan.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara yang ditempuh dalam mencari,
menggali, mengolah dan membahas data dalam suatu penelitian atau penyusunan
skripsi.
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat
yuridis normatif yaitu penelitian yang membahas data sekunder yaitu
membahas suatu kasus, yang berupa analisis Putusan Pengadilan.
8
Karena pada penelitian ini yang dibahas adalah penekanannya pada
data sekunder berupa putusan Pengadilan dan Undang-Undang, jadi
penelitian ini berbasis analisa data primer yang diperoleh langsung
lembaga peradilan yang berlaku sesuai dengan tema yang penulis pilih
dalam penelitian ini yaitu Pembatalan Perkawinan karena Kawin
Paksa yang merupakan studi analisis atas putusan Pengadilan Agama
Boyolali No. 1465/Pdt.G/2014/PA.Bi.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang secara
umum bersifat deskriptif. Sifat deskriptif ini dimaksudkan untuk
mendapatkan gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data
secermat mungkin tentang objek yang diteliti. Dalam hal ini untuk
menggambarkan semua hal yang berkaitan dengan pembatalan
perkawinan di Pengadilan Agama Boyolali.
3. Kehadiran Peneliti
Peneliti bertindak sebagai instrument sekaligus pengumpul
data yang mana penulis langsung datang dan mewawancarai salah satu
hakim Pengadilan Agama Boyolali yang telah membatalkan
perkawinan pemohon dengan termohon atas dasar kawin paksa dalam
perkara No. 1465/Pdt.G/2014/PA.Bi.
4. Lokasi Penelitian
9
Lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Boyolali
yang beralamat di jalan Pandanaran No 167, Boyolali 57311, Jawa
Tengah, Indonesia. Lokasi tersebut menjadi lokasi penelitian karena
terdapat objek penelitian yang akan dikaji dan disesuaikan dengan
judul yang penulis pilih.
5. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui
data primer dan sekunder.
a. Data Primer
1) Informan
Informan adalah orang yang dapat memberikan
informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moloeng,
2000:90). Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah
Ketua Pengadilan Agama Boyolali, Majelis Hakim yang
memeriksa dan memutus perkara pembatalan perkawinan karena
kawin paksa.
2) Dokumen
Dokumen adalah data yang mencakup surat-surat resmi,
buku-buku, hasil penelitian yang berbentuk laporan dan
sejenisnya (Moloeng, 2000:113). Dokumen dalam penelitian ini
meliputi surat permohonan pembatalan perkawinan, salinan
10
putusan pembatalan perkawinan, buku-buku yang berkaitan
dengan penelitian ini, artike-artikel dan arsip yang mendukung.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari
berbagai literatur dalam penelitian kepustakaan. Penelitian
kepustakaan adalah tehnik untuk mencari bahan atau data yang
bersifat sekunder yaitu data yang erat hubungannya dengan data
primer.
6. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan cara:
a. Observasi
Observasi merupakan suatu cara pengumpulan data dengan
jalan pengamatan secara langsung mengenai objek penelitian.
Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal untuk
mengetahui kondisi objektif mengenai objek penelitian (Arikunto,
1997:234).
b. Wawancara
Wawancara dimaksudkan untuk memperkuat data sekunder.
Wawancara penulis lakukan dengan terlebih dahulu menyusun
daftar dan rangkaian pertanyaan yang nantinya akan penulis
11
ajukan pada obyek penelitian atau responden yaitu hakim
Pengadilan Agama Boyolali.
c. Dokumentasi
Dokumentasi sudah lama digunakan dalam penelitian
sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai
sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan
untuk meramalkan (Moloeng, 2004:917). Dalam penelitian ini
dokumentasi dilakukan dengan menelusuri dan mempelajari
dokumen berkas perkara No. 1465/Pdt.G/2014/PA.Bi tentang
pembatalan perkawinan.
7. Analisis Data
Analisis data adalah suatu cara yang dipakai untuk
menganalisa, mempelajari, serta mengolah kelompok data tertentu,
sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang konkret tentang
permasalahan yang diteliti dan dibahas. Dalam menganalisa data yang
diperoleh dan dipakai dalam penelitian ini, serta untuk mendapatkan
kesimpulan, penulis menggunakan metode deskriptif analisis. Metode
deskriptif dalam penelitian ini terdapat dalam bab II mengenai
gambaran umum pembatalan perkawinan karena kawin paksa,
kemudian dilanjutkan pada bab III yang menggambarkan deskripsi
dan pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Agama Boyolali
No. 1465/Pdt.G/2014/PA.Bi.
12
Selanjutnya data yang telah dideskripsikan dalam bab III
dianalisis dalam bab IV guna mengetahui pertimbangan hakim dalam
memutuskan pembatalan perkawinan karena kawin paksa
sebagaimana tertuang dalam salinan putusan tersebut.
Metode analisis yang penulis gunakan yakni analisis data
secara induktif. Analisis data secara induktif ini digunakan karena
beberapa alasan. Pertama, proses induktif lebih dapat menemukan
kenyataan-kenyataan jamak sebagai yang terdapat dalam data. Kedua,
analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti-responden
menjadi eksplisit, dapat dikenal, dan akuntabel. Ketiga, analisis
demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat
membuat keputusan-keputusan tentang dapat-tidaknyapengalihan
pada suatu latar lainnya. Keempat, analisis induktif lebih dapat
menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-
hubungan. Kelima, analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-
nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik(Moleong,
2009:10).
Analisis induktif adalah pengambilan kesimpulan dimulai dari
pernyataan dan fakta-fakta khusus menuju pada kesimpulan yang
bersifat umum atau melakukan pengamatan dan menarik kesimpulan
(Moleong, 2009:12).
13
8. Pengecekan Keabsahan Data
Triangulasi ialah tehnik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil
wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004:330).
9. Tahap-tahap Penelitian
Tahapan penelitian yang dilakukan, yaitu dengan menentukan
atau memilih tema atau topik penelitian, pencarian informasi,
penentuan lokasi penelitian yang akan diteliti, pencarian dan
pengumpulan sumber-sumber data, serta menganalisis data yang telah
diperoleh berkaitan dengan masalah yang penulis teliti dan bahas.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan, pembahasan
dan pemahaman skripsi ini adalah:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam membuka penulisan penelitian ini, dengan uraian
meliputi: latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
14
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan dan menguraikan
mengenai hukum perkawinan yang meliputi: pengertian
perkawinan, hukum melakukan perkawinan, prinsip-prinsip
perkawinan, tujuan perkawinan, syarat-syarat perkawinan
dan rukun perkawinan. Bagian kedua mengenai pembatalan
perkawinan yang meliputi: pengertian pembatalan
perkawinan, dasar hukum pembatalan perkawinan,
pembatalan perkawinan menurut Undang-undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pembatalan perkawinan
menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), pihak-pihak yang
dapat mengajukan pembatalan perkawinan dan pembatalan
perkawinan karena kawin paksa.
BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BOYOLALI
TERHADAP PERMOHONAN PEMBATALAN
PERKAWINAN KARENA KAWIN PAKSA DALAM
PERKARA No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai gambaran umum
Pengadilan Agama Boyolali, putusan Pengadilan Agama
Boyolali terhadap permohonan pembatalan perkawinan
karena kawin paksa dalam perkara nomor
1465/Pdt.G/2014/PA.Bi dan dasar pertimbangan hakim
15
terhadap permohonan pembatalan perkawinan karena
kawin paksa di Pengadilan Agama Boyolali dalam perkara
nomor 1465/Pdt.G/2014/PA.Bi.
BAB IV ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM
TERHADAP PERMOHONAN PEMBATALAN
PERKAWINAN KARENA KAWIN PAKSA DALAM
PERKARA No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai analisis dasar
pertimbangan Hakim terhadap permohonan pembatalan
perkawinan karena kawin paksa di Pengadilan Agama
Boyolali dalam perkara No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi Pasal
1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan
analisis dasar pertimbangan Hakim terhadap permohonan
pembatalan perkawinan karena kawin paksa di Pengadilan
Agama Boyolali dalam perkara
No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi Pasal 71 huruf (f) Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI)
BAB V PENUTUP
Meliputi atas kesimpulan dan saran.
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa ( Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974). Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Pasal 2
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI).
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-
pasangan adalah naluri semua makhluk Allah SWT sebagaimana
tersebut dalam surat Az-Zariyat ayat 49:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar
kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT”.
Perkawinan adalah suatu persekutuan dari dua orang manusia
yang saling mencinta, bukannya dalam artian sekedar pelukan
jasmaniah secara sepintas, tapi dalam arti jangka lama, penuh serta
17
mulia. Mereka menghendaki hidup bersama dalam suasana keakraban
yang sempurna. Kodratlah yang mendorongnya untuk menghasrati
keakraban badaniah. Walaupun sebenarnya keakraban hubungan
jasmaniah tersebut bukanlah merupakan tujuan yang pertama dari
perkawinan sejati. Tapi dalam kenyataannya, justru perkawinan
semacam itulah yang selalu dan berulang-ulang menjadi kenyataan.
Bilamana pria dan wanita telah benar-benar saling jatuh cinta, maka
perasaan cinta tadi mengakibatkan timbulnya rasa saling
membutuhkan kasih sayang, perasaan saling memikirkan begitu juga
perasaan saling membutuhkan hubungan badaniah yang akrab
(Murthiko dan Mahfudli, 1996:74).
Menurut Ahmad Ghandur, seperti yang disadur oleh Amir
Syarifuddin, nikah yaitu akad yang menimbulkan kebolehan bergaul
antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan
dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal
balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
Menurut sebagian ulama Hanafiah, “nikah adalah akad yang
memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-
senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang
wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis”. Sedangkan
menurut sebagian mazhab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan
(sebutan) atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan
dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata. Oleh
18
mazhab Syafi’iah, nikah dirumuskan dengan “akad yang menjamin
kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal)
“akad (yang dilakukan dengan menggunakan) kata inkah atau tazwij
guna mendapatkan kesenangan (bersenang)” (Mardani, 2011:04).
Dengan demikian dapat diperoleh suatu pengertian,
perkawinan menurut Hukum Islam adalah “suatu akad atau perikatan
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi
rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah”
(Basyir, 1995:11).
2. Hukum Melakukan Perkawinan
a. Perkawinan yang Wajib
Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah
mempunyai keinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban
dalam hidup perkawinan serta ada kekhawatiran, apabila tidak
kawin, akan mudah tergelincir untuk berbuat zina (Basyir,
1995:12).
b. Perkawinan yang Haram
Hukum perkawinan menjadi haram apabila seseorang
mengawini seorang wanita dengan maksud untuk menganiaya atau
19
mengolok-oloknya atau untuk membalas dendam (Mardani,
2011:12).
c. Perkawinan yang Makruh
Perkawinan hukumnya makruh bagi seorang yang mampu
dalam segi materiil, cukup mempunyai daya tahan mental dan
agama hingga tidak khawatir akan terseret dalam perbuatan zina,
tetapi mempunyai kekhawatiran tidak dapat memenuhi kewajiban-
kewajibannya terhadap isterinya, meskipun tidak akan berakibat
menyusahkan pihak isteri; misalnya calon isteri tergolong orang
kaya atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk kawin
(Basyir, 1995:13).
d. Perkawinan yang Sunnah
Hukum perkawinan menjadi sunnah apabila seseorang
dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya wajar dan cenderung
ia mempunyai keinginan untuk menikah dan sudah mempunyai
penghasilan yang tetap (Mardani, 2011:12).
e. Perkawinan yang Mubah
Perkawinan hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai
harta, tetapi apabila tidak kawin tidak merasa khawatir akan
berbuat zina dan andaikata kawin pun tidak merasa khawatir akan
menyia-nyiakan kewajibannya terhadap isteri. Perkawinan
dilakukan sekadar untuk memenuhi syahwat dan kesenangan
20
bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga keselamatan
hidup beragama. Bagi yang tidak memiliki pendorong maupun
penghalang apapun untuk menikah. Ia menikah bukan karena ingin
mengamalkan sunnah melainkan memenuhi kebutuhan biologisnya
semata, sementara ia tidak khawatir terjerumus dalam kemaksiatan
(Basyir, 1995:14).
3. Prinsip-Prinsip Perkawinan
Ada beberapa prinsip perkawinan menurut Agama Islam, yang
perlu diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam
hidup manusia melaksanakan tugasnya mengabdi pada Tuhan. Adapun
prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam itu ialah:
a. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama
b. Kerelaan dan persetujuan
c. Perkawinan untuk selamanya
d. Monogami dan Polygami
e. Suami sebagai penanggung jawab umum dalam rumah tangga
(Zakiah Daradjat, 1995:54).
Perkawinan menurut ajaran Islam ditandai dengan prinsip-
prinsip sebagai berikut:
1) Pilihan jodoh yang tepat
2) Perkawinan didahului dengan peminangan
21
3) Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan
perempuan
4) Perkawinan didasarkan atas sukarela antara pihak-pihak yang
bersangkutan
5) Ada persaksian dalam akad nikah
6) Perkawinan tidak ditentukan untuk waktu tertentu
7) Ada kewajiban membayar maskawin atas suami
8) Ada kebebasan mengajukan syarat dalam akad nikah
9) Tanggung jawab pimpinan keluarga pada suami dan ada kewajiban
bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah tangga (Basyir,
1995:14).
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 disebutkan bahwa: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam perspektif yang lain, Musdah Mulia menjelaskan bahwa
prinsip perkawinan tersebut ada 4 (empat) yang didasarkan pada ayat-
ayat Al-Quran:
a) Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh
b) Prinsip mawaddah wa rahmah
c) Prinsip saling melengkapi dan melindungi
22
d) Prinsip muasyarah bi al-ma’ruf
Menurut Muhammad Idris Ramulyo, asas perkawinan menurut
Hukum Islam, ada 3 (tiga) asas yang harus diperhatikan yaitu:
1) Asas Absolut Abstrak
Asas absolut abstrak adalah suatu asas dalam hukum
perkawinan dimana jodoh atau pasangan suami istri itu sebenarnya
sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah atas permintaan manusia
yang bersangkutan.
2) Asas Selektivitas
Asas selektivitas ialah suatu asas dalam suatu perkawinan
dimana seseorang yang hendak menikah itu harus menyeleksi lebih
dahulu dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia tidak
boleh menikah.
3) Asas Legalitas
Asas legalitas adalah suatu asas dalam perkawinan, wajib
hukumnya dicatatkan (Mardani, 2011:08).
4. Tujuan Perkawinan
Menurut Imam al-Ghzali dalam Ihya-nya tentang faedah
melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat
dikembangkan menjadi 5 (lima), ialah:
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
23
b. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima
hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh
harta kekayaan yang halal
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang (Zakiah Daradjat,
1996:49).
Menurut Mahmud Junus, tujuan perkawinan ialah menurut
perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam
masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.
Tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi
kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk
membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan
dalam menjadikan hidupnya didunia ini, juga mencegah perzinahan,
agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang
bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.
Secara rinci tujuan perkawinan yaitu sebagai berikut:
1) Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat
tabiat kemanusiaan
24
2) Membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
3) Memperoleh keturunan yang sah
4) Menumbuhkan kesungguhan berusaha memberi rezeki
penghidupan yang halal, memperbesar rasa tanggungjawab
5) Membentuk rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahman
(keluarga yang tentram, penuh cinta kasih, dan kasih sayang QS.
Ar ruum ayat 21)
6) Ikatan perkawinan sebagai mitsaqan ghalizan sekaligus mentaati
perintah Allah SAW bertujuan untuk membentuk dan membina
tercapainya ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri dalam kehidupan rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan syariat Hukum Islam (Mardani, 2011:11).
Menurut Yahya Harahap, jika landasan QS. Ar ruum ayat 21
dipahami dengan baik dan sadar, sudah tercakup di dalamnya suatu
keharusan yang bersifat “mutual”, yakni:
a) Mutual Cooperation
b) Mutual Help
c) Mutual Understanding
d) Mutual Relatini
e) Mutual Underdependency
25
Menurut Basyir (1995:11) bahwa tujuan perkawinan dalam
Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad
atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan
disaksikan dua orang laki-laki.
Rusaknya tali perkawinan, terjadinya pertengkaran, perceraian,
terlantarnya anak-anak, si wanita hidup terkatung-katung, bergantung
tidak bertali: lain tidak disebabkan kurangnya pasangan suami isrti
memahami arti dan makna perkawinan. Pasangan itu tidak memahami
apa yang menjadi tujuan dari perkawinan. Akhirnya ikatan cinta hanya
merupakan camuflage (tipuan), bagaikan fatamorgana yang memberi
harapan kosong. Dari itu Al-Quran menjelaskan apa yang menjadi
tujuan perkawinan, yaitu: Rumah Tangga sakinah, mawaddah dan
warahmah (Leter, 1985:11).
5. Syarat Perkawinan
a. Syarat perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 dalam Pasal 6 yaitu:
1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua.
26
3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari
orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka
izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus
ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan
menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau
lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut
dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-
orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.
27
6. Rukun Perkawinan
a. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 14 rukun
perkawinan yaitu:
1) Calon suami, syarat-syaratnya:
a) Beragam Islam
b) Laki-laki
c) Jelas orangnya
d) Dapat memberikan persetujuan
e) Tidak terdapat halangan perkawinan
2) Calon isteri, syarat-syaratnya:
a) Beragama Islam
b) Perempuan
c) Jelas orangnya
d) Dapat dimintai persetujuannya
e) Tidak terdapat halangan perkawinan
3) Wali nikah, syarat-syaratnya:
a) Laki-laki
b) Dewasa
c) Mempunyai hak perwalian
d) Tidak terdapat halangan perwaliannya
4) Dua orang saksi, syarat-syaratnya:
a) Minimal dua orang laki-laki
b) Hadir dalam Ijab Qabul
28
c) Dapat mengerti maksud akad
d) Islam
e) Dewasa
5) Ijab dan Kabul, syarat-syaratnya:
a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b) Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai
c) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua
kata tersebut
d) Antara Ijab dan Qabul bersambungan
e) Orang yang terkait Ijab dan Qabul tidak sedang Ihram Haji
atau Umroh
f) Majelis Ijab dan Qabul itu harus dihadiri minimal empat
orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari
mempelai wanita, dan dua orang saksi
Sedangkan mahar (maskawin) kedudukannya sebagai
kewajiban perkawinan dan sebagai syarat sahnya perkawinan. bila
tidak ada mahar, maka pernikahannya menjadi tidak sah. Dasarnya
adalah QS. An nisa ayat 4 dan 24: “berikanlah maskawin (shadaq,
nihlah) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagai maskawin itu senang hati, maka
gunakanlah (makanlah) pemberian itu dengan sedap dan nikmat”.
Ayat 24: “dihalalkan bagimu (mengawini) perempuan-perempuan
dengan hartamu (mahar), seperti beristri dengan dia, dan bukan
29
berbuat jahat. Jika kamu telah menikmati (bersetubuh) dengan
perempuan itu, hendaklah kamu memberikan kepadanya maskawin
(ujur, faridah) yang telah kamu tetapkan” (Mardani, 2011:10).
B. Pembatalan Perkawinan
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan dalam Hukum Islam disebut fasakh
yang artinya merusakkan atau membatalkan. Fasakh menurut bahasa
berarti rusak, batal. Batal yaitu rusaknya hukum yang ditetapkan
terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan
rukunnya, sebagaimana yang ditetapkan oleh syara. Fasakh sebagai
salah satu sebab putusnya perkawinan adalah merusakkan atau
membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung (Basyir,
1996:78).
Adapun istilah pembatalan perkawinan identik dengan
fasakhyaitu, pembatalan akad dan melepaskan tali ikatan perkawinan
suami isteri (Sabiq, 1983:268). Sedangkan menurut Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pembatalan adalah “perkawinan
dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan”.
Fasakh dengan keputusan Pengadilan dapat juga diminta oleh
istri dengan alasan-alasan sebagai berikut:
30
a. Suami sakit gila
b. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan
sembuh, seperti penyakit lepra
c. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan
hubungan kelamin karena impoten atau terpotong kemaluannya
d. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memenuhi kewajiban
nafkah terhadap istri
e. Istri merasa tertipu, baik mengenai nasab keturunan, kekayaan atau
kedudukan suami
f. Suami mafqud, hilang tanpa berita dimana tempatnya dan apakah
masih hidup atau telah meninggal dunia dalam waktu cukup lama,
misalnya empat tahun (Basyir, 2000:86).
2. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan
Untuk menguraikan dasar hukum pembatalan perkawinan,
penulis akan mengemukakan hadits yang berkenaan dengan
perkawinan yang dibatalkan karena tidak memenuhi salah satu syarat
dan rukun perkawinan. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih
Bukhari:
“Dari Khonsa’ binti Judzam al-Anshariyah bahwa ayahnya telah
mengawinkannya, sedangkan ia sudah janda, lantas ia tidak suka
31
kepada perkawinan itu. Kemudian dia datang kepada Rasulullah SAW,
maka beliau membatalkannya” (HR. Bukhari).
“Dari Ibnu ‘Abbas, seorang gadis datang kepada Rasulullah saw.
menceritakan kepada beliau yang ayahnya telah mengawinkannya
sedang ia, perempuan itu, tidak suka, Nabi menyuruh memilih kepada
si perempuan itu”. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah
dan Ad Daruquthniy.
3. Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974
Pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 22 sampai dengan
pasal 28 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 di bawah
titel “BAB IV BATALNYA PERKAWINAN”.
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan;
Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan
salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya
32
perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang
baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 Undang-undang ini;
Pasal 25
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada
Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan
dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau
isteri;
Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak
sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami
atau isteri, jaksa dan suami atau isteri;
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri
berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila
mereka setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan
dapat memperlihatkan akte perkawinan yang tidak
berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah;
Pasal 27
33
(1) Seorang suami atau isteri atau isteri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan
dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum;
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai
diri suami atau isteri;
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah
sangka itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup
sebagai suani isteri, dan tidak mempergunakan haknya
untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya
gugur;
Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan
Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan
berlaku sejak berlangsungnya perkawinan;
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik,
kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan
perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain
yang lebih dahulu;
34
c. Orang-orang ketiga lainya termasuk dalam a dan b
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad
baik sebelum keputusan tentang pembatalan
mempunyai kekuatan hukum tetap;
PP No. 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksana bagi UU No. 1
Tahun 1974 hanya sedikit mengatur pembatalan perkawinan itu
dengan rumusan “PEMBATALAN PERKAWINAN”.
Pasal 37
Batalnya suatu perkawinan hanya dapat dilakukan oleh
pengadilan;
Pasal 38
(1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh
pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua
suami istri, suami atau istri;
(2) Tata cara permohonan pembatalan perkawinan dilakukan
sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian;
(3) Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan pemeriksaan
pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan, dilakukan
35
sesuai dengan tata cara tersebut dalam Pasal 20 sampai
Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini;
4. Pembatalan Perkawinan Menurut Konpilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pembatalan
perkawinan diatur dalam pasal 70 sampai dengan pasal 76 di bawah
titel “BAB XI BATALNYA PERKAWINAN”.
Pasal 70
Perkawinan batal apabila:
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak
melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat
orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya
dalam iddah talak raj’i;
b. Seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili’annya;
c. Seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi
tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri terdebut
pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi
ba’da al-dukhul dengan pria tersebut dan telah habis masa
iddahnya;
d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai
hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat
tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
36
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
bawah atau atas.
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara
orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dan ibu atau ayah tiri.
4. Berhubungan sesususan, yaitu orang tua sesusuan, anak
sesususan dan bibi atau paman sesususan.
e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau
kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya.
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan
Agama;
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui
masih menjadi isteri pria lain yang mafqud;
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari
suami lain;
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan
sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.
1 Tahun 1974;
37
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan
oleh wali yang tidak berhak;
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan;
Pasal 72
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman
yang melanggar hukum;
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah
sangka mengenai diri suami atau isteri;
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah
sangka itu menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu
6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai
suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk
mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya
gugur;
Pasal 74
(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan
kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan;
38
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan
Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan;
Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut
terhadap:
a. Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad;
b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak baik,
sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekuatan hukum yang
tetap;
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan
hukum antara anak dengan orang tuanya;
5. Pihak-pihak yang dapat mengajukan Pembatalan Perkawinan
Berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat mengajukan
pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 23 Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 73 Kompilasi Hukum
Islam (KHI), yaitu:
a. Pasal 23 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang
dapat mengajukan Pembatalan Perkawinan yaitu:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami
atau isteri;
39
2) Suami atau isteri;
3) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum
diputuskan;
4) Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-
undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum
secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya
setelah perkawinan itu putus;
b. Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan adalah:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
dari suami atau isteri;
2) Suami atau isteri;
3) Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan
menurut Undang-undang;
4) Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat
dalam rukun dan syarat perkawinan menurut Hukum Islam dan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam
Pasal 67;
6. Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 dinyatakan bahwa dalam suatu perkawinan harus memenuhi
rukun dan syarat perkawinan. Apabila rukun dan syarat perkawinan
tidak terpenuhi maka perkawinan itu dapat batal (fasakh). Dalam al-
40
Quran dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan adalah naluri
semua makhuk Allah SWT (Rahman Ghazaly, 1995:32).
Pihak yang melangsungkan perkawinan itu dirumuskan dengan
kata-kata kerelaan dan persetujuan calon istri dan suami. Agar suami
dan isteri dapat membentuk keluarga bahagia, sejahtera dan kekal.
Maka diwajibkan kepada calon mempelai untuk mengenal terlebih
dahulu. Kedua calon mempelai harus mempunyai suatu kesadaran dan
keinginan bersama secara ikhlas untuk mengdakan akad. Persetujuan
atau partisipasi keluarga diharapkan dalam perkawinan. dengan
demikian dapat terjalin silaturahmi antar keluarga (Abdul Manan,
2008:7).
Kebebasan memilih jodoh merupakan hak pilih bagi laki-laki
dan perempuan sepanjang tidak melanggar ketentuan yang digariskan
oleh syariat. Syariat Islam memberikan petunjuk bagi orang tua atau
pihak lain agar tidak mamaksakan kehendaknya dalam masalah
penentuan jodoh mereka (Musdah, 1999:11).
Namun kenyataannya, dalam masyarakat masih ada pihak
keluarga yang melakukan perjodohan yang dipaksakan dengan laki-
laki atau perempuan pilihannya. Seperti yang terjadi pada perkara
Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Boyolali Nomor
1465/Pdt.G/2014/PA.Bi terdapat fakta bahwa perkawinan antara
Pemohon dan Termohon dibatalkan atas dasar adanya perjodohan yang
dipaksakan.
41
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BOYOLALI TERHADAP
PERMOHONAN PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA KAWIN
PAKSA DALAM PERKARA No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Boyolali
1. Profil Pengadilan Agama Boyolali
Pengadilan Agama Boyolali berada di Jalan Pandanaran No
167, Boyolali 57311, Jawa Tengah, Indonesia. Telepon (0276) 321014
Faksimile : (0276) 321599Website www.pa-boyolali.go.idEmail -
[email protected]@pa-boyolali.go.id. Kabupaten Boyolali
terletak pada arah selatan dari Kabupaten Semarang dengan jarak
tempuh sepanjang 70 Km. Secara geografis Kabupaten Boyolali
berada di bagian tenggara lereng gunung Merapi dan berada pada titik
koordinat 7° 28' lintang selatan dan garis bujur 107° 48’ bujur timur,
dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Kabupaten Semarang dan Purwodadi
b. Sebelah Timur : Kabupaten Sragen dan Karanganyar
c. Sebelah Selatan : Kabupaten Klaten dan Sukoharjo
d. Sebelah Barat : Kabupaten Magelang.
42
2. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Boyolali
Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Boyolali, dari 19
Kecamatan terdiri 3 Kelurahan dan 261 Desa, adalah sebagai berikut:
a. Kecamatan Ampel terbagi 20 Desa dengan jarak/radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 55 km.
b. Kecamatan Cepogo terbagi 14 Desa dengan jarak/radius terjauh
dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 55 km.
c. Kecamatan Boyolali terbagi 3 Kelurahan dan 6 Desa dengan
jarak/radius terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 5
km.
d. Kecamatan Mojosongo terbagi 12 Desa dengan jarak/radius terjauh
dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 5 km.
e. Kecamatan Teras terbagi 13 Desa dengan jarak/radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 10 km.
f. Kecamatan Sawit terbagi 12 Desa dengan jarak/radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 15 km.
g. Kecamatan Musuk terbagi 20 Desa dengan jarak/radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 55 km.
h. Kecamatan Banyudono terbagi 15 Desa dengan jarak/radius terjauh
dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 14 km.
i. Kecamatan Sambi terbagi 16 Desa dengan jarak/radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 55 km.
43
j. Kecamatan Ngemplak terbagi 12 Desa dengan jarak/radius terjauh
dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 30 km.
k. Kecamatan Nogosari terbagi 13 Desa dengan jarak/radius terjauh
dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 30 km.
l. Kecamatan Simo terbagi 13 Desa dengan jarak/radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 35 km.
m. Kecamatan Karanggede terbagi 16 Desa dengan jarak/radius
terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 40 km.
n. Kecamatan Selo terbagi 8 Desa dengan jarak/radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 55 km.
o. Kecamatan Klego terbagi 13 Desa dengan jarak/radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 40 km.
p. Kecamatan Andong terbagi 16 Desa dengan jarak/radius terjauh
dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 40 km.
q. Kecamatan Kemusuk terbagi 13 Desa dengan jarak/radius terjauh
dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 50 km.
r. Kecamatan Wonosegoro terbagi 18 Desa dengan jarak/radius
terjauh dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 45 km.
s. Kecamatan Juwangi terbagi 10 Desa dengan jarak/radius terjauh
dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 75 km
(http://www.pa-boyolali.go.id).
44
3. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Boyolali
Berdasarkan Pasal 49 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang di ubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dengan perubahan kedua dengan Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama ditegaskan
bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam dibidang: perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh dan ekonomi syari’ah.
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama
mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Memberikan pelayanan Teknis Yustisial dan Bidang Kepaniteraan.
b. Memberikan pelayanan di bidang administrasi perkara Banding,
Kasasi, Peninjauan Kembali serta Administrasi Peradilan lainnya.
c. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat hukum Islam
pada instansi Pemerintah di daerah hukumnya.
d. Memberikan pelayanan administrasi umum (Umum, Kepegawaian
dan Keuangan).
e. Melakukan tugas – tugas lain, seperti penyuluhan Hukum, Hisab
Rukyat, Pelayanan Publik, Pelayanan Penelitian/Riset, dan lain
sebagainya (http://www.pa-boyolali.go.id).
45
4. Visi dan Misi
a. Visi
"Terwujudnya Peradilan Agama yang bersih dan
berwibawa, transparan dan akuntabel yang mampu memberikan
pelayanan secara sederhana, cepat dan biaya ringan".
1) Maknabersih adalah seluruh aparatur Peradilan Agama
menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama
dengan konsisten yang diwujudkan dengan perilaku jujur,
berakhlak mulia, ikhlas dan terbebas dari perilaku yang negatif,
baik dalam kehidupan pribadi/keluarga maupun dalam
pelayanan terhadap masyarakat pencari keadilan.
2) Berwibawa mengandung arti kekuasaan Peradilan Agama
diakui dan ditaati serta ada pembawaan untuk dapat menguasai
dan mempengaruhi, dihormati orang lain melalui sikap dan
tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan daya tarik/
performance.
3) Transparan dan akuntabel adalah bahwa Peradilan Agama
dalam proses peradilan mewujudkan keterbukaan dan
akuntabilitas, yaitu Pengadilan menyediakan informasi yang
bersifat terbuka dan dapat diakses oleh pubilk dengan penuh
tanggung jawab.
4) Asas sederhana, cepat dan biaya ringan dikandung maksud
untuk memenuhi harapan para pencari keadilan yaitu
46
pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara
yang efektif dan efisien, biaya perkara dapat dijangkau oleh
masyarakat.
b. Misi
1) Menyelenggarakan Peradilan yang bersih dan bebas dari
praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
2) Menyelenggarakan pelayanan Yudisial dengan seksama dan
sewajarnya.
3) Meningkatkan Pembinaan Sumber Daya Manusia, aparatur
Pengadilan Agama Boyolali.
4) Melakukan Pengawasan terhadap Teknis Yudisial dan Non
Yudisial.
5) Mengembangkan penerapan manajemen modern dengan
Teknologi Informasi (http://www.pa-boyolali.go.id).
5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Boyolali
Ketua : H. Imam Shofwan, S.H., MH.
Wakil Ketua : Drs. Abd Rozaq, MH.
Hakim : Drs. H. Ngatirin, MH.
Dra. Ainna Aini Iswati Husnah
Drs. H. A. Siddiq, MH.
Drs. H. Qomaroni, S.H.
Drs. H. Asrori, S.H., MH.
Panitera : Dra. Elvi Setiyaningsih
47
Wakil Panitera : Tri Purwami, S.H., MH.
Panitera Muda Hukum : Drs. Djarotdjatun
Panitera Muda Permohonan : Wiwik Dwi Haryani, S.H.
Panitera Muda Gugatan : Drs. Arief Rokhman
Panitera Pengganti : Dra. Kanti Hastuti Mubarok
M. Dawan, S.H.
Sri Munawar, S.H.
Fitri Ambarwati, S.H.
Wakil Sekretaris : Ahmad Nurul Huda, S.H.
Plt. Kasubbag Umum : Wahyu Pujileksono, S.Kom.
Hj. Surnawati
Plt. Kasubbag Keuangan : Reza Sahrizal, S.Kom.
Juru Sita Pengganti : Ahmad Mastur
Sorendo Pratama
Ahmad Roikan, S.Sy.
B. Putusan Pengadilan Agama Boyolali Terhadap Permohonan
Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa Dalam Perkara
No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi
Sebelum mengemukakan tentang kasus pembatalan perkawinan karena
kawin paksa, penulis terlebih dahulu akan menjelaskan tentang kedudukan orang-
orang yang berperkara dan hal-hal yang melatarbelakangi pembatalan perkawinan
tersebut.
48
Kasus tersebut telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Boyolali
pada tanggal 06 November 2014 dengan nomor register 1465/Pdt.G/2014/PA.Bi,
dengan pihak-pihak yang berperkara sebagai berikut:
Nama : X binti L
Umur : 42 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawati rumah makan
Alamat : Bertempat tinggal di Dusun Koplak RT 05
RW 02 Desa Demangan Kecamatan Sambi
Kabupaten Boyolali, yang selanjutnya disebut
sebagai PEMOHON;
Mengajukan permohonan pembatalan perkawinan terhadap:
Nama : Y bin S
Umur : 57 tahun
Pekerjaan : Usaha kerajinan bambu
Pendidikan : SD
Alamat : Bertempat tinggal di Dukuh Kadirejo RT
49
002 RW 002 Desa Sempulur Kecamatan
Karanggede, Kabupaten Boyolali, selanjutnya
disebut sebagai TERMOHON I;
Nama : Z bin L
Umur : 39 tahun
Pekerjaan : Usaha bandeng presto
Pendidikan : SMA
Alamat : Bertempat tinggal di Dukuh Koplak RT 005
RW 002 Desa Demangan Kecamatan Sambi
Kabupaten Boyolali, selanjutnya disebut sebagai
TERMOHON II;
Ketua KUA (Kantor Urusan Agama) Sambi beralamat di Sambi,
Kabupaten Boyolali. Selanjutnya disebut sebagai Termohon III;
Pemohon merupakan istri dari Termohon I selaku suami, Tentang
Permohonan Pembatalan Perkawinan dengan mengemukakan hal-hal sebagai
berikut:
1. Bahwa pernikahan Pemohon dengan Termohon I terjadi karena
dijodohkan oleh adik kandung Pemohon bernama Z bin L dan
sebelumnya Pemohon dengan Termohon I belum saling kenal sehingga
Pemohon belum mengenal betul watak dan pribadi Termohon I
50
ditambah lagi Pemohon bertemu dengan Termohon I hanya 1 (satu)
kali;
2. Bahwa sebelum terjadi pernikahan Pemohon sudah mengajukan
keberatan kepada adik kandung Pemohon karena usia Pemohon
dengan usia Termohon I terpaut sebesar 15 (lima belas) tahun juga
Pemohon belum siap untuk menikah dengan Termohon I karena belum
mengenal Termohon I dengan secara keseluruhan;
3. Bahwa Pemohon bertempat tinggal di rumah Termohon I selama 4
(empat) hari belum hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri
(qobla dukhul).Pemohon dengan Termohon I tidur berpisah kamar
sehinggabelum pernah melakukan hubungan sebagaimana layaknya
suami istri;
4. Bahwa pada tanggal 28 September 2014 karena Pemohon merasa
tersiksa lahir dan bathin kemudian Pemohon minta ijin kepada
Termohon I untuk pulang ke rumah orang tua Pemohon sendiri di
Dukuh Koplak RT 005 RW 002 Desa Demangan Kecamatan Sambi
Kabupaten Boyolali dan sejak itu Pemohon dan Termohon I berpisah
rumah juga tidak ada hubungan komunikasi sampai sekarang;
5. Bahwa karena pernikahan yang dilakukan Pemohon dengan Termohon
I dilakukan karena paksaan dari adik kandung Pemohon yang bernama
Z bin L maka Pemohon tidak terima atas terjadinya pernikahan
tersebut dan mohon agar pernikahan tersebut dibatalkan;
51
Terhadap permohonan pembatalan perkawinan karena kawin paksa
dalam perkara No. 1465/Pdt.G/2014/PA.Bi bahwa walaupun setiap
perkara kontensius harus dimediasi sesuai amanat PERMA Nomor 1
Tahun 2008, namun oleh karena perkara ini adalah perkara kontensius
berupa legalitas hukum, maka dengan merujuk point (5) hal. 83 Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama yang diberlakukan
dengan Keputusan Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2006
tanggal 4 April 2006, maka dalam proses penyelesaian perkara ini tidak
wajib mediasi.
Majelis Hakim Pengadilan Agama Boyolali dalam perkara
permohonan pembatalan perkawinan karena kawin paksa, menyatakan
bahwa berdasarkan jawaban Termohon I dan Termohon II kemudian
mendengarkan keterangan dibawah sumpah dari saksi-saksi dapat
disimpulakan fakta-fakta dalam persidangan sebagai berikut:
1. Bahwa setelah menikah Pemohon dengan Termohon I tinggal bersama
satu rumah Termohon I di Dukuh Kadirejo RT 02 RW 02 Desa
Sempulur Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali hanya 4
(empat) hari lamanya dan belum melakukan hubungan layaknya suami
istri;
2. Bahwa setelah 4 (empat) hari di rumah Termohon I, Pemohon pulang
ke rumah orang tuanya di Dukuh Koplak RT 05 RW 02 Desa
Demangan Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali dan selalu
menangis karena telah menikah dengan Termohon I;
52
3. Bahwa Termohon II telah mamaksa Pemohon untuk menikah dengan
Termohon I walaupun usia Pemohon dengan Termohon I selisih 15
(lima belas) tahun, dengan alasan karena usia Pemohon sudah tidak
muda lagi;
Majelis Hakim Pengadilan Agama Boyolali setelah menerima dan
memeriksa dalam perkara permohonan pembatalan perkawinan karena
kawin paksa, memutuskan:
1. Membatalkan perkawinan antara Pemohon (X) dengan Termohon I
(Y) karena adanya unsur paksaan.
2. Menyatakan buku kutipan akta nikah antara Pemohon (X) dengan
Termohon I (Y) tidak berlaku dan tidak berkekuatan hukum.
3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 431.000,- (empat ratus tiga puluh ribu rupiah).
Demikianlah putusan Pengadilan Agama Boyolali pada tanggal 11
Desember 2014 bertetapan dengan tanggal 18 Shafar 1436 H oleh Drs. H.
Qomaroni, SH sebagai Hakim Ketua, Dra. Hj. Aina Aini Iswati Husnah
dan Drs. H. Asrori, SH. MH, sebagai hakim anggota dibantu oleh Sri
Munawar, SH sebagai Panitera Pengganti dibacakan pada hari itu juga
dalam sidang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh Pemohon tanpa
hadirnya Termohon II(Putusan Pengadilan Agama Boyolali No.
1465/Pdt.G/2014/PA.Bi).
53
C. Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Permohonan Pembatalan
Perkawinan Karena Kawin Paksa di Pengadilan Agama Boyolali
Dalam Perkara No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi
Adapun dasar dan pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Boyolali
dalam perkara permohonan pembatalan perkawinan karena kawin paksa, adalah:
1. Majelis Hakim berpendapat bahwa rumah tangga Pemohon dengan
Termohon I yang demikian jika dipertahankan akan lebih
mendatangkan madlarat yang tidak berkesudahan bagi kedua belah
pihak, karena hak dan kewajiban masing-masing tidak dapat berjalan
sebagaimana mestinya, begitu pula bila dipaksakan untuk membina
rumah tangga akan bertentangan dengan tujuan perkawinan, dalam
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana yang
dimaksudkan oleh Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
2. Majelis Hakim berpendapat bahwa berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan Pembatalan Nikah
yang diajukan Pemohon, telah memenuhi ketentuan Pasal 71 huruf (f)
Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka patut dikabulkan (Putusan
Pengadilan Agama Boyolali No. 1465/Pdt.G/2014/PA.Bi).
54
BAB IV
ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP
PERMOHONAN PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA KAWIN
PAKSA DALAM PERKARA No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi
A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Permohonan
Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa di Pengadilan Agama
Boyolali Dalam Perkara No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi Pasal 1 Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pengertian perkawinan terdapat 5 (lima) unsur di dalamnya adalah sebagai
berikut:
1. Ikatan lahir bathin
Menurut penulis, yang dimaksud dengan ikatan lahir bathin
dalam pasal tersebut adalah bahwa ikatan itu tidak hanya cukup dengan
ikatan lahir saja atau bathin saja, akan tetapi kedua-duanya harus
terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan
mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dengan
55
seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Sebaliknya
suatu ikatan bathin merupakan hubungan yang dirasakan oleh pihak-
pihak yang bersangkutan, ikatan bathin ini merupakan dasar dari ikatan
lahir dan dapat dijadikan dasar pondasi dalam membentuk dan
membina keluarga yang bahagia.
2. Antara seorang pria dengan seorang wanita
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan
seorang wanita dengan demikian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, akan tetapi
juga mempunyai unsur bathin atau rohani yang mempunyai peranan
sangat penting dalam membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan sejahtera.
3. Sebagai suami isteri
Dalam sebuah perkawinan antara suami dengan isteri, kedua
belah pihak memiliki hak dan kewajiban sebagai seorang seorang suami
dan sebagai seorang isteri. Hak dan kewajiban masing-masing harus
berjalan sebagaimana mestinya, untuk membentuk rumah tangga yang
bahagia dan sejahtera.
4. Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 adalah membentuk kesatuan kecil yang terdiri
dari suami, isteri dan anak-anak. Membentuk keluarga yang bahagia
56
rapat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan
perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban
kedua orang tua. Bahagia adanya keturunan dalam hubungan antara
suami isteri dan anak-anak dalam rumah tangga. Kebahagiaan yang
dicapai bukanlah yang sifatnya sementara, tetapi kebahagiaan yang
kekal karenanya perkawinan yang diharapkan adalah perkawinan yang
kekal, yang dapat berakhir dengan kematian salah satu pasangan dan
tidak boleh diputuskan menurut kehendak kedua belah pihak.
5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
dapat dijelaskan bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila
dimana sila yang pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan Agama atau
kepercayaan, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir
atau jasmani tetapi unsur bathin rohani yang mempunyai peranan yang
sangat penting. Suami isteri perlu saling bahu membahu dalam
membentuk rumah tangga atau keluarga. Pembentukan rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mengenai dasar pertimbangan Hakim terhadap permohonan
pembatalan perkawinan karena kawin paksa di Pengadilan Agama
Boyolali dalam perkara No. 1465/Pdt.G/2014/PA.BiPasal 1 Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Majelis Hakim sudah benar
dan sesuai dengan berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan bahwa
57
rumah tangga Pemohon dengan Termohon I yang demikian jika
dipertahankan akan lebih mendatangkan madlarat yang tidak
berkesudahan bagi kedua belah pihak, karena hak dan kewajiban
masing-masing tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, begitu pula
bila dipaksakan untuk membina rumah tangga akan bertentangan
dengan tujuan perkawinan, dalam membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
B. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Permohonan
Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa di Pengadilan Agama
Boyolali Dalam Perkara No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi Pasal 71 huruf (f)
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Menurut Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dalam Pasal 71 huruf (f) yang menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat
dibatalkan apabila perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Dalam perkara tersebut dapat dilihat bahwa setelah melangsungkan
pernikahan, antara Pemohon dengan Termohon I tinggal dan hidup bersama hanya
4 (empat) hari karena Pemohon merasa tersiksa lahir dan batin. Implikasi dari
paksaan nikah ternyata telah berdampak negatif kepada perempuan seperti dalam
aspek psikologis membuat perempuanstres dan nervous serta apatis. Lebih
mengkhawatirkan lagi kawin paksa telah menimbulkan konsekuensi negatif
khususnya dalam aspek hak reproduksi perempuan. Kawin paksa menimbulkan
58
hubungan seksual yang tidak sehat, disharmonosasi dalam keluarga seperti
munculnya kekerasan, penyelewengan bahkan sebagai penyebab besar terhadap
keretakan rumah tangga. Bukanlah hak reproduksi perempuan merupakan hak
yang paling dasar dan hanya dimiliki oleh perempuan sebagai manusia.
Karena sudah semestinya, persoalan memilih pasangan bagi perempuan
merupakan hak utama yang tidak boleh dipaksakan. Karena pada dasarnya, hak
reproduksi perempuan seperti ini adalah juga Hak Asasi Perempuan, dan Hak
Asasi Perempuan pada dasarnya juga merupakan bagian dari nilai-nilai Universal
dari Hak Asasi Manusia (HAM) secara umum.
Seorang perempuan bila terpaksa menikah kemungkinan menimbulkan
ketidakharmonisan dalam keluarganya kelak. Dalam dirinya merasa tertekan. Di
samping itu secara psikologis, ia terbebani dan merasa sakit hatinya. Akhirnya,
segala pemaksaan hak dan kehendak adalah hal yang tidak diperkenakan oleh
agama. Karena pemaksaan itu merupakan suatu hal yang melanggar norma dan
keadilan.
Menurut penulis, dalam perkara ini terlihat jelas bahwa kawin paksa
dianggap kurang baik dan biasanya yang menjadi korban adalah dari pihak
perempuan. Hal itu membuktikan bahwa perkawinan yang dipaksakan merupakan
suatu hal yang apabila dilakukan hanya mendatangkan kemudharatan bagi kedua
belah pihak karena antara hak dan kewajiban masing-masing tidak dapat berjalan
sebagaimana mestinya.
59
Meskipun dalam Hukum Islam tidak dibenarkan menjalin hubungan antara
laki-laki dengan perempuan sebelum menikah, akan tetapi di dalam Islam
membenarkan untuk mengenal calon pasangan hidup untuk membina rumah
tangga dan kawin paksa bukan merupakan termasuk dalam Hukum Islam. Hal itu
telah dijelaskan dalam Al-Quran surat An Nisa 19:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak”.
Majelis Hakim Pengadilan Agama Boyolali setelah menerima dan
memeriksa dalam perkara permohonan pembatalan perkawinan karena
kawin paksa No. 1465/Pdt.G/2014/PA.Bidalam memutuskan perkara ini
sesuai dengan Prinsip Peradilan, yaitu:
60
1. Kedua belah pihak didengar keterangannya
Kedua belah pihak harus didengar keterangannya terlebih
dahulu sebelum menjatuhkan putusan itu yang dikenal dengan asas
“audi et alteram partem” yang artinya bahwa orang yang berperkara
harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan
adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberikan
pendapatnya, hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu
pihak yang benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi
kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.
2. Melihat bukti-bukti
Dalam memeriksa suatu perkara Hakim bertugas untuk
mengkonstatir yaitu menilai berdasarkan peristiwa atau fakta-fakta yang
diperoleh dalam persidangan. Dalam hal ini adanya bukti-bukti berupa
bukti tertulis dan saksi-saksi yang menerangkan bahwa adanya
perjodohan yang dipaksakan pada Pemohon untuk melangsungkan
pernikahan itu memang benar adanya. Majelis Hakim berpegang pada
keterangan saksi yang tujuannya untuk melindungi kepentingan
Pemohon yang dalam hal ini sebagai pihak yang dirugikan dan Majelis
Hakim berpendapat bahwa permohonan Pemohon telah terbukti
menurut Hukum sesuai pasal yang telah disebutkan.
3. Putusan harus disertai dengan alasan-alasan hukum
Putusan Pengadilan Agama Boyolali tersebut sesuai dengan
prinsip peradilan, yaitu setiap putusan Pengadilan harus memuat alasan-
61
alasan hukum yang dibuat untuk dasar mengadili.Putusan hakim harus
memuat dasar hukum dan alasan-alasannya (pertimbangan hukum)
sehingga putusan itu dijatuhkan.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah penulis berikan tentang penelitian dan
pembahasan ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Dasar pertimbangan hakim terhadap permohonan pembatalan
perkawinan karena kawin paksa di Pengadilan Agama Boyolali dalam
perkara No.1465/Pdt.G/2014/PA.Bi Pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan adalah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Atas dasar tersebut, maka tepat bahwa perkawinan atas dasar paksaan
dapat dibatalkan. Pasal 71 huruf (f) Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Perkawinan antara Pemohon
dengan Termohon I telah terjadi karena adanya unsur paksaan.
Perkawinan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 71 huruf (f) Kompilasi
Hukum Islam (KHI), “suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila
perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan”.
63
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan setelah melakukan penelitian
dan pembahasan perkara Nomor 1465/Pdt.G/2014/PA.Bi sebagai berikut:
1. Sebelum melakukan perkawinan hendaknya diteliti dahulu yang
menjadi syarat dan rukun perkawinan. hal ini dimaksudkan agar tidak
terjadi hal yang dapat merusak atau membatalkan perkawinan yang
telah dilangsungkan. Karena perkawinan mempunyai tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Sebaiknya Pegawai Pencatat Nikah lebih memperketat dalam
mengadakan pemeriksaan data-data sebelum dilakukan perkawinan.
pemeriksaan ini dilakukan agar tidak terjadi adanya pelanggaran
hukum dalam perkawinan.
3. Implikasi dari paksaan nikah ternyata telah berdampak negatif kepada
perempuan seperti dalam aspek psikologis membuat perempuan stress
dan nervous serta apatis. Karena sudah semestinya, persoalan memilih
pasangan bagi perempuan merupakan hak utama yang tidak boleh
dipaksakan. Karena pada dasarnya, Hak Asasi Perempuan merupakan
bagian dari nilai-nilai universal dari Hak Asasi Manusia (HAM) secara
umum.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2000. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Akademika
Pressindo.
Al-Ghazali, Imam. 1988. Menyingkap Hakikat Perkawinan: Adab, Tata-cara dan
Hikmahnya. Bandung: Karisma.
Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Basyir, Ahmad Azhar. 1995. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press.
Basyir, Ahmad Azhar. 2000. Hukum Perkawinan Islam: Cet Ke-9 Dengan
Perbaikan. Yogyakarta: UII Press.
Daradjat, Zakiah. 1995. Ilmu Fiqh Jilid 2. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Fajri, Em Zul dan Ratu Aprilia Senja. Ttp. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Difa Publisher.
Ghazaly, Abdul Rahman. 2003. Fiqih Munakahat. Bogor: Kencana.
http://www.pa-boyolali.go.id/index.php/profil-pa-boyolali diakses Jum’at 23
Oktober 2015.
Huda, Miftahul. 2009. Kawin Paksa Ijbar Nikah dan Hak-hak Reproduksi
Perempuan. Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press.
Manan, Abdul. 2008. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam: Di Dunia Islam Modern. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Moloeng, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Muhammad, Letter. 1985. Tuntunan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga
Berencana. Padang: Angkasa Raya Padang.
Mulia, Musdah. 1999. Pandangan Islam Tentang Poligami. Jakarta: Lembaga
Kajian Agama dan Gender.
Murthikno B.A dan Mahfudi Sahli. 1996. Sorga Perkawinan: Membina Rumah
Tangga Yang Harmonis Dan Penuh Cinta Kasih Dengan Ridha Allah.
Solo: CV. Aneka.
Poerwadarminta. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ramulyo, Muhammad Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam 1. Jakarta: Bumi
Aksara.
Sabiq, Sayyid. 1983. Fiqh Sunnah. Beirut Daar al-Fikr.
Sosroatmodjo, Arso. 1981. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan
Bintang.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dengan Peraturan Pelaksanaannya.
1991. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Jakarta:
PT. Pradnya Paramita.