skripsi erri gunrahti.pdf
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyelenggaran pemerintahan mempunyai prinsip daerah yang menjadi
pegangan oleh aparat pemerintahan dalam menggerakkan administrasi
pemerintahan atau manajemen pemerintahan. Prinsip-prinsip dasar tersebut
disebut dengan asas-asas pemerintahan. Sentralisasi, dekonsentrasi, dan
desentralisasi adalah konsep-konsep yang berhubungan dengan pengambilan
keputusan dalam organisasi termasuk dalam organisasi Negara.1
Desentralisasi dan otonomi daerah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor
22 tahun 1999 dan telah diperbaharui oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan payung hukum bagi daerah
otonom. Desentralisasi dalam wujudnya sebagai otonomi daerah, memberikan
sebagian kewenangan pengelolaan urusan publik untuk dilimpahkan pada provinsi
dan Kabupaten, termasuk pemekaran wilayah dalam usaha mempercepat
pembangunan dan perkembangan wilayah.2
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumberdaya
nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja
daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan
1 Hanif Nurcholis, “Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah”, PenerbitGrasindo, Jakarta,2007, hal. 3.
2 Agus Dwiyanto (ed.), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, GadjahMada University Press, Yogyakarta, 2005, hal. 45.
2
pemerintah daerah sebagai subsistem pemerintah negara untuk meningkatkan
daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat,
sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab
menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip – prinsip
keterbukaan, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat ( Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ).
Adanya aspirasi masyarakat yang memiliki visi terhadap kemajuan dan
kemakmuran untuk dimekarkan wilayah guna meningkatkan perkembangan
wilayah dan pemerataan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Munculnya Undang-undang otonomi daerah merupakan salah satu usaha untuk di
satu pihak “mendinginkan” euforia reformasi dan di lain pihak untuk menjaga
keutuhan NKRI. Oleh karena itu, isi dari UU No.22 Tahun 1999 tersebut lebih
memberikan kebebasan yang nyata dan seluas-luasnya bagi daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahannya sendiri demi untuk kesejahteraan daerahnya
sendiri-sendiri.
Era reformasi yang dimulai dari tahun 1998 telah menggeser paradigma
desentralisasi administratif, yang dianut pada masa orde baru, menjadi
desentralisasi politik pasca UU Nomor 22 Tahun 1999. Pemekaran wilayah/
daerah atau pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di era reformasi
merupakan konskuensi logis dari penerapan kebijakan desentralisasi politik oleh
pemerintah pusat di daerah. Adanya desentralisasi politik maka pemerintah pusat
membentuk daerah-daerah otonom atau daerah-daerah yang mempunyai
pemerintahan, yaitu daerah-daerah yang mempunyai wilayah, masyarakat hukum,
3
kepala daerah, dan anggota DPRD yang dipilih oleh rakyat, pegawai, dan
kewenangan serta keleluasaan mengatur dan mengurus daerah. Kebijakan
pemekaran daerah pasca ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah mempunyai perbedaan yang signifikan jika dibandingkan
pengaturan pemekaran daerah berdasar UU Nomor 5 Tahun 1974 (orde baru).
Pelaksanaan kebijakan pemekaran daerah pada orde baru, bersifat elitis dan
memiliki karakter sentralistis, dimana perencanaan dan implementasi
pemekarannya lebih merupakan inisiatif pemerintah pusat dari pada partisipasi
dari bawah. Proses pemekaran daerah seringkali menjadi proses yang tertutup dan
menjadi arena terbatas di kalangan pemerintah pusat.
Pada orde baru, kebijakan pemekaran lebih bersifat elitis dan sentralistis.
Namun pada masa itu pemerintah telah mencoba mendorong upaya penyiapan
infrastruktur birokrasi (bukan infrastruktur politik) sebelum pembentukan daerah
otonom. Masa transisi teknokratis disiapkan sedemikian rupa sebelum menjadi
Daerah Otonomi Baru. Dalam masa transisi, pembentukan daerah baru ini lebih
menekankan pada mekanisme teknokratis daripada mekanisme politik, seperti
penyiapan administrasi birokrasi, infrastruktur, gedung perkantoran, dan
sebagainya. Setelah penyiapan teknokratis dirasa cukup barulah kemudian
penyiapan politik dilakukan yaitu dengan pembentukan DPRD, dari situ barulah
kemudian dibentuk daerah otonomi baru (DOB).
Di masa era reformasi sekarang, proses-proses penyiapan teknokratis
tersebut pada kebijakan pemekaran daerah berdasar UU Nomor 22 Tahun 1999
tidak ada, tetapi justru lebih menekankan pada proses-proses politik. Ruang bagi
4
daerah untuk mengusulkan pembentukan daerah otonomi baru (DOB) dibuka
lebar oleh kebijakan pemekaran daerah berdasar UU Nomor 22 Tahun 1999.
Kebijakan yang demikian ini, kebijakan pemekaran daerah sekarang lebih
didominasi oleh proses politik daripada proses teknokratis.
Perubahan paradigma otonomi daerah sampai ke tingkat Kecamatan
membuka peluang pemerintah daerah untuk melakukan pemekaran di sejumlah
Kecamatan. Pemekaran Kecamatan dianggap mendesak agar pengelolaan daerah
semakin mudah. Bupati dan Walikota banyak yang tertarik untuk melakukan
pemekaran Kecamatan dalam rangka mempercepat pembangunan. Adanya
pemekaran Kecamatan, kegiatan susulan lainnya adalah penempatan lokasi pusat
Kecamatan agar optimal dalam pelayanan publik.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah secara
normatif menggariskan bahwa Kecamatan dan kelurahan adalah merupakan
bagian dari perangkat pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Urusan yang dapat
dilakukan oleh tingkat Kecamatan atau kelurahan, tidak perlu ”berduyun-duyun”
ke tingkat Kabupaten/Kota. Lokasi kantor Kecamatan yang tepat adalah yang
mudah dijaungkau oleh seluruh warga masyarakat desa atau kelurahan setempat,
memberi dampak efektif dan efisien bagi masyarakat, dan tentu saja dapat
memotong birokrasi yang berbelit-belit. Asumsi yang dibangun di atas, sebuah
Kecamatan yang terlalu gemuk dengan jumlah desa/kelurahan yang banyak tidak
lagi efektif dan efisien. Semangat dari studi ini adalah dengan penempatan lokasi
pelayanan publik yang tepat, diharapkan secara bertahap dapat membangun
wilayah secara lebih merata dan meningkatkan pelayanan publik.
5
Pemekaran wilayah khususnya Kecamatan sangat jarang sekali dibahas,
karena pada umumnya pemekaran dilakukan untuk menimbulkan Kabupaten Baru
atau memunculkan Provinsi baru yang otonom maka kiranya perlu adanya suatu
kajian pemekaran Kecamatan untuk memperjelas dan mendapatkan ilmu
pengetahuan baru yang berguna bagi pengembangan hukum pemerintahan daerah.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul : “TINJAUAN YURIDIS
PEMEKARAN KECAMATAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dapat diambil suatu
perumusan masalah yaitu sebagai berikut bagaimanakah syarat dan mekanisme
pemekaran Kecamatan berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui syarat dan mekanisme pemekaran
Kecamatan berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah.
D. Kegunaan Penelitian
1. Keguanaan teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan
Hukum pemerintahan daerah khususnya syarat dan mekanisme pemekaran
6
Kecamatan berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah.
2. Kegunaan Praktis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, bagi instansi yang terkait dengan syarat dan mekanisme
pemekaran Kecamatan berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemerintahan Daerah
Menurut Inu Kencana Syafie yang mengutip dari C.F Strong dalam bukunya
yang berjudul “Ekologi Pemerintahan, definisi pemerintahan adalah sebagai
berikut:
“Maksudnya Pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenanganuntuk memelihara perdamaian dan keamanan Negara, ke dalam dan keluar.Oleh karena itu, pertama harus mempunyai kekuatan militer ataukemampuan untuk mengendalikan angkatan perang. Kedua harusmempunyai kekuatan Legislatif atau dalam arti pembuatan Undang-undang.Ketiga, harus mempunyai kekuatan finansial/kemampuan untuk mencukupikeuangan masyarakat dalam rangka membiayai ongkos keberadan Negaradalam menyelengggarakan peraturan, hal tersebut dalam rangka kepentinganNegara”.3
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah oleh DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Republik
Indonesia tahun 1945, pemerintahan daerah meliputi :
1) Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota danperangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahandaerah.
2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembagaperwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahandaerah.
3Inu Kencana Syafii, Manajemen Pemerintahan, PT. Perjta, Jakarta, 1998, hal. 4-5.
8
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.
Pemerintah daerah semata-mata disebabkan karena banyaknya urusan-
urusan pemerintah pusat mengurusi kepentingan daerah. Hal ini sebagaimana
dikatakan oleh Boedi Soesetyo yaitu:
Bahwa alasan mengadakan pemerintahan daerah adalah semata-matauntuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Hal yang dianggapdoelmatig untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannyadiserhakan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat diurus oleh pemerintahpusat tetap diurus oleh pemerintah pusat yang bersangkutan. Dengandemikian, maka persoalan desentralisasi adalah persoalan teknik belakayaitu teknik pemerintahan yang ditujukan untuk mencapai hasil yangsebaik-baiknya.” 4
Pemerintahan lokal/daerah yang kita kenal sekarang berasal dan
perkembangan praktik pemerintahan di Eropa pada abad ke 11 dan 12. Satuan-
satuan itu wilayah di tingkat dasar yang secara alamiah muncul membentuk suatu
lembaga pemerintahan. Awalnya satuan-satuan wilayah tersebut merupakan suatu
komunitas swakelola dari sekelompok penduduk. Satuan-satuan wilayah tersebut
diberi nama municipal (Kota), county (Kabupaten), commune/gementee (desa).
Fenomena tersebut mirip dengan satuan komunitas asli penduduk Indonesia yang
disebut dengan desa (Jawa), nagari (Sumatera Barat), huta (Sumatera Utara),
4Boedi Soesetyo., dalam Liang Gie., Pertumbuhan Pemerintah Daerah Di Negara RepublikIndonesia, Jidil III, Gunung Agung, Jakarta, 1989, hal. 38.
9
marga (Sumatera Selatan), gampong (Aceh), kampung (Kalimantan Timur), dan
lain-lain. Satuan komunitas tersebut merupakan entitas kolektif yang didasarkan
pada hubungan saling mengenal dan saling membantu dalam ikatan genealogis
maupun teritorial. Satuan komunitas ini membentuk kesatuan masyarakat hukum
yang pada asalnya bersifat komunal.5
Satuan komunitas tersebut pada mulanya terbentuk atas kebutuhan
anggotanya sendiri. Untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan
hidupnya mereka membuat lembaga yang diperlukan. Lembaga yang dibentuk
mencakup lembaga politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan-keamanan.
Dengan demikian, lembaga yang terbentuk sangat beragam, tergantung pada pola-
model tertentu berdasarkan adat-istiadat komunitas yang bersangkutan.
Perkembangan berikutnya satuan-satuan komunitas tersebut dimasukkan ke
dalam sistem administrasi negara dan suatu negara yang berdaulat. Untuk
kepentingan administrasi, satuan-satuan komunitas tersebut lalu ditentukan
kategori-kategorinya, batas-batas geografisnya, kewenangannya, dan bentuk
kelembagaannya. Melalui keputusan politik, satuan komunitas tersebut lalu
dibentuk menjadi unit organisasi formal dalam sistem administrasi negara pada
tingkat lokal. Sesuai dengan kepentingan politik negara yang bersangkutan,
organisasi pemerintahan lokal dipilah menjadi dua: satuan organisasi perantara
dan satuan organisasi dasar. Misal di Perancis, satuan organisasi perantara adalah
departement dan satuan dasarnya adalah commune. Di Indonesia, satuan
5 Hanif Nurcholis, Op cit., hal. 1
10
organisasi perantara adalah provinsi, sedangkan satuan organisasi dasarnya adalah
Kota, Kabupaten, dan desa.
Menurut Stoker dalam Hanif Nurcholis, munculnya pemerintahan daerah
modern berkaitan erat dengan fenomena industrialisasi yang melanda Inggris pada
pertengahan abad ke-18. Industrialisasi menyebabkan perpindahan penduduk dari
desa ke Kota secara besar-besaran. Urbanisasi tersebut mengakibatkan
berubahnya corak wilayah. Muncul wilayah-wilayah baru terutama di Kota-Kota
dan pinggiran Kota yang sangat padat dengan ciri khas perKotaan. Kondisi
tersebut memunculkan masalah baru di bidang sosial, politik, dan hukum. Oleh
karena itu, untuk merespons hal tersebut perlu pengaturan kembali sistem
kemasyarakatan yang baru tumbuh tersebut.6
Merespons kondisi tersebut, semula dibentuk badan-badan ad hoc untuk
menangani suatu masalah yang masih dikendalikan oleh pemerintah pusat.
Perkembangan berikutnya, di dalam suatu satuan administrasi lokal dibentuk
Dewan Kota yang dipilih oleh penduduk setempat. Dewan Kota tersebut diberi
wewenang untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri
Konsep Local government berasal dari Barat untuk itu, konsep ini harus
dipahami sebagaimana orang Barat memahaminya. Bhenyamin Hoessein
menjelaskan bahwa Local government dapat mengandung tiga arti. Pertama,
berarti pemerintah lokal. Kedua, berarti pemerintahan lokal yang dilakukan oleh
pemerintah lokal. Ketiga, berarti, daerah otonom.7
6 Ibid., hal. 27 Bhenjamin Hoessein, Sentralissi dan Desentralisasi: Masalah Prospek dalam Menelaah
Politik Orde Baru, Yayasan Insan Politika, Jakarta, 1995, hal.3.
11
Local government dalam arti pertama menunjuk pada lembaga/ organnya.
Maksudnya Local government adalah organ/badan/ organisasi pemerintah di
tingkat daerah atau wadah yang menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di
daerah. Arti istilah Local government sering dipertukarkan dengan istilah local
authority (UN:1961) . Baik Local government maupun local authority, keduanya
menunjuk pada council dan major (dewan dan kepala daerah) yang rekrutmen
pejabatnya atas dasar pemilihan. Dalam konteks Indonesia Local government
merujuk pada kepala daerah dan DPRD yang masing-masing pengisiannya
dilakukan dengan cara dipilih, bukan ditunjuk
Local government dalam arti kedua menunjuk pada fungsi/ kegiatannya.
Dalam arti ini Local government sama dengan pemerintahan daerah. Dalam
konteks Indonesia pemerintah daerah dibedakan dengan istilah pemerintahan
daerah. Pemerintah daerah adalah badan atau organisasi yang lebih merupakan
bentuk pasifnya, sedangkan pemerintahan daerah merupakan bentuk aktifnya.
Local government dalam pengertian organ maupun fungsi tidak sama
dengan pemerintah pusat yang mencakup fungsi legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Local government hampir tidak terdapat cabang dan fungsi judikatif.
Hal ini terkait dengan materi pelimpahan yang diterima oleh pemerintah lokal.
Materi pelimpahan wewenang kepada pemerintah lokal hanyalah kewenangan
pemerintahan. Kewenangan legislasi dan judikasi tidak diserahkan kepada
pemerintah lokal. Kewenangan legislasi tetap dipegang oleh badan legislatif
(MPR, DPR, dan BPD) di pusat sedangkan kewenangan judikasi tetap dipegang
oleh badan peradilan (Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, Peradilan Negeri,
12
dan lain-lain). Kalau toh di daerah terdapat badan peradilan seperti Pengadilan
Tinggi di provinsi dan Pengadilan Negeri di Kabupaten/ Kota masing-masing
bukan merupakan bagian dan pemerintah lokal. Badan-badan peradilan tersebut
adalah badan yang independen dan otonom di bawah badan peradilan pusat.8
Istilah legistalif dan eksekutif juga tidka lazim digunakan pada Local
government. Istilah yang lazim digunakan pada Local government adalah fungsi
pembentukan kebijakan (policy making function) dan fungsi pelaksanaan
kebijakan (policy executing function). Fungsi pembentukan kebijakan dilakukan
oleh pejabat yang dipilih melalui pemilu, sedangkan fungsi pelaksanaan kebijakan
dilakukan oleh pejabat yang diangkat/birokrat lokal.9
Local government dalam pengertian ketiga yaitu sebagai daerah otonom
dapat disimak dalam definisi yang diberikan oleh The United Nations of Public
Administration: yaitu subdivisi politik nasional yang diatur oleh hukum dan
secara substansial mempunyai kontrol atas urusan-urusan lokal, termasuk
kekuasaan untuk memungut pajak atau memecat pegawai untuk tujuan tertentu.
Badan pemerintah ini secara keseluruhan dipilih atau ditunjuk secara lokal.10
Pengertian Local government dalam hal ini memiliki otonomi (lokal), dalam
arti self government. Yaitu mempunyai kewenangan mengatur (rules making =
regelling) dan mengurus (rules application = bestuur) kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri. Istilah administrasi publik masing-masing
wewenang tersebut lazim disebut wewenang membentuk kebijakan (policy
making) dan wewenang melaksanakan kebijakan (policy executing). Mengatur
8 Hanif Nurcholis, Op cit., hal. 259 Bhenjamin Hoessein, Op cit., hal. 10.10 Ibid., hal. 26
13
merupakan perbuatan menciptakan norma hukum yang berlaku umum. Dalam
konteks otonomi daerah, norma hukum tertuang dalam Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah yang bersifat pengaturan. Sedangkan mengurus
merupakan perbuatan menerapkan norma hukum yang berlaku umum pada situasi
konkrit dan individual (beschikking) atau perbuatan material berupa pelayanan
dan pembangunan obyek tertentu.11
Harris menjelaskan bahwa pemerintahan daerah (local self-government)
adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh badan-badan daerah yang dipilih
secara bebas dengan tetap mengakui supremasi pemerintahan nasional.
Pemerintahan ini diberi kekuasaan, diskresi (kebebasan mengambil kebijakan),
dan tanggung jawab tanpa dikontrol oleh kekuasaan yang lebih tinggi.12
De Guzman dan Taples dalam Hanif Nurcholis, menyebutkan unsur-unsur
pemerintahan daerah yaitu:
1. Pemerintahan daerah adalah subdivisi politik dan kedaulatan bangsadan negara;
2. Pemerintahan daerah diatur oleh hukum;3. Pemerintahan daerah mempunyai badan pemerintahan yang dipilih
oleh penduduk setempat;4. Pemerintahan daerah menyelenggarakan kegiatan berdasarkan
peraturan perundangan;5. Pemerintahan daerah memberikan pelayanan dalam wilayah
jurisdiksinya.13
Merujuk pada uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah
berhubungan dengan pemerintahan daerah otonom (Self Local government) .
Pemerintahan daerah otonom adalah pemerintahan daerah yang badan
11Ibid.12 Ibid., hal. 2713 Ibid.
14
pemerintahannya dipilih oleh penduduk setempat dan memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus urusannya sendiri berdasarkan peraturan perundangan
dan tetap megnakui supremsi dan kedaulatan nasional. Oleh karena itu, hubungan
pemerintah daerah satu dengan pemerintah daerah lainnya tidak bersifat hirarkis
tapi sebagai sesama badan publik. Demikian pula hubungan antara pemerintah
daerah dengan pemerintah pusat: hubungan sesama organisasi publik. Akan tetapi,
harus diingat bahwa sekalipun hubungan antara pemerintah daerah dengan
pemerintah pusat merupakan hubungan antar organisasi, namun keberadaannya
merupakan sub-ordinat dan dependent terhadap pemerintah pusat.14
Pemerintah daerah merupakan sub sistem dari pemerintah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Oleh karena itu, segala tujuan dan cita-cita yang diamanatkan
oleh pembukaan UUD 1945 adalah juga merupakan cita-cita dan tujuan
pemerintah daerah yang harus dicapai. Dengan dilaksanakannya asas
desentralisasi, pemerintah daerah menjadi pemegang kendali bagi pelaksanaan
pemerintah di daerah.
Pemerintah dalam penyelenggaraan ada beberapa prinsip daerah yang
menjadi pegangan oleh aparat pemerintahan dalam menggerakkan administrasi
pemerintahan atau manajemen pemerintahan. Prinsip-prinsip dasar tersebut
disebut dengan asas-asas pemerintahan. Sentralisasi, dekonsentrasi, dan
desentralisasi adalah konsep-konsep yang berhubungan dengan pengambilan
keputusan dalam organisasi termasuk dalam organisasi Negara.15 Asas-asas
kedaerahan adalah prinsip-prinsip dasar dalam pendelegasian wewenang dan
14 Ibid., hal. 2815 Ibid., hal. 3.
15
pelaksanaan tugas sesuai dengan sumber wewenang tersebut. Asas tersebut ada
tiga jenis, yaitu :
1. Desentralisasi.
2. Dekonsentrasi.
3. Medebewind.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada
daerah dalam kerangka sistem kenegaraan. Dalam Negara kesatuan seperti,
penyerahan wewenang dari pemerintah diserahkan kepada daerah otonom. Daerah
otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah
tertentu serta berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
Negara kesatuan (Pasal 1 angka 6 dan 7 UU No.32 Tahun 2004).
Adanya pemerintahan daerah dimulai dari kebijakan desentralisasi.
Desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu De yang berarti lepas dan Centrum
yang berarti pusat. Decentrum berarti melepas dari pusat. Dengan demikian,
desentralisasi bersarti melepas atau menjauh dari pemusatan. Desentralisasi tidak
putus sama sekali dengan pusat tapi hanya menjauh dari pusat.
Organisasi yang besar dan kompleks seperti Negara Indonesia tidak akan
efisien jika semua kewenangan politik dan administrasi diletakkan pada puncak
hirearki organisasi / pemerintah pusat, karena pemerintah pusat akan menanggung
beban yang berat. Juga tidak cukup hanya dilimpahkan secara dekonsentrasi
kepada pejabatnya yang berada di wilayah Negara. Agar kewenangan tersebut
dapat diimplementasikan secara efisien dan akuntabel, maka sebagian
16
kewenangan poltik dan administrasi pada organisasi yang lebih rendah disebut
desentralisasi.
Karena jenjang hierarki yang lebih rendah (pemerintah daerah) tersebut
diserahi wewenang penuh, baik politik maupun administrasi, maka pada jenjang
organisasi yang diberi penyerahan wewenang tersebut timbul otonomi. Otononi
artinya kebebasan masyarakat yang tinggal di daerah yang bersangkutan untuk
mengatur dsan mengurus kepentingannya yang bersifat lokal, bukan yang bersifat
nasional. Karena itu , desentralisasi menimbulkan otonomi daerah, yaitu
kebebasan masyarakat yang tinggal di daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingannya yang bersifat lokal. Jadi, otonomi daerah adalah
konsekuensi logis penerapan asas desentralisasi pada pemerintahan daerah.
Henry Maddick menjelaskan, desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan
secara hukum untuk menangani bidang-bidang / fungsi-fungsi tertentu kepada
daerah otonom.16 Rodinelli seperti dikutip oleh Hanif Nurcholis mengatakan
bahwa :
Desentralisasi adalah penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan,
dan kewenanan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi
wilayah, satuan administrasi daerah, organisasi semi otonom, pemrintah
daerah, atau organisasi non pemerintah / lembaga swadaya masyarakat. 17
Menurut smith, desentalisasi mempunyai cirri-cirri sebagai berikut :
1. Penyerahan wewenang untuk melaksanakan fungsi pemerintahantertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.
2. Fungsi yang diserahkan dapat dirinci, atau merupakan fungsi yang
16 Ibid., hal.1017 Ibid., hal. 11
17
tersisa (residual function).3. Penerima wewenang adalah daerah otonom4. Penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan
melaksanakan kebijakan,wewenang mengatur dan mengurus (regelingen bestuur) kepentingan yang bersifat lokal.
5. Wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan normahukum yang berlaku umum dan bersifat abstrak.
6. Wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan normahukum yang bersifat individual dan konkrit (beschikking, acteadministratif,verwaltungsakt)
7. Keberadaan daerah otonom adalah di luar hirearki organisasipemerintah pusat.
8. Menunjukkan pola hubungan antar organisasi.9. Menciptakan political veriety dan diversity of structur dalam sistem
politik.18
Bhenyamin Hoessein menjelaskan dalam pidato pengukuhan Doktornya,
dalam rangka desentralisasi, daerah otonom berada di luar hirearki organisasi
pemerintah pusat. Sedangkan dalam rangka dekonsentrasi, wilayah administratif
(filed administration) berada dalam hirearki organisasi pemerintah pusat.19
Desentralisasi menunujukkan model hubungan kekuasaan antar oganisasi,
sedangkan dekonsentrasi menunjukkan model hubungan kekuasaan intra
oganisasi.
J. Riwu Kaho, mengatakan Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan
yang didesentralisasikan.20 Alasan diterapkannya asas desentralisasi adalah
pelaksanaan asas desentralisasi akan membawa efektifitas dalam pemeintahan,
sebab wilayah Negara itu pada umumnya terdiri pada pelbagai satuan daerah yang
masing-masing memilikki sifat khusus tersendiri yang disebabkan oleh faktor-
faktor geografis (keadaan tanah, iklim, flora, fauna, adat-istiadat, kehidupan
18 Ibid., hal.1519 Ibid.20 J. Riwu Kaho, “Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia”. Rajawali Pers,
Jakarta, 1997, hal. 5.
18
ekonomi, bahasa, tingkat pendidikan / pengajaran, dan sebagainya).21
Pemerintahan dapat efektif kalau sesuai dan cocok dengan keadaan riil dalam
Negara.22 Sehubungan dengan alasan penerapan asas desentralisasi tersebut,
beberapa pakar memberikan pendapatnya, seperti The Liang Gie yang dikutip
oleh Hanif Nurcholis, yang menjelaskan dianutnya desentralisasi adalah :
1. Desentralisasi dapat mencegah penumpukan kekuasaan padapemerintah pusat yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
2. Desentralisasi dapat dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, yaituuntuk ikut menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatihdiri dalam pemerintahan dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
3. Dilihat dari sudut teknik organisatoris, desentalisasi mampumenciptakan pemerintahan yang efisien. Hal-hal yang lebih utamauntuk diurus oleh pemerintah setempatnya pengurusannya diserahkankepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat ditangani pusat tetap diurusoleh pemerintah pusat.
4. Dilihat dari sudut cultural, desentralisasi perlu diadakan supayaperhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan pada kekhususan daerah,seperti keadaan geografi, penduduk, kegiatan ekonomi, watakkebudayaan, atau latar belakang sejarahnya.
5. Dilihat dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasidiperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secaralangsung membantu pembangunan tersebut.23
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
daerah sebagai wakil pemerintah dan / atau perangkat pusat di daerah. Dalam
Negara kesatuan seperti Indonesia, pelimpahan wewenang tersebut adalah dari
pemerintah pusat kepada Gubernur sebagi wakil pemerintah dan / atau perangkat
pusat di daerah disebut juga dengan instansi vertical, yaitu perangkat departemen
dan / atau lembaga pemerintah non departemen di daerah (Pasal 1 angka 8 UU
No.32 Tahun 2004). Dekonsentrasi sebenarnya sentralisasi juga tapi lebih halus
dari pada sentralisasi. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang administrasi
21 Ibid, hal. 10.22 Ibid., hal. 1123 Hanif Nurcholis, Op.cit, hal.43
19
dari pemeintah pusat kepada pejabatnya yang berada pada wilayah Negara di luar
kantor pusatnya. Dalam konteks ini yang dilimpahkan adalah wewenang
administrasi bukan wewenang politik tetap dipegang oleh pemerintah pusat.
Pejabat pemerintah pusat yang berada di wilayah Negara adalah pejabat
yang diangkat oleh pemerintah pusat, dan ditempatkan pada wilayah-wilayah
tertentu sebagai wilayah kerjanya. Rondinelli menjelaskan bahwa dekonsentrasi
adalah penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung jawab administrasi
kepada cabang departemen atau badan pemerintah yang lebih rendah.24 Harold F.
Aldefer menjelaskan, pelimpahan wewenang dalam bentuk dekonsentrasi semata-
mata menyusun unit administrasi baik tunggal ataupun dalam hiearki, baik itu
terpisah ataupun tergabung, dengan perintah mengenai apa yang seharusnya
mereka kerjakan atau bagaimana mengerjakannya.25 Dalam dekonsentrasi tidak
ada kebijakan yang dibuat ditingkat lokal serta tidak ada keputusan fundamental
yang diambil. Badan-badan pusat memiliki semua kekuasaan dalam dirinya
sementara pejabat lokal merupakan bawahan sepenuh-penuhnya dan mereka
hanya menjalankan perintah. Menurut Smith dekonsentrasi mempunyai cirri-cirri
sebagai berikut :
1. Pelimpahan wewenang untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentuyang dirinci dari pemrintah pusat kepada pejabat pemerintah pusatyang ada di daerah.
2. Penerima wewenang adalah pejabat pemerintah pusat yang ada didaerah.
3. Tidak mencakup kewenangan untuk menetapkan kebijakan danwewenang untuk mengatur.
4. Tidak menciptakan otonomi daerah dan daerah otonom tapimenciptakan wilayah administrasi.
24 Ibid, hal.1925 Ibid.
20
5. Keberadaan field administration berada dalam hiearki organisasipemerintah pusat.
6. Menunjukkan pola hubungan kekuasaan intra organisasi.7. Menciptakan keseragaman dalam struktur politik.26
Pelimpahan dalam dekonsentrasi hanya kebijakan administrasi
(impelementasi kebijakan politik) sedangkan kebijakan politiknya tetap berada
pada pemerintah pusat. Oleh karena itu, pejabat yang diserahi pelimpahan
wewenang tersebut adalah pejabat yang mewakili pemerintah pusat, bukan dipilih
oleh rakyat yang dilayani. Karena itu, pejabat tersebut bertanggung jawab kepada
pejabat yang mengangkatnya yaitu pejabat pusat, bukan kepada rakyat yang
dilayani.
Medebewind (pembantuan) adalah penugaan pemerintah pusat kepada
daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang
disertai pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumer daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan (Pasal 1 angka 9
UU No.32 Tahun 2004).
Menurut Bagir Manan tugas pembantuan diberikan oleh pemerintah pusat
atau pemerintah yang lebih atas kepada pemerintah daerah di bawahnya
berdasarkan undang-undang.27 Kusumah Atmadja mengartikan medebewind
sebagai pemberian kemungkinan dari pemrintah pusat / pemerintah daerah yang
lebih atas untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah / pemerintahan yang
tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga
pemerintah / daerah yang tingkatannya lebih atas.28 Dalam menjalankan
26 Ibid, hal. 20.27Ibid, hal. 2128 Ibid, hal. 22.
21
medebewind tersebut urusan pusat / daerah yang lebih atas, tidak beralih menjadi
urusan daerah yang dimintai bantuan. Hanya saja cara daerah otonom
menyelenggarakan bantuan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada daerah itu
sendiri. Daerah otonom ini tidak berada di bawah perintah, juga tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban oleh pemerintah pusat / daerah yang lebih tinggi
yang memberi tugas. Karena hakekatnya urusan yang diperbantukan pada daerah
otonom tersebut adalah urusan pusat maka dalam sistem medebewind
anggarannya berasal dari APBN. Anggaran pusat ini lalu ditransfer langsung ke
kas daerah. Anggaran ini masuk ke rekening khusus yang pertanggunjawabannya
terpisah dari APBD.
Bagir Manan juga mengatakan :
Pada dasarnya, tugas pembantuan adalah tugas melaksanakanperaturan perundang - undangan lebih tinggi (de uitvoering van hogereregelingen). Daerah terikat melaksanakan peraturan perundang-undangantermasuk yang diperintahkan atau diminta dalamr rangka tugaspembantuan.29
29 Ibid.,
22
B. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah, dan DPRD.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan asas
desentralisasi, tugas pembantuan, serta dekonsentrasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan menggunakan asas desentralisasi dan tugas
pembantuan.
Pemerintah daerah dalam penyelenggaraannya berpedoman pada asas
Umum penyelenggaraan Negara, yang di dalam Hukum Administrasi Negara
dikenal dengan “Asas-asas umum pemerintah yang layak”. Di negeri Belanda,
asas-asas umum pemerintahan yang layak ini sudah diterima sebagai norma
hukum tidak tertulis, yang harus ditaati oleh penyelenggara pemerintahan,
terutama Pejabat Tata Usaha Negara, dalam membuat keputusan Tata Usaha
Negara.30 Sebelumnya dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia,
asas-asas ini sudah mulai diterima, walaupun secara formal belum diakui sebagai
sesuatu norma hukum tidak tertulis yang harus ditaati oleh penyelenggara
pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Secara yuridis formal, hal
semacam ini baru diakui di Negara kita, dengan diundangkannya UU No. 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih, bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN), ditambah asas efisiensi dan asas efektivitas.
Kemudian dalam Pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa asas-asas
tersebut dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
30 Ibid.
23
Asas dimaksud disebut dengan “Asas Umum Penyelenggara Negara”, yang dirinci
antara lain:
1. Asas kepastian hukum;2. Asas tertib penyelenggaraan Negara;3. Asas kepentingan umum;4. Asas keterbukaan;5. Asas proporsionalitas;6. Asas profesionalitas;7. Asas akuntabilitas;8. Asas efisiensi;9. Asas efektivitas. Hal ini sekarang lebih dikenal dengan sebutan “good
governance” (tata pemerintahan yang baik).31
Menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan, terutama dalam
penyelenggaraan otonomi, daerah dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu.
Hak-hak daerah tersebut antara lain :
1. Mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahannya;2. Memilih pemimpin daerah;3. Mengelola aparatur daerah;4. Mengelola kekayaan daerah;5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah;6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya yang berada di daerah;7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan yang lain yang sah; dan8. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.32
Di samping hak-hak tersebut di atas, daerah juga dibebani beberapa
kewajiban, yaitu:
1. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
3. Mengembangkan kehidupan demokrasi;
31 Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah SecaraLangsung, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 26
32 Ibid., hal. 27
24
4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
8. Mengembangkan sistem jaminan sosial;
9. Menyusunan perancanaan dan tata ruang daerah;
10. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11. Melestarikan lingkungan hidup;
12. Mengelola administrasi kependudukan;
13. Melestarikan nilai sosial budaya;
14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai
dengan kewenangannya; dan
15. Kewajiban lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Hak dan kewajiban daerah tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana kerja
pemerintah daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja dan
pembiyaan daerah, yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah.
Sesuai dengan asas-asas yang telah dikemukakan di atas, pengelolaan keuangan
daerah dilakukan secara efisien , efektif, transparan, bertanggung jawab, tertib,
adil, patuh dan taat pada peraturan perundang-undangan.33
33 Ibid., hal. 30
25
C. Struktur Pemerintahan Darah
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan bahwa, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi lagi atas daerah Kabupaten dan Kota,
yang masing-masing sebagai daerah otonom. Sebagai daerah otonom, daerah
provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan
fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintah
Daerah baik di daerah provinsi maupun Kabupaten/Kota, yang merupakan
eksekutif di daerah, sedangkan DPRD baik di daerah provinsi maupun daerah
Kabupaten/Kota merupakan lembaga legislatif daerah. Berdasarkan pembagan
yang didasarkan atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, maka pembagian struktur pemerintahan daerah dibagi atas Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
1. Pemerintah Provinsi
Indonesia merupakan negara yang luas. Oleh karena itu, dibagi ke
dalam beberapa provinsi. Semenjak reformasi, seluruh provinsi di Indonesia
memiliki hak otonomi. Hak itu disebut juga otonomi daerah. Otonomi
daerah adalah kewenangan daerah mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat. Kewenangan tersebut berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pelaksanaannya disesuaikan dengan Undang Undang. Jumlah provinsi di
Indonesia sekarang sekitar 33 provinsi. Sebelumnya, hanya ada sekitar 27
provinsi. Jumlah ini karena pemekaran provinsi di wilayah Negara Kesatuan
26
Republik Indonesia. Dalam pemerintahan provinsi terdapat dua lembaga
pemerintahan, yaitu kepala daerah (Gubernur) dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPRD).
a. Gubernur
Pemerintah daerah di wilayah provinsi dipimpin oleh seorang
Gubernur dan Wakil Gubernur. Mereka dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Pemilihan
kepala daerah (Pilkada) dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil. Gubernur bertanggung jawab kepada presiden,
melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Dalam menjalankan tugas
dan kewenangan sebagai kepala daerah, Gubernur bertanggung jawab
langsung kepada DPRD Provinsi. Gubernur memiliki tugas dan
wewenang sebagai berikut.
1) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraanpemerintahan daerah di tingkat kabupaten/ Kota.
2) Penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah provinsidan kabupaten/Kota.
3) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugaspembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/Kota.
b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga perwakilan
rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Anggota DPRD merupakan perwakilan dari
berbagai partai politik yang dipilih melalui pemilihan umum. Anggota
DPRD provinsi sekurang-kurangnya berjumlah 35 orang dan paling
banyak berjumlah 100 orang. DPRD memiliki fungsi, di antaranya:
27
1) Legislasi (menyusun peraturan daerah);
2) Anggaran;
3) Pengawasan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi,
antara lain sebagai berikut:
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
c. Pengendalian lingkungan hidup;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan.
Susunan struktur pemerintahan Provinsi adalah sebagai berikut :
2. Pemerintah Kabupaten/ Kota
Kabupaten/Kota merupakan gabungan dari beberapa Kecamatan yang
ada di sekitarnya. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dipimpin oleh seorang
28
Bupati. Pemerintah Kota (Pemkot) dipimpin oleh seorang Walikota.
Kabupaten/Kota merupakan daerah bagian langsung dari provinsi.
Kabupaten/ Kota dipimpin oleh Bupati/Walikota yang dibantu oleh seorang
Wakil Bupati/Wakil Walikota dan perangkat daerah lainnya. Dalam
menyelenggarakan pemerintahan, setiap kabupaten/Kota dibekali dengan
hak dan kewajiban tertentu. Kewenangan daerah tersebut antara lain:
a. Mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahannya.
b. Memilih pemimpin daerah.
c. Mengelola pegawai daerah.
d. Mendapatkan sumber - sumber pendapatan lain yang sah.
e. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan
perundang - undangan.
Pada dasarnya selain memiliki hak terdapat pula kewajiban yang harus
dijalankan. Di samping hak - hak tersebut, daerah juga dibebani beberapa
kewajiban yang harus dilakukan, antara lain sebagai berikut.:
a. Menyediakan sarana sosial dan sarana umum yang layak.
b. Mengembangkan sistem jaminan sosial.
c. Menyusun perencanaan dan tata ruang pada daerah yang
bersangkutan.
d. Melestarikan lingkungan hidup.
e. Membentuk dan menerapkan berbagai peraturan perundang -
undangan yang sesuai dengan kewenangannya.
29
Hak dan kewajiban daerah diwujudkan dalam bentuk rencana kerja
pemerintahan daerah. Rencana kerja tersebut dijabarkan dalam bentuk
pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah (RAPBD). Kemudian dikelola
dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Pemerintahan kabupaten/Kota
memiliki kepala daerah dan wakil kepala daerah.
a. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan wakil kepala
daerah. Kepala daerah dibantu oleh seorang wakil kepala daerah.
Kepala daerah provinsi disebut Gubernur, dan wakilnya disebut Wakil
Gubernur. Sementara itu, kepala daerah kabupaten/Kota disebut
Bupati/Walikota dan wakilnya disebut Wakil Bupati/Wakil Walikota.
Dalam menjalankan tugasnya, wakil kepala daerah bertanggung jawab
kepada kepala daerah. Wakil kepala daerah dapat menggantikan
kepala daerah apabila kepala daerah tidak dapat menjalankan tugasnya
selama enam bulan berturut - turut.
b. Perangkat Daerah
Pemerintahan daerah memiliki perangkat daerah. Adapun
perangkat daerah kabupaten/ Kota adalah sebagai berikut.
1) Sekretariat Daerah
Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretaris daerah.
Sekretaris mempunyai tugas dan kewajiban membantu kepala
daerah dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas
daerah dan lembaga teknis daerah. Dalam melaksanakan tugas
30
dan kewajibannya, sekretaris daerah bertanggung jawab kepada
kepala daerah.
2) Sekretariat DPRD
Sekretariat DPRD dipimpin oleh seorang sekretaris
DPRD. Sekretaris DPRD diangkat dan diberhentikan oleh
Gubernur untuk provinsi dan Bupati/ wali Kota untuk
kabupaten/Kota. Tugas sekretaris DPRD adalah sebagai berikut.
a) Menyelenggarakan administrasi kesekretariatan
DPRD.
b) Menyelenggarakan administrasi keuangan DPRD.
c) Menyediakan dan mengoordinasikan tenaga ahli
yang diperlukan oleh DPRD dalam melak sanakan
fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan
daerah.
d) Mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD.
3) Dinas Daerah
Dinas daerah merupakan unsur pelaksana pemerintahan
daerah. Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas yang diangkat
dan diberhentikan kepala daerah, yang memenuhi syarat atas
usul sekretaris daerah. Kepala dinas dalam melaksanakan
tugasnya bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui
sekretaris daerah. Misalnya, dinas pekerjaan umum yang
bertugas mengurus dan membangun jalan raya atau jembatan.
31
4) Lembaga Teknis Daerah
Lembaga ini merupakan unsur pendukung tugas kepala
daerah. Tugasnya berperan dalam penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan daerah yang bersifat khusus. Lembaga teknis daerah
berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah.
Lembaga - lembaga tersebut dipimpin kepala badan, kepala
kantor, dan direktur rumah sakit umum. Mereka diangkat oleh
kepala daerah yang memenuhi syarat atas usul sekretaris daerah.
5) Kecamatan
Kecamatan merupakan bagian dari kabupaten/ Kota.
Kecamatan terdiri atas beberapa kelurahan. Kecamatan dipimpin
oleh seorang camat. Camat bertanggung jawab kepada
Bupati/Walikota.
6) Kelurahan
Kelurahan adalah daerah pemerintahan yang dibentuk di
wilayah Kecamatan yang ada di perKotaan dengan peraturan
daerah yang berpedoman pada peraturan pemerintah. Kelurahan
dipimpin oleh seorang lurah yang memiliki tugas sebagai
berikut:
a) Melaksanakan kegiatan pemerintahan di tingkat
kelurahan.
b) Memberdayakan masyarakat.
c) Memberi pelayanan kepada masyarakat.
32
d) Menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban
umum.
e) Menegakkan peraturan daerah.
7) Satuan Polisi Pamong Praja
Satuan polisi pamong praja merupakan perangkat
pemerintahan daerah dalam me melihara ketenteraman dan
ketertiban umum serta penegak peraturan daerah. Polisi Pamong
Praja dibentuk agar penyelenggaraan pemerintah di daerah
berjalan dengan baik.
Struktur organisasi Pemerintah Kabupaten/ Kota adalah sebagai
berikut :
33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian yuridis normatif yaitu
penelitian yang menggunakan legis positivis, yang menyatakan bahwa hukum
identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga
atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsepsi ini memandang hukum sebagai
suatu sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan
masyarakat.34 Metode penelitian tersebut digunakan karena untuk mengetahui
syarat dan mekanisme pemekaran Kecamatan berdasarkan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan untuk mengetahui
implikasi pemekaran Kecamatan terhadap administrasi dan status pemerintahan
daerah menurut Undang-undang yang berlaku.
B. Spesifikasi Penelitian
Dalam usaha memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun penulisan
hukum, maka akan dipergunakan spesifikasi penelitian deskriptif. Spesifikasi
penelitian ini adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan
keadaan obyek yang akan diteliti.35 Dalam hal ini penulis menggambarkan syarat
dan mekanisme pemekaran Kecamatan berdasarkan Undang-undang Nomor 32
34 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,2005, hal.37.
35Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2006, hal. 35.
34
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan untuk mengetahui implikasi
pemekaran Kecamatan terhadap administrasi dan status pemerintahan daerah
menurut Undang-undang yang berlaku.
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
1. Jenis Bahan Hukum
Data yang diperlukan untuk dipakai dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Bahan Hukum di bidang hukum dipandang dari sudut mengikat
dapat dibedakan :
1) Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat
Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar, peraturan
perundang-undangan, catatan resmi, lembar negara penjelasan,
risalah, putusan hakim dan yurisprudensi.36 Penelitian ini
menggunakan bahan hokum primer antara lain Undang-undang
Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999,Undang-
undang otonomi daerah tahun 1999, Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004, PP RI Nomor 129 Tahun 2000 dan PP Nomor 8
Tahun 2003.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya
dari kalangan hukum dalam bentuk buku-buku atau artikel.
36Ibid, hal. 113.
35
Bahan hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa
data primer tidak dapat menjelaskan realitas secara lengkap
sehingga diperlukan bahan hukum primer dan sekunder sebagai
data sekunder untuk melengkapi deskripsi suatu realitas.
D. Metode Pengambilan Bahan Hukum
Bahan Hukum diperoleh dengan melakukan inventarisasi peraturan
perundang-undangan, dokumen resmi, dan literatur yang kemudian dicatat
berdasarkan relevansinya dengan pokok permasalahan untuk kemudian dikaji
sebagai suatu kajian yang utuh.
E. Metode Penyajian Bahan Hukum
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara
sistematis. Sistematis disini maksudnya adalah keseluruhan Bahan Hukum
primer yang diperoleh akan dihubungkan Bahan Hukum yang didapat serta
dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan yang
diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
F. Analisis Bahan Hukum
Data dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menjabarkan dan
menginterpretasikan data yang berlandaskan pada teori-teori ilmu hukum
(Theoritical Interpretation) yang ada.37 Berdasarkan hasil pembahasan diambil
kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
37 Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, Jakarta,1983, hal.93.
36
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis maka didapatkan
hasil penelitian sebagai berikut :
1. Definisi Operasional berdasarkan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 diatur sebagai berikut ini.
a. Pembentukan Kecamatan adalah pemberian status pada wilayah
tertentu sebagai Kecamatan di Kabupaten/Kota.
b. Penghapusan Kecamatan adalah pencabutan status sebagai
Kecamatan di wilayah Kabupaten/Kota.
c. Penggabungan Kecamatan adalah penyatuan Kecamatan yang
dihapus kepada Kecamatan lain.
d. Camat atau sebutan lain adalah pemimpin dan koordinator
penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerja Kecamatan
yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan
kewenangan pemerintahan dari Bupari/Walikota untuk
menangani sebagian urusan otonomi daerah, dan
menyelenggarakan tugas umum pemerintahan.
37
2. Pembentukan Kecamatan
Pasal 126 ayat (1) Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah,berdasarakan pasal tersebut Kecamatan dibentuk di
wilayah kabupaten/kota dengan Perda berpedoman pada Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 dalam hal ini dapat dijelaskan :
a. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang
Kecamatan menyatakan bahwa, Pembentukan Kecamatan dapat
berupa :
a. pemekaran satu Kecamatan menjadi dua Kecamatan atau
lebih;
b. dan/atau penyatuan wilayah desa dan/atau kelurahan dari
beberapa Kecamatan.
b. Pasal 3 menyatakan bahwa, pembentukan Kecamatan harus
memenuhi syarat :
1) administratif
2) teknis, dan
3) fisik kewilayahan.
3. Syarat Administratif Pembentukan Kecamatan
Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008
Tentang Kecamatan, menyatakan bahwa, syarat administratif pembentukan
Kecamatan meliputi:
a. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima)
tahun;
38
b. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau
kelurahan yang akan dibentuk menjadi Kecamatan minimal 5
(lima) tahun;
c. Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain
untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain
untuk kelurahan di seluruh wilayah kecamata baik yang menjadi
calon cakupan wilayah Kecamatan baru maupun Kecamatan
induk tentang persetujuan pembentukan Kecamatan;
d. Keputusan Kepala Desa atau nama lain untuk desa dan
Keputusan Lurah atau nama lain untuk kelurahan di seluruh
wilayah Kecamatan baik yang akan menjadi cakupan wilayah
Kecamatan baru maupun Kecamatan induk tentang persetujuan
pembentukan Kecamatan;
e. Rekomendasi Gubernur.
4. Syarat Fisik Kewilayahan
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang
Kecamatan menyatakan bahwa, syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan
wilayah, lokasi calon ibuKota, sarana dan prasarana pemerintahan. Cakupan
wilayah sebuah Kecamatan untuk daerah Kabupaten paling sedikit terdiri
atas 10 (sepuluh) desa/kelurahan dan untuk daerah Kota paling sedikit
terdiri atas 5 (lima) desa/kelurahan. (Pasal 6 ayat 1). Lokasi calon ibuKota
memperhatikan aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi
39
dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial
budaya. (Pasal 6 ayat 2). Sarana dan prasarana pemerintahan meliputi
bangunan dan lahan untuk kantor camat yang dapat digunakan untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
5. Persyaratan Teknis Pembentukan Kecamatan
a. Persyaratan teknis meliputi :
1) Jumlah penduduk;
2) Luas wilayah;
3) Rentang kendali penyelenggaraan pelayanan
pemerintahan;
4) Aktivitas perekonomian;
5) Ketersediaan sarana dan prasarana. (Pasal 7 ayat 1
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang
Kecamatan).
b. Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai
berdasarkan hasil kajian yang dilakukan pemerintah Kabupaten
/Kota sesuai indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP ini. (Pasal 7
ayat 2).
c. Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk Kecamatan di
wilayah yang mencakup satu atau lebih pulau, yang
persyaratannya dikecualikan dari persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dengan pertimbangan untuk efektivitas
pelayanan dan pemberdayaan masyarakat di pulau-pulau
terpencil dan/atau terluar. (Pasal 8 ayat 1).
40
d. Pembentukan Kecamatan harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari Gubernur sebagai wakil Pemerintah. (Pasal 8
ayat 2).
e. Pemerintah dapat menugaskan kepada pemerintah Kabupaten/
Kota tertentu melalui Gubernur selaku wakil Pemerintah untuk
membentuk Kecamatan dengan mengecualikan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (Pasal 9 ayat 1).
f. Pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 9
ayat (1), atas pertimbangan kepentingan nasional dan
penyelenggaraan tugas umum pemerintahan. (Pasal 9 ayat 2).
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pembentukan
Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) paling
sedikit memuat :
a. Nama Kecamatan;
b. Nama ibuKota Kecamatan;
c. Batas wilayah Kecamatan, dan
d. Nama desa dan/atau kelurahan. (Pasal 10 ayat 1).
h. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri
peta Kecamatan dengan batas wilayahnya sesuai kaidah teknis
dan memuat titik koordinat. (Pasal 10 ayat 2).
i. Perubahan nama dan/atau pemindahan ibuKota Kecamatan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (Pasal
11).
41
j. Pasal 2 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2000
Tentang Pedoman Pembentukan Kecamatan menyatakan bahwa,
Pembentukan Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Daerah
dan memperhatikan kemampuan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Tata cara penilaian Pembentukan Kecamatan ditetapkan oleh
Bupati/Walikota.
k. Pasal 3 menyatakan bahwa, Pembentukan Kecamatan
sebagaimana dimaksud Pasal 2 harus memenuhi kriteria-kriteria
:
a. Jumlah penduduk;
b. Luas wilayah;
c. Jumlah Desa/Kelurahan.
l. Pasal 4 menyatakan bahwa, jumlah penduduk sebagaimana
dimaksud Pasal 3 huruf a terdiri dari :
a. Wilayah Jawa dan Bali minimal 10.000 jiwa;
b. wilayah Sumatera dan Sulawesi minimal 7.500 jiwa;
c. wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya minimal 5.000
jiwa.
m. Pasal 5 menyatakan bahwa, luas Wilayah Kecamatan
sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf b terdiri dari:
a. Wilayah Jawa Bali minimal 7,5 Km2;
b. Wilayah Sumatera dan Sulawesi minimal 10 Km2 ;
42
c. Wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya minimal 12,5
Km2 ;
n. Pasal 6 menyatakan bahwa, jumlah Desa/Kelurahan
sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf c Wilayah Jawa, Bali,
Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timar, Maluku dan Irian Jaya minimal 4
Desa/Kelurahan.
6. Syarat-syarat dan Indikator Pembentukan suatu Daerah Baru
Pembentukan suatu daerah baru tidak terlepas dari persyaratan dan
indikator yang harus dicapai, maka dari itu syarat dan indikator dalam Bab
III PP RI No 129 Tahun 2000 terdiri dari:
a. Kemampuan ekonomi hal ini merupakan cerminan hasil
kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu daerah
Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan.
b. Potensi daerah merupakan cerminan tersedianya sumberdaya
yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap
penerimaan daerah dan kesejahteraan msyarakat yang diukur
dari:
1) Sarana ekonomi
2) Sarana pendidikan
3) Sarana kesehatan
4) Sarana transportasi
43
5) Sarana pariwisata
c. Sosial budaya merupakan cerminan yang berkaitan dengan
struktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi sosial
budaya masyarakat yang dapat diukur dari tempat peribadatan
dan sarana olah raga.
d. Jumlah penduduk yaitu jumlah tertentu penduduk dalam suatu
daerah
e. Luas daerah yaitu nilai luas keseluruhan suatu daerah tertentu.
f. Pertimbangan lain bagi terselenggaranya otonomi daerah dengan
berpatok pada: kemanan/ketertiban, ketersediaan sarana
prasarana, rentang kendali dan lain-lain.
7. Penghapusan Dan Penggabungan Kecamatan
a. Kecamatan dihapus apabila :
1) jumlah penduduk berkurang 50% (lima puluh perseratus)
2) atau lebih dari penduduk yang ada, dan/atau
3) cakupan wilayah berkurang 50% (lima puluh perseratus)
4) atau lebih dari jumlah desa/kelurahan yang ada. (Pasal 12
ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008
Tentang Kecamatan).
b. Kajian penghapusan dan/atau penggabungan Kecamatan
dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dengan melibatkan
44
perguruan tinggi terdekat yang ada di Kabupaten/Kota atau
provinsi yang bersangkutan.
c. Penghapusan dan penggabungan Kecamatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. (Pasal 13).
8. Pemekaran Kecamatan di Indonesia
No NAMA
PROVINSI
Nama dan Jumlah Keterangan/ dasar
hukumKab Kota Kec Kel Ds
1 Aceh Aceh
Selatan
Kota
Bahagia
10 Pemekaran Kec Perda
No. 3/2010
Trumon
Tengah
10 Pemekaran Kec Perda
No. 3/2010
Aceh Besar Blang
Bintang
26 Pemekaran Kec
Qanun No. 3/2006
Pidie Trieng
Gadeng
Menjadi wil. Kab.
Pidie Jaya, UU No. 7
/ 2007
Keumala
Ulin
Perubahan nama Kec.
Titeue Keumala,
Perda No. 9/2007
Aceh Jaya Indra Jaya 14 Pemekaran Kec.
Perda No. 3/2011
Darul
Hikmah
19 Pemekaran Kec.
Perda No. 3/2011
Pasie Raya 14 Pemekaran Kec.
Perda No. 3/2011
Nagan Raya Tripa
Makmur
11 Pemekaran Kec Perda
No. 3/2011
Bener
Meriah
Bener
Kelipah
12 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2007
Mesidah 15 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2007
Gajah 10 Pemekaran Kec.
45
Putih Perda No. 5/2007
2 Sumatera
Utara
Tapanuli
Tengah
Sorkam 14 Perubahan nama Kec.
Sibolga, Perda No.
8/2003.
Pandan 1 Perubahan nama Kec.
Lumut, Perda No.
8/2003.
Tapanuli
Selatan
Angkola
Barat
11 Perubahan nama Kec.
Padang Sidempuan
Barat, Perda No.
13/2007
Angkola
Timur
19 Perubahan nama Kec.
Padang Sidempuan
Barat, Perda No.
13/2007
Angkola
Selatan
13 Perubahan nama Kec.
Siais, Perda No.
13/2007
3 Riau Kota Dumai Dumai
Kota
5 Pembentukan Kec.
Perda No. 8/2009
Dumai
Selatan
5 Pembentukan Kec.
Perda No. 8/2009
4 Jambi Sarolangun Palawan 11 Perubahan nama Kec.
Pelalawan Singkut,
Perda No. 5/2007
Tanjung
Jabung
Timur
Muara
Sabak
Timur
10 2 Perubahan nama Kec.
Muara Sabak, Perda
No.12/2004
Bungo Pasar
Muara
Bungo
1 Perubahan nama Kec.
Muaro Bungo, Perda
No. 9/2005
5 Sumatera
Selatan
Ogan
Komering
Ilir
Sungai
Menang
14 Perubahan nama Kec.
Pematang Panggang,
Perda No. 5/2005
Lahat Tanjung
Sakti Pumu
14 Perubahan nama Kec.
Tanjung Sakti, Perda
No. 10/2006
Musi Rawas STL Ulu
Terawas
1 12 Perubahan nama Kec.
BKL. Ulu Terawas,
Perda No. 20/2006
46
Musi Banyu
Asin
Tungkal
Jaya
16 Pemekaran Kec
Bayung Lencir Perda
No 12/2010
Lawang
Wetan
15 Pemekaran Kec
Bayung Lencir Perda
No 12/2010
Babat
Supat
15 Pemekaran Kec
Sungai Lilin Perda
No 12/2010
Banyu Asin Suak
Tapeh
11 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2011
Sembawa 11 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2011
KOTA
LUBUK
LINGGAU
Lubuk
Linggau
Timur I
8 Perubahan nama Kec.
Lubuk Linggau
Timur, Perda
No.18/2004, Perda
No.7/2005
Lubuk
Linggau
Barat I
11 Perubahan nama Kec.
Lubuk Linggau Barat,
Perda No.18/2004,
Perda
No.7/2005
Lubuk
Linggau
Selatan I
7 Perubahan nama Kec.
Lubuk Linggau
selatan, Perda
No.18/2004, Perda
No.7/2005
Lubuk
Linggau
Utara I
10 Perubahan nama Kec.
Lubuk Linggau
Utara, Perda
No.18/2004, Perda
No.7/2005
6 Bengkulu Mukomuko Kota
Mukomuko
3 6 Perub. nama Kec.
Mukomuko Utara,
Perda No. 15/2008
Kota
Bengkulu
Singaran
Pati
6 Pemekaran Kec.
Perda No. 3/2011
7 Bangka
Blitung
Belitung
Timur
Damar 5 pemekaran sebagian
Kec. Manggar &
47
Kelapa Kampit Perda
No. 3/2010
Simpang
Renggiang
4 Pemekaran sebagian
Kec. Gantung Perda
No. 3/2010
Simpang
Pesak
4 Pemekaran sebagian
Kec. Manggar &
Kelapa Kampit Perda
No. 3/2010
8 Jawa Barat Ciamis Sukamantri 5 Perubahan Nama
Kec. Panjalu Utara,
Perda No. 24/2004
Cirebon Talun 11 Perubahan nama Kec.
Cirebon Selatan,
Perda No.17/2006
Kedawung 8 Perubahan nama Kec.
Cirebon, Perda No.
8/2004
Gunung
Jati
13 Perubahan nama Kec.
Cirebon Utara, Perda
No. 17/2006
Bandung Kota
Bandung
Antapani 4 Perubahan nama Kec.
Cicadas, Perda No.
6/2006
Buahbatu 4 Perubahan nama Kec.
Margacinta, Perda
No. 6/2006
9 Nusa
Tenggara
Timur
Flores
Timur
Solor
Selatan
7 Pemekaran
Kecamatan Perda No.
8/2009
Sikka Palue
Timur
5 Perubahan nama Kec.
Maumere, Perda No.
3/2007
Ende Lepembusu
Kalisoke
10 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
Ngada Soa Ngada
Bawa
Menjadi wil. Kec.
Bajawa, Perda No
2/2004
Manggarai
Barat
Ndoso 10 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2011
48
Lembor
Selatan
10 Pemekaran Kec.
Perda No. 6/2011
Mbeliling 13 Pemekaran Kec.
Perda No. 7/2011
Kota
Kupang
Kota Raja 7 Pemekaran Kec.
Perda No. 3/2010
Kota Lama 10 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2010
10 Kalimantan
Tengah
Tualan
Hulu
11 Pemekaran
Kecamatan Perda No.
16/2010
Telaga
Antang
17 Pemekaran
Kecamatan Perda No.
16/2010
Seruyan Seruyan
Hilir Timur
4 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2008
Seruyan
Raya
4 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2008
Danau
Seluluk
4 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2008
Batu
Ampar
6 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2008
Suling
Tambun
8 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2008
Sembuluh
Raya
4 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2008
Natai
Kelampai
7 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2008
Sepan Biha 4 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2008
Seruyan
Hulu Utara
7 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2008
11 Kalimantan
Timur
Kota
Samarinda
Sambutan 7 Pemekaran Kec.
Perda No. 2/2010
Sungai
Pinang
5 Pemekaran Kec.
Perda No. 2/2010
Samarinda
Kota
5 Pemekaran Kec.
Perda No. 2/2010
49
Loa Jaman
Ilir
5 Pemekaran Kec.
Perda No. 2/2010
12 Sulawesi
Utara
Kepulauan
Talaud
Miangas 1 Perda No. 11/2006
(Kecamatan Khusus)
Kota Bitung Lembeh
Selatan
7 Perubahan nama dari
Kec. Bitung Selatan,
Perda No. 3/2007
Madidir 8 Perubahan nama dari
Kec. Bitung Tengah,
Perda No. 3/2007
Ronowulu 11 Perubahan nama dari
Kec. Bitung Utara,
Perda No. 3/2007
Aertembag
a
10 Perubahan nama dari
Kec. Bitung Timur,
Perda No. 3/2007
Matuari 8 Perubahan nama dari
Kec. Bitung Barat,
Perda No. 3/2007
13 Sulawesi
Tengah
Poso Pamona
Utara
3 7 Pemekaran Kec.
Perda No. 11/2010
Donggala Labuan 6 Perubahan Nama
Kec. Tawaeli, Perda
No. 3/2005
Balaesang
Tanjung
7 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2004
Banggai
Kepulauan
Lobobo 6 Perubahan nama Kec.
Lobangkurung, Perda
No. 4/2006
14 Sulawesi
Selatan
Enrekang Bungin 6 Perubahan Nama
Kec. Maiwa Atas,
Perda No.5/2002
Cendana 6 Perubahan Nama
Kec. Enrekang
Selatan, Perda
No.4/2002
Curio 11 Perubahan Nama
Kec. Alla Timur,
Perda No.7/2002
Malua 7 Perubahan Nama
50
Kec.Anggeraja
Timur, Perda
No.6/2002
15 Sulawesi
Tenggara
Konawe Wawonii
Barat
1 4 Perubahan nama Kec.
Wawonii, Perda No.
16/2003
Wawonii
Timur
1 4 Perubahan nama Kec.
Waworete, Perda No.
16/2003
Kab.
Kolaka
Utara
Tolala 6 Pemekaran Kec.
Perda No. 17/2008
Tiwu 7 Pemekaran Kec.
Perda No. 17/2008
Kotai 6 Pemekaran Kec.
Perda No. 14/2007
Konawe
Utara
Oheo 16 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2010
Andowia 1 12 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2010
Motui 10 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2010
16 Gorontalo Kab.
Gorontalo
Bilato 10 Pemekaran Kec.
Perda No. 40/2010
Kota
Gorontalo
Sipatana 5 Pemekaran Kec.
Perda No. 19/2011
Dumbo
Raya
5 Pemekaran Kec.
Perda No. 20/2011
Hulonthala
ngi
5 Pemekaran Kec.
Perda No. 20/2011
17 Sulawesi
Barat
Kab.
Mamuju
Kep. Bala
Balakang
2 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2009
Mamasa Buntumala
ngka
11 Pemekaran Kec.
Perda No. 6/2009
Mehalaan 1 Pemekaran Kec.
Perda No. 6/2009
Polewali
Mandar
Polewali 1 12 Perubahan nama Kec.
Tutallu, Perda No.
1/2004
51
18 Maluku Kab.
Maluku
Tenggara
Barat
Molu Maru 5 Pemekaran Kec.
Perda No. 12 Tahun
2011
19 Maluku
Utara
Kep. Sula Taliabu
Timur
Selatan
10 Perubahan nama Kec.
Taliabu Timur, Perda
No. 2/2006
Halmahera
Tengah
Weda
Tengah
7 Pemekaran
Kecamatan Perda No.
23/2008
Pantai
Barat
5 Pemekaran
Kecamatan Perda No.
24/2008
Kota
Ternate
Pulau Hiri 6 Pemekaran Kec.
Perda No. 8/2009
20 Papua Kab. Biak
Numfor
Yawosi 6 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2007
Andey 6 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2007
Swandiwe 11 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2007
Bruyadori 6 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2007
Orkeri 8 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2007
Poiru 5 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2007
Aimando
Padaido
11 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2007
Oridek 13 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2007
Bondifuar 5 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2007
Kab.
Keerom
Skanto 11 Pemekaran Kec.
Perda No. 7/2008
Arso
Timur
7 Pemekaran Kec.
Perda No. 7/2008
Kab
Pegunungan
Bime 12 Pemekaran sebagian
Kec. Oksibil Perda
52
Bintang No. 12/2008
Alemsom 6 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Okbape 5 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Kalomdol 5 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Oksop 8 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Serambako
n
6 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Ok Aom 7 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Kawor 5 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Awinbon 7 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Tarup 4 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Okhika 12 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Oksamol 9 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Oklip 4 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Okbemtau 12 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Oksebang 7 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Okbab 9 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Batani 4 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Weime 5 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Murkim 4 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Mofinop 5 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
53
Jetfa 6 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Teiraplu 10 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Eipumek 14 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Pamek 11 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Nongme 7 Pemekaran Kec.
Perda No. 12/2008
Kab.
Tolikara
Tagineri 10 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
Yuneri 11 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
Wakuwo 12 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
Gika 10 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
Telengge
me
10 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
Anawi 10 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
Wenam 10 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
Wugi 11 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
Danime 10 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
Tagime 10 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
Kai 10 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
Aweku 10 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
Bogonuk 10 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
Li
Anogomm
a
10 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
54
Yuko 10 Pemekaran Kec.
Perda No. 5/2010
21 Papua Barat Kab.
Sorong
Mariat 1 Pemakaran Kec.
Perda No. 22/2007
Klayili 6 Pemakaran Kec.
Perda No. 22/2007
Klaso 5 Pemakaran Kec.
Perda No. 22/2007
Moisegen 7 Pemakaran Kec.
Perda No. 22/2007
Kab.
Manokwari
Manokwari Pecah Menjadi Empat
Kecamatan
Kab. Raja
Ampat
Kec.
Sulawati
Utara
6 Perubahan nama Kec.
Samate, Perda No.
3/2006
Kepulauan
Ayau
6 Perubahan nama Kec.
Misool Timur
Selatan, Perda No.
3/2006
Kota
Waisai
4 Pemekaran Kec.
Perda No. 2/2010
Tiplol
Mayalibit
6 Pemekaran Kec.
Perda No. 2/2010
Batanta
Utara
4 Pemekaran Kec.
Perda No. 2/2010
Salawati
Barat
4 Pemekaran Kec.
Perda No. 2/2010
Salawati
Tengah
7 Pemekaran Kec.
Perda No. 2/2010
Supnin 4 Pemekaran Kec.
Perda No. 2/2010
Ayau 4 Pemekaran Kec.
Perda No. 2/2010
Teluk
Bintuni
Wamesa 5 Perubahan Kec.
Idoor, Perda No.
3/2007
Kota
Sorong
Sorong
Manoi
5 Pemekaran Kec.
Perda No. 4/2010
Sumber : Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, BulanJanuari 2011
55
B. Pembahasan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi,
Kabupaten dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan
undang -undang. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah provinsi, Kabupaten/Kota atau antara Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah. Selain itu Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan
pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Prinsip penyelenggaraan desentralisasi adalah otonomi seluas-
luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengatur dan mengurus semua
urusan pemerintahan di Sistem pemerintahan dalam negara demokrasi modern
dapat dibedakan atas 3 (tiga) jenis utama, yaitu sistem pemerintahan
parlementer, sistem pemerintahan presidensiil, dan sistem pemerintahan
campuran. Demokrasi dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya memberikan
ribuan makna dan harapan, tetapi juga mengakibatkan ribuan bencana dan
penderitaan manusia. Namun demikian, demokrasi masih dipandang lebih
56
menjanjikan kehidupan yang lebih baik dari pada sistem yang lain.38
Berdasarkan alur pikir tersebut, maka demokratisasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Indonesia, ditandai dengan lahirnya Undang-undang
Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam Undang-undang
tersebut, sebagai antisipasi meningkatnya partisipasi masyarakat-sebagai implikasi
demokratisasi, yang salah satu indikatornya adalah peningkatan partisipasi
dalam proses penyelenggaraan pemerintahan termasuk tuntutan peningkatan
pelayanan, antara lain dimungkinkan atau adanya peluang pembentukan daerah
otonom bare. Sebagai salah satu solusi mendekatkan pemerintah daerah dengan
masyarakat.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, mengatur mengenai
pembentukan daerah otonom. Pasal 5 Undang-undang dimaksud berbunyi sebagai
berikut:
(1) Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi,potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk,luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkanterselenggaranya otonomi daerah.
(2) Pembentukan, nama, batas dan ibuKota sebagaimana dimaksud padaayat (1) ditetapkan dengan undang-undang.
(3) Perubahan batas yang tidak mengakibatkan penghapusan suatudaerah, perubahan nama daerah, serta perubahan nama danpemindahan ibuKota daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Syarat-syarat pembentukan daerah, sebagaimana dimaksud padaayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Amanat Pasal 5 Undang-undang organik tersebut, ditetapkan Peraturan
Pemerintah nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria
Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan daerah. Peraturan pemerintah
38 Murtir Jeddawi, Pro Kontra Pemekaran Daerah, Total Media, Yogyakarta, 2009, hal. 17
57
ini, selama empat tahun berlakunya, kemudian telah ditindaklanjuti dengan
dengan lahirnya ratusan daerah otonom barn, meliputi provinsi, Kabupaten dan
Kota.
Lahirnya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 sebagai pengganti
Undang-undang nomor 22 tahun 1999, telah dibentuk Peraturan Pemerintah
78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Daerah Otonom. Peraturan
Pemerintah dimaksud merupakan pelaksanaan Pasal 4 dan Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, dan Pasal 8 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Pasal 4 berbunyi sebagai berikut :
Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
ditetapkan dengan undang-undang. (Pasal 2 ayat 1 Undang-undang yang
sama, menegaskan mengenai adanya daerah otonom yang mempunyai
pemerintahan daerah).
Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibuKota, kewenangan
menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan pejabat kepala daerah,
pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan dan
dokumen, serta perangkat daerah.
Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau
bagian daerah yang bersangkutan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua
daerah atau lebih. Pada pada Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan di Daerah, yang berlaku pada era Orde Baru tentang
pembentukan daerah diatur pula pada Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
58
Sementara pada Undang-undang Nomor 18 tahun 1965 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah, yang berlaku sebelumnya juga mengatur pembentukan
daerah otonom pada Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4. Pada Undang-undang Nomor 1
tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, pembentukan daerah
diatur pada Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4. Demikian halnya pada Undang-undang
22 tahun 1948 tentang Pemerintah daerah, pembentukan daerah otonom diatur
pada Pasal 1 dan Pasal 2.
Berdasarkan beberapa rumusan pasal dari berbagai Undang-undang yang
mengatur pemerintahan daerah tersebut, memberi kesimpulan, bahwa
pembentukan daerah senantiasa menjadi started point bagi daerah, dalam
mengemban fungsinya. Pembentukan daerah diatur pada Pasal awal di setiap
Undang-undang pemerintahan daerah, sebagai penekanan awal dari pembentuk
undang-undang, bahwa pembentukan daerah, merupakan pundamen untuk
keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga aspek
persyaratan dasar pembentukan daerah menjadi sangat penting diperhatikan.
Dalam pengertian lain, pembentukan daerah otonom sangat substantif, sehingga
pemenuhan persyaratan haruslah komprehensif dipenuhi, baik syarat formil
maupun syarat materil.
Pemekaran wilayah merupakan salah satu bentuk usaha memaksimalkan
pemerataan pembangunan daerah dan pengembangan wilayah. Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur beberapa prasyarat
bagi adanya pemekaran wilayah. Syarat tersebut antara lain syarat teknis, fisik
kewilayahan, dan administratif. Tujuan dari pemekaran wilayah adalah dalam
59
rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan
kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian
daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan
ketertiban, serta peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah.
UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran
suatu wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa,
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahandaerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur denganundang-undang”.
Selanjutnya, pada ayat (2) Pasal yang sama tercantum kalimat sebagai
berikut:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakathukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dansesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara KesatuanRepublik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang
Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Pemekaran wilayah dapat
dianalogikan juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah. Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menentukan bahwa
pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan Undang-undang tersendiri.
Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) Pasal yang
sama menyebutkan,
“Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud padaayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas, ibuKota,kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabatkepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian,pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”
60
Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam Pasal yang sama pada
ayat berikutnya ayat (3) yang menyatakan bahwa,
“Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerahatau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerahmenjadi dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4) menyebutkan, “Pemekarandari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksudpada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usiapenyelenggaraan pemerintahan”.
Pemekaran wilayah memiliki berbagai aspek misalnya letak geografis.
Menurut Smith dimensi geografi pembentukan daerah otonom adalah variabel
yang terkait dengan pembentukan daerah otonom sebagai akibat munculnya
ikatan-ikatan yang bermotif politik pada masyarakat yang tinggal di suatu daerah.
Ikatan-ikatan bermotif politik tersebut, latar belakang kesatuan geografis itu
dihubungkan oleh suatu ikatan secara politis. Kuat lemahnya ikatan tersebut
sangat tergantung kepada seberapa besar daya tarik politik terhadap hadirnya
kesatuan masyarakat tersebut sebagai suatu kesatuan politis.39
Pandangan ini menjadi pembenaran terbentuknya suatu daerah otonom.
Daerah otonom tidaklah mungkin terbentuk jika tidak terdapat jalinan ikatan
politis antara masyarakat dengan wilayah tinggalnya. Sebagai bentuk dan
aktualisasi politik, pembentukan daerah otonom harus memiliki landasan dasar
yang kuat secara politis, sehingga daerah otonom mampu memberi identitas baru
yang merepresentasikan perasaan-perasaan masyarakat dalam bentuk yang sangat
khas.
Aspek geografis, mengasumsikan bahwa kondisi geografis suatu daerah
39 B.C Smith, Decentralization: The Territorial Dimension of the State, Asia PublishingHouse, London, 1985, hal. 15
61
akan berpengaruh terhadap pembentukan identitas suatu kelompok masyarakat
yang akhirnya akan berkembang menjadi satu kesatuan politik. Misalnya
masyarakat daerah pantai, gunung atau pulau. Masyarakat yang terpisah secara
geografis, cenderung membentuk komunitas tersendiri dan akan menjadi dasar
pembentukan kelompok masyarakat.
Berdasarkan Bab III PP RI No 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan
Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah
Presiden Republik Indonesia, tertera syarat-syarat Pembentukan suatu daerah
baru; diantaranya:
a. Kemampuan ekonomi : merupakan cerminan hasil kegiatan usaha
perekonomian yang berlangsung di suatu daerah Provinsi,
Kabupaten/Kota, Kecamatan yang dapat diukur dari PDRB dan
penerimaan daerah itu sendiri.
b. Potensi daerah : merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang
dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap penerimaan
daerah dan kesejahteraan msyarakat yang diukur dari :
(1) sarana ekonomi
(2) sarana pendidikan
(3) sarana kesehatan
(4) sarana transportasi
(5) sarana pariwisata
c. Sosial budaya : cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan
pola budaya masyarakat, kondisi sosial budaya masyarakat yang dapat
diukur dari:
62
(1) tempat peribadatan
(2) sarana olah raga
d. Jumlah penduduk : jumlah tertentu penduduk dalam suatu daerah.
e. Luas daerah : nilai luas keseluruhan suatu daerah tertentu.
Disisi lain berkembangnya wacana pemekaran daerah, tidak terlepas
dari pemberlakuan prinsip-prinsip otonomi daerah. Secara eksplisit didalam
UU otonomi daerah tahun 1999, memang telah dengan jelas diamanatkan
bahwa pada prinsipnya otonomi daerah media atau jalan untuk menjawab
tiga persoalan mendasar dalam tata pemerintahan dan pelayanan terhadap
publik. Pertama, otonomi daerah haruslah merupakan jalan atau upaya untuk
mendekatkan pemerintah kepada rakyat. Kedua, melalui otonomi daerah
juga harus tercipta akuntabilitas yang terjaga dengan baik. Ketiga,
bagaimana otonomi daerah diformulasikan menjadi langkah untuk
mengupayakan responsiveness, dimana publik berpartisipasi aktif dalam
pengambilan kebijakan di tingkat lokal.
Menurut Maskun, tuntutan pemekaran wilayah sebenarnya bisa
dilakukan baik dalam status Daerah Otonom ataupun status Wilayah
Administratif. Menurutnya, seyogyanya tuntutan untuk menjadi daerah
otonom diawali terlebih dahulu dengan terbentuknya beberapa Provinsi
Administratip maupun Kabupaten dan Kecamatan. Diharapkan penetapan
wilayah administratip tersebut merupakan suatu proses penting untuk
mendewasakan dan memperkuat kemampuan Provinsi/Kabupaten
/Kecamatan tersebut agar suatu saat dapat menjadi Daerah Otonom.
Pertimbangan ini penting mengingat banyak Daerah Otonom, baik tingkat
63
Provinsi maupun Kabupaten/Kecamatan yang belum memiliki kemampuan
untuk mengurus rumah tangganya sendiri (berotonomi). Hal lain mengingat
bahwa pemekaran tidak saja dapat dilihat dari sisi kemampuan keuangan
daerah, tetapi juga faktor-faktor lain yang juga turut menentukan.40
Pembentukan daerah otonom memang ditujukan untuk
mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan dengan suatu lingkungan
kerja yang ideal dalam berbagai dimensinya. Daerah otonom yang memiliki
otonomi luas dan utuh diperuntukkan guna menciptakan pemerintahan
daerah yang lebih mampu mengoptimalkan pelayanan publik dan
meningkatkan pemberdayaan masyarakat lokal dalam skala yang lebih luas.
Pemekaran daerah seharusnya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
obyektif yang bertujuan untuk tercapainya peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Tujuan pembentukan daerah otonom tidak dapat dilihat
semata-mata dari dimensi administrasi dalam arti untuk meningkatkan
penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan efektif, tetapi juga dari
aspek ekonomi, politik dan social budaya.41
Apabila ditelusuri lebih jauh, urgensi pembentukan daerah otonom
tidak hanya ditentukan oleh persyaratan-persyaratan teknis seperti
kemampuan ekonomi, karakteristik dan potensi daerah, jumlah penduduk,
dan luas daerah, disamping dimensi administrasi terdapat pula dimensi
politik. Pembatasan wilayah untuk tujuan desentralisasi pemerintahan dan
40Sumitro Maskun, Aspek Perencanaan Dalam Otonomi Daerah, dalam Buku OtonomiDaerah Peluang dan Tantangan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001, hal. 13.
41 Afan Qafar Syaukani & Rasyid. Ryaas, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal. 4
64
administrasi jauh dari hanya sekedar teknis pelaksanaan belaka.42
Aspek administrasi juga memiliki peranan penting dalam pemekaran
daerah. Mutalib pengorganisasian wilayah didasarkan pada setiap aktivitas
yang dilaksanakan dalam suatu wilayah sehingga memerlukan area kerja
sendiri. Wilayah-wilayah yang diberi status otonom atau yang
didesentralisasikan diyakini akan meningkatkan pelaksanaan administrasi
dan pelayanan kepada masyarakat, karena desentralisasi dapat memberikan
peluang pada penyesuaian administrasi dan pelayanan terhadap karakteristik
wilayah-wilayah yang bervariasi sebagai konsekuensi dan perbedaan-
perbedaan yang dibentuk geografi.43
Geografi dalam pengertian fisik menjadi dasar penentuan batas-batas
administrasi. Suatu wilayah geografis dengan wilayah yang relatif kecil
adalah areal yang tepat untuk :
a. Pelayanan lebih optimal, karena wilayah pelayanan relatif sempit.b. Pemerintahan lebih responsif karena lebih dekat dengan komunitas
yang dilayani.c. Partisipasi masyarakat lebih meluas karena akses masyarakat yang
relatif terbuka.d. Konsolidasi masyarakat menjadi lebih mudah karena kedekatan
institusi dengan masyarakat.e. Pengawasan menjadi lebih mudah karena wilayah pengawasan yang
relatif sempit.
Smith menyatakan bahwa, dimensi lain mendasarkan pada prinsip
teknis, yaitu suatu daerah atau wilayah bagi suatu fungsi pemerintahan
ditentukan oleh lingkungan kerja (alam) ataupun ekonomi : air, iklim,
kondisi pantai, topografi dan lokasi sumber daya alam serta distribusi
42 Smith, Op cit., hal.56.43 MA Muthalib & Khan, Mohd. Akbar Ali, Theory of Local Government, Starling
Publisher Private Limited, New Delh, 1982, hal. 10
65
industri. Sumber-sumber alam yang ada di daerah mungkin memiliki
persamaan secara administratif serta menyediakan suatu pola daerah
berdasarkan ciri-ciri fisiknya. Daerah-daerah memiliki perbedaan secara
geografis dan administratif akan tetapi administrasi daerah dibuat selalu
berdasarkan pada letak geografisnya yaitu karakteristik-karakteristik dan
bagi para geografer hal-hal lain yang dimaksudkan diatas termasuk di
dalamnya sosial dan ekonomi, lahan batubara atau daerah-daerah
pertanian.44
Faktor yang sangat berpengaruh yaitu faktor politik. Pemerintahan
daerah atau daerah otonom dalam perspektif teori adalah entitas yang
memberi wujud khas pada kelompok masyarakat tertentu menjadi bagian
integral dari organisasi negara yang berada di bawah hukum pemerintahan
daerah dengan batas-batas geografis tertentu. Pengelompokan tidak hanya
terletak pada batas geografis semata tetapi pada kehidupan kelompok yang
hidup bersama sebagai suatu kesatuan. Kelompok mereka berbeda secara
abstrak karena adanya perbedaan aspek sosial dan demografi. Dimensi
politik desentralisasi mencakup aspek-aspek geografis, sosial, dan
demografi yang membedakan suatu komunitas secara kongkrit atau abstrak
yang membentuk identitas dan landasan bersama sebagai suatu kesatuan
atau entitas politik
Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas
44 Smith, Op cit., hal. 10.
66
kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan
dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintah Daerah harus mengoptimalkan
pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah dan masyarakat di
daerah lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk
mempercepat laju pembangunan daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan otonomi daerah
telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun
kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu
perubahan yang sangat esensial yaitu menyangkut kedudukan, tugas pokok dan
fungsi Kecamatan yang sebelumnya merupakan perangkat wilayah dalam
kerangka asas dekonsentrasi, berubah statusnya menjadi perangkat daerah dalam
kerangka asas desentralisasi.
Perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan Kecamatan
sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, kemudian dilanjutkan
pada UU Nomor 32 Tahun 2004. Perubahannya mencakup mengenai kedudukan
Kecamatan menjadi perangkat daerah Kabupaten/Kota, dan carnat menjadi
pelaksana sebagian urusan pemerintahan yang menjadi wewenang
Bupati/Walikota. Di dalam Pasal 120 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004
diyatakan bahwa, "Perangkat daerah Kabupaten/Kota terdiri alas sekretariat
daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, Kecamatan, dan
Kelurahan". Pasal tersebut menunjukkan adanya dua perubahan penting yaitu:
67
Kecamatan bukan lagi wilayah administrasi pemerintahan dan dipersepsikan
merupakan wilayah kekuasaan camat. Dengan paradigma baru, Kecamatan
merupakan suatu wilayah kerja atau areal tempat Camat bekerja.
Camat adalah perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dan bukan lagi
kepala wilayah administrasi pemerintahan, dengan demikian camat bukan lagi
penguasa tunggal yang berfungsi sebagai administrator pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan, akan tetapi merupakan pelaksana sebagian
wewenang yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota.45
Perubahan kedudukan Kecamatan dan kedudukan camat, membawa dampak
pada kewenangan yang harus dijalankan oleh camat. Namun demikian ada
karakter yang berbeda antara status perangkat daerah yang ada pada Kecamatan
dengan instansi/lembaga teknis daerah. Bila ditelaah lebih lanjut, kewenangan
camat justru lebih bersifat umum dan menyangkut berbagai aspek dalam
pemerintahan dan pembangunan serta kemasyarakatan. Hal ini berbeda dengan
dengan instansi dengan lembaga dinas daerah ataupun lembaga teknis daerah yang
bersifat spesifik.46
Sebagai perangkat Daerah, Camat memiliki kewenangan delegatif seperti
yang dinyatakan dalam Pasal 126 ayat (2) bahwa: "Kecamatan dipimpin oleh
Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian
wewenang Bupati atau Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi
daerah". lni berarti bahwa kewenangan yang dijalankan oleh Camat merupakan
kewenangan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota. Dengan demikian luas atau
45 Sadu Setiono, Ismail Nurdin dan M. Fahrurozi, Perkembangan Organisasi KecamatanDari Masa Ke Masa, Fokusmedia, Bandung, 2009, hal. 33
46 Ibid.
68
terbatasnya pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota sangat tergantung pada
keinginan politis dari Bupati/Walikota.
Camat juga melaksanakan tugas umum pemerintahan yang merupakan
kewenangan atributif sebagaimana diatur dalam Pasal 126 ayat (3) yaitu sebagai
berikut:
(1) Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;(2) Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban
umum;(3) Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-
undangan;(4) Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum;(5) Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat
Kecamatan;(6) Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan;(7) Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang iingkup
tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desaatau kelurahan.
Tugas umum pemerintahan yang dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) UU
Nomor 32 Tahun 2004 berbeda maknanya dengan urusan pemerintahan umum
sebagaimana dimaksud pada UU Nomor 5 Tahun 1974. Menurut Pasal 1 huruf (j)
UU Nomor 5 Tahun 1974, yang dimaksud dengan urusan pemerintahan umum
adalah: "urusan pemerintahan yang meliputi bidang-bidang ketentraman dan
ketertiban, politik, koordinasi, pengawasan dan urusan pemerintahan lainnya yang
tidak termasuk dalam tugas sesuatu Instansi dan tidak termasuk urusan rumah
tangga Daerah". Urusan pemerintahan umum ini diselenggarakan oleh setiap
kepala wilayah pada setiap tingkatan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah
dalam rangka melaksanakan asas dekonsentrasi.47
47 Ibid., hal. 34
69
Tugas umum pemerintahan yang diselenggarakan oleh Camat tidak di-
maksudkan sebagai pengganti urusan pemerintahan umum, karena Camat bukan
lagi sebagai kepala wilayah. Selain itu, intinya juga berbeda. Tugas umum
pemerintahan sebagai kewenangan atributif mencakup tiga jenis kewenangan
yakni kewenangan melakukan koordinasi yang meliputi lima bidang kegiatan,
kewenangan melakukan pembinaan serta kewenangan melaksanakan pelayanan
kepada masyarakat. Kewenangan koordinasi dan pembinaan merupakan bentuk
pelayanan secara tidak langsung (indirect services), karena yang dilayani adalah
entitas pemerintahan lainnya sebagai pengguna (users), meskipun pengguna
akhirnya (end users) tetap masyarakat. Sedangkan kewenangan pemberian
pelayanan kepada masyarakat, pengguna (users) maupun pengguna akhirnya (end
users) sama yakni masyarakat. Jenis pelayanan ini dapat dikategorikan sebagai
pelayanan secara langsung (direct services).48
Diberikannya kewenangan atributif bersama-sama kewenangan delegatif
kepada Camat menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 sebenarnya merupakan koreksi
terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999. Pada masa UU tersebut, Camat hanya
memiliki kewenangan delegatif dari Bupati/Walikota tanpa disertai kewenangan
atributif. Dalam prakteknya selama UU tersebut berlaku, masih banyak
Bupati/Walikota yang tidak mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada
Camat, entah karena tidak tahu ataupun karena tidak mau tahu. Akibatnya banyak
Camat yang tidak mengetahui secara tepat mengenai apa yang menjadi
kewenangannya. Mereka umumnya hanya menjalankan kewenangan tradisional
48 Ibid., hal. 35
70
yang sudah dijalankan secara turun temurun, padahal peraturan perundang-
undangannya sudah berubah. Posisi camat menjadi serba tidak menentu.49
Pada sisi lain, bagi Bupati/Walikota yang paham tentang penyelenggaraan
pemerintahan, mereka akan melakukan delegasi kewenangan yang luas kepada
Camat sehingga fungsinya menjadi lebih besar dan luas dibanding pada waktu
Camat masih menjadi kepala wilayah. Pendelegasian sebagian kewenangan
Bupati/Walikota kepada Camat sebenarnya menguntungkan Bupati/ Walikota
bersangkutan, karena mereka tidak dibebani oleh urusan-urusan elementer
berskala Kecamatan yang dapat diselesaikan oleh Camat.
Menyadari kedudukan Kecamatan yang strategis tersebut, maka yang perlu
dilakukan adalah bagaimana pemerintah daerah Kabupaten/Kota mendudukkan
Kecamatan sebagai bagian pemerintah daerah dalam menyelenggarakan otonomi
serta memberikan penguatan untuk melalukan banyak peran dalam
penyelenggaraan otonomi daerah melalui pelimpahan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Kabupaten/Kota.
Sebagai intitusi publik, keberadaan Kecamatan hendaknya dimanfaatkan
secara optimal untuk melayani masyarakat. Jangan sampai dana publik yang
dikeluarkan untuk membayar gaji PNS dan membiayai fasilitas kantor namun
tidak memberi manfaat bagi rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Pasal 12 ayat (5) PP Nomor 8 Tahun 2003 Tentang. Pedoman Organisasi
Perangkat, pedoman organisasi Kecamatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Dalam Negeri. Sekarang telah terbit lagi Kepmendagri Nomor 158 Tahun 2004
49 Ibid.
71
tentang Pedoman Organisasi Kecamatan. Pada Pasal 5 Kepmendagri tersebut
dikemukakan bahwa susunan organisasi Kecamatan terdiri dari:
a. Camat;b. Sekretaris Kecamatan;
c. Seksi Pemerintahan;d. Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum;e. Seksi lain dalam lingkungan Kecamatan yang nomenklaturnya
disesuaikan dengan spesifikasi dan karakteristik wilayah kecarnatansesuai kebutuhan Daerah;
f. Kelompok jabatan fungsional.
Dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, terbuka
kemungkinan untuk membentuk Kecamatan baru. Pada masa UU Nomor 5 Tahun
1974, pembentukan Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah
melewati tahap persiapan dalam bentuk Perwakilan Kecamatan. Karena
pembentukannya melalui PP, rnaka jumlah Kecamatan dapat dikendatikan sesuai
prinsip efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Pada masa UU
Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU Nomor 32 Tahun 2004, pembentukan
Kecamatan baru dapat dilakukan secara iangsung tanpa melIalui tahap persiapan
oleh Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerahnya masing-masing. Pembentukan
Kecamatan baru seringkali juga didasarkan pada pertimbangan politis untuk bahan
pembentukan Kabupaten/Kota baru.
Pembentukan Kecamatan banru seharusnya dilakukan dengan alasan
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan ketentraman dan
kctertiban, serta mempercepat pengembangan potensi wilayah. Intinya untuk Icbih
mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu kebijakan
pembentukan terhadap Kecamatan tersebut didasarkan luas wilayah, jumlah
penduduk, dan potensi yang dimiliki.
72
Hasil survey potensi wilayah pada beberapa provinsi, Kabupaten dan Kota
menggambarkan bahwa pembangunan pada unit organisasi pemerintahan terutama
Kecamatan belum merata terutama pada bagian wilayah tertentu yang memiliki
orbitasi relatif jauh ciari kantor Kecamatan. Pelayanan pemerintahan belum
menyentuh masyarakat sampai ke pelosok wilayah kerja pemerintahan kecarnatan,
serta masih banyaknya potensi yang belum tersentuh atau belum dikelola secara
optimal sehingga terjadi kesenjangan pelayanan masyarakat dan pembangunan
pada bagian-bagian tertentu dalam wilayah kerja pemerintahan Kecamatan.
Untuk menjawab persoalan itu, alternatif pilihan kebijakan yang dapat
diambil adalah melakukan penguatan pada Kecamatan dan pembentukan
Kecamatan baru pada wilayah kerja pemerintahan kecarnatan dengan melihat
potensi pada Kecamatan yang ada.
Melalui pembentukan Kecamatan, dapat dipastikan rentang kendali pe-
merintah akan menjadi lebih kecil dan institusi pelayanan menjadi lebih dekat
dengan masyarakat. Terjadinya pembentukan Kecamatan baru diharapkan akan
berdampak terhadap peningkatan dan pemerataan pembangunan dan pelayanan
umum.
Terdapat tiga konsep pemekaran Kecamatan yang pernah berlaku di
Indonesia antara lain menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, menurut UU Nomor 22
Tahun 1999, dan menurut UU Nomor 32 Tahun 2004. Pada saat berlakunya UU
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah, dikenal istilah Kemantrenan.
Kemantren yang sudah dikenal oleh masyarakat di tanah Jawa. Kemantren pada
dasarnya adalah suatu wilayah tertentu yang memperoieh dan menjadi binaan
73
khusus seorang Mantri Polisi (dahulu disebut Mantri Pagar Praja). Pembinaan
khusus tersebut dilakukan dalam rangka membantu tugas Camat membina
wilayah secara keseluruhan. Pembinaan khusus tersebut dilakukan kemungkinan
karena wilayahnya berjauhan clengan kantor Camat sehingga sulit dalam
pengendaliannya ataupun karena jurnlah desa di lingkungan suatu Kecamatan
terlalu banyak sehingga diperlukan pembagian tugas.50
Keberadaan kemantren diatur secara formal menurut Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 138-210 Tahun 1982 tentang Tata Cara Pembentukkan
Kecamatan dan Perwakilan Kecamatan. Istilah Kemantren dibakukan menjadi
Perwakilan Kecamatan. Secara garis besar, Peraturan Menteri Dalam Negeri
tersebut mengatur mengenai proses pembentukan Kecamatan baru melalui
pembentukan perwakilan Kecamatan terlebih dahulu. Adapun persyaratan
pembentukan Kecamatan baru antara lain:
1. Untuk Daerah Jawa dan Bali, jumlah penduduk minimal adalah 2.500
Kepala Keluarga atau 12.500 jiwa;
2. Untuk Daerah luar Jawa dan Bali, jumlah penduduk minimal 1.500
Kepala Keluarga atau l.k. 7.500 jiwa;
3. Wilayah bawahan minimal terdiri dari 4 Desa/Kelurahan:
4. Kecuali bagi wilayah yang penduduknya lebih dari 4.000 Kepala
Keluarga atau 20.000 jiwa, wilayah bawahan dapat terdiri dad 3
Desa/Kelurahan. (Pasal 4 ayat 1 Permendagri Nomor 138-210 Tahun
50 Sadu Wastiono, dkk, Op cit., hal. 9
74
1982).51
Dilatarbelakangi karena pembentukan Kecamatan baru harus terlebih dahulu
melalui pembentukan Perwakilan Kecamatan, maka dapat dikatakan bahwa
perwakilan Kecamatan merupakan bentuk embrional dari Kecamatan. Perwakilan
Kecamatan dibentuk dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
setelah mendapat persetujuan dart Menteri Dalam Negeri. Dalam hal ini, inisiatif
pembentukannya berasal dart Daerah Tingkat I dan atau Daerah Tingkat II.
Konsekuensi logis dart hal tersebut maka seluruh fasilitas. sarana dan pembiayaan
perwakilan Kecamatan menjadi beban APBD Tingkat I dan APBD Tingkat II
(Pasal 8 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138-210 Tahun 1982).
Meskipun perwakilan Kecamatan pada dasarnya adalah bagian dart wilayah Ad-
ministratif Kecamatan yang menjalankan tugas dekonsentrasi.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 memang mengenal perbedaan antara
desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas pembantuan tetapi tidak secara tegas
memisahkan pelaksanaannya, sehingga tidak tertutup kemungkinan perangkat
Wilayah Administratif diberi tugas membantu melaksanakan tugas-tugas
desentralisasi.52
Pada Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138-210 Tahun 1982,
dikemukakan bahwa selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak dibentuknya
perwakilan Kecamatan, harus sudah diusulkan menjadi Kecamatan dengan
memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Bab II. Hal-hal pokok yang perlu
diperhatikan untuk pengusulan perwakilan Kecamatan menjadi Kecamatan adalah
51 Ibid.52 Ibid., hal. 10
75
:
1. Jumlah penduduk dan tingkat perkembangannya, yang merupakanfaktor penting berkaitan dengan keberadaan Kecamatan itu sendiriserta dengan pelayanan kepada masyarakat;
2. Jumlah pegawai, prasarana dan sarana pemerintahan yang tersedia,berkaitan pula dengan pelayanan kepada masyarakat;
3. Instansi-instansi Vertikal dan Dinas yang telah ada yang diperlukandalam rangka koordinasi;
4. Fasilitas-fasilitas umum (public utilities) yang tersedia;5. Jaringan-jaringan jalan yang telah tersedia.53
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138-210 Tahun 1982,
meskipun sebuah perwakilan Kecamatan sudah berusia 3 (tiga) tahun atau lebih
dan sudah diusulkan menjadi Kecamatan definitif, tetapi usulan tersebut belum
tentu disetujui. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang diketuai oleh
Menteri Dalam Negeri akan mengkaji usulan dart Daerah dengan memperhatikan
pula kemampuan keuangan negara untuk menggaji pegawai, menyediakan sarana
dan prasarana perkantoran. Tetapi yang sexing menjadi penyebab ialah bahwa
jumlah Instansi Vertikal dan Dinas yang ada diperwakilan Kecamatan tersebut
belum cukup memadai. Hal ini dapat dimengerti karena pandangan kepentingan
suatu Departemen atau daerah Otonom terhadap suatu wilayah akan berbeda-
beda. Masing-masing pihak memiliki tolok ukurnya sendiri-sendiri. Ditinjau dari
sudut pandangan manajemen pemerintahan, keberadaan perwakilan Kecamatan
pada dasarnya adalah untuk memperkecil rentang kendali Camat terhadap
desa/kelurahan bawahan dan masyarakat.
Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, pembentukan Kecamatan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah setelah melewati tahap persiapan dalam bentuk
53 Ibid.
76
Perwakilan Kecamatan. Karena pembentukannya melalui PP maka jumlah
Kecamatan dapat dikendalikan sesuai prinsip efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan. Pada masa UU Nornor 22 Tahun 1999 maupun
UU Nomor 32 Tahun 2004, pembentukan Kecamatan baru dapat dilakukan secara
langsung tanpa melalui tahap persiapan oleh kabupaten/Kota dengan Peraturan
Daerahnya masing-masing. Pembentukan Kecamatan baru seringkali juga
didasarkan pada pertimbangan politis untuk bahan pembentukan kabupateniKota
baru.54
Pembentukan Kecamatan baru seharusnya dilakukan dengan alasan
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan ketentraman dan
ketertiban, serta mempercepat pengembangan potensi wilayah. Intinya ditujukan
untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu
kebijakan pembentukan terhadap Kecamatan tersebut didasarkan luas wilayah,
jumlah penduduk, dan potensi yang dimiliki.55
Hasil survey potensi wilayah pada beberapa provinsi, kabupaten dan Kota
menggambarkan bahwa pembangunan pada unit organisasi pemerintahan terutama
Kecamatan belum merata terutama pada bagian wilayah tertentu yang memiliki
orbitasi relatif jauh clan kantor Kecamatan. Pelayanan pemerintahan belum
menyentuh masyarakat sampai ke pelosok wilayah kerja pemerintahan
Kecamatan, serta masih banyaknya potensi yang belum tersentuh atau belum
dikelola secara optimal sehingga terjadi kesenjangan pelayanan masyarakat dan
pembangunan pada bagian-bagian tertentu dalam wilayah kerja pemerintahan
54 Ibid., hal. 3755 Ibid.
77
Kecamatan.
Untuk menjawab persoalan itu, alternatif pilihan kebijakan yang dapat
diambil adalah melakukan penguatan pada Kecamatan dan pembentukan
Kecamatan baru pada wilayah kerja pemerintahan Kecamatan dengan melihat
potensi pada Kecamatan yang ada.
Melalui pembentukan Kecamatan, dapat dipastikan rentang kendali
pemerintah akan menjadi lebih kecil dan institusi pelayanan menjadi lebih dekat
dengan masyarakat. Terjadinya pembentukan Kecamatan baru diharapkan akan
berdampak terhadap peningkatan dan pemerataan pembangunan jam pelayanan
umum.
Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah
berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang
Kecamatan atas payung hukum UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Pembentukan Kecamatan dapat berupa pemekaran 1 (satu) Kecamatan
menjadi 2 (dua) Kecamatan atau lebih, dan/atau penyatuan wilayah desa dan/atau
kelurahan dari beberapa Kecamatan.
Pembentukan Kecamatan berdasarkan konsep Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2008 tentang Kecamatan atas payung hukum UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah harus memenuhi syarat administratif, teknis,
dan fisik kewilayahan.
Pemerintah kabupaten/Kota dapat membentuk Kecamatan di wilayah yang
mencakup satu atau lebih pulau, yang persyaratannya dikecualikan dari
persyaratan dengan pertimbangan untuk efektifitas pelayanan dan pemberdayaan
78
masyarakat di pulau -pulau terpencil dan/ atau terluar. Pembentukan Kecamatan
harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari gubernur sebagai wakil
Pemerintah.
Pemerintah dalam hal ini dapat menugaskan kepada pemerintah
kabupaten/Kota tertentu melalui gubernur selaku wakil Pemerintah untuk
membentuk Kecamatan dengan mengecualikan persyaratan. Pembentukan
Kecamatan haruslah didasari atas pertimbangan kepentingan nasional dan
penyelenggaraan tugas umum pemerintahan.
Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan
menysyaratkan bahwa, pembentukan Kecamatan haruslahmelalui Peraturan
Daerah. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pembentukan Kecamatan
paling sedikit memuat:
a. Nama Kecamatan;
b. Nama ibuKota Kecamatan;
c. Batas wilayah Kecamatan; dan
d. Nama desa dan /atau kelurahan.
Peraturan Daerah tersebut dilampiri peta Kecamatan dengan batas
wilayahnya sesuai kaidah teknis dan memuat titik koordinat. Konsep pemekaran
bukan hanya pembentukan baru tetapi juga akibat adanya perluasan, penyempitan
daerah Kecamatan yag mengakibatkan perubahan nama Kecamatan. Perubahan
nama dan/ atau pemindahan ibuKota Kecamatan harus pula ditetapkan dengan
Peraturan Daerah kabupaten/Kota.
79
Akibat logis dari adanya pemekaran yaitu penghapusan dan penggabungan
suatu Kecamatan. Kecamatan dihapus apabila:
a. Jumlah penduduk berkurang 50% (limapuluh perseratus) atau lebih
dari penduduk yang ada; dan/atau
b. Cakupan wilayah berkurang 50% (limapuluh perseratus) atau lebih
dari jumlah Desa/kelurahan yang ada.
Kecamatan yang dihapus, wilayahnya digabungkan dengan Kecamatan yang
bersandingan setelah dilakukan pengkajian. Penghapusan dan penggabungan
Kecamatan haruslah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan penjelasan mengenai pembentukan Kecamatan menurut UU Nomor
5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 serta UU Nomor 32 Tahun 2004 dapat
dibuat perbandingan sebagai berikut:
(1) Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, pembentukan Kecamatanditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah melalui tahappembentukan perwakilan Kecamatan terlebih dahulu.
(2) Pada UU Nomor 22 Tahun 1999, sesuai dengan semangatdesentralisasi yang seluas-luasnya, pembentukan Kecamatansepenuhnya menjadi kewenangan daerah Kabupaten/Kota karenaKecamatan sudah merupakan perangkat daerah. Pembentukannyacukup melalui Peraturan Daerah Kabupaten/Kota bersangkutan,
(3) Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 juncto PP Nomor 19 Tahun 2008,pembentukan Kecamatan dilakukan dengan Peraturan Daerah setelahada rekomendasi dari Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.Tujuannya adalah agar penambahan jumlah Kecamatan dapatdikendalikan sesuai prinsip efektivitas dan efisiensi serta kemampuankeuangan negara. Sebab pembentukan Kecamatan baru biasanyadisertai dengan pembentukan instansi vertikal tingkat Kecamatanseperti Koramil, Polsek, Mantri Statistik, KUA dan lain sebagainya.
Secara khusus sebenarya kriteria pembentukan Kecamatan berdasarkan UU
Nomor 32 Tahun 2004 masih mengacu pada Keputusan Menteri Dalam Negeri
80
Nomor 4 Tahun 2000 dengan variabel utama jumlah minimal penduduk, luas
wilayah dan jumlah desa/kelurahan sebagaimana Tabel di bawah ini:
No. Variabel Jumlah
1. Jumlah Penduduka. Wilayah Jawa dan Bali.b. Wilayah Sumatera dan Sulawesic. Wilayah Kalimantan, NTB, NTT,Maluku dan Irian Jaya
Minimal 10.000 jiwaMinimal 7.500 jiwaMinimal 5.000 jiwa
2. Luas Wilayaha. Wilayah Jawa dan Bali.b. Wilayah Sumatera dan Sulawesic. Wilayah Kalimantan, NTS, NTT,Maluku dan Irian Jaya
Minimal 7,5 km2Minimal 10 km2Minimal 12,5 km2
3. Jumlah Desa Kelurahan Seragam untuk semua, yaitu4 desa/kelurahan
Keputusan Mendagri No 4 Tahun 2000
Syarat pembentukan Kecamatan yang hanya terdiri dari tiga variabel telah
mendorong daerah Kabupaten/Kota berlomba-lomba membentuk Kecamatan
baru. yang pada gilirannya membuat birokrasinya membengkak sehingga belanja
aparaturnya meningkat serta mengurangi belanja publik. Padahal tujuan utama
pembentukan Kecamatan baru adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, tetapi variabel yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat malahan
tidak dijadikan syarat pembentukan.
Berdasarkan kajian tentang pembentukan Kecamatan di berbagai daerah.
Penulis mengkonstruksikan pengukuran potensi dengan menggunakan variabel
lain yang dapat mendukung persyaratan pembentukan Kecamatan seperti variabel
kesehatan masyarakat, pendidikan, perekonomian, demografi, aspek
pemerintahan, sarana komunikasi, sarana transportasi, penerangan umum,
ketenagakerjaan, pariwisata, sarana ibadah, sarana olah raga, politik dan aspirasi
81
masyarakat, kamtibmas, orbitasi, peternakan, perikanan (darat/laut), kondisi sosial
masyarakat dan pertanian. Berkaitan penjelasan di atas, kiranya perlu segera
dilakukan pengkajian potensi wilayah kerja pemerintahan Kecamatan dan
kelurahan dalam rangka mengukur dan mengevaluasi variabel atau kriteria potensi
wilayah yang realibel untuk mengetahui dapat atau tidaknya dilakukan
pembentukan baru pada sebuah Kecamatan. Adapun kerangka pemikiran
pembentukan Kecamatan adalah sebagai berikut:
82
83
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2000 sebagaimana
dikemukakan di atas kemudian tidak digunakan lagi karena sudah terbit PP
Nomor 19 Tahun 2008. Pada Pasal 3 PP tersebut dikemukakan bahwa pem-
bentukan Kecamatan harus memenuhi Syarat Administratif, Syarat Teknis Dan
Syarat Fisik Kewilayahan.
Pada Pasal 4 PP Nomor 19 Tahun 2008 dikemukakan mengenai syarat
administratif pembentukan Kecamatan meliputi:
1. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima) tahun;
2. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan
yang akan dibentuk menjadi Kecamatan minimal 5 (lima) tahun;
3. Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain untuk
Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk
kelurahan di seluruh wilayah kecamata balk yang menjadi calon
cakupan wilayah Kecamatan bard maupun Kecamatan induk tentang
persetujuan pornbentukan Kecamatan;
4. Keputusan Kepala Desa atau nama lain untuk desa dan Keputusan
Lurah atau nama lain untuk kelurahan di seluruh wilayah Kecamatan
balk yang akan menjadi cakupan wilayah Kecamatan baru maupun
Kecamatan induk tentang persetujuan pembentukan Kecamatan;
5. Rekomendasi Gubernur.
Pasal 5 PP Nomor 19 Tahun 2008 dikemukakan mengenai syarat fisik
kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibu Kota, sarana dan
84
prasarana pemerintahan yang tersedia. Makna cakupan wilayah diatur secara lebih
rinci dalam Pasal 6 PP Nomor 19 Tahun 2008 yaitu sebagai berikut:
(1) Cakupan wilayah untuk daerah Kabupaten paling sedikit terdiri atas
10 desa/kelurahan dan untuk daerah Kota paling sedikit terdiri atas 5
desa/kelurahan.
(2) Lokasi calon ibuKota memperhatikan aspek tata ruang, ketersediaan
fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan,
sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.
(3) Sarana dan prasarana pemerintahan meliputi bangunan dan lahan
untuk kantor camat yang dapat digunakan untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
Persyaratan teknis yang dimaksud diatur secara rinci pada Pasal 7 ayat (1)
PP Nomor 19 Tahun 2008, yang meliputi:
(1) Jumlah penduduk;
(2) Luas wilayah;
(3) Rentang kendali penyelenggaraan pelayanan pemerintahan;
(4) Aktivitas perekonomian;
(5) Ketersediaan sarana dan prasarana.
Persyaratan teknis sebagaimana dikemukakan di atas dinilai berdasarkan
hasil kajian yang dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan indikator
yang tertera pada Lampiran PP Nomor 19 Tahun 2008. Antara lain sebagai berikut
:
85
Cara perhitungan melalui indikatur tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Jumlah Penduduk:
Semua orang yang berdomisili di suatu daerah selama 6 (enam) bulan
atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 (enam)
bulan tetapi bertujuan menetap.
(2) Luas Daerah/Wilayah Keseluruhan:
Jumlah luas daratan ditambah luas lautan
(3) Wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan:
86
Wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan budi daya di luar
kawasan lindung.
(4) Rata -rata jarak ke pusat pemerintahan Kecamatan:
Jumlah jarak dari desa/kelurahan ke pusat pemerintahan Kecamatan
dibagi jumlah desa/kelurahan.
(5) Rata-rata waktu perjalanan dari Kabupaten/Kota atau Kecamatan ke
pusat pemerintahan:
Jumlah waktu perjalanan dari desa/kelurahan ke pusat pemerintahan
Kecamatan dibagi jumlah desa/kelurahan
(6) Jumlah Bank:
Jumlah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
(7) Lembaga Keuangan Non Bank:
Jumlah badan usaha selain bank, meliputi asuransi, pegadaian, dan
koperasi.
(8) Kelompok Pertokoan:
Sejumlah toko yang terdiri atas paling sedikit 10 (sepuluh) toko dar
mengelompok. Dalam satu kelompok pertokoan bangunan fisiknya
dapat lebih dari satu.
87
(9) Jumlah Pasar:
Prasarana fisik yang khusus dibangun untuk tempat pertemuan antara
penjual dan pembeli barang dan jasa, yang aktivitasnya rutin
dilakukan setiap hari.
(10) Rasio Sekolah Dasar per penduduk usia Sekolah Dasar:
Jumlah Sekolah Dasar dibagi jumlah penduduk usia 7-12 tahun. Rasio
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama per penduduk usia Sekolah
Lanjutan
(11) Tingkat Pertama:
Jumlah sekolah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dibagi jumlah
penduduk usia 13 - 15 tahun.
(12) Rasio Sekolah Lanjutan Tingkat Atas per penduduk usia Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas:
Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dibagi jumlah penduduk usia
16-18 tahun.
(13) Rasio tenaga medis per penduduk:
Jumlah dokter, perawat, dan mantri kesehatan dibagi jumlah penduduk
(14) Rasio fasilitas kesehatan per penduduk:
Jumlah rumah sakit, rumah sakit bersalin, poliklinik baik negeri
maupun swasta dibagi jumlah penduduk:
Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau
perahu atau perahu motor atau kapal motor:
88
Jumlah rumah tangga yang mernpunyai kendaraan bermotor atau
perahu atau perahu motor atau kapal motor dibagi dengan jumlah
rumah tangga dikali 100.
(15) Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga:
Jumlah rumah tangga yang menggunakan listrik PLN dan Non PLN
dibagi jumlah rumah tangga dikali 100.
(16) Rasio panjangjalan terhadap jumlah kendaraan bermotor:
Jumlah panjangja lan dibagi jumlah kendaraan bermotor.
(17) Rasio sarana Peribadatan per penduduk:
Jumlah masjid, gereja, pura, vihara dibagi jumlah penduduk.
(18) Rasio fasilitas lapangan olah raga per penduduk:
Jumlah lapangan bulu tangkis, sepak bola, bola volly, dan kolam
renang dibagi jumlah penduduk.
(19) Balai Pertemuan:
Tempat (gedung) yang digunakan untuk pertemuan masyarakat
melakukan berbagai kegiatan interaksi sosial.
Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu
berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan
wilayah dilaksankan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya
secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat
komperhensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosoial, budaya dan lingkungan
89
hidup utnuk pembangunan berkelanjutan. Prinsip ini juga sering disebut dengan
pembangunan berkelanjutan dengan basis pendekatan penataan ruang wilayah.
Pembangunan berkelanjutan dengan prinsi seperti ini harus dijadikan tujuan utama
bagi pembuat keputusan kebijakan publi untuk setiap tingkatan pemerintahan
yang memang berbeda tipenya.56
Tujuan penataan ruang antara lain adalah tercapainya pemanfaatan ruang
yang berkualitas untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas berbudi luhur
dan sejahtera, mewujudkan keterpaduan pemanfaatan sumberdaya, meningkatkan
sumberdaya alam secara efisien dan efektif bagi manusia, dan mewujudkan bagi
perlindungan fungsi ruang dan mencegah kerusakan lingkungan. Hal yang sama
dinyatakan oleh Sitorus, bahwa pembangunan wilayah berkelanjutan erat
kaitannya dengan rencana pemanfaatan lahan (ruang) dan dapat diwujudkan
melalui keterkaitan pengelolaan yang tepat antara sumberdaya alam, dengan aspek
social-ekonomi, dan budaya (kultur).57
Dalam pengembangan wilayah, terlebih dahulu dilakukan perencanaan
penggunaan lahan yang strategis yang dapat memberikan keuntungan ekonomi
wilayah (strategic landuse development planning). Menurut Sitours perencanaan
penggunaan lahan yang strategis bagi pembangunan merupakan salah satu
kegiatan dari upaya pengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan. Hal ini
penting untuk mengetahui potensi pengembangan wilayah, daya dukung dan
56 Djakapermana, Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Kesisteman, IPB Press,Bogor, 2005, hal. 10
57 S.R.P. Sitorus, Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan, IPB Press, Bogor,2004, hal.10.
90
manfaat ruang wilayh melalui proses inventarisais dan penilaian keadaan/kondisi
lahan, potensi, dan pembatasan-pembatasan suatu daerah tertentu.58
Ketersediaan sumberdaya alam dan lingkungan serta kegiatan pengolahan
hasil ekstraksi sumberdaya alam tersebut juga akan berinteraksi dengan penduduk
setempat, permukiman atau lokasi-lokasi pasar (outlet-Kota/pelabuhan). Interaksi
yang baik, aman, lancar, murah dan tidak mengganggu lingkungan alam yang
serasi merupakan kebutuhan untuk dapat memperlancar pemasaran hasil produksi
pemanfaatan sumberdaya alam, dan sekaligus akan memberikan dampak
timbulnya berbagai kegiatan pemanfaatan ruang lainnya yang berpotensi bagi
pengembangan wilayah dimasa yang akan datang.59
Berdasarkan beberapa pandangan tersbut, terlihat suatu keterkaitan antara
upaya pemanfaatan ruang wilayah dengan faktor optimasi pemnafaatan
sumberdaya alam, lingkungan dan pengembangan prasarana transportasi wilayah.
Upaya untuk mengembangkan wilayah harus sesuai dengan tujuan pokok
pengembangan wilayah yang ada dalam rencana tata ruang yang telah disepakati
sebelumnya. Tujuan ini selanjutnya dituangkan dalam rencana struktur dan pola
ruang serta berbagai indikasi program. Perwujudan rencana tata ruang dan
indikasi program tersebut masih memerlukan alat penjabarannya dalam bentuk
arahan kebijakan strategis.
Dalam proses pengembangan wilayah ada beberapa pengertian wilayah
yang terkait aspek keruangan yang harus dipahami terlebih dahulu. Konsep
wilayah dalam proses penataan ruang harus meliputi konsep ruang sebagai ruang
58Ibid., hal.1259 Djakapermana, Op cit., hal. 14
91
wilayah ekonomi, ruang wilayah sosial budaya, ruang wilayah ekologi, dan ruang
wilayah politik. Wilayah itu sendiri adalah batasan geografis (deliniasi yang
dibatasi oleh koordiant geografis) yang mempunyai pengertian atau maksud
tertentu atau sesuai fungsi pengamatan tertentu.
Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
pengertian wilayah adalah “ruang” yang merupakan satu kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek administrasi dan atau aspek fungsional. Sementara itu, pengertian ruang
menurut Undang-undang yang sama adalah wadah yang meliputi ruang darat,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan mahluk hidup lain, melakukan kegiatan dan
memelihara kelangsungan hidupnya. Dengan pengertian ruang tersebut, maka ada
ruang untuk kegiatan manusia melakukan kegiatannya (budidaya) dan ada ruang
untuk kelangsungan mahluk hidup lainnya yang harus dipelihara, dijaga, dan
bahkan dlindungi agar kehidupannya bisa tetap berlangsung (ruang yang harus
dilindungi).
Berdasarkan pengertian Undang-undang tersebut, ada dua aspek yang harus
diperhatikan dalam konsep wilayah yaitu:
1. Didalam wilayah ada unsur-unsur yang saling terkait yaitu ruang yang
berfungsi lindung yang harus selalu dijaga keberadaannya dan ruang
yang berfungsi budidaya sebagai tempat manusia melakukan
kegiatannya untuk kelangsungan hidupnnya, yang pada dasarnya,
92
keduanya tidak biasa hidup dan berkembang serta survive
(berkelanjutan) secara sendiri-sendiri.
2. Adanya pengertian deliniasi fungsi berdasarkan kooridnasi geografis
(batas berdasarkan titik-titik kooridnat) yang deliniasinya bisa wilayah
admnisitrasi (pemerintahan) dan wilayah fungsi tertentu lainnya.
Pengertian wilayah ini menurut Rustiadi et al akan selalu terkait aspek
kepentingan sosial, ekonomi, budaya, politik, keamanan maupun
pertahanan. Secara umum pengertian wilayah ini dapat dikelompokan
sebagai berikut:
1) Ruang wilayah ekologis adalah deliniasi fungsi kesatuanekosistem berbagai kehidupan alam dan buatan yangmembentuk pola ruang ekotipe dan struktur hubungan yanghierarkis antara ekotipe, misalnya daerah aliran sungai (DAS)dengan sub DAS-nya, wilayah hutan tropis dengan strukturbagian hutan tropisnnya.
2) Ruang wilayah ekonomi adalah deliniasi wilayah yangberorientasi menggambarkan maksud fungsi (manfaat-manfaat)ekonomi, seperti wilayah produksi, konsusmi, perdagangan,aliran barang dan jasa.
3) Ruang wilayah sosial budaya adalah deliniasi wilayah yangtekait dengan budaya adat dan berbagai prilaku masyarakat,misalnya wilayah adat/marga, suku maupun wilayah pengaruhkerajaan.60
Menurut Rustiadi et al wilayah politik yaitu dimensi wilayah yang terkait
dengan batas administrasi, yaitu batasan ruang kewenangan kepala pemerintahan
yang mengatur dan mengelola berbagai sumber daya alam dan manffatnya untuk
kepentingan pengembangan wilayah yang akan diatur dan yang menjadi
kewenangan politiknya selaku penguasa wilayah.61
60 Ibid., hal.2861 Ibid., hal.29
93
Kondisi sosial ekonomi merupakan suatu keadaan atau tingkat sosial dan
ekonomi masyarakat yang mempengaruhi atau menjadi indikator pemekaran
Kecamatan. Untuk melihat suatu keadaan tersebut, dapat dilihat dari beberapa
indikator seperti dibawah ini :
e. Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia suatu bangsa. Salah satu indikator pemekaran
Kecamatan yaitu, Rasio Sekolah Dasar per penduduk usia Sekolah Dasar,
Rasio Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama per penduduk usia Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama dan Rasio Sekolah Lanjutan Tingkat Atas per
penduduk usia Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Berdasarkan hal tersebut
maka dapat diketahui bahwa terwujudnya pemekaran Kecamatan di landasi
ada atau tidaknya dan/atau terpenuhinya sarana dan prasarana mendidik baik
bagi siswa SD, SLTP dan SMU.
f. Kesehatan
Kesehatan merupakan hal penting dalam menjalani kehidupan.
Peningkatan sumber daya kualitas manusia serta kesejahteraan keluarga dan
masyarakat akan tercapai bila derajat kesehatan masyarakat meningkat.
Pada umumnya tingkat kesehatan pada masyarakat perKotaan lebih baik
dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Hal ini terjadi karena fasilitas
kesehatan di daerah perKotaan lebih memadai dibandingkan dengan
didaerah pedesaan.
94
g. Transportasi
Transportasi merupkan salah satu faktor pendorong perkembangan
Kota. Untuk memudahkan dalam berkomunikasi dan kelancaraan aktivitas
masyarakat maka diperlukan sarana transportasi yang memadai. Dengan
memadainya sektor transportasi dalam suatu wilayah, maka perekonomian
wilayah tersebut akan cepat meningkat.
Masyarakat di daerah perKotaan dikenal sebagai masyarakat yang
setiap saat sibuk dengan aktivitasnya, yang selalu berinteraksi dengan
orang-orang di berbagai tempat. Tanpa adanya sarana transportasi yang
memadai, maka secara tidak langsung aktivitasnya pun akan terhambat.
h. Mata pencaharian
Mata pencaharian merupakan usaha manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan bekerja pada berbagai sektor. Mata pencharian
merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat
karena dapat menggambarkan tingkat pendapatan penduduk dan dapat
mengetahui tingakt taraf kesejahteraan hidupnnya.
Mata pencaharian penduduk pada suatu wilayah merupakan salah satu
aspek yang paling penting dalam mendukung laju pertumbuhan dan
perkembangan wilayah tersebut. Usaha ini erat kaitannya dengan
leingkungan sekitarnya. Daerah yang berada di lingkungan agraris maka
sebagian besar penduduk disekitar bekerja sebagai petani. Begitu pula
dengan daerah yang berbeda di lingkungan industri maka sebagian besar
penduduk di sekitarnya bekerja pada sektor industri.
95
i. Tingkat pendapatan
Tinggi rendahnya tingkat pendapatan dapat menunjukan tinggi
rendahnya keadaan sosial ekonomi msayarakat pada suatu wilayah. Besar
kecilnya tingkat pendapatan tergantung beberapa faktor diantaranya tingkat
pendidikan, modal, serta jenis pekerjaan. Pada umumnya tingkat pendapatan
masyarakat pada derah perKotaan lebih besar dibandingkan dengan
masyarakat daerah pedesaan. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan
masyarakat pada derah perKotaan lebih tinggi sehingga memiliki kedudukan
yang lebih tinggi pula dalam pekerjaan.
Metode Penilaian yang digunakan adalah sistem skoring, untuk
pembentukan Kecamatan baru terdiri dari dua macam metode yaitu Metode Rata-
rata, dan Metode Kuota yang dapat digambarkan dalam matriks berikut :
Penilaian Metode Indikator Skor Pemberian SkorSistemSkoring
1.Metode Rata-rataadalah metode yangmembandingkanbesaran/nilai tiap calonKecamatandan Kecamatan indukterhadapbesaran/nilai rata-ratakeseluruhanKecamatan diKabupaten/Kota.· Kecamatan yangmemilikibesaran/nilai indikatoryang sangatberbeda (di atas 5 kalidaribesaran/nilai terendah),· maka besaran/nilai
skala 1-5(sangatmampu)· skor 4(mampu)· skor 3 (kurangmampu)· skor 2 (tidakmampu)· skor 1 (sangattidak mampu)
skor 5: nilaiindikatorlebih besar /sama dengan80%· skor 4: nilaiindicatorlebih besar/sama dengan60%· skor 3: nilaiindicatorlebih besar /sama dengan40 %· skor 2: nilaiindicatorlebihbesar/sama
96
SistemSkoring
tersebut tidakdiperhitungkan2.Metode Kuotaadalah metode yangmenggunakanangka tertentu sebagaikuotapenentuan scoring baikterhadapcalon Kecamatanmaupun Kecamataninduk.
1. Untuk pembentukanKecamatandiKabupaten adalah 10(sepuluh) kali rata-ratajumlah penduduk desakelurahan seluruhKecamatandiKabupaten yangbersangkutan.2. Untuk pembentukanKecamatan diKotaadalah 5 (lima) kalirata-rata jumlahPenduduk desa/kelurahan seluruhKecamatan di Kotayangbersangkutan.3. 2/4 Semakin besarperolehan besaran/nilaicalon Kecamatan danKecamatan induk(apabila dimekarkan)terhadap kuotapembentukanKecamatan, makasemakin besar skornya.
dengan 20%
skor 1: nilaiindikator kurangdari 20%nilairata-rata
Sumber : Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan.
97
Metode rata -rata adalah metode yang membandingkan besaran/nilai tiap
calonKecamatan dan Kecamatan induk terhadap besaran/nilai rata-rata
keseluruhan Kecamatan di Kabupaten/Kota. Dalam hal terdapat Kecamatan yang
memiliki besaran/nilai indikator yang sangat berbeda (di atas 5 kali dari
besaran/nilai terendah), maka besaran/nilai tersebut tidak diperhitungkan.
Metode Kuota adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagai
kuota penentuan skoring baik terhadap calon Kecamatan maupun Kecamatan
induk. Untuk daerah Kabupaten, kuota jumlah penduduk Kecamatan untuk
pembentukan Kecamatan adalah 10 (sepuluh) kali rata-rata jumlah penduduk
desa/kelurahan seluruh Kecamatan di Kabupaten yang bersangkutan. Untuk
daerah Kota, kuota jumlah penduduk Kecamatan untuk pembentukan Kecamatan
adalah 5 (lima) kali rata-rata jumlah penduduk desa/kelurahan seluruh Kecamatan
di Kota yang bersangkutan.
Semakin besar perolehan besaran/nilai calon Kecamatan dan Kecamatan
induk (apabila dimekarkan) terhadap kuota pembentukan Kecamatan, maka
semakin besar skornya. Setiap indikator mempunyai skor dengan skala 1-5,
dimana skor 5 masuk dalam kategori sangat mampu, skor 4 kategori mampu, skor
3 kategori kurang mampu, skor 2 kategori tidak mampu dan skor 1 kategori sangat
tidak mampu. Pemberian skor 5 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau
sama dengan 80% besaran/nilai rata -rata, pemberian skor 4 apabila besaran/nilai
indikator lebih besar atau sama dengan 60% besaran/nilai rata-rata, pemberian
skor 3 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 40%
besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 2 apabila besaran/nilai indikator lebih
98
besar atau sama dengan 20% besaran/nilai rata -rata, pemberian skor 1 apabila
besaran/nilai indikator kurang dari 20% besaran/nilai rata -rata.
Setiap faktor dan indikator mempunyai bobot yang berbeda -beda sesuai
dengan perannya dalam pembentukan Kecamatan. Bobot untuk masing-masing
faktor dan indikator sebagai berikut :
Sumber : Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan.
99
Nilai indikator adalah hasil perkalian skor dan bobot masing-masing
indikator Kelulusan ditentukan oleh total nilai seluruh indikator dengan kategori:
Suatu calon Kecamatan direkomendasikan menjadi Kecamatan baru apabila
calon Kecamatan dan Kecamatan induknya (setelah pemekaran) mempunyai total
nilai seluruh indikator dengan kategori sangat mampu (420-500) atau mampu
(340-419). Usulan pembentukan Kecamatan ditolak apabila calon Kecamatan atau
Kecamatan induknya (setelah pemekaran) mempunyai total nilai seluruh indikator
dengan kategori kurang mampu (260-339), tidak mampu (180-259) dan sangat
tidak mampu (100-179).
100
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembentukan atau Pemekaran Kecamatan berdasarkan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dilakukan dengan memenuhi
syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat administratif yang
dimaksudkan ialah batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima)
tahun, batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan yang
akan dibentuk menjadi Kecamatan minimal 5 (lima) tahun, Keputusan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), Keputusan Kepala Desa, dan Rekomendasi
Gubernur. Syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibu
Kota, sarana dan prasarana pemerintahan yang tersedia. Kemudian Persyaratan
teknis yang dimaksud ialah jumlah penduduk, luas wilayah, rentang kendali
penyelenggaraan pelayanan pemerintahan, aktivitas perekonomian, Ketersediaan
sarana dan prasarana.
101
B. Saran
Pemekaran Kecamatan haruslah didasarkan atas kebutuhan pembangunan
dan pelayanan masyarakat semata dan bukanlah unsur politis, sehingga ketentuan
dengan mengikut sertakan akademisi dan perguruan tinggi dalam penilaian
indikator. Sehingga diperlukan pengaturan yang lebih rinci mengenai teknis
penilaian dan kriteria seorang penilai dalam suatu Peraturan Pemerintah.
102
DAFTAR PUSTAKA
A. LiteraturB.C Smith. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of the State.
Asia Publishing House. London.
Dwiyanto, Agus (ed.). 2005. Mewujudkan Good Governance MelaluiPelayanan Publik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Maddick, Hendry dan Hanif Nurcholis. 2007. “Teori dan PraktikPemerintahan dan Otonomi Daerah”. Grasindo. Jakarta.
MA Muthalib & Khan. Mohd. Akbar Ali. 1982. Theory of LocalGovernment. Starling Publisher Private Limited. New Delh.
Maskun, Sumitro. 2001. Aspek Perencanaan Dalam Otonomi Daerah.dalam Buku Otonomi Daerah Peluang dan Tantangan. Pustaka SinarHarapan. Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Kencana Prenada MediaGroup. Jakarta.
Nurcholis, Hanif. 2007. “Teori dan Praktik Pemerintahan dan OtonomiDaerah”. Penerbit Grasindo. Jakarta.
Soemitro, Ronny H. 1983. Metodologi Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia.Jakarta.
Soesetyo, Boedi. 1989. Pertumbuhan Pemerintah Daerah Di NegaraRepublik Indonesia, Jidil III. Gunung Agung. Jakarta.
Sunggono, Bambang. 2006. Metode Penelitian Hukum. PT Raja GrafindoPersada. Jakarta.
Syafii, Inu Kencana.1998. Manajemen Pemerintahan. PT. Perjta. Jakarta.Syaukani, Afan Qafar & Rasyid. Ryaas. 2003. Otonomi Daerah dalam
Negara Kesatuan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
103
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
PP Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat.
PP RI Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan danKriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
PPNomor 78 tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan KriteriaPemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.