skripsi henny.docx

Upload: henny-jayanti

Post on 04-Mar-2016

54 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

15

ANALISIS POLA PENGGUNAAN OBAT RHEUMATOID ARTRITIS PADA PASIEN LANJUT USIA DI PUSKESMAS CIKUPA TAHUN 2016PROPOSAL SKRIPSI

OLEH :HENNY JAYANTI14046906

SEKOLAH TINGGI FARMASI MUHAMMADIYAHPROGRAM STUDI S1 FARMASI

TANGGERANG

BAB 1PENDAHULUAN1. Latar BelakangArtritis merupakan peradangan (inflamasi) dan pembengkakan di daerah persendian. Ada beberapa tipe Artritis, yaitu Artritis Gout, Rheumatoid Arthritis, Osteoartritis. Penderita Rheumatoid Artritis di seluruh dunia mencapai angka 355 juta jiwa di tahun 2009, artinya 1 dari 6 orang di dunia ini menderita Rheumatoid Artritis. Rheumatoid Artritis telah berkembang dan menyerang 2,5 juta warga Eropa (Breedveld, 2003). WHO melaporkan bahwa 20% penduduk dunia terserang Rheumatoid Artritis dimana 5-10% adalah yang berusia diatas 60 tahun. Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002). Menurut WHO dalam Atiqah (2010), rheumatoid artritis adalah suatu penyakit sistemik kronik yang melibatkan persendian, jaringan penghubung, otot, tendon, dan jaringan fibrosa. dan merupakan kondisi kecacatan kronik yang biasanya menyebabkan rasa nyeri dan deformitas.Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) manusia dengan lanjut usia dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu : Usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) antara 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) antara 75 sampai 90 tahun, usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.Lanjut usia adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu banyak mengalami perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuaan normal, seperti rambut yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah, berkurangnya ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh, merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan kehilangan-kehilangan peran diri, kedudukan sosial, serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Semua hal tersebut menuntun kemampuan beradaptasi yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak (Soejono, 2000). Pemakaian obat pada usia lanjut dapat menjadi masalah karena kelompok usia lanjut mengkonsumsi 25 sampai 30% dari total obat yang digunakan di pusat-pusat pelayanan kesehatan, selain itu praktek polifarmasi sangat umum dijumpai pada pasien usia lanjut oleh karena umunya menderita lebih dari satu macam penyakit. Penelitian-penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa kelompok usia lanjut sangat rentan terhadap resiko efek samping obat. Resiko terjadinya efek samping meningkat dengan bertambahnya jenis obat yang diberikan. Aspek penderita faktor-faktor seperti penurunan aktivitas/fungsi organ, derajat penyakit, penurunan kemampuan untuk mengurus diri sendiri, menurunnya masukan cairan dan makanan, serta kemungkinan menderita lebih dari satu macam penyakit, sering mempersulit pengobatan secara optimal. Penguasaan dokter terhadap aspek-aspek klinis serta prinsip penggunaan obat untuk usia lanjut dengan demikian menjadi penting untuk meningkatkan kualitas pengobatan.Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) adalah suatu organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat di samping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Menurut Depkes RI (2004) puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah kerja (Effendi, 2009).

2. Rumusan MasalahDari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana gambaran pola penggunaan obat rheumatoid artritis pada pasien lanjut usia di Puskesmas Cikupa Tahun 2016?

3. Tujuan PenelitianMengetahui gambaran dari pola penggunaan obat rheumatoid artritis pada pasien lanjut usia di Puskesmas Cikupa Tahun 2016 dan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Puskesmas Cikupa untuk meningkatkan standar pelayang medik yang selanjutnya.

4. Manfaat Penelitiana) Bagi penelitiSebagai bahan masukkan dalam menambah wawasan pengetahuan tentang gambaran dari pola penggunaan obat rheumatoid artritis pada pasien lanjut usia di Puskesmas Cikupa Tahun 2016.b) Manfaat Bagi PuskesmasSebagai tambahan wawasan bagi tenaga teknik kefarmasian tentang gambaran dari pola penggunaan obat rheumatoid artritis pada pasien lanjut usia di Puskesmas Cikupa Tahun 2016.c) Bagi Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah TanggerangSebagai bahan referensi mahasiswa STFM Tanggerang tentang gambaran dari gambaran dari pola penggunaan obat rheumatoid artritis pada pasien lanjut usia di Puskesmas Cikupa Tahun 2016.4

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

1. Penggunaan Obat RasionalPengobatan yang rasional adalah pemilihan dan penggunaan obat yang efektifitasnya terjamin serta aman, dengan mempertimbangkan masalah harga, yaitu dengan harga yang paling menguntungkan dan sedapat mungkin terjangkau. Untuk menjamin efektifitas dan keamanan, pemberian obat harus dilakukan secara rasional, berarti perlu dilakukan diagnosis yang akurat, pemilihan obat yang tepat, serta obat dengan dosis, cara, interval serta lama pemberian yang tepat (Anonim, 2002).Pengobatan rasional merupakan suatu tindakan pengobatan terhadap penyakit berdasarkan interpretasi gejala dan pemahaman aksi fisiologik yang benar dari suatu penyakit. Obat yang digunakan harus tepat dosis, tepat cara pemakaian, tepat untuk penyakitnya dan tepat informasi serta waspada terhadap efek sampingnya. Suatu pengobatan yang baik dan benar akan sangat menguntungkan bagi pasien, baik dari kesehatan, kekambuhan penyakit yang diderita, biaya yang harus dikeluarkan, dan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat tersebut (Siregar dan Amalia, 2004).Penerapan penggunaan obat yang rasional akan memberi manfaat yaitu optimalisasi tujuan pengobatan yang ingin dicapai dengan meminimalkan efek samping obat dengan rasio antara manfaat dan resiko yang optimal serta berkurangnya beban biaya pengobatan (Aslam dkk., 2003).Informasi obat pada dasarnya merupakan awal dari implementasi preskripsi yang rasional maupun penggunaan obat yang rasional melalui formularium maupun standar pengobatan, tanpa informasi obat yang memadai maka penggunaan obat yang rasional tidak akan tercapai. Pemberian informasi obat harus dilakukan secara profesional oleh mereka yang yang memiliki kualifikasi, keahlian, dan terikat kode etik profesi (Sampurno, 2001).Penggunaan obat yang tidak rasional mempunyai beberapa dampak negatif, yaitu berdampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan, dampak terhadap biaya pengobatan dampak terhadap efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan, serta dampak psikososial yang berupa ketergantungan pasien terhadap intervensi obat atau persepsi yang keliru, misal kebiasaan memberikan injeksi (Friedman dan Papper, 2000).

2. Rheumatoid Arthritis A. Pengertian Rheumatoid Arthritis Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002). Menurut WHO dalam Atiqah (2010), rheumatoid artritis adalah suatu penyakit sistemik kronik yang melibatkan persendian, jaringan penghubung, otot, tendon, dan jaringan fibrosa. dan merupakan kondisi kecacatan kronik yang biasanya menyebabkan rasa nyeri dan deformitas.B. Klasifikasi Rheumatoid Arthritis Buffer (2010) dalam Nasution (2009) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu: Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan. C. Etiologi Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor metabolik, dan infeksi virus (Suratun, Heryati, Manurung& Raenah, 2008). D. Patofisiologi Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun, terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degenerative dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer & Bare, 2002). Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus (Long, 1996). E. Manifestasi Klinis Rasa nyeri merupakan gejala penyakit reumatik yang paling sering menyebabkan seseorang mencari pertolongan medis (Brunner & Suddarth, 2001). Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala kembali (Reeves, Roux & Lockhart, 2001). Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi, kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi klinis rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis (Smeltzer & Bare, 2002). Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan menurun, anemia (Long, 1996). Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu stadium sinovitis, stadium destruksi, stadium deformitas. Pada stadium sinovitis, terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan. Pada stadium destruksi, selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon. Sedangkan pada stadium deformitas, terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi secara menetap (Smeltzer & Bare, 2002). Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada lanjut usia menurut Buffer (2010) dalam Nasution (2009), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.

F. Evaluasi Diagnostik Beberapa faktor yang turut dalam memeberikan kontribusi pada penegakan diagnosis rheumatoid arthritis, yaitu nodul rheumatoid, inflamasi sendi yang ditemukan pada saat palpasi dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaaan laboratorium menunjukkan peninggian laju endap darah dan factor rheumatoid yang positif sekitar 70%; pada awal penyakit faktor ini negatif. Jumlah sel darah merah dan komplemen C4 menurun. Pemeriksaan C- reaktifprotein (CRP) dan antibody antinukleus (ANA) dapat menunjukan hasil yang positif. Artrosentesis akan memperlihatkan cairan sinovial yang keruh, berwarna mirip susu atau kuning gelap dan mengandung banyak sel inflamasi, seperti leukosit dan komplemen (Smeltzer & Bare, 2002). Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis dan memantau perjalanan penyakitnya. Foto rongen akan memperlihatkan erosi tulang yang khas dan penyempitan rongga sendi yang terjadi dalam perjalanan penyakit tersebut (Smeltzer & Bare, 2002). G. Penatalaksanaan Farmakologis Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS, coxib, analgetika opioid atau non opioid, dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat (Adnan, 2008 dalam Wisdanora, 2005). Pengobatan secara simpomatik terdiri dari: Simple analgesik, misalnya: paracetamol, aminopyrin, acetophenethidin. Obat anti inflamasi non-steroid, misalnya: Indomethacin, phenylbutazon, ketoprofen, sodium diclofenac, indoprofen. Obat anti inflamasi golongan steroid, misalnya: prednison. Pada pengobatan secara simptomatik hanya bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, sedangkan progresivitas penyakitnya akan berjalan terus. Obat-obat simptomatik ini seringkali dipakai sampai berbulan-bulan sambil menunggu sampai obat remitif cukup tinggi kadar yang diperlukannya di dalam darah untuk memberikan efek pengobatan. Oleh sebab itu memilih obat yang aman dan menilai keadaan darah dan alat-alat badan yang lain secara laboratoris pada waktu-waktu tertentu amat penting guna melihat adanya efek samping sedini mungkin. Efek samping yang paling umum terjadi pada alat pencernaan, misalnya gastritis, nausea, muntah maupun diare ringan. Pemakaian obat-obat simptomatik golongan steroid secara sistemik tidak dianjurkan karena dapat mengalami ketergantungan. Sedangkan pemakaiannya dalam jangka waktu yang lama akan lebih banyak merugikan penderita. Penderita dapat mengalami super-infeksi oleh kuman lain yang dapat membahayakan penderita yang memang sudah dalam keadaan lemah, lebih-lebih bila didapati infeksi dengan virus. Juga akan timbul moonface, tulang-tulang semakin menjadi porotik, iritasi terhadap lambung makin hebat. Bila pemakaian steroid dihentikan, obat analgetika jenis apapun tak akan mampu menghilangkan rasa sakit pada sendi-sendinya. Dalam keadaan-keadaan tertentu memang digunakan golongan steroid, misalnya untuk menyelamatkan hidup penderita rheumatoid arthritis yang berat atau pemakaian suntikan setempat (local/intra-articular) (Shiel, 1999 dalam Wisdanora, 2007). Selain pengobatan simtomatik, pengobatan remitif juga dapat menghambat faktor rheumatoid arthritis menjadi negatif, sehingga perjalan penyakitnya ikut dihambat dan dalam waktu yang lama penderita akan sembuh atau remisi penuh. Golongan obat remitif ini memang lebih bermanfaat bagi penderita, namun tergolong jenis obat yang lambat bekerjanya. Harus hati-hati karena jangka pemakaian yang lama sampai berbulan dan diperlukan monitoring dengan pemeriksaan laboratorium pada waktu-waktu tertentu (Adnan, 2008 dalam Wisdanora 2005).

H. Penatalaksanaan Nonfarmakologis Fisioterapi perlu dalam menangani kasus rheumatoid arthritis, yakni mencegah kerusakan sendi, mencegah kehilangan fungsi sendi, mengurangi nyeri, dan mencapai remisi secepat mungkin. Sendi yang meradang harus dilatih secara lembut dan perlahan sehingga tidak terjadi kekakuan atau cedera. Setelah peradangan mereda, bisa dilakukan latihan yang lebih aktif secara rutin, tetapi jangan sampai berlebihan supaya tidak terlalu lelah (Junaidi, 2006). Pada pengobatan fisioterapi pembidaian sering dilakukan untuk meregangkan sendi secara perlahan (Adnan, 2008 dalam Wisdanora 2005). Bila berbagai cara pengobatan sudah dilakukan namun belum berhasil juga dan alasan untuk tindakan operatif cukup kuat, maka dilakukanlah pembedahan. Berbagai jenis pembedahan ini pada penderita rheumatoid arthritis umumnya bersifat ortopedik misalnya: synovectomia, arthrodese, total hip replacement, memperbai-ki deviasi ulnar (Junaidi, 2006). Peranan ahli psikologi dan petugas sosial medis (social worker) diperlukan untuk menangani mental penderita agar tetap gigih dan sabar dalam pengobatan serta tidak merasa rendah diri sehingga penderita mampu melakukan tugas sehari-hari terutama untuk mengurus dirinya sendiri. Juga petugas sosial medis yang ikut membuat penilaian terhadap suasana lingkungan, penilaian kamampuan penderita (Adnan, 2008 dalam Wisdanora 2005). Terapi panas atau dingin dapat digunakan untuk mengurangi nyeri rheumatoid arthritis. Pada prinsipnya cara kerja terapi panas pada rheumatoid arthritis meningkatkan aliran darah ke daerah sendi yang terserang sehingga proses inflamasi berkurang (Junaidi, 2006). Selain itu terapi panas akan melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan kelenturan jaringan sehingga mengurangi rasa nyeri serta memungkinkan hasil terapi didapat secara optimal (Kusumaastuti, 2008 dalam Wisdanora 2005). Terapi panas dapat dilakukan dengan air panas. Bisa dengan handuk hangat atau kantong panas yang ditempelkan pada sendi yang meradang atau dapat juga dengan mandi atau berendam dalam air yang panas. Terapi dingin bertujuan untuk membuat baal bagian yang terkena rheumatoid arthritis sehingga mengurangi nyeri, peradangan, serta kaku atau kejang otot. Cara terapi dingin adalah dengan menggunakan kantong dingin, atau minyak yang mendinginkan kulit dan sendi (Junaidi, 2006). Pola diet dapat digunakan untuk mendapatkan berat badan yang ideal dengan menerapkan pola makan secukupnya sesuai dengan energi yang diperlukan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Pola makan pada pasien rheumatoid arthritis adalah sayur dengan porsi yang lebih banyak, buah, rendah lemak, dan kolesterol (Junaidi, 2006 dalam Wisdanora, 2005).

3. Lanjut Usia A. Pengertian Lanjut Usia Menurut Undang- Undang No.4 tahun 1965, lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari- hari (Nugroho, 2000). Menurut Undang- Undang No.13 tahun 1998, lanjut usia adalah mereka yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Nugroho, 2000). Sedangkan menurut Hurlock (1980), lanjut usia adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat. B. Klasifikasi Lansia Terdapat beberapa pendapat dari berbagai sumber tentang klasifikasi lansia, diantaranya menurut Maryam (2008) yang menklasifikasikan lansia dalam lima kelompok yaitu pralansia, lansia, lansia resiko tinggi, lansia potensial, dan lansia tidak potensial. Pralansia yaitu seseorang yang berusia antara 4559 tahun. Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih. Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa. Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. Selain itu, menurut World Health Organitation (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4 yaitu usia usia pertengahan (middle age), lanjut usia (elderly), lanjut usia tua (old), usia sangat tua (very old). Usia pertengahan (middle age) adalah 45 -59 tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2000). Menurut Hurlock (1980) dalam Nugroho (2000), lansia dibagi dalam 2 tahap, yaitu early old age (usia 60-70 tahun), advanced old age ( usia 70 tahun ke atas). Burnside (1979, dalam Nugroho, 2000) membagi lansia menjadi 4 tahap, yaitu : young old (usia 60-69 tahun), middle age old (usia 70-79 tahun), old-old (usia 80-89 tahun), dan very old-old (usia 90 tahun ke atas). C. Karakteristik Lansia Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan), kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif, lingkungan tempat tinggal bervariasi (Maryam, 2008). D. Teori Teori Proses Menua Teori Aktivitas. Teori ini berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Havighurst yang pertama kali menulis tentang pentingnya tetap aktif secara sosial sebagal alat untuk penyesuain diri yang sehat untuk lansia pada tahun 1952 (Potter and Perry, 2005). Kemudian teori ini dikembangkan oleh Palmore (1965) dan Lemon et al (1972) yang menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung dari bagaiman seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan. Di satu sisi aktivitas lansia dapat menurun, akan tetapi di lain sisi dapat dikembangkan (Maryam, 2008). Teori Kesinambungan. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia (Potter and Perry, 2005). Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambaran saat ia menjadi lansia (Maryam, 2008). Teori Perkembangan. Teori ini menekankan pentingnya mempelajari apa yang telah dialami oleh lansia pada saat muda hingga dewasa, dengan demikian perlu dipahami teori Freud, Buhler, Jung, dan Erickson. Sigmund Freud meneliti tentang psikoanalisis serta perubahan psikososial anak dan balita (Maryam, 2008). Erickson (1930), membagi kehidupan menjadi delapan fase, yaitu lansia yang menerima apa adanya, lansia yang takut mati, lansia yang merasakan hidup penuh arti, lansia yang menyesali diri, lansia yang bertanggung jawab dengan merasakan kesetian, lansia yang kehidupannya berhasil, lansia yang merasa terlambat untuk memperbaiki diri, lansia yang menemukan integritas diri melawan keputusasaan (Stanley, 2006).4. Puskesmas A. Definisi Puskesmas Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) adalah suatu organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat di samping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Menurut Depkes RI (2004) puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah kerja (Effendi, 2009). Pelayanan kesehatan yang diberikan puskesmas merupakan pelayanan yang menyeluruh yang meliputi pelayanan kuratif (pengobatan), preventif (pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan). Pelayanan tersebut ditujukan kepada semua penduduk dengan tidak membedakan jenis kelamin dan golongan umur, sejak dari pembuahan dalam kandungan sampai tutup usia (Effendi, 2009). B. Tujuan Puskesmas Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional, yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Trihono, 2005). C. Fungsi Puskesmas Puskesmas memiliki wilayah kerja yang meliputi satu kecamatan atau sebagian dari kecamatan. Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografi dan keadaan infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja puskesmas. Untuk perluasan jangkauan pelayanan kesehatan maka puskesmas perlu ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih sederhana yang disebut puskesmas pembantu dan puskesmas keliling. Khusus untuk kota besar dengan jumlah penduduk satu juta jiwa atau lebih, wilayah kerja puskesmas dapat meliputi satu kelurahan. Puskesmas di ibukota kecamatan dengan jumlah penduduk 150.000 jiwa atau lebih, merupakan puskesmas Pembina yang berfungsi sebagai pusat rujukan bagi puskesmas kelurahan dan juga mempunyai fungsi koordinasi (Effendi, 2009). Menurut Trihono (2005) ada 3 (tiga) fungsi puskesmas yaitu: pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan yang berarti puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Disamping itu puskesmas aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap program pembangunan diwilayah kerjanya. Khusus untuk pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan puskesmas adalah mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pusat pemberdayaan masyarakat berarti puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk sumber pembiayaannya, serta ikut menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan. Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya masyarakat setempat. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama berarti puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggungjawab puskesmas meliputi : Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi (privat goods) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan pemeliharan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk puskesmas tertentu ditambah dengan rawat inap. Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat disebut antara lain adalah promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa masyarakat serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya. Menurut Effendi (2009) ada beberapa proses dalam melaksanakan fungsi tersebut yaitu merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka menolong dirinya sendiri, memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagaimana menggali dan menggunakan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien, memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi dan rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada masyarakat dengan ketentuan bantuan tersebut tidak menimbulkan ketergantungan memberikan pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat, bekerja sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam melaksanakan program puskesmas.

5. Penelitian yang relevanBeberapa penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai dasar acuan penelitian ini adalah sebagai berikut: Nurul Ramadhani Islami (2015) dengan judul skripsi analisis pto (permasalahan terkait obat) pada pasien geriatri penderita osteoartritis di instalasi rawat inaprsud sultan syarif mohamad alkadrie pontianak. Ditemukan kejadian PTO (Permasalahan Terkait Obat) pada pasien geriatri penderita OA yang rawat inap di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak. Persentase pasien OA yang mengalami PTO sebesar 100% pada kategori masalah efektivitas terapi. Penyebab terjadinya PTO pada pasien OA dikarenakan kombinasi obat-obat atau makanan-obat yang tidak tepat termasuk kejadian interaksi obat dan ada indikasi tetapi obat tidak diresepkan.

6. Kerangka konsepVariabel Independen

Pasien yang telah terdiagosa Diare berdasarkan:1. Usia2. Jenis Kelamin3. Berat Badan

Variabel Dependen

Pola penggunaan obat diare berdasarkan:1. Tepat Obat2. Tepat Pasien3. Tepat Indikasi4. Tepat Dosis5. Tepat Diagnosa

7. Hipotesis Hipotesis merupakan suatu kesimpulan yang sifatnya sementara dan masih dibuktikan kebenarannya. Hipotesis ini merupakan dugaan yang masih dimungkinkan benar atau salah. Berdasarkan rumusan masalah dan temuan diatas sehingga hipotesis alternatif yang dirumuskan dalam penelitian ini yaitu: Pola penggunaan obat rheumatoid artritis pada pasien lanjut usia di Puskesmas Cikupa Tahun 2016 sudah sesuai dengan terapi yang seharusnya.

BAB III METODELOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian1. Jenis PenelitianJenis penelitian ini adalah survei deskriptif dengan metode pengumpulan data secara retrospektif. Survei deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan keadaan yang sebenarnya dalam suatu komunitas masyarakat (Machfoedz, 2010: 10). Pada penelitian ini peneliti bertujuan untuk mengambarkan dari pola penggunaan obat rheumatoid artritis pada pasien lansia di Puskesmas Cikupa Tahun 2016.Metode dekriptif adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu fenomena yang terjadi dimasyarakat. Dalam bidang kesehatan masyarakat metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan atau memotret masalah kesehatan yang terkait dengan kesehatan sekelompok penduduk atau orang yang tinggal dalam komunitas tertentu (Notoatmodjo, 2010).1. Subyek PenelitianSubyek penelitian ini adalah penggunaan obat rheumatoid artritis pada pasien lansia di Puskesmas Cikupa Tahun 2016. Yang dilihat dari peresepan yang diberikan oleh dokter ke pada pasien.1. Tempat PenelitianPenelitian dilakukan di Puskesmas Cikupa1. Waktu PenelitianPenelitian ini dilakukan pada bulan april tahun 2016.1. Populasi dan Sampela. PopulasiPopulasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah lembar data rekam medik dan lembar peresepan pada pasien lansia yang terdiagnosa rheumatoid artritis di Puskesmas Cikupa pada periode Januari sampai dengan bulan maret 2016.b. SampelSampel penelitian adalah sebagian yang diambiil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel diambil dengan rumus (Notoatmodjo, 2005):n = N 1 + N (d)Keterangan :n = Besar sampelN = Besar populasid = Tingkat kepercayaan / ketepatan yang di inginkan

B. Alat dan Bahana. Alat PenelitianAlat penelitian ini berupa berkas-berkas yang berisi lembar data rekam medik dan lembar peresepan pasien lansia yang telah terdiagnosa rheumatoid artritis di Puskesmas Cikupa Tahun 2016.b. Bahan PenelitianBahan penelitian ini berupa literatur atau buku pustaka tentang rheumatoid artritis dan observasi terhadap lembar data rekam medik dan lembar peresepan pasien lansia yang telah terdiagnosa rheumatoid artritis di Puskesmas Cikupa Tahun 2016.

C. Alur Penelitiana. Pengajuan judulMengajukan judul skripsi kepada institut pendidikan Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah Tanggerang dan menunggu proses persetujuan.b. Study literaturMencari referensi buku dan jurnal terkait judul yang sudah disetujui oleh pembimbing.c. Pembuatan proposalSetelah sudah disetujui mempersiapkan proposal dan sidang proposal.d. Ijin penelitianPermohonan surat ijin penelitian dari institusi pendidikan Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah Tanggerang yang ditujukan kepada pihak Puskesmas Cikupa dengan tembusan melalui Dinas Kesehatan Kabupaten Tanggerang.e. Pengambilan dataPengambilan data pada penelitian ini dengan cara mengumpulkan lembar data rekam medik dan lembar peresepan pasien lansia yang telah terdiagnosa rheumatoid artritis di Puskesmas Cikupa Tahun 2016.f. Pengolahan dataSeluruh data yang sudah diperoleh kemudian dikumpulkan untuk dilakukan observasi, kemudian dilakukan pemaparan terhadap variabel yang diperoleh.g. Analisa dataMenganalisa data tersebut atau menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca.

D. Pengumpulan DataCara pengumpulan data yaitu dengan menggunakan data sekunder. Data diperoleh dengan mengumpulkan semua lembar rekam medik dan lembar peresepan yang memuat tahapan penatalaksanaan pasien lansia yang telah terdiagnosa rheumatoid artritis dari bulan januari maret 2016 di Puskesmas Cikupa.1. Pengumpulan data dilakukan dengan penelusuran data berupa lembar rekam medik dan lembar peresepan.2. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah menggunakan program komputer SPSS (Statistical Package For the Sciences).3. Hasil pengolahan data kemudian dibahas secara persentase. Pengambilan kesimpulan dilakukan berdasarkan hasil pengolahan data

E. Teknik Pengolahan Dan Analisis Data Data hasil penelitian yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan analisa data secara deskriptif, yaitu:1. Data yang diperoleh dari rekam medis dan resep pasien akan diolah sehingga didapatkan suatu data rata-rata persentase dari pola penggunaan obat rheumatoid artritis pada pasien lansia di Puskesmas Cikupa Tahun 2016.2. Data yang dihasilkan diolah menggunakan program komputer SPSS (Statistical Package For the Sciences) dengan uji statistic chi aqure dan disajikan dalam bentuk tabel daan diagram dengan perhitungan distribusi frekuensi sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui gambaran dari pola penggunaan obat rheumatoid artritis pada pasien lansia di Puskesmas Cikupa Tahun 2016.

F. Definisi OperasionalDefinisi operasional adalah mengidentifikasi variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian (Hidayat, 2009: 79). Dalam penelitian ini, peneliti menjelaskan variabel, skala pengeukuran dan definisi operasional penelitian dalam bentuk tabel.

VariabelDefinisi OperasionalParameterAlat UkurKategori Instrument penelitian

Pola penggunaan obat rheumatoid artritis pada pasien lansia.Obat yang ditulis pada resep sesuai dengan keperluan klinik, dosis sesuai dengan kebutuhan pasien, diberikan dalam jangka waktu yang sesuai dengan penyakit.a. Tepat obat b. Tepat dosisc. Tepat pasiend. Tepat indikasie. Tepat diagnosaObservasi a. Sesuai: jika sesuai dengan parameterb. Tidak Sesuai: jika tidak sesuai dengan parameter.

Dokumentasi dan lembar observasi