skripsi made yuda asmara
DESCRIPTION
“Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem (Perspektif Tri Kerangka Dasar Agama Hindu)”TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Agama Hindu merupakan agama yang tertua di dunia, ajaran-ajaranya
bersumber pada kitab suci Veda yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa.
Bila seseorang secara mantap mengikuti semua ajaran agama yang bersumber
pada sabda suci Tuhan Yang Maha Esa itu, maka akan diperoleh ketentraman dan
kebahagiaan hidup yang sejati yang disebut “Moksatam jagadhita ya ca iti
dharma”(Titib, 2003 :2).
Agama Hindu dikatakan agama yang luwes atau sering disebut dengan
agama fleksibel. Ini dikarenakan agama Hindu khususnya di Bali menyesuikan
dengan sistem desa, kala dan patra. Dalam agama Hindu banyak terdapat ajaran-
ajaran yang tentunya tidak menyimpang dari kitab suci Veda. Salah satu ajaran
yang terpenting dan merupakan dasar atau landasan bagi umat Hindu dalam
pelaksanaan suatu aktivitas keagamaan adalah ajaran Tri Kerangka Dasar Agama
Hindu yang berisikan tattwa, etika dan ritual. Dimana peranan ketiga hal tersebut
tidak pernah lepas dalam pelaksanaan suatu kegiatan atau aktifitas agama Hindu.
Seperti dalam bukunya Suhardana disebutkan : “ Barang siapa yang ingin
mendalami dan mempelajari Agama Hindu tersebut hendaknya memahahami
betul ketiga kerangka dasar Agama Hindu itu yaitu tattwa, susila dan ritual”
(Suhardana 2006 : 6).
1
2
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga konsep yang
mendasari ajaran Agama Hindu tersebut. Tattwa, susila dan ritual atau upacara
merupakan satu kesatuan yang utuh yang harus dilaksanakan secara seimbang
dalam melaksanakan suatu aktivitas agama Hindu. Karena ketiga aspek ini saling
melengkapi satu dengan yang lainnya. Kalau salah satu dari ketiga aspek tersebut
tidak dilaksanakan dengan baik, maka tujuan dari agama Hindu yaitu “Moksatam
jagadhita ya ca iti dharma” tidak akan tercapai dengan sempurna. Sehingga
dalam setiap melaksanakan aktivitas agama Hindu terutama dalam hal yadnya
atau persembahan suci tentu tidak pernah lepas dari konsep Tri Kerangka Dasar
Agama Hindu (Sudharta, 2007 : 5).
Persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa
Pakraman Alasngandang. Yang secara rutin dilaksanakan setiap lima belas hari
sekali secara bergiliran sesuai pembagian tempek oleh masyarakat Desa
Pakraman Alasngandang. Dalam pelaksanaan persembahyangan purnama tilem
yang termasuk bagian dari upacara Dewa Yadnya tentunya tidak pernah lepas dari
konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yang menjadi landasan terpenting yaitu
dalam bidang tattwa atau filosofis ketuhanan, dalam bidang susila atau etika
dalam berprilaku dan dalam bidang ritual atau upacaranya.
Secara realita yang ada disekitar khususnya di Desa Pakraman
Alasngandang, pelaksanaan persembahyangan purnama tilem kalau dilihat
sepintas tidak diragukan lagi mengenai hal ritual atau upacaranya. Tetapi dalam
hal etika dan tattwa atau filsafatnya kurang dipahami dan terkadang
dikesampingkan. Sebagian besar masyarakat Desa Pakraman Alasngandang
3
didalam melaksanakan ritual atau upacara persembahyangan purnama tilem
belum memahami secara benar bagaimanakah cara beretika dengan baik dan
semua hal tersebut berdasarkan tattwa yang mana. Hal inilah yang menjadi
kebiasaan kurang baik oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang khususnya
dalam melaksanakan suatu aktivitas keagamaan.
Etika masyarakat Desa Pakraman Alasngandang dalam melaksanakan
upacara persembahyangan belum sesuai dengan apa yang diharapkan sesuai
dengan konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Seperti bagaimana sikap
duduk yang benar dalam sembahyang, bagaimana etika dalam nunas tirta yang
baik, bagaimana etika dalam menggunakan bija yang benar dan semua itu
berdasarkan tattwa yang mana. Hal inilah yang belum dipahami dan dilaksanakan
dengan baik oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang dalam melaksanakan
upacara persembahyangan purnama tilem. Contohnya dalam muspa kramaning
sembah, sikap duduk wanita ada yang menggunakan sikap silasana ada yang
menggunakan sikap bajrasana, hal inilah yang perlu dibenahi supaya kebiasaan
yang kurang baik tersebut tidak berlanjut pada generasi muda Hindu kedepan
khususnya masyarakat Desa Pakraman Alasngandang.
Tattwa merupakan inti dari ajaran agama Hindu yang belum dipahami
secara benar oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang terutama pada
pelaksanaan persembahyangan purnama tilem tersebut. Seperti tattwa atau
filosofis dalam sarana upakara dupa, bunga, kuwangen, canang dan lain
sebagainya belum diketahui oleh sebagian besar masyarakat Desa Pakraman
Alasngandang. Masih banyak tattwa dan etika serta upacaranya yang perlu
4
dipahami dan dilaksanakan sesuai dengan konsep Tri Kerangka Dasar Agama
Hindu.
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu sebagai pedoman dasar dalam
melaksanakan aktivitas keagamaan khususnya dalam persembahyangan purnama
tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang, supaya tujuan
agama Hindu dapat tercapai dengan benar. Sehingga dari latar belakang ini
peneliti tertarik untuk menjadikan suatu obyek penelitian menjadi sebuah karya
ilmiah dalam bentuk skripsi. Peneliti ingin mengetahui penerapan ajaran tattwa,
etika serta upacaranya dalam persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman
Alasngandang. Yang kemudian peneliti mengangkat judul “Persembahyangan
Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang
Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem (Perspektif Tri Kerangka Dasar
Agama Hindu)”.
1.2 Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan
Tiga Desa Pakraman Alasngandang dalam Perspektif Tri Kerangka Dasar
Agama Hindu?
2. Nilai-Nilai Pendidikan apakah yang terdapat dalam Persembahyangan
Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang?
5
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian yang berbentuk ilmiah sudah tentu dilandasi dengan tujuan yang
ingin dicapai, sebab berhasil tidaknya suatu penelitian ditentukan oleh jelas
tidaknya tujuan itu sendiri. Tujuan merupakan syarat yang mutlak yang harus ada
dalam penelitian. Penelitian yang baik adalah penelitian yang tidak saja berhasil
mengungkapkan masalah dan mencari solusi atau pemecahan dari permasalahan
tersebut, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana hasil dari penelitian ini
memiliki daya efektif untuk mencapai sasaran dan tujuan. Setiap kegiatan yang
dilakukan dibuat suatu perencanaan yang matang, sehingga dalam pelaksanaannya
dapat meminimalkan hambatan yang akan ditemui serta hasil yang akan dicapai
sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Demikian pula dengan penelitian ini sudah
tentu memiliki tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini
meliputi dua tujuan pokok, yaitu tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang
bersifat khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan jenjang starata satu (S1) pada Institut Hindu Dharma Negeri
Denpasar, secara umum penelitian ini juga bertujuan sebagai pelaksanaan Tri
Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan
sumbangan pemikiran serta memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya
ilmu pengetahuan tentang tattwa, etika dan ritual dalam Persembahyangan
6
Purnama Tilem, sehingga dapat dijadikan pedoman dan landasan dalam
mewujudkan kehidupan yang harmonis baik lahir maupun bathin.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan secara khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini
sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut :
1 Untuk mengetahui persembahyangan purnama tilem di Pura
Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang dalam perspektif Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu.
2 Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam
Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa
Pakraman Alasngandang.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah nilai guna dari kegiatan penelitian. Setiap
penulisan karya ilmiah atau penelitian sudah tentu memiliki manfaat atau guna
yang ingin dicapai berupa hasil yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan saat
ini maupun yang akan datang. Melalui pelaksanaan penelitian ini diharapkan
hasilnya dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Adapun
manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan menambah bahan pustaka
mengenai persembahyangan purnama tilem yang berdasarkan tattwa, etika dan
7
ritual yang dirangkum dalam ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan positif bagi
pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya tentang ajaran Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan maamfaat praktis sebagai
berikut :
1. Mendapatkan pengetahuan yang lebih tentang tattwa, etika, dan ritual
dalam ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu khususnya bagi
masyarakat Desa Pakraman Alasngandang.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pengetahuan bagi yang
ingin lebih mendalami ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
3. Bagi masyarakat, dapat digunakan sebagai bahan acuan dan
pertimbangan dalam melaksanakan persembahyangan purnama tilem
dengan tatwa, etika dan ritual yang baik dan benar.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN KONSEP DAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam
mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan subyek penelitian yang akan
dilaksanakan. Dalam suatu karya ilmiah, penggunaan kajian pustaka sangat
penting dalam mendukung, mengungkapkan, serta menghasilkan suatu karya
ilmiah yang berbobot. Dalam kajian pustaka ini, peneliti mencari sumber data
kepustakaan sebagai pendukung khasanah pengetahuan, pustaka pembanding,
serta menunjukkan perbedaan arah penelitian untuk meminimalisir kesamaan
kajian. Kajian pustaka meliputi pengidentifikasian secara sistematis penemuan
dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan
masalah penelitian (Sugiyono, 2007 : 80).
Kajian pustaka yang akan dikaji dalam mendukung penelitian ini, baik
dalam bentuk pustaka-pustaka, buku-buku, karya ilmiah yang berupa skripsi
dipandang perlu dan bermanfaat dalam upaya melaksanakan penelitian ini,
sehingga tidak terjadi kesamaan dalam pembahasan sebuah objek penelitian.
Adapun beberapa sumber pustaka atau hasil penelitian yang dijadikan sebagai
bahan kajian pustaka antara lain sebagai berikut:
Jawi (2007), dalam penelitiannya “Makna Pelaksanaan Persembahyangan
Purnama Tilem Dalam Meningkatkan Sikap Disiplin Siswa SD Negeri Blahbatuh
8
9
Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar”. Dalam penelitian ini dijelaskan
mengenai makna dan tata cara persembahyangan purnama tilem serta
menerangkan nilai-nilai agama Hindu yang terkandung dalam penelitian tersebut.
Penelitian ini sangat menunjang dalam membahas makna dan tata upacara
persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang yang sesui
dengan tattwa, susila serta upacaranya.
Dewi (2008), dalam penelitiannya “Pelaksanaan Persembahyangan
Purnama Tilem Kampus IHD Negeri Denpasar di Singaraja (Perspektif Nilai
Pendidikan Agama Hindu)”. Penelitian ini membahas tentang bagaimana proses
pelaksanaan persembahyangan purnama tilem serta makna folosofis dari
pelaksanaan persembahyangan purnama tilem tersebut. Sehingga penelitian ini
dapat dijadikan acuan dalam membahas makna dan proses pelaksanaan
persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang.
Widana (2009), dalam penelitiannya “Esensi Pelaksanaan
Persembahyangan Purnama Tilem Dalam Meningkatkan Kualitas Sraddha Bhakti
Sisswa di SD Dangin Tukap Tahun Pelajaran 2008/2009”. Dalam penelitian ini
membahas esensi pelaksanaan persembahyangan purnama tilem terutama dalam
meningkatkan sradha dan bhakti siswa, selain itu membahas tentang nilai-nilai
pendidikan yang terkandung dalam pelaksanaan persembahyangan purnama tilem
tersebut. Dalam hubungannya dengan penellitian ini, proses persembahyangan
purnama tilem tersebut dapat meningkatkan pengetahuan tattwa, etika serta ritual
masyarakat Desa Pakraman Alasngandang yang sesuai dengan ajaran Tri
Kerangka Dasar agama Hindu.
10
Subagiasta (2006), dalam bukunya berjudul “ Teologi, Filsafat, Etika dan
Ritual dalam Susastra Hindu” buku ini memberikan sumbangan mengenai nilai-
nilai ajaran agama Hindu, terutama tentang teologi Hindu, Filsafat Hindu, Etika
Hindu dan Ritual Hindu yang tersurat dalam beberapa susastra Hindu. Walaupun
paparan buku kecil ini masih sangat terbatas, tentunya memiliki harapan mulia
untuk bisa membangkitkan kecintaan pembaca terhadap beberapa susastra Hindu
yang sarat dengan nilai kerohaniannya. Tentang filsafat Hindu dipaparkan dalam
susastra Buana Kosa, Kusuma Dewa, Gong Besi, Siwagama, purana-purana,
kuturan tattwa, tentang Etika Hindu dipaparkan sesuai susastra Sila Krama dan
Slokantara. Sedangkan tentang ritual dipaparkan sesuai Kusuma Dewa, Siwa
Gama dan Gong Besi. Sehingga buku ini dapat dijadikan pedoman dalam
membahas ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan
purnama tilem tersebut.
Rudia (2004), dalam bukunya yang berjudul : “ Dasar-dasar Agama
Hindu” memuat tentang dasar-dasar agama Hindu yaitu pengertian tattwa atau
filsafat, etika dan upacara serta pengetahuan dasar-dasar agama Hindu mulai adri
pokok-pokok Sradha dalam agama Hindu sampai dengan upacara-upacara Yadnya
yang menyagkut hari-hari suci agama Hindu diantaranya adalah Purnama Tilem.
Isi dari buku ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam penelitian
persembahyangan puranma tilem yang tidak akan lepas dari dasar-dasar agama
Hindu yaitu tattwa, etika dan ritual.
Raras (2004) dalam bukunya “ Purnama Tilem “ buku ini membahas
tentang pengertian, makna filosofis beserta sejarah purnama tilem. Terkait dengan
11
obyek penelitian yaitu upacara persembahyangan Purnama Tilem tersebut, buku
ini sangat cocok dan menunjang dalam pembuatan penelitian ini. Karena buku ini
memaparkan secara rinci tentang bagaimana pelaksanaan upacara Purnama Tilem
tersebut baik dalam hal makna bersta sejarah purnama tilem tersebut.
Wiana (1992), dalam bukunya “Sembahyang Menurut Hindu” buku ini
menjelaskan tuntunan dan manfaat bersembahyang, tetapi juga menjelaskan
dengan rinci apa arti dan fungsi sarana persembahyangan bagi umat Hindu, seperti
air, bunga, api dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah
membahas tentang tata cara persembahyangan khususnya pada Persembahyangan
purnama tilem, baik dari segi manfaat, fungsi serta sarana yang digunakan
didalam persembahyangan purnama tilem. Sehingga buku ini sangat tepat
dijadikan acuan dalam penulisan karya ilmiah ini yang membahas tentang
persembahyangan purnama tilem dalam perspektif Tri Kerangka Dasar agama
Hindu di Desa Pakraman Alasngandang.
2.2 Landasan Konsep
Konsep merupakan suatu pengertian yang harus terlebih dahulu dipahami
di dalam suatu penelitian ilmiah. Landasan konsep merupakan teori-teori baku
yang digunakan sebagai landasan dasar di dalam menjawab semua permasalahan
yang diajukan. Konsep sangat perlu ada dalam sebuah penelitian agar penelitian
tesebut mempunyai dasar yang kokoh dan mendapatkan hasil yang ilmiah
(Sugiyono, 2007 : 81).
12
Landasan konsep dalam penulisan ini memuat uraian sistematis tentang
pemikiran yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Penulis
mencari pengertian-pengertian atau konsep-konsep yang relevan dengan variabel-
variabel yang menjadi topik penelitian ini, sehingga diperoleh pemahaman yang
komprehensif terhadap permasalahan yang dikemukakan berturut-turut yaitu
tentang (1). Persembahyangan (2). Purnama Tilem (3). Pura Kahyangan Tiga (4).
Desa Pakraman (5). Perspektif (6). Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
2.2.1. Persembahyangan
Kata “Persembahyangan” merupakan kata dasar dari sembah dan Hyang.
Kata “Sembah” berasal dari bahasa Jawa Kuno yang memiliki arti “menyayangi,
menghormati, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan” Sedangkan kata
“Hyang” artingan suci. Dengan demikian Sembahyang berarti menyembah yang
suci, diantara yang suci itu, yang maha suci adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Hakekat sembahyang sebagai langkah awal untuk dapat mendayagunakan
kepercayaan dan bhakti umat kepada Tuhan untuk meningkatkan harkat dan
martabat kehidupan manusia (PHDI, 2009 : 1).
Pada Kenyataannya semua agama mengajarkan uamatnya memuja Tuhan
secara individu dan dengan cara bersama-sama. Sembahyang sendiri (individual)
disebut Ekanta dan sembahyang dengan bersama-sama atau kelompok disebut
dengan Samkirtanam. Karena manusia pada hakekatnya memiliki dua dimensi
yaitu manusia sebagai makhluk individu dan manusia sebagai makhluk sosial.
Dalam Persembahyangan bersama sifat dan karakter manusianya berbeda-beda
seperti bersifat sattwam, rajasika dan tamasika (PHDI, 2009 :2)
13
Persembahyangan disini memiliki pengertian yang cukup luas, yaitu
melakukan pemujaan dan penghormatan kepada Dewa atau Tuhan Yang Maha
Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) atau kepada sesuatu yang suci dalam hal ini
adalah persembahyangan purnama tilem dalam perspektif Tri Kerangka Dasar
agama Hindu.
2.2.2. Purnama Tilem
Kata Purnama berasal dari kata “purna” yang artinya sempurna. Purnama
dalam kamus umum Bahasa Indonesia berarti bulan yang bundar atau sempurna
(tanggal 14 dan 15 kamariah). Sedangkan Tilem artinya bulan mati atau gelap.
Pada hari Purnama yang beryoga adalah Sang Hyang Candra (Sang Hyang
Wulan) yang merupakan hari penyucian Sang Hyang Rwa Bhineda yaitu Sang
Hyang Surya dan Sang Hyang Wulan. Sedangkan pada hari Tilem yang beryoga
adalah Sang Hyang Surya, yang sekaligus merupakan hari penyucian Sang Hyang
Rwa Bhineda yaitu Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Wulan. Pada waktu
Candra Graha (gerhana bulan) pujalah beliau dengan Candra Sthawa (sama
Sthawa). Pada waktu Surya Graha (gerhana matahari) pujalah beliau dengan
Surya Cakra (Bhuana Sthawa) (Niken Tambang 2004 : 6).
Hari purnama tilem datang setiap 15 hari. Dari hari purnama mencari tilem
ada 15 Panglong atau 15 hari, sedangkan dari hari tilem mencari Purnama ada 15
Penanggal atau 15 hari. Dari purnama mencari purnama kembali lamanya 30 hari,
begitu juga dari tilem mencarai tilem kembali lamanya 30 hari. Sehari setelah
purnama sampai tilem disebut Panglong, sedangkan sehari setelah tilem sampai
14
purnama disebut Penanggal. Sehari sebelum hari purnama disebut dengan
Purwanining Purnama (Penanggal 14), sedangkan sehari sebelum hari tilem
disebut dengan Purwanining Tilem (Panglong 14). Hal inilah yang perlu
diperhatikan dan di ingat dalam menentukan hari-hari suci yang terletak pada
Purnama Tilem tersebut.
2.2.3. Pura Kahyangan Tiga
Istilah pura berasal dari kata “pur” yang artinya kota, benteng, atau kota
yang berbenteng. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia
kesucian dengan dikelilingi atau dibentengi dengan tembok atau pagar untuk
memisahkan dengan dunia di sekitarnya yang dianggap tidak suci. Istilah Pura
dipergunakan sebagai tempat pemujaan umat Hindu di Bali (Oka Netra, 1994: 83-
84).
Sebelum dikenal istilah Pura, untuk menunjukkan tempat pemujaan Hindu
di Bali dikenal istilah Kahyangan atau Hyang bahkan pada zaman Bali kuno
dipakai istilah “Ulon” yang berarti tempat suci atau tempat yang dipakai untuk
berhu8bungan dengan Ketuhanan. Hal ini dimuat dalam Prasasti Sukawana AI
(Th. 882 M). demikian pula Prasasti Pura Kehen menyebutkan istilah Hyang.
Menurut Lontar Usana Dewa Mpu Kuturan lah yang mengajarkan umat Hindu di
Bali membuat Kahyangan Dewa seperti cara membuat pemujaan Dewa di Jawa
timur.
Dalam bukunya Sumantra (166 : 2009) menjelaskan bahwa, Kahyangan
atau Prahyangan berasal dari kata Hyang (biasanya dihubungkan dengan Sang,
Dang), merupakan kata sandang yang ditempatkan didepan sesuatu yang
15
simuliakan, di hormati. Sedangkan Menurut Tim Penyusun Buku Pelajaran
Agama Hindu untuk SMU Kahyangan adalah Tempat pemujaan Tuhan oleh umat
Hindu di Indonesia khususnya di Bali dan kata Tiga mempunyai arti nama
bilangan bagi lambing bilangan asli 3 jadi pengertian Pura Kayangan Tiga dalam
kaitannya dengan penelitian ini adalah tempa suci umat Hindu yang difungsikan
untuk melaksanakan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam
prabhawanya atau manefestasinya sebagai Tri Wisesa atau Tri Murti. Jenis Pura
yang tergolong dalam Pura Kayangan Tiga adalah
1. Pura Desa atau Pura Bale Agung, merupakan tempat suci umat Hindu
untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam manefestasinya sebagai
Dewa Brahma, Dewa Brahma merupakan prabhawa Ida Sang Hyang
Widhi sebagai pencipta yaitu menciptakan segala yang ada di alam
semesta ini.
2. Pura Puseh merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja
manefestasi Ida Sang Hyang Widhi dalam manefestasinya sebagai
Dewa Wisnu yang berfungsi sebagai pemelihara alam semesta,
3. Pura Dalem merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja
manefestasi Ida Sang Hyang Widhi dalam manefestasinya sebagai
Dewa Siwa yang berfungsi untuk mempralina atau melebur alam
semesta.
4. Pura Prajapati merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja
manefestasi Ida Sang Hyang Widhi dalam manefestasinya sebagai Sang
Prajapati yang biasa disebut juga Pura Ulu (Pura Kuburan).
16
2.2.4. Desa Pakraman
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa desa adalah :
1. Kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai
istem pemerintahan sendiri.
2. Kelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan (Tim Penyusun,
1991: 227).
Sedangkan menurut Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang
Desa Pakraman, menyebutkan Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat
hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan
Khayangan Tiga atau Khayangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan
harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam
satu Desa Pekraman bisa terdiri dari satu atau lebih Banjar Pekraman.
Tjokorda Raka Dherana (1982:36) dalam bukunya yang berjudul
“Pembinaan Awig-Awig Desa Pakraman Dalam Tertib Masyarakat” mengatakan
bahwa istilah desa mengandung dua pengertian, yaitu:
1. Secara Tradisional desa adalah merupakan perwujudan dari lembaga Pakraman, yang dikenal dengan istilah “Desa Pakraman”
2. Pengertian kedua adalah menunjuk pada adanya bentuk Desa Administratif yang eksistensinya tergantung pada kehendak penguasa daerah, yang disebut “Desa Dinas” (Dherana,1982: 21)
Desa Pakraman dalam pengertian ini menunjuk kepada suatu wilayah
yang dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu, kecuali di beberapa desa dalam
kota atau desa-desa yang terletak di pinggir pantai yang penduduknya sudah
17
heterogen dan terdiri dari berbagai umat beragama. Di Bali sekarang ini konsep
desa mengandung dua pengertian. Pertama, desa sebagai komunitas yang bersifat
sosial, religius, tradisional, adalah satu kesatuan wilayah di mana para warganya
secara bersama-sama atas tanggungan bersama mengkonsepsikan dan
mengaktifkan upacara-upacara keagamaan, kegiatan-kegiatan sosial yang ditata
oleh sistem budaya. Organisasi desa dalam pengertian ini disebut Desa Pakraman.
Rasa kesatuan sebagai Desa Pakraman diikat oleh faktor Tri Hita Karana, yaitu:
a. Parahyangan Desa adalah pura yang dipuja oleh warga desa yang terdiri dari Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem,
b. Palemahan desa atau tanah desac. Pawongan desa atau warga desa
Kedua desa sebagai komunitas yang lebih bersifat administratif atau
kedinasan, yaitu satu kesatuan wilayah di bawah kecamatan dan dikepalai oleh
seorang Kepala Desa atau Perbekel. Organisasi desa dinas disatukan oleh adanya
kesatuan fungsi yang dijalankan oleh desa sebagai kesatuan administratif
(Dherana,1982: 19).
Menurut Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 6 Tahun
1986 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Fungsi dan Peranan Desa Pakraman sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum
Pakraman dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan
tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun
temurun dalam ikatan Khayangan Tiga (Khayangan Desa), yang mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah
tangganya sendiri.
18
Adapun desa-desa di Bali telah mempunyai pemerintahan sendiri,
memiliki aturan-aturan tata krama yang dibuat serta berlaku bagi seluruh warga
desa. Segala sesuatu yang berhubungan dengan desanya, terutama dalam usaha
untuk menegakkan Pakraman, kewajiban warga desa terhadap wilayah
pemukimannya terhadap sesama warga desa dan terhadap sesama agamanya serta
larangan-larangan, dan keharusan-keharusan yang harus dipatuhi oleh warga desa,
semuanya itu ditentukan oleh warga desa itu sendiri dalam bentuk aturan-aturan
yang tidak tertulis, maupun tertulis dan dinamakan dresta, sima, awig-awig, loka
cara, Batur dresta dan lain sebagainya.
Aturan-aturan ini sebagian tidak tertulis, tetapi dipahami oleh warga Desa
Pakraman serta dipatuhi. Oleh karena isi dari aturan-aturan tersebut, disarikan
dari nilai budaya warga desa yang bersangkutan atas dasar kepatuhan dari para
leluhurnya secara turun temurun. Perubahan-perubahan peraturan Pakraman
biasanya terjadi secara evolusi dan alamiah sejalan dengan perubahan-perubahan
nilai budaya yang terdapat di kalangan warga desa itu sendiri.
2.2.5 Perspektif
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan bahwa kata perspektif berarti
sudut pandang atau pandangan (Tim Penyusun 2001:760). Sedangkan Echols
(dalam Dika, 2008:18) istilah perspektif berasal dari Bahasa Inggris, yaitu
“perspective”, yang artinya sebenarnya. Perspektif adalah sudut pandang dimana
sesuatu dilihat, gambaran tentang apa yang mungkin atau apa yang bermakna
dalam proses menyusun dan memecahkan suatu masalah
19
(Posrwadarmita,1991 :834). Perspektif digunakan untuk mengkaji masalah dari
sudut pandang tertentu demi tercapainya pendapat yang khusus atau mendalam.
Menurut beberapa pengertian dalam kamus Filsafat (Tim Penyusun,
2000:834) prespektif memiliki pengertian :
1. Sudut pandang darimana sesuatu dilihat.
2. Gambaran tentang apa yang mungkin atau apa yang bermakna dalam
proses penyusunan dan memecahkan suatu masalah.
Bertitik tolak dari kutipan di atas maka prespektif adalah suatu sudut
pandang atau gambaran dari sesuatu dalam hal ini adalah Persembahyangan
Purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang dalam
ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
2.2.6 Tri Kerangka Dasar Agama Hindu
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga konsep yang
mendasari ajaran Agama Hindu tersebut. Barang siapa ingin mendalami dan
mempelajari Agama Hindu tersebut hendaknya memahahami betul ketiga
kerangka dasar Agama Hindu itu. Ketiga konsep kerangka dasar agama Hindu
tersebut antara lain : Tattwa atau filsafat agama Hindu, susila atau etika agama
Hindu, ritual atau upacara agama Hindu (Suhardana 2006 : 6).
Tattwa, etika dan ritual dapat di ibaratkan dengan sebutir telur. Dimana
kuning telur atau sarinya merupakan aspek tattwa atau Filsafatnya, dan putih telur
merupakan aspek dari susila atau etikanya, sedangkan kulit dari telur merupakan
20
aspek dari ritual atau upacaranya. Telur akan menetas dengan sempurna apabila
ketiga komponen dari kuning telur, putih telur dan kulitnya berfungsi dengan
baik. Begitu juga pada agama Hindu yang akan berjalan dengan baik dan benar
apabila dalam melaksanakan aktivitas keagamaannya selalu disertai dengan
upacara, etika dan tentu saja berdasarkan tattwa yang benar. Sehingga apa yang
menjadi tujuan dari agama tersebut dapat tercapai sesuai dengan kepercayaan
umat Hindu (Sudharta, 2007 : 5).
Ketiga aspek diatas merupakan suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan. Karena itu ketiga kerangka dasar agama tersebut harus dipahami
benar, mengingat ketiganya saling berkaitan. Memahami atau tidak memahami
salah satu aspek, dapat mengakibatkan pemahaman terhadap agama Hindu
menjadi tidak lengkap dan bahkan bisa mengaburkan atau memberi pengertian
yang keliru terhadap agama Hindu. Oleh karenanya, barang siapa ingin
mempelajari agama Hindu hendaknya mendalami ketiga hal tersebut. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa ketiga hal tersebut saling melengkapi, saling keterkaitan
dan tentu saja tidak dapat dipisah-pisahkan.
Bagi umat Hindu sendiri, memahami dan mendalami ketiga aspek
termaksud diatas tentu akan menjadi sangat penting. Janganlah berpegang kepada
salah satu aspeknya saja misalnya aspek upacaranya. Usahakanlah mempelajari,
menghayati dan mengamalkan bukan saja aspek upacaranya, tetapi juga aspek
tattwa dan susilanya. Dengan demikian akan terdapat keseimbangan dalam
pemahaman dan pelaksanaannya baik upacara, tattwa maupun susilanya.
21
Aspek tattwa atau filosofinya merupakan inti ajaran agama Hindu,
sedangkan aspek susila dan etikanya merupakan pelaksanaan ajaran agama dalam
kehidupan sehari-hari. Aspek upacara dan ritualnya merupakan pengorbanan suci
yang tulus ikhlas kehadapan Ida Sang Hyang Widhi atau yang bisa dikatakan
yadnya. Ketiga aspek tersebut harus dilaksanakan secara baik dan seimbang demi
terwujudnya agama Hindu tersebut dalam aktivitas keagamaan sehari-hari
(Sudharta, 2007 : 4).
2.3 Teori
Dalam bukunya Sugiyono (2007 : 52) menjelaskan bahwa, Teori adalah
seperangkat konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang berfungsi untuk
melihat fenomena secara sistematik, melalui sfesifikasi hubungan antar variabel,
sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan suatu fenomena.
Teori dimaksudkan sebagai sesuatu yang mengandung prinsip dasar yang berlaku
umum yang memberikan kerangka orientasi untuk analisis dan klasifikasi.
Kerangka orientasi yang dimaksudkan adalah kerangka pikiran yang dirumuskan
dengan jelas sebagai tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian. Teori yang
dipakai dalam penelitian ini antara lain : Teori Interaksionisme Simbolik dan
Teori Religi.
2.3.1 Teori Interaksionisme simbolik
Teori Interkasionisme Simbolik menurut Bogda dan Taylor
mengemukakan orang senantiasa berada dalam suatu interpensi dan defenisi
karena mereka harus terus menerus bergerak dari satu situasi lain sebuah situasi
fenomena akan bermakna apabila ditafsirkan dan didefenisikan (Suprayoga,
22
2001 : 105). Orang dengan potensi yang dimiliki dianggap mampu menjadi obyek
untuk dirinya sendiri dan sebagai subyek yang mampu melihat tindakan-tindakan
seperti orang lain melihatnya. Dengan kata lain manusia dapat membayangkan
serta sadar diri dari perlakunya dari sudut orang lain. Dengan demikian manusia
mengkontruksi perilakunya dengan membangkitkan respon tertentu dari orang
lain karena manusia adalah pelambang bermakna.
Tindakan perilaku seorang sekelompok orang tergantung pada bagaimana
mendefenisikan lingkungannya dan mendefenisikan dirinya. Peranan sosial nilai,
norma dan tujuan bahkan yang membentuk kondisi dan tanggung jawab
perbuatan. Simbol adalah suatu hal atau keadaan yang merupakan pengantaran
pemahaman terhadap obyek. Manifestasi serta karakteristik simbol tidak terbatas
pada isyarat fisik tetapi dapat juga berwujud penggunaan kata-kata, yakni simbol
suara, yang mengandung arti bersama serta bersifat standar. Singkatnya simbol
berfungsi memimpin pemahaman obyek kepada obyek. Dalam makna tertentu
bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat (Triguna, 2000 : 7). Simbol berfungsi
sebagai perwujudan statis sosial seseorang semakin beraneka ragam simbol yang
dapat digunakan atau melekat pada seseorang semakin tinggi status sosial yang
bersangkutan. Akibat simbol acapkali dipandang sebagi alat melegitimasikan
status social. Dalam kontek ini sibolisme pada masyarakat Hindu, simbol juga
syarat dengan makna status dan peranan itulah sebabnya pada masyarakat Hindu
simbol dipandang identitas individu atau kelompok.
Menurut Blumer (1962 : 50) salah seorang tokoh aliran ini menyatakan
bahwa mutiara interaksionisme simbolik menunjukkan keadaan sifat khas dari
23
interkasi antara mausia yang diantarnya oleh pengguna simbol-simbol serta
interkasi terhadap simbol-simbol.
Kajian simbol terkait dengan penelitian ini sebagai tanda persembahan.
Hal ini menunjukkan betapa universalnya penggunaan simbol dalam kehidupan
manusia. Proses upacara dalam agama Hindu menggunkan banyak simbol. Dalam
penelitian ini simbol-simbol salah satunya dapat dilihat dalam wujud upakara atau
sarana dalam ritual agama Hindu yang terkandung dalam ajaran Tri Kerangka
Dasar Agama Hindu pada persembahyangan Purnama Tilem di Pura Desa
Pakraman Aalasngandang. Wujud dari sarana merupakan perwujudan penyerahan
diri atau keihklasan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang terbentuk sedemikian
rupa yang berisikan seluruh hasil ciptaan Tuhan yang terdiri dari hasil bumi.
2.3.2. Teori Religi
Religi adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat
tradisional. Religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai
suatu maksud dengan cara menyadarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan
mahluk-mahluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa, dan sebagainya yang
menempati alam. (Koentjaraningrat, 1997 : 53-54).
Menurut Koentjaraningrat (dalam Yudha Triguna, 2000 : 75),
menguraikan: “banyak teori yang mencoba menerangkan bagaimana asas religi
pada berbagai suku bangsa di dunia terjadi. Macam-macam teori tersebut bila
diklasifikasikan, maka akan tampak empat kategori besar, yaitu (1) Teori religi
yang dalam pendekatannya beroriantasi pada keyakinan relegi. (2) Teori-teori
24
yang dalam pendekatannya berorintasi kepada sikap manusia terhadap alam gaib
atau hal yang gaib. (3) Teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada
upacara relegi, dan (4) teori yang dalam pendekatannya menggunakan kombinasi
ketiga poin di atas.
Teori religi menjelaskan bahwa ada satu hal yang selalu ada dalam segala
macam gagasaan dan perilaku keagamaan mahluk manusia yaitu perasaan bahwa
hal-hal yang bersangkutan dengan religi atau agama itu bersifat keramat, berbeda
dengan hal-hal yang tidak bersangkutan dengan religi atau agama, yaitu yang
bersifat provane. Dengan demikian sampai pada suatu sistem berkaitan dari
keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang keramat Koentjaraningrat,(1980 :
94-95).
Koentjaraningrat, (1997 : 194-195) teori Taylor yang terpenting
menyebutkan bahwa perilaku manusia yang bersifat religi itu terjadi karena (1)
Manusia mulai sadar akan adanya konsep roh. (2) Manusia mengakui adanya
berbagai gejala yang tak dapat dijelaskan dengan akal. (3) Keinginan manusia
untuk mengahapi berbagai krisis yang senantiasa dialami manusia dalam daur
hidupnya. (4) Kejadian-kejadian luar biasa yang dialami manusia di alam
sekelilinghnya. (5) adanya getaran (yaitu emosi) berupa rasa kesatuan yang timbul
dalam jiwa manusia sebagai warga masyarakatnya. (6) manusia menerima suatu
firman dari Tuhan
Teori Religi dalam penelitian ini pendekatannya berorientasi kepada
upacara religi yaitu pada persembahyangan purnama tilem di pura Desa
25
Pakraman Alasngandang dalam penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama
Hindu. Teori ini juga dipergunakan dalam penelitian ini karena adanya
pembahasan yang mendalam terhadap keyakinan religi masyarakat di Desa
Pakraman Alasngandang terutama dalam melaksanakan persembahyangan
purnama tilem tersebut.
2.3.3. Teori Nilai
Menurut Hartono dan Hunt (dalam Metriani, 2008 : 35), nilai adalah
gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai
pada hakekatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang tetapi tidak
mengalami apakah sebuah perilaku dan pertimbangan seseorang tetapi tidak
menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar. Sedangkan
menurut John Dewey dalam teori pragmatisme, nilai pandangan sebagai perbuatan
pemberi nilai dikaitkan dengan keginaannya, sesuatu yang menjadikannya nilai
sama dan berguna. Nilai dalam kehidupan sosial dikaitkan sebagai objek dari cita-
cita atau tujuan bersama yang telah disetujui oleh masyarakat. Nilai itu
dimaksudkan sebagai kemampuan yang mendasar kemakmuran bersama
(Djunaidi, 1982:16).
Teori nilai dalam penelitian ini dipergunakan untuk membahas dan
memecahkan penerapan nilai-nilai yang terdapat dalam persembahyangan
Purnama Tilem di Pura Kahyanga Tiga Desa Pakraman Alasngandang
Alasngandang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem.
26
2.4. Model Penelitian
Bagan 1. Model Penellitian
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu
Tattwa (Filsafat)
Ritual(Upacara
)
Susila(Etika)
PersembahyanganPurnama Tilem
AGAMA HINDU
Dalam perspektif Tri Kerangangka Dasar Agama
Hindu
1). Pola Ajaran Tattwa
2). Pola Ajaran Susila (Etika)
3). Pola Ajaran Ritual (upacara)
Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam persembahyangan Purnama
Tilem
1). Nilai Pedidikan Sosial Religius
2). Nilai Pendidika Sosial Budaya
3). Nilai Pendidikan Sosial Ekonomi
27
Penjelasan Bagan :
Agama Hindu tidak dapat lepas dari Tri Kerangka Dasar Agama Hindu,
yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Tattwa merupakan inti terdalam dari segala
rangkaian bentuk persembahan dan kegiatan umat manusia kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Susila merupakan etika atau tata cara melakukan persembahan dan
kegiatan yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan Ritual
merupakan bentuk persembahan dan kegiatan upacara umat Hindu kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Ketiga aspek ini merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Ketiganya harus dilaksanakan secara seimbang dalam
melakukan setiap kegiatan Agama Hindu khususnya pada persembahyangan
purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang. Jika
dalam pelaksanaan upacara tersebut sudah menerapkan ajaran tattwa yang benar,
susila yang baik serta ritualnya yang sesuai dalam perspektif Tri Kerangka Dasar
Agama Hindu tersebut, maka masyarakat Desa Pakraman Alasngandang dapat
meraih kehidupan yang harmonis sekala dan niskala. Dalam persembahyangan
purnama tilem tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan berupa nilai pendidikan
sosial religius, nilai pendidikan sosial budaya dan nilai pendidikan sosial
ekonomi.
28
BAB III
METODE PENELITIAN
Penyusunan suatu karya ilmiah diperlukan sutu metode ilmiah pula, sebab
berhasil tidaknya suatu penelitian sebagian besar ditentukan oleh ketetapan
metode yang diperlukan dalam penelitian tersebut, sehingga nantinya diharapkan
hasil yang akan atau hendak dicapai dalam penelitian itu dapat dipertanggung
jawabkan keberadaanya. Metode memegang peranan yang sangat penting dalam
menyusun suatu karya ilmiah. Metode adalah cara yang teratur dan signifikan
untuk pelaksanaan sesuatu (Budiono, 2005: 44).
Mengingat betapa pentingnya metode itu , dalam penyusunan karya ilmiah
ini peneliti mempergunakan beberapa teknik yaitu : menentukan lokasi penelitian,
jenis penelitian, data dan sumber data, teknik penentuan informan, teknik
pengunpulan data, metode analisis data.
3.1 Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi penelitian sangatlah penting dalam penelitian, agar tidak
melebarnya permasalahan yang dibahas. Pada umumnya pertimbangan penentuan
lokasi penelitian adalah untuk mengetahui keterbatasan geografis dan praktis
seperti waktu, biaya, dan tenaga. Sesuai dengan judul penelitian, maka lokasi
penelitian telah ditetapkan yakni di Desa Pakraman Alasngandang, Desa
Pempatan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem.
28
29
3.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ada dua yaitu : penelitian kualitatif dan penelitian
kuantitatif. Penelitian kuantitatif mengukur objek dengan suatu perhitungan,
dengan angka, prosentase, statistik atau bahkan dewasa ini dengan komputer
sehingga penekanannya pada metode kuantitatif, sedangkan penelitian kualitatif
adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci (Sugiyono, 2005 : 12).
Ardika dalam makalahnya tentang metode penelitian kualitatif menyatakan bahwa
metode penelitian kualitatif mengacu pada strategi penelitian yang menghasilkan
data atau bahan keterangan deskriptif mengenai makna dari suatu benda, tindakan,
dan peristiwa-peristiwa yang terkait dalam kehidupan sosial masyarakat. Mengacu
pada pengertian tersebut, maka jenis pendekatan penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, mengingat permasalahan yang
ingin diangkat merupakan masalah sosial keagamaan.
Penelitian ini menyajikan data atau keterangan yang mendeskripsikan
tentang penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yang dilaksanakan
dalam persembahyangan purnama tilem. Mulai dari ajaran tattwa, etika, susila
serta dampak yang ditimbulkan dari ajaran tersebut.
3.3 Data dan Sumber Data
Data merupakan sumber keterangan-keterangan tentang satu hal.
Sebelum digunakan dalam proses analisis, data itu perlu dikelompokkan terlebih
30
dahulu (Iqbal, 2002 : 82). Berdasarkan pengambilannya, data dibedakan menjadi
dua yaitu: data primer dan data sekunder.
3.3.1. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di
lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang
memerlukannya. Data primer juga disebut data asli atau data utama (Iqbal, 2002:
167). Dalam hal ini yang menjadi data primer adalah berupa informasi yang
diperoleh langsung seperti : tokoh agama, seperti seluruh pemangku Kahyangan
Tiga di Desa Pakraman Alasngandang dan masyarakat terkait yang dijadikan
sebagai informan kunci untuk mendapatkan informasi yang akurat sehingga data
yang diperoleh semakin jelas mengenai persembahyangan purnama tilem.
3.3.2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang
yang melakukan penelitian dari sumber-sumber lain yang telah ada, seperti buku-
buku sebagai penunjang yang isinya berkaitan dengan topik penelitian. Data ini
biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan penelitian
sebelumnya (Iqbal, 2002 : 167). Data sekunder yang dipakai dalam penelitian ini
adalah dari buku-buku yang menyangkut ajaran Tri Kerangka Dasar Agama
Hindu, persembahyangan dan beberapa penelitian sebelumnya yang terkait.
Dalam pembahasannya, data primer dan data sekunder akan dipadukan agar
didapatkan data yang benar-benar valid.
31
3.4. Metode Penentuan Informan
Penelitian yang dilakukan menggunakan informan sebagai sumber
informasi atau orang yang memiliki kompetensi untuk menyampaikan data dan
informasi. Penelitian kualitatif erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual.
Informan yang dimaksud dalam penelitian adalah sumber data dan informasi yang
hasilnya akan bermanfaat dalam proses analisis, sehingga berguna bagi
pembentukan konsep dan proposisi sebagai temuan penelitian (Bungin, 2001 :
206).
Sampling adalah suatu cara pengumpulan data untuk dijadikan objek
penelitian (Cholid Narbuko, Abu Achmadi, 2002 : 146 dalam Suwitrayasa, 2008 :
25). Memperhatikan hal tersebut, agar penelitian lebih efektif maka dalam
penelitian ini menggunakan teknik sampling, karena dengan menggunakan teknik
sampling dapat menghindarkan pemborosan mengenai waktu, dana, dan tenaga,
sehingga penelitian yang dilakukan dapat berlangsung lebih efektif.
Pengambilan terhadap siapa yang menjadi anggota sampel didasarkan atas
teknik-teknik sampling yang berbeda-beda. Berdasarkan pada aturan cara
pengambilan subjek yang akan menjadi anggota sampel, suatu teknik sampling itu
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu : 1) Sampling tanpa pilih-memilih
(random sampling), 2) Sampling dengan pilih-memilih (non random sampling).
Dan sesuai dengan kondisi dan tujuan penyelidikan, maka jenis sampling subyek
dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis yaitu : 1) Propotional Sampling, 2)
32
Stratified Sampling, 3) Purposive Sampling, dan 4) Quota Sampling. Apabila
teknik sampling yang dipergunakan itu menggunakan kedua aturan itu, maka
dikenal dengan teknik sampling rangkap (combined sampling).
Dalam penelitian ini teknik sampling yang dipergunakan adalah purposive
non random sampling, yakni penggabungan antara teknik purposive sampling
dengan teknik non random sampling. Dalam metodologi penelitian disebutkan
bahwa : “ purposive sampling atau sampling menurut tujuan adalah cara
pengambilan sampel berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang
diperkirakan mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang
ada dalam populasi yang sudah diketahui sebelumnya”. Sedangkan yang
dimaksud dengan teknik non random sampling adalah “cara pengambilan sampel
yang tidak semua anggota populasi diberi kesempatan untuk dipilih menjadi
sampel (Cholid Narbuko, Abu Achmadi, 2002 : 114-116 dalam Suwitrayasa, 2008
: 26). Jadi tidak semua anggota sampel yang diberi kesempatan menjadi sampel
yaitu hanya terbatas pada subjek-subjek yang dikenal saja.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yang menjadi dasar penggunaan
anggota sampel dengan menggunakan purposive non random sampling
berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat. Suatu populasi yang telah diketahui
sebelumnya, seperti : tokoh-tokoh masyarakat, pemuka-pemuka masyarakat, dan
orang-orang yang memiliki kompeten dibidang apa yang akan diteliti sehingga
dapat memberikan informasi yang benar dan sesuai dengan apa yang dikaji dalam
penelitian ini yaitu penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu Dalam
Persembahyangan Purnama Tilem di Desa Pakraman alasngandang Kecamatan
33
Rendang Kabupaten Rendang sehingga data dan fakta yang diharapkan dalam
penelitian ini benar-benar valid.
3.5. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah suatu metode yang khusus dipergunakan
sebagai alat untuk mencari dan memperoleh data. Metode pengumpulan data
adalah cara-cara yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data. Suatu teknik
atau cara untuk mendapatkan keterangan secara benar dan nyata diperlukan dalam
penyusunan sebuah karya ilmiah (Sugiyono, 2007 : 90).
Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data lazimnya menggunakan
observasi dan wawancara atau dengan menggunakan sumber lain seperti catatan-
catatan kepustakaan. Untuk mendukung jalannya penelitian nanti, ada beberapa
hal yang perlu dipersiapkan yaitu dengan menyiapkan instrumen penelitian yang
diartikan sebagai “alat bantu” merupakan sarana yang dapat diwujudkan dalam
benda. Misalnya berupa pedoman wawancara, lembar pengamatan,
mempersiapkan sumber-sumber data seperti buku-buku, arsip dan untuk lebih
mantapnya diambil beberapa gambar atau foto dari pelaksanaan
Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Desa Pakraman Alasngandang, Desa
Pempatan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Adapun Tehnik
pengumpulan data yang penulis gunakan mencakup :
3.5.1 Observasi
34
Observasi merupakan suatu tehnik pengumpulan data yang dilakukan
oleh peneliti untuk mencatat kejadian atau peristiwa dengan cara menyaksikannya
(Soehardi, 2001 : 96) Observasi disebut juga dengan pengamatan, meliputi
kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan
seluruh alat indra.
Dalam penelitian ini dimaksudkan, untuk terjun langsung mengamati dan
mengumpulkan data lapangan yang berkaitan dengan penerapan ajaran Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan purnama tilem baik dari
tattwa, etika serta sarana upakara yang digunakan pada perosesi ritualnya.
3.5.2 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah suatu cara untuk memperoleh data dengan jalan
mengadakan penelitian kepustakaan, seperti melalui membaca, menulis, mengutip
materi yang berhubungan dengan skripsi ini. Cara menulis dan mengutip materi
dari kepustakaan disebut studi kepustakaan (Mukajir, 1990 : 64).
Tujuan dari metode Kepustakaan adalah untuk lebih mengetahui secara
detail dan memberikan kerangka berpikir, khususnya referensi relevan yang
berasal dari buku-buku, memberikan gambaran secara lengkap dengan
menggunakan sumber atau penelusuran kepustakaan untuk mendapatkan
informasi secara lengkap untuk menentukan tindak lanjut dalam mengambil
langkah penting dalam kegiatan ilmiah diantaranya adalah buku utama dan buku
penunjang.
35
Penelitian ini dilakukan dengan membaca, mempelajari dan mengutif
hasil-hasil yang telah dipublikasikan menjadi buku-buku, majalah dan penelitian
yang berhubungan dengan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu serta
tuntunan dalam tata cara bersembahyang pada purnama tilem.
3.5.3. Wawancara
Wawancara adalah tehnik pengumpulan data dengan mengajukan
pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada responden, dan jawaban –
jawaban responden tersebut dicatat atau direkam (Iqbal, 2002 : 85). Wawancara
merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data dengan jalan tanya jawab
sepihak yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan
penelitian. Kegiatan ini adalah suatu proses interaksi dan komunikasi.
Jadi pengertian wawancara dapat disimpulkan sebagai suatu metode
pengumpulan data yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung
atau lisan dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para responden.
“Responden” artinya orang yang memberikan jawaban dari pertanyan, daftar
check atau lajur wawancara untuk mencegah kemungkinan mengalami kegagalan
memperoleh data yang penting (data yang dibutuhkan). Teknik pelaksanaan
wawancara meliputi menentukan waktu yang paling tepat untuk dilakukan
wawancara, menentukan responden, dan mencatat langsung hasil wawancara.
Teknik pelaksanaan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya :
1. Menetapkan subjek atau siapa yang hendak diwawancarai. Dalam
penelitian ini sebagai informan tokoh-tokoh Umat seperti Kelihan Adat,
36
Bendesa, Pemangku Desa serta masyarakat yang terkait yang
berkompoten dalam upacara persembahyangan purnama tilem tersebut.
2. Mempersiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan
pembicaraan dengan cara membuat pedoman wawancara.
3. Mengawali atau membuka alur wawancara kemudian melangsungkan
wawancara dengan memperhatikan pedoman wawancara.
4. Mengkonfirmasikan iktisar hasil wawancara dan mengakhirinya
5. Menulis hasil wawancara yang telah diperoleh sesuai dengan
permasalahan dengan menggunakan sumber-sumber sebagai bahan acuan
dalam penulisan karya ilmiah.
3.5.4. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen
bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.
Misalnya : cerita, biografi, foto, gambar, karya seni, film dan sebagainya
(Sugiyono, 2005: 82).
Fakta dan data sosial yang tersimpan dalam dokumen merupakan bahan
utama penelitian kualitatif. Di dalam melakukan teknik dokumentasi ini penulis
mengumpulkan data dengan menggunakan teknik dokumentasi berupa
pengambilan foto pelaksanaan persembahyangan yang ada di Pura Desa
Pakraman Alasngandang. Dengan adanya foto ini, diharapkan dapat memberikan
gambaran mengenai bagaimana pelaksanaan persembahyangan tesebut.
37
3.6 Metode Analisis Data
Analisis data adalah serangkaian pengacakan data yang dikumpulkan dari
lapangan menjadi seperangkat informasi atau hasil, baik dalam bentuk temuan-
temuan baru, maupun temuan-temuan untuk penyajian hipotesis. Cara
menggunakan analisis data ini yaitu dengan mengamati, memahami, dan
menafsirkan setiap fakta atau data yang telah dikumpulkan serta hubungan di
antara fakta-fakta atau variable merupakan terkait dalam hipotesis (Sugiyono,
2007 : 244).
Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di lapangan secara
berkesinambungan. Diawali dengan proses klasifikasi data agar tercapai
konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksi teoritis terhadap informasi
lapangan, dengan mempertimbangkan menghasilkan pernyataan-pernyataan yang
sangat memungkinkan dianggap mendasar dan universal (Bungin, 2001 : 106).
Analisis data dalam penelitian ini diawali dengan proses pengumpulan
data. Setelah data-data tentang penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama
Hindu dalam persembahyangan purnama tilem terkumpul, data tersebut disusun
secara sistematis dan dianalisis dalam proses reduksi data. Setelah proses reduksi
data, hasil analisis data tersebut disajikan dengan metode deskriptif. Bila sudah
valid, kemudian dijabarkan dan diperoleh kesimpulan yang menyeluruh tentang
penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan
purnama tilem di Pura Desa Pakraman Alasngandang.
38
3.6.1. Reduksi Data
Reduksi data adalah merangkum data, memilih hal-hal pokok,
memfokuskan pada hal-hal penting dan mencari tema beserta polanya, dengan
demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas
dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.
Dengan reduksi data, maka peneliti merangkum dan mengambil data yang pokok
dan penting, dan data yang dianggap tidak penting dihilangkan supaya data yang
diperoleh menjadi lebih jelas (Sugiyono, 2007 : 247).
Data yang diperoleh dilapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu
maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Karena semakin lama peneliti
kelapangan, maka jumlah data yang diperoleh semakin banyak, komplek dan
rumit. Untuk itulah dilakukan analisis data dengan mempergunakan reduksi data
supaya data yang diperoleh semakin jelas mengenai penerapan ajaran Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan purnama tilem di Desa
Pakraman Alasngandang.
3.6.2. Penyajian Data
Menurut Miles dan Hubermann dalam Nuryani (2006 : 40), menyatakan
bahwa, “penyajian data merupakan proses penyajian sekumpulan informasi yang
kompleks ke dalam bentuk yang sederhana dan selektif sehingga mudah dipahami
maknanya”.
39
Data tentang subjek penelitian yang peneliti peroleh melalui observasi dan
wawancara dengan informan selama penelitian di lapangan selanjutnya di
paparkan, kemudian dicari pokok-pokok penting yang terkandung di dalamnya
sehingga dapat di ketahui dengan jelas maknanya. Data yang peneliti peroleh
selanjutnya diseleksi dan di kode untuk memperoleh konsep yang lebih sederhana
sehingga relatif lebih mudah di pahami.
40
BAB IV
PENYAJIAN HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian
Lokasi penelitian ini mengambil tempat di Desa Pakraman Alasngandang,
Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem Provinsi Bali.
Berkaitan dengan penelitian ini penulis akan menguraikan beberapa hal,
diantaranya sebagai berikut : 1) Sejarah singkat Desa Pakraman Alasngandang, 2)
Letak Geografis, 3) Kependudukan, 4) Mata Pencaharian, 5) Pendidikan, 6)
Sistem Kepercayaan. Adapun uraiannya sebagai berikut:
4.1.1. Sejarah Desa Pakraman Alasngandang
Desa Pakraman Alasngandang merupakan salah satu Desa Pakraman
yang ada di Desa Pempatan yang dipakai lokasi penelitian dan dipakai objek
dalam mencari data terkait dengan masalah-masalah dalam penelitian tentang
Persembahyangan Purnama Tilem. Desa Pakraman Alasngandang merupakan
komonitas masyarakat yang berada di bawah satu adat dan satu banjar dinas
yaitu banjar Alasngandang yang dikepalai oleh seorang kelihan adat (bendesa
adat) dan seorang kepala dusun (Kadus).
Desa pakraman Alasngandang yang berlokasi di Barat Laut Kabupaten
Karangasem, terbentang membujur dari arah Selatan ke Utara sesuai dengan
Prasasti Dukuh Sakti bahwa awalnya Desa Pakraman Alasngandang adalah
40
41
merupakan hutan lebat dan hanya berdiri sebuah pasraman yang bernama
pasraman Dukuh (dikutip dari monografi Desa Alasngandang tahun 2009). Maka
sebagai bukti hal tersebut di Desa Pakraman Alasngandang sampai saat ini berdiri
kokoh pura yang diberi nama Pura Dukuh dan prasasti Dukuh Sakti yang ada dan
masih tersimpan pada pura tersebut. Pura ini dipelihara, disungsung dan diaci
oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang yang dipercayai sebagai
pembawa berkah, pemberi keselamatan dan memberikan kemakmuran bagi
masyarakat Alasngandang.
Desa Pakraman Alasngandang didirikan sekitar tahun 1700-an, yang
awalnya adalah kumpulan dari beberapa orang yang datang dari Desa Pakraman
Rendang yang sekarang menjadi nama sebuah kecamatan. Kumpulan orang-orang
ini datang untuk merabas hutan belantara dengan tujuan dipakai sebagai lahan
bercocok tanam atau bertani, maka lama kelamaan orang-orang ini membentuk
sebuah sekaa untuk mendirikan Parahyangan sebagai tempat memuja Ida
Sanghyang Widhi Wasa. Pura-pura yang dibangun saat itu adalah pasraman
Dukuh yang sekarang menjadi pura Dukuh Sakti, membangun pura Ulun Suwi
sebagai tempat pemujaan Dewa Sangkara (Dewa tumbuh-tumbuhan) yang
sekarang diaci oleh subak abian desa pakraman Alasngandang. Di samping pura
Dukuh dan Ulun Suwi (bagi masyarakat Alasngandang disebut pura
Penyungsungan), juga mendirikan Pura Kahyangan Tiga yaitu pura Puseh, Bale
Agung dan pura Dalem.
Perkumpulan orang-orang atau sekaa lama kelamaan mulai berkembang
akhirnya kumpulan orang-orang itu membentuklah sebuah desa dengan
42
beranggotakan 55 KK yang dinamakan desa Wana Sigug sesuai dengan prasasti
Dukuh Sakti (dikutif dari monografi desa Alasngandang). Desa Wana Sigug inilah
yang sekarang dinamakan Desa Pakraman Alasngandang, yang sesuai dengan
makna nama aslinya yaitu, Wana berarti hutan (Bali artinya alas) dan Sigug
berarti Ngandang. Jadi nama Alasngandang secara etimologi dan semantiknya
berasal dari nama Wana Sigug, dari etimologi kata inilah nama Desa Pakraman
Alasngnadang itu terlahir. Karena nama ini dirasakan kurang bagus dan kata
sigug memiliki konotasi yang kurang baik dalam bahasa Bali maka Wana Sigug
diubah menjadi Alasngandang dengan mempertahankan makna dari kata itu. Desa
Pakraman Alasngandang pada awal berdiri hingga sampai sekarangpun Desa
Pakraman ini beranggota sebanyak 55 KK ayahan desa yang dipakai sebagai inti
dari Banjar Alasngandang dan sampai sekarang jumlahnya tidak pernah berubah
atau bertambah dan sekaligus sebagai pokok ayahan desa, sedangkan KK banjar
dinasnya sampai saat ini berjumlah sebanyak 220 KK. Jadi bertambahnya KK
yang ada di Banjar Alasngandang adalah KK banjar dinasnya sedangkan KK
ayahan desanya tetap dari awal sampai saat ini berjumlah 55 KK.
Desa Pakraman Alasngandang yang berjumlah 55 KK inilah dipakai
pokok untuk membangun Kahyangan Tiga yaitu pura Puseh, Bale Agung dan
Pura Dalem. Ke-55 KK ini yang dipakai patokan ayahan desa sebagai ibunya
Banjar Alasngandang. Kenapa dikatakan ibunya Banjar karena desa ayahan yang
berjumlah 55 KK inilah yang lebih pertama ada, setelah itu baru terbentuknya
Banjar dinas Alasngandang. Dan sebelum terjadi perubahan bahwa segala
sesuatu keperluan baik upacara maupun pembangunan pisik terutama pura Puseh,
43
pura Bale Agung dan pura Dukuh Sakti yang bertanggung jawab adalah desa yang
berjumlah 55 KK ini, di bawah koordinasi kelian desa. Dengan diubahnya pola
lama lewat paruman atau rapat banjar adat maka semua pura yang ada di wilayah
banjar adat Alasngandang ditanggung oleh Banjar adat baik biaya upacara
maupun pembangunan pura tersebut. Akan tetapi, hal-hal yang berhubungan
dengan tanah ayahan masih dipergunakan dresta (aturan) lama seperti iuran
pokok desa.
4.1.2 Letak Geografis
Desa Pakraman Alasngandang merupakan salah bagian wilayah dari Desa
Pempatan. Desa Pempatan sebuah desa yang berada dalam lingkungan pemerintah
kecamatan Rendang, kabupaten Karangasem dan Provinsi Bali. Desa Pempatan
yang berbatasan langsung dengan kabupaten Bangli berjarak sekitar 45 km dari
ibu kota kabupaten Karangasem yakni Amlapura tepatnya ke arah barat atau desa
yang berada di ujung barat kabupaten Karangasem. Sedangkan dari ibu kota
provinsi Desa Pempatan berjarak sekitar 55 km ke arah timur kota Denpasar.
Secara administrasi.
Untuk menuju ke lokasi Desa Pakraman ini bisa ditempuh dengan
kendaraan roda dua maupun roda empat karena jalannya sudah diaspal.
Transportasi angkutan umum menuju lokasi sangat lancar karena perkembangan
perekonomian masyarakat di Desa Pakraman Alasngandang sangat maju apalagi
sekarang berkembang industri kerajinan. Jarak tempuh dari Desa Pakraman
Alasngandang dengan pusat pemerintahan adalah sebagai berikut :
44
1). Jarak ke ibukota kedesaan 3,5 km dengan waktu tempuh 10 menit
2). Jarak ke ibukota kecamatan 6 km dengan waktu tempuh 20 menit
3). Jarak ke ibukota kabupaten 45 km dengan waktu tempuh 60 menit
4). Jarak ke ibukota provinsi 55 km dengan waktu tempuh 90 menit
Desa pakraman Alasngandang memiliki batas-batas alam sebagai berikut :
1). Utara : Kabupaten Bangli
2). Timur : Desa Pakraman Waringin
3). Selatan : Desa Pakraman Pempatan dan Kubakal
4). Barat : Sungai yang merupakan batas barat Kabupaten
Karangasem dan batas timur Kabupaten Bangli.
Desa Pakraman Alasngandang merupakan salah satu naungan dari
Desa Pempatan. Desa Pempatan membawahkan sebelas dusun atau banjar dinas
yaitu banjar Alasngandang, banjar Pempatan, banjar Kubakal, banjar Putung,
banjar Teges, banjar Waringin, banjar Pemuteran, banjar Pule, banjar Puregai,
banjar Keladian dan banjar Geliang. Masing-masing banjar atau dusun dinas ini
juga merupakan desa pakraman atau desa adat dengan otonomi desanya masing-
masing kecuali banjar Keladian yang masih berada di bawah desa
Adat/Pakraman Besakih serta masuk dalam wilayah Desa Pakraman Besakih
serta berada di bawah adat desa Besakih tetapi secara administrasi masuk
perbekelan Pempatan. Ditinjau dari segi alamnya Desa Pakraman Alasngandang
merupakan desa dataran tinggi dengan curah hujan rata-rata per tahun 3000 mm.
45
4.1.3 Kependudukan
Berdasarkan data yang terdapat dalam monografi Desa Pakraman
Alasngandang tahun 2009 penduduk Desa Pakraman Alasngandang berjumlah
1045 jiwa dan 220 KK. Sedangkan luas wilayah Desa Pakraman Alasngandang 6
km2 atau 160 Ha. Jumlah penduduk dan luas wilayah ini merupakan modal yang
sangat pontensial untuk membangun desa Alasngandang menjadi desa yang maju
dan sejahtera sesuai harapan pemerintah utamanya masyarakat Alasngandang.
Wilayah Desa Pakraman Alasngandang sesuai dengan pesebaran penduduknya
belumlah merata sehingga rumah-rumah penduduk saling berjauhan. Kepemiliki
tanah pun tidak merata, ada satu kepala keluarga mengerjakan atau mengolah tnah
pertanian 10 are, ada yang 1 ha dan ada beberapa yang melebihi dari 1 ha. Ini
yang menyebabkan masyarakat Alasngandang dari pola perekonomiannya tidak
seimbang atau merata. Untuk mengetahui jumlah penduduk menurut kelompok
umur dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel. 1
Penduduk Menurut Kelompok Umur
NO KELOMPOK UMUR JUMLAH (ORANG)1 00 - 04 Tahun 632 05 - 06 Tahun 403 07 - 12 tahun 1004 13 - 14 tahun 545 15 - 24 tahun 1786 25 - 54 tahun 2997 55 ke atas 311
JUMLAH 1045
46
Sumber : Monografi Desa Pakraman Alasngandang 2009
Secara rinci Desa Pakraman Alasngandang terdidiri 220 KK dengan luas wilayah
160 ha yang dibagi menjadi enam Banjar Tempekan yaitu :
1). Banjar tempekan Kaja Kangin berjumlah 30 KK dengan luas wilayah
22 ha.
2). Banjar tempekan Kelod Kangin berjumlah 50 KK dengan luas
wilayah 34 ha.
3). Banjar tempekan Tengah berjumlah 31 KK dengan luas wilayah 24 ha
4). Banjar tempekan Kelod Kauh berjumlah 49 KK dengan luas wilayah
23 ha.
5). Banjar tempekan Kaja Kauh berjumlah 31 KK dengan luas wilayah 20
ha.
6). Banjar tempekan Geluwung berjumlah 29 KK dengan luas wilayah 29
ha.
Di samping dipilah menjadi enam banjar tempekan desa pakraman
Alasngandang juga memiliki organisasi yang lengkap sesuai dengan paruman
desa yang mengombinasikan antara unsur tradisi dan modern ( hasil transpormasi
sosial yang fundamental dengan visi ke depan) seperti sperti ada organisasi seni
yang tergabung dalam sekaa gong, sekaa kidung dan ada organisasi sosial yang
tergabung dalam sekaa gae (sekarang dinamai sekaa macaru). Selanjutnya para
yogya dan ngawi wenang Desa Pakaraman Alasngandang atau yang berwenang
dalam memutuskan segala sesuatu di Desa Pakraman adalah :
1) Paruman desa maka raksa desa pakraman Alasngandang
47
2) Kerta desa maka caksu lan kerta paraja
3) Kelihan desa pakraman pinaka pengerajeg desa dibantu oleh prajuru desa
sebagai berikut:
a). Penyarikan desa/ sekretaris
b). Petengen desa/ bendahara
c). Saye tempek/ ketua tempek
d). Pecalang desa/ pengaman di tingkat Desa Pakraman
prajuru Desa Pakraman di atas juga dilengkapi dengan baga-baga (bagian-
bagian) yaitu :
a). baga parhyangan
b). baga palemahan
c). baga pawongan
d). baga lembaga arta
e). serta sekretariat tetap
4.1.4. Mata Pencaharian
Berdasarkan mata pencaharian masyarakat Desa Pakraman Alasngandang
sebagian besar bermata pencaharian petani dan buruh/swasta, pegawai negeri,
dagang dan pengerajin, sehingga hampir seluruh masyarakat Desa Pakraman
Alasngandang memiliki pekerjaan yang tetap dan berpengasilan yang cukup untuk
sehari-hari. Berdasarkan data yang diperoleh dari monografi Desa Pakraman
Alasngandang tahun 2009, bahwa mata pencahariannya masyarakat Desa
Pakraman Alasngandang dapat dideskripsikan sebagai berikut:
48
Tabel .2
Mata Pencaharian Penduduk Desa Pakraman Alasngandang
No Mata Pencaharian Jumlah
1 Buruh tani 30 orang
2 Petani 765 orang
3 Pedagang/wiraswasta 25 orang
4 Pegawai Negeri (PNS) 8 orang
6 Penjahit 2 orang
7 Montir 1 orang
8 Sopir 4 orang
9 Pramuwisata 4 orang
10 Karyawan swasta 65 orang
11 Tukang kayu 4 orang
Jumlah 908 orang
Sumber : Monografi Desa Pakraman Alasngandang 2009
Penduduk desa ini hidup dari pertanian yakni 80 % masyarakatnya bertani,
18 % berwirausaha dan 2 % pegawai. Kehidupan masyarakat Alasngandang
sangat bergantung pada musim utamanya musim hujan karena bercocok tanam
sangat bergantung pada air hujan bahkan untuk keperluan sehari-hari pun
misalnya mandi minum juga bergantung pada air hujan. Maka itu masing-masing
KK di desa ini pastilah memiliki cubang atau tempat menampung air hujan untuk
persediaan di musim kemarau. Jika musim kemarau melanda masyarakat
Alasngandang maka untuk mensuplay air untuk keperluan sehari-hari membeli
49
dari mobil-mobil tangki seharga Rp 80.000. Pada umumnya masyarakat
Alasngandang lebih cendrung berternak yaitu beternak sapi karena lewat
pekerjaan ini perekonomian masyarakat bisa terangkat. Setiap KK yang ada di
Desa Pakraman Alasngandang pasti memelihara sapi minimal dua ekor sebagai
pekerjaan pokok. Bahkan sampai saat ini di Desa Pakraman Alasngandang
banyak lahir kelompok-kelompok ternak yang keberadaannya sangat diperhatikan
oleh pemeritah baik pemerintah pusat maupun daerah. Hanya saja sebagai
kendalanya bagi masyarakat Alasngandang adalah air. Maka ada istilah yang
muncul di masyarakat Alasngandang ” sapi makan sapi” artinya beternak sapi di
musim kemarau untuk membeli air keperluan ternaknya harus menjual sapi.
4.1.5. Pendidikan
Untuk mengetahui tingkat pendidikan Desa Pakraman Alasngandang
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.
Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
NOTINGKAT
PENDIDIKANJUMLAH (ORANG)
1 SD 215
2 SLTP 75
3 SLTA 25
4 PERGURUAN TINGGI 11
JUMLAH 326
Sumber : data statistik Desa Pakraman Alasngandang 2009
50
Berdasarkan data penduduk menurut tingkat pendidikan pada tabel di atas
maka dapat dilihat bahwa pendidikan di Desa Pakraman Alasngandang masih
tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang tamat
pendidikan di atas SD kurang dari 30%.
Terkait dengan masalah tingkat pendidikan di Desa Pakraman
Alasngandang. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada
perkembangan masyarakat khususnya masyarakat desa pakraman Alasngandang.
Selain hal tersebut, tinggi rendahnya pendidikan sesorang akan berekses terhadap
status sosial di masyarakat. Intelektualitas suatu masyarakat sangat ditentukan
oleh tingkat pendidikannya, maka dari sini salah satu barometer kemajuan suatu
desa dapat dilihat, khususnya kemajuan dibidang pendidikan. Sri Hariyati, 1985
dalam Ariani mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka
semakin banyak pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki sehingga semakin
terbuka pula kesempatan baginya untuk memperoleh pekerjaan.
4.1.6. Sistem Kepercayaan
Desa Pakraman Alasngandang menurut dresta yang ada termasuk desa
yang memiliki suatu sistem kepercayaan yang disebut agama. Agama yang dianut
oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang adalah agama Hindu dengan
tradisi dan budaya yang masih kuat sebagai suatu bentuk keyakinan. Keyakinan
atau religius yang dilaksanakan bagi masyarakat Alasngandang sesuai dengan
koridor konsep dasar dari agama dalam hal ini yakni agama Hindu. Konsep dasar
yang dimaksud yaitu tattwa atau filosofinya Hindu, susila atau etika Hindu dan
upacara atau ritual agama Hindu. Ketiga hal tersebut itulah yang selalu dipakai
51
dasar dan pijakan dalam melakukan aktivitas keagamaanya dan sekaligus sudah
menjadi satu napas keagamaan bagi masyarakat Alasngandang. Melakukan yajna
adalah aktivitas yang amat penting dalam kehidupan beragama di Desa Pakraman
Alasngandang karena didasarkan pada ajaran kitab suci bahwa pentingnya yajna
dalam kehidupan umat manusia. Hal ini dikuatkan dalam kitab suci Weda yakni
dalam Athawa Weda menyatakan bahwa yajna adalah penyangga bumi, Yayur
Weda menguraikan bahwa yajna adalah pusat penciptaan alam semesta (bhuwana
Agung). Maka itu ritual keagamaan atau yajna sangat diperhatikan oleh
masyarakat Alasngandang dengan tujuan mengharmoniskan alam sekala dengan
alam niskala. Di samping itu bisa menyeimbangkan antara bhuana alit dan
bhuwana agung agar terjadi keharmonisan (hita) pada diri dan keharmonisan
(hita) pada alam semesta.
Agama yang dianut oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang
masih bersifat homogen yaitu seluruh masyarakatnya menganut agama Hindu.
Maka sampai saat ini persoalan-persoalan lintas agama tidak pernah terjadi karena
kehidupan masyarakatnya masih menganut satu agama yakni Hindu. Keyakinan
dalam menjalankan agamanya teralisasi dalam bentuk-bentuk ritual (aci) yang
dilaksanakan disetiap pura yang ada di wilayah Banjar Adat Alasngandang atau
tempat-tempat yang dianggap sakral atau disucikan seperti tempat perempatan
agung (jalan simpang empat) .
Dalam perkembangan selanjutnya Desa Pakraman Alasngandang tetap
melestarikan dan mempertahankan hal-hal yang merupakan kuna dresta seperti
pemargi aci atau jalannya ritual serta memfungsikan prajuru desa dan kerta desa
52
sebagai tulang punggung mengajegkan dresta dan tradisi adat setempat.
Sedangkan hal-hal yang perlu diperbaharui atau diperbaiki sesuai dengan
perkembangan zaman (era kesejagatan) sudah mulai ditata disesuaikan dengan
kemampuan serta potensi dan kondisi Desa Pakraman Alasngandang sehingga
modernisasi tidak melunturkan dan mengikis tradisi, budaya dan adat setempat.
Bidang fisik dari sistem kepercayaan ini terus dilakukan pembenahan dan
perbaikan, salah satunya dengan mengadakan rehab-rehab pura . Kondisi pura
atau pelinggih di pura Kahyangan Tiga di Alasngandang untuk tahun ini hampir
50 % sudah diperbaharui dengan sumber dana dari pemerintah daerah lewat
bantuan dan ditambah dari iuran masyarakat atau krama desa setempat. Maka
untuk lebih jelasnya peneliti melaporkan dalam bentuk tabel aset-aset kepemilikan
Desa Pakraman Alasngandang yaitu sebagai berikut :
Tabel . 4.
Data Kepemilikan (Aset) Desa Pakraman Alasngandang
NO NAMA ASET JUMLAH
1 Pura Puseh 1 unit
2 Pura Bale Agung 1 unit
3 Pura Dalem 1 unit
4 Pura Praja Pati 1 unit
5 Pura Ulun Suwi 1 unit
6 Pura Dukuh Sakti 1 unit
7 Penyucian Ida Betara 1 unit
8 Wantilan 3 unit
9 Bale Banjar 1 unit
53
10 Kantor LPD 1 unit
11 CBD 1 unit
12 Setra 1 unit
13 Pelinggih Ulun Desa 1 unit
14 Pelinggih Tulak Tanggul 1 unit
15 Pelinggih Perempatan Agung 1 unit
16 Bale Kulkul 3 unit
17 Petapakan Betara Nini 1 Paket
18 Petapakan Betara Gede 1 Paket
19 Petapakan Betara Ayu 1 Paket
20 Petapakan Betara Mas 1 Paket
21 Prerai Betara Kahyangan Tiga dan Pura Dukkuh 4 paket
22 Topeng 1 Paket
23 Gong 1 Paket
24 Tanah ayahan Desa 57 ayahan
25 Tanah Laba Pura 7 ha
26 Tanah Duwe Desa 2 ha
Sumber : Monografi Desa Pakraman Alasngandang 2009
Di samping aset-aset di atas Desa Pakraman Alasngandang memiliki
sarana pendukung yang lain yang sudah tentu berguna untuk membantu dalam
menunjang aktivitas desa antara lain :
1) ada pura Ibu (dadia) sebanyak lima belas
2) Kelompok tani ternak sebanyak tiga kelompok
3) Sekaa teruna satu kelompok
4) Sekaa pesantian satu kelompok
5) Sekaa gong dua kelompok
6) Koperasi serba usaha dua kelompok
7) Sekaa macaru satu kelompok
54
8) Sekaa angklung tiga kelompok
9) Kelompok pengerajin 15 kelompok
10) Satu Sekolah Dasar.
4.2 Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang dalam Perspektif Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
Menurut Merta wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa,
persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman
Alasngandang dilaksanakan dengan rutin setiap 15 (lima belas) hari sekali
berdasarkan pembagian tempek (pembagian wilayah) di Desa Pakraman
Alasngandang. Dalam pelaksanaan persembahyangan purnama tilem tersebut
tidak pernah lepas dari kajian Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yang berisikan
ajaran tattwa, etika dan ritual.
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga ajaran yang saling
berkaitan dan merupakan dasar dari ajaran agama Hindu tersebut. Barang siapa
ingin mendalami dan mempelajari agama Hindu tersebut hendaknya memahahami
betul ketiga kerangka dasar agama Hindu itu. Ketiga konsep kerangka dasar
agama Hindu itu ialah tattwa atau filsafat agama Hindu, susila atau etika agama
Hindu dan ritual atau upacara agama Hindu, Siden (wawancara : 27 April 2010)
Dalam bukunya Sudharta (2007 : 5) menjelaskan bahwa, Tattwa, etika
dan ritual dapat di ibaratkan dengan sebutir telur. Dimana kuning telur atau
sarinya merupakan aspek tattwa atau filsafatnya, dan putih telur merupakan aspek
dari susila atau etikanya, sedangkan kulit dari telur merupakan aspek dari ritual
atau upacaranya. Telur akan menetas dengan sempurna apabila ketiga komponen
55
dari kuning telur, putih telur dan kulitnya berfungsi dengan baik. Begitu juga pada
agama Hindu yang akan berjalan dengan baik dan benar apabila dalam
melaksanakan aktivitas keagamaannya selalu disertai dengan upacara, etika dan
tentu saja berdasarkan tattwa yang benar. Sehingga apa yang menjadi tujuan dari
agama tersebut dapat tercapai sesuai dengan kepercayaan umat Hindu.
Ketiga aspek diatas merupakan suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga hal tersebut saling
melengkapi, saling keterkaitan dan tentu saja tidak dapat dipisah-pisahkan.
Dimana kalau salah satu dari aspek tersebut tidak berfungsi dengan baik maka
agama yang kita harapkan belum sempurna.
Aspek tattwa atau filosofinya merupakan inti ajaran agama Hindu,
sedangkan aspek susila dan etikanya merupakan pelaksanaan ajaran agama dalam
kehidupan sehari-hari. Aspek upacara dan ritualnya merupakan pengorbanan suci
yang tulus ikhlas kehadapan Ida Sang Hyang Widhi atau yang bisa dikatakan
yadnya. Ketiga aspek tersebut harus dilaksanakan secara baik dan seimbang
terutama dalam hal ini yaitu penerapan ajaran tattwa, etika dan ritual dalam
persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang yang melipuiti
antara lain :
4.2.1 Pola Ajaran Tattwa dalam Persembahyangan Purnama Tilem.
Menurut Merta wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa,
tattwa merupakan ajaran-ajaran pokok yang mengandung makna atau filosofis
dari ajaran agama Hindu. Masyarakat Alasngandang masih sangat awam sekali
56
mendengar kata “tattwa”, istilah tattwa belum begitu dimengerti apalagi dengan
menerapkan ajaran-ajarannya. Secara umum masyarakat Alasngadang belum
memahami ajaran-jaran tattwa atau makna filosofis yang terkandung dalam setiap
aktivitas agama Hindu dan sarana/upakara khususnya dalam persembahyangan
purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakramnan Alasngandang.
Dalam kamus istilah Agama Hindu (2005:127), kata “tattwa” berasal dari
kata “tat” yang artinya hakekat, kenyataan, kebenaran, hakekat dari objek yang
konkrit, sari-sari dari suatu ajaran. Aspek tattwa atau filosofi dari ajaran agama
Hindu ini merupakan inti ajaran agama Hindu yang akan banyak mengulas
tentang makna dari agama Hindu itu sendiri.
Dalam bukunya Titib (2006 : 258) menjelaskan bahwa, inti tattwa itu
adalah kepercayaan kepada Tuhan (Ketuhanan) yang disebut dengan Ekatwa
Anekatwa Svalaksana Bhatara yang artinya Tuhan itu dalam yang banyak, yang
banyak dalam yang Esa. Tattwa adalah kepercayaan, dalam Hindu kita mengenal
lima kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha antara lain :
1). Percaya terhadap adanya Tuhan (Widha Tattwa)2). Percaya terhadap adanya Atman (Atma Tattwa)3). Percaya terhadap adanya Hukum Karma (Karma Phala)4). Percaya terhadap adanya Punarbhawa (Samsara)5). Percaya terhadap adanya Moksa(Bersatunya atman dengan Brahman).
Jadi yang dimaksud dalam hal ini adalah nilai-nilai kebenaran atau sari-
sari dari suatu ajaran mengenai pelaksanaan persembahyangan purnama tilem di
Desa Pakraman Alasngandang. Adapun nilai-nilai tattwa yang dimaksud meliputi
: 1). Kajian tattwa dalam mantram Tri sandhya, 2). Kajian tattwa dalam mantram
57
kramaning sembah dan 3). Kajian Tattwa dalam Sarana Upakara
Persembahyangan, adapun uraiannya sebagai berikut :
4.2.1.1 Pola Ajaran Tattwa dalam Mantra Tri sandhya.
Menurut Siden wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa, Tri
sandhya adalah sembahyang yang wajib dilakukan oleh semua umat Hindu tiga
kali dalam sehari. Sembahyang rutin ini diamanatkan dalam kitab suci Veda dan
sudah dilaksanakan sejak ribuan tahun yang lalu. Bila kita tidak tekun
melaksanakan Tri sandhya berarti kiata tidak secara sungguh-sungguh
mengamalkan ajaran yang terkandung dalam kitab suci Veda. Banyak hambatan
yang dialami mengapa seseorang tidak tekun melaksanakan puja atau
sembahyang Tri sandhyya diamtaranya karena kurang memahami makna yang
terkandung dalam melaksanakan puja Tri sandhyya, karena tidak dibiasakan
(abhyasa) dan karena bahasanya tidak atau kurang dimengerti.
Merupakan sembahyang yang dilakukan tiga waktu yaitu pada pagi hari
yang disebut dengan “Surya Puja”, siang hari disebut dengan “Rahina Puja” dan
sore hari disebut “Sandhya Puja”. Puja Tri Sandhya terdiri dari enam bait, bait
pertama atau sebagai Sandya Vandanam (awal) diambil dari Gayatri atau Savitri
Mantram (Rg Veda, Sama Veda dan Yayur Veda) atau sering disebut dengan
Gayatri mantram atau ibunya mantra. Setiap melaksanakan puja Tri Sandhya
hendaknya selalu didahului dengan penyucian diri (asucilaksana). Gayatri mantra
terdapat dalam YajurVeda XXVI. 3. (Widana, 2009 : 45) Tri Sandhya.
Adapun mantranyasebagai berikut :
58
a) Sikap Duduk (Padāsana, Silāsana, Bajrāsana)
Om Prasada Sthiti Sarira Çiva Suci Nirmala Ya Namah Svaha
Artinya:Ya Tuhan, dalam Siwa suci tak ternodai, hamba telah duduk dengan tenang.
b) Pranayama :1). Puraka (Menarik nafas)
Om Ang Namah
2). Kumbaka (Menahan nafas)
Om Ung Namah
3). Recaka (Mengeluarkan nafas)
Om Mang Namah
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur alam semesta hamba puja Dikau.
c) Kara Sodhana (Sarira Suddha)
Om soddha mam svahaOm ati soddha mam svaha
Artinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, sucikanlah hamba dari segala dosa
d) Puja Tri Sandhya :
Bait I : Om Om Om Bhūr Bhuvah Svah, Tat savitur varenyam,
Bhargo devasya dhimahiDhiyo yo nah pracodayat
Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa yang menguasai ketiga dunia ini, Engkau Maha Suci, sumber segala cahaya dan kehidupan, berikanlah budi nurani kami penerangan sinar cahaya-Mu Yang Maha Suci.
Bait II : Om Nārāyana Evedam Sarvam,Yad bhūtam yasca bhavyam,Niskalangko niranjano nirvikalpo,
59
Nirākhyātah sudho deva eko,Narayano na dvityo asti kaścit
Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa, sumber segala ciptaan, sumber semua makhluk dan kehidupan, Engkau tak ternoda, suci murni, abadi dan tak ternyatakan. Engkau Maha Suci dan tiadalah Tuhan yang kedua.
Bait III : Om Tvam Sivah Tvam Mahādeva,Iśvarah parameśvarah,
Brahmā Visnuśca Rudraśca,Purusah parikirtitāh
Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau disebut juga Siwa, Mahadewa, Brahma, Wisnu dan juga Rudra, karena Engkau adalah asal mula segala yang ada.
Bait IV : Om Pāpo’ham Pāpa Karmaham,Pāpātma pāpa sambavah,Trāhi mām pundarikāksah,Sabāhyā bhyantarah śucih
Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa, hamba-Mu penuh kenestapaan, nestapa dalam perbuatan, jiwa, kelahiran. Karena itu oh Hyang Widhi, selamatkanlah hamba dari kenestapaan ini, dan sucikanlah lahir bathin hamba.
Bait V : Om Kşvama sva mām Mahādevah,Sarva prāni hitāńkara,Mām moca sarva pāpebhyah,Pālayasva Sadā Sivah
Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa, Yang Maha Utama, ampunilah hamba-Mu, semua makhluk Engkau jadikan sejahtera, dan engkau bebaskan hamba-mu dari segala kenestapaan atas tuntunan suci-Mu oh penguasa kehidupan.
Bait VI : Om kşantavyah kayiko doşāh,kşantavyo vācika mama,kşantavyo mānaso dosah,
60
tat pramādāt ksamasva mām,
Om Śāntih, Śāntih, Śāntih OmArtinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, ampunilah segala dosa dari perbuatan, ucapan, dan pikiran hamba, semoga segala kelalaian hamba itu Engkau ampuni. Om Sang Hyang Widhi Wasa,
Semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu.
4.2.1.2 Pola Ajaran Tattwa dalam Mantra Kramaning Sembah.
Kramaning sembah merupakan Sembahyang yang dilakukan umat untuk
memuja Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dengan segala Prabhawa/manifestasi
kemahakuasaan-Nya, yang dilaksanakan dengan penuh ketululusan hati, dengan
sarana bunga atau kuwangen yang bertujuan mewujudkan suatu kehidupan yang
bahagia dan sejahtera lahir batin atau Moksartham Jagadhita (Wiana, 1992 : 11).
Adapun urutan-urutan Kramaning sembah, baik pada waktu sembahyang
sendiri ataupun sembahyang adalah sebagai berikut :
Persiapan penyucian sarana upakara sembahyang :
a). Mantra penyucian dupa :
Om Ang Dupa diprasta ya namah
Artinya :
Ya Tuhan dalam wujudmu sebagai Brahma, tajamkanlah nyala dupa kami, sehingga sepeti sinar-Mu.
b).Mantra Penyucian Bunga :
Om Puspadanta ya namah
Artinya :
Ya Tuhan semoga bunga ini cemerlang dan suci.
61
1) Sembah tanpa bunga (Muyung)
Mantra:
Om Ātma Tattvātmā Śoddha Mām Svāhā
Artinya:
Ya Tuhan dalam wujud atma atau jiwa, dan kebenaran, bersihkan dan sucikanlah hambamu.
2) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Sanghyang Aditya dengan sarana bunga.
Mantra:
Om Ādityasyaparam jyotirakta tejo namo’stutesvetapankaja mādhyasthahbhāskārāyo namo’stute
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, Sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkau bersinar merah, hormat pada-Mu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih, hormat pada-Mu pembuat sinar.
3) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Ista Dewata dengan sarana Kwangen atau bunga.
Pada muspa inilah yang diantar dengan Pangastawa yang mengkhusus
sesuai dengan Ista Dewata yang di puja pada saat ittu. Seperti dalam hal ini di
Pura Dalem, Pura Desa dan Pura Puseh.
a). Sembahyang di Pura Dalem
Mantra :
Om catur dewi mahādewicatur asrame bhatariÇiwa jagatpati dewidurgha maçarira dewiOm catur dewi dipata ya namah
Artinya :
62
Om Hyang Widhi, sakti-Mu berwujud Catur Dewi, yang di puja oleh Catur Asrama, sakti dari Ciwa Raja Semesta alam dalam wujud Dewi Durgha. Ya, Catur Dewi hamba menyembah kebawah kakimu.
b).Sembahyang di Pura Desa
Mantra :
Om isano sarwa widnyanaIswara sarwa bhutānam,Brahmāno dhipati brahmān,Çiwastu sadā ciwayaOm Çiwa dipata ya namah.
Artinya :Om Hyang Widhi, Hyang Tunggal yang Maha Sadar, selaku Yang Maha Kuasa menguasai semua makhluk selaku Brahma Raja dari pada semua Brahmana, selaku Ciwa dan Sada Ciwa. Ya Hyang Ciwa hamba menyembah pada-Mu.
c). Sembahyang di Pura Puseh
Mantra :
Om giripati mahā wiryammahā dewa pratista linggamsarwa dewa pranamyanamsarwa jagat pratistanamOm giripati dipata ya namah.
Artinya :
Om Hyang Widhi, selaku Giripati yang Maha Agung, Maha Desa dengan lingga yang mantap, semua dewa-dewa tunduk pada-Mu. Om Giripati hamba menyembahmu.
Selain mantra Pengastawa yang mengkhusus disetiap pura-pura, Sang
Hyang Widhi sebagai Ista Dewata dapat juga dipuja dengan mantra sebagai
berikut :
Mantra:
Om namo devaya,adhisthanaya,sarva vyāpi vai Śivāya,padmāsana ekapratisthaya,ardhanareśvaryai namo namah svaha.
63
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat kami kepada dewa yang bersemayam di tempat utama kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana – mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba menghormat.
4) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Pemberi Anugerah, dengan sarana Kwangen atau bunga.
Mantra:
Om anugraha manohara,deva dattanugrahaka,arcanam sarva pujanam,namah sarvanugrahaka,Om deva devi mahasiddhi,yajnangga nirmalatmaka,laksmi siddhisca dirghayuhnirvighna sukha vrddhisca.
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah. Anugerah pemberian Dewa, pujaan dalam semua pujian, hormat pada-Mu pemberi semua anugerah. Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud Yajna, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, kegembiraan dan kemajuan.
5) Sembah tanpa bunga (Sembah Puyung).
Mantra:Om deva suksma paramaçintyaya namah svaha.
Artinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat pada Dewa yang tak berpikiran yang maha tinggi, yang maha gaib. Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon Tirtha (air suci) dan Bija/Wibhuti.
6) Pembagian Tirtha.
Sebelum Tirtha dipercikkan, ucapkan terlebih dahulu mantram ini:
Mantra:
Om Pratama Sudha, Dvitya Sudha, Tritya Sudha, Caturti Sudha, Pancami Sudha, Sudha, Sudha, Sudha Variastu Namah Svaha.
64
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga kami dianugerahi kesucian, hormat kepada-Mu.
Dapat pula dengan menggunakan mantram berikut ini:
a). Pemercikan tiga kali ke ubun – ubun:
Mantra:
Om Ang Brahma amrtha ya namahOm Ung Wisnu amrtha ya namahOm Mang Isvara amrtha ya namah
Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa, bergelar Brahma, Wisnu, Iswara, hamba memuja-Mu semoga dapat memberi kehidupan (dengan tirtha ini).
b). Minum Tirtha tiga kali:
Mantra:
Om sarira paripurna ya namah,Om ang ung mang sarira sudha,Pramantya ya namah,Om ung ksama sampuranya namah.
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur segala ciptaan, semoga badan hamba terpelihara selalu, bersih, terang dan sempurna.
c). Meraup, mengusap Tirtha ke muka ke arah atas:
Mantra:
Om Siva amertha ya namah,Om Sadha Siva amertha ya namah,Om Parama Siva amertha ya namah.
Artinya:
Oh Hyang Widhi (Siwa, Sadha Siwa, Parama Siwa) hamba memuja-Mu semoga memeberi amrtha pada hamba.
7) Memasang bija:
65
a). Bija untuk di dahi:
Mantra:Om Sriyam Bhavantu
Artinya :(Oh Hyang Widhi, semoga kebahagiaan meliputi hamba).
b). Bija untuk di bawah tenggorokan:
Mantra:Om Sukham Bhavantu
Artinya :(Oh Hyang Widhi, semoga kesenangan selalu hamba peroleh).
c). Bija untuk ditelan:
Mantra:Om purnam bhavantuOm ksama sampurna ya namah svaha.
Artinya :(Oh Hyang Widhi, semoga kesempurnaan meliputi hamba, Oh Hyang Widhi semoga semuanya menjadi bertambah sempurna).
8) Meninggalkan tempat suci, didahului Parama santih:
Mantra:
Om Śāntih, Śāntih, Śāntih Om.Artinya :
Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga damai dihati, damai didunia dan damai selalu.
Menurut Beneh wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa,
bagi masyarakat yang tidak tahu tattwa atau mantra kramaning sembah, didalam
muspa ngaturang pangubhakti menggunakan seha atau pengganti mantra yang
ada dalam buku atau lontar-lontar mengenai persembahyangan. Adapun seha yang
digunakan tersebut adalah sebagai berikut :
Seha : Om Pakulun Paduka Bhatara ........(Nama Dewa yang dipuja)Iki panjak Iratu angatur akenSembah pangubhakti majeng Paduka BhataraDumogi sweca ring panjake sami
66
Magda selamet sadha rahayu sareng sami.
Artinya :Om Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi ........(Nama Dewa yang dipuja), hamba menghaturkan sembah kepada-Mu, semoga Tuhan memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat semuanya.
Dari hasil beberapa wawancara dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar
masyarakat Desa Pakraman Alasngandang belum mengetahui dan menggunakan
mantra sesuai dengan pola ajaran tattwa dalam melaksanakan muspa kramaning
sembah pada persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa
Pakraman Alasngandang. Sebagai alternatif yang dipakai adalah Seha (pengganti
mantra) bagi masyarakat yang belum mengetahui mantra sesuai dengan ajaran Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu.
4.2.1.3. Pola Ajaran Tattwa dalam Sarana Upakara Persembahyangan.
Menurut Merta wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa,
masyarakat Alasngandang belum memahami tattwa atau makna dari
sarana/upakara yang dipakai dalam persembahyangan purnama tilem di Desa
Pakaramn Alasngandang baik itu bunga, dupa, canang, banten pejati dan segahan.
Sehingga sarana/upakara persembahyanganpun disalahartikan dan terkadang
dikesampingkan karena kurang memahami makna yang terkandung dari
sarana/upakara tersebut.
Dalam bukunya Widana (2009 : 74) menjelaskan bahwa, Upakara berasal
dari kata “upa” yang berarti “berhubungan dengan” dan “kara” yang artinya
“perbuatan/pekerjaan”. Jadi istilah upakara dapat diartikan sebagai segala sesuatu
yang berhubungan dengan perbuatan/pekerjaan yang umumnya berbentuk
67
material. Pendeknya upakara itu berhubungan dengan perlengkapan suatu
upacara. Adapun sarana atau alat persembahyangan yang dipakai dalam upacara
persembahyangan Purnama Tilem di Desa Pakraman Alasngandang adalah
sebagai berikut :
1). Bunga
Bunga adalah lambang kesucian, karena itu perlu diusahakan bunga yang
segar, bersih dan harum. Jika pada saat sembahyang tidak ada kawangen, maka
dapat diganti dengan bunga (kemabang). Bunga yang tidak baik dipersembahkan
menurut AGASTYAPARWA adalah:
"Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Hyang Widhi, yaitu bunga
yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncanng, bunga yang berisi semut bunga
yang layau atau yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh dikuburan. Itulah
bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang-orang baik" (Pasek, 2008 :
29),
2). Kuwangen
Kuwangen berasal dari bahasa jawa kuno dari kata “wangi” artinya harum.
Kata wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran “an” sehingga menjadi
“kewangin” lalu disandikan menjadi kuwangen yang artinya keharuman yaitu
untuk mengharumkan nama Tuhan (Wiana, 2005 : 31). Dalam lontar Sri Jaya
Kesunu, Kuwangen disebutkan sebagai lambang “Omkara” sedangkan menurut
lontar Brahdhara Upanisad, Kuwangen adalah lambang Ida Sang Hyang widdhi.
68
3). Dupa
Apinya dupa adalah simbol Sangyang Agni, yaitu saksi dan pengantar
sembah kita kepada Hyang Widhi. Api dalam istilah agama Hindu disebut “Apuy,
Agni Wahni”, api sebagai sumber kehidupan dewanya Brahma. Sifat api adalah
menerangi atau menyinari dan “Dharmanya” membakar. Api merupakan salah
satu unsur alam yang dipakai sebagai sarana persembahyangan dan sarana
keagamaan, yang berfungsi sebagai perlambang sifat-sifat Tuhan dalam
hubungannya turut mempermulia ciptaanya, dan secara simbolis api dipakai
sebagai saksi dalam upacara (Wiana, 2005 : 53).
4). Tirtha
Tirtha adalah air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu cara
tertentu dan disebut dengan Tirtha Wangsuh Pada Hyang Widhi (Ida Betara).
Tirtha dipercikan di kepala, diminum dan dipakai mencuci muka. Hal ini
dumaksudkan agar pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci yaitu bebas dari
segala kotoran , noda dan dosa, kecemaran dan sejenisnya. Tirtha ada dua macam
yaitu Tirtha yang didapat dengan memohon kepada Tuhan dan Bathara-bhatara,
dan Tirtha yang dibuat oleh pandita dengan puja. Tirtha ini berfungsi untuk
membersihkan diri dari kotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun
pemakaiannya adalah dipercikkan di kepala, diminum dan diusapkan dimuka. Ini
merupakan simbolis pembersihan bayu, sabda dan idep (Wiana, 2005 : 83).
5). Bija atau Wija
69
Bija atau wija di dalam bahasa sanskerta disebut gandaksata yang berasal
dari kata “ganda” dan “aksata” yang artinya biji padi-padian yang utuh serta
berbau wangi. Bija adalah lambang Kumara yaitu putra atau bija Bhatara Siwa.
Kumara ini adalah benih ke-Siwaan yang bersemayam di dalam diri setiap orang.
Dengan demikian "Mawija" (Mabija) mengandung pengertian
menumbuhkembangkan benih ke-Siwaan yang bersemayam didalam diri kita.
Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ditanam di tempat yang
bersih dan suci, maka itu pemasangan Bija(Wija) dilakukan setelah metirtha
(Widana, 2009 : 75).
6). Canang
Canang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang pada mulanya berarti “sirih”,
yang mana sirih ini disuguhkan kepada para tamu (uttama) yang dihormati. Pada
jaman dahulu tradisi makan daun sirih adalah suatu kebiasaan yang sangat
dihormati. Bahkan didalam kekawin Nitisastra disebut “masepi tikang waktra tan
Amucang Wang” artinya sepi rasanya mulut bilamana tiada makan sirih (Pasek,
2008 : 90).
Unsur-unsur canang adalah sebagai berikut yaitu : porosan yang terdiri
dari pinang dan kapur dan dibungkus daun sirih merupakan lambang pemujaan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, pinang merupakan lambang dari Dewa Brahma,
Sirih lambang dari Dewa Wisnu dan Kapur merupakan lambang dari Dewa Siwa.
Plawa atau daun merupakan lambang dari tumbuhnya pikiran yang suci, dan
ceper berbentuk segi empat adalah lambang dari swastika, bunga adalah lambang
70
keikhlasan dan reringgitan merupakan lambang dari ketepatan hati (Wiana, 1992 :
28).
7). Banten Pejati
Banten pejati adalah nama Banten atau upakara, sesajen yang sering
dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati
akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan
prabhavaNya. Dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan:
“Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang”
Artinya: Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.
Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran
yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten
yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung
simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu
mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang
mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti
dan kasih.
Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati
berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten
yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang
Widhi dan manifestasi-Nya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon
71
dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati
merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña
(Pasek, 2008 : 105).
8). Segehan
Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini
adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah atau
kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam
kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan
menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang
harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (Wiana, 2005 : 43).
4.2.2. Pola Ajaran Etika dalam Persembahyangan Purnama Tilem.
Menurut Siden wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa,
etika merupakan suatu prilaku atau sikap yang baik dalam melakukan suatu
aktivitas, dalam hal ini adalah etika didalam persembahyangan purnama tilem di
Desa Pakraman Alasngandang perlu ditingkatkan, karena etika masyarakat di
dalam melaksanakan persembahyangan masih kurang dengan apa yang
diharapkan sesuai dengan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Hal ini dapat
dilihat dari sikap sembahyang masyarakat Alasngandang, baik itu dalam sikap
badan dalam sembahyang, sikap tangan saat muspa maupun sikap dalam
pembagian tirha dan bija yang tidak disiplin dan masih saling mendahului. Hal
inilah yang perlu ditingkatkan supaya etika atau sikap dalam sembahnyang dapat
berjalan secara baik sesuai dengan ajaran tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
72
Secara teoritis, Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang dalam bentuk
jamaknya (ta etha) berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Dalam pengertian ini
etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang
maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika
berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik,
dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang
lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam pengertian ini etika mirip
dengan pengertian moralitas, yang berasal dari kata Latin mos, yang dalam bentuk
jamaknya (mores) berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan” (Suhardana, 2006 : 12).
Jadi etika dan moralitas berarti sistem nilai atau aturan tentang tata cara
hidup yang baik dalam kaitannya dengan penelitian ini yaitu tentang bertata cara
hidup atau berprilaku yang baik dalam melaksanakan persembahyangan purnama
tilem di Desa Pakraman Alasngandang
Dengan mentaati etika, tata susila secara tidak langsung dapat
menertibkan, mendidik membiasakan diri dan patuh dengan adat istiadat yang
telah ditetapkan. Jadi etika atau peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang
harus menjadi pedoman hidup manusia.
Hal ini disebutkan dalam kitab Saramuccaya Sloka 160 sebagai berikut :
Cila ktikang pradhana ring dadi wwang,Hana prawrtining dadi wwang duccila apakanta,Praydjananika ring hurip, ring wibhawa, ring kaprajnan,Apan wyartha ika kabeh, yan tan hana cilayukti
Artinya :
73
Susila itu adalah yang paling utama (dasar mutlak) pada titisan sebagai manusia, jika ada prilaku (tindakan) titisan sebagai manusia itu tidak susila apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya (hidup, kekuasaan, dan kebijaksanaan) bila tidak ada pentrapan kesusilaan pada perbuatan (praktek susila) (Kajeng, dkk. 1994:128).
Dari kutipan tersebut diatas bahwa susila atau etika merupakan hal yang
paling penting untuk diperhatikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
khususnya dalam persembahyngan purnama tulem. Karena orang yang tidak
melaksanakan susila dengan baik hidupnya akan sia-sia dan tidak berguna.
Adapun etika dalam pelaksanaan persembahyangan purnama tilem meliputi
sebagai berikut :
4.2.2.1 Etika Muspa dalam Persembahyangan Purnama Tilem.
Dalam bukunya Wiana (2005 : 12) menjelaskan bahwa, etika di dalam
muspa sangat penting diperhatikan dalam melakukan persembahyangan. Karena
dalam upacara keagamaan khususnya Dewa yadnya inilah yang paling kelihatan
adalah sikap badan kita didalam melakukan persembahyangan. Sikap-sikap yang
dimaksud antara lain : 1). Sikap dan tempat duduk, 2). Sikap tangan dan letak
bunga atau kuwangen 3). Sikap hati. Adapun uraiannya sebagai berikut :
1). Sikap dan tempat duduk dalam sembahyang
Menurut Wendra wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa,
Sikap duduk untuk muspa yang baik adalah sikap silasana atau bersila untuk
sikap duduk laki-laki, dan untuk sikap duduk untuk perempuan adalah bajrasana
atau bertimpuh dimana kedua tumit kaki diduduki. Usahakanlah sikap duduk itu
74
dengan mengambil sikap badan yang tegak tetapi enak atau tidak kaku. Tidak
boleh bungkuk atau miring dan jangan sikap tegang yang dibuat-buat.
Usahakanlah duduk hingga tulang punggung dapat tegak lurus atau vertikal.
Mengenai tempat duduk didalam persembahyangan usahakanlah
mengambil tempat duduk menghadap kedepan atau menghadapi pelinggih
anustana dari Ida Sang Hyang Widhi yang akan kita aturi puspa dalam jarak
seperlunya. Usahakanlah pada waktu mencari tempat duduk, kita tidak
mengganggu atau menyinggung rasa hati orang yang ada disamping kita. Dan
jaganlah lalu lalang didepan orang yang sedang muspa. (Merta, wawancara : 28
April 2010).
Mengenai sikap dan tempat duduk yang sudah dijalskan diatas harus
dilaksanakan dan dipahami sesuai dengan tuntunan muspa didalam melakukan
persembahyangan terutama pada saat persembahyangan purnama tilem. Karena
dengan sikap duduk yang benar dan tempat duduk yang nyaman akan
mengahantarkan kita menjadi lebih khusuk didalam menghubungkan diri kepada
Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
2). Sikap tangan dan letak bunga dalam sembahyang
Sikap tangan dalam melakukan puja Tri Sandhya adalah sikap
amustikarana yaitu cakupan dua tangan didada dan kedua ibu jari bertemu,
kemudian empat jari kanan ditutup dengan empat jari kiri yang didahului dengan
pranayama (pengaturan nafas). Didalam melakukan puja Tri Sandhya dengan
75
sikap amustikarana tidak mutlak harus menggunakan sarana seperti bunga yang
dipakai dalam sikap amustikarana (Titib, 2003 : 37).
Dalam melaksanakan muspa kramaning sembah sikap tangan dan letak
bunga sudah ditentukan dan ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Dalam sembahynag yang dipimpin oleh seorang pemimpin (pandita atau
pinandita), maka kita mengikuti tuntunan pemimpin upacara tersebut. Adapun
sikap tangan dalam melakukan sembahyang sesuai petunjuk buku upadeça (1968 :
36) adalah sebagai berikut :
a) Kehadapan Sang Hyang widhi, cakupan tangan diletakkan diatas dahi hingga ujung jari ada diatas ubun-ubun (siwadwara).
b) Kehadapan para dewa (dewata), ujung jari-jari tangan diatas diantara kening (tengahing lelata).
c) Kepada Pitara (roh leluhur), ujung jari-jari tangan berada diujung hidung.
d) Kepada sesama manusia, tangan di hulu hati dengan ujung jari-jari tangan mengarah keatas.
e) Kepada para Bhuta, tangan berada di hulu hati, tetapi ujung jari-jari tangan mengarah kebawah.
Pada saat sembah puyung dengan tangan kosong yaitu pada setiap awal
dan akhir sembahyang yang sering disebut dengan sembah tanpa srana. Pada
sikap katupan tangan pada ujung jarinya berisi sedikit bunga. Katupan tangan
mempunyai arti tertentu harus dilakukan dengan semestinya, agar arti dan
maksudnya tidak hilang. Telapak tangan kanan adalah perlambang “sukma sarira”
atau perlambangannya sang jiwa. Sebaliknya telapak tangan kiri adalah simbol
“stula sarira” atau simbul badan wadag. Lima jari tangan kanan adalah
perlambang Panca Budhindria (pelihat, pendengar, pencium, pengecap dan
76
peraba). Sedangkan lima jari tangan kiri adalah simbul Panca Karmendria(mulut,
tangan,kaki, badan, kelamin). Karena muspa dilakukan dengan “wahyadyatmika”
yaitu lahir bhatin, maka pengatupan tangan yang melambangkan wahyadyatmika
ini perlu ditertibkan. Katupkanlah tangan sejak telapaknya hingga jari-jarinya.
Jari-jari semuanya harus lurus dan rapat antara yang kanan dengan jari-jari yang
kiri, naiknya tangan harus tepat ditengah-tengah badan (didepan mulut, hidung
dan sebagainya) jangan miring kesamping kanan atau kiri (Kaler, 2004 : 12).
Katupan tangan pada muspa kramaning sembah disebut dengan
“cakuping kara kalih” ini juga memiliki arti menungggalnya lahir bhatin
(wahyadyatmika) diri kita. Dirapatkannya semua jari adalah lambang bahwa
semua indria kita sudah terikat dan semua indria kita tidak bekerja, sehingga budi
nurani sepenuhnya kita sudah kehadapan Ida Sang Hyang Widhi yang diaturi
puspa. Gerakan indria kepada sasarn lain kita tutup.
Dalam menggunakan bunga yang melambangkan kesucian hati itu yaitu
dengan cara menjepitnya diujung jari. Dan jepitlah dengan jari tengah kanan dan
kiri, yakni jari yang tertinggi. Sembulkanlah bunga keatas jangan dijepit
tersembunyi, hingga bunga itu merupakan tajuk mahkota dari katupan tangan kita.
Kesucian hati yang dilambangkan dengan bunga itu merupakan tajuk dari
pelaksanaan muspa. Demikian pula bila memakai sarana kuwangen serta
sebagian besar disembulkan keatas. Muka kuwangen dibuat agak mengadah,
jangan menghadap kesamping kekiri atau kekanan (Kaler, 2004 : 14-15).
3). Sikap hati dalam sembahyang
77
Menurut Ratep dalam wawancara tanggal 28 April 2010, menyatakan
muspa atau sembahyang harus dilakukan dengan kesucian dan ketenangan hati
semaksimal-maksimalnya. Mulai dari berpakaian, sikap duduk, asucilaksana dan
sebagainya maka usaha-usaha lain untuk mencapai kesucian dan ketenangan hati
perlu ditempuh. Sebagai dimaklumi bahwa hati itu laksana air, sangat mudah
bergerak, bergetar dan bergelombang. Ia sangat mudah terpengaruh. Usaha-usaha
menenangkan (lebih-lebih waktu muspa) diantarnya adalah dengan mengurangi
pengaruh-pengaruh yang menyentuh hati itu. Pengaruh ini biasanya datang dari
pancaindra, terutama mata, sehingga pada saat muspa mata dipejamkan untuk
meniadakan atau mengurangi penglihatan dengan mana gejolak hati dapat
dikurangi.
Pernafasan bisa membantu bahkan bisa menentukan timbulnya
ketenangan hati. Sesudah duduk teratur tarikklah nafas panjang-panjang denngan
tenang barang 5 atau 10 kali dengan teratur dan pelan-pelan. Lakukanlah ini
dengan sabar seenaknya, hingga hati menjadi tenang. Kalau hati belum tenang
seperlunya, dada masih terengah-engah, ebar jantung masih cepat belum teratur,
maka bernapaslah dalam-dalam seperlunya terus dilakaukan. Dan janganlah kita
mulai muspa kalau kita belum mencapai ketenangan hati (Kaler, 2004 : 15-16) .
4.2.2.2 Etika Pembagian Tirtha dan Bija dalam Persembahyangan Purnama Tilem.
Tirtha dan bija merupakan hal yang penting dalam melaksanakan
persembahyangan. Sembahyang terasa belum lengkap ketika belum dapat nunas
tirtha wangsuhpada dan bija. Biasanya tirtha dan bija ini dibagikan setelah muspa
78
kramaning sembah selesai. Tirtha merupakan air suci, yaitu air yang telah
disucikan dengan suatu ritual khusus dan disebut dengan Tirtha Wangsuh Pada
Hyang Widhi (Ida Betara). Begitu juga dengan wija atau sering disebut dengan
bija ini merupakan lambang Kumara yaitu putra atau bija Bhatara Siwa. (Pasek,
2008 : 79-80).
Menurut Merta wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa,
pembagian Tirtha dan bija ini dibagikan oleh pinandita atau pemangku dan
dibantu oleh jro sedahan atau istri pemangku. Pembagian tirtha dan bija ini
dilakuakan secara teratur, mulai dari tempat duduk yang paling depan hingga
kebelakang. Etika dalam nunas tirtha ini harus mengambil sikap duduk yang
benar dan tidak boleh berdiri. Tirtha ini ditunas/dibagikan kemudian dipercikan di
kepala, diminum tiga kali dan dipakai mencuci muka. Hal ini dumaksudkan agar
pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci yaitu bebas dari segala kotoran , noda
dan dosa, kecemaran dan sejenisnya. Begitu juga dengan bija, bija yang ditunas
tersebut dipakai di jidat/selaning lelata, dileher dan ditelan sebanyak tiga butir,
bija ini merupakan benih ke-Siwaan yang bersemayam di dalam diri setiap orang.
Dengan demikian "Mawija" (Mabija) mengandung pengertian
menumbuhkembangkan benih ke-Siwaan yang bersemayam didalam diri kita.
Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ditanam di tempat yang
bersih dan suci, maka itu pemasangan Bija(Wija) dilakukan setelah metirtha.
4.2.2.3 Etika Berpakaian dalam Persembahyangan Purnama Tilem.
Pakaian merupakan hal utama yang mempengaruhi penampilan
seseorang, berpakaian yang sopan dan rapi adalah cerminan masyarakat yang baik
79
terutama dalam hal sembahyang ke pura. Sembahyang sangat identik dengan
kesucian, jadi pakaian yang digunakan dalam sembahyang syaratnya adalah
bersih, suci dan dipakai secara rapi menurut norma kesopanan (Kaler, 2004 : 6).
Menurut Sekar wawancara tanggal 13 April 2010 menjelaskan bahwa,
Keindahan dalam pakaian sembahyang bukanlah syarat yang utama, baik itu yang
bersifat mode, tren, gaul dan sebagainya tidak menjadi jaminan dalam
melaksanakan persembahyangan. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah
kebersihan dan kerapian pakaian saat busana dipakai, ketika berpakaian usahakan
tidak mengganggu gerakan badan, jangan terlalu ketat sehingga dapat
mengganggu pernafasan dan tidak kaku dalam melakukan gerakan yang nantinya
dapat berpengaruh terhadap persembahyangan terutama dalam melakukan muspa.
Menurut Ratep wawancara tanggal 28 april 2010 menjelaskan bahwa,
selain dapat mempengaruhi diri sendiri, pakaian juga dapat mempengaruhi pikiran
orang lain. Dengan berpakaian yang ketat, berwarna yang mencolok dapat
mengganggu pikiran orang yang melihatnya. Usahakan pakaian yang digunakan
menyesuaikan dengan ukuran tubuh maksudnya jangan sampai memperlihatkan
bentuk atau lekukan tubuh dengan pakaian yang ketat dan transparan, selain itu
masalah warna janganlah sampai mengundang perhatian orang artinya pandangan
orang selalu tertuju pada objek yang sama sehingga dapat mengganggu
pelaksanaan persembahyangan dan pemusatan pikiran saat menghubungkan diri
pada Tuhan Yang Maha Esa.
80
Berpakaian yang bersih, rapi dan sopan akan membuat suasana
persembahyangan menjadi aman dan nyaman. Etika berpakaian dalam
sembahyang perlu kita tekankan, selain untuk menjaga kesucian pura, etika
berpakaian perlu dipahami dan diperhatikan oleh masyarakat supaya tidak dipakai
sebagai ajang mode pakaian yang baru. Pakaian dengan mode-mode yang baru
biasanya sering dipamerkan dipura saat sembahyang seperti mode kain kebaya,
sapari, destar, saput dan pakaian lainnya dengan harga yang bersaing. Hal itulah
yang harus kita hindari demi kesucian dan kelestarian budaya Hindu kedepan
supaya tidak punah.
4.2.3. Ajaran Ritual atau Upacara dalam Persembahyangan Purnama Tilem.
Menurut Wendra wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa,
masyarakat Alasngandang dalam melaksanakan suatu ritual atau upacara
keagamaan seperti persembahyangan purnama tilem sudah cukup bagus. Dilihat
dari prosesi pelaksanaan suatu ritual keagamannya sudah baik dan teratur, hal ini
perlu dipertahankan serta ditingkatkan supaya agama Hindu kedepan tidak
merosot terutama dalam hal ritual atau upacaranya yang paling kelihatan dan
mencolok.
Dalam bukunya Surayin, (2005 : 9) menjelaskan bahwa, upacara berasal
dari kata “upa” yang berarti “berhubungan dengan”, dan “cara” yang bersal dari
kata “car” yang berarti gerak kemudian mendapat akhiran “a” menjadi kata benda
yang berarti gerakan. Jadi upacara adalah segala sesuatu yang berhubungan
81
dengan gerakan atau kegiatan, atau dalam kata lain upacara adalah gerakan
(pelaksanaan) dari pada suatu yadnya. Pada umumnya upacara itu adalah
berbentuk materi yang juga disebut “banten”, sebagaimana diketahui tadnya di
Bali selalu dilengkapi dengan sesajen-sesajen (upakara).
Upacara adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang
berarti “mendekati”. Disamping berarti mendekati juga berarti “penghormatan”
inti upacara adalah tattwanya memang suatu aktivitas yang mendekatkan manusia
dan alam lingkungannya, dengan sesamanya dan dengan Tuhannya. Pendekatan
dengan alam lingkungan alam dengan tujuan untuk membangun alam yang
Bhutahita artinya alam linhkungan yang sejahtera (Wiana, 1997 : 37-38).
Disadari bahwa ritual itu merupakan media atau sarana untuk
memudahkan bagi umat untuk dapat sampai kepada Beliau yang di puja. Selain
menggunakan mantra/doa, menggunakan sarana bunga, dupa, banten dan
sebagainya, bahwa ritual itu merupakan satu paket persembahan dengan berbagai
aspeknya. Kuncinya adalah jenis apapun ritual yang dipersembahkan tentu
didasari dengan hati suci serta tulus ikhlas tanpa mengharapkan alasannya
(Subagiasta, 2006 :38). Adapun ritual dalam persembahyangan purnama tilem di
Desa Pakraman Alasngandang adalah sebagai berikut :
4.2.3.1 Ritual dalam Persiapan Sembahyang.
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan bathin. Persiapan lahir
meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas dan sikap tangan. Termasuk
dalam persiapan lahir ialah sarana penunjang sembahyang seperti pakaian yang
82
bersih dan rapi, bunga dan dupa, sedangkan persiapan bathin ialah ketenangan dan
kesucian pikiran.
Menurut Sekar wawancara tanggal 13 April 2010 menjelaskan bahwa,
langkah-langkah persiapan dan sarana prasarana sembahyang pertama-tama
adalah Asuci Laksana yaitu membersihkan badan dengan mandi dan keramas,
supaya badan kita benar-benar bersih secara jasmani, karena kebersihan badan
dan kesejukan lahir mempengaruhi ketenangan hati dalam melakukan
persembahyngan terutama dalam memusatkan diri kepada Ida Sang Hyang widhi
Wasa. Langkah selanjutnya adalah kebersihan Pakaian, Pakaian waktu
sembahyang supaya diusahakan pakaian yang bersih serta tidak mengganggu
ketenangan pikiran. Pakaian yang ketat dan warna yang mencolok dapat
mengganggu konsentrasi dalam pemusatan pikiran.
Persiapan selanjutnya adalah menyiapkan sarana penunjang
persembahnyangan seperti : bunga, kuwangen, dupa, canang, banten, tirtha, bija
(wija) dan sarana yang mendukung lainnya. Semua sarana ini harus suci misalnya
bunga yang dipakai harus bunga yang masih segar. Selain itu adalah kebersihan
Pura atau tempat sembahyang supaya bersih dari sampah atau kotoran-kotoran
agar tidak mengganggu proses atau jalannya persembahyangan tersebut.
Persiapan bhatin sebelum melakukan persembahyangan meliputi :
Pertama, rasa tulus ikhlas dalam melaksanakan sembahyang. Kedua, kesadaran
bathin yang luhur dan suci sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu : suci
dalam pikiran, suci dalam perkataan, dan suci dalam perbuatan. Ketiga, bhakti
83
kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa secara pasrah dan utuh. Keempat, kesadaran
melaksanakan sembahyang agar ditujukan pada jalan dharma, kesucian dan
kesejahtraan mahluk serta alam semesta. Dan yang terakhir meyakini ajaran Tat
Tvam Asi yakni memandang semua mahluk mempunyai hakikat yang sama
(Merta, wawancara : 28 April 2010 ).
Sebelum masuk ke areal Pura hendaknya “melukat” terlebih dahulu
dengan memercikkan tirtha kepada diri kita, sebagai simbol menyucikan diri dan
mohon ijin secara niskala. Mangku Siden menambahkan bahwa umat hendaknya
masuk ke Pura melalui pintu sebelah kiri dan keluar menuju pintu sebelah kanan
karena harus sesuai dengan arah perputaran waktu yang selalu maju.
4.2.3.2 Ritual dalam Puja Tri Sandhya.
Dalam bukunya Titib (2003 : 35) menjelaskan bahwa, Puja Tri Sandhya
merupakan sembahyang wajib yang dilakukanoleh setiap umat Hindu tiga kali
dalam sehari. Dan Puja Tri Sandhya ini juga dilakukan sebelum melaksanakan
muspa Kramaning Sembah khususnya dalam persembahyangan Purnama Tilem
yang dilaksanakan di Desa Pakraman Alasngandang. Pelaksanaan Puja Tri
Sandhya ini dilakukan secara bersama-sama dan dipimpin oleh pinandita atau Jro
Mangku yang muput pada saat itu.
Puja Tri Sandhya ini dapat dilakukan dengan menggunakan sarana berupa
bunga, dupa, air suci dan sejenisnya. Tetapi bila hal itu tidak tersedia maka cukup
dengan sikap amustikarana yaitu cakupan dua tangan didada, kedua ibu jari
bertemu, empat jari kanan kemudian ditutup dengan empat jari kiri, tentunya
84
didahului dengan pranayama (pengaturan nafas) supaya tarikan dan hembusan
nafasnya lembut (Titib, 2003 : 37).
Hal terpenting dalam melakukan puja Tri Sandhya adalah mengetahui dan
mengerti makna mantram-mantram yang diucapkan, sehingga melalui
pemahaman terhadap arti dan makna Puja Tri Sandhya tersebut maka kita akan
lebih mantap, yakin dan khusuk memuja keagungan Ida Sang Hyang Widhi.
”Masyarakat di Desa Pakraman Alasngandang sebagian besar belum memahami
dan mengerti makna dari mantram Puja Tri Sandhya yang diucapkan” (Siden,
wawancara : 28 April 2010).
Dari hasil wawancara tersebut bahwa pelaksanaan Puja Tri Sandhya ini
harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan yang paling penting mengetahui
dan memahami arti atau makna dari Puja Tri Sandhya yang dilakukan tersebut.
Sehingga apa yang kita harapkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dapat
tercapai dengan benar. Mangku Siden memberi saran, “Dalam melakukan Puja
Trisandya baik sendirian maupun berkelompok hendaknya kita berkonsentrasi
dengan baik, mengikuti desah nafas kita dengan halus dan pelan. Sepanjang
mampu kita bernafas lantunkanlah sloka-sloka tersebut dengan lemah lembut.
Kalau kita melantunkan sloka dengan pikiran, maka mantram tersebut seperti
terkejar-kejar atau belomba-lomba dan tidak berakhir dengan bersamaan”.
4.2.3.3 Ritual dalam muspa Kramaning Sembah.
Menurut Wendra dalam wawancara tanggal 14 April 2010 menjelaskan
bahwa, Kramaning Sembah merupakan Sembahyang yang dilakukan umat untuk
85
memuja Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dengan segala Prabhawa/manifestasi
kemahakuasaan-Nya, yang dilaksanakan dengan penuh ketululusan hati, dengan
sarana bunga atau kuwangen yang bertujuan mewujudkan suatu kehidupan yang
bahagia dan sejahtera lahir batin atau Moksartham Jagadhita.
Setelah melakukan Puja Trisandhya, dilanjutkan dengan melaksanakan
Panca Kramaning Sembah yang bermakna sebagai berikut:
1).Sembah pertama dengan tangan kosong (puyung) yang intinya bertujuan untuk memohon kesucian dan memusatkan pikiran.
2).Sembah kedua, ketiga dan keempat dengan memakai bunga dan kawangen dengan tujuan penyampaian rasa hormat kepada Tuhan, penyampaian hormat kepada sifat wujudNya dalam segala manifestasiNya dan kepada para Dewa, serta penyampaian permohonan maaf dan permohonan anugrah.
3).Sembah kelima, yaitu sembah tangan kosong yang merupakan sembah penutup sebagai rasa terima kasih atas rahmatNya dan mengantarkan kembali ke alam gaib (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981 : 29).
Setelah melaksanakan persembahyangan, umat dipercikkan tirtha wangsuh
Ida Bhatara. Tirtha ini dipercikkan 3-7 kali di kepala, 3 kali diminum dan 3 kali
mencuci muka (meraup). Hal ini dimaksudkan agar pikiran dan hati umat menjadi
bersih dan suci. Kebersihan dan kesucian hati adalah pangkal ketenangan,
kedamaian dan kebahagiaan lahir dan bathin itu sendiri (Sujana & Susila,
2002:31).
Mawija atau mabija dilakukan setelah selesai metirtha yang merupakan
rangkaian terakhir dari suatu persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras
yang dicuci dengan air atau air cendana. Bila dapat diusahakan beras galih dan
tidak patah-patah, yaitu beras yang utuh tidak patah (aksata). Wija atau bija
adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Jadi, mewija
86
mengadung makna menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an itu di dalam diri
umat (Sujana & Susila, 2002:31-32).
Menurut Siden wawancara tanggal 14 April 2010 menyatakan bahwa, dalam
melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang dipimpin oleh Pinandita atau jro
mangku, hendaknya umat tidak ikut me-mantram. Hal ini dianalogikan bahwa
Pinandita itu seperti sopir bus, sedangkan umat adalah penumpang. Sopir akan
mengantarkan penumpangnya sampai tempat tujuan atau terminal. Jika
penumpang juga ikut menyetir akan timbul kegaduhan. Sehingga
persembahyangan tidak menjadi tenang dan menggangu umat lain yang ingin
mengadu masalah hidup kepada Hyang Widhi dan memohon sinar suci-Nya dan
tuntunan-Nya menghadapi masalah. Namun, ikut me-mantram tidak dilarang
karena menurut Mangku Siden bahwa mungkin umat itu tidak sedang dalam
masalah atau ingin belajar menghapalkan mantram tersebut, asal tidak
mengganggu konsentrasi umat lain yang sedang sembahyang.
4.3. Nilai-Nilai Pendidikan yang terdapat dalam Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang.
Persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa
Pakraman Alasngandang yang dilaksanakan oleh masyarakat Alasngandang
merupakan suatu bentuk persembahan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa
sebagai penguasa alam dunia besrta isinya. Disamping sebagai persembahan
bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, persembahyangan purnama tilem
mengandung nilai-nilai pendidikan yang luhur yang mencakup beberapa aspek
87
sosial mulai dari nilai sosial relegius, nilai sosial budaya dan nilai dari sosial
ekonominya. Berikut akan dijelaskan nilai-nilai yang terdapat dalam
persembahyangan purnama tilem tersebut.
4.3.1 Nilai Pendidikan Sosial Religius dalam persembahyangan purnama tilem
Sosial religius berasal dari dua kata yaitu sosial dan religius. “Sosial”
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian sosial adalah segala sesuatu
yang mengenai masyarakat, kemasyarakatan atau juga suka memperhatikan
kepentingan umum W.J.S Poerwadarminta, (1976 : 961). Sedangkan “religius”
berasal dari kata religi yang artinya kepercayaan kepada Tuhan Selanjutnya kata
religius berarti bersifat religi : bersifat keagamaan: yang bersangkutan dengan
religi (Tim Penyusun, 1991 : 944).
Dalam bukunya Titib (2006 : 258) menyatakan bahywa, inti tattwa itu
adalah kepercayaan kepada Tuhan (Ketuhanan) yang disebut dengan Ekatwa
Anekatwa Svalaksana Bhatara yang artinya Tuhan itu dalam yang banyak, yang
banyak dalam yang Esa. Tattwa adalah kepercayaan, dalam Hindu kita mengenal
lima kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha yaitu : 1). Percaya terhadap
adanya Tuhan (Widha Tattwa), 2). Percaya terhadap adanya Atman (Atma
Tattwa), 3). Percaya terhadap adanya Hukum Karma (Karma Phala), 4). Percaya
terhadap adanya Punarbhawa (Samsara) dan 5). Percaya terhadap adanya Moksa
(Bersatunya atman dengan Brarman).
88
Kelima kepercayaan umat Hindu tersebut diatas, kepercayaan yang paling
kuat yang diyakini oleh masyarakat Alasngandang adalah kepercayaan terhadap
Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ini dibuktikan masyarakat secara teratur
melaksanakan persembahyangan untuk memuja Ida Sanng Hyang Widhi Wasa
atau Tuhan Yang Maha Esa terutama pada hari purnama tilem di pura Desa
Pakraman Alasngandang.
Menurut Merta wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa,
kurangnya pemahaman tattwa dan etika dalam masyarakat Alasngandang pada
persembahyangan purnama tilem, dikarenakan masyarakat Alasngandang masih
sangat awam tentang ajaran-ajaran ketuhanan yang berisikan makna filosofis
tentang persembahyangan. Kalau dilihat dari pengetahuan atau tingkat
pendidikannya, masyarakat Alasngandang masih sangat jauh dengan apa yang
diharapkan. Inilah yang menjadi salah satu kendala dalam penerapan ajaran Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu pada pelaksanaan pemsembahyangan purnama
tilem di Desa Pakraman Alasngandang.
Selain itu kurangnya penyuluhan-penyuluhan agama yang diberikan pada
masyarakat Alasngandang seperti Dharma Wacan dan Dharma Tula yang dapat
meningkatkan pemahaman keagamaan khususnya dalam hal yadnya yaitu
sembahyang. Sembahyang merupakan hal yang paling penting dilakukan oleh
umat Hindu Seperti dalam Bhagavadgita disebutkan :
Manmana bvaha madbhaktoMadyaji mam namaskuruMam evai syasi vamAtmanam matparayanah
89
(Bhagavadgita, IX.34)
Artinya :
Pusatkanlah pikiranmu padaKu, berbhaktilah kepadaKu, sembahlah Aku, sujudlah padaKu, setelah melakukan disiplin pada dirimu sendiri dan Aku sebagai tujuan engkau akan datang (mendekat) padaKu (Pudja, 1993 : 150).
Yang dimaksudkan dengan Aku disini adalah Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, dan yang dimaksudkan dengan kamu atau engkau adalah umatnya. Dengan
demikian ini berarti bahwa dengan bhakti pada Tuhan seseorang akan dapat
menyatu pada-Nya yang mengakibatkan kebahagiaan. Betapa pentingnya hal
tersebut sehingga penerapan ajaran tattwa, etika dan ritual dalam
persembahyangan purnama tilem harus dilaksanakan dengan baik dan benar
sesuai dengan konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
4.3.2 Nilai Pendidikan Sosial Budaya dalam Persembahyangan Purnama Tilem
Secara etimologi kata kebudayaan berasal dari kata dasar ”budaya” yang
mendapat proses afiksasi ke-an menjadi kebudayaan. Menurut kamus umum
bahasa Indonesia makna kata ”budaya” berarti pikiran atau akal budi maka secara
morfologis kebudayaan merupakan hal-hal yang berhubungan dengan pikiran atau
akal budi (Poerwadarminta, 1991 : 64).
Dari sudut pandang ilmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kata kebudayaan atau culture
berasal dari kata sansekerta ”buddhayah” yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
90
berarti budi atau akal. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan hal-hal
yang berkaitan dengan akal (Koentjaraningrat, 1983 : 182 – 1830).
Sehubungan dengan kebudayaan menurut Koentjaraningrat menyatakan
bahwa agama adalah unsur terpenting didalam membentuk kebudayaan, dan
sistem budaya memiliki empat elemen antara lain :
1). Filsafat keyakinan yang mengendalikan dogma (mindsetting).2). Etika yaitu tatakrama yang dihasilkan dari keyakinan tersebut.3). Penghayatan sehari-hari dari agama yang berupa (ritual agama) yang
dimunculkan untuk menyalurkan emosi keagamaan yang menyertai penghayatan beragama.
4). Para Shadaka atau umat yang meyakini kepercayaan tersebut (Tantera Keramas, 2008 : 28)
Menurut Warsa wawancara tangal 27 April 2010 menjelaskan bahwa,
berbicara tentang sosial budaya pada masyarakat Alasngandang tidak bisa lepas
dari apa yang disebut agama, adat dan budaya. Di samping ketiga hal tersebut juga
tidak bisa terlepas dengan desa kala patra, sebab sistem pelaksanaan agama, adat
dan budaya selalu berdasarkan tradisi yang berlaku di desa setempat. Dalam
melaksanakan ritual atau sistem kepercayaan, masyarakat Alasngandang selalu
menjungjung kuna dresta dan lokal dresta sebagai bagian dari budaya masyarakat
setempat.
Sistem sosial masyarakat Alasngandang lebih mengedepankan
kebersamaan dan kegotongroyongan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Bila
ada suatu permasalahan yang muncul dimasyarakat Alasngandang
penyelesaiannya diputuskan menurut adat atau awig-awig yang telah disepakati
oleh masyarakat setempat. Penyelesaian dimaksud bisa berupa kena sangsi atau
91
didamaikan. Maka penyelesaian persoalan-persoalan seperti ini sesuai dengan apa
yang diungkapkan oleh Tjok Istri Putra Astiti bahwa penyelesaian persoalan adat
dilandasi oleh tiga azas yaitu azas kerukunan, azas keselarasan, azas kepatutan.
Berdasarkan azas-azas ini pula para penguasa banjar menyelesaikan suatu
persoalan. Ketiga azas ini selalu menjadi dasar dalam peyelesaian konflik oleh
hakim desa dalam hal ini penghulu desa seperti bendesa adat atau kepala dusun.
Hubungan yang harmonis selalu dipelihara antara prajuru desa dengan
manggalaning dinas dalam hal ini kepala dusun seperti diungkapkan oleh bendesa
adat setempat bahwa hubungan bendesa adat dengan kepala dusun seperti suami
istri, kepala dusun adalah suaminya dan bendesa adat adalah istrinya maka dalam
memutuskan suatu persoalan selalu berkoordinasi. Maka hubungan sosial
masyarakat Alasngandang selalu berjalan harmonis. Dan setiap permasalahan
selalu diselesaikan oleh kepala dusun yang didampingi Bendesa Adat dengan
mengedepankan azas kerukunan, azas keselarasan dan azas kepatutan.
Aspek dari kebudayaan dalam melaksanakan persembahyangan purnama
tilem di Desa Pakraman Alasngandang meliputi dua hal yaitu : budaya dalam
busana berpakaian dan budaya dalam sarana persembahyangan. Budaya didalam
busana berpakaian khususnya dalam persembahyangan purnama tilem di Desa
Pakraman Alasngandang mengedepankan nilai seni dan estetika (keindahan).
Busana yang digunakan dalam sembahyang syaratnya adalah bersih, suci
dan dipakai secara rapi menurut norma kesopanan. Jadi pada intinya busana
didalam melaksanakan persembahyangan tersebut adalah bersih, suci dan busana
tersebut dipakai secara sopan. Seiring perkembangan zaman dan budaya, busana
92
persembahyangan selalu memiliki perubahan atau inovasi-inovasi baru terutama
dalam hal estetika atau keindahannya. Perubahan-perubahan tersebut secara tidak
langsung dapat merubah makna dan kesucian dari busana persembahyangan
agama Hindu itu sendiri (Kaler, 2004 : 6).
Menurut Ratep wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa,
dalam melaksanakan persembahyangan purnama tilem, busana masyarakat
Alasngandang selalu mengikuti mode atau gaya busana yang dijadikan tren pada
saat itu. Gaya busana itu umumnya di perlihatkan pada kalangan remaja-remaja
yang haus akan penampilan yang terbaru. Hal ini ditunjukkan dengan pakaian
kebaya remaja putri yang sedikit transparan atau terbuka, selain itu pada busana
putra hal yang menonjol adalah pada busana udeng/destar dan kekancutan yang
masing-masing memiliki makna tersendiri. Dengan merubah gaya udeng dan
kekancutan tersebut tentunya juga merubah makna yang terkandung dalam busana
agama Hindu tersebut.
Nilai pendidikan seni budaya juga terdapat dalam sarana upakara pada
persembahyangan purnama tilem terutama dalam pembuatan banten. Banten
yang merukapan salah satu upakara yang terpenting didalam persembahyangan,
selalu berpatokan pada makna dan simbol-simbol yang terkandung dalam
pembuatan banten tersebut. Tetapi dalam persembahyangan purnama tilem di
Desa Pakraman Alasngandang, banten-banten yang dipersembahkan kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa belum sesuai dengan apa yang diharapkan pada ajaran
tattwa agama Hindu tersebut.
93
Menurut Karma wawancara 28 April tanggal 2010 menjelaskan bahwa,
banten-banten yang dipersembahkan dalam persembahyangan purnama tilem oleh
masyarakat Alasngandang memiliki nilai pendidikan budaya yang sangat tinggi.
Banten yang dipersembahkan tersebut kebanyakan masih menggunakan makanan-
makanan yang terbungkus dari plastik, seperti snack atau makanan ringan yang
siap saji. Masyarakat Alasngandang dalam pembuatan banten persembahan lebih
suka menggunakan bahan makanan yang instan atau siap saji. Sedangkan bahan-
bahan yang semestinya dipakai seperti ketupat, pisang, jaja gina dan jaja uli
sudah jarang sekali dipergunakan. Hal inilah yang perlu dibenahi supaya
kebudayaan tradisional yang syarat dengan simbol dan makna yang berbau
spiritual tersebut supaya tidak hilang ditelan oleh budaya modern yang serba
pkaktis.
4.3.3 Nilai Pendidikan Sosial Ekonomi dalam Persembahyangan Purnama Tilem
Menurut bukunya Prawiro (1990 : 4) menyatakan bahwa, ekonomi adalah
studi tentang usaha manusia dalam kegiatannya memenuhi kebutuhan hidup.
Tantangan berat yang dihadapi oleh masyarakat dewasa ini adalah tidak hanya
menaggulangi krisis moneter dan krisis ekonomi saja, tetapi juga mengubah
paradigma dari Ekonomi Kapitalis menjadi Ekonomi Kerakyatan (Ekonomi
Sosialis). Tentu saja dalam mengatasi tantangan berat tersebut, diperlukan adanya
komitmen yang kuat untuk menumbuhkan kesadaran baru.
Menurut Ratep wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa,
pada intinya melaksanakan yadnya harus dilandasi dengan ketulusikhlasan dan
94
tanpa menghaparkan imbalan. Tetapi kalau yadnya yang dilaksanakan sampai
terasa memberatkan bagi dirinya, itulah yadnya yang tidak ikhlas. Dilihat dari segi
perekonomian masyarakat Alasngandang tergolong ekonomi menengah kebawah.
Hal ini dilihat dari mata pencahariannya yang kebanyakan seorang petani. Jadi
untuk memenuhi kabutuhan sehari-hari saja masyarakat Alasngandang terasa sulit,
apalagi harus dituntut dengan melaksanakan yadnya. Dilihat dari tingkat besar
kecilnya yadnya memiliki beberapa tingkatan yaitu :
1. Tingkat Nistaa). Nistaning nistab). Nistaning Madyac). Nistaning Utama
2. Tingkat Madyaa). Madyaning Nistab). Madyaning Madyac). Madyaning Utama
3). Tingkat Utamaa). Utamaning Nistab). Utamaning Madyac). Utamaning Utama
Dengan demikian hendaknya dipahami benar mulai dari tingkat kecil,
tengah dan tingkat yang paling utama. Bukan berarti tingkat yang paling utama itu
yang paling baik dan bukan tingkat nista yang paling buruk. Yadnya itu dilihat
dari ketulus ikhlasannya. Seperti dalam Bhagawadgita Bab IX Sloka 26
disebutkan bahwa :
Pattram puspam phalam to yamYo me bhaktya prayacchatiTad aham bhaktyupahrtamAsnami prayatatmanah
(Bhagavadgita, IX.26)
95
Terjemahannya:
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan kepada-Ku, daun, bunga buah-buahan atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci, Aku terima (Pudja, 1993 : 153).
Yadnya dalam hal ini harus didasari oleh cinta kasih dan hati yang suci,
walaupun hanya bisa mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji
buah dan seteguk air akan diterima oleh Ida Sang Hayng Widhi Wasa, apabila
persembahan tersebut didasari oleh ketulusan dan kesucian hati. Hal inilah
semestinya dijadikan pedoman supaya didalam melaksanakan yadnya atau
persembahan tidak semata-mata memperlihatkan materi yang dimilikinya. Tetapi
dalam kenyataannya masyarakat Alasngandang dalam melaksanakan
persembahan kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa memiliki rasa gengsi
yang tinggi dalam dirinya. Mereka merasa gengsi jika membawa banten seadanya
ke Pura khususnya pada saat persembahyangan Purnama Tilem di Desa
Pakraman Alasngandang. Masyarakat berlomba-lomba memperllihatkan dan
memamerkan bantennya yang dibawa supaya tidak merasa kalah saing.
Menurut Siden wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa,
nilai pendidikan yang terdapat dalam sosial perekonomian yaitu dalam membuat
upakara-upakara untuk sarana persembahyangan purnama tilem. Terutama dalam
hal kecil seperti membuat kuwangen yang semakin disederhanakan. Didalam
kuwangen semestinya berisikan dua buah uang kepeng atau pis bolong yang
melambangkan windu yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tapi uang kepeng yang
asli belakangan ini sulit dicari dan harganyapun semakin mahal. Sehingga
masyarakat berinisiatif menggantinya dengan alternatif uang logam biasa dan
96
parahnya lagi diganti dengan uang kertas. Hal ini tentu akan mengurangi makna
dari kuwangen tersebut yang dipakai sebagai sarana pokok dalam memuja Ida
Sang Hyang Widhi Wasa.
Selain dalam hal kuwangen, nilai pendidikan sosial ekonomi juga
berpengaruh pada pembuatan upakara banten pejati yang didalamnya berisikan
banten daksina. Banten daksina merupakan sarana yang sangat penting dalam
melaksanakan suatu upacara keagamaan khususnya pada persembahyangan
purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang. Pada umumnya dalam
pembuatan banten daksina salah satu unsur terpenting adalah berisikan buah
kelapa yang melambangkan Bhuana Agung dan telor bebek melambangkan
Bhuana Alit. Dipakainya telor bebek sebagai simbol dari Bhuana Alit yang
mempunyai makna kebijaksanaan. Tetapi dalam kenyataannya sebagian besar
masyarakat Alasngandang dalam membuat banten daksina masih menggunakan
telor ayam yang harganya relatif lebih murah dari pada telor bebek. Tentu saja
makna yang tekandung dalam banten daksina yang terbuat dari telor ayam
berbeda dengan makna banten daksina yang terbuat dari telor bebek tersebut
(Merta, wawancara : 28 April 2010).
Nilai pendidikan dalam bidang sosial ekonomi ini lebih mengarah pada
materi yang berupa upakara-upakara persembahyangan. Upakara-upakara yang
dipakai dalam suatu aktivitas keagamaan seperti ritual persembahyangan purnama
tilem di Desa Pakraman Alasngandang sudah barang tentu memiliki suatu makna
dan nilai-nilai yang terkandung dalam upakara tersebut. Jika upakara-upakara
tersebut dirubah karena keadaan ekonomi masyarakat yang mendesak, maka
97
makna dan nilai-nilai yang terkandung pada upakara-upakara tersebut juga
berubah.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data mengenai Persembahyangan
purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga di Desa Pakraman Alasngandang dalam
perspektif Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa
Pakraman Alasngandang secara rutin dilaksanakan setiap lima belas hari
sekali. Dalam pelaksanaan persembahyangan tersebut masyarakat
Alasngandang tidak pernah lepas dari ajaran tattwa, etika dan ritual dalam
98
persembahyangan purnama tilem. Dalam ajaran tattwa berisikan tentang
kajian tattwa dalam mantra Tri sandhya, kajian tattwa dalam mantra
Kramaning Sembah dan kajian tattwa dalam sarana upakara
persembahyangan. Dan dalam ajaran susila atau etika berisikan etika
muspa dalam persembahyangan, Etika pembagian tirtha dan bija, dan
etika berpakaian dalam persembahyangan. Sedangkan dalam kajian ritual
dalam persembahyanga purnama tilem berisikan ritual dalam persiapan
sembahyang, ritual dalam Puja Tri Sandhya dan ritual dalam muspa
Kramaning Sembah.
2. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam persembahyangan purnama
tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang meliputi :
Nilai pendidikan sosial religius, nilai pemdidikan sosial budaya dan nilai
pendidikan sosial ekonomi.
5.2 Saran
Dari uraian diatas, maka dapat disampaikan beberapa saran-saran yang
nantinya dapat dijadikan dasar untuk mendorong atau memotivasi para pembaca
sekalian adalah sebagai berikut:
1. Kepada seluruh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang agar secara
rutin melaksanakan persembahyangan purnama tilem dan selalu
menerapkan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yaitu ajaran tattwa,
susila dan ritual.
97
97
99
2. Bagi para tokoh masyarakat agar dapat lebih memajukan para generasi
muda Hindu khususnya masyarakat Desa Pakraman Alasngandang,
melalui pelaksanaan, Dharma Wacana, Dharma Tula dan penyuluhan-
penyuluhan ajaran agama supaya pemahaman masyararat terhadap ajaran
agama Hindu semakin meningkat.
3. Para generasi muda penerus bangsa diharapkan senantiasa dapat berpikir
secara kritis, logis, baik dan benar agar dapat melaksanakan aktivitas
agama Hindu sesuai dengan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
4. Karena terbatasnya ruang lingkup penelitian ini, kepada peneliti lain
diharapkan dapat mengembangkan dan menjadikan bahan acuan dan
kajian untuk penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anandakusuma Sri Reshi, 2006, Aum Upacara Dewa Yadnya, Surabaya :
PT.KAYUMAS AGUNG
Ayu Ira Dewi, Putu, 2008. Pelaksanaan Persembahyangan Purnama Tilem Kampus IHD Negeri Denpasar di Singaraja (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu). IHDN Denpasar.
Bajrasana, I Gede, IB Arisufhana & I Gusti Gede Goda. (1981). Acara
(Sadacara). Jakarta: Departemen Agama RI. Hal. 12-30
Budiono. 2005. Kamus Ilmiah Populer Internasional. Surabaya : Alumni
Surabaya.
Bungin, Burhan. 2001. Metodelogi Penelitian Sosial. Surabaya : Airlangga
University Press
100
Daryanto, SS. 1998. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Apolo.
Departemen Agama RI, 2005 Kamus Istilah Agama Hindu : Denpasar
Dwi Metriani, 2008. Upacara Pati Wangi Dalam Perkawinan Antar Wangsa Di Desa Gulingan Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung (Kajian Nilai Pendidikan Agama Hindu). IHDN Denpasar
Iqbal, H. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta : Gihalva
Indonesia.
Jawi, I Nyoman, 2007. Makna Pelaksanaan Persembahyangan Purnama Tilem Dalam Meningkatkan Sikap Disiplin Siswa SD Negeri Blahbatuh Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar IHDN Denpasar.
Kadjeng, I Nyoman, dkk. 1994. Sarasamuscaya, Dengan Teks Bahasa
Sansekerta dan Jawa Kuna. Surabaya : Paramita.
Kaler, Igusti Ketut. 2004, Tuntunan Muspa Bagi UmatHindu, Penerbit Kayu
Mas Agung : Denpasar
Koentjaraningrat, 1997. Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi II,
Rineka Cipta.
______________, 1981, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : PT.
Gramedia
, 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru
Moleong, Lexy, 1994. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja
Rosda Karya.
Oka Netra, A.A Gde, 1994. Tuntunan Dasar Agama Hindu, Tim Penyusun
PHDI Pusat, 1993, Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia,
Jakarta : Upada Sastra.
PHDI Kabupaten Karangasem, 2009, Filosofis Sembahyang, Arti dan Makna
Sembahyanga. Amlapura
101
Posrwadarminta, 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai
Pustaka.
Prawiro, Ruslan, 1990. Ekonomi Sumberdaya. Bandung : Penerbit Alumni
Pudja, Gde, 1993. Bhagavadgita (Pancama Veda). Jakarta : Hanuman Sakti.
Raka Dherana, Tjokorda. 1982. Pembinaan Awig-Awig Desa Pakraman Dalam
Tertib Masyarakat. Denpasar
Ritzer, George, 1985. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.
Jakarta : Rajawali.
Rudia Adiputra I Gede, 2004, Dasar-Dasar Agama Hindu, Jakarta : Lestari
Karya Megah
Soehardi, Sigit, 2001. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial – Bisnis –
Manajemen, Yogyakarta : BPFE UST
Suardana I Ketut, 1993. Metodelogi Penelitian, Singaraja STKIP
Subagiasta Iketut, 2008. Sradha dan Bhakti, Surabaya: PARAMITA
, 2006. Teologi,Filsafat, Etika dan Ritul dalam susastra
Hindu, Surabaya: PARAMITA.
Sudaharta ,Tjok Rai,2007 Upadsa Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu,
Surabaya : PARAMITA
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfa Beta.
________, 2007. Metode Penelitian Administrasi, Bandung : CV. Alpabeta
Suhardana, K.M, 2006. Kesejagatan Agama Hindu. Denpasar : PT.
PANAKOM.
Sujana, I Made & I Nyoman Susila. (2002). Manggala Upacara. Jakarta:
Departemen Agama RI
102
Sumantra, I Nengah 2009. Dasar-dasar Pendidikan Agama Hindu, Institut
Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Suprayogo, Imam dan Tabroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial Agama.
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Sura I Gede, 1994. Agama Hindu Sebuah Pengantar, Surabaya :
PT.KAYUMAS AGUNG
Surayin, Ida Ayu Putu. 2004. Melangkah Kearah Persiapan Upakara-upakara
Yadnya. Surabaya : Paramita.
Suwitrayasa, I Nyoman. 2008. Eksistensi Tari Tampyog dan Upacara Piodalan
Purnama Kenem di Pura Puseh Desa Adat Manukaya Let Tampaksiring-
Gianyar. IHDN Denpasar
Tambang Raras Niken, 2004, Purnama Tilem, Surabaya : PARAMITA
Tantera Keramas, Dewa Made. 2008. Metoda Penelitian Kualitatif dalam Ilmu
Agama dan kebudayaan
Tim Penyusun. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.
Titib, I Made. 2003, Tri Sandhya, Sembahyang dan Berdoa, Surabaya :
Penerbit Paramita.
Wiana, Ketut. 2009. Sembayang Menurut Hindu, Penerbit Yayasan Dharma
Naradha : Denpasar.
, I Ketut,1999. Pelinggih Di Pemerajan, Denpasar: Upada
Sastra.
, Ketut. (2005). Doa Sehari-Hari: Menurut Hindu. Denpasar: PT
Pustaka Manikgeni.
103
, . 1997. Beragama bukan Hanya Di Pura Agama Hindu Sebagai
Tuntunan Hidup. Denpasar : Yayasan Dhrama Naradha.
Widana, I Ketut, 2009. Esensi Pelaksanaan Persembahyangan Purnama Tilem
Dalam Meningkatkan Kualitas Sraddha Bhakti Sisswa di SD Dangin
Tukap Tahun Pelajaran 2008/2009. IHDN Denpasar.
Widana, Igusti Ketut, 2009. Menjawab Pertanyaan Umat, Denpasar : Pustaka
Bali Post
Yudha, Triguna, 2000, Teori Tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma