skripsi makna mimpi dan bentuk fantasi tokoh ashra ... · hatinya kemudian dituangkan ke dalam...
TRANSCRIPT
Skripsi
MAKNA MIMPI DAN BENTUK FANTASI TOKOH ASHRA TRIVURTI
DALAM NOVEL JUKSTAPOSISI KARYA CALVIN MICHEL SIDJAJA PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Oleh
Antonius Sulis Setyawan
NIM: 034114031
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2008
ii
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Antonius Sulis Setyawan
Nomor Mahasiswa : 034114031
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : MAKNA MIMPI DAN BENTUK FANTASI TOKOH ASHRA TRIVURTI DALAM NOVEL JUKSTAPOSISI KARYA CALVIN MICHEL SIDJAJA PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Yogyakarta, 12 Februari 2009
Yang menyatakan
(Antonius Sulis Setyawan)
v
ABSTRAK
Setyawan, Antonius Sulis. 2008. Makna Mimpi dan Bentuk Fantasi Tokoh Ashra Trivurti dalam Novel Jukstaposisi Karya Calvin Michel Sidjaja: Pendekatan Psikologi Sastra. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia. Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Secara garis besar penelitian ini mengkaji gejala kejiwaan manusia, yakni mimpi dan fantasi. Gejala kejiwaan tersebut kemudian dispesifikasikan ke arah makna mimpi dan bentuk fantasi tokoh Ashra Trivurti dalam novel Jukstaposisi. Pertama, penelitian ini bertujuan meneliti secara struktural mengenai tokoh dan penokohan Ashra Trivurti. Kedua, mendeskripsikan mimpi dan fantasi tokoh Ashra Trivurti untuk menganalisis makna mimpi dan bentuk fantasinya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan psikologi. Sedangkan metode yang dipilih yakni metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang ada dalam novel Jukstaposisi. Langkah pertama ditempuh dengan cara mendeskripsikan tokoh dan penokohan Ashra Trivurti kemudian menganalisis makna mimpi dan bentuk fantasi yang dialami oleh tokoh tersebut. Analisis struktural berupa tokoh dan penokohan, digunakan untuk melihat sejauh mana kehidupan dan kepribadian mempengaruhi mimpi dan fantasi tokoh Ashra Trivurti. Kenyataan buruk yang ditemui dalam hidup sehari-hari telah membentuk tokoh Ashra Trivurti menjadi suatu pribadi yang terbuai dalam angan-angan. Hanya dalam mimpi dan fantasilah, tokoh Ashra Trivurti dapat suatu kehidupan yang lebih baik dari kenyataan. Mimpi dan fantasi yang dialaminya, bukan tidak punya makna atau bentuk apa-apa. Melalui penyingkapan mimpi dan fantasi lebih dalam lagi, penelitian ini sanggup menemukan makna mimpi dan bentuk-bentuk yang ada dalam fantasinya. Beberapa mimpi Ashra Trivurti dimaknai sebagai wujud keinginan untuk menggugat kematian, mimpi sebagai wujud keinginan menghidupkan mitos, mimpi sebagai wujud keinginan menolak kenyataan, mimpi sebagai wujud keinginan untuk berkuasa, mimpi sebagai wujud keinginan melampiaskan rindu, dan mimpi sebagai wujud keinginan menggambarkan otoritas kekuasaan. Sementara bentuk-bentuk fantasinya dapat dikategorikan menjadi: fantasi menciptakan, fantasi yang tak disadari dan fantasi terpimpin.
vi
ABSTRACT
Setyawan, Antonius Sulis. 2008. The Meaning of Dream and The Fantasy Form of Ashra Trivurti Character in Calvin Michel Sidjaja’s Jukstaposisi: A Literary Psychological Approach. Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters. Faculty of Letters. Sanata Dharma University.
In general, this research studies about the human psychological phenomena:
dream and fantasy. The psychological phenomena then specified into the meaning of dream and fantasy form of Ashra Trivurti character in Jukstaposisi. First, this research aims to study structurally about Ashra Trivurti character and characterization. Second, to describe Ashra Trivurti dream and fantasy to analyze the meaning of dream and his fantasy form. The approach that used in this research is psychology research while method that chosen is analysis descriptive. Analysis descriptive method held by describing the facts in the novel. The first step is to describe Ashra Trivurti character and characterization then analyze the meaning and fantasy form experienced by the character. Structural analysis is character and characterization, used to see how far the life and personality effect the dream and fantasy of Ashra Trivurti character. Bad reality that faced in daily life has formed the character to be a personality who is easy to be captivated by the illusion. Only in dream and fantasy, the character gets a better life from the reality, dream and fantasy he gets, are not something meaningless. Through the reveal of the deeper dream and fantasy, this research can find the meaning and the form in hid fantasy. Some of Ashra Trivurti’s dream analyzed as the will to sue death, dream as the will to revive myth, dream as the refusal reality, dream as the will to rule, dream as the will to reply someone’s miss, and dream as the will to describe authority. While his fantasy forms can be described into: fantasy to create, unknown fantasy and led fantasy.
vii
KATA PENGANTAR
Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas akhir, sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Jurusan Sastra Indonesia, Universitas
Sanata Dharma. Lebih pribadi, penulis berharap semoga ini bisa jadi salah satu bukti
pencapaian penulis dalam melakukan penelitian terhadap karya sastra.
Dalam prosesnya, skripsi ini sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan
beberapa pihak. Segala sumbangan, baik itu berupa tenaga, gagasan, sampai dengan
materiil, ternyata memang tidak kalah berharga dalam membantu terselesaikannya
skripsi ini. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. B Rahmanto, M. Hum selaku dosen pembimbing I, yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk mengoreksi dengan cermat hasil penelitian tahap
demi tahap.
2. Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum selaku dosen pembimbing II yang secara
teliti memberi banyak kritik dan saran sebagai bahan pertimbangan yang
sangat berarti bagi penelitian.
3. Seluruh dosen Jurusan Sastra Indonesia atas studi yang diberikan sehingga
dapat menambah pengetahuan penulis mengenai sastra
4. Kedua orang tua penulis yang mengajari bagaimana cara menyiasati segala
keterbatasan biaya dalam pengerjaannya
5. S. Liany yang membantu menunjukkan referensi-referensi psikologi dan
mendebat soal kebahasaan
viii
6. Mereka yang bersedia berbagi pikiran: Sungkalang Agus, Febrianto Aji, Jati
Yesaya, Riawan, Cahyono Adi; serta
7. Teman-teman angkatan 2003, yang namanya cukup saya cantumkan dalam
hati.
Mudah-mudahan skripsi ini mampu menjadi balasan kecil bagi pihak-pihak
yang telah disebutkan di atas. Meski demikian, penulis tetap menyadari akan adanya
berbagai kekurangan dan apabila terdapat kesalahan itu hanya menjadi tanggung
jawab penulis semata.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………….......iii
PERNYATAAN KEASILAN KARYA…………………………………………….. iv
ABSTRAK…………………………………………………………………….…........v
ABSTRACT....................................................................................................................vi
KATA PENGANTAR………………………………………………...………….......vii
DAFTAR ISI……………………………………………………..……………….......ix
BAB I PENDAHULUAN………………………..…………………….....................1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………….….......1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………….…….4
C. Tujuan Penelitian……………………………………………….…….…….5
D. Manfaat Penelitian ………………………………………….….………….5
E. Tinjauan Pustaka …………………………………………………….….…6
F. Landasan Teori……………………………………………………….….…6
G. Metodologi Penelitian………………………………………………….......13
H. Sistematika Penyajian………………………………………………….......14
BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN ASHRA TRIVURTI DALAM NOVEL
JUKSTAPOSISI…...………………………………………………………….16
BAB III MAKNA MIMPI DAN BENTUK FANTASI TOKOH ASHRA
TRIVURTI DALAM NOVEL JUKSTPOSISI..............................................28
A. Makna Mimpi.…………………………………...………………………...28
x
1. Mimpi sebagai Wujud Keinginan untuk Menggugat Kematian.............30
2. Mimpi sebagai Wujud Keinginan Menghidupkan Mitos ......................32
3. Mimpi sebagai Wujud Keinginan Menolak Kenyataan.........................35
4. Mimpi sebagai Wujud Keinginan untuk Berkuasa ................................37
5. Mimpi sebagai Wujud Keinginan Melampiaskan Rindu........................40
6. Mimpi sebagai Wujud Keinginan Menggambarkan
Otoritas Kekuasaan…………………………………………………….41
B. Bentuk Fantasi………………………………...….…………………...…..43
1. Fantasi Menciptakan .............................................................................44
2. Fantasi Terpimpin .................................................................................45
3. Fantasi yang Terjadi Secara Tidak Disadari..........................................47
BAB IV PENUTUP……………………………………………….……...……...….49
A. Kesimpulan……………………………………………………....…..……49
B. Saran…………………………………………………………………........52
DAFTAR PUSTAKA …………………………..……………………..….………...53
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada alasan pokok mengapa Ashra Trivurti (tokoh utama), dipilih sebagai objek
penelitian ini. Sebagai karya terpilih dari Dewan Kesenian Jakarta, Jukstaposisi bukan
saja memuat kebaruan dalam segi bentuk dan isi, tapi juga keberanian. Seperti yang
telah dikemukakan oleh Ahmad Tohari sebagai dewan juri, Jukstaposisi telah
menembus realitas manusia dan membaliknya menjadi sebuah dunia maya. Keberadaan
Tuhan yang selama ini dianggap sebagai pencipta, ternyata diubah menjadi sesosok
makhluk yang sedang tertidur untuk selamanya. Anggapan yang berani ini lahir dari
sesuatu yang sebetulnya sepele, yaitu mimpi. Namun mengapa justru dalam mimpilah,
tokoh Ashra menjadi pribadi yang lebih berani dan bebas dibanding dalam kenyataan
sehari-hari? Pertanyaan inilah yang paling mengawali ketertarikan penulis untuk
melakukan penelitian lebih lanjut terhadap tokoh utama.
Kehidupan yang dihadirkan dalam novel Jukstaposisi adalah kehidupan realis
dan surealis sekaligus. Dikatakan realis karena cerita dalam novel ini mengambil kisah
mengenai kehidupan manusia biasa. Sementara itu di sisi lain, novel ini juga
mengambil kisah mengenai kehidupan di dunia mimpi. Terdapat pula tokoh-tokoh luar
biasa yang hanya muncul ketika mimpi sedang berlangsung. Berdasarkan atas mimpi-
mimpinya, tokoh Ashra berkesimpulan bahwa dunia yang nyata adalah dunia mimpi.
Sedangkan yang bersifat ilusi adalah yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Segala
kenyataan-kenyataan pahit yang pernah dialami dalam hidup, ternyata
2
menimbulkan beberapa pertanyaan dalam benak Ashra. Gejolak kesedihan dalam
hatinya kemudian dituangkan ke dalam sebuah fantasi, yaitu sebuah lukisan hitam
nan muram.
Unsur-unsur mimpi dalam kisah Jukstaposisi memang lebih dominan hadir
dibanding dengan unsur-unsur fantasi. Namun karena kedua unsur tersebut saling
mendukung, maka peneliti meletakkan fantasi sebagai objek penelitian yang tak bisa
dikesampingkan. Unsur-unsur mimpi dan fantasi inilah yang kemudian membawa
tokoh utama ke dalam berbagai peristiwa-peristiwa penting sampai menuju ke bagian
puncak penceritaan. Peristiwa-peristiwa surealis yang ternyata sanggup mengambil
porsi besar dalam realitas sehari-hari. Kenyataan, dengan demikian menjadi ambigu
ketika dihadapkan pada dunia surealis yang sebetulnya ada tapi tidak bisa dibuktikan
secara logis. Apakah mimpi dan fantasi itu merupakan sesuatu yang nyata? Lalu
apakah sebetulnya mimpi dan fantasi itu? Berangkat dari pertanyaan inilah penulis
mengangkat topik permasalahan yang paling mendasari penceritaan novel
Jukstaposisi, yakni mimpi dan fantasi tokoh utama.
Calvin Michel Sidjaja sebagai penulis novel Jukstaposisi, menurut data dari
penerbit, mengaku begitu terpengaruh oleh teori psikologi Carl Jung
Unsur psikologi yang terdapat dalam novel itu sangat mungkin memang terpengaruh
oleh model Jungian. Hal ini dimungkinkan karena banyak sekali simbol atau
lambang- lambang yang dipakai dalam Jukstaposisi. Terkait dengan topik penelitian
ini, peneliti sengaja tidak merunut permasalahan psikologi berdasarkan tinjauan
3
psikologi Jungian. Seperti yang dikemukakan Dimyati Mahmud, dalam bukunya
Psikologi: Suatu Pengantar (1989:222), bahwa tekanan pada dasar rasial dari
lambang- lambang itu telah menjadi ciri aliran Carl Jung. Dapat disebutkan di sini
beberapa lambang yang sering muncul berulang kali dalam novel. Benda-benda
semisal Api, heksagram, jam pasir, dan beberapa simbol rasial lain yang cenderung
dimaknai sebagai penafsiran belaka dalam psikologi Jungian. Hal yang hampir sama,
yakni mengenai penafsiran simbol, juga digunakan oleh golongan Freudian ortodox.
Sementara landasan teori yang akan dipakai oleh peneliti keseluruhan mengacu pada
konsep psikoanalisis Sigmund Freud (aliran Freudian modern) yang lebih
menekankan pada dasar personalitiy. Dengan kata lain, teori ini lebih bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Mimpi, begitu juga fantasi pada dasarnya termasuk gejala psikologis yang
dapat di analisis secara ilmiah. Sigmund Freud, dalam teori-teorinya secara umum
menyatakan bahwa mimpi adalah produk mental yang dapat dipahami dan dapat
ditafsirkan (Dharma-Adriyanto, 1987: 264). Lebih khusus lagi Zaimar mengatakan
bahwa mimpi adalah produk psikis (2003: 36). Demikian juga dengan fantasi yang
tidak lain merupakan bagian dari objek kajian ilmu psikologi. Fantasi, menurut
Ahmadi dalam bukunya Psikologi Umum, adalah kemampuan jiwa. Sebuah gejala
kejiwaaan manusia yang dapat melepaskan manusia dari kenyataan.
Bersetuju dengan Ratna yang menganggap karya sastra sebagai hasil aktivitas
penulis yang sering dikaitkan dengan gejala-gejala kejiwaaan (2004:62), maka dapat
4
disimpulkan bahwa karya sastra dalam beberapa peristiwa pasti mengandung unsur
psikologis. Apabila karya sastra (teks) dipandang sebagai objek psikologi, maka
prinsip-prinsip psikologi dapat diterapkan dalam telaahnya (Windyarti, 2005:2).
Untuk itu, peneliti mengambil tinjauan psikologi sebagai dasar analisis penelitian ini.
Objek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah mimpi dan fantasi tokoh
Ashra Trivurti yang berperan sebagai tokoh utama. Pada tokoh inilah segala alur
cerita dari yang paling penting ataupun sebagai cerita pendukung dibawa.
Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam cerita, dilatarbelakangi oleh faktor
terpenting dari dalam diri tokoh utama, yaitu pengaruh mimpi dan fantasi. Dua hal
ini, nantinya akan dianalisis menurut satu pengertian yang menyangkut unsur-usur
makna dan unsur-unsur bentuk di dalamnya. Faktor- faktor keinginan serta pengaruh-
pengaruh tekanan psikologis, nantinya dikelompokkan menurut jenis masing-masing.
Sesuai dengan alasan yang sudah dikemukakan sebelumnya, mimpi dan fantasi dalam
penelitian ini berarti melingkupi satu gejala kejiwaan dalam diri manusia. Demikian
penelitian ini menjadi jelas mengarah pada lingkup psikoanalisis tokoh dalam sebuah
cerita.
B. Rumusan Masalah
Fokus permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini dapat dirumuskan ke
dalam dua pertanyaan sebagai berikut:
5
1. Bagaimanakah tokoh dan penokohan Ashra Trivurti dalam novel Jukstaposisi
karya Calvin Michel Sidjaja?
2. Bagaimanakah makna mimpi dan bentuk fantasi tokoh Ashra Trivurti dalam
novel Jusktaposisi karya Calvin Michel Sidjaja dalam kajian psikologi
sastra?
C. Tujuan Penelitian
Berpijak pada kedua rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan tokoh dan penokohan Ashra Trivurti dalam novel
Jukstaposisi karya Calvin Michel Sidjaja.
2. Menganalisis dan mendeskripsikan makna mimpi dan bentuk fantasi tokoh
Ashra Trivurti dalam novel Jukstapisisi karya Calvin Michel Sidjaja.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat antara lain :
1. Manfaat Teoritis
1.l Untuk menambah perkembangan penelitian sastra karena, sejauh hasil
pengamatan penulis dalam tinjauan pustaka, belum ada yang
mengambil novel Jukstaposisi sebagai objek penelitian.
6
1.2 Sebagai masukan pengetahuan yang berarti bagi bidang kajian
psikologi dalam penerapan teori mengenai mimpi dan fantasi yang
merupakan gejala kejiwaaan manusia dalam karya sastra.
2. Manfaat Praktis
2.1 Memudahkan pemahaman mengenai mimpi dan fantasi yang terjadi
dalam pikiran-pikiran manusia.
2.2 Memperluas pengetahuan mengenai mimpi dan fantasi dari sudut
pandang psikologi sastra
E. Tinjauan Pustaka
Sejauh telah dilakukan beberapa pengamatan, belum ada tulisan yang
mencatat Jukstaposisi sebagai bahan kajian. Kecuali beberapa tulisan yang di
antaranya merangkum cerita Jukstaposisi ke dalam suatu resensi semata dan proses
kreatif dari pengarangnya. Dengan demikian, topik penelitian ini tergolong baru.
F. Landasan Teori
Penelitian ini mengambil dua teori sebagai dasar analisis. Dua teori tersebut
yakni teori struktural sastra dan psikologi. Teori struktural diambil untuk
menganalisis unsur intrinsik, yakni tokoh dan penokohan, sedangkan teori psikologi
digunakan untuk mengkaji masalah mimpi dan fantasi tokohnya.
1. Teori Struktural
7
Pradopo dengan mengacu pada pendapat Abrams, menyimpulkan bahwa teori
struktural merupakan teori yang bersifat objektif, yaitu pendekatan yang menganggap
karya sastra sebagai sesuatu yang otonom. Artinya, karya sastra terlepas dari alam
sekitarnya, pembaca, dan pengarangnya. Untuk memahami sebuah karya sastra
(novel) harus menganalisis struktur intrinsik karya sastra (novel) itu sendiri (Pradopo,
1995:140-141). Abrams (dalam Pradopo, 1995:140) mengemukakan beberapa
pendekatan karya sastra ke dalam empat jenis, yaitu pendekatan mimetik, pendekatan
pragmatik, pendekatan ekspresif, dan pendekatan objektif.
Analisis struktur memang satu langkah, satu sarana, dan alat dalam proses
pemberian makna. Dalam usaha proses ilmiah untuk memahami proses itu dengan
sesempurna mungkin. Langkah itu tidak boleh dimutlakkan, tetapi tidak boleh pula
ditiadakan (Teeuw, 1984:154). Unsur struktural antara lain meliputi tokoh dan
penokohan. Dalam penelitian ini, hanya akan membahas dua unsur tersebut. Hal ini
dikarenakan fokus penelitian ini adalah mimpi dan fantasi tokoh Ashra sehingga
untuk menganalisis mimpi dan fantasi perlu dianalisis tokoh dan penokohannya
terlebih dahulu.
1.1 Tokoh dan Penokohan
Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam
berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988: 16). Menurut Abrams, tokoh cerita
(character) adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau
drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
8
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan (Nurgiyantoro, 2002:165). Fungsi tokoh dalam cerita dapat dibedakan
menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan.
Penokohan menurut Esten (1990:27) ialah bagaimana cara pengarang
menggambarkan tokoh-tokoh dalam cerita rekaan. Ada beberapa cara dalam
menggambarkan tokoh-tokoh. Pertama secara analitik, yaitu pengarang langsung
menceritakan secara langsung bagaimana watak tokoh-tokohnya. Kedua, secara
dramatik, pengarang tidak langsung menceritakan watak tokoh-tokoh ceritanya.
Misal, melalui penggambaran tempat dan lingkungan tokoh, bentuk-bentuk lahir
tokoh, melalui percakapan (dialog), melalui perbuatan sang tokoh.
2. Psikologi Sastra
Sebagai dunia dalam kata, karya sastra memasukkan aspek kehidupan ke
dalamnya, khususnya manusia. Pada umumnya aspek-aspek kemanusiaan inilah yang
merupakan objek utama psikologi sastra, sebab semata-mata dalam diri manusia
itulah, sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan (Ratna,
2004:343). Jadi, dengan kata lain, Hartoko dan Rahmanto mendefinisikan bahwa
psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dengan sudut
pandang psikologi. Perhatiannya diarahkan kepada pengarang dan pembaca
(psikologi komunikasi sastra) atau teks itu sendiri. Pendekatan psikologi terhadap
teks itu sendiri dapat dilangsungkan secara deskriptif belaka, namun sering mendekati
suatu penafsiran sastra (1986:126-127).
9
3. Makna Mimpi
Mimpi pada dasarnya adalah sebuah gejala psikologis yang terjadi akibat
suatu ketaksadaran. Sigmund Freud lebih khusus menyatakan bahwa mimpi adalah
produk mental yang dapat dipahami dan dapat ditafsirkan. Dalam bukunya tentang
mimpi, Freud (1900) mengartikan mimpi sebagai percobaan tersamar pada
“pemenuhan harapan”. Dengan demikian, dia (Freud) memaknai bahwa mimpi
menyangkut harapan atau kebutuhan yang ternyata tidak begitu layak dan harus
ditekan (repress) atau dihilangkan (banished) dari keadaan sadar (Dharma-Adriyanto,
1987: 264). Sementara itu, Mahmud memberikan contoh tentang banyaknya mimpi
yang tidak lain mencerminkan pemuasan keinginan. Seorang pria remaja, tulisnya,
yang kepingin sekali melakukan hubungan seksual sering “mimpi basah.”
(1989:221).
Dari uraian di atas, dapat digarasbawahi adanya unsur yang penting dan
berpengaruh dalam pembentukan mimpi, yakni unsur keinginan dan sekaligus unsur
tekanan (represi).
Dalam bukunya yang berjudul Memperkenalkan Psikoanalisa, Freud
mendekati mimpi dengan menganalisis faktor represi dengan lebih jeli. Freud
menjelaskan bahwa biarpun dalam keadaan tidur represi pihak ego memang kurang
ketat, namun itu tidak berarti bahwa represi itu terhapus sama sekali. Juga waktu
tidur, keinginan yang direpresi tidak dapat lolos dari sensor. Tetapi keinginan itu
mencari akal untuk menipu sensor, yaitu dengan mengubah bentuknya atau–dengan
10
kata lain–dengan menggunakan kedok. Dengan demikian, mimpi adalah cara
berkedok untuk keinginan yang direpresi. Itulah makna mimpi, suatu fenomen psikis.
Namun apabila keinginan-keinginan menjadi terlalu kuat, maka sensor sudah
kewalahan dan orang yang tidur diganggu oleh mimpi cemas (mimpi buruk). (1979:
xxv)
Naisaban (2004:146-147) menuturkan, fungsi dari represi adalah untuk
meredakan kecemasan-kecemasan atau ketegangan dengan jalan menekan dorongan-
dorongan atau keinginan yang menjadi penyebab kecemasan tersebut ke dalam bawah
sadar (unconscious). Peristiwa atau dorongan yang direpresi tidak muncul lagi ke
dalam kesadaran, tapi akan muncul dalam bentuk lain, yakni mimpi atau salah ucap
atau juga perilaku traumatis lain. Kalau diteliti, pasti ada hal yang direpresi
(Naisaban, 2004: 146).
Masih berkaitan dengan penjabaran teori represi Freud, Hall (1995:115-119)
memaparkan apa yang dimaksud dengan represi khas. Represi khas (yang secara
umum diistilahkan sebagai represi saja) memaksa ingatan yang berbahaya, pik iran,
atau pengamatan supaya keluar dari kesadaran dan mendirikan suatu penghalang
terhadap setiap bentuk pelampiasan motoris. Represi bekerja terhadap kenang-
kenangan yang sifatnya traumatik atau terhadap kenangan yang sifatnya bertalian
dengan suatu pengalaman traumatik. Pengalaman-pengalaman berbahaya dapat pula
ditekan. Dalam setiap hal, baik itu berupa pengamatan, kenangan, atau pikiran yang
ditekan. Tujuannya adalah untuk menghapuskan kecemasan obyektif, neurotis, atau
11
moralistis dengan jalan menolak atau memalsukan ancaman dari luar atau dari dalam
terhadap ego (Hall, 1995: 116-119).
Freud (1979) memaknai mimpi sebagai sesuatu yang terlihat atau dialami
dalam tidur yang merupakan perwujudan lain dari dorongan atau keinginan manusia
yang ditekan. Definisi inilah yang nantinya digunakan dalam penelitian ini.
Menganalisis makna mimpi tidak lain berarti menyelidiki keinginan tersembunyi
yang diakibatkan oleh tekanan-tekanan yang ada dalam diri manusia. Dengan
menyelidiki apa yang “menyibukkan” pikiran si subyek, mimpi dapat kita maknai
sebagai sesuatu yang merupakan keinginan terbesar yang muncul dalam ketaksadaran
(1979: xxv).
Teori mimpi di atas adalah teori mimpi yang diasosiasikan dengan kondisi
manusia yang sedang tidur. Secara eksplisit teori-teori di atas diambil dalam sebuah
penelitian yang mengambil kesimpulan dari beberapa percobaan dalam kondisi
manusia sedang tidur. Demikian peneliti akan mengambil konsep mimpi yang
nantinya juga dihubungkan dengan kondisi tidur tokohnya.
4. Bentuk Fantasi
Landasan teori yang akan dipakai untuk menganalisis masalah fantasi adalah
teori yang ditulis oleh Ahmadi. Teori fantasi yang dikemukakan Ahmadi memang
sedikit berbeda dari teori fantasi yang dikemukakan oleh Freud. Perbedaan itu
terletak pada penjabaran mengenai bentuk-bentuk fantasi yang lebih luas
12
dikemukakan oleh Ahmadi. Penulis akan menggunakan teori Ahmadi karena lebih
lengkap dan mendukung penelitian. Namun pada dasarnya, teori fantasi Ahmadi
merupakan penjabaran dari teori kesadaran dan ketaksadaran yang pernah ditulis oleh
Freud. Untuk itulah penulis lebih memilih untuk menggunakan teori fantasi Ahmadi.
Ahmadi dalam bukunya Psikologi Umum (1992:78), secara rinci memaknai
fantasi sebagai kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapan-tanggapan atau
bayangan-bayangan baru. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa fantasi itu tidak
mempunyai keburukan. Keburukannya ialah dengan fantasi orang dapat
meninggalkan alam kenyataan, lalu masuk dalam alam fantasi. Hal ini merupakan
suatu bahaya, karena orang terbawa hidup dalam alam yang tak nyata. Fantasi juga
menimbulkan kedustaan, takhayul, dan sebagainya (Ahmadi, 1992:80).
Menurut bentuknya, Ahmadi (1992:79) juga membedakan beragam jenis
fantasi. Di antara bermacam jenis fantasi itu, peneliti mengambil beberapa saja yang
sekiranya perlu untuk bahan penelitian. Bentuk-bentuk fantasi itu antara lain:
1. Fantasi yang tidak disadari
Yaitu apabila individu tidak secara sadar telah dituntut oleh fantasinya.
Keadaan semacam ini banyak dijumpai pada anak-anak. Anak sering mengemukakan
hal-hal yang bersifat fantastis sekalipun tidak ada niat atau maksud dari anak untuk
berdusta.
2. Fantasi menciptakan
13
Fantasi menciptakan merupakan bentuk atau jenis fantasi yang mampu
menciptakan hal-hal baru. Fantasi macam ini lebih banyak dimiliki oleh seniman,
anak-anak, juga para ilmuwan untuk mencetuskan teori-teori baru.
3. Fantasi terpimpin
Sedangkan fantasi terpimpin adalah bentuk fantasi yang dituntun oleh pihak
lain. Misalnya seorang penonton film dapat mengikuti apa yang dilihatnya dan
berfantasi tentang keadaan atau tempat-tempat yang ada dalam film itu. Demikian
pula apabila seseorang mendengarkan atau membaca sebuah cerita. Orang tersebut
dapat berfantasi dengan bantuan tulisan.
Peneliti akan menggunakan pengertian bentuk-bentuk fantasi yang telah
dipaparkan oleh Ahmadi sebagai landasan teori. Freud memang pernah menyinggung
masalah fantasi (fantasme) akan tetapi persoalan yang dihadirkan Freud lebih sempit
dan cenderung meliputi fantasi seksual semata. Sedangkan dalam penjabaran
Ahmadi, pengertian dan penggolongan fantasi lebih menyeluruh dan lengkap.
G. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural
dan psikologi sastra. Pendekatan struktural adalah pendekatan yang membatasi diri
pada penelaahan karya itu sendiri. Telaah berdasarkan segi intrinsik saja yakni tema,
14
alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa (Semi, 1989: 44 - 45). Dalam penelitian ini,
unsur intrinsik yang akan dibahas hanya mencakup tokoh dan penokohannya.
Pendekatan psikologis adalah pendekatan sastra yang mendekati sastra dengan
sudut pandang psikologi. Dalam penelitian ini pendekatan psikologi yang dipakai
adalah pendekatan yang mengarah pada teks sastra (novel) itu sendiri (Hartoko-
Rahmanto, 1986:126).
2. Metode
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu metode yang
dilakukan dengan cara memaparkan fakta-fakta yang disusul dengan analisis. Metode
ini hanya mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai variabel-variabel yang
diteliti.
Penelitian ini bersifat penelitian pustaka karena berobjek pada sebuah teks
sastra yakni novel. Peneliti akan menggali data-data mengenai mimpi dan fantasi
tokoh Ashra Trivurti yang terdapat dalam novel Jukstaposisi. Data-data tersebut
kemudian dianalisis berdasarkan kriteria rumusan masalah hingga menemukan
jawaban permasalahan. Kemudian tahap terakhir adalah penyajian hasil analisis data.
3. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan satu sumber data sebagai objek penelitian, yakni
berupa novel yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut.
Judul Novel : Jukstaposisi
Pengarang : Calvin Michel Sidjaja
15
Penerbit : Gagas Media, Jakarta
Tahun terbit : 2007
Tebal Novel : 279 hlm.
H. Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Bab pertama yaitu
pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika
penyajian. Bab dua berupa pembahasan mengenai harapan atau keinginan tokoh
AshraTrivurti. Bab tiga membahas mimpi dan fantasi tokoh Ashra Trivurti dalam
kajian psikologi sastra. Bab empat adalah penutup yang berisi kesimpulan
pembahasan sekaligus saran. Kemudian bagian paling akhir adalah daftar pustaka.
16
BAB II
TOKOH DAN PENOKOHAN ASHRA TRIVURTI
DALAM NOVEL JUKSTAPOSISI
Analisis mengenai tokoh dan penokohan dalam penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk mendukung pembahasan mengenai masalah pokok yang hendak
dibahas nantinya, yakni mimpi dan fantasi tokoh utama. Untuk lebih jauh
menganalisis mimpi dan fantasi maka akan lebih jelas apabila dianalisis mengenai
gambaran tokoh dan penokohannya terlebih dahulu.
Dalam bab ini, peneliti akan memaparkan bagaimana tokoh dan penokohan
Ashra sesuai dengan yang tercantum dalam novel. Peneliti akan menggunakan dua
cara yang biasa dipakai pengarang untuk menggambarkan tokohnya, yakni secara
analitik dan dramatik. Dua cara ini dianggap cukup baik dalam penganalisaan tokoh.
Sebab selain dari sudut pandang pengarang langsung, peneliti bisa juga melibatkan
diri melihat gambaran atau karakter tokoh yang diteliti.
Gambaran mengenai tokoh Ashra Trivurti (selanjutnya Ashra) ternyata kurang
menonjol. Ini disebabkan ada dua peranan mengenai tokoh ini, yakni tokoh Ashra
sebagai tokoh dalam kenyataan dan Ashra sebagai tokoh dalam mimpi. Akan tetapi
peranannya sebagai tokoh dalam mimpi lebih mendominasi novel. Dalam hal ini,
peneliti hanya akan menganalisis sejauh mana peranan tokoh Ashra dalam kenyataan
sebab peranannya dalam mimpi dianggap tidak mewakili penokohan Ashra yang
sebenarnya.
17
Namun bila dilihat secara keseluruhan, sosok tokoh Ashra adalah sosok
yang kompleks. Artinya, Ashra bukanlah pribadi yang secara utuh membentuk
dirinya sendiri melalui kehendak pribadi tapi dibentuk juga oleh lingkungan
sosialnya. Peneliti akan melihat juga celah ini sebagai indikasi yang
mempengaruhi kekuatan peranan tokoh Ashra. Banyak faktor-faktor eksternal
yang turut membentuk pribadi Ashra. Untuk itu, peneliti berusaha lebih jeli
melihat hubungan ini hingga diperolah gambaran yang jelas mengenai penokohan
Ashra sebagai subyek yang berkarakter.
Pada bagian awal cerita, dikisahkan bahwa Ashra adalah seorang
perempuan yang hidup dan dibesarkan oleh neneknya yang bernama Vahni. Lebih
tepatnya, dia seorang anak angkat. Akan tetapi, dalam penceritaan tidak
dikisahkan bagaimana kedua orang tuanya dulu mengambil Ashra sebagai anak
mereka. Bagian flashback yang bercerita mengenai keluarganya itu tidak lengkap.
Di bagian itu hanya dikatakan bahwa Ashra adalah anak angkat dari pasangan
Tuan Wadya dan Nyonya Iliviana. Nasib kedua orang tuanya pun tidak
diceritakan. Setelah pindah dari Bali, Ashra hanya tinggal dengan neneknya di
sebuah apartemen mewah di Jakarta. Ashra lahir dengan kondisi ekonomi yang
sangat berkecukupan.
Ashra bisa melihat dirinya, 14 tahun, gadis yang datang dari bali dan baru saja pindah ke Jakarta. Ia akan memulai hari pertama sekolahnya.(Sidjaja, 2007:4)
Dia lalu masuk ke dalam lift. Terlihat beberapa wanita dan pria mengenakan setelan jas berdiri di dalam lift. Ashra melihat beberapa dari orang tersebut adalah bule dan beberapa lagi adalah Chinese. Ya, pikir Ashra tempat ini dihuni berbagai orang dari penjuru dunia yang memiliki uang berlebih dan melabelkan diri mereka sebagai kalangan kelas atas (Sidjaja, 2007:6).
18
Meski hidup berkecukupan, Ashra lebih memilih menjalani hidup secara
lebih sederhana. Malahan, Ashra kurang suka akan adanya ‘pelabelan’ terhadap
status ekonomi orang-orang kaya. Dia tidak diantar ke sekolah oleh sopir pribadi
seperti kebiasaan teman-teman sekolahnya. Dengan naik sepeda yang diberikan
oleh ayahnya dulu, Ashra biasa berangkat ke sekolah.
Ashra mulai belajar mengenai banyak hal dari neneknya. Dia mulai
mengerti banyak hal dari mitos yang kerap didongengkan oleh nenek Vahni.
Nasihat-nasihat serta dukungan tidak lupa pula diberikan kepada Ashra.
Kedekatan komunikasi dan kasih sayang yang baik dari nenek Vahni ternyata
mampu membangun sebuah hubungan yang harmonis sebagaimana orang tua dan
anak.
Air, kata Nenek Vahni adalah sumber kehidupan. Tak ada makhluk hidup yang dapat hidup tanpa air di dunia ini. Extra agua nulla vitae, di luar air tak ada kehidupan. (Sidjaja, 2007:3) Benaknya melayang. Ashra ingat sewaktu masih kecil, dia sering didongengi sebuah cerita oleh nenek setiap malam. Bahwa dunia ini, pada dahulu sekali, manusia tidak mengenal adanya perbedaaan bahasa. Seluruh manusia menggunakan pikiran mereka jika ingin berkomunikasi satu sama lain. Lalu Ashra pun sering bertanya kepada neneknya. “Kenapakah manusia kehilangan kemampuan itu, nenek?”. Neneknya hanya tersenyum. Karena dunia itu berubah. Tiga Tuhan saling menghancurkan untuk merebutkan kekuasaaan mereka di dunia ini. Lalu pemenangnya adalah sang Tuhan yang memiliki sayap emas. Dialah yang membuat kekuatan tersebut punah dari dunia ini. Dongeng itu sudah ia dengar berkali-kali. Dan dia tidak pernah bosan mendengarnya. Ashra suka sekali cerita itu. (Sidjaja, 2007:13) Beberapa pemahaman mengenai mitos kadangkala ia peroleh dari cerita-
cerita klasik neneknya. Namun selain itu, Ashra juga banyak mendapat
19
pengetahuan dari kegemarannya akan hal-hal yang berhubungan dengan sejarah
atau membaca buku-buku di perpustakaan.
“Aku menyukai sejarah, dan aku juga menggemari hal-hal yang berbau fisika. Aku harap kita semua bisa akrab,” kata Ashra kepada seluruh penghuni kelas. (Sidjaja, 2007:11) Ashra sangat menyukai perpustakaan. Menurutnya, sebuah perpustakaan adalah tempat di mana dia bisa mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru yang masih tersembunyi di sebuah rak buku. (Sidjaja, 2007:38) Museum bagi Ashra adalah tempat yang menyenangkan, karena di sana dia bisa bertemu dengan patung para dewa Hindu maupun arca Budha. Semenjak masih kecil, Ashra sangat gemar memandang ilustrasi dewa-dewi. Dia merasa familiar dan dekat dengan segala macam deitas. Apakah mungkin aku dulunya Tuhan yang berinkarnasi menjadi Ashra Trivurti? Apa mungkin aku adalah avatar ke 11 dari Vishnu? pikir Ashra. Atau mungkin aku inkarnasi sebuah setan? Namaku Ashra, mungkin sebelum aku lahir ke dunia sebagai perempuan dan berambut panjang seperti ini, bisa saja aku adalah Mahasura. (Sidjaja, 2007:51-52) Lambat- laun Ashra tumbuh menjadi anak yang terbiasa mandiri dan selalu
‘sibuk’ dengan pikirannya sendiri. Ia menjadi pribadi yang sering
mempertanyakan banyak hal yang mengganggu pikirannya. Masalah-masalah
mengenai eksistensi, terutama, menjadi hal yang sangat menyita perhatiannya.
Ashra kerap diterjang berbagai pertanyaan filsafat.
Bu Rita, wali kelas II D mengenalkan Ashra kepada seluruh kelas sekaligus menceritakan sedikit mengenai dirinya. Diriku? Kata Ashra dalam hati. “Sedikit adalah kata yang relatif. Seberapakah sedikit itu, Bu Rita?” (Sidjaja, 2007:11)
Kenapa ada manusia yang mati? Teriak Ashra dalam hati sambil memandang tubuh Marya Yeshwa yang sudah tak bergerak di lapangan yang sekarang menjadi kanvas hijau berdarah (Sidjaja, 2007:29)
20
Ujian, sekolah, Noah, langit biru. Ashra merenung melihat segala pemandangan di hadapannya. Kenapa rasanya aneh sekali. Apa benar aku hidup? (Sidjaja, 2007:139)
Pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu pikirannya itu datang ketika ia
menemui berbagai situasi di sekelilingnya. Peristiwa buruk di sekitarnya,
membuat perasaan Ashra sering kalut. Ashra adalah seorang yang selalu
kontradiktif terhadap diri sendiri. Ini bisa dilihat baik dari penggambaran
pengarangnya langsung maupun dari kutipan monolog Ashra.
Dia selalu kontradiktif dengan dirinya sendiri. Apa yang harus ia lakukan saat melihat suatu masa depan? (Sidjaja, 2007:65)
Rasa kagum tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam benak Ashra. Betapa bahasa ternyata bisa melebur jarak. Membuat perbedaan suku bangsa dan bahasa seolah tak berarti ketika ada bahasa lain yang menjembataninya. Ashra terdiam. Kenapa harus ada perbedaan bahasa? (Sidjaja, 2007:12)
Perasaan paradoks, pikirnya. Dia belum mengenal orang itu namun dia sangat sedih. Kenapa aku menangis? Kenapa aku sedih karena kehilangan seseorang yang belum kukenal? (Sidjaja, 2007:134)
Dari pertanyaan-pertanyaan yang kerap dipikirkannya, bisa dikatakan
bahwa Ashra sudah terjerumus ke dalam suatu pesimisme, anggapan bahwa pada
dasarnya dunia itu sebetulnya hanya buruk semata. Kejadian-kejadian tragis yang
dijumpai Ashra, membuat pandangannya hanya tertuju pada satu sisi, yaitu
kenyataan getir dan pahit. Bahkan dalam mimpi yang tiap kali dialaminya pun
Ashra tetap menemui kejadian yang buruk.
Tubuh Ashra terguling dari tempat tidur dan jatuh ke lantai kamarnya. Badan gadis itu membentur tegel, lalu dalam sekejap saja Ashra terbangun. Dia perlahan membuka matanya dengan penuh kengerian. Rambutnya terlihat sekusut wajahnya. Dia melihat sekelilingnya. Kamar tidurnya yang biasa, tidak ada yang lain. Apa? Tadi itu cuma mimpi?
21
Mimpi yang mengerikan, pikir Ashra. Dia tidak ingat seluruhnya tapi dia bermimpi dicekik dan dibunuh. (Sidjaja, 2007:136)
Tokoh Ashra juga digambarkan sebagai seorang indigo, yakni punya
kemampuan melihat suatu kejadian sebelum kejadian itu berlangsung. Suatu
kejadian seolah-olah pernah dilihat atau dialami sebelumnya, de javu. Meski
kedengarannya mustahil, tapi banyak pada bagian awal novel ini yang
memperkenalkan sosok Ashra sebagai seorang perempuan yang aneh dengan
segala kelebihannya itu.
De javu..cetus Ashra. Harusnya dia tak perlu kaget karena hal tersebut hampir terjadi setiap hari. (Sidjaja, 2007:30). Terlalu banyak pengulangan, pikirnya. Dia masih bisa merasakan de javu yang ganjil sepanjang waktu (Sidjaja, 2007:33).
Kemampuan itu membuatnya semakin yakin bahwa segala sesuatu di
dunia ini sebetulnya telah ditentukan oleh suratan takdir. Ia bisa punya keyakinan
seperti ini melalui de javu yang sering dialaminya. Manusia, dengan demikian,
hanya menjalani takdirnya masing-masing. Jadi, masa depan manusia tidak dapat
diubah karena sudah ditentukan, begitulah Ashra pernah menyimpulkan.
Masa depan, benar-benar tak bisa berubah, pikir Ashra. Tanpa sadar dia melelehkan air mata. Dia merasa menjadi orang paling berdosa di dunia (Sidjaja, 2007:67).
Pandangan-pandangan pesimisme amat mendominasi pemikiran Ashra.
Banyak tema kematian yang diikutkan dalam beberapa bagian penceritaan tokoh
ini. Salah satu alasan yang mendasari adalah bahwa kematian memang sesuatu
yang tak dapat terhindarkan oleh setiap manusia. Ini dapat mengindikasikan
22
bahwa pandangan pesimisme Ashra memang beralasan. Belum lagi kehidupan
Jakarta yang serba vulgar semakin menambah nilai minus pada pandangannya
terhadap dunia. Tidak hanya melalui tabloid-tabloid yang digantung di kios-kios
pinggir jalan, ternyata seks juga terang-terangan telah merambah lingkungan
sekolahnya.
“Daniel, sudah kubilang kan bahwa hari ini bakal ada ulangan mendadak. Kau kenapa malah kemarin pergi untuk menyewa film xxx? Salah sendiri!” (Sidjaja, 2007:31).
Lalu orang itu kembali membaca tabloid berjudul sEXy bergambar seorang perempuan memakai pakaian renang dan menampilkan pose yang mampu membuat para lelaki terangsang. Halaman depannya dipenuhi dengan judul- judul Sex Hebat Tiap Malam, Full Bra Uncensored, dan sebagainya. Ashra merasa mual melihat tabloid sampah itu (Sidjaja, 2007:67).
Dengan ciri hidup yang cenderung bersifat individualis, lingkungan
apartemen mewah membentuk Ashra jadi remaja yang penyendiri. Di dalam
apartemen itu ia tak punya teman sama sekali. Orang–orang sibuk dengan urusan
masing-masing. Dia hanya punya kesempatan bertemu dengan kawan-kawannya
saat sedang melakukan aktivitasnya di sekolah saja. Di luar itu ia hanya bergaul
dengan neneknya dan dengan boneka kesayangannya.
Ashra berjalan di sepanjang lorong apartemen. Sudah seminggu Ashra tinggal di kamar 415 bersama neneknya di gedung pemukiman yang oleh para pengiklan di surat kabar dan majalah bisnis properti diberi label “tempat orang elit hidup”. Ashra kerap tak habis pikir, mengapa pelabelan seperti itu perlu dilakukan? Sampai hari ini ia belum mendapatkan seorang teman pun di apartemen barunya (Sidjaja, 2007: 5).
Ashra Trivurti membuka matanya lebar- lebar. Di sebelah kanannya, ada Teddy Bear berpita hijau di leher memandanginya dengan senyum hangat yang biasa ia berikan setiap pagi (Sidjaja, 2007:49).
23
Ashra membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Senyuman Teddy Bear milik Ashra yang selalu menyambut pada saat bangun tidur tampak seperti sebuah seringai saat ini (Sidjaja, 2007:69).
Ashra duduk di tempat tidur. Boneka Teddy Bear itu basah ditimpa air mata Ashra yang mengalir bagai hujan di tengah kemarau (Sidjaja, 2007:113).
Ashra malah merasa lebih nyaman bila sudah berada di dalam kamarnya.
Ia merasa akrab dengan boneka yang seolah selalu memberi senyum kepadanya
itu. Segala curahan perasaannya sering ia curahkan pada boneka. Tidak ada rasa
keakraban lain yang tergambar jelas selain saat berada di dekat neneknya dan
boneka kesayangannya. Kehidupan orang-orang kalangan atas yang terkesan
masabodo tak sanggup memberi sandaran dalam hatinya. Wajar bila kemudian
Ashra mengalami kegalauan yang terbendung dalam dirinya.
Ashra adalah perempuan yang mudah tersentuh perasaannya. Selain
berotak cerdas, Ashra juga punya perasaan yang tajam. Rasa iba atau kasihan
kerap mengendap dalam dirinya ketika melihat penderitaan orang lain. Kematian
Marya telah membuat Ashra menjadi sangat tertikam jiwanya.
Air matanya meleleh. Kenapa harus Marya? Kenapa harus ada yang mati? Ashra menengadah ke angkasa yang gelap itu. Hari masih siang namun rasanya segelap malam dan lebih kelam daripada saat matahari terbenam (Sidjaja, 2007:127).
Sebagai seorang yang berpikir kritis, bahkan rasional, Ashra tidak mau
menerima suatu hal tanpa alasan yang jelas. Ia tidak mau menerima sesuatu begitu
saja sehingga harus ada alasan-alasan yang menyertai segala sesuatu terjadi.
Semua hal dan peristiwa terjadi disebabkan karena suatu alasan. Namun pada
kenyataannya, ia pun kadang menyerah pada keraguan dalam dirinya sendiri.
24
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat ia temukan alasannya malah berbalik
melumpuhkan pikirannya sendiri. Meski telah menyerah, Ashra pun membuat
suatu alasan yang kuat untuk kekalahannya.
Tapi jika aku pun tidak hidup, apakah bedanya? Bukankah lebih penting kita bisa menikmati hidup yang bukan hidup itu? Bukankah lebih penting demikian? Tidak peduli kita sungguh ada atau tidak, tapi bukankah ingatan, kenangan adalah bukti bahwa kita pernah ada? (Sidjaja, 2007:139) Salah satu kelebihan lain yang terdapat pada Ashra adalah cara berpikirnya
yang lebih kritis dan lebih menonjol dibanding anak seusianya. Bila sedang
mengobrol dengan temannya, bahkan Ashra sering menganggap bodoh cara
berpikir lawan bicaranya itu. Pernyataan–pernyataan lawan bicaranya
dianggapnya tidak atau kurang bermutu.
“Oh …lalu menurut kamu, sekolah ini bagus tidak?” tanya Hilda. “Tampaknya ini sekolah yang bagus.” Keluarkan pertanyaaan terakhir yang sekaligus bermakna tolol itu, pikir Ashra menahan nafas. Dia baru di sana kurang dari tiga jam dan anak itu sudah menanyakan apakah sekolah itu bagus atau tidak (Sidjaja, 2007:17). Ashra tersenyum memikirkannya. Dia berumur lima belas tahun, pemikirannya lebih dewasa dan lebih maju dibandingkan anak-anak seusianya (Sidjaja, 2007:139).
Pemikiran Ashra tidaklah selalu benar adanya. Kadangkala ia menyadari
bahwa pikirannya sempat keliru. Itu terjadi saat ia sedang berbagi pendapat
dengan neneknya. Ashra lebih percaya dengan apa yang dikatakan neneknya
daripada orang lain. Dia lebih memilih untuk menyalahkan diri sendiri ketimbang
harus berambisi menyalahkan neneknya. Ashra begitu percaya kepada setiap
nasehat neneknya.
25
“Nenek apakah masa depan itu pasti?” tanya Ashra tiba-tiba. Nenek Vahni terdiam mendengar pertanyaan Ashra. “Apakah masa depan itu tidak dapat diubah?” tanya Ashra.
“Ashra pertanyaan itu hanya bisa kau temukan jawabannya kalau kau mencari tahu sendiri jawabannya,” Kata Nenek Vahni. “Nenek percaya pada karma tapi sayang kau bisa memutuskan apakah seluruh hal yang terjadi di alam semesta ini sudah diatur atau kebetulan semata,”lanjut nenek Vahni. Kata-kata Ashra terserap. Ia kehabisan kata mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan neneknya. “Ashra hapus air matamu, sayang. Jangan sedih lagi,” hibur nenek Vahni sambil menghapus air mata Ashra dengan punggung tangannya yang keriput. Ashra tersenyum dia bersyukur sekali memiliki seorang Nenek Vahni di dunia ini (Sidjaja, 2007:70-72).
Entah kenapa tiap kali sedang tidur, Ashra sering dihantui oleh mimpi
yang menyeramkan. Mimpi buruk itu semakin menambah pandangan pesimisnya
terhadap dunia. Dia menjadi sulit membedakan manakah yang lebih nyata: mimpi
atau realitas sehari-hari. Akan tetapi, pada akhirnya ia menjadi ragu-ragu sendiri.
Tapi Ashra kembali diliputi keragu-raguan yang selalu muncul di pagi hari setiap kali ia bangun. Benarkah, tanyanya pada diri sendiri, aku sudah bangun?( Sidjaja, 2007:24). Lelehan selai stroberi memenuhi lidah ketika Ashra menggigit roti panggang yang masih hangat. Lezat, pikir Ashra. Tapi benarkah ini kumakan, pikirnya (Sidjaja, 2007:25).
Yang mana mimpi? Benarkah aku sudah terbangun? (Sidjaja, 2007:137)
Bagaikan seorang yang baru lahir ke dunia, seluruh pandangan Ashra
selalu diliputi tanda tanya. Ia melihat dunia ini sebagai sekumpulan keganjilan,
keanehan. Pandangan-pandangan negatif yang berujung pada kesimpulan bahwa
dunia ini buruk, akhirnya menumbuhkan pandangan pesimisme yang berlebihan
dalam diri Ashra. Dunia ini tidak jauh beda dengan mimpi-mimpi buruk yang
26
menderanya setiap saat. Seolah-olah tidak ada terselip kebahagiaan sedikit pun
dalam hidupnya selain kasih sayang dari neneknya. Hanya saat berada di dekat
neneknya itulah, Ashra masih bisa menemukan kesempatan yang membuat
hidupnya terasa sedikit nyaman.
Dongeng-dongeng neneknya berhasil menerornya untuk melulu berpikir
mengenai Tuhan, dewa-dewi dan tentang keberadaan manusia di dunia. Teror itu
masuk melalui mimpi-mimpi Ashra, membuatnya menimbang kembali tentang
keberadaan dirinya sendiri. Ditambah dengan kegemarannya akan hal-hal yang
bernuansa sejarah, Ashra menjadi tak bisa lagi mengelak akan adanya kekuasaan
yang paling besar di semesta. Si Pencipta yang telah menggariskan hidup masing-
masing manusia.
Dari penggambaran mengenai tokoh Ashra tersebut, peneliti dapat
merangkum bahwa ada beberapa sikap, pandangan, dan hubungan sosial yang
secara pelan-pelan membentuk Ashra menjadi sosok pribadi yang terpecah.
Seorang remaja yang sedang gelisah, bingung mencari kepastian eksistensi.
Sementara di satu sisi, situasi tempat tinggalnya tidak berhasil membangun
sandaran yang kokoh bagi kegelisahannya. Kondisi lingkungan perkotaan yang
cenderung bersifat kapitalis, individualis dan bahkan vulgar, telah menyudutkan
Ashra ke dalam suatu keterasingan yang sangat. Kondisi itu hampir tidak pernah
memberi kesempatan untuk merasa tenang pada usianya yang sedang menginjak
dewasa. Usia di mana seorang remaja sedang dalam masa pencarian jati diri.
Tidak ada sesuatu yang bisa diharapkan lagi dari hidup ini, demikian
gambaran umum mengenai pola pikir tokoh Ashra. Pandangan pesimismenya
27
terlalu kuat untuk bisa ditawar lagi. Hidup ini seperti sebuah mimpi dan mimpi itu
adalah buruk semata. Jadi keduanya dianggap tak lebih dari sia-sia. Sebab tidak
ada lagi yang bisa dipertahankan dari sebuah mimpi. Namun sayangnya, Ashra
tidak dapat mengadukan segenap kegalauannya ini kepada siapa-siapa. Hidup
nyaris tanpa kawan di sebuah apartemen mewah, telah memaksa dirinya untuk
biasa berpikir dan memecahkan persoalan seorang diri.
Bertolak dari pandangannya yang pesimis, Ashra menganut paham yang
percaya pada suratan takdir. Nasib seseorang telah digariskan menurut takdir
masing-masing dan tidak ada seorang pun yang dapat mengubah takdir itu.
Berbagai peristiwa kematian yang kerap dijumpai, membawanya pada suatu
kesimpulan. Kematian adalah salah satu bukti adanya takdir, hal yang memang
tak bisa terhindarkan oleh siapa pun. Pola pikir Ashra telah terlanjur terkurung
dalam kecenderungan pesimisme.
28
BAB III
MAKNA MIMPI DAN BENTUK FANTASI TOKOH ASHRA TRIVURTI
DALAM NOVEL JUKSTAPOSISI
Kehidupan tokoh Ashra banyak tercurah pada dunia mimpi dan fantasi. Tokoh
inilah yang paling banyak dikenai sorotan yang berkaitan dengan mimpi sekaligus
fantasi. Bahkan lebih dari separuh isi cerita mengenai peranan tokoh Ashra
dihabiskan untuk menampilkan mimpi-mimpinya.
Dalam bab sebelumnya telah digambarkan bagaimana karakter, sifat, serta
sikap yang ada dalam diri tokoh Ashra. Dari bab tersebut juga dapat diperoleh
gambaran yang lebih dekat mengenai kehidupan Ashra beserta lingkungan tempat
tinggal. Situasi dan kondisi yang berada di lingkungan sekitar, memang turut
mendukung terbentuknya pribadi tokoh Ashra. Begitu pula dalam hubungan sosialnya
dengan orang lain.
Faktor eksternal tersebut turut membentuk kepribadian Ashra. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa unsur eksternal turut mempengaruhi fantasi dan
mimpi yang dialami oleh Ashra.
Peneliti sengaja menggabungkan mimpi dan fantasi ke dalam satu bab karena
dua tema tersebut masuk ke dalam satu lingkup psikologi, yakni kesadaran manusia.
Dalam bab ini, mimpi akan dianalisis terlebih dulu kemudian menyusul setelahnya
fantasi.
A. Makna Mimpi
29
Menganalisis makna mimpi dengan landasan teori Freud, ternyata
membutuhkan beberapa aspek di luar mimpi itu sendiri. Langkah ini ditempuh guna
mencari unsur yang memang kuat mendukung terbentuknya mimpi, yakni keinginan
dan tekanan yang berasal dari kehidupan nyata tokoh Ashra.
Peneliti akan menggunakan unsur tekanan tersebut untuk menganalisis
keinginan apa yang tersembunyi dalam mimpi yang dialami tokoh Ashra. Merujuk
kembali pada landasan teori, mimpi-mimpi yang dianalisis akan difokuskan untuk
menguak unsur yang paling mendasari teori mimpi itu sendiri, yakni keinginan yang
tersembunyi dalam diri. Sesuai dengan macam-macam keinginan yang telah terkuak
itulah masing-masing makna mimpi dikategorikan.
Peneliti akan menggunakan beberapa faktor yang memungkinkan digunakan
untuk menganalisis mimpi yang dialami tokoh Ashra. Merujuk kembali pada
landasan teori, mimpi-mimpi yang dianalisis akan difokuskan untuk menguak unsur
yang paling mendasari teori mimpi itu sendiri, yakni keinginan yang tersembunyi
dalam diri tokoh Ashra. Sesuai dengan macam-macam keinginan yang telah terkuak
itulah masing-masing mimpi dimaknai.
Tokoh Ashra, sebagai tokoh utama, sangat dekat sekali dengan peristiwa
mimpi. Bahkan hampir separuh lebih kehidupan Ashra didominasi oleh peristiwa
yang terjadi dalam mimpi. Ashra telah tertarik ke dalam dunia mimpi yang dalam dan
ia sampai nyaris tak percaya dengan dunia nyata. Menurutnya, mimpi lebih indah dari
kenyataan.
30
1. Mimpi sebagai Wujud Keinginan untuk Menggugat Kematian
Bagian novel yang bercerita tentang kematian, seolah ingin menegaskan
betapa tema ini bukan sekadar tempelan. Adegan kecelakaan, bunuh diri, dan cerita-
cerita tragis lain, begitu mendominasi kehidupan tokoh utama. Setiap saat tokoh
Ashra dihantui perasaan takut atas rentetan kematian yang membawanya sampai ke
dalam mimpi.
Di sini? Kenapa bisa berpindah ke sini? Pikir Ashra bingung. Ashra lalu menoleh ke arah sudut atap itu. Sesosok tubuh yang tampaknya dikenal Ashra berdiri di sana. Rambutnya tertiup angin. Dan kepalanya tertunduk. Marya Yeshwa membiarkan tubuhnya jatuh dari atap sekolah. Namun sebelum tububnya jatuh, dia melihat Ashra dengan tatapan seribu arti. Penuh ketakutan, Ashra berdiri dari pagar atap sekolah sambil melihat tubuh temannya yang tergeletak dengan darah mengucur dari kepalanya. Dunia rasanya begitu jauh, luas dan tak terjangkau oleh Ashra. Kenapa ada manusia yang ingin mati? Teriak Ashra dalam hati sambil memandang tubuh Marya Yeshwa yang sudah tak bergerak di lapangan rumput yang menjadi kanvas hijau berdarah (Sidjaja, 2007:28-29).
Peristiwa yang dikisahkan dalam kutipan di atas adalah salah satu dari mimpi
yang dialami Ashra. Dalam mimpinya itu, Ashra menyaksikan sebuah adegan bunuh
diri. Dari atas gedung sekolah, Marya menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Kejadian
bunuh diri itu menimbulkan sebuah pertanyaan mengenai kematian, seperti yang
pernah ditanyakan Ashra dalam kenyataan.
Dilihat dari sudut pandang ini, sebetulnya Ashra masih menyangsikan adanya
kematian itu sendiri. Ia ingin menuntut alasan logis atas sebuah adegan kematian
31
yang kerap ditemuinya dalam kehidupan nyata. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam
kehidupan nyata, Ashra sering mempertanyakan alasan logis mengenai kematian
manusia. Ia punya kenginan kuat untuk menggugat peristiwa pahit di balik kematian.
Namun selalu saja pertanyaan itu tak mampu terjawab. Dalam apartemen tempat
tinggalnya, Ashra tak punya kesempatan untuk mempertanyakan kematian. Dari
neneknya, Ashra tidak menemukan jawaban yang pasti. Kenyataan ini membuat
keinginannya dalam menguak jawaban misteri kematian, terpaksa ditekan. Peristiwa-
peristiwa kematian itu mencerminkan represi atas kejadian yang pernah dilihatnya
dalam kenyataan. Kematian Maria, kematian seorang bocah bertopi, dan juga
kematian manusia (secara universal), yang tak sanggup ia gugat dalam kenyataan,
muncul kembali melalui mimpinya.
Selain itu ada hal lain yang sempat dipertanyakan dalam kaitannya dengan
kematian. Dalam mimpinya yang berbeda dari sebelumnya, Ashra kembali
memunculkan suatu pertanyaan dalam mimpinya. Meski pun dalam mimpinya itu dia
tidak melihat sebuah adegan orang mati, namun tetap saja pertanyaan mengenai
kematian masih bermunculan. Hanya saja dalam mimpinya yang kedua ini, Ashra
lebih memberi penekanan pada kesedihan manusia dalam menghadapi kematian.
Tahukah kalian berdua pertanyaan terbesar di alam semesta ini? Tanya Ashra dalam hati sambil memandang kedua orang di depannya itu. Kenapa jika seseorang mati, orang lain akan bersedih? ( Sidjaja, 2007:76). Dalam kebuntuan, Ashra sering merasakan kesedihan yang sangat dalam.
Kecemasan yang disebabkan karena belum ditemukannya sebuah jawaban atas
32
pertanyaannya. Memang biasanya Ashra senang mempertanyakan sesuatu pada
neneknya, akan tetapi untuk masalah yang satu ini, dia tak pernah mendapat jawaban.
Lantaran gugatannya tak mampu ia lampiaskan, segenap perasaan Ashra berubah
menjadi cemas. Kecemasan ini telah mengancam keberadaan ego dalam dirinya.
Maka represi dalam dirinya meredakan kecemasan tersebut. Keinginan dalam dirinya
pun dengan sendirinya tertekan dalam ketaksadaran. Dengan menekan segenap
keinginan, gugatannya itu tak dapat keluar dalam kesadaran.
Kenapa aku menangis? Kenapa aku sedih karena kehilangan seseorang yang belum kukenal? (Sidjaja, 2007:134) Perasaan sedih juga kerap dialaminya saat menyaksikan peristiwa kematian
dalam kehidupan nyata. Ashra yang tak sanggup membendung perasaan itu, tanpa
sadar telah menumpuknya menjadi sebuah dorongan pertanyaan yang kemudian
keluar melalui mimpinya.
Misteri-misteri kematian, berikut rasa takut dan sedih yang menyertainya,
telah menimbulkan semacam ketakmasukalan. Ketakmasukakalan inilah yang
menjadi unsur utama pendorong keinginannya. Melalui mimpi-mimpi yang
mempertanyakan kematian, Ashra ingin menggugat kematian yang terjadi di
sekelilingnya.
Air matanya meleleh. Kenapa harus Marya? Kenapa harus ada yang mati? (Sidjaja, 2007:127).
Kenapa ada manusia yang mati? Teriak Ashra dalam hati (Sidjaja, 2007:29)
33
Kematian Maria, kematian seorang bocah bertopi, dan juga kematian manusia
(secara universal) yang pernah dilihatnya dalam kenyataan, dengan demikian digugat
kembali melalui mimpinya.
2. Mimpi sebagai Wujud Keinginan Menghidupkan Mitos
Di apartemen tempat tinggalnya, Ashra hanya berteman dengan neneknya.
Hanya kepada neneknya, Ashra mengungkapkan isi hatinya. Termasuk pula bila
Ashra sedang dirundung masalah, neneknya sering memberi nasihat dan saran-saran.
Namun di antara komunikasi mereka berdua, dongeng-dongeng dan kisah-kisah
klasiklah yang paling disukai Ashra.
Dari kisah yang diceritakan neneknya, kisah-kisah yang berhubungan dengan
mitos atau dongeng adalah contoh hal yang sudah melekat dalam ingatan Ashra.
Perlahan- lahan, kisah-kisah tadi turut masuk membentuk mimpi.
Tuhan kau di sini ternyata, pikir pemilik bola mata berwarna hitam itu sambil memandang anak lelaki yang sedang berdiri terpaku itu. Ya dia sudah lama sekali tidak bertemu dengannya. Dia bersiap melangkah ke arah anak itu (Sidjaja, 2007:49). Dalam mimpinya, Ashra lantas berjumpa dengan sosok-sosok aneh. Sebagian
sosok itu ia sebut sebagai Air Hidup, Malaikat, Chhya, dan makhluk lain yang ia
sebut pula sebagai Tuhan. Setiap kali bermimpi ia hampir selalu bertemu dengan
sosok-sosok itu. Melalui sosok Jasmon, untuk pertama kali Ashra mulai mengenal
Tuhan. Jasmon di sini, tidak lagi berperan sebagai tokoh penyandang cacat
34
sebagaimana mestinya, namun ia malah digambarkan sebagai tokoh yang hebat dan
punya kemampuan luar biasa. Bisa melayang- layang di udara dengan sepasang sayap
hitam di punggungnya.
Selain itu, ada pula sosok lain bernama Chhya, yang merupakan jelmaan dari
tokoh bernama Silma. Makhluk-makhluk tersebut saling berhubungan dan sering
bertemu di satu alam mimpi. Masing-masing sosok pun mendapat peran sendiri-
sendiri. Ashra yang menjadi salah satu di antara mereka, mendapat peran sebagai
sosok manusia yang berusaha menempuh jalan menjadi Tuhan.
Yang juga menarik di sini, sosok bermacam Tuhan itu tidak jauh dari ciri
Tuhan yang pernah diceritakan neneknya. Tuhan-tuhan itu semuanya bersayap dan
saling bertempur, saling mengalahkan untuk kemudian menentukan siapa yang
berhak menjadi Prima Causa.
Ketertarikan Ashra terhadap sejarah dan mitologi juga berpengaruh dalam
pembentukan keinginannya ini. Dia sempat kagum dengan sejarah cerita Hindu-
Budha dan candi-candi. Tak pelak dalam mimpinya hal-hal tersebut muncul kembali.
Adanya makhluk yang dijuluki Tuhan Dengan Empat Huruf tidak lain untuk
menyebut Tuhan yang biasa dipakai dalam mitologi Hindu-Buddha, yakni dewa dan
dewi.
Air Hidup memandang candi raksasa itu. Candi yang di dalam mimpinya diberi nama Borobudur oleh Syailendra.( Sidjaja, 2007:182)
35
Selain dewa-dewi dan beragam bangunan yang bentuknya mirip candi, dalam
mimpinya juga hadir makhluk bernama Kujata yang diberi keterangan sebagai
makhluk mitologi Iran yang diciptakan bersama Falak, Leviathan dan Behemoth.
Pengaruh mitos-mitos yang digandrunginya, telah menciptakan dorongan atau
keinginan yang kuat untuk menghidupkannya dalm kenyataan. Namun dorongan
untuk betul-betul menemukan cerita tersebut tidak mampu diwujudkannya. Dalam
kenyataan, ia tak kunjung bertemu dengan makhluk-makhluk itu. Ashra belum
pernah bertemu dengan dewa-dewi yang sempat dibacanya itu, misalnya. Secara tidak
langsung, kenyataan ini telah membentuk kegelisahan tersendiri. Kegelisahan yang
dialaminya itu secara otomatis telah membuat represi dalam dirinya bekerja.
Mitos-mitos yang tak bisa ditemukan dan dibuktikan dalam kehidupan nyata.
Mitos mengenai pertempuran Tuhan, mitos mengenai dewa-dewi, juga mitos tentang
dunia beserta makhluk-makhluk dengan kekuatan luar biasa, yang kesemuanya
pernah didengar dan dibacanya dalam kenyataan, kembali muncul dalam mimpi.
Mitos-mitos ini tidak lain mencerminkan represi atas keinginannya untuk
menghidupkan mitos-mitos yang didengar dan dibacanya dalam kenyataan.
Museum bagi Ashra adalah tempat yang menyenangkan, karena di sana dia bisa bertemu dengan patung para dewa Hindu maupun arca Budha. Semenjak masih kecil, Ashra sangat gemar memandang ilustrasi dewa-dewi. Dia merasa familiar dan dekat dengan segala macam deitas. Apakah mungkin aku dulunya Tuhan yang berinkarnasi menjadi Ashra Trivurti? (Sidjaja, 2007:51-52) Ashra ingat sewaktu masih kecil, dia sering didongengi sebuah cerita oleh nenek setiap malam. Bahwa dunia ini, pada dahulu sekali, manusia tidak mengenal adanya perbedaaan bahasa. Seluruh manusia menggunakan pikiran
36
mereka jika ingin berkomunikasi satu sama lain. Lalu Ashra pun sering bertanya kepada neneknya. “Kenapakah manusia kehilangan kemampuan itu, nenek?”. Neneknya hanya tersenyum. Karena dunia itu berubah. Tiga Tuhan saling menghancurkan untuk merebutkan kekuasaaan mereka di dunia ini. Lalu pemenangnya adalah sang Tuhan yang memiliki sayap emas. Dialah yang membuat kekuatan tersebut punah dari dunia ini. Dongeng itu sudah ia dengar berkali-kali. Dan dia tidak pernah bosan mendengarnya. Ashra suka sekali cerita itu (Sidjaja, 2007:13). Melalui jalan mimpi itu sebetulnya ia telah menghidupkan mitos-mitos.
Sebab di sanalah ia bisa membuktikan dan bertemu dengan mitos-mitos yang
dipercayainya.
Ini membuktikan bahwa mimpi Ashra sebetulnya merupakan wujud
keinginannya untuk menghidupkan mitos.
3. Mimpi sebagai Wujud Keinginan Menolak Kenyataan
Dalam mimpi, Ashra menciptakan sebuah dunia yang sama sekali berbeda
dengan dunia nyata. Lantas diciptakanlah semua makhluk dari mimpi. Manusia-
manusia yang hidup di sana, juga tata surya yang menyertainya, semua adalah mimpi.
Ashra memandangi sekelilingnya dengan takjub. Dia bisa meihat matahari di sana, memancarkan gelap. Baru kali ini Ashra melihat dunia yang paradoks. Langit gelap dengan matahari berwarna hitam ( Sidjaja, 2007:228). Dedaunan yang ada di taman itu bukan berwarna hijau lagi, tetapi abu-abu (Sidjaja, 2007:229). Dia memandang makhluk berjubah yang dihiasi warna-warna yang tak pernah ada di bumi (Sidjaja, 2007:132).
37
Tidak ada lagi manusia lemah, semua punya kemampuan setara. Semua yang
hidup di dunia itu bukanlah makhluk-makhluk yang bisa dengan mudah dikalahkan.
Mereka semua tercipta sebagai Tuhan. Inilah gambaran lain dari kenyataan dunia
yang terdapat dalam mimpi Ashra.
Kota itu selalu malam, sudah tidak pernah bercahaya lagi. Karena cahaya telah mati dan meninggalkan penduduknya dalam kegelapan. Tapi hanya dia yang tersisa sendiri, menunggu siapa pun bangun dari mimpi panjang. Bangun dari peti mati warna merah darah itu (Sidjaja, 2007:128). Polis itu benar-benar tak ada penduduknya. Banyak hamparan rumah kosong. Reruntuhan kuil-kuil kuno. Tuhan, kata orang tadi. Mereka yang tertidur di peti mati itu adalah yang dipanggil manusia sebagai Tuhan (Sidjaja, 2007:161).
Kota mimpi itu dinamai Kronopolis. Tentunya tidak seperti kota Jakarta
tempat Ashra tinggal, Kronopolis adalah sebuah kota sunyi yang semua penghuninya
adalah Tuhan. Akan tetapi beberapa sosok Tuhan di sini ditampilkan menjadi
makhluk yang sedang tertidur dalam peti. Kecuali Ashra dan kawan-kawannya,
Tuhan di kota itu tertidur dan mereka semua bermimpi. Mimpi Tuhan inilah yang
disebut sebagai dunia nyata manusia. Dengan cara ini, Ashra berhasil menepis adanya
dunia nyata. Menemukan anggapan baru bahwa tidak ada suatu kehidupan yang
betul-betul real di bumi. Sebab manusia dan makhluk penghuni bumi tercipta dari
mimpi Tuhan.
Perwujudan sebuah kota mimpi merupakan salah satu jalan untuk menolak
kehidupan nyata dan mencipta kehidupan lain. Wujud dunia yang tentunya sangat
diinginkan Ashra. Secara tidak langsung mimpinya ini dapat dipandang sebagai
38
wujud atas penolakan Ashra terhadap kehidupan yang sebenarnya, yakni kehidupan
tanpa manusia lemah dan tanpa kenyataan. Ashra menganggap dunia mimpi itu lebih
indah dari dunia kenyataan. Di dalam kenyataan, Ashra memandang dunia adalah
buruk semata. Lingkungan perkotaan tempat tinggal Ashra, sama sekali tidak
mendukung dan tidak seperti yang diharapkannya. Kondisi masyarakat yang vulgar,
kapitalis, bising, individualistis, yang kerap dijumpainya dalam kenyataan,
membuatnya pesimis dan menyangsikan kehidupan.
Lalu orang itu kembali membaca tabloid berjudul sEXy bergambar seorang perempuan memakai pakaian renang dan menampilkan pose yang mampu membuat para lelaki terangsang. Halaman depannya dipenuhi dengan judul-judul Sex Hebat Tiap Malam, Full Bra Uncensored, dan sebagainya. Ashra merasa mual melihat tabloid sampah itu (Sidjaja, 2007:67).
Ashra berjalan di sepanjang lorong apartemen. Sudah seminggu Ashra tinggal di kamar 415 bersama neneknya di gedung pemukiman yang oleh para pengiklan di surat kabar dan majalah bisnis properti diberi label “tempat orang elit hidup”. Ashra kerap tak habis pikir, mengapa pelabelan seperti itu perlu dilakukan? (Sidjaja, 2007: 5).
Terlanjur sangsi terhadap segala kenyataan, Ashra lantas terbuai dan
menikmati mimpi.
Tapi dia takut…. Dia tak mau bangun dari tempat ini. Lebih indah bermimpi ketimbang bangun di pagi hari (Sidjaja:2007:173). Penolakan Ashra terhadap kenyataan dipengaruhi oleh pengalaman dan
pengamatannya dalam kehidupan sehari-hari. Ashra tidak suka pada kenyataaan
sehari-hari yang kerap membuatnya frustasi, cemas, dan sedih.
39
Represi dalam dirinya pun bekerja meredakan perasaan-perasaan itu dengan
cara menekan keinginannya. Keinginan untuk hidup dalam sebuah kenyataan atau
kehidupan yang lebih ideal. Sebuah lingkungan yang tidak ada lagi manusia lemah,
sebuah kehidupan tak lagi mengandalkan kekuatan kapitalis (kekuatan uang)
melainkan kekuatan sihir, bahkan tidak ada lagi kevulgaran di sana sebab semua
adalah suci dan tercipta sebagai tempat tinggal Tuhan.
Semua benda-benda dan makhluk-makhluk dalam mimpinya itu diwujudkan
Ashra untuk menolak kenyataan. Dunia mimpi yang diciptakannya berkebalikan
dengan dunia nyata. Matahari yang bercahaya hitam, daun-daun yang kelabu, serta
makhluk-makhluk aneh, adalah contoh sesuatu yang bertolak belakang dengan dunia
nyata. Ashra telah menolak segala konsep dan wujud kenyataan dengan cara
membaliknya menjadi sesuatu yang berlawanan. Dalam kenyataan tidak ada matahari
yang bercahaya gelap, daun-daun berwarna hijau bukan kelabu, tidak ada makhluk
bersayap (Tuhan) yang berkeliaran, juga kesunyian kota yang terjadi di setiap hari.
Keinginannya untuk menolak dunia nyata, telah berhasil diwujudkannya dengan cara
membaliknya.
4. Mimpi sebagai Wujud Keinginan untuk Berkuasa Dalam tidurnya, Ashra pernah bermimpi menjadi Sang Pencipta. Dengan
terpilihnya ia sebagai Tuhan generasi berikutnya, Ashra dapat menjadi makhluk yang
40
paling berkuasa dengan syarat harus menghabisi Tuhan-tuhan lain. Dalam bagian
cerita yang berjudul Sepuluh Jalan Tuhan, Ashra bersiap memenuhi syarat itu. Meski
awalnya ia merasa ragu-ragu namun akhirnya toh ia melahap Tuhan-tuhan itu.
Ashra akan menjadi pencipta? Prima Causa? ( Sidjaja, 2007:184). Makanlah sepuluh Tuhan, kata makhluk kesembilan. Dan kau pun akan menjadi yang paling mahakuasa, kata makhluk kesepuluh (Sidjaja, 2007:196).
Prima Causa adalah sosok yang dianggap sebagai simbol kekuasaan paling
besar di sana. Sebab hanya Prima Causalah sesosok Tuhan dapat melampaui
kekuasaan Tuhan lainnya. Dengan menjadi Tuhan nomor satu, maka tumbanglah
kekuasaan Tuhan yang paling berkuasa itu. Kekuasaan yang dulu sempat
membuatnya gentar dan ketakutan akan digantikan oleh kekuasaan baru, kekuasaan
Ashra.
Dalam kehidupan nyata, Ashra hanyalah seorang bocah SMP yang cengeng.
Hidup nyaris terombang-ambing, Ashra seakan tak berdaya menghadapi berbagai
kenyataan. Sedikit saja ada peristiwa buruk maka perasaannya langsung tersentuh dan
pikirannya mulai terganggu.
Ashra pun sempat merasa terganggu dengan persoalan takdir. Seperti yang
telah diungkapkan dalam bab sebelumnya, berkali-kali Ashra selalu mempertanyakan
perihal kekuasaan sang pencipta takdir. Nasib manusia, menurutnya, memang telah
ditulis dan diatur menurut kuasa takdir dan tak ada satu pun yang bisa mengubah
takdir masing-masing.
41
Masa depan, benar-benar tak bisa berubah, pikir Ashra (Sidjaja, 2007:67).
Tiga Tuhan saling menghancurkan untuk merebutkan kekuasaaan mereka di dunia ini. Lalu pemenangnya adalah sang Tuhan yang memiliki sayap emas. Dialah yang membuat kekuatan tersebut punah dari dunia ini (Sidjaja, 2007:13)
Namun anggapan mengenai adanya kekuasaan Tuhan ini, lambat- laun justru
memicu munculnya antikekuasaan dalam dirinya. Besarnya kekuasaan yang telah
menyerang pikirannya itu, kemudian berbalik menciptakan semacam antitesis dan
melahirkan keinginan untuk berkuasa. Kemudian timbullah keinginan dalam diri
Ashra untuk menjadi pencipta, untuk berkuasa, dengan cara menyaingi bahkan
mengalahkan penguasa sebelumnya. Namun dalam kenyataan, keinginan itu lantas
direpresi, karena tidak ada cara untuk mewujudkannya. Tidak mungin ia bisa menjadi
penguasa (semacam Tuhan) dalam kenyataan. Melalui mimpi, keinginan Ashra untuk
berkuasa kembali diwujudkannya.
Tapi Ashra lapar, pikirnya. Aku harus makan kamu karena aku pun juga harus memiliki mata itu dengan memakan kamu. Ashra perlahan- lahan merobek daging milik mata itu, dan dia pun mulai memakannya. Rasanya lezat sekali. Inikah cita rasa Tuhan? Inikah yang harus kulakukan? Memakan mereka satu persatu dengan rasa selezat ini? Aku tidak terlalu keberatan (Sidjaja, 2007:231).
Besarnya keinginan untuk berkuasa itu, bisa diukur dari rasa lapar Ashra
untuk segera melahap tuhan-tuhan lain. Rasa bersalah pun tak dipedulikan karena
telah tergantikan dengan rasa lezat yang sangat. Itu semua dilakukan Ashra demi
merebut dan memperoleh kekuasaan.
42
Kau akan menikmati rasa terpaksa saat memakan Tuhan lain, air mata yang keluar akan dibalas oleh rasa lezat yang melampaui alam semesta (Sidjaja, 2007:232). Dengan menjadi Tuhan, Ashra akan mengendalikan seluruh hidup. Ia akan
menjadi Tuhan yang paling berkuasa, melampaui Tuhan la in. Dengan kata lain, tidak
akan ada lagi takdir, tidak ada lagi kematian. Seluruh pesimismenya akan dunia yang
selama ini membuatnya murung menjadi tidak berlaku lagi. Ashra menjadi
pengendali takdir dengan kuasa yang tak terkalahkan. Keinginan Ashra untuk
menjadi penguasa dunia pun terwujud melalui mimpi itu.
5. Mimpi sebagai Wujud Keinginan Melampiaskan Rindu
Pada suatu kali, Ashra bermimpi bertemu dengan ibu dan ayahnya. Ia
merasakan pelukan hangat dari mereka.
“Aku rindu padamu…” Sebuah tangan memeluk Ashra dari belakang. Gadis itu menahan napasnya. Perasaan yang sama dengan yang ia rasakan pada saat bertemu dengan prempuan di museum.Ternyata itu adalah Anda, Ibunda (Sidjaja, 2007:176).
Lalu lelaki itu memeluknya. Ashra bisa merasakan kehanga tan dari tubuh yang memeluknya itu. Kasih sayang ayah yang tak pernah ia kenal itu..... Ya, aku juga rindu padamu, Ayah. Ashra menjawab perkataan ayahnya (Sidjaja, 2007:132-133).
Mimpi yang mempertemukan Ashra kepada kedua orang tuanya, langsung
mencairkan perasaan rindunya yang membatu. Ashra memang tak pernah bertemu
dengan orang tuanya, tapi ketika ia telah merasakan pelukan dari ayahnya, ia bisa
43
merasa adanya getaran kasih sayang. Keinginannya untuk merasakan cinta yang telah
sekian lama terpendam pun kemudian menjelma menjadi sebentuk rindu yang tak
tertahan. Keinginan itu lantas tercurahkan dalam sebuah mimpi pertemuan.
Seperti yang digambarkan dalam cerita tentang keluarganya, Ashra adalah
anak angkat dari pasangan Nyonya Ilivana dan Tuan Wadya. Entah sejak umur
berapa kemudian Ashra berpisah dengan kedua orang tua angkatnya itu. Yang jelas
Ashra hidup dan diasuh oleh neneknya. Namun orang tua angkat Ashra tahu kalau
anak angkatnya itu tidak mencintai mereka.
“….Aku menyayangi Ashra tetapi aku tak yakin ia merasa begitu pada kita,” sahut Nyonya Ilivana (Sidjaja, 2007:111).
Meskipun Ashra diasuh neneknya, tapi sebagai seorang anak ia sangat butuh
kasih sayang dari orang tua. Setidaknya Ashra mengetahui bedanya memiliki orang
tua angkat dan orang tua yang sebenarnya. Setelah Ashra mengetahui dirinya
bukanlah anak kandung, ia menjadi sedih. Batinnya bergejolak dan terus menyimpan
kerinduan untuk bertemu dengan orang tua yang melahirkannya. Ashra punya
keinginan kuat untuk merasakan cinta orang tuanya, sementara dalam kenyataan ia
hanya merasakan kasih sayang neneknya. Kondisi inilah yang menekan keinginan
Ashra untuk bertemu dan melampiaskan kerinduan dengan orang tua. Perasaan rindu
itulah yang ditekannya dalam kenyataan. Keinginan itu ditekan karena takut itu justru
akan menyakiti perasaan neneknya yang dalam kenyataan telah sekian lama merawat
44
dan menyayanginya. Maka tidak heran bila pelampiasan rindu itu pun terbawa ke
dalam mimpinya.
6. Mimpi sebagai Wujud Keinginan Menggambarkan Otoritas Kekuasaan
Mimpi mengenai perebutan kekuasaan Tuhan ini, diakhiri oleh kemenangan
Chhya. Chhya adalah penguasa yang telah bercokol sebelumnya. Ashra hanya
sebentara saja menikmati kekuasaannya, setelah itu dia harus kalah dan musnah.
Upaya Ashra untuk menjadi penguasa selamanya, gagal.
Kau bisa apa, Ashra Trivurti? Kau gagal. Aku akan menjadi Prima Causa. Chhya lalu menghisap tubuh Ashra ke dalam tubuhnya (Sidjaja, 2007:272). Melalui sosok bernama Chhya, otoritas kekuasaan digambarkan sebagai
sesosok penguasa yang berbeda dengan lainnya. Chhya digambarkan sebagai
makhluk yang paling terang di sana. Di samping itu, sifatnya yang rakus dan haus
kekuasaan semakin menampilkan karakternya yang tak suka diusik dan dijatuhkan.
“Dan kalian tiga Tuhan terakhir, sekarang biarlah aku memakan kalian agar ketuhananku lebih sempurna lagi.” Chhya menyeringai dan membuka mulutnya. Mulut Tuhan yang bercahaya itu semakin lama menjadi selebar alam semesta dan akhirnya menelan semua yang ada di tempat itu.” (Sidjaja, 2007:273).
Segala cara dihalalkan untuk memperoleh kesempurnaan. Itulah alasan
mengapa sosok bernama Chhya tak peduli memangsa Ashra yang berupaya
menyingkirkan kekuasaannya.
45
Ashra merasa terguncang mendengarnya. Memakan Noah? Apa maksudnya? Apa Silma belum cukup? Apa menjadi Tuhan harus mengalami kutukan seperti ini? Kau harus memakan mereka, orang-orang yang kau cintai dan tak bersalah padamu? (Sidjaja, 2007:270).
Dengan melihat kelemahan Ashra yang cenderung berbelas-kasihan, Chhya
berhasil melumpuhkan kekuasaan Ashra dengan cara mudah. Sikap belas kasihan
yang masih terselip di dalam diri Ashra telah dimanfaatkan oleh musuh besarnya.
Kekuasaan yang sejati, dengan demikian tidak mengenal belas kasihan. Untuk
menjadi penguasa yang tak terkalahkan haruslah otoriter. Ashra yang tak punya sikap
otoriter membuktikan bahwa kekuasaan yang penuh pertimbangan akan mudah
diruntuhkan. Ini menggambarkan bahwa hanya penguasa otoriterlah yang tak bisa
dikalahkan.
Keinginan penggambaran ini muncul dari kesadarannya akan adanya
penguasa tertinggi yang pernah diakuinya di kenyataan.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Penguasa itu adalah penguasa waktu yang diyakini telah mengatur kematian
Marya, sahabatnya. Gejolak kesedihan dan kekesalan pun tak terbendung
menyaksikan keotoriteran penguasa waktu itu. Namun ia tak tahu kepada siapa ia
mesti mengadukan perasaannya. Si penguasa waktu yang sewenang-wenang (otoriter)
itu tak dapat ia temui dalam kenyataan. Ashra tidak tahu siapa dan seperti apa wujud
si penguasa waktu, ia ingin sekali mengetahuinya tapi tak bisa dan merasa kesal.
Dengan demikian represi dalam dirinya pun berusaha menekan keinginannya untuk
46
menggambarkan wujud otoritas penguasa yang dijumpainya dalam kenyataan. Wujud
misterius mengenai sosok penguasa otoriter itu kembali ia tampilkan melalui
penggambaran sosok Chhya dalam mimpinya.
Mimpi mengenai sosok Chhya yang dialami oleh Ashra, mempunyai makna
bahwa dalam dirinya tersimpan keinginan yang kuat untuk menggambarkan
bagaimana sosok penguasa yang otoriter. Penguasa yang otoriter itu ia citrakan
sebagai sosok Chhya yang tidak punya rasa belas kasihan, membunuh sahabat sendiri
untuk mempertahankan keabadian. Melalui gambaran sifat dan sikap yang demikian,
Ashra tanpa sadar telah menunjukkan segenap keinginannya untuk menggambarkan
suatu otoritas kekuasaan yang ada dalam kenyataan.
B. Bentuk Fantasi
Dibandingkan dengan mimpi, fantasi lebih sedikit mendapat porsi dalam
novel Jukstaposisi. Meski demikian, persoalan fantasi memegang peran yang tak
kalah penting dalam memaknai cerita. Sebab walaupun hanya mempersoalkan gejala
psikologis tokoh, tapi fantasi kadang dipengaruhi juga oleh aspek nonpsikis. Fantasi
turut menjangkau persoalan di luar tokoh yang diteliti.
Peneliti akan menganalisis topik fantasi dengan menggunakan cara yang sama
dengan topik mimpi. Seperti cara yang digunakan sebelumnya, fantasi yang dianalisis
akan dikelompokkan menurut kategorinya.
1. Fantasi Menciptakan
47
Di atas sebuah kertas, Ashra mengungkapkan salah satu bentuk fantasinya.
Dalam sebuah lukisan ia menggambar sebuah dunia yang muram. Dunia yang
dilukisnya itu adalah dunia yang dia tinggali. Hanya saja Ashra merepresentasikan
dunia berdasarkan pandangannya sendiri.
Gadis itu tersenyum kepada gambar-gambarnya. Dia mengambil tiga kertas berwarna putih lalu mulai menggambar. Di kertas pertama ia menggambar lingkaran hitam besar sampai hanya menyisakan sebuah titik putih yang tak terlalu besar. Di kertas kedua, dia menggambar lorong berkarpet merah, di tiap sisi lorong panjang itu ada banyak pintu tertutup dan di ujung lorong, ada gambar-gambar malaikat. Di kertas ketiga, dia menggambar dunia yang dia tinggali. Dia sedih melihat gambar ketiganya (Sidjaja, 2007:1). Yang dilukis Ashra adalah sebentuk dunia yang tergambar di dalam
benaknya. Representasi itu sebetulnya lahir dari bayangan fantasinya. Sebuah dunia
berwarna hitam dengan setitik sinar putih, lorong panjang berkarpet merah, dan
sebuah dunia yang ditinggalinya. Ketiga lukisan itu adalah ciptaan fantasi belaka.
Lukisan Ashra bukan sekadar meniru, melainkan menciptakan hal yang baru.
Menggambar dunia? Untuk apa? Aku bermimpi jadi Tuhan. Aku bermimpi menciptakan dunia (Sidjaja, 2007:2).
Dengan fantasi itu Ashra telah menciptakan bayangan-bayangan baru. Ia
berusaha untuk melepaskan diri dari kenyataan. Ashra membayangkan dirinya
menjadi Tuhan yang menciptakan dunia. Padahal sebetulnya ia bukanlah Tuhan.
Begitu pun dengan lukisan dunia yang dibuatnya, tidak sama dengan dunia yang di
48
tinggalinya. Dunia yang ada dalam lukisannya berwarna hitam. Benak Ashra bekerja
penuh kreatif membentuk sebuah fantasi yang tak terbatas. Bayangan dalam benak
Ashra telah melampaui batas-batas kenyataan dan memasuki proses fantasi yang
menciptakan dunia sendiri.
2. Fantasi Terpimpin
Salah satu dongeng yang diceritakan oleh neneknya adalah dongeng tentang
kisah pertempuran Tuhan. Mendengar dongeng itu berarti Ashra harus menggunakan
fantasinya untuk mencerna keseluruhan cerita. Sosok makhluk bersayap yang
disebutnya sebagai Tuhan, pastilah tergambar di benak Ashra.
Benaknya melayang. Ashra ingat sewaktu masih kecil, dia sering didongengi sebuah cerita oleh nenek setiap malam. Bahwa dunia ini, pada dahulu sekali, manusia tidak mengenal adanya perbedaaan bahasa. Seluruh manusia menggunakan pikiran mereka jika ingin berkomunikasi satu sama lain. Lalu Ashra pun sering bertanya kepada neneknya.
Tiga Tuhan saling menghancurkan untuk merebutkan kekuasaaan mereka di dunia ini. Lalu pemenangnya adalah sang Tuhan yang memiliki sayap emas. Dialah yang membuat kekuatan tersebut punah dari dunia ini (Sidjaja, 2007:13).
Sementara Ashra mendengar, neneknya bercerita. Pada saat bersamaan, Ashra
berusaha menangkap seluruh cerita menggunakan fantasinya. Cara neneknya
bercerita merupakan cara untuk menuntun bayangan mengenai sesuatu yang
diceritakannya. Tuntunan neneknya itu dengan mudah dapat dicerna hingga Ashra
mengaku sangat suka setiap mendengar cerita dari neneknya itu.
49
Dongeng itu sudah ia dengar berkali-kali dan dia tak pernah bosan mendengarnya. Ashra suka sekali cerita itu (Sidjaja, 2007:13).
Proses pembentukan fantasi Ashra, dengan demikian tidak bekerja menurut
kemauannya sendiri, tapi lebih didasarkan pada cerita yang didengarnya. Proses
fantasinya ini termasuk ke dalam fantasi yang terpimpin. Benaknya tidak bergerak
bebas mencipta bayangan lain akan tetapi dituntun untuk membentuk bayangan-
bayangan yang serupa di dalam cerita. Pada saat Ashra mencerna kisah-kisah yang
dipaparkan neneknya, fantasinya mulai membuat bayangan-bayangan mengenai
manusia yang berkomunikasi dengan pikiran, mengenai Tuhan yang bersayap dan
saling bertempur untuk memperebutkan kekuasaan. Bayangan-bayangan tersebut
terbentuk dengan baik hingga menimbulkan rasa suka dalam diri Ashra.
3. Fantasi yang Terjadi Secara Tidak Disadari
Suatu kali Ashra pernah terjebak dalam fantasi yang tanpa disadari telah
membangkitkan rasa belas kasihan dalam dirinya. Fantasi itu tiba-tiba muncul saat ia
tengah berada di dekat jalan raya. Penglihatannya mendadak seperti menangkap
sosok anak kecil yang pernah ia lihat sebelumnya. Ia mengira anak itu betul-betul
akan tertimpa musibah kecelakaan. Namun saat hendak menolong dan mengejar si
anak kecil, Ashra malah terkejut. Tersadar bahwa ia baru saja terlena dan tertipu oleh
fantasinya sendiri.
Dari sebelah kanan, Ashra bisa melihat sebuah truk kargo berukuran besar melesat ke arah anak itu tanpa sempat memperlambat lajunya….
50
Anak itu terpental sejauh lima meter lalu tubuh kecil terbaring di jalan raya berlumuran darah. Aku harus menolongnya, pikir Ashra. Tak perlu berpikir dua kali, ia berlari ke arah tubuh anak itu tanpa melihat lalu lalang jalan raya (Sidjaja,2007:53). “Hei kamu cari mati ya!! Jangan berdiri di jalan!” Teriak seorang pengemudi angkot pada Ashra yang masih berdiri seperti orang bodoh di tengah jalan raya itu. Tidak ada mayat. Tidak ada darah, hanya Ashra yang sedang dimaki-maki oleh pengemudi kendaraan di jalan raya. Dia sekarang merasa seperti orang terdungu di dunia. Ashra langsung menyingkir ke trotoar (Sidjaja, 2007:54). Pikiran Ashra yang terbiasa dihadapkan pada hal-hal yang sifatnya tragis,
menyebabkan fantasi yang berlebihan. Tanpa disadari seolah-olah bayangan atas
peristiwa-peristiwa kematian telah merasuk dalam pikirannya. Kengerian-kengerian
yang disaksikan di sekelilingnya telah tersimpan dalam ingatannya. Kengerian–
kengerian itu muncul melalui ketaksadarannya, melalui fantasi yang tak mampu
dikendalikannya. Seolah-olah di sekelilingnya, peristiwa-peristiwa tragis mengenai
kecelakaan manusia itu, terus menghantuinya setiap saat. Padahal sebetulnya
peristiwa tersebut hanya bayangan dalam fantasinya belaka. Bayangan yang kembali
muncul tiba-tiba tanpa disadari.
50
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis yang telah dilakukan, ada beberapa kesimpulan yang dapat
ditarik. Tokoh Ashra Trivurti sebagai tokoh yang dijadikan objek penelitian, telah
mengalami dua macam gejala kejiwaan, yakni mimpi dan fantasi. Kedua gejala itu
timbul dan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial. Kondisi lingkungan yang buruk
serta interaksi sosial yang kurang memadai menjadi faktor utama yang membentuk
karakter Ashra menjadi seorang yang suka bermimpi dan berfantasi.
Ada tema besar yang dapat dilihat sebagai suatu persamaan dalam mimpi dan
fantasi yang dialami oleh Ashra. Ketika bermimpi dan berfantasi, Ashra selalu
menekankan mengenai gambaran buruk kehidupan nyata di sekelilingnya. Persamaan
ini sekaligus menandai betapa kuatnya pandangan pesimisme Ashra terhadap dunia
nyata. Sebagian besar pesimisme itu menjelma dalam bentuk mimpi dan fantasinya.
Ini dapat dilihat dalam analisis mengenai tokoh dan penokohan Ashra.
Melalui mimpi yang dialaminya itu tokoh Ashra sebetulnya mengungkapkan
suatu hasrat terpendam. Hasrat inilah yang disebut dengan keinginan. Berdasarkan
analisis makna mimpi, didapat gambaran bahwa sebagian besar keinginan dalam diri
tokoh Ashra bersifat kompleks. Dengan kata lain, keinginan-keinginan yang
diungkapkannya hampir menjangkau seluruh elemen kehidupan, mikrokosmos dan
makrokosmos. Sebagai contoh, hal-hal mengenai kematian, eksistensi Tuhan,
perasaan, dan kerinduan adalah sesuatu yang umum ada dalam kehidupan. Hal-hal
51
tersebut ada yang bersifat absurd, ada pula yang cenderung bersifat logis.
Mengenai hal yang sifatnya absurd, keinginannya justru lebih besar dibanding
dengan hal yang lebih bersifat logis. Mimpi-mimpi mengenai kematian dan
eksistensi Tuhan, misalnya, lebih banyak mendapat daya dorong yang kuat.
Mimpi-mimpi itu menyiratkan keinginannya yang lebih besar dibanding dengan
keinginan lain.
Tekanan (represi) adalah unsur terpenting dalam memicu dorongan atau
keinginan dalam mimpi. Adanya unsur tekanan yang ikut mempengaruhi
keinginannya, dapat disebabkan karena beberapa faktor. Faktor tersebut yaitu,
tekanan dari luar diri sendiri. Tekanan dari luar, muncul karena kondisi
lingkungan sosialnya yang tidak mendukung. Situasi apartemen yang cenderung
tertutup, tidak memungkinkan terbangunnya komunikasi yang baik
antarpenghuni. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Ashra sangat merasa
kesepian di apartemennya itu. Bahkan ia nyaris tak punya teman sama sekali
selain neneknya. Kemudian, buruknya situasi perkotaan, semakin
menyudutkannya ke dalam sikap pesimisme. Peristiwa-peristiwa negatif yang
kerap terjadi di daerah perkotaan, turut mempengaruhi pikirannya. Kondisi
lingkungan sosial telah membentuk sebuah kontradiksi sendiri. Di satu sisi, Ashra
ingin melampiaskan segenap persoalan dalam pikirannya, tapi di sisi lain tak satu
pun ada ruang untuk mengkomunikasikan pikirannya itu.
Selain itu, ada pula faktor lain yang ikut mempengaruhi besarnya
keinginan dalam diri Ashra. Kedekatan tokoh Ashra dengan hal-hal mitologi,
menimbulkan sikap yang tak rasional. Kenyataan dianggapnya sebagai sesuatu
52
yang buruk semata. Ashra berkeyakinan bahwa yang indah bukanlah sesuatu yang
ada di kehidupan nyata, tapi justru yang ada dalam mimpi-mimpinya.
Makna mimpi-mimpi Ashra merupakan perwujudan lain dari
keinginannya yang ditekan. Keinginan Ashra yang berlainan membuat makna
mimpinya juga berlainan. Namun dari hasil analisis, makna mimpinya itu dapat
dikelompokkan ke dalam enam kategori, yakni: mimpi sebagai wujud keinginan
untuk menggugat kematian, mimpi sebagai wujud keinginan menghidupkan
mitos, mimpi sebagai wujud keinginan menolak kenyataan, mimpi sebagai wujud
keinginan untuk berkuasa, mimpi sebagai wujud keinginan melampiaskan rindu,
dan mimpi sebagai wujud keinginan menggambarkan otoritas kekuasaan.
Demikian hal yang sama diungkapkan pula melalui fantasinya. Melalui
sebuah lukisan buram, Ashra mencoba menggambarkan bagaimana rupa dunia.
Namun karena begitu kuatnya keyakinan surealis mempengaruhi dirinya, Ashra
pun menilai dunia ini tak nyata dan diciptakan oleh seorang pemimpi. Fantasi
Ashra bahkan telah memerangkapnya ke dalam labirin ketaksadaran.
Kesadarannya yang terkikis, membuat pandangannya kabur. Ashra jadi kesulitan
membedakan antara kenyataan dan angan-angan. Melalui mimpi dan fantasinya
itu, sebetulnya tersimpan tujuan yang sama, yakni meraih sesuatu di luar
kenyataan. Ashra bermaksud menjangkau dunia maya, yakni dunia yang hanya
ada di dalam pikirannya.
Fantasi yang dialami Ashra dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
fantasi menciptakan, fantasi yang tak disadari dan fantasi terpimpin. Dalam
fantasi menciptakan, kemampuan jiwa Ashra bekerja secara penuh. Ia mencipta
53
gambaran dunia yang betul-betul baru melalui sebuah lukisan. Kemudian
fantasinya mengenai peristiwa itu kecelakaan itu terjadi dalam ruang
ketaksadarannya. Fantasi itu muncul tiba-tiba dan Ashra tak kuasa untuk
mengendalikan fantasinya sebelum ia keluar dari ketaksadarannya. Sementara
untuk fantasi terpimpin, kesadarannya tak bisa bergerak bebas karena dibatasi
oleh lingkup objek cerita neneknya.
B. Saran
Penelitian mengenai makna mimpi dan bentuk fantasi dalam novel
Jukstaposisi ini merupakan sebuah tema yang ditinjau dari sudut pandang
psikologi sastra. Akan tetapi, ada lagi tema atau permasalahan yang masih bisa
diteliti. Tokoh-tokoh tambahan yang dihadirkan dalam novel, dapat dijadikan
obyek penelitian dari sudut pandang yang berbeda. Khususnya untuk tema
sosiologi sastra, tokoh-tokoh dalam novel ini dapat dikaji menurut interaksi
sosialnya. Dengan menggunakan latar sosial perkotaan, tentunya menyimpan
suatu budaya modern yang kompleks. Ini tentu akan menjadi penilitian yang tak
kalah menarik. Peneliti mengharapkan tema ini bisa diangkat oleh peneliti lain
untuk dijadikan obyek kajian selanjutnya.
54
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, BU.1992. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Dharma, Agus dan Michael Adriyanto. 1987. Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga.
Esten, Mursad. 1990. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa. Freud, Sigmund. 1979. Memperkenalkan Psikoanalisa. Terjemahan Dr. K. Bertens.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Hall, Calvin S. 1995. Freud: Seks, Obsesi, Trauma dan Katarsis. Jakarta:
Delapratasa. Hartoko, Dick dan B Rahmanto. 1986. Panduan di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius. Naisaban, Ladislaus. 2004. Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok
Pikiran dan Karya. Jakarta: Grasindo.
Nurgiantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, DR. Nyoman Kutha. 2003. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa Bandung.
Sidjaja, Calvin Michel. 2007. Jukstaposisi. Jakarta: Gagas Media
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
55
Windyarti, Dara. 2005. “Psikologi dalam Kritik Sastra” Makalah Disampaikan dalam rangka Seminar Kritik Sastra, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta 20-22 September 2005.
Zaimar, Okke K.S. 2003. “Psikoanalisis dan Analisis Sastra” dalam Anggadewi
Moesono (Ed) Psikoanalisis dan Sastra. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia.