skripsi miko
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia khususnya Sulawesi tenggara memiliki sumber daya alam yang
sangat melimpah, yang berada di laut maupun didaratan. Sumber daya alam
tersebut berupa sumber daya alam biotik dan abiotik. Negara kita kaya akan
bahan tambang dan mineral. Berbagai jenis hewan dan tumbuhan dapat kita
jumpai di negeri ini. Salah satu sumber daya alam hewani negeri kita adalah
kerang sungai.
Sungai Pohara merupakan salah satu sungai di provinsi Sulawesi Tenggara
Kabupaten Konawe Kecamatan Sampara menyimpan potensi sumber daya
hayati. Salah satu sumberdaya itu adalah Bivalvia dari Filum Molusca dengan
jenis Batissa Violacea Celebensis yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan
sebutan Kerang Pokea.
Sungai Pohara merupakan habitat Kerang Pokea yang banyak digunakan
masyarakat setempat untuk menunjang kehidupan sehari-hari mereka seperti
sebagai sumber air minum, mandi dan sebagai daerah pertambangan pasir.
Sungai Pohara juga digunakan sebagai tempat pembuangan limbah baik limbah
rumah tangga maupun limbah industri seperti industri pengolahan sagu berskala
rumah tangga.
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberadaan Kerang Pokea
dan penunjang pertumbuhan dan perkembangannya adalah ketersediaan makanan
1
yang kontinyu disuatu perairan, sehingga kerang tersebut dapat melanjutkan
kehidupannya dengan baik.
Sebenarnya kulit kerang pokea memiliki manfaat yang baik akan tetapi
karena keterbatasan pengetahuan masyarakat setempat dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi maka kulit kerang pokea ini yang seharusnya
memiliki manfaat baik justru menimbulkan dampak yang buruk karena hanya
dijadikan sebagai limbah atau sampah dapur akibatnya terjadi pencemaran tanah
yang mengakibatkan tumbuhan yang berada di sekitar limbah itu tidak dapat
tumbuh dengan baik.Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat
ternyata dulunya kulit kerang pokea dimanfaatkan sebagai obat tradisional
masyarakat setempat untuk memutihkan dan memperkuat email gigi. Namun
dengan hadirnya prodak-prodak hasil teknologi sehingga jarang lagi ditemukan
masyarakat setempat menggunakannya sebagai obat tradisional.
Penelitian kerang pokea yang berada di daerah Pohara sebenarnya telah
diteliti oleh beberapa peneliti sebelumnya diantaranya adalah (Nurfatmah, 2006)
tentang kebiasaan hidup dan kebiasaan makanan kerang pokea. Sampai saat ini
belum ada yang pernah meneliti tentang kulit kerang dari organisme ini. Kulit
memiliki manfaat yang sangat penting karena memiliki kadar kalsium karbonat
(CaCO3 )dalam kadar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan batu gamping,
cangkang telur, keramik, atau bahan lainnya selain memperkuat email dan
memutihkan gigi juga dapat digunakan sebagai solusi pencegah terjadinya
2
pencemaran polutan ion logam dalam air yaitu dengan cara menjadikan cangkang
sebagai serbuk lalu dituangkan secara bersamaan dengan asam klorida (HCL)
kedalam air yang tercemar, sehingga hasilnya air dan endapan ion logam akan
terpisah. Selain ini juga kulit kerang pokea belum diketahui dengan pasti, oleh
karena itu peneliti menganggap menjadi sangat penting dijadikan rujukan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang kerang pokea dimasa yang akan datang.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis melakukan penelitian yang
berjudul “Pengaruh Temperatur Pemanasan Terhadap Nilai Subsetibilitas
Kulit Kerang Pokea (Batissa violacea celebensis) Di Sungai Pohara
Kabupaten Konawe”.
1.2 Batasan Masalah
Permasalahan pada penelitian ini dibatasi pada pengaruh temperatur
terhadap nilai suseptibilitas kulit kerang pokea (Batissa violacea celebensis) di
Sungai Pohara Kabupaten Konawe yang diambil secara acak dari sungai pohara.
1.3 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian adalah“Bagaimanakah pengaruh
temperatur pemanasan terhadap nilai suseptibilitas kulit kerang pokea (Batissa
violacea celebensis) di sungai Pohara Kabupaten Konawe ?”
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui pengaruh temperatur
pemanasan terhadap nilai suseptibilitas kulit kerang pokea (Batissa violacea
celebensis) di sungai Pohara Kabupaten Konawe.
3
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan infomasi mengenai pengaruh pengaruh temperatur pemanasan
terhadap nilai suseptibilitas kulit kerang pokea (Batissa violacea celebensis)
di sungai Pohara Kabupaten Konawe.
2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kabupaten Konawe untuk
memanfaatkan kulit kerang Pokea yang dapat mengurangi limbah menjadi
bahan yang lebih bermanfaat.
3. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada peneliti dan mahasiswa yang
memprogramkan mata kuliah Ilmu Pengetahuan Alam Bumi dan Antariksa
(IPBA) serta mata kuliah lain yang relevan.
4. Sebagai acuan bagi peneliti selanjutnya.
4
BAB IIKAJIAN PUSTAKA
2.1 Kerang Pokea
a. Klasifikasi
Kerang jenis B Violaceacelebensis merupakan salah satu jenis kerang
yang hidup perairan tawar. Menurut Dharma (1988), klasifikasi B. violacea
celebensis adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Molusca
Kelas : Bivalvia
Sub Kelas : Eulamellibranchiata
Ordo : Eulamellibranchia
Famili : Corbiculidae
Genus : Batissa
Spesies : Batissa violacea celebensis
Nama daerah : Kerang Pokea
b. Morfologi dan Anatomi
Seperti kerang pada umumnya, kerang pokea merupakan jenis bivalvia
yang hidup pada dasar perairan dan mempunyai ciri khas yaitu ditutupi oleh
dua keping cangkang (valve) yang dapat dibuka dan ditutup karena terdapat
sebuah persendian berupa engsel elastic yang merupakan penghubung kedua
valve tersebut (sugiri, 1989).
5
Gambar 2.0. Batissa Violacea Celebensis
Kerang jenis Batissa mempunyai panjang maksimum 15 cm dan pada
umumnya 10 cm (Jeremy, 2006). Kerang ini mempunyai dua buah cangkang
yang dapat membuka dan menutup dengan menggunakan otot aduktor dalam
tubuhnya. Cangkang pada bagian dorsal tebal dan bagian ventral tipis.
Cangkang ini terdiri atas 3 lapisan, yaitu (1) periostrakum adalah lapisan
terluar dari kitin yang berfungsi sebagai pelindung (2) lapisan prismatic
tersusun dari Kristal-kristal kapur yang berbentuk prisma, (3) lapisan nakreas
atau sering disebut lapisan induk mutiara,tersusun dari lapisan kalsit
(karbonat) yang tipis dan paralel.
Puncak cangkang disebut umbo dan merupakan bagian cangkang yang
paling tua. Garis-garis melingkar sekitar umbo menunjukan pertumbuhan
cangkang. Mantel pada pelecypoda berbentuk jaringan yang tipis dan lebar,
menutup seluruh tubuh dan terletak di bawah cangkang (Suwignyo, 2005).
Selanjutnya oleh Dharma (1992) dijelaskan bahwa beberapa kerang ada yang
memiliki banyak mata pada tepi mantelnya. Banyak diantaranya mempunyai
6
banyak insang. Umumnya memilikikelamin yang terpisah,tetapi diantaranya
ada yang hermaprodit dan dapat berubah kelamin.
Organisme ini mempunyai kaki yang berbentuk seperti kapak pipih
yang dapat dijulurkan keluar . kaki kerang berfungsi untuk merayap dan
menggali lumpur atau pasir. Kerang bernafas dengan dua buah insang dan
bagian mantel. Insang ini berbentuk lembaran-lembaran (lamela) yang banyak
mengandung batang insang. Antara tubuh dan mantel terdapat rongga mantel
yang merupakan jalan keluar masuknya air.
c. Habitat dan penyebaran
Menurut Hegner (1956) dalam Jasin (1992) kerang air tawar yang
termasuk dalam family unionidae hanya ditemukan diperairan air tawar.
Kerang ini hidup didalam pasir atau lumpur, pada hilir dan dasar sungai atau
muara sungai, di perairan payau dan perairan air tawar yang berarus
(Jeremy,2006).
Umumnya family curbicula dapat ditemukan pada substrat yang
menyediakan O2 yang baik seperti pada pasir kasar atau campuran pasir dan
kerikil (Mahon, 1978 dalam Bahtiar, 2005).
B.Violacea adalah moluska air tawar yang daerah penyebarannya
meliputi bagian barat pasifik (Malaysia, Fiipina, Papua Nugini, Australia
Barat daya) dan berbagai daerah lainnya di pasifik (Morton 1989). Menurut
Sastrapradja (1977), B.Violacea, Lamarck tersebar di asia Tenggara dan
7
Australia Utara. Secara geografis, di Indonesia tersebar di Sumatera, Jawa
(Sastrapradja, 1977), Papua Barat (Djajasasmita, 1977) dan Sulawesi.
Selanjutnya oleh Whitten dkk (1987) menyatakan bahwa genus Batissa
banyak ditemukan di perairan Sulawesi. Organisme ini bersifat endemik yaitu
hanya ditemukan diperairan tertentu dengan kondisi yang sesuai dengan
kebiasaannya.
d. Kebiasaan Makanan
Makanan mmpunyai fungsi yang penting dalam kehidupan organisme.
Pengetahuan tentang kebiasaan makanan memberikan jawaban hubungan
ekologi diantara organisme suatu perairan (effendie, 1979).
Burky (1980) dalam bahtiar (2005) menyatakan bahwa ketersediaan
makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
populasi organisme bivalvia. Makanan yang tersedia tersebut dimanfaatkan
oleh organisme untuk dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang karena
adanya energy yang berasal dari makanan. (Nykolsky, 1963 dalam Bahtiar,
2005).
Selanjutnya Effendie (1997) menyatakan bahwa penilaian kesukaan
organism perairan terhadap makanannya sangat relative. Beberapa faktor yang
harus diperhatikan dalam hubungan ini adalah faktor penyebaran organisme
makakan, faktor ketersediaan makanan, faktor pilihan dari organisme itu
sendiri serta faktor-faktor fisik yang mempengaruhi perairan.
8
Kebiasaan makanan Bivalvia, terdiri dari penyaring makanan
(suspension feeder atau filter feeder ) dan pemakan endapan (deposit feeder).
Organisme filter feeder dipengaruhi ketersediaan detritus organik dalam
sedimen (priscoll dan Brandon, 1973 dalam setyawati, 1986).
Sistem pencernaan Bivalvia terdiri dari alat-alat penyaring makanan
berupa insang yang demikian halus dan tak bergigi. Sistem pencernaan kerang
dimulai dari mulut, kerongkongan, lambung, usus dan akhirnya bermuara
pada anus. Anus ini terletak disaluran yang sama dengan saluran untuk
keluarnya air. Makanan kerang adalah hewan-hewan kecil yang terdapat
dalam perairan serupa protozoa, diatom dan lain-lain. Pada makanan tersebut
selain terdapat kalsium karbonat juga terdapat pigmen yang merupakan zat
pembuat warna dari cangkang. Makanan dapat mempengaruhi warna serta
corak cangkangnya (Dharma, 1988).
Mekanisme cara makan kerang adalah dengan memasukkan air
kedalam tubuhnya melalui siphon ventral karena adanya gerakan silium-
silium dipermukaan tubuh. Makanan dan oksigen dilewatkan melalui insang
dan karena insang itu berlubang-lubang, maka air tersebut dilewatkan kekanal
subprabranchial di atas insang, yang akhirnya keluar melalui siphon dorsal.
Baik oksigen maupun makanan akan terbawa oleh aliran air tadi. Partikel-
partikel makanan disaring keluar dan terperangkap oleh lendir bersama-sama
menuju pulp, tempat dilakukannya pemisahan material yang berguna dan
tidak berguna. Makanan yang sesuai akan dibawa memasuki mulut dan
dicerna. Proses ini menyebabkan terkumpulnya plankton, bakteri, senyawa
9
kimia dan partikel kecil lainnya didalam saluran pencernaan kerang (Davis,
1995). Makanan ini dicerna dilambung dengan bantuan getah pencernaan dan
hati. Sisa-sisa makanan dikeluarkan melalui anus.
Menurut Setyobudiandi (2000), makanan kerang pada fase larva
berbeda dengan makanan pada fase dewasa. Pada fase larva makanan yang
dikonsumsi berukuran renik seperti detritus, bakteri dan mikroorganisme.
Setelah dewasa makanannya berupa partikel-partikel yang berukuran relative,
besar diatom, protozoa, potongan hewan yang lebih besar maupun krustasea
kecil yang planktonik.
e. Kualitas Air
1) Kecepatan Arus
Kecepatan arus sangat besar pengaruhnya terhadap komunitas,
perairan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini karena
kecepatan arus menentukan keadaan habitat alamiah dari perairan (Suprapti,
1995 dalam Kusdiana 2001). Arus dapat menguntungkan organisme akuantik
karena membawa makanan, oksigen, dan lain sebagainya, tetapi juga
menyebabkan ketidakseimbangan dasar perairan yang lunak seperti dasar
perairan berpasir atau berlumpur. Organism akuantik yang hidupnya menetap
pada suatu subtract membutuhkan arus yang dapat membawakan makanan.
Arus juga berperan dalam penyebaran gas-gas vital, gas-gas mineral
dan jasad-jasad sebagi bahan organism yang berada didasar suatu sungai. Arus
yang cepat akan membahayakan tempat hidup hewan biasanya hidup di dalam
10
lumpur dan hewan perayap di dasar perairan (Arinardi, 1978 dalam
Setyawaty, 1986)
Kecepatan arus akan menentukan tipe sedimen suatu perairan (Gay,
1981 dalam Efriyeldi, 1997). Arus perairan juga berperan dalam penyebaran
spat, kerang, suplai makanan dan proses penempelan larva
(Setyobudiandi.2000)
2) Kecerahan
Kecerahan air merupakan ukuran kejernihan suatu perairan, semakin
tinggi kecerahan suatu perairan, maka semakin dalam cahaya menembus ke
dalam air. Kecerahan penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis
yang terjadi di perairan secara alami (Efendi, 1999).
Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh kandungan sedimen
tersuspensi dan bahan-bahan kimia yang terdapat di dalam air (Arsyad, 1989
dalam Saharuddin, 2003) keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan
kepadatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran
(Effendi,2003). Kecerahan yang rendah biasanya terjadi pada daerah yang
berlumpur (Hutabarat dan Evans, 1986).
Kandungan lumpur dapat mempengaruhi organism baik melalui
makanan, cahaya ataupun dasar tempat hidupnya (arinardi, 1978).
3) Suhu
Suhu air merupakan salah satu faktor penting yang memperngaruhi
kualitas perairan. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang,
ketinggian, dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penuputan
11
awam dan aliran serta kedalaman badan air. (Haslan, 1995 dalam Effendi
2003). Selain itu pula juga berpengaruh terhadap peningkatan metabolism dan
respirasi organisme air yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan
konsumsi oksigen. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya
peningkatan dekomposisi bahan organic oleh mikroba. Beberapa studi
melaporkan batas suhu yang paling tinggi dari family Corbicula di atas 300 C
dapat mengahambat pembebasan Juvenil ke perairan, pada suhu yang rendah
akan menurunkan pertumbuhan Corbicula (Abbot, 1979 dalam Bahtiar, 2005).
4) Nilai PH
Derajat kesamaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
spesiasi unsure-unsur kimia. Derajat keasaman akan mempengaruhi BOD5
ketersediaan fosfat, nitrogen, silikat serta unsure nutrient lainnya di perairan
(Dodlijo dan Best, 1993 dalam bahtiar, 2005)
Selanjutnya Notohadiprawiro (1986) dalam ilham (1999) menjelaskan
hubunagn antara pH dan bahan organic, yaitu nilai pH yang terlalu rendah
menghambat kelancaran perombakan bahan organic. Sebaliknya perombakan
bahan organic menjadi lancer apabila pH tinggi.
5) Kedalaman
Kedalaman perairan merupakan salah satu faktor yang memperngaruhi
keberadaan organism. Vakily (1989) dalam Bahtiar (2005) menyatakan bahwa
dengan bertambahnya kedalaman maka ketersediaan makanan menjadi faktor
pembatas bagi fitoplankton yang menjadi makanan kerang muda (spat)
sehingga kerang banyak tumbuh dekat permukaan air.
12
6) Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut Merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan
tanaman dan hewan di dalam air. Kehidupan makhluk di dalam air tersebut
tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen
minimal yang dibutuhkan untuk kehidupan (Fardiaz, 1992). Oksigen
merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang
terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi
air, dan tekanan atmosfir (Odum, 1996).
Schmitz (1971) dalam alfan (1995) menggolongkan kualitas air
berdasarkan kandungan oksigen terlarut seperti tertera pada Tabel 2.0.
Tabel 2.0. Kualitas air berdasarkan kandungan oksigen terlarut (Schmitz, 1971
dalam Alfan, 1995)
Oksigen terluar Kualitas air
> 8
6
4
2
< 2
Sangat baik
Baik
Kritis
Buruk
Sangat buruk
7) Substrat
Karakteristik substrat akan mempengaruhi morfologi, fungsional,
tingkah laku serta nutrient hewan bentos. Ukuran partikel sedimen /substrat
13
berperan penting dalam menentukan jenis hewan bentos (Levinton, 1982
dalam bahtiar, 2005). Hewan bentos seperti Bivalvia dapat beradaptasi
sesuai dengan tipe substratnya. Adaptasi terhadap substrat ini akan
menentukan morfologi, caramakan dan adaptasi fisiologis Bivalvia terhadap
suhi dan faktor kimia lainnya (Bayne, 1976 dalam Bahtiar, 2005).
Umumnya family corcibula dapat ditemukan pada substrat yang
menyediakan oksigen yang baik seperti pada pasir kasar atau campuran pasir
dan kerikil (Mahon, 1978 dalam bahtiar, 2005).
2.2 Suseptibilitas/Kerentanan Magnetik dan Manfaat CaCO3
A. Pengertian Suseptibilitas
Suseptibilitas adalah kemampuan untuk dengan mudah memberikan
respons terhadap kerja atau gaya; kerentanan. Kerentanan magnetik adalah
pengukuran yang tidak merusak dan biaya efektif metode penentuan keberadaan
besi tanah mineral di sedimen. Seluruh inti, individu atau endapan contoh,
dihadapkan ke eksternal magnetik field yang menyebabkan sedimen menjadi
magnetized menurut jumlah Fe tanah mineral hadir dalam sampel
Kerentanan magnetik adalah ukuran kemudahan yang tertentu sedimen
yang magnetized bila terkena magnetis ke lapangan. Kemudahan proses
mengisikan maknit yang akhirnya berkaitan dengan konsentrasi dan komposisi
(ukuran, bentuk dan mineralogi) dari bahan magnetizable didalam
sampel. http://problem-fisika.blogspot.com/2009/04/suseptibilitas-magnetik-
k erentanan.html
14
Suseptibilitas magnetik adalah ukuran dasar bagaimana sifat kemagnetan
suatu bahan yang merupakan sifat magnet bahan yang ditunjukkan dengan
adanya respon terhadap induksi medan magnet yang merupakan rasio antara
magnetisasi dengan intensitas medan magnet. Dengan mengetahui nilai
suseptibilitas magnetik suatu bahan, maka dapat diketahui sifat-sifat magnetik
lain dari bahan tersebut. m adalah suseptibilitas magnet bahan (besaran tidak
berdimensi). http://kartika17.tripod.com/
Suseptibilitas magnetik merupakan suatu besaran yang memegang peranan
penting didalam melakukan interpretasi data anomali geomagnetik secara
kualitatif dan kuantitatif. Pengukuran yang biasanya tidak dilakukan di lapangan.
Kalaupun demikian pengukuran ini hanya dapat dilakukan terhadap singkatan
batuan ataupun contoh-contoh batuan. Respon kuantitatif data geomagnet sangat
ditentukan oleh komposisi mineral-mineral yang bersifat magnetik pada batuan
harga χ semakin besar jika jumlah mineral magnetiknya banyak dirumuskan
sebagai :
χ = I/H ………………………. (2)
Dimana I adalah induksi magnet dan H adalah intensitas medan magnet
(Bijaksana, 2002).
B. Manfaat CaCO3
CaCO3 dalam kehidupan biasa digunakan sebagai campuran pembuatan
gelas, bubuk pembersih, pembunuh serangga dan jamur, pengisi aspal dan karet,
campuran pembuatan makanan unggas, penyerap kotoran binatang, pupuk dan
15
penyarang tanah, serta pencegah ledakan dan penahan rambatan api dalam
tambang batu bara.
Penggunaan Kapur tohor (CaO) setelah mengalami proses pembakaran
(oksidasi ) yaitu sebagai pemurni gula, pemurni gas, dicampur dengan kokas
(batu bara atau minyak) untuk pembuatan karbit, dicampur dengan Fluorspar dan
soda digunakan untuk industri logam, penyerap air dalam gas, minyak dan bahan
pelarut serta digunakan sebagai pupuk dan menetralkan tanah dari ke asaman.
Penggunaan Larutan Kapur mati (Ca(OH)2) antara lain : 1).Pembuatan
aksida Ethylin, perantara aktif untuk plastik dan deterjen, 2).Pelapis kertas yang
mengkilap, 3).Dicampur dengan khlorin untuk pembuatan larutan pembersih
tekstil , 4).Pembuatan PCC untuk tapal gigi, kosmetik dan tablet, 5).Pemurni
bijih logam dan pebuatan garam-garam bukan besi, 6).Campuran untuk cat dan
vernis, 7).Campuran obat-obatan seperti penisilin atau aspirin, 8).Penyamaan
kulit dan penghilang bulu, dan 9).mengekstrak manesis dari air laut.
C. Sifat Magnetik Bahan
Besar induksi magnet (B) yang dialami bahan adalah gabungan dari
pengaruh magnetisasi (M) bahan tersebut dan medan magnet yang mengenainya
(H). hubungan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
B = 0 (H + M)
dimana 0 adalah permeabilitas dalam ruang hampa (1,26 x 10-6 H/m).
Secara umum dapat ditulis harga permeabilitas di ruang yang tidak hampa
sebagai berikut :
16
=
BH
Permeabilitas relatif r merupakan perbandingan antara permeabilitas ruang
yang tidak hampa dan dalam ruang hampa 0, yaitu :
μr=βμ0
Hubungan antara permeabilitas relatif (r) dengan suseptibilitas adalah sebagai
berikut :
r = + 1
Besar dan arah medan induksi terhadap medan penginduksi mempunyai
nilai yang bervariasi tergantung dari bahan yang digunakan. Parameter yang
menunjukkan pengaruh di atas disebut suseptibilitas (Buttler, 1992). Hubungan
medan magnet H dan magnetisasi M pada bahan adalah :
M = H
Mineral alam dikelompokkan berdasarkan nilai dalam tiga kategori, yakni
diamagnetik, paramagnetik, dan ferromagnetik.
Magnetisasi pada bahan umumnya bergantung pada medan magnetik,
namun terdapat sebagian kecil bahan yang dapat memiliki magnetisasi secara
spontan tanpa kehadiran medan magnet luar. Magnetisasi yang dimiliki oleh
bahan dapat disebabkan oleh dua hal yakni magnetisasi yang hanya ada jika ada
medan magnet luar yang mempengaruhinya (magnetisasi induksi) dan
magnetisasi yang ada walaupun medan magnet luar ditiadakan (magnetisasi
17
remanen). Magnetisasi pada dasarnya adalah momen yang ditimbulkan oleh
gerakan orbital spin sebuah elektron dan interaksi elektron tersebut dengan
elektron-elektron lainnya.
Beberapa bentuk proses magnetisasi seperti terlihat pada gambar 2.1 yang
menunjukkan bagaimana magnetisasi (panah kosong) yang terjadi pada masing-
masing kelompok material saat dikenai medan magnet (panah besar tebal) dan
saat medan magnet tersebut dihilangkan. Berdasarkan respon material terhadap
medan magnet yang diberikan, material diklasifikasikan menjadi diamagnetik,
paramagnetik dan ferromagnetik (Ngkoimani, 2005).
Gambar 2.1. Magnetisasi pada bahan
1. Diamagnetik
Mineral alam yang tidak mempunyai momen magnetik permanen di dalam
atom-atomnya disebut bahan diamagnet. Atom-atom bahan diamagnet
mempunyai kulit elektron yang terisi penuh yaitu setiap elektron berpasangan
18
dan mempunyai spin yang berlawanan dalam tiap pasangan, sehingga tidak
mempunyai pola momen magnet. Nilai suseptibilitas pada bahan diamagnetik
adalah kecil dan negatif, yaitu sekitar -10-5 dalam satuan SI (Jiles, dkk, 1996).
Nilai suseptibilitas ini akan konstan pada temperature tetap dan dalam keadaan
magnetik yang lemah.
Jika ada medan magnet dari luar yang menginduksi bahan itu, maka
elektron tersebut akan berputar dan menghasilkan medan magnet yang lemah
yang melawan medan penginduksinya. Oleh karena itu, bahan diamagnetik
mempunyai suseptibilitas negatif dan tidak bergantung pada medan H. Dari
gambar 2.1 (a) tampak bahwa sebelum bahan dikenakan medan luar (H=0), arah
momen magnetiknya bersifat acak. Jika padanya dikenakan medan luar (H≠0),
yang ditandai dengan panah hitam besar, maka arah momen magnetiknya (panah
putih besar) melawan arah medan luar. Setelah medan luar dihilangkan, maka
arah momen magnetiknya kembali besifat acak. Nilai suseptibilitas pada bahan
ini kecil dan negatif.
2. Paramagnetik
Kelompok kedua dari mineral di alam adalah paramagnetik. Didalam bahan
paramagnetik terdapat kulit elektron terluar yang belum penuh yakni ada elektron
yang spinnya tidak berpasangan. Jika terdapat medan magnet luar, spin tersebut
akan membuat putaran menghasilkan medan magnet yang searah dengan medan
magnet.
Gambar 2.1 (b) menunjukkan bahwa sebelum bahan paramagnetik
dikenakan medan luar (H=0), arah momen magnetiknya bersifat acak. Pada saat
19
dikenakan medan luar (H≠0), yang ditandai dengan panah hitam besar, arah
momen magnetiknya (panah putih besar) searah dengan medan luar dan
termagnetisasi dengan lemah. Jika medan luar dihilangkan, maka arah momen
magnetiknya kembali bersifat acak, sehingga suseptibilitas pada bahan ini
bernilai positif dan nilainya sangat kecil.
3. Ferromagnetik
Mineral magnetik yang paling penting adalah ferromegnetik. Pada bahan
ferromagnetik terdapat banyak kulit elektron yang hanya diisi satu elektron
sehingga mudah terinduksi oleh medan luar (Pranowo, 2006).
Gambar 2.1(c) menunjukkan bahwa pada saat bahan ferromagnetik
dikenakan medan luar (H≠0), yang ditandai dengan panah hitam besar, arah
momen magnetiknya tetap searah dengan medan luar. Jika medan luar ditiadakan
(H=0), maka arah momen magnetiknya tetap sejajar dengan medan luar dan
bahan ferromagnetik menjadi termagnetisasi dengan sangat kuat. Nilai
suseptibilitas pada bahan ini sangat besar, jauh lebih besar dibanding
suseptibilitas mineral paramagnetik dan diamagnetik. Fenomena lain dari bahan
ferromagnetik adalah terdapat sifat-sifat tertentu yaitu antiferromagnetik dan
ferrimagnetik.
Setiap mineral magnetik memiliki nilai suseptibilitas yang berbeda-beda.
Tabel 2.1 berikut menunjukkan nilai suseptibilitas untuk beberapa mineral
magnetik dan mineral non magnetik.
20
Tabel 2.1. Suseptibilitas magnetik dari berbagai bahan mineral (Bijaksana, 2002).
Tipe Mineral Sifat Magnetik Suseptibilitas Magnetik
Volume (x 10-6 SI) Massa (x 10-8
m3/kg)
A. Mineral MagnetikMagnetiteHematiteMaghemiteIlmenitePyritePyrhotiteGeothite
B. Non MagnetikKuarsaKalsitHaliteGalena
FerrimagnetikAntiferromagnetikFerrimagnetikAntiferromagnetikFerrimagnetikFerrimagnetikAntiferromagnetik
1.000.000-5.700.000500-40.000
2.000.000-2.500.0002.200-3.800.000
35-5.0003.200.000
1.100-12.000
-(13-17)-(7,5-39)-(10-16)
-33
20.000-110.00010-760
40.000-50.00046-80.000
1-10069.00026-280
-(0,5-0,6)-(0,3-1,4)
-(0,48-0,75)-0,44
Zemansky (1964) menjelaskan bahwa magnetisasi suatu bahan bergantung
pada medan magnetik H dan kepada sifat bahan yang bersangkutan.
Suseptibilitas magnetik itu sama dengan magnetisasi per satuan medan magnet.
Suseptibilitas magnetik beberapa bahan paramagnetik dan diamagnetik menurut
Zemansky (1964) dapat dilihat pada tabel berikut:
21
Tabel 2.2. Suseptibilitas bahan paramagnetik dan diamagnetik (Zemansky,1964).
Bahan Suseptibilitas Magnetik (x 10-5)
A. ParamagnetikBesi Amonium SulfatOksigen CairanCampuran Besi AmoniumUraniumPlatinaAluminiumNatriumOksigen Gas
B. DiamagnetikBismutRaksaPerakKarbon (intan)Timah HitamTembaga
48301526640262,20,720,19
-16,9-2,9-2,6-2,1-1,8-1,0
Kemampuan logam ferromagnetik untuk memusatkan garis gaya medan
yang diterapkan memiliki nilai praktis penting dan meski material seperti ini
mengalami magnetisasi dan demagnetisasi dengan mudah; kemudahan tersebut
menentukan kegunaannya di berbagai bidang rekayasa. Material secara umum
dapat diklasifikasikan sebagai magnet lunak (magnet sementara) atau magnet
keras (magnet permanen). Perbedaan kedua tipe magnet tersebut dapat
dijabarkan pada gambar berikut.
22
Gambar 2.2 Kurva B-H untuk (a) magnet lunak dan (b) magnet keras.
H adalah medan magnetik yang diperlukan untuk menginduksi medan yang
berkekuatan B dalam material. Setelah medan H ditiadakan, dalam spesimen
tersisa magnetisme residual Br, yang disebut residual remanens, dan diperlukan
medan magnet Hc yang disebut gaya koersif, yang harus diterapkan dalam arah
berlawanan untuk meniadakannya. Magnet lunak mudah dimagnetisasi serta
mudah pula mengalami demagnetisasi, seperti tampak pada gambar 2.2a. Nilai H
yang rendah sudah memadai untuk menginduksi medan B yang kuat dalam
logam, dan diperlukan medan Hc, yang kecil untuk menghilangkannya. Magnet
keras adalah material yang sulit dimagnetisasi dan sulit di-demagnetisasi (gambar
2.2b).
23
2.3 Pengaruh Pemanasan Terhadap Nilai Suseptibilitas
Pemanasan dapat memberikan peninkatan atau penurunan nilai
suseptibilitas suatu bahan atau mineral. Kasmiati (2001) dalam penelitiannya
menyimpulkan pemanasan terhadap lempung mempengaruhi nilai
suseptibilitasnya. Pembakaran pada suhu <5000C menyebabkan peningkatan nilai
suseptibiltas sedangkan pembakaran pada suhu >5000C menyebabkan penurunan
nilai suseptibilitas. Pemanasan pada material dapat mempengaruhi sifatnya,
perubahan sifat disebabkan perubahan kandungan materialnya
Gambar 2.3 Variasi Nilai Suseptibilitas dengan Temperatur
Hubungan antara suseptibilitas dengan Temperatur adalah:
dimana C adalah Konstanta Curie bahan.
Apabila dipanaskan di atas temperatur Kritis, suseptibilitasnya
digambarkan sebagai:
24
Dimana өN adalah Temperatur Neel Paramagnetik (Bahtiar : 2007 : 113).
2.4 Konversi Khusus Satuan yang Berkaitan dengan Suseptibilitas
Tabel 2.3 konversi khusus antara satuan SI dengan cgs pada beberapa parameter (Ngkoimani, 2005)
Parameter Sistem SI
Sistem cgs Konversi
Momen magnetic (m) Am² emu 1 Am² = 10³ emu
Magnetisasi (M) Am-1 emu cm-3 1 Am-1 = 10-3 emu cm-3
Medan Magnetik (H) Am-1 Oersted (oe) 1 Am-1 = 4π x 10-3 oe
Induksi Magnetik (B) T Gauss (G) 1 T = 104 G
Permeabilitas ruang hampa
Hm-1 1 4π x 10-7 Hm-1 = 1
Suseptibilitas (χ)Total (m/H)Volume (M/H)Massa (m/mH)
m3
-m3
emu oe-1
emu oe-1 oe-1
emu g-1 oe-1
1 m3 = 106/4π emu oe-1
1 S.I = 1/ 4π emu oe-1 oe-1
1 m3 kg-1 = 103/4π emu g-1 oe-1
2.5 Penelitian Yang Relevan
Kasmiati (2001) dalam penelitiannya menyimpulkan pemanasan
terhadap lempung mempengaruhi nilai suseptibilitasnya. Pembakaran pada
temperatur <5000C menyebabkan peningkatan nilai suseptibiltas sedangkan
pembakaran pada temperatur >5000C menyebabkan penurunan nilai
suseptibilitas.
Abdul Mujahid Hamdan (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan
Pengaruh Temperatur Pemanasan terhadap Nilai Suseptibilatas Magnetik Pasir
25
Besi di Kabupaten Buton Utara. Pemanasan pada temperatur >5000C pada pasir
besi dari Kambowa, >4000C dan >5000C pasir besi dari Laea untuk masing-
masing ukuran bulir 100 Mesh dan 30 Mesh, menyebabkan nilai sueptibilitas
menurun dengan ekstrim, dan diduga mineral yang dominan dikandung di atas
temperatur tersebut adalah Hematite (α-Fe2O3).
Syarifudin (2010) melakukan penelitian mengenai Analisis kandungan
Mineral Cangkang kerang pokea (Batissa violacea celebensis) di Sungai Pohara
Kabupaten Konawe dengan Metode X-Ray Diffraction (XRD) dimana
kandungan minaral pada kulit kerang didominasi kalsium karbonat dan
didampingi oleh mineral lainya, seperti silikon oxide, titan, alumunium oxide,
magnesium oxide, iron phosphorus, dan copper pada setiap lokasi pengambilan
sampel.
Ruslan (2010) melakukan penelitian tentang Analisis kandungan mineral
Cangkang kerang Darah dengan Metode XRF dimana kandungan mineral kerang
darah adalah kalsium karbonat dan tidak ada pengaruh habitat dan ukuran
cangkang terhadap persentase kandungan kalsium karbonat yang terkandung
dalam cangkang darah tersebut.
.
26
BAB IIIMETODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Desember 2010. Preparasi
dan pemanasan sampel dilakukan di Laboratorium Pengembangan Fisika dan
Kimia FKIP Universitas Haluoleo. Pengukuran suseptibilitas Magnetik dilakukan
di Laboratorium Program Studi Geofisika Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
3.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen
laboratorium. Sampel yang berasal dari lokasi penelitian diberi perlakuan dengan
memanaskan pada suhu tertentu kemudian diukur nilai suseptibilitas
magnetiknya di laboratorium.
3.3 Definisi Operasional
Agar tidak terjadi bias pemaknaan maka peneliti perlu memberikan
beberapa definisi berikut:
1. Kerang adalah semua moluska bivalvia yang hidup di air tawar, dasar laut,
danau, kolam atau sungai yang banyak mengandung zat kapur.
2. Kerang Pokea adalah Kerang jenis B Violaceacelebensis merupakan salah
satu jenis kerang yang hidup perairan tawar sungai pohara di konawe
selatan.
27
3. Pemanasan adalah perlakuan terhadap sampel dimana sampel dinaikkan
temperatur dengan menggunakan alat pemanas yang dapat dikontrol
suhunya.
3.4 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
Tabel 3.1 Alat dan Bahan yang digunakan
No Alat Fungsi
123
4
5
67
89101112
PlastikSaringan 100 dan 30 MeshGelas Kimia
Plastik Packing
Wadah Plastik 10 cc
TanurKapsul
Neraca Ohaus DigitalCawan PetriKertas LabelGegepMortar
Menyimpan sampelMenyaring sampelMenyimpam sampel yang telah disaringUntuk menyimpan sampel yang telah dipanaskanSebagai kontainer sampel di dalam sensorPemanasMenyimpan sampel saat dilakukan preparasiMenimbang sampelWadah sampel di dalam TanurUntuk PelabelanMengambil sampel dari TanurSebagai pengerus sampel
No. Bahan Fungsi
123
Kulit Kerang PokeaAlkoholLem silikon
Sebagai sampel penelitianMembersihkan MortarUntuk menegakkan posisi kapsul di dalam kontainer
28
3.5 Prosedur Penelitian
1. Pengambilan Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah sampel yang telah diambil dari
lokasi penelitian oleh peneliti lainnya. Metode pengambilan sampel yang
dilakukan oleh peneliti sebelumnya adalah Random Spatial of Patern. Setiap
Lokasi diambil sampel pada tiga titik yang dipilih secara acak. Lokasi
pengambilan pasir memiliki kecerahan air 28 cm, suhu 23,7 oC, dan kuat arus
0,3 m/s. Lokasi PAM memiliki kecerahan air 19 cm, suhu 28,5 oC, dan kuat
arus 0,1 m/s. Lokasi muara sungai memiliki kecerahan air 14 cm, suhu 29,2 oC,
dan kuat arus 0,1 m/s.
2. Pengeringan Sampel
Sampel dijemur di bawah sinar matahari, agar sampel kering dan dapat
dengan mudah dikerus.
3. Preparasi Pra Pemanasan
a. Penggerusan Sampel
Penggerusan dilakukan dengan menggunakan mortar. Sampel yang
telah diekstraksi dihaluskan dengan menggunakan mortar. Tujuan dari
penggerusan ini adalah untuk mendapatkan cangkang kerang yang halus
butirannya. Yang perlu diperhatikan dalam penggerusan ini adalah sampel
tidak tercampur dengan benda atau zat yang lain, agar tetap terjaga
kemurnian sampel. Sebelumnya mortar dibersihkan terlebih dahulu setiap
akan dipakai.
29
b. Pengayakan.
Setelah cangkang kerang cukup halus dilakukan penyaringan
terhadap sampel. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan dua
saringan. Penyaringan pertama dengan menggunakan saringan 100 Mesh.
Setelah didapat butiran 100 Mesh dipisahkan di dalam gelas kimia yang
terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan alkohol. Cangkang
kerang yang tidak lolos saringan 100 Mesh selanjutnya disaring dengan
menggunakan saringan 30 Mesh.
c. Pelabelan
Sampel yang telah diekstraksi diberi label berdasarkan tingkat
kehalusan dan lokasi pengambilan sampel.
d. Pemanasan
1) Sampel yang telah diekstraksi dimasukkan ke dalam cawan petri.
2) Sampel dipanaskan dengan variasi temperatur 3000C, 4000C, 5000C,
6000C, 7000C, 8000C.
3) Sampel yang telah dipanaskan didiamkan hingga dapat dipastikan telah
mencapai temperatur kamar.
4) Sampel dimasukkan ke dalam plastik paket yang selanjutnya diberi
label berdasarkan temperatur pemanasan, tingkat kehalusan dan lokasi
pengambilan sampel.
30
4. Preparasi Pasca Pemanasan
a. Sampel pada tiap-tiap label dimasukkan ke dalam kapsul yang sebelumnya
ditimbang massanya.
b. Untuk mendapatkan massa sampel yang masuk kedalam kapsul dilakukan
kembali penimbangan. Sehingga selisih antara massa kapsul yang berisi
cangkang kerang dengan massa kapsul kosong adalah massa cangkang
kerang.
c. Memastikan kontainer dan kapsul yang digunakan merupakan material
nonmagnetik dengan mengukur salah satu kontainer dan kapsul dengan
MS2B yang sebelumnya ditimbang.
d. Setelah dipastikan kontainer dan kapsul yang akan kita gunakan merupakan
material nonmagnetik, kontainer diisi dengan lem silikon hingga seluruh
kontainer terisi penuh dengan lem silikon.
e. Kapsul yang berisi sampel dimasukkan ke dalam kontainer dan dipastikan
kapsul dalam posisi tegak dan tepat berada di tengah kontainer.
Gambar 3.1 Preparat Sampel
f. Sampel diberi label berdasarkan lokasi pengambilan sampel, tingkat
kehalusan dan besar temperatur pemanasan yang diberikan.
g. Lem silikon yang digunakan untuk mempreparasi dibiarkan membeku
berubah menjadi wujud padat.
31
5. Pengukuran Suseptibilitas Cangkang Kerang
a) Sebelum dilakukan pengukuran tempat pengukuran disterilkan dari benda
magnetik yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.
b) Memilih range 0,1, sistem satuan CGS dan LF 465 Hz.
c) Melakukan Cek kalibrasi dengan menggunakan H2O 10 cc dan menguji
kenormalan alat dengan 1% Fe3O4 yang dipreparasi menggunakan resin
dalam kontainer 10cc.
d) Memasukkan sampel kedalam sensor MS2B dengan posisi sampel seperti
pada gambar 3.2
Gambar 3.2 Posisi pengukuran sampel dalam sensor MS2B.
Karena pengukuran ini merupakan pengukuran isotropi, maka arah
pengukuran sampel tidak menjadi faktor yang diperhitungkan. Sehingga
arah pengukuran dapat ditentukan secara acak.
e) Selanjutnya mencatat nilai suseptibilitas yang tertera. Setiap sampel diukur
5 kali sehingga didapat hasil pengukuran rata-rata.
32
f) Selanjutnya sampel lain diberi perlakuan sama dengan langkah pengukuran
di atas.
Gambar 3.3 MS2 dan Sensor MS2B
Pada penelitian ini, suspetibilitas cangkang kerang diukur dengan
menggunakan Bartington Instrumen dengan Alat Magnetic Susceptibility
system (MS2) dengan sensor Tipe MS2B Dual Frerquency. Sensor di
desain untuk sampel yang dpreparasi dengan volume 10 cc.
Berikut merupakan spesifikasi dari MS2B:
Marterial : ABS
Berat : 0,8 kg
Ukuran Keseluruhan : 210x110x143 mm
Kapsitas Diameter Sampel : 36 mm
Frekuensi Saat Beroperasi : LF 0,465 kHz
HF 4,65 kHz
Resolusi Maksimum : 2 x 10-7 CGS (HF dan LF)
33
Akurasi : 1 %
Waktu pembacaan
Pada x 1range CGS : 1,2 s
Pada x 0,1 range CGS : 12 s
Kekuatan Medan : 80 A/m rms
Secara singkat, peralatan ini bekerja karena adanya tegangan yang
diberikan pada rangkaian Osilator sehingga timbul medan magnetik bolak
balik yang berintensitas rendah pada ruang sampel. Adanya sampel pada
ruang sampel akan menyebabkan perubahan frekuensi osilator. Dengan
membandingkan frekuensi osilator saat ruang sampel kosong hanya berisi
udara dan saat ruang sampel diisi oleh sampel, maka diperoleh nilai
suseptibilitas magnetik dari sampel. Apabila pengkuran dilakukan secara
manual tanpa softwert menggunakan persamaan:
x faktor pengali
= nilai suseptibilitas
= nilai yang tertera pada alat.
Massa kalibrasi = 10 g
Berikut tabel faktor pengali MS2:
34
Tabel 3.2 Faktor Pengali Pembacaan Nilai Suseptibilitas
Satuan Berbasis massa ( ) Berbasis Volume ( )
SI 10-8 (m3/kg) 10-5
CGS 10-6 (cm3/g) 10-6
Sensor dikalibrasi dengan air, kerapatan air adalah 1, dan suseptibilitas H2O
adalah -0,72 x 10-6 CGS
(Buku Panduan Operasi manual MS2 Bartington Instrumen).
35
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Hasil Pengukuran Suseptibilitas
Hasil pengukuran yang terbaca pada MS2 selanjutnya di konversi ke
nilai sebenarnya. Sebagai contoh untuk pengukuran pertama pada sampel kulit
kerang di tempat pengambilan pasir yang berbulir 100 Mesh sebelum
dipanaskan: x 10-6 CGS
x 10-6 = -0,29294 x 10-6 CGS
Untuk hasil semua pengukuran yang selanjutnya dapat dilihat pada tabel.
Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang yang berasal dari Daerah Pengambilan Pasir untuk ukuran 100 Mesh.
No Suhu (oC)
Massa Kulit Kerang (gram
Nilai Suseptibilitas Sebenarnya (CGS) x 10-6
1 0 0,75 -0,292942 300 0,751 -0,878833 400 0,542 -0,996314 500 0,681 -0,939795 600 0,613 -0,783036 700 0,68 -0,970597 800 0,431 -2,27378
36
Tabel 4.2 Hasil Pengukuran Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang yang berasal dari Daerah Pengambilan Pasir untuk ukuran 30 Mesh.
No Suhu (oC)
Massa Kulit Kerang (gram
Nilai Suseptibilitas Sebenarnya (CGS) x 10-6
1 0 1,004 -0,34672 300 1,004 -1,055783 400 1,231 -0,601144 500 0,942 -0,849265 600 0,981 -0,672786 700 0,923 -0,888417 800 0,99 -0,84848
Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang yang berasal dari Daerah Perusahaan Air Minum untuk ukuran 100 Mesh.
No Suhu (oC)
Massa Kulit Kerang (gram
Nilai Suseptibilitas Sebenarnya (CGS) x 10-6
1 0 0,751 -0,292942 300 0,711 -1,125183 400 0,624 -0,448724 500 0,944 -0,338985 600 0,721 -0,887666 700 0,892 -0,784757 800 0,631 -1,99683
37
Tabel 4.4 Hasil Pengukuran Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang yang berasal dari Daerah Perusahaan Air Minum untuk ukuran 30 Mesh.
No Suhu (oC)
Massa Kulit Kerang (gram
Nilai Suseptibilitas Sebenarnya (CGS) x 10-6
1 0 0,701 -0,342372 300 0,923 -0,260023 400 1,14 -0,421054 500 0,38 -2,894745 600 0,914 -1,094096 700 0,831 -0,818297 800 0,814 -0,83538
Tabel 4.5 Hasil Pengukuran Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang yang berasal dari Daerah Muara Sungai untuk ukuran 100 Mesh.
No Suhu (oC)
Massa Kulit Kerang (gram
Nilai Suseptibilitas Sebenarnya (CGS) x 10-6
1 0 0,608 -1,192052 300 0,604 -0,260023 400 0,701 -1,340944 500 0,512 -0,898445 600 0,571 -0,385296 700 0,554 -1,299647 800 0,624 -0,76923
38
Tabel 4.6 Hasil Pengukuran Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang yang berasal dari Daerah Muara Sungai untuk ukuran 30 Mesh.
No Suhu (oC)
Massa Kulit Kerang (gram
Nilai Suseptibilitas Sebenarnya (CGS) x 10-6
1 0 0,613 -0,326262 300 1,311 -1,113653 400 1,333 -0,435444 500 1,164 -0,652925 600 0,921 -0,390886 700 0,952 -0,840347 800 0,921 -0,50599
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan MS2 dengan sensor MS2B
diperoleh nilai suseptibilitas yang beragam berdasarkan tempat pengambilan
sampel. Dimana nilai suseptibilitas dari kulit kerang ini bernilai negatif, hal ini
menandakan bahwa kulit kerang merupakan unsur diamagnetik.
Nilai rata-rata suseptibilitas kulit kerang pokea yang berasal dari tempat
pengambilan pasir untuk tingkat kehalusan 100 mesh dan 30 mesh masing-
masing sebesar -0,36911 x 10-8 m3/kg dan -0,43684 x 10-8 m3/kg, dan Nilai rata-
rata suseptibilitas kulit kerang pokea yang berasal di daerah PAM untuk tingkat
kehalusan 100 mesh dan 30 mesh masing-masing sebesar -0,36911 x 10 -8 m3/kg
dan -0,43138 x 10-8 m3/kg sedangkan nilai suseptibilitas kulit kerang pada daerah
Muara untuk tingkat kehalusan 100 mesh dan 30 mesh masing-masing sebesar -
0,49737 x 10-8 m3/kg dan -0,41109 x 10-8 m3/kg.
39
Setelah melakukan pemanasan dengan suhu bervariasi 300oC, 400oC,
500oC, 600oC, 700oC, 800oC nilai suseptibilitas kulit kerang berubah. Nilai
Suseptibilitas kulit kerang yang berasal dari tempat pengambilan pasir dengan
bulir 100 mesh pada suhu 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC
masing-masing sebesar -1,10732 x 10-8 m3/kg, -1,25535 x 10-8 m3/kg, -1,18414 x
10-8 m3/kg, -0,98662 x 10-8 m3/kg, -1,22294 x 10-8 m3/kg dan -2,86497 x 10-8
m3/kg. Sedangkan pada bulir yang 30 mesh pada suhu 300oC, 400oC, 500oC,
600oC, 700oC, dan 800oC masing-masing sebesar -1,33028 x 10-8 m3/kg, -0,75743
x 10-8 m3/kg, -1,07006 x 10-8 m3/kg, -0,84771 x 10-8 m3/kg, -1,11939 x 10-8 m3/kg
dan -1,06909 x 10-8 m3/kg.
Nilai suseptibilitas kulit kerang pada daerah PAM berbulir 100 mesh yang
telah mengalami pemanasan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC
masing-masing sebesar -1,41772 x 10-8 m3/kg, -0,56538 x 10-8 m3/kg, -0,42712 x
10-8 m3/kg, -1,11845 x 10-8 m3/kg, -0,98879 x 10-8 m3/kg dan -2,51601 x 10-8
m3/kg. Sedangkan pada bulir 30 mesh yang telah mengalami pemanasan 300oC,
400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC masing-masing sebesar -0,32763 x 10-8
m3/kg, -0,53053 x 10-8 m3/kg, -3,644737 x 10-8 m3/kg, -1,37856 x 10-8 m3/kg, -
1,03105 x 10-8 m3/kg dan -1,05258 x 10-8 m3/kg.
Kulit kerang yang berasal dari muara sungai yang berbulir 100 mesh yang
telah dipanaskan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC memiliki nilai
suseptibilitas masing-masing sebesar -1,50199 x 10-8 m3/kg, -1,68959 x 10-8
40
m3/kg, -1,13203 x 10-8 m3/kg, -0,48546 x 10-8 m3/kg, -1,63755 x 10-8 m3/kg dan
−0,96923 x 10-8 m3/kg. Sedangkan nilai suseptibilitas pada kulit kerang yang
berbulir 30 mesh yang telah dipanaskan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan
800oC masing-masing sebesar -1,4032 x 10-8 m3/kg, -0,54865 x 10-8 m3/kg,
−0,82268 x 10-8 m3/kg, -0,49251 x 10-8 m3/kg, -1,05882 x 10-8 m3/kg dan -
0,63755 x 10-8 m3/kg.
Gambar 4.1 Grafik Temperatur Terhadap Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang di DaerahTempat Pengambilan Pasir
41
χ(x 10-8)
T (Celcius)
χ(x 10-8)
Gambar 4.2 Grafik Temperatur Terhadap Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang di Daerah Perusahaan Air Minum
Gambar 4.3 Grafik Temperatur Terhadap Nilai Suseptibilitas Kulit Kerang di Daerah Muara Sungai
Massa sampel Kulit kerang di dalam kapsul 30 Mesh lebih besar dari
pada 100 Mesh menyebabkan nilai suseptibilitasnya lebih tinggi, sebab massa
mempengaruhi banyaknya fraksi magnetik yang terukur. Selain itu, grafik nilai
suseptibilitas terhadap temperatur untuk sampel 30 Mesh lebih curam dari pada
grafik sampel 100 Mesh
Pemanasan mempengaruhi nilai suseptibilitas kulit kerang seperti terlihat
pada gambar 4.1 grafik,gambar 4.2 grafik dan gambar 4.3 grafik menunjukan
kecenderungan menurunkan nilai susepbilitas dari kulit kerang tersebut. Nalai
suseptibilitas pada kulit kerang sebelum mengalami pemanasan memiliki nilai
yang tidak begitu jauh berbeda, tetapi setelah mengalami pemanasan terjadi
penurunan nilai suseptibilitas seperti pada daerah pengambilan pasir yang tampa
pemanasan memiliki nilai -0,36911 x 10-8 m3/kg untuk bulir 100 mesh dan -
42
T (Celcius)
χ(x 10-8)
0,43684 x 10-8 m3/kg bulir 30 mesh dan setelah mengalami pemanasan 300oC
maka nilainya menurun menjadi -1,10732 x 10-8 m3/kg untuk bulir 100 mesh dan
-1,33028 x 10-8 m3/kg
Terjadinya penyimpangan nilai suseptibilitas pada pengukuran ini
disebabkan oleh beberapa hal. Proses ekstraksi yang kurang sempurna
menyebabkan terikutnya mineral lain (pengganggu), seperti mortar yang kurang
bersih. Selain itu, proses pengukuran yang kurang akurat dapat menyebabkan
penyimpangan hasil pengukuran. Seperti posisi kapsul yang tidak tegak lurus dan
tidak berada di tengah kontainer menyebabkan pembacaan nilai menyimpang
dari yang sebenarnya.
4.3 Implikasi di Bidang Pendidikan
Berdasarkan proposal penelitan tentang “Pengaruh Temperatur
Pemanasan Terhadap Nilai Subsetibilitas Kulit Kerang Pokea (Batissa violacea
celebensis) Di Sungai Pohara Kabupaten Konawe” menjelaskan tentang
pengaruh pemanasan kulit kerang pokea (Batissa violacea celebensis) terhadap
nilai suseptibilitasnya. Dimana pada penelitian sebelunya yang menggunakan
Metode XRD memanfaatkan elektron yang keluar dari filamen panas dalam
keadaan vakum pada tegangan tinggi untuk dapat menghasilkan Sinar-X yang
nantinya dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik dari sampel cangkang
kerang pokea pada daerah tersebut yang dianalisis seperti komposisi atau struktur
sampel. Dengan Mengetahui komposisi dari sampel tersebut maka kulit atau
43
cangkang dari daerah tersebut dapat dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan
keperluan. Konsep dasar pengetahuan tentang jenis batuan mineral dan electron
diperoleh melalui dari jenjang SD, SMP sampai SMA. Sedangkan pada jenjang
pendidikan perguruan tinggi, kajian keilmuannya lebih mendalam.
Adapun konsep dasar yang dapat ditemukan pada berbagai jenjang
pendidikan mulai dari SD, SMP hingga SMA yang berkaitan dengan judul
penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Sekolah Dasar (SD)
Kelas V semester 2, mata pelajaran IPA pada pokok bahasan Pembentukan
Tanah Serta Struktur Bumi dan Matahari dengan alokasi waktu 8 Jam
pembelajaran (4 x pertemuan).
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Kelas VII semester 1, mata pelajaran IPS pada pokok bahasan jenis-jenis
batuan dan proses pelapukan dengan alokasi waktu 2x40 menit. Kelas IX
semester 2, mata pelajaran IPA pada pokok bahasan pelapukan yang terjadi
di lithosfer dengan alokasi waktu 2 x 40 menit.
3. Sekolah Menengah Atas (SMA)
Kelas X semester 1, mata pelajaran kimia pada pokok bahasan struktur atom
dengan alokasi waktu 2 x 45 menit. Kelas X semester 2, mata pelajaran
44
geografi pada pokok bahasan lithosfer dengan alokasi waktu 2 x 45 menit.
Kelas X semester 2, mata pelajaran fisika dengan pokok bahasan alat dan
optik dengan alokasi waktu 6 jam (2 x 45 menit) dan gelombang
ekektromagnetik dalam kehidupan dengan alokasi waktu 2 jam ( 2 x 45
menit).
Untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi semisal perguruan tinggi,
kajian keilmuan tentang electron, mineral, dan batuan dibahas lebih spesifik dan
mendalam lagi. Kajian keilmuan tersebut diperoleh pada mata kuliah ilmu
Pengetahuan Bumi dan antariksa (IPBA), Gelombang dan Optik, Fisika Modern,
Fisika Zat padat, dan Fisika Inti.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan peranan
tersendiri dalam dunia pendidikan. Dalam arti bahwa implementasi dari
penelitian ini secara teori mengenai electron, mineral dan batuan, diharapkan
dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi para peserta didik ataupun bagi
para mahasiswa. Selain pengetahuan secara teori, perlu pula ditindak lanjuti
dengan bereksperimen untuk memperdalam pengetahuan. Sedangkan bagi para
pendidik, implementasi dari pengetahuan ini diharapkan dapat memperdalam
konsep pemahaman guru sehingga menjadi tenaga pengajar yang berkompetensi,
sehingga dapat membantu dalam memberikan penjelasan-penjelasan yang
spesifik terhadap siswanya, baik itu pada tingkat pendidikan SD, SMP,SMA
hingga perguruan tinggi terkait dengan materi yang diajarkan.
45
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Nilai suseptibilitas kulit kerang pokea mengalami penurunan seiring dengan
variasi temperatur pemanasan yang diberikan pada sampel. Nilai
suseptibilitasnya adalah:
Pada daerah pengambilan pasir untuk ukuran 100 mesh setelah
mengalami pemanasan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC
nilai suseptibilitasnya masing-masing sebesar -1,10732 x 10-8 m3/kg, -
1,25535 x 10-8 m3/kg, -1,18414 x 10-8 m3/kg, -0,98662 x 10-8 m3/kg, -
1,22294 x 10-8 m3/kg dan -2,86497 x 10-8 m3/kg.
Pada daerah pengambilan pasir untuk ukuran 30 mesh setelah mengalami
pemanasan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC nilai
suseptibilitasnya masing-masing sebesar -1,33028 x 10-8 m3/kg, -0,75743
x 10-8 m3/kg, -1,07006 x 10-8 m3/kg, -0,84771 x 10-8 m3/kg, -1,11939 x 10-8
m3/kg dan -1,06909 x 10-8 m3/kg.
Pada daerah perusahaan air minum untuk ukuran 100 mesh setelah
mengalami pemanasan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC
nilai suseptibilitasnya masing-masing sebesar -1,41772 x 10-8 m3/kg, -
0,56538 x 10-8 m3/kg, -0,42712 x 10-8 m3/kg, -1,11845 x 10-8 m3/kg, -
0,98879 x 10-8 m3/kg dan -2,51601 x 10-8 m3/kg.
46
Pada daerah perusahaan air minum untuk ukran 30 mesh setelah
mengalami pemanasan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC
nilai suseptibilitasnya masing-masing sebesar -0,32763 x 10-8 m3/kg, -
0,53053 x 10-8 m3/kg, -3,644737 x 10-8 m3/kg, -1,37856 x 10-8 m3/kg, -
1,03105 x 10-8 m3/kg dan -1,05258 x 10-8 m3/kg.
Pada daerah muara sungai untuk ukuran 100 mesh setelah mengalami
pemanasan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC nilai
suseptibilitasnya masing-masing sebesar -1,50199 x 10-8 m3/kg, -1,68959
x 10-8 m3/kg, -1,13203 x 10-8 m3/kg, -0,48546 x 10-8 m3/kg, -1,63755 x 10-8
m3/kg dan −0,96923 x 10-8 m3/kg.
Pada daerah muara sungai untuk ukuran 30 mesh yang telah mengalami
pemanasan 300oC, 400oC, 500oC, 600oC, 700oC, dan 800oC nilai
suseptibilitasnya masing-masing sebesar -1,4032 x 10-8 m3/kg, -0,54865 x
10-8 m3/kg, −0,82268 x 10-8 m3/kg, -0,49251 x 10-8 m3/kg, -1,05882 x 10-8
m3/kg dan -0,63755 x 10-8 m3/kg.
5.2 Saran
Peneliti mengajukan saran sebagai berikut:
1. Bagi peneliti selanjutnya, agar melakukan penelitian lanjutan mengenai kulit
kerang ini, sehingga kulit kerang dapat dimanfaatkan sebagai sesuatu yang
lebih bermaanfaat ketimbang menjadi sampah/limbah rumah tangga di sungai
Pohara.
47
2. Bagi pemerintah daerah Kabupaten Konawe agar dapat memanfaatkan secara
optimal pemanfaatan kulit kerang sebagai Sumber Daya Alam Daerah.
48
DAFTAR PUSTAKA
Alfan, M.S., 1995. Evaluasi Kualitas Fisika-Kimia Air Sungai Ciliwung di Wilayah Kota Administrasi (Kotif) Depok bagi Kepentingan Perikanan. Skripsi. IPB. Bogor.
Arinardi, O.H., 1978. Sifat-sifat Fisik dan Kimiawi Perairan Estuari. Pewarta Oceana (5 dan 6). Jakarta.
Bahtiar,A. 2007. Hand Out Kuliah Listrik Magnet II. Bandung : Universitas Padjajaran
Bahtiar, 2005. Keberadaan Populasi Pokea (Batissa Violacea Celebensis) Pada Berbagai Daerah yang Berbeda Pada Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe. Resis Sekolah Pascasarjana. Institute Pertanian Bogor. Bogor.
BPS Kabupaten Konawe. Kecamatan Sampara Dalam Angka 2005-2006.
Clark. J.,1974. Coastal Ecosystem Ecological Consideration For Management Of The Coastal Zone. The Conservation Foundation. National Oceanic and Atmospheric Administration. Washington D.C.
Dharma, B., 1992. Siput dan Kerang Indonesia II. Indonesia Shell II. Sarana Graha. Jakarta.
Djajasasmita, M. 1977. An Annotated List Of the Spesies Of The Genus Corcibula From Indonesia (Molusca : Corbiculidae) Bulletin Zoologisch Museum. Universiteit Van Amsterdam. Amsterdam.
Effendie, M.I., 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta..
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Efriyeldi, 1997. Sebaran Spesial Karakteristik Sedimen dan Kualitas air Muara Sungai Bantan Tengah Bangkalis Kaitannya Dengan Budidaya Karamba Jaring Apung. www.unri.ac.id. (diakses tanggal, 14 Juni 2010).
49
Fatuni, A., 2000. Uji Adaptasi Benih Ikan Nila Merah (Oreochromis Niloticus) Terhadap Salinitas Air Laut. Skripsi. ProgramStudi Budidaya Perairan. Jurusan perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari.
Gray, J.S., 1981. The Ekology Of Marine Sediment An Introductiont The Structure and Function Of Benthic Communities. Cambridge University press. Cambridge.
http://kartika17.tripod.com/http://problem-fisika.blogspot.com/2009/04/suseptibilitas-magnetik- k erentanan.html
Hutabarat, S dan S.M. Evans., 1986. Pengantar Oceanografi. Universitas Indonesia press. Jakarta.
Jasin, M., 1992. Zoologi Invertebrata Untuk Perguruan Tinggi. Sinar Wijaya. Surabaya.
Jeremy, S., 2006. Freshwater Mussel (Bivalvia : Unionidae) Survey Of The Wakarusa River Basin, Kansas. Kansas Academy Of Science. Kansas.
James, H.T and A.P. Covich., 1991. Ecology and Classification Of Northern American Freshwater Invertebrates. Academic Press. Inc. America.
Kasmiati, Sitti. 2001. Pengaruh Pemanasan Terhadap Karakteristik Magnetik Lempung. Bandung: Institut teknologi Bandung
Kusdiana. 2001. Studi Parameter Kualitas Pada Bendungan Wawotobi Kec. Lambuya Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Skripsi. Unhalu. Kendari.
Morton, B., 1989. The Mollusca Volume G. Ecology Mangrove Bivalve. Academic Press Inc. New York.
Ngkoimani, L.O. 2005. Magnetisasi pada Batuan Andesit di Pulau Jawa Serta Implikasinya Terhadap Paleomagnetisme dan Evolusi Tektonik. Disertasi. Bandung: Institut Teknologi Bandung
Nurfatmah, 2006. Studi Kebiasaan Makanan Bivalvia (Batissa Violacea Celebensis Marten, 1897) di Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe. Skripsi. Unhalu. Kendari.
Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta.
50
Odum, E.P., 1996. Dasar-Dasar Ekologi (Diterjemahkan Oleh Tjahjono Samingan) Edisi ke 3. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta.
Pranowo, Sudiono, dan Santosa, J. 2006. Kimia. Yogyakarta: Intan Pariwara.
Saharuddin, 2003. Studi Kepadatan dan Distribusi Kerang Pokea (Anadonta sp) Pada Perairan Sungai Pohara Desa Laosu Kecamatan Bondoala Kabupaten Konawe. Skripsi. Jurusan Perikanan Unhalu. Kendari.
Setyobudiandi, I., 2000. Sumber Daya Hayati Moluska Mytillidae. Laboratorium Manajeman SDP. Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institute Pertanian Bogor. IPB.
Setyawati, Y., 1986. Distribusi Jenis-Jenis Kerang (Bivalvia) di Pantai Muara Sungai Ciseukeut, Desa Mekarsari Kecamatan Cigeulis. Panembang Jawa Barat. Karya Ilmiah. Jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Sugiri, N., 1989. Zoologi Avertebrata II. Departemen Pendidikan dan kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institute Pertanian Bogor. IPB.
Whitten, A.J., M. Mustafa dan G.S., Handeison, 1987. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Warren. 8. E. 1969. X-Ray Diffraction, Addittion-Wesley Pub : Messachssetfs.
Yasidi. F., Aslan. M., Asriyana, Rosmawati, 2005. Penuntun Praktikum Biologi Perikanan. Edisi Ke Empat. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian. UNHALU. Kendari.
Zemansky. 1964. Fisika untuk Universitas 2, Listrik dan Magnet Jilid 2. Jakarta: Bina
Cipta.
51