skripsi model perumusan kebijakan stunting di …
TRANSCRIPT
SKRIPSI
MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN STUNTING DI DESA LABBO
KABUPATEN BANTAENG
Disusun dan Diajukan Oleh
ANDI SRI SULASTRI
Nomor Stambuk: 105641116716
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
i
MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN STUNTING DI DESA LABBO
KABUPATEN BANTAENG
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Pemerintahan
Disusun dan Diajukan Oleh
ANDI SRI SULASTRI
Nomor Stambuk : 105641116716
Kepada
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
ii
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Saya yang bertandatangan di bawahini :
NamaMahasiswa : Andi Sri Sulastri
NomorStambuk : 105641116716
Program Studi : IlmuPemerintahan
Menyatakan bahwa benar karya ilmiah ini adalah penelitian saya sendiri tanpa
bantuan dari pihak lain atau telah ditulis/dipublikasikan orang lain atau melakukan
plagiat. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sangsi akademik sesuai
aturan yang berlaku, sekalipun itu pencabutan gelar akademik.
Makassar,9 September 2020
Penulis,
Andi Sri Sulastri
v
ABSTRAK
Andi Sri Sulastri. 2020. Model Perumusan Kebijakan Stunting di Desa Labbo
Kabupaten Bantaeng yang di bombing oleh Bapak H. Muhlis Madani selaku
pembimbing I dan Ibu Hj. Budi Setiawan selaku pembimbing II.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran Pemerintah Daerah
dalam perumusan kebijakan stunting di desa labbo Kabupaten Bantaeng, serta
untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perumusan kebijakan Stunting
di desa labbo kabupaten bantaeng.
Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan tipe penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan studi kasus. Data
diperoleh melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Sumber data penelitian
adalah data primer dan sekunder. Jumlah informan penelitian adalah 5 orang.
Teknik analisis data yang digunakan yaitu pengumpulan data, reduksi data, display
data dan verifikasi dan penarikan data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perumusan kebijakan stunting di Desa
Labbo Kabupaten Bantaeng belum optimal. Hal tersebut disebabkan kurangnya
sosialisasi dari Pemerintah Daerah, infrastruktur kesehatan yang belum memadai
dan kualitas SDM terhadap masyarakat Kabupaten Bantaeng. Faktor yang
mempengaruhi Perumusan Kebijakan stunting dapat diketahui bahwa untuk dapat
menilai keefektifan pemerintah dapat dilihat dari beberapa faktor yang diantaranya
ialah, kesehatan masyarakat desa yang kurang cukup meningkat, tingkat kesadaran
masyarakat tentang kesehatan yang menunjukkan grafik peningkatan dan pola
hidup sehat yang mulai diterapkan pada masyarakat yang ada di desa. Kebijakan
desa dibuat karena adanya peraturan presiden tentang gerakan percepatan perbaikan
gizi dan peraturan bupati tentang konvergensi program pencegahan stunting maka
dari itu dibuatlah kebijakan desa atau perdes No. 04 Tahun 2019 tentang percepatan
penurunan stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng.
Kata Kunci: Model, Perumusan Kebijakan, Stunting
KATA PENGANTAR
vi
Assalamuikum warahmatullahi wr. wb
Alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Model Perumusan Kebijakan Stunting Di Desa Labbo
Kabupaten Bantaeng”.
Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam
memperoleh gelar sarjana Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitan membutuhkan waktu yang cukup
lama. Meskipun dalam prosesnya peneliti mendapat hambatan dan tantangan,
namun itu semua tidak mematahkan semangat dan perjuangan penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini tidak akan terwujud tanpa
adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan
ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. H. Muhlis Madani, M.Si selaku pembimbing I dan Ibu Dr.
Hj. Budi Setiawati, M.Si selaku pembimbing II yang senantiasa
meluangkan waktunya membimbing dan mengarahkan penulis,
sehingga skripsi ini dapat di selesaikan.
2. Ibu Dr.Hj Ihyani Malik, S.Sos., M.Si selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial
Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar beserta seluruh
stafnya.
3. Ibu Dr.Nuryanti Mustari, S.IP., M.Si selaku ketua jurusan Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik dan staf pegawai
vii
di lingkungan prodi ilmu pemerintahan Universitas Muhammadiyah
Makassar.
4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar
yang senantiasa meluangkan waktunya untuk memberi ilmu kepada
penulis selama menempuh perkuliahan.
5. Drs. H. Ansyari Mone, M.Pd selaku penasehat akademik (PA) yang
selalu memberikan dukungan dan motivasi.
6. Kedua orang tua tercinta, Bapak Kr. Dawing dan Ibu Halipa yang telah
melahirkan, membesarkan, merawat, memberikan pendidikan sampai
pada jenjang saat ini, mendoakan, memberi semangat dan motivasi
serta bantuan baik moral ataupun materi dan tak lupa kasih sayang
yang tak hentinya beliau berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
7. Terima kasih untuk segala pihak yang terlibat dalam hal ini Kepala
Desa Labbo, Serta kepada para narasumber yang memberikan bantuan
kepada penulis berupa informasi sehingga penulisan skripsi ini dapat
selesai.
8. Kedua saudara dan saudari penulis, Andi Ahmad Junaedi dan Ayu
Ahriani terima kasih atas dukungan dan motivasi kepada penulis.
9. Teman-teman jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 016, terima kasih
saling membantu selama kurang lebih 4 tahun ini.
10. Kepada teman-teman seperjuangan Riske Asmawati, Sakina
Kumalasari, Rifkatul Mukarramah, Umi Umairah Suhardi dan Nursanti
viii
kalian adalah wanita-wanita hebat yang selalu memberi inspirasi
disetiap susah dan senang kehidupan penulis.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi
ini sangatlah jauh dari kesempurnaan karena segala sesuatu yang sempurna itu
hanya milik ALLAH SWT dan oleh karena itu demi kesempurnaan skripsi ini, kritik
dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya skripsi
ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pihak yang
membutuhkan.
Makassar, 9 September 2020
Penulis,
Andi Sri Sulastri
DAFTARISI
SAMPUL ..................................................................................................... i
ix
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu ..................................................................... 10
B. Teori dan Konsep Model Kebijakan ............................................. 12
C. Teori dan Konsep Kebijakan Publik .............................................. 14
D. Teori dan Konsep Perumusan Kebijakan ....................................... 16
E. Konsep Kebijakan Stunting ........................................................... 21
F. Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Stunting ........................... 24
G. Kerangka Pikir .............................................................................. 25
H. Fokus Penelitian............................................................................ 26
I. Deskriptif Fokus Penelitian ........................................................... 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................... 29
B. Jenis dan Tipe Penelitian ............................................................... 29
C. Sumber Data ................................................................................. 29
D. Informan Penelitian ....................................................................... 30
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 31
F. Teknik Analisis Data ..................................................................... 32
G. Keabsahan Data ............................................................................ 33
BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ........................................................... 35
1. Gambaran Umum Kabupaten Bantaeng ................................... 35
2. Kantor Desa Labbo.................................................................. 39
B. Bagaimana Model Perumusan Kebijakan Stunting Di Desa Labbo
Kabupaten Bantaeng ..................................................................... 51
1. Pola Kerja Sama ..................................................................... 51
2. Persuasi ................................................................................. 55
3. Pengarahan ............................................................................ 57
x
C. Faktor Yang Mempengaruhi Perumusan Kebijakan Stunting Di Desa
Labbo Kabupaten Bantaeng .......................................................... 58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 63
B. Saran ............................................................................................ 64
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 65
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1Jumlah Stunting Di Kabupaten Bantaeng Tahun 2019 .................... 6
xi
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu. ..................................................................... 10
Tabel 2.2 Intervensi Gizi Sensitif Percepatan Penurunan Stunting ................. 23
Tabel 3.1 Informan Penelitian ....................................................................... 31
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kabupaten Bantaeng Berdasarkan Kecamatan ... 36
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir ................................................................ 26
xii
Gambar 4.1 Struktur Organisasi Desa Labbo ................................................. 49
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembuatan sebuah kebijakan seringkali dinyatakan dengan kata atau
istilah yang berbeda-beda. Proses penyusunan kebijakan merupakan satu
rangkaian aktivitas yang tidak terpisahkan dari sebuah proses kebijakan, artinya
suatu aktivitas yang berlangsung secara simultan. Dalam proses penyusunan
kebijakan terdapat proses tawar menawar (bargaining) yang terjadi antara
aktor-aktor pembuat kebijakan dengan menggunakan kekuasaan dan
kewenangan dilaksanakan bukan untuk menyinkronkan kepentingan rakyat
namun digunakan untuk meraih kepentingan (interest) dan kekuasaan (power)
itu sendiri (Madani, 2010:9).
Kebijakan yang baik akan terlaksana apabila kebijakan tersebut di
implementasikan sesuai dengan tujuan utama kebijakan tersebut
diformulasikan. Masukan dari kelompok kepentingan untuk sebuah kebijakan
kerap kali dicari karena kelompok tersebut memiliki sesuatu yang berharga
untuk ditawarkan. Kelompok tersebut berniai karena mereka mampu.
Kelompok dikatakan mampu karena mereka memiliki informasi: mereka
memberikan gagasan kebijakan dan memiliki fakta. Ketika angka keterwakilan
kelompok tersebut tinggi, mereka juga dapat meningkatkan persentase
keberhasilan kebijakan yang mereka usulkan (Halpin, Daugbjer dan
Schvartzman, 2011:150).
2
Secara makro, dibutuhkan ketegasan kebijakan, strategi, regulasi, dan
koordinasi lintas sector dari pemerintahan dan semua stekholder untuk
menjamin terlaksana poin-poin penting seperti pemberdayaan masyarakat,
pemberantasan kemiskinan, ketahanan pangan, dan pendidikan yang secara
tidak langsung akan mengubah nudaya buruk dan paradigm di dataran bawah
dalam hal perawatan gizi terhadap keluarga. Pemerintah Kabupaten Bantaeng
terus mengintensifasikan program dan kegiatan tersebut untuk mengantisipasi
kasus itu agar tidak melabar ke balita lain di daerah ini.
Pemerintah telah menetapkan penurunan stunting sebagai prioritas
nasional yang dilaksanakan secara lintas sektor di berbagai tingkatan sampai
dengan tingkat desa. Berdasarkan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa, desa berkewajiban untuk mendukung kegiatan-kegiatan
pembangunan yang menjadi program prioritas nasional. Oleh karena itu,
pemerintah desa diharapkan untuk menyusun kegiatan-kegiatan yang relevan
dengan penurunan stunting terutama yang bersifat skala desa melalui
pemanfaatan Dana Desanya.
Penurunan stunting penting dilakukan sedini mungkin untuk
menghindari dampak jangka panjang yang merugikan seperti terhambatnya
tumbuh kembang anak. Stunting mempengaruhi perkembangan otak sehingga
tingkat kecerdasan anak tidak maksimal. Hal ini berisiko menurunkan
produktivitas pada saat dewasa. Stunting juga menjadikan anak lebih rentan
terhadap penyakit. Anak stunting berisiko lebih tinggi menderita penyakit
kronis di masa dewasanya. Bahkan, stunting dan berbagai bentuk masalah gizi
3
diperkirakan berkontribusi pada hilangnya 2-3% Produk Domestik Bruto (PDB)
setiap tahunnya.
Diketahui stunting merupakan kondisi dimana anak mengalami
gangguan pertumbuhan. Menjadikan anak tersebut lebih pendek dibanding anak
seusianya karena tidak tercukupinya asupan gizi, bahkan sejak dalam
kandungan. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh (kerdil) akibat
kekurangan gizi kronis dalam waktu yang lama. Mata rantai terjadinya stunting
dimulai dari usia remaja putri, ibu hamil, ibu menyusui, pemberian MPASI,
berlanjut dengan pola hidup sehari-hari, terutama pada 1000 Hari Pertama
Kehidupan (1000 HPK).
Stunting atau balita pendek adalah balita dengan masalah gizi kronik,
yang memiliki status gizi berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut
WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference umur balita jika dibandingkan
dengan standar baku Study) tahun 2005, memiliki nilai z-score kurang dari -
2SD dan apabila nilai z-scorenya kurang dari-3SD dikategorikan sebagai balita
sangat pendek (Pusdatin, 2015). Stunting terjadi mulai janin masih dalam
kandungan dan baru nampak saat anak berusia. Permasalahan Stunting
merupakan isu baru yang berdampak buruk terhadap permasalahan gizi di
Indonesia karena mempengaruhi fisik dan fungsional dari tubuh anak serta
meningkatnya angka kesakitan anak, bahkan kejadian stunting tersebut telah
menjadi sorotan WHO untuk segera dituntaskan (Kania, 2015).
Permasalahan Stunting atau gangguan pertumbuhan pada anak akibat
kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, terus menjadi fokus
4
pemerintah untuk segera diselesaikan. Bahkan, upaya untuk mengurangi angka
stunting di daerah terus dilakukan, termasuk hingga di tingkatan puskesmas
(pusat kesehatan masyarakat). Masalah stunting dipengaruhi oleh rendahnya
akses terhadap makanan dari segi jumlah dan kualitas gizi, serta seringkali tidak
beragam. Selain itu, stunting juga dipengaruhi aspek perilaku, terutama pada
pola asuh yang kurang baik dalam praktek pemberian makan bagi bayi dan
Balita.
Waktu terbaik untuk mencegah stunting adalah selama kehamilan dan
dua tahun pertama kehidupan. Stunting di awal kehidupan akan berdampak
buruk pada kesehatan, kognitif, dan fungsional ketika dewasa. Pasalnya,
stunting sangat dipengaruhi oleh seribu hari pertama kehidupan, dimulai dari
dalam kandungan. Stunting pada anak-anak merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia dan menjadi masalah yang
serius karena dikaitkan dengan kualitas sumber daya manusia di kemudian hari.
Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak,
menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tidak
maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang,
sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi perorangan
dan masyarakat Indonesia. Intervensi pada seribu hari pertama penting untuk
mengatasi masalah ini. Pemerintah Indonesia pun melakukan sejumlah
intervensi untuk mencapai target turunnya prevalensi stanting pada anak di
bawah umur dua tahun dari 37% (2013) menjadi 28% pada tahun 2019. (MCA-
Indonesia; 2017).
5
Walaupun berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Kabupaten
Bantaeng namun tetap banyak warga yang mengalami kekurangan gizi (kerdil).
Hal tersebut tentu menjadi salah satu penilaian terhadap kinerja Pemerintah
Daerah dalam mengatasi kekurangan gizi. Perlu diketahui upaya-upaya lain
yang telah dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Bantaeng dalam hal
mengatasi kekurangan gizi.
Untuk meminimalisir permasalahan kesehatan yang ada di Sulawesi
Selatan khususnya di Kabupaten Bantaeng, maka Pemerintah berupaya keras
melakukan berbagai kebijakan dan program untuk menurunkan jumlah
penduduk yang mengalami kekurangan gizi buruk yang ada di Kabupaten
Bantaeng, sehingga penduduk yang kekurangan gizi buruk dapat merasakan
perubahan yang menuntut adanya peningkatan kualitas manusia. Hal ini
disebabkan oleh tuntutan era globalisasi dan modernisasi pembangunan di
Indonesia melahirkan tuntutan mengenai tingginya kualitas kesehatan
masyarakat.
Sejalan dengan program pemerintah dalam konvergensi integrasi
pencegahan stunting maka pemerintah Kabupaten Bantaeng membuat Surat
Keputusan Bupati Nomor 71 tahun 2019 tentang konvergensi program
percepatan pencegahan stunting Kabupaten Bantaeng, kemudian diperkuat
dengan menerbitkan Surat Keputusan Desa Labbo Nomor 04 tahun 2019
tentang percepatan penurunan stunting.
Adapun alasan saya mengangkat rumusan masalah mengenai
perumusan kebijakan stunting di desa labbo kabupaten bantaeng adalah karena
6
saya ingin mengetahui bagaimana model perumusan kebijkan stunting di desa
labbo kabupaten bantaeng itu sendiri, strategi apa yang dilakukan desa labbo
dalam mengimplementasikaan kebijakan stunting ini. Dari data Dinas
Kesehatan Kabupaten Bantaeng, Desa Labbo termasuk salah satu dari lokasi
yang terdapat kasus stunting di Kecamatan Tompobulu Kabupaten Bantaeng
dengan prevalensi kasus stunting sebesar 21.6%. Adapun jumlah kasus stunting
tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 1.1
Jumlah Stunting di Kecamatan Tompobulu Tahun 2019
No Desa/Kelurahan Jumlah Anak
Stunting
1 Balumbung 6
2 Bonto-bontoa 2
3 Bonto tappalang 5
4 Labbo 10
5 Pattalassang -
6 Pattaneteang 3
7 Banyorang -
8 Campaga -
9 Ereng-ereng -
10 Lembang
Gatarangkeke
Jumlah 26
Sumber : Data Dinas Kesehatan Kabupaten Bantaeng Tahun 2019
Pada hasil observasi awal, belum didapatkan banyak informasi dari
seluruh desa yang ada di Kabupaten Bantaeng tentang bagaimana efektifitas dan
efisiensi terhadap pelaksanaan Stunting, baik dari aspek konteks, pelaksanaan,
7
maupun hasil yang ditimbulkan dari pelaksanaan Stunting dan juga didapatkan
bahwa perumusan kebijakan ataupun penelitian tentang Stunting di Kabupaten
Bantaeng terkhusus di Desa Labbo belum pernah dilakukan, sehingga sangat
perlu dilakukan penelitian tentang permasalahan ini.
Berdasarkan permasalahan mengenai kebijakan Program Stunting di
atas maka, peneliti ingin mengetahui seberapa baik kebijakan Program Stunting
tersebut. Penulisan ini akan menjelaskan bagaimana pelaksanaan kebijakan
tersebut berjalan dengan lokus penelitian di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng,
dengan alasan karena di Desa Labbo merupakan salah satu desa yang
menjalankan program Stunting.
Di kabupaten Bantaeng pemberian makanan tambahan pada ibu hamil
dan balita, pemberian tablet zat besi bagi remaja putri minimal 4 tablet setiap
bulan. Dan tambahan tablet zat besi pada ibu hamil minimal 90 tablet selama
kehamilan, pemberian tablet zat besi pada ibu nifas, pemberian vitamin A pada
balita minimal 2 kali dalam setahun. Berdasarkan data riset kesehatan daerah
tahun 2018, Bantaeng masuk dalam daerah terendah stunting yakni 21, 8 persen.
Hal itu tak terlepas dengan pemberian susu bagi ibu hamil dan menyusui.
Berdasarkan uraian diatas, merupakan suatu hal yang menarik bagi
peneliti untuk mengkaji lebih jauh tentang bagaimana kebijakan pemerintah
dalam menurungkan angka stunting dengan mengangkat judul penelitian,
“Model Perumusan Kebijakan Stunting Di Desa Labbo Kabupaten
Bantaeng”.
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah di uraikan
permasalahan dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana Model Perumusan Kebijakan Stunting Di Desa Labbo
Kabupaten Bantaeng?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perumusan kebijakan stunting di
desa Labbo Kabupaten Bantaeng?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui Bagaimana model perumusan kebijakan stunting di
desa labbo Kabupaten Bantaeng.
2. Untuk mengetahui Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perumusan
kebijakan stunting di desa labbo Kabupaten Bantaeng
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh pada penelitian ini secara umum terbagi ke
dalam dua katagori. Katagori pertama yaitu manfaat secara akademis dan
katagori kedua yaitu manfaat secara praktis. Berikut penjelasan manfaat dari
penelitian yaitu:
1. Manfaat Akademis
9
a. Di harapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan juga dapat memberi informasi serta menjadi
data bagi pengetahuan.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penambahan referensi
dan wawasan ilmu pengetahuan bagi penelitian lain yang tertarik
dalam mengambil judul Model Perumusan Kebijakan Stunting Di
Desa Labbo.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat diharapkan penelitian ini menjadi informasi
kepada masyarakat agar tidak menyalahgunakan model perumusan
kebijakan stunting di desa labbo kabupaten bantaeng yang
peruntukannya bagi masyarakat di Kabupaten Bantaeng.
b. Bagi penulis, memberikan pengetahuan dan memperoleh
pengalaman langsung dalam model perumusan kebijakan stunting
di desa labbo kabupaten bantaeng dan sebagai salah satu persyaratan
dalam meraih gelar Sarjana Strata Satu (S1) Jurusan Ilmu
Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Makassar
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Sebelum peneliti melakukan penelitian, ada bebrapa peneliti terdahulu
yang telah melakukan penelitian tentang yaitu:
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Nama Penulis Judul Hasil Penelitian
1. Nurul hidayah,
Marwan (2020)
Upaya
Pemberdayaan
Masyarakat
Dalam
Menciptakan
Generasi Milenial
Sadar Gizi Yang
Bebas Stunting
Melalui Kegiatan
1000 HKP
Dari hasil peenelitian
stunting merupaka gizi
kronis yang disebabkan
kurangnya asupan gizi
dalam waktu lama,
sehingga menunggu
pertumbuhan
perkembangan,
kesehatan dan
produktivitas anak.
2. Merri Syafrina,
Masrul , Firdawati
(2018)
Analisis
Komitmen
Pemerintah
Kabupaten
Padang Pariaman
Dalam Mengatasi
Masalah Stunting
Berdasarkan
Nutrition
Hasil dari penelitian
dari 12 indikator NCI,
total skor adalah 6
diantaranya skor 1
yaitu promosi MP-ASI,
kondisi program gizi
dalam kebijakan
daerah, prioritas gizi
dalamperencanaan
daerah, koordinasi
11
Commitment
Index 2018
lintas sektor, target
program gizi dan survei
gizi.
3. Ni Ketut
Aryastami, Ingan
Tarigan (2017)
Kajian Kebijakan
Dan
Penanggulangan
Masalah Gizi
Stunting Di
Indonesia
Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa
upaya penurunan
masalah gizi harus di
tangani secara lintas
sektoral di semua lini.
Ibu dan calon
penganting harus
dibekali dengan
pengetahuan cukup
tentang gizi dan
kehamilan, ASI
Eksklusif pada ibu
bersalin yang sehat.
Berdasarkan uraian tabel di atas mengenai penelitian terdahulu,
terdapat beberapa kesamaan diantaranya pembahasan tentang stunting. Namun
saat ini belum di temukan penelitian tentang model perumusan kabijakan
stunting di desa labbo Kabupaten Bantaeng. Oleh karena itu, penulis tertarik
untuk mengangkat tema penelitian mengenai model perumusan kebijakan
stunting di desa labbo Kabupaten Bantaeng. Hal ini dimaksudkan agar masalah
dalam pelaksanaan Program Stunting dapat teratasi guna mendukung
keberhasilan pelaksanaan di tahun selanjutnya. Dengan demikian program ini
12
bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sesuai dengan tujuan perumusan
kebijakan stunting khususnya di desa labbo.
B. Teori dan Konsep Model Kebijakan
Model menurut Thoha (1984) adalah bentuk abstraksi dari suatu
kenyataan. Ia merupakan suatu perwakilan yang disederhanakan dari beberapa
gejala dunia nyata. Model yang dipergunakan dalam kebijakan publik termasuk
golongan model konsepsual, model seperti ini berusaha untuk
menyederhanakan dan menjelaskan pemikiran-pemikiran tentang politik dan
kebijakan publik. Mengidentifikasikan aspek-aspek yang penting dari
persoalan-persoalan kebijakan, menolong seseorang untuk berkomunikasi
dengan orang-orang lain dengan memusatkan pada aspek-aspek (features)
yang esensial dalam kehidupan politik. Mengarahkan usaha-usaha kepada
pemahaman yang lebih baik mengenai kebijakan public dengan menyarankan
hal-hal manakah yang dianggap penting dan yang tidak penting.
1. Model Perumusan Kebijakan
a. Model Kelembagaan (Institusional)
Pada model ini secara sederhana bermakna bahwa “tugas membuat
kebijakan publik adalah tugas pemerintah”. Jadi semua yang dibuat
oleh pemerintah dengan cara apa pun merupakan kebijakan publik.
Model ini pada dasarnya lebih mengutamakan fungsi-fungsi setiap
kelembagaan dari pemerintah, di setiap sektor dan tingkat dalam
memformulasikan kebijakan. Menurut Thomas R. Dye, ada tiga hal
yang membenarkan tentang pendekatan teori ini, yaitu ; pemerintah
13
memang sah dalam membuat kebijakan publik, formulasi kebijakan
publik yang dibuat oleh pemeritah bersifat universal (umum),
pemerintah memonopoli/menguasai fungsi pemaksaan (koersi) dalam
kehidupan bersama.
b. Model Teori Kelompok (Group)
Dalam pengambilan kebijakan penganut teori ini mengandaikan
kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium). Intinya adalah
interaksi yang terjadi di dalam kelompok akan menghasilkan
keseimbangan dan keseimbangan tersebut adalah yang terbaik. Individu
di dalam kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun
informal, secara langsung atau melalui media massa menyampaikan
tuntutan/gagasan kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan
publik yang diperlukan. Sistem politik pada model ini berperan untuk
memanage konflik yang muncul akibat adanya perbedaan tuntutan,
melalui :
a. Merumuskan aturan main antarkelompok kepentingan.
b. Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan.
c. Memungkinkan terbentuknya kompromi di dalam kebijakan
publik (yang akan dibuat).
d. Memperkuat kompromi-kompromi tersebut.
c. Model Teori Elit (Elite)
Model teori ini mengasumsikan bahwa dalam setiap masyarakat
terdapat 2 kelompok, yaitu pemegang kekusaan (elit) dan yang tidak
14
berkuasa (massa). Di dalam formulasi kebijakan, sedemokratis apa pun
selalu ada bias karena pada akhirnya kebijakan tersebut merupakan
preferensi politik dari para elit-politik. Sisi negatifnya adalah dalam
sistem politik, para elit-politiklah yang akan menyelengarakan
kekuasaan sesuai kehendaknya. Sisi positifnya adalah seorang elit-
politik yang berhasil memenangkan gagasan membawa negara-bangsa
ke kondisi yang lebih baik dibanding dengan pesaingnya. Secara top
down, elit-politiklah yang membuat kebijakan, sedang implementasi
kepada rakyat dilakukan oleh administrator publik. Jadi model elit
merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan dimana kebijakan
publik merupakan perspeksi elit-politik. Prinsip dasarnya kebijakan
yang dibuat bersifat konservatif karena para elit-politik ingin
mempertahankan status quo. Kelemahannya yaitu kebijakan yang
dibuat elit-politik tidak selalu mementingkan kesejahteraan rakyat.
C. Teori dan Konsep Kebijakan Publik
Anderson (dalam Islamy, 1998) mengatakan bahwa kebijakan itu
adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku guna
memecahkan masalah tertentu. Berdasarkan pengertian tentang kebijakan yang
telah diurai-kan di atas maka dapat disimpulkan bahwasanya kebijakan da-pat
dilakukan secara umum, namun pada kenyataannya lebih sering dan secara luas
dipergunakan dalam tindakan-tindakan atau perilaku pemerintah serta perilaku
15
Negara pada umum-nya yang lebih dikenal dengan sebutan kebijakan Negara
atau kebijakan publik (publik policy).
Berdasarkan pengertian tentang kebijakan dan kebijakan publik yang
telah diuraikan di atas, Islamy mengemukakan beberapa elemen penting
tentang kebijakan Negara (public policy), yaitu:
a. Bahwa kebijakan Negara itu dalam bentuk perdananya berupa
penetapan tindakan-tindakan pemerintah.
b. Kebijakan Negara itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi
dilaksanakan dalam bentuk yang nyata.
c. Kebijakan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
perlu dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu.
d. Kebijakan Negara harus ditujukan untuk kepentingan
masyarakat. (Islamy, 2002: 20).
Kebijakan publik merupakan sebuah proses yang terus menerus, karena
itu yang paling penting adalah siklus kebijakan. Siklus kebijakan meliputi
formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan (Parsons, 1997). Kebijakan
yang telah diformulasikan atau dirumuskan bermaksud untuk mencapai tujuan
tertentu. Dalam konteks ini dapat dimengerti, bahwa kebijakan tidak akan
sukses, jika dalam pelaksanaannya tidak ada kaitannya dengan tujuan yang
telah ditetapkan. Seringkali ada anggapan setelah kebijakan disahkan oleh
pihak yang berwenang dengan sendirinya kebijakan itu akan dilaksana-kan,
dan hasil-hasilnya pun akan mendekati seperti yang diharapkan oleh pembuat
16
kebijakan tersebut. Dalam proses kebijakan publik yang akan diterapkan,
melalui proses/tahapan yang cukup panjang.
Dunn (2000) menambahkan bahwa masalah kebijakan adalah nilai,
kebutuhan dan kesempatan yang belum ter-penuhi, tetapi yang dapat
diidentifikasikan dan dicapai mela-kukan tindakan publik. Perumusan
masalah, sebagai salah satu tahap dalam proses penelitian di mana analis mera-
ba-raba untuk mencari definisi yang mungkin mengenai situasi problematis,
tak disangkal merupakan aspek yang paling rumit tatapi paling sedikit difahami
dalam analisa kebijakan. Proses perumusan masalah kebijakan tidak mengikuti
aturan-aturan yang definitif, karena masalah kebijakan itu sendiri sedemi-kian
kompleks. Karena itu, masalah kebijakan merupakan tahap paling kritis dalam
analisa kebijakan, karena analis lebih sering memecahkan masalah yang salah
dari pada menemukan pemecahan yang salah atas masalah yang benar.
Kesalahan fatal dalam analisa kebijakan adalah memecahkan rumusan masalah
yang salah karena analis dituntut untuk memecahkannya secara benar.
D. Teori dan Konsep Perumusan Kebijakan
Perumusan kebijakan merupakan suatu tahapan yang tidak dapat di
hilangkan dari proses kebijakan. Penelitian mengenai proses formulasi
kebijakan pada umumnya memiliki kekurangan. Berlan dkk (2014:28) dalam
Pritasari, L. A., & Kusumasari, B. 2019 , Kebijakan yang baik akan terlaksana
apabila kebijakan tersebut di implementasikan sesuai dengan tujuan utama
kebijakan tersebut diformulasikan. Masukan dari kelompok kepentingan untuk
sebuah kebijakan kerap kali dicari karena kelompok tersebut memiliki sesuatu
17
yang berharga untuk ditawarkan. Kelompok tersebut berniai karena mereka
mampu. Kelompok dikatakan mampu karena mereka memiliki informasi:
mereka memberikan gagasan kebijakan dan memiliki fakta. Ketika angka
keterwakilan kelompok tersebut tinggi, mereka juga dapat meningkatkan
persentase keberhasilan kebijakan yang mereka usulkan (Halpin, Daugbjer dan
Schvartzman, 2011:150) dalam Pritasari, L. A., & Kusumasari, B. 2019.
Menurut Suharno (2010:52) dalam Laniari, M. 2015 proses pembuatan
kebijakan merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks dan tidak semudah
yang dibayangkan. Walaupun demikian, para administrator sebuah organisasi
institusi atau lembaga dituntut untuk memiliki tanggung jawab dan kemauan,
serta kemampuan atau keahlian, sehingga dapat membuat kebijakan dengan
resiko yang diharapkan (intendedrisks) maupun yang tidak di harapkan
(unintendedrisks).
Dalam perspektif lain sebagaimana ditegaskan oleh Anderson bahwa
model atau tipe pengambilan kebijakan dikaitkan dengan proses
pembahasannya dalam agenda kebijakan publik dapat dibedakan dalam tiga
bentuknya, yaitu pola kerjasama (bargaining), persuasif (persuasion), dan
pengarahan (commanding). Anderson menegaskan bahwa prhoses bargaining
dapat terjadi dalam tiga bentuknya yaitu negosiasi (negotiation), saling
memberi dan menerima (take and give) dan kompromi (compromise).
Sesungguhnya penjelasan bargaining berakar pada istilah bahwa jika terdapat
dua atau lebih aktor atau kelompok aktor yang masing-masing memiliki
18
kewenangan dan posisi tertentu tetapi dapat melakukan penyesuaian yang
diharapkan dapat terbangun dalam sistem pembahasannya.
Pada pembahasan mengenai kebijakan publik, maka aktor mempunyai
posisi yang sangat strategis bersama-sama dengan faktor kelembagaan
(institusi) kebijakan itu sendiri. Kelembagaan merupakan penentu proses
perjalanan dan strategi yang dilakukan oleh komunitas kebijakan dalam makna
yang lebih luas. Perumusan permasalahan publik merupakan fundamen besar
dalam merumuskan kebijakan publik sehingga arahnya menjadi benar, tepat dan
sesuai (Bintari, 2016).
Menurut Howlett dan Ramesh dalam Madani (2011:36)45 menjelaskan
bahwa pada prinsipnya aktor kebijakan adalah mereka yang selalu dan harus
terlibat dalam setiap proses analisa kebijakan publik, baik berfungsi sebagai
perumus maupun kelompok penekan yang senantiasa aktif dan proaktif di
dalam melakukan interaksi dan interelasi di dalam konteks analisis kebijakan
publik.
Anderson dalam Madani (2011:37) bahwa aktor kebijakan meliputi aktor
internal birokrasi dan aktor eksternal yang selalu mempunyai konsen terhadap
kebijakan. Aktor individu maupun kelompok yang turut serta dalam setiap
perbincangan dan perdebatan tentang kebijakan publik. Berdasarkan pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa aktor kebijakan yaitu seorang maupun
sekelompok orang yang terlibat dalam penentu kebijakan, baik pada proses
perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan publik. Aktor kebijakan ini
19
dapat berasal dari pejabat pemerintah, masyarakat, kaum buruh, maupun
kelompok kepentingan.
Menurut Anderson dalam Madani (2011:41), menyatakan bahwa: Dengan
memperhatikan berbagai ragam dan pendekatan dalam memahai berbagai aktor
yang terlibat dalam proses kebijakan publik, maka konsep dan konteks aktor
adalah sangat terkait dengan macam dan tipologi kebijakan yang akan
dianalisis. Dalam perspektif formulasi masalah kebijakan publik, maka aktor
yang terlibat secara garis besarnya dapat dipilah menjadi dua kelompok besar
yaitu kelompok dalam organisasi birokrasi (the official policy makers) dan yang
lain adalah keelompok di luar birokrasi (un-official policy maker).
Winarno dalam Madani (2011:41) berpandangan bahwa: Kelompok yang
terlibat dalam proses kebijakan publik adalah kelompok formal dan kelompok
non formal. Kelompok formal seperti badan-badan administrasi pemerintah
yang meliputi: eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sementara itu, kelompok
non formal terdiri dari:
Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981) yang dikutip Winarno
(2012) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak
melakukan (whatever government choose todo or not to do). Definisi ini
menunjukkan bahwa kebijakan publik dibuat oleh badan pemerintah dan
kebijakan publik juga menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak
dilakukan. Segala keputusan yang di ambil pemerintah adalah kebijakan, namun
tidak mengambil keputusan pun adalah suatu kebijakan.
20
Proses pembuatan sebuah kebijakan publik melibatkan berbagai aktivitas
yang kompleks. Pemahaman terhadap proses pembuatan kebijakan oleh para
ahli dipandang penting dalam upaya melakukan penilaian terhadap sebuah
kebijakan publik. tahapan perumusan kebijakan merupakan tahap kritis dari
sebuah proses kebijakan. Hal ini terkait dengan proses pemilihan alternatif
kebijakan oleh pembuat kebijakan yang biasanya mempertimbangkan besaran
pengaruh langsung yang dapat dihasilkan dari pilihan alternatif utama tersebut.
Proses ini biasanya akan mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan
tarik menarik diantara berbagai kepentingan sosial, politik dan ekonomi.
Stone menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan teori stratifikasi
(stratification theory), perumusan kebijakan menempatkan suatu sistem yang
mana para pejabat publik merumuskan suatu kebijakan dalam konteks yang
secara strategis mempunyai sumber daya yang amat penting yaitu susunan
hierarki (hierarchichally arrange). Oleh karena itu berkenaan dengan kebijakan
publik, maka para pejabat publik keberadaannya amat bergantung pada
kepentingan strata kekuasaan yang lebih tinggi. Stone menjelaskan bahwa
perilaku pejabat publik seperti itu merupakan asumsi dasar daripada pendekatan
kekuasaan sistemik dimana para pejabat publik berusaha mengejar apa yang
menjadi kepentingan mereka yang kemudian menghasilkan suatu relasi dimana
tingkatan jabatan tertinggi akan lebih diuntungkan daripada kepentingan strata
yang paling rendah.
E. Konsep Kebijakan Stunting
21
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi
badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan
panjang dan tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median
standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting merupakan masalah gizi
kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi
ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita
stunting di masa mendatang akan mengalami kesulitan dalam mencapai
perkembangan fisik dan kognitif yang optimal (Kemenkes RI, 2018).
Stunting masa kanak-kanak berhubungan dengan keterlambatan
perkembangan motorik dan tingkat kecerdasan yang lebih rendah. Selain itu,
juga dapat menyebabkan depresi fungsi imun, perubahan metabolik,
penurunanperkembangan motorik, rendahnya nilai kognitif dan rendahnya nilai
akademik. Anak yang menderita stunting akan tumbuh menjadi dewasa yang
berisiko obesitas, glucose tolerance, penyakit jantung koroner, hipertensi,
osteoporosis, penurunan performa dan produktivitas.
Perawakan pendek (stunting) adalah indeks status gizi di mana panjang
badan atau tinggi badan berdasar umur berada di bawah garis normal. Pada
dasarnya definisi stunting bersifat relatif, bergantung pada tinggi badan
orangtua dan pola pertumbuhan setempat. Populasi yang dimaksud berkaitan
dengan ras atau golongan tertentu, sedangkan daerah atau ketinggian dataran
tempat tinggal tidak berkaitan dengan kondisi perawakan pendek meskipun
banyak orang yang tinggal di dataran tinggi cenderung lebih pendek dari orang-
orang yang tinggal didataran rendah. Stunting juga merupakan jenis malnutrisi
22
terbanyak dan masih menjadi masalah gizi utama hampir di seluruh provinsi
Indonesia ditandai dengan gangguan pertumbuhan dan berdampak pada
kecerdasan intelektual, motorik, psikosoial yang buruk karena perkembangan
fisik dan mental anak dapat bermasalah. Seorang anak dikatakan memiliki
tinggi badan di bawah garis normal atau pendek jika hasil pengukuran tinggi
badan atau umur (TB/U) berada di bawah -2 standar deviasi (SD) dan dikatakan
sangat pendek jika TB/U berada di bawah -3SD. Pengukuran tersebut dinilai
dengan WHO Chart.
Schmidt 2014 dalam Fikawati (2017) mengatakan bahwa stunting juga
didefinisikan sebagai tinggi badan menurut usia di bawah -2 standar median
kurva pertumbuhan anak WHO (WHO, 2010). Stunting merupakan kondisi
kronis buruknya pertumbuhan linear seorang anak yang merupakan akumulasi
dampak berbagai faktor seperti buruknya gizi dan kesehatan sebelum dan
setelah kelahiran anak tersebut (El Taguri et al., (2008), WHO (2010). Hal yang
sama juga dikemukakan oleh Schmidt (2014) yang menyatakan bahwa stunting
merupakan dampak dari kurang gizi yang terjadi dalam periode waktu yang
lama yang pada akhirnya menyebabkan penghambatan pertumbuhan linear.
Asas penurunan stunting yaitu:
a. Bertindak cepat dan akurat;
b. Penguatan kelembagaan dan kerja sama;
c. Akuntabilitas;
d. Transparansi.
23
Intervensi gizi sensitif mencakup: (a) Peningkatan penyediaan air bersih
dan sarana sanitasi; (b) Peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan
kesehatan; (c) Peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan gizi
ibu dan anak; (c); serta (d) Peningkatan akses pangan bergizi. Intervensi gizi
sensitif umumnya dilaksanakan di luar Kementerian Kesehatan. Sasaran
intervensi gizi sensitif adalah keluarga dan masyarakat dan dilakukan melalui
berbagai program dan kegiatan sebagaimana tercantum di dalam Tabel 2-2.
Program/kegiatan intervensi di dalam tabel tersebut dapat ditambah dan
disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.
Tabel 2.2 Intervensi Gizi Sensitif Percepatan Penurunan Stunting
JENIS INTERVENSI PROGRAM/ KEGIATAN INTERVENSI
Peningkatan
penyediaanair minum
dan sanitasi
Akses air minum yang aman
Akses sanitasi yang layak
Peningkatan akses
dankualitas pelayanan
gizidan kesehatan
Akses pelayanan keluarga berencana
(KB)
Akses jaminan kesehatan (JKN)
Akses bantuan uang tunai untuk keluarga
miskin (PKH)
Peningkatan
kesadaran,komitmen, dan
praktikpengasuhan dan
gizi ibu dan anak
Penyebarluasan informasi melalui
berbagai media
Penyediaan konseling perubahan perilaku
antar pribadi
Penyediaan konseling untuk pengasuh
orang tua
Penyediaan akses pendidikan anak usia
dini (PAUD), promosi stimulasi anak
usia dini, dan pemantuan tumbuh
kembang anak
Penyediaan konseling kesehatan dan
reprodusi untuk remaja
24
Pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak
Peningkatan aksespangan
bergizi
Akses bantuan pangan non tunai (BPNT)
untuk keluarga kurang mampu
Akses fortifikasi bahan pangan utama
(garam, teping terigu, minyak goring)
Akses kegiatan kawasan rumah pangan
lestari (KRPL)
F. Faktor-faktor Yang Mengmpengaruhi Kebijakan Stunting
1. Pola Makanan
Masalah stunting dipengaruhi oleh rendahnya akses terhadap makanan dari
segi, serta seringkali tidak seragam.
2. Pola Asuh
Stunting juga dipengaruhi aspek perilaku, terutama pada pola asuhyang
kurang baik dalam praktek pemberian makanan bagi bayi dan balita.
3. Sanitasi dan akses air bersih
Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya
adalah akses sanitasi dan air bersih, mendekatkan anak pada risiko ancaman
penyakit infeksi. Untuk itu perlu membiasakan cuci tangan pakai sabun pada
air mengalir, serta tidak buang air besar sembarangan.
G. Kerangka Pikir
Kerangka pemikiran merupakan penjelasan sementara terhadap gejala
yang menjadi objek permasalahan di sebuah topik penelitian. Yang menjadi
25
kriteria utama dalam membuat suatu kerangka berpikir agar dapat meyakinkan
ilmuwan adalah alur-alur pemikiran yang logis, bisa dibilang bahwa kerangka
berpikir adalah sintesa tentang hubungan antara variabel yang disusun
berdasarkan beragam teori yang telah dideskripsikan.
Dalam penelitian ini, penulis berusaha meninjau Model Perumusan
Kebijakan Stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng dengan cara
menggambarkan proses pelaksanaan Model Perumusan Kebijakan Stunting di
Desa Labbo dengan menggunakan model dan tipe perumusan kebijakan
menurut Anderson yaitu model pola kerja sama (bargaining), model persuasif
(persuasion) dan pengarahan (commanding). Berdasarkan penjelasan kerangka
piker, maka penulis akan menyederhanakan dalam bentuk bagan sebagai
berikut:
Model Perumusan Kebijakan Stunting di Desa
Labbo Kabupaten Bantaeng
26
Gambar 2.1 : Bagan Kerangka Pikir
H. Fokus Penelitian
Fokus penelitian dalam penelitian kualitatif digunakan sebagai
faktor untuk memperdalam penelitian. Adapun fokus dalam penelitian ini
yang di maksud adalah implementasi kebijakan berkaitan dengan model
perumusan kebijakan stunting di desa labbo Kabupaten Bantaeng
menggunakan model dan tipe perumusan kebijakan menurut Anderson yaitu
model pola kerja sama (bargaining), model persuasif (persuasion), dan
pengarahan (commanding).
I. Deskriptif Fokus Penelitian
Pengarahan
(Commanding)
Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Perumusan
Kebijakan Desa Mengenai
Stunting
Perumusan Kebijakan
Menurut Anderson
Pola Kerja Sama
(Bargaining)
Model Persuasif
(Persuasion)
27
Berdasarkan fokus penelitian yang telah di uraikan penulis kemudian
akan dideskripsikan berikut ini:
1. Model pola kerja sama (bargaining)
Pada model kerja sama (bargaining) dapat terjadi dalam tiga bentuknya
yaitu negosiasi (negotiation) adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat
pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaukan tujuan
yang berbeda dan bertentangan, saling memberi dan menerima (take and
give) dan kompromi (compromise) merupakan upaya untuk memperoleh
kesepakatan di antara dua pihak yang saling berbeda pendapat atau pihak
yang berselisih.
2. Model persuasif (persuasion).
Model persuasi (persuasion) ialah adanya polarisasi kelompok
dalam perumusan kebijakan, yang di maksudkan polarisasi kelompok
adalah adanya kelompok aktor yang menyebabkan aktor lain mengubah
keputusan mereka ini bisa di lihat dari adanya negosiasi dan kompromi
yang di lakukan oleh aktor perumus kebijakan, baik ke arah yang lebih
teliti, atau lebih mengandung resiko dengan mengumpulkan pendapat
kelompok aktor sampai tahap penentuan suatu kebijakan.
3. Pengarahan (commanding).
Pola hubungan dan interaksi antara aktor pada model ini adalah berkaitan
dengan pola perumusan kebijakan yang sangat struktural, dimana satu
kelompok aktor menjadi superordinat dan kelompok yang lain tentu saja
menjadi subordinat. Tipe pengambilan kebijakan menempatkan posisi ini
28
mirip dengan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga perumus
pengelolaan sumber daya alam daerah dalam bentuk kebijakan.
29
SBAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kantor Desa labbo Kabupaten Bantaeng
selama 2 bulan yang dimulai dari tanggal 15 Agustus 2020 sampai 15 Oktober
2020 dimana titik pengambilan data penelitian tentang Model Perumusan
Kebijakan Stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng.
B. Jenis dan Tipe Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif (Qualitative
Research). Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis, penelitian ini membahas
tentang objek yang alamiah sesuai dengan apa yang telah terjadi maupun belum
terjadi dilapangan.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan studi kasus yang merupakan bentuk penelitian yang bertujuan untuk
memberikan gambaran umum berbagai macam data yang dikumpul dari
lapangan secara objektif berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi
berdasarkan pengalaman hidup seseorang.
C. Sumber Data
Jenis data yang akan digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya, diamati, dan
dicatat pertama kalinya melalui wawancara dan observasi. Sedangkan data
sekunder adalah data yang didapatkan dari buku dan materi tertulis yang
30
relevan dengan tujuan penelitian. Data sekunder ini juga biasa disebut data
yang diperoleh dari sumber kedua melalui dokumentasi lembaga.
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari hasil
observasi maupun wawancara oleh narasumber atau informan pada
objek/lokasi penelitian.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung terkait
dengan objek penelitian. Data sekunder berupa data pendukung yang
bersumber dari literatur maupun dokumen-dokumen yang terkait dengan
objek atau lokasi penelitian.
D. Informan Penelitian
Informan yaitu orang-orang yang paham atau pelaku yang terlibat
langsung dengan permasalahan penelitian. Informan yang dipilih adalah yang
dianggap relevan dalam memberikan informasi mengenai Model Perumusan
Kebijakan Stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng. Penulis mentukan
informan pokok sebanyak 7 orang, informan pokok sebagai berikut :
31
Tabel 3.1
Informan Penelitian
E. Teknik
Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara
natural setting (kondisi yang alamiah), bahwa dalam metode ini peneliti
mengunakan beberapa teknik untuk mengumpulkan data yaitu:
1. Wawancara
Wawancara merupakan suatu percakapan antara dua orang atau lebih
untuk bertukar informasi mengenai suatu masalah tertentu, atau bertukar ide
melalui tanya jawab, sehingga penulis bisa mendapatkan makna dalam suatu
topic tersebut. Dengan wawancara penulis akan mengetahui hal-hal yang
NO JABATAN KETERANGAN
1. Kepala Desa
Labbo
1 Orang
2. Sekertaris Desa
Labbo
1 Orang
3. Ketua BPD Desa
Labbo
1 Orang
4. Wakil BPD Desa
Labbo
1 Orang
5. Sekertaris BPD
Desa Labbo
1 orang
6. Staf Desa Labbo 1 Orang
7. Tokoh Masyarakat 1 Orang
32
lebih mendalam mengenai situasi dan fenomena yang terjadi di lapangan,
yang dimana hal ini tidak bisa ditentukan melalui observasi.
Dalam melakukan wawancara penulis menyiapkan instrument
penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis untuk diajukan dan
mencatat apa yang dikemukakan informan. Penulis melakukan tanya jawab
dengan informan yang berkaitan dengan pelaksanaan model perumusan
kebijakan stunting di desa labbo kabupaten bantaeng.
2. Observasi
Observasi bertujuan untuk mengamati subjek dan objek penelitian.
Observasi adalah instrument yang dipakaiuntuk melaksanakan pengamatan
lamgsung mengenai fenomena yang ada rangkaian dengan masalah yang
bakal membahas dalam penelitian ini. Dari segi teknik perwujudan
penumpukan data observasi.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu,
dokumen bisa berupa gambar, tulisan atau karya-karya seseorang. Dengan
dokumentasi penulis dapat mendapatkan data-data atau dokumen-dokumen
yang dapat mendukung terhadap penelitian. Yang dimana, penulis
mengumpulkan data seperti arsip-arsip mengenai model perumusan
kebijakan stunting di desa labbo kabupaten bantaeng.
F. Teknik Analisis Data
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan yaitu model perumusan
kebijakan stunting di desa labbo kabupaten bantaeng, maka mengenai hal
33
tersebut akan di kemukakan disini mengenai analisis data yang bertujuan untuk
mencari dan menyusun data secara sistematis yang diperoleh berdasarkan dari
hasil wawancara, observasi , dan dokumentasi.
Setelah mengadakan observasi, penulis mengumpulkan data-data yang
didapatkan dari hasil wawancara dan dokumentasi atau sumber yang lain yang
terkait dengan perumusan kebijakan stunting. Pada pengumpulan data dan
analisis data secara praktiknya tidak mudah dipisahkan, keduanya dikerjakan
bersamaan. Penulis mengumpulkan data dengan cara mengedit data yaitu
memeriksa data yang didapatkan mengenai kelengkapan data dan kebenaran
data sehingga data bisa untuk diproses lebih lanjut.
Penulis memberikan tanda tertentu pada data yang di dapatkan di
lapangan, dan dikelompokkan serta mengklarifikasikan data dengan cara
mengadakan seleksi data yang terkumpul sesuai dengan sumber data masing-
masing, kemudian penulis menyimpulkan data yang didapatkan sehingga hasil
penelitian mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
G. Pengabsahan Data
Keabsahan data merupakan data yang diperoleh, data yang teruji dan
data valid. Yang dimana, penulis menulis keabsahan data yang sudah di uji kan
melalui diskusi atau sharing dengan teman sejawat, mengenai referensi teori
dan melihat realitas sosial yang terjadi di lapangan serta tentang isu-isu yang
sedang berkembang mengenai perumusan kebijakan sunting, oleh karena itu
penulis terus melakukan perbaikan pada data agar penulis mendapatkan data
yang lebih baik.
34
Selain itu, penulis menggunakan teknik keabsahan data dengan cara
Trigulasi sumber yang digunakan untuk mendapatan data dari sumber yang
berbeda dengan teknik yang sama. Data dari sumber berbeda-beda yang
didapatkan dari observasi dan wawancara merupakan gambaran atas data yang
telah dikumpulkan sebagai cara perbandingan data. Dengan teknik ini, penulis
melakukan wawancara dengan informan yang satu keinforman yang lain, dan
melakukan wawancara terhadap hasil dari observasi yang di dapatkan di
lapangan.
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Gambaran Umum Kabupaten Bantaeng
Kabupaten Banateng dikenal dengan sebutan “Butta Toa” terletak di
Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini mempunyai luas wilayah 395,83
km.Terdiri atas 8 (delapan kecamatan),67 Desa dan Kelurahan, 502 Rukun
Warga (RW) dan 503 Rukum Tetangga (RT). Kedelapan kecamatan tersebut
adalah Kecamatan Bisappu, Kecamatan Bantaeng, Kecamatan Eremmerasa,
Kecamatan Uluere, Kecamatan Tompobulu, Kecamatan Pajuku’kang,
KecamatanGantarangkeke, dan Kecamatan Sinoa. Kecamatan Tompobulu
meruapakan kecamatan terbesar dengan luas wilayah 76,99 km atau 19,45
36
persen dari luas Kabupaten Bantaeng ,sedangkan kecamatan dengan luas
wilayah kecil yaitu 28,85.
Kabupaten Bantaeng adalah sebuah kabupaten di Sulawesi selatan yang
memiliki luas wilayah 395,83 km2 dengan jumlah penduduk 182.283 jiwa
(2016) dengan rincian Laki-laki sebanyak 88. 012 jiwa dan perempuan 94.271
jiwa. Terbagi atas 8 kecamatan serta 46 desa dan 21 kelurahan. Berikut
jumlah penduduk berdasarkan kecamatan di Kabupaten Bantaeng:
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk Kabupaten Bantaeng Berdasarkan Kecamatan
Kecamatan Warga Negara Indonesia
Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Bisappu 15.691 16.619 32.310
2. Uluere 5.592 5 723 11.315
3. Sinoa 5.900 6.232 12.312
4. Bantaeng 18.539 19.450 37.989
5. Eremerasa 8.734 9.728 18.462
6. Tompobulu 10.801 12.102 22.903
7. Pajukukang 14.725 15.324 30.049
8. Gantarangkeke 8.030 9.093 17.123
Jumlah 88.012 94.271 182.283
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantaeng
a. Karakteristik Lokasi Dan Wilayah
Kabupaten Bantaeng secara geografis terletak ±120 km arah selatan Makassar
ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan dengan posisi 5°21’13”-5°35’27” Bujur
Timur. Kabupaten Bantaeng terletak di daerah pantai yang memanjang pada
37
bagian barat ke timur kota yang salah satunya berpotensi untuk perikanan,
dan wilayah daratannya mulai dari tepi laut Flores sampai ke pegunungan
sekitar Gunung Lompo Battang dengan ketinggian tempat dari permukaan
laut - 25 m sampai dengan ketinggian lebih dari 1.000 m di atas permukaan
laut. Kabupaten Bantaeng dengan ketinggianantara 100 - 500 m dari
permukaan laut merupakan wilayah yang terluas atau 29,6 persen dari luas
wilayah seluruhnya, dan terkecil adalah wilayah dengan ketinggian 0 - 25 m
atau hanya 10,3 persen dari luas wilayah. Kabupaten Bantaeng terletak di
bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan yang berbatasan dengan:
1) Sebelah Utara : Kabupaten Gowa dan Kabupaten Bulukumba
2) Sebelah Timur : Kabupaten Bulukumba
3) Sebelah Selatan : Laut Flores
4) Sebelah Barat : Kabupaten Jeneponto
b. Keadaan Iklim
Letak geografis Kabupaten Bantaeng yang strategis memiliki alam tiga
dimensi, yakni bukit pengunungan, lembah daratan dan pesisir pantai, dengan
dua musim. Iklim di daerah ini tergolong iklim tropis basah dengan curah
hujan tahunan rata-rata setiap bulan 200 mm. Dengan adanya kedua musim
tersebut sangat menguntungkan bagi sektor pertanian.
c. Kesehatan
Pembangunan bidang kesehatan di Kabupaten Bantaeng diarahkan agar
pelayanan kesehatan lebih meningkat lebih luas, lebih merata, terjangkau oleh
lapisan masyarakat.Kesehatan merupakan bagian yang terpenting dan
38
diharapkan dapat menghasilkan derajat kesehatan yang lebih tinggi dan
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial maupun ekonomis.
Penyedia sarana pelayanan kesehatan berupa rumah sakit, puskesmas dan
tenaga kesehatan semakin ditingkatkan jumlahnya sesuai dengan rencana
pentahapannya, sejalan dengan itu peyediaan obat-obatan, alat kesehatan,
pemberantasan penyakit menular dan peningkatan penyuluhan dibidang
kesehatan.
Salah satu tujuan pembangunan, khususnya pembangunan Sumber Daya
Manusia (SDM) adalah terciptanya kehidupan masyarakat yang sehat,
beriman dan menguasai teknologi. Sehingga melahirkan generasi penerus
yang beriman, cerdas dan menguasai teknologi.
d. Visi dan Misi Kabupaten Bantaeng
1. Visi:
“Yakni terwujudnya masyarakat Bantaeng yang sejahtera lahir dan batin,
berpotensi pada kemajuan, keadilan, kelestarian, dan keunggulan berbasis
agama dan budaya local”.
2. Misi:
a. Mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
b. Meningkatkan akselerasi program pengentasan kemiskinan dan
perluasan kesempatan kerja.
c. Meningkatkan akses, pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan
dan pelayanan sosial lainnya.
39
d. Mengoptimalkan kualitas dan pemerataan pembangunan insfraktuktur
yang berbasis kelestarian lingkungan.
e. Mengoptimalkan pengembangan pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
f. Mewujudkan reformasi birokrasi dan pelayanan publik.
e. Gambaran Khusus Lokasi Penelitian
Secara khusus lokasi penelitian ini berada di Kecamatan Tompobulu,
Kabupaten Bantaeng tepatnya di Desa Labbo, alasan peneliti memilih
lokasi tersebut karena Desa Labbo merupakan desa dengan penduduk
terbanyak dalam Kecamatan tompobulu selain itu Desa Labbo
merupakan desa yang sebagian besar kondisi kesehatan anak masih
kurang, sedangkan untuk program stunting yang kondisi gagal tumbuh
pada anak akibat dari kekurangan gizi memerlukan makanan yang
bergizi. Diantara 10 desa/kelurahan yang terletak di Kecamatan
Tompobulu, Desa Labbo merupakan desa yang terletak di dataran
rendah.
2. Kantor Desa Labbo
Desa Labbo adalah Desa yang paling tua dalam wilayah Kecamatan
Tompobulu. Menurut sejarahnya Desa Labbo berasal dari perkataan Labboro
yang berarti longsoran Tanah yang pada waktu itu merupakan bagian kampung
Ganting, nama ini diberikan oleh pada leluhur kampong Ganting (Tau toana
Ganting) yaitu Ni Camma.
40
Tahun 1961, masyarakat yang bermukim diluar kampung Ganting
disatukan dalam kampung Labbo ini diprakarsai olek karaeng Naikang yang saat
itu berada di Kampung Ganting. Tahun 1963 awal mula terbentuknya Desa
Labbo yang terbagi menjadi Dua Dusun yaitu Dusun Bagan (Bawa dan Ganting)
dan Dusun Pattaneteang Kepala Desa pertama adalah Bapak Kaimuddin yang
memimpin mulai Tahun 1963-1970.
Pada tahun 1970-1977, jabatan Kepala Desa dijabat oleh Bapak Padu, S
menggantikan bapak Kaimuddin. Kemudian pada tahun 1977-1981 Bapak
Padu,S digantikan Oleh Bapak Budu,S Dg Ngunjung dan pada waktu
Pemerintahan beliau banyak mengubah Pola hidup Masyarakat tentang peduli
kebersihan Lingkungan dan Penataan Pemukiman yang pada saat itu belum
teratur. Dan hanya memimpin selama 4 Tahun.
Tahun 1881-1983 Kepala Desa dijabat oleh Bapak Haris, tahun 1983-
1986, dijabat oleh Bapak Kadir, tahun 1986-2002. Dijabat oleh Sahib Sehu yang
dijabat selama Dua periode kepemimpinan pada waktu itu sudah Nampak
pembangunan Pembukaan jalan Poros Kayu Tanning ke Taccepe (Dusun Bawa)
yang dilakukan secara swadaya dan juga membagi wilayah menjadi Tiga dusun
Yaitu Dusun Ganting, Panjang, dan Bawa, dan pernah mendapat Juara 1 Lomba
P2WKSS Tingkat provinsi.
Selanjutnya tahun 2002-2013, dijabat oleh Bapak Subhan, S.Ag selama dua
periode kepemimpinan melalui pemilihan secara Demokratis. Dimasa ini
Pembangunan Desa Nampak secara pesat. Dan tahun 2003 wilayah kembali
dimekarkan menjadi Empat Dusun yaitu Dusun Pattiro, Ganting, Panjang, Bawa
41
dan pada tahun 2005 meraih Juara III Lomba P2WKSS. Tahun 2007
dipercayakan lagi mengikuti Lomba Desa Tingkat provinsi dan mendapat juara
III .dan Tahun 2009 dimekarkan lagi wilayah menjadi Enam dusun yaitu
Pattiri,Labbo, Ganting,Panjang Selatan, Panjang Utara, Bawa dan masuk
sebagai Desa Berprestasi pada tahun 2010. Tahun 2013 sampai sekarang Kepala
Desa dijabat oleh Bapak Sirajuddin, S.Ag, dimana beliau sebelumnnya pernah
menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Bantaeng.
a. Kondisi Geografis Desa labbo
Secara administrasi Desa Labbo terletak di wilayah kacamatan
Tompobulu Kabupaten Bantaeng dengan luas wilayah 12,81 Km, yang
terdiri atas beberapa jenis lahan dan peruntukkannya. Desa Labbo secara
geografis berada diketinggian antara 800-1200 di atas permukaan air laut.
Dengan keadaan curah hujan 2000 mm dengan jumlah curah hujan 6 bulan,
serta suhu rata-rata harian adalah 27ºC, dengan bentang wilayah 11 Km.
Adapun batas-batas wilayah Desa Labbo adalah :
Sebelah Utara : Asayya dan Kab.Bulukumba
Sebelah Timur : Desa Pattaneteang dan Kab.Bulukumba
Sebelah Barat : Desa Balumbung dan Kelurahan Ereng-ereng
Sebelah Selatan : Kelurahan Ereng-ereng dan Kab.Bulukumba
Dalam pembagian wilayah Desa Labbo terbagi atas beberapa
wilayah Dusun antara lain :
1. Dusun Pattiro
2. Dusun Panjang Utara
42
3. Dusun Panjang Selatan
4. Dusun Bawa
5. Dusun Ganting
6. Dusun Labbo
Adapun orbitasi atau jarak Desa Labbo ke Ibu Kota Kacamatan adalah
7 Km, jarak Desa Labbo ke Ibu Kota Kabupaten 37 km dan jarak Desa
Labbo ke Ibu Kota Propinsi 157 km.
Secara umum masyarakat Desa Labbo bermata pencaharian sebagai
petani. Tanaman yang ditanam umumnya tanaman perkebunan seperti
tanaman kopi dan cengkeh. Adapun sebagian kecil masyarakat sebagai
wiraswasta. Saat ini Desa Labbo mengembangkan potensi hutan desa dan
memiliki banyak potensi tanam baik kayu maupun non-kayu. Kawasan
huatan desa dan memiliki banyak potensi tanaman baik kayu maupun non-
kayu. Kawasan hutan desa yang terdapat di Desa Labbo sesuai badan
planalogi kehutanan dan hasil peta paduserasi provinsi Sulawesi Selatan
seluas 342 Hektar. Terkhusu ada hasil hutan non-kayu yang potensinya
sangat besar dari area hutan desa yang ada di Desa Labbo berupa komoditi
rotan, Banga Ponda (Berdaun besar dan tinggi), Banga Tambu (berdaun
kecil dan banyak), anggrek tanah, bunga kembang doa, markisa, dan kopi.
Untuk rotan terdapat tiga jenis rotan yaitu, uhe tambu, uhe taning, uhe
thumani. Untuk jenis tanaman berupa rotan berada pada wilayah barat laut
dan berat daya dari hutan desa dengan luasa 93,3822 Ha, untuk tanaman
Banga memiliki luas 6,0719 Ha, untuk anggrek tanah dan kembang doa
43
memiliki luas 0,089 Ha dan 0,3477 Ha yang masing-masing tanaman
tersebut berada pada wilayah perbatasan antara Desa Labbo dan Desa
Pattaneteang.
Hal ini mengidentifikasikan bahwa potensi hutan berupa non-kayu
dari areal hutan desa yang ada di Desa Labbo sangat besar, mengingat
dimana tanaman rotan dan Banga dapat dijakan pasokan untuk pembuatan
bahan kerajiana dan sebagai bahan baku keperluan industri, sedangkan
anggrek tanah, kembang doa dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias yang
memiliki nilai jual cukup besar sehingga dapat dijadikan sebuah peluang
untuk mendorong tumbuhnya pengembangan usaha-usaha dari tanaman
tersebut dan secara tidak langsung akan mendorong terwujudnya
pengelolaan hutan yang lestari serta peningkatan pendapatan masyarakat.
Desa Labbo Kecamatan Tompobulu Kabupaten Bantaeng merupakan
salah satu wilayah pengembangan pasar produk hutan desa. Potensi hutan
desa di desa Labbo Kecamatan Tompobulu Kabupaten Bantaeng dapat
dikembangkan seiring dengan meningkatnya permintaan pasar. Salah satu
aspek yang perlu dikembangkan adalah aspek ekonomi dalam
pengembangan pasar, di mana pengembangan pasar di desa ini kurang
berkembang. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya informasi
pasar, untuk itu perlu adanya pengamatan lingkungan untuk melihat peluang
baru bagi masyarakat di Desa Labbo. Peluang pemasaran adalah suatu
kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan pendapatan.
44
b. Kesehatan
1. Puskesmas
Sarana kesehatan Puskesmas/Puskesmas Pembantu tersedia 1 unit
yang terletak di dusun Labbo. Pelayanan Puskesmas masih kurang
maksimal akibat kurangnya tenaga dan alat kesehatan yang tersedia,
sehingga masyarakat lebih banyak mengakses Puskesmas Banyorang
yang terletak di Ibu Kota Kecamatan.
Puskesmas adalah sarana unit fungsional kesehatan terdepan yang
memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat di wilayah
Desa Labbo. Puskesmas mempunyai fungsi utama menjalankan upaya
pelayanan kesehatan untuk menanggulangi masalah kesehatan
masyarakat, terutama menggerakkan program promosi kesehatan,
penanggulangan dan pencegahan penyakit.
2. Poskesdes
Sarana kesehatan Poskesdes tersedia 1 unit yang terletak di dusun
Panjang Utara. Pelayanan poskesdes sudah maksimal baik dari segi
tenaga maupun alat kesehatan, sehingga warga masyarakat dari dusun
Panjang Selatan, dusun Panjang Utara, dusun Bawa’ dan desa tetangga
dapat mengakses Poskesdes tersebut.
Dengan adanya Poskesdes permasalahan warga masyarakat di desa
dapat terdeteksi dini, sehingga bisa ditangani cepat dan diselesaikan,
sesuai kondisi potensi dan kemampuan yang ada agar warga masyarakat
memperoleh pelayanan kesehatan dasar yang dekat.
45
3. Posyandu
Di desa Labbo terdapat 2 unit Posyandu Permanen dan 5 unit
Posyandu non permanen. Adapun mamfaat Posyandu bagi masyarakat
adalah memperoleh kemudahan untuk mendapatkan informasi dan
pelayanan kesehatan bagi anak balita dan ibu, pertumbuhan anak balita
terpantau sehingga tidak ada anak yang menderita gizi buruk. Bayi dan
anak balita mendapatkan kapsul Vitamin A, bayi memperoleh
imunisasi lengkap, ibu hamil juga akan terpantau berat badannya dan
memperoleh tablet tambah darah serta mendapat penyuluhan kesehatan
yang berkaitan tentang kesehatan ibu dan anak. Dan bagi kader
posyandu mendapatkan berbagai informasi kesehatan lebih dahulu dan
lebih lengkap, ikut berperan secara nyata dalam tumbuh kembang anak
balita dan kesehatan ibu.
4. Sanitasi
Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup
bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung
dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan
usaha ini akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia.
Sistem sanitasi rumah tangga di Desa Labbo masih sangat
sederhana dengan pola konservatif. Pembuangan limbah rumah tangga
tidak mendapat perhatian serius dari warga masyarakat akibat
minimnya pengetahuan tentang kesehatan. Upaya peningkatan mutu
46
hidup dan kesehatan yang lebih baik tentunya harus di tunjang dengan
sosialisasi dan aktualisasi dari instansi terkait secara optimal.
c. Visi dan Misi Desa Labbo
Visi Desa Labbo yaitu:
“Kemandirian Desa Labbo sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi berbasis
Potensi Lokal dan mejadi Desa Terkemuka di Wilayah Utara di Kabupaten
Bantaeng”
“Menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dibagian Selatan Sulawesi Selatan”
1. Kemandirian yang diartikan bahwa desa Labbo memiliki sumber daya
manusia masyarakat berdemokrasi, akses pendidikan, sumber daya
kelembangaan desa, ada daya partisipasi/ gotong royong, sumber daya
alam, sumber daya keagamaan dan kearifan local yang mampu dikelola
secara mandiri.
2. Pusat pertumbuhan adalah pemerintahan berbasis sumber daya
manusia, Ekonomi, pertanian/perkebunan, peternakan, dan kearifan
local yang dalam prosen kebijakan keberlanjutan dan menitip beratkan
menyebarluaskan pusat pertumbuhan akan kesejahteraan produktif dan
berkelanjutan.
3. Lokal potensi/aset/ daya yang dapat diartikan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan bersama-sama masyarakat yang ada prakteknya.
4. Nilai-nilai agama dapa dimaknai bahw setiap aktivitas yang
dilaksankan oleh aparat pemerintah Desa Labbo dan Masyarakat Desa
47
Labbo dapat mencerminkan perilaku hidup terpji sebagai perwujuban
dari nilai-nilai Agama.
5. Accidong sipangngadakkang bahwa penyelanggaraan pemerintah dan
pengololaan Desa Labbo dan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang
berorientasi pada pelaksanaan pembangunan desa secara adil dan
merata dengan memposisikan masyarakat sebagai pelaku, dan
pengelolaan Desa Labbo ( Ankutabel, Transparan dan Partisipatif)
6. Budaya dapat diartikan bawhwa dalam kehidupan bermasyarakat
senantiasa kita untuk saling sipakaiga, sipassiriki, sikapaccei,
sikamaseang, dan assamaturu agar tali persaudaraann tetap kokoh
sehingga dapat menjadi kunci kesuksesan dalam membangunan Desa
Labbo yang di cita-citakan bersama.
Adapun Misi Desa Labbo adalah :
Program Fisik :
1. Pengembangan dan peningakatan sarana jalan yang menunjang yang
menunjang transportasi, baik jalur pertanian, perkebunan warga dan
lintas desa.
2. Membangun saran olah raga yang layak bagi generasi muda, terutama
volly dan sepak takaw.
3. Peningkatan sarana pelayanan dasar desa
4. Fasilitasi pengadaan pupuk bagi petani
5. Penyusunan perencanaan Desa secara parisipatif
48
Program Non Fisik:
1. Menciptakan Aparat pemerintahan yang profesional demi mewujudkan
pelayanan yang maksimal
2. Mendorong lembaga yang ada Desa dalam peningkatan kapasitas,
penyiapan fasilitas dan pengelolaan biaya oprasional kelembagaannya
3. Fasilitasi Beasiswa anak sekolah SD, SLTP, SLTA bagi siswa yang
kurang mampu dan berprestasi
4. Meningkatkan kapasitas kelompok PKK dan Mejlis taklim
5. Membina Kelompok Tani dan Peternak dalam pengelolaan pertanian
dan peternakan
49
d. Struktur Organisasi Kantor Desa Labbo
Gambar 4.1
Struktur Organisasi Kantor Desa Labbo
Sumber: hasil penelitian 2020
Tugas-tugas perangkat Desa
a. Kepala Desa
Dalam menjalankan tugasnya, kepala desa menyampaikan laporan
(LPJ) kepada Badan Permusyawaratan Desa. Setiap tahun, kepala desa
Kepala Desa
Kasi
Pelayanan
Kaur
Keuangan
Sekertaris Desa
Kasi
Kesejahter
aan
Kaur Tata
Usaha Dan
Umum
Kaur
Perencan
aan
Kepala Dusun II
Kasi
pemerint
ahan
Kepala Dusun
III
Kepala Dusun
I
50
juga menyampaikan laporan kepada bupati. Sebab, bupatilah yang
berwenang mengangkat dan memberhentikan kepala desa. Kepala desa
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan,
pembangunan, dan kemasyarakatan.
b. Sekertaris Desa
Melaksanakan urusan ketatausahaan seperti tata naskah,
administrasi surat menyurat, arsip dan ekspedisi. Melaksanakan urusan
umum seperti penataan desa, penyediaan prasarana perangkat desa dan
kantor, penyiapan rapat, pengadministrasian asset, inventarisasi,
perjalanan dinas, dan pelayanan umum.
c. Kepala Urusan
Kepala urusan atau yang disingkat kaur yang berkedudukan
sebagai unsur staf yang membantu sekertaris desa dalam melakukan
pelayanan ketatausahaan kepada kepala desa dan kepala masyarakat
sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, dan bertanggungjawab
kepada kepala desa melalui sekertaris desa. Adapun tugas kapala urusan
adalah membantu sekertaris desa dalam urusan pelayanan administrasi
pendukung pelayanan tugas-tugas pemerintahan. Kepala urusan terdiri
dari kepala urusann tata usaha dan umum, kepala urusann keuangan, dan
kepala urusan perencanaann.
d. Kepala seksi
Kepala seksi atau yang disingkat kasi adalah unsur staf drsa yang
berkedudukan sebagai unsuer pelaksana yang membantu kepala desa
51
dalam melaksanakan tugas-tugas operasional penyelenggaraan
pemerintah desa, pelaksanaan pembangunann desa pembinaan
kemasyarakatan, dan peberdayaan masyarakat desa serta
bertanggungjawab kepada kepala desa. Kepala seksi terdiri dari kepala
seksi pemerintahan, kepala seksi kesejaheraan, dan kepala seksi
pelayanan. Tugas kepala seksi adalah membantu kepala desa sebagai
pelaksana tugas operasional.
e. Kepala Dusun
Di daerah pedesaan, unsur kewilayahan diwijudkan dalam bentuk
dusun. Dusun terbentuk dari kumpulan beberapa rukun warga (RW)
yang berdekatan. Setiap dusun dipimpin ole seorang kepala
dusun.kepala dusun membantu jalanyapemerintahan desa di tingkat
dusun.
B. Model Perumusan Kebijakan Stunting di Desa Labbo Kabupaten
Bantaeng
1. Pola Kerja Sama
Pada model kerja sama (bargaining) dapat terjadi dalam tiga bentuknya
yaitu negosiasi (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give) dan
kompromi (compromise). Permasalahan Stunting merupakan isu baru yang
berdampak buruk terhadap permasalahan gizi di Indonesia karena
mempengaruhi fisik dan fungsional dari tubuh anak serta meningkatnya angka
kesakitan anak, bahkan kejadian stunting tersebut telah menjadi sorotan WHO
untuk segera dituntaskan. Sebaigamana dari hasil wawancara sebagai berikut:
52
“Dapat dilihat dari di bentuknya posyandu di desa dan adanya bantuan
pemerintah dalam menangani gizi buruk utamanya anak dan balita.
Adanya bantuan bidan desa, adanya penyuluhan kesehatan didesa”.
(Hasil wawancara dengan bapak SJ, 15/09/2020)
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa model perumusan
kebijakan stuting di desa labbo Kabupaten Bantaeng dapat di lihat banyak
memiliki keunggulan dari posyandu di desa dalam menangani gizi buruk pada
anak.
Idealnya pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak pada kegiatan
Posyandu dilakukan rutin setiap bulan sekali oleh tenaga kesehatan dibantu oleh
KPM dan kader Posyandu. Namun untuk pengukuran panjang badan bayi dan
baduta (0-23 bulan) atau tinggi badan balita (24-59 bulan) dapat dilakukan
minimal tiga bulan sekali. Pengukuran stunting dilakukan dengan mengukur
panjang badan untuk anak di bawah dua (2) tahun dan tinggi badan untuk anak
berusia dua tahun ke atas dengan menggunakan alat antropometri yang tersedia
di Puskesmas (length measuring board dalam posisi tidur untuk anak baduta dan
microtoise dalam posisi berdiri untuk anak balita). Kedua alat ini harus
dikalibrasi secara rutin oleh tenaga kesehatan sebelum digunakan untuk quality
assurance. Umur anak harus dipastikan melalui catatan resmi seperti akta
kelahiran atau buku KIA.
Adapun mekanisme dalam perumusan kebijakan stunting yang di lakukan
oleh Desa labbo. Sebagaimana dari hasil wawancara yang sebagai berikut:
“ada kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah Daerah dan Kepala
Desa Labbo dalam merumuskan kebijakan stunting”. (Hasil wawancara
dengan ibu RK, 03/09/2020)
53
Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa model perumusan
kebijakan stunting di Desa Labbo kabupaten bantaeng sudah memiliki kebjikan
dalam merumuskan kebijakan stunting yang di rumuskan oleh pemerintah
daerah dan kepala Desa.
Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi dilaksanakan
dengan menggunakan pendekatan Holistik, Intergratif, Tematik, dan Spatial
(HITS). Upaya penurunan stunting akan lebih efektif apabila intervensi gizi
spesifik dan sensitif dilakukan secara terintegrasi atau terpadu. Beberapa
penelitian baik dari dalam maupun luar negeri telah menunjukkan bahwa
keberhasilan pendekatan terintegrasi yang dilakukan pada sasaran prioritas di
lokasi fokus untuk mencegah dan menurunkan stunting.
Dalam pengambilan kebijakan stunting, harus mengutamakan kepentingan
masyarakat. Sebagaimana hasil wawancara sebagai berikut:
“kebijakan pemerintah mempromosikan permasalahan dalam kebijakan
stunting tetap harus mengutamakan kepentingan masyarakat banyak
tetapi tidak menyepelekan dan tetap memperhatikan kampromisasi
dalam stunting. Dan tetap mengambil langkah-langkah perbaikan untuk
kedepannya untuk perbaikan permasalahan dalam stunting”. (Hasil
wawancara sdengan ibu RK, 03/09/2020)
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pemerintah tetap
harus mengutamakan kepentingan masyarakat banyak dan tetap memperhatikan
kampromisasi dalam stunting. Tujuan dari pelaksanaan kebijakan ini adalah
untuk memberikan pelayanan yang prima kepada Puskesmas yang ada di
kabupaten bantaeng dalam menangani masalah stunting.
Pembuatan sebuah kebijakan seringkali dinyatakan dengan kata atau istilah
yang berbeda-beda. Proses penyusunan kebijakan merupakan satu rangkaian
54
aktivitas yang tidak terpisahkan dari sebuah proses kebijakan, artinya suatu
aktivitas yang berlangsung secara simultan. Dalam proses penyusunan kebijakan
terdapat proses tawar menawar (bargaining) yang terjadi antara aktor-aktor
pembuat kebijakan dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangan
dilaksanakan bukan untuk menyinkronkan kepentingan rakyat namun digunakan
untuk meraih kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) itu sendiri (Madani,
2010:9). Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 disebutkan
bahwa kepala daerah adalah pemimpin daerah. Dengan demikian, kepala daerah
mempunyai kedudukan untuk memimpin daerah sebagai kesatuan masyarakat
hukum, yang didalamnya terdapat pemerintah daerah dan komunitas-komunitas
otonom lainnya.
Kebijakan pemerintah dalam penurunan angka stunting di kabupaten
bantaeng khususnya di puskesmas labbo. Sebagaimana hasil wawancara sebagai
berikut:
“pemerintah bekerjasama dengan kepala desa/kelurahan mengeluarkan
perdes untuk stunting”. (Hasil wawancara dengan bapak PN,
05/09/2020)
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa pembuatan perdes
tentang stunting pemerintah bekerjasama dengan kepala desa/kelurahan.
Program stunting ini diterealisasikan di Desa Labbo, program stunting ini
dibentuk pada tahun 2018, di desa labbo sendiri pada tahun 2019 telah
merealisasikan program stunting ini.
Pemerintah desa Labbo awalnya sangat intensif memberikan arahan
kepada masyarakat agar masyarakat desa Labbo dapat bekerjasama serta saling
55
membantu dalam mengawal serta melaksanakan stunting ini secara maksimal.
Pemerintah desa juga sangat menyambut secara antusias saran, masukan, serta
keluhan dari masyarakat desa Labbo itu sendiri.
2. Persuasi (persuasion)
Persuasi (persuasion) ialah adanya polarisasi kelompok dalam perumusan
kebijakan, yang di maksudkan polarisasi kelompok adalah adanya kelompok
aktor yang menyebabkan aktor lain mengubah keputusan mereka ini bisa di lihat
dari adanya negosiasi dan kompromi yang di lakukan oleh aktor perumus
kebijakan, baik ke arah yang lebih teliti, atau lebih mengandung resiko dengan
mengumpulkan pendapat kelompok aktor sampai tahap penentuan suatu
kebijakan. Sebagaimana hasil wawancara sebagai berikut:
“dalam hal ini kendala yang di hadapi dalam mengumpulkan pendapat
kelompok aktor dalam tahap pengumpulan aktor adalah susahnya
memberikan pengertian dan arahan kepada masyarakat yang SDM
relatif rendah dan dasar pendidikan yang sangat minim, serta pola
kehidupan masyarakat yang masih banyak menggunakan pola hidup
tradisional sehingga dalam penentuan stunting untuk mencapai tahap
yang diinginkan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
penentuan kebijakan tersebut”. (Hasil wawancara dengan bapak AM,
11/09/2020)
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa, kendala dalam
mengumpulkan pendapat kelompok actor adalah susahnya memberikan
pengertian kepada masyarakat yang SDM relative rendah dan dasar pendididkan
yang sangat minim.
Hal ini menunjukkan bahwa negosiasi yang di lakukukan antara
Pemerintah desa dengan organisasi perangkat desa dalam perumusan kebijakan
stinting sudah tepat. Sebagaimana hasil wawancara sebagai berikut:
56
“Perumusan suatu kebijakan memang butuh proses dan waktu yang
tidak sedikit, moment ini yang digunakan oleh pemerintah untuk
bernegosiasi dalam menetapkan kebijakan yang tepat”. (Hasil
wawancara dengan bapak AM, 11/09/2020)
Dapat disimpulkan bahwa, perumusan kebijakan membutuhkan proses
dan waktu yang sangat lama sehingga pemerintah desa bernegosiasi dalam
menetapkan kebijakan yang sangat tepat.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya informan yang mengatakan bahwa
persetujuan Pemerintah Desa dengan BPD dalam mengkompromikan
permasalahan yang terjadi tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat kurang
setuju dan hal ini dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah dalam fungsinya untuk mensejahtrakan masyarakat. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh salah seorang informan dalam wawancara penulis
bahwa:
“Banyaknya permasalahan stunting yang terjadi terutama di desa labbo
masyarakat yang mengalami gizi buruk sehingga kepala desa dengan
BPD membuat perdes tentang percepatan pengurangan stunting dapat
terlaksana dengan baik.” (Hasil wawancara dengan bapak SR,
9/09/2020)
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa, karena banyaknya
jumlah stunting yang terjadi didesa labbo yang mengalami gizi buruk sehingga
kepala desa labbo dan BPD membuat peraturan desa untuk menurunkan angka
stunting di desanya.
3. Pengarahan
Pola hubungan dan interaksi antara aktor pada model ini adalah berkaitan
dengan pola perumusan kebijakan yang sangat struktural, dimana satu kelompok
57
aktor menjadi superordinat dan kelompok yang lain tentu saja menjadi
subordinat. Tipe pengambilan kebijakan menempatkan posisi ini mirip dengan
kewenangan yang dimiliki oleh lembaga perumus pengelolaan sumber daya
alam daerah dalam bentuk kebijakan. Sebagaimana hasil wawancara sebagai
berikut:
“hubungan interaksi yang dilakukan antara perumus dengan kebijakan
stunting yaitu menjalin hubungan kerjasama yang persuasif antara
perumus kebijakan dan menetapkan kebijakan berdasarkan fakta dan
kondisi yang ada pada masyarakat yang akan menerima kebijakan
stunting”. (Hasil wawancara dengan bapak SR, 9/09/2020)
Dapat disimpulkan bahwa perumus dapat menetapkan kebijakan stunting
dan menjalin hubungan kerjasama yang persuasif berdasarkan fakta yang ada
pada masyarakat yang menerima kebijakan stunting tersebut.
Program perumusan kebijakan desa tentang stunting di kabupaten
banteng merupakan bentuk upaya pemrintah dalam pemberdayaan desa
sebagaimana hasil wawancara sebagai berikut:
“menjalin kerjasama kepada masyarakat melalui PMD (Pemberdayaan
Masyarakat Desa) serta menitoring langsung yang di lakukan
pemerintah dalam melihat kondisi masyarakat yang ada di desa”. (Hasil
wawancara dengan bapak PN, 05/09/2020)
Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa kerjasama antara
Pemerintah Daerah dengan Kepala Desa Labbo dalam membantu masyarakat
untuk menurunkan angka stunting serta menitoring langsung yang dilakukan
untuk melihat kondisi dan belum melakukan pelatihan pegawai secara merata.
Program ini diterealisasikan di Desa Labbo, program stunting ini dibentuk pada
tahun 2018, di desa labbo sendiri pada tahun 2019 telah merealisasikan program
stunting ini.
58
Tujuan umum Stranas Stunting adalah mempercepat pencegahan stunting
dalam kerangka kebijakan dan institusi yang ada. Tujuan tersebut akan dicapai
melalui lima tujuan khusus sebagai berikut:
a. Memastikan pencegahan stunting menjadi prioritas pemerintah dan
masyarakat di semua tingkatan;
b. Meningkatkan kesadaran publik dan perubahan perilaku masyarakat
untuk mencegah stunting;
c. Memperkuat konvergensi melalui koordinasi dan konsolidasi program
dan kegiatan pusat, daerah, dan desa;
d. Meningkatkan akses terhadap makanan bergizi dan mendorong
ketahanan pangan; dan
e. Meningkatkan pemantauan dan evaluasi sebagai dasar untuk memastikan
pemberian layanan yang bermutu, peningkatan akuntabilitas, dan
percepatan pembelajaran.
C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perumusan Kebijakan Stunting di
Desa Labbo Kabupaten Bantaeng
Keberhasilan di desa dalam percepatan penurunan stunting secara efektif,
pelaksanaannya tidak lepas dari peran pemerintah desa itu sendiri yang sangat
berpengaruh dalam hal pengambilan kebijakan. Hasil penelitian ini menunjukan
rangkuman jawaban informan mengenai peraturan Desa Labbo No. 04 Tahun
2019 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Sesuai konsep Model Perumusan
Kebijakan Stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng berdasarkan tanggapan
informan proses penyusunan rencana pencegahan stunting di susun berdasarkan
59
hasil rapat bersama kepala desa dan aparatur desa. Hasil penyusunan di
sampaikan dalam kegiatan rapat dan tertuang dalam program kerja desa. Faktor
yang mempengaruhi pembuatan kebijakan stunting, sebagaimana hasil
wawancara sebagai berikut:
“karena adanya peraturan presiden tentang gerakan percepatan
perbaikan gizi dan peraturan bupati tentang konvergensi program
pencegahan stunting maka dibuatlah perdes tersebut”. (Hasil
wawancara dengan bapak SJ, 15/09/2020)
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa, kebijakan desa
dibuat karena adanya peraturan presiden tentang gerakan percepatan perbaikan
gizi dan peraturan bupati tentang konvergensi program pencegahan stunting
maka dari itu dibuatlah kebijakan desa tentang percepatan penurunan stunting di
desa labbo kabupaten bantaeng.
Sumber daya yang dimiliki khususnya sumberdaya manusia sebenarnya
sudah cukup memadai, di tiap desa sudah terdapat bidan desa, dan di setiap
Puskesmas terdapat 2 sampai 3 petugas gizi. Dan di beberapa program
penurunan stunting telah disesuaikan pembagiannya menurut masing-masing
bagian atau seksi di setiap OPD nya. Akan tetapi hal yang berbeda terdapat di
Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak. OPD ini yang
menyatakan bahwa sumber daya manusia mereka kurang memadai karena
banyak yang pensiun dan tidak semua pegawai sudah mengikuti diklat.
Sedangkan untuk sumber daya non manusia, yaitu anggaran, bisa dibilang
terbatas karena adanya beberapa program yang dibatasi oleh kuota dan
programprogram dari OPD lain yang rata-rata belum bisa menyentuh
keseluruhan 39 desa stunting. Sedangkan untuk fasilitas, yang dirasa masih
60
kurang adalah di Posyandu di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng masih berada di
strata terbawah karena masih kurang fasilitasnya. Dan salah satu fasilitas yang
belum dimiliki oleh Posyandu di Kabupaten Bantaeng adalah alat ukur panjang
badan bayi yang sesuai dengan standar antropometri.
Selanjutnya hasil penelitian yang menunjukkan Tanggapan informan
tentang sumber daya terhadap upaya pencegahan stunting di desa Labbo.
Pemerintahan di Desa Labbo meningkatkan sumber daya khususnya
peningkatan sumber daya manusia melalui pengangkatan bidan desa di desa
Labbo dengan menggunakan alokasi dana desa dan melaksanakan penyegaran
Kader, sebagaimana hasil wawancara sebagai berikut:
“pengankatan bidan desa yang digajih dari desa menggunakan dana
desa sesuai prioritas desa dikarenakan bidan di desa telah ditarik oleh
induk atau Puskesmas, sehingga memerlukan tenaga kesehatan yang
kompeten dibidangnya melakasanakan upaya-upaya peningkatan
kesehatan termasuk pencegahan stunting di Desa Labbo”. Hasil
wawancara dengan bapak SR, 09/09/2020)
Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa, Pemilihan Bidan desa
dilakukan oleh Desa bekerja sama dengan Puskesmas Labbo dalam menentukan
kriteria calon bidan desa. Dalam percepatan penurunan stunting di desa labbo
kabupaten bantaeng.
Hasil penelitian tentang komunikasi antar organisasi terhadap program
percepatan penurunan stunting di Desa Labbo bahwa berdasarkan hasil
wawancara terhadap informan menyatakan sebagai berikut:
“pihak desa selalu menyapaikan program-program yang berkaitan
dengan upaya pencegahan stunting kepada pihak Puskesmas. Dalam
setiap kegiatan di desa baik posyandu, penyuluhan maupun sosialisasi
dengan Puskesmas labbo Kabupaten Bantaeng serta kegiatan-kegiatan
yang lalu dan sekarang mengenai masalah stunting dan kesehatan
61
lainnya. Puskesmas selalu berkomunikasi dengan desa guna melakukan
pendataan terhadap kelompok sasaran, permasalahan terhadap stunting,
cakupan pelayanan dasar kepada masyarakat serta kondisi penyediaan
pelayanan di desa”. Hasil wawancara dengan bapak AM, 11/09/2020)
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa, kepala desa selalu
bersosialisasi tentang percepatan penurunan stunting kepada puskesmas labbo
untuk bersosialisasi tentang percepatan penurunan stunting di desa labbo
kabupaten bantaeng.
Masalah partisipasi masyarakat juga dialami oleh beberapa OPD dalam
pelaksanaan programnya yaitu terdapat masyarakat sasaran yang kurang
bersungguh-sungguh dalam mengikuti program yang bersangkutan sehingga
keberjalanan program menjadi terhambat dan kurang maksimal. Sedangkan
dukungan dari pemerintah Desa labbo Kabupaten Bantaeng terkait percepatan
penurunan dan penanggulangan stunting menunjukkan dukungan positif dengan
dibentuknya Peraturan Desa tentang percepatan penurunan Stunting.
Kurangnya kesadaran masyarakat terkait pentingnya pola hidup sehat yang
meliputi kesehatan lingkungan, kesehatan reproduksi, dan asupan makanan
bergizi dalam percepatan penurunan stunting di Desa labbo Kabupaten
Bantaeng. Serta ketersediaan data masyarakat miskin yang kurang valid
sehingga beberapa program yang terdapat dalam kebijakan intervensi gizi
sensitif penurunan stunting menjadi tidak tepat sasaran karena beberapa sasaran
program tersebut berdasarkan pada data penduduk miskin.
Masalah yang nampak adalah kapasitas birokrasi dari aktor perumus
kebijakan belum mampu dalam melakukan analisis permasa- lahan yang terjadi
dan belum dapat mengin- tegrasikan isu yang ada. Dominasi dari para pemangku
62
kebijakan masih dirasakan begitu kuat dalam perumusan kebijakan pengelolaan
pertambangan. Hal yang ini juga dikatakan oleh informan dalam wawancara,
bahwa:
“Pemerintah desa labbo berusaha meningkatkan sumber daya manusia
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tentu hal ini didukung
dengan usaha peningkatan pemberian makanan yang bergizi bagi
masyarakat desa labbo dan ini di lihat dari banyaknya balita yang
kekurangan asupan gizi yang ada di desa labbo kabupaten bantaeng”.
Hasil wawancara dengan bapak AM, 11/09/2020)
Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa, pemerintah desa labbo
berusaha meningkatkan SDM untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hal ini di dukung dengan adanya pemberian makanan yang bergizi untuk
masyarakat dan dilihat dari banyaknya balita yang kekurangan asupan gizi yang
ada di desa tersebut.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai
Model Perumusan Kebijakan Stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng. Hal ini
dilihat dari hasil wawancara yang menunjukkan bahwa indikator yaitu:
63
1. Model pola kerja sama (bargaining), Model Perumusan Kebijakan Stunting
Kabupaten Bantaeng dapat di lihat banyak memiliki keunggulan dari
posyandu di desa dalam menangani gizi buruk pada anak. Dan memiliki
kebjikan dalam merumuskan kebijakan stunting yang di rumuskan oleh
pemerintah daerah.
2. Model persuasif (persuasion), Model Perumusan Kebijakan Stunting Di
Desa Labbo Kabupaten Bantaeng memiliki kendala dalam mengumpulkan
pendapat kelompok aktor adalah susahnya memberikan pengertian kepada
masyarakat yang SDM relative rendah dan dasar pendididkan yang sangat
minim.
3. Pengarahan (commanding), kerjasama antara pemerintah desa dengan kepala
desa labbo dalam membantu masyarakat untuk menurunkan angka stunting
serta menitoring langsung yang dilakukan untuk melihat kendisi belum
melakukan pelatihan pegawai secara merata. Masyarakat yang ada di desa.
Program ini diterealisasikan di Desa Labbo, program stunting ini dibentuk
pada tahun 2018, di desa labbo sendiri pada tahun 2019 telah merealisasikan
program stunting ini.
4. Faktor yang mempengaruhi perumusan kebijakan stunting di desa labbo
kabupaten bantaeng, kebijakan desa dibuat karena adanya peraturan presiden
tentang gerakan percepatan perbaikan gizi dan peraturan bupati tentang
konvergensi program pencegahan stunting maka dari itu dibuatlah kebijakan
desa atau perdes No. 04 Tahun 2019 tentang percepatan penurunan stunting
di desa labbo kabupaten bantaeng.
64
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian Model Perumusan Kebijakan Stunting di
Desa Labbo Kabupaten Bantaeng terdapat beberapa saran yaitu sebagai berikut:
1. Pentingnya peran aktif pemerintah dan tenaga kesehatan dalam
penanganan stunting pada balita di setiap desa.
2. Melakukan sosialisasi yang terkait dengan stunting harus diperbaiki
agar semua kalangan masyarakat mengetahui stunting baik proses
pencegahannya maupun penanggulangannya.
3. Diharapkan kepada masyarakat untuk menerapkan pola makan yang
bergizi dan seimbang, pemenuhan air bersih untuk meningkatkan
kesehatannya.
4. Intervensi penurunan stunting harus dilakukan diseluruh desa yang ada
di Kabupaten Bantaeng karena tidak menutup kemungkinan akan ada
anak stunting di desa lainnya.
65
DAFTAR PUSTAKA
Dunn, William N 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik . Yogyakarta:
Hanindita Graha Widya.
e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 3 (no. 2) kejadian stunting pada balita usia 12-36
Bulan: Mei 2015
Febriyanto, R. Formulasi Kebijakan Perencanaan Pembangunan Kelurahan
Tembeling Tanjung, Kecamatan Teluk Bintan Tahun 2015 (Study Kasus
Musrenbang Kelurahan Tembeling Tanjung, Kecamatan Teluk Bintan
Tahun 2015). Formulasi Kebijakan Perencanaan Pembangunan Kelurahan
Tembeling Tanjung, Kecamatan Teluk Bintan Tahun 2015 (Study Kasus
Musrenbang Kelurahan Tembeling Tanjung, Kecamatan Teluk Bintan
Tahun 2015).
Fikawati, S., & Syafiq, A. Veratamala.2017. Gizi Anak dan Remaja. PT
RajaGrafindo Persada: Depok.
Fischer, Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (Eds.). 2007. Handbook of Pub-
lic Policy Analysis: Theory, Politics and Methods, Boca Raton: CRC Press.
http://adhymuliadi.blogspot.com/2014/06/model-model-formulasi-kebijakan-
publik.html
Islamy, M.Irfan. 1998. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaaan Negara.
Jakarta: Bumi Aksara.
Islamy, M.Irfan. 2002. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksana-an Negara.
Jakarta: Bumi Aksara.
Ismail MH. 2016. Konsep Dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik. Jurnal
Review Politik
Kania, I., Wang, B., & Szwedo, J. (2015). Dicranoptycha Osten Sacken, 1860
(Diptera, Limoniidae) from the earliest Cenomanian Burmese
amber. Cretaceous Research, 52, 522-530.
Kemenkes, R. I. 2018. Buku saku pemantauan status gizi tahun 2017. Jakarta:
Direktorat Gizi Masyarakat.
Kusumawati, Rahardjo, Sari, Model Pengendalian Faktor Risiko Stunting pada
Anak. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 3, Februari 2015
66
Kostadia Yunita San Roja, 2017. Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam
Penanggulangan Kasus Gizi Buruk Di Kabupaten Sikka Provinsi Nusa
Tenggara Timur.Laniari, M. 2015. Pelaksanaan Pengelolaan Kebijakan
Alokasi Dana Nagori (ADN) dalam Meningkatkan Pembangunan Nagori di
Kecamatan Bandar Huluan Kabupaten Simalungun.
Luqyana, Bevaola, 2019. Intervensi Aktor dalam Mempengaruhi Formulasi
Kebijakan Lingkungan: Studi Kasus Kebijakan Relokasi Tambak Udang
diYogyakarta. Jurnal Borneo Administrasi
Muhlis Madani, 2011. Dimensi Interaksi Aktor Dalam Proses Perumusan
Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu
Nurhidayati, 2013. Proses Perumusan Kebijakan Pertambangan di Kabupaten
Sumbawa. Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik
Nasution, Rina Susanti. 2017. Naskah PublikasiPersiapan Menuju Badan Layanan
Umum Daerah (BLUD) Penuh Studi Pada Tiga Puskesmas Di Pemerintah
Daerah Kabupaten Magelang, (Daring), (http://repository.ugm.ac.id,
diakses 9 Oktober 2017).
Parsons, Wayne. 1997. Public Policy. Cheltenham : Edward Elgar
Prihatini, D., & Subanda, I. N. (2020). Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa
Dalam Upaya Pencegahan Stunting Terintegrasi. Jurnal Ilmiah MEA
(Manajemen, Ekonomi, & Akuntansi), 4(2), 46-59.
Pritasari, L. A., & Kusumasari, B. 2019. Intervensi Aktor dalam Mempengaruhi
Formulasi Kebijakan Lingkungan: Studi Kasus Kebijakan Relokasi Tambak
Udang di Yogyakarta. Jurnal Borneo Administrator, 15(2), 179-198.
Probohastuti, N. F., & Rengga, A. (2019). Implementation Of Nutrition-Sensitive
Interventions Policy For Stunting Decrease In Blora Regency. Journal of
Public Policy and Management Review, 8(4), 251-266.
Rijal, F., Madani, M., & Fatmawati, F. 2013. Interaksi Aktor dalam Perumusan
Kebijakan Pengelolaan Pertambangan di Kabupaten Kolaka Utara.
Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintahan
Rijal, F., Madani, M., & Fatmawati, F. 2013. Interaksi Aktor dalam Perumusan
Kebijakan Pengelolaan Pertambangan di Kabupaten Kolaka Utara.
Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintaha
67
Tjukarni, T., Prihartini, S., & Hermina, H. 2011. Faktor Pembeda Prevalensi Gizi
Kurang Dan Buruk Pada Balita Di Daerah Tidak Miskin. Buletin Penelitian
Kesehatan, 39(2 Jun), 52-61.
Winarno, B. 2012. Kebijakan publik: teori, proses, dan studi kasus: edisi dan revisi
terbaru. Center for Academic Publishing Service.
World Bank (2014). Better Growth through Improved Sanitation and Hygiene
Practices.
L
A
M
P
I
R
A
N
DOKUMENTASI PENELITIAN
Profil Kantor Desa Labbo
Wawancara Oleh Sekertaris Desa Labbo
Rapat Kerja Tentang Pembahasan Percepatan Penurunan Stunting
Rapat Kerja Tentang Pembahasan Percepatan Penurunan Stunting
Sosialisasi Tentang Penurunan Stunting Kepada Masyarakat Desa
Labbo
Peraturan Desa Labbo Kabupaten Bantaeng
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
ANDI SRI SULASTRI, di lahirkan di Kabupaten
Bantaeng tepatnya di Kelurahan Lembang Gantarang
Keke Kecamatan Tompobulu pada hari Selasa 01
September 1998. Anak ketiga dari tiga bersaudara dari
pasangan Kr. Dawing dan Halipa. Penulis menyelesaikan
pendidikan di SD Inpres Banyorang pada tahun 2004 dan
tamat tahun 2010. Pada tahun itu juga penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang
selanjutnya di SMP Negeri 1 Tompobulu dan tamat pada tahun 2013, kemudian
melanjutkan sekolah mengengah atas di SMK Negeri 1 Bantaeng dengan memilih
jurusan Akuntansi dan tamat pada tahun 2016. Kemudian pada tahun 2016, peneliti
melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya yaitu ke Perguruan Tinggi di
Universitas Muhammadiyah Makassar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi Ilmu Pemerintahan. Pada tahun 2020 ini akan mengantarkan penulis
meraih gelar Strata Satu (S1) dalam karya ilmiah dengan judul “Model Perumusan
Kebijakan Stunting Di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng”.