skripsi -...
TRANSCRIPT
SKRIPSI
PENYALAHGUNA DAN PENGEDAR NARKOTIKA DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 35 TAHUN 2009 DAN HUKUM ISLAM
Ditujukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Apriyanto Fitri Wibowo
NIM : 1110043200008
Konsentrasi Perbandingan Hukum
Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta
2015 M/ 1436 H
ABSTRAK
Penyalahgunaan dan peredaran narkotika pada saat ini telah mencapai situasi yangmengkhawatirkan baik nasional maupun internasional. Korban penyalahgunaannarkotika di Indonesia akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat dan parapengedar pun semakin merajalela.Untuk itu pemerintah dalam hal ini juga telahmembuat peraturan bagi penyalahguna dengan merehabilitasi dan hukuman matibagi pengedar hal itu sesuai dengan Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentangnarkotika.
Pokok masalah dalam skripsi ini dikalangan masyarakat semakin luas danmasyarakat banyak yang tidak tahu dengan sanksi yang ada. Karena di dalamUndang-undang Nomor 35 tahun 2009 membedakan jenis hukuman antarapenyalahguna dan pengedar. Dari hasil penelitian ini memberikan jawabanbagaimana seseorang yang menyalahgunakan narkotika dapat diproses rehabilitasisesuai dengan peraturan yang berlaku dan sanksi bagi pengedar dapat diprosessemaksimal mungkin dengan merujuk ketentuan yang ada.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research). Sedangkan sifatpenelitian bersifat analisis deskriptif-analitiskritis. Dalam penelitian ini, penulismenggunakan teknik pengumpulan data kualitatif yang bersifat deskriptif. Datayang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. DataPrimer yaitu bahan hukum yang berasal dari buku-buku, undang-undang,peraturan pemerintah, pendapat para ahli, doktrin, dan pendapat para ulama. DataSekunder yaitu bahan hukum yang berasal dari majalah hukum dan internet.
Kata Kunci : Penyalahgunaan Narkotika
Pembimbing : Dr. Alfitra, SH.,MH.
Dra. Hj. AfidahWahyuni, M.Ag.
Daftar Pustaka : Dari tahun 1976- 2013
ii
LEMBARAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana
strata satu di Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya
atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juni 2015
Apriyanto Fitri. W
iii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr Wb
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT yang
senantiasa memberikan taufik dan hidayah-Nya yang senantiasa memberikan
rahmat yang berlimpah kepada penulis, sehingga penulis diberikan
kemampuan, kekuatan serta ketabahan hati dalam menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta
keluarga dan para sahabatnya. Kemudahan serta pertolongan Allah yang
selalu diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “PENYALAHGUNA DAN PENGEDAR NARKOTIKA
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 DAN HUKUM
ISLAM”.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak kekurangan di
dalamnya dan masih jauh dari kesempurnaan dalam hal ini tidak terlepas dari
sifat manusia yang penuh salah dan lupa. Selanjutnya karya ini tidaklah dapat
terselesaikan tanpa adanya dukungan dari kawan-kawan serta pihak-pihak
yang terkait dalam memberikan dukungan dan memberikan sumbangsih ide
serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Oleh karena itu penulis merasa
sangat perlu untuk mengucapkan terimakasih sebagai bentuk penghargaan
kepada:
iv
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si. selaku Ketua Prodi dan Pembimbing
Akademik Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Siti Hanna, MA, selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab dan
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Alfitra, SH.,MH. dan Dra. Hj. Afidah Wahyuni, M.Ag. selaku Dosen
Pembimbing Skripsi yang telah berkenan meluangkan waktu dan
mencurahkan segala perhatiannya untuk memberikan pencerahan serta
pengarahan yang begitu baik bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya.
5. Pimpinan serta karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Pimpinan serta karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas
untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya,
sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.
6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah banyak mencurahkan ilmu pengetahuan kepada penulis
selama menjalani masa pendidikan berlangsung.
v
7. Ayahanda tercinta Drs. Kadimin Wibowo dan ibunda tercinta (alm)
Pariyem dan Tidak lupa pula Ibunda Suprihatin yang selalu mendukung
dan memberikan segalanya kepada ananda, agar ananda dapat
menyelesaikan skripsi ini.
8. Kakak tersayang, Gusti Ika Sabtiningsih S.Pd dan Heriadi.
9. Keluarga besar (alm) Mbah Somarto dan Biyung Luginem yang telah
memberikan motivasi dan dukungan agar penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
10. Special thanks Shofa Fathiyah teman berkeluh kesah dan yang selalu
membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan Perbandingan Hukum angkatan 2010, Anchor
Freedom, dan teman-teman penghuni kosan pesanggrahan yang selalu
memberikan motivasi dan kenangan dalam menjalani pendidikan di UIN
Syarif Hidayatullah.
12. Semua pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap penyelesaian
skripsi ini dan tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Jakarta, Juni 2015
Penulis
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………...i
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………...ii
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………..vi
PEDOMAN TRANSLITERASI………………………………………...ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………........1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………….….......7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………….………….…........8
D. Metode Penelitian………………………………………...…...9
E. Sistematika Penulisan ………………………………………..11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NARKOTIKA MENURUT
HUKUM ISLAM
A. Pengertian narkotika……….....................................................12
B. Jenis-jenis Narkotika................................................................16
C. Sifat Narkotika………………………………………...……..21
D. Akibat yang ditimbulkan dari Narkotika……………...……...22
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR
35 TAHUN 2009
vii
A. Sejarah Undang-Undang Narkotika….…………………..26
B. Tindak Pidana Narkotika menurut Undang-Undang
1. Pengertian dan Istilah Tindak Pidana………...….…29
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Narkotika…… ..….…...32
3. Macam-macam Tindak Pidana Menurut Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009………………..……..……....34
BAB IV SANKSI BAGI PENYALAHGUNA DAN PENGEDAR NARKOTIKA
MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN
2009 DAN HUKUM ISLAM
A. Sanksi bagi Penyalahguna Narkotika Menurut Undang-undang dan
Hukum Islam
1. Sanksi Bagi Penyalahguna Narkotika menurut Undang-
undang......................................................................43
2. Sanksi Bagi Penyalahguna Narkotika menurut Hukum
Islam.........................................................................49
B. Sanksi bagi Pengedar Narkotika Menurut Undang-undang dan
Hukum Islam
1. Sanksi Bagi Pengedar Narkotika menurut Undang-
undang......................................................................55
viii
2. Sanksi Bagi Pengedar Narkotika menurut Hukum
Islam.........................................................................59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………......……………........….....65
B. Saran…………………………………………………….....65
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………67
LAMPIRAN
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010
Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Dalam skripsi ini, data bahasa Arab diberi transliterasi Arab-Latin sesuai
dengan buku Pedoman Transliterasi Arab-Latin versi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
a. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara
Latin :
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا tidak dilambangkan
ب b be
ت t te
ث ts te dan es
ج j je
ح h ha dengan garis bawah
خ kh ka dan ha
د d de
ذ dz de dan zet
ر r er
ز z zet
س s es
ش sy es dan ye
x
ص s es dengan garis bawah
ض d de dengan garis bawah
ط t te dengan garis bawah
ظ z zet dengan garis bawah
ع ‘ koma terbalik di atas hadap kanan
غ gh ge dan ha
ف f ef
ق q ki
ك k ka
ل l el
م m em
ن n en
و w we
ه h ha
ء ` apostrop
ي y ye
b. Vokal
Dalam bahasa Arab vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia
memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut :
xi
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fathah
i kasrah
u dammah
Adapun untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
adalah sebagai berikut :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i
و au a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ــا â a dengan topi di atas
ــى î i dengan topi di atas
ــو û u dengan topi di atas
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan (ال )
huruf, dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
xii
syamsiyyah maupun huruf qomariyyah. Misalnya :
اإلجتھاد : al-ijtihâd
الرخصة : al-rukhsah, bukan ar-rukhsah
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang di beri tanda syaddah itu.
Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah
itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya :
الشفعة : al-syuf‘ah, tidak ditulis asy-syuf‘ah
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh sifat (na‘t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Dan jika huruf
ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism),maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
1. شریعة syarî‘ah
2. اإلسالمیة الشریعة al-syarî‘ah al-islâmiyyah
3. المذاھب مقارنة muqâranat al-madzâhib
g. Huruf Kapital
xiii
Walaupun dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital,
namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu
diperhatikan, bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal atau kata sandangnya. Misalnya :
البخاري : al-Bukhâri, tidak ditulis Al-Bukhâri
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak
tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun
akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya : Nuruddin al-Raniri,
tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf
(harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas :
No Kata Arab Alih Aksara
1. المحظورات بیح ةالضرور al-darûrah tubîhu al-mahzûrât
2. داإلسالمي اإلقتصاد al-iqtisâd al-islâmî
3. فقھال أصول usûl al-fiqh
4. اإلباحة األشیاء في األصل al-asl fî al-asyyâ al-ibâhah
5. المرسلة المصلحة al-maslahah al-mursalah
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan narkotika merupakan persoalan yang harus ditangani secara
sungguh-sungguh oleh seluruh komponen masyarakat. Bukan saja penanganan
bagi penggunanya, melainkan juga bisnis narkoba yang di Indonesia sudah cukup
menghawatirkan. Bagaimana pemerintah dan aparat.1 Istilah narkotika, bukan lagi
istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya, berita baik dari media
cetak, maupun elektronik yang memberitakan tentang penggunaan narkotika, dan
bagaimana korban dari berbagai kalangan dan usia berjatuhan akibat
penggunaannya. Berbagai penelitian mengemukakan bahwa faktor penyebab
timbulnya penyalahgunaan narkotika yakni; Pertama. Faktor individu. Terdiri dari
aspek kepribadian, dan kecemasan atau depresi. Termasuk dalam aspek
kepribadian, karena pribadi yang ingin tahu, mudah kecewa, sifat tidak sabar dan
rendah diri. Sedangkan yang termasuk kecemasan atau depresi, karena tidak
mampu menyelesaikan kesulitan hidup, sehingga melarikan diri dalam
penggunaan narkotika dan obat obat terlarang. Kedua. Faktor sosial budaya, terdiri
dari kondisi keluarga dan pengaruh pergaulan. Keluarga dimaksudkan sebagai
faktor disharmonis seperti orang tua yang bercerai, orang tua yang sibuk dan
jarang di rumah, serta perekonomian keluarga yang serba kekurangan. Pengaruh
pergaulan, dimaksudkan karena ingin diterima dalam pergaulan kelompok
1 Joyo Nur Suryanto gono, “Narkoba : penyalahgunaannya dan pencegahannya” artikelBNN, 2011: hal. 23.
2
narkotika. Ketiga. Faktor lingkungan, yang tidak baik maupun tidak mendukung,
dan menampung segala sesuatu yang menyangkut perkembangan psikologis anak
dan kurangnya perhatian terhadap anak untuk menjadi pemakai narkotika.
Keempat. Faktor narkotika karena mudahnya narkotika didapat dan didukung
dengan faktor-faktor tersebut, sehingga semakin mudah timbulnya
penyalahgunaan narkotika.
Ruang lingkup narkoba sedemikian luas, yaitu narkotika, psikotropika,
minuman keras, dan bahan-bahan berbahaya lainnya. Jika dikonsumsi, jenis-jenis
narkotika tertentu punya khasiat, dan efek negatif yang beragam. Jenis-jenis
narkotika tertentu bisa menciptakan suasana dan perasaan semu semacam: sedih,
gembira, takut, berani, bergairah, dan masih banyak lagi.2
Beberapa jenis narkotika hanya ada manfaatnya jika dipakai untuk
keperluan ilmu pengetahuan, pengobatan, dan medis. Syaratnya harus dalam
pengawasan ahlinya yang berkompeten secara ketat dan terarah. Pemakaiannya
pun sangat terbatas dan menurut petunjuk dokter. Di luar itu semua, maka
narkotika bisa merusak fisik dan psikis raga dan jiwa. Narkotika juga dekat
dengan dunia kejahatan dan kekerasan.3
Dari waktu ke waktu narkotika di tanah air terus-menerus meningkat pesat
dalam skala yang semakin mengerikan. Kepesatan dan kesuburan narkotika juga
ditunjang dengan struktur tanah Indonesia yang subur dan mudah ditanami
2 Darwin Butar Butar, Kondisi Narkoba di Indonesia Pada Akhir Tahun 2011, (Jakarta:puslitdatin BNN), 2011, hal. 71.
3 Darwin Butar Butar, Kondisi Narkoba di Indonesia Pada Akhir Tahun 2011, hal. 71.
3
berbagai jenis narkotika. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa yang
mengedarkan dan mengkonsumsi di tanah air bukan hanya masyarakat luas
khususnya generasi muda melainkan juga para elit politik, anggota legislatif,
pejabat pemerintah, aparat pemerintah, serta aparat keamanan dan penegak hukum
itu sendiri.4
Dalam ketentuan umum Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi-sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.5
Sementara di dalam Hukum Islam, syari’at Islam memerangi dan
mengharamkan segala hal yang memabukkan dan segala bentuk narkoba dengan
berbagai macam dan jenisnya yang beragam. Karena barang-barang itu
mengandung bahaya yang nyata bagi manusia, yakni kesehatan, akal, kehormatan,
reputasi, prestis, dan nama baiknya. Dalam hadist :
: عليه صلى : عنه بن سعد سعيد عنجة)6 ما )
Artinya : “Dari Saad bin malik al-Khudar (RA), Rasulullah SAW berkata:Tidak ada mudharat dan tidak boleh ada mudharat” (HR. Ahmad Ibnu Majah)
4 M. Arief Hakim, Bahaya Narkotika Alkohol, (Bandung: Nuansa, 2004), hal. 31.
5 Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Penjelasannya,(Bandung: Citra Umbara, 2010), hal. 4.
6 Abdullah bin Sulaiman, al-Mawahib al-Saniyah al-Fawaid al-Bahiyah pada al-Asybahwa al-Nadzair. (Indonesia: dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t.th), hal. 114.
4
Maksud hadist ini adalah, tidak boleh menimbulkan kemudharatan dan
bahaya terhadap diri sendiri atau orang lain. Oleh karena itu, seseorang tidak
boleh membahayakan dirinya sendiri atau orang lain tanpa alasan yang benar dan
tanpa adanya tindak kejahatan sebelumnya. Juga, tidak boleh membalas
kemudharatan dengan kemudharatan yang lain, karena itu, apabila ada seorang
mencaci-maki, maka janganlah membalasnya dengan cacian yang serupa. Mabuk
dan zina adalah dua perkara yang dilarang karena bahaya dan kejelekannya,
begitu juga dengan narkoba dan obat-obatan terlarang yang sangat berbahaya bagi
akal pikiran, merusak jiwa, hati nurani, dan perasaan. Dampak bahaya dari
mengonsumsi minuman keras, narkoba, dan obat-obatan terlarang adalah sangat
luas dan multidimensial, tidak hanya membahayakan bagi pemakainya saja, akan
tetapi juga bagi keluarga, anak-anak, masyarakat dan umat. Adapun bahaya bagi
si pemakai sendiri adalah efek buruk bagi tubuh dan akal sekaligus. Karena
minuman keras dan obat-obatan terlarang memiliki kekuatan merusak yang sangat
dahsyat terhadap kesehatan, syaraf, akal, pikiran, berbagai organ pencernaan dan
sebagainya berupa bahaya yang sangat dahsyat bagi tubuh secara keseluruhan.
Tidak hanya itu saja, dampak bahaya minuman keras dan obat-obatan terlarang
juga menyerang reputasi, nama baik, kedudukan dan kehormatan seseorang.7
Dalam hukum Islam, ada beberapa ayat Al Qur’an dan Hadits yang
melarang manusia untuk mengkonsumsi minuman keras dan hal-hal yang
memabukkan. Dalam surat Al Baqarah ayat 219 :
7 http://www.annursolo.com/hukum-narkoba-dalam-islam/ di akses pada tanggal 24Agustus 2014.
5
Artinya :“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:"Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” (QS. Al Baqarah 219)
Ayat diatas hanya menunjukkan bahaya khamr tetapi tidak melarangnya.
Larangan khamr didasarkan pada Al-Qur’an surat al- Ma’idah ayat 90:
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengadu nasib merupakan perbuatan kejiyang termasuk perbuatan syaitan. Maka hindarilah, mudah-mudahan kamuberuntung” (Qs. Al-Ma’idah: 90)
Pada zaman yang semakin modern ini, minuman keras dan hal-hal yang
memabukkan biasa juga dianalogikan sebagai narkotika. Pada masa awal Islam,
zat berbahaya yang paling populer memang baru minuman keras (khamr). Dalam
perkembangan dunia Islam, khamr kemudian bergesekan, bermetamorfosa dan
berkembang dalam bentuk yang semakin canggih yang kemudian lazim disebut
narkotika atau lebih luas lagi narkoba.8
8 A. Djazuli, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 97.
6
Dikarenakan tidak adanya teks yang jelas dalam Al-Qur’an maupun
Hadits, maka dalam menetapkan keharaman ganja, heroin, serta bentuk lainnya
baik padat maupun cair yang terkenal dengan sebutan narkotika, sebagian ulama
mengqiyaskan narkotika dengan khamr9, karena keduanya mempunyai persamaan
illat yaitu sama-sama dapat menghilangkan akal dan dapat merusak badan. Akan
tetapi pada kenyataannya bahwa narkotika efeknya lebih dahsyat dibanding
dengan khamr.
Al-Qur’an tidak menegaskan hukuman bagi peminum khamr. sanksi
terhadap delik ini disandarkan pada hadits Nabi yakni melalui sunnah fi’liyahnya,
bahwa hukuman terhadap jarimah ini adalah 40 kali dera. Dalam kitab At-Tasyri’
al-Jinaiy al-Islamiy I Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat, sanksi
meminum khamr adalah 80 kali dera, sedangkan menurut Imam Syafi’i adalah 40
kali dera, tetapi Imam Syafi’i boleh menambah menjadi 80 kali dera. Jadi yang 40
kali adalah hukuman hadd, sedangkan sisanya adalah hukuman ta’zir.10
Pemerintah dalam hal ini juga telah membuat peraturan tentang narkoba
yakni dengan merujuk pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, yang kemudian menjelaskan secara detail tentang jenis-jenis hukuman
bagi pelanggarnya. Di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 mengartikan
istilah penyalahguna pada pasal 1 angka 15:
Pasal 1 angka 15 : Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotikatanpa hak atau melawan hukum.
9 Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu al-Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah), hal.53.
10 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy I, (Beirut: Dar al-Arabi), hal. 649.
7
Lalu mengenai pengertian pengedar dalam undang-undang tersebut tidak
menjelaskan pengertiannya namun dapat dikatakan sebagai pengedar dalam arti
yang sempit adalah orang yang melakukan kegiatan penyaluran dan penyerahan
narkotika. Namun dalam arti luas pengedar juga dapat diartikan sebagai penjual,
pembeli untuk diedarkan, mengangkut, menyimpan, menguasai, menyediakan
narkotika.
Dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan
tindak pidana narkotika untuk dikaji, diteliti serta dianalisis dengan judul
“Penyalahguna dan Pengedar Narkotika dalam Undang-undang No. 35
Tahun 2009 dan Hukum Islam
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Banyak kriteria dalam kasus narkotika di Indonesia, agar tidak
terlalu meluas maka penelitian ini hanya membatasi pembahasan yang
akan dibahas yakni hanya membahas tentang penyalahgunaan narkotika,
pengedar narkotika, dan sanksi bagi pengedar maupun sanksi rehabilitasi
bagi penyalahguna narkotika golongan I, II, dan III.
2. Rumusan Masalah
Untuk mencapai maksud dan tujuan dari pembahasan judul
penelitian di atas, maka penulis perlu merumuskan dan membatasi
permasalahan. Dari beberapa permasalahan yang telah dipaparkan dapat
dirumuskan sebagai berikut:
8
a. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap ketentuan pidana
terhadap penyalahguna dan pengedar narkotika yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009?
b. Bagaimana rehabilitasi menurut Hukum Islam terhadap pelaku
penyalahguna narkotika?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berhubungan dengan pokok permasalahan, maka tujuan penulisan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap ketentuan pidana
terhadap pelaku penyalahguna dan pengedar narkotika menurut
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.
b. Untuk mengetahui solusi rehabilitasi menurut Hukum Islam terhadap
pelaku penyalahguna narkotika.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis, dapat memberikan atau menambah ilmu pengetahuan
kepada mahasiswa tentang sanksi hukum terhadap penyalahguna dan
pengedar narkotika sesuai dengan ketentuan undang-undang dan
Hukum Islam.
b. Secara praktis, dapat memberikan manfaat bagi yang membaca skripsi
ini dikarenakan sanksi yang diberikan terhadap penggunaan narkotika
9
terbagi atas berbagai macam kriteria termasuk penyalahguna dan
pengedar.
D. Metode Penelitian
Metode adalah suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses
penelitian. Sedangkan penelitian itu sendiri diartikan sebagai upaya dalam bidang
ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-
prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran.11
1. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum doktrinal,
pendekatan ini mengandung tiga tahapan :
a. Searching for the relevant facts yang terkandung di dalam perkara
hukum yang tengah dihadapi (sebagai bahan premis minor).
b. Searching for the relevant abstract legal presciption, yang terdapat
dan terkandung dalam gugus hukum positif yang berlaku (sebagai
bahan premis mayor).12
c. Conclusion, yakni penarikan kesimpulan dari dua tahapan sebelumnya
dengan menggunakan pendekatan silogisme.
2. Jenis Penelitian
11 Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara,2006), Hal.24.
12 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2010),Hal 91-92.
10
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif-analitis
kritis. Deskriptif digunakan untuk menjelaskan kebenaran atau kesalahan
dari suatu fakta atau pemikiran yang akan membuat suatu kepercayaan itu
benar. Sedangkan analitis-kritis dimaksudkan untuk melihat sisi-sisi mana
analisis dapat dikembangkan secara seimbang dengan melihat kelebihan
dan kekurangan objek yang diteliti. Penyebutan metode analisis sebetulnya
tidak harus ditegaskan sebab ia telah menjadi bagian interen dari sebuah
penelitian itu sendiri. Dalam penelitian ini yang akan dideskriptifkan
adalah pidana dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dan sumber Hukum Islam.
3. Sumber Data
Data yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah data primer
dan sekunder yang terdiri dari :
a. Data Primer yaitu bahan hukum yang berasal dari buku-buku, undang-
undang, peraturan pemerintah, pendapat para ahli, doktrin, dan
pendapat para ulama.
b. Data Sekunder yaitu bahan hukum yang berasal dari majalah hukum
dan internet.
4. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini berbasis pada kepustakaan, oleh karenanya data-data
yang bersumber dari studi kepustakaan (library research). Lazimnya di
dalam penelitian, dibedakan antara data yang diperoleh langsung dan dari
bahan pustaka. Dalam penelitian yang dilaksanakan ini, penulis
11
menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif yang bersifat deskriptif
yang bertujuan untuk mencari informasi faktual yang mendetail yang
mencandra gejala yang ada, untuk mengidentifikasi masalah-masalah atau
untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan praktek-praktek yang sedang
berlangsung.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
hal yang akan penulis bahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu:
Bab I Pendahuluan: Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang
permasalahan yang di angkat, permasalahan yang akan dibahas, tujuan penelitian
dan manfaat penulisan, metode yang digunakan dalam penelitian, serta sistematika
penulisan skripsi.
Bab II Tinjauan Umum Tentang Narkotika Menurut Hukum Islam:
Bab kedua ini terdiri dari dua sub bab, yang pertama tinjauan umum tentang
narkotika menurut hukum islam yang berisi tentang pengertian, jenis, dan sifat
yag ditimbulkan dari narkotika.
Bab III Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Narkotika Menurut
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009: Dalam bab ini akan menguraikan
tentang sejarah undang-undang narkotika, tindak pidana dibidang narkotika
menurut undang-undang mulai dari pengertian dan istilah tindak pidana, unsur-
unsur tindak pidana narkotika, macam-macam tindak pidana menurut undang-
undang, dan pembagian golongan narkotika menurut undang-undang.
12
Bab IV Sanksi bagi Penyalahguna dan Pengedar Narkotika Menurut
Ketentuan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 dan Hukum Islam: Dalam bab
ini akan diuraikan tentang sanksi pidana bagi penyalahguna dan pengedar
narkotika baik menurut ketentuan undang-undang maupun hukum Islam.
Bab V Penutup: Bab ini merupakan bab penutup, berisi simpulan dari
hasil pembahasan serta saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan.
13
BAB II
LANDASAN TEORI
Tinjauan Umum Tentang Narkotika Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Narkotika
Istilah Narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah narcotics
pada farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan drug, yaitu
sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-
pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu:
1. Mempengaruhi kesadaran
2. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku
manusia
3. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa:
a) Penenangb) Perangsang (bukan rangsangan seks)c) Menimbulkan halusinasi (pemakai tidak mampu membedakan
antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktudan tempat).1
Menurut Yusuf Qardhawi bahwa ganja, heroin, serta bentuk
lainnya baik padat maupun cair yang terkenal dengan sebutan mukhaddirat
(pembuat mati rasa) adalah termasuk benda-benda yang diharamkan syara'
tanpa diperselisihkan lagi di antara ulama.2 Agama Islam telah
menjelaskan bahwa perbuatan meminum-minuman keras (khamr) adalah
salah satu perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Termasuk di
1 Soedjono D., Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia, (Bandung: Karya Nusantara,1976), Hal. 14
2 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer jilid 2, (terj. As’ad Yasin), (Jakarta: GemaInsani, 1995), Hal. 792.
14
dalam golongan yang memabukkan ini ialah narkotika ( ganja, heroin,
morfin, kokain dan sebagainya ). Pada masa Rasulluah SAW semua
barang atau benda yang dapat mengakibatkan mabuk atau hilang ingatan
dan merusak akal disebut dengan istilah khamr.
Seperti yang telah dijelaskan khamr merupakan istilah yang
digunakan dalam Al Qur’an dan Hadist yang mempunyai arti sebagai
benda yang dapat mengakibatkan mabuk. Menurut bahasa kata khamr
berasal dari kata “khamara” yang artinya tertutup, menutup atau dapat
juga diartikan kalut. Menurut etimologi, dinamakan khamr karena ia
mengacaukan akal, oleh karena itu secara bahasa khamr meliputi semua
benda-benda yang dapat mengacaukan akal, baik berupa zat cair maupun
padat. Oleh karena itu makanan ataupun minuman yang dapat
menyebabkan seseorang tertutup akalnya atau terganggu disebut khamr.
Dengan memperhatikan pengertian kata khamr dan esensinya tersebut
kebanyakan ulama berpendapat bahwa apapun bentuknya (khamr, ganja,
ekstasi, sabu-sabu, putaw dan sejenisnya) yang dapat memabukkan,
menutup akal atau menjadikan seseorang tidak dapat mengendalikan diri
dan akal pikirannya adalah haram.3
Sudarto mengemukakan bahwa perkataan narkotika berasal dari
perkataan yunani “narke” yang berarti “terbius sehingga tidak merasakan
apa-apa”. Dalam ensiklopedia Americana dapat dijumpai pengertian
“narkotic” sebagai “a drug that dulls the senses, relieves pain, induces
3 Rozikin, Islam dan Narkoba, http://rozikin-konsultan.blogspot.com/p/hukum-pidana-islam-kontemporer.html diakses pada tanggal 10 November 2014 pukul 20.00 WIB
15
sleep, and can produce addiction in varying degrees”. Sedang “drug”
diartikan sebagai “a chemical agent that is used therapeutically to treat
disease”. More broadly, a drug may be defined as any chemical agent
affects living protoplasm”. Jadi “narkotika” merupakan suatu bahan yang
menumpulkan rasa, menghilangkan rasa nyeri, dan sebagainya.4 Narkotika
atau obat bius yang bahasa Inggrisnya disebut “narkotic” adalah semua
bahan obat yang mempunyai efek kerja pada umumnya bersifat:
a) Membius (menurunkan kesadaran);
b) Merangsang (meningkatkan semangat kegiatan/ aktivitas);
c) Ketagihan (ketergantungan, mengikat, dependence);
d) Menimbulkan daya berkhayal (halusinasi).5
Sebagian orang berpendapat bahwa narkotika berasal dari kata
Narcissus yang berarti sejenis tumbuh-tumbuhan yang mempunyai bunga
yang dapat menyebabkan orang menjadi tidak sadarkan diri.6 Narkotika
berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa yang dimaksud dengan Narkotika
adalah:
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetismaupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahankesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,dan dapat menimbulkan ketergantungan.7
4 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), Hal. 36.
5 Masruhi sudiro, Islam Melawan Narkotika, (Yogyakarta: CV. Adipura, 2000), Hal. 13.
6 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Bandung: MandarMaju, 2003), Hal. 35.
7 Undang-undang RI nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika beserta penjelasannya,(Bandung: Citra Umbara, 2011).
16
2. Jenis-Jenis Narkotika
Dalam Islam tidak ada penjelasan tentang jenis-jenis narkotika
karena pada jaman dahulu Islam belum mengenal narkotika dan hanya
mengenal khamr. Menurut jenisnya golongan narkotika berdasarkan
pembuatannya, yakni:8
A. Narkotika Alami
Zat dan obat yang langsung bisa dipakai sebagai narkotik tanpa perlu
adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu
karena bisa langsung di pakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan
alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi
pengobatan secara langsung karena terlalu beresiko. Contoh narkotika
alami yaitu seperti ganja dan daun koka.
B. Narkotika Sintetis dan Semi Sintetis
Narkotika sintetis, narkotika golongan ini diperoleh melalui proses
kimia dengan menggunakan bahan baku kimia, sehingga diperoleh
suatu hasil baru yang mempunyai efek narkotika seperti Pethidine,
Metadon, amfetamin, dekstropropakasifen, deksamfetamin dan
Megadon. Narkotika semi sintetis, yang dimaksud dengan Narkotika
golongan ini adalah narkotika yang dibuat dari alkaloida opium dengan
inti penathren dan di proses secara kimiawi untuk menjadi bahan obat
yang berkhasiat sebagai narkotika. Contoh yang terkenal dan sering
disalahgunakan adalah heroin dan codein. Narkotika jenis ini
8 Masruhi Sudiro, Islam Melawan Narkotika, Hal. 14.
17
memerlukan proses yang bersifat sintetis untuk keperluan medis dan
penelitian sebagai penghilang rasa sakit/ analgesik.9
Dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika,
mengenai jenis-jenis narkotika digolongkan menjadi Narkotika golongan I,
II, dan III yang telah di tetapkan dalam lampiran.
Efek samping yang ditimbulkan jika menkonsumsinya dapat
mengalami pelambatan dan kekacauan pada saat berbicara, kerusakan
penglihatan pada malam hari, mengalami kerusakan pada liver dan ginjal,
peningkatan resiko terkena virus HIV dan hepatitis dan penyakit infeksi
lainnya melalui jarum suntik dan penurunan hasrat dalam hubungan sex,
kebingungan dalam identitas seksual, kematian karena overdosis.
Turunan OPIOID (OPIAD) berasal dari kata opium, jus dari bunga
opium, Papaver somniverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid
opium, termasuk morfin. Nama Opioid juga digunakan untuk opiad, yaitu
suatu preparat atau derivat dari opium dan narkotika sintetis yang
kerjanya menyerupai opiad tetapi tidak didapatkan dari opium. Opiad
alami lain atau opiad yang disintesis dari opiad alami adalah heroin
(diacethylmorphine), kodein (3-methoxymorphine), dan hydromorphone
(dilaudid). Turunan yang sering disalahgunakan adalah:
1. Candu
9 Wresniwiro, Narkotika, Psikotropika dan Obat Berbahaya, Narkotika, Psikotropikadan Obat Berbahaya, (Jakarta: Yayasan Mitra Bintibmas Bina Dharma Pemuda, 1999), Hal. 28.
18
Getah tanaman Papaver Somniferum didapat dengan menyadap
(menggores) buah yang hendak masak. Getah yang keluar berwarna
putih dan bernama "Lates". Getah ini dibiarkan mengering pada
permukaan buah sehingga berwarna coklat kehitaman dan sesudah di
olah akan menjadi suatu adonan yang menyerupai aspal lunak. Inilah
yang dinamakan candu mentah atau candu kasar. Candu kasar
mengandung bermacam-macam zat-zat aktif yang sering
disalahgunakan. Candu masak warnanya coklat tua atau coklat
kehitaman. Diperjualbelikan dalam kemasan kotak kaleng dengan
berbagai macam cap, antara lain ular, tengkorak, burung elang, bola
dunia, cap 999, cap anjing, dsb. Cara pemakaiannya dengan dihisap.10
2. Morfin
Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin
merupakan alkaloida utama dari opium. Morfin rasanya pahit,
berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan
berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan.11
3. Heroin ( Putau)
Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan
merupakan jenis opiad yang paling sering disalahgunakan orang di
Indonesia pada akhir - akhir ini. Heroin yang secara farmakologis
mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi mengantuk dan
10 Sunarno, Narkoba dan Pencegahannya, (Semarang : Bengawan Ilmu, 2007), Cet. Ke-1, Hal 9-10.
11 Sumarmo Ma’sum, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat,(Jakarta: Cv. Haji Masagung), Hal. 74.
19
perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun pembuatan, penjualan
dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi diusahakan heroin tetap
tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker terminal karena efek
analgesik dan euforik-nya yang baik.12
4. Codean
Codein termasuk garam/ turunan dari opium/ candu. Efek codein lebih
lemah dari pada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan
ketergantungaan rendah. Biasanya di jual dalam bentuk pil atau cairan
jernih. Cara pemakaiannya ditelan dan disuntikkan. Khasiatnya sebagai
penghilang rasa nyeri yang ringan-ringan dan dijual dalam bentuk
tablet atau dicampur dengan aspirin.13
5. Demerol
Nama lain dari Demerol adalah Pethidina. Pemakaiannya bisa dengan
ditelan atau dengan disuntikan. Demerol dijual dalam bentuk pil dan
cairan tidak berwarna.14
6. Methadon
Saat ini Methadone banyak digunakan orang dalam pengobatan
ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah dibuat untuk mengobati
overdosis opioid dan ketergantungan opioid. Sejumlah besar narkotika
12 Sumarmo Ma’sum, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat,Hal. 76.
13 Andi Hamzah dan RM. Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, (Jakarta:Sinar Grafika, 1994), Hal.17.
14 Apa itu Narkotika, http://www.pramukanet.org/ di akses pada tanggal 23 Mei 2015Pukul 19.30 WIB.
20
sintetis (opioid) telah dibuat, termasuk meperidine (Demerol),
methadone (Dolphine), pentazocine (Talwin), dan propocyphene
(Darvon). Saat ini Methadone banyak digunakan orang dalam
pengobatan ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah dibuat
untuk mengobati over dosis opioid dan ketergantungan opioid. Kelas
obat tersebut adalah nalaxone (Narcan), naltrxone (Trexan),
nalorphine, levalorphane, dan apomorphine. Sejumlah senyawa
dengan aktivitas campuran agonis dan antagonis telah disintesis, dan
senyawa tersebut adalah pentazocine, butorphanol (Stadol), dan
buprenorphine (Buprenex).15
7. Kokain
Kokain adalah zat yang adiktif yang sering disalahgunakan dan
merupakan zat yang sangat berbahaya. Kokain merupakan alkaloid
yang didapatkan dari tanaman belukar Erythroxylon coca, yang berasal
dari Amerika Selatan, di mana daun dari tanaman belukar ini biasanya
di kunyah-kunyah oleh penduduk setempat untuk mendapatkan efek
stimulan. Saat ini Kokain masih digunakan sebagai anestetik lokal,
khususnya untuk pembedahan mata, hidung dan tenggorokan, karena
efek vasokonstriksifnya juga membantu. Kokain diklasifikasikan
sebagai narkotika, bersama dengan morfin dan heroin karena efek
adiktif dan efek merugikannya telah di kenali. Nama lain untuk
Kokain: Snow, coke, girl, lady dan crack (kokain dalam bentuk yang
15 Hadiman, Pengawasan Serta Peran Aktif Orang Tua Dan Aparat DalamPenanggulangan Dan Penyalahgunaan Narkoba, (Jakarta: BERSAMA, 2005), Cet. Ke-1, Hal. 87.
21
paling murni dan bebas basa untuk mendapatkan efek yang lebih
kuat).16
3. Sifat Jahat Narkotika
Berbeda dengan obat atau zat lainnya, narkotika memiliki 3 sifat
jahat yang dapat membelenggu pemakainya untuk menjadi budak setia,
tidak dapat meninggalkannya, dan mencintainya melebihi siapapun.
Tiga sifat yang berbahaya itu adalah :
1. Habitual yaitu sifat pada narkotika yang membuat pemakainya akan
selalu teringat, terkenang dan terbayang, sehingga cenderung untuk
selalu mencari dan rindu (seeking). Sifat inilah yang menyebabkan
pemakai narkotika yang sudah sembuh kelak bisa kambuh (relaps).
Perasaan kangen berat ingin memakai kembali disebabkan oleh kesan
kenikmatan yang disebut (suggest).
2. Adiktif yaitu sifat narkotika yang membuat pemakainya terpaksa
memakai terus dan tidak dapat menghentikannya. Penghentian atau
pengurangan pemakaian narkotika akan menimbulkan efek putus zat
atau with drawal effect yaitu sakit yang luar biasa.
3. Toleran yaitu sifat narkotika yang membuat tubuh pemakainya
semakin lama semakin menyatu dengan narkotika daan menyesuaikan
diri dengan narkotika itu, sehingga menuntut dosis pemakaian yang
semakin tinggi. Bila dosisnya tidak dinaikkan, narkotika itu tidak akan
16 Kurniawan Eko, Jenis-Jenis Narkotika, http://empret21.blogspot.com/2012/11/jenis-narkotika-dan-penjelasan.html dari sumber www.bnn.go.id diunduh pada tanggal 8 November2014 Pukul 19.30 WIB.
22
bereaksi, tetapi malah membuat pemakainya mengalami sakaw. Untuk
memperoleh efek yang sama dengan efek di masa sebelumnya,
dosisnya harus dinaikkan.17
4. Akibat yang Ditimbulkan dari Narkotika
Akhir-akhir ini terjadi penyalahgunaan narkotika. Banyak
narkotika beredar di pasaran misalnya ganja, sabu-sabu, ekstasi dan pil
koplo. Penyalahgunaan obat jenis narkotika sangat berbahaya karena dapat
mempengaruhi susunan syaraf mengakibatkan ketagihan dan
ketergantungan, Narkotika menimbulkan perubahan perilaku, perasaan,
persepsi, dan kesadaran.18
Pemakaian narkotika secara umum dan juga psikotropika yang
tidak sesuai dengan aturan dapat menimbulkan efek yang membahayakan
tubuh. Berdasar efek yang ditimbulkan dari penyalahgunaan narkotika
dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Depresan, yaitu menekan sistem sistem syaraf pusat dan mengurangi
aktifitas fungsional tubuh sehingga pemakai merasa tenang, bahkan
bisa membuat pemakai tidur dan tak sadarkan diri. Bila kelebihan dosis
bisa mengakibatkan kematian. Jenis narkotika depresan antara lain
opioda, dan berbagai turunannya seperti morphin dan heroin. Contoh
yang popular sekarang adalah Putaw.
17 Ahmad Abidin, Narkotika Membawa Malapetaka bagi Kesehatan, (Bandung: SinergiPustaka Indonesia, 2007), Hal. 3-6.
18 Haryanto, Dampak Penyalahgunaan Narkotika , (online)http://belajarpsikologi.com/dampak-penyalahgunaan-narkotika/ diunduh pada tanggal 14November 2014 Pukul 21.00 WIB.
23
2. Stimulan, merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan serta
kesadaran. Jenis stimulan: Kafein, Kokain, Amphetamin. Contoh yang
sekarang sering dipakai adalah Shabu-shabu dan Ekstasi.
3. Halusinogen, efek utamanya adalah mengubah daya persepsi atau
mengakibatkan halusinasi. Halusinogen kebanyakan berasal dari
tanaman seperti mescaline dari kaktus dan psilocybin dari jamur-
jamuran. Selain itu ada juga yang diramu di laboratorium seperti LSD.
Yang paling banyak dipakai adalah marijuana atau ganja.19
Bila narkotika digunakan secara terus menerus atau melebihi
takaran yang telah ditentukan akan mengakibatkan ketergantungan.
Kecanduan inilah yang akan mengakibatkan gangguan fisik dan
psikologis, karena terjadinya kerusakan pada sistem syaraf pusat (SSP)
dan organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru, hati dan ginjal. Dampak
penyalahgunaan narkotika pada seseorang sangat tergantung pada jenis
narkotika yang digunakan, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi
pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkotika dapat terlihat pada
fisik, psikis maupun sosial seseorang.
a. Dampak penyalahgunaan narkotika terhadap fisik
1. Gangguan pada system syaraf (neurologis) seperti: kejang-kejang,halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi.
2. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler)seperti: infeksi akut otot jantung, gangguan peredaran darah.
3. Gangguan pada kulit (dermatologis) seperti: penanahan (abses),alergi, eksim.
19 Blog Komunitas Anti Narkoba, Pengertian, Jenis-Jenis Narkoba, dan Akibatnya.http://komunitasantinarkoba.blogspot.com/2009/09/pengertian-jenis-jenis-narkoba-dan.html diakses pada tanggal 24 Desember 2014 pukul 15.00 WIB.
24
4. Gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti: penekanan fungsipernapasan, kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru.
5. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, murus-murus, suhutubuh meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur.
6. Dampak penyalahgunaan narkotika terhadap kesehatan reproduksiadalah gangguan padaendokrin, seperti: penurunan fungsi hormonreproduksi (estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguanfungsi seksual.
7. Dampak penyalahgunaan narkotika terhadap kesehatan reproduksipada remaja perempuan antara lain perubahan periode menstruasi,ketidakteraturan menstruasi, dan amenorhoe (tidak haid).
8. Bagi pengguna narkotika melalui jarum suntik, khususnyapemakaian jarum suntik secara bergantian, risikonya adalah tertularpenyakit seperti hepatitis B, C, dan HIV yang hingga saat ini belumada obatnya.
9. Penyalahgunaan narkotika bisa berakibat fatal ketika terjadi overdosis yaitu konsumsi narkotika melebihi kemampuan tubuh untukmenerimanya. Over dosis bisa menyebabkan kematian.20
b. Dampak penyalahgunaan narkotika terhadap psikis
1. Lamban kerja, ceroboh kerja, sering tegang, dan gelisah.2. Hilang percaya diri, apatis, pengkhayal, dan penuh curiga.3. Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal.4. Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal, dan tertekan.5. Cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, dan ingin bunuh
diri.
c. Dampak penyalahgunaan terhadap lingkungan sosial
1. Gangguan mental, anti-sosial dan asusila, dikucilkan olehlingkungan.
2. Merepotkan dan menjadi beban keluarga.3. Pendidikan menjadi terganggu dan masa depan suram.
Dampak fisik, psikis dan sosial berhubungan erat. Ketergantungan
fisik akan mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa (sakaw) bila terjadi
putus obat (tidak mengkonsumsi obat pada waktunya) dan dorongan
psikologis berupa keinginan sangat kuat untuk mengkonsumsi (bahasa
20 Mochammad Rizal, Akibat Penggunaan Narkoba,https://mochamadrizal19.wordpress.com/akibat-penggunaan-narkoba/ di akses pada tanggal 24Desember 2014 pukul 19.00 WIB.
25
gaulnya sugest). Gejala fisik dan psikologis ini juga berkaitan dengan
gejala sosial seperti dorongan untuk membohongi orang tua, mencuri,
pemarah, manipulatif, dan lain-lain.
Akibat penyalahgunaan narkotika juga dapat menyebabkan efek
negatif yang akan menyebabkan gangguan mental dan perilaku, sehingga
mengakibatkan terganggunya sistem neuro-transmitter pada susunan saraf
pusat di otak. Gangguan pada sistem neuro-transmitter akan
mengakibatkan tergangunya fungsi kognitif (alam pikiran), afektif (alam
perasaan, mood, atau emosi), psikomotor (perilaku), dan aspek sosial.21
21 Jenis-Jenis Narkotika dan penjelasanya, http://empret21.blogspot.com/2012/11/jenis-narkotika-dan-penjelasan.html dari sumber www.bnn.go.id diunduh pada tanggal 8 November2014 Pukul 20.00 WIB.
26
BAB III
Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2009
A. Sejarah Undang-undang Narkotika
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 9 tahun 1976, istilah
narkotika belum dikenal di Indonesia. Peraturan yang berlaku sebelum ini adalah
Verdovende Middelen Ordonnantie (Staatsblad 1929 Nomor 278 jo Nomor 536)
yang di ubah tahun 1949 (Lembaran Negara 1949 Nomor 337), tidak
menggunakan istilah “narkotika” tetapi “obat yang membiuskan” (Verdovende
middelen) dan peraturan ini dikenal sebagai Ordonansi Obat Bius.1
Ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan tersebut,
berhubungan dengan perkembangan lalu-lintas dan adanya alat-alat perhubungan
dan pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya penyebaran atau
pemasukan narkotika ke Indonesia, ditambah pula dengan kemajuan-kemajuan
yang dicapai dalam bidang pembuatan obat-obatan, ternyata tidak cukup memadai
untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan.
Peraturan perundang-undangan tersebut tidak lagi sesuai dengan
perkembangan zaman karena yang diatur didalamnya hanyalah mengenai
perdagangan dan penggunaan narkotika, yang di dalam peraturan itu dikenal
dengan istilah Verdoovende Middelen atau obat bius, sedangkan pemberian
pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak di atur. Sejak
1 Andi Hamzah, RM. Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, (Jakarta: SinarGrafika, 1994), Hal. 13.
27
dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kesehatan tanggal 26 Mei 1970 Nomor
2882/ Dit.Jen/ SK/ 1970, istilah “obat bius” diganti dengan “Narkotika”.2
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 tentang
Narkotika (Lembaran Negara 1976 Nomor 37), maka istilah narkotika secara
resmi digunakan, dan sekarang sudah diganti oleh Undang-undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika, yang lebih menyempurnakan Undang-undang
Nomor 9 tahun 1976. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui
ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di
samping itu, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai
pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta
mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial dan juga mencakup pengaturan
mengenai penggolongan narkotika, pengadaan narkotika, label dan publikasi,
peran serta masyarakat, pemusnahan narkotika sebelum putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap, perpanjangan jangka waktu penangkapan,
penyadapan telepon, teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan pembelian
terselubung dan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika.3
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan
2 Inpres, 1971 : 18 tentang Narkotika.
3 Penjelasan Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika.
28
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik
Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-undang Nomor 22 tahun 1997
tentang Narkotika.
Undang-undang Narkotika yang disahkan pada 14 September 2009
merupakan revisi dari Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika.
Pemerintah menilai Undang-undang No. 22 tahun 1997 tidak dapat mencegah
tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun
kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Undang-undang No. 35
tahun 2009 menekankan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan
pidana yang berlebihan, dan kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN) yang
sangat besar.4 Badan Narkotika Nasional (BNN) tersebut didasarkan pada
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional,
Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. Badan
Narkotika Nasional tersebut merupakan lembaga non struktural yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang
hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam undang-undang
ini, Badan Narkotika Nasional tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah
non kementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan. Badan Narkotika Nasional berkedudukan di bawah
Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, Badan Narkotika
Nasional juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota
4 Aris Irawan, Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bila dikaji dariPolitik Hukum Penerapannya, http://ilmuhukum.umsb.ac.id/?id=177, di unduh pada tanggal 23Februari 2015 Pukul 21.00 WIB.
29
sebagai instansi vertikal, yakni Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan
Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.
Undang-undang No. 35 tahun 2009 diatur juga mengenai prekursor
narkotika karena prekursor narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau
bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika. Selain itu, diatur
pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan prekursor narkotika untuk
pembuatan narkotika. Dalam undang-undang ini diatur juga peran serta
masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
narkotika dan prekursor narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota
masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.5
B. Tindak Pidana Narkotika menurut Undang-undang
1. Pengertian dan Istilah Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) di kenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam
kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik,
yang berasal dari bahasa Latin yakni delictum, dalam kamus besar Bahasa
Indonesia, delik didefinisikan sebagai berikut: “Delik adalah perbuatan
yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang tindak pidana,6 sedangkan pembuat undang-undang
merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa
5 Penjelasan Umum Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
6 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Fakultas Hukum Undip cet. II, 1990), Hal. 38-39.
30
pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Perbuatan pidana adalah
”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut”.7 Pada umumnya, orang diancam pidana
kerena melakukan suatu perbuataan (act). Namun bisa juga karena “tidak
berbuat” (omission), orang diancam dengan pidana. Setiap orang bagian
dari subjek hukum yang prilakunya atau perbuataanya dapat
dipertanggungjawabkan. Seseorang dapat dipersalahkan melakukan
perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam delik atau tindak pidana
narkotika yang diatur di dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika apabila dapat dibuktikan berdasarkan adanya minimal 2
(dua) alat bukti sah yang karenanya dapat meyakinkan Majelis Hakim
mengenai perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur delik
yang terdapat dalam Undang-undang No. 35 tahun 2009.
Selanjutnya pengertian tentang strafbaar feit menurut pendapat
para ahli, yaitu:
a) Menurut Simons, strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum yang berhubungandengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampubertanggungjawab.8
b) Menurut Van Hamel, strafbaar feit adalah kelakuan orang (men selijkegedraging) yang dirumuskan dalam wet, bersifat melawan hukum,patut di pidana (strafwaardig), dan dilakukan dengan kesalahan.9
7 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), Hal. 54.
8 Sudarto, Hukum Pidana I. Hal. 41.
9 Sudarto, Hukum Pidana I. Hal. 42.
31
c) Menurut Pompe, strafbaar feit adalah perbuatan yang bersifat melawanhukum, dilakukan dengan kesalahan dan di ancam pidana.10
Sementara Hazewinkel-Zuringa telah membuat suatu rumusan
yang bersifat umum dari strafbaar feit sebagai berikut: “Setiap tingkah
laku yang dilarang disertai ancaman pidana, baik ia terdiri atas berbuat
maupun pengabaian. Bahwa peristiwa pidana belum tentu dapat di
pidana”.11 Kemudian para sarjana hukum Indonesia merumuskan istilah
strafbaar feit berbeda-beda yang diantara yaitu:
a. Mulyatno menerjemahkan istilah straafbaar feit dengan perbuatanpidana. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” menunjukkepada makna adanya suatu kelakuan manusia (baik aktif maupunpasif) yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum di manapelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.12
b. Wirjono Prodjodikoro juga menjelaskan tentang tindak pidana bahwa:“Istilah tindak pidana itu sendiri adalah pelanggaran norma dalam tigabidang hukum lain, yaitu perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukumtata usaha pemerintah yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapisebagai hukum pidana”.
c. A. Zainal Abidin Farid dalam buku beliau Hukum Pidana pernahmenggunakan istilah “peristiwa pidana”. Istilah ini secara resmidigunakan dalam UUD Sementara 1950, yaitu dalam Pasal 14 ayat (1).Secara substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebihmenunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik olehperbuatan manusia maupun oleh gejala alam.13
Bertolak dari berbagai defenisi di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan
yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana
pengertian perbuatan dalam hal ini selain perbuatan yang bersifat aktif
10 Sudarto, Hukum Pidana I. Hal.43.
11 A. Zainal abidin farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika,1995), Hal. 229.
12 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), Hal. 225.
13 A. Zainal abidin farid, Hukum Pidana I. Hal.68.
32
(melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan
yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh
hukum).
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009
Dalam hal kebijakan kriminalisasi, perbuatan-perbuatan yang
dinyatakan sebagai unsur tindak pidana dalam Undang-undang Nomor 35
tahun 2009 tentang Narkotika adalah sebagai berikut :
a. Setiap orang yang tanpa hak menanam, memelihara, mempunyai
dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika
(dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman) diatur dalam (pasal 111
sampai dengan pasal 112);
b. Setiap orang yang tanpa hak memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika golongan I (pasal 113);
c. Setiap orang yang tanpa hak menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan narkotika golongan I (pasal 114);
d. Setiap orang yang tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito narkotika golongan I (pasal 115);
e. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika
golongan I untuk digunakan orang lain (pasal 116);
33
f. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan II
(pasal 117);
g. Setiap orang tanpa yang hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan II
(pasal118);
h. Setiap orang yang tanpa hak menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan narkotika golongan II (pasal 119);
i. Setiap orang yang tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito narkotika golongan II (pasal 120);14
j. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
narkotika golongan II terhadap orang lain atau memberikan narkotika
golongan II untuk digunakan orang lain (pasal 121);
k. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika golongan III
(pasal 122);
l. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan III
(pasal 123);
m. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
di jual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual
14 Penjelasan Umum Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
34
beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dalam golongan III (pasal
124);
n. Setiap orang yang tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito narkotika golongan III (pasal 125);
o. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
narkotika golongan III terhadap orang lain atau memberikan narkotika
golongan III untuk digunakan orang lain (pasal 126);15
p. Setiap penyalah guna: (pasal 127 ayat 1) :
1) Narkotika golongan I bagi diri sendiri2) Narkotika golongan II bagi diri sendiri3) Narkotika golongan III bagi diri sendiri
q. Pecandu narkotika yang belum cukup umur (pasal 55 ayat 1) yang
sengaja tidak melapor (pasal 128);
r. Setiap orang tanpa hak melawan hukum : (pasal 129)
1) Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan prekursornarkotika untuk pembuatan narkotika;
2) Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkanprekursor narkotika untuk pembuatan narkotika;
3) Menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menerima, menjadiperantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan prekursornarkotika untuk pembuatan narkotika;
4) Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito precursornarkotika untuk pembuatan narkotika.16
3. Macam-Macam Tindak Pidana Menurut Undang-Undang
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenakan pidana.17 Biasanya istilah tindak pidana sering digunakan dalam
15 Penjelasan Umum Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
16 Penjelasan Umum Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
35
pasal-pasal ataupun perundang-undangan dan penjelasan-penjelasannya.
Jenis-jenis tindak pidana narkotika yang umum di kenal terdapat dalam
ketentuan pidana yang di atur dalam Bab XV Undang-undang Narkotika
dapat dikelompokkan dari segi bentuk perbuatannya sebagai berikut:
1) Tindak pidana yang menyangkut rehabilitasi penyalahgunaan
narkotika
Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dibedakan menjadi
dua macam yaitu perbuatannya untuk orang lain dan untuk diri sendiri.
Tindak pidana penyalahgunaan narkotika tersebut diatur dalam Pasal
127 undang-undang narkotika.18 (Pasal tersebut sebagaimana
terlampir)
2) Tindak pidana yang menyangkut produksi
Tindak pidana yang menyangkut produksi itu berupa
mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, dan menyediakan
narkotika untuk semua golongan. Kejahatan yang menyangkut
produksi narkotika terdapat dalam pasal 111 Undang-undang No. 35
tahun 2009 tentang Narkotika. (Pasal tersebut sebagaimana terlampir)
3) Tindak pidana yang menyangkut jual beli narkotika
Tindak pidana yang menyangkut jual beli di sini bukan hanya
dalam arti sempit, akan tetapi termasuk pula perbuatan ekspor, impor
17 Sudarto, Hukum Pidana I. Hal.42.
18 Syaiful Bakhri, Tindak Pidana Narkotika Dan Psikotropika, http://dr-syaifulbakhri.blogspot.com/2012/03/tindak-pidana-narkotika-dan.html di akses pada tanggal 24Mei 2015 Pukul 19.00 WIB.
36
dan tukar menukar narkotika. Kejahatan ini di atur dalam Pasal 113,
Pasal 118, dan Pasal 123 undang-undang narkotika. Kejahatan yang
menyangkut jual beli narkotika antara golongan I, golongan II, dan
golongan III terdapat perbedaan sanksi yang dijatuhkan terhadap
pelaku. Kejahatan produksi narkotika golongan I diatur dalam Pasal
113, golongan II diatur dalam Pasal 118, golongan III diatur dalam
Pasal 123. (Pasal tersebut sebagaimana terlampir)
4) Tindak pidana yang menyangkut pengangkutan narkotika
Tindak pidana dalam arti luas termasuk perbuatan membawa,
mengirim, mengangkut, dan mentrasito narkotika. Selain itu, ada juga
tindak pidana bidang pengangkutan narkotika yang khusus ditujukan
kepada nahkoda atau kapten penerbang karena tidak melaksanakan
tugasnya dengan baik sebagaimana diatur dalam Pasal 139 undang-
undang narkotika, berbunyi sebagai berikut:
Nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidakmelaksanakan ketentuan sebagaimana di maksud dalam Pasal 27 atauPasal 28 di pidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahundan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikitRp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyakRp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setiap golongan-golongan narkotika dalam memberikan sanksi
terhadap pelaku kejahatan yang menyangkut pengangkutan atau
transito narkotika juga berbeda-beda. Hukuman dalam golongan I
diatur dalam Pasal 115, golongan II diatur dalam Pasal 120, golongan
II diatur dalam pasal 125. (Pasal tersebut sebagaimana terlampir)
5) Tindak pidana yang menyangkut penguasaan narkotika
37
Undang-undang narkotika ini membedakan antara tindak
pidana menguasai narkotika golongan I dengan tindak pidana
menguasai narkotika golongan II dan III, karena dalam penggolongan
narkotika tersebut memiliki fungsi dan akibat yang berbeda. Kejahatan
yang menyangkut penguasaan narkotika antara golongan I, golongan
II, golongan III berbeda-beda dalam menjatuhkan hukuman. Kejahatan
penguasaan narkotika golongan I diatur dalam Pasal 111, golongan II
diatur dalam Pasal 117, golongan III di atur dalam Pasal 122. Di
bawah ini contoh Pasal tersebut. (Pasal tersebut sebagaimana
terlampir)19
6) Tindak pidana yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika
Undang-undang narkotika menghendaki supaya pecandu
narkotika melaporkan diri atau pihak keluarganya yang melaporkan
sesuai dengan Pasal 55. Karena jika kewajiban tersebut tidak
dilakukan dapat merupakan tindak pidana bagi orang tua atau wali
dan pecandu yang bersangkutan. Ketentuan tersebut diatur dalam
Pasal 128 undang-undang narkotika. (Pasal tersebut sebagaimana
terlampir)
7) Tindak pidana yang menyangkut label dan publikasi
Seperti yang di ketahui bahwa pabrik obat diwajibkan
mencantumkan label pada kemasan narkotika baik dalam bentuk obat
19 Penjelasan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika Bab XV tentangKetentuan Pidana.
38
maupun bahan baku narkotika (Pasal 45). Kemudian untuk dapat
dipublikasikan Pasal 46 undang- undang narkotika :
Harus dilakukan pada media cetak ilmiah kedokteran atau
media cetak ilmiah farmasi. Apabila tidak dilaksanakan dapat
merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 135 undang-undang
Narkotika. (Pasal tersebut sebagaimana terlampir).
8) Tindak pidana yang menyangkut jalannya peradilan
Yang di maksud dengan proses peradilan meliputi :
Pemeriksaan perkara di tingkat penyidikan, penuntutan danpengadilan. Dalam undang-undang narkotika perbuatan yangmenghalang-halangi atau mempersulit jalannya proses peradilantersebut merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 138undang-undang narkotika. (Pasal tersebut sebagaimana terlampir)
9) Tindak pidana yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika
Barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana dilakukan
penyitaan untuk dijadikan barang bukti perkara bersangkutan dan
barang bukti tersebut harus diajukan dalam persidangan. Status barang
bukti ditentukan dalam putusan pengadilan. Apabila barang bukti
tersebut terbukti dipergunakan dalam tindak pidana maka harus
ditetapkan dirampas untuk dimusnahkan. Dalam tindak pidana
narkotika ada kemungkinan barang bukti yang di sita berupa tanaman
yang jumlahnya sangat banyak, sehingga tidak mungkin barang bukti
tersebut diajukan kepersidangan semuanya.
Dalam hal ini, penyidik wajib membuat berita acara sehubungandengan tindakan penyidikan berupa penyitaan, penyisihan, danpemusnahan kemudian dimasukkan dalam berkas perkara. Sehubungandengan hal tersebut, apabila penyidik tidak melaksanakan tugasnya
39
dengan baik merupakan tindak pidana. Hal tersebut di atur dalam Pasal140 undang-undang narkotika. (Pasal tersebut sebagaimana terlampir)
10) Tindak pidana yang menyangkut keterangan palsu
Sebelum seorang saksi memberikan keterangan di muka
persidangan, maka saksi wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan
agamanya, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya
(Pasal 160 ayat (3) KUHAP). Dengan cara yang demikian diharapkan
saksi dalam memberikan keterangannya selalu konsekuen dengan
sumpah yang diucapkannya. Sejalan dengan hal tersebut, apabila
dalam perkara narkotika saksi tidak memberikan keterangan dengan
benar dapat menjadi tindak pidana. Sebelum saksi memberikan
kesaksian di depan persidangan, maka saksi wajib bersumpah sesuai
dengan agamanya. Menurut undang-undang menjadi saksi adalah salah
satu kewajiban seseorang. Orang yang di panggil untuk didengar
keterangannya sebagai saksi oleh penyidik ataupun oleh pengadilan
guna memberi keterangan tentang suatu perkara pidana yang didengar,
ia lihat dan ia alami sendiri, tetapi dengan menolak kewajiban itu maka
ia dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 216 KUHP dan Pasal 224
atau 522 KUHP.20
Dalam undang-undang narkotika, bila saksi tidak memberikankesaksian secara benar maka dapat di pidana dan di anggap melakukantindak pidana narkotika sesuai ketentuan Pasal 143 undang-undangnarkotika. (Pasal tersebut sebagaimana terlampir)
20 Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana I&II, (Semarang: Yayasan Cendekia PurnaDharma, 1999), Hal. 36.
40
11) Tindak pidana yang menyangkut penyimpangan fungsi lembaga
Lembaga-lembaga yang diberi wewenang oleh undang-undang
narkotika untuk memproduksi, menyalurkan atau menyerahkan
narkotika yang ternyata melakukan kegiatan narkotika tidak sesuai
dengan tujuan penggunaan narkotika sebagaimana ditetapkan oleh
undang-undang narkotika, maka pimpinan lembaga yang bersangkutan
dapat dijatuhi pidana dalam pasal 147 undang-undang narkotika.
(Pasal tersebut sebagaimana terlampir)
12) Tindak pidana yang menyangkut pemanfaatan anak di bawah umur
Tindak pidana di bidang narkotika tidak seluruhnya dilakukan
oleh orang dewasa, tetapi ada kalanya kejahatan ini dilakukan pula
bersama-sama dengan anak dibawah umur (belum genap 18 tahun
usianya).21 Anak-anak yang belum dewasa atau belum cukup umur
cenderung mudah di pengaruhi oleh orang lain untuk melakukan
perbuatan yang berhubungan dengan narkotika.22 Anak di bawah umur
dibujuk untuk melakukan tindak pidana narkotika, mereka tidak
mempunyai kuasa untuk melawan kejahatan tersebut. Mereka
mengedarkan narkotika ke teman sebayanya atau ke orang dewasa.
Oleh karena itu perbuatan memanfaatkan anak di bawah umur untuk
melakukan kegiatan narkotika merupakan tindak pidana yang diatur
21 Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anakyang masih dalam kandungan ( Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak).
22 Gatot Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, (Jakarta: Djambatan cet. Ke-4, 2009),Hal. 200-218.
41
dalam Pasal 133 undang-undang narkotika. (Pasal tersebut
sebagaimana terlampir).
4. Pembagian Golongan Narkotika Menurut Undang-undang No. 35
Tahun 2009
Berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dapat dibedakan kedalam 3 golongan yaitu:
1. Narkotika Golongan I
Dalam penggolongan Narkotika, zat atau obat golongan I
mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Oleh karena itu didalam penggunaannya hanya diperuntukkan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak dipergunakan dalam terapi.
Pengertian pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya untuk
kepentingan pendidikan, pelatihan, keterampilan dan penelitian serta
pengembangan. Dalam penelitian dapat digunakan untuk kepentingan
medis yang sangat terbatas. (Jenis-jenisnya terlampir)
2. Narkotika Golongan II
Narkotika pada golongan ini adalah Narkotika yang berkhasiat
terhadap pengobatan dan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
dipergunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan. Narkotika golongan ini mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan. (Jenis-jenisnya terlampir)
3. Narkotika Golongan III
42
Narkotika golongan ini adalah Narkotika yang berkhasiat dalam
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
menyebabkan ketergantungan. (Jenis-jenisnya terlampir)
43
BAB IV
SANKSI BAGI PENYALAHGUNA DAN PENGEDAR NARKOTIKA
MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG DAN MENURUT
HUKUM ISLAM
A. Sanksi bagi Penyalahguna Narkotika menurut Undang-undang dan
Hukum Islam
1. Sanksi Bagi Penyalahguna menurut Undang-undang
Pengertian Penyalahguna menurut Pasal 1 angka 15 Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah :
Orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.Sehingga untuk menentukan suatu perbuatan itu bersifat tanpa hak ataumelawan hukum, maka perlu diketahui terlebih dahulu dasar aturan hukumyang melegitimasi orang untuk bisa mempergunakan narkotika.
Di dalam Pasal 7 Undang-undang No. 35 tahun 2009 disyaratkan bahwa :
Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatandan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selanjutnya dalam Pasal 8 undang-undang tersebut menjelaskan :
Membatasi penggunaan narkotika golongan I yang hanya digunakan untukkepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untukreagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkanpersetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat danMakanan.
Sehingga bila seseorang yang menggunakan narkotika melanggar aturan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 8 Undang-
44
undang No. 35 tahun 2009 tersebut, maka pelaku tersebut tidak mempunyai
hak atau perbuatannya bersifat melawan hukum.1
Dalam hal ini jenis sanksi yang diberikan bagi penyalahguna
adalah rehabilitasi hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan :
“Pecandu Narkotika dan korban Penyalahgunaan Narkotika wajib menjalanirehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.
Guna membantu seseorang terbebas dari ketergantungan terhadap narkotika
itu sendiri. Namun dapat dikatakan seseorang sebagai seorang
penyalahguna, semua harus sesuai dengan SEMA (Surat Edaran Mahkamah
Agung) Nomor 4 tahun 2010. (Surat edaran tersebut terlampir)
Pada umumnya tujuan hukum pidana untuk melindungi
kepentingan individu atau melindungi hak asasi manusia dan melindungi
kepentingan masyarakat maupun negara dari perbuatan kejahatan atau
perbuatan tercela yang merugikan individu, masyarakat dan negara, dan
juga menjaga agar penguasa tidak bertindak sewenang-wenang pada
individu atau masyarakat. Tujuan yang lebih difokuskan di sini adalah
seseorang yang dikatakan sebagai penyalahguna harus di rehabilitasi guna
membantu seseorang itu terbebas dari ketergantungan narkotika.
Sanksi Pidana sesuai dengan Undang- undang Nomor 35 Tahun
2009 dalam Ketentuan Pasal 127 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika kemudian dikatakan bahwa:
1 http://hukum.kompasiana.com/2014/06/18/kualifikasi-penyalahguna-pecandu-dan-korban penyalahgunaan-narkotika-dalam-implementasi-uu-no-35-tahun-2009-tentang-narkotika-659279.html di akses pada tanggal 01 Maret 2015 Pukul 21.00.
45
Setiap Penyalahguna :
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri di pidana dengan pidana penjarapaling lama 4 (empat) tahun ;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri di pidana dengan pidana penjarapaling lama 2 (dua) tahun dan ;
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri di pidana dengan pidana penjarapaling lama 1 (satu) tahun.2
Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu perbuatan pidana yang
harus mendapatkan sanksi berupa pidana. Kerancuan mengenai kedudukan
pecandu narkotika mendorong Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA
(Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 4 Tahun 2010 mengenai kriteria
seorang penyalahguna narkotika dapat di proses pidana yaitu sebagai
berikut:
1) Bahwa dengan diterbitkanya Undang-undang Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2009 Tanggal 12 Oktober tentang Narkotika, maka dianggap
perlu untuk mengadakan revisi terhadap surat edaran Mahkamah Agung
RI Nomor 07 Tahun 2009 tanggal 17 Maret tentang Menempatkan
Pemakai Narkotika ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.
2) Bahwa penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud pada pasal 103
huruf a dan b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika hanya dapat dijatuhkan dengan klasifikasi
pidana sebagai berikut :
a) Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan Penyidik BNNdalam kondisi tertangkap tangan;
2 Penjelasan Tentang Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pasal127.
46
b) Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a di atas ditemukan barangbukti pemakaiaan 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagaiberikut :
1) Kelompok metaphetamine (shabu) : 1 gram2) Kelompok MDMA (ekstasi) : 2,8 gram = 8 butir3) Kelompok heroin : 1,8 gram4) Kelompok kokain : 1,8 gram5) Kelompok ganja : 5 gram6) Daun koka : 5 gram7) Meskalin : 5 gram8) Kelompok psilosibyn : 3 gram9) KelompokLSD
(d-lysergic acid diethilamyde) : 2 gram10) Kelompok PCP (phencyclidie) : 3 gram11) Kelompok fetanil : 1 gram12) Kelompok metadon : 0,5 gram13) Kelompok morfin : 1,8 gram14) Kelompok petidin : 0,96 gram15) Kelompok kodein : 72 gram16) Kelompok bufrenorfin : 32 gram
Surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkanpermintaan penyidik.
c) Perlu surat keterangan dari dokter jiwa atau psikiater pemerintah yangdi tunjuk oleh hakim.
d) Tidak dapat terbukti yang bersangkutan terlibat dalam peredarangelap narkotika.
3) Dalam hal hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk
dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri terdakwa, majelis
hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi terdekat
dalam amar putusanya.
4) Untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, hakim harus dengan
sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi atau taraf kecanduan dari
47
terdakwa, sehingga wajib diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai
standar dalam proses terapi dan rehabilitasi.3
Rehabilitasi menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Pasal 1
angka 16 dan 17 mengartikan :
Pasal 1 angka 16 : Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatanpengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dariketergantungan Narkotika.
Pasal 1 angka 17 : Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatanpemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekaspecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalamkehidupan masyarakat.
Mengenai tata cara untuk seseorang dapat direhabilitasi adalah seseorang
yang telah terbukti telah mengkonsumsi narkoba, seseorang diperlukan
asesmen klinik secara lengkap, yang di mana hasil asesmen ini merupakan
dasar untuk menentukan diagnosis serta intervensi atau rencana terapi yang
sesuai dengan yang dibutuhkan seorang pasien. Secara umum asesmen
dapat digambarkan sebagai suatu proses mendapatkan informasi tentang
pasien secara komprehensip, baik pada saat akan memulai program. Selama
menjalani program hingga selesai menjalani program yang telah disiapkan.
Informasi tentang pasien biasanya dilakukan dengan tiga pendekatan yakni
observasi, wawancara, dan pemeriksaan medik. Biasanya dalam
menentukan diagnosis gangguan penggunaan narkotika ada dua langkah
yang bisa dilakukan yakni dengan skrining yang bertujuan untuk
mendapatkan informasi adakah suatu faktor resiko dan atau masalah yang
3 Penjelasan tentang SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 4 Tahun 2010tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalamLembaga Rehabilitasi Medis dan Sosial.
48
terkait dengan penggunaan narkotika. Yang ke dua adalah dengan metode
adiksi atau sering di sebut penyakit kecanduan. Adiksi adalah suatu
penyakit otak yang di mana penyakit zat aktif mempengaruhi area
pengaturan perilaku. Dengan demikian asesmen yang berkualitas
menghubungkan diagnosis dengan penatalaksanaan awal, yang memastikan
akurasi diagnosis awal dan mengidentifikasi jenis terapi dan rehabilitasi
yang tepat dan efektif untuk mendapatkan gambaran klinis dan masalah
yang lebih mendalam dilakukan asesmen klinis. Langkah-langkah asesmen
klinis adalah :
a) Asesmen awal yaitu asesmen yang dilakukan pada saat pasien berada
pada tahap awal rehabilitasi, umumnya dilakukan pada dua sampai
empat minggu pertama;
b) Rencana terapi pada sebagian besar yang dibutuhkan umumnya
berkaitan dengan terapi rehabilitasi terhadap masalah penggunaan
narkotika, di samping itu terapi lain juga dibutuhkan seperti konseling
keluarga, pelatihan vokasional, pelatihan menjadi seseorang yang
efektif, dll;
c) Asesmen lanjutan, asesmen ini tidak hanya dilakukan pada saat
masuk program terapi. Namun perlu di ulang dalam kurun waktu
selama dia berada dalam program dan ketika yang bersangkutan
49
selesai mengikuti program, asesmen ini bertujuan untuk melihat
kemajuan dari pasien tersebut.4
2. Sanksi bagi Penyalahguna menurut Hukum Islam
Di dalam konteks Islam, sebagimana yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya bahwa Islam hanya mengenal khamr. Karena dalam khamr,
terdapat suatu zat yang apabila dikonsumsi secara berlebihan akan
menyebabkan terganggunya akal, serta membuat orang yang meminumnya
mengalami ketergantungan. Dan para ulama menggunakan metode qiyas
untuk menarik permasalahan narkoba dianalogikan sebagai khamr.
Islam melarang khamr (minuman keras), karena khamr dianggap
sebagai induk keburukan (ummul khabaits), di samping merusak jiwa, akal,
kesehatan, dan harta. Dari sejak semula, Islam telah berusaha menjelaskan
kepada umat manusia, bahwa manfaatnya tidak seimbang dengan bahaya
yang ditimbulkan.5 Hal-hal yang mendorong mengkampanyekan anti
minuman keras adalah bukti yang memastikan bahwa meminum minuman
keras dapat membahayakan kesehatan. Jika bukan mandul, dampak yang
paling tidak berkurangnya kesuburan dan menurunnya kualitas keturunan
dari fisik dan akal. Minuman keras juga terbukti menyebabkan turunnya
4 Sri Hastutik, Tahapan Awal dan Diagnosis, http://www.babesrehab-bnn.info/index.php/profil/struktur-organisasi/item/144-tahapan-rehabilitasi-asesmen-awal-dan-diagnosis.
5 Fikri Ferdian Fauzi, “Pemidanaan Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Oleh AnakDibawah Umur Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Analisis Putusan Nomor : 1311/Pid.B/2010./PN.JKT.PST)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, hal. 33).
50
produktifitas seseorang. Temuan ilmu pengetahuan modern ini sungguh
menguatkan teori hukum Islam.6
Sanksi adalah ketetapan hukum yang dijatuhkan terhadap pelanggar
hukum syari’at demi kemaslahatan umum atau bersama. Penetapan sanksi
atas pelanggar hukum bertujuan untuk perbaikan kondisi umat manusia,
melindungi dan menyelamatkan mereka dari kebinasaan dan kehancuran.
Membimbing mereka dari kesesatan, menjauhkan mereka dari perbuatan
maksiat dan memotivasi mereka untuk berbuat ketaatan mencegah mereka
menyimpang dari jalan yang lurus.7
Imam ‘Izzudin bin Abdus Salam berkata “ Sesungguhnya penerapan
sanksi hukum semata-mata ditegakkan bukan hanya untuk menghindari
kerusakan belaka, namun lebih bertujuan untuk merealisasikan maslahat
bersama”. Syari’at Islam menetapkan bentuk hukuman tersebut dengan
menimbang maslahat yang dihasilkan.8
Namun dalam hal ini perlu diketahui, walaupun Al-Qur’an dan Al-
Hadist merupakan sumber hukum primer, namun keduanya bukan undang-
undang yang sedang diterapkan di negara kita layaknya KUHP dan kitab
hukum undang-undang lainnya yang dikhususkan untuk mengatasi masalah
hukum tertentu. Maka kedua hukum ini (Al-Qur’an dan Hadist) tidak
pernah memberikan definisi tentang narkotika. Tetapi bila mau melacak
6 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum pidana Islam. V, hal. 60.
7 Departemen Agama RI, Bahaya Penyalahgunaan Narkotika Dipandang dari SudutAgama Islam, (T.tp; T.pn, 1987), hal. 12.
8Izzudin bin Abdus Salam, Qawaidul Ahkam Fi Masahilil Anam, (T.tp: Darul Syarq, tt),hal. 12.
51
lebih dalam maka akan ditemukan istilah yang sangat akurat untuk
menggantikan istilah psikotropika atau narkotika yaitu Al-Khamru.9
Istilah narkotika tidak ditemukan secara eksplisit didalam Al-Qur’an
dan Hadist, namun melihat dari pengaruh yang ditimbulkan maka narkotika
dapat disejajarkan hukumannya dengan khamr bahkan bisa lebih berat lagi
tingkat keharamannya. Islam melarang khamr karena khamr adalah sumber
keburukan, ia akan merusak jiwa, akal, kesehatan maupun harta. Islam
telah menjelaskan kepada kita bahwa walaupun khamr memiliki manfaat
terhadap kita namun bahayanya juga sangat besar terhadap kita.
Menurut Nurul Irfan seorang penyalahguna adalah seseorang dalam
artian orang yang tanpa hak atau melawan hukum untuk memiliki atau
menggunakan narkotika. Sesorang dapat dikatakan sebagai penyalahguna
apabila kedapatan memiliki narkotika sesuai dengan peraturan yang telah
ditetapkan. Penyalahguna menurutnya adalah seseorang yang sedang sakit
dan butuh pertolongan dalam penyembuhannya. Cara penyembuhannya
dalam hal ini dengan dilakukan rehabilitasi atau karantina. Menurutnya hal
ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud radhiyallahu
‘anhu secara marfu :
ف فجعل : عن10
9 Muhammad Amin Suma, Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Dalam perspektifHukum Islam. Makalah Seminar 16 September 2000.
10 Abu Daud Al- Sijistan, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997) Juz.3, Hadist No219, hal. 443.
52
Artinya: “Dari Abi Ad-Darda' radhiyallahuanhu bahwa Nabi saw.bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat. DanDia menjadikan buat tiap-tiap penyakit ada obatnya. Maka, makanlahobat, tapi janganlah makan obat dari yang haram”. (HR. Abu Daud)
Maksud dari hadist di atas adalah Allah tidak menciptakan penyakit
yang tidak ada obatnya. Semua penyakit ada obatnya namun kita tidak
diperbolehkan dengan menggunakan sesuatu yang haram. Seperti narkotika.
Narkotika merupakan obat untuk menyembuhkan penyakit namun harus
dari pengawasan dokter atau ahlinya apabila cara mengonsumsinya dengan
tidak adanya pengawasan akan menimbulkan kemudharatan seperti mabuk
maka itu hukumnya adalah haram. Oleh karena itu cara penyembuhan bagi
seorang penyalahguna adalah dengan cara rehabilitasi. Karena mengobati
penyakit karena narkotika dengan melakukan pengawasan terhadap
penyalahguna itu sendiri. Seseorang yang tergolong sebagai penyalahguna
sebagai muslim diwajibkan untuk menolong orang itu agar orang yang
tergolong sebagai penyalahguna dapat sembuh dari ketergantungan
narkotika. Pada dasarnya rehabilitasi dalam rangka penyembuhan
penyalahguna narkotika adalah boleh. Dalam artian hukuman ini sifatnya
ta’zir dengan memberi hukuman melakukan karantina atau rehabilitasi guna
menyembuhkan seseorang yang ketergantungan akan narkotika.11 Dengan
demikian menurut hukum Islam rehabilitasi mengenai sanksi bagi
penyalahguna narkotika boleh dilakukan dengan mempertimbangkan
peraturan yang berlaku. Hal tersebut dilakukan guna menyembuhkan
11 Wawancara pribadi dengan Nurul Irfan tanggal 6 Maret 2015 pukul 10.00 WIB
53
seseorang yang ketergantungan narkotika dapat sembuh kembali tanpa
mengkonsumsi narkotika.
Ulama juga berbeda pendapat (ikhtilaf) dalam menentukan sanksi
pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika, yakni :
1. Sanksi hukumnya adalah Had,12 seperti halnya sanksi bagi peminum
khamr. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Taimiyah, sebagai berikut :
١٣كما
Artinya : “Sesungguhnya ganja itu haram, dijatuhkan sanksi had orangyang menyalahgunakannya, sebagaimana dijatuhkannya had bagipeminum khamr.”
Menurut para ulama hadist yang berkaitan tentang ini banyak sekali,
Rasulullah SAW telah memukul secara sama terhadap orang yang
meminum segala apa yang dapat merusak akal dan memabukkan tanpa
diskriminasi. Tidak peduli apakah ia makanan atau minuman selama zat
khamr itu terdapat didalamnya. Maka segala macam bentuk khamr,
yang diminum atau dimakan, tumbuhan yang diminum ataupun
dimakan, semua itu hukumnya haram. Hanya orang-orang dulu itu tidak
menyebut secara khusus kepada sesuatu nama benda karena persoalan
tentang narkotika itu baru timbul pada akhir tahun enam ratus dan
setelah Rasulullah SAW wafat. Semua itu sebenarnya telah tertulis di
dalam Al Qur’an dan Sunnah.
12 Abdul Rahman al- Jaziri, al- Fiqh ‘ala madzhahib al- Arba’ah. (Beirut: Dar Al- Fikr,T.Th., cet. I), hal. 8.
13 Ibn Taimiyah, Majmu’ al- Fatawa. (Beirut: Dar al-‘Arabiyyah, 1978), hal 10-12.
54
2. Sanksi hukumnya adalah Ta,zir. Pendapat ini adalah pendapat Dr.
Wahbah al-Zuhaili dan Dr. Ahmad al Hasary :
منفيهاملاكالبنجمنيزيلماكل
فيهاليستفيها،الحد
١٤فيهاقليلها
Artinya : “Diharamkan setiap yang dapat menghilangkan akal(mabuk), walaupun tanpa di minum, seperti ganja, opiate, karenajelas-jelas berbahaya. Padahal Islam melarang pada hal-hal yangmembahayakan diri sendiri dan orang lain, tetapi tidak dikenakansanksi had bagi pelakunya, penyalahgunaan narkoba, karenanarkoba tidak ada kenikmatan dan kelezatan, dan mengandungadiksi, karena itu hukumannya adalah ta,zir.”
١٥علىفيهاحد
Artinya : “Sesungguhnya mengonsumsi ganja itu haram dan tidakdijatuhkan sanksi had kepada pelakunya, wajib atas orang yangmengonsumsinya di kenai sanksi ta,zir bukan had.”
Lalu Wahbah al-Zuhaili dan Ahmad al-Hasari juga berargumentasi
sebagai berikut :
a) Narkoba tidak ada pada masa Rasulullulah SAW;b) Narkoba lebih berbahaya dibandingkan dengan bahaya khamr;c) Narkoba bukan diminum sebagimana khamr pada umumnya;d) Narkoba jenis dan macamnya banyak sekali. Masing-masing
memiliki jenis yang berbeda-beda.
Al Qur’an dan Sunnah tidak menjelaskan tentang sanksi hukum bagi
produsen dan pengedar narkoba. Karena itu, sanksi hukum bagi
14 Wahbah al-Zuhaili, al-fiqh al-‘islami wa ‘Adilatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, T.Th.), hal.166.
15 Ahmad al-Hasary, al-Siyasah Al Jaza’iyyah (Beirut: Dar al-jail, T.Th.), jilid II, hal. 39.
55
produsen dan pengedar narkoba adalah ta’zir bisa berat atau ringan
tergantung kepada proses pengadilan (otoritas hakim).16
B. Sanksi bagi Pengedar Narkotika menurut Undang-undang dan Hukum
Islam
1. Sanksi bagi Pengedar Narkotika Menurut Undang-undang
Pengertian peredaran adalah suatu proses, siklus, kegiatan atau
serangkaian kegiatan yang menyalurkan atau memindahkan sesuatu (barang,
jasa, informasi, dan lain-lain). Peredaran dapat juga diartikan sebagai impor,
ekspor, jual beli di dalam negeri serta penyimpanan dan pengangkutan.
Menurut kamus Tata Hukum Indonesia, pengertian peredaran adalah setiap
kegiatan yang menyangkut penjualan serta pengangkutan penyerahan
penyimpanan dengan maksud untuk dijual.
Definisi “Pengedar” dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika (“UU Narkotika”) tidak ditemukan. Namun, Lilik
Mulyadi dalam penelitiannya yang berjudul “Pemidanaan Terhadap
Pengedar dan Pengguna Narkotika” menjelaskan bahwa secara implisit dan
sempit dapat dikatakan bahwa, “pengedar Narkotika” adalah orang yang
melakukan kegiatan penyaluran dan penyerahan Narkotika. Secara luas
pengertian “pengedar” tersebut juga dapat dilakukan dan berorientasi
kepada dimensi penjual, pembeli untuk diedarkan, mengangkut,
16 Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam Dan HukumPidana Nasional, (Rajagrafindo, Jakarta, 2008), hal. 129.
56
menyimpan, menguasai, menyediakan, melakukan perbuatan mengekspor
dan mengimpor “Narkotika”.17
Dalam ketentuan UU Narkotika maka “pengedar” diatur dalam
Pasal 114, Pasal 119 dan Pasal 124. Adapun yang membedakan ke tiga
pasal tersebut adalah sesuai dengan jenis atau golongan narkotika.
a) Jenis-jenis Sanksi Pidana
Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan
kepada seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan
perbuatan pidana. Jenis-jenis sanksi pidana ini sangat bervariasi, seperti
pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan dan
pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan pidana pencabutan
hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman
putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan (pasal 10
KUHP). Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan
pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.18
b) Tujuan Pemidanaan
Pemidanaan berasal dari kata “pidana yang sering diartikan pula
dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan
hukuman. Kalau orang mendengar kata “hukuman” Sudarto
17 Radian Adi, Definisi Pengedar dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009TentangNarkotika, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5141cd01a7dac/pemilik-puntungganja-=-pengedar-ganja, diunduh pada tanggal Februari 2015 pukul 21.00 WIB.
18 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 TentangNarkotika.
57
mengemukakan:19 “pidana tidak hanya enak di rasa pada waktu di
jalani, tetapi sesudah orang yang dikenai itu masih merasakan akibatnya
yang berupa “cap” oleh masyarakat, bahwa ia pernah berbuat “jahat”.
Cap ini dalam ilmu pengetahuan disebut “stigma”. Jadi orang tersebut
mendapat stigma, dan kalau ini tidak hilang, maka ia seolah-olah di
pidana seumur hidup.”
Dalam tujuan pemidanaan terdapat teori pemidanaan yang dibagi
dalam tiga golongan besar, dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings
theorieen); Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena
orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia
peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada
sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan
kejahatan.20
2) Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen); Pidana
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi
mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Dasar pembenar
adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya.
Pidana dijatuhkan bukan karena orang yang membuat kejahatan
19 Sudarto, Masalah-Masalah Hukum Nomor 11, (Semarang: Dikeluarkan oleh Fakultashukum Undip, 1973), hal, 22-23.
20 Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998),hal. 10-11.
58
(quia peccatum est) melainkan supaya orang jangan melakukan
kejahatan (ne peccetur). Menurut teori ini, pemidanaan merupakan
sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.21
3) Teori gabungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pidana itu
mempunyai tiga macam sifat, yaitu:
1. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking).
2. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering).
3. Bersifat membinasakan (onschaddelijk maken).
Sanksi Pidana sesuai dengan Undang- undang Nomor 35 Tahun
2009 dalam ketentuan UU Narkotika bahwa ancaman pidana bagi pengedar
diatur dalam Pasal 114 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), dan Pasal 124 ayat (2).
pasal tersebut dijelaskan:
Pasal 114 ayat (2): dijelaskan bahwa dalam hal perbuatan menawarkan untukdijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksudpada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu)kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukantanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku di pidana dengan pidana mati,pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam)tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimumsebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 119 ayat (2): dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, ataumenyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1)beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidanapenjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun danpaling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimanadimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 124 ayat (2): Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
21 Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana, hal. 12.
59
menyerahkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1)beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjarapaling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun danpidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3(sepertiga).22
2. Sanksi bagi Pengedar menurut Hukum Islam
Di Indonesia tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana
luar biasa (extraordinary crime)23 adalah seperti tindak pidana terorisme,
narkotika, korupsi, maupun illegal logging pantas dijatuhi pidana mati.
Bukan hanya karena modus operandi tindak pidana tersebut yang sangat
terorganisir, namun ekses negatif yang meluas dan sistematik bagi
khalayak, menjadi titik tekan yang paling dirasakan mayarakat. Maka
sebagai langkah yuridis yang menentukan eksistensi keberlakuan pidana
hukuman mati di Indonesia, maka keluarlah putusan MK Nomor 2-
3/PUUV/2007.24
Syariat Islam tidak hanya menjatuhkan hukuman atas pengguna
barang memabukan semata, namun seluruh pihak yang terlibat dalam kasus
penyalahgunaannya juga terkena sanksi hukum. Dalam sunahnya dari Ibnu
Umar ia berkata, Rasulullah bersabda :
22 Penjelasan tentang Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
23 …artinya kejahatan yang berdampak luas dan sistematik (mahkamah agung:2006hal.26)
24 Muhammad Rustamaji, Menyoal Eksistensi Pidana Hukuman Mati diIndonesia,http://rustamaji1103.wordpress.com/2007/11/10/menyoal-eksistensi-pidana-hukuman-matidiindonesia/diunduh pada tanggal 25 Februari 2015 pukul 15.00 WIB.
60
،مر،لعن: يهلعىصعنههللاضىعمرنع
25)مسلم(يهلةولمحما،لهاممعتصرها،ا،كلاعها،اتبم
Artinya : “Dari Umar Radiyallahu anhu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Allah melaknat khamr, peminumnya, penjualnya,pembelinya, pemerasnya, pengambil manfaat dari harganya, yang menyuruhmemerasnya, pembawanya dan yang menerimanya.” (HR. Muslim)
Perlu diketahui, dalam kitab fiqih klasik tidak disebutkan hukuman tertentu
atas pemasok, pengedar, dan pedagang obat terlarang. Namun sebagian ahli
fiqih kontemporer cenderung menjatuhkan hukuman seberat-beratnya
terhadap pemasok narkoba. Hingga mereka menetapkan hukum orang yang
memerangi Allah dan RasulNya, yaitu dibunuh, disalib, atau dipotong
tangan dan kakinya secara bersilangan. Dalam hal ini pemerintah boleh
mengambil tindakan sepenuhnya untuk menjaga ketahanan masyarakat dan
melindungi mereka dari bahaya narkoba. Pemerintah boleh menetapkan
sanksi yang berat, seperti hukuman penjara, denda, penyitaan, dan tindakan
lain yang dapat mewujudkan keamanan bersama guna menjaga keamanan
stabilitas kamtibmas. Dengan demikian oknum para perusak dapat di
berantas sekalipun dengan tindakan yang tegas seperti tembak di tempat dan
hukuman mati jika dibutuhkan. Ulama fiqih kontemporer berpendapat,
yakni :
a. Ketetapan ahli fiqih bahwa pemerintah boleh menjatuhkan hukuman mati
atas oknum yang menyebar kejahatan di tengah umat manusia, baik
berbentuk ta’zir atau berbentuk kebijakan politik.
25 Imam Muslim, Shahih Muslim (Singapura: Sulaiman Mar’I, T.Th.), juz ke-10, hal. 295.
61
b. Sekiranya hukuman itu dijatuhkan lebih ringan, maka dia pasti akan
mengulangi aksinya. Kejahatan tidak dapat di bendung kecuali dengan
hukuman mati. Berdasarkan hal itu, maka pemerintah yang berwenang
boleh menjatuhkan hukuman mati sebagai bentuk ta’zir maupun dalam
bentuk kebijaksanaan politik.
c. Hadits shahih Rasulullah berupa perintah membunuh peminum khamr
pada ke empat kalinya, bila sebelumnya hukuman telah dijatuhkan
atasnya dalam kasus yang sama, sementara ia tidak juga insaf dari
perbuatan itu. Dalil yang berkaitan dengan itu sesuai dengan hadist
dalam hadist shahihnya yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi :
خلد : عليه صلى : عنه بن سه قبا عن26 فا فإ
Artinya : "Dari Qabisah bin Zawaib: Rasulullah SAW : apabilaseseorang meminum khamr maka deralah ia, jika ia mengulangi keempatkalinya maka bunuhlah dia”. (HR. Al-Tirmizi)
Dari hadits di atas jika dicermati, bahwa peminum khamr yang
mudharatnya ditimbulkan hanya sebatas dirinya saja, ke empat kalinya ia
harus dihukum mati. Tentunya yang lebih dari itu, yaitu bagi para pengedar
yang sudah jelas mudharatnya lebih luas tidak hanya menimpa seseorang,
lebih layak lagi mendapat vonis mati dari pada peminum khamr.27
26 Abu’ Isa al-Tirmizi, Al-Jami’ al-Sahih li al-Tirmizi, Juz V. (Beirut: Dar al-Fikr, 1963),hal. 392.
27 Sanksi Hukum Seputar Narkoba dalam Islam, http://maktabah-jamilah.blogspot.com/2010/04/sanksi-hukum-seputar-narkoba.html di akses pada tanggal 21Januari 2015 pukul 20.00 WIB.
62
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
telah memuat pidana mati. Bahwa ancaman pidana mati bagi pengedar
diatur dalam Pasal 114 ayat (2) dan Pasal 119 ayat (2). Adapun bunyi pasal
tersebut adalah:
Pasal 114 ayat (2): dijelaskan bahwa dalam hal perbuatan menawarkanuntuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli,menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimanadi maksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1(satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentukbukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidanamati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6(enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana dendamaksimum sebagaimana di maksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 119 ayat (2): dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual,membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, ataumenyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana di maksud pada ayat (1)beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku di pidana dengan pidana mati,pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimumsebagaimana di maksud pada ayat (1) di tambah 1/3 (sepertiga).28
Dalam Pasal 114 ayat 2 tersebut menjelaskan bahwa sanksi tindak
pidana narkotika adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Sedangkan dalam Pasal 119 ayat 2
sanksinya adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di
tambah 1/3 (sepertiga). Yakni bahwa sanksi pidana tersebut sangat dinamis
28 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
63
yaitu adanya sanksi minimum khusus (paling singkat 6 (enam) tahun pada
pasal 114 ayat 2 dan paling singkat 5 (lima) tahun pada pasal 119 ayat 2 dan
juga maksimum khusus (pidana mati). Dalam pasal tersebut juga terdapat
kata “atau” dan kata “dan” yakni bahwa pasal tersebut dapat dijatuhkan
secara kumulatif atau alternatif yang diimplikasikan dengan kata “dan”
maupun kata “atau”. Sanksi pidana mati bagi pengedar narkotika
merupakan pemberatan pemidanaan yang dilakukan kepada kejahatan yang
luar biasa (extra ordinary crime) dimana kejahatan tersebut merupakan
kejahatan transnasional yang terorganisir secara rapi yang dampaknya luar
biasa. Dalam hukum Islam, bahwa kategori kejahatan luar biasa adalah
jarimah hirabah. Penetapan hirabah sebagai jarimah yang secara formal
mengakibatkan ekses yang luas pada masyarakat. Menurut riwayat yang
kuat dan dipegang oleh kebanyakan fuqoha ayat tersebut turun berkenaan
dengan peristiwa pembantaian pengembala unta oleh orang-orang bani Ukl
(urainah).29 Hirabah diterapkan kepada pengedar narkotika karena telah
melawan hukum yang berlaku, memerangi Allah, menentang ajaran
Rasulullah, dan dapat merusak tatanan negara, sebagaimana firman Allah
dalam surat Al-Ma’idah ayat 33 yaitu:
ۥ
◌
٣٣
29 Moh. Khasan, Reformulasi Teori Hukuman Tindak Pidana Korupsi Menurut HukumPidana Islam, Semarang: Puslit IAIN Walisongo, 2011, hal. 115.
64
Artinya : “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangiAllah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalahmereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka denganbertimbal balik,30 atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yangdemikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhiratmereka beroleh siksaan yang besar,” (Qs. Al-Maidah: 33)
Penulis mengambil kesimpulan karena narkotika merupakan salah satu
ancaman bagi generasi muda dan narkoba juga merupakan sebuah ancaman bagi
negara kita ini dan sudah sewajarnya narkotika dimusnahkan demi menjaga
generasi muda dari dampak peredaran narkotika tersebut. Kemudian mengenai
peredaran narkotika sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 32 yang
masih keterkaitan dengan surat Al-Maidah ayat 33 dan kejahatan tindak pidana
pengedar narkotika termasuk juga kejahatan luar biasa yang terorganisir secara
rapi. Di samping itu hukuman mati tersebut mempertimbangkan dampak buruk
yang sangat besar bagi individu, masyarakat maupun bangsa secara keseluruhan,
maka sudah sewajarnya bila terhadap pengedarnya di hukum yang berat, bahkan
dihukum mati.
30…. maksudnya ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagiMaka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai hasil dari penelitian Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Penyalahguna dan Pengedar Narkotika (Tinjauan terhadap Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika) maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Dalam hukum Islam ketentuan terhadap pelaku penyalahguna narkotika
adalah boleh dilakukan rehabilitasi dengan penetapannya menggunakan
metode ta’zir. Kemudian sanksi bagi pengedar adalah hukuman mati
dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat manusia dan mengingat
kejahatan narkotika merupakan tindak pidana luar biasa (extra ordinary
crime).
2. Hukum Islam memandang bahwa persoalan rehabibilitasi bagi
penyalahguna narkotika sudah sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Karena dalam hal ini hukum pidana Islam mengenal dengan adanya ta’zir,
yang dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 diwujudkan dalam bentuk
rehabilitasi.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana telah diuraikan di atas, penulis
memberikan sarannya sebagai berikut :
66
1. Untuk memberantas jaringan peredaran narkotika yang sudah merajalela,
penulis memberikan masukan terhadap seluruh pihak yang terkait dalam
pemberantasan narkotika paling tidak ada empat usaha yang harus segera
dilakukan, yaitu: Pertama, Memaksimalkan Hukuman. Kedua, Penegakan
Supremasi Hukum. Ketiga, Perubahan dan Perbaikan Sistem. Keempat,
Revolusi Kebudayaan (mental).
2. Kepada penegak hukum harus berani menjatuhkan hukuman seberat-
beratnya kepada gembong maupun pengedar narkotika kelas kakap,
bahkan hukuman mati. Kalau hanya sebuah putusan pidana mati saja tanpa
eksekusi, maka yang dapat kita lihat tidak memberikan efek jera kepada
mereka. Pemberian hukuman yang berat adalah untuk memberi efek jera
dan mencegah masyarakat agar tidak mengikuti jejak para pengedar.
3. Kepada semua lembaga penegak hukum dan elemen lainnya untuk
bersama-sama memberantas peredaran narkotika untuk benar-benar dan
sepenuhnya bekerja agar Indonesia bersih dari narkotika.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG
NARKOTIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas
sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal
pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan
secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;
b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber
daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan
di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara
lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis
tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta
melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
c. bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan
yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan
kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di
sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang
sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan
tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan
saksama;
d. bahwa . . .
- 2 -
d. bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam,
menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan
Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat
dan saksama serta bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika
karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang
sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat,
bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;
e. bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat
transnasional yang dilakukan dengan menggunakan
modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung
oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak
menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi
muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan
kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan
memberantas tindak pidana tersebut;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e,
perlu membentuk Undang-Undang tentang Narkotika;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun
1972 yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3085);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic
in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika, 1988) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3673);
Dengan . . .
- 3 -
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
2. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau non-ekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk Narkotika.
4. Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan Prekursor Narkotika ke dalam Daerah Pabean.
5. Ekspor . . .
- 4 -
5. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan
Prekursor Narkotika dari Daerah Pabean.
6. Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
7. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk mengimpor Narkotika dan Prekursor Narkotika.
8. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk mengekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika.
9. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan Narkotika dari satu tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan apa pun.
10. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran sediaan farmasi, termasuk Narkotika dan alat kesehatan.
11. Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk Narkotika.
12. Transito Narkotika adalah pengangkutan Narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat kantor pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.
13. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
14. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
15. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
16. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.
17. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
18. Permufakatan . . .
- 5 -
18. Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih
yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana Narkotika.
19. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya.
20. Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3 (tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan suatu tindak pidana Narkotika.
21. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
22. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
BAB II DASAR, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Undang-Undang tentang Narkotika berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Undang-Undang tentang Narkotika diselenggarakan berasaskan: a. keadilan; b. pengayoman; c. kemanusiaan; d. ketertiban; e. perlindungan; f. keamanan; g. nilai-nilai ilmiah; dan h. kepastian hukum.
Pasal 4 . . .
- 6 -
Pasal 4
Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan: a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.
BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 5
Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 6
(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam: a. Narkotika Golongan I; b. Narkotika Golongan II; dan c. Narkotika Golongan III.
(2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 7
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 8
(1) Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
(2) Dalam . . .
- 7 -
(2) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat
digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
BAB IV PENGADAAN
Bagian Kesatu
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 9
(1) Menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Untuk keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun rencana kebutuhan tahunan Narkotika.
(3) Rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan data pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan Narkotika secara nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 10
(1) Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor, produksi dalam negeri, dan/atau sumber lain dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan kebutuhan Narkotika dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua . . .
- 8 -
Bagian Kedua
Produksi
Pasal 11
(1) Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi Narkotika kepada Industri Farmasi tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah dilakukan audit oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(2) Menteri melakukan pengendalian terhadap produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(3) Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 12
(1) Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Pengawasan produksi Narkotika Golongan I untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga . . .
- 9 -
Bagian Ketiga
Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pasal 13
(1) Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah mendapatkan izin Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Penyimpanan dan Pelaporan
Pasal 14
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan berupa:
a. teguran;
b. peringatan . . .
- 10 -
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.
BAB V IMPOR DAN EKSPOR
Bagian Kesatu
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Impor
Pasal 15
(1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan impor Narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan impor Narkotika.
Pasal 16
(1) Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor dari Menteri untuk setiap kali melakukan impor Narkotika.
(2) Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil audit Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap rencana kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau penggunaan Narkotika.
(3) Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4) Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara pengekspor.
Pasal 17 . . .
- 11 -
Pasal 17
Pelaksanaan impor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.
Bagian Kedua
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Ekspor
Pasal 18
(1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor Narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor Narkotika.
Pasal 19
(1) Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Ekspor dari Menteri untuk setiap kali melakukan ekspor Narkotika.
(2) Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus melampirkan surat persetujuan dari negara pengimpor.
Pasal 20
Pelaksanaan ekspor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.
Pasal 21
Impor dan ekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika hanya dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri.
Pasal 22 . . .
- 12 -
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga Pengangkutan
Pasal 23
Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang tetap berlaku bagi pengangkutan Narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 24
(1) Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor dan Surat Persetujuan Impor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri.
(2) Setiap pengangkutan ekspor Narkotika wajib dilengkapi dengan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri dan dokumen atau surat persetujuan impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.
Pasal 25
Penanggung jawab pengangkut impor Narkotika yang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan Impor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.
Pasal 26 . . .
- 13 -
Pasal 26
(1) Eksportir Narkotika wajib memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung jawab pengangkut ekspor Narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.
Pasal 27
(1) Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau di tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.
(2) Nakhoda membuat berita acara tentang muatan Narkotika yang diangkut.
(3) Nakhoda dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan wajib melaporkan Narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada kepala kantor pabean setempat.
(4) Pembongkaran muatan Narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pejabat bea dan cukai.
(5) Nakhoda yang mengetahui adanya Narkotika tanpa dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor atau Surat Persetujuan Impor di dalam kapal wajib membuat berita acara, melakukan tindakan pengamanan, dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan menyerahkan Narkotika tersebut kepada pihak yang berwenang.
Pasal 28 . . .
- 14 -
Pasal 28
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.
Bagian Keempat Transito
Pasal 29
(1) Transito Narkotika harus dilengkapi dengan dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan pengimpor.
(2) Dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor Narkotika;
b. jenis, bentuk, dan jumlah Narkotika; dan
c. negara tujuan ekspor Narkotika.
Pasal 30
Setiap terjadi perubahan negara tujuan ekspor Narkotika pada Transito Narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya persetujuan dari:
a. pemerintah negara pengekspor Narkotika;
b. pemerintah negara pengimpor Narkotika; dan
c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor Narkotika.
Pasal 31
Pengemasan kembali Narkotika pada Transito Narkotika hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli Narkotika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung jawab pengawasan pejabat Bea dan Cukai dan petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Transito Narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima . . .
- 15 -
Bagian Kelima Pemeriksaan
Pasal 33
Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen impor, ekspor, dan/atau Transito Narkotika.
Pasal 34
(1) Importir Narkotika dalam memeriksa Narkotika yang diimpornya disaksikan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya impor Narkotika di perusahaan.
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menyampaikan hasil penerimaan impor Narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.
BAB VI PEREDARAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 35
Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 36
(1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara perizinan peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
(3) Untuk . . .
- 16 -
(3) Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 37
Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.
Bagian Kedua Penyaluran
Pasal 39
(1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin khusus penyaluran Narkotika dari Menteri.
Pasal 40
(1) Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; dan
d. rumah sakit.
(2) Pedagang . . .
- 17 -
(2) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan
Narkotika kepada: a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya; b. apotek; c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
tertentu; d. rumah sakit; dan e. lembaga ilmu pengetahuan.
(3) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada: a. rumah sakit pemerintah; b. pusat kesehatan masyarakat; dan c. balai pengobatan pemerintah tertentu.
Pasal 41
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyaluran Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga Penyerahan
Pasal 43
(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh: a. apotek; b. rumah sakit; c. pusat kesehatan masyarakat; d. balai pengobatan; dan e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada: a. rumah sakit; b. pusat kesehatan masyarakat; c. apotek lainnya; d. balai pengobatan; e. dokter; dan f. pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan . . .
- 18 -
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyerahan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VII LABEL DAN PUBLIKASI
Pasal 45
(1) Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan Narkotika, baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku Narkotika.
(2) Label pada kemasan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah, dan/atau kemasannya.
(3) Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label pada kemasan Narkotika harus lengkap dan tidak menyesatkan.
Pasal 46
Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.
Pasal 47 . . .
- 19 -
Pasal 47
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pencantuman label dan publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 46 diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VIII
PREKURSOR NARKOTIKA
Bagian Kesatu
Tujuan Pengaturan
Pasal 48
Pengaturan prekursor dalam Undang-Undang ini bertujuan:
a. melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor Narkotika;
b. mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor Narkotika; dan
c. mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan Prekursor Narkotika.
Bagian Kedua
Penggolongan dan Jenis Prekursor Narkotika
Pasal 49
(1) Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam Prekursor Tabel I dan Prekursor Tabel II dalam Lampiran Undang-Undang ini.
(2) Penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait.
Bagian Ketiga . . .
- 20 -
Bagian Ketiga
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 50
(1) Pemerintah menyusun rencana kebutuhan tahunan Prekursor Narkotika untuk kepentingan industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Rencana kebutuhan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan jumlah persediaan, perkiraan kebutuhan, dan penggunaan Prekursor Narkotika secara nasional.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyusunan rencana kebutuhan tahunan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait.
Bagian Keempat
Pengadaan
Pasal 51
(1) Pengadaan Prekursor Narkotika dilakukan melalui produksi dan impor.
(2) Pengadaan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk tujuan industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 52
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara produksi, impor, ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX . . .
- 21 -
BAB IX
PENGOBATAN DAN REHABILITASI
Bagian Kesatu Pengobatan
Pasal 53
(1) Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri.
(3) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Rehabilitasi
Pasal 54
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 55
(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(3) Ketentuan . . .
- 22 -
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
(1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri.
Pasal 57
Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.
Pasal 58
Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.
Pasal 59
(1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
BAB X PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 60
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya: a. memenuhi ketersediaan Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. mencegah . . .
- 23 -
b. mencegah penyalahgunaan Narkotika;
c. mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam penyalahgunaan Narkotika, termasuk dengan memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan Narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai lanjutan atas;
d. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan; dan
e. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis bagi Pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Pasal 61
(1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang berkaitan dengan Narkotika.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu produk sebelum diedarkan;
d. produksi;
e. impor dan ekspor;
f. peredaran;
g. pelabelan;
h. informasi; dan
i. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 63 . . .
- 24 -
Pasal 63
Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain dan/atau badan internasional secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai dengan kepentingan nasional.
BAB XI
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
Bagian Kesatu
Kedudukan dan Tempat Kedudukan
Pasal 64
(1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN.
(2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 65
(1) BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
(3) BNN provinsi berkedudukan di ibukota provinsi dan BNN kabupaten/kota berkedudukan di ibukota kabupaten/kota.
Pasal 66
BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) merupakan instansi vertikal.
Pasal 67 . . .
- 25 -
Pasal 67
(1) BNN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh seorang sekretaris utama dan beberapa deputi.
(2) Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membidangi urusan:
a. bidang pencegahan;
b. bidang pemberantasan;
c. bidang rehabilitasi;
d. bidang hukum dan kerja sama; dan
e. bidang pemberdayaan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi dan tata kerja BNN diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 68
(1) Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (2) Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
Kepala BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 69
Untuk dapat diusulkan menjadi Kepala BNN, seorang calon harus memenuhi syarat:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berijazah paling rendah strata 1 (satu);
e. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun dalam penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua) tahun dalam pemberantasan Narkotika;
f. berusia paling tinggi 56 (lima puluh enam) tahun;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
i. tidak menjadi pengurus partai politik; dan
j. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama menjabat kepala BNN.
Bagian Ketiga . . .
- 26 -
Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang
Pasal 70
BNN mempunyai tugas:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Pasal 71
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 72 . . .
- 27 -
Pasal 72
(1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN.
(2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala BNN.
BAB XII
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 73
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 74
(1) Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya.
(2) Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 75
Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN berwenang:
a. melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. memanggil . . .
- 28 -
c. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;
d. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
e. memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h. melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional;
i. melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup;
j. melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan;
k. memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
l. melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya;
m. mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
n. melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman;
o. membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
p. melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita;
q. melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
r. meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
s. menghentikan . . .
- 29 -
s. menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya
dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 76
(1) Pelaksanaan kewenangan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat penangkapan diterima penyidik.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam.
Pasal 77
(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik.
(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.
(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
(4) Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 78
(1) Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus melakukan penyadapan, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari ketua pengadilan negeri lebih dahulu.
(2) Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis kepada ketua pengadilan negeri mengenai penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 79
Teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf j dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis dari pimpinan.
Pasal 80 . . .
- 30 -
Pasal 80
Penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, juga berwenang:
a. mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum;
b. memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait;
c. untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;
d. untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
e. meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait;
g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan
h. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.
Pasal 81
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 82 . . .
- 31 -
Pasal 82
(1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor Narkotika berwenang:
a. memeriksa kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. memeriksa orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
e. menyita bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
h. menangkap orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 83
Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 84 . . .
- 32 -
Pasal 84
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.
Pasal 85
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 86
(1) Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1. tulisan, suara, dan/atau gambar;
2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 87
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau penyidik BNN yang melakukan penyitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, atau yang diduga Narkotika dan Prekursor Narkotika, atau yang mengandung Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat: a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan . . .
- 33 -
b. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang melakukan penyitaan.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada kepala kejaksaan negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 88
(1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan penyitaan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(2) Penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari jika berkaitan dengan daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi.
Pasal 89
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 bertanggung jawab atas penyimpanan dan pengamanan barang sitaan yang berada di bawah penguasaannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 90 . . .
- 34 -
Pasal 90
(1) Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik BNN, dan penyidik pegawai negeri sipil menyisihkan sebagian kecil barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk dijadikan sampel guna pengujian di laboratorium tertentu dan dilaksanakan dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 91
(1) Kepala kejaksaan negeri setempat setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan barang Narkotika dan Prekursor Narkotika dari penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau penyidik BNN, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika tersebut untuk kepentingan pembuktian perkara, kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau dimusnahkan.
(2) Barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari kepala kejaksaan negeri setempat.
(3) Penyidik wajib membuat berita acara pemusnahan dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak pemusnahan tersebut dilakukan dan menyerahkan berita acara tersebut kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(4) Dalam keadaan tertentu, batas waktu pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
(5) Pemusnahan . . .
- 35 -
(5) Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 75 huruf k.
(6) Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diserahkan kepada Menteri dan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan diserahkan kepada Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak menerima penetapan dari kepala kejaksaan negeri setempat.
(7) Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menyampaikan laporan kepada Menteri mengenai penggunaan barang sitaan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan.
Pasal 92
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN wajib memusnahkan tanaman Narkotika yang ditemukan dalam waktu paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak saat ditemukan, setelah disisihkan sebagian kecil untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan dapat disisihkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan.
(2) Untuk tanaman Narkotika yang karena jumlahnya dan daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi, pemusnahan dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari.
(3) Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun ditemukan dan dilakukan pemusnahan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai tanaman Narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat atau pihak terkait lainnya yang menyaksikan pemusnahan.
(4) Sebagian . . .
- 36 -
(4) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan oleh penyidik untuk kepentingan pembuktian.
(5) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan oleh Menteri dan Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(6) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan oleh BNN untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan.
Pasal 93
Selain untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 92 sebagian kecil Narkotika atau tanaman Narkotika yang disita dapat dikirimkan ke negara lain yang diduga sebagai asal Narkotika atau tanaman Narkotika tersebut untuk pemeriksaan laboratorium guna pengungkapan asal Narkotika atau tanaman Narkotika dan jaringan peredarannya berdasarkan perjanjian antarnegara atau berdasarkan asas timbal balik.
Pasal 94
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyerahan dan pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 95
Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak menunda atau menghalangi penyerahan barang sitaan menurut ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dan Pasal 91.
Pasal 96
(1) Apabila berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terbukti bahwa barang sitaan yang telah dimusnahkan menurut ketentuan Pasal 91 diperoleh atau dimiliki secara sah, kepada pemilik barang yang bersangkutan diberikan ganti rugi oleh Pemerintah.
(2) Besaran . . .
- 37 -
(2) Besaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh pengadilan.
Pasal 97
Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan tersangka atau terdakwa.
Pasal 98
Hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi bukan berasal dari hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan terdakwa.
Pasal 99
(1) Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebutkan nama dan alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
(2) Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 100
(1) Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika beserta keluarganya wajib diberi perlindungan oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101 . . .
- 38 -
Pasal 101
(1) Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang digunakan di dalam tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk negara.
(2) Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.
(3) Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan:
a. pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
b. upaya rehabilitasi medis dan sosial.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan harta kekayaan atau aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 102
Perampasan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dapat dilakukan atas permintaan negara lain berdasarkan perjanjian antarnegara.
Pasal 103
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
b. menetapkan . . .
- 39 -
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
BAB XIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 104
Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 105
Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 106
Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika diwujudkan dalam bentuk:
a. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. memperoleh . . .
- 40 -
d. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN;
e. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.
Pasal 107
Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 108
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, Pasal 105, dan Pasal 106 dapat dibentuk dalam suatu wadah yang dikoordinasi oleh BNN.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BNN.
BAB XIV
PENGHARGAAN
Pasal 109
Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 110
Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XV . . .
- 41 -
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 111
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 112
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 113 . . .
- 42 -
Pasal 113
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 114
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 115 . . .
- 43 -
Pasal 115
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 116
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 117 . . .
- 44 -
Pasal 117
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 118
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 119
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam . . .
- 45 -
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 120
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 121
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam . . .
- 46 -
(2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 122
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 123
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 124 . . .
- 47 -
Pasal 124
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 125
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 126 . . .
- 48 -
Pasal 126
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 127
(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 128
(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Pecandu . . .
- 49 -
(2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah
dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.
(3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
(4) Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 129
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum:
a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
Pasal 130
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.
(2) Selain . . .
- 50 -
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal 131
Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 132
(1) Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan secara terorganisasi, pidana penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga).
(3) Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 133 . . .
- 51 -
Pasal 133
(1) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk menggunakan Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 134
(1) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) Keluarga dari Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan Pecandu Narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 135 . . .
- 52 -
Pasal 135
Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 136
Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, baik berupa aset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika dirampas untuk negara.
Pasal 137
Setiap orang yang: a. menempatkan, membayarkan atau membelanjakan,
menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang, harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 138 . . .
- 53 -
Pasal 138
Setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 139
Nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 140
(1) Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dan Pasal 89 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 141
Kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 142 . . .
- 54 -
Pasal 142
Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 143
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 144
(1) Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan 1/3 (sepertiga).
(2) Ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana yang dijatuhi dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 145
Setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan juga ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 146 . . .
- 55 -
Pasal 146
(1) Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia.
(3) Warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia.
Pasal 147
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi:
a. pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;
b. pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;
c. pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau
d. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 148 . . .
- 56 -
Pasal 148
Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 149
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika provinsi, dan Badan Narkotika kabupaten/kota, dinyatakan sebagai BNN, BNN provinsi, dan BNN kabupaten/kota berdasarkan Undang-Undang ini;
b. Kepala Pelaksana Harian BNN untuk pertama kali ditetapkan sebagai Kepala BNN berdasarkan Undang-Undang ini;
c. Pejabat dan pegawai di lingkungan Badan Narkotika Nasional yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 adalah pejabat dan pegawai BNN berdasarkan Undang-Undang ini;
d. dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan Undang-Undang ini;
e. dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 150
Program dan kegiatan Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 yang telah dilaksanakan tetapi belum selesai, masih tetap dapat dijalankan sampai dengan selesainya program dan kegiatan dimaksud termasuk dukungan anggarannya.
Pasal 151 . . .
- 57 -
Pasal 151
Seluruh aset Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007, baik yang berada di BNN provinsi, maupun di BNN kabupaten/kota dinyatakan sebagai aset BNN berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 152
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) pada saat Undang-Undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 153
Dengan berlakunya Undang-Undang ini: a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698); dan
b. Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 154
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 155
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 58 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA, ttd. ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 143
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG
NARKOTIKA I. UMUM
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional
maupun . . .
- 2 -
maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.
Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang-Undang ini, BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota.
Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap
Narkotika . . .
- 3 -
Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional.
Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas. Pasal 4
Cukup jelas. Pasal 5
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “Prekursor Narkotika” hanya untuk industri farmasi.
Pasal 6 . . .
- 4 -
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan II” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Huruf c
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan III” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”perubahan penggolongan Narkotika” adalah penyesuaian penggolongan Narkotika berdasarkan kesepakatan internasional dan pertimbangan kepentingan nasional.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan” adalah termasuk pelayanan rehabilitasi medis.
Yang dimaksud dengan “pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah penggunaan Narkotika terutama untuk kepentingan pengobatan dan rehabilitasi, termasuk untuk kepentingan pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan serta keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyelidikan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap Narkotika. Kepentingan pendidikan, pelatihan dan keterampilan adalah termasuk untuk kepentingan melatih anjing pelacak Narkotika dari
pihak . . .
- 5 -
pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia, Bea dan Cukai dan Badan Narkotika Nasional serta instansi lainnya.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I sebagai:
a. reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang digunakan oleh seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.
b. reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang disita atau ditentukan oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.
Pasal 9
Cukup jelas. Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Narkotika dari sumber lain” adalah Narkotika yang dikuasai oleh pemerintah yang diperoleh antara lain dari bantuan atau berdasarkan kerja sama dengan pemerintah atau lembaga asing dan yang diperoleh dari hasil penyitaan atau perampasan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Narkotika yang diperoleh dari sumber lain dipergunakan terutama untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi termasuk juga keperluan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap Narkotika.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Ketentuan ini membuka kemungkinan untuk memberikan izin kepada lebih dari satu industri farmasi yang berhak memproduksi obat Narkotika, tetapi dilakukan sangat selektif
dengan . . .
- 6 -
dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan Narkotika dapat lebih mudah dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “produksi” adalah termasuk pembudidayaan (kultivasi) tanaman yang mengandung Narkotika. Yang dimaksud dengan “jumlah yang sangat terbatas” adalah tidak melebihi kebutuhan yang diperlukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”swasta” adalah lembaga ilmu pengetahuan yang secara khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan penelitian dan pengembangan.
Ayat (2)
Cukup jelas. Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “balai pengobatan” adalah balai pengobatan yang dipimpin oleh dokter.
Ayat (2) Ketentuan ini memberi kewajiban bagi dokter yang melakukan praktek pribadi untuk membuat laporan yang di dalamnya memuat catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika yang sudah melekat pada
rekam . . .
- 7 -
rekam medis dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa simpan resep selama 3 (tiga) tahun. Dokter yang melakukan praktek pada sarana kesehatan yang memberikan pelayanan medis, wajib membuat laporan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika, dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa simpan resep selama 3 (tiga) tahun. Catatan mengenai Narkotika di badan usaha sebagaimana diatur pada ayat ini disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dokumen pelaporan mengenai Narkotika yang berada di bawah kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan, disimpan dengan ketentuan sekurang-kurangnya dalam waktu 3 (tiga) tahun. Maksud adanya kewajiban untuk membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan adalah agar Pemerintah setiap waktu dapat mengetahui tentang persediaan Narkotika yang ada di dalam peredaran dan sekaligus sebagai bahan dalam penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pelanggaran” termasuk juga segala bentuk penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Cukup jelas.
huruf e Yang dimaksud dengan “pencabutan izin” adalah izin
yang berkaitan dengan kewenangan untuk mengelola Narkotika.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 8 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”dalam keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah apabila perusahaan besar farmasi milik negara dimaksud tidak dapat melaksanakan fungsinya dalam melakukan impor Narkotika karena bencana alam, kebakaran dan lain-lain.
Pasal 16
Cukup jelas. Pasal 17
Cukup jelas. Pasal 18
Cukup jelas. Pasal 19
Cukup jelas. Pasal 20
Cukup jelas. Pasal 21
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri” adalah kawasan di pelabuhan laut dan pelabuhan udara internasional tertentu yang ditetapkan sebagai pintu impor dan ekspor Narkotika agar lalu lintas Narkotika mudah diawasi. Pelaksanaan impor atau ekspor Narkotika tetap tunduk pada Undang-Undang tentang Kepabeanan dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 22
Cukup jelas. Pasal 23
Cukup jelas. Pasal 24
Cukup jelas. Pasal 25 . . .
- 9 -
Pasal 25
Ketentuan ini berintikan jaminan bahwa masuknya Narkotika baik melalui laut maupun udara wajib ditempuh prosedur kepabeanan yang telah ditentukan, demi pengamanan lalu lintas Narkotika di Wilayah Negara Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan “penanggung jawab pengangkut” adalah kapten penerbang atau nakhoda.
Pasal 26
Cukup jelas. Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”kemasan khusus atau di tempat yang aman” dalam ketentuan ini adalah kemasan yang berbeda dengan kemasan lainnya yang ditempatkan pada tempat tersendiri yang disediakan secara khusus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan mengenai batas waktu dalam menyampaikan laporan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dan memperketat pengawasan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas. .
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “jenis” adalah sediaan bentuk garam atau basa. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “bentuk” adalah sediaan dalam bentuk bahan baku atau obat
jadi . . .
- 10 -
jadi seperti tanaman, serbuk, tablet, suntikan, kapsul, cairan. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “jumlah” adalah angka yang menunjukkan banyaknya Narkotika yang terdiri dari jumlah satuan berat dalam kilogram, isi dalam milliliter.
Huruf c
Cukup jelas. Pasal 30
Ketentuan ini menegaskan bahwa pada dasarnya dalam transito Narkotika dilarang mengubah arah negara tujuan. Namun, apabila dalam keadaan tertentu misalnya terjadi keadaan memaksa (force majeur) sehingga harus dilakukan perubahan negara tujuan, maka perubahan tersebut harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam ketentuan ini. Selama menunggu pemenuhan persyaratan yang diperlukan, Narkotika tetap disimpan di kawasan pabean, dan tanggung jawab pengawasannya berada di bawah Pejabat Bea dan Cukai.
Pasal 31
Ketentuan ini menegaskan bahwa dilibatkannya Petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam pengemasan kembali Narkotika pada Transito Narkotika adalah sesuai dengan tugas dan fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 32
Cukup jelas. Pasal 33
Cukup jelas. Pasal 34
Ketentuan ini menegaskan bahwa batas waktu 3 (tiga) hari kerja dibuktikan dengan stempel pos tercatat, atau tanda terima jika laporan diserahkan secara langsung. Dengan adanya pembatasan waktu kewajiban menyampaikan laporan, maka importir harus segera memeriksa jenis, mutu, dan jumlah atau bobot Narkotika yang diterimanya sesuai dengan Surat Persetujuan Impor yang dimiliki.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36 . . .
- 11 -
Pasal 36
Cukup jelas. Pasal 37
Cukup jelas. Pasal 38
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah” adalah bahwa setiap peredaran Narkotika termasuk pemindahan Narkotika ke luar kawasan pabean ke gudang importir, wajib disertai dengan dokumen yang dibuat oleh importir, eksportir, industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, atau apotek. Dokumen tersebut berupa Surat Persetujuan Impor/Ekspor, faktur, surat angkut, surat penyerahan barang, resep dokter atau salinan resep dokter, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Narkotika bersangkutan.
Pasal 39
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “industri farmasi, dan pedagang besar farmasi” adalah industri farmasi, dan pedagang besar farmasi tertentu yang telah memiliki izin khusus untuk menyalurkan Narkotika.
Ayat (2)
Ketentuan ini menegaskan bahwa Izin khusus penyaluran Narkotika bagi sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah diperlukan sepanjang surat keputusan pendirian sarana penyimpanan sediaan farmasi tersebut tidak dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 40
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu” adalah sarana yang mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, TNI dan Kepolisian Negara
Republik . . .
- 12 -
Republik Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka pelayanan kesehatan.
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”rumah sakit” adalah rumah sakit yang telah memiliki instalasi farmasi memperoleh Narkotika dari industri farmasi tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas. Pasal 42
Cukup jelas. Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan ini menegaskan bahwa rumah sakit yang belum mempunyai instalasi farmasi hanya dapat memperoleh Narkotika dari apotek.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Ketentuan ini menegaskan bahwa pemberian kewenangan penyimpanan dan penyerahan Narkotika
dalam . . .
- 13 -
dalam bentuk suntik dan tablet untuk pemakaian oral (khususnya tablet morphin) salah satu tujuannya adalah untuk memudahkan dokter memberikan tablet Narkotika tersebut kepada pasien yang mengidap penyakit kanker stadium yang tidak dapat disembuhkan dan hanya morphin satu-satunya obat yang dapat menghilangkan rasa sakit yang tidak terhingga dari penderita kanker tersebut.
Huruf b
Lihat penjelasan huruf a.
Huruf c
Ketentuan ini menegaskan bahwa penyerahan Narkotika oleh dokter yang menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek memerlukan surat izin penyimpanan Narkotika dari Menteri Kesehatan atau pejabat yang diberi wewenang. Izin tersebut melekat pada surat keputusan penempatan di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan hanya untuk Narkotika Golongan II dan Golongan III.
Pasal 44
Cukup jelas. Pasal 45
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa pencantuman label dimaksudkan untuk memudahkan pengenalan sehingga memudahkan pula dalam pengendalian dan pengawasannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “label” adalah label khusus yang diperuntukan bagi Narkotika yang berbeda dari label untuk obat lainnya.
Pasal 46
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “dipublikasikan” adalah yang mempunyai kepentingan ilmiah dan komersial untuk Narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku Narkotika, di kalangan terbatas kedokteran dan farmasi. Penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat mengenai bahaya penyalahgunaan Narkotika, tidak termasuk kriteria publikasi.
Pasal 47 . . .
- 14 -
Pasal 47
Cukup jelas. Pasal 48
Cukup jelas. Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”menteri terkait” antara lain menteri yang membidangi urusan perindustrian dan menteri yang membidangi urusan perdagangan.
Pasal 50
Cukup jelas. Pasal 51
Cukup jelas. Pasal 52
Cukup jelas. Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”bukti yang sah” antara lain surat keterangan dokter, salinan resep, atau label/etiket.
Pasal 54
Yang dimaksud dengan ”korban penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.
Pasal 55 . . .
- 15 -
Pasal 55
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk membantu Pemerintah dalam menanggulangi masalah dan bahaya penyalahgunaan Narkotika, khususnya untuk pecandu Narkotika, maka diperlukan keikutsertaan orang tua/wali, masyarakat, guna meningkatkan tanggung jawab pengawasan dan bimbingan terhadap anak-anaknya.
Yang dimaksud dengan “belum cukup umur” dalam ketentuan ini adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 56
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah” misalnya Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dan Pemerintah Daerah. Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi Pecandu Narkotika pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan antara lain penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Departemen Kesehatan.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Rehabilitasi sosial dalam ketentuan ini termasuk melalui pendekatan keagamaan, tradisional, dan pendekatan alternatif lainnya.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “mantan Pecandu Narkotika” adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap Narkotika secara fisik dan psikis. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “lembaga rehabilitasi sosial” adalah lembaga rehabilitasi sosial yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
Pasal 59 . . .
- 16 -
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini tidak mengurangi upaya pencegahan melalui kegiatan ekstrakurikuler pada perguruan tinggi.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kemampuan lembaga” dalam ketentuan ini misalnya memberikan penguatan, dorongan, atau fasilitasi agar lembaga rehabilitasi medis terjaga keberlangsungannya.
Pasal 61
Cukup jelas. Pasal 62
Cukup jelas. Pasal 63
Ketentuan ini menegaskan bahwa kerja sama internasional meliputi juga kerja sama dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan Narkotika transnasional yang terorganisasi.
Pasal 64
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa dengan dibentuknya Badan Narkotika Nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang mempunyai tugas dan fungsi koordinasi dan operasional dalam pengelolaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan . . .
- 17 -
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diharapkan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dapat dicegah dan diberantas sampai ke akar-akarnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas. Pasal 67
Cukup jelas. Pasal 68
Cukup jelas. Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud “berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia” dalam ketentuan ini adalah tidak mengurangi kemandirian dalam menentukan kebijakan dan melaksanakan tugas dan wewenang BNN.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i . . .
- 18 -
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j Cukup jelas.
Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72
Cukup jelas. Pasal 73
Cukup jelas. Pasal 74
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa jika terdapat perkara lain yang oleh undang-undang juga ditentukan untuk didahulukan, maka penentuan prioritas diserahkan kepada pengadilan.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “penyelesaian secepatnya” adalah mulai dari pemeriksaan, pengambilan putusan, sampai dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 75
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h . . .
- 19 -
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”interdiksi” adalah mengejar dan/atau menghentikan seseorang/kelompok orang, kapal, pesawat terbang, atau kendaraan yang diduga membawa Narkotika dan Prekursor Narkotika, untuk ditangkap tersangkanya dan disita barang buktinya.
Huruf i
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “penyadapan” adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik BNN atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan cara menggunakan alat-alat elektronik sesuai dengan kemajuan teknologi terhadap pembicaraan dan/atau pengiriman pesan melalui telepon atau alat komunikasi elektronik lainnya. Termasuk di dalam penyadapan adalah pemantauan elektronik dengan cara antara lain: a. pemasangan transmitter di ruangan/kamar sasaran
untuk mendengar/merekam semua pembicaraan (bugging);
b. pemasangan transmitter pada mobil/orang/barang yang bisa dilacak keberadaanya (bird dog);
c. intersepsi internet; d. cloning pager, pelayan layanan singkat (SMS), dan fax; e. CCTV (Close Circuit Television); f. pelacak lokasi tersangka (direction finder).
Perluasan pengertian penyadapan dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan teknologi informasi yang digunakan oleh para pelaku tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika dalam mengembangkan jaringannya baik nasional maupun internasional karena perkembangan teknologi berpotensi dimanfaatkan oleh pelaku kriminal yang sangat menguntungkan mereka. Untuk melumpuhkan/memberantas jaringan/sindikat Narkotika dan Prekursor Narkotika maka sistem komunikasi/telekomunikasi mereka harus bisa ditembus oleh penyidik, termasuk melacak keberadaan jaringan tersebut.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Tes urine, tes darah, tes rambut, dan tes bagian tubuh lainnya dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membuktikan ada tidaknya
Narkotika . . .
- 20 -
Narkotika di dalam tubuh satu orang atau beberapa orang, dan tes asam dioksiribonukleat (DNA) untuk identifikasi korban, pecandu, dan tersangka.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Yang dimaksud dengan ”pemindaian” dalam ketentuan ini adalah scanning baik yang dapat dibawa-bawa (portable) maupun stationere.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas. Pasal 79
Cukup jelas. Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 21 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor Narkotika” adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian tersebut sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan fungsi koordinasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 83
Cukup jelas. Pasal 84
Cukup jelas. Pasal 85
Cukup jelas. Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas. Pasal 90
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “laboratorium tertentu” adalah laboratorium yang sudah terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92 . . .
- 22 -
Pasal 92
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa tanaman Narkotika yang dimaksud pada ayat ini tidak hanya yang ditemukan di ladang juga yang ditemukan di tempat-tempat lain atau tempat tertentu yang ditanami Narkotika, termasuk tanaman Narkotika dalam bentuk lainnya yang ditemukan dalam waktu bersamaan ditempat tersebut.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “sebagian kecil” adalah dalam jumlah yang wajar dari tanaman Narkotika untuk digunakan sebagai barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Ayat (2)
Ketentuan ini menegaskan bahwa jangka waktu 14 (empat belas) hari dimaksudkan agar penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas di daerah yang letak geografisnya dan transportasinya sulit dicapai dapat melaksanakan tugas pemusnahan Narkotika yang ditemukan dengan sebaik-baiknya karena pelanggaran terhadap jangka waktu ini dapat dikenakan pidana.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pejabat yang menyaksikan pemusnahan” adalah pejabat yang mewakili unsur kejaksaan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Dalam hal kondisi tempat tanaman Narkotika ditemukan tidak memungkinkan untuk menghadirkan unsur pejabat tersebut maka pemusnahan disaksikan oleh pihak lain yaitu pejabat atau anggota masyarakat setempat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk kepentingan identifikasi jenis, isi dan kadar Narkotika (drugs profiling).
Ayat (6) . . .
- 23 -
Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas. Pasal 97
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “seluruh harta kekayaan dan harta benda” adalah seluruh kekayaan yang dimiliki, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, yang berwujud maupun tidak berwujud, yang ada dalam penguasaannya atau yang ada dalam penguasaan pihak lain (isteri atau suami, anak dan setiap orang atau badan), yang diperoleh atau diduga diperoleh dari tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.
Pasal 98
Berdasarkan ketentuan ini Hakim bebas untuk melaksanakan kewenangannya meminta terdakwa untuk membuktikan bahwa seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan setiap orang atau badan bukan berasal dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 99
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan pelapor yang memberikan keterangan mengenai suatu tindak pidana Narkotika, agar nama dan alamat pelapor tidak diketahui oleh tersangka, terdakwa, atau jaringannya pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 100
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keluarganya” adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat kesatu.
Ayat (2) . . .
- 24 -
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 101
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam menetapkan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dirampas untuk negara, hakim memperhatikan ketetapan dalam proses penyidikan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hasilnya” adalah baik yang berupa uang atau benda lain yang diketahui atau diduga keras diperoleh dari tindak pidana Narkotika.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Perampasan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak pidana pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan yang tetap, dirampas untuk negara dan dapat digunakan untuk biaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta untuk pembayaran premi bagi anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika. Dengan demikian masyarakat dirangsang untuk berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Disamping itu harta dan kekayaan atau aset yang disita negara tersebut dapat pula digunakan untuk membiayai rehabilitasi medis dan sosial para korban penyalahguna Narkotika dan Prekursor Narkotika. Proses penyidikan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak pidana pencucian uang dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103 . . .
- 25 -
Pasal 103
Ayat (1)
Huruf a
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan.
Huruf b
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata menetapkan bagi Pecandu Narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa Pecandu Narkotika tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan.
Biaya pengobatan dan atau perawatan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab negara, karena pengobatan dan atau perawatan tersebut merupakan bagian dari masa menjalani hukuman. Sedangkan bagi pecandu Narkotika yang tidak terbukti bersalah biaya pengobatan dan/atau perawatan selama dalam status tahanan tetap menjadi beban negara, kecuali tahanan rumah dan tahanan kota.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas. Pasal 107 . . .
- 26 -
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas. Pasal 109
Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam pemberian penghargaan harus tetap memperhatikan jaminan keamanan dan perlindungan terhadap yang diberi penghargaan. Penghargaan diberikan dalam bentuk piagam, tanda jasa, premi, dan/atau bentuk penghargaan lainnya.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas. Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “cacat permanen” dalam ketentuan ini adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang bersifat tetap atau tidak dapat dipulihkan/disembuhkan.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118 . . .
- 27 -
Pasal 118
Cukup jelas. Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas. Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas. Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132 . . .
- 28 -
Pasal 132
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”percobaan” adalah adanya unsur-unsur niat, adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas. Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas. Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143 . . .
- 29 -
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas. Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas. Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 5062
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I
1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.
3. Opium masak terdiri dari :
a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.
6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.
8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.
10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.
11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina
12. Acetil – alfa – metil fentanil
: N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida
LAMPIRAN I
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 35 Tahun 2009 2009 2009
TANGGAL : 12 Oktober 2009 Juli 2009
13. Alfa-metilfentanil . . .
- 2 -
13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida
14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida
15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida
16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil
: N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida.
17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina
18. Etorfina
: tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina
19. Heroina : Diacetilmorfina
20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4-propionilpiperidina
21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
22. 3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida
23. MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)
24. Para-fluorofentanil : 4‘-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
25. PEPAP : 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester)
26. Tiofentanil : N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida
27. BROLAMFETAMINA, nama lain DOB
: (±)-4-bromo-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
28. DET : 3-[2-( dietilamino )etil] indol
29. DMA : ( + )-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
30. DMHP : 3-(1 ,2-dimetilheptil)-7 ,8,9, 10-tetrahidro-6,6,9-trimetil-6H- dibenzo[b, d]piran-1-ol
31. DMT : 3-[2-( dimetilamino )etil] indol
32. DOET : (±)-4-etil-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE
: N-etil-1-fenilsikloheksilamina
34. ETRIPTAMINA : 3-(2aminobutil) indole
35. KATINONA : (-)-(S)- 2-aminopropiofenon
36. ( + )-LISERGIDA, nama lain LSD, LSD-25
: 9,10-didehidro-N, N-dietil-6-metilergolina-8 β –karboksamida
37. MDMA : (±)-N, α -dimetil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
38. meskalina . . .
- 3 -
38. meskalina : 3,4,5-trimetoksifenetilamina
39. METKATINONA : 2-(metilamino )-1- fenilpropan-1-on
40. 4- metilaminoreks : (±)-sis- 2-amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina
41. MMDA : 5-metoksi- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
42. N-etil MDA : (±)-N-etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamin
43. N-hidroksi MDA : (±)-N-[ α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetil]hidroksilamina
44. paraheksil : 3-heksil-7,8,9, 10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H-dibenzo [b,d] piran-1-ol
45. PMA : p-metoksi- α -metilfenetilamina
46. psilosina, psilotsin : 3-[2-( dimetilamino )etil]indol-4-ol
47. PSILOSIBINA : 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat
48. ROLISIKLIDINA, nama lain PHP,PCPY
: 1-( 1- fenilsikloheksil)pirolidina
49. STP, DOM : 2,5-dimetoksi- α ,4-dimetilfenetilamina
50. TENAMFETAMINA, nama lain MDA
: α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
51. TENOSIKLIDINA, nama lain TCP
: 1- [1-(2-tienil) sikloheksil]piperidina
52. TMA : (±)-3,4,5-trimetoksi- α -metilfenetilamina
53. AMFETAMINA : (±)- α –metilfenetilamina
54. DEKSAMFETAMINA : ( + )- α –metilfenetilamina
55. FENETILINA : 7-[2-[( α -metilfenetil)amino]etil]teofilina
56. FENMETRAZINA : 3- metil- 2 fenilmorfolin
57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP
: 1-( 1- fenilsikloheksil)piperidina
58. LEVAMFETAMINA, nama lain levamfetamina
: (- )-(R)- α -metilfenetilamina
59. levometamfetamina : ( -)- N, α -dimetilfenetilamina
60. MEKLOKUALON : 3-( o-klorofenil)- 2-metil-4(3H)- kuinazolinon
61. METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α –dimetilfenetilamina
62. METAKUALON : 2- metil- 3-o-to lil-4(3H)- kuinazolinon
63. ZIPEPPROL : α - ( α metoksibenzil)-4-( β-metoksifenetil )-1-piperazinetano
64. Opium Obat. . .
- 4 -
64. Opium Obat
65. Campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan narkotika
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN II
1. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana
2. Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
3. Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
4. Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
5. Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l H-tetrazol-1-il)etil]-4-(metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N-fenilpropanamida
6. Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
7. Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4-karboksilat etil ester
8. Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
9. Benzetidin : asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
10. Benzilmorfina : 3-benzilmorfina
11. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
12. Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol
13. Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
14. Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
15. Bezitramida : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1-benzimidazolinil)-piperidina
16. Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)butil]-morfolina
17. Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida
18. Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2’-tienil)-1-butena
19. Difenoksilat . . .
- 5 -
19. Difenoksilat : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
20. Difenoksin : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilisonipekotik
21. Dihidromorfina
22. Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
23. Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat
24. Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1-butena
25. Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat
26. Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona
27. Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol
28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.
29. Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2'-tienil)-1-butena
30. Etokseridina : asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
31. Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5-nitrobenzimedazol
32. Furetidina : asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)4 fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester)
33. Hidrokodona : Dihidrokodeinona
34. Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-karboksilat etil ester
35. Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina
36. Hidromorfona : Dihidrimorfinona
37. Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3-heksanona
38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona
39. Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida
40. Fenazosina : 2'-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7-benzomorfan
41. Fenomorfan : 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan
42. Fenoperidina : asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
43. Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina
44. Klonitazena . . .
- 6 -
44. Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol
45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima
46. Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan
47. Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil)butil] morfolina
48. Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan
49. Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona
51. Metadona intermediat : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana
52. Metazosina : 2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan
53. Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina
54. Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina
55. Metopon : 5-metildihidromorfinona
56. Mirofina : Miristilbenzilmorfina
57. Moramida intermediat : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana karboksilat
58. Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
59. Morfina-N-oksida
60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida
61. Morfina
62. Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina
63. Norasimetadol : (±)-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-difenilheptana
64. Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan
65. Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona
66. Normorfina : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina
67. Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona
68. Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona
69. Oksimorfona : 14-hidroksidihidromorfinona
70. Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina
71. Petidina intermediat B : asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
72. Petidina intermediat C . . .
- 7 -
72. Petidina intermediat C : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
73. Petidina : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
74. Piminodina : asam 4-fenil-1-( 3-fenilaminopropil)- pipe ridina-4-karboksilat etil ester
75. Piritramida : asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4(1-piperidino)-piperdina-4-karboksilat amida
76. Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana
77. Properidina : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester
78. Rasemetorfan : (±)-3-metoksi-N-metilmorfinan
79. Rasemoramida : (±)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)-butil]-morfolina
80. Rasemorfan : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
81. Sufentanil : N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil -4-piperidil] propionanilida
82. Tebaina
83. Tebakon : Asetildihidrokodeinona
84. Tilidina : (±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-sikloheksena-1-karboksilat
85. Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
86. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas.
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN III
1. Asetildihidrokodeina
2. Dekstropropoksifena : α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2-butanol propionat
3. Dihidrokodeina
4. Etilmorfina : 3-etil morfina
5. Kodeina : 3-metil morfina
6. Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina
7. Nikokodina : 6-nikotinilkodeina
8. Norkodeina . . .
- 8 -
8. Norkodeina : N-demetilkodeina
9. Polkodina : Morfoliniletilmorfina
10. Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-piridilpropionamida
11. Buprenorfina : 21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]-6,14-endo-entano-6,7,8,14-tetrahidrooripavina
12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas
13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika
14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
sesuai dengan aslinya
- 9 -
GOLONGAN DAN JENIS PREKURSOR
TABEL I
1. Acetic Anhydride.
2. N-Acetylanthranilic Acid.
3. Ephedrine.
4. Ergometrine.
5. Ergotamine.
6. Isosafrole.
7. Lysergic Acid.
8. 3,4-Methylenedioxyphenyl-2-propanone.
9. Norephedrine.
10. 1-Phenyl-2-Propanone. 11. Piperonal. 12. Potassium Permanganat.
13. Pseudoephedrine. 14. Safrole.
TABEL II
1. Acetone.
2. Anthranilic Acid.
3. Ethyl Ether.
4. Hydrochloric Acid.
5. Methyl Ethyl Ketone.
6. Phenylacetic Acid.
7. Piperidine.
8. Sulphuric Acid.
9. Toluene. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
LAMPIRAN II
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 35 Tahun 2009 2009 2009
TANGGAL : 12 Oktober 2009 9 Juli 2009
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan