skripsi - digilib.unhas.ac.iddigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/digitalcollection/... ·...
TRANSCRIPT
i
SKRIPSI
ASPEK HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP
PELAKSANAAN BANGUN GUNA SERAH DI KOTA
MAKASSAR
OLEH
IRWANA JUFRI
B121 14 019
PROGRAM STUDI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS HUKUM
UNIVESITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii
HALAMAN JUDUL
ASPEK HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP
PELAKSANAAN BANGUN GUNA SERAH DI KOTA MAKASSAR
OLEH
IRWANA JUFRI
B121 14 019
SKRIPSI
Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana
Pada Program Studi Hukum Administrasi Negara
PROGRAM STUDI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
iii
iv
v
vi
vii
ABSTRAK
Irwana Jufri (B12114019), dengan judul “Aspek Hukum Administrasi Negara Terhadap Pelaksanaan Bangun Guna Serah di Kota Makassar Makassar”. Di bawah bimbingan Djafar Saidi selaku Pembimbing I dan Zulkifli Aspan selaku pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaa Bangun Guna Serah antara pemerintah Kota Makassar dengan PT. Tosan Permai Lestari atas Perjanjian Pengelolaan Lapangan Karebosi dan untuk mengetahui bagaimana kontribusi pelaksaan Bangun Guna Serah terhadap pendapatan Kota Makassar.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif-empiris, yang menggunakan adalah data primer dan data sekunder dalam penelitian ini data primer yaitu merupakan data hasil wawancara yang terkait dengan penulisan ini dan data sekunder yang merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung yang berasal dari perundang-undangan, literatur, laporan-laporan, buku dan tulisan ilmiah yang terkait dengan pembahasan penulis.
Dari penelitian yang dilakukan, Penulis mendapatkan hasil penelitian sebagai berikut; (1) Pelaksanaan Bangun Guna Serah pemerintah Kota Makassar dengan PT. Tosan Permai Lestari dalam rangka pengelolaan Lapangan Karebosi sebagai barang milik daerah belum sesuai dengan aturan hukum yang ada dimana tidak terlaksananya Pasal 41 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah yang mengharuskan mengikutsertakan sekurang-kurangnya 5 (lima) peserta/peminat tender. (2) Pelaksanaan Bangun Guna Serah di Kota Makassar benar-benar memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah, Adapun jumlah yang disetor PT. Tosan Permai Lestari selaku pengelola Bangun Guna Serah ke pemerintah Kota Makassar kurang lebih sekitar Rp. 1.400.000.000,00 setiap tahunnya.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim,
Assalamu’Alaikum wr.wb. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji dan
syukur Penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, rahmat,
dan hidayah-Nya karena berkat izin-Nya Penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Aspek Hukum Administrasi Negara Terhadap
Pelaksanaan Bangun Guna Serah Di Kota Makassar”. Skripsi
merupakan tugas akhir dan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh
setiap mahasiswa untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini bukanlah
tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas.
Dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang selalu ingin Penulis
banggakan dan bahagiakan yaitu, Ayahanda H. Muh. Jufri Jalil dan Ibunda
Hj. Nadira karena telah melahirkan, membesarkan, mendidik, mencintai
serta senantiasa mendoakan untuk keberhasilan Penulis sebagai anak
mereka. Dan tak lupa pula kepada saudara yang Penulis sayangi dan
banggakan Irwan Efendi Jufri dan Muh. Irsan Ramadani Jufri, yang telah
banyak memberi bantuan moriil dan materil, dorongan, doa dan semangat
kepada Penulis selama ini.
ix
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan, kendala dan
hambatan. Skripsi ini dapat terselesaikan berkat bimbingan, saran, dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, M.A selaku Rektor
Universitas Hasanuddin beserta jajarannya;
2. Ibu Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, beserta jajarannya;
3. Bapak Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H.,M.H selaku Ketua Program
Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin;
4. Bapak Prof. Dr. M. Djafar Saidi, S.H.,M.H selaku pembimbing I dan
Bapak Dr. Zulkifli Aspan, S.H., M.H selaku pembimbing II yang telah
meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan bimbingan,
bantuan, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan;
5. Bapak Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H, Bapak Dr. Muh. Hasrul,
S.H., M.H dan Ibu Eka Merdekawati Djafar, S.H., M.H, selaku tim
penguji yang memberikan kritik dan saran untuk menjadikan skripsi
penulis ini lebih baik;
6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang dengan
ikhlas membagikan ilmunya kepada Penulis selama menjalani proses
perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;
x
7. Seluruh staf pegawai akademik Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin yang telah banyak membantu melayani urusan
administrasi dan bantuan lainnya selama kuliah hingga penyelesaian
skripsi ini;
8. Keluarga Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, DIPLOMASI
2014, Keluarga Besar FORMAHAN, dan Keluarga Besar ALSA;
9. Teman-teman HAN 2014 yang tidak sempat Penulis sebutkan
namanya, terima kasih karena sudah merangkai berbagai macam kisah
dan cerita selama berkuliah di FH-UH;
10. Kepada sahabat kecil Penulis yang tidak henti-hentinya saling
mendoakan dan memberi dukungan moriil, Irmawati dan Tiyastuti
Syamsuddin, serta sahabat-sahabat Penulis diluar sana yang tidak
sempat Penulis sebutkan namanya satu persatu;
11. Kepada Sunarti Sudirman, Yusmaeni Yunus, Malahayati Muis,
Riska Dachir, Nursuci Febriani, Ahmad Yani, sahabat seperjuangan
Penulis, yang sejak semester awal hingga akhir selalu bersama-sama
berbagi cerita, suka duka, serta saling membantu di bangku
perkuliahan, yang sudah seperti saudara bagi Penulis dan membuat
masa perkuliahan terasa sempurna;
12. Teman-teman KKN REGULER Gel. 96 Desa Uludaya, Kecamatan
Mallawa, Kabupaten Maros, terima kasih telah menjadi teman hidup
kurang lebih lebih 40 hari dan merangkai cerita baru;
xi
13. Teman-Teman magang Biro Hukum dan HAM Provinsi Sulawesi
Selatan, Riska Dachir dan A.Muh. Irhas Reza. S;
14. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih pada Bagian Hukum
dan HAM Pemerintah Kota Makassar dan Badan Pengelolaan
Keuangan dan Asset Daerah Pemerintah Kota Makassar yang telah
memberi informasi seputar penulisan skripsi ini.
15. Dan semua pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini yang tidak sempat Penulis sebutkan satu persatu.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, April 2018
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
PENGESAHAN SKRIPSI .......................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ...................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ....................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ............................................................................... vii
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kontrak Publik ...................................................................... 9
B. Bangun Guna Serah .......................................................... 14
C. Pengelolahan Barang Milik Daerah ................................... 20
D. Tinjauan Umum Pendapatan Daerah ................................ 26
1. Pengertian Pendapatan Daerah .................................... 26
2. Klasifikasi Pendapatan Daerah ...................................... 29
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .................................................................. 43
B. Pendekatan Penelitian ....................................................... 45
C. Jenis dan Sumber Data ..................................................... 45
D. Teknik Pengumpulan Data................................................. 47
E. Analisis Data ...................................................................... 47
xiii
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Bangun Guna Serah di Kota Makassar .........49
B. Pengaruh Pelaksanaan Bangun Guna Serah pada
Pendapatan Daerah Kota Makassar ....................................58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 66
B. Saran .................................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 1.1 .................................................................................................. 63
Tabel 1.2 .................................................................................................. 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kemudian disebut
UUD NRI 1945, “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang
berbentuk republik” yang menganut desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimana diisyaratkan dalam
Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945.
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten
dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-
undang”.
Sebagai negara yang menganut desentralisasi mengandung
arti bahwa urusan pemerintahan itu terdiri atas urusan pemerintahan
pusat dan urusan pemerintahan daerah. Artinya ada perangkat
pemerintah daerah yang diberi otonomi yakni kebebasan dan
2
kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga
daerah1.
Salah satu kewenangan pemerintah daerah khususnya dalam
bidang keuangan daerah meliputi: pemungutan sumber-sumber
daerah, penyelenggaraan pengurusan, pertanggung jawaban serta
pengawasan keuangan daerah, mengadakan anggaran pendapatan
dan belanja daerah serta perhitungannya. Adanya otonomi daerah
ini kemudian pemerintah daerah diberi pula kewenangan sendiri
untuk mengurus dan mengelola aset-aset yang dimilikinya demi
terwujudnya fungsi otonomi daerah. Dalam Pasal 91 ayat (1) sampai
ayat (4) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dijelaskan bahwa2: (1) Semua barang yang diperoleh dari
dana dekonsentrasi menjadi barang milik negara;. (2) Barang milik
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihibahkan
kepada daerah; (3) Barang milik negara yang dihibahkan kepada
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dikelola dan
ditatausahakan oleh daerah; (4) Barang milik negara yang tidak
dihibahkan kepada daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh
1 Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 17. 2 Lihat Pada Pasal 91 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.
3
kementrian negara/lembaga yang memberikan pelimpahan
wewenang.
Pasal 91 ayat (1) sampai ayat (4) Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah di atas memberikan ruang yang
seluas-luasnya kepada daerah untuk mengurusi barang-barang
yang menjadi kepemilikannya. Barang-barang tersebut dikelola dan
dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan kepentingan
masyarakat serta pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, maka pemerintah (daerah)
sebagai perpanjangan tangan dari negara memiliki tanggung jawab
untuk mensejahterakan rakyatnya, namun di sisi lain tidak semua
urusan penyelenggaraan kesejahteraan rakyat dapat dilaksanakan
oleh pemerintah (daerah), dan terkadang membutuhkan pihak
ketiga, sebagaimana diatur dalam Pasal 363 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah3, diantaranya:
(1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, Daerah dapat
mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan
efesiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling
menguntungkan; (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
3 Lihat pada Pasal 363 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
4
(1) dapat dilakukan oleh Daerah dengan: a. Daerah lain; b. pihak
ketiga; dan/atau c. lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Salah satu
kerja sama yang dimaksud dalam ayat (2) adalah kerja sama pihak
ketiga.
Oleh karena itu dalam konteks ini guna mewujudkan fungsi
otonomi daerah khusunya pengelolaan aset-aset milik daerah dan
keuangan daerah, pemerintah dapat mewujudkan kerja sama pihak
ketiga dengan cara melibatkan pihak swasta dalam percepatan
menuju kesejahteraan rakyat. Tindakan pemerintah dalam
melaksanakan kerja sama dengan pihak swasta merupakan
tindakan hukum bersegi dua, perjanjian kerja sama antara
pemerintah dengan pihak swasta atau yang lebih sering disebut
dengan kontrak publik. Kontrak sendiri ditempatkan sebagai
perjanjian karena merupakan perjanjian tertulis4.
Menurut Ansori Ilyas5, kontrak publik memiliki ciri sebagai
berikut: (1) Pemerintah sebagai salah satu pihak, (2) Pelaksanaan
fungsi jabatan (3) Pengelolaan barang milik Negara atau daerah dan
(4) Mewujudkan fungsi dan tujuan Negara. Salah satu jenis kontrak
4 Ahmadi Miru, 2014, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta, , hlm. 1. 5 Ansori Ilyas, 2017, Materi Kuliah Pada Mata Kuliah Kontrak Publik, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
5
publik yang mulai marak saat ini yaitu Bangun Guna Serah atau
Build, operate and transfer (BOT).
Dalam ketentuan hukum yang berlaku saat ini yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah, menentukan bahwa Bangun Guna Serah
adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh
pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana
berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain
tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk
selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau
sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu6.
Sistem kontrak publik dengan bentuk Bangun Guna Serah
juga diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun
2007, yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Barang Milik Daerah, dimana pada Pasal 219 ayat (1) menjelaslkan
bahwa7: Bangun Guna Serah /Bangun Serah Guna barang milik
daerah dilaksanakan dengan pertimbangan: a) Pengguna Barang
memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan
pemerintahan daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam
6Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. 7 Lihat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.
6
rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi; dan b) tidak tersedia atau
tidak cukup tersedia dana dalam APBD untuk penyediaan bangunan
dan fasilitas tersebut.
Salah satu contoh kontrak publik yang telah diterapkan di Kota
Makassar yaitu kerja sama pemerintah Kota Makassar dengan PT.
Tosan Permai Lestari menggunakan sistem Bangun Guna Serah,
kerja sama ini dilakukan dalam rangka pengelolaan lapangan
karebosi di Kota Makassar. Kerja sama yang sudah berjalan kurang
lebih sepuluh tahun ini memang masih menarik perhatian sebagian
pihak, terkait dengan kontrak antara pemerintah Kota Makassar
dengan PT. Tosan Permai Lestari itu sendiri serta bagaimana
kontribusi dari pemanfaat barang milik daerah yang dilakukan
dengan bentuk Bangun Guna Serah.
Terkait dengan hal itu perlu dikaji lebih lanjut mengenai
kontrak publik yang dilakukan dengan sistem Bangun Guna Serah,
dalam hal ini apakah kontrak publik yang dilakukan dengan sistem
Bangun Guna Serah sudah sesuai dengan aturan hukum yang ada
atau tidak serta apakah kerja sama dengan bentuk Bangun Guna
Serah memberi pengaruh terhadap penambahan pendapatan
daerah secara maksimal atau tidak.
Kontrak publik pemerintah Kota Makassar dengan PT. Tosan
Permai Lestari dalam rangka pengelolaan Lapangan Karebosi
7
mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah serta Peraturan Mentri
Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Barang Milik Daerah, walaupun telah ada aturan yang
terbaru hal ini dikarenakan hukum tidak berlaku surut.
Berdasarkan uraian dan ilustrasi di atas, maka Penulis tertarik
untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut, yang penulis
tuangkan dalam bentuk penelitian dengan judul: Aspek Hukum
Administrasi Negara Terhadap Pelaksanaan Bangun Guna
Serah Di Kota Makassar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan Bangun Guna Serah di Kota
Makassar?
2. Bagaimana pengaruh pelaksanaan Bangun Guna Serah pada
pendapatan daerah Kota Makassar?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian secara umum bertujuan untuk mengkaji secara
mendalam mengenai penerapan Bangun Guna Serah di Kota
Makassar
8
Selain tujuan umum tersebut, tujuan penelitian ini dikhususkan
untuk :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan Bangun Guna Serah di Kota
Makassar.
2. Untuk mengetahui pengaruh Pelaksanaan Bangun Guna Serah
Pada pendapatan daerah Kota Makassar.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan keilmuan
mengenai hukum. Serta memperkaya pengetahuan penulis dan
pembaca di bidang hukum khususnya di bidang hukum administrasi
negara. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
mahasiswa, dosen, pemerintah, serta masyarakat umum untuk
dapat mengetahui pelaksanaan dari peraturan yang ada khusunya
yang berkaitan dengan Bangun Guna Serah, serta bagaimana
pengaruhnya terhadap pendapatan daerah Kota Makassar.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kontrak Publik
Hukum pada hakikatnya sesuatu yang abstark, meskipun
dalam manifestasinya bisa berwujud konkret, karena sifatnya yang
abstrak menyebabkan kesulitan dalam mendefinisikan hukum ialah
karena cakupan yang diatur oleh hukum luas sekali. Secara normatif
dan dogmatik dapat dikatakan bahwa hukum mengatur hampir
seluruh segi kehidupan manusia, mulai dari sebelum manusia
dilahirkan sampai sesudah manusia meninggal, namun di dalam
kenyataannya tidak semua segi kehidupan diatur dan harus
diselesaikan oleh hukum. Menurut Achmad Ali, hukum adalah
seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun dalam suatu sistem
yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan oleh manusia sebagai warga dalam kehidupan
bermasyarakat.
Hukum yang mengatur hampir semua aspek kehidupan juga
mengatur mengenai perjanjian atau kontrak, pada dasarnya kontrak
berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan di antara
para pihak, perumusan hubungan kontrak tersebut pada umumnya
senantiasa diawali dengan proses tawar-menawar di antara para
10
pihak. Melalui tawar-menawar para pihak berupaya menciptakan
bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu
yang diinginkan (kepentingan). Keberadaan kontrak saat ini memang
merupakan bagian yang sangat penting dalam aktivitas bisnis,
dimana perkembangannya yang cukup pesat melahirkan beragam
jenis-jenis kontrak. Sehubungan dengan kontrak, juga dikenal istilah
hukum kontrak, hukum kontrak merupakan bagian dari hukum
perikatan bahkan sebagian ahli hukum menempatkan sebagai
bagian dari hukum perjanjian karena kontrak sendiri ditempatkan
sebagai perjanjian tertulis. Kontrak atau perjanjian ini merupakan
suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain
atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.8
Ketentuan lain juga menjelaskan bahwa perjanjian atau yang
disebut persetujuan dalam KUHPerdata adalah suatu perbuatan
dimana satu orang atau lebih menginkatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.9 Pada dasarnya ada 4 (empat) kelemahan dari
definisi Pasal 1313 tersebut yaitu:10
1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak.
8 Ahmadi Miru, Op.cit., hlm 1-2 9 Lihat Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1313. 10 Muh. Ilham Arisaputra, 2017, Materi Kuliah Pada Mata Kuliah Kontrak Publik, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
11
2. Kata perbuatan mencakup juga perbuatan tanpa
kesepakatan, termasuk pengurusan kepentingan orang lain
tanpa perintah dan perbuatan melawan hukum.
3. Pengertian luas termasuk perjanjia kawin.
4. Tanpa meyebut tujuan.
Dalam kontrak pada umumnya janji-janji para pihak itu saling
“berlawanan” misalnya dalam perjanjian jula beli, tentu saja satu
pihak menginginkan barang, sedangkan pihak lain menginginkan
uang kerena tidak mungkin terjadi jual beli jika kedua belah pihak
menginginkan hal yang sama. Walaupun dikatakan pada umumnya
perjanjian merupakan janji-janji para pihak yang saling “berlawanan”
dalam perjanjian-perjanian tertentu para pihak melakukan janji-janji
yang tidak saling berlawanan, misalnya dalam perjanjian pendirian
Perseroan Terbatas (PT) dimana para pihak mempunyai kehendak
yang sama, yaitu penyetoran uang sebagai modal (saham)
perseroan, dan masing-masing pihak mengharapkan keuntungan
dari PT tersebut.
Kontrak merupakan suatu peristiwa yang konkret dan diamati,
baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis.11
Hukum kontrak merupakan salah satu bidang kajian hukum yang
selalu berkembang, seirama dengan perkembangan masyarakat.
11 Ibid., hlm 2-3
12
Faktor penyebab tumbuh dan berkembangnya hukum kontrak
dikarenakan pesatnya kegiatan bisnis yang dilakukan dalam
masyarakat modern dan pesatnya transaksi yang dilakukan oleh
pemerintah dengan pihak lain. Pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah sebagai badan hukum publik, tidak hanya dapat
melakukan perbuatan hukum yang bersifat publik namun dapat juga
melakukan suatu perbuatan hukum di bidang keperdataan.12
Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan kontrak dengan
siapa saja yang dikehendaki sepanjang orang tersebut tidak dilarang
oleh Undang-Undang untuk melakukan kontrak.13 Seiring dengan
menigkatnya kebutuhan akan hal berkontrak maka saat ini
pemerintah juga dapat melakukan kontrak dengan pihak swasta atau
lebih dikenal dengan istilah kontrak publik. Hal ini juga disebabkan
karena adanya asas kebebasan berkontrak, Aan vullenrecht
merupakan suatu azas dalam penerapan Buku III BW, kemudian
dikembangkan dalam Pasal 1338 BW, dikenal dengan sebutan
freedom of making contract. Azas kebebasan berkontrak dalam
Pasal 1338 ayat (1) tersebut menyimpulkan pengertian bahwa
hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau beginsel der
contractsvrujheid, hal itu dapat dibuktikan dari kata “semua” yang
12 Salim HS, 2008, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 1. 13 Ibid., hlm 7
13
ada di depan kata “perjanjian”, sehingga seolah-olah dalam
membuat perjanjian kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja
dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-
undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa
yang dinamakan ketertiban dan kesusilaan umum.14
Menurut Ansori Ilyas15, kontrak publik memiliki ciri sebagai
berikut: (1) Pemerintah sebagai salah satu pihak, (2) Pelaksanaan
fungsi jabatan (3) Pengelolaan barang milik Negara atau daerah dan
(4) Mewujudkan fungsi dan tujuan Negara. Pemerintah dalam
pelaksanan fungsi jabatannya diperbolehkan melakukan suatu
kontrak. Kerjasama pemerintah dengan pihak swasta (kontrak
publik) dapat terjadi guna meningkatkan kesejahteraan rakyat,
pemerintah dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada
pertimbangan efesiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling
menguntungkan. Kontrak kerjasama (kontrak publik) antara
pemerintah dengan pihak swasta merupakan sebuah hubungan
hukum yang terjadi antara dua pihak, hal yang diperjanjikan dalam
kontrak bersifat privat mengikat keduanya secara khusus sesuai hal
yang diperjanjikan.
14 Akh Munif, “Kontrak Standard Dalam Perjanjian Sewa Beli Rumah dan Akibat Hukumnya”, Yustitia, Vol. 8 Nomor 1 November, 2008, hlm. 5 15 Ansori Ilyas, Op.cit.
14
Sepanjang kontrak tersebut tidak bertentangan dengan syarat
sahnya perjanjain maka kontrak itu sah menurut hukum, dalam Pasal
1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya
disebut KUHPer) disebutkan bahwa “suatu perjanjian dibuat sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Ketentuan ini menggaris bawahi bahwa perjanjain antara dua pihak
bersifat privat, untuk itu jika pemerintah melakukan hubungan
kontrak didalamnya selalu membawa nuansa hukum privat dan
hukum publik, namun perjanjian yang dibuat termasuk dalam ranah
privat.16
B. Bangun Guna Serah
Konsep Bangun Guna Serah atau yang sekarang ini lebih
dikenal dengan istilah Build, Operate and Transfer (BOT) mulai
dikenal luas sekitar tahun 1985 di Turki, sebagai konsep
swastanisasi Perdana Menteri Turgut Ozal. Konsep ini dikenal pula
dengan “Turgut’s Formula”, pada tanggal 11 Mei 1987
ditandatangani kerja sama Kumagai Kigumidari Jepang dengan
Yuksel Insaat dari Turki untuk pembangunan dan pengelolaan
bendungan sungai Syehan. Proyek ini senilai 231,5 juta dollar AS,
jangka waktu pengelolaan 26 tahun untuk kemudian diserahkan
16 Lalu Hadi Adha, “Kontrak Build Operate Transfer Sebagai Perjanjian Kebijakan Pemerintah Dengan Pihak Swasta”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 Nomor 3 September, 2011, hlm. 549
15
pada pemerintahan Turki (Turkish Electronical Authority). Perjanjian
kerja sama ini merupakan awal mula konsep Bangun Guna Serah
dalam proyek infrastruktur di Turki yang kemudian banyak ditiru oleh
negara-negara berkembang termasuk Indonesia.17
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dijelaskan bahwa Bangun
Guna Serah adalah pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah
berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan
dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh
pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta
bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya
jangka waktu.18 Sesungguhnya konsep Bangun Guna Serah ini
merupakan pola kerja sama pemilik tanah atau lahan dalam hal ini
pemerintah, dengan mitra kerja sama selaku investor yang akan
mendirikan sebuah bangunan atau bentuk lainnya sesuai yang
diperjanjikan diatas tanah atau lahan tersebut. Terlihat bahwa
kegiatan yang dilakukan oleh investor dimulai dari membangun
fasilitas sebagaimana dikehendaki oleh pemilik tanah, inilah yang
diartikan dengan B (build). Setelah pembangunan fasilitas selesai
17 Budi Santoso, 2008, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Dengan Model BOT (Build operate and, transfer), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13. 18 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, Op.cit., Pasal 1
16
investor diberi hak untuk mengelola dan memungut hasil dari fasilitas
tersebut selama kurun waktu tertentu, inilah yang diartikan dengan
O (operate). Setelah masa pengoprasian atau konsensi selesai,
fasilitas tersebut dikembalikan kepada pengguna jasa kontruksi atau
pemilik tanah, inilah yang diartikan dengan T (transfer), sehingga
disebut kontrak Build, Operate and Transfer.19
Paling tidak terdapat 3 (tiga) ciri proyek Bangun Guna Serah
yaitu:20
1. Pembangunan (Build)
Pemilik proyek sebagai pemberi hak pengelolaan
memberikan kuasa pada pemegang hak (kontaktor) untuk
membangun sebuah proyek dengan dananya sendiri (dalam
beberapa hal dimungkinkan didanai bersama/ patticipating
interesf). Desain dan spesifikasi bangunan umumnya
merupakan usulan pemegang hak pengelolaan yang harus
mendapatkan persetujuan dari pemilik proyek.
2. Pengoprasian (Operate)
Merupakan masa atau tenggang waktu yang diberikan
pemilik proyek pada pemegang hak untuk selama jangka
waktu tertentu mengoperasikan dan mengelola proyek
19 Nazarkhan Yasin, 2006, Mengenai Kontrak Konstruksi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 76. 20 Budi Santoso, Op.cit., hlm 16
17
tersebut untuk diambil manfaat ekonominya, bersamaan
dengan itu pemegang hak berkewajiban melakukan
pemeliharaan terhadapa proyek tersebut. Pada masa ini
pemilik proyek juga dapat menikmati sebagai hasil sesuai
dengan perjanjian jika ada.
3. Penyerahan kembali (Transfer)
Pemegang hak pengelolaan menyerahkan hak pengelolaan
dan fisik proyek pada pemilik proyek setelah masa konsensi
selesai tanpa syarat (biasanya). Pembebanan biaya
penyerahan umumnya telah ditentukan dalam perjanjian
mengenai siapa yang menanggungnya.
Bangun Guna Serah adalah sistem pembiayaan (biasanya
diterapkan proyek pemerintah) berskala besar yang dalam studi
kelayakan pengadaan barang dan peralatan, pembiayaan dan
pembangunan serta pengoperasiannya, sekaligus juga penerimaan
atau pendapatan yang timbul darinya diserahkan kepada pihak lain
dalam jangka waktu tertentu diberi hak untuk mengoperasikan,
memeliharanya serta untuk mengambil manfaat ekonominya guna
menutup sebagai ganti biaya pembangunan proyek yang
bersangkutan dan memperoleh keuntungan yang diharapkan.21
21 Ima Oktorina, Kajian Tentang Kerjasama Pembiayaan dengan Sistem BOT dalam Revitalisasi Pasar Tradisional, Tesis, Semarang, Universitas Diponegoro, 2010, hlm. 60-61
18
Perjanjian Bangun Guna Serah melalui beberapa tahapan yang
harus dilakukan sebelumnya, antara lain22;
1. Kontrak Konsesi sebagai dasar;
2. Kontrak Kontraktor;
3. Share Holder Agreement ;
4. Supply agreement ;
5. Operational agreement ;
6. Offtake Agreement yaitu kontrak antara user dan promotor.
Kerja sama Bangun Guna Serah merupakan kerja sama yang
dilakukan dengan menuangkannya ke dalam perjanjian sehingga
secara otomatis asas yang dianut mengacu pada asas-asas hukum
perjanjian, perjanjian sebagaimana dimaksud ditunagkan dalam
bentuk Akta Notaris. Namun di dalam sebuah Naskah Akademis
dinyatakan bahwa asas terpenting dalam kerja sama ini adalah “asas
kerja sama saling menguntungkan”, dijelaskan bahwa semula
pemilik lahan hanya memiliki lahan saja, setelah kerja sama dengan
perjanjian Bangun Guna Serah pada suatu saat dia juga bisa memilki
bangunan.
Begitu juga bagi investor yang tidak memiliki lahan, dia bisa
mendapatkan keuntungan dari pengelolaannya.23 Di samping itu
22 Vita Justisia, “Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer) Antara Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan Dengan Pihak Swasta”, Nurani, Vol. 15 Nomor 1 Juni, 2015, hlm. 77 23 Ima Oktorina, Op.cit., hlm. 64-64.
19
kerja sama ini menganut asas kepastian hukum, hal ini dapat dilihat
pada saat berakhirnya perjanjian dan pihak swasta (investor)
berkewajiban untuk mengembalikan lahan kepada pemilik semula
beserta fasilitas yang telah diperjanjikan dengan kepastian. Kerja
sama ini juga menganut “asas musyawarah” dalam menyelesaikan
permasalahan antara para pihak yang melakukan perjanjian.24
Ketentuan lain menyebutkan, Bangun Guna Serah
dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-
kurangnya memuat.25
1. Dasar perjanjian;
2. Identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;
3. Objek BGS/BSG;
4. Hasil BGS/BSG;
5. Peruntukan BGS/BSG;
6. Jangka waktu BGS/BSG;
7. Besaran kontribusi tahunan serta mekanisme
pembayarannya;
8. Besaran hasil BGS/BSG yang digunakan langsung untuk
tugas dan fungsi Pengelola Barang/Pengguna Barang;
9. Hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian;
24 Ibid., hlm. 65. 25 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016, Op.cit., Pasal 230 ayat (3)
20
10. Ketentuan mengenai berakhirnya BGS/BSG;
11. Sanksi;
12. Penyelesaian perselisihan; dan
13. Persyaratan lain yang dianggap perlu.
Bagi pemerintah daerah, kerja sama Bangun Guna Serah
memberikan keuntangan, karena dapat membangun infrasturktur
dengan biaya perolehan (dana dari pihak kedua atau investor). Bagi
pihak kedua (investor), dengan pola kerja sama Bangun Guna Serah
merupakan pola yang menarik, karena memiliki hak penguasaan
yang tinggi terhadap infrastruktur yang dibangunnya dalam jangka
waktu yang telah ditentukan. Namun dengan kerja sama ini dapat
menguntungkan para pihak yang berjanji.
C. Pengelolaan Barang Milik Daerah
Barang milik negara merupakan juga bagian yang tak
terpisahkan dengan keuangan negara sehingga memerlukan
pengelolaan agar dapat digunakan maksimal untuk kepentingan
negara dalam menjapai tujuan.26 Begitu pula halnya dengan barang
milik daerah yang memerlukan pengelolaan, adanya otonomi daerah
memberi ruang pemerintah untuk mengurus dan mengelola aset-
aset daerahnya sendiri. Pengelolaan barang milik daerah diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 yang kemudian
26 Muhammad Djafar Saidi, 2014, Hukum Keuangan Negara, Rajawali, Jakarta, hlm.40
21
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dijelaskan bahwa barang
milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau berasal dari
perolehan lainnya yang sah.27
Dalam ketentuan lain juga menjelaskan pengelolaan barang
milik daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan,
penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan,
penilaian, pemindahtanganan, pemusnahan, penghapusan,
penatausahaan dan pembinaan, pengawasan dan pengendalian.28
Pada Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah ditentukan bahwa
barang milik negara/daerah meliputi: barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Daerah; dan barang yang berasal dari perolehan lainnya
yang sah. Bentuk-bentuk pemanfaatan dari pengelolaan barang milik
daerah antara lain29:
1. Sewa
2. Pinjam pakai
27 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, Op.cit., Pasal 1 ayat (2) 28 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016, Op.cit., Pasal 1 ayat (28) 29 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Barang Milik Daerah
22
3. Kerja sama pemanfaatan
4. Bangun guna serah
5. Bangun serah guna.
Bangun Guna Serah sebagai salah satu bentuk pemanfaatan
barang milik daerah juga merupakan sumber dari pendapatan
daerah, dimana dalam aturan yang berlaku dijelaskan bahwa mitra
dari bangun guna serah wajib membayar kontribusi ke rekening kas
umum negara/daerah30. Pembangunan infrastruktur pemanfaatan
barang milik daerah dengan pola Bangun Guna Serah antara
pemerintah sebagai pemilik tanah/lahan dengan pihak swasta
sebagai mitra kerjasama tentunya memiliki beberapa kelebihan dan
kekurangan dalam pelasanaannya.
1. Kelebihan dan kekurangan bagi pihak pemerintah31
Kelebihan bagi pemerintah:
a. Pemerintah dapat mengurangi penggunaan dana
APBN/APBD;
b. Pemerintah tetap dapat melaksanakan pembangunan tanpa
menimbulkan utang bagi pemerintah;
c. Pemerintah dapat merealisasikan pengadaan infrastruktur
yang bermanfaat bagi pelayanan kepada masyarakat;
30 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, Op.cit., Pasal 36 ayat (2) huruf a 31 Budi Santosi, Op.cit., hlm. 17-20
23
d. Secara finansial juga secara administratif pemerintah tidak
harus mengadakan studi kelayakan;
e. Dari segi harta kekayaan setelah berakhir masa konsensinya,
maka barang milik negara/daerah bertambah;
f. Peningkatan penerimaan keuangan dari royalti sebagaimana
telah diperjanjikan dalam kontrak Bangun Guna Serah, dan
juga dari sektor pajak/retribusi;
g. Infrastruktur yang dibangun, dan pada saat pengoperasian
membutuhkan tenaga kerja, maka secara tidak langsung
pemerintah telah menciptakan lapangan kerja baru bagi
masyarakat, dan mengurangi angka pengangguran.
Kekurangan bagi pemerintah adalah:
a. Dengan adanya proyek Bangun Guna Serah, maka hal ini
berarti pemerintah melepaskan hak ekslusif di bidang tertentu
dan menyerahkan kepada swasta;
b. Melepaskan salah satu sumber pendapatan potensial yang
mendatangkan keuntungan;
c. Melepaskan hak pengelolaan aset strategis dan
memberikannya kepada swasta untuk jangka waktu tertentu;
24
d. Dalam beberapa hal pemeritah diminta untuk menyelesaikan
masalah yang rumit dan rawan, misalnya masalah terkait
pembebasan tanah atau lahan.
2. Kelebihan dan kekurangan bagi pihak mitra kerjasama penyedia
infrastruktur dalam pelaksanaan perjanjian dengan bentuk
Bangun Guna Serah32
Kelebihan bagi pihak swasta
a. Dengan adanya proyek Bangun Guna Serah umunya investor
mendapat kesempatan untuk mengambil bagian dalam
penanganan dan pengoperasian proyek yang potensial
mendatangkan keuntungan yang biasanya selama ini
dimonopoli oleh pemerintah sendiri;
b. Mitra kerjasama dapat memperluas usaha dibidang lain yang
mempunyai prospek bagus dan menguntungkan;
c. Menciptakan bidang dan iklim usaha baru;
d. Itra dapat memanfaatkan lahan strategis yang dimiliki
pemerintah.
Kekurangan bagi mitra kerjasama:
32 Budi Santoso. Ibid., hlm. 20
25
a. Proyek ini banyak mengandung resiko, baik resiko politik,
resiko hukum, maupun resiko ekomini termasuk resiko pasar,
dan resiko keadaan memaksa (overmacht);
b. Diperlukan perhitungan dan pertimbangan dan persiapa
khusus untuk menerapkan pembiayaan;
c. Kemungkinan akan mengahadapi kendala yang secara
konvensional (jaminan berupa tanah) yang diisyaratkan oleh
perbankan sehingga dana yang akan diberikan oleh bank
tidak akan diberikan jika tanpa jaminan yang cukup memadai;
d. Sebagai akibat lebih lanjut mitra akan mengahadapi kesulitan
dalam mendapatkan jaminan perbankan karena menurut
penilaian perbankan proyek tersebut kurang “bankabel” untuk
dibiayai;
e. Kemungkinan pemerintah juga tidak maun menanggung
resiko selama pelaksanaan proyek dan selama masa
konsensi.
D. Tinjauan Umum Pendapatan Daerah
1. Pengertian Pendapatan Daerah
26
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daearah maka
pemerintah dearah mempunyai kebebasan dan kemandirian untuk
mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah, salah
satunya menganai keuangan daerah, yang mempunyai peran
penting dalam pembiayaan penyelenggaraan fungsi otonomi daerah.
Dalm ketentuan lain juga dijelaskan bahwa pengelolaan keuangan
daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah sebagai akibat dari penyerahan urusan pemerintahan.33
Menurut Yani keuangan daerah merupakan semua hak dan
kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk
kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah
tersebut.34 Adapun keuangan daerah menurut Mamesah, semua hak
dan kewajibanyang dapat dinilai dengan uang demikian pula segala
sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dimiliki/kuasai
oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain
sesuai ketentuan atau peraturan.35
33 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014, op. cit., Pasal 283 34 Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) hlm. 347 35 www.definisi-pengertian.com/2015/07/pengertian-keuangan-daerah.html?m=1 (Diakses 18 November 2017, 11:57 wita)
27
Drs. Tjahja Supriatna berpendapat bahwa keuangan daerah
adalah kemampuan pemerintah daerah untuk mengawasi daerah
untuk mengelola mulai dari merencanakan, melaaksanakan,
mengawasi mengendalikan, dan mengevaluasi berbagai sumber
keuangan sesuai dengan kewenanganya dalam rangka pelaksanaan
asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantu di daerah
yang diwujudkan dalam bentuk anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD).36 Disebutkan juga bahwa keuangan daerah
mempunyai dua sumber utama, yaitu pendapatan asli daerah (PAD)
dan pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah pusat atau
pemerintah daerah yag lebih atas tingkatannya.37 Ruang lingkup dari
keuangan daerah itu sendiri diantaranya:38
1. Hak daerah unutk memungut pajak daerah dan retribusi
daerah serta melakukan pinjaman;
2. Kewajiban daerah dalam menyelenggarakan urusan
penyelenggaraan daerah dan untuk membayar tagihan
pajak pihak ketiga;
3. Penerimaan daerah;
4. Pengeluaran daerah;
36 https://Pengertianmenurutahli.blogspot.co.id/2013/03/definisi-keuangan-daerah.html?m=1# (Diakses 18 November 2017, 12:01 wita) 37 Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, ( Yogyajarta : Gadja Mada University Press, 2005) hlm. 117 38 Lihat Pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Keuangan Daerah.
28
5. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain
berupa uan, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak
lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan
yang dipisahkan pada perusahaan daerah;
6. Kekayaan pihak lain yang dikuasi oleh pemerintah daerah
dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah
dan/atau kepentingan umum.
Pengelolan keuangan daerah merupakan bagian integral dari
manajemen anggaran publik yang mencerminkan rangkaian
perhitungan anggaran dan pendapatan (belanja) pemerintahan
negara yang meliputi proses: penyusunan, pengesahan,
pelaksanaan, dan pengawasan (evaluasi) pendayagunaan
keuangan.39 Dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintah
terlihat bahwa pengelolaan keuangan pada dasarnya merupakan
subsistem dari pemerintahan itu sendiri, sebagaimana diamatkan
dalam Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.40 Berbicara mengenai keuangan daerah
maka tidak terlepas dari penerimaan serta pengeluaran daerah,
dimana penerimaan daerah sangat berperan dalam meningkatkan
39 Soekarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Good Financial Governance, (Surabaya: Airlangga University Press, 2005) hlm. 111 40 Ibid., hlm. 113
29
keuangan suatu daerah. Pendapatan daerah meliputi semua
penerimaan Rekening Kas umum daerah, yang menambah ekuitas
dana lancar yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran
yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.41 Pendapatan daerah
merupakan hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih.42
Kompenen penerimaan pendapatan daerah merupakan
penerimaan yang menjadi hak pemerintah daerah yang diakui
sebagai penambah kekayaan bersih. Pendapatan asli daerah (PAD)
sendiri merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang
mendukung kemampuan keuangan daerah.
2. Klasifikasi Pendapatan Daerah
Berdasarkan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2005 Tentang Keuangan Daerah, disebutkan bahwa sumber-
sumber pendapatan daerah terdiri atas: Pendapatan asli daerah
(PAD); Dana perimbangan; Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Selanjutnya dijelaskan bahwa pendapatan aslli daerah sebagaimana
dimaksud pada Pasal 21, terdiri atas: pajak daerah; retribusi daerah;
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain
PAD yang sah.
41 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, op.cit.,Pasal 20 ayat (2) 42 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal 1
30
a. Pendapatan Asli Daerah
Menurut Nurcholis, pendapatan asli daerah adalah
pendapatan yang diperoleh daerah dari penerimaan pajak daerah,
retribusi daerah, laba perusahaan daerah dan lain-lain yang sah.
Sejalan dengan pemikiran Nurcholis, Mardiasmo juga berpendapat
bahwa pendapatan asli daerah (PAD) adalah penerimaan daerah
dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain pendapatan asli daerah (PAD) yang sah.43
Bedasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah
yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan
keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam
pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas
desentralisasi.44 Selain itu dijelaskan juga bahwa pengertian
pendapatan daerah menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
43 Abid Muhtarom, Analisis PAD (Pendapatan Asli Daerah) Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Lamongan Periode Tahun 2010-2015, Jurnal Ekbis, Volume. XII Nomor 1 Maret, 2015, hlm. 660 44 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, op.cit., Pasal 3 ayat (1)
31
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yaitu sumber keuangan
daerah yang digali dari wilayah daerah yang bersangkutan yang
terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah.45
Penerimaan pendapatan asli daerah merupakan akumulasi
dari pos penerimaan pajak yang berisi pajak daerah dan pos retribusi
daerah, pos penerimaan non pajak yang berisi hasil perusahaan milik
daerah, pos penerimaan investasi serta pengelolaan sumber daya
alam.46 Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah
yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah
dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah
sebagai pewujudan asas desentralisasi, peningkatan kemandirian
daerah sangat erat kaitannya dengan kemampuan daerah dalam
mengelola pendapatan asli daerah (PAD).47 Menurut Mahmudi,
semakin tinggi kemampuan daerah dalam menghasilkan
pendapatan asli daerah (PAD), maka semakin besar pula diskresi
daerah untuk menggunakan pendapatan asli daerah (PAD) tersebut
45 Lihat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 46 Nur Indah Rahmawati, Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Alokasi Belanja Daerah (Studi Pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah), Skripsi, Semarang, Universitas Diponegoro, 2010. 47 K. Debby Debora, Analisis Kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam Memenuhi APBD Pada Pemerintahan Kota Medan, Skripsi, Medan, Universitas HKPB Nommensen, 2014, hlm. 8
32
sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas pembangunan
daerah”.48 Sebagai mana jeleskan diatas bahwa sumber dari
pendapatan asli daerah meliputi pajak daerah, hasil retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah.
(1) Pajak Daerah
Berkaitan dengan definisi pajak Feldmann mengatakan
bahwa belasting zijn aan de overhaed, vorgen algemene door haar
vasgestelde normen, verschuldigde afdwingbare praestaties waar
geen tegen-prestatie tegenstaat, en ultsluitend dienende totdekking
van publieke ultgaven (Pajak adalah prestasi yang terutang pada
penguasa dan dipaksakan secara sepihak menurut norma-norma
yang ditetapkan oleh penguasa itu sendiri, tanpa ada jasa balik dan
semata-mata guna menutup pengeluaran-pengeluaran umum).
Kemudian menurut Adriani belassting, de beffing, wear door de
overheld zich door middle van juridische dwangmiddelen verchaft,
om de publieke butgaven to bestriden, zulke zonde enige prastatie
daartegenover te stellen (pajak ialah pungutan oleh pemerintah
dengan paksaan yuridis, untuk mendapatkan alat-alat penutup bagi
pengeluaran-pengeluaran umum (belanja negara) tanpa adanya
48 Mahmudi, Manajemen Keuangan Daerah: Buku Seri Membudayakan Akuntabilitas Publik, (Jakarta: Erlangga, 2010) hlm. 18
33
jasa timbal khusus terhadapnya). Anderson juga mengemukakan
bahwa Tax is a compulsory contribution, levied by the state (in the
broad sense) upon persons property income and privileges for
purposes of defraying the expences of goverment (pajak adalah
pembayaran yang bersifat memaksa kepada negara yang
dibebankan kepada kekayaan seseorang yang diutamakan untuk
membiayai pengeluaran pemerintah.49
Sementara Soeparman Soemahamidjaja mengemukankan
bahwa pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang
dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna
menutupi biaya umum. Demikian pula oleh Soemitro yang
menyatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontra prestasi), yang langsung ditunjukkan
dan yang digunakan untuk membiayai penggunaan umum.50
Menurut Muhammad Djafar Saidi pajak adalah pelunasan perikatan
dari wajib pajak tanpa tegen prestasi secara langsung dan bersifat
memaksa sahingga penagihannya dapat dipaksakan oleh pejabat
pajak.51 Pajak dibedakan atas pajak pusat dan pajak daerah.
49 Muhammad Djafar Saidi, Pembaruan Hukum Pajak, (Jakarta : Rajawali, 2014) hlm.21-22 50 Ibid., hlm. 22 51 Ibid., hlm. 23
34
Pajak daerah adalah pajak yang diadakan oleh pemerintah
daerah serta penagihannya dilakukan oleh pejabat pajak yang
ditugasi mengelola pajak-pajak daerah.52 Sedangkan menurut
Marihot, Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah
kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang
seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan
daerah.53
Sementara berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 1 ayat (10),
bahwa Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah
kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang besifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.54 Objek pajak daerah terbatas jumlahnya karena objek yang
telah menjadi objek pajak pusat tidak dapat digunakan daerahh,
lapangan pajak daerah lapangan pajak yang belum digunakan oleh
pemerintah pusat agar tidak terjadi pajak ganda nasional yang dapat
52 Ibid., hlm. 25-26 53 Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah & Retribusi Daerah, (Jakarta : Rajagrafindo Pers, 2008) hlm.10 54 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, op. Cit., Pasal 1 ayat (10)
35
memberatkan wajib pajak. Dengan demikian, penentuan objek pajak
daerah harus diperhatikan terebih dahulu objek pajak pusat
sehingga dapat berjalan seiringan dengan pajak pusat. Sementara
itu, pajak daerah tidak hanya inisiatif daerah untuk diadakannya,
bahkan pajak pusat diserahkan kepada daerah dalam rangka
pembiayaan pelaksanaan otonomi. Pajak pusat yang diserahkan
kepada daerah adalah pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan serta bea pengelolahan hak atas tanah dan bangunan.
Penyerahan kedua jenis pajak tersebut didasarkan pada Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.55
Selanjutnya pajak daerah terbagi atas pajak daerah provinsi
dan pajak daerah kabupaten/kota. Pajak daerah provinsi sebagai
kewenangan provinsi untuk ditetapkan dalam bentuk peraturan
daerah adalah sebagai berikut: pajak kendaraan bermotor; bea balik
nama kendaraan bermotor; pajak bahan bakar kendaraan bermotor;
pajak air permukaan; dan pajak rokok. Kemudian pajak daerah
kabupaten/kota sebagai kewenangan kabupaten/kota untuk
ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah adalah sebagai berikut:
pajak hotel; pajak restoran; pajak hiburan; pajak reklaame; pajak
penerangan jalan; pajak mineral bukan logam dan batuan; pajak
55 Muhammad Djafar Saidi, op.cit., hlm. 26
36
parkir; pajak air tanah; pajak sarang burung walet; pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan; dan bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan.
Pengelolaan pajak daerah telah bersifat final, Undang-
Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menganut prinsip
tertutup karena daerah dilarag memungut pajak selain jenis pajak
daerah tersebut diatas. Dalam arti daerah tidak boleh mengadakan
pajak daerah yang tidak sesuai dengan jenis-jenis pajak tersebut.
Ketika daerah mengupayakan pajak daerah yang tidak dikenal
dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam
bentuk peraturan daerah, berarti suatu perbuatan hukum yang tidak
sah. Konsukuensi hukum yang timbul adalah peraturan daerah
tentang pajak daerah itu batal demi hukum, berarti dari semula tidak
pernah ada.56
Pemerintah daerah diberdayakan untuk kreatif
mengembangkan pajak-pajak daerah, dengan kriteria-kriteria
perpajakan yang baik (good tax). Kriteria-kriteria ini antara lain:
Objek pajak harus berada di daerah dan kemungkinan kecil bergerak
diluar daerah; Pajak tidak kontradiktif dengan kepentingan umum;
Pajak tidak melanggar undang-undang perpajakan nasional maupun
provinsi; Pajak harus sesuai dengan potensi pendapatan;
56 Ibid., hlm. 26-27
37
Penerapan pajak tidak memberi dampak negatif bagi ekonomi lokal;
Pajak dilakukan secara adil kepada penduduk daerah; dan Pajak
melindungi pelestarian lingkungan. Pemerintah daerah mempunyai
kewenangan untuk mengatur tarif pajak daerah untuk
memaksimumkan pendapatan, atau menciptakan daerah yang
kompetitif bagi investor potensial.57
(2) Retribusi Daerah
Menurut Rohmat Sumitro dalam Andrian Sutedi, retribusi
daerah adalah pembayaran kepada negara yang dilakukan kepada
mereka yang menggunakan jasa-jasa negara, artinya retribusi
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau karena mendapat
pekerjaan usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan, atau
jasa yang diberikan oleh daerah bagi secara langsung maupun tidak
langsung.58 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak dan Retribusi Daerah Pasal 1 ayat (64), Retribusi
Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khususnya disediakan dan/ atau diberikan oleh pemerintah daerah
untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Selanjutnya pada
57 K. Debby Debora, op. cit., hlm.10-11 58 Ibid., hlm. 11
38
Pasal 108 ayat (1) dijelaskan bahwa objek retribusi antara lain: Jasa
umum; Jasa usaha; Perizinan tertentu.
Objek Retribusi Jasa umum adalah pelayanan yang
disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk tujuan
kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh
orang pribadi atau badan. Jenis retribusi jasa umum pada Pasal 109
antara laian; retribusi pelayanan kesehatan; retribusi pelayanan
persampahan/kebersihan; retribusi penggantian biaya cetak kartu
tanda penduduk dan akta catatan sipil; retribusi pelayanan
pemakaman dan penguburan mayat; retribusi pelayanan parkir tepi
jalan umum; retribusi pelayanan pasar; retribusi pengujian
kendaraan bermotor; retribusi pemeriksaan alat pemadam
kebakaran; retribusi penggantian biaya cetak peta; retribusi
penyediaan dan/ atau penyedotan kakus; retribusi pengolahan
limbah cair; retribusi pelayanan Tera/Tera Ulang; retribusi pelayanan
pendidikan; dan retribusi pengendalian menara telekomunikasi.
Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang
disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip
komersial yang meliputi: Pelayanan dengan menggunakan /
memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara
optimal; dan/ atau Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang
39
belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.59 Yang
termasuk jenis- jenis jasa usaha adalah sebagai berikut: retribusi
pemakaian kekayaan daerah; retribusi pasar grosir dan/ atau
pertokoan; retribusi tempat pelelangan; retribusi terminal; retribusi
tempat khusus parkir; retribusi tempat penginapan/ pesanggrahan/
villa; retribusi rumah potong hewan; retribusi pelayanan
kepelabuhan; retribusi tempat rekreasi dan olahraga; retribusi
penyeberangan di air; dan retribusi penjualan produksi usaha
daerah.60
Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan
perizinan tertentu oleh pemerintah daerah kepada oran pribadi atau
badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas
kegiatan pemenfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam,
barang, prasarana, sarana atau fasilitas guna meindungi kepentinga
umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Adapun jenis-jenis
Retribusi Perizinan tertentu adalah: retribusi izin mendirikan
bangunan; retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol;
retribusi izin gangguan; retribusi izin trayek; dan retribusi izin usaha
perikanan.
59 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 op. cit., Pasal 126 60 Ibid., Pasal 127
40
(3) Hasil Pengelolaan Kekayaan Yang Dipisahkan
Menurut Abdul Halim, “Hasil pengelolaan kekayaan milik
daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang
berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.61 Jenis
pendapatan ini dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup:
Bagian laba atas penyeretan modal pada perusahaan milik
daerah/BUMD; Bagian laba atas penyeretan modal pada
perusahaan milik Negara/BUMN; Bagian laba atas penyertaan
modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha
masyarakat.
(4) Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal
dari lain-lain milik pemerintahan daerah. Menurut Abdul Halim, jenis
pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut62: Hasil penjualan
aset daerah yang tidak dipisahkan; Jasa giro; Pendapatan bunga;
Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah; Penerimaan
komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akaibat dari
penjualan, pengadaan barang, dan jasa oleh daerah; Penerimaan
keuagan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
61 Abdul Halim, Akuntansi Keuagan Daerah, (Jakarta : Salemba Empat, 2008) hlm. 98 62 Ibid., 98
41
Pendapatan denda pajak; Pandapatan denda retribusi; Pendapatan
hasil eksekusi atas jaminan; Pendapatan dari pengembalian;
Fasilitas sosial dan umum; Pendapatan dari penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan; dan Pendapatan dari angsuran/cicilan
penjualan.
b. Dana Perimbangan
Dana perimbangan yaitu dana yang diperoleh melalui bagian
pendapatan daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan dari
pedesaan, perkotaan, pertambangan sumber daya alam, dan serta
bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.63 Menurut Nurlan
Darise, Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari
pendapatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang bertujuan untuk
menciptakan keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dan antara pemerintah daerah.64 Sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, Dana Perimbangan yang terdiri atas 3 (tiga) jenis sumber
dana, merupakan pendanaan pelaksanaan Desentralisasi yang
63 Abid Muhtarom, op. Cit., hlm. 662-663 64 K. Debby Debora, op.cit., hlm. 23
42
alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena
masing-masing jenis Dana Perimbangan tersebut saling mengisi dan
melengkapi. Selanjutnya disebutkan bahwa dana perimbangan
meliputi:65 Dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi
khusus.
c. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Lain-lain pendapatan daerah yang sah adalah, pendapatan
daerah dari sumber lain misalnya sumbangan pihak ketiga kepada
daerah yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.66Lain-lain pendapatan yang sah meliputi67:
1. Hibah/ Bantuan dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya,
badan lembaga/ organisasi swasta dalam negeri, kelompok
masyarakat/ perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak
mengikat;
2. Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan
korban/ kerusakan akibat bencana alam dan krisis
solvalibilitas;
3. Dana bagi hasil pajak dan provinsi kepada kabupaten/ kota;
4. Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan
oleh pemerintah; dan;
65 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, op. cit., Pasal 23 66 Abid Muhtarom, op. Cit., hlm. 663 67 K. Debby Debora, op.cit., hlm. 24
43
5. Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah
lainnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum
guna menjawab isu hukum yang dihadapi.68 Penelitian hukum yang
meneliti kaidah atau norma disebut sebagai penelitian normatif,
penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai
bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran
terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti.69
Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif
merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-
prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukumguna menjawab
permasalahan hukum yang dikemukakan, dengan menggunakan
68 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 34. 69 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 13-14.
44
pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual approach).70
Selain itu dikenal juga Penelitian hukum empiris, yang
dilakukan dengan meneliti secara langsung penerapan perundang-
undangan atau aturan hukum yang terkait dengan penegakan
hukum. Penelitian hukum empiris menurut Syahruddin Nawi adalah
penelitian hukum yang memfokuskan perhatian pada isu hukum
sebagai masalah tentang adanya kesenjangan antara keharusan
yakni perintah atau larangan (das sollen) yang termuat dalam
berbagai perundang-undangan.71 Jika pada penelitian hukum
normatif yang (hanya) menggunakan bahan kepustakaan sebagai
data sekundernya, maka penelitian hukum empiris juga
menggunakan data sekunder sebagai data awalnya kemudian
dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan.72
Berdasarkan uraian diatas serta rumusan masalah dan tujuan
penelitian maka metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian hukum yang menggabungkan kedua metode penelitian
hukum, yakni metode penelitian hukum Normatif-Empiris, yang akan
70 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 93-95 71 Syahruddin Nawi, 2014, Penelitian Hukum Normatif Versus Penelitian Hukum Empiris,
PT. Umitoh Ukhuwah Grafika, Makassar, hlm. 17. 72 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2014, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 133.
45
menganalisis peraturan terkait dengan Bangun Guna Serah dalam
kontrak publik terhadap pendapatan Kota Makassar.
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan Penelitiaan ini menggunakan pendekatan,
diantaranya: Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach);
Pendekatan Kasus (case approach); dan Pendekatan Konseptual
(conceptual approach).73 Pendekatan perundang-undangan yang
berkaitan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah serta Peraturan
Perundang-Undangan terkait. Pendekatan kasus berkaitan dengan
praktik pemerintah dalam melakukan kontrak publik utamanya di
Kota Makassar. Adapun pendekatan konseptual berkaitan dengan
teori kontrak publik, teori Bangun Guna Serah dan teori pendapatan
daerah.
C. Jenis Dan Sumber Data
Oleh karena penelitian yang dilakukan adalah penelitian
Normatif- Empiris, maka jenis data yang paling utama yang
digunakan adalah data primer dan data sekunder.
1. Jenis Data
73 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 137
46
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan
melalui pengamatan dan wawancara dengan beberapa pihak terkait.
Sehubungan dengan judul dari penulisan ini Bangun Guna Serah
dalam kontrak publik terhadap pendapatan Kota Makassar, maka
pihak yang berkaitan langsung dengan hal tersebut adalah
pemerintah daerah Kota Makassar serta Badan Pengelolaan
Keunagan dan Aset Daerah Kota Makassar selaku instansi yang
berwenang menangani pendapatan daerah. Sedangkan data
sekunder yaitu data yang diperoleh dan dikumpulkan dari studi
kepustakaan, yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan
yang berlaku dari hierarki UUD NRI 1945, dan yurisprudensi
terkait kontrak publik, Bangun Guna Serah dan pendapatan
daerah.
b. Bahan hukum skunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan lebih lanjut mengenai bahan hukum primer meliputi,
tulisan hukum yang dipublikasikan dalam bentuk buku, hasil-
hasil penelitian yang telah ada, jurnal dari kalangan sarjana
hukum dan karya ilmiah lainnya yang memiliki relevansi dengan
objek kajian; dan
47
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberi
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum skunder, seperti
kamus hukum dan ensiklopedia.
2. Sumber Data
Sumber data diperoleh dari dengan studi kepustakaan dan
studi lapangan, studi kepustakaan adalah mengumpulkan data yang
dilakukan dengan cara membaca, mengutip, mencatat, dan
memahami berbagai literatur, peraturan perundang-undangan dan
peraturan lainnya baik buku-buku literatur ilmu hukum serta tulisan-
tulisan hukum lainnya. Adapun studi lapangan adalah
mengumpulkan data dengan mengadakan penelitian langsung pada
tempat atau objek penelitian melalui pengamatan langsung
(observasi).
D. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan diperoleh dengan menggunakan
metode pengumpulan data kepustakan dilakukan untuk memperoleh
data sekunder dengan mempelajari bahan pustaka yang terkait
dengan topik penulisan, kemudian pengumpulan data dengan
wawancara yaitu Penulis mengadakan wawancara langsung dan
terbuka pada responden yang dianggaap refresentatif untuk
membahas permasalahan yang diteliti.
E. Analisis Data
48
Adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum
menggunakan sifat analisis deskriptif-analisis (Descriptiv- Analysis)
adalah bahwa peneliti dalam menganalisis berkeinginan untuk
memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek
penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukannya dapat
berati menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau
memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan
terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan teori.
49
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Bangun Guna Serah di Kota Makassar
Penyelenggaraan negara dalam menjalankan urusan
pemerintahan terutama dalam pembangunan infrastruktur berupa
sarana dan prasarana sebagai penunjang tercapainya tujuan
bernegara memang tidak dapat dihindari. Namun tidak dapat juga
dihindarkan bahwa kenyataan pemerintah mempunyai kemampuan
terbatas sehingga dibutuhkan kerjasama dengan pihak swasta
dalam mewujudkan semua kebutuhan tersebut. Lebih lanjut,
kemitraan publik berupa kerjasama dengan pihak swasta dalam
pengadaan sarana dan prasarana melalui kontrak publik, seringkali
dipercaya membawa efesiensi dalam alokasi investasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat.74
74 Lulu Hadi Adha, “Kontrak Build Oprate Transfer sebagai Perjanjian Kebijakan Pemerintah dengan Pihak Swasta”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 Nomor. 3 September 2011, hlm. 548.
50
Begitu pula halnya kedudukan pemerintah daerah yang
memiliki keterbatasan dalam penyedian dan pengelolaan barang
milik daerah, sehingga pemerintah daerah kerap melaksanakan
kontrak publik dengan pihak swasta. Salah satu contoh barang milik
daerah yaitu lapangan, arti kata lapangan berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tempat atau tanah yang luas yang
biasanya rata tidak bergelombang yang biasanya digunakan untuk
kegiatan olahraga ataupun pertandingan. Kota Makassar
mempunyai lapangan yang dikenal dengan nama Karebosi, sama
halnya dengan lapangan di Kota-kota lainnya lapangan karebosi
lebih banyak dimanfaatkan sebagai public space bagi warga Kota
Makassar, misalnya sebagai sarana berolahraga, sholat Ied,
kegiatan event (pameran), lokasi pedagang kaki lima, tempat penjual
obat keliling, dan berbagai aktivitas warga masyarakat kota ini yang
dapat dimanfaatkan setiap saat secara cuma-cuma (tidak berbayar).
Dalam rangka mengupayakan terkelolanya barang milik
daerah serta untuk meningkatkan pelayanan publik pemerintah Kota
Makassar dimungkinkan untuk melakukan pengelolaan tersebut
dengan melibatkan pihak swasta jika dipandang perlu.
Salah satu pemanfaatan barang milik daerah oleh pemerintah
Kota Makassar dengan pihak swasta yaitu melalui pengelolan
lapangan karebosi, dengan bentuk pemanfaatan Bangun Guna
51
Serah. Bangun Guna Serah sendiri adalah pemanfaatan barang
milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara
mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya,
kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka
waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan
kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya setelah berakahirnya jangka waktu.
Bangun Guna Serah barang milik daerah dapat dilaksanakan
dengan ketentuan sebagai berikut:75
1. Pemerintah Daerah memerlukan bangunan dan fasilitas bagi
penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk kepentingan
pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok
dan fungsi;
2. Tanah milik pemerintah daerah yang telah diserahkan oleh
pengguna kepada Kepala Daerah; dan
3. Tidak tersedia dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
untuk penyediaan bangunan dan fasilitas dimaksud.
Beranjak pada uraian diatas maka pemerintah Kota Makassar
dalam hal ini memerlukan bangunan dan fasilitas bagi
penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk kepentingan
75 Lihat pada Pasal 40 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
52
pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsi, pemerintah Kota Makassar melakukan pengelolaan terhadap
lapangan karebosi dengan tujuan penataan kota, peningkatan
pelayanan umum, pembukaan lapangan kerja dan peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) diperlukan pengelolaan secara
profesional yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Makassar
secara mandiri bila tersedia anggaran untuk hal tersebut. Namun
pemerintah Kota Makassar mengalami keterbatasan anggaran
sehingga melibatkan investor/mitra kerja sama yang dianggap
merupakan pilihan yang tepat76.
Syarat-syarat yang perlu dipenuhi sebelum melakukan
Bangun Guna Serah, yaitu
1. Adanya persetujuan dari kepala daerah dalam hal ini Walikota
Makassar.
2. Objek dari Bangun Guna Serah harus memiliki sertifikat hak
pengelolaan atas nama pemerintah daerah.
Lapangan karebosi tercatat sebagai aset atau barang milik
daerah yang penguasaan dan penganggaran pengelolaannya
dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Makassar berdasarkan FATWA
TATA GUNA TANAH untuk Pertimbangan Penetapan HAK PAKAI
76 Dokumen Permohonan HPL Lapangan Karebosi, Tanggal 23 Maret 2018 Kantor
Walikota Makassar, Bagian Kerja sama.
53
INSTANSI NO. 44/HPI-TGT/UP/RO/85, tanggal 22 April 1985, Atas
nama WALIKOTA KEPALA DAERAH TINGKAT II KOTA MADYA
UJUNG PANDANG. Berdasarkan fatwa tersebut disimpulkan bahwa
benar lapangan karebosi adalah asset Kota Makassar yang
pengelolaannya diserahkan pada pemerintah Kota Makassar.
Langka pertama yang ditempuh pemerintah Kota Makassar untuk
melakukan Bangun Guna Serah yaitu melakukan seyembara
terbuka baik perseorangan maupun badan hukum untuk mendesain
revitalisasi lapanagn karebosi, seyembara tersebut diselenggarakan
oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah77, dan
terpilihlah desain yang menyediakan ruang bawah tanah untuk
berbagai aktivitas ekonomi, hal ini dilakukan supaya fungsi lapangan
sebagai area publik tetap dipertahankan setelah pembangunan
lapangan selesai78.
Kemudian desain tersebut dipergunakan sebagai salah satu
syarat untuk penetapan mitra Bangun Guna Serah melalui
tender/lelang. Tender/lelang dilakukan dengan mengikutsertakan
sekurang-kurangnya 5 (lima) peserta/peminat namun dalam hal ini
tender terbuka dilaksanakan sebanyak dua kali dan PT. Tosan
77 Wawancara dengan Zulkiflie Marauni, tanggal 27 Maret 2018 Kantor Walikota
Makassar, Bagian Hukum dan HAM 78 Abdul Mahsyar, “Public Private Partnership: Kolaborasi Pemerintah dan Swasta Dalam
Pengelolaan Asset Publik di Kota Makassar”, Jurnal Administrasi Publik, Vol. 12 Nomor 1 April, 2015, hlm. 76
54
Permai Lestari satu-satunya peserta/peminat yang mendaftar dalam
lelang tersebut79, sehingga saat ini PT. Tosan Permai Lestari
merupakan mitra kerja sama pemerintah Kota Makassar.
Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada yang
mensyaratkan adanya 5 (lima) peserta/peminat dalam tender
sehingga hal ini dapat di batal demi hukum, dalam hukum Indonesia
suatu perjanjian akan dianggap batal demi hukum jka tidak
memenuhi syarat objektif dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata), yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang
halal. Dalam rangka pelaksanaan perjanjian kerja sama pengelolaan
lapangan karebosi dan pengamanan barang daerah, pada tanggal
23 Maret 2007 pemerintah Kota Makassar juga mengajukan
permohonan penerbitan HLP lapangan karebosi melalui Kantor
Pertanahan/BPN Kota Makassr. Yang menyebutkan bahwa izin
mendirikan bangunan bangun guna serah atas nama pemerintah
daerah.
Saat ini seluas 42.000 m2 dari 110.000 m2 Lapangan Karebosi
dimanfaatkan dengan pola Bangun Guna Serah berdasarkan
Perjanjian Kerjasama No. 426.23/S.perja/Ekbang, No.
074/TPL/X/2007 tanggal 11 Oktober 2007 dengan mengacu pada
79 Wawancara dengan Zulkiflie Marauni, tanggal 27 Maret 2018 Kantor Walikota Makassar, Bagian Hukum dan HAM.
55
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah80. Dengan tidak
mengubah fungsi utama Lapangan Karebosi yaitu dimanfaatkan
sebagai fasilitas umum (public space), adapun jangka waktu
perjanjian kerja sama pemerintah Kota Makassar dengan PT. Tosan
Permai Lestari 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani.
PT. Tosan Permai Lestari selaku pegelola Bangun Guna Serah yang
telah ditetapakan selama jangka waktu pengoperasian, harus
memenuhi kewajiban sebagai berikut:
1. Membayar kontribusi ke kas daerah setiap tahun yang
besarannya ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan tim yang
dibentuk oleh Kepala Daerah;
2. Tidak menjaminkan, menggadaikan atau memindahtangankan
objek Bangun Guna Serah; dan
3. Memelihara objek Bangun Guna Serah.
Diketahui bahwa kemitraan yang dijalin oleh pemerintah
dengan pihak swasta melalui Bangun Guna Serah merupakan
sebuah hubungan hukum terjadi antara dua pihak. Menurut Kasman
Abdullah, bahwa pemanfaatan kontrak atau perjanjian oleh
80 Dokumen Permohonan HPL Lapangan Karebosi, Tanggal 23 Maret 2018 Kantor Walikota Makassar, Bagian Kerja sama.
56
pemerintah (kontraktualisasi pemerintah) merupakan praktek yang
lazim digunakan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Kontraktualiasi dilakukan untuk menciptakan hubungan
kontraktual, baik yang bertujuan untuk membelanjakan atau
memperoleh penerimaan bagi keuangan negara, dalam rangka
penyelenggaraan kehidupan bernegara dan pemenuhan
kesejahteraan umum, atau dengan kata lain, untuk menjalankan
fungsi pemerintahan itu sendiri. Kontraktualisasi dilakukan dengan
dasar bahwa dalam hal-hal tertentu, pemerintah akan lebih mudah
dan efesien dalam menciptakan tujuan pemerintahan terkait dengan
peningkatan kualitas pelayanan publik.81
Adapun menurut Mercy M. Setlight, bahwa Indonesia sebagai
negara berkembang, kepadatan penduduk terus bertambah dan
menuntut penambahan sarana dan prasarana untuk kepentingan
umum (infrastruktur). Untuk melakukan pengadaan infrastruktur itu
dibutuhkan dana yang sangat besar, yang akan terasa berat apabila
hanya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan Daerah (APBN dan APBD). Melihat keterbatasan pemerintah
melalui APBN maupun APBD dalam penyediaan dana untuk
pembangunan infrastruktur ini, maka dituntut adanya model-model
81 Kasman Abdullah, Hakikat Kontrak Publik, Materi Kulaiah pada Fukultas Hukum
Universitas Hasanuddin: Makassar (pdf).
57
baru pembiayaan proyek pembangunan. Dalam pengadaan
infrastruktur di daerah, tak jarang sebagai alternatif pendanaan,
pemerintah melibatkan pihak swasta (nasional-asing) dalam proyek-
proyeknya.82 Lebih lanjut, bahwa dalam konsiderans Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara ditegaskan bahwa:
“Pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud
dalamUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 perlu dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Kalimat ini mengharuskan adanya tujuan untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat dalam hal pengelolaan
keuangan negara termasuk di dalam hal pelaksanaan Bangun Guna
Serah yang dilaksanakan baik di pusat maupun di daerah karena
terkait dengan pengelolaan barang milik negara. Dengan demikian
secara tidak langsung dikatakan pelaksanaan Bangun Guna Serah
dibentuk dan dilaksanakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat83.
82 Mercy M. Setlight, “Keadilan dalam Perjanjian Bangun Guna Serah (Build, Operate and
Transferred Contract/BOT)”, Jurnal Edisi Khusus, Vol. I Nomor 6, 2013. hlm. 90. 83 Ibid., hlm. 92.
58
Bangun Guna Serah dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal
meningkatkan tujuan pemerintahan yang semakin kompleks dan
dinamis, yang tentunya tidak dapat dijangkau atau diurusi secara
langsung oleh pemerintah. Apabila penyenggaraan urusan
pemerintahan membutuhkan pendanaan yang besar dan keahlian
khusus secara teknis, terkadang pemerintah tidak mampu
mengerjakan secara langsung, dan pada akhirnya urusan tersebut
harus diserahkan kepada pihak swasta untuk mengelolanya.
Lebih lanjut, menurut Penulis bahwa pengerjaan suatu proyek
oleh pihak swasta melalui Bangun Guna Serah merupakan bentuk
perpanjangan tangan dari pemerintah. Artinya, pihak swasta selain
mencari keuntungan, juga mewakili pemerintah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan. Jadi ada dua kepentingan
yang melekat pada pihak swasta yang melakukan kontrak publik,
yakni keuntungan secara privat dan membantu peranan pemerintah
dalam hal menejahterakan rakyat.
B. Pengaruh pelaksanaan Bangun Guna Serah pada Pendapatan
Daerah Kota Makassar
Pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah sebagai akibat dari penyerahan urusan
59
pemerintahan84. Berbicara mengenai keuangan daerah maka tidak
terlepas dari penerimaan serta pengeluaran daerah, dimana
penerimaan daerah sangat berperan dalam meningkatkan keuangan
suatu daerah. Dalam ketentuan yang berlaku disebutkan bahwa
pendapatan daerah meliputi semua penerimaan Rekening Kas
umum daerah, yang menambah ekuitas dana lancar yang
merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu
dibayar kembali oleh daerah.85 Pendapatan daerah merupakan hak
pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan
bersih.86 Pendapatan daerah merupakan salah satu bagian penting
dalam menjalankan roda pemerintahan, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) juga bersumber dari pendapatan daerah
tersebut, pendapatan daerah sendiri terdiri atas:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD);
a. pajak daerah
b. retribusi daerah
c. hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan
d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
2. Dana perimbangan
3. Lain-lain pendapatan yang sah
84 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014, Op.cit., Pasal 283 85 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Op.cit.,Pasal 20 ayat (2) 86 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal 1
60
Pengelolaan barang milik daerah yang dilakukan Pemerintah
Kota Makassar dengan bentuk Bangun Guna Serah memberikan
dampak terhadap pendapatan daerah, PT. Tosan Permai Lestari
selaku pengelola Bangun Guna Serah dalam hal ini pengelolaan
Lapangan Karebosi diwajibkan oleh aturan hukum yang ada untuk
menyetor kontribusi ke kas daearah sesuai dengan perjanjikan yang
telah disepakati. PT. Tosan Permai Lestari selaku pengelola Bangun
Guna Serah menyediakan area parkir kendaraan, seperti diketahui
bahwa sekitar 60% dari luas lahan yang dimanfaatkan adalah untuk
area parkir. Adapun pada bagian bawah Lapangan Karebosi (under
ground) sekitar 40% dari lahan tersebut dimanfaatkan sebagai
tempat aktivitas ekonomi oleh pihak pengelola87.
Area parkir serta tempat aktivitas ekonomi yang dimaksud
dimanfaatkan oleh pengelola untuk meraup keuntungan, agar biaya
yang dikeluarkan untuk pembangunan dan pemeliharaan Lapangan
Karebosi dapat tertutupi. Jika merujuk pada atuaran hukum terkait
dengan Bangun Guna Serah sendiri tidak dijelaskan secara terinci
mengenai kontribusi yang diwajibkan oleh pengelolan untuk disetor
ke kas daerah tersebut tergolong pendapatan hasil pengeleloaan
87 Abdul Mahsyar, “Public Private Partnership: Kolaborasi Pemerintah dan Swasta Dalam
Pengelolaan Asset Publik di Kota Makassar”, Jurnal Administrasi Publik, Vol. 12 Nomor 1 April, 2015, hlm. 75
61
kekayaan daerah yang dipisahkan ataukah masuk secara umum
pada pendapatan daerah atau pendapatan asli daerah.
Namun jika merujuk pada pendapat Abdul Halim yang
menyebutkan bahwa, hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang
dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan
ini dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup88:
1. Bagian laba atas penyeretan modal pada perusahaan milik
daerah/BUMD;
2. Bagian laba atas penyeretan modal pada perusahaan milik
Negara/BUMN;
3. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
swasta atau kelompok usaha masyarakat.
Sehinnga jika melihat objek dari hasil pengelolaan kekayaan
milik daerah yang dipisahkan diatas maka pengelolaan barang milik
daerah dengan bentuk Bangun Guna Serah lapangan karebosi tidak
termasuk hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan,
sebab yang disetor oleh pengelola Bangun Guna Serah ke kas
daerah bukan hasil bagian laba (bagi keuntungan) atas suatu hal
tertentu. Namun jika merujuk pada adanya lahan parkir yang
88 Abdul Halim, 2008, Akuntansi Keuagan Daerah, Salemba Empat, Jakarta, hlm. 98
62
disediakan oleh pengelola Bangun Guna Serah serta adanya tempat
aktivitas ekomoni, tidak menutup kemungkinan pengelola Bangun
Guna Serah juga dikenakan pajak serta retribusi yang hanya dapat
dipungut oleh pemerintah. Pajak yang dimaksud yakni pajak parkir
yang merupakan salah satu objek dari pajak daerah kabupaten/kota
serta retribusi yang dimaksud adalah retribusi jasa usaha yang salah
satu jenisnya adalah retribusi pasar grosir dan/ atau pertokoan.
Berdasarkan uraian diatas Penulis berkesimpulan bahwa
kontribusi yang di setor oleh pengelola Bangun Guna Serah kepada
pemerintah Kota Makassar masuk dalam pendapatan asli daerah
(PAD) Kota Makassar, yang jumlahnya sekitar Rp. 1.400.000.000,00
lebih pertahunnya89. Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa angkat yang
mencapai Rp. 1.400.000.000,00 ini memberi pengaruh terhadap
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, yang kemudian
dipergunakan oleh pemerintah Kota Makassar untuk keperluan yang
berkaitan dengan kepentingan publik.
Berikut tabel anggaran pedapatan daerah pemerintah Kota
Makassar Tahun 2005 sebelum terjadinya Bangun Guna Serah dan
anggaran pedapatan daerah pemerintah Kota Makassar Tahun
89 Wawancara dengan Zulkiflie Marauni, tanggal 27 Maret 2018 Kantor Walikota Makassar, Bagian Hukum dan HAM.
63
sesudah terjadinya Bangun Guna Serah90. Sebagai rujukan untuk
melihat adanya penambahan terhadap pendapatan daerah Kota
Makassar setelah terjadinya Bangun Guna Serah tersebut.
90 Dokumen Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2005 dan 2010, Tanggal 19 April 2018 Kantor Walikota Makassar, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah.
64
65
66
Berdasarkan Tabel diatas jumlah pendapatan daerah Kota
Makassar pada Tahun 2005 Rp. 607.905.070.288,98 dengan
pendapatan asli daerah mencapai Rp. 98.841.782.817,98
sedangkan pada Tahun 2010 pendapatan daerah Kota Makassar
mencapai Rp. 1.449.662.649.590,85 dengan pendapatan asli daerah
Rp. 210.136.331.090,64. Ini menunjukkan bahwa memang kerja
sama yang dilakukan pemerintah Kota Makassar dengan Bentuk
Bangun Guna Serah benar-benar memberikan dampak atau
penambahan terhadap pendapatan daerah itu sendiri.
Tentu dengan jumlah tersebut diharapkan pemerintah Kota
Makassar dapat mempergunakannya sebaik-baiknya sebagaimana
yang telah diamanatkan dalam aturan hukum bahwasanya Bangun
Guna Serah barang milik daerah dapat dilaksanakan dengan
ketentuan untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang Penulis
lakukan, maka penulis menyimpulkan bahwa:
1. Pelaksanaan Bangun Guna Serah pemerintah Kota Makassar
dengan PT. Tosan Permai Lestari dalam rangka pengelolaan
Lapangan Karebosi sebagai barang milik daerah belum
sesuai dengan aturan hukum yang ada dimana tidak
terlaksananya Pasal 41 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Barang Milik Daerah yang mengharuskan
mengikutsertakan sekurang-kurangnya 5 (lima)
peserta/peminat tender.
2. Pelaksanaan Bangun Guna Serah di Kota Makassar benar-
benar memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah,
Adapun jumlah yang disetor PT. Tosan Permai Lestari selaku
pengelola Bangun Guna Serah ke pemerintah Kota Makassar
kurang lebih sekitar Rp. 1.400.000.000,00 setiap tahunnya.
B. Saran
68
Berdasarkan pada kesimpulan di atas, maka Penulis
memberikan saran sebagai berikut :
1. Seyogyanya pemerintah Kota Makassar dalam melakukan
hubungan hukum dalam hal ini perjanjian Kerja sama yang
melibatkan pihak swasta lebih terbuka mengenai perjanjian kerja
sama terlebih lagi objek yang diperjanjikan adalah barang milik
daerah yang sebelumnya digunakan untuk kepentingan umum.
2. Pemerintah Kota Makassar pun diharapkan lebih terbuka pada
publik mengenai berapa besaran pendapatan yang diperoleh dari
kerja sama dengan bentuk Bangun Guna Serah, dan digunakan
untuk keperluan apa saja pendapatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
69
Abdul Halim. 2008. Akuntansi Keuagan Daerah. Salemba Empat. Jakarta.
Achmad Ali. 2011. Menguak Tabir Hukum. Ghalia Indonesia. Bogor.
Ahmadi Miru. 2014. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Rajawali
Pers. Jakarta.
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2014. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Rajawali Pers. Jakarta.
Budi Santoso. 2008. Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur
Dengan Model BOT (Build operate and, transfer). PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
H. Ishaq. 2014. Pengantar Hukum Indonesia (PHI). PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Husaini Usaman dan Purnomo Setiady Akbar. 2003. Metodologi Penelitian
Sosial. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Mahmudi. 2010. Manajemen Keuangan Daerah: Buku Seri Membudayakan
Akuntabilitas Publik. Erlangga. Jakarta.
Marihot P. Siahaan. 2008. Pajak Daerah & Retribusi Daerah. Rajagrafindo
Pers. Jakarta
Muhammad Djafar Saidi. 2014. Hukum Keuangan Negara. Rajawali.
Jakarta.
70
. 2014. Pembaruan Hukum Pajak. Rajawali.
Jakarta
Nazarkhan Yasin. 2006. Mengenai Kontrak Konstruksi di Indonesia. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Ridwan HR. 2013. Hukum Administrasi Negara. Rajawali Pers. Jakarta.
Salim HS. 2008. Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata. PT
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Syahruddin Nawi. 2014. Penelitian Hukum Normatif Versus Penelitian
Hukum Empiris. PT. Umitoha Ukhuwah Grafika. Makassar.
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media
Group. Jakarta.
Perundang-Undang:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.
71
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolan
Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
Sumber Lain:
K. Debby Debora. 2014. Analisis Kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Dalam Memenuhi APBD Pada Pemerintahan Kota Medan.
Skripsi. Medan. Universitas HKPB Nommensen.
72
Ima Oktorina. 2010. Kajian Tentang Kerjasama Pembiayaan dengan
Sistem BOT dalam Revitalisasi Pasar Tradisional. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Abdul Mahsyar. 2015. Public Private Partnership: Kolaborasi Pemerintah
dan Swasta Dalam Pengelolaan Asset Publik di Kota Makassar.
Jurnal Administrasi Publik. Vol. 12 Nomor 1 April.
Akh Munif. 2008. Kontrak Standard Dalam Perjanjian Sewa Beli Rumah dan
Akibat Hukumnya. Yustitia. Vol. 8 Nomor 1.
Lalu Hadi Adha. 2011. Kontrak Build Operate Transfer Sebagai Perjanjian
Kebijakan Pemerintah Dengan Pihak Swasta. Jurnal Dinamika
Hukum. Vol. 11 Nomor 3.
Mercy M. Setlight. 2013. Keadilan Dalam Perjanjian Bangun Guna Serah
(Build Operate and Transferred Contract/BOT). Edisi Khusus. Vol.
I Nomor 6.
Vita Justisia. 2015. Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and
Transfer) Antara Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan Dengan
Pihak Swasta. Nurani. Vol. 15 Nomor 1.
Zainal Asikin. 2013. Perjanjian Kerja Sama Antara Pemerintah Dan Swasta
Dalam Menyediakan Infrastruktur Publik. Mimbar Hukum. Vol. 25
Nomor 1.
73
Ansori Ilyas. Mata Kuliah Kontrak Publik. Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin. Makassar. 2017.
Muh. Ilham Arisaputra. Mata Kuliah Kontrak Publik. Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin. Makassar. 2017.
Kasman Abdullah. Hakikat Kontrak Publik. Materi Kulaiah pada Fukultas
Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar (pdf).
www.definisi-pengertian.com/2015/07/pengertian-keuangan-
daerah.html?m=1 (Diakses 18 November 2017, 11:57 wita)
https://Pengertianmenurutahli.blogspot.co.id/2013/03/definisi-keuangan-
daerah.html?m=1# (Diakses 18 November 2017, 12:01 wita)