skripsi proses pembagian warisan adat lampung …...hukum kewarisan adalah hukum-hukum yang mengatur...
TRANSCRIPT
SKRIPSI
PROSES PEMBAGIAN WARISAN ADAT LAMPUNG PESISIR
PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM (Studi Kasus di Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus)
Oleh:
YENNI OKTAVIA
NPM. 1502030092
Jurusan Akhwalus Sakhsiyyah (AS)
Fakultas Syari’ah
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
1441 H/2020 M
ii
PROSES PEMBAGIAN WARISAN ADAT LAMPUNG PESISIR
PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM (Studi Kasus Di Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus)
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Sebagai Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
YENNI OKTAVIA
NPM.1502030092
Pembimbing I : Hj. Siti Zulaikha, S.Ag, MH
Pembimbing II : Sainul, SH, MA
Jurusan: Akhwalus Sakhsiyyah (AS)
Fakultas: Syari‟ah
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
1441 H/2020
iv
v
vi
ABSTRAK
PROSES PEMBAGIAN WARISAN ADAT LAMPUNG PESISIR
PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM (Studi Kasus Di Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus)
Oleh
YENNI OKTAVIA
Pada adat Lampung pesisir menggunakan sistem kewarisan mayorat laki-
laki yaitu lebih mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan, karena
anak laki-laki adalah penerus keturunan bapaknya yang ditarik dari satu bapak
asal yang disebut “anak punyimbang”, sedangkan anak perempuan disiapkan
untuk menjadi anak orang lain yang akan memperkuat keturunan orang lain.
Menurut hukum adat Lampung pesisir yang termasuk harta waris bukan hanya
harta benda pewaris saja tapi juga nama besar keluarga dan gelar adat yang
disandang oleh pewaris didalam hukum adat.
Jika dalam keluarga tidak
mempunyai anak laki-laki maka menantu laki-laki dari anak tertua akan diangkat
menjadi anak dan dapat menjadi ahli waris dalam keluarga tersebut, yang
dinamakan semanda. Jadi ahli waris ini tidak memiliki hak waris dari
keluarganya, namun memiliki hak waris dari pihak keluarga istrinya. Di sinilah
perbedaan mendasar pembagian waris pesisir dari suku pepadun yang apabila
tidak memiliki anak laki-laki, maka hak waris akan diberikan kepada keponakan
laki-laki dan seterusnya.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan sistem pembagian harta
waris menurut hukum adat masyarakat Lampung Pesisir, 2) mendeskripsikan
sistem kewarisan adat Lampung Pesisir ditinjau dari hukum waris Islam. Jenis
penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research). Sedangkan sifat
penelitiannya bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data hasil temuan
digambarkan secara deskriptif dan dianalisis dengan langkah-langkah reduksi
data, display data (penyajian data), serta penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembagian ahli waris yang
didasarkan pada hukum adat Lampung pesisir di Kecamatan Talang Padang
Kabupaten Tanggamus masih menerapkan hukum adat yakni menunjuk ahli waris
utama adalah anak lelaki tertua atau anak lelaki di dalam sebuah keluarga tersebut
sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan hak waris. Meskipun terdapat
beberapa faktor seperti faktor pendidikan, perantauan/migrasi, ekonomi, agama
serta sosial, yang seharusnya dapat mempengaruhi perkembangan perubahan
dalam masyarakat adat di daerah tersebut, namun masyarakat adat Lampung
Pesisir di Kecamatan Talang Padang dalam pembagian warisan secara internal
kurang terdapat faktor kesadaran dan kebangkitan individu, mereka masih
memegang teguh adatnya.
vii
viii
MOTTO
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisaa: 7)1
1 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Diponegoro,
2005), 62
ix
PERSEMBAHAN
Puji Syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya yang
telah memberikan kekuatan, kesehatan dan kesabaran dalam mengerjakan Skripsi
Penelitian ini. Saya persembahkan Skripsi ini dengan penuh rasa cinta dan kasih
sayang kepada suami dan anak-anak saya yang telah menjadi motivasi dan
inspirasi serta tiada henti memberikan dukungan dengan kesabaran yang luar
biasa serta do‟anya yang senantiasa ditujukan untuk saya.
Terimakasih yang tak terhingga untuk dosen-dosen, terutama Dosen
Pembimbing Akademik saya yang tak pernah lelah dan sabar memberikan
bimbingan dan arahan kepada saya. Terimakasih juga saya persembahkan kepada
para sahabat kerabat khususnya teman-teman mahasiswa Ahwalush Syakhsiyyah
angkatan 2015 yang senantiasa menjadi penyemangat yang selalu menemani
disetiap hari perkuliahan.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, atas taufik hidayah
dan inayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu bagian dari persyaratan untuk
menyelesaikan pendidikan Jurusan Ahwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah IAIN
Metro guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H).
Dalam upaya penyelesaian skripsi ini, peneliti telah menerima banyak
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karenanya peneliti
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Enizar, M.Ag, selaku Rektor IAIN Metro,
2. Bapak H. Husnul Fatarib, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syariah
3. Ibu Nurhidayati, S.Ag., MH, selaku Ketua Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah
4. Ibu Hj. Siti Zulaikha, S.Ag, MH, selaku Pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan yang sangat berharga kepada peneliti.
5. Bapak Sainul, SH, MA, selaku Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan yang sangat berharga kepada peneliti.
6. Bapak dan Ibu Dosen/Karyawan IAIN Metro yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dan sarana prasarana selama peneliti menempuh pendidikan.
7. Kepala Pekon dan segenap warga Pekon Negeri Agung Kecamatan Talang
Padang Kabupaten Tanggamus, yang telah memberikan sarana dan prasarana
serta informasi yang dibutuhkan kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi
ini.
xi
8. Teman-teman Mahasiswa Fakultas Syari‟ah khususnya jurusan Al Ahwal As
Syakhsiyyah angkatan 2015 IAIN Metro yang senatiasa membantu saya dalam
proses penyelesaian Skripsi ini.
Kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini sangat diharapkan dan akan
diterima dengan kelapangan dada. Dan akhirnya semoga skripsi ini kiranya dapat
bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum.
Metro, Januari 2020
Peneliti,
Yenni Oktavia
NPM. 1502030092
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
NOTA DINAS ................................................................................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ v
ABSTRAK ...................................................................................................... vi
ORISINALITAS PENELITIAN ................................................................... vii
MOTTO .......................................................................................................... viii
PERSEMBAHAN ........................................................................................... ix
KATA PENGANTAR .................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 9
E. Penelitian Terdahulu ................................................................. 10
BAB II LANDASAN TEORI .................................................................... 13
A. Konsep Pembagian Harta Waris Menurut Islam ....................... 13
1. Pengertian Harta Waris ....................................................... 13
2. Dasar Hukum Kewarisan Islam ........................................... 15
3. Syarat dan Rukun Waris dalam Islam ................................. 18
4. Fungsi dan Tujuan Waris dalam Islam ................................ 21
5. Bagian-bagian Ahli Waris dalam Islam .............................. 25
xiii
B. Konsep Hukum Waris Adat ...................................................... 30
1. Pengertian Hukum Waris Adat............................................ 30
2. Sistem Pewarisan dan Keturunan dalam Hukum Waris
Adat ..................................................................................... 31
3. Ahli Waris dalam Hukum Adat ........................................... 35
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 41
A. Jenis dan Sifat Penelitian ........................................................... 41
B. Sumber Data .............................................................................. 43
C. Tekhnik Pengumpulan Data ...................................................... 44
D. Tekhnik Penjamin Keabsahan Data .......................................... 46
E. Tekhnik Analisa Data ................................................................ 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................ 50
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ......................................... 50
1. Letak Geografis Kecamatan Talang Padang ....................... 50
2. Jumlah Penduduk ................................................................ 51
3. Sejarah Masyarakat Lampung Pesisir ................................. 52
B. Proses Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Adat
Masyarakat Lampung Pesisir .................................................... 55
C. Pembagian Waris Hukum Adat Lampung Pesisir Menurut
Hukum Islam ............................................................................. 72
BAB V PENUTUP ..................................................................................... 80
A. Kesimpulan ............................................................................... 80
B. Saran .......................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
4.1. Jumlah penduduk Kecamatan Talang Padang Berdasarkan Jenis
Kelamin .................................................................................................. 51
4.2. Jumlah penduduk Kecamatan Talang Padang berdasarkan Agama/
Kepercayaan ........................................................................................... 52
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
4.1. Peta Kecamatan Talang Padang.............................................................. 50
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Bimbingan Skripsi
2. Surat izin Pra Survey
3. Surat Tugas Research
4. Surat Izin Research
5. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
6. Surat Keterangan Bebas Pustaka
7. Outline
8. Alat Pengumpul Data
9. Kartu Konsultasi Bimbingan Skripsi
10. Foto Dokumentasi
11. Riwayat Hidup
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang
memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan
sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini
disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang
lingkup kehidupan manusia. Tata aturan membagi harta warisan antara para
pewaris, adalah manifestasi dari pengakuan adanya hak milik perorangan baik
terhadap harta bergerak, maupun harta yang tidak bergerak dan suatu
manifestasi pula bahwa harta milik seseorang dan harus dibagi secara adil
antara para pewarisnya setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Hukum kewarisan adalah hukum-hukum yang mengatur tentang
peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta
akibatnya bagi para ahli warisnya.2 Pewarisan hanya berlangsung karena
kematian. Jadi, harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris telah
meninggal dunia, saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka.
Dalam hal ini, ada ketentuan khusus dalam Pasal 2 KUH Perdata, yaitu anak
yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah
dilahirkan bila kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan
2 Effendi Perangin, Hukum Waris, cetakan ke X, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), 3.
xviii
maka dianggap tidak pernah ada. 3
Pengertian kewarisan yang sering dijumpai dalam kitab-kitab fiqh
merupakan upaya maksimal para ahli dalam merefleksikan hasil
pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Qur‟an dan Sunnah Rasul SAW yang
mengatur tentang Hukum Kewarisan Islam.4 Dalam hal ini, Allah SWT
berfirman dalam Al-Qur‟an surah An Nisa ayat 12 sebagai berikut:
Artinya: dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika
isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu
mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
3 Khoirun Nisa dan Supriyatna, “Sistem Pembagian Warisan Pada Masyarakat
Multikultural: Studi di Desa teluk Panji II Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten labuhan Batu Selatan Sumatera Utara”, dalam Jurnal Al-Ahwal, 2015, Vol. 8 No. 2, 162
4 Muhammad Daud Ali, Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), 129.
xix
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui
lagi Maha Penyantun. (Q.S. An-Nisaa: 12)5
Norma hukum pada Al-Qur‟an di dalam surat An Nisa ayat 12 yang
menentukan bagian ahli waris istri mendapat seperempat (1/4) bagian warisan
jika pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak
maka mendapat seperdelapan (1/8) bagian yang diterimanya (ahli waris).6
Apabila dikaitkan dengan istri yang ikut serta bekerja mencari penghasilan
membantu suami dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sebagai
ketentuan yang bersifat diskriminatif dan tidak adil. Jika dikaji secara
mendalam dan menyeluruh dalam satu sistem keluarga Islam, yaitu hukum
waris yang merupakan bagian dari hukum keluarga dan tidak dapat
dipisahkan dengan hukum perkawinan, maka keadilan justru akan terlihat
karena ketentuan perolehan warisan istri mendapat seperempat (1/4) bagian
warisan jika pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak maka mendapat seperdelapan (1/8) bagian yang
diterimanya tersebut dalam kaitannya dengan hukum perkawinan yang
menentukan kewajiban seorang pria sebagai suami untuk menanggung beban
ekonomi di dalam keluarga. Sedangkan wanita sebagai istri tidak mempunyai
5 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Diponegoro,
2005), 63 6 Muhammad Daud Ali, Asas Hukum Islam., 129
xx
kewajiban yang demikian. 7 Ini dijelaskan di dalam Q.S, An Nisa ayat 11
sebagai berikut:
...
Artinya: …(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An-Nisaa: 11)8
Pada ayat ini dapat dipahami bahwa dalam pembagian harta waris
perlu diperhatikan, bahwa harta peninggalan tidak akan dibagi-bagi sepanjang
masih diperlukan untuk menghidupi dan mempertahankan berkumpulnya
keluarga yang ditinggalkan, tetapi dalam kenyataannya, seringkali timbulnya
sengketa warisan di antara anggota-anggota keluarga yang ditinggalkan,
apabila para pihak yang diberi hak untuk menguasai harta peninggalan
seringkali menganggap bahwa harta tersebut merupakan hak atau bagian
warisnya.
Hukum kewarisan adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip
garis keturunan yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan.9 Hukum
kewarisan merupakan hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi
para ahli warisnya. Adapun yang dimaksud dengan harta waris adalah harta
kekayaan dari pewaris yang telah wafat, baik harta itu telah dibagi atau masih
7 Ibid
8 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya., 62
9 Muhammad Bushar, . Pokok-pokok Hukum Adat. (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), 10
xxi
dalam keadaan tidak terbagi-bagi. 10 Termasuk di dalam harta waris adalah
harta pusaka, harta perkawinan, dan harta bawaan.11 Di Indonesia di antara
orang- orang Indonesia asli yang tersebar di berbagai daerah, ada beberapa
sifat kekeluargaan yang dapat dimasukkan ke dalam 3 golongan, yaitu; Sifat
kebapakan (Patrilineal); Sifat keibuan (Matrilineal);dan Sifat kebapak-ibuan
(Parental).12
Karena hukum waris adat dipengaruhi sistem kekeluargaan maka
sudah tentu terdapat perbedaan antara masyarakat adat yang satu dengan
masyarakat adat lainnya di Indonesia. 13 Perbedaan ini terutama terhadap siapa
yang menjadi pewaris, siapa yang menjadi ahli waris terhadap harta yang
ditinggalkan.14 Demikian pula pada masyarakat adat suku Lampung yang
dibagi dalam dua golongan adat yang dikenal selama ini, yaitu beradat
Lampung Pepadun dan Lampung Pesisir. Pada dasarnya, bentuk perkawinan
dan sistem kewarisan yang diterapkan adalah sama. Hanya saja pada
masyarakat adat Lampung Pepadun penerapannya masih kental dilakukan,
baik pada masyarakat yang tinggal di perkotaan atau yang tinggal di
pedesaan.15
Masyarakat Lampung Pesisir pada umumnya bermukim di wilayah
pantai propinsi Lampung dimulai dari Kabupaten Lampung Selatan
10 Effendi Perangin, Hukum Waris., 3 11 Ibid 12 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung,
1980), 10. 13 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandar Lampung:
Mandar Maju, 1992), 214. 14
Ibid 15 Rizani Puspawijaya, “Masyarakat Adat Lampung”, Makalah dipresentasikan di
Universitas Lampung, 2002, 2.
xxii
(Kalianda), Kabupaten Peringsewu (Semaka), dan Kabupaten Lampung
Barat.16 Pada masyarakat adat Lampung Pesisir yang menggunakan bentuk
perkawinan jujur dan memakai sistem kewarisan patrilineal, yaitu sistem
kewarisan di mana anak laki-laki tertua berhak atas seluruh harta peninggalan
dan sebagai penerus keturunan mereka. Begitu kuatnya kedudukan anak laki-
laki dalam keluarga sehingga jika tidak mempunyai anak laki-laki dikatakan
sama dengan tidak mempunyai keturunan atau putus keturunan.17 Hal inilah
yang kadang masih mempengaruhi dalam keluarga suku adat Lampung
Pesisir yang mana keberadaan anak laki-laki yang sangat dianggap penting
keberadaannya untuk meneruskan nama keluarga. Dalam suku adat Lampung
Pesisir berlaku kebiasaan yang mana apabila keluarga tidak memiliki anak
laki-laki maka menantu lelaki tertualah yang dianggap atau dijadikan penerus
nama keluarga tersebut. 18
Permasalahan dalam pembagian harta waris juga dijumpai pada
masyarakat Lampung Pesisir di Kecamatan Talang Padang Kabupaten
Tanggamus. Hasil survey penelitian menemukan bahwa masyarakat adat
Lampung Pesisir di wilayah Kecamatan Talang Padang Kabupaten
Tanggamus menggunakan sistem kewarisan mayorat laki-laki yaitu lebih
mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan, karena anak laki-laki
adalah penerus keturunan bapaknya yang ditarik dari satu bapak asal,
sedangkan anak perempuan disiapkan untuk menjadi anak orang lain yang
16 Hasil wawancara dengan Bpk Drs.H. Indra Zulian Efwan Tokoh adat Lampung Pesisir di
Kecamatan Talang Padang, 26 Januari 2019 17
Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, (Jakarta: Fajar Agung, 1978), 34 18 Hasil wawancara dengan Bpk Drs.H. Indra Zulian Efwan Tokoh adat Lampung Pesisir di
Kecamatan Talang Padang, 26 Januari 2019
xxiii
akan memperkuat keturunan orang lain. 19
Apabila keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka keluarga tersebut
mengadopsi anak laki-laki dari kerabatnya yang kurang mampu. Hubungan
kekerabatan anak yang telah diangkat tersebut dengan orang tua kandungnya
terputus kecuali hubungan darah. Apabila hanya memiliki anak perempuan
dan tidak ingin keturunannya terputus maka pihak perempuan akan
mengambil anak laki-laki untuk dijadikan suami anak perempuannya.20
Dalam hal ini pihak keluarga perempuan melakukan upacara adat
pengangkatan anak laki-laki tersebut dengan ditandai oleh pemberian gelar
dalam upacara adat. Setelah perkawinan kedudukan suami dan isteri terhadap
penggunaan harta waris adalah sejajar, sedangkan yang berhak menguasai
harta warisan adalah anak laki-laki dari keturunan mereka. Namun apabila
dikemudian hari si isteri meninggal dunia, dan belum memiliki keturunan,
maka putuslah garis keturunan sampai di situ saja, anak laki-laki yang telah
diangkat sebagai anak mentuha ia tidak berhak terhadap harta warisan karena
walaupun sudah diangkat secara adat, akibat meninggalnya si isteri maka
suami dianggap sudah keluar dari kekerabatan keluarga besar isteri. 21
Kajian hukum waris adat Lampung Pesisir tersebut membutuhkan
kajian lebih mendalam khususnya dalam pandangan hukum Islam. Hukum
kewarisan Islam adalah hukum kewarisan yang diatur dalam al- Qur‟an dan
Sunnah Rasul SAW serta dalam kitab-kitab fiqh sebagai hasil ijtihad para
19 Ibid 20 Hasil wawancara dengan Bpk Muharlin Asfa Warga Pekon Negri Agung Kecamatan
Talang Padang Kabupaten Tanggamus, 27 Januari 2019 21 Hasil wawancara dengan Bpk Muharlin Asfa Warga Pekon Negri Agung Kecamatan
Talang Padang Kabupaten Tanggamus, 27 Januari 2019
xxiv
fuqaha‟ dalam memahami ketentuan al-Qur‟an dan Sunnah Rasul SAW.22
Dengan demikian Hukum Waris Islam merupakan bagian dari Agama Islam,
karena itu tidaklah salah apabila dikatakan bahwa ketundukan umat Islam
terhadap Hukum Waris Islam merupakan bahagian yang tidak dapat
dipisahkan dari keimanannya.
Permasalahan mengenai hukum waris adat yang berlaku di Lampung
Pesisir perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut khususnya dalam kacamata
ilmu hukum Islam. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk
melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai “ Proses Pembagian Warisan
Adat Lampung Pesisir Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Kasus di
Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus).
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Bagaimanakah proses
pembagian harta waris menurut hukum adat masyarakat Lampung Pesisir
ditinjau dari Hukum Islam?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan sistem pembagian harta waris menurut hukum
adat masyarakat Lampung Pesisir.
2. Untuk mendeskripsikan sistem pewarisan adat Lampung Pesisir ditinjau
dari hukum Islam.
22 Effendi Perangin, Hukum Waris., 3
xxv
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat dalam bidang teoritis
maupun dalam bidang praktis. Adapun manfaat penelitian yang diharapkan
sesuai dengan fokus penelitian adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Secara Teoritis
Penelitian ini memberi manfaat teoritis yang berupa sumbangan
bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan
hukum adat dan hukum waris adat.
2. Manfaat Secara Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi:
a. Peneliti
Memberikan pengalaman berfikir ilmiah melalui penyusunan
dan penelitian Skripsi, sehingga dapat menambah pengetahuan,
pengalaman dan menambah wawasan dalam bidang hukum perdata.
b. Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan
bagi pengembangan keilmuan yang diharapkan dapat diambil
manfaatnya oleh pembaca serta referensi penelitian selanjutnya, dan
memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat tentang pembagian
harta waris adat Lampung pesisir ditinjau dari hukum Islam.
c. Akademis
Hasil kajian ini dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan
xxvi
atau bahan rujukan dalam mengembangkan karya-karya ilmiah bagi
insan akademis, baik di kalangan IAIN Metro maupun pihak-pihak lain
yang membutuhkan.
E. Penelitian Terdahulu
Dalam upaya menghindari kesamaan fokus penelitian dan untuk
kepentingan dalam penelitian ini, salah satu cara yang dilakukan peneliti
untuk memperoleh data pendukung adalah dengan mengkaji beberapa
penelitian terdahulu yang telah ada dan yang memiliki kedekatan dengan
tema atau fokus penelitian ini. Penelitian terdahulu tersebut di antaranya
adalah sebagai berikut:
1. Rosmelina, “Sistem Pewarisan Pada Masyarakat Lampung Pesisir Yang
Tidak Mempunyai Anak Laki-Laki (Studi Pada Marga Negara Batin di
Kecamatan Kota Agung Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung)”.23
Masyarakat adat Lampung Pesisir mengutamakan kedudukan anak laki-
laki daripada anak perempuan, karena anak laki-laki sebagai penerus
keturunan si bapak yang ditarik dari satu bapak kandung. Sehingga apabila
dalam suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki agar tidak putus
keturunan maka pihak perempuan akan mengambil anak laki-laki dan
dinikahkan dengan anak perempuannya. Dalam hal ini anak perempuan
mengadakan upacara pengangkatan anak laki-laki tersebut dengan ditandai
oleh pemberian gelar dalam upacara adat tersebut. Dalam hal ini
kedudukan suami dan istri adalah sejajar, namun dalam penguasaan harta
23
http: //Rosmelinash.Skripsi-penelitian-ptk-kti-ba-08.html, diakses minggu Januari
2019
xxvii
sepenuhnya akan dikuasai anak laki- lakinya kelak. Proses pembagian
harta warisan dalam masyarakat Lampung Pesisir dilakukan dengan cara
mufakat. Hal ini menjadi acuan apabila terjadi persengketaan dalam
pembagian harta waris maka akan diselesaikan dengan mencari jalan
keluarnya dengan cara kekeluargaan atau mufakat. Jika terjadi kesulitan
maka keluarga akan menyerahkan ke peradilan adat yang dipimpin oleh
punyimbang adat untuk menyelesaikan masalah yang pada akhirnya akan
menghasilkan keputusan yang dihormati oleh seluruh warga karena
peranan punyimbang masih berpengaruh besar bagi masyarakat adat
setempat.
2. Annisa Tanjung Sari, “Kedudukan Anak Laki-Laki Tertua Dari Hasil
Perkawinan Leviraat dalam Hukum Waris Adat Masyarakat Adat
Lampung Pepadun (Studi Kasus di Kampung Terbanggi Besar Pemerintah
Kabupaten Lampung Tengah)”.24
Anak laki-laki yang lahir dari
pernikahan leviraat atau perkawinan ketiga, anak yang statusnya bukan
sebagai pewaris mayorat laki- laki tertua maka dapat dituakan dengan cara
diperkenalkan/diakui sebagai anak tertua laki-laki dari istri ratu. Dalam hal
menentukan siapa yang berhak menjadi pewaris mayorat laki-laki sangat
berperan penting. Dikarenakan istri ratu melihat adanya dua faktor
penghambat faktor pertama yaitu faktor pendidikan karena pada dasarnya
pendidikan formal membuka wacana pemikiran yang lebih maju. Faktor
kedua apabila bujang menikahi janda ia akan turun derajatnya. Sehingga
24
http: //AnnisaTanjungSarishi.Skripsi-penelitian-ptk-kti-bag-08.html, diakses Minggu
20 Januari 2019
xxviii
anak laki-laki yang dilahirkannya tidak berhak menjadi pewaris. Maka
apabila istri pertama belum juga melahirkana anak laki-laki suami akan
menikah lagi sampai mendapatkan anak laki-laki.
xxix
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Pembagian Harta Waris Menurut Islam
1. Pengertian Harta Waris
Hukum Kewarisan Islam atau yang dalam kitab-kitab fikih biasa
disebut faraid adalah hukum kewarisan yang diikuti oleh umat Islam
dalam usaha mereka menyelesaikan pembagian harta peninggalan keluarga
yang meninggal dunia. Di beberapa negara berpenduduk mayoritas
beragama Islam, faraid telah menjadi hukum positif, meskipun di
Indonesia hanya berlaku untuk warga negara yang beragama Islam, tidak
berlaku secara nasional. Namun di beberapa negara, hukum tersebut telah
menjadi hukum nasional seperti yang berlaku di Saudi Arabia.Dalam
literatur fiqh Islam, kewarisan (al-mawarits kata tunggalnya al-mirats)
lazim juga disebut denganfara‟idh, yaitu jamak dari kata faridhah diambil
dari kata fardh yang bermakna “ketentuan atau takdir”. Al-fardh dalam
terminologi syar‟i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.25
Secara etimologi, menurut Muhammad Ali Ash- Shabuni, waris
(al-mirats), dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif dari kata
waritsa-yaritsu irtsan-miratsan. Maknanya menurut bahasa ialah
berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu
25
Muhammad Ali Ash-Sahabuni, Al-Mawaris Fisy Syari‟atil Islamiyyah „Ala Dhau „Al-
Kitab wa Sunnah. Terj. A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1995), 33.
xxx
kaum kepada kaum lain.26
Kata “wants" berasal dari bahasa Arab mirats.
Bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang
meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.27
Secara terminologi terdapat beberapa perumusan, misalnya
menurut Ali Ash-Shabuni ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang
yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah atau apa saja yang berupa hak
milik legal secara syar‟i.28
Menurut Wahbah al-Zuhaeli sebagaimana
dikutip oleh Athoilah, waris atau warisan (mirats) sama dengan makna
tirkah yaitu segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang sesudah
wafat, baik berupa harta maupun hak-hak yang bersifat materi dan
nonmateri.29
Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur
segala yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta
kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.30
Dari batasan tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa menurut hukum
Islam, kewarisan baru terjadi setelah pewaris meninggal dunia. Dengan
demikian, pengoperan harta kekayaan kepada yang termasuk ahli waris
pada waktu pewaris masih hidup tidak dipandang sebagai kewarisan.
26
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Terj. Basalamah,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 33 27
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2000), 4. 28
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 21. 29
Ibid., 24. 30
Athoilah, Fikih Waris Metode Pembagian Waris Praktis, (Bandung: Yrama Widya,
2013), 2
xxxi
2. Dasar Hukum Kewarisan Islam
Dasar dan sumber utama dari Hukum Islam sebagai hukum agama
adalah nash dan teks yang terdapat di dalam Alqur‟an dan sunnah Nabi.
Ayat-ayat Al-qur‟an dan sunnah Nabi yang secara langsung mengatur
kewarisan tersebut antara lain dalam Surat an-Nisa ayat 7:
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-
Nisaa: 7)31
Ketentuan dalam ayat di atas merupakan landasan utama yang
menunjukkan, bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-
sama mempunyai hak waris, dan sekaligus merupakan pengakuan Islam,
bahwa perempuan merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan
kewajiban. Tidak demikian halnya pada masa jahiliyah, di mana wanita
dipandang sebagai objek bagaikan benda biasa yang dapat diwariskan.32
Sebagai pertanda yang lebih nyata, bahwa Islam mengakui wanita sebagai
subjek hukum, dalam keadaan tertentu mempunyai hak waris, sedikit
ataupun banyak yang telah dijelaskan dalam beberapa ayat Al-Qur‟an
Surat An-Nisa Ayat 8 berikut:
31
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Diponegoro,
2005), 62 32 Muhammad Daud Ali, Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), 129.
xxxii
Artinya: ”Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat,
anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”. (Q.S.
An-Nisaa: 8)33
Selain itu, pembagian harta warisan juga dapat disebut sebagai
bahan (Penghambaan Diri) adalah melaksanakan hukum waris sesuai
syariat Islam adalah bagian dari ibadah kepada Allah swt Sebagai ibadah,
dan tentunya mendapatkan berpahala bila ditaati seperti menaati hukum-
hukum Islam lainya yang disebutkan dalam surat An Nissa‟: 13-14 sebagai
berikut:34
Artinya: (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan
dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya kedalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-
sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang
besar. dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan. (Q.S. An-Nisaa: 13-14)35
33
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya., 62 34
Muhammad Bushar, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), 10 35
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya., 63
xxxiii
Asas Individual menyatakan harta warisan dapat dibagi kepada
masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam
pelaksanaanya seluruh harta dinyatakan dalam nilai tertentu, kemudian
dibagi- bagikan kepada ahli waris yang dapat menerimanya menurut kadar
bagian masing-masing. Hal ini seterangkan dalam QS. An-Nisaa‟: 8. 36
Artinya: ”Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat,
anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”. (Q.S.
An-Nisaa: 8)37
Selain itu, dasar waris dalam Islam juga berasaskan pada asas
Keadilan yang berimbang mengandung pengertian bahwa harus ada
keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan
dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya
yang diterangkan dalam QS. Al-Baqarah: 233 sebagai berikut:38
36
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2012), 32 37
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya., 62 38
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2012), 32
xxxiv
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan
cara ma'ruf, seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Baqarah: 233)
39
Selain dasar Al Qur‟an, hukum kewarisan Islam juga didasarkan
pada hadis Nabi Muhammad SAW. Hadis Nabi dari Abdullah Ibnu Abbas
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a. bahwa Nabi
SAW pernah bersabda: Berikanlah faraidh (bagian yang ditentukan) itu
kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari
keturunan laki-laki yang terdekat” (H.R. Bukhori).40
3. Syarat dan Rukun Waris dalam Islam
Pada dasarnya pesoalan waris-mewarisi selalu identik dengan
perpindahan kepemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari
pewaris kepada ahli warisnya. Dalam hukum waris Islam penerimaan harta
warisan didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta warisan berpindah dengan
sendirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan pada
39
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya., 29 40
Al-Bukhori, Shohih Bukhoriy, Juz. IV, (Kairo: Daar wa Mathba‟ Asy-Sya‟biy, t.t),
xxxv
kehendak pewaris atau ahli waris. Pengertian tersebut akan terpenuhi
apabila syarat dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang
mewarisi. 41
Ada beberapa syarat yang dipenuhi dalam pembagian harta
warisan. Syarat-syarat tersebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi ada
sebagian yang berdiri sendiri. Dalam hal ini peneliti menemukan 3 syarat
warisan yang telah disepakati oleh ulama, 3 syarat tersebut adalah: 42
a. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki hukumnya
(misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
b. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris
meninggal dunia.
c. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.
Adapun rukun waris yang harus terpenuhi pada saat pembagian
harta warisan. Dalam bukunya Fachtur Rahman, Ilmu Waris, disebutkan
bahwa rukun waris dalam hukum kewarisan Islam diketahui ada 3 macam
yaitu: 43
a. Muwaris yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang
yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris harus benar-
benar telah meninggal dunia. Kematian muwaris itu, menurut ulama
dibedakan menjadi 3 macam yaitu:
1) Mati Haqiqy (mati sejati)
41
Muhammad Daud Ali, Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), 129. 42
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ekonisia,
2005), 24-25. 43
Muhammad Ali As-Sahbuni, Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (Bandung: CV
Diponegoro, 1995), 49.
xxxvi
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang
diyakini tanpa membutuhkan keputusan hakim dikarenakan
kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca
indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
2) Mati Hukmy (mati menurut hakim atau yuridis)
Mati Hukmy (mati menurut hakim atau yuridis) adalah
suatu kematian yang dinyatakan atas dasar keputusan hakim
karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan
hakim secara yuridis muwaris dinyatakan meninggal meskipun
terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut Malikiyyah
dan Hambaliyah apabila lama meninggalkan tempat itu
berlangsung selama 4 tahun sudah dinyatakan mati. Menurut
pendapat ulama lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam
melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi
kemungkinannya.
3) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan)
Mati Taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah
kematian (muwaris) berdasarkan dugaan keras, misalkan dugaan
seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa meminum
racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan
dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap
ibunya.
b. Waris (ahli waris) yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan
xxxvii
kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda
atau hubungan perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya.
Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris benar-
benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang
masih dalam kandungan (al-haml) terdapat juga syarat lain yang harus
dipenuhi, yaitu antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan
saling mewarisi.
c. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah
dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan
wasiat.44
4. Fungsi dan Tujuan Waris dalam Islam
Tujuan utama dari Hukum waris yang dibawa oleh Islam
sebagaimana termaktub dalam al-Quran dan Hadis adalah memberikan
suatu kepastian hukum bagi umat Islam untuk menyelesaikan berbagai
masalah waris.45
Dalam bahasa agama, tujuan atau fungsi diistilahkan
sebagai hikmah. Hikmah dan faedah yang terkandung dalam hukum waris
sangat besar mengingat ketentuan-ketentuannya terkandung dalam
beberapa ayat dalam al-Quran. Secara global dapat dirasakan bahwa
hukum waris dapat menguatkan hubungan kekerabatan dan perasaan
alamiah sejak lahir.46
Manusia terlahir ke dunia ini tentunya melalui
sebuah keluarga. Keluargalah yang secara tulus menyayangi anak
44
Ibid., 26. 45
Munadi Usman, “Al-Quran dan Transformasi Sistim Waris Jahiliyah”, Jurnal Sarwah,
Vol. XV, No.1, 2016, 1-10. 46
Ali Ahmad Al Jurjawi, Hikmah di Balik Hukum Islam (Buku kedua), alih Bahasa Erta
Mahyudin Firdaus, (Jakarta; Mustaqiim, 2003), 226.
xxxviii
semenjak lahir serta bersedia menemaninya sampai kapanpun untuk
menjadi orang-orang terdekat. Oleh karena itulah, Islam semakin
memupuk semangat kekerabatan dengan hubungan waris.
Allah telah menciptakan mahluknya yang bernama manusia
secara berpasang pasangan. Allah juga mensyariatkan adanya pernikahan
antara laki-laki dan perempuan sebagai upaya legalisasi hubungan antara
keduanya. Allah juga menjadikan hubungan perkawinan sebagai salah satu
sebab seseorang memperoleh hak waris. Di antara hikmahnya adalah
bahwa masing-masing dari suami maupun istri merupakan penolong antara
satu dengan yang lain dalam menjalani dinamika kehidupan, mulai dari
mengatur rumah, mendidik anak dan apa yang diberikan kepada mereka.
Oleh karena itu, tidak pantas bagi mereka untuk tidak mendapat bagian
dari harta warisan.
Hikmah lainnya adalah ketika ada seorang suami yang wafat
meninggalkan istri yang sudah tua dan tidak mungkin untuk menikah lagi
dengan seseorang yang dapat memberinya nafah untuk kehidupan
selanjutnya, maka dia dapat hidup dengan harta waris dari suaminya. Atau
ketika seorang suami meninggalkan istri yang miskin, paling tidak harta
waris dari suaminya bisa menjadi nafkah bagi istri tersebut hingga selesai
masa iddahnya.
Pelaksanaan pembagian warisan Islam adalah bernilai ibadah
kepada Allah SWT. Pembagian warisan ini adalah salah satu perbuatan
xxxix
manusia dalam rangka mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.47
Selain
itu sistem kewarisan Islam adalah hukum kewarisan yang bersumber dari
al-qur‟an dan sunnah, ijmak, dan ijtihad sebagaimana telah diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI), kemudian dasar berlakunya bagi
masyarakat Muslim yakni Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991
tentang penyebarluasan dan pelaksanaan KHI. Prinsip Ketauhidan
merupakan kesadaran keimanan dalam diri manusia terhadap hukum-
hukum yang diciptaka oleh Allah SWT. Sehingga dalam melaksanakan
sistem hukum kewarisan Islam dengan prinsip ketauhidan merupakan
bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya melalui pengamalan Al-
qur‟an dan As- Sunnah.
Menurut Muhammad Amin Suma, hukum kewarisan Islam sesuai
dengan namanya yakni faraid dan hukum waris secara umum dan
keseluruhan, memiliki nilai yang sangat filosofis, norma yang sangat
mendasar dan baku serta mengandung hikmah positif yang sangat jelas.
Terutama terkait dengan keadilannya di samping asas-asas kepastian
hukum dan asas manfaat.48
Asas keadilan dalam hukum kewarisan Islam mengandung
pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh ahli
waris dengan kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditunaikannya.
Karena itu arti keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari
47
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 19 48
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks
dan Konteks, 109-110. Lihat juga sumber aslinya Rasyid Muhammad Ridha, Tafsir Alquran
al-Ahkam (Tafsir al-Manar), vol. 4 (t.t: t.p., t.t), 406.
xl
kesamaan tingkatan antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan besar-
kecilnya beban atau tanggung jawab diembankan kepada mereka, ditinjau
dari keumuman keadaan manusia. Jika dikaitkan dengan definisi keadilan
yang dikemukakan Amir Syarifuddin sebagai "keseimbangan antara hak
dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan
dan kegunaan", atau perimbangan antara beban dan tanggung jawab di
antara ahli waris yang sederajat, maka kita akan melihat bahwa keadilan
akan nampak pada pelaksanaan pembagian harta warisan menurut Islam.49
Melaksanakan pembagian warisan sesuai hukum Islam
merupakan perbuatan akhlak yang sesuai perintah Allah SWT. dalam Al-
qur‟an, pada hakikatnya adalah mengaplikasikan ajaran agama Islam.
Karena keberagaman seseorang diukur dari akhlaknya. Adapun tujuan
pembagian warisan Islam yang menimbulkan nilai- nilai akhlak yang
tinggi adalah:
a. Melaksanakan atau menunaikan perintah Al-qur‟an.
b. Memberikan kemaslahatan bagi kehidupan keluarga.
c. Menjaga keharmonisan demi keutuhan kehidupan keluarga.
d. Melakukan proses peralihan dan perolehan hak secara benar dan
bertanggung jawab.
e. Menghindari terjadinya konflik dalam rumpun keluarga.
f. Memperkuat persaudaraan dalam keluarga dan masyarakat.
49
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), 21
xli
g. Mengangkat harkat dan martabat keluarga di kalangan masyarakat50
5. Bagian-bagian Ahli Waris dalam Islam
Harta waris dibagikan jika memang orang yang telah mati itu
meninggalkan harta yang berguna bagi orang lain. Namun sebelum harta
warisan itu diberikan kepada ahli waris, ada tiga hal yang terdahulu mesti
dikeluarkan, yaitu: 51
a. Segala biaya yang berkaitan dengan proses pemakaman jenazah
b. Wasiat dari orang yang meninggal
c. Hutang piutang sang mayit.
Ketika tiga hal di atas telah terpenuhi barulah pembagian harta
waris diberikan kepada keluarga dan juga para kerabat yang berhak.
Apabila dicermati, hukum waris Islam membagi ahli waris menjadi dua
macam yaitu:
a. Ahli waris Nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya
timbul karena ada hubungan darah. Maka sebab nasab menunjukkan
hubungan kekeluargaan antara pewaris dengan ahli waris.
b. Ahli waris sababiyah yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena
sebab tertentu.
1) Perkawinan yang sah
2) Memerdekakan hamba sahaya atau karena perjanjian tolong menolong.
Macam-macam ahli waris dapat digolongkan menjadi beberapa
golongan yang ditinjau dari jenis kelaminnya, dan dari segi haknya atas
50
Ibid 51
Ibid., 26.
xlii
harta warisan. Jika ditinjau dari jenis kelaminnya, maka ahli waris terdiri
dari dua golongan yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. 52
Sedangkan jika ditinjau dari segi hak atas harta warisan maka ahli waris
terdiri dari 3 golongan yaitu al-dzawilfurudl, „ashabah, dan dzawil
arham.53
Adapun besar kecilnya bagian yang diterima bagi masing-masing
ahli waris dapat dijabarkan sebagai berikut. Pembagian harta waris dalam
Islam telah ditentukan dalam Al-Qur‟an surat an-Nisa‟ secara gamblang
dan dapat disimpulkan bahwa ada 6 tipe persentase pembagian harta waris,
yaitu ada pihak yang mendapatkan setengah (1/2), seperempat (1/4),
seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam
(1/6).54
a. Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan
warisan separuh (1/2)
1) Seorang suami yang ditinggalkan istri dengan syarat ia tidak
memiliki keturunan anak laki-laki maupun perempuan, walaupun
keturunan tersebut tidak berasal dari suaminya kini (anak tiri).
2) Seorang anak kandung perempuan dengan 2 syarat yaitu pewaris
tidak memiliki anak laki-laki, dan anak tersebut merupakan anak
tunggal.
3) Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan 3 (tiga)
52
Muhammad Ali As Sahbuni, Hukum Waris., 49. 53
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, ed. revisi, (Yogyakarta: UII Press, 2001),
34. 54
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), 24.
xliii
syarat yaitu apabila cucu tersebut tidak memiliki anak laki-laki, dia
merupakan cucu tunggal, dan apabila pewaris tidak lagi
mempunyai anak perempuan.
4) Saudara kandung perempuan dengan syarat: ia hanya seorang diri
(tidak memiliki saudara lain) baik perempuan ataupun laki-laki,
dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek ataupun keturunan
baik laki-laki maupun perempuan.
5) Saudara perempuan se-ayah dengan syarat: apabila ia tidak
mempunyai saudara (hanya seorang diri), pewaris tidak memiliki
saudara kandung naik perempuan maupun laki-laki dan pewaris
tidak memiliki ayah atau kakek dan keturunan.
b. Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak
mendapatkan warisan seperempat (1/4) yaitu seorang suami yang
ditinggal oleh istrinya dan begitu pula sebaliknya. 55
1) Seorang suami yang ditinggalkan dengan syarat, istri memiliki
anak atau cucu dari keturunan laki-lakinya, tidak peduli apakah
cucu tersebut darah dagingnya atau bukan.
2) Seorang istri yang ditinggalkan dengan syarat, suami tidak
memiliki anak atau cucu, tidak peduli apakah anak tersebut
merupakan anak kandung dari istri tersebut atau bukan.
c. Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan
waris seperdelapan (1/8) yaitu istri yang ditinggalkan suaminya yang
55
Abdul Ghofur Anshori, Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan., 52.
xliv
mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut berasal dari rahimnya
atau bukan.56
d. Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak
mendapatkan waris dua pertiga (2/3). 57
1) Dua orang anak kandung perempuan atau lebih, dimana dia tidak
memiliki saudara laki-laki (anak laki-laki dari pewaris).
2) Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan
syarat pewaris tidak memiliki anak kandung, dan dua cuc
tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.
3) Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) dengan syarat
pewaris tidak memiliki anak, baik laki-laki maupun perempuan,
pewaris juga tidak memiliki ayah atau kakek, dan dua saudara
perempuan kandung tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.
4) Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) dengan syarat
pewaris tidak mempunyai anak, ayah atau kakek ahli waris yang
dimaksud tidak memiliki saudara kandung.58
e. Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak
mendapatkan waris sepertiga (1/3)
1) Seorang ibu dengan syarat pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-
laki dan keturunan anak laki-laki. Pewaris tidak memiliki dua atau lebih
saudara (kandung atau bukan).
2) Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih
56
Ibid., 52. 57
Ibid., 53. 58
Ibid., 54.
xlv
dengan syarat pewaris tidak memiliki anak, ayah atau kakek dan jumlah
saudara seibu tersebut dua orang atau lebih.59
Seseorang berhak mendapatkan sejumlah harta warisan
apabila terdapat salah satu sebab yaitu: Kekeluargaan, Perkawinan,
Karena memerdekakan budak, Hubungan Islam orang yang meninggal
dunia apabila tidak mempunyai ahli waris, maka harta peninggalannya
diserahkan ke baitul mal untuk umat Islam dengan jalan pusaka. 60
Sedangkan seebab-sebab seseorang tidak berhak mendapatkan
warisan adalah karena: (1) Hamba. Seorang hamba tindakan mendapat
warisan dari semua keluarganya yang meninggal dunia selama ia masih
berstatus hamba. (2) Pembunuh. Seorang pembunuh tidak memperoleh
warisan dari orang yang dibunuhnya. (3) Murtad. Orang yang murtad tidak
mendapat warisan dari keluarganya yang masih beragama Islami, (4) Orang
non muslim. Orang non muslim tidak berhak menerima warisan dari
keluarganya yang beragama Islam dan begitu pula sebaliknya, orang muslim
tidak berhak menerima harta warisan dari orang non muslim (kafir).
B. Konsep Hukum Waris Adat
1. Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan
59
Ibid. 60
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995)
11.
xlvi
barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriaele gordere) dari
suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya.61
Soerojo wignjodipoero dalam bukunya “Pengantar dan Asas-asas
hukum adat memberikan rumusan tentang hukum waris adat sebagai
berikut: “Hukum waris adat meliputi norma-norma hukum yang
menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang immateriil
yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunanya
serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihanya”.62
Hukum waris dalam arti luas yaitu penyelenggaraan,
pemindahtanganan, dan pemeliharaan harta kekayaan kepada generasi
berikutnya.63
Istilah waris di dalam kelengkapan istilah hukum waris adat
diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia,
dengan pengertian bahwa di dalam hukum waris adat tidak semata-mata
hanya akan menuraikan tentang waris dalam hubungannya denga ahli
waris, tetapi lebih luas dari itu. 64
Hukum waris adat juga dapat dikatakan sebagai hukum adat yang
memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris,
tentang harta warisan. Pewaris dan ahli waris serta acara bagaimana harta
warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada
61
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1993), 67. 62
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, cetakan ke XIV,
(Jakarta: Gunung Agung, 1995), 81. 63
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Alumni, 1983), 7. 64
Ibid, 211.
xlvii
ahli waris. Hukum waris sesungguhnya adalah hukum penerusan harta
kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. 65
Menurut Hilman Hadikusuma, digunakannya istilah hukum waris
adat dalam hal ini dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum
waris barat, hukum waris Islam, hukum waris Indonesia, hukum waris
nasional, hukum waris Minangkabau, hukum waris Batak, hukum waris
Jawa dan sebagainya. 66
Pengertian mengenai hukum waris adat tersebut di atas
mengantarkan pada suatu pernyataan bahwa hukum waris adat adalah
suatu proses mengenai pengalihan dan penerusan harta kekayaan baik
yang bersifat materil maupun immateril dimana pengalihan dan penerusan
harta kekayaan tersebut dilakukan oleh suatu generasi kepada generasi
berikutnya.
2. Sistem Pewarisan dan Keturunan dalam Hukum Waris Adat
Dalam hukum waris adat berlaku suatu asas bahwa hanyalah hak
dan kewajiban saja yang dalam lapangan hukum harta kekayaan yang
dapat diwariskan termasuk hutang-piutang pewaris, bahwa apabila seorang
meninggal dunia, maka seketika itu juga hak dan kewajibannya beralih
pada ahli warisnya. Di dalam kehidupan bermasyarakat, jika kita berbicara
mengenai seseorang yang meninggal dunia, maka jalan pikiran kita akan
menuju kepada permasalahan pewarisan. Dalam hukum adat mengenal
tiga sistem pewarisan, yaitu:
65
Ibid., 19. 66
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandar Lampung:
Mandar Maju, 1992), 214.
xlviii
a. Sistem pewarisan individual, yakni apabila harta warisan dibagi-bagi
dan dapat dimiliki secara perorangan dengan “hak milik”, berarti setiap
waris berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya atau juga
mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka kewarisan
demikian itu disebut “kewarisan individual”. Sistem kewarisan ini yang
banyak berlaku di kalangan masyarakat yang parental.67
Kebaikan dari
sistem ini adalah bahwa dengan pemilikan secara pribadi maka ahli
waris dapat bebas menguasai dan memiliki harta warisan bagaimana
untuk dipergunakan sebagai modal kehidupannya yang lebih lanjut
tanpa dipengaruhi anggota-anggota keluarganya yang lain. Sedangkan
kelemahannya adalah pecahnya harta warisan dan merenggangnya tali
kekerabatan yang dapat berakibat timbulnya hasrat ingin memiliki
kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri sendiri.
b. Sistem pewarisan kolektif, yakni, apabila para waris mendapatkan harta
peninggalan yang diterima mereka secara kolektif (bersama) dari
pewaris yang tidak terbagi-bagi secara perorangan, maka kewarisan
demikian itu disebut kewarisan kolektif. Menurut kewarisan kolektif ini
para ahli waris tidak boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi,
melainkan diperbolehkan untuk memakai, mengusahakan atau
mengolah dan menikmati hasilnya. Pada umumnya sistem kewarisan
kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur disebut “harta pusaka”,
berupa sebidang tanah dan atau barang pusaka. Kebaikan dari sistem ini
67
Hilman Hadikusuma, Pengatar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
1992)
xlix
masih nampak apabila fungsi harta kekayaan diperuntukkan bagi
kelangsungan hidup keluarga besar untuk sekarang dan yang akan
datang masih tetap berperan tolong-menolong di antara sesama di
bawah pimpinan kepala kerabat dengan rasa penuh tanggung jawab
masih tetap terpelihara, dibina dan dikembangkan. Sedangkan
kelemahan sistem ini adalah menumbuhkan cara berpikir yang terlalu
sempit, karena tidak selamanya suatu kerabat mempunyai
kepemimpinan yang dapat diandalkan dan aktifitas kehidupan yang
semakin meluas bagi para anggota kerabat, maka rasa setia kawan, serta
kerabat bertambah luntur.
c. Sistem pewarisan mayorat, yakni apabila harta warisan yang tidak dapat
dibagi-bagi dan hanya dikuasai oleh anak tertua, yang berarti hak pakai,
hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak
tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-
adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri.68
Sistem kewarisan mayorat ini ada dua yaitu:
1) Mayorat laki-laki yaitu anak laki-laki sulung merupakan anak laki-
laki tertua pada saat pewaris meninggal dunia atau anak laki-laki
sulung merupakan ahli waris tunggal. Di daerah lampung beradat
perpaduan seluruh harta peninggalan dimaksud oleh anak tertua
lelaki yang disebut “anak punyimbang”
2) Mayorat perempuan yaitu anak perempuan tertua pada saat pewaris
68
Ibid.
l
meninggal dunia merupakan ahli waris tunggal. Di daerah Semendo
Sumatera Selatan seluruh harta peninggalan dikuasai oleh anak
wanita yang disebut “tunggu tubing” (penunggu harta) yang
didampingi “payung jurai”.69
Secara teoritis sistem keturunan itu dapat dibedakan dalam tiga
corak, yaitu:
a. Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhya dari
kedudukan wanita di dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias,
Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).
b. Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan pria di dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor).
c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik
menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu),
dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam
pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi
dan lain-lain).
3. Ahli Waris dalam Hukum Waris Adat
Ahli waris dalam sistem hukum waris adat adalah sebagai berikut:
a. Anak kandung
Anak kandung yang merupakan keturunan dari pewaris
69
Ibid.
li
merupakan golongan ahli waris yang terpenting. Hal ini dikarenakan
pada hakekatnya anak merupakan satu-satunya golongan ahli waris
yang utama, sebab- sebab lain-lain anggota keluarga tidak menjadi ahli
waris jika pewaris memiliki keturunan. Soejono Wignjodipoero,
mengemukakan bahwa:
Dalam hukum adat anak-anak dari si peninggal warisan
merupakan golongan ahli waris yang terpenting oleh karena mereka
pada hakekatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris, sebab
lain-lain anggota keluarga, tidak menjadi ahli waris apabila si
peninggal warisan meninggalkan anak-anak.70
Meskipun anak kandung merupakan ahli waris yang utama,
namun di beberapa daerah terdapat perbedaan hukum waris yang
berlaku mengenai anak sebagai ahli waris dari orang tuanya. Hal ini
ditegaskan oleh Hilman Hadikusuma, di beberapa daerah terdapat
hukum waris adat yang berlaku mengenai kedudukan anak sebagai
pewaris dari orang tuanya. Disamping itu terdapat pula perbedaan
antara anak laki-laki dan perempuan dalam pewarisan atau juga anak
sulung, anak tengah, anak bungsu, dan anak pengkalan. Tetapi betapa
pun perbedaannya namun pada umumnya di Indonesia ini menganut
asas kekeluargaan dan kerukunan dalam pewarisan.71
Perbedaan kedudukan anak sebagai ahli waris di beberapa
daerah disebabkan garis kekeluargaan dari masyarakat yang
70
Soejono Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung
Agung,1995), 228. 71
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Alumni, 1983), 77.
lii
bersangkutan, yaitu sifat keibuan (matrilineal), sifat kebapakan
(patrilineal) dan sifat keibu-bapakan (parental).
b. Anak tiri
Anak tiri merupakan anak bawaan ke dalam suatu perkawinan
ke dua kalinya dari wanita atau pria dan kedudukannya sebagai anak
kandung dari pria atau wanita tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari
anak tiri dapat ikut menikmati kesejahteraan rumah tangga bersama
bapak tiri dan ibu kandungnya atau sebaliknya dengan saudara-saudara
tirinya. Hal ini disebabkan dalam Yurisprudensi Landraan Purworejo
tanggal 14 Agustus 1937, disebutkan bahwa: “Anak tiri tidak berhak
atas warisan bapak tirinya, tetapi ia ikut mendapat penghasilan dan
bagian dari harta peninggalan bapak tiri yang diberikan kepada ibu
kandungnya sebagai nafkah janda”.
c. Anak angkat
Dalam masyarakat adat Indonesia terdapat kebiasaan dari
keluarga yang telah lama kawin dan tidak dianugerahi anak,
mengangkat anak saudara dengan harapan nantinya akan dianugerahi
anak. Bagi suami isteri yang beragama Islam yang telah menggunakan
anak orang lain sebagai keluarganya sendiri, tetapi tidak memutuskan
pertalian darah anak angkat terhadap orang tua kandungnya. Di
berbagai daerah di Indonesia dalam lingkungan hukum adat kedudukan
dari anak angkat berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang
lain. Di suatu daerah ada yang mendudukan anak angkat tersebut pada
liii
posisi yang kuat, artinya anak angkat itu mewarisi dari orang tua
angkatnya.
Dikarenakan tidak mempunyai keturunan anak dan tidak ada
anak lelaki sebagai penerus keturunan dilingkungan masyarakat
partilineal atau tidak ada anak perempuan penerus keturunan
dilingkungan masyarakat matrilineal, maka diangkatlah kemenakan
bertali darah. Di karenakan adat perkawinan setempat seperti berlaku
didaerah Lampung antara wanita Lampung dengan orang luar daerah
di dalam perkawinan memasukan menantu (ngurukken mengiyan),
maka di angkatlah si menantu menjadi anak angkat dari salah satu
kepala keluarga anggota kerabat, sehingga si suami menjadi anak adat
dalam hubungan bertali darah.72
Mengenai kedudukan anak angkat dalam hukum waris dapat
dilihat dari latar belakang atau sebab terjadinya anak angkat tersebut.
Pada umumnya pengangkatan anak dilakukan karena alasan-alasan
sebagai berikut:
1) Tidak mempunyai keturunan
2) Tidak ada penerus keturunan
3) Menurut adat perkawinan setempat
4) Hubungan baik dan tali persaudaraan
5) Rasa kekeluargaan dan perikemanusiaan 73
72
Ibid., 89. 73
Ibid.
liv
Menurut Hilman Hadikusuma, anak dinyatakan sebagai anak
tidak sah, apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) Anak dari kandungan ibu sebelum terjadi pernikahan.
2) Anak dari kandungan ibu setelah bercerai lama dari suaminya
3) Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan perkawinan sah
4) Anak dari kandungan ibu karena berbuat zina dengan orang lain
d. Janda atau duda
Janda atau duda dalam kewarisan adat sangat ditentukan oleh
bentuk perkawinan yang mereka pakai. Untuk lebih jelasnya akan
diuraikan lebih lanjut tentang kedudukan janda/duda berdasarkan
bentuk perkawinannya, yaitu:
1) Janda/duda dalam sistem patrilineal
Dalam sistem patrilineal bentuk perkawinan yang lazim
dipakai adalah bentuk perkawinan jujur, maka kekuasaan terhadap
harta kekayaan berada dipihak suami. Berkaitan dengan ini Hilman
Hadisukuma menyatakan bahwa: Janda di daerah Batak, Lampung
dan Bali dalam bentuk perkawinan memakai jujur setelah wafat
suaminya tetap berkedudukan di tempat kerabat suami, ia tetap
berhak menikmati harta kekayaan yang ditinggalkan suami
walaupun ia bukan waris dari suaminya.74
2) Janda/duda dalam sistem matrilineal
25
Ibid.. 94.
lv
Dalam sistem matrilineal, duda tidak mempunyai hak waris
dari kekayaan isterinya yang meninggal dunia, karena ia bukan
merupakan orang yang berasal dari kelompok dari pihak isteri,
melainkan orang lain dibawa masuk ke dalam keluarga isteri.
e. Para ahli waris lainnya
Dalam hukum adat anak-anak dari si peninggal warisan
merupakan golongan ahli waris yang terpenting oleh karena mereka
pada hakekatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris, sebab
lain-lain anggota keluarga, tidak menjadi ahli waris, apabila si
peninggal warisan meninggalkan anak-anak, jadi dengan adanya anak-
anak maka kemungkinan lain-lain anggota keluarga dari si peninggal
warisan untuk menjadi ahli waris menjadi tertutup”.
Ahli waris lainnya baru memperoleh haknya apabila orang yang
meninggal dunia tidak memiliki ahli waris utama. Tentang masalah ini
dilihat pula garis keturunan yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Hal ini dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma yang mengemukakan
bahwa: Di lingkungan masyarakat bergaris kebapakan sudah jelas
bahwa jalur waris adalah anak-anak laki-laki ke bawah, jika tidak ada
anak laki-laki maka anak perempuan yang ada yang dapat dijadikan
laki-laki atau dengan mengambil laik-laki lain untuk kemudian
mendapatkan keturunan laki-laki, jika tidak ada saudara-saudara
pewaris yang terdapat atau yang jauh sesuai dengan pemufakatan
kekerabatan. Segala sesuatu yang menyangkut pewarisan ini diatur dan
lvi
diawasi oleh anak laki-laki sebagaimana di daerah lampung oleh anak
lelaki tertua dari keturunan tertua yang disebut penyimbung di
lingkungan masyarakat yang bergaris keibuan dasarnya yang menjadi
ahli waris adalah kaum wanita anak-anak wanita dan keturunan
wanitanya.
Dan jika tidak ada anak perempuan, maka anak-anak laki-laki
dapat juga dijadikan wanita atau mengangkat anak wanita dari sudara-
sudara terdekat. Segala persolan yang menyangkut pewaris di atur dan
diawasi oleh paman, saudara lelaki dari ibunya yang di Minangkabau
disebut mamak kapala waris atau didaerah Semendo disebut payung
jurai Di lingkungan sebagaimana yang bergaris kebapak-ibuan, di
mana sistem pewarisan bukan kolektip melainkan individual
sebagaimana berlaku di lingkungan masyarakat Jawa dan beberapa
daerah lainnya yang menjadi ahli waris adalah tidak saja kaum pria,
tetapi juga kaum wanita yang ada hubungan pertalian darah dan
kekeluargaan dengan pewaris.
lvii
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode penelitian hakekatnya memberikan pedoman tentang cara-
cara seseorang mempelajari, menganalisis dan memahami lingkungan yang
dihadapinya. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan deskriptif kualitatif
yaitu penelitian yang mengedepankan penelitian data dengan berlandaskan
pada pengungkapan apa-apa yang diungkapkan oleh responden dari data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambaran dan bukan angka-angka. Dengan
kata lain metode kualitatif sebagai metode penelitian yang menghasilkan
kata-kata teoritis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. 75
Penelitian deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan suatu keadaan atau
fenomena-fenomena apa adanya. Sedangkan metode deskriptif kualitatif
diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian pada saat
sekarang berdasarkan fakta- fakta yang nampak atau sebagaimana adanya. 76
Berdasarkan definisi di atas yang dimaksud penelitian kualitatif
adalah penelitian untuk membahas gambaran yang lebih jelas mengenai
situasi-situasi sosial atau kejadian sosial dengan menganalisa dan menyajikan
fakta secara sistematik sehingga dapat dengan mudah dipahami dan
disampaikan tanpa melakukan perhitungan statistik.
Metode ini dipilih karena lebih mampu menemukan definisi situasi
dan gejala-gejala sosial dari subyek, prilaku, motif-motif subyektif, perasaan
dan emosi yang diamati, merupakan definisi situasi subyek yang diteliti.
Maka subyek akan dapat diteliti secara langsung. Selain itu metode ini dapat
meningkatkan penajaman peneliti terhadap cara subyek memandang dan
menginternalisasikan kehidupannya, karena itu berhubungan dengan subyek
dan dunianya sendiri bukan dalam dunia yang tidak wajar yang diciptakan
oleh peneliti.
75 Lexy J Moleong , Metodologi Peneltian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2003), 4. 76
Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, Jilid 1, (Jakarta: Rajawali Press,
1992), 18.
lviii
Penelitian dengan model kualitatif memiliki enam ciri antara lain : 1)
memperdulikan konteks atau situasi (concern for content), 2) berlatar ilmiah
(natural setting), 3) instrument utama adalah manusia (human instrument), 4)
data bersifat deskriptif (deskriptif data), 5) rancangan penelitian muncul
bersamaan dengan pengamatan, 6) analisis data secara induktif (inductive
analysis). 77
Dalam penelitian kualitatif, peneliti berupaya mendeskripsikan sesuai
dengan fokus penelitian dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan
sebelumnya. Penggunaan pendekatan kualitatif ini adalah untuk memahami
makna peristiwa, situasi sosial, tingkah laku manusia dan latar belakang
alamiah secara holistik kontekstual.
B. Sumber Data
Data adalah keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar
kajian (analisis atau kesimpulan), data dapat digolongkan menjadi dua
macam, data kualitatif dan data kuantitatif.78
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah data yang sesuai dengan fokus penelitian.
Sumber data adalah subjek dari mana data diperoleh, dalam penelitian
kualitatif jumlah sumber data bukan kriteia utama, tetapi lebih ditekankan
kepada sumber data yang dapat memberikan informasi yang sesuai dengan
tujuan penelitian. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-
kata, dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan
lain- lain.79
Penelitian ini peneliti menggunakan dua sumber data yaitu:
1. Sumber data primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti
dari sumber pertamanya yaitu pemangku adat, serta beberapa warga suku
77 Lexy J Moleong , Metodologi Peneltian Kualitatif., 29 78 Wahidmurni, Cara Mudah Menulis Proposal Dan Laporan Penelitian Lapangan,
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif: Skripsi, Tesis dan Disertasi. (Malang: UMPress, 2008), 41.
79 Lexy, J. Moleong, Metodologi Penelitian., 157.
lix
lampung pesisir sebagai calon muwaris dan ahli waris di Pekon Negeri
Agung Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus
2. Sumber data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti
sebagai penunjang dari sumber pertama. Data ini berupa dokumen-
dokumen , laporan kegiatan, dan data warga.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis data
kualitatif. Karena data yang diperoleh tersebut dapat diukur secara tidak
langsung artinya tidak menggunakan angka melainkan menggunakan kata-
kata atau kalimat.80
Sedangkan sumber data dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Person (nara sumber), merupakan sumber data yang biasa memberikan
data berupa jawaban lisan melalui wawancara. Dalam hal ini peneliti
mendapatkan data-data atau informasi tentang gambaran umum objek
penelitian, karena para nara sumber tersebut dibutuhkan guna kelancaran
skripsi penelitian ini.
2. Place (tempat /lokasi) merupakan sumber data yang bisa menyajikan
tampilan berupa keadaan, dengan penggunaan metode observasi di
Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus seperti letak geografis,
kondisi dan lain sebagainya.
3. Paper (dokumen/arsip) merupakan sumber data yang menyajikan tanda-
tanda berupa huruf, angka, gambar atau simbol lainnya yang ada di
Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus.
C. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh informasi yang jelas, tepat dan lengkap maka
peneliti menggunakan beberapa metode, antara lain :
80 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta : Andi Offset, 1995), 66.
lx
1. Metode Observasi
Observasi adalah cara pengumpulan data dengan cara melakukan
pengamatan secara cermat dan sistematik.81
Jadi dalam penelitian ini
peneliti melakukan pengamatan secara langsung mengenai kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang berkaitan dan mengenai
pandangan secara umum tentang proses pembagian warisan adat Lampung
Pesisir. Observasi akan dilakukan dengan pedoman yang ada dan
dilaksanakan untuk mengetahui seluruh permasalahan penelitian secara
mendalam.
2. Metode Interview/Wawancara
Interview (wawancara) adalah salah satu cara pengumpulan
informasi dengan tanya jawab dengan bertatap muka dengan responden.
Metode Interview atau wawancara adalah untuk mendapatkan informasi
secara langsung dengan cara bertanya secara langsung kepada
responden”.82
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara bebas. Pada wawancara bebas, terjadi tanya jawab bebas antara
pewawancara dan responden, tetapi pewawancara menggunakan tujuan
penelitian sebagai pedoman. Peneliti mengadakan wawancara (interview)
secara langsung maupun tidak langsung kepada pemangku adat serta
beberapa warga suku Lampung Pesisir sebagai calon muwaris dan ahli
waris di Pekon Negeri Agung Kecamatan Talang Padang Kabupaten
Tanggamus untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat.
81
S. Nasution, Metode Research, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 106. 8
Ibid, 192.
lxi
3. Metode Dokumentasi
Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi adalah
pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen, dan data
yang diteliti tersebut dapat berupa berbagai macam, tidak hanya dokumen
resmi, akan tetapi hal ini juga dengan cara mencari data mengenai hal-hal
berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, notulen hasil rapat agenda dan
sebagainya.83
D. Teknik Penjamin Keabsahan Data
Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi dalam menjamin
keabsahan data. Triangulasi pada hakikatnya merupakan pendekatan
multimetode yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan dan
menganalisis data. Ide dasarnya adalah bahwa fenomena yang diteliti dapat
difahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi jika
didekati dari berbagai sudut pandang. Karena itu, triangulasi ialah usaha
mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai
sudut pandang yang berbeda-beda dengan cara mengurangi sebanyak
mungkin perbedaan yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data.
Denzin dalam Moeloeng, membedakan empat macam triangulasi
diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik
dan teori. Pada penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut,
peneliti hanya menggunakan teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan
sumber. Triangulasi dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek
83
Irawan Soeharto, Metode Penelitian Sosial, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,
1999), 70.
lxii
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan
latar yang berbeda dalam penelitian kualitatif, langkah untuk mencapai
kepercayaan itu adalah: 84
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
E. Teknik Analisis Data
Sebelum menganalisa suatu data, maka alangkah baiknya jika
mengetahui terlebih dahulu tentang maksud dari analisa data. Analisa data
adalah proses mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian
dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja
seperti yang disarankan oleh data.85
Dalam penerapan teknik analisa data
kualitatif deskriprif menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:86
1. Reduksi Data
Miles dan Huberman mengatakan bahwa reduksi adalah suatu
proes pemilihan, pemusatan, pemerhatian pada penyederhanaan,
pengabstrakan dan transformasi data mentah atau data yang muncul dari
84
Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian., 331 85
Ibid., 103 86 Ibid, 288
lxiii
catatan-catatan tertulis dilapangan. Data-data yang terkumpul akan
semakin bertambah, oleh sebab itu laporan tersebut harus dianalisis sejak
dimulainya penelitian kemudian laporan-laporan tersebut perlu direduksi
yaitu dengan memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian
yang diteliti, kemudian dicari tentang temannya. Data-data yang telah
direduksi akan memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil
pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencarinya jika sewaktu-
waktu diperlukan.
2. Display Data (Penyajian Data)
Penyajian data adalah penyusunan informasi yang kompleks ke
dalam suatu bentuk yang sistematis sehingga menjadi lebih selektif dan
sederhana, serta memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan
dan pengambilan tindakan (Miles dan Huberman). Sehubungan data yang
diperoleh terdiri dari kata-kata, kalimat atau paragraf-paragraf, maka
uraian (teks) naratif yang panjang dan terpencar-pencar bagian demi
bagian tersusun kurang rapi, maka dari itu informasi yang bersifat
kompleks disusun ke dalam suatu kesatuan bentuk yang lebih sederhana
dan selektif sehingga akan mudah dipahami.
Analisa data dilakukan secara terus menerus guna panarikan suatu
kesimpulan yang dapat menggambarkan keadaan yang terjadi di
Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus. Analisis data yang
terus menerus mempunyai implikasi terhadap pengurangan dan
penambahan data yang dibutuhkan, hal ini memungkinkan peneliti untuk
kembali lagi kelapangan.
3. Kesimpulan
Tahapan yang paling akhir dalam proses analisa data adalah
verifikasi atau kesimpulan hasil yang diperolehnya. Dalam analisa peneliti
berusaha mencari pola, model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang
sering muncul dan sebagainya. Jadi dari data yang peneliti dapatkan di
Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus itu kemudian peneliti
mencoba untuk mengambil kesimpulan, pada mulanya kesimpulan itu
kabur tapi lama-kelamaan semakin jelas karena data yang diperoleh
semakin banyak dan mendukung serta saling melengkapi satu sama lain.
lxiv
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian
1. Letak Geografis Kecamatan Talang Padang
Letak geografis kecamatan talang padang dapat dilihat pada
gambar di bawah ini:
Gambar 4.1.
Peta Kecamatan Talang Padang
Kecamatan Talang Padang terletak pada ketinggian 250-400 meter
di atas permukaan laut, dengan topografi 90% datar, 9% bergelombang
dan 1 % berbukit. Jenis tanahnya adalah tanah latosol. Luas wilayah
Kecamatan Talang Padang adalah 4944, 25 ha, dengan jarak dari
Kabupaten Tanggamus kurang lebih 25 km dan jarak dari Provinsi
Lampung kurang lebih 68 km. Kecamatan Talang Padang memiliki batas
wilayah sebagai berikut:
lxv
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sumberejo dan
Kecamatan Pulau Panggung.
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pugung.
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gunung Alip.
d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pugung.
Luas wilayah administrasi Kecamatan Talang Padang meliputi 20
pekon, 76 dusun, 74 RW (Rukun Warga), 148 Rukun Tetangga (RT), 9
Pekon Swadaya dan 10 Pekon Swakarya.
2. Jumlah Penduduk
a. Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah penduduk Kecamatan Talang Padang dikelompokkan
berdasarkan jenis kelamin akan diuraikan sebagai berikut.
Tabel 4.1.
Jumlah penduduk Kecamatan Talang Padang
Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah (Orang) Persentase (%)
Laki-
laki
24.739 49, 77
Peremp
uan
24.965 50, 23
Total 49.704 100, 00 Sumber: Monografi Kecamatan Talang Padang, 2018
Berdasarkan Tabel di atas diketahui bahwa jumlah penduduk
Kecamatan Talang Padang berdasarkan jenis kelamin memiliki sebaran
yang hampir sama, yaitu sebanyak 24.739 orang atau sebesar 49, 77%
penduduk berjenis kelamin laki-laki dan 24.965 orang atau sebesar 50,
23% penduduk berjenis kelamin perempuan.
lxvi
b. Berdasarkan Agama/Kepercayaan
Jumlah penduduk Kecamatan Talang Padang berdasarkan
agama/kepercayaan dapat dilihat pada Tabel dibawah ini sebagai
berikut.
Tabel 4.2.
Jumlah penduduk Kecamatan Talang Padang
Berdasarkan Agama/Kepercayaan
No. Agama Jumlah (Orang) Persentase(%)
1. Islam 48.744 98, 67
2. Kristen 207 0, 42
3. Khatolik 126 0, 26
4. Hindu 0, 00 0, 00
5. Budha 325 0, 65
Total 49.402 100, 00
Sumber: Monografi Kecamatan Talang Padang, 2013
Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa penduduk Kecamatan
Talang Padang mayoritas (98, 67%) beragama Islam, sedangkan sebesar
0, 42% beragama Kristen, sebesar 0, 26% beragama Khatolik dan
sebesar 0, 65% beragama Budha.
3. Sejarah Masyarakat Lampung Pesisir
Penduduk pribumi Lampung secara historis-kultural terbagi dalam
dua komunitas besar, yaitu Pepadun dan Pesisir (Sai Batin).87
Tipologi
masyarakat Sai Batin dalam menentukan status seseorang lebih cenderung
mencerminkan komunitas yang didasarkan atas ascribed status and
tradition (status yang diwariskan dalam koridor tradisi), dan achieved
status and contract bagi masyarakat adat Pepadun memiliki ciri di mana
87
Syarifudin Basyar, Determinasi Nilai-Nilai Tradisi Terhadap Religiusitas Masyarakat
(Kajian Adat Ninjuk dalam Budaya Lampung), (Lampung: Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Rafden Intan Lampung, 2014), 6.
lxvii
status seseorang diukur dari prestasi dan ditentukan oleh kontrak sosial
dalam sidang kerapatan Perwatin. Selain itu, kedua masyarakat adat ini
memiliki sistem kepemerintahan tersendiri. Sistem pemerintahan pada
masyarakat adat Pesisir bersifat aristokratis, sedangkan masyarakat adat
Pepadun lebih kental demokratis.88
Meskipun demikian, secara prinsip kedua marga ini konsisten,
teguh dan taat dalam memegang nilai-nilai adat dan budaya warisan
leluhur mereka. Warisan leluhur ini tidak hanya berorientasi profane
semata, tetapi sakralitas pelaksanaanya diaplikasikan dalam kehidupan dan
menjadi falsafah hidup Ulun Lampung, yaitu Piil Pesenggiri.
Secara Genelogis masyarakat adat Lampung merupakan
masyarakat penganut sistem kekeluargaan patrilinial yang terbagi-bagi
dalam masyarakat seketurunan menurut Poyang asalnya masing-masing
yang disebut buway. Misalnya Buway Nunyai, Buway Unyi, Buway
Subing, Buway Bolan, Buway Menyarakat, Buway Tambapupus, Buway
Nyerupa, Buway Belunguh dan sebagainya. Setiap ke-buway-an itu terdiri
dari berbagai Jurai dari ke-buway-an, yang terbagi-bagi pula dalam
beberapa kerabat yang terikat pada satu kesatuan rumah asal (nuwou
tuhou). Kemudian dari rumah asal itu terbagi lagi dalam beberapa rumah
kerabat (nuwou balak). Ada kalanya buway-buway itu bergabung dalam
satu kesatuan yang disebut Paksi.
88
Edward Syah Pernong dalam Lampung Post, 100 Tokoh Terkemuka Lampung, (Bandar
Lampung: Lampung Post, 2008), 325.
lxviii
Pada umumnya, masyarakat adat Pepadun mendiami daratan
wilayah Lampung yang jauh dari pantai laut atau pedalaman, yang
meliputi daerah Abung, Way Kanan, Sungkai, Talang Bawang dan
Gunung Sugih. Sementara itu, secara kekerabatan masyarakat adat
pepadun memiliki empat klan besar yang masing-masing dibagi ke dalam
empat kelompok kerabat (buay). Yaitu:
a. Abung Siwo Migou (Abung Sembilan Marga).
b. Tulang Bawang Megow Pak (Tulang Bawang Marga Empat).
c. Way Kanan Buwai Lima (Lima Keturunan).
d. Pubiyan Telu Suku (Pubiyan Tiga Suku).
Sedangkan masyarakat adat Pesisir memiliki beberapa marga,
yaitu:
a. Marga-marga Sekampung Ilir-Melinting, meliputi wilayah tanah di
Way Sekampung Ilir.
b. Marga-marga Pesisir Melinting Rajabasa, meliputi wilayah tanah di
kaki
gunung Rajabasa dan sekitarnya.
c. Marga-marga Pesisir Teluk, meliputi wilayah tanah di pantai Teluk
Lampung.
e. Marga-marga Pesisir Semangka, meliputi wilayah tanah di pantai
Teluk Semangka.
f. Marga-marga Pesisir Krui-Belalau, meliputi wilayah ekskewedanaan
Krui.
lxix
g. Marga-marga di daerah Danau ranau, Muaradua, Komering sampai
Kayu Agung dalam Provinsi Sumatera Selatan.
B. Proses Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Adat Masyarakat
Lampung Pesisir
Dalam pembagian proses harta waris pada masyarakat lampung pesisir
pada dasarnya cenderung mengikuti sistem patrilineal yaitu sistem dimana
garis keturunan utama adalah garis bapak yang dapat ditarik lurus sampai
nenek moyang sehingga kedudukan istri dalam suatu keluarga tidak terlalu
diperhatikan dalam pembagian harta waris. Anak-anak yang lahir menjadi
keluarga bapak (Suami), harta yang ada menjadi milik Bapak (Suami) yang
nantinya diperuntukkan bagi anak-anak keturunannya yang laki- laki.89
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa dalam pembagian ahli waris
yang didasarkan pada hukum adat lampung pesisir menunjuk ahli waris utama
adalah anak lelaki tertua atau anak lelaki di dalam sebuah keluarga tersebut,
apabila dalam sebuah keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki maka
pihak keluarga tersebut dapat mengangkat anak menantu laki-laki nya untuk
menjadi anak angkatnya agar dapat menjadi ahli waris dari pewaris karena
menurut hukum adat Lampung bila sebuah keluarga tersebut tidak mempunyai
ahli waris (anak laki-laki) maka keluarga tersebut dianggap putus keturunan.
Menurut hukum adat Lampung pesisir yang termasuk warisan bukan hanya
harta benda pewaris saja tapi juga nama besar keluarga dan gelar adat yang
89
Wawancara terhadap Bapak Muhammad Rusli, Tokoh Adat Lampung Pesisir
Tanggamus pada 22 April 2019
lxx
disandang oleh pewaris di dalam hukum adat. 90
Seorang ahli waris di dalam
hukum adat akan memegang peranan penting di dalam keluarganya karena dia
dianggap pengganti ayah dalam tanggung jawab keluarga besarnya, baik
dalam hal pengurusan harta waris yang ditinggalkan, bertanggung jawab atas
anggota keluarga yang ditinggalkan pewaris, dan juga menjaga nama baik
keluarga.
1. Cara Pewarisan Adat Lampung
Dalam melaksanakan proses pembagian harta waris adat,
masyarakat adat Lampung pesisir biasanya menggunakan beberapa cara
proses pewarisan, diantaranya adalah dengan cara penerusan atau
pengalihan dan dengan cara penunjukkan. 91
Di daerah Lampung
penerusan atau pengalihan hak atas kedudukan dan harta kekayaan,
biasanya berlaku setelah pewaris berumur lanjut di mana anak tertua lelaki
sudah mantap berumah tangga, demikian pula adik-adiknya. Dengan
penerusan dan pengalihan hak dan kewajiban sebagai kepala rumah tangga
menggantikan ayahnya atau dalam istilah lampung Ngradu Tuha, maka
selama ayah masih hidup, ayah tetap kedudukannya sebagai penasehat dan
memberikan laporan dan pertanggungan jawab kekeluargaan. Termasuk
dalam arti penerusan atau pengalihan harta kekayaan tertentu, sebagai
dasar kebendaan untuk melanjutkan hidup kepada anak-anak yang akan
kawin mendirikan rumah tangga baru, misalnya pemberian atau
90
Wawancara terhadap Bapak Ariansyah, warga Lampung Pesisir Tanggamus pada 22
April 2019 91
Wawancara terhadap Bapak Arman Maulana, warga Lampung Pesisir Tanggamus pada
25 April 2019
lxxi
diberikannya rumah dan pekarangan tertentu, bidang-bidang tanah ladang,
kebun atau sawah, untuk anak lelaki atau perempuan yang akan berumah
tangga. 92
Selain penerusan hak dan kewajiban ahli waris, di daerah Lampung
juga dikenal cara penunjukkan atau Pengonjuk jolma tuha oleh orang tua
kepada anak-anaknya atau pewaris kepada ahli waris atas harta tertentu,
maka berpindahnya penguasaan dan pemilikannya baru berlaku dengan
sepenuhnya kepada ahli waris setelah pewaris wafat. Apabila orang tua
masih hidup, maka ia berhak dan berwenang menguasai harta yang
ditunjukkan itu, tetapi di dalam pengurusan atau pemanfaatannya dari
harta itu sudah dapat dinikmati oleh orang atau anak yang ditunjuk. Pada
masyarakat Lampung pesisir, biasanya apabila orang tua memberikan
sebagian hartanya dengan cara penunjukkan, maka seluruh anak-anaknya
dikumpulkan. Misalnya setelah seluruhnya berkumpul, maka si bapak
memberikan pernyataan, misalnya sawah yang luasnya satu hektar dan
terletak di sini adalah hak untuk anaknya si A, kemudian mobil yang biasa
dia pakai untuk anaknya si B. Bila sudah demikian maka jika kelak
bapaknya meninggal dunia, barulah si A dan si B berhak atas harta yang
diberikan. Bagi masyarakat adat Lampung pesisir selain harta yang sudah
diberikan dengan jalan penerusan atau pengalihan dan penunjukkan, maka
sisa harta yang tidak dibagi akan dikuasai oleh anak tertua laki-laki,
misalnya rumah peninggalan orang tua. Maka walaupun orang tua tidak
92
Wawancara terhadap Bapak Muhammad Rusli, Tokoh Adat Lampung Pesisir
Tanggamus pada 22 April 2019
lxxii
meninggalkan wasiat atau pesan terhadap harta yang tidak dibagi,
kedudukan harta itu secara otomatis akan dikuasai oleh anak tertua laki-
laki. 93
Hal yang menjadi pertimbangan lain dalam pembagian harta waris
adat lampung pesisir adalah mengenai kedudukan dari anak angkat. Anak
angkat adat mempunyai tanggung jawab sepenuhnya kepada orang tua
adat baik dari aspek tanggung jawab sebagai anak pribadi maupun
tanggung jawab atas kedudukan orang tua adat yang meliputi tanggung
jawab atas segala harta warisan dan kerabat dari orang tua adat anak laki-
laki yang telah diambil menjadi suami tersebut kedudukannya menjadi
pengganti anak kandung dan bisa sebagai punyimbang, dalam hal
menggunakan harta warisan kedudukan suami isteri adalah sejajar, tetapi
walaupun hak pakai dari seluruh harta warisan suami isteri sejajar, karena
anak laki-laki yang diangkat sebagai anak mentuha ini telah dianggap
sebagai pengganti anak kandung, tetap saja kedudukannya suami adalah di
tempat si perempuan.
Pembagian warisan pada masyarakat Lampung Pesisir yang
seharusnya dilakukan sesudah pewaris meninggal dunia, berbeda dengan
pembagian harta waris yang biasanya berlaku di sebagian besar
masyarakat Kecamatan Talang Padang yang dilakukan sebelum pewaris
meninggal dunia yaitu dengan cara mengumpulkan anak-anaknya dan
mengumumkan pembagian harta waris, namun hak menguasai harta waris
93
Wawancara terhadap Bapak Muhammad Rusli, Tokoh Adat Lampung Pesisir
Tanggamus pada 22 April 2019
lxxiii
tetap saja setelah pewaris meninggal dunia.94
Sistem pewarisan sesudah
pewaris meninggal, yaitu pewarisan jatuh kepada anak laki-laki tertua
sebagai ahli waris yang bertanggung jawab terhadap adik-adiknya serta
keluarga menggantikan peran pewaris (ayah) sebagai kepala keluarga.
Pada sistem pewarisan menurut masyarakat adat Lampung Pesisir ahli
waris selaku anak laki-laki tertua dapat membagi-bagikan harta warisan
kepada adik-adiknya berdasarkan kebijakan dari keluarga, sehingga sistem
pewarisan individual tidak dikenal pada Masyarakat Lampung Pesisir.
Namun apabila suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki dan
hanya memiliki anak perempuan, maka menantu laki-laki dari anak tertua
akan diangkat menjadi anak dan dapat menjadi ahli waris dalam keluarga
tersebut. Menantu laki-laki tertua yang menjadi ahli waris dikarenakan
tidak adanya anak laki-laki dinamakan semanda. Jadi ahli waris ini tidak
memiliki hak waris dari keluarganya, namun memiliki hak waris dari
pihak keluarga istrinya. Di sinilah perbedaan mendasar pembagian waris
pesisir dari suku pepadun yang apabila tidak memiliki anak laki-laki, maka
hak waris akan diberikan kepada keponakan laki-laki dan seterusnya.95
Laki-laki semanda atau menantu yang mendapatkan hak waris dari
pihak istri pada dasarnya tidak mendapatkan hak waris dari keluarganya
sendiri. Dalam hak harta waris yang didapatkannya dari keluarga istri juga
bukan berarti ia memiliki kekuasaan penuh dalam mengaturnya karena
94
Wawancara terhadap Bapak Ariansyah, warga Lampung Pesisir Tanggamus pada 22
April 2019 95
Wawancara terhadap Bapak Ariansyah, warga Lampung Pesisir Tanggamus pada 22
April 2019
lxxiv
hakikat dari dialihkannya hak waris tersebut diharapkan akan dapat
diberikan kepada anak laki-laki dari istrinya.
Dari pemaparan data hasil penelitian di atas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa dalam sistem kekerabatan patrilinial yang dianut oleh
masyarakat Lampung sangat jelas menempatkan kaum laki-laki pada
kedudukan yang lebih tinggi. Ada tiga unsur yang perlu dibicarakan untuk
menelaah hukum kewarisan adat dalam lingkungan adat masyarakat
muslim di Lampung, yaitu pewaris, ahli waris, dan harta warisan.
Dalam pembagian harta waris adat lampung, seseorang dapat
dinyatakan sebagai Pewaris jika seseorang yang telah meninggal dunia dan
meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih
hidup.96
Karena itu yang tergolong sebagai pewaris adalah orang tua,
yaitu ayah, ibu, dan saudara-saudara. Selain itu, bila terjadi hubungan
perkawinan, yang kemudian salah satu di antara keduanya meninggal dan
meninggalkan harta warisan, yang meninggal itu disebut pewaris.
2. Harta Waris dalam Adat Lampung Pesisir
Harta warisan yang dalam masyarakat adat Lampung Pesisir adalah
harta pusaka turun temurun dari generasi ke generasi yang diwarisi dan
dikuasai oleh anak laki-laki tertua. 97
Bentuk harta yang tidak berwujud
yaitu hak-hak atas gelar- gelar adat, kedudukan adat, hak-hak atas pakaian
perlengkapan adat, hak mengatur dan mewakili anggota kerabat.
96
Wawancara terhadap Bapak Arman Maulana, warga Lampung Pesisir Tanggamus pada
25 April 2019 97
Wawancara terhadap Bapak Ariansyah, warga Lampung Pesisir Tanggamus pada 22
April 2019
lxxv
Sedangkan hak-hak yang berwujud yaitu pakaian perlengkapan adat, tanah
pekarangan, bangunan rumah, tanah pertanian dan perkebunan. Harta
warisan ini hanya boleh dikuasai oleh ahli waris namun tidak boleh untuk
di perjual belikan karena merupakan harta keluarga ahli waris hanya dapat
mengelola dan menikmati serta tetap bertanggung jawab terhadap anggota
keluarga pewaris sampai anggota pewaris tersebut dapat berdiri sendiri
atau sudah menikah.
Hal selanjutnya yang menjadi perhatian dalam pembagian harta
waris adat lampung adalah mengenai jenis harta warisan tersebut. Dalam
waris adat Lampung, harta peninggalan yang diwariskan dibagi menjadi
Harta Pusaka Tinggi, yaitu harta yang telah turun- temurun dalam
beberapa keturunan, atau harta dari nenek moyang dan Harta Pusaka
Rendah, yaitu harta yang dikuasai oleh keluarga karena mata pencaharian
sendiri. Dalam adat Lampung Pesisir wanita sama sekali tidak
mendapatkan bagian warisan, baik untuk Harta Pusaka Tinggi maupun
Harta Pusaka Rendah. Akan tetapi anak perempuan sewaktu menikah
diberikan san-san, yaitu harta yang dianggap juga warisan antara lain
rumah beserta isinya, atau hanya perlengkapan rumah tangga dan
perhiasan emas sesuai dengan kemampuan orang tuanya. 98
Hal yang menjadi pembahasan dalam warisan adat lampung adalah
dalam hal pembagian harta warisan. Harta warisan adalah harta kekayaan
yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia, yang terdiri atas:
98
Wawancara terhadap Bapak Muhammad Rusli, Tokoh Adat Lampung Pesisir
Tanggamus pada 22 April 2019
lxxvi
(1) harta bawaan, yaitu harta yang dimiliki seseorang sebelum kawin.
Harta bawaan itu akan kembali kepada keluarga si meninggal bila
mendiang tidak memiliki anak; (2) harta perkawinan, yaitu harta yang
diperoleh dari hasil usaha suami-isteri selama perkawinan; (3) harta
pusaka, yaitu harta yang hanya diwariskan kepada orang tertentu dan tidak
dapat dibagi-bagi, melainkan dapat dinikmati bersama oleh ahli waris dan
kerabatnya; dan (4) harta yang menunggu, yaitu harta warisan yang akan
diterima oleh ahli waris, tetapi karena satu-satunya ahli waris yang akan
menerima harta itu tidak diketahui dimana ia berada. 99
3. Subjek Pewarisan Adat Lampung Pesisir
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat adat
lampung pesisir menganut dan menjunjung tinggi garis keturunan pria
(patrilinial), maka pada umumnya yang berkedudukan sebagai pewaris
adalah kaum pria, yaitu ayah atau pihak ayah (saudara-saudara pihak
ayah), sedangkan kaum wanita bukan sebagai pewaris. Jadi ibu atau pihak
ibu, saudara-saudara ibu baik pria dan wanita buka pewaris dilihat dari
jenis harta warisannya, maka pewaris pria itu dapat dibedakan antar
pewaris pusaka tinggi dan pusaka rendah.
Pewaris pusaka tinggi adalah pewaris-pewaris pria (ayah, paman,
dan saudara pria) yang ketika wafatnya meninggalkan hak-hak penguasaan
atas harta pusaka tinggi, yaitu harta peninggalan dari beberapa generasi
keatas, yang juga disebut harta nenek moyang. Pewaris ini dapat
99
Wawancara terhadap Bapak Muhammad Rusli, Tokoh Adat Lampung Pesisir
Tanggamus pada 22 April 2019
lxxvii
dibedakan antara pewaris mayorat pria dan pewaris kolektif pria.
Sedangkan pewaris pusaka rendah adalah pewaris pria yang ketika
wafatnya meninggalkan penguasaan atas harta bersama yang dapat
dibagibagi oleh para waris.
Hukum waris adat yang berlaku pada adat Lampung Pesisir
menggunakan sistem pewaris tunggal yang dalam bahasa daerah ini
disebut Nuhakon Ragah dalam istilah modern disebut Mayorat laki- laki,
yaitu anak laki-laki tertua yang berhak menguasai atas harta peninggalan
keluarga dengan hak dan berkewajiban mengatur dan mengurus
kepentingan adik-adiknya atas dasar musyawarah dan mufakat para
anggota kelompok waris yang lain. Jadi anak tertua berkedudukan
menggantikan ayahnya. 100
Hal ini dikarenakan, masyarakat adat Lampung
Pesisir merupakan masyarakat adat yang susunan kekerabatannya
kebapakan (patrilinial), yaitu kekerabatannya mengutamakan keturunan
menurut garis laki-laki.
Sehingga anak laki-laki tertua yang menjadi pewaris “jalur lurus”,
kecuali jika tidak memiliki anak laki-laki, anak perempuannya yang
menjadi pewaris dan dinikahakan dengan perkawinan semanda sehingga
suami dan anak perempuannya menjadi pewaris, yang keturunannya
kemudian nantinya diteruskan oleh anak laki-lakinya. 101
Yang dimaksud
pewaris dalam masyarakat adat Lampung Pesisir adalah setiap anak laki-
100
Wawancara terhadap Bapak Muhammad Rusli, Tokoh Adat Lampung Pesisir
Tanggamus pada 22 April 2019 101
Wawancara terhadap Bapak Ariansyah, warga Lampung Pesisir Tanggamus pada 22
April 2019
lxxviii
laki tertua (jurai lurus), apabila dalam satu keluarga hanya memiliki anak
perempuan saja, maka anak perempuan itulah yang menjadi pewaris dan
tetap dinikahakan dalam bentuk perkawinan semanda sehingga suami dari
anak perempuannya menjadi pewaris yang keturunannya kemudian
nantinya diteruskan oleh anak laki-lakinya untuk menegakkan wibawa
perempuan.
Kedudukan pewaris dalam masyarakat adat Lampung Pesisir
memiliki kedudukan tertinggi, baik yang melakukan perkawinan jujur
maupun semanda, anak tertua tetap memiliki kedudukan tertinggi. Hal ini
dapat diketahui dari lima responden pasangan suami istri yang telah
melaksanakan sistem pembagian warisan, semua responden menyetujui
bahwa pewaris adalah Bapak selaku kepala keluarga dan memiliki
kedudukan tinggi. Karena ia memiliki kebijakan dan kewibawaan dalam
menentukan siapa yang akan memperoleh harta warisan. Jadi bisa
disimpulkan bahwa masyarakat adat Lampung Pesisir mengakui pewaris
adalah Bapak selaku kepala keluarga dan memiliki kedudukan yang paling
tinggi.
4. Ahli waris dalam Adat Lampung Pesisir
Dikalangan masyarakat adat Lampung Pesisir, anak sulung pria
adalah ahli waris utama yang menguasai seluruh harta peninggalan
ayahnya yang tidak terbagi-bagi. Dengan kewajiban mengganti kedudukan
ayahnya yang sudah tua atau sudah wafat sebagai kepala kelurga serumah
lxxix
ayahnya, yang bertanggung jawab mengurus dan memelihara adik-adiknya
yang belum dewasa untuk dapat hidup mandiri baik pria maupun wanita.
Ahli waris adalah anak laki-laki tertua, kecuali tidak ada anak laki-
laki dalam kelurganya maka anak perempuan tertua itu menjadi ahli waris
dan memiliki kedudukan tertinggi, tetapi dalam hal penguasaan saja.
Namun dalam hal anak laki-laki tertua meninggal lebih dahulu, maka anak
laki-laki tertua yang masih hidup dapat menjadi ahli waris. 102
Sistem pembagian warisan yang menggunakan sistem mayorat
laki-laki pada masyarakat adat Lampung Pesisir dengan menuakan laki-
laki, bermaksud agar anak laki-laki tertua yang memperoleh hak-waris
tunggal dari orang tuanya khusus untuk harta tua (harta tuha) yaitu harta
yang turun temurun dari kakek dan neneknya keatas. Secara jelas, harta
orang tua atau harta yang dikuasai orang tua ada 2 macam, yaitu: (1) Harta
Tua, yaitu harta dati kakek nenek keatas (harta pusaka tinggi); dan (2)
Harta pencaharian, yaitu harta pencaharian yang diperoleh selama
perkawinan orang tua (harta pusaka rendah).
Pada daerah ini tidak dikenal harta suami atau harta istri yang
terpisah sebab apabila terjadi perkawinan maka sistem perkawinannya
menentukan status harta. Jika sistem perkawinannya jujur, istri membawa
harta bawaan, maka harta bawaan itu akan bercampur dengan harta suami
dan dianggap sebagai harta pencaharian bersama. Demikian juga dalam
102
Wawancara terhadap Bapak Muhammad Rusli, Tokoh Adat Lampung Pesisir
Tanggamus pada 22 April 2019
lxxx
perkawinan semanda, jika suami membawa harta bawaan maka harta
tersebut juga akan bercampur dengan harta istri ditempatnya semanda. 103
Dalam harta tua yaitu harta yang turun temurun dari kakek
neneknya maka yang mewarisi hanyalah anak laki-laki tertua, sedang
saudara-saudaranya baik itu laki-laki atau perempuan, tidak mempunyai
hak waris dari harta pusaka tinggi, contoh dari yaitu rumah, tanah,
perkebunan, sawah, dan alat-alat pusaka.
Kedudukan anak laki-laki tertua tidak saja sebagai penerus
keturunan orang tuanya, tetapi juga mempunyai kedudukan sebagai
penerus kepunyimbangan orang tuanya, sebagai pemimpin yang
mempunyai hak mutlak atas kekayaan, warisan maupun pusaka dari
kerabat orang tuanya dan sebagai pemimpin yang berhak dan bertanggung
jawab kepada kerabat, keturunan, adik-adiknya baik bertindak atas nama
kepunyimbangan (kedudukan atau pemimpin) adat maupun kekerabatan.
104
Jika kita lihat dari sistem pembagian adat lampung secara sepintas
nampak seakan-akan tidaklah adil sistem pembagian warisan dengan
sistem ini, baik itu dari segi materiil maupun dari segi moril. Namun
sebenarnya dari segi moril anak laki-laki tertua akan sangat rugi dan justru
saudara-saudaranya yang lain yang tidak dapat warisan tersebut yang
beruntung. Hal ini disebabkan, karena anak laki-laki tertua tersebut
103
Wawancara terhadap Bapak Ariansyah, warga Lampung Pesisir Tanggamus pada 22
April 2019 104
Wawancara terhadap Bapak Muhammad Rusli, Tokoh Adat Lampung Pesisir
Tanggamus pada 22 April 2019
lxxxi
disamping mendapatkan anugerah haknya, yaitu hak waris harta pusaka
tinggi, ia juga dibebani kewajiban-kewajiban. Kewajiban-kewajiban
tersebutlah yang sesungguhnya sangat berat, kewajiban tersebut adalah
begitu anak laki-laki tersebut menikah maka seluruh tanggung jawab
ayahnya baik keluar ataupun kedalam, beralih kepada si anak laki-laki
tertua tersebut. Misalnya kegiatan keluar adalah gawi adat (pesta adat),
menghadiri undangan perkawinan, kematian, membayar iuran adat (pajak
adat/denda adat) membantu mendirikan rumah, menanam padi, menuai
padi, menanam pohon-pohon di perkebunan, dan lain-lain.
Pada intinya anak laki-laki tertua tersebut akan menjadi wakil dari
rumahnya untuk segala kegiatan yang bersifat keluar baik mengenai
keluarga ataupun biaya. Kebiasaan ini masih berlaku sampai sekarang di
dalam masyarakat adat Lampung Pesisir, karena peran anak tertua laki-laki
dia anggap penting untuk bertanggung jawab pada keluarganya. 105
Sebagai contoh tanggung jawabnya ke dalam adalah anak laki-laki tertua
tersebut bertanggung jawab untuk menghidupi seluruh kebutuhan keluarga
besarnya, bukan hanya keluarga intinya, mengurus orang tuanya yang
masih hidup, mengurus dan membiayai segala keperluan adik-adiknya,
mulai dari membiayai makan, membelikan pakaian, membayar uang
sekolah, sampai adiknya tersebut dewasa, dan pada akhirnya membiayai
perkawinan adika-diknya.
105
Wawancara terhadap Bapak Ariansyah, warga Lampung Pesisir Tanggamus pada 22
April 2019
lxxxii
Pada masyarakat Lampung Pesisir dikenal istilah perkawinan jujur
dan perkawinan Semanda. Berdasarkan kedua bentuk perkawinan tersebut
terdapat subjek yaitu pewaris dan ahli waris, objek yaitu harta warisan dan
sistem kewarisan yang meliputi sistem pewarisan kolektif dan sistem
pewarisan mayorat laki-laki. 106
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa proses
pembagian harta waris menurut hukum adat Lampung Pesisir yang dapat
dilihat dari struktur masyarakat adat Lampung Pesisir adalah Patrilinial
yaitu masyarakat yang lebih mengutamakan garis laki-laki dengan bentuk
perkawinan masyarakat patrilinial Alternerend. Karena menganut sistem
kekerabatan patrilinial, maka perkawinannya dilakukan dengan ”jujur”,
sehingga setelah selesai perkawinan isteri harus ikut kepada pihak suami
Subjek kewarisan adalah pewaris dan ahli waris. Pewaris adalah orang
yang memperoleh harta warisan (harta pusaka, dan harta pencaharian)
yang nantinya harta tersebut akan dialihakan kepada ahli warisnya (anak
laki-laki tertua). Sedangkan ahli waris adalah anak laki-laki tertua yang
diberi tanggung jawab oleh orangtuanya untuk menjaga dan memelihara
harta warisan dan dipergunakan sesuai dengan adat yang berlaku pada
masyarakatnya. Objek warisan dalam adat Lampung Pesisir adalah harta
turun temurun dari kakek yaitu, rumah, tanah, perladangan dan seluruh
barang-barang pusaka peninggalan dari kakek dan apabila ayahnya
memiliki harta pencaharian sendiri maka harta tersebut dapat dibagikan
106
Wawancara terhadap Bapak Muhammad Rusli, Tokoh Adat Lampung Pesisir
Tanggamus pada 22 April 2019
lxxxiii
kepada anak-anaknya bergantung pada keputusan keluarga dengan
menggunakan musyawarah. Sistem pembagian harta waris menurut
masyarakat adat Lampung Pesisir menggunakan sistem pembagian
warisan mayorat laki-laki dengan perkawinan jujur dimana anak laki- laki
tertua yang menerima harta warisan.
Dalam sistem perkawinan diutamakan atas dasar satu kelompok
keturunan (lineage), yaitu keturunan yang saling berkaitan dari nenek
moyang yang sama. Kecuali itu perkawinan didasarkan atas satu garis
keturunan (descent) dengan prinsip patrilinial (garis keturunan ayah).
Prinsip garis keturunan ini memiliki konsekuensi bahwa bagi anak
perempuan yang menikah harus masuk kedalam marga suaminya dan
meninggalkan marga asalnya. Harta warisan dalam kelompok kekerabatan
ini pihak perempuan tidak memiliki hak.
Sistem kekerabatan dalam kehidupan masyarakat adat Lampung
Pesisir pada umumnya menganut prinsip patrilinial dan patrilokal. Dalam
prinsip patrilinial berarti pihak laki-laki yang melamar perempuan dan
kemudian menetap di rumah pihak keluarga atau kerabat laki-laki. Bagi
perempuan (isteri) yang telah menikah secara patrilokal menetap di rumah
keluarga luas suaminya. 107
Apabila sebuah keluarga hanya mempunyai
anak perempuan, maka untuk meneruskan keturunannya dapat di atasi
dengan cara ngakuk ragah (mengambil suami). Disini bisa dilihat, bahwa
anak perempuan tidaklah dianggap sebagai ahli waris. Sebagai catatan
107
Wawancara terhadap Bapak Ariansyah, warga Lampung Pesisir Tanggamus pada 22
April 2019
lxxxiv
bahwa suami ini bukan anak pertama dari keluarga asalnya, sebab anak
pertama merupakan penerus keturunan dikeluarganya sendiri. Suami yang
diambil (menantu) itu dalam proses adatnya secara langsung diangkat anak
oleh mertuanya. Bentuk perkawinan semacam ini tidak menggunakan
jujur, akan tetapi hak suami dalam hal waris sejajar dengan isterinya. 108
Sebaliknya, jika dalam perkawinan ini pihak suami tidak diangkat
anak oleh mertuanya, maka kedudukannya dalam keluarga lebih rendah
dari isterinya. Bentuk perkawinan yang terakhir ini pihak laki-laki (suami)
hanya berfungsi untuk meneruskan keturunan belaka (semanda). Bahwa
berdasarkan uraian di atas, pada masyarakat Lampung Pesisir Pagelaran,
sistem pembagian warisan berlaku sistem mayorat laki-laki, sedangkan
sistem pewarisan individual tidak dikenal. Karena harta warisan tidak
dibagikan secara perorangan.
5. Penyelesaian Sengketa Waris dalam Hukum Adat Lampung Pesisir
Pembahasan mengenai harta waris tidak terlepaskan dari
permasalahan yang biasanya terjadi yakni mengenai sengketa Waris dalam
Hukum Adat Lampung Pesisir. Masyarakat Lampung memiliki kehidupan
yang merupakan implementasi tatanan moral yang berlandaskan pada
falsafah hidup Piil Pesanggiri. Piil pesanggiri merupakan sumber
motivasi agar setiap orang Lampung dinamis dalam usaha
memperjuangkan nilai-nilai yang besar, hidup terhormat dan dihargai di
tengah-tengah kehidupan masyarakat.
108
Wawancara terhadap Bapak Muhammad Rusli, Tokoh Adat Lampung Pesisir
Tanggamus pada 22 April 2019
lxxxv
Menurut Masyarakat adat Lampung Pesisir, piil-pesenggiri
merupakan pandangan hidup yang berfungsi sebagai pedoman bagi
perilaku pribadi dan masyarakat dalam membangun karya-karyanya.
Sebagai konsekuensi untuk memperjuangkan dan mempertahankan
kehormatan dalam kehidupan bermasyarakat, maka sebagai warga
masyarakat berkewajiban untuk menjaga nama dan perilakunya agar
terhindar dari sikap dan perbuatan tercela juga jangan sampai melanggar
Hukum Agama maupun Hukum Negara. 109
Lebih lanjut data hasil temuan juga menemukan sampai saat ini, di
masyarakat Lampung Pesisir sendiri belum ada ditemukan persoalan
sengketa waris yang berakhir ke Pengadilan. Karena ahli waris lain,
khususnya pihak wanita, merasa apabila menuntut haknya berarti mereka
akan mencoreng nama keluarga dengan bersikap tercela, dan hal ini
bertentangan dengan falsafah Piil Pesanggiri. Karena menjaga nama baik
dan harga diri keluarga besar adalah tanggung jawab anggota keluarga bati
(besar) tersebut.
Musyawarah keluarga serumah di lingkungan masyarakat parental,
patrilinial atau matrilineal merupakan kebiasaan yang berfungsi dan
berperanan dalam memelihara dan membina kerukunan hidup
kekeluargaan. Di masa sekarang, sengketa harta warisan tidak saja terjadi
di kalangan masyarakat parental, tetapi juga terjadi di kalangan patrilinial
dan matrilineal, hal mana dikarenakan para anggota masyarakat adat sudah
109
Wawancara terhadap Bapak Muhammad Rusli, Tokoh Adat Lampung Pesisir
Tanggamus pada 22 April 2019
lxxxvi
lebih banyak dipengaruhi alam fikiran serba kebendaan, sebagai akibat
kemajuan zaman dan timbulnya banyak kebutuhan hidup, seorang
perempuan yang melakukan perkawinan jujur, dan tidak mendapatkan
warisan dari Bapaknya. Sehingga rasa malu, rasa kekeluargaan dan tolong-
menolong sudah semakin surut. 110
Dalam pembagian warisan perlu diperhatikan, bahwa harta
peninggalan tidak akan dibagi-bagi sepanjang masih diperlukan untuk
menghidupi dan mempertahankan berkumpulnya keluarga yang
ditinggalkan. Tetapi dalam kenyataannya, seringkali timbulnya sengketa
warisan di antara anggotaanggota keluarga yang ditinggalkan, apabila para
pihak yang diberi hak untuk menguasai harta peninggalan seringkali
menganggap bahwa harta tersebut merupakan hak atau bagian warisnya.
Oleh karena itu, pada masyarakat Lampung Pesisir apabila terjadi suatu
sengketa, dalam hal penyelesaian masalahnya masyarakat adat selalu
mencari jalan keluar dengan cara kekeluargaan dan musyawarah mufakat
yang menghasilkan suatu keputusan yang dihormati warganya.
C. Pembagian Harta Waris Hukum Adat Lampung Pesisir Menurut
Hukum Islam
Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan. Bahkan ada
pendapat bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan agar benar-
benar berarti sebagai hukum, karena memang tujuan hukum itu adalah
tercapainya rasa keadilan pada masyarakat.111
Sesuai dengan tujuan hukum
110
Wawancara terhadap Bapak Ariansyah, warga Lampung Pesisir Tanggamus pada 22
April 2019 111
M. Agus Santoso, Hukum, Moral, & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum,
lxxxvii
di atas, baik hukum waris Islam dan hukum waris adat sejatinya menjamin
rasa ketertiban dan keadilan dari masing-masing pihak yang menganutnya.
Di dalam Islam, ketentuan tentang pembagian warisan mendapatkan
perhatian yang besar karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-
akibat yang tidak menguntungkan. Bagian-bagian warisan yang menjadi hak
ahli waris juga telah ditentukan secara rinci dalam Alquran.
Syari‟at Islam telah membuat ketentuan mengenai pewarisan yang
sangat baik, bijaksana, dan adil. Ketentuan tersebut berkaitan dengan
pemindahan harta benda milik seseorang yang ditinggalkan setelah
meninggal dunia kepada ahli warisnya, baik ahli waris perempuan maupun
ahli waris laki-laki. Ketentuan tentang hukum waris tersebut bersumber pada
QS. An-Nisa‟ (4) ayat 11 dan 12. Pada ayat ini Allah memberikan informasi
tentang bagian masing-masing ahli waris ketika pewaris telah meninggal
dunia. Selain ayat yang disebutkan di atas, ayat-ayat Alqur‟an yang berkaitan
tentang hukum waris Islam terdapat pada QS. an-Nisa‟ (4) ayat 7, 8, 33, dan
176. Sedangkan ayat yang berkaitan tentang kedudukan anak angkat dalam
hal kewarisan terdapat pada QS. al-Azhab (33) ayat 4.112
Pembagian harta warisan telah menjadi focus pembahasan dalam
hukum islam dengan ketentuan pembagian yang cukup jelas dan lengkap.
Hukum Islam telah mengatur secara rinci tentang cara-cara menentukan ahli
waris yang berazaskan keadilan, antara kepentingan anggota keluarga dengan
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2012), 91.
112 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), 19-20.
lxxxviii
kepentingan agama dan masyarakat. 113
Kehadiran hukum kewarisan Islam
dengan sangat tegas menempatkan anak-anak, perempuan, dan laki-laki,
masing- masing memiliki hak untuk menerima bagian sesuai dengan
ketentuan yang telah dibakukan.
Di antara hikmah penetapan bagian waris laki-laki itu sama dengan
bagian waris dua orang perempuan karena selain memerlukan nafkah untuk
dirinya sendiri, laki-laki juga memerlukan nafkah untuk istri, dan
keluarganya. Sedangkan kaum perempuan, dia hanya akan menafkahi dirinya
sendiri, dan jika dia menikah maka nafkah kehidupannya akan dijamin oleh
suaminya. 114
Hukum kewarisan Islam sesuai dengan namanya yakni faraid
dan hukum waris secara umum dan keseluruhan, memiliki nilai yang sangat
filosofis, norma yang sangat mendasar dan baku serta mengandung hikmah
positif yang sangat jelas. Terutama terkait dengan keadilannya di samping
asas-asas kepastian hukum dan asas manfaat.
Asas keadilan dalam hukum kewarisan Islam mengandung pengertian
bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh ahli waris dengan
kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditunaikannya. Karena itu arti
keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari kesamaan tingkatan
antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan besar-kecilnya beban atau
tanggung jawab diembankan kepada mereka, ditinjau dari keumuman
keadaan manusia. Jika dikaitkan dengan definisi keadilan sebagai
113
Zuhraini, “Perempuan dan Hukum Dalam Masyarakat Hukum Adat Lampung
Sebatin”, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Volume X, Nomor 2, (November 2017), 7. 114
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, 109-110. Lihat juga sumber aslinya Rasyid Muhammad Ridha, Tafsir Alquran al-Ahkam
(Tafsir al-Manar), Vol. 4 (t.t: t.p., t.t), 406.
lxxxix
"keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang
diperoleh dengan keperluan dan kegunaan", atau perimbangan antara beban
dan tanggung jawab di antara ahli waris yang sederajat, maka kita akan
melihat bahwa keadilan akan nampak pada pelaksanaan pembagian harta
warisan menurut Islam. 115
Rasio perbandingan 2: 1, tidak hanya berlaku antara anak laki-laki
dan perempuan saja, melainkan juga berlaku antara suami isteri, antara
bapak-ibu serta antara saudara lelaki dan saudara perempuan, yang
kesemuanya itu mempunyai hikmah apabila dikaji dan diteliti secara
mendalam.Dalam kehidupan masyarakat muslim, laki-laki menjadi
penanggung jawab nafkah untuk keluarganya, berbeda dengan perempuan.
Apabila perempuan tersebut belum menikah, maka ia menjadi tanggung
jawab orang tua ataupun walinya. Sedangkan setelah seorang perempuan
menikah, maka ia berpindah akan menjadi tanggung jawab suaminya (laki-
laki).
Di dalam masyarakat muslim, laki-laki menjadi penanggung jawab
nafkah untuk keluarganya. Berbeda dengan perempuan, apabila perempuan
tersebut berstatus gadis, maka ia menjadi tanggung)awab orang tua ataupun
walinya. Sedangkan setelah seorang perempuan menikah, maka ia berpindah
akan menjadi tanggung jawab suaminya (laki-laki). Syariat Islam tidak
mewajibkan perempuan yang telah menikah untuk menafkahkan hartanya
bagi kepentingan dirinya ataupun kebutuhan anak- anaknya, meskipun ia
115
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam., 122.
xc
tergolong mampu. Sebab yang berkewajiban memberi nafkah berupa tempat
tinggal, makanan dan pakaian keluarga merupakan kewajiban suami.116
Agama Islam datang dengan aturan-aturan yang adil, tidak
membedakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan, kecil ataupun besar
semua mendapat bagian. Pembagian harta warisan (pusaka) menurut syariat
Islam (Al-Qur‟an) tunduk kepada yang telah ditetapkan oleh Allah Swt yakni
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian 2 (dua) orang anak
perempuan atau 2 (dua) berbanding 1 (satu).
Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 171 huruf A Kompilasi Hukum
Islam (KHI) menyatakan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak milik harta peninggalan (Tirkah ) pewaris,
menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing. Kemudian Pasal 176 Bab III KHI menjelaskan tentang besar
bagian untuk seorang anak perempuan adalah setengah ( 1/2 ) bagian; bila 2
(dua) orang atau lebih mereka bersama-sama mendapatkan dua pertiga (2/3)
bagian; dan apabila anak perempuan bersama-bersama dengan anak laki-laki
maka bagiannya adalah 2 (dua) berbanding 1 (satu) dengan anak perempuan.
Pasal 183 KHI menyatakan bahwa para ahli waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-
masing menyadari bagiannya.
Dari uraian tertera di atas, nampak bahwa antara apa yang telah
ditetapkan di dalam ayat Al-Qur‟an dengan yang terdapat dalam KHI
116
Hasani Ahmad Said, “Dekonstruksi Syariah: Menggagas Hukum Waris Perspektif
Jendef", al-„Adalah, Vol. 11, No. 1, (2013), 17-32.
xci
khususnya mengenai besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak
perempuan dalam pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh sipewaris
adalah sama yakni 2 (dua) berbanding 1 (satu). Berhubung oleh karena Al-
Qur‟an dan haidst Nabi hukumnya wajib dan merupakan pegangan /
pedoman bagi seluruh umat Islam dimuka bumi ini, maka ketentuan-
ketentuan pembagian harta warisan ( pusaka ) inipun secara optimis pula
haruslah ditaati dan dipatuhi.
Disamping itu sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman
serta pendapat para ahli dikalangan umat islam, maka hukum waris Islam
dituangkan kedalam suatu ketentuan peraturan yang disebut KHI (Kompilasi
Hukum Islam). Terdapat perubahan-perubahan yang terjadi antara lain
mengenai:
Pasal 209 KHI menyatakan bahwa harta peninggalan anak angkat
dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas,
sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajiblah sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkat.
Terhadap anak angkat yang menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat orang tua tuang angkat.
Dari pasal tersebut di atas, bahwa anak angkat yang sebelumnya
menurut Hukum Islam tidak berhak menerima harta warisan orang tua
angkatnya kecuali pemberian-pemberian dan lain-lain, maka sekarang
dengan berlakunya KHI terhadap anak nagkatnya mempunyai hak dan
bagian yang telah ditetapkan yaitu sebesar 1/3 dari harta warisan orang tua
xcii
angkatnya, apabila anak angkat tersebut tidak menerima wasiat Istilah ini
dikenal dengan sebutan wasiat wajibah.
Dalam hukum kewarisan Islam menganut prinsip kewarisan
individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Maka dengan demikian
Hukum Islam tidak membatasi pewaris itu dari pihak Bapak ataupun pihak
Ibu saja dan para ahli warispun dengan demikian tidak pula terbatas pada
pihak laki-laki ataupun pihak perempuan saja. Objek warisan dalam Hukum
Islam adalah harta yang berwujud benda, baik benda bergerak, maupun
benda tidak bergerak. Tentang yang menyangkut dengan hak- hak yang
bukan berbentuk benda, oleh karena tidak ada petunjuk yang pasti dari Al-
Qur‟an maupun hadits Nabi, terdapat perbedaan di kalangan ulama berkaitan
dengan hukumnya.
Hal lain yang juga menjadi salah satu pertimbangan dalam
pembagian harta waris dalam islam adalah menyangkut hutang piutang.
Yang menyangkut dengan utang-utang dari yang meninggal, menurut
Hukum Islam dapat diwarisi, dengan arti bukan kewajiban ahli waris untuk
melunasinya dengan hartanya sendiri. Sedangkan yang menjadi objek
warisan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 171 yakni harta
peninggalan yang merupakan harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang
berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya, dan harta
warisan yang merupakan harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
xciii
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajahiz), pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pembagian harta
waris pada masyarakat adat Lampung Pesisir dikaji menurut Hukum Islam,
dapat dilihat dari sistem kewarisan mayorat laki-laki dalam hukum waris
adatnya, yang menjadi salah satu penyebab anak perempuan bukanlah
dianggap sebagai ahli waris. Sehingga jika ingin mendapat bagian harta
warisan, semua itu tergantung kepada kasih sayang ahli waris, atau dalam hal
ini anak laki-laki tertua. Hal ini tidak sesuai dengan Hukum Islam yang
membagi warisan kepada para ahli waris. Dalam Hukum Islam para ahli
waris adalah mereka yang memiliki hubungan darah dan hubungan
perkawinan, sehingga anak perempuan memiliki kedudukan sebagai ahli
waris, sementara pada Hukum Adat Lampung Pesisir hanya anak laki-laki
tertua saja yang memiliki kedudukan status pewaris.
Seiring dengan perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti pernikahan beda suku, faktor pendidikan yang
semakin berkembang, adanya perantauan/migrasi, kemajuan ekonomi, agama
serta sosial masyarakat yang beragam, yang seharusnya dapat mempengaruhi
perkembangan perubahan dalam masyarakat adat Lampung Pesisir di
Kecamatan Talang Padang, namun secara internal kurang terdapat faktor
kesadaran dan kebangkitan individu yang masih memegang teguh adat
istiadatnya khususnya dalam hal pembagian warisan.
xciv
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses pembagian warisan pada masyarakat Lampung Pesisir di
Kecamatan Talang Padang menggunakan sistem pewarisan mayorat laki-
laki yaitu lebih mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan,
karena anak laki-laki adalah penerus keturunan bapaknya yang ditarik dari
satu bapak asal yang disebut “anak punyimbang”, sedangkan anak
perempuan disiapkan untuk menjadi anak orang lain yang akan
memperkuat keturunan orang lain. Apabila keluarga tidak memiliki anak
laki-laki maka keluarga tersebut mengadopsi anak laki-laki dari kerabatnya
yang kurang mampu. Hubungan kekerabatan anak yang telah diangkat
tersebut dengan orang tua kandungnya terputus kecuali hubungan darah.
Apabila hanya memiliki anak perempuan dan tidak ingin keturunannya
terputus maka pihak perempuan akan mengambil anak laki-laki untuk
dijadikan suami anak perempuannya. Dalam hal ini pihak keluarga
perempuan melakukan upacara adat pengangkatan anak laki-laki tersebut
dengan ditandai oleh pemberian gelar dalam upacara adat. Setelah
perkawinan kedudukan suami dan isteri terhadap penggunaan harta
xcv
warisan adalah sejajar, sedangkan yang berhak menguasai harta warisan
adalah anak laki-laki dari keturunan mereka.
2. Pembagian warisan adat lampung pesisir di Kecamatan Talang Padang
Kabupaten Tanggamus ini tidak sesuai dengan sistem kewarisan Islam
yang membagi warisan kepada para ahli waris berdasarkan Hukum Islam.
Pada Hukum Islam para ahli waris adalah mereka yang memiliki hubungan
darah dan hubungan perkawinan, sehingga anak perempuan memiliki
kedudukan sebagai ahli waris, sementara pada Hukum Adat Lampung
Pesisir hanya anak laki-laki tertua saja yang memiliki kedudukan untuk
mewaris.
B. Saran
1. Penulis berharap agar masyarakat adat Pesisir Lampung di
Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamustetap menjaga
dan melestarikan adat dan budaya yang diwariskan nenek
moyang.
2. Namun khusus masalah waris, penulis menyarankan agar para
orangtua sebaiknya menyelesaikan permasalahan waris dengan
menggunakan hukum Islam di mana hukum Islam telah
mengatur dengan adil dan terperinci mengenai hukum waris
karena dengan mengikuti pembagian secara Islam dapat
menghindari perselisihan antar anggota keluarga akibat sengketa
waris.
xcvi
xcvii
xcviii
xcix
c
ci
cii
ciii
civ
cv
cvi
cvii
cviii
cix
cx
cxi
cxii
cxiii
cxiv
cxv
cxvi
cxvii
cxviii
cxix
cxx
cxxi
cxxii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Peneliti bernama Yenni Oktavia, lahir pada tanggal
13 Oktober 1974 di Gisting, dari pasangan Bapak H. Ahyat
Kamil dan Ibu Yulida. Peneliti merupakan anak pertama
dari lima bersaudara. Peneliti menikah dengan Pansuri pada
tanggal 20 Desember 1995. Peneliti telah dikaruniai putra-
putri 6 orang.
Peneliti menyelesaikan pendidikan formalnya di SD Negeri 1 Talang
Padang, lulus pada tahun 1987, kemudian melanjutkan pada SMP Islam
Assyafi‟iyah 04 Jakarta Timur, lulus pada tahun 1990, kemudian melanjutkan
pada SMA Islam Assyafi‟iyah 02 Jakarta Timur, lulus pada tahun 1993.
Selanjutnya peneliti melanjutkan pendidikan pada Program Studi Akhwalus
Syakhsyiyyah (AS) Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro dimulai pada Semester I Tahun Ajaran
2015/2016, yang kemudian pada Tahun 2017, STAIN Jurai Siwo Metro beralih
status menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro Lampung, sehingga
Program Studi Akhwalus Syakhsyiyyah (AS) Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam
berubah menjadi Akhwalus Syakhsyiyyah (AS) Fakultas Syari‟ah.
cxxiii