skripsi sahlan 3
DESCRIPTION
skripsiTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Salah satu sumber protein yang bermutu dan mudah diperoleh adalah telur
dan daging unggas yang kebanyakan dihasilkan dari peternakan ayam ras.
Menurut Anggorodi (1994), bahwa protein asal hewan (daging, susu dan telur)
memiliki kualitas yang tinggi. Selanjutnya dikemukakan bahwa protein hewani
lebih unggul dari pada protein tumbuh-tumbuhan untuk manusia karena lebih
berimbang dalam asam-asam amino esensialnya.
Keberhasilan produksi ternak ayam ras petelur sangat ditentukan beberapa
faktor, diantaranya potensi genetik ayam, manajemen pemeliharaan dan
makanan. Terpenuhinya kebutuhan makanan dan air minum, baik kualitas
maupun kuantitas, sangat menentukan penampilan produksi ayam yang
dibudidayakan.
Ayam ras petelur adalah salah satu jenis ternak unggas yang sangat
popular dikembangkan di kalangan masyarakat, baik dalam skala kecil yang
dikelola oleh keluarga atau sekelompok masyarakat peternak maupun dalam
bentuk industri peternakan dalam skala usaha yang cukup besar. Banong (2012)
mengemukakan bahwa ayam petelur dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase starter
(umur 1 hari-6 minggu), fase grower pertumbuhan (umur 6-18 minggu), dan fase
layer/petelur (umur 18 minggu-afkir). Khususnya fase grower, fase ini sangat
berpengaruh pada saat fase produksi atau fase layer.
Pencapaian berat badan sesuai standar menjadi salah satu parameter utama
yang menentukan baik tidaknya produktivitas ayam. Berat badan ayam melebihi
standar, bukan suatu hal yang baik. Kelebihan berat badan lebih besar 10% dari
berat normal mengakibatkan saluran pencernaan dan saluran reproduksi banyak
1
terdapat lemak sehingga perkembangan saluran reproduksi terhambat dan
parahnya saat memasuki masa produksi, biasanya akan banyak ditemukan kasus
prolapse (keluarnya sebagian saluran reproduksi) yang diakhiri dengan kematian
ayam (Anonim, 2011a).
Untuk meningkatkan produksi telur ayam ras petelur khususnya pada fase
grower bobot badan sangatlah berpengaruh pada awal produksi sehingga dapat
menghasilkan produksi telur yang optimal. Menurut Yuwanta (1998). Berat badan
ayam saat dewasa kelamin selain ditentukan oleh variasi individu juga ditentukan
oleh jumlah pakan yang dikonsumsi. Oleh karena itu perlu dicari bobot optimum
yang tepat saat mencapai dewasa kelamin sehingga dapat menunjang produksi
yang baik pada saat pullet atau saat berproduksi sehingga dapat mengoptimalkan
produksi telur
Pencapaian bobot badan yang sesuai dengan grafik pertumbuhan untuk
setiap strain ayam ras petelur pada fase pertumbuhan merupakan salah satu
indikator utama dalam pencapaian produksi telur yang optimal pada saat berada
pada fase produksi. Namun, respon individu terhadap pakan, manajemen dan
lingkungan yang berbeda pada fase pertumbuhan menyebabkan besarnya variasi
keragaman bobot badan pada saat mencapai dewasa kelamin. Untuk itu perlu
diketahui sejauh mana keragaman bobot badan pada fase grower mempengaruhi
performans produksi pada fase layer.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bobot badan pada
fase grower terhadap produksi telur saat ayam memasuki fase layer.
2
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai bahan informasi kepada para
peternak tentang berat badan yang optimal pada ayam ras petelur sebelum
memasuki fase layer sehingga dapat menghasilkan produksi telur yang tinggi.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Ayam Ras Petelur
Ayam ras petelur merupakan tipe ayam yang secara khusus menghasilkan
telur sehingga produktifitas telurnya melebihi dari produktifitas ayam lainnya.
Keberhasilan pengelolaan usaha ayam ras petelur sangat ditentukan oleh sifat
genetis ayam, manajemen pemeliharaan, makanan dan kondisi pasar (Amrullah,
2003).
Ayam petelur merupakan ayam betina dewasa yang dipelihara khusus
untuk diambil telurnya (Cahyono, 1995). Anonim (2006), menyatakan bahwa
ayam petelur tubuhnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan broiler. Produksi
telurnya antara 250 sampai 280 butir per tahun. Telur pertama dihasilkan pada
saat berumur 5 bulan dan akan terus menghasilkan telur sampai umurnya
mencapai 10 – 12 bulan. Umumnya, produksi telur yang baik akan di peroleh
pada tahun pertama ayam mulai bertelur pada tahun-tahun berikutnya cenderung
akan terus menurun.
Menurut Cahyono (1995), bahwa jenis ayam petelur di bagi menjadi dua
tipe:
1. Tipe Ayam Petelur Ringan. Tipe ayam ini disebut dengan ayam petelur putih.
Ayam petelur ringan ini mempunyai badan yang ramping/kurus-mungil/kecil
dan mata bersinar. Bulunya berwarna putih bersih dan berjengger merah.
Ayam ini berasal dari galur murni White Leghorn. Ayam galur ini sulit dicari,
tapi ayam petelur ringan komersial banyak dijual di Indonesia dengan berbagai
nama. Setiap pembibitan ayam petelur di Indonesia pasti memiliki dan menjual
ayam petelur ringan(petelur putih) komersial ini. Ayam ini mampu bertelur
4
lebih dari 260 telur per tahun. Sebagai petelur, ayam tipe ini memang khusus
untuk bertelur saja sehingga semua kemampuan dirinya diarahkan pada
kemampuan bertelur, karena dagingnya hanya sedikit. Ayam petelur ringan ini
sensitif terhadap cuaca panas dan keributan, dan ayam ini mudah kaget dan bila
kaget ayam ini produksinya akan cepat turun, begitu juga bila kepanasan.
2. Tipe Ayam Petelur Medium. Bobot tubuh ayam ini cukup berat. Meskipun itu,
beratnya masih berada di antara berat ayam petelur ringan dan ayam broiler,
oleh karena itu ayam ini disebut tipe ayam petelur medium. Tubuh ayam ini
tidak kurus, tetapi juga tidak terlihat gemuk. Telurnya cukup banyak dan juga
dapat menghasilkan daging yang banyak. Ayam ini disebut juga ayam tipe
dwiguna. Karena warnanya coklat, maka ayam ini disebut ayam petelur coklat
yang umumnya mempunyai warna bulu yang coklat juga. Dipasaran konsumen
berpendapat telur coklat lebih disukai dari pada telur putih, kalau dilihat dari
warna kulitnya memang lebih menarik yang coklat dari pada putih, tapi dari
segi gizi dan rasa relatif sama. Satu hal yang berbeda harganya di pasar, harga
telur coklat lebih mahal dari telur putih dan produksinya telur coklat lebih
sedikit dari pada telur putih. Selain itu daging dari ayam petelur medium akan
lebih laku dijual sebagai ayam pedaging dengan rasa yang enak. Tabel 1.
menggambarkan performans beberapa strain ayam petelur.
5
Tabel 1. Performans Beberapa Strain Ayam Petelur
StrainUmur Awal
Produksi (minggu)
Umur pada Produksi
50% (minggu)
Puncak Produksi
(%)FCR
Lohmann Brown MF 402 19-20 22 92-93 2,3-2,4
Hisex Brown 20-22 22 91-92 2,36
Bovans White 20-22 21-22 93-94 2,2
Hubbard Golden Comet 19-20 23-24 90-94 2,2-2,5
Dekalb Warren 20-21 22,5-24 90-95 2,2-2,4
Bovans Goldline 20-21 21,5-22 93-95 1,9
Brown Nick 19-20 21,5-23 92-94 2,2-2,3
Bovans Nera 21-22 21,5-22 92-94 2,3-2,45
Bovans Brown 21-22 21-23 93-95 2,25-2,35
Sumber: Rasyaf (1995).
Gambaran Umum Ayam Lohmann Brown
Lohmann Brown adalah ayam tipe petelur yang populer untuk pasar
komersial, ayam ini merupakan ayam hibrida dan selektif dibiakkan khusus untuk
menghasilkan telur, diambil dari jenis Rhode Island Red yang dikembangkan oleh
perusahaan asal Jerman bernama Lohmann Tierzuch. Kebanyakan ayam ini
memiliki bulu berwarna coklat seperti caramel, dengan bulu putih di sekitar leher
dan di ujung ekor (Anonim,2011b).
Ayam ini mulai dapat bertelur pada umur 18 minggu, menghasilkan 1 butir
telur per hari, dapat bertelur sampai 300 butir pertahun dan biasanya bertelur pada
saat pagi atau sore hari. Kebanyakan orang akan memelihara ayam ini pada fase
grower atau fase dimana ayam ini akan mulai berproduksi (Anonim,2011b). Tabel
6
2. menunjukkan berat rata-rata strain ayam Lohman Brown dan Gambar 1.
menunjukkan grafik produksi telur Lohmann Brown.
Tabel 2. Berat Rata-Rata Strain Ayam Lohman Brown.UsiaMm
Berat Badan Usia Berat Badan Usia Berat Badan(
Minggu) (g) (Minggu) (g) (
Minggu) (g)
4 265 - 285 30 1824 – 2016 56 1886 - 20846 458 - 492 32 1829 – 2021 58 1891 - 20908 661 - 709 34 1834 – 2027 60 1895 - 209510 843 - 905 36 1838 – 2032 62 1900 - 210012 1006 – 1080 38 1843 – 2037 64 1905 - 210514 1155 – 1239 40 1848 – 2042 66 1910 - 211116 1283 – 1377 42 1853 – 2048 68 1914 - 211618 1423 – 1527 44 1857 – 2053 70 1919 - 212120 1583 – 1697 46 1862 – 2058 72 1924 - 212622 1727 – 1853 48 1867 – 2063 74 1929 - 213224 1786 – 1954 50 1872 – 2069 76 1933 - 213726 1805 – 1995 52 1876 – 2074 78 1938 - 214228 1815 – 2006 54 1881 – 2079 80 1943 - 2147
Sumber: Anonim (2007).
Produksi Telur %
Umur (Minggu)
Sumber: Anonim (2007).
Gambar 1. Grafik Produksi Telur Ayam ras strain Lohmann Brown.
7
Pertumbuhan dan Pertambahan Berat Badan
Morrison (1967) menyatakan pertumbuhan adalah sebagian dari
pertambahan besar urat daging dan jaringan – jaringan lainnya yang mengandung
protein yang sangat penting dalam peternakan, karena mempunyai titik tolak
produksi yang merupakan hasil akhir. Selanjutnya Tillman, Hartadi, Prawiro dan
Lebdosoekodjo (1986), menyatakan bahwa, pertumbuhan pada hewan merupakan
suatu fenomena universal yang bermula dari satu sel yang telah dibuahi dan
berlanjut sampai hewan menjadi dewasa. Pertumbuhan umumnya dinyatakan
dengan berat badan melalui penimbangan berulang-ulang tiap hari dan tiap
minggu.
Dalam kehidupan sehari-hari proses pertumbuhan umumnya diartikan
sebagai pertambahan berat badan sejak terjadinya fertilisasi sampai dewasa.
Pertumbuhan biasanya mulai perlahan-lahan, kemudian berlangsung lebih cepat
dan akhirnya perlahan-lahan bahkan berhenti (Anggorodi. 1985).
Crampton dan Harris (1968) yang dikutip oleh Waskito (1983)
mengemukakan bahwa proses pertumbuhan terjadi peningkatan jaringan otot,
tulang, dan organ-organ lainnya, di dalam hal ini perubahan pertambahan berat
badan, sehingga totalitas pertumbuhan dari berbagai macam komposisi tubuh
berbeda satu sama lain.
Pertumbuhan adalah hasil langsung yang dapat dilihat pada hewan-hewan
muda dan perkembangan yang terjadi adalah perkembangan jaringan, air, dan
tulang. Card dan Nesheim (1972) menyatakan bahwa pertambahan berat badan
setiap minggu tidak merata dan maksimum pertumbuhan tercapai pada umur 8
minggu setelah itu pertambahan berat badannya setiap minggu akan menurun.
8
Anggorodi (1990), menyatakan bahwa pertumbuhan mencakup
pertumbuhan dalam bentuk dan berat jaringan-jaringan pembangun seperti urat
daging, tulang, jantung, otak dan semua jaringan tubuh kecuali jaringan lemak.
Pertumbuhan dapat terjadi dengan penambahan jumlah sel, disebut hyperplasi dan
dapat pula terjadi dengan penambahan ukurannya yang disebut hipertropi. Marks
(1989), menyatakan bahwa pertambahan berat badan sangat dipengaruhi oleh
makanan yang dikonsumsi dan konsumsi air minum, umur serta lingkungan.
Pertumbuhan dipengaruhi oleh banyak faktor, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Soeharsono (1976) bahwa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan adalah strain yang digunakan, mutu ransum, temperatur lingkungan,
sistem perkandangan, dan pengendalian penyakit. Lebih lanjut dikatakan bahwa
pertumbuhan adalah hasil interaksi antara heriditas dan lingkungan dimana
sumbangan genetik terhadap pertumbuhan kurang lebih 30%, sedangkan
lingkungan 70%. Hal ini berbeda yang dilaporkan oleh North (1990) yang
menyatakan bahwa sumbangan faktor genetik terhadap pertumbuhan adalah
sekitar 45% dan faktor lingkungan sekitar 55%. Sedangkan Jull (1978)
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu dimana ayam
dipelihara, ransum yang diberikan, penyakit, genetik dan keturunan.
Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran besar dari tubuh yang
meliputi pertambahan besar dari organ-organ tubuh, jaringan-jaringan otot, dan
jaringan tulang (Jull, 1978). Sedangkan Anggorodi (1985) mengatakan bahwa
pertumbuhan merupakan manifestasi dari perubahan dalam unit pertumbuhan
terkecil yakni sel, yang mengalami hyperplasia dan hypertropi (terjadi
9
penambahan dalam ukuran). Tabel 3. menjelaskan tentang perkembangan bobot
badan , konsumsi pakan dan produksi telur ayam petelur coklat.
Tabel 3. Perkembangan Normal Bobot Badan, Konsumsi Pakan dan Produksi Telur Ayam Petelur Coklat.
Umur Rata-rata BB/kg/ekor
Konsumsi pakan Produksi (%)(minggu) Harian (g/ekor) Total (g)
1 - 10 0,07 -4 0,27 35 0,65 -8 0,59 54 1,97 -12 0,91 64 3,70 -16 1,23 72 5,61 -19 1,47 80 7,24 120 1,55 82 7,81 521 1,62 87 8,49 1022 1,70 96 9,21 4023 1,75 100 9,82 65-70
24-25 1,83 105 11,24 82,3-89,426-27 1,92 110 12,78 92,1-92,728-40 1,98 120 25,49 90,9-93,540-45 2,01 119 27,15 88,7-90,946-56 2,03 118 40,76 82,4-88,757-60 2,04 117 41,94 79,5-82,460-63 2,05 117 42,74 77,2-79,560-65 2,05 116 43,37 75,7-77,266-76 2,06 115 52,15 66,4-75,777-80 2,08 115 55,31 62,9-65,5Sumber : Anonim 2001.
Produksi Telur
Blakely dan Bade (1991) menyatakan bahwa untuk ayam petelur produksi
telur rata-rata yang baik adalah 20 butir per bulan. Tilman, dkk. (1986)
kemampuan ayam petelur berproduksi tinggi akam menghasilkan rata-rata 250
butir telur per-ekor pertahun dengan berat kira-kira mencapai 60 g. Amrullah
(2003), menyatakan bahwa petelur unggul dapat berproduksi sampai 70% atau
10
275 butir pertahun. Produksi telur ayam lokal di Indonesia dengan makanan yang
baik juga berkisar dari 40-50%.
North dan Bell (1990) menyatakan bahwa jumlah telur yang dihasilkan
selama fase produksi sangat di tentukan oleh perlakuan yang diterima termasuk
pada fase starter dan grower khususnya imbangan nilai gizi pakan yang diberikan.
Selanjutnya Anonim (2005) menyakan bahwa penurunan rataan produksi telur
tergantung pada lingkunagn, kualitas pakan, pemberian pakan, strain dan faktor
manajemen .
Berat telur dan ukuran telur berbeda-beda, akan tetapi antara berat dan
ukuran telur saling berhubungan (Sarwono, 1994). Kemudian ditambahkan
berdasarkan beratnya, telur ayam ras dapat digolongkan menjadi beberapa
kelompok sebagai berikut : 1). Jumbo, dengan berat 65g per butir, 2). Ekstra
besar, dengan berat 60-65g per butir, 3). Besar, dengan berat 55-60g per butir, 4).
Sedang, dengan berat 50-55g per butir, 5). Kecil, dengan berat 45-50g per butir,
dan kecil sekali, dengan berat di bawah 45g per butir.
Menurut Tillman, dkk. (1986), berat rata-rata sebutir telur ayam ras yang
sedang berproduksi adalah 60 gram dengan rata-rata produksi pada titik optimal
adalah 250 butir per ekor per tahun. Selanjutnya Romanoff dan Romanoff (1963)
menyatakan, bahwa membrane telur 10,5%, putih telur atau albumen 58,5%, dan
kuninmg telur atau yolk 31,0 % dari berat telur.
Anggorodi (1994) mengemukakan bahwa besarnya telur di pengaruhi oleh
beberapa faktor termasuk sifat genetic, tingkat dewasa kelamin, umur, obat-
obatan,dan makanan sehari-hari. Faktor makanan terpenting yang diketahui
mempengaruhi besar telur adalah protein dan asam amino yang cukup dalam
11
pakan. Selanjutnya di jelaskan, bahwa di samping ransum yang berkualitas baik
juga air minum turut berpengaruh terhadap ukuran besar telur, dimana pada ayam
kekurangan air minum akan mempengaruhi organ reproduksinya. North dan Bell
(1990) menyatakan, bahwa telur dihasilkan dari induk ayam yang baru bertelur
atau induk muda lebih kecil dibandingkan dengan telur yang dihasilkan dari induk
yang lebih tua. Mude (1987) melaporkan, bahwa besar dan berat telur dapat
dipengaruhi oleh suhu lingkungan dimana telur itu di tempatkan dan berat
maksimum dapat dicapai pada suhu lingkungan yang rendah dan berat terendah di
atas suhu 29oC.
12
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai April 2012,
bertempat di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan,
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Materi Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik,
kandang cage, ember, sekop, gerobak dan timbangan.
Sedangkan Bahan yang digunakan adalah ayam ras petelur fase grower
dengan umur 13 minggu strain Lohman Brown sebanyak 126 ekor, telur, pakan
(jagung giling, dedak dan konsentrat), dan vitamin (egg stimulant).
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara eksperiment dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) 3 perlakuan dan 21 kali ulangan.
Adapun perlakuan yang diterapkan pada berat pullet umur 16 minggu sebagai
berikut :
B1 : Ringan (< 1300 g)
B2 : Sedang (1300-1400 g)
B3 : Berat ( > 1400 g)
13
Prosedur Penelitian
a. Sumber Data
Data yang gunakan pada penelitian ini berasal dari dua sumber data yaitu
data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari hasil pencatatan
(recording) yang telah dilakukan oleh Laboratorium Ternak Unggas Fakultas
Peternakan Unhas. Pullet yang digunakan memiliki tingkat keseragaman yang
tinggi pada saat pemasukan sehingga dilakukan pengelompokan berat badan dan
dilakukan pencatatan (ayam berumur 17 sampai 20 minggu). Sedangkan data
primer merupakan data pengamatan selama pelaksanaan penelitian yang
merupakan kelanjutan dari data sekunder (pada saat ayam berumur 21 minggu
sampai dengan akhir puncak produksi yaitu umur 29 minggu).
b. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini menggunakan 126 ekor ayam fase grower, strain Lohman
Brown. Pada umur 16 minggu ayam ditimbang dan dibagi dalam 3 kelompok
bobot badan yaitu < 1300 g (ringan), 1300-1400 g (sedang) dan > 1400 g (berat).
Ayam ditempatkan dalam kandang cage berderet, tiap deretan memiliki 21 unit,
Tiap unit cage diisi 2 (dua) ekor, sehingga setiap perlakuan menggunakan 42 ekor
ayam. Ukuran setiap unit cage mempunyai lebar 40 cm, panjang 30 cm dan tinggi
40 cm, berdinding dan berlantai kawat, dilengkapi dengan tempat makan dan
minum, terbuat dari pipa pvc (puralon).
Pemberian pakan berdasarkan jenis pakan dan konsumsi harian (Tabel 6)
dan air minum secara ad libitum, yang diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan
sore hari. Untuk pakan grower terdiri atas 30% konsentrat SLC-22 yang
dicampur dengan 45% jagung dan 25% dedak, sehingga kandungan protein yang
14
di dapatkan dari ketiga pakan tersebut sebanyak 16%. Sedangkan pakan yang
diberikan pada fase layer terdiri atas 30% konsentrat RK 24 AA++ yang dicampur
dengan 40% jagung dan 30% dedak, sehingga di dapatkan kandungan protein
sebanyak 17.03%. Kandungan nutrisi konsentrat SLC-22 dan RK 24 AA dapat
dilihat pada Tabel 4 dan 5 :
Tabel 4. Kandungan Nutrisi Konsentrat (SLC- 22)No. Zat Nutrisi Persentase1 Kadar Air 122 Protein 27-293 Lemak 24 Serat 105 Abu 156 Kalsium 37 Phospor 1,20
Sumber : Analisis PT. Charoen Pokphan Indonesia.
Tabel 5. Kandungan Nutrisi Konsentrat (RK 24 AA)No. Zat Nutrisi Persentase1 Kadar Air 122 Protein 34-363 Lemak 34 Serat 85 Abu 306 Kalsium 107 Phospor 1,1
Sumber : Analisis PT. Charoen Pokphan Indonesia.
Tabel 6. Jumlah Pemberian.
15
Umur (Minggu)
Jumlah Pemberian(g/Ekor/Hari)
Jenis Pakan
13 65 Pakan Grower14 6615 7016 7517 7518 78 Pakan Layer19 8020 8021 9022 9523 10024 10525 11026 11027 11528 120
Parameter Yang Diukur
1. Umur produksi pertama (hari) : Dihitung dari menetas sampai dengan
memproduksi telur pertama
2. Bobot badan awal produksi (g) : Menimbang bobot badan pertama berproduksi
menggunakan timbangan duduk.
3. Produksi telur
a. Produksi telur : Banyaknya telur yang dihasilkan dari awal produksi
sampai dengan puncak produksi.
b. Berat telur pertama (g) : Diukur dengan cara menimbang berat telur
perbutir dengan menggunakan timbangan analitik.
c. Umur pada puncak Produksi (minggu)
d. Berat rata-rata telur (g)
Analisis Data
16
Data yang diperoleh diolah secara analisis ragam berdasarkan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) 3 perlakuan dengan 21 kali ulangan. Apabila perlakuan
berpengaruh nyata maka diuji lebih lanjut dengan menggunakan Uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) (Gazpersz, 1991). Adapun model matematika yang digunakan
adalah sebagai berikut :
Yij = µ + α i + ε ij
dimana : i = 1, 2, 3j = 1, 2, . . ., 21
Keterangan :
Yij = Produksi telur ke – j yang memperoleh perlakuan ke – i.
µ = Nilai tengah populasi (rata-rata populasi)
α i = Pengaruh perlakuan ke - i
ε ij = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke - j dan yang memperoleh
perlakuan ke – i.
HASIL DAN PEMBAHASAN
17
Umur Produksi Pertama
Hasil rata-rata umur produksi pertama ayam ras petelur dengan berat
badan yang berbeda pada fase grower dapat dilihat pada Gambar 2.
B1 B2 B30
20
40
60
80
100
120
140
160
180164.71a 155.29b
141.95c
Um
ur P
rodu
ksi P
erta
ma
(Har
i)
Berat Badan (g)
Gambar 2. Rata-Rata Umur Produksi Pertama Ayam Ras Petelur Dengan Berat Badan yang Berbeda pada Fase Grower
.Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa, berat badan ayam ras
petelur fase grower berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap umur produksi pertama
pada fase produksi. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) memperlihatkan bahwa
rata-rata umur produksi pertama antara perlakuan B1, B2 dan B3 berpengaruh
nyata. Namun, dibandingkan dengan perlakuan B1 dan B2 pada perlakuan B3
akan lebih awal bertelur. Hal ini mungkin disebabkan terbatasnya konsumsi
protein pada saat periode pertumbuhan, yang mengakibatkan awal peneluran lebih
rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Leeson dan Caston (1997) yang
menyatakan bahwa pada ayam petelur pada taraf protein 12 % pada periode
pertumbuhan umur 12-30 minggu mengakibatkan pubertas yang lebih dini
dibanding protein rendah. Terbatasnya konsumsi protein pada saat periode
18
pertumbuhan akibat dari terlambatnya pertumbuhan jaringan dan terbatasnya
persediaan pertumbuhan jaringan dan terbatasnya persediaan cadangan material
untuk pembentukan telur pertama. Etches (1996) mengemukakan bahwa
Pemberian ransum pada saat pertumbuhan akan berpengaruh terhadap
perkembangan organ reproduksi dan dewasa kelamin, sehingga berdampak pada
kemampuan menghasilkan telur pada saat periode produksi.
Berat Badan Awal Produksi
Rata-rata berat badan awal produksi ayam ras petelur dengan berat badan
yang berbeda pada fase grower dapat dilihat pada Gambar 3.
B1 B2 B30
200400600800
10001200140016001800 1673.57 1714.05 1743.57
Berat Badan (g)
Ber
at B
adan
Aw
al P
rodu
ksi
(g)
Gambar 3. Rata-rata Berat Badan Awal Produksi Ayam Ras Petelur dengan Berat Badan yang Berbeda pada Fase Grower
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berat badan
yang berbeda pada fase grower tidak memberi pengaruh yang nyata (P > 0.05)
terhadap berat badan awal produksi. Dari data terlihat bahwa berat badan awal
produksi, rata-rata berat ayam petelur relatif sama. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh tidak seimbangnya asupan energi yang terdapat dalam bahan
19
makanan pada saat periode starter sehingga hanya mampu memenuhi untuk
kehidupan pokok tetapi tidak untuk produksi. Jika dibandingkan dengan pendapat
Leeson dan Caston (1997) yang menyatakan bahwa, ayam-ayam yang tidak
dilakukan seleksi/penimbangan secara total dan hanya melakukan penimbangan
sample 10% dari jumlah ayam, berat badan ayam yang dihasilkan tidak akan bisa
seragam, sehingga dewasa kelamin juga tidak dapat tercapai secara bersamaan
dan ayam akan mengalami awal produksi yang tidak sama. Pada unggas petelur,
apabila berat badanya sesuai dengan berat badan yang dianjurkan oleh breeder,
umumnya akan mempunyai produksi telur yang baik, sedangkan yang berat
badannya jauh lebih berat/lebih ringan dari yang dianjurkan, umumnya produksi
telur kurang baik (Coonor, Barram dan Fueling 1976). Pada saat dua minggu
menjelang dewasa kelamin konsumsi protein meningkat pada ayam yang diberi
makan bebas memilih (Forbes dan Shariatmadari, 1994) Hal tersebut dibutuhkan
untuk cadangan bahan produksi telur. Tersedianyan cadangan bahan yang cukup
di dalam tubuh dapat ditunjukkan dengan tercapainya bobot hidup optimal pada
saat dewasa kelamin (Leeson dan Summers, 1991).
Produksi Telur
20
Rata-rata Produksi telur ayam ras petelur dengan berat badan yang berbeda
pada fase grower yang diperoleh selama penelitian dapat dilihat pada gambar 4.
B1 B2 B30
102030405060708090
100110120
88.43a99.24a
111.71bPr
oduk
si T
elur
(But
ir)
Berat Badan (g)
Gambar 4. Rata-rata Produksi Telur Ayam Ras Petelur Dengan Berat Badan yang Berbeda pada Fase Grower.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa berat badan ayam ras
petelur fase grower terhadap produksi telur pada fase produksi berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap produksi telur. Setelah dilakukan uji Beda Nyata Terkecil
(BNT) menunjukkan bahwa tingkat produksi telur ayam pada perlakuan B1 tidak
berbeda dengan B2, namun pada perlakuan B1 dan B2 nyata lebih rendah
dibanding B3. Hal ini mungkin diakibatkan oleh banyaknya asupan protein yang
dikonsumsi didalam ransum selama periode bertelur. Hal ini sesuai pendapat
Lilburn dan Miller (1990) yang menyatakan bahwa, produksi telur meningkat
seiring dengan meningkatnya penambahan protein dalam ransum yang diberikan
beberapa saat (2 minggu) sebelum bertelur serta ketika saat periode bertelur. Hal
yang sama juga dikemukakan oleh Suthama (2005) yang menyatakan bahwa,
tinggi rendahnya konsumsi protein dan energi pada fase bertelur awal, secara
fisiologis akan berpengaruh pada jumlah telur yang dihasilkan. Dimana pada fase
21
bertelur awal, tubuh ayam akan memperioritaskan penggunaan zat-zat gizi untuk
memproduksi telur.
Berat Telur Awal Produksi
Rata-rata berat telur awal produksi yang diperoleh selama penelitian dapat
dilihat pada Gambar 5.
B1 B2 B305
101520253035404550 45.67 44.16 44.04
Ber
at T
elur
Per
tam
a (g
)
Berat Badan (g)
Gambar 5. Rata-rata Berat Telur Awal Produksi Ayam Ras Petelur Dengan Berat Badan yang Berbeda pada Fase Grower.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa berat badan ayam ras
petelur fase grower tidak memberi pengaruh yang nyata (P > 0.05) terhadap berat
telur awal produksi. Dengan demikian, taraf protein ransum saat periode
pertumbuhan tidak berdampak terhadap konsumsi ransum selama periode awal
produksi, yang berdampak pada berat/massa telur dan performans pada saat awal
periode produksi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Douglas dan
Harms (1982) yang menyatakan bahwa, taraf protein ransum pada saat periode
pertumbuhan hanya berpengaruh pada produksi telur saat awal produksi, tetapi
tidak berpengaruh pada berat rata-rata awal produksi. Bell dan Weaver (2002)
mengemukakan bahwa besar telur dalam batas-batas tertentu akan meningkat
22
apabila ketersediaan protein dalam tubuh bertambah karena diperlukan untuk
membentuk albumen. Begitu pula tentang kebutuhan energy, untuk membentuk
telur yang lebih besar diperlukan energi yang lebih banyak.
Umur Puncak Produksi
Hasil pengamatan umur puncak produksi yang diperoleh selama penelitian
dapat dilihat pada Gambar 6.
B1 B2 B30
5
10
15
20
25
3025 25
23
Um
ur P
unca
k P
rodu
ksi (
min
ggu)
Berat Badan (g)
Gambar 6. Rata-rata Umur Puncak Produksi Ayam Ras Petelur Dengan Berat Badan yang Berbeda pada Fase Grower.
Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa umur puncak produksi relatif
sama antara perlakuan B1 dan B2 tetapi tidak demikian dengan perlakuan B3.
Dengan demikian ayam yang berat badan diatas 1400 g akan lebih dahulu
mencapai puncak produksi dibandingkan ayam yang beratnya dibawah 1400 g.
Untuk mengetahui umur puncak produksi pada ayam ras petelur yaitu dimana Hen
Day Production (HDP) sudah memasuki produksi sekitar 90% dari setiap
kelompok perlakuan.
23
Setelah memasuki umur 18 minggu ayam petelur mempunyai
pertumbuhan yang baik, organ reproduksinya sudah dewasa ditandai dengan
perkembangnya kelamin sekunder ayam betina yaitu jengger dan pial mulai
memerah, mata bersinar, dan postur tubuh sebagai ayam petelur mulai terbentuk
(North dan Bell, 1990).Ayam dewasa kelamin pada umur 19 minggu dan ditandai
dengan telur pertama. Pada prinsipnya produksi telur akan meningkat dengan
cepat pada bulan-bulan pertama dan mencapai puncak produksi pada umur 7
sampai 8 bulan (Malik, 2003).
Berat Telur Selama Produksi
Hasil pengamatan berat rata-rata telur selama produksi dapat dilihat pada
Gambar 7.
B1 B2 B305
10152025303540455055 52.1 52.443 52.957
Ber
at T
elur
(g)
Berat Badan (g)
Gambar 7. Rata-rata Berat Telur Selama Produksi Ayam Ras Petelur Dengan Berat Badan yang Berbeda pada Fase Grower.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berat badan
ayam ras petelur fase grower tidak memberi pengaruh yang nyata (P > 0.05)
terhadap berat telur selama produksi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa,
24
berat rata-rata telur selama produksi relatif sama yaitu berkisar 52,1 – 52,9
g/ekor/hari dan dapat dikategorikan sebagai telur tipe sedang. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sarwono (1994) yang menggolongkan berdasarkan berat telur
menjadi beberapa kelompok yaitu : Jumbo (65 g), ekstra besar (60-65 g), besar
(55-60 g), sedang (50-55 g),kecil (45-50 g), dan kecil sekali (<45 g). Pemberian
protein ransum selama periode pertumbuhan hanya berpengaruh pada
pertumbuhan organ reproduksi, folikel dan bobot hidup. Sejalan dengan pendapat
Keshavarz (1995) yang menyatakan bahwa, taraf pemberian protein ransum
selama periode pertumbuhan berdampak terhadap performans produksi hanya
sampai pada awal produksi (umur 21-24 minggu), ditandai dengan adanya
perbedaan persentase produksi, massa/berat telur. Hal tersebut ditunjukkan
dengan adanya persentase produksi, berat telur yang tidak berbeda.
25
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ayam ras petelur yang lebih ringan pada fase grower memperlihatkan
umur bertelur pertama yang lebih lama dibandingkan dengan ayam yang
lebih berat. Sebaliknya produksi telur tertinggi diperlihatkan pada ayam
yang memiliki berat badan yang lebih tinggi pada fase grower.
Berat badan yang berbeda pada fase grower tidak mempengaruhi berat
badan awal produksi, berat telur pertama, umur puncak produksi, dan rata-
rata berat telur ayam pada fase produksi.
Saran
Berdasarkan penelitian ini dapat disarankan penimbangan berat badan
pada saat ayam memasuki fase grower sehingga mendapatkan keseragaman berat
badan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Seri Beternak Mandiri. Cetakan Pertama. Penerbit Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor.
Anggorodi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Kemajuan Mutakhir. Cetakan Pertama. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.
____________. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan 4. Gramedia, Jakarta.
____________. 1994. Ilmu Makanan Ternak Unggas Cetakan 5. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Anonim, 2001. Annual Report. PT. Japfa Comfeed. http://www. Japfacomfeed.co.id/profile/JapfaAnnualReport 2001. pdf . Diakses tanggal 3 Maret 2012.
_______, 2005. Manual Manajemen Layer CP 909R. PT. Charoen Pokhphand Indonesia, Surabaya.
_______, 2006. Cara Memilih Ayam Negri. http://www..peternakan .com/Tip/Ayam/topik01.htm. Diakses tanggal 3 Maret 2012.
_______, 2007. Layer Management Guide. http://www.morrishachery.com . Diakses tanggal 3 Maret 2012.
_______, 2011a. Pertumbuhan Berat Badan yang Optimal pada Ayam Petelu/Layer.http://kunta-adnan.blogspot.com/2011/07/pertumbuhan-berat-badan-yang-optimal.html. Diakses tanggal 1 Maret 2011.
_______,2011b. Growing Guide Lohmann Brown. http://realisingthedream . blogspot.com/p/lohmann-browns.html. Diakses tanggal 3 maret 2012.
Banong, S. 2012. Manajemen Industri Ayam Ras Petelur. Masagena Press, Makassar.
Bell, D.D., & W.D. Weaver. 2002. Comercial Chicken Meat and Egg Production. 5th Edition. Springer Science and Business Media, Inc., New York.
Blakely, J dan D.H Bade. 1991. Ilmu Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Cahyono, B. 1995. Ayam Petelur (Gallus sp). Pustaka Nusatama, Yogyakarta. http://warintek.progressio.or.id/-by rans.
27
Card, L.E. and M.C. Nesheim. 1972. Poultry Production. 11th Ed. Lea and Febiger, Philadelphia.
Coonor,J.K.,K.M Barram and.D.E. Fueling. 1976. Controlled Feeding of the layer.2.Restriction Intime of toFeedof the ReplacementPullet and Laying Hen. Aust. Journal.Exp.Agric Anim.Husb. 17:588-597.
Douglas, C.R. and R.H. Harms. 1982. The influence of low protein grower diets on spring housed pullets. Poult. Sci. 61: 1885-1827.
Etches, R.J. 1996. Reproduction in Poultry. University press. Cambridge.
Forbes, J.M. and F. Shariatmadari. 1994. Diet selection by poultry. World’s Poultry Sci.J. 50: 7-24.
Gazpersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Jull, M.A. 1978. Poultry Production. 3rd Ed. Mc Graw Hill Book Company Inc. New York.
Keshavarz, K. 1995. Further investigations on the effect of dietary manipulations of nutrients on early egg weight. Poult. Sci. 74:50-61
Leeson,S ., and J.D Summers. 1991. Commercial Poultry Nutrition. University Books, Guelph, Ontario, Canada.
Leeson, S . and L.J. Caston. 1997. A Problem with characteristics of the thin albumen I laying hens. Poult. Sci. 76: 1332-1336.
Lilburn, M.S. and D.J.Myers-Miller. 1990. Dietary effects on body composition and subsequent production characteristics in broiler breeder hens. Poult. Sci 69:1126-1132.
Malik, A. 2003. Dasar Ternak Unggas. Fakultas Peternakan dan Perikanan. Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.
Marks, H.L. 1989. Diovergent Selection for growth in Japanese Quail under split and complete nutritional environment. 3. Influences of selection for growth on heritic effects for body weigh, feed and wared intake patterns, abdominal fat, and carcass lipid characteristic. Poultry Science Vol. 68, No. 1 Hal 37.
Morrison, F.B. 1967. Feed and Feeding. The Morrison Publishing Co. Clinton, Iowa, USA.
Mude, M. 1987. Produktifitas dan Berat Telur pada Ayam yang Dipelihara di atas Alas Limbah yang berbeda. Tesis. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
28
North, M.O. And D.D Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th
Edition. Published By Van Nostrand Reinhald, New York.
Rasyaf, M. 1995. Penyajian Makanan Ayam Petelur. PT. Penebar Swadaya, Jakarta
Romanoff, A.L., and A.J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. John Willey and Sons Inc., New York.
Sarwono, B. 1994. Pengawetan Telur Dan Manfaatnya. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Soeharsono. 1976. Respon Broiler Terhadap Berbagai Kondisi Lingkungan. Disertasi. Universitas Padjajaran, Bandung.
Suthama, N. 2005. Respon produksi ayam kampung petelur terhadap ransum memakai dedak padi fermentasi dengan suplementasi sumber mineral. J. Indon. Trop. Anim. Agric. Pp. 116-121.
Tillman, D. A., H. Hartadi, S. Prawiro dan Lebdosoekodjo. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan Ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Waskito, M.W. 1983. Pengaruh Berbagai Faktor Lingkungan Terhadap Gala Tumbuh Ayam Broiler. Disertasi. Universitas Padjajaran, Bandung.
Yuwanta, T. 1998. Pengaruh Berat Badan Inisial dan Model Distribusi Pakan Terhadap Hirarkhis Folikuler dan Persistensi Produksi Ayam Petelur, Vol 22 (2). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Lampiran 1. Analisis Sidik Ragam Umur produksi pertama
29
Deskriptives
umur produksi pertama Mean N
Std. Deviation
% of Total N Minimum Maximum
B1 164.71 21 12.598 33.3% 150 204B2 155.29 21 11.199 33.3% 130 183B3 141.95 21 13.687 33.3% 123 164Total 153.98 63 15.514 100.0% 123 204
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups
5493.460 2 2746.730 17.477 .000
Within Groups 9429.524 60 157.159Total 14922.984 62
Berpengaruh Sangat Nyata (P<0,05)
Multiple Comparisons
(I) umur prod. pertama
(J) umur prod. Pertama
Mean Difference (I-
J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
LSD B1 B2 9.429* 3.869 .018 1.69 17.17
B3 22.762* 3.869 .000 15.02 30.50
B2 B1 -9.429* 3.869 .018 -17.17 -1.69
B3 13.333* 3.869 .001 5.59 21.07
B3 B1 -22.762* 3.869 .000 -30.50 -15.02
B2 -13.333* 3.869 .001 -21.07 -5.59
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Lampiran 2. Analisis Sidik Ragam Berat Badan Awal Produksi
30
Deskriptif
ReportHasil BBadan awl. Prod
Berat badan awal produksi Mean N
Std. Deviation Minimum Maximum
% of Total N
B1 1673.57 21 109.306 1450 1915 33.3%B2 1714.05 21 114.669 1410 1860 33.3%B3 1743.57 21 124.310 1490 1960 33.3%Total 1710.40 63 117.971 1410 1960 100.0%
ANOVAHasil BBadan awl. Prod
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups
51869.841 2 25934.921 1.919 .156
Within Groups 810995.238 60 13516.587Total 862865.079 62
Lampiran 3. Analisis Sidik Ragam Produksi Telur
31
Deskriptif
Total Produksi Mean N
Std. Deviation Minimum Maximum
% of Total N
B1 88.43 21 17.724 41 117 33.3%B2 99.24 21 17.126 69 137 33.3%B3 111.71 21 22.470 67 149 33.3%Total 99.79 63 21.232 41 149 100.0%
ANOVAHasil Total Produksi
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups
5703.079 2 2851.540 7.690 .001
Within Groups 22247.238 60 370.787Total 27950.317 62
Berpengaruh nyata (P<0,05)
Multiple ComparisonsDependent Variable:Hasil Total Produksi
(I) Total Produksi
(J) Total Produksi
Mean Difference (I-
J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
LSD B1 B2 -10.810 5.942 .074 -22.70 1.08
B3 -23.286* 5.942 .000 -35.17 -11.40
B2 B1 10.810 5.942 .074 -1.08 22.70
B3 -12.476* 5.942 .040 -24.36 -.59
B3 B1 23.286* 5.942 .000 11.40 35.17
B2 12.476* 5.942 .040 .59 24.36
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Lampiran 4. Analisis Sidik Ragam Berat lelur awal Produksi
32
Descriptives
B.telur.Awal.Pro Mean N
Std. Deviation Minimum Maximum
% of Total N
B1 45.6743 21 4.88102 37.47 56.54 33.3%B2 44.1690 21 4.10325 36.89 54.77 33.3%B3 44.0429 21 5.80297 33.95 57.75 33.3%Total 44.6287 63 4.95351 33.95 57.75 100.0%
ANOVA
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups
34.603 2 17.301 .698 .501
Within Groups 1486.710 60 24.778Total 1521.312 62
Tidak berpengaruh (P>0,05)
Lampiran 6. Analisis Sidik Ragam Berat Rata-rata Telur.
33
DescriptifHasil Berat Telur rata-rata
Berat Telur rata-rata Mean N
Std. Deviation Minimum Maximum
% of Total N
B1 52.100 21 2.4048 49.0 56.2 33.3%B2 52.443 21 2.6919 44.7 56.4 33.3%B3 51.957 21 3.8234 45.9 61.3 33.3%Total 52.167 63 2.9935 44.7 61.3 100.0%
ANOVAHasil Berat Telur rata-rata
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups
2.617 2 1.309 .142 .868
Within Groups 552.963 60 9.216Total 555.580 62
Tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
RIWAYAT HIDUP
34
Muh.Sahlan Bai’ad (I11107024), lahir di Sungguminasa
pada tanggal 9 Juni 1989, Provinsi Sulawesi Selatan.
Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, dari
pasangan suami istri Drs.H. Siradjudin sidik dan Hj.
Mukminati Saleh, S.Pd. Penulis mengawali pendidikan di
Taman Kanak-kanak (TK) Aisiyah pada tahun 1995. Pada tahun 1996 penulis
melanjutkan pendidikan di SD Inp. Bertingkat, Sungguminasa Kab.Gowa dan
lulus pada tahun 2001. Tahun 2001 sampai dengan 2007 penulis melanjutkan
pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan Madrasah Aliah (MA) pada
sekolah yang sama di Pondok Pesantren Al-Zaytun, Indramayu Prov.Jawa Barat.
Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan ke Universitas Hasanuddin
melalui jalur SPMB UNHAS dan masuk pada Fakultas Peternakan Jurusan
Produksi Ternak.
35