skripsi tp sensor gas
DESCRIPTION
SensorTRANSCRIPT
-
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Sensor Gas
Sensor secara istilah ilmu pengetahuan diartikan sebagai alat yang mampu
mengubah besaran fisika ataupun kimia menjadi besaran elektronik. Berdasarkan
besaran kondisi alam yang akan dideteksinya, sensor dibedakan menjadi dua jenis
yaitu sensor fisika dan sensor kimia. Sensor fisika merupakan alat yang mampu
mendeteksi kondisi besaran fisika seperti tekanan, gaya, tinggi permukaan air,
kecepatan angin, dan temperatur. Sementara sensor kimia merupakan alat yang
mampu mengubah fenomena kimia, seperti komposisi gas dalam suatu udara,
kadar keasaman, susunan zat suatu bahan makanan, dan perubahan konduktivitas.
Secara umum model sensor gas atau sensor kimia meliputi bagian
penerima yang memiliki sensitivitas terhadap zat yang akan dideteksi yang
dikenal dengan hidung sensor (sensitive layer/nose parts/chemical interface), dan
bagian transduser yaitu bagian yang mampu mengubah hasil deteksi tersebut
menjadi sinyal elektrik (anonim, 2010).
Material yang biasa diaplikasikan menjadi sensor gas adalah material
oksida misalnya TiO2, ZrO2, ZnO, SnO2 dan lain-lain. Material oksida yang dapat
diaplikasikan sebagai sensor gas harus memiliki sifat kristalin yaitu struktur
atomnya berulang dalam periode tertentu. Untuk mengetahui kualitas kristal
material oksida dapat menggunakan X-Ray Diffractometer (XRD). Kristalinitas
dari material oksida dipengaruhi oleh ukuran grain (butir), apabila grainnya besar
-
6
maka kristalinitas material oksida tinggi, begitu pula sebaliknya. Pertumbuhan
grain ini dapat terhenti oleh pertumbuhan grain yang lain. Batas antar butir yang
terbentuk dalam material disebut batas butir (grain boundary). Batas butir terjadi
karena adanya pertumbuhan butir kristal. Apabila butir kristal tumbuh kemudian
bertemu dengan butiran kristal lain yang berbeda orientasi kristalnya maka
terjadilah batas butir. Untuk mengetahui besar batas butir dalam material dapat
dianalisa melalui SEM (Scanning Electron Microscope).
Pada material sensor gas, batas butirlah yang mengambil peranan penting.
Pada batas butir ini terjadi proses chemisorbed oksigen, hal ini dikarenakan energi
permukaan pada batas butir lebih tinggi dari pada butir/kristal sehingga oksigen
lebih mudah terdifusi dan terabsorb ke daerah batas butir (anonim, 2010).
Karakteristik sensor ditentukan dari sejauh mana sensor tersebut mampu
mengenali zat yang dideteksinya. Kemampuan mendeteksi zat tersebut meliputi
(Brian Yuliarto, 2005)
1. Sensitivitas, merupakan ukuran seberapa sensitif sensor mengenali zat
yang dideteksinya. Sensor yang baik mampu mendeteksi zat yang akan
dideteksi meskipun zat tersebut jumlahnya sangat sedikit dibandingkan
dengan zat di sekelilingnya. Rumus untuk menghitung kesensitifan gas
adalah:
0
0
RRR
S gg
= (1.1)
Dengan :
Sg = sensitivitas gas etanol
R0 = resistivitas di medium udara
-
7
Rg = resistivitas di medium gas etanol
2. Selektivitas, merupakan sejauh mana sensor meimliki kemapuan
menyeleksi gas yang ingin dideteksinya, karena gas yang akan dideteksi
tentunya akan bercampur dengan zat lain yang ada disekelilingnya.
3. Waktu respon dan waktu recovery, merupakan waktu yang dibutuhkan
sensor untuk mengenali zat yang dideteksinya. Semakin cepat waktu
respon dan waktu recovery maka semakin baik sensor tersebut.
4. Stabilitas dan daya tahan, merupakan sejauh mana sensor dapat secara
konsisten meberikan besar yang sama untuk suatu gas, serta seberapa lama
sensor tersebut dapat terus digunakan.
1.2 Pengenalan Teknologi Film Tebal
Teknologi film tebal adalah suatu teknologi penyambungan komponen
elektronika menggunakan bahan pasta konduktif, resistif atau induktif yang
dikerjakan pada substrat keramik. Pembuatan keramik dengan menggunakan
teknologi film tebal ini dibuat dengan metoda screen printing. Teknologi ini
terdiri atas sejumlah langkah yaitu pembuatan screen, pencetakan, dan
pemanasan. Ketebalan film tebal yaitu antara 1025 m (Carter, 2007).
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan film tebal ini meliputi
screen, substrat, pasta. Screen berfungsi untuk menentukan pola yang akan
dicetak dan menentukan ketebalan pasta yang akan ditempelkan pada substrat,
screen terbuat dari serat berupa tenunan yang berlubang-lubang.
-
8
Gambar 2.1 Proses screen printing pada film tebal (Carter, 2007).
Substrat berfungsi sebagai media pada film tebal. Substrat yang digunakan
harus memiliki sifat kestabilan dimensi (tidak mudah berubah), tahan terhadap
gesekan, konstanta dielektrik yang rendah, permukaan rata dan halus, stabilitas
kimia yang baik dan kecocokan dengan pasta, penghantar panas yang baik, daya
serapnya rendah, jenis isolator yang baik. Bahan substrat biasa digunakan dalam
pembuatan film tebal ini adalah alumina (Al2O3) (Carter, 2007).
Pelogaman film tebal bertujuan untuk membentuk rangkaian listrik pada
keramik atau substrat logam, digunakan untuk sistem listrik pada aplikasi
rangkaian pasif (resistor, induktor dan kapasitor). Pada prosesnya, serangkaian
pemetaan logam dan lebih dari 35 lapisan dielektrik dibuat di atas substrat
menggunakan proses pencetakan dan pembakaran (anonim, 2010)..
Pencetakan film tebal dengan menggunakan perak, palladium dengan
perak, atau emas mempunyai daya kerja tersendiri yang khusus pada suatu
atmosfer udara, biasanya suhu yang digunakan 850 0C dengan waktu 30 sampai
60 menit (anonim, 2010).
-
9
Teknologi film tebal memiliki banyak keuntungan, antara lain :
Daya hantar termal tinggi (96% alumina) = 0,890 W/(oC*in)
Daya kerja RF dan frekuensi yang sempurna
Konstanta dielektrik (96% alumina) = 9,5 0,2 (1 kHz - 10 GHz),
Penempelan langsung resistor ke substrat : Resistor-resistor dibuat secara
termal pada suhu yang sama
Rasio nilai resistan antar resistor = 0,25%
Stabilitas resistor = 100 ppm
Fungsi trim pada modul : Dapat mengurangi toleransi komponen
Meningkatkan densitas : Mengurangi ukuran dan berat
Stabilitas ukuran yang sempurna
Mengurangi kerumitan papan sirkuit
Meningkatkan reliabilitas :
o Suhu persambungan komponen-komponennya lebih rendah
o Pensolderannya lebih sedikit
o Daya kerja pada tekanan dan tegangan tinggi yang sempurna
1.3 Material Keramik Semikonduktor
Keramik secara ilmiah adalah benda-benda yang dibuat dari bahan lunak
dari alam yang dijadikan keras dengan cara pemanasan (anonim, 2008). Definisi
lain menyatakan bahwa keramik adalah suatu bahan inorganik yang merupakan
pencampuran senyawa logam dan non-logam dengan memberi perlakuan seperti
pemanasan dan pemberian tekanan, sehingga keramik memiliki sifat kuat, keras,
-
10
memiliki titik cair yang tinggi serta lambat terhadap proses kimiawi
(Kingery, 1976),
Pada umumnya keramik memiliki kapasitas panas yang baik,
konduktivitas panas yang rendah, tahan korosi, keras dan kuat, namun rapuh. Sifat
listriknya dapat insulator, semikonduktor, konduktor bahkan superkonduktor,
sedangkan sifat magnetnya dapat magnetik dan non-magnetik,
Dua jenis ikatan yang dapat terjadi dalam keramik, yakni ikatan ionik dan
kovalen. Sifat keseluruhan material bergantung pada ikatan yang dominan.
Klasifikasi Bahan keramik dapat dibedakan menjadi dua kelas : kristalin dan
amorf (non kristalin). Dalam material kristalin terdapat keteraturan jarak dekat
maupun jarak jauh, sedang dalam material amorf mungkin keteraturan jarak
pendeknya ada, namun pada jarak jauh keteraturannya tidak ada. Jenis ikatan yang
dominan (ionik atau kovalen) dan struktur internal (kristalin atau amorf)
mempengaruhi sifat-sifat bahan keramik. Sifat termal yang penting pada bahan
keramik adalah kapasitas panas, koefisien ekspansi termal, dan konduktivitas
termal.
Dari sifat listriknya keramik dibagi menjadi konduktor, isolator dan
semikonduktor. Pembagian ini didasarkan pada perbedaan ukuran sela energi
terlarang. Pada konduktor ukuran sela energi terlarang sangatlah dekat dan hampir
berhimpit (bertumpang tindih) sehingga elektrton pada tingkat valensi akan
mudah pindah ke tingkat konduksi tanpa adanya energi dari luar contonya pada
magnesium.
-
11
Konfigurasi elektron atom Mg adalah 1s2 2s2 2p6 3s2; orbital 3s terisi
penuh. Pita valensi 3s pada padatan juga akan terisi penuh. Namun pada jarak
keseimbangan antar atom, pita 3s telah bertumpang tindih dengan pita 3p.
Diagram pita valensi padatan ini dapat kita gambarkan seperti pada gambar 2.1.
yang memperlihatkan bertumpang tindihnya pita 3s dan 3p(Sudaryanto, 2010).
Gambar 2.2 Diagram pita energi padatan Mg (Sudaryanto, 2010)
Sebagian elektron di 3s akan menempati bagian bawah 3p sampai
keseimbangan tercapai. Jumlah tingkat energi elektron di 3s semula adalah 2N dan
dengan bertumpang tindihnya 3s dan 3p tersedia sekarang 2N + 6N = 8N tingkat
energi dan padatan Mg adalah konduktor yang baik (Sudaryanto, 2010). Jadi
elemen yang memiliki orbital terisi penuh, dapat menjadi padatan yang bersifat
sebagai konduktor jika terjadinya tumpang tindih antara pita energi yang terisi
penuh dengan pita energi yang kosong (Sudaryanto, 2010).
Pita energi yang tumpang-tindih dapat dipandang sebagai pelebaran pita.
Elektron yang berada pada pita yang tumpang-tindih mempunyai kesempatan
lebih luas untuk berpindah tingkat energi karena adanya tambahan tingkat energi
dari orbital yang lebih tinggi. Dalam kasus atom Na, elektron di orbital 3s dengan
mudah pindah ke 3p dan 3d; elektron ini berada dalam pita energi gabungan
yang jauh lebih lebar dari pita s dimana semula ia berada.
-
12
Pada isolator, pita valensi terisi penuh elektron dan jarak sela energi
terlarang cukup lebar. Material isolator ini tidak mudah menghantarkan arus
listrik, karena elektron yang berada pada pita valensi harus melompati celah
energi dan masuk ke pita konduksi, perpindahan ini hampir tidak mungkin kecuali
dengan menambakan energi yang besar dari luar.
Gambar 2.3 Diagram pita energi material isolator (Sudaryanto, 2010)
Sedangkan pada semikonduktor, celah energi sempit maka jika temperatur
naik, sebagian elektron di pita valensi naik ke pita konduksi dengan mudah dan
meninggalkan tempat kosong (hole) di pita valensi. Baik elektron yang telah
berada di pita konduksi maupun hole di pita valensi akan bertindak sebagai
pembawa muatan untuk terjadinya arus listrik. Konduktivitas listrik naik dengan
cepat dengan naiknya temperatur. Konduktivitas listrik tersebut disebut
konduktivitas intrinksik.
Gambar 2.4 Diagram pita energi material semikonduktor (Sudaryanto, 2010)
-
13
Konduktivitas material semikonduktor juga dapat ditingkatkan dengan
penambahan atom asing tertentu (pengotoran, impurity). Jika atom pengotor
memiliki 5 elektron terluar (pentavalen), maka akan ada kelebihan satu elektron
tiap atom. Kelebihan elektron ini akan menempati tingkat energi sedikit di bawah
pita konduksi dan dengan sedikit tambahan energi akan sangat mudah berpindah
ke pita konduksi dan berkontribusi pada konduktivitas listrik. Atom pengotor
seperti ini disebut donor (karena ia memberikan elektron lebih), semikonduktor
dengan adanya donor disebut semikonduktor tipe n.
Gambar 2.5 Gambar (a) doping atom pentavalen, (b) diagram pita energy semikonduktor tipe-n (Irwan Arifin, 2004)
Jika atom pengotor memiliki 3 elektron terluar (trivalent), maka akan ada
kelebihan satu hole tiap atom. Kelebihan hole ini akan menempati tingkat energi
sedikit di atas pita valensi dan dengan sedikit tambahan energi akan sangat mudah
elektron berpindah dari pita valensi ke hole di atasnya dan meninggalkan hole di
pita valensi yang akan berkontribusi pada konduktivitas listrik. Atom pengotor
seperti ini disebut akseptor (karena ia menerima elektron dari pita valensi),
semikonduktor dengan adanya akseptor disebut semikonduktor tipe p.
-
14
Gambar 2.6 Gambar (a) doping atom trivalen, (b) diagram pita enegi semikonduktor tipe-p (Irwan Arifin, 2004)
1.4 Hematit (Fe2O3)
Hematit termasuk salah satu bentuk dari oksida logam yang paling stabil.
Pada temperatur di bawah 995o K hematit bersifat antiferomagnetik
(Egowibawa, 2007). Hematit mempunyai struktur kristal corondum atau
rhombohedral holohedral yang tergolong pada heksagonal dimana atom besi (Fe)
berikatan dengan atom oksigen (O2+) ataupun dengan diatomik anion hydroksida
(OH-) (Egowibawa, 2007). Hematit memiliki parameter kisi a= 5.0345 ,
c= 13,749 dan = 550 18 (Deer et al, 1962).
Gambar 2.7 Struktur kristal hematit (Egowibawa, 2007)
-
15
Hematit memiliki massa jenis 5,255 gram/cm3, tingkat kekerasan berkisar
antara 5-6 (GPa) dan berat molekul 159,69 gram/mol (Deer et al, 1962; Barsoum,
1997). Hematit terdekomposisi menjadi Fe2O4 dan O2 pada suhu 1735 K (Deer et
al, 1962; Barsoum, 1997). Hematit termasuk semikonduktor tipe-n dengan band
gap 3.1 eV (Kingery, 1960).
Berdasarkan penelitian diketahui dalam hematit selain mengandung Fe2O3
ditemukan sejumlah kecil Mn, FeO, SiO dan Al2O3. SiO dan Al2O3 yang terdapat
dalam hematit dapat dinilai sebagai pengotor (Deer et al, 1962).
1.5 Zinc Oxide (ZnO)
ZnO termasuk salah satu material oksida berupa serbuk putih dan hampir
tidak larut dalam air, akan tetapi jika dipanaskan ZnO dapat berubah dari putih
menjadi kuning (anomin, 2010).
ZnO sering disebut semikonduktor II-VI kerena seng dan oksigen terdapat
pada golongan II dan VI dalam table periodik. ZnO memiliki beberapa sifat,
diantaranya memiliki sifat tembus yang bagus, mobilitas electron yang tinggi,
bandgap-nya lebar, dan kuat pada temperatur ruang (anonim, 2010). Selain itu
ZnO memiliki harga yang murah, relatif melimpah, stabil secara kimia, mudah
diolah dan tidak mengandung racun (anonim, 2010).
Pada temperatur ruang ZnO memiliki energi gap yang relatif besar ( 3,37
eV), oleh karena itu ZnO murni tidak berwarna dan transparan (Mintang Liu,
2010). Kebanyakan ZnO memiliki tipe-n, sering digunakan sebagai doping
dengan memanfaatkan cacat asli seperti oksigen vakansi atau zink interstitial,
-
16
doping tipe-n dapat dengan mudah dicapai oleh substitusi Zn dengan elemen
golongan III seperti Al, Ga, In, atau oleh substitusi oksigen dengan elemen
golongan VII, sedangkan doping tipe-p pada ZnO sulit, masalahnya berasal dari
daya larut dopan tipe-p yang rendah (anonim, 2010).
Tabel 2.1 Sifat Intrinsik ZnO (Mintang Liu, 2010)
Struktur Kristal Heksagonal
Massa Molar 81.38 g/mol
Parameter Kisi a = 3.246 , c = 5.207
Keerapatan 5.67 g/cm3 atau 4.21 x 1019 molekul ZnO/mm3
Energi Kohesif Ecoh = 1.89 eV
Titik Leleh Tm = 2250 oK
Energi Gap 3.37 eV
Gambar 2.8 Struktur Kristal ZnO (Mintang Liu, 2010)
-
17
1.6 Substrat Alumina (Al2O3)
Keramik alumina (Al2O3) termasuk keramik oksida yang memiliki
kekuatan yang sangat tinggi, sangat keras, tahan pada suhu tinggi, dan memiliki
titik lebur sekitar 2050oC, serta bersifat isolator listrik (Marlon Sihole, 2008).
Pembuatan keramik alumina yang sangat padat dan kuat diperlukan suhu
pembakaran yang mendekati titik lelehnya yaitu sekitar 1800oC sampai 1900oC
(Gernot, 1988). Umumnya keramik alumina di samping tahan suhu tinggi juga
memiliki sifat tahan kimia dan tahan korosi pada suhu tinggi (Reynen, 1986). Ada
beberapa cara yang dapat mengurangi suhu sintering keramik alumina
diantaranya: memperkecil ukuran butir sampai ukuran nano dan menambahkan
bahan aditif yang titik lelehnya lebih kecil dari alumina (Montanaro, 1997)
Keramik alumina yang sering digunakan umumnya mempunyai fasa
korundum Al2O3 dan merupakan bentuk struktur yang paling stabil pada suhu
tinggi (Ahmad Faisal, 2007). Struktur dasar fasa korundum merupakan tumpukan
padat heksagonal (Hexagonal Closed Packed HCP) (Walter, 1970;Worrall,
1986). Bilangan koordinasi dari struktur korundum adalah 6 maka tiap ion Al+3
dikelilingi 6 ion O2- dan tiap ion O2-dikelilingi oleh 4 ion Al+3 untuk mencapai
muatan yang netral (Worrall, 1986)
-
18
Gambar 2.9 Struktur heksagonal korundum
Keramik alumina banyak digunakan dalam berbagai bidang, misalnya
digunakan pada bidang mekanik (bearing, cutting tools, pelapis bagian dari
pompa (inner linning), elektronik (bahan isolator listrik, substrat elektronik),
refraktori (bahan tahan panas pada tungku pembakaran), medis (sebagai
biomaterial yang inert tak bardaya) (Gernot, 1988).
Pada umunya kemurnian Al2O3 cukup tinggi ( > 90%) sehingga dapat
digunakan sebagai bahan keramik tembus cahaya. Sifat-sifat fisis dari keramik
Al2O3 adalah sebagai berikut (Gernot, 1988):
1. Densitas : 3,96 x 103 kg/3
2. Kekerasan :14700Pa
3. Modulus of Rufture = 350 Mpa, dan Kuat Tekan : 230 Mpa sampai 350 Mpa.
4. Koefisien ekspansi termal: 8.10-6 oC-1 sampai 9.10-6 0C-1
5. Konduktifitas termal pada suhu kamar : 24 W/m oK sampai 26 W/m oK
-
19
1.8 Proses Pembakaran (Sintering)
Sintering merupakan proses pembakaran keramik setelah melalui proses
pencetakan sehingga diperoleh suatu produk keramik yang kuat dan lebih padat.
Suhu pembakaran pada proses sintering ini sangat bergantung pada jenis keramik,
umumnya sekitar 80-90% dari titik lebur campuran bahan baku yang digunakan
(Ahmad Faisal, 2007). Selama berlangsungnya proses sintering akan terjadi
pengurangan pori, penyusutan dan perubahan ukuran butir. Terjadinya
pengurangan pori dan pertumbuhan butir (grain growth) selama proses sintering
akibat proses difusi di antara butir. Jenis proses difusi akan memberikan efek
terhadap perubahan sifat-sifat fisis yaitu perubahan densitas, porositas,
penyusutan dan ukuran butir. Faktor-faktor yang menentukan proses dan
mekanisme sintering antara lain: jenis bahan, komposisi, bahan pengotornya dan
ukuran pertikel.
Proses sintering dapat berlangsung apabila (Reynen, 1979; Ahmad Faisal,
2007):
1. Adanya perpindahan materi diantara butiran yang disebut proses difusi.
2. Adanya sumber daya yang dapat mengaktifkan transfer materi, energi
tersebut digunakan untuk menggerakan butiran sehingga terjadi kontak
dan ikatan yang sempurna.
Pada proses sintering terdapat gaya dorong yaitu energi untuk
menggerakan proses sintering berupa pemberian panas dari luar melalui proses
pembakaran. Gaya dorong ini dapat diilustrasikan dengan dua buah bola yang
-
20
saling kontak berukuran sama, dengan ukuran kontak x seperti ditunjukkan pada
gambar 2.8 gaya dorong tersebut dapat bersifat tekan apabila lekukan kontak
cembung dan bersifat tarik apabila lekukan cekung (Ristic, 1989; Ahmad Faisal,
2007).
Menurut Van Vlack, 1992 pertumbuhan leher ini terjadi karena adanya
mekanisme transport massa. Terdapat dua mekanisme transport massa yang
terjadi saat proses sinter berlangsung yaitu mekanisme transport bulk dan
mekanisme transport permukaan. Mekanisme transport bulk terdiri dari difusi kisi,
difusi batas bulir dan aliran viskos, sedangkan mekanisme transport permukaan
terdiri dari difusi permukaan. Akibat adanya faktor difusi ini, maka dalam proses
sintering akan terjadi penyusutan yang diiringi pengurangan porositas
(peningkatan kerapatan).
Gambar 2.10 Model dua bola saling kontak dengan pembentukan leher kontak (neck) (Ristic, 1989)
Pada proses sintering keramik ada beberapa tahapan yaitu (Muljadi, 1994;
Ahmad Faisal, 2007):
1. Tahapan awal, partikel-partikel keramik saling kontak satu dengan yang
lainnya setelah proses pencetakan.
-
21
2. Tahapan mulai sintering, pada tahapan ini sintering mulai berlangsung dan
permukaan kontak kedua partikel semakin lebar. Perubahan ukuran butir
maupun pori belum terjadi.
3. Tahapan pertengahan sintering, pori-pori pada batas butir saling menyatu dan
terjadi pembentukan kanal-kanal pori dan ukuran butiran semakin membesar.
4. Tahapan akhir sintering, pada tahapan ini batas butir bergerak dan terjadi
pembesaran ukuran butiran sampai kanal-kanal pori tertutup dan sekaligus
terjadi penyusutan.
Gambar 2.11 Model tahapan sintering (a) model bola tahap awal sintering, (b) akhir tahap awal, bola membentuk leher, (c) tahap antara, bola mulai membentuk tetrakai decahedron, (d) tahap ketiga, pori-pori terisolasi dan mulai terjadi petumbuhan butir (Barsoum, 1997:348).