sle

20
1 BAB 1 PENDAHULUAN Sistemik Lupus Erimatosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan autoantibodi maupun kompleks imun terhadap komponen-komponen inti sel sehingga terjadi kerusakan organ dan sel 1 . SLE terutama menyerang wanita dengan perbandingan terhadap pria 9:1. Pada wanita, biasanya terjadi saat usia  produktif dengan puncak insiden 15-40 tahun 2 . Meski demikian, baik pria maupun wanita, segala usia, dan semua etnis beresiko terhadap penyakit ini 1 . Prevalensi SLE bervariasi antara negara, etnis, jenis kelamin, dan selalu  berubah setiap waktu. Prevalensi SLE terbesar dilaporkan di Italia, Spanyol, Martinique, dan populasi Afro-Karibian di Inggris 3 . Di Amerika Serikat, insiden SLE sebesar 15-50 per 100.000 orang tiap tahun. Kejadian pada wanita kulit hitam empat kali lebih besar dibandingkan wanita kulit putih 1 . Kebanyakan terjadi pada wanita keturunan Afrika Barat yang beremigrasi, hal ini menunjukkan lingkungan juga dapat menjadi pencetus seperti genetik 3 . Data untuk SLE di Indonesia masih sangat sedikit, RS Dr. Cipto Mangunkusomo pada tahun 1988-1990 dilaporkan 37,7 kasus per 10.000 perawatan. Tarigan melaporkan terdapat 1,4 per 10.000 perawatan di Medan  pada tahun 1984-1986. Berdasarkan hasil survei, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi  penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoarthritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang. Penderita SLE pada bulan Januari hingga Agustus 2006 terdapat 14 orang dan 1 orang meninggal dunia 2 . SLE biasa menyerang kulit, sendi, darah, dan sistem saraf 3 . Manifestasi klinik  penyakit ini sangat beragam dan biasa muncul secara tidak bersamaan. Akibatnya,  jarang terdiagnosa di awal perjalanan penyakit 2 . Harapan hidup penderita SLE saat ini telah meningkat, harapan untuk hidup selama 4 tahun sebesar 50% pada tahun 1950 meningkat menjadi 15 tahun sebesar 80% saat ini. Pada ras Asia dan Afrika,

Upload: ariebdoll

Post on 09-Oct-2015

22 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Sistemik Lupus Erimatosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan autoantibodi maupun kompleks imun terhadap komponen-komponen inti sel sehingga terjadi kerusakan organ dan sel1. SLE terutama menyerang wanita dengan perbandingan terhadap pria 9:1. Pada wanita, biasanya terjadi saat usia produktif dengan puncak insiden 15-40 tahun2. Meski demikian, baik pria maupun wanita, segala usia, dan semua etnis beresiko terhadap penyakit ini1.

TRANSCRIPT

6

BAB 1PENDAHULUAN

Sistemik Lupus Erimatosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan autoantibodi maupun kompleks imun terhadap komponen-komponen inti sel sehingga terjadi kerusakan organ dan sel1. SLE terutama menyerang wanita dengan perbandingan terhadap pria 9:1. Pada wanita, biasanya terjadi saat usia produktif dengan puncak insiden 15-40 tahun2. Meski demikian, baik pria maupun wanita, segala usia, dan semua etnis beresiko terhadap penyakit ini1.Prevalensi SLE bervariasi antara negara, etnis, jenis kelamin, dan selalu berubah setiap waktu. Prevalensi SLE terbesar dilaporkan di Italia, Spanyol, Martinique, dan populasi Afro-Karibian di Inggris3. Di Amerika Serikat, insiden SLE sebesar 15-50 per 100.000 orang tiap tahun. Kejadian pada wanita kulit hitam empat kali lebih besar dibandingkan wanita kulit putih1. Kebanyakan terjadi pada wanita keturunan Afrika Barat yang beremigrasi, hal ini menunjukkan lingkungan juga dapat menjadi pencetus seperti genetik3. Data untuk SLE di Indonesia masih sangat sedikit, RS Dr. Cipto Mangunkusomo pada tahun 1988-1990 dilaporkan 37,7 kasus per 10.000 perawatan. Tarigan melaporkan terdapat 1,4 per 10.000 perawatan di Medan pada tahun 1984-1986. Berdasarkan hasil survei, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoarthritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang. Penderita SLE pada bulan Januari hingga Agustus 2006 terdapat 14 orang dan 1 orang meninggal dunia2.SLE biasa menyerang kulit, sendi, darah, dan sistem saraf3. Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan biasa muncul secara tidak bersamaan. Akibatnya, jarang terdiagnosa di awal perjalanan penyakit2. Harapan hidup penderita SLE saat ini telah meningkat, harapan untuk hidup selama 4 tahun sebesar 50% pada tahun 1950 meningkat menjadi 15 tahun sebesar 80% saat ini. Pada ras Asia dan Afrika, prognosa lebih buruk dengan angka harapan hidup yang lebih kecil yaitu 10 tahun hanya sebesar 60-70%3. Keterbatasan biasanya disebabkan oleh fatigue kronis, arthritis, nyeri, dan penyakit ginjal. Sebanyak 25% penderita SLE dapat mengalami remisi dalam beberapa tahun. Penyebab utama kematian penderita SLE pada dekade pertama penyakit adalah penyakit sistemik, gagal ginjal, dan infeksi1. Dalam 35 tahun, penyebab utama kematian penderita adalah infark miokard dan stroke3.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1DefinisiSistemik Lupus Erimatosus atau yang biasa disingkat dengan SLE adalah penyakit autoimun dimana terdapat autoantibodi maupun kompleks imun terhadap komponen inti sel sehingga memiliki manifestasi yang luas, berupa kerusakan sel dan organ1.

2.2EpidemiologiSLE terutama menyerang wanita dengan perbandingan terhadap pria 9:1. Pada wanita, biasanya terjadi saat usia produktif dengan puncak insiden 15-40 tahun2. Meski demikian, baik pria maupun wanita, segala usia, dan semua etnis beresiko terhadap penyakit ini1.Prevalensi SLE bervariasi antara negara, etnis, jenis kelamin, dan selalu berubah setiap waktu. Prevalensi SLE terbesar dilaporkan di Italia, Spanyol, Martinique, dan populasi Afro-Karibian di Inggris3. Di Amerika Serikat, insiden SLE sebesar 15-50 per 100.000 orang tiap tahun. Kejadian pada wanita kulit hitam empat kali lebih besar dibandingkan wanita kulit putih1. Kebanyakan terjadi pada wanita keturunan Afrika Barat yang beremigrasi, hal ini menunjukkan lingkungan juga dapat menjadi pencetus seperti genetik3.Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal yang sulit karena diagnosis dapat menjadi sukar dipahami4.Data untuk SLE di Indonesia masih sangat sedikit, RS Dr. Cipto Mangunkusomopada tahun 1988-1990 dilaporkan 37,7 kasus per 10.000 perawatan. Tarigan melaporkan terdapat 1,4 per 10.000 perawatan di Medan pada tahun 1984-1986. Berdasarkan hasil survei, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoarthritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang. Penderita SLE pada bulan Januari hingga Agustus 2006 terdapat 14 orang dan 1 orang meninggal dunia2.

2.3Etiologi dan PatogenesisEtiologi serta patogenesis dari SLE masih belum jelas. Namun, bukti-bukti yang ada menunjukkan patogenesisnya bersifat multifaktorial. Faktor yang mendasari munculnya SLE berupa faktor genetik, lingkungan, serta hormonal yang menghasilkan respon imun abnormal1,2.Respon yang terjadi berupa aktivasi imunitas bawaan berupa sel dendritik oleh CpG DNA, kompleks imun DNA, dan RNA pada protein antigen RNA itu sendiri; penurunan ambang aktivasi sel imunitas adaptif berupa antigen spesifik limfosit T dan B; adanya inefektif regulasi dan inhibisi CD4+ dan CD8+; terakhir yaitu penurunan pembersihan apoptosis dan kompleks imun. Antigen, autoantibody, dan kompleks imun yang berada dalam waktu lama mengakibatkan inflamasi dan berkembang menjadi SLE. Antigen, autoantibody, dan kompleks imun berikatan dengan jaringan target, melalui aktivasi komplemen dan sel fagosit yang mengenali immunoglobulin di sirkulasi darah1.SLE merupakann penyakit yang bersifat genetik1. Pada penderita SLE terdapat 10-20% yang memiliki kerabat dekat dengan SLE, pada saudara kembar identik SLE terdapat 24-69% yang juga menderita penyakit yang sama. Angka ini lebih tinggi dibandingkan saudara kembar yang tidak identik yaitu 2-9%. Berdasarkan penelitian terdapat banyak gen yang berperan dalam patogenesis penyakit ini, misalnya C1q, C2, C4, HLA-D2, 3, 8, IL-10, dan MCP-1. Gen-gen tersebut berperan dalam mengkode sistem imun. Pada individu yang rentan menjadi SLE terdapat gen yang dalam jumlah kecil dapat berkembang menjadi pencetus respon imun abnormal. Akumulasi dari respon imun tersebut akhirnya bermanifestasi menjadi SLE1,2.Defisiensi homozigot komponen komplemen (C1q, r, s, C2, C4) merupakan predisposisi kuat menjadi SLE, namun hal ini jarang terjadi. Gen tersebut meningkatkan resiko SLE hanya 1,5-3 kali, namun terdapat gen yang lain ikut meningkatkan kerentanan menjadi SLE1,2.Autoantibodi yang terbentuk menyerang antigen pada nukleoplasma meliputi DNA, protein histon, dan non-histon. Autoantigen ini tidak bersifat tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi tersebut dinamakan Anti Nuclear Antibody (ANA). Antibodi ini membentuk kompleks imun yang mengendap pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen dan timbul inflamasi. Hal inilah yang menimbulkan gejala pada organ seperti ginjal, sendi, pleura, kulit, dan lain-lain2.Autoantibodi pada orang normal tidak menyebabkan kelainan karena adanya mekanisme protektif, sedangkan pada penderita SLE mekanisme tersebut tidak ada. Penelitian menunjukkan adanya antibody IgG yang berikatan dengan dsDNA melalui ikatan dengan afinitas tinggi. Kompleks ini membuat kerusakan jaringan bahkan lebih dari IgM atau IgG dengan afinitas yang rendah. Produksi IgG yang berafinitas tinggi dipengaruhi oleh antigen yang disebut dengan antigen-driven5.Sel T memiliki reseptor di permukaan selnya yang mampu berinteraksi dengan antigen tertentu membentuk kompleks dengan MHC pada permukaan antigen-presenting cell (APC). APC harus membuat interaksi sekunder dengan limfosit T melalui costimulasi. Costimulasi ini terbagi dua yaitu melalui CTLA-4 dan CD-28. Costimulasi melalui CD-28 memberikan sinyal aktifasi sel T, sedangkan bila melalui CTLA-4 akan terjadi inhibisi5.Wanita memiliki respon imun yang lebih besar dibandingkan dengan pria karena hormonal. Pada wanita terdapat estrogen, termasuk paparan pil kontrasepsi hormonal atau sulih hormon yang meningkatkan resiko kejadian SLE1. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa hormon prolaktin dapat meningkatkan respon imun2. Estradiol berikatan dengan reseptor sel limfosit B dan T, sehingga memperlama respon imun1. Wanita penderita SLE mengalami perburukan gejala pada masa subur dan membaik saat menstruasi. Saat ini, ada dugaan estrogen berpengaruh terhadap hal tersebut, namun mekanismenya masih belum jelas6. Faktor lingkungan turut berpengaruh pada kejadian SLE. Sinar ultraviolet menimbulkan kekambuhan SLE pada 70% kasus. Hal ini mungkin disebabkan peningkatan apoptosis sel kulit maupun perubahan DNA dan protein intraseluler sehingga berubah menjadi antigen. Virus Epstein Barr (EBV) merupakan agen infeksi yang dapat memicu SLE pada individu yang rentan1. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan bertahan pada sel tersebut dalam beberapa dekade1.Kebanyakan pasien SLE mempunyai autoantibodi hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama penyakit ini, menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk beberapa tahun sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibodi dan sel B dan T yang patogen cukup untuk menyebabkan gejala klinis2.2.4DiagnosisDiagnosis SLE di klinis cukup sulit karena SLE sering menyerupai gejala penyakit lain. American College of Rheumatology mengajukan 11 kriteria SLE. Diagnosis SLE dapat ditegakkan bila minimal terdapat bila minimal terdapat 4 kriteria. Kriteria ini memiliki sensitifitas 75% dan spesifitas 95%1.

No.KriteriaKeterangan

1.Malar rashEritema, datar, atau meninggi

2.Discoid rashSirkular eritem, meninggi, dengan perlengketan keratotik dan folikular, bisa terdapat scar atropi

3.FotosensitifMuncul rash bila terpapar sinar ultraviolet

4.Luka mulutTermasuk luka oral dan nasofaring

5.ArthritisArthritis non erosif pada dua atau lebih sendi perifer, nyeri, bengkak, efusi

6.SerositisPleuritis atau pericarditis melalui EKG atau efusi

7.Kelainan ginjalProteinuria > 0,5 g/24 jam atau >= +3, atau casts seluler

8.Kelainan neurologisKejang atau psikosis tanpa sebab yang lain

9.Kelainan hematologiAnemia hemolitik atau leukopeni ( 0,5 g/l pada random spesimen. Peningkatan kreatinin (>5 mg/dL).6

VaskulitisLaserasi, gangrene, nodul pada jari yang lunak, infark periuinguinal, splinter hemoragik. Data biopsi atau angiogram dari vaskulitis.4

HemolisisHb < 12,0 g/dL dan retikulosit > 3%.2

TrombositopeniTrombositopenia < 100.000 bukan disebabkan oleh obat.2

MiositisNyeri dan kelemahan otot-otot proksimal, yang disertai dengan peningkatan CPK.2

ArtritisPembengkakan atau efusi lebih dari 2 sendi2

Gangguan MukokutaneusRuam malar. Onset baru atau eritema malar yang menonjol. Mucous ulcers. Oral atau ulserasi nasopharyngeal dengan onset baru atau berulang. Abnormal alopecia. Kehilangan sebagian atau seluruh rambut. Atau rambut mudah rontok.2

SerositisPleuritis. Terdapatnya nyeri pleura atau pleural rub atau efusi pleura.Pericarditis. Terdapatnya nyeri pericardial atau terdengarnya rub.Peritonitis. Terdapatnya nyeri abdominal difus dengan rebound tenderness (eksklusi penyakit intraabdominal).2

DemamDemam > 38C dengan ekslusi infeksi1

FatigFatig yang tidak dapat dijelaskan1

LeukopeniaLeukosit < 4000/mm3, bukan akibat obat1

LimfopeniLimfosit < 1200/m3 bukan akibat obat1

Total skor MEX LESDAI< 2: tidak ada aktifitas lupus (remisi)2-15 : aktifitas sedang> 15 : aktifitas berat

2.8KomplikasiKomplikasi yang terjadi pada penyakit SLE bisa terjadi akibat penyakitnya sendiri atau komplikasi dari pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit SLE sendiri yang paling sering terjadi adalah infeksi sekunder karena sistem imun penderita yang immunocompromised. Selain itu, sering juga terjadi komplikasi penyakit aterosklerosis akibat peningkatan antiphospolipid antibody8.Komplikasi akibat pengobatan SLE adalah infeksi oportunistik akibat terapi imunosupresan jangka panjang, osteonekrosis, dan penyakit aterosklerosis, serta infark miokard prematur8.2.9PrognosisSLE tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat diterapi. Pada tahun 1950, sebagian besar pasien yang didiagnosis SLE hidup kurang dari 5 tahun. Kemajuan pada diagnosis dan terapi telah meningkatkan angka bertahan hidup yaitu lebih dari 90% dapat bertahan hidup selama lebih dari 10 tahun. Prognosis biasanya memburuk pada pria dan anak-anak daripada wanita; bagaimanapun jika gejala timbul pada usia lebih dari 60 tahun, penyakit ini akan memberat. Mortalitas dini, dalam 5 tahun, terjadi pada kegagalan organ atau infeksi yang berat, keduanya dapat dicegah dengan diagnosis dan terapi dini7.Untuk menurunkan potensi kelainan kardiovaskular, hipertensi, dam kolesterol yang tinggi harus dicegah dan diterapi secara agresif. Steroid seharusnya digunakan dengan dosis terendah pada periode yang singkat. Kreatinin serum yang tinggi, hipertensi, sindrom nefrotik, anemia, dan hipoalbuminemia merupakan faktor prognosis yang buruk7.Penyebab kematian pada penderita biasanya disebabkan karena kerusakan ginjal yang parah, bronkopneumonia, atau peritonitis spontan yang merupakan komplikasi dari lupus nephritis yang dapat diterapi dengan kortikosteroid. Selain itu, dapat terjadi juga karena vaskulitis pada sistem saraf pusat yang muncul dengan kejang, psikosis, dan paralisis pada penderita7.