sle

8
Systemic Lupus erythematosus 2.1 Definisi Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah- merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE ini dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terlibat. Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. Tanda dan gejala penyakit ini dapat bermacam-macam, dapat bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit untuk diperoleh. 2.2 Etiologi Etiologi dari penyakit SLE belum diketahui dengan pasti. Selain factor keturunan (genetis) dan hormon, diketahui bahwa terdapat beberapa hal lain yang dapat menginduksi SLE, diantaranya adalah virus (Epstain Barr), obat (contoh : Hydralazin dan Procainamid), sinar UV, dan bahan kimia seperti hidrazyn yang terkandung dalam rokok, mercuri dan silica. Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan

Upload: zumrotul-mina

Post on 10-Dec-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Sle

TRANSCRIPT

Page 1: Sle

Systemic Lupus erythematosus2.1 Definisi

Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE ini dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terlibat. Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. Tanda dan gejala penyakit ini dapat bermacam-macam, dapat bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit untuk diperoleh.

2.2 Etiologi Etiologi dari penyakit SLE belum diketahui dengan pasti. Selain factor keturunan (genetis) dan hormon,

diketahui bahwa terdapat beberapa hal lain yang dapat menginduksi SLE, diantaranya adalah virus (Epstain Barr), obat (contoh : Hydralazin dan Procainamid), sinar UV, dan bahan kimia seperti hidrazyn yang terkandung dalam rokok, mercuri dan silica. Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia   reproduktif)  dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE.2.2.1 Faktor Genetik

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum, mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.2.2.2 Faktor Imunologi

Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :a. Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.

b. Kelainan instristik sel T dan sel B

Page 2: Sle

5

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi immunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.

c. Kelainan antibodyAda beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.

2.2.3 Faktor HormonalPeningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara

peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.2.2.4 Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:

a. Infeksi virus dan bakteriAgen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.

b. Paparan sinar UVSinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah

c. StresStres berat dapat memicu terjadinya SLE pada klien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal

d. Obat-obatanObat pada klien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.

2.3 PatofisiologiPenyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun

yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. .

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen. Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non-histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan

Page 3: Sle

6

komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun

Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.2.4 Tanda Gejala

Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnya yang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.

Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.

1) Sistem Muskuloskeletala) arthralgia,b) artritis (sinovitis),c) pembengkakan sendi,d) nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dane) rasa kaku pada pagi hari.

2) Sistem Integument (Kulit)a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta

pipi, danb) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

3) Sistem kardiaka) Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.

4) Sistem pernafasana) Pleuritis atau efusi pleura.

5) Sistem vaskulera) Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,b) eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau

sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.6) Sistem perkemihan

a) Glomerulus renal yang biasanya terkena.7) Sistem saraf

a) Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

2.5 TatalaksanaPilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik

1) Edukasi dan konseling2) Program rehabilitasi3) Pengobatan medikamentosa

a) OAINS

Page 4: Sle

7

b) Anti malariac) Steroidd) Imunosupresan / Sitotoksike) Terapi lain

1) Edukasi KonselingPada dasarnya klien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Klien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Klien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan.Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik akibat adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar klien dengan SLE dapat dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan kesehariannya.

2) Program RehabilitasiTerdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada klien dengan SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila klien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi.Modalitas � fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada klien dengan nyeri atau kekakuan otot. Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:a) Istirahatb) Terapi fisikc) Terapi dengan modalitasd) Ortotik

3) Terapi pengobatanKortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada klien dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukan standarisasi berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.

4) PemantauanBatasan operasional pemantauan adalah dilakukannya observasi secara aktif menyangkut gejala dan tanda baru terkait dengan perjalanan penyakitdan efek pengobatan / efek sampingnya, baik yang dapat diperkirakan maupun tidak memerlukan pemantauan yang tepat. Proses ini dilakukan seumur hidup klien dengan SLE. Beberapa hal yang perlu diperhatikanadalah:a) Anamnesis

Demam, penurunan berat badan, kelelahan, rambut rontok meningkat, nyeri dada pleuritik, nyeri dan bengkak sendi. Pemantauan ini dilakukan setiap kali klien SLE datang berobat.

b) Fisik

Page 5: Sle

8

Pembengkakan sendi, ruam, lesi diskoid, alopesia, ulkus membran mukosa, lesi vaskulitis, fundus, dan edema. Lakukanlah pemeriksaan fisik yang baik. Bantuan pemeriksaan dari ahli lain seperti spesialis mata perlu dilakukan bila dicurigai adanya perburukan fungsi mata atau jika klorokuin/ hidroksiklorokuin diberikan.

c) PenunjangHematologi (darah rutin), analisis urin, serologi, kimia darah dan radiologi tergantung kondisi klinis.

5) Sistem Rujukan dan Fungsi KonsultatifBatasan operasional rujukan kasus SLE ditujukan bagi dokter umum, internis atau ahli lain yang memerlukan kepastian diagnosis, pengelolaan pada kasus yang tidak responsif terhadap pengobatan yang diberikan, adanya kekambuhan pada klien yang telah tenang (remisi) ataupun kasus SLE sedang berat dan keterlibatan organ vital, guna pengelolaan spesialistik. Terdapat 4 (empat) tugas utama sebagai dokter umum di perifer atau pusat pelayanan kesehatan primer, yaitu:a) Waspada terhadap kemungkinan penyakit SLE ini di antara klien yang dirawatnya dan melakukan

rujukan diagnosis b) Melakukan tatalaksana serta pemantauan penyakit SLE ringan dan kondisinya stabil (klien SLE tanpa

keterlibatan organ vital dan atau terdapat komorbiditas) c) Mengetahui saat tepat untuk melakukan rujukan ke ahli reumatik pada kasus SLE d) Melakukan kerjasama dalam pengobatan dan pemantauan aktivitas penyakit klien SLE derajat berat.

2.6 KomplikasiKomplikasi yang dapat terjadi pada penderita SLE adalah sebagai berikut:

1) Gagal ginjalGagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita LES. Gagal ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks antibodi-antigen pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas tipe III.

2) Otot dan kerangka tubuhHampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita artritis.

3) KulitPada 50% penderita lupus ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung.

4) Darah (hematologi)Kelainan darah dapat ditemukan pada 85% penderita lupus. Biasanya terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang dapat menyebabkan stroke dan emboli paru.

5) JantungDapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikadium yang mengelilingi jantung)

6) Paru-paruPeradangan membran pleura yang mengelilngi paru dapat membatasi perapasan. Sering terjadi bronchitis serta efusi pleura yakni penimbunan cairan antara paru dan pleura. Akibat dari keadaan tersebut klien akan sering mengalami nyeri dada dan sesak nafas.

7) Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer. 8) Sistem saraf

Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian, termasuk psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya.

4.3 Diagnosa Keperawatan

1) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan urtikaria2) Gangguan pola napas berhubungan dengan effusi pleura3) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi cairan dan Na4) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia5) Hipertermi berhubungan dengan reaksi inflamasi

Page 6: Sle

9

6) Nyeri akut berhubungan dengan penumpukan komplex imun di persendian7) Gangguan pola tidur berhubungan dengan persepsi rasa sakit8) Keletihan berhubungan dengan peningkatan asam laktat

9) Gangguan citra diri berhubungan dengan allopesia dan urtikaria.