social unrest aktivis mahasiswa ditinjau dari teori

21
SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI DISONANSI KOGNITIF NASKAH PUBLIKASI Oleh: Dwi Rizan Agustiawan Wanadya Krishna Ayu PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2019

Upload: others

Post on 18-Jan-2022

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

DISONANSI KOGNITIF

NASKAH PUBLIKASI

Oleh:

Dwi Rizan Agustiawan

Wanadya Krishna Ayu

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2019

Page 2: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

THE SOCIAL UNREST OF STUDENT ACTIVIST BASED ON COGNITIVE

DISSONANT THEORY

Dwi Rizan Agustiawan

Wanadya Krishna Ayu

ABSTRACT

This study aims to reveal the dynamics of social unrest felt by student activists using the

theory of cognitive dissonance. The subjects in this study were activists who were members

of an extra campus organization that had a high intensity in their involvement in protest

actions. The method used in this study is a qualitative research method with case study

approach. Based on the results of the research it can be seen the dynamics of social unrest of

student activists due to 1. Status and idealism of the organization; 2. Dissonant conditions in

self and social environment; 3. The organization determines the amount of cognitive

dissonance; 4. Collective behavior that arises as a result of cognitive dissonance.

Keywords: social unrest, student activists, cognitive dissonance

Page 3: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI
Page 4: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

IDENTITAS PENULIS

Nama : Dwi Rizan Agustiawan

Alamat Kampus : Universitas Islam Indonesia, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial

Budaya, Program Studi Psikologi, Jalan Kaliurang KM 14,5

Yogyakarta

Alamat Rumah : Kantor Etnolab d.a. Klejo Saputra Jl Josari No. 0 RT 1/RW. 5

Dukuh Josari, Desa Sukoharjo, Kec. Ngaglik, Kab. Sleman, D.I.

Yogyakarta

No. HP : 083849502284

Alamat Email : [email protected]

Page 5: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

A. PENGANTAR

Permasalahan-permasalahan seperti tingginya angka kemiskinan (BPS, 2017), banyaknya

pengangguran (Julianto, 2017; Miftakhul, 2017), proyek pembangunan yang mengakibatkan

kesenjangan sosial (Taher, 2017), permasalahan terkait dengan kebhinnekaan dan keagamaan

(Saputri, 2017; Pratama, 2016; Kresna, 2016) dan tingginya angka korupsi yang dilakukan oleh

pejabat pemerintahan (Tashandra, 2016; Siena, 2017; Hariyanto, 2017; Suharyo, 2014), menurut

Pappas & O‟Malley (2004) merupakan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya sebuah

keresahan sosial di masyarakat.

Stevens & Tellings (2010) mendefinisikan keresahan dalam Bahasa Inggris dengan kata

restlessness, upset, unrest, dan frustration. Unrest dalam konteks sosial, telah banyak ditemukan

dalam berbagai penelitian dalam term social unrest. Social unrest menjadi objek kajian sosio-

antropologi yang menitik beratkan pada fenomena protes yang dilakukan oleh warga negara kepada

pemerintah yang berkuasa karena adanya ketidakpuasan terkait suatu hal tertentu (Archer, 2000).

Sehingga dalam kamus Oxford (2011) istilah unrest diartikan sebagai “political situation ini which

people are angry and likely to fight or protest”.

Definisi di atas juga sesuai dengan Weinberg & Bakker (2015) yang mengatakan bahwa

keresahan sosial berkaitan dengan protes, kerusuhan, dan pemogokan pekerja yang disebabkan oleh

berbagai hal seperti penghasilan rendah, kelangkaan sumber daya dan pemerintahan yang represif.

Sehingga, dapat dipahami bahwa keresahan sosial tersebut pada akhirnya memiliki kapasitas yang

lebih untuk dapat melahirkan sebuah konflik dalam konteks sosial.

Fenomena keresahan sosial seperti yang dikatakan oleh Weinberg & Bakker (2015) menjadi

sangat jelas jika melihat alasan berbagai aksi protes, kerusuhan dan demonstrasi yang dilakukan oleh

para aktivis dari berbagai kalangan yang akhir-akhir ini terjadi, seperti demonstrasi menuntut

kenaikan Upah Minimum Provinsi di DKI Jakarta (Rahayu, 2017), aksi menuntut penangkapan

tersangka korupsi e-KTP (Safari, 2017), aksi solidaritas untuk konflik politik dan agama di Palestina

(Rini, 2017), dan berbagai protes terkait dengan isu agraria di berbagai tempat seperti pembangunan

bandara internasional Kulon Progo (Idhom & Putsanra, 2017), pembangunan pabrik semen, Rembang

(Ratnasari, 2017) dan Aksi protes menuntut keadilan terkait konflik agraria yang terjadi di Teluk

Jambe, Karawang (Ashari, 2017).

Pada level psikologis, keresahan sosial tersebut dapat di lihat dalam konteks individual Maslow

(Riyono, 2015) yang mewakili aliran humanistik menyatakan bahwa sumber kekuatan dari perilaku

manusia adalah “needs”. “Needs” tersebut memiliki tingkatan-tingkatan yang membentuk sebuah

hierarki berjenjang, yang pemenuhannya terjadi secara bertahap. Maslow (2015) berargumentasi

bahwa manusia tidak pernah berhenti dari membutuhkan sesuatu. Seseorang tidak akan pernah puas

dalam arti sempurna, kecuali hanya dalam waktu yang singkat. Setelah itu manusia akan

membutuhkan sesuatu yang lain yang lebih tinggi nilainya.

Page 6: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

Mengacu pada pendapat Maslow (Riyono, 2015) perasaan seseorang yang tidak pernah memiliki

kepuasan sempurna kecuali dalam waktu singkat adalah “force” yang membuat seseorang ingin

mencapai suatu tingkat yang lebih tinggi. Proses untuk mencapai tingkat lebih tinggi yang kemudian

menemui sebuah hambatan sehingga “needs” terhalang untuk terpenuhi, menurut asumsi penulis

adalah sumber keresahan dalam konteks individual.

Menurut hierarkinya kebutuhan fisik, seperti kebutuhan makanan, minuman, tempat berteduh,

seks, tidur, dan oksigen adalah merupakan kebutuhan paling dasar manusia (Riyono, 2015), sehingga

dalam tataran ini kemiskinan (BPS, 2017), kurangnya lapangan pekerjaan (Julianto, 2017; Miftakhul,

2017), dan perampasan tanah secara paksa (Idhom & Putsanra, 2017; Ratnasari, 2017; Ashari, 2017)

adalah hal-hal yang terkait dengan kebutuhan dasar tersebut, yaitu terkait dengan makanan, minuman,

tempat berteduh dan tidur. Sehingga, dapat dipahami bahwa akses individu yang dibatasi untuk

mendapatkan dan mempertahankan “needs”-nya tersebut pada akhirnya membuat individu bergerak.

Hal ini akan sedikit berbeda ketika mengacu pada teori disonansi kognitif yang menyatakan

bahwa secara psikologis seseorang akan tidak nyaman ketika terdapat perbedaan antara apa yang

sudah diketahui atau dipercayai seseorang, dan informasi baru yang didapatkan (McGregor, 2013;

Dechawatanapaisal & Siengthai, 2006). Situasi tersebut akan menyebabkan seseorang berada pada

kondisi disonan, yaitu ketika dua elemen dalam kognisinya (yaitu, terkait pengetahuan tentang diri

atau perilakunya, perasaan, keinginan, atau keinginan atau pengetahuannya tentang dunia) tidak

konsisten (McGregor, 2013).

Ketika seseorang percaya bahwa pendidikan akan mampu mengentaskan seseorang dari

kemiskinan dan dapat mempermudah dirinya untuk dapat memperoleh pekerjaan, namun pada

kenyataannya ternyata jurang kemiskinan masih lebar (BPS, 2017) dan masih banyak sarjana yang

menganggur (Julianto, 2017; Miftakhul, 2017), kemudian ketika seseorang juga percaya bahwa

pemerintah memiliki kapasitas untuk mensejahterakan rakyatnya namun di suatu sisi yang sangat

berbeda dirinya mendapati bahwa persentase tertinggi tersangka korupsi adalah pemerintah

(Tashandra, 2016; Siena, 2017; Hariyanto, 2017; Suharyo, 2014), dan pemerintah juga ikut

berkontribusi pada perampasan paksa atas hak milik masyarakatnya (Idhom & Putsanra, 2017;

Ratnasari, 2017; Ashari, 2017), hal ini menurut Festinger (McGregor, 2013; Dechawatanapaisal &

Siengthai, 2006) akan menyebabkan seseorang mengalami disonansi. Disonansi, dalam hal ini

menurut penulis adalah keresahan yang terjadi pada level individu.

Festinger (McGregor, 2013; Dechawatanapaisal & Siengthai, 2006) kemudian menyatakan

bahwa secara umum sangat susah untuk mengubah kognisi seseorang, sehingga ketika terdapat

disonansi antara perilaku atau keyakinan awal yang sudah individu pegang dengan sebuah perilaku,

atau realitas sebenarnya dari suatu hal, seseorang akan lebih condong mengalami sebuah perubahan

perilaku tertentu untuk mengurangi disonansi. Berdasarkan atas pendapat ini dapat dipahami bahwa

beberapa aksi protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa kelompok aktivis di atas

(Rahayu, 2017; Safari, 2017; Rini, 2017; Idhom & Putsanra, 2017; Ratnasari, 2017; Ashari, 2017)

Page 7: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

adalah merupakan bagian dari sebuah usaha untuk meminimalkan disonansi oleh masing-masing

individu yang terlibat.

Disonansi atau keresahan yang pada dasarnya terjadi pada level individu tersebut menjadi

kegelisahan yang dialami bersama dikarenakan pada dasarnya individu lebih senang berada dalam

keadaan seimbang, sehingga untuk mencapai keseimbangan tersebut individu akan mencari kondisi

yang stabil, di mana dalam kondisi ini hanya terdapat disonansi minimum untuk membuat kognisi

yang tidak konsisten, seperti membuat kecocokan bersama. Dari sinilah ikatan sosial terbentuk

(Dechawatanapaisal, & Siengthai 2006).

Kecocokan bersama atau dalam bahasa Hegel (Hardiman, 2010) dikatakan sebagai konsensus

merupakan sebuah usaha untuk mewujudkan kebutuhan universal manusia, di mana kebutuhan

universal tersebut dipahami sebagai kebutuhan yang terwujud karena kesadaran setiap individu bahwa

individu secara pribadi tidak mampu mewujudkan kebutuhan subjektifnya, sehingga hal tersebut

memungkinkan adanya pertukaran antar masing-masing individu untuk bersama-sama mewujudkan

kebutuhan partikular individu, artinya kebutuhan universal adalah kebutuhan yang lebih bersifat

umum. Pruitt & Rubin (2004) mengatakan bahwa kebutuhan universal meliputi kebutuhan rasa aman,

identitas, “restu sosial” (social approval), kebahagiaan, kejelasan tentang dunianya, dan beberapa

harkat kemanusiaan yang bersifat fisik.

Membentuk sebuah konsensus atau ikatan bersama dalam hal ini dapat dikatakan merupakan

usaha beberapa individu untuk mendapatkan “needs” yang bersifat partikular dengan membentuk

sebuah kelompok dan menyepakati sebuah kebutuhan universal dalam kelompok tersebut, terlebih

lagi dalam pandangan Pruitt & Rubin (2004) kebutuhan universal tersebut juga menempati posisi

hierarkis yang sesuai dengan pandangan Moslow (Riyono, 2015; Najih, 2019) terutama dalam

bahasan ini adalah kaitannya dengan beberapa harkat kemanusiaan yang berupa fisik.

Sesuai dengan asumsi di atas, “needs” yang bersifat partikular dan kemudian menemui sebuah

konsensus menjadi sebuah “needs” kelompok pada akhirnya menuntut sebuah pemenuhan dan dalam

hal ini berbagai bentuk protes dan demonstrasi (Rahayu, 2017; Safari, 201; Rini, 2017; Idhom &

Putsanra, 2017; Ratnasari, 2017; Ashari, 2017) dapat dikatakan sebagai usaha untuk memenuhi

“needs” yang sudah terfasilitasi secara komunal tersebut. Sehingga, dapat dipahami bahwa dari hal

inilah kemudian keresahan sosial terbentuk.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan stuidi kasus. Penentuan

Informan pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Sehingga, hal ini

memungkinkan peneliti untuk menentukan informan penelitian sesuai kriteria yang telah penulis

batasi. Berdasarkan metode tersebut pada akhirnya peneliti melibatkan 3 orang informan dalam

penelitian ini. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Cresswell (2012) bahwa dalam pendekatan

fenomenologi setidaknya dibutuhkan minimal 3 orang informan.

Page 8: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

C. HASIL

1. Status dan Idealisme Organisasi

Menurut informan lahirnya organisasi ini didasari atas keresahan bersama karena minimnya

wadah organisasi pemuda nahdliyin di masa terjadinya konstalasi politik orde lama menuju orde baru.

Hal ini kontekstual dan sesuai dengan modul yang peneliti dapatkan dari pengurus organisasi,

organisasi ini pada mulanya merupakan organisasi sayap mahasiswa di bawah Nahdlatul Ulama‟

(NU). Sehingga, meskipun pada akhirnya organisasi ini menyatakan keluar dari NU namun nafas dan

gerakan yang diusung serta ideologi yang dibawa tidak pernah bertentangan dengan NU. Artinya

organisasi ini masih terikat secara kultur dengan Nahdlatul Ulama‟.

Organisasi ini merupakan organisasi kaderisasi yang bergerak di bidang sosial dan bertujuan

mencetak pemimpin dan penerus bangsa. Realitasnya sebagai organisasi kaderisasi menjadikan setiap

program dan kegiatan yang dilakukan di organisasi ini adalah merupakan bagian dari proses

kaderisasi untuk mentransformasikan ideologi, gerakan dan nafas organisasi. Khususnya berkaitan

dengan kewajibannya untuk membela masyarakat kecil, membumikan cita-cita islam, membentuk

kader cakap dan berbudi luhur.

semangat yang di bawa bagaimana untuk menerjemahkan atau membumikan cita-cita islam itu

sendiri, iya untuk membentuk kader cakap, yang berbudi luhur, yang macem-macem itu

(R2.W.B19-22)

Cita-cita islam yang dimaksud di atas adalah islam menurut idealisme organisasi ini yang

rahmatan lil „alamin, tidak kaku artinya tidak memandang suatu hal dengan kaca mata hitam putih,

halal haram atau hanya masalah surga neraka. Organisasi ini memandang bahwa setiap apapun yang

dilakukan sehar-hari di masyarakat adalah bentuk atau bagian dari islam itu sendiri.

Sesuai dengan buku dan beberapa literatur yang menjelaskan tentang organisasi ini dan sesuai

dengan pernyataan Informan C di atas, yang dalam hal ini menjadi informan ahli dalam penelitian ini.

Organisasi ini merupakan organisasi yang membawa ahlussunnah wal-jama‟ah an-nahdliyah sebagai

manhajul fikr atau landasan berfikir. Gerakan yang dilakukan adalah untuk meraih tujuan tersebut dan

dilakukan dengan tiga koridor utama gerakan mereka, yaitu hablun minallah (hubungan manusia

dengan Allah), hablun min an-nas (hubungan manusia dengan manusia) dan hablun min al-‟alam

(hubungan manusia dengan alam semesta).

Meskipun dalam gerakan dan tujuannya organisasi ini sangat kental dengan nafas islam, namun

dalam konteks melihat fenomena sosial organisasi ini menggunakan teori-teori Barat, khususnya teori

sosial kritis dari mazhab frankfurt. Bahkan dalam konteks nasional mazhab tersebut disepakati

sebagai pradigma atau cara pandang organisasi tersebut terhadap realitas sosial, kontekstual dengan

gerakannya yang bersifat populis. Paradigma ini dikenal dengan Paradigma Kritis Transformatif

(PKT).

Page 9: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

2. Kondisi-Kondisi Disonan dalam Diri dan Lingkungan Sosial

Setiap individu yang mengikuti PMII hampir keseluruhan tidak mengetahui seluk beluk

organisasi ini sebelumnya tetapi sebagian dari mereka mengetahui bahwa organisasi ini memiliki

afiliasi yang kuat dengan organisasi nahdlatul „ulama‟ sehingga bahkan beberapa orang yang berasal

dari pesantren yang memiliki kedekatan dengan nahdlatul ulama‟ cenderung mendapatkan pesan dari

para kyainya untuk mengikuti organisasi ini atau juga karena senior mereka di pesantren yang

mengajak individu tersebut. Meskipun demikian ada juga yang mengikuti organisasi ini dengan

berbagai maksud yang datang dari dalam diri individu misalnya untuk mengolah softskill dalam public

speaking dan berorganisasi.

Ketika individu telah masuk PMII, maka inilah awal mula kondisi-kondisi disonan muncul dalam

diri individu dengan lingkungan sosialnya. Pada konteks ini, peneliti menemukan beberapa kondisi

disonan yang dialami para informan dalam proses penelitian yang peneliti lakukan, diantaranya adalah

disonansi berkaitan dengan organisasi, disonansi berkaitan dengan mahasiswa, dan disonansi

berkaitan dengan Negara.

a. Disonansi berkaitan dengan organisasi

Tidak dipungkiri bahwa setiap individu memiliki tujuannya tersendiri ketika mengikuti

sebuah organisasi, tidak beda ketika para informan memutuskan untuk mengikuti PMII. Misalnya

informan A yang memutuskan mengikuti PMII karena ingin mengolah softsklill dalam bidang

public speaking dan Informan B yang memiliki tujuan sangat sederhana untuk mengobati

kerinduan dengan pondok pesantrennya dahulu.

Beberapa tujuan individu di atas akhirnya juga menyebabkan adanya konsep ideal individu

yang berbeda-beda tenrkait dengan PMII. Konsep ideal dari masing-masing anggota tersebut

membuat dinamika organisasi menjadi beragam. Meskipun masing-masing individu memiliki

konsep ideal tersendiri mengenai organisasi tapi seluruh anggota memiliki tujuan yang ingin

dicapai bersama.

enggak kemudian kita membabi buta bahwa apa yang aku inginkan harus kamu lakukan yang

nggak seperti itu juga kecuali kalau PMII punyaku sendiri baru bisa kayak gitu kan PMII

punya banyak orang (R2.W.B438-442)

Tidak hanya itu, organisasi ini secara nasional juga memiliki tujuan bersama yang

ditransformasikan dalam bentuk gerakan-gerakan sesuai dengan masing-masing universitas.

Tidak jauh berbeda dengan di Universitas Islam Indonesia, karena organisasi ini adalah miliki

banyak orang dan memiliki tujuan yang besar, maka tidak jarang kepentingan atau ambisi pribadi

harus dibuang. Bahkan, meskipun individu sudah mencapai tujuan awal ketika mengikuti

organisasi ini, namun dirinya juga tetap harus ikut melakukan suksesi atas tujuan-tujuan

organisasi ini. Khususnya sebagai intelektual dan kader organisasi ini setiap individu harus

mampu mengedukasi, menyadarkan dan melakukan perubahan di masyarakat.

Page 10: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

Membuang ambisi dan mengikuti sesuatu yang bukan menjadi tujuan pribadi tentu akan

menyebabkan adanya pertentangan dalam diri individu. Pada konteks ini pertentangan terjadi

yaitu pertentangan antara keinginan pribadi dengan keinginan organisasi. Meskipun pertentangan

tersebut terkadang membuat individu tertekan, namun individu mencoba untuk tetap nyaman

dalam menjalaninya.

Pertentangan lain yang seringkali terjadi dalam diri setiap individu ketika terdapat

perbedaan sudut pandang dalam melihat suatu fenomena yang akan dikritisi dan dilakukan

advokasi. Meskipun pada dasarnya setiap individu setuju bahwa fenomena tersebut merupakan

suatu hal yang bermasalah, namun dalam perumusan dan mencari titik temu akar permasalahan

itulah perdebatan itu terjadi. Dinamika seperti ini dipandang sebagai suatu hal yang sehat.

b. Disonansi berkaitan dengan mahasiswa

Para informan selain sebagai aktivis, mereka merupakan seorang mahasiswa yang memiliki

perspektif tersendiri tentang idealnya seorang mahasiswa. Konsep ideal yang telah mereka

bangun baik karena adanya pengaruh organisasi, maupun merupakan suatu hal yang telah

tertanam dalam dari mereka yang didapatkan dari orang tua atau lingkungan sosialnya, tidak

jarang juga bertentangan dengan realitas yang sebenarnya. Pertentangan antara yang ideal dan

yang terjadi sebenarnya adalah yang kemudian disebut sebagai kondisi disonan.

Kondisi disonan individu terkait dengan mahasiswa terjadi karena individu sebelumnya

telah terpapar pemahaman ideal tersendiri terkait dengan mahasiswa, bahwa status mahasiswa

bukanlah sebuah status yang sederhana karena mahasiswa seharusnya tidak hanya belajar teori

dan acuh dengan lingkungannya, sehingga mahasiswa dapat peka terhadap permasalahan yang

terjadi di sekitarnya.

Mahasiswa yang memiliki akses lebih terhadap pendidikan seharusnya tidak menjadikan

ilmu yang dipelajarinya sebagai pendukung mahasiswa tersebut untuk menggurui dan menjadi

“sok pintar”. Mahasiswa diidealkan dapat menginternalisasikan ilmu yang mereka miliki ke

dalam perilaku dan ucapannya sehingga semakin mahasiswa memiliki banyak ilmu maka dirinya

semakin takut dengan Tuhan.

saya dari kecil diajarkan bahwa nggolek ilmu kui ora kanggo minteri wong liyo, tapi

bagaimana dirimu bisa memperbaiki perilaku dan ucapanmu atau bagaimana

menginternalisasikan ilmu itu kedalam perilakumu dan kebermanfaatan ilmu itu kalo dirimu

semakin hari semakin wedi karo sing nggawe urip (R2.W.B211-216)

Kondisi di atas pada kenyataannya jauh dari realitas yang sebenarnya. Menurut para informan

meskipun pada dasarnya saat ini mahasiswa lebih banyak medium untuk bergerak, mahasiswa

yang fokus ke akademis bisa mengikuti konferensi-konferensi dan untuk yang aktif di organisasi

bisa membuat wadah untuk mengakomodir tujuan-tujuannya. Namun kenyataannya tetap banyak

keluhan dari para pengajar dan mahasiswa-mahasiswa lain terkait mahasiswa saat ini.

Page 11: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

Informan B mengatakan bahwa mahasiswa saat ini seolah terlena dengan status

mahasiswanya, sehingga hanya sibuk dengan rutinitas kampus, serta angkuh dengan ilmu dan

status yang dimilikinya. Bahkan saat ini mahasiswa yang dianggap pintar saat ini adalah

mahasiswa yang terlalu banyak bicara dan bisa mengkrtitisi apapun.

Hal ini menurut Informan A dan B disebabkan karena memang sistem universitas yang

mendukung mahasiswa menjadi demikian. Kampus menyibukkan mahasiswa dengan kegiatan

dan tugas, kebijakan 75% kehadiran, ancaman drop out bagi mahasiswa yang berpikir terlalu

kritis, keharusan lulus cepat dan tuntutan untuk mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)

yang tinggi. Hal ini, tentu membuat mahasiswa sudah sangat sibuk dan panik dengan situasi yang

akan dialaminya ketika tidak mampu memenuhi standarisasi-standarisasi tersebut. Tidak heran

jika hal ini membuat mahasiswa hanya mementingkan diri sendiri dan lalai dengan lingkungan

sekitar.

Selain itu, Informan B juga menambahi bahwa realitas mahasiswa saat ini mereka terlalu

terlena dengan status mahasiswa yang dianggapnya sangat tinggi, seolah-seolah dengan menjadi

mahasiswa hidupnya sudah enak dan nyaman. Harus dijunjung tinggi dan dihormati dimanapun

mereka berada, imbasnya kepedulian sosial mereka tumpul. Bahkan sangat sederhana, mereka

tidak tidak menghargai lingkungan sekitar mereka. Alih-alih demikian, mahasiswa saat ini

bahkan sangat jarang berinteraksi dengan teman satu kos mereka. Komunikasi dianggap selesai

ketika sudah dilakukan via teknologi, meskipun itu adalah teman yang hanya beda kamar.

Artinya teknologi dalam hal ini juga membuat mahasiswa tersebut terlena sehingga membuat

mereka mengisolasi diri sendiri.

c. Disonansi berkaitan dengan Negara

Tidak hanya dalam kaitannya dengan organisasi dan kehidupan mahasiswa, disonansi yang

dialami oleh individu tersebut juga merambah pada pemahamannya terkait dengan negara.

Individu memiliki konsep ideal tentang peran dan fungsi negara yang tidak sesuai dengan

kanyataan yang terjadi sebenarnya. Kondisi disonan tersebut berkaitan dengan berbagai hal

seperti pendidikan, kesejahteraan hidup dan pemerintahan.

Informan A dalam hal ini menyampaikan kegelisahan terkait dengan sistem pendidikan yang

menurutnya tidak jelas. Sebagai individu yang berasal dari pedalaman Sumatera dirinya merasa

bahwa penyamarataan pendidikan, khususnya berkaitan dengan Ujian Nasional (UN) tidak

kontekstual dengan kondisi di kampungnya yang minim fasilitas dan kualitas, khususnya dari

tenaga pendidik yang tentunya berpengaruh pada anak didiknya.

Minimnya fasilitas tersebut tentunya akan berimbas ke dalam banyak hal misalnya yang

terpenting adalah berkaitan dengan keterjangkauan informasi dari atas ke bawah. Sehingga, hal

ini juga dipandang oleh informan B sebagai suatu yang tidak relevan ketika pergantian kurikulum

dilakukan hampir setiap pergantian periode pemerintahan. Alih-alih menjangkau kurikulum baru,

kurikulum yang lama dalam hal ini bahkan belum terjangkau oleh kampungnya.

Page 12: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

Imbas yang lain adalah terbatasnya jangkaun informasi tersebut, membuat Informan A

menarik kesimpulan bahwa pendidikan layak itu bukan untuk orang miskin. Meskipun

disediakan banyak beasiswa, tapi keterbatasan fasilitas untuk mengakses informasi tersebut

membuat yang tertinggal tetap tertinggal. Bahkan, jika setiap orang diwajibkan untuk menjalani

pendidikan wajib sembilan tahun, namun nyatanya kualitas manusianya tetap sama saja dan

masih saja banyak pengangguran.

Kemudian berkaitan dengan kesejahteraan hidup dan pemerintahan, informan B

berkeyakinan bahwa seharusnya privatisasi perusahaan yang dilakukan oleh negara dapat

menyejahterakan masyarakat, mengentaskan kemiskinan dan kualitas hidup masyarakat

meningkat, namun kenyataannya privatisasi tersebut hanya menguntungkan negara dan pihak

asing. Terlebih lagi kenyataan bahwa banyak pejabat yang korup semakin membuat Informan

berkesimpulan bahwa hal ini memang sudah sejak awal pembentukan karakter dari para

pemimpin tersebut adalah suatu kesalahan.

3. Organisasi sebagai Penentu Besaran Disonansi

Derajat disonansi individu tergantung pada kepentingan atau nilai dari berbagai elemen seperti

pengetahuan, kepercayaan, dan sikap yang disonan (Cooper, 2007). Dalam konteks yang terjadi dalam

diri para informan hal ini pengetahuan, kepercayaan dan sikap disonan tersebut muncul karena

stimulasi yang terus menerus diberikan oleh organisasi kepada mereka melalui berbagai rangkaian

kegiatan dan program-program kerja kaderisasi organisasi tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Informan B yang mengatakan bahwa keresahan tidak terbentuk di awal, bahkan kebanyakan individu

sebelum masuk ke PMII tidak tahu menahu tentang PMII. Keresahan tersebut ditemukan selama

berproses di PMII karena hal tersebut pada dasarnya dikontruksi di PMII dengan diimbangi

pengetahuan-pengetahuan yang diberikan kepada kader.

Lebih jauh dari itu bahkan menurut Informan B pada awalnya dalam mengikuti aksi demonstrasi

yang dilakukan orgnanisasi tersebut, bukan muncul atas dasar kesadaran pribadi. Informan B

mengikuti aksi demonstrasi karena kepentingan organisasi dan diajak oleh anggota lain dari organisasi

tersebut. Namun, pada akhirnya dirinya sadar bahwa mengikuti aksi tanpa tahu alasannya terkadang

menjadi rangsangan tersendiri bagi kader untuk menjadi terbuka dan sadar, dan hal ini sesuai dengan

yang dirinya alami karena setelah aksi yang tidak disadarinya tersebut pada aksi selanjutnya individu

sudah sadar dan mengerti mengapa dirinya harus bergerak.

sing penting melu ae tapi iya nggak apa-apa kadang kala yang penting melu itu juga membuat

kita terbuka dan bisa jadi sadar (R2.W.B479-481)

Tidak hanya dalam konteks demonstrasi. Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh organisasi adalah

upaya organisasi untuk membentuk pengetahuan, kepercayaan dan sikap yang sesuai dan diselaraskan

dengan idealisme dan tujuan organisasi. Kegiatan-kegitan tersebut antara lain adalah Pelatihan Kader

Dasar (PKD), diskusi rutin, pengabdian masyarakat melalui TPA, dan yasin tahlil di masjid kampus,

Page 13: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

mengadakan jenjang kaderisasi lanjutan (PKM) dan melakukan pengembangan organisasi sebagai

sarana untuk melakukan menejemen sumberdaya, mewadahi minat bakat serta untuk melakukan

distribusi kader.

PKD merupakan jenjang kaderisasi awal yang harus ditempuh setiap individu yang akan masuk

di PMII. Pada pelatihan ini calon anggota dibekali dengan pemahaman-pemahaman dasar organisasi

seperti ideologi, nilai dasar, paradigma dan metode analisa sosial yang digunakan oleh organisasi.

Ketika calon anggota telah melewati jenjang kaderisasi awal tersebut, mereka telah berhak untuk

mengikuti segala macam kegiatan di organisasi. Kegiatan yang rutin dilakukan organisasi salah

satunya adalah diskusi, bahkan hal ini sudah menjadi budaya sehingga menjadi rutinitas keseharian

setiap anggota di dalam organisasi.

Diskusi ini berpengaruh sangat penting sebagai sarana ideologisasi dan melakukan transformasi

terkait pemahaman-pemahaman tertentu dalam realitas sosial. Persoalan-persoalan yang dibahas di

dalam diskusi tersebut adalah isu-isu yang meresahkan seperti dinamika kampus dan persoalan

ideologis berkaitan dengan islam, kondisi bangsa dan kenegaraan terutama berkaitan dengan ekonomi,

moralitas dan perdebatan tentang agama serta persoalan-persoalan lain yang meresahkan kehidupan.

Meskipun dalam konteks tertentu diskusi-diskusi tersebut melibatkan tema yang tidak mudah

bagi setiap anggota, misalnya berkaitan dengan teori-teori sosial-kritis. Namun, dalam tataran tertentu

secara tidak sadar telah terinternalisasi dengan teori-teori tersebut. Sehingga meskipun mereka tidak

faham secara teoritis terkait dengan teori-teori tersebut, namun seringkali mereka menggunakan sudut

pandang dari teori-teori tersebut di dalam memandang sebuah fenoma. Dalam tataran ini pengaruh

diskusi-diskusi yang dilakukan secara terus menerus tidak hanya berkaitan dengan pemahaman

teoritis tetapi juga dalam konteks kognitif dan afeksi setiap anggota.

Kemudian, berkaitan dengan persoalan kampus. Persoalan kampus dibahas di organisasi ini

karena kesadaran bahwa sebagai mahasiswa medan gerak utama kita adalah di kampus. Persoalan

kampus yang dibahas adalah berkaitan dengan antropologi kampus seperti tipologi mahasiswa saat

ini, kemudian kebijakan kampus dan sistem pendidikan kampus. Setelah persoalan tersebut telah

terpetakan yang dibahas kemudian adalah solusi yang akan dilakukan organisasi tersebut untuk

kampus.

Lebih jauh dari itu pada akhirnya organisasi memberikan perubahan signifikan dalam diri

individu. Perubahan yang disampaikan oleh para Informan di antara adalah individu dapat lebih

melakukan introspeksi diri dan toleran dengan berbagai macam golongan, organisasi juga

memberikan pengaruh secara intelektual karena kultur organisasi dalam hal ini selalu mengenalkan

dengan hal-hal yang baru dan memberikan ruang untuk melakukan diskusi dengan berbagai sudut

pandang untuk mencari akar permasalahan sebenarnya. Selain itu, organisasi ini membuat individu

nyaman karena masing-masing di dalamnya memiliki visi yang sama dan meresahkan persoalan yang

sama, organisasi juga mampu menjadi kendali dari modernitas, menjaga dari degradasi moral serta

hubungan vertikal dengan Tuhan

Page 14: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

4. Perilaku Kolektif yang Muncul Akibat Disonansi.

Salah satu cara yang dilakukan para informan untuk menjadikan disonansi berada pada kondisi

minimum dan mancapai keseimbangan, salah satunya juga dengan membuat kecocokan bersama

(Dechawatanapaisal, & Siengthai 2006) melalui pembentukan forum diskusi kampus yang awalnya

bertujuan untuk mengumpulkan teman-teman yang memiliki kegelisahan bersama untuk berkeluh

kesah dan menuangkan keresahan masing-masing.

saya lebih enak ketika ingin suatu wadah yang itu mewadahi kita untuk menunangkan

keresahan-keresahan (R2.W.B282-284)

Selain itu forum diskusi tersebut juga terbentuk atas tujuan untuk membentuk kultur mahasiswa

agar tidak terlalu masa bodoh dengan lingkungan sekitar, dan membangun kesadaran sosial agar

mahasiswa tidak terlalu menganggap tinggi statusnya, sehingga membuat dirinya merasa harus

dihormati. Hal ini senada dengan Informan B yang juga melakukan gerakan penyadaran melalui

diskusi-diskusi, demonstrasi, pendampingan sosial dan literasi media.

Dalam konteks organisasi perilaku kolektif yang dilakukan adalah dengan melakukan dakwah

islamiyah. Hal ini dilakukan karena selain sebagai organisasi kaderisasi, organisasasi ini juga

merupakan bagian dari gerakan ideologis yang digunakan untuk melakukan perjuangan terhadap cita-

cita islam. Dakwah islamiyah dilakukan dan disampaikan dengan menyesuaikan kondisi hari ini dan

tidak memaksa (mis. ketika tidak seperti ini maka buka bagian dari kami). Hal ini dikarenakan secara

organisasi, PMII merasa memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjamah orang-orang yang

belum faham islam di luar, tidak hanya di kampus, sehingga butuh kekuatan dan usaha yang besar

untuk melakukan itu.

Informan B menyatakan bahwa dalam konteks internal organisasipun gerakan penyadaran juga

dilakukan kepada para anggotanya. Tentunya dengan melakukan internalisasi nilai dan kepercayaan

organisasi ke dalam diri anggota tersebut untuk membentuk kesadaran anggota karena masing-masing

dari mereka sudah memiliki pengalaman yang lebih banyak sebelum masuk ke dalam PMII. Sehingga,

dapa disadari bahwa perubahan lebih mudah dilakukan terhadap individu yang memiliki latar

belakang yang sama.

semakin banyak kamu tau maka semakin banyak banyak masalah yang akan menghampirimu

(R1.W.B421-423)

Para informan dalam hal ini menyadari bahwa jika seseorang tidak paham akan suatu

permasalahan dirinya akan merasa nyaman tetapi ketika seseorang banyak tahu dirinya maka akan

banyak masalah yang justru menghampiri. Selain itu, individu akan merasa terbebani ketika tahu akar

permasalahan yang sebenarnya tetapi tidak memiliki solusi penyelesaiannya..

Selain itu, tentu jika melihat realitas di atas. Para informan sebagai seorang aktivis mahasiswa

yang merasakan dan melihat berbagai kesenjangan dalam konteks universitas, negara bahkan dalam

internal organisasinya, terkesan perlu meluangkan waktu, tenaga dan biaya yang besar untuk

Page 15: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

mangakomodir dan melakukan sebuah gerakan tertentu untuk mengatasi segala keresahan mereka.

Namun, dalam konteks ini sebagai individu yang memiliki latar belakang pesantren dan dididik di

organisasi yang kental dengan tradisi pesantren, seluruh pengorbanan yang dilakukan para individu

tersebut mereka anggap sebagai rasa tunduk dan hormatnya kepada para kyai. Karena dalam konteks

ini organisasi PMII adalah organisasi yang memiliki afiliasi kultural yang harmonis denga Nahdlatul

„Ulama‟. Bahkan Informan C mengatakan bahwa sebagai aktivis mahasiswa, masyarakat adalah kyai

kita.

D. PEMBAHASAN

Sebelum melakukan pembahasan terkait dengan beberapa tema yang peneliti temukan pada hasil

analisis, peneliti akan merujuk kembali pada tujuan penelitian, yaitu memahami dinamika psikologis

terkait fenomena keresahan sosial yang dirasakan dan dialami oleh para aktivis mahasiswa. Pada hasil

penelitian dan analisis teoritik, peneliti melihat keterkaitan erat antara disonansi kognitif dengan

keresahan sosial, dan organisasi merupakan anteseden sekaligus penguat atas keresahan yang

dirasakan dan dialami individu.

Inkonsistensi logika dengan realitas adalah sebab utama individu mengalami disonansi secara

kognitif (McGregor, 2013; Dechawatanapaisal & Siengthai, 2006). Inkonsistensi terjadi karena

adanya kepercayaan terkait suatu fenomena yang telah dipegang sebelumnya, namun kepercayaan

tersebut terbentur pada realitas yang jauh berbeda dari yang dipercayainya. Pada konteks aktivis

mahasiswa kepercayaan, pengetahuan dan sikap (Cooper, 2007) mereka dibentuk di dalam

organisasinya. Sebagai organisasi ideologis, maka kepercayaan, pengetahuan dan sikap para

anggotanya dibentuk berdasarkan tema-tema ideologis berkaitan dengan negara, sosial-ekonomi,

kebudayaan dan pemerintahan.

Pemahaman ideal organisasi berkaitan dengan tema-tema di atas yang ditransfer terus menerus

kepada setiap anggotanya pada akhirnya membentuk standarisasi tersendiri dalam diri setiap inidividu

berkaitan dengan idealnya negara, sosial-ekonomi, kebudayaan dan pemerintahan. Sehingga dalam

konteks inilah individu pada akhirnya mengalami disonan secara kognitif ketika mendapati bahwa

negara, sosial-ekonomi, kebudayaan dan pemerintahan tidak sesuai dengan konsep idealnya

(Festinger, 1957). Inilah salah satu faktor terjadinya disonansi kognitif, yaitu inkonsistensi logika

(Festinger, 1957).

Selain itu, opini umum (Festinger, 1957) bahwa negara pasti akan menjamin kesejahteraan

rakyatnya. Namun, realitas yang dirasakan individu bahwa pendidikan tidak terjangkau untuk

masyarakat miskin dan banyaknya pengangguran, juga membentuk disonansi dalam kognisi individu.

Ditambah lagi pengalaman masa lalu individu yang telah membentuk pemahamannya terkait dengan

ilmu yang seharusnya mendekatkan diri kepada Tuhannya, namun ternyata untuk saat ini hal malah

berjalan jauh dari konsepsi pemahaman awal individu (Festinger, 1957).

Page 16: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

Alasan-alasan individu dalam mengikuti organisasi, seperti ingin melatih softskill public

speaking dan mengobati kerinduan akan pondok pesantren adalah tumbuh dengan suka rela.

Sehingga, keikutsertaan mereka dalam setiap kegiatannya juga bersifat suka rela. Sedangkan

kesukarealaan ini menurut Cummings & Venkatesan (Soutar & Sweeney, 2013) adalah salah satu dari

tiga syarat munculnya disonansi. Dua lainnya adalah keputusan yang bersifat penting dan tidak dapat

dibatalkan.

Kedua syarat tersebut (Soutar & Sweeney, 2013) menjadi suatu hal yang benar-benar menjadi

realitas dalam diri individu. Organisasi yang bersifat ideologis mensyaratkan para anggotanya untuk

tidak mendua di dalam keikutsertaannya dalam organisasi, sehingga keputusan individu untuk

mengikuti organisasi adalah sangat penting karena hal tersebut mengikat dan tidak dapat dibatalkan.

Kemudian, terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kekuatan disonansi. Pertama, jumlah

kepercayaan yang disonan, dan kedua adalah seberapa penting masing-masing kepercayaan tersebut

melekat (Soutar & Sweeney, 2013). Diskusi-diskusi yang rutin dilakukan di organisasi dan pelatihan-

pelatihan yang berkaitan dengan penkajian realitas sosial yang terus menerus dilakukan di dalam

organisasi tentu akan memperbanyak kepercayaan yang disonan dalam diri setiap anggotanya. Karena

hal tersebut merupakan idealisme organisasi yang harus diinternalisasi oleh setiap anggotanya maka

melekatnya kepercayaan tersebut merupakan suatu hal yang sangat penting. Kegagalan dalam

tranformasi nilai, otomatis adalah kegagalan kaderisasi dalam organisasi.

Selanjutnya terlepas dari hal di atas, pendidikan yang tidak merata (Tufekci & Freelon, 2014),

negara yang tidak mampu mensejahterakan rakyatnya (Bohlken & Sergenti, 2010) dan fenomena

gerakan keagamaan yang kaku (Pappas & O‟Malley, 2004) seperti halnya yang dirasakan oleh para

individu di atas, adalah faktor-faktor timbulnya keresahan sosial berkaitan dengan negara (ideologi),

sosial-ekonomi, dan kebudayaan (Pappas & O‟Malley, 2014). Sedangkan, hal ini kontekstual dengan

sebab disonansi yang dialami individu.

Meskipun dalam tataran teoritis disonansi kognitif dan keresahan sosial memiliki kemiripan.

Namun, disonansi kognitif adalah suatu kesadaran pada level kognitif yang dialami pada konteks

individual (Jones, 2012). Sedangkan, keresahan sosial adalah suatu gejala yang dialami bersama, dan

lebih bersifat untuk menyatakan sebuah sikap dari sebuah fenomena meresahkan. Artinya keresahan

sosial tidak hanya bersifat kognitif namun pada tataran afektif, seperti aksi demonstrasi, protes dan

pemogokan kerja (Weinberg & Bakker, 2015).

Antara disonansi kognitif dengan keresahan sosial pada akhirnya berkaitan. Hal ini kontekstual

dengan hasil penelitian ini, bahwa individu yang mengalami kondisi disonan pada akhirnya akan

mencari kondisi stabil (Dechawatanapaisal, & Siengthai 2006) dengan menyatu bersama individu lain

yang juga mengalami kesamaan nasib (Dessales, 2011). Pada konteks yang terjadi pada para aktivis

mahasiswa tersebut berkumpulnya mereka yang sama-sama memiliki disonansi atas permasalahan

sosial adalah melakukan diskusi untuk melakukan penyadaran kepada individu lain, melakukan

pelatihan-pelatihan dan melakukan aksi demonstrasi.

Page 17: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

Hal ini sedikit berbeda dengan yang dikatakan Dechawatanapaisal dan Siengthai (2006) bahwa

individu cenderung menginginkan kondisi yang stabil, tetapi dalam konteks penelitian ini ditemukan

bahwa para individu justru mengakumulasi keadaan disonan menjadi sebuah kelompok yang

melakukan transformasi keadaan disonan tersebut kepada individu lain yang belum memahami

keadaan tersebut. Dan ini dikatakan sebagai gerakan penyadaran. Maka akumulasi individu yang

disonan tersebut pada akhirnya menimbulkan sebuah keresahan sosial.

Terdapat tiga cara untuk menghilangkan disonansi, pertama dengan mengurangi kadar

kepentingan terhadap kepercayaan yang disonan. Kedua, menambahkan keyakinan konsonan yang

lebih besar daripada kepercayaan yang disonan, atau ketiga dengan mengubah kepercayaan yang

disonan sehingga tidak lagi inkonsisten (Festinger, 1957; Cooper, 2007). Kontekstual dengan

penelitian ini individu juga mencoba untuk merubah kondisi disonan dengan menyelaraskan atau

menambah keyakinan konsonan melalui diskusi, aksi demonstrasi dan gerakan-gerakan penyadaran

lainnya. Tentu dalam konteks ini realitas yang konsonan dengan idealitas merupakan tujuan bagi

setiap individu dan dalam konteks ini juga tujuan dari organisasi.

Upaya untuk menemukan individu-individu yang memiliki nasib dan keresahan yang sama,

melakukan demontrasi dengan skala besar, serta internalisasi nilai kepada para angota di organisasi

adalah merupakan sebuah gerakan komunal. Dalam konteks ini, gerakan ini adalah upaya untuk

meminimalisir keresahan dalam diri individu. Hal ini sesuai dengan penemuan Cooper & Stone

(Jones, 2012) bahwa anggota kelompok juga memainkan peranan yang sangat penting dalam

mengurangi disonansi terkait pengalaman setiap individu. Sementara itu, diskusi-diskusi yang

dimaksudkan untuk mengumpulkan orang yang memiliki kesamaan perspektif dalam hal ini menurut

Festinger (1957) adalah bentuk dari komunikasi persuasif yang di suatu sisi dapat mengurangi

disonansi, ketika komunikasi tersebut efektif.

Gambar 1. Dinamika keresahan sosial aktivis mahasiswa

Page 18: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

E. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, dapat

disimpulkan bahwa keresahan sosial aktivis mahasiswa timbul karena adanya akumulasi disonansi

kognitif pada level individual yang mencoba untuk mencapai kondisi stabil melalui pembentukan

kelompok yang memiliki kondisi yang sama.

Besaran disonansi dipengaruhi oleh realitas organsiasi yang memberikan transformasi

pemahaman berkaitan dengan ideologi, idealitas dan tujuan organsiasi serta arak gerak organisasi.

Sehingga individu memiliki standarisasi tersendiri dalam memandang suatu persoalan melalui

perspektif yang didapatkannya dari organsasi. Kegagalan inidivu dalam menemukan hubungan

relevan yang konsonan dengan idealitas akhir membuat individu mengalami disonansi secara kognitif.

Kondisi yang disonan tersebut tentu tidaklah nyaman, sehingga individu ingin mencapai suatu

stabilitas dalam kognisinya. Upaya untuk mencapai stabilitas tersebut adalah melalui komunikasi

persuasi dan mengakomodir keresahan dalam suatu kelompok yang memiliki keresahan sama.

Kemudian, upaya untuk mencapai stabilitas melalui kelompok sosial tersebut dilakukan dengan cara

bersama-sama melakukan gerakan penyadaran terhadap orang lain melalui diskusi dan aksi

demonstrasi. Alih-alih disonansi dalam diri individu tersebut hilang, malah yang terjadi adalah

disonansi tersebut terakumulasi secara sosial, sebagai sebuah keresahan.

Meskipun demikian, upaya untuk memelihara keresahan tersebut pada akhirnya menjadi suatu

hal yang memang seharusnya terjadi dalam organisasi yang diikuti oleh para individu. Karena hal

tersebut adalah sarana untuk membangun idealisme kelompok, dan dalam skala luas berguna untuk

mencapai keadaan stabil. Sehingga ideologi, negara, pendidikan dan sosial-ekonomi yang kacau dan

menjadikan individu mengalami disonan secara menyeluruh dapat dicapai relevansi konsonannya.

F. SARAN

Peneliti memetakan beberapa saran yang kiranya dapat dijadikan sebagai bahan kontemplasi

berkaitan dengan dinamika keresahan sosial aktivis mahasiswa. Poin-poin yang dituliskan pada

bagian ini ditujukan kepada berbagai pihak, seperti para akademisi dan peneliti lainnya, para aktivis,

serta khalayak dan pemegang kebijakan.

1. Saran untuk organisasi-organisasi aktivis mahasiswa adalah mengupayakan terus menerus

tersedianya solusi bagi keresahan sosial yang dialami oleh para anggotanya.

2. Pada proses pembentukan keresahan sosial dalam diri individu cenderung dipengaruhi oleh

organisasi dan hal tersebut menjadi suatu paradoks tersendiri yang memperlihatkan sisi negatif

dan sekaligus positif. Realitas ini menjadi salah satu topik yang menurut peneliti dapat

direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya.

3. Salah satu kelemahan dalam penelitian ini adalah hanya melibatkan satu kelompok aktivis

organisasi yang tergabung dalam organisasi yang sama, sehingga saran untuk penelitian

Page 19: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

selanjutnya agar dapat menelaah kembali dinamika keresahan sosial aktivis mahasiswa di

kelompok yang lebih heterogen.

4. Keresahan sosial sebagai sebuah konsep dan teori belum sama sekali ditawarkan dalam kajian

psikologi. Konsep tersebut masih menjadi lahan keilmuan antropologi. Padahal jika ditelaah

lebih lanjut fenomena tersebut sangat berkaitan dengan kondisi-kondisi psikologis individu

secasa sosial, sehingga hal tersebut menjadi patut untuk ditelaah lebih lanjut sebagai salah satu

sub kajian dari psikologi sosial, khususnya psikologi politik.

Page 20: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

G. DAFTAR PUSTAKA

Archer, J. E. (2000). Social unrest and popular protest in England 1780–1840. New York: Cambridge

University Press.

Badan Pusat Statistik. (2017). Statistik Indonesia 2017. Jakarta, DKI: Badan Pusat Statistik. Diakses

dari https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Indonesia-2017.pdf

Cooper, J. (2007). Cognitive dissonance. London: Sage Publications, Ltd.

Creswell, J., W. (2012), Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif dan

mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dechawatanapaisal, D., & Siengthai, S. (2006). The impact of cognitive dissonance on learning work

behavior, Journal of Workplace Learning, 18(1), 42-54.

Dessales, J. E. (2011). Sharing cognitive dissonance as a way to reach social harmony, Social Science

Information, 50(1), 116–127.

Festinger, l. (1957). A theory of cognitive dissonance. Stanford: stanford university press.

Hardiman, F. B. (Ed.). (2010). Ruang publik: Melacak “partisipasi demokratis” dari polis sampai

cyberspace.Yogyakarta: Kanisius.

Hariyanto, I. (2017, Agustus 30). ICW: Dalam 6 Bulan, 226 Kasus Korupsi Rugikan Negara Rp 1,83

T. Detik News Online. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3621894/icw-dalam-6-

bulan-226-kasus-korupsi-rugikan-negara-rp-183-t

Idhom, A. M., & Putsanra, D. P. (2017, Desember 06). Aksi Gebug Aparat Saat Pengosongan Paksa

Lahan Bandara Kulon Progo. Tirto.id. Diakses dari https://tirto.id/aksi-gebuk-aparat-saat-

pengosongan-paksa-lahan-bandara-kulon-progo-cBfl

Jones, E. H. (2012). Cognitive dissonance theory, The Ensyclopedia of Human Behaviour, 1, 543-549.

Julianto, P. A. (2017, Juni 11). Agustus 2017, Jumlah Pengangguran Naik Menjadi 7,04 Juta Orang.

Kompas Online. Diakses dari

http://ekonomi.kompas.com/read/2017/11/06/153940126/agustus-2017-jumlah-

pengangguran-naik-menjadi-704-juta-orang

Kresna, M. (2016, November 16). Ahok Ditetapkan Tersangka Penistaan Agama. Tirto.id. Diakses

dari https://tirto.id/ahok-ditetapkan-tersangka-penistaan-agama-b44C

McGregor, R. M. (2013). Cognitive dissonance and political attitudes: The case of Canada, The Social

Science Journal, 50, 168-176.

Miftakhul, F. S. (2017 Januari 30). Sarjana Menganggur Semakin Banyak. Jawa Pos Online. Diakses

dari https://www.jawapos.com/read/2017/01/30/105943/sarjana-menganggur-semakin-banyak

Najih, M. (2019). Dinamika Place Identity dan Partisipasi Kewarganegaraan di Warung Kopi

Tradisional. Tesis Tidak Dipublikasikan. Program Magister Psikologi, Fakultas Psikologi,

Universitas Gadjah Mada.

Pappas, T. S., & O‟Malley, E. O. (2014). Civil compliance and “political luddism”: explaining

variance in social unrest during crisis in ireland and greece. American Behavioral Scientist,

58, 1592–1613.

Pruitt, D. G., & Jeffrey, Z. J. (2011). Teori konflik sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Putra, I. R. (2017, November 23). Terus naik, utang luar negeri Indonesia tembus Rp 4.636 triliun di

September 2017. Merdeka Online. Diakses dari https://www.merdeka.com/uang/terus-naik-

utang-luar-negeri-indonesia-tembus-rp-4636-triliun-di-september-2017.html

Page 21: SOCIAL UNREST AKTIVIS MAHASISWA DITINJAU DARI TEORI

Rahayu, C. M. (2017, Oktober 18). Pengajuan UMP Diterima, Demo Buruh di Balai Kota Bubar.

Detik News Online. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3689171/pengajuan-ump-

diterima-demo-buruh-di-balai-kota-bubar

Ratnasari, Y. (2017, Februari 11). Tenda Perjuangan Warga Tolak Semen Rembang Dibakar. Tirto.id.

Diakses dari https://tirto.id/tenda-perjuangan-warga-tolak-semen-rembang-dibakar-ciP9

Riyono, B. (2011). Motivasi dalam perspektif psikologi islam. Jakarta: Asosiasi Psikologi Islami

Indonesia.

Safari. (2017, Juni 13). Demo di Depan KPK: Tangkap Koruptor e-KTP. Harian Terbit Online.

Diakses dari http://nasional.harianterbit.com/nasional/2017/06/13/82745/25/25/Demo-di-

Depan-KPK-Tangkap-Koruptor-e-KTP

Saputri, M. (2017, Mei 24). Kasus Penistaan Agama Menjerat Pengusaha di Karawang. Tirto.id.

Diakses dari https://tirto.id/kasus-penistaan-agama-menjerat-pengusaha-di-karawang-cpiZ

Siena, I. (2017, Februari 19). ICW: 482 Kasus korupsi rugikan negara Rp 1,4 T di 2016. Merdeka

News Online. Diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/icw-482-kasus-korupsi-

rugikan-negara-rp-14-t-di-2016.html

Soutar, G. N., & Sweeney, J. L. (2003). Are there cognitive dissonance segments?, Australian Journal

Of Management, 28(3), 227-249.

Stevens, A. M., & Tellings, A. E. (2010). A comprehensive Indonesian-English dictionary. Athens:

Ohio University Press.

Taher, A. P. (2017, Maret 17). Kementerian BPN Ajak Polri Atasi Banyaknya Konflik Agraria.

Tirto.id. Diakses dari https://tirto.id/kementerian-bpn-ajak-polri-atasi-banyaknya-konflik-

agraria-ckYA

Tashandra, N. (2016, Februari 24). ICW: Sepanjang Tahun 2015, Anggaran Negara 134 Kali

Dikorupsi. Kompas Online. Diakses dari

http://nasional.kompas.com/read/2016/02/24/17044021/ICW.Sepanjang.Tahun.2015.Anggara

n.Negara.134.Kali.Dikorupsi.

Tufekci, Z., & Freelon, D. (2013). Introduction to the Special Issue on New Media and Social Unrest.

American Behavioral Scientist, 57, 843–847.

Weinberg, J., & Bakker, R. (2015). Let them eat cake: food prices, domestic policy and social unrest.

Conflict Management and Peace Science, 32, 309–32